Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
GROUP COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA MAHASISWA UM PALANGKARAYA YANG AKAN MENGHADAPI UJIAN SKRIPSI Oleh : Esty Aryani Safithry * Abstrak Diperkirakan 30% dari mahasiswa UMP mengalami kecemasan menjelang ujian. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa UMP semester akhir yang akan mengikuti ujian skripsi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah Group Cognitive Behavior Therapy yang diterapkan dapat menurunkan kecemasan menghadapi ujian. Hasil penelitian menunjukkan Group Cognitive Behavior ini dapat menurunkan kecemasan menghadapi ujian, ditandai oleh menurunnya tingkat kecemasan, berkurangnya pemikiran dan tingkah laku negatif setelah terapi diberikan dan relatif menetap hingga masa tindak lanjut.
Kata kunci : Group CBT, Kecemasan, Ujian Skripsi PENDAHULUAN Kecemasan adalah sebuah kondisi psikologis dan fisiologis yang ditandai oleh manifestasi kognitif, emosional, dan perilaku. Komponen-komponen ini bergabung untuk membuat yang perasaan tidak menyenangkan yang biasanya dikaitkan dengan kegelisahan, ketakutan, atau khawatir. Kecemasan adalah kondisi umum yang terjadi tanpa diidentifikasi memicu rangsangan. Dengan demikian, kecemasan tersebut dibedakan dari rasa takut, yang terjadi terhadap ancaman yang dihadapi. Selain itu, ketakutan adalah berkaitan dengan perilaku tertentu untuk melarikan diri dan penghindaran, sedangkan kecemasan adalah hasil dari ancaman yang dianggap tak terkendali atau tidak dapat dihindari. Kecemasan menghadapi ujian adalah masalah serius bagi siswa yang digambarkan sebagai "hambatan yang paling berbahaya dalam pendidika. Kecemasan ujian dikaitkan dengan ketakutan negatif, tidak suka ujian, dan membuat kemampuan belajar kurang efektif Siswa yang cemas saat ujian mengalami
kesulitan dalam pengkodean ketika belajar dan mengalami gangguan kognitif selama menghadapi ujian. Diperkirakan bahwa 30% dari semua mahasiswa UMP menderita berbagai tingkat kecemasan ujian. Kecemasan yang mereka alami dicirikan oleh kebiasaan dan sikap yang melibatkan diri pada persepsi negatif dan harapan saat ujian. Kebiasaan mencela diri sendiri, rasa takut dan aktivitas fisiologis yang tinggi dalam situasi ujian dimana mereka sedang dievaluasi akan mempengaruhi cara mereka menafsirkan dan merespon kejadian dilingkungan. Rafika (2008 ) menyatakan bahwa kecemasan ujian adalah "Konstruk kompleks multidimensi yang melibatkan reaksi kognitif, afektif, fisiologis, dan perilaku dalam situasi ujian". Reaksi tersebut kurang terkendalikan oleh mahasiswa sehingga dapat memicu kecemasan dalam menghadapi ujian. Perilaku seperti kegelisahan yang mendorong ke arah penghindaran tugas, menarik diri tidak siap melaksanakan tes, menolak mengerjakan dan membuat tugas,
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
42
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
kegelisahan meningkat, tidak tenang, ketidaksabaran tinggi dan lain-lain. Untuk itulah diperlukan suatu terapi yang dapat memunculkan pemikiran positif klien mengenai ujian agar dapat mengurangi kecemasan mereka. Salah satu terapi yang efektif untuk kecemasan dan memfokuskan pada pemikiran atau keyakinan negatif dan perubahan perilaku adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT). Para terapis kognitif behavior mempercayai fikiran menjadi penyebab masalah emosional dan perilaku, fokus pendekatan ini adalah merubah cara berfikir (Martin, 2005). CBT merupakan perpaduan teknik terapi kognitif dan perilaku. