Gerilyawati Pemasaran dari Jenderal Sudirman Oleh: Satria Anandita Oh Yu Ding sedang sibuk sekali. Dalam setahun ia harus melakukan beberapa perjalanan bisnis dari satu negara bagian ke negara bagian yang lain, selama tiga hingga empat bulan. Kalau sedang berkantor di Sparks, Nevada, Yu Ding sudah terbiasa bekerja lembur hingga sekitar jam 8 malam, itu pun masih sering mendadak harus keluar kantor. “Kalau mau diikuti, sibuk selalu. Anda pagi, di sini jam 5.14 pm hari Kamis. Awet muda sehari. He he,” kata Yu Ding saat kami berbincang lewat Yahoo! Messenger pada hari Jumat, 5 Agustus 2011, sekitar jam 7 pagi WIB. Sebagai direktur pemasaran Master Grade di Amerika Serikat, Yu Ding sedang fokus membangun brand name produk perusahaannya. Master Grade adalah perusahaan manufaktur di bawah kepemilikan Oceda Corporation, produsen perkakas di Nevada dengan pabrik di Taiwan, yang pada tahun 2001 melebarkan bisnisnya dengan memproduksi mesin penajam pisau elektrik. “Produk kami terbaik. Tapi masih kalah bersaing dengan Chef’s Choice karena mereka yang memulai bisnis tersebut 30 tahun yang lalu. Merek dagangnya sudah tertanam kuat. Sekarang langkah kami adalah membangun merek dagang terlebih dahulu. Butuh korban banyak uang dan kerja sangat keras. Coba cari ‘master grade knife sharpener’ di Google, Anda bisa lihat produk kami,” kata Yu Ding. Pada halaman profil perusahaan di www.mastergradesharpener.com, Jack Chen (suami sekaligus rekan kerja Oh Yu Ding) menerangkan bahwa sebelum dipasarkan di Amerika, mesin penajam pisau elektrik buatan pabrik Master Grade sudah memaksa mayoritas bisnis penajaman pisau di Taiwan dan Jepang gulung tikar. Pada halaman lain terdapat tabel perbandingan yang menyebutkan dengan jelas siapa-siapa saja saingan Master Grade di Amerika: Chef’s Choice, Edlund, F. Dick, dan Tru Hone. Dari tabel perbandingan yang disusun berdasarkan survei tahun 2003 itu, tampak bahwa Master Grade mengungguli lawan-lawannya dari segi keamanan penggunaan, metode penajaman, sampai dengan efisiensi mesin. Harganya juga paling rendah, USD 299 atau 200 dolar lebih murah dari pesaing terberatnya, Chef’s Choice. Andai semua orang tahu informasi ini, maka nyaris bisa dipastikan bahwa Chef’s Choice akan kalah telak dari Master Grade di pasar. Tapi berapa banyak orang yang tahu keunggulan Master Grade? “Kami belum mengukurnya secara profesional. Pemakai produk kami kebanyakan meat
departments di Safeway, Vons, Kroger, Fred Meyer, Food 4 Less, Lund Food Holding, Staters Bros, Winco, Sizzler, Royal Caribbean Cruise Line, Panda Express dan seterusnya. Perusahaan seperti Safeway, Vons, dan
Kroger biasanya mengetes produk dalam waktu 6 sampai 12 bulan. Tidak mudah menggaet orang-orang di sana menjadi pelanggan,” jawab Yu Ding. Menurut Oh Yu Ding, bisnis di Amerika Serikat berbeda dengan di Indonesia. Di sana pesaingnya jelas lebih canggih. Jangkauan pasarnya lebih luas dan jauh. Semua orang bisa akses informasi dan fasilitas yang sama. “Kompetitif sekali,” katanya. Yu Ding menjelaskan, “Untuk memasarkan suatu barang, tidak saja harus mempertimbangkan kebutuhan orang. Tantangan lain adalah bagaimana supaya orang tahu akan produk yang kita jual. Nah, untuk mesin penajam pisau elektrik ini agak unik. Produk kami terdiri dari dua macam. Pertama yang komersial untuk penggunaan profesional, kedua untuk penggunaan rumah tangga. Artinya, kami harus menembus dua segmen pasar yang berbeda.” Pasar untuk segmen komersial adalah para tukang jagal, juru masak, tukang potong daging, para profesional di sekolah perhotelan, kelab, restoran, supermarket, jasa penajaman pisau, para pemburu, taksidermis, dan sebagainya. “Kanal