BAB 2
2.1
BAHAN DAN METODE
Daerah Penelitian
Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki perairan yang jernih, tidak dalam dan tempat untuk wisata maritim terutama diving dan snorkeling (UNESCO, 2008). Di sekitar pulau terdapat gugusan terumbu karang yang disebut Gosong Semak Daun. Pulau Semak Daun dapat dicapai dengan kapal dari Pulau Pramuka, Ibukota Kepulauan Seribu. Telah banyak penelitian tentang terumbu karang dilakukan di Pulau Semak Daun sebelumnya oleh berbagai pihak akademis maupun privat. Laut Jawa Gosong Semak Daun
P. Semak Daun
P. Layar
P. Karya
P. Panggang Jakarta Jakarta
Gambar 2.1 Daerah penelitian.
2.2
Data Penelitian
Data utama yang dipakai adalah citra raw SPOT dalam empat band. Data ini meliputi daerah survei Pulau Semak Daun dan pulau-pulau sekitarnya (Gambar 2.2). Sebagai data acuan dipakai data nilai kedalaman hasil survei akustik di daerah survei (Gambar 2.3). Kedua data didapatkan dari KK Sains dan Rekayasa Hidrografi ITB. Data citra SPOT diambil pada tanggal 7 April 2003 waktu 3:33:53 UTC atau pukul 10:33:53 Waktu Indonesia Barat. Data survei hidro akustik diambil pada tanggal 10 sampai 14 Juli 2004.
6
Gambar 2.2 Citra SPOT daerah studi (Poerbandono et al., 2006).
106º34´B
106º36´BT 5º42´LS
5º44´LS
Gambar 2.3 Jalur pengambilan data survei akustik (Ilova, 2006).
Citra SPOT yang dipakai termasuk empat band raw data dalam bentuk matriks numerik. Empat band gelombang dipakai untuk memaksimalkan jarak penetrasi sensor SPOT. Zonasi kedalaman dilakukan pada tiap band untuk mengetahui batas penetrasi dari ke empat band ini. Data empat band juga dipakai untuk meminimalkan kesalahan akibat variasi materi dasar laut. Citra SPOT yang dipakai mencakup 4 band dengan rentang cakupan panjang gelombang yang berbeda-beda. Dari metadata citra diketahui statistik nilai panjang gelombang dan tingkat sensitifitas paling tinggi untuk tiap band (Tabel 2.1), dimana panjang gelombang dengan sensitifitas paling tinggi dianggap sebagai panjang gelombang optimal band itu.
7
Tabel 2.1 Statistik panjang gelombang tiap band sensor SPOT
Band
λ minimum
λ maksimum
λ efektif
Jenis gelombang
Batas penetrasi maksimum (Jupp et al., 1986).
1 2 3 4
-7
4.5×10 m -7
5.8×10 m -7
7.5×10 m -7
15×10 m
-7
6.5×10 m -7
7.4×10 m -7
9.5×10 m -7
18 ×10 m
-7
5.4× 10 m -7
6.5×10 m
Green
15m
Red
5m
-7
Near IR
1m
-7
SWIR
0.8m
8.35×10 m 16.1×10 m .
Format citra awal adalah data raw digital. Data ini perlu dikonversikan agar bisa diolah dengan bantuan MATLAB. Citra SPOT yang dipakai sudah dikalibrasikan dan dikoreksi sebelumnya, karena itu tidak diperlukan koreksi koordinat citra lagi. Citra SPOT yang digunakan setelah konversi berupa empat citra daerah survei berukuran 1400×1400 piksel dari tiap band SPOT (Gambar 2.2). Tiap piksel mewakili area seluas 10×10m. Data survei hidro akustik yang dipakai berupa tabel koordinat dan nilai kedalaman dari penelitian sebelumnya (Poerbandono et al., 2006). Data survei hidro akustik awal terdiri dari 11500 titik (Gambar 2.3) dan masih mengandung kesalahan redundansi data dan nilai data yang invalid. Karena itu sebelum penelitian dilakukan eliminasi redundansi. Setelah koreksi dihasilkan tabel koordinat dan kedalaman baru dari data 9111 titik survei akustik. Data diolah dengan bantuan MATLAB. Program ini dipakai dari tahap konversi sampai tahap analisa. Tahap penampalan citra dengan data batimetri memakai AutoCAD.