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah restrukturisasi kogntif dan relaksasi yang merupakan perpaduan teknik dari terapi kognitif dan terapi perilaku. Restrukturisasi kognitif memfokuskan pada perubahan pemikiran negatif menjadi positif. Pada prosesnya subjek diajak untuk menghubungkan pikiran – emosi – tingkah laku sedangkan pada relaksasi lebih menfokuskan kepada pengenalan gejalagejala kecemasan dan bagaimana mereduksinya, subjek diajarkan untuk menegangkan beberapa otot dan merilekskanya sehingga tercapai keadaan rileks. Data yang didapat oleh peneliti adalah ada beberapa mahasiswa yang mengalami masalah yang sama, maka akan lebih efektif dan efisien jika teknik terapi digunakan pada setting kelompok. Ada beberapa keuntungan dari terapi kelompok dibandingkan terapi individu, selain lebih efektif dan efisien dalam hal waktu, tenaga dan biaya, dimana setiap anggota kelompok diberikan terapi dalam waktu yang bersamaan, tidak perlu satu per satu dan tidak perlu mengeluarkan biaya lebih, juga adanya perasaan senasib sehingga mereka
dapat saling mendukung dan sama-sama memecahkan masalah pada proses terapi. Oleh karena itu CBT yang diterapkan pada penelitian ini adalah Group CBT Group CBT adalah CBT yang diberikan secara berkelompok. Kelompok merupakan tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Peran setiap anggota kelompok sangat penting pada kelangsungan proses terapi, mereka berbagi pengalaman, saling membantu satu sama lain dan saling percaya untuk mencapai tujuan kelompok. Maka dari itu group CBT menekankan pada dinamika kelompok dimana faktor penting tercapainya tujuan kelompok tergantung dari bagaimana interaksi masing-masing anggota dalam kelompok. Interaksi yang baik membuat anggota kelompok merasa memiliki, diakui dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain (Rafika, 2008). Berdasarkan uraikan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Group CBT dapat mengurangi kecemasan dalam menghadapi ujian skripsi pada mahasiswa UMP. METODE PENELITIAN Subyek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 mahasiswa dari berbagai fakultas yang memiliki ciri-ciri atau simtom kecemasan, mahasiswa semester akhir yang akan menghadapi ujian skripsi dan belum pernah diberikan terapi kognitif perilaku sebelumnya. Penelitian ini dilaksanakan pada selama 1 bulan pada bulan September 2014. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian studi kasus tunggal yang merupakan sebuah desain
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
43
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan dengan kasus tunggal. Kasus tunggal dapat berupa beberapa subjek dalam suatu kelompok atau subjek tunggal. Desain studi kasus tunggal banyak digunakan pada area penelitian seperti psikologi, psikiarti, pendidikan, rehabilitasi, sosial, konseling dan disiplin ilmu yang lain (Kazdin, 2005). Elemen desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ABA design, di mana A adalah fase sebelum terapi, B adalah fase terapi atau intervensi yang kemudian dilanjutkan dengan fase tindak lanjut A (Kazdin, 2005). Setiap studi kasus tunggal diawali dengan fase pengamatan atau pencatatan mengenai perilaku maladaptif beberapa hari sebelum diberikan intervensi, fase ini disebut dengan fase baseline yang berisi informasi mengenai tingkat dari perilaku maladaptif tersebut (Kazdin, 2005). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan penelitian multiple baseline yang merupakan sebuah desain dengan dua atau lebih baseline Pada penelitian ini menggunakan desain multiplebaseline-across-subject dimana ada beberapa orang yang akan diberikan perlakuan dan melihat sejauh mana perlakuan tersebut dapat efektif pada masing-masing subjek (Kazdin 2005). Pada rancangan penelitian multiplebaseline-across-subject, fase baseline diberlakukan pada beberapa subjek, pada penelitian ini berjumlah 6 orang dengan perilaku target yang sama yaitu kecemasan menghadapi ujian, pada fase baseline ini dilakukan pengukuran tingkat kecemasan subjek sebelum diberikan perlakuan selama beberapa hari kemudian fase treatmen dan dilanjutkan dengan fase tindak lanjut setelah beberapa waktu proses intervensi berakhir, pada fase ini kembali dilakukan
asesmen untuk melihat sejauh mana manfaat terapi. Metode Pengumpulan Data Wawancara dilakukan sebagai metode untuk melakukan asesmen pada tahap pra terapi, selama proses terapi, pasca terapi dan tindak lanjut. Wawancara pada saat praterapi dilakukan untuk mengetahui keadaan awal subyek. Wawancara dilakukan kepada subjek, dan orang-orang terdekat mereka. Wawancara ini bertujuan untuk menggali permasalahan seputar kecemasan. Wawancara juga diperlukan dalam untuk memperkuat data dari skala yang telah diisi oleh subyek. Wawancara selama proses terapi dilakukan Wawancara selama proses terapi (treatment) dilakukan untuk mengetahui apa yang dirasakan subyek, serta untuk mengetahui hambatan apa saja yang dirasakan oleh subyek, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan treatment yang diberikan oleh peneliti. Wawancara saat pasca terapi Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana progress atau perubahan yang dirasakan oleh subyek setelah perlakuan diberikan, sehingga dapat diketahui juga ada tidaknya pengaruh atau efek dari treatment tersebut. Pada tahap tindak lanjut wawancara dilakukan untuk mengetahui perkembangan kecemasan subyek setelah terapi dihentikan. Observasi dalam penelitian ini bersifat non partisipan yang berarti peneliti tidak terlibat dalam aktivitas yang diamatinya (Poerwandari, 2007). Observasi dilakukan oleh peneliti dan subyek sendiri terhadap tingkah laku yang menjadi fokus terapi. Observasi oleh peneliti terutama dilakukan pada saat pelaksanaan diskusi kelompok dalam seting terapi. Observasi yang dilakukan oleh subyek adalah dalam bentuk self monitoring pada proses terapi dan pada tahap tindak lanjut. Menurut Martin & Pear (2007), self-monitoring adalah observasi
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
44
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
langsung yang dilakukan oleh klien sendiri terhadap tingkah lakunya. Dalam penelitian ini self report dibuat oleh subyek pada saat pelaksanaan tugas restrukturisasi kognitif, setelah melakukan diskusi kelompok dan pada tahap tindak lanjut. Kuesioner yang dipakai dalam penelitian ini adalah kuesioner riwayat hidup yang memberikan data demografi seperti tempat tinggal, status perkawinan, agama dan latar belakang keluarga, kesehatan, riwayat pendidikan dan sebagainya (Martin & Pear, 2007). Kuesioner riwayat hidup diberikan kepada subyek untuk mendapatkan gambaran mengenai diri pribadi subyek secara menyeluruh dan hal-hal yang perlu digali lebih lanjut akan diperdalam melalui wawancara. Kuesioner kedua adalah berupa form evaluasi yang meliputi: (1) Penilaian subyek terhadap dirinya sendiri setelah mengikuti terapi; (2) Penilaian subyek terhadap terapi itu sendiri. Kuesioner evaluasi ini sebagai data pelengkap dari wawancara pada tahap pasca terapi, yaitu saat dilakukannya evaluasi setelah terapi dihentikan. Skala perlu diberikan untuk memperkuat data yang telah didapat, sehingga peneliti dapat memperoleh