distribusinya panjang. Mulai dari perwakilan manufaktur, distributor, pedagang grosir, eceran, dan seterusnya. Kemudian tiap wilayah beda perwakilan. Mulai pusing. Ha ha,” kata Yu Ding. Untuk menembus segmen pasar komersial, Yu Ding harus mengikuti pameran dagang yang berhubungan dengan industri produknya, mencari kelompok pembelian, para perwakilan, dan meyakinkan mereka untuk memasarkan produk Master Grade. “Kanal distribusi di Amerika sudah terspesialisasi,” katanya. “Plus mereka sudah tahu faktor-faktor apa saja yang diperlukan untuk menggolkan suatu produk.” Kelompok pembelian alias buying group adalah himpunan pedagang yang menggalang kekuatan untuk bernegosiasi harga dengan pabrik, demi mengklaim diskon atas pembelian kolektif yang mereka lakukan. Menurut Yu Ding, ini merupakan salah satu halangan bagi masuknya produk baru, termasuk mesin penajam pisau elektrik Master Grade. “Produk kami dibikin di Taiwan, tapi komponennya dari seluruh dunia, seperti Jerman, Swiss, Jepang, dan Amerika sendiri. Kami gunakan setiap komponen yang terbaik, itu sebabnya butuh biaya lebih. Harga bisa lebih murah dari yang lain karena produksinya di Taiwan, plus keuntungan kami lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan Amerika lainnya,” kata Yu Ding. Karena keuntungan yang rendah itulah, Master Grade lebih cenderung memasarkan produknya langsung ke para pedagang, tanpa lewat kelompok pembelian. “Cuman kendalanya ada pedagang yang karena pengaruh kelompok pembelian, akhirnya tidak mau menjual barang kami. Pusing lah. Jadi dosen lebih santai,” kata Yu Ding yang pernah mengajar di Prasetiya Mulya Business School tahun 1997. “Singkatnya, untuk memasarkan alat penajam pisau bagi segmen pasar rumah tangga, kami harus menembus kanal distribusi lain yang juga butuh investasi,” sambung Yu Ding.
Salah satu investasi itu adalah membiayai produksi iklan Master Grade dengan bintang (endorser) Martin Yan, seorang koki-cum-selebriti yang telah memandu lebih dari 1.500 episode acara masak-masak di saluran televisi Public Broadcasting Service sejak 1982. Acara masak-masak Yan disiarkan di lebih dari 50 negara. Selain membayar Martin Yan sebagai bintang iklan, Master Grade juga mensponsori program Yan di PBS. “That’s a lot,” kata Yu Ding. “Sampai susah napasnya.” Yu Ding mengakui bahwa keputusan mensponsori program Martin Yan “sampai susah napasnya” itu mengandung banyak spekulasi. “Cuman waktu itu jalan ini yang dirasa benar, karena tidak ada yang tahu barang kami,” katanya. “Meskipun terbaik, but with no name is nothing.” Lantas bagaimana cara Oh Yu Ding mengukur keberhasilan usahanya membangun merek dagang Master Grade sampai sekarang? “Susah mengukurnya. Bisa dari banyaknya barang yang terjual, dari berapa kanal distribusi yang ditembus. Misalnya, kami tembus juga QVC (tayangan belanja via televisi) kemudian mentok, sekarang Costco.com,” jawab Yu Ding. Kanal lain yang juga berusaha ditembus Master Grade adalah media massa. Menurut Yu Ding, banyak calon konsumen menggunakan resensi produk dari media untuk mengambil keputusan. “Resensi itu merupakan opini profesional,” ujarnya. Sampai sejauh ini, resensi produk Master Grade baru sekali muncul di media massa, yakni di salah satu kolom majalah Tactical Knives edisi Januari 2010. “Sekarang kami sedang berusaha mendapatkan resensi dari Cook’s Illustrated,” ungkap Yu Ding. Cook’s Illustrated yang ia maksud adalah satu majalah kuliner Amerika yang mengklaim diri punya audiens lebih dari sejuta orang. *** Oh Yu Ding lahir di Salatiga pada 17 Maret 1962 dari sebuah keluarga pedagang. Orangtuanya adalah pemilik toko Laris di jalan Jenderal Sudirman. Sedari kecil Yu Ding sudah