GOING CONCERN AUDIT OPINIONS Galuh Artika Febriyanti Magister Sains Univ. Gadjah Mada Abstrak Tulisan ini berusaha untuk mengkaji bagaimana model untuk memprediksi kebangkrutan dan mengembangkan kriteria yang bisa membantu auditor dalam mengidentifikasikan situasi dimana status perusahaan untuk going concern diragukan dengan menganalisa hubungan diantara kebangkrutan perusahaan dan laporan awal auditor tentang kebangkrutan. Auditor cukup sulit untuk bisa memprediksi asumsi going concern, karena itu di dalam melakukan perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat kejadian atau kondisi yang meragukan secara signifikan yang nantinya dapat mempengaruhi perusahaan dalam going concern. Keywords: Auditor, Audit, Going Concern Opinion,
Pendahuluan Going concern dan subyek lain untuk memberikan opini telah menjadi fokus perdebatan sejak tahun 1977 ketika Auditing Standards Executive Committee (AudSEC) berusaha untuk menghilangkan subyek kebebasan berpendapat dan sampai saat ini, ketika Auditing Standards Board (ASB) merevisi Statement on Auditing Standards (SAS) No. 34, “The Auditor’s Considerations When a Question Arises About An Entity’s Continued Existence”. Selama tahun tersebut publik telah meminta lebih banyak informasi tentang kemungkinan adanya pelaporan entitas. Munculnya clean opinion terhadap perusahaan yang mengalami kegagalan telah diintepretasikan baik oleh pers keuangan dan kongres sebagai bukti adanya masalah yang serius dalam profesi audit. Kritik terhadap auditing adalah bukti kegagalan audit yang disebabkan oleh kurangnya kualitas audit secara keseluruhan dan atau masalah yang berkaitan dengan independensi. Auditor secara konsisten memodifikasi laporan perusahaan yang banyak mengalami tekanan dan menetapkan laporan yang tidak dimodifikasi untuk perusahaan yang kurang mengalami tekanan.
Untuk mengukur informasi dalam laporan keuangan maka kita harus mempertimbangkan posisi keuangan dari suatu perusahaan dan hasil kegiatan operasinya. Laporan auditor menambah dimensi kualitatif terhadap informasi tersebut. Auditor sebagai penengah diantara pembuat laporan keuangan dan pemakai laporan keuangan tersebut. Tujuan dari laporan keuangan adalah menghasilkan informasi yang berguna untuk membuat keputusan ekonomik. Evaluasi terhadap going concern perusahaan dapat menyajikan masalah yang signifikan bagi auditor. Jika indikasi dari likuidasi muncul, penilaian harus dibuat sebagai kemungkinan melanjutkan kegiatan operasi. Praktisi akuntansi dan peneliti mengakui perlunya alat audit yang reliable untuk menilai auditor dalam evaluasi mereka terhadap pertanyaan going concern. Asumsi going concern merupakan hal yang fundamental dalam mempersiapkan laporan keuangan berdasarkan GAAP. Postulat menyebutkan bahwa jika tidak ada bukti yang berlawanan, maka perusahaan seharusnya dipandang sebagai sisa dari kegiatan operasi (AICPA 1988b). Secara umum auditor tidak menghalangi masalah opini audit yang tidak umum dalam situasi dimana asumsi going concern adalah valid. Auditor mempunyai tugas untuk menilai status keuangan klien dan memodifikasi laporan audit untuk ketidakpastian yang mungkin mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan tentang going concern (SAS 59, 1988). Menurut LaSalle et al (1996), ada dua proses untuk menggambarkan keputusan going concern. Tahap pertama adalah pengakuan auditor bahwa entitas mempunyai masalah yang potensial dengan ketidakpastian going concern. Sedangkan tahap yang kedua adalah menentukan apakah entitas yang mempunyai masalah going concern seharusnya menetapkan laporan audit going concern. Bagaimanapun, sekilas auditor mempunyai ketentuan apakah laporan audit going concern harus ditetapkan, auditor perlu untuk memutuskan apakah modifikasian laporan yang tidak wajar atau ditolak adalah lebih tepat. Dalam studi eksperimental, Kida (1980) telah menguji apakah tindakan untuk menetapkan laporan going concern semata-mata merupakan suatu fungsi kemampuan auditor untuk memprediksi kebangkrutan kliennya. Kida telah
memisahkan penilaian klien terhadap masalah kelanjutan usaha klien dari keputusan pelaporan auditor dengan menunjukkan bahwa auditor mungkin, untuk alasan strategik, tidak memilih untuk menetapkan pendapat going concern meskipun ia yakin kegiatan operasi kliennya tidak akan bertahan.