subyek yang tepat untuk terapi ini. Skala yang digunakan adalah skala kecemasan berupa Taylor Manifest Anxiety Scale (T-Mas) berisi peryataan-peryataan yang harus diisi ya atau tidak yang berjumlah 40 item. Prosedur Intervensi Tahap praterapi Tahap pra-terapi ini dibagi menjadi 2 kali pertemuan, pertemuan pertama kegiatanya adalah perkenalan dan pembentukan kelompok, masing-masing anggota menyusun tujuan kelompok serta peraturan kegiatan yang akan mereka laksanakan, memberi penjelasan tentang nama terapi yaitu terapi kelompok serta mengidentifikasi tingkat kecemasan awal
dengan skala 0- 100. Pada pertemuan kedua, terapis memberikan materi mengenai kecemasan menghadapi ujian Saat terapi Dalam penelitian ini intervensi yang digunakan adalah latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Pada kegiatan relaksasi ini jumlah pertemuan adalah 4 kali. Latihan relaksasi diajarkan 4 kali pertemuan dengan alokasi waktu 40-60 menit. Latihan relaksasi yang digunakan adalah relaksasi progresif atau otot dimana subjek dilatih untuk merasakan keadaan rileks dengan membandingkan situasi pada otot tegang dan rileks. Latihan relaksasi ini diberikan dengan tujuan mengenali simptom-simptom cemasnya sehingga dapat dikurangi Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengganti pikiran ataupun keyakinan yang irasional dan self defeating dengan pemikiran atau keyakinan yang lebih adaptif dalam rangka membantu subjek untuk mendapatkan konsekuensi yang lebih positif (Nevid, 2005). Tahap pascaterapi Kegiatan paska terapi ini kegiatanya adalah mengidentifikasi tingkat kecemasan akhir, identifikasi pemikiran negatif dan positif serta pemberian lembar evaluasi yang berisi apa saja perubahan yang telah mereka rasakan, teknik Tahap follow up Tahap ini dilakukan untuk melihat apakah hasil dari proses terapi bisa bertahan permanen, meskipun sudah tidak ada lagi penaganan. Tahap ini akan dilakukan 2 minggu setelah proses terapi berakhir. Metode Penilaian dan Pengukuran Metode penilaian dan pengukuran dalam penelitian ini menggunakan SUDS (Subjective Unit of Discomfort Scale) yaitu berupa skor tingkat kecemasan subjek 0100. Penilaian dan pengukuran ini
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
45
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
dilakukan sebelum treatment (baseline), selama terapi berlangsung, setelah terapi selesai diberikandan pada tahap follow up. Penilaian pada sesi restrukturisasi kognitif dilakukan dengan cara meilhat sejauh mana subjek dapat merubah pemikiran negatifnya menjadi pemikiran positif. Selain itu penilaian dapat dilihat dari tugas rumah yang telah mereka lakukan.
Berdasarkan hasil terapi dapat diketahui bahwa subjek mengalami perubahan yang cukup berarti setelah beberapa proses terapi. Perubahan tersebut terdiri dari penurunan tingkat kecemasan dan perubahan pikiran negatif menjadi positif. Tingkat kecemasan Gejala kecemasan dapat dikenali seiring dengan ketrampilan melakukan relaksasi dapat kecemasan dapat mereka turunkan melalui latihan relaksasi. Penurunan tingkat HASIL PENELITIAN Hasil dan analisis terapi keseluruhan kecemasan dapat dilihat mulai dari proses praterapi sampai follow up. subjek Tabel Tingkat kecemasan (praterapi-followup) Subjek Praterapi Proses terapi Pasca Follow terapi up Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 Sesi 6 Sesi 7 Sesi 8 GB 90 90 90 80 55 25 5 5 HT 90 90 85 73 45 23 10 15 DF 95 95 95 85 80 45 15 10 BC 90 90 85 75 50 30 10 5 FA 90 90 90 80 65 45 20 10 RP 95 95 90 75 65 33 10 5 Pada sesi pra terapi yaitu sesi 1 dan 2 dapat dilihat