JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
BELAJAR DARI BLUNDER PEMASARAN Fandy Tjiptono Senior Lecturer, School of Business, Monash University Malaysia Dadi Adriana Dosen Sekolah Tinggi Penerbangan Aviasi, Jakarta
Abstract Learning from mistakes is as equally important as reflecting on successes. It is also essential to gain insights and lessons from both one’s own and others’ experiences. This article aims to document main marketing blunders previously published in business magazines, journals, textbooks, and reference books. It is expected that we can gain important lessons in order to avoid such terrible mistakes from happening again in the future.
Kata Kunci: pemasaran.
1. Pendahuluan Setiap manusia akan mengalami yang namanya musibah, dan musibah yang menimpa manusia adalah kehendak Allah, yang tidak bisa dicegah maupun dihindari. Islam menganjurkan agar manusia mempersiapkan diri dalam musibah yang akan terjadi. Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko terjadinya musibah. Salah satu ritual yang selalu kami jalani bila mengunjungi sebuah kota adalah meluangkan waktu sejenak untuk mampir di toko buku representatif setempat. Biasanya tidaklah sulit menjumpai tumpukan buku rahasia sukses perusahaan, individu, dan merek ternama. Di antara judul-judul yang sempat menjadi best-seller antara lain: In Search of Excellence, The McKinsey Way, The Living Company, The Honda Way, The Cisco Way, Saving Big Blue, The Starbucks Experience, The Toyota Way, The Apple Way, The Samsung Way, The Lenovo Way, dan The Google Way. Sementara itu, Bill Gates, Steve Jobs, Donald Trump, dan Sir Richard Branson merupakan beberapa contoh figur populer yang telah diulas keberhasilannya dalam sejumlah buku yang tak kalah larisnya.
1|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Buku-buku semacam itu laris bak kacang goreng dikarenakan sejumlah faktor: (1) rasa ingin tahu (curiosity) publik yang begitu besar atas kisah sukses yang inspiratif dan bahkan sensasional; (2) dorongan mencari benchmark praktik bisnis prima; (3) hasrat menemukan formula sukses ‘siap pakai’ yang bisa diadopsi, diadaptasi atau direplikasi; serta (4) harapan dan impian mengikuti jejak keberhasilan perusahaan, individu, atau merek bersangkutan. Di samping itu, tampaknya kisah sukses cenderung lebih atraktif dibandingkan kisah gagal bagi sebagian besar segmen pembaca. Meskipun belum tentu kalah dalam hal oplah penjualan, buku-buku yang mengulas kegagalan bisnis (di antaranya, Blunders in International Business, Marketing Mistakes, Management Mistakes, The World’s Stupidest Inventions, Business Blunders, Brilliant Strategies and Fatal Blunders, When Giants Stumble, dan Brand Failures) cenderung kalah gaungnya dibandingkan bukubuku rahasia keberhasilan sebuah perusahaan. Mengapa bisa demikian? Sewaktu kami iseng-iseng bertanya pada sejumlah rekan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi, jawabannya kurang lebih adalah “semua orang kan pengen jadi pemenang, bukan pecundang!” Seorang teman bahkan memberikan contoh menarik tentang ajang kompetisi seperti Indonesian Idol, X Factor Indonesia, dan Indonesia’s Got Talent. Ia menganggap kontestan jawara sebagai sumber inspirasi untuk berjuang dan bekerja keras. Sementara kontestan pecundang, terutama yang ‘unik’, ‘aneh’, dan lucu, hanya dijadikan hiburan atau bahan tertawaan. Benarkah selalu begitu? Menarik jika kita menyimak dua kutipan di awal tulisan ini. Bram Stoker, penulis novel Dracula, menegaskan bahwa “We learn from failure, not from success!” Ia meyakini bahwa kita jarang belajar dari kesuksesan. Malah terkadang kesuksesan membuat kita percaya diri terlalu berlebihan dan menganggap segalanya bisa dikendalikan. Begawan pemasaran Philip Kotler bahkan menegaskan, “success can be poisonous!” Kutipan kedua dari Brandon Mull juga tak kalah pentingnya, “orang pintar belajar dari kesalahannya sendiri, namun orang bijak justru belajar dari kesalahan orang lain”. Sejatinya, kita bisa belajar dari kedua-duanya: pengalaman sukses dan gagal, baik yang dialami sendiri maupun yang dialami orang lain. Setidaknya, kita bisa mengambil hikmah dari pengalaman gagal orang lain supaya kita tidak terjebak mengulanginya. Artikel ini menelusuri dan mendokumentasi sejumlah blunder pemasaran yang pernah diliput berbagai sumber, seperti majalah, artikel jurnal, buku teks, dan buku referensi 2|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
bisnis. Semoga kita bisa menarik pelajaran berharga dari aneka kesalahan fatal yang pernah dilakukan orang lain ini.