terbiasa membantu orangtuanya di toko. Di sanalah tempat ia pertama kali mempelajari psikologi jual-beli, yang kelak berguna untuk aktivitas bisnisnya di Amerika. “Saya pikir pengalaman membantu orangtua di toko waktu itu penting sekali, karena ini adalah sesuatu yang tidak Anda dapat di sekolah. Secara psikologis, saya bisa lebih peka untuk membaca tidak hanya apa yang orang ucapkan, tapi juga bahasa tubuhnya. Apalagi saya bukan native, bahasa Inggris bagaimanapun juga masih merupakan kendala. Jadi membaca bahasa tubuh itu penting, plus kesungguhan hati,” kata Yu Ding. Saat beranjak remaja, Yu Ding berniat kuliah arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia terpengaruh kakak sepupunya, Yu Kiau, yang waktu itu sedang kuliah arsitektur. “Saya tertarik
di bidang artistiknya. Ingin bikin rumah bagus plus Parahyangan memang terkenal di bidang arsitektur,” ujarnya. Pada akhirnya, Yu Ding tidak pernah belajar arsitektur di Bandung. Aktivitas pelayanannya di gereja menyebabkan ia tetap tinggal di Salatiga dan melanjutkan kuliah di Satya Wacana. Kenapa sampai begitu? “Keputusan itu tentunya berdasarkan pimpinan Roh Kudus. Sulit menjelaskannya. Saya ikut persekutuan non-denominasi, gereja di Salatiga,” jawab Yu Ding. Di Satya Wacana, Yu Ding punya dua pilihan, masuk Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris atau Fakultas Ekonomi. Ia kemudian memutuskan masuk FE karena sejak kecil dibesarkan di keluarga pedagang dan berminat di bidang bisnis. “Pertimbangan kedua karena saya pikir bahasa Inggris bisa dipelajari bersamaan dengan ekonomi,” imbuhnya. Oh Yu Ding masuk Fakultas Ekonomi UKSW tahun 1981. Kalau Anda kurang familiar dengan nama Yu Ding, mungkin dulu Anda mengenalnya sebagai Yu Thing. Ada alasan mengapa ia sampai mengganti ejaan namanya: “I don’t like it, karena dibacanya jadi ‘ting’ padahal seharusnya ‘ding’.” “Marga saya Oh,” lanjut Yu Ding. “Yu adalah urutan generasi keberapa saya kurang jelas. Ding artinya elegan, indah. Karena saya anak perempuan, nama yang diberikan biasanya tidak berkaitan dengan makna utama, seperti kakak saya semua berhubungan dengan ‘sungai’.” Yu Ding kelihatannya bangga sekali dengan angkatan kuliahnya. Ia bercerita, “Angkatan kami sekitar 100 murid, kompetitif, kreatif dan banyak yang berjiwa pemimpin, seperti Farley Piga, Endang Miarsih, Tri Hadmanto, dan masih banyak lagi. Anda akan menemukan alumni ’81 di berbagai perusahaan dengan posisi yang cukup penting. Di samping itu banyak di antara kami yang menjadi wiraswasta.” Di antara para dosen Fakultas Ekonomi, Yu Ding merasa bahwa Konta Intan Damanik dan John Ihalauw adalah yang paling berpengaruh bagi dirinya. “Ibu Konta waktu itu baru saja menjadi pengajar di Satya Wacana. Modern girl from Jakarta. Kesan pertama terhadap Ibu Konta, selain cantik juga cerdas, plus baik hati. Pelajaran dasar ekonomi mikro dan makro, konsep-konsepnya ditransfer dengan jelas. Saya rasa tidak semua pengajar berhasil mentransfer ilmu sejelas Ibu Konta. Dari pelajaran yang dia berikan, saya punya suatu gambaran tentang dunia modern yang tentunya mengarah ke Amerika. Saya rasa mungkin itulah alasan saya memutuskan pergi mengejar gelar saya di Amerika,” kenangnya. “Pak John Ihalauw waktu itu juga baru saja lulus dari Amerika,” sambung Yu Ding. “Saya melihat ada sesuatu yang dia bawa pulang, sebuah American’s confident. Rasa percaya diri yang tercermin dari Pak John memotivasi kami untuk berpikir lebih maju, lebih percaya diri, dan saya pikir waktu itu kami semua begitu bangga berada di Fakultas Ekonomi. Kembali, saya pikir Pak John telah menginspirasi saya untuk melihat Amerika dan mengejar gelar saya di sini.”