bahwa tingkat kecemasan subjek berkisar pada angka 95-90. Mulai pada sesi 3 latihan relaksasi diberikan, setelah latihan tidak banyak kemajuan yang didapat karena semua subjek masih belum terbiasa dan masih merasa kesulitan dalam mengikuti kegiatan diskusi, mulai pada sesi 4 saat restukturisasi diberikan, tingkat kecemasan subjek sudah jauh menurun ini dikarenakan selain sudah mulai terapilnya latihan relaksasi dan semakin aktifnya mereka melakukan diskusi, mereka juga sudah mampu mempraktekan restukturisasi kognitif walaupun masih banyak kendala dalam mencari pemikiran positifnya. Pada sesi 5, penurunan tingkat kecemasan subjek sudah jauh menurun dari sesi sebelumnya, hal ini seiring dengan terampilnya mereka
melakukan latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Pada sesi 6 juga tingkat kecemasan sudah jauh menurun seiring dengan keterampilan mereka melakukan proses terapi dan tugas rumah serta motivasi dari setiap anggota untuk tetap mempertahankan kemajuan yang telah mereka dapatkan. Pada sesi 7 atau paska terapi tingkat kecemasan juga semakin turun. Pikiran negatif juga dapat mereka rubah menjadi pikiran positif. Tingkat kecemasan ini juga dapat mereka pertahankan sampai fase follow up, mereka mampu menerapkan proses terapi secara mandiri dan mendapatkan hasil yang maksimal. Pemikiran dan tingkah laku positif subjek
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
46
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
Sebelum menjalani proses yang menakutkan. Perubahan pikiran yang restrukturisasi kognitif, pikiran subjek dialami dapat diketahui dari perbandingan masih menunjukan bahwa menghadapi isi pikiran sebelum dan sesudah proses ujian skripsi merupakan suatu tanda hal terapi. Tabel Pemikiran dan tingkah laku positif subjek Sub
GB
Praterapi Pemikiran negatif Apapun yang saya jawab saat ujian nanti pasti akan dibantah oleh tim penguji
Tingkah laku yang muncul Saya jadi sangat memikirkan hal tersebut sampai hal lain yang lebih penting tidak saya hiraukan
Paskaterapi Pemikiran positif
Tingkah laku yang muncul
Mereka hanya ingin mengetahui apakah saya mengerti atau tidak tentang skripsi yang saya buat
Saya memperbanyak membaca referensi, saya cemas karena sebenarnya saya kurang memahami skripsi yang saya buat sendiri.
HT
Saya benar-benar tidak suka jika ada teman-teman yang menanyakan tentang skripsi saya.
Saya berharap mereka tidak menanyakan tentang skripsi saya yang terbengkalai
Justru bagus jika ada yang membicarakan tentang skripsi siapa tahu ada teman saya yang dapat membantu
Saya tidak menghindari saat teman-teman saya bertanya mengenai skripsi karena dapat berbagi informasi
DF
Saya termasuk yang paling lambat dalam mengerjakan skripsi
Saya jadi minder, apalagi ada teman saya yang akan ujian.
Saya bisa memberanikan diri untuk bimbingan, semakin sering bombingan semakin cepat saya dapat ujian
BC
Jika teman-teman mengetahui nilai skripsi saya buruk maka banyak yang membicarakan saya.
FA
Saya sudah belajar sungguh-sungguh tetapi saat ujian nanti semua yang saya pelajari hilang Tidak ada yang benar, apapun jawaban saya pasti akan salah dimata penguji
Saya menjadi lebih sering curiga mereka membicarakan saya dari belakang walaupun saya tahu semuanya itu tidak beralasan Saya gemetar, bingung apa yang harus saya lakukan
Saya lambat karena saya malas bimbingan, selalu menunda pekerjaan akhirnya menumpuk dan membuat saya semakin malas Orang lain tidak akan membenci saya hanya karena saya tidak maksimal. Jika ada yang mengkritik itu adalah hal biasa tidak perlu terlalu dipikirkan.