2. Belajar dari Kesalahana Fatal Orang Lain Dalam tiga dekade terakhir, sejumlah buku bisnis populer yang mempublikasikan hasil riset dan konsultansi berkenaan dengan pengalaman sukses dan gagal perusahaan terkemuka membanjiri pasar. Buku-buku best-seller yang ditulis untuk segmen para manajer tersebut berusaha menganalisis, mengungkap, dan mengidentifikasi faktorfaktor kunci sukses jangka panjang maupun penyebab utama kegagalan perusahaan. Trend publikasi buku semacam itu diawali dari kesuksesan buku berjudul “In Search of Excellence” yang ditulis oleh Tom Peters dan Robert H. Waterman, Jr. di tahun 1982. Setelah itu terbit beraneka buku lainnya, seperti Competing for the Future (Hamel & Prahalad), The Balanced Scorecard (Kaplan & Norton), Built to Last (Collins & Porras), The Innovator’s Solution (Christensen & Raynor), Creative Destruction (Foster & Kaplan), Value Migration (Slywotzky), Good to Great (Collins), Managing Imitation Strategies (Schnaars), The Discipline of Market Leaders (Treacy & Wiersema), Will and Vision (Tellis & Golder), Blue Ocean Strategy (Kim & Mauborgne), Big Winners and Big Losers (Marcus), dan tentu saja masih akan diikuti deretan panjang judul-judul lainnya. Di satu sisi, buku-buku bestseller tersebut berhasil memenuhi rak-rak pajangan buku para eksekutif bisnis di seluruh dunia. Tak sedikit di antaranya yang sukses memunculkan jargon dan konsep baru (baik yang benar-benar baru maupun yang sekedar ‘old wine in a new bottle’). Di sisi lain, tak jarang ‘resep’ sukses yang direkomendasikan oleh buku-buku tersebut kontradiktif satu sama lain. Sebagai contoh, Peters dan Waterman merekomendasikan agar setiap perusahaan berani mengambil risiko dalam mengeksplorasi pasar, teknologi, dan model bisnis baru agar mampu meraih
keunggulan
bersaing
berkesinambungan.
Sebaliknya,
Collins
justru
menganjurkan agar setiap perusahaan jangan mudah tergoda untuk merespon peluang bisnis yang bukan menjadi bidang kompetensinya dan sebaiknya berkonsentrasi pada upaya gradual berkesinambungan dalam menyempurnakan produk dan prosesnya. Kritik lainnya menyangkut fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang dipuja-puji oleh sejumlah penulis buku best-seller tersebut ternyata malah struggling, kolaps atau bangkrut beberapa tahun setelah bukunya dipublikasikan. Sebagai contoh, perusahaan3|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
perusahaan excellent versi Peters dan Waterman mencakup Digital Equipment, Westinghouse, Kodak, Wang Laboratories, Polaroid, dan Kmart. Collins dan Porras memasukkan McDonnell Douglas, Ford Motor, Disney, dan Westinghouse ke dalam kategori ‘built to last companies’. Foster dan Kaplan malah memuji Enron, perusahaan yang rontok karena skandal. Lebih lanjut, selama ini kita banyak mendengar kisah sukses bisnis, baik yang diungkap di koran, majalah, buku, jurnal ilmiah, radio, TV, maupun Internet. Kelihatannya semua orang lebih suka menceritakan dan menyimak pengalaman sukses di masa lalu. Sayangnya, kebanyakan kisah sukses tersebut gampang dilupakan, kecuali bila memang spektakuler. Akibatnya, tak banyak pelajaran yang bisa dipetik. Padahal, Robert McMath, mantan eksekutif pemasaran Procter & Gamble, menegaskan bahwa “it’s easier for a product to fail than it is to survive”. Sayangnya, kesalahan dan kegagalan bisnis jarang terungkap. Orang cenderung malu dan takut mengenang, mengakui, apalagi membeberkan blunder (terlebih-lebih yang fatal) yang pernah dilakukannya. Karena itu, jangan heran bila artikel dan buku tentang kesalahan, kegagalan atau blunder bisnis tergolong langka. Padahal sesungguhnya justru banyak hikmah yang bisa dipetik dari kegagalan, agar kesalahan yang sama tidak terulang di masa datang. Lebih penting lagi, bukankah akan lebih komprehensif kalau belajar dari pengalaman sukses sekaligus kisah