Dosen lain yang juga membuat Yu Ding terkesan adalah Arief Budiman. “Pak Arief sempat menjadi salah satu pengajar kami,” katanya. “Dia membawa masuk perspektif-perspektif baru dalam kehidupan kampus, misalnya menjadi kritis, sederhana, adil, demokrasi, berani bicara, berani berpendapat, berani berbeda. Sekali lagi, saya melihat sebuah pengaruh Barat pada diri orang ini.” Dari ketiga tokoh itulah inspirasi dan tekad untuk melihat dan belajar dari dunia Barat makin berkecambah dalam diri Yu Ding. Waktu itu dia berpikir, pasti ada sesuatu di luar sana yang tidak kita punya di sini. Pada tahun ketiga bermahasiswa, Oh Yu Ding terlibat East Asia Student Encounter, sebuah program pertukaran mahasiswa rutin antara UKSW dan Kwansei Gakuin University di Nishinomiya, Jepang. “Program pertukaran mahasiswa dengan universitas Jepang, Amerika, dan Australia membuka mata saya ke dunia luar, di luar kampus, di luar Indonesia,” katanya. Yu Ding menambahkan, “Kakak saya, Yu Chong, senantiasa mendukung dan mendorong saya untuk mencapai apa yang ingin saya capai. Juga kakak saya yang lain, Yu Chiang, yang saat itu sekolah di National Taiwan University, dan kemudian melanjutkan ke Amerika. Ibu Muljani, dosen JPBS, banyak mengarahkan saya bagaimana mempelajari bahasa Inggris, sampai di satu titik, saya tahu bagaimana belajar bahasa Inggris secara mandiri. I think this is what teacher should have in mind to teach student how to be independent learner and thinker.” Ibu Muljani yang dimaksud Yu Ding adalah Muljani Djojomihardjo. “Mempelajari metode yang diterapkan oleh Ibu Muljani adalah sebuah proses. Dia selalu mengarahkan saya untuk secara mandiri mempelajari bahasa Inggris. Ibu Muljani sering memberikan bahan untuk saya pelajari sendiri, dia hanya mengarahkan, membimbing melalui materi yang diberikan. Dari latihan tersebut, secara bertahap saya mulai mengerti bagaimana mencari bahan bacaan yang saya perlukan, mempelajari secara mandiri materi yang lebih advanced,” kenangnya. Tapi keputusan Yu Ding melanjutkan studi ke strata dua sebenarnya terdorong oleh motivasi yang lebih sederhana. “Waktu pelantikan sarjana,” ia menjelaskan, “saya observasi ternyata banyak pesaingnya. Agar lebih bisa bersaing saya memutuskan lanjut S2. Tentunya karena pada saat itu faktor-faktor yang memungkinkan saya lanjut ke S2 mendukung tepat pada waktunya.” “Ceritanya karena les bahasa dengan Ibu Muljani,” sambung Yu Ding. “Saya pikir-pikir harus ada standard of achievement, jadi saya minta Ibu Muljani untuk memberikan bahan tes TOEFL. Pas kakak saya, Yu Chiang, ke Amerika ambil PhD, saya jadi ikutan ke sana pakai biaya sendiri plus kerja di kampus juga. Irit-irit gitu.” Oh Yu Ding melanjutkan studinya ke California Polytechnic State University pada bulan September 1986 dan lulus tahun 1988. “Anda baru lahir. He he,” candanya pada saya. Di Cal Poly itu Yu Ding