RP
Saya tidak peduli apapun nilai saya, hanya belajar seadanya
Merasa gugup dan takut itu wajar, semua orang takut ujian tetapi semua harus dihadapi demi kelulusan Saya yang membuat skripsi maka saya yang paling mengetahui tentang skripsi saya, penguji tugasnya adalah menguji apakah skripsi saya layak diluluskan
Saya sudah tidak curiga lagi terhadap teman saya karena mereka tidak pernah membicarakan kejelekan saya.
Saya berlatih didapan cermin saat menjawab pertanyaan dari penguji, untuk melihat bagaimana ekspresi saya. Saya berusaha memprediksi kira-kira pertanyaan apa yang akan diajukan pennguji agar saya lebih siap.
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
47
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
PEMBAHASAN Berdasarkan data penelitian di atas menunjukan bahwa group CBT mampu mengurangi kecemasan. Group CBT ini dapat menurunkan tingkat kecemasan keenam subjek serta dapat merubah pikiran negatif mengenai menghadapi ujian skripsi menjadi pikiran yang lebih positif. Hal ini tidak terlepas dari teknik terapi yang diberikan yaitu latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif disertai dengan dinamika kelompok pada setiap sesinya. Teknik kognitif yang dikombinasikan dengan teknik behavioral sangat efektif dalam menangani gangguan kecemasan (Nevid, 2005) Keluhan awal menunjukan bahwa keenam subjek mengalami gejala-gejala kecemasan menghadapi ujian yang membuat mereka berfikiran bahwa meraka tidak dapat menjawab pertanyaan penguji dengan benar dan mempercayai bahwa ujian skripsi adalah hal yang mankutkan. Pikiran-pikiran tersebut akhirnya mempengaruhi aspek emosi mereka yaitu munculnya simptom kecemasan. Sesuai dengan pernyataan Bielling (2007) group CBT berdampak positif bagi orang-orang yang mengalami kondisi seperti kecemasan, panik, depresi, gangguan keluarga, ketergantungan, dan sejenisnya. Dinamika kelompok diterapkan mulai dari sesi pertama sampai terakhir agar anggota kelompok dapat semakin terlatih dalam mengembangkan kemampuan komunikasi mereka. Pada awal sesi mereka saling mengungkapkan dan saling bertukar gagasan tentang permasalahan mereka yaitu menghadapi ujian skripsi. Pada awalnya, memang mereka merasa canggung membeberkan masalahnya di depan kelompok. Akan tetapi, fakta bahwa mereka juga mengalami situasi yang sama membuat mereka lebih terbuka dalam mendiskusikan
masalah pribadi mereka dan yang terpenting, apa pun yang dibicarakan dalam setiap sesi akan tetap menjadi rahasia terapis dan anggota kelompok saja. Pada sesi-sesi selanjutnya seperti pada latihan relaksasi dan restruktukturisasi kognitif dinamika kelompok tetap diterapkan dengan tujuan setiap subjek dapat belajar dari keberhasilan atau hambatan dari anggota yang lain serta saling memotivasi untuk dapat melakukan proses terapi dengan lancar. Seiring dengan terlatih dalam berdiskusi, setiap anggota kelompok dapat dengan mudah mengungkapkan perasaanya, memberikan pendapat, umpan balik dan motivasi kepada anggota yang lain. Pada group CBT ini, dinamika kelompok sangat ditekankan karena dapat tercapai atau tidak suatu tujuan kelompok tergantung pada bagaimana pola komunikasi antar anggotanya (Bieling, 2007). Pola komunikasi yang baik ditandai dengan adanya saling mendukung, memberikan pendapat, masukan dan kritik (Supratiknya, 2008). Pada prosesnya mereka mampu memberikan dukungan untuk dapat melaksanakan proses terapi dengan lancar, memberikan pendapat saat anggota yang lain mengungkapkan permasalahanya, memberikan masukan saat anggota yang lain mengalami kesulitan serta memberikan kritik disaat ada anggota yang melakukan kesalahan. Teknik yang digunakan pada group CBT ini adalah latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Terapi ini berfokus untuk menurunkan tingkat kecemasan dan membantu mengidentifikasi serta memperbaiki pemikiran negatif dan tingkahlaku yang menyertainya. Emosiemosi negatif seperti kecemasan disebabkan oleh interpretasi klien terhadap peristiwa yang menggangu, bukan pada peristiwa itu sendiri. Kecenderungan untuk membesar-