2.3
Reflektansi Cahaya dalam Sensor SPOT
Citra satelit SPOT didapatkan melalui sensor optis HRVS (High Resolution Visible Scanner). Sensor ini menunjukkan keadaan permukaan air dalam tingkat kecerahan yang berbeda. Daerah yang lebih dalam akan lebih gelap dari daerah yang dangkal (Gambar 2.2). Hal ini menunjukkan bahwa citra mengandung informasi batimetri (Melsheimer & Liew, 2001). Sensor SPOT mendapatkan data dari pantulan cahaya yang memasuki sensor. Intensitas cahaya yang memasuki sensor dipengaruhi oleh beberapa jenis pantulan, yaitu pantulan atmosfer, pantulan permukaan air, pantulan badan air, dan pantulan dasar laut (Gambar 2.4).
8
Sensor SPOT
Atmosfer
Permukaan air
Badan air
Dasar Laut Gambar 2.4 Reflektansi total yang mencapai sensor
Radiansi total yang diterima sensor (Lt) terdiri dari : Lt = La+Ls+Lw+Lb
(2.1)
dengan Lt = pantulan total, La = pantulan atmosfer, Ls = pantulan permukaan, Lw = pantulan badan air, dan Lb = pantulan dasar laut. Dalam tugas akhir ini radiansi total selain pantulan dasar laut dianggap konstan untuk seluruh daerah survei dan diukur dengan penerapan hukum Beer Lambert untuk pengukuran batimetri (Melsheimer & Liew, 2001). Hukum Beer Lambert menjelaskan perubahan intensitas cahaya ketika melewati suatu medium dengan kepadatan tertentu dan jarak tertentu (Gambar 2.5). Hukum Beer Lambert telah dipakai secara luas dalam bidang geofisika dan kimia untuk menjelaskan tingkat penyerapan cahaya dari berbagai materi dan penerapannya dalam mengidentifikasi status kimia dari materi tersebut.
9
c,α
I0
I1 l Gambar 2.5 Model hukum Beer Lambert.
Secara umum hukum ini dapat dinyatakan sebagai (Wind & Szymanski, 2002): T=
I1 = 10 − A = 10 − α lc I2
dengan A = Penyerapan materi = log10
(2.2) I0 4 πk , α = koefisien penyerapan materi = , I1 λ
l = jarak tempuh cahaya dalam materi, c = konsentrasi jenis materi, λ = panjang
gelombang, k = koefisien transparansi cahaya, I0 = intensitas cahaya awal, dan I1 = intensitas cahaya setelah melewati materi. Dalam hukum ini terdapat dua hubungan logaritmik. Pertama adalah pengaruh kepadatan materi terhadap intensitas cahaya yang melewati materi. Kedua adalah pengaruh jarak yang ditempuh cahaya terhadap intensitas cahaya yang melewati materi. Hukum Beer Lambert dapat diterapkan untuk menjelaskan perubahan intensitas cahaya matahari dari sumbernya hingga permukaan bumi. Hukum ini dapat ditulis sebagai berikut (Melsheimer & Liew, 2001): Ls(z) = Ced(0-)(Ab-ρ∞)exp(-gz)+Ced(0-)ρ∞+Lsg+Lpath dengan Ls(z)
= Intensitas cahaya yang mencapai kedalaman z.
C
= faktor transmisi untuk atmosfer dan permukaan air.
ed(0-)
= penetrasi cahaya sesaat di bawah permukaan air.
10
(2.3)
Ab
= tingkat reflektansi dasar laut (albedo) yang dianggap konstan.
= reflektansi iradians optis dari perairan dalam.
g
= koefisien atenuasi yang diasumsikan konstan di daerah survei.
Lsg
= noise cahaya dari matahari dan langit.
Lpath
= jalur radiansi (cahaya yang dibiaskan ke sensor oleh atmosfer).
2.4
Ekstraksi Data Batimetri dari Citra SPOT
Berdasarkan hukum Beer Lambert, intensitas cahaya yang melalui suatu materi akan terus berkurang dan menghilang jika mencapai batas jarak tertentu atau mencapai tingkat kepadatan yang sangat tinggi (permukaan bumi atau dasar laut). Hilangnya intensitas cahaya karena jarak harus dieliminasi agar didapatkan pantulan dasar laut. Untuk itu harus diketahui batas penetrasi cahaya terhadap kolom air. Metode Jupp dipakai untuk menentukan batas penetrasi gelombang ini (Green et al., 2000). Dalam tugas akhir ini dipakai data dari empat band gelombang, maka untuk zonasi kedalaman empat band harus dicari empat zona kedalaman (Gambar 2.6). gelombang cahaya permukaan Laut
band1
band2
band3 band4
Dasar Laut
Gambar 2.6 Zonasi daerah penetrasi gelombang.