mengambil bidang studi keuangan. “Sebenarnya saya ingin mengambil jurusan pemasaran. Tapi saat itu bahasa Inggris saya masih tidak memungkinkan untuk jurusan pemasaran, karena di jurusan itu banyak makalah yang harus diserahkan,” imbuhnya. Selama kuliah di Cal Poly, Yu Ding bekerja sampingan sebagai asisten peneliti. Dari pengalaman belajarnya, ia menyimpulkan bahwa salah satu beda mencolok antara kuliah di Cal Poly dan Satya Wacana ada pada bacaannya. Di sana buku teks yang dipakai adalah buku-buku yang punya kaitan langsung dengan kenyataan. “Di Indonesia kita menggunakan buku teks Barat, tapi tidak bisa diterapkan pada sistem Indonesia,” katanya. Apa itu berarti kita perlu bikin buku teks sendiri? “Ya,” jawab Yu Ding. “Tapi itu tidak mudah karena bisnis di Indonesia lain wajahnya. Di Amerika persaingannya benar-benar persaingan bebas. Mungkin masih ada permainan, tapi di tingkat atas. Itu pun kalau ketahuan, publik akan sangat marah. Dan mereka punya sistem untuk menerapkan persaingan yang adil.” “Di Indonesia masih susah,” lanjut Yu Ding. “Waktu saya ke Amerika tahun 1986, dibandingkan dengan sekarang, Indonesia masih sama. Mungkin sekarang ada perbaikan, tapi tidak banyak saya lihat.” Setelah menyandang gelar MBA dari Cal Poly, Oh Yu Ding bekerja pada Minya International Corporation, sebuah perusahaan manufaktur di California Selatan, yang memproduksi alat-alat elektronik, mulai dari jam hingga telepon. Yu Ding pulang ke Indonesia pada tahun 1990 untuk bekerja di Hero Supermarket Group. Yang merekrut dia adalah bos Hero sendiri, Muhammad Saleh Kurnia. “Salah satu yang mewawancarai saya adalah Kafi Kurnia,” kata Yu Ding. “Saya tidak tahu kalau Kafi saat itu sudah memutuskan untuk meninggalkan Hero Group. Pertanyaan dia yang berkesan saat wawancara adalah tentang loyalitas, karena waktu itu Kafi mungkin agak ragu meninggalkan Hero. Latar belakangnya apa saya tidak tahu, mestinya ada hubungannya dengan loyalitas. Saya jawab loyalitas tentunya harus both ways. Kalau yang kita ikuti itu loyal ke kita, kita akan lakukan yang sama sebaliknya. Artinya, kedua belah pihak harus sama adilnya. Tidak bisa yang satu memberi lebih banyak atau terus-terusan memberi untuk yang namanya loyalitas.” Kafi Kurnia yang disebut-sebut Yu Ding adalah seorang konsultan pemasaran kondang yang menulis buku laris Anti Marketing. Kafi bekerja untuk Hero pada tahun 1986-1990 dengan jabatan terakhir corporate marketing service. Ia tidak berkerabat dengan Muhammad Saleh Kurnia, meski nama belakang mereka sama-sama Kurnia. Yu Ding hanya bekerja setahun di Hero. Di sana ia sempat bertemu lagi dengan Tri Hadmanto, teman kuliahnya di FE UKSW. Setelah pindah-pindah tempat kerja beberapa lama, pada tahun 1997 Yu Ding
menjadi dosen paruh waktu di Prasetiya Mulya Business School. Di sana ia mengajar akuntansi dan keuangan. “Tapi sebenarnya,” kata Yu Ding, “setelah melalui berbagai pengalaman hidup, saya ini orang pemasaran. Jadi salah jurusan. Sekarang mengasah sendiri dengan membaca buku-buku pemasaran.” *** Pada tahun 2000, Oh Yu Ding menikah dengan Jack Chen dan menetap di Reno, Nevada. Jack Chen adalah wakil presiden Oceda Corporation untuk bidang pemasaran. Setelah dua tahun menikah, Yu Ding ikut bekerja di Oceda dengan menjadi direktur pemasaran Master Grade. “Mendukung apa yang dikerjakan suami. He he,” katanya. Sambil iseng saya buka Google. Saya ingin tahu performa situs web Master Grade, yang notabene adalah pusat informasi produknya, jika bersaing di daftar hasil pencarian Google. Menurut perhitungan Google, sepanjang