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
48
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari suatu kesalahan dalam berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif (Nevid, 2005). Teknik yang pertama kali diajarkan kepada subjek adalah relaksasi. Relaksasi diberikan karena subjek mengalami gejala kecemasan, kecemasan yang mereka alami karena adanya pikiran negatif mengenai gejala-gejala kecamasan yang merasa alami. Relaksasi diberikan sebanyak 4 sesi dengan tujuan subjek dapat mempunyai ketrampilan dalam melakukan teknik tersebut. Relaksasi dilakukan selama 20-30 menit, dua kali sehari secara teratur selama dua minggu. Subjek dapat mengenali gejala-gejela cemas yang sering kali muncul seperti tegang, jantung berdetak kencang, berkeringat dingin. Hal tersebut di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Edmund Jacobson dalam Soewondo (2008) bahwa latihan relaksasi otot progresif yang dilaksanakan 20-30 menit, satu kali sehari secara teratur selama satu minggu cukup efektif dalam menurunkan kecemasan. Proses dinamika kelompok dapat terlihat dengan saling mengungkapkan apa saja yang mereka rasakan saat berlatih, mereka berdiskusi apa saja keberhasilan yang mereka dapatkan dan hambatanya, dengan begitu anggota kelompok dapat belajar dari pengalaman anggota yang lain. Begitu pula saat pengerjaan tugas rumah yang mewajibkan mereka menuliskan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah berlatih relaksasi dan apa saja hambatan dan keberhasilanya. Bieling (2007) mengungkapkan bahwa dengan berdiskusi mengenai keberhasilan dan hambatan dari subjek lain dapat membantu dalam memetik pelajaran dari beraneka ragam pengalaman serta saling membantu memecahkan masalah.
Restrukturisasi kognitif diberikan dengan alasan bahwa adanya pemikiran negatif mengenai gejala kecemasan yang kini mereka rasakan, dalam Nevid (2005) menjelaskan bahwa pola pikir yang terdistorsi atau tidak rasional dapat menyebakan masalah emosional dan perilaku tidak adaptif. Pada fase follow up dapat diketahui bahwa penurunan tingkat kecemasan dapat terus mereka pertahankan, serta pola peurunan tingkat kecemasan keenam subjek tampak sama yaitu penurunan yang sedikit demi sedikit pada awal-awal sesi kemudian penurunan semakin banyak pada sesi selanjutnya hal ini dikarenakan semakin terampilnya mereka untuk bekerja sama dan saling membantu agar tujuan dari terapi ini dapat dicapai dengan cara menerapkan dinamika kelompok seperti mengungkapkan permasalahan, pendapat, kritik dan memberikan motivasi. Menurut Walgito (2006) apabila suatu kelompok bekerja sama secara kooperatif dalam mencapai tujuan, maka masing-masing individu berperan di dalamnya. Jadi, masing-masing individu berusaha mencapai hasil yang bermanfaat bagi seluruh anggota, bukan untuk diri pribadinya. Selain penurunan tingkat kecemasan, pemikiran negatif dan tingkahlakunya juga dapat mereka ganti menjadi pikiran positif dan tingkah laku positif serta penerapan dinamika kelompok pada setiap sesi terapi sangat membantu dalam melatih keterbukaan terhadap permasalahan kecamasan yang akhirnya memunculkan sikap saling memahami, menghargai dan memotivasi membuat subjek penelitian memiliki keyakinan diri bahwa mereka dapat melalui ujian skripsi dengan lancar. Adanya perubahan yang dialami subjek tersebut tidak lepas dari motivasi yang kuat dari diri mereka masing-masing,
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
49
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