kegagalan? Oxford Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan blunder sebagai “a stupid or careless mistake”. Dalam konteks bisnis, blunder bisa beraneka ragam, mulai dari visi bisnis yang terlalu myopik; gagal menyelaraskan visi bisnis dengan perubahan lingkungan; proses merger yang bermasalah; keliru mengidentifikasi trend, arah, dan arena kompetisi; insensitivitas budaya; praktik tidak etis; program promosi penjualan yang amburadul; dan seterusnya. Hartley dan Claycomb (2014), misalnya, menelusuri sejumlah kasus kesalahan fatal dalam pemasaran yang dilakukan beberapa perusahaan besar ternama. Sebagai contoh, Coca-Cola pernah melakukan kesalahan yang sempat dijuluki “marketing blunder of the decade”. Tepatnya pada September 1984 sewaktu Coca-Cola meluncurkan New Coke dengan formula rasa baru yang lebih manis untuk menggantikan rasa orisinal Coke. Keputusan yang didasari blind taste test senilai US$ 4 juta itu terbukti tidak disukai konsumen loyalnya. Setelah sempat diprotes dan diboikot, akhirnya pihak Coca-Cola meminta maaf kepada publik dan meluncurkan kembali Coke
4|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Classic dengan formula orisinal yang saat itu telah 99 tahun menjadi simbol kebanggaan Amerika. Boeing dan Airbus pernah berusaha menjalin kolaborasi untuk mengembangkan pesawat superjumbo di tahun 1996. Sayangnya, rencana tinggal rencana. Bukan kerja sama yang terjalin, tetapi justru perseteruan yang makin sengit. Kedua penguasa bisnis pesawat komersial ini gagal menyepakati desain pesawat yang bakal diproduksi. Pihak Airbus (konsorsium yang terdiri atas empat negara: British Aerospace, DaimlerChrysler Aerospace Jerman, Aerospatiale Perancis, dan Casa Spanyol) menuding Boeing tidak sungguh-sungguh tertarik dengan kolaborasi dimaksud, namun lebih berniat untuk memperlambat rencana Airbus. Akhirnya, Airbus melanjutkan proyeknya dan meluncurkan super-jumbo A380. Harley-Davidson
(HD)
pernah
berada
di
jurang
kehancuran
manakala
menyepelekan serbuan Honda pada dekade 1960-an dengan sepeda motor lightweight. Sekedar refleksi, pada masa itu, presiden HD yang juga adalah anak pendiri perusahaan, William H. Davidson, bahkan pernah membuat pernyataan “We don’t believe in the lightweight market. We believe that motorcycles are sport vehicles, not transportation vehicles… Around World War I, a number of companies came out with lightweight bikes. We came out with one ourselves. They never got anywhere. We’ve seen what happens to shese small sizes”. Saat itu HD amat lambat bereaksi, hingga akhirnya pasar sepeda motor di Amerika Serikat diambilalih Honda. Untungnya HD mampu belajar dari kesalahannya dan bangkit dari keterpurukannya. Walt Disney Company menelan pil pahit sewaktu membuka Euro Disney di pinggiran Paris pada bulan April 1992. Sukses dengan Disneyland di Anaheim, Florida, dan Tokyo, mereka amat percaya diri bakal sukses dengan Euro Disney. Kenyataannya jauh dari harapan. Sejumlah faktor disinyalir sebagai penyebab kegagalan, di antaranya pemilihan lokasi, kurangnya sensitivitas dan pemahaman atas budaya setempat, miskalkulasi harga, resesi ekonomi, dan lain-lain. Pada mulanya banyak toko buku independen kecil yang menuding Borders Books (dan juga Barnes & Noble) sebagai penyebab merek gulung tikar. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang menghadirkan toko buku virtual dan digital books, giliran Borders yang jadi korban kompetisi. Jejaring book superstore yang didirikan kakak-beradik Tom dan Louis Borders ini gagal bersaing dalam era revolusi digital. Pada bulan Oktober 2011 seluruh aset Borders, termasuk intellectual property, 5|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