tahun 2011 ada sekitar 135 ribu pencarian global per bulan yang menggunakan kata kunci “knife sharpener”, dan sekitar 246 ribu menggunakan kata kunci “knife sharpening”. Sekarang kalau kita cari “knife sharpening” di Google, situs web Master Grade belum muncul sama sekali pada 20 halaman pertama hasil pencarian. Hasil yang sama terjadi untuk pencarian “knife sharpener”. Entah di halaman keberapa situs web Master Grade ada. Saya berhenti mencari setelah mencapai halaman ke-21, itu pun masih nihil. “Saat ini kami sedang mendesain ulang situs web kami, sehingga akan lebih interaktif dengan pelanggan dan pengguna. Sedang membangun media sosial juga. Masih panjang jalan yang harus ditempuh. Butuh kesabaran dan ketekunan,” kata Yu Ding. Saya makin penasaran dengan aktivitas pemasaran Oh Yu Ding. Karena sebelumnya dia bilang salah satu cara mengukur keberhasilan membangun merek dagang adalah dengan menghitung banyaknya jumlah barang terjual, maka saya tertarik mengetahui statistik penjualan Master Grade. “Maaf, itu rahasia,” jawab Yu Ding. “Bisnis itu seperti perang. Tidak selalu baik untuk menyingkap segalanya. Mungkin setelah beberapa tahun baru akan kami buka data itu. Biasanya pihak luar seperti Chef’s Choice cuma menebak-nebak. Anda pernah baca guerrilla marketing? Cakupan aktivitas saya seperti itu.” Menurut sejarah, istilah “pemasaran gerilya” muncul pertama kali tahun 1984 dalam buku Guerrilla
Marketing yang ditulis Jay Conrad Levinson. Dalam penjelasannya, Levinson menyebut pemasaran gerilya sebagai “pemasaran yang berusaha mencapai tujuan biasa dengan cara luar biasa”. Caranya disebut luar biasa karena agak lain dari teknik pemasaran tradisional yang biasanya menguras uang. Kalau pemasar tradisional banyak membelanjakan uangnya untuk memasang iklan mahal-mahal di media massa terkenal, maka pemasar gerilya lebih cenderung menghabiskan waktunya dengan merancang dan melancarkan aksi
pemasaran serba unik, yang langsung menawan hati orang. Karena langsung menawan hati orang, pemasaran gerilya dengan ongkos lebih murah biasanya malah lebih berhasil dari pemasaran tradisional. Efisiensi dan efektivitas pemasaran gerilya membuat sosok Jay Conrad Levinson cepat populer di kalangan pelaku bisnis kecil. Lambat laun ia pun diminta memberi konsultasi pemasaran pada bisnis-bisnis besar, mulai dari Viacom, Visa, Volvo, Playboy, Honda, Hyatt, Mercedes, Nissan, Public Broadcasting Service, Pacific Telephone, Rolling Stone, hingga University of California. Levinson sendiri awalnya mengajarkan pemasaran gerilya pada program ekstensi UC Berkeley selama 10 tahun. Sampai hari ini buku Guerrilla
Marketing sudah terjual lebih dari 21 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam 62 bahasa, serta dipakai sebagai buku teks wajib pada banyak program MBA di seluruh dunia. Kalau Anda ingin tahu sekilas gambaran aksi pemasaran gerilya, Anda bisa baca artikel Amy-Mae Elliott pada situs media sosial Mashable yang disiarkan tanggal 6 Oktober 2010 dengan judul “10 Excellent Examples of Guerrilla Marketing”. Salah satu contoh yang disebutkan Elliott di sana adalah kampanye “Everyday Fabulous” oleh IKEA, raksasa furnitur dari Swedia. Kampanye itu dilaksanakan IKEA selama