selain itu adanya dukungan dari orangorang sekitar terutama sesama anggota kelompok yang mengalami masalah yang sama membuat mereka merasakan bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi ujian dan meyakini bahwa ujian skripsi itu harus dihadapi agar segera lulus dan mendapatkan gelar S1. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahawa penerapan teknik Group Cognitive Behavior Therapy yang diberikan kepada 6 orang subjek selama 8 kali pertemuan dapat mengurangi kecemasan pada mahasiswa yang menghadapi ujian skripsi. Teknik yang digunakan adalah latihan relaksasi dan restukturisasi kognitif. Adapun perubahan-perubahan yang dialami subjek setelah mengikuti proses terapi adalah sebagai berikut : 1. Kecemasan menghadapi ujian skripsi mengalami penurunan selama menjalani proses terapi. Penerapan latihan relaksasi dan restrukturisasi kognitif sangat membantu dalam mengurangi tingkat kecemasan. 2. Pikiran-pikiran negatif subjek mengenai ujian dapat berubah menjadi pikiran positif setelah menjalani proses restrukturisasi kognitif. 3. Penerapan dinamika kelompok pada setiap sesi terapi sangat membantu dalam melatih keterbukaan terhadap permasalahan kecemasan yang akhirnya memunculkan sikap saling memahami, menghargai dan memotivasi membuat subjek penelitian memiliki keyakinan diri bahwa mereka dapat menghadapi ujian skripsi dengan lancar 4. Munculnya tingkahlaku positif dimana subjek sudah tidak lagi menghindari segala sesuatu mengenai ujian skripsi
seiring dengan pikiran positif mereka bahwa ujian skripsi bukan suatu hal yang harus ditakuti serta tidak ada lagi perilaku menghindar. SARAN Peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi subjek penelitian sebaiknya tetap menerapkan teknik terapi yang telah dilakukan secara mandiri agar hasil yang telah dicapai dapat terus dipertahankan, bahkan mungkin ditingkatkan. 2. Bagi subjek penelitian sebaiknya lebih sering berkomunikasi mengenai masalah ujian dengan pembimbing skripsi, teman-teman dan keluarga. Pengertian, penerimaan dan dukungan dari mereka sangat besar artinya bagi subjek. 3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mempertimbangkan waktu dan tempat penelitian sehingga proses terapi dapat berjalan secara maksimal serta mengalokasikan waktu lebih panjang karena adanya proses diskusi yang juga panjang. 4. Penelitian ini memberikan perlakuan berupa terapi kognitif perilaku secara kelompok, sehingga tidak diketahui bagaimana hasilnya bila dilakukan secara indiviual, diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat memberikan perlakuan berupa terapi kognitif perilaku secara individu untuk mengurangi kecemasan menghadapi ujian skripsi. 5. Penelitian ini dilakukan pada subjek yang mengalami kecemasan menghadapi ujian skripsi dan tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan pada kasus kecemasan yang lain
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
50
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 42 – 51 )
DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorders. Fourth Edition. Revised (2000). Washington, DC. Bieling, P., McCabe, R., & Antony, M., 2007. Cognitive behavioral therapy in groups. New York : Guilford Press Kazdin, A.E. (2005). Methodological issues & strategies in clinical research. Washington DC: American Psychological Association. Martin, G., & Pear, J. (2008). Behavior Modification What It Is And How To Do It. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Green, E.B. (2007). Abnormal Psychology In Changing World. 3rd edition. New Jersey: Prentice Hall Poerwandari, K. (2008). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rafika, S. 2008. Konsep dasar terapi kelompok, www.e-psikologi.com. Akses 18 November 2014 Supratiknya, A., 2008. Merancang Program dan Modul Psikoedukasi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Soewondo, S. (2008). Modul latihan relaksasi. Jakarta: Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Walgito, Bimo., 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi
* Esty Aryani Shafithry, M.Psi Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
51