dilikuidasi. Barnes & Noble membayar senilai US$13,9 juta untuk merek dagang, aset e-commerce, dan daftar pelanggan Borders selama proses kebangkrutan perusahaan tersebut. Sejumlah faktor disinyalir sebagai penyebab kebangkrutan Borders, di antaranya: internet blunder (Border melakukan outsourcing penjualan buku online-nya ke
Amazon),
terlambat
berekspansi
ke
e-books,
merchandising
mistakes
(bertransformasi menjadi multipurpose entertainment retailer, terutama berinvestasi secara berlebihan untuk CD dan DVD), terlalu banyak toko, dan utang menumpuk. Salah satu blunder yang bisa dikatakan terheboh adalah yang dilakukan Hoover Limited, cabang Maytag di Inggris, pada bulan Agustus 1992. Saat itu diputuskan untuk menawarkan promosi sebagai berikut: setiap konsumen di Inggris Raya yang membeli produk Hoover senilai lebih dari £100 sebelum akhir Januari 1993 bakal mendapatkan dua tiket pulang-pergi gratis ke kota-kota tertentu di Eropa. Untuk setiap belanja senilai lebih dari £250 akan mendapatkan dua tiket pulang-pergi gratis ke New York atau Orlando. Sepintas tak ada masalah. Selidik punya selidik, ternyata nilai tiket hadiah itu lebih tinggi daripada harga belanja yang disyaratkan. Parahnya lagi, promosi itu tidak dibatasi untuk jumlah pemenang tertentu. Ketika konsumen berbondong-bondong memborong vacuum cleaner Hoover, barulah mereka panik. Sama sekali tidak terbayangkan bahwa lebih dari 200.000 konsumen berhak mendapatkan hadiah tiket gratis itu. Hoover tak sanggup menanganinya dengan baik. Hingga pertengahan April 1993 hanya sekitar 6.000 konsumen yang diberangkatkan. Komplain menggunung dan mencapai 2.000 telepon per hari ke hotline yang disediakan. Publisitas negatif berkembang seiring banyaknya tudingan fraud berkenaan dengan praktik loss-leader pricing dan tuntutan restitusi. Biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menumpuk hingga melampaui US$72 juta. Akhirnya, Maytag memutuskan untuk menjual cabangnya di Eropa ke sebuah perusahaan Italia pada tahun 1995. Kerugian total yang ditanggung mencapai US$135 juta. Nah, jika saat ini setiap promosi hampir selalu ada tulisan “untuk 100 pelanggan pertama” atau tercantum tanda asteriks dengan keterangan “syarat dan ketentuan berlaku”, kelihatannya itu karena hasil belajar dari pengalaman pahit Maytag. Dalam analisisnya, Hartley dan Claycomb (2014) menyimpulkan sejumlah pelajaran berharga. Salah satunya adalah “king of the hill” syndrome atau 3Cs mindset, yang menurut mereka menjadi pemicu berbagai blunder pemasaran. Pertama, complacency, yakni rasa puas diri, terlalu nyaman dengan status quo, serta tidak lagi 6|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
terpacu untuk mengejar inovasi dan pertumbuhan. Kedua, conservatism, yang dalam kadar negatif menghambat perubahan, karena orang terlena dengan nostalgia sukses masa lalu dan menganggap situasi belum atau tidak berubah sama sekali. Ketiga, conceit, yaitu sikap arogan dan meremehkan pesaing saat ini dan pesaing potensial. Keyakinan “we are the best” dan “no one can touch us” adalah penyakit kronis yang kerap menyergap perusahaan besar, terutama pemimpin pasar. Apa yang dipaparkan di atas barulah sebagian kecil blunder pemasaran. Dalam konteks yang lebih spesifik, yakni manajemen merek, sumber blunder bisa sangat beragam, mulai dari pemilihan dan penerjemahan nama merek, kecerobohan dalam melakukan brand extension, hingga kegagalan re-branding. Untuk lebih jelasnya, simak contoh-contoh berikut. Masalah Seputar Nama (What’s in a Name?) Pada tahun 1927 Studebaker meluncurkan mobil bermerek Dictator, namun akhirnya memutuskan untuk menghentikan produksinya di tahun 1936, karena khawatir merek itu diasosiasikan dengan citra negatif para diktator di Italia dan Jerman kala itu. Sewaktu Coca-Cola masuk ke RRC pada dekade 1920-an, pihak manajemen perusahaan multinasional tersebut bermaksud memperkenalkan produknya dengan nama yang sesuai dengan lafal atau ejaan bahasa Inggris untuk Coca-Cola. Penerjemah yang disewa mengusulkan beberapa karakter Mandarin yang jika diucapkan berbunyi serupa dengan Coca-Cola. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, setelah diselidiki, terjemahan yang berbunyi “ke-kou-ke-la” yang dipakai dalam kampanye pemasaran besar-besaran bermakna “bite the tadpole” atau “female horse stuffed with wax”. Belajar dari kesalahan tersebut, Coca-Cola akhirnya mengganti nama tersebut dengan aksara Mandarin yang berbunyi “ko-kou-ko-le” yang maknanya kurang lebih “happiness in the mouth”. Untuk nama sebuah produk baru di negara dengan budaya yang berbeda, bunyi atau lafal tidaklah penting bagi konsumen; justru makna yang paling esensial. Selain kasus Coca-Cola, kekeliruan yang dilakukan General Motors pada mobil Chevy Nova di Puerto Riko juga sering dijadikan contoh kasus klasik untuk menggambarkan betapa pentingnya pemahaman budaya dalam pemasaran internasional. Sekalipun kata Nova berarti ‘bintang’ bila diterjemahkan secara harfiah, namun jika diucapkan, bunyinya serupa dengan “no va”, yang dalam bahasa Spanyol berarti ‘tidak
7|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
bisa jalan’. Jelas saja konsumen enggan membeli mobil tersebut. Akhirnya GM mengganti namanya menjadi Caribe dan penjualannya terdongkrak. Kelihatannya perusahaan otomotif cenderung sering melakukan kesalahan serupa. Sebagai contoh, mobil bermerek Matador produksi American Motors Corporation berasosiasi dengan citra kuat dan jantan di negara asalnya. Namun, di Puerto Riko yang masyarakatnya berbahasa Spanyol, kata Matador justru bermakna ‘pembunuh’. Sama sekali tidak sesuai untuk kondisi Puerto Riko yang tingkat kecelakaan lalu lintasnya tinggi. Masih di Puerto Riko, sebuah mobil buatan Amerika bermerek Fiera sempat menjadi bahan pembicaraan hangat. Bukan karena penjualannya yang fantastis, melainkan karena namanya yang berarti ‘ugly old woman’ dalam bahasa Spanyol. Dalam industri penerbangan, ada dua maskapai penerbangan yang pernah ’menelan pil pahit’ sehubungan dengan nama mereknya. Sebuah maskapai penerbangan bernama EMU pernah mencoba masuk pasar Australia, namun gagal total. Rupanya pihak manajemen perusahaan ini tidak menyadari bahwa Emu adalah nama jenis burung khas Australia yang tidak bisa terbang. Ironisnya, mereka kelihatannya tidak belajar dari pengalaman kegagalan GM dengan Chevy Nova di Puerto Riko. Dalam kasus lainnya, sebuah maskapai penerbangan swasta Mesir bernama Misair tidak populer di kalangan para penumpang Perancis. Salah satu penyebabnya: nama Misair bila diucapkan bermakna ‘misery’ (kesengsaraan) dalam bahasa Perancis. Siapa yang sudi terbang bersama pesawat yang membawa Anda ke kesengsaraan? Kelalaian dalam hal memahami perbedaan budaya dan bahasa terjadi pula dalam sektor bisnis lainnya. Upaya Olympia memasarkan mesin fotokopi bermerek Roto di Chile, misalnya, mengalami kegagalan total. Usut punya usut, kata Roto bermakna ‘rusak’ dalam bahasa Spanyol. Selain itu, kata Roto juga dipakai untuk menggambarkan kelas terendah di Chile. Jaringan restoran siap saji KFC sempat mengalami penolakan pasar di Jerman karena sebagian pelanggan mengkonotasikan kata colonel pada nama Colonel Sanders dengan militer Amerika, yang jelas-jelas tidak populer di mata semua orang Jerman. Sebaliknya, nama Sanders justru dipakai di Brasil, karena mayoritas orang Brasil sulit mengucapkan Kentucky Fried Chicken. Perusahaan raksasa Kellogg terpaksa harus mengganti nama merek serealnya Brand Buds di Swedia sewaktu menyadari bahwa nama tersebut bila diterjemahkan ke 8|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
dalam bahasa setempat bermakna ‘burned farmer’. Sementara itu, kampanye promosi Schweppes Tonic Water di Italia pernah gagal karena nama produknya diterjemahkan menjadi ‘Schweppes Toilet Water’. Parker Pen terkenal dengan kesuksesannya memasarkan ball-point bermerek Jotter di banyak negara. Akan tetapi, di beberapa negara di kawasan Amerika Latin, nama lain yang dipakai karena jotter bermakna ’jockstrap’ (cawat olahraga) di kawasan itu. Perusahaan Amerika yang memproduksi susu bermerek Pet mengalami kesulitan dalam menjual produknya di wilayah yang berbahasa Perancis. Penyebabnya, salah satu makna kata pet dalam bahasa Perancis adalah buang angin (kentut). Ketika produsen bir populer dari Australia bermerek XXXX (dibaca ”four X’s”) bermaksud mengekspor produknya ke pasar Amerika, mereka baru menyadari bahwa konsumen Amerika sudah terlebih dahulu familiar dengan Fourex (merek kondom). Semasa Olimpiade tahun 2000 di Sydney, banyak turis asing yang tersenyum risih ketika membeli bir ini karena kedekatan namanya dengan XXX (triple X) yang umumnya berasosiasi dengan video atau film porno. Kadangkala masalah seputar nama merek muncul dikarenakan sensitivitas makna nama merek yang berpotensi memunculkan kontroversi. Pasta gigi Darkie, misalnya, merupakan merek regional terkemuka di kawasan Asia selama puluhan tahun. Sewaktu merek ini diakuisisi sebuah perusahaan multinasional Amerika, namanya terpaksa diganti menjadi Darlie. Jelas bahwa pemilik barunya tidak ingin mengulang kesalahan yang dilakukan produsen wiski Jepang yang mendapat protes keras dari kalangan black Americans sewaktu memasarkan wiski bermerek Black Nikka di Amerika. Produsen
vapour-rub
ternama,
Vicks,
mengalami
kesulitan
di
Jerman.
Masalahnya, huruf V dilafalkan F dalam bahasa Jerman; sehingga nama Vicks kalau diucapkan berbunyi serupa dengan kata Jerman yang maknanya tidak senonoh. Masalah serupa dihadapi Colgate-Palmolive dalam memasarkan pasta gigi Cue di kawasan berbahasa Perancis. Kata tersebut bermakna pornografis dalam bahasa Perancis. Yves St. Laurent sempat menuai protes ketika mereka meluncurkan parfum baru bermerek Opium. Kontroversi semakin bertambah sehubungan dengan slogan orisinal berbahasa Perancisnya yang berbunyi ”Pour celles qui s’adonnet á Yves St. Laurent” (Buat mereka yang kecanduan Yves St. Laurent). Tekanan publik akhirnya memaksa perusahaan menghentikan promosi penjualannya di beberapa negara.
9|Page ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Masalah Brand Extension Brand extension merupakan strategi menggunakan nama merek yang sudah mapan untuk memperkenalkan produk baru, baik berupa line extension (masih dalam kategori produk yang sama) maupun category extension (masuk ke kategori produk yang berbeda). Strategi ini berpotensi memfasilitasi akseptansi produk baru di pasar dan memperkokoh citra merek induknya. Secara umum, line extension cenderung lebih sukses dibandingkan category extension. Tidak heran bila sekitar 90% produk grocery baru berupa line extensions (Haig, 2003). Akan tetapi, risiko brand extension juga banyak, di antaranya: kemungkinan terjadinya brand dilution (merusak makna merek), membingungkan konsumen, mengkanibalisasi penjualan merek lain yang dimiliki perusahaan yang sama, dan menghadapi resistensi dari para distributor. Beberapa contoh berikut mengilustrasikan pengalaman buruk yang kadangkala mencerminkan brand extension yang ‘kebablasan’. Gerber, produsen makanan bayi terdepan dari Amerika, meluncurkan Gerber Singles di tahun 1974. Gagasannya sekilas menarik: menawarkan makanan (seperti buah-buahan, sayuran dan dessert) dalam porsi kecil (dikemas dengan kemasan yang sama dengan produk makanan bayi) dan ditujukan bagi orang dewasa yang masih bujangan. Hasilnya? Gagal total. Masalahnya, mana ada konsumen yang mau mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dirinya sulit mendapatkan pasangan hidup karena ia adalah ‘big baby’? Kasus Gerber Singles ini banyak diacu para pakar manajemen merek sebagai salah satu ‘brand failures of all time’. Kesuksesan