Latar Belakang Sejarah Going concern telah menjadi akar dari asumsi dasar terhadap pertanyaan tentang penilaian akuntansi mana yang menjadi dasar dari going concern. Paton (1922) dalam bukunya yang berjudul Accounting Theory, menyatakan going concern sebagai postulat kedua, dan merupakan asumsi kebijakan yang hanya bisa dimulai oleh akuntan. Dengan kata lain, tanpa akuntan maka tidak ada yang mampu untuk memulai asumsi going concern. Pemisahan perhatian formal pertama yang telah dilakukan terhadap kepastian going concern adalah “Statement on Auditing Standards” (SAS) No. 2 (1974) yang menyimpulkan bahwa pertimbangan ketidakpastian suatu kemampuan entitas untuk berlanjut seharusnya dilaporkan dengan cara yang sama seperti ketidakpastian lainnya. Pada tahun 1981, the Auditing Standards Board menetapkan SAS No. 34, “The Auditor’s Consideration When a Question Arises About an Entity’s Continued Existence,” untuk menyediakan petunjuk operasional bagi auditor ketika pertanyaan tentang kelanjutan perusahaan muncul. Berdasarkan dengan pernyataan bahwa laporan dimodifikasi untuk ketidakpastian going concern, SAS No. 34 mempertahankan subyek yang memenuhi kualifikasi. Walaupun begitu, berdasarkan SAS No. 34, auditor diminta untuk mempertimbangkan masalah going concern hanya ketika hasil dari prosedur audit lain selanjutnya menimbulkan informasi yang berlawanan dengan munculnya kelangsungan entitas. Tetapi SAS No. 34 hanya bersifat pasif sehingga auditor tidak diminta untuk mencari bahan bukti yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan, sehingga pada akhirnya going concern masih menjadi asumsi. Setelah melakukan pertimbangan, the Auditing Standards Board pada tahun 1988 menetapkan SAS No. 59, “The Auditor’s Consideration of an Entity’s
Ability to Continue as a Going Concern,” sebagai salah satu dari sembilan SASs yang mengarahkan pada expectation gap. SAS No. 59 mengganti subyek terhadap qualified opinion dengan paragraph penjelas yang mengikuti atau memodifikasi laporan. Bagaimanapun, pengaruh utama dari SAS No. 59 adalah bahwa auditor diminta untuk mengambil pendekatan yang lebih proaktif terhadap pemikiran going concern. Sekarang auditor mempunyai tanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesalahan yang substansial mengenai kemampuan perusahaan untuk berlanjut dalam periode waktu yang masuk akal, tidak lebih dari satu tahun melebihi tanggal laporan keuangan. Kemudian auditor mempunyai tugas afirmatif untuk mempertimbangkan dengan hati-hati kondisi dan peristiwa (trend negatif dan kemungkinan kesulitan keuangan) yang mungkin dapat mempengaruhi status going concern. Jika pengujian dan mencari bukti lain telah dilakukan tetapi auditor masih mempunyai kesalahan yang substansial tentang kemampuan klien untuk berlanjut sebagai going concern, maka laporan modifikasian dengan paragraph penjelas tentang going concern harus ditambahkan. Pada akhirnya, SAS No. 59 sebagai standar auditing yang baru membawa banyak perubahan dibandingkan standar terdahulu dengan cara (Goodman et al. 2003): 1. Deteksi. Auditor mempunyai kewajiban untuk membuat penilaian pada kesimpulan dari audit terhadap kemampuan klien untuk berlanjut sebagai going concern. 2. Periode waktu. Fokus penilaian auditor terhadap penilaian klien untuk berlanjut sebagai going concern berdasarkan pada periode waktu yang layak yaitu selama satu tahun. 3. Evaluasi. Pada masa lalu, keputusan untuk memodifikasi laporan audit tergantung pada kemampuan untuk memperoleh kembali asset, pengakuan dan klasifikasi utang. Saat ini, status going concern adalah masalah yang terpisah. 4. Pelaporan. Subyek kualifikasi seharusnya digantikan dengan paragraph penjelas untuk seluruh ketidakpastian yang material termasuk ketidakpastian going concern, meskipun penggunaan ditolak tidak dihindari.