Metode Jupp pada dasarnya adalah perhitungan zona kedalaman (Green et al.,2000). Batas kedalaman ditandai ketika perbandingan nilai digital dengan nilai kedalaman 11
mulai tidak teratur. Pada saat penurunan nilai digital mulai tidak idak teratur terhadap kedalaman berarti cahaya sudah mencapai batas penetrasi, penetrasi artinya rtinya cahaya tidak sensitif lagi terhadap kedalaman. Untuk U melihat pola penurunan ini,, dibuat plot nilai digital terhadap kedalaman. Metode Jupp dipakai untuk mendapatkan nilai digital pada batas tiap zona. Menurut Melsheimer & Liew (2001), jika nilai-nilai nilai batas penetrasi maksimum ini diketahui maka nilai digital piksel dianggap sama dengan reflektansi yang ditangkap sensor ( R )dan nilai digital pada kedalaman tertentu z dapat dicari dari turunan rumus Beer Lambert dengan:
1 z = − (log[R(z) − R(∞)] − log[R(0) − R(∞)]) g
(2.4)
dengan R(z) = R pada kedalaman z, R(0) = R pada permukaan laut, R(∞) = R pada batas penetrasi, dan g = nilai konstanta atenuasi. Persamaan inilah yang akan dipakai untuk konversi nilai digital citra menjadi nilai kedalaman. Data yang akan dipakai sebagai acuan adalah data survei hidro akustik di daerah Pulau Semak Daun (Poerbandono et al., 2006). Data ini diambil dengan menggunakan
echosounder (Gambar 2.7). Data diambil sepanjang jalur pemeruman sejumlah 9111 titik.
Gambar 2.7 Metode survei dengan echosounder (NOAA, 2008).
12
Data survei hidro akustik mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan data survei akustik berasal dari echosounder, termasuk kemungkinan kesalahan dalam sudut pantul sinyal, pantulan oleh badan air atau benda di dalamnya, dan kesalahan waktu penerimaan sinyal. Tingkat ketelitian data survei akustik yang dipakai adalah 0.5m sesuai spesifikasi ketelitian orde satu. Tingkat ketelitian orde satu adalah standar ketelitian pengukuran untuk kedalaman dibawah 100m berdasarkan IHO (1998). Ketelitian ini merupakan fungsi kedalaman yang dinyatakan sebagai :
a 2 + (b *d)2
(2.5)
dengan a = kesalahan konstan = 0.5, b = kesalahan variabel = 0.013, dan d = nilai kedalaman. Sehingga didapatkan nilai toleransi orde satu untuk survei kali ini sebesar 0.50m. nilai d diambil 4.5 untuk menyesuaikan dengan nilai survei hidro akustik terdalam yang
dipakai dalam analisa akhir. Data survei akustik akan dipakai sebagai nilai acuan kedalaman dan dianggap sebagai nilai kedalaman yang benar.
2.5
Klasifikasi Citra untuk Deteksi Jenis Dasar Perairan
Analisa zonasi materi di daerah survei akan dilakukan dengan metode unsupervised
classification. Unsupervised classification berarti klasifikasi dilakukan tanpa kontrol nilai koreksi kolom air, muka air dan kondisi atmosfer. Dalam klasifikasi ini area citra akan dibagi ke dalam zona-zona berdasarkan nilai digital pikselnya. Daerah dengan materi yang sama akan berada pada zona dengan warna yang sama. Hasil klasifikasi akan menunjukkan pola jenis tutupan dasar perairan dalam daerah dalam citra SPOT.
2.6
Penampalan Hasil Klasifikasi Citra dengan Deviasi Kedalaman
Dari klasifikasi citra akan diketahui jenis tutupan dasar perairan. Data kedalaman titik-titik survei akustik akan dibagi ke dalam tiga kelas berdasarkan deviasi kedalaman hasil konversi citra terhadap kedalaman hasil survei akustik. Tingkat deviasi tiap titik akan ditentukan dengan nilai batas 0.61m. Nilai 0.61 ini diambil dari kesalahan absolut rata-rata untuk perbandingan kedalaman titik pada lajur perum silang dan perum utama (Pratomo et al., 2006). Hasil klasifikasi citra akan ditampalkan dengan ketiga kelas titik-titik survei. Dari hasil penampalan akan dilihat kesesuaian deviasi titik-titik survei dengan jenis tutupan dasar perairan. 13