melakukan extension ke kategori produk tertentu belum tentu menjamin kesuksesan di kategori lainnya. Harley Davidson (HD), misalnya, sukses memperluas citra mereknya ke sejumlah produk, seperti T-shirt, kaus kaki, korek api, dan aksesoris. Namun HD pernah melakukan blunder sewaktu memasarkan parfum, aftershave dan wine coolers di era 1990-an sebelum akhirnya memutuskan untuk berfokus pada citra intinya: ”strong, masculine, very rugged values”. Demikian pula halnya Virgin yang sukses memperluas mereknya dari semula hanya perusahaan rekaman hingga mencakup pula beraneka produk lainnya, seperti penerbangan, kartu kredit, dan seterusnya. Namun, Virgin pernah pula gagal, setidaknya sewaktu menawarkan Virgin Cola. Kadangkala brand extension yang terlalu agresif malah berujung dengan kebingungan konsumen. Contohnya, Crest pernah menawarkan hingga 52 versi (stock10 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
keeping units) pasta gigi di era 1980-an [jumlah yang fantastik bila dibandingkan jumlah gigi rata-rata orang dewasa yang hanya 32]. Head & Shoulders pernah memiliki 31 variasi shampo anti-ketombe. Miller Brewing Company pernah membanjiri pasar dengan banyak variasi bir tanpa diferensiasi yang jelas, di antaranya Miller High Life, Miller Lite, Miller Lite Ice, Miller High Life Lite, Miller Genuine Draft, Miller Genuine Draft Lite, Miller Reserve, Miller Reserve Lite, Miller Reserve Amber Ale, Miller Clear, dan Miller Regular. Tak jarang kegagalan brand extension dikarenakan lemahnya keterkaitan antara kategori orisinal dan kategori baru. Heinz yang terkenal sebagai produsen makanan sejak 1869, menawarkan produk ekstensi non-makanan pertamanya, Heinz All Natural Cleaning Vinegar, di dekade 1980-an. Produk pembersih tersebut ’layu sebelum berkembang’. Bic, produsen disposable pens, yang sebelumnya sukses dengan produk ekstensinya disposable cigarette lighters dan disposable safety razors, mengalami kegagalan total sewaktu menggunakan namanya untuk sejumlah produk pakaian dalam wanita (salah satunya disposable pantyhose). Contoh-contoh brand extension gagal lainnya meliputi: sepeda gunung Smith and Wesson, yoghurt Cosmopolitan, salon kecantikan Lynx, makanan Colgate Kitchen Entrees, pasta gigi Pond’s, dan minuman ringan Frito-Lay Lemonade. Kategori produk orisinal untuk masing-masing merek tersebut berturut-turut adalah senapan, majalah wanita, deodoran pria, pasta gigi, krim muka, dan kudapan asin.
Masalah Re-Branding Saat ini Indonesia sedang dilanda euforia ‘manajemen perubahan’. Buku-buku tentang manajemen perubahan sedang laris manis, demikian pula konsultan spesialis manajemen perubahan banyak dicari. Bukankah di dunia ini tak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri? Confusius bahkan pernah berkata ”hanya orang paling arif atau paling bodoh yang tak pernah berubah”. Pendek kata, perubahan diyakini wajib dilakukan agar bisa tetap survive dalam era globalisasi ini. Akan tetapi, patut diingat bahwa: jangan sekedar berubah! Setiap upaya perubahan, apalagi yang bersifat strategik, harus benar-benar dilandasi justifikasi yang kuat, terutama menyangkut mengapa (motif dan tujuan) dan bagaimana (mekanisme dan proses) berubah. Contoh-contoh kasus berikut diharapkan bisa memberi inspirasi dan 11 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
pelajaran berharga mengenai kompleksitas perubahan, terutama dalam konteks rebranding. Fenomena re-branding banyak dijumpai dalam beberapa tahun terakhir, di mana perubahan nama acapkali diyakini sebagai prasyarat utama transformasi citra organisasi. Beberapa perusahaan asuransi melakukan re-branding baru-baru ini. Bentuk re-branding dari sekadar mengganti tagline, mengubah logo, mengganti nama dagang, rejuvenating brand atau bahkan mengubah total. Pemicu perubahan nama bisa bermacam-macam, di