Auditor dan Going Concern Opinion Tugas auditor adalah menilai laporan keuangan perusahaan dan memberikan pendapat atas laporan keuangan tersebut. pendapat yang diberikan menyangkut semua hal yang material dalam laporan keuangan misalnya posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Setelah memberikan pendapatnya, maka auditor harus bertanggungjawab. Pertanggungjawaban tersebut diukur dari patuh tidaknya auditor mengikuti standar-standar yang mengatur pelaksanaan tugasnya. Tetapi tentu saja tugas auditor tidak hanya memberikan pandapat atas laporan keuangan perusahaan. Auditor juga dituntut untuk mengetahui masalah yang berhubungan dengan kontinuitas
perusahaan. Masalah kontinuitas
perusahaan penting untuk diketahui auditor karena laporan keuangan disusun dengan melihat aktivitas yang dilakukan perusahaan. Oleh karena itu, masalah kelangsungan hidup juga perlu diaudit. Tanggung jawab auditor ini terasa sangat berat karena auditor dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab jika di kemudian hari ternyata perusahaan yang diauditnya mengalami kebangkrutan. Dalam melakukan audit keuangan, auditor tidak hanya menilai ketaatan dalam penggunaan prinsip akuntansi untuk penyusunan laporan keuangan, tapi turut juga menilai aspek wajar dan logis dari transaksi yang terjadi dalam laporan keuangan. Menurut Kel dkk (1989) dalam Ishak (1999) mengingatkan bahwa kewajaran penyajian laporan keuangan tidak menjamin kalau keuangan suatu entitas baik. Oleh karena itu, walaupun pihak klien yang yang bertanggung jawab atas laporan keuangan telah menyusun laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum, dan juga telah diterapkan dengan konsisten, belum menjamin kalau hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidup entitas klien dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan standar professional (PSA No. 30 dalam Altman dan McGough (1974)), auditor bertanggung jawab untuk menilai empat kondisi atau kejadian dalam menentukan tingkat going concern kliennya, yaitu: 1. Trend negatif
Misalnya kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan utama yang jelek. 2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan Misalnya kegagalan memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian serupa, penunggakan pembayaran deviden, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang, tidak dipenuhinya persyaratan permodalan menurut undang-undang (seperti pasal 47 KUHP), kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pembelanjaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva. 3. Masalah intern Sebagai contoh pemogokan kerja atau kesulitan hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi. 4. Masalah luar yang telah terjadi Sebagai contoh, pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan satuan usaha untuk beroperasi, kehilangan franchise, lisensi, atau paten yang penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akan bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan tetapi dengan pertanggungan rendah. Tucker dan Matsumura (1996) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh insentif ekonomik pada hubungan strategik diantara auditor dan klien ketika situasi going concern muncul. Auditor menghasilkan informasi yang relevan dalam memprediksi kelangsungan hidup perusahaan dan kemudian menyampaikannya kepada klien dengan maksud menyatakan pendapat yang baik atau pendapat going concern. Klien dapat mengganti auditor dalam usaha untuk menghindari pendapat going concern dan sifat self-fulfilling dari prediksi auditor terhadap penghentian bisnis.
Model Keuangan Untuk Memprediksi dan Mengevaluasi Kebangkrutan SAS No. 59 menghendaki auditor untuk mengambil peran aktif dalam evaluasi mereka terhadap kemampuan perusahaan untuk going concern. Raghunandan dan Rama (1995) menyatakan bahwa meningkatnya tanggungjawab auditor juga meningkatkan biaya yang berhubungan dengan menetapkan opini bukan going concern untuk perusahaan yang kemudian gagal. Altman (1968) menggunakan model diskriminan berganda untuk menilai kebangkrutan perusahaan. Dengan menggunakan metode tersebut maka akan banyak manfaat yang akan diperoleh oleh banker, manager kredit, eksekutif dan investor. Penilaian auditor untuk menetapkan going concern merupakan proses yang kompleks yang dapat berguna membantu membuat keputusan (Paquette dan Skender, 1996). Altman dan McGough (1974) menyatakan bahwa model prediksi kebangkrutan mungkin membantu auditor menilai kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usaha seperti going concern dengan menyiagakan auditor untuk masalah tertentu yang mungkin susah dideteksi dengan menggunakan prosedur auditing model tradisional. Pada akhir tahun 1950-an telah muncul studi yang secara periodik menguji informasi keuangan perusahaan perusahaan utamanya kemampuan untuk memprediksi kegagalan perusahaan. Studi tersebut menguji rasio informasi keuangan untuk perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut dengan ketepatan prediksi mereka. Kebanyakan studi sebelumnya menggunakan pendekatan one variable at a time dan univariate yang menyatakan bahwa ukuran tertentu hampir tepat dalam memprediksi kegagalan selama awal lima tahun bangkrut (Beaver 1967). Pada tahun 1968, peneliti menyajikan model yang menggunakan banyak rasio keuangan pada waktu yang bersamaan. Pendekatan tersebut disebut pendekatan multivariate. Rasio keuangan dikombinasikan dan dianalisa dengan prosedur statistik yang disebut analisa diskriminan. Tujuannya adalah untuk membedakan diantara sampel perusahaan yang bangkrut dan sampel perusahaan yang sehat. Model linear dikembangkan untuk lima rasio keuangan yang sangat tepat dibebankan untuk memaksimalkan kekuatan prediktif dari model pada waktu yang bersamaan mengikuti asumsi statistik yang perlu (Altman et al, 1974).
Grice (2002) telah melakukan penelitian untuk menguji model keuangan untuk memprediksi kebangkrutan sebelum dan sesudah SAS No. 59. sampel diambil pada tahun 1985-1987 dan 1988-1991 dengan memasukkan perusahaan yang sedang mengalami tekanan. Hasil studi menyatakan bahwa konsistensi diantara pendapat auditor dan prediksi model tidak berubah setelah ditetapkannya SAS No. 59. Bukti lain bahwa model prediksi kebangkrutan mungkin berguna untuk auditor dalam membuat penilaian going concern dihasilkan oleh Hopwood dkk (1994), Koh (1991), Levitan dan Knoblett (1985), Altman (1982) dan Deakin (1977). Lennox (1999) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi dan menjelaskan
keakurasian
dan
keinformasian
laporan
audit
dalam
mengidentifikasikan kegagalan perusahaan. Lennox juga membandingkan antara model kebangkrutan dan pelaporan audit untuk menjelaskan mengapa laporan audit bukan signal yang tepat terhadap adanya tekanan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhatian publik terhadap akurasi dan kandungan informasi mungkin dijustifikasi. Selain itu ternyata model kebangkrutan dapat lebih akurat dibandingkan dengan laporan audit, karena laporan audit tidak merefleksikan informasi yang tersedia secara publik tentang tekanan keuangan. Alasan kedua adalah keterlambatan laporan audit adalah penentu penting dari pelaporan audit tapi tidak membantu mengidentifikasikan kegagalan perusahaan, oleh karena itu persistensi dalam pelaporan juga mengurangi keakurasian pelaporan audit.
Tanggung Jawab Auditor dan Hubungan Dengan Konsep Going Concern Pada bulan Juni 1999, International Auditing Practices Committee (IAPC) melakukan revisi terhadap ISA 570 tentang tanggung jawab auditor terhadap laporan keuangan yang berhubungan dengan asumsi going concern yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. Asumsi going concern merupakan prinsip yang fundamental di dalam penyajian laporan keuangan. Karena itu ISA mengakui bahwa manajemen yang mempunyai tanggung jawab untuk menilai kemampuan entitasnya dalam melanjutkan usahanya (going concern), walaupun hal ini tidak terdapat dalam kerangka dasar penyajian laporan keuangan.
Management Assesment mungkin tidak selalu meliputi analisis secara detail, khususnya tentang kegiatan operasi yang profitable dan merupakan sumbersumber keuangan. Terlepas dari hal diatas, Management Assesment tetap merupakan kunci bagi auditor atas asumsi going concern. Tanggung jawab auditor adalah mempertimbangkan appropriateness atas asumsi going concern yang digunakan manajemen didalam penyajian laporan keuangan, dan mempertimbangkan apakah terdapat ketidakpastian yang material mengenai kemampuan entitas bisnis dalam melanjutkan usahanya yang tercermin dari
laporan
keuangan
yang disajikan.
Tentunya
auditor
tidak
dapat
memprediksikan kejadian atau kondisi yang terjadi di masa yang akan datang yang berhubungan dengan kelanjutan usahanya. Karenanya, audit report tidak dapat memberikan jaminan bahwa entitas akan mampu going concern. ISA merekomendasikan bahwa didalam melakukan perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat kejadian atau kondisi yang meragukan secara signifikan yang nantinya dapat mempengaruhi perusahaan dalam going concern. Jika meragukan, maka auditor harus memasukkannya ke dalam komponen audit risk dan merencanakan prosedur auditnya. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa taksiran manajemen sangatlah penting bagi auditor dan auditor melakukan penilaian assessment management melalui pertimbangan dan proses manajemen yang dilakukan disertai asumsi yang dipakai dan rencana manajemen ke depan. Auditor juga harus mempertimbangkan apakah manajemen sudah memasukkan semua perkiraan ke dalam informasi yang relevan dan telah diidentifikasikan sebagai hasil dari prosedur
auditnya.
Significance
terhadap
kejadian-kejadian
yang
sudah
diidentifikasikan atau kondisi penilaian maka auditor menggunakan periode assessment yang sama dengan yang digunakan oleh manajemen. Bagaimanapun, periode yang paling minimum adalah 12 bulan dari tanggal neraca, dan auditor dapat meminta manajemen untuk memperluas periode penilaiannya apabila penilaian mereka tercover dalam periode yang lebih pendek. Auditor juga meneliti kejadian atau transaksi-transaksi manajemen selama periode penilaian, dan mungkin juga perlu bertanya kepada manajemen untuk menentukan potential
kelanjutan usaha mereka. Apabila hasil dari prosedur diatas memperlihatkan adanya kondisi atau kejadian yang meragukan secara signifikan terhadap kelangsungan usaha, maka auditor harus mereview perencanaan manajemen mengenai kegiatannya kedepan dan melihat representasi tertulis dari mereka serta mengumpulkan bukti-bukti untuk mengkonfirmasikan apakah ketidakpastian yang eksis itu material atau tidak.
Pedoman Pelaporan ISA juga memberikan pedoman pelaporan. Apakah laporan auditor akan menambah satu paragraph atau memberikan qualified opinion atau adverse opinion, tergantung pada apakah laporan keuangan benar-benar fully disclose atau tidak, terhadap kondisi atau kejadian yang mengandung ketidakpastian yang material tersebut. Apabila asumsi going concern sudah dimasukkan kedalam laporan keuangannya tetapi tidak tepat, maka auditor akan memberikan adverse opinion. Selain itu, auditor mungkin perlu menanyakan kepada manajemen untuk memperluas penilaiannya. Apabila manajemen tidak berkeinginan untuk melakukannya, hal itu bukan tanggung jawab auditor untuk meralatnya dan auditor harus mempertimbangkan keperluan untuk memodifikasikan laporannya karena ketidakcukupan bukti yang tepat.
Rekomendasi Bagi Profesi Pedoman standar auditing baru yang mempertimbangkan ”An Entity’s Ability to Continue as a Going Concern” tidak dapat memenuhi subyektivitas dan ketidakkonsistenan aplikasi dari kesalahan substansial atau terbatas hanya untuk periode waktu satu tahun. Hal itu merupakan tanggung jawab auditor untuk secara obyektif membatasi expectation gap dengan memberikan peringatan awal terhadap masalah kesulitan keuangan perusahaan. Pendekatan proaktif yang lebih konservatif menghendaki auditor untuk memasukkan pengakuan tentang kesulitan keuangan dalam pedomannya untuk mempertimbangkan going concern. Model yang ada dan terus dikembangkan secara statistik memprediksi kesulitan
keuangan perusahaan ditetapkan diantara kesehatan keuangan dan kebangkrutan (Cormier dkk 1995). Usul untuk merevisi pedoman standar audit tentang going concern, menghendaki auditor untuk mengkomunikasikan penilaian mereka terhadap kemampuan perusahaan untuk bertahan. Analisa statistik yang dikombinasikan dengan faktor-faktor kualitatif dan memasukkan laporan audit sebagai bagian dari diskusi dan analisa auditor terhadap kondisi keuangan perusahaan. Sebagai tambahan, standar audit going concern seharusnya memerlukan diskusi yang mengarah pada fleksibilitas keuangan dan kualitas laba. Fleksibilitas keuangan merupakan kemampuan perusahaan untuk memperbaiki tekanan arus kas.
Kesimpulan Going concern opinions telah menjadi perdebatan yang sangat menarik akhir-akhir ini. Asumsi going concern merupakan hal yang fundamental dalam mempersiapkan laporan keuangan berdasarkan GAAP. Auditor mempunyai tugas untuk menilai status keuangan klien dan memodifikasi laporan audit untuk ketidakpastian yang mungkin mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan seperti going concern. Menurut LaSalle dkk (1996), ada dua proses untuk menggambarkan keputusan going concern. Tahap pertama adalah pengakuan auditor bahwa entitas mempunyai masalah yang potensial dengan ketidakpastian going concern. Sedangkan tahap yang kedua adalah menentukan apakah entitas yang mempunyai masalah going concern seharusnya menetapkan laporan audit going concern. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana model untuk memprediksi kebangkrutan dan mengembangkan kriteria yang bisa membantu auditor dalam mengidentifikasikan situasi dimana status perusahaan sebagai going concern disangsikan dengan menganalisa hubungan diantara kebangkrutan perusahaan dan laporan awal auditor tentang kebangkrutan. Pada tahun 1981, the Auditing Standards Board menetapkan SAS No. 34, “The Auditor’s Consideration When a Question Arises About an Entity’s Continued Existence,” untuk menyediakan petunjuk operasional bagi auditor ketika
pertanyaan tentang kelanjutan perusahaan muncul. Tetapi SAS No. 34 hanya bersifat pasif sehingga auditor tidak diminta untuk mencari bahan bukti yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan, sehingga pada akhirnya going concern masih menjadi asumsi. The Auditing Standards Board pada tahun 1988 menetapkan SAS No. 59, “The Auditor’s Consideration of an Entity’s Ability to Continue as a Going Concern.” Sebagai salah satu dari sembilan SASs yang mengarahkan pada expectation gap. pengaruh utama dari SAS No. 59 adalah bahwa auditor diminta untuk mengambil pendekatan yang lebih proaktif terhadap pemikiran going concern. Banyak model keuangan yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti untuk memprediksi dan mengevaluasi kebangrutan. Pada akhir tahun 1950-an telah muncul studi yang secara periodik yang menguji informasi keuangan perusahaan perusahaan dalam rangka untuk menilai kemampuan memprediksi kegagalan perusahaan. Studi tersebut menguji rasio informasi keuangan untuk perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut dengan ketepatan prediksi mereka. Pada akhirnya, memang sulit untuk bisa memprediksi asumsi going concern. Hal ini terjadi karena auditor tidak mampu memprediksi kondisi atau kejadian apa yang akan terjadi di masa yang akan datang yang akan mengancam kelangsungan hidup entitas. Oleh karena itu di dalam melakukan perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat kejadian atau kondisi yang meragukan secara signifikan yang nantinya dapat mempengaruhi perusahaan dalam going concern. Jika ada, maka auditor harus memasukkannya ke dalam komponen audit risk dan merencanakan prosedur auditnya.