lima hari di New York, bersamaan dengan dihelatnya International Contemporary Furniture Fair tahun 2006. ICFF adalah acara tahunan yang mengundang hampir seluruh perusahaan furnitur papan atas dunia untuk memamerkan produknya kepada para distributor potensial, pers, dan beberapa calon konsumen kaya yang mendapat undangan. Meski terkenal sebagai ritel furnitur terbesar di dunia, IKEA sendiri tidak terdaftar sebagai anggota ICFF. Maka ketika ICFF 2006 dihelat di New York, IKEA ingin menandingi perhelatan elit raksasa ini. Apa akal? Menurut laporan Effie Worldwide, sebuah organisasi pemasaran di New York, IKEA menghelat pamerannya sendiri dengan konsep serba terbalik dari ICFF. Jika pameran ICFF dihelat terpusat dan tertutup di Javits Center, maka IKEA memamerkan produk-produknya di tempat paling terbuka dan hidup: jalanan New York. Beberapa contoh aksi gerilya yang IKEA lakukan adalah menyulap sebuah halte jelek menjadi ruang tamu serba nyaman, menyediakan bantal di ujung seluncuran taman supaya anak-anak bisa mendarat dengan empuk, menaruh selimut pada kursi-kursi bioskop ber-AC, memasang tempat tidur gantung di antara pohon-pohon, menyebar mangkok minum untuk para anjing yang haus, hingga mendirikan satu set meja makan komplet di dekat para penjual hotdog. Hasilnya? Hanya dengan pengorbanan finansial USD 500 ribu, pameran IKEA mendapat audiensi lebih dari 6 juta orang. Jumlah ini tercapai berkat bantuan pers, televisi, dan pewarta paling merakyat sedunia: narablog. “IKEA ingin menantang orang untuk memecah aturan-aturan, menciptakan ruangnya sendiri, dan tidak mencoba untuk menghidupi desain-desain kemilap dan muluk yang Anda baca di majalah. Saya harus katakan, saya jatuh cinta sekali lagi dengan IKEA,” tulis Christine Capulong di Apartment Therapy, sebuah blog interior rumah yang rata-rata dikunjungi orang sebanyak 28 ribu kali dalam sehari.
Apakah pemasaran gerilya Oh Yu Ding punya kesamaan dengan pemasaran gerilya orang-orang IKEA? Tentu dia sendiri yang tahu. Ketika saya tanya apa saja aktivitasnya saat melakukan perjalanan bisnis, Yu Ding menjawab, “Tergantung jenisnya.” “Ada pameran dagang yang spesifik untuk industri penajam pisau, ada pertemuan dengan para pembeli, ada demo untuk perkumpulan tertentu seperti koki, orang-orang rumah pemotongan hewan, atau kegiatan dengan Martin Yan. Juga mengunjungi bagian pembelian berbagai perusahaan, seperti Cabela’s, Bass Pro, di markas besar mereka, dan masih banyak lagi kanal lain, kapanpun kita punya kesempatan menjelaskan produk kita,” jelas Yu Ding. *** Sejak tahun 2009, Oh Yu Ding belum pulang lagi ke Salatiga. Padahal dulu, ketika orangtuanya masih hidup, ia bisa pulang ke kota kelahirannya satu sampai dua kali dalam setahun. “Saya ingat pesan Mami, kalau saya dibesarkan dari tanah Indonesia, suatu hari harus balas budi ke tanah air kalau ada kesempatan. Oleh sebab itu, saya mau membagi pengetahuan saya jika itu membantu orang lain. Persoalannya tinggal waktu,” katanya. Selain belajar pemasaran secara otodidak, Yu Ding juga sedang tertarik mendalami kewirausahaan, karena menurutnya ini akan berguna di Indonesia. Apakah ia punya rencana merintis bisnis baru di tanah airnya? Yu Ding berkata, “Kalau bisa