DAFTAR PUSTAKA
AICPA, 1981, “The Auditor’s Consideration When a Question Arises About an Entity’s Continued Existence,” SAS No. 34 (March), New York: AICPA AICPA, 1988a, Analytical Procedures, SAS No. 56 (April), New York: AICPA AICPA, 1988b, “The Auditor’s Consideration of an Entity’s Ability to Continue as a Going Concern,” SAS No. 59 (April), New York: AICPA Altman, E. I. and T. McGough, 1994, “Evaluation of a Company as a Going Concern,” Journal of Accountancy (December): 50-57 Altman, E.I., 1968, “Financial ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy,” The Journal of Finance (September): 589-609 Altman, E.I., 1982, “Accounting Implications of Failure Predictions Models,” Journal of Accounting, Auditing, and Finance (Fall): 4-19 Asare, S.K., 1990, “The Auditor’s Going Concern Decisions: A Review and Implications for Future Research,” Journal of Accounting Literature: 39-64 Asare, S.K., 1992, “The Auditor’s Going Concern Opinion: Interaction of Task Variables and the Sequential Processing of Evidence,” The Accounting Review: 379-393 W. Beaver, 1966, “Financial Ratios as Predictors of Failures,” Empirical Research in Accounting, Selected Studies, in Supplement to The Journal of Accounting Research (January): 71-111 Campbell, E.J., and Mutchler, F.J., 1988, “The Expectation Gap and Going Concern Uncertainties,” Accounting Horizons (March) Carcello, J.V., and Z.V. Palmrose, 1994, “Auditor Litigation and Modified Reporting on Bankrupt Clients,” Supplement to Journal of accounting Research: 1-30 Carcello, J.V., Hermanson, D.R., and Huss, H.F, 2000, “Going Concern Opinions: The Effects of Partner Compensation Plans and Client Size,” Auditing: a Journal of Practice & Theory Vol. 19. No. 1 (Spring)
Cormier, D., M. Magnan, and B. Morard., 1995, “The Auditor’s Consideration of the Going Concern Assumption: A Diagnostic Model,” Journal of Accounting, Auditing, & Finance (Spring): 24-31 Deakin, E.B., 1977, “Business Failure Prediction: An Empirical Analysis,” In Financial Crisis: Institutions and Markets in a Fragile Environment, edited by E.I. Altman and A.W. Sametz, New York: John Wilet & Sons: 72-98 Ellingson, J.E., K. Pany, and P. Fagan., 1989, “SAS No. 59: How to Evaluate Going Concern,” Journal of Accountancy (January): 24-31 Fremgen, J.M., 1968, “The Going Concern Assumption: A Critical Appraisal,” Accounting Review (October): 649-656 Goodman, L., Anandarajan A., Kleinman G. and Palmon., 2003, ”International Research Implication for Academicians and Standard Setters on Going Concern Reporting: Evidence from The United States,” Working Papers, New Jersey Institute of Technology, Dickinson University, Grice, S.J., 2002, “Bankruptcy Prediction Models and Going Concern Audit Opinions Before and After SAS No. 59,” Internet Hopwood, W., McKeown, J.C., and Mutchler, J.F., 1994, “A Reexamination of Auditor Versus Model Accuracy within the Context of the Going Concern Opinion Decisions,” Contemporary Accounting Research (Spring): 409-431 Ishak M., 1999, “Going Concern dan Tanggung Jawab Auditor,” Media Akuntansi, Edisi 02 (Agustus), X-XIV Kida, T., 1980, “An Investigation Into Auditor’s Continuity and Related Qualification Judgments,” Journal of Accounting Research (Autumn): 506-523 Koh, H.C., 1991, “Model Predictions and Auditor Assessments of Going Concern Status,” Accounting and Business Research (Vol. 21): 331-338 LaSalle, R.E, and Anandaragan, 1996, “A. Auditor’s Views on the Type of Audit Report Issued to Entitas with Going Concern Uncertainties,” Accounting Horizons (June), 51-72 Lennox, C.S, 1999, “Going Concern Opinions in Failing Companies: Auditor Dependence and Opinion shopping,” Working Paper, University of Bristol
Levitan, A.S. and Knoblett, J.A., 1985, “Indicators of Exceptions to the Going Concern Assumption,” Auditing: A Journal of Practice and Theory (Fall): 26-39 Manao, H. and Nursetyo, Y., 2002, “An Audit Quality Comparison Between Large and Small CPA Firms In Indonesia In the Context of Going Concern Opinion: Evidence based on Auditees’ Financial Ratios,” Simposium Nasional Akuntansi V Paquette, L.R. and Skender, C.J., 1996, “Using a Bankruptcy Model in the Auditing Course: The Evaluation of a Company as a Going Concern,” Journal of Accounting Education Vol. 14 No. 3: 319-329 Paton, W.A., Accounting Theory, Houston: Scholars Book Co., (reprinted, 1973) Raghunandan, K. and D.V. Rama, 1995, “Audit Reports for Companies in financial Distress: Before and After SAS No. 59, Auditing: A Journal of Practice & Theory (Spring): 50-63 Sterling, R.R., 1968, “The Going Concern: An Examination,” Accounting Review (July): 481-499 Tucker and Matsumura, 1996, “Going Goncern Judgment: An Economic Perspective,” (December), Working Paper