hanya berbagi, membantu bisnis kecil, konsultasi. Supaya rakyat kecil bisa mandiri. Kalau mandiri secara keuangan, mereka baru bisa mandiri berpikir. Mandiri berpikir artinya tidak mudah dibohongi. Tidak mudah dibohongi artinya tahu apa itu adil, apa itu demokrasi. Artinya, Indonesia yang kaya alamnya akan menyejahterakan dan menyetarakan penduduknya untuk menikmati porsi yang seharusnya dinikmati bersama dan bukan segelintir orang saja … dan spiritually deepening.” Apa maksud Yu Ding dengan spiritually deepening? “Sekarang kebanyakan orang mencari yang material sambil mengorbankan yang spiritual. Bukankah begitu? Yang semakin dituntut adalah materi dengan cara apapun. Saya rasa bisnis pun harus etis dan spiritual. Gampang teorinya, susah mengerjakannya. Tapi saya rasa ini arah yang benar,” jawabnya. Menurut Yu Ding, spiritualitas bisnis yang benar adalah yang selaras dengan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dan ini masih belum banyak terjadi di Indonesia. Yu Ding mengajukan sebuah retorika, “Indonesia kaya alamnya. Seharusnya tiap penduduk pendapatan per kapitanya tidak kalah dengan Singapura dan Amerika. Nah, mengapa masih jauh?” “Saya lahir di Indonesia,” sambung Yu Ding. “Jawane medok tapi orang-orang tetap panggil saya ‘keturunan’. Di Amerika, mereka justru membuka kesempatan ke imigran karena mereka sadar hari ini Amerika dibangun oleh imigran. Banyak orang bangga jadi orang Amerika. Kenapa? Karena waktu sesuatu
terjadi padamu, pemerintah akan melindungimu seperti anaknya sendiri. Nah, lagi-lagi loyalitas dua arah. Built in each one.” Meski demikian, Yu Ding tetap berharap dirinya bisa menyumbang sesuatu untuk orang-orang di Indonesia. “Saya merasa orang Indonesia adalah orang saya sendiri, tapi pemerintah dengan maksud tertentu membuatnya jadi berbeda. Kalau Belanda menggunakan divide et impera, kita harusnya tidak melakukan hal yang sama. Belanda pakai itu untuk membuat orang saling membenci. Kita harus bangun sebuah negara yang orangnya saling mengasihi. Bukankah itu yang diajarkan agama manapun?” Kata-kata Yu Ding terasa benar, tapi apa kita masih bisa bersandar pada ajaran agama untuk membangun pemahaman seperti itu? “Tidak, tidak juga,” jawabnya. “Tapi pilihlah dengan bijak ajaran yang bisa saling membangun. Hari ini banyak agama dipakai orang untuk ketamakan mereka sendiri. Kita perlu jadi bijak dan pakai akal sehat.” Menjelang akhir obrolan kami, saya merasa bahwa Yu Ding mungkin sudah mulai mencicil amanat maminya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, membagi pengetahuannya. Pernah suatu kali, sekitar jam 10 malam waktu Nevada, Yu Ding pergi ke kantornya hanya untuk mengirim beberapa bahan artikel dan melayani permintaan wawancara saya. “Try to keep my promise,” katanya. “Soalnya di rumah tidak ada komputer, karena Jack pikir sudah terlalu banyak waktu tersita di depan komputer kami di kantor. Jadi tidak ada lagi komputer di rumah.” “Rumah di Reno, kantor di Sparks, kota tetangga. Naik mobil sekitar 10 menit. Mampir kalau ada kesempatan,” kata Yu Ding pada saya. Kesempatan? Kesempatan ke Amerika maksudnya? Saya tertawa. “Iya, siapa tahu?” tukas Yu Ding. “Dulu saya juga tidak menyangka ke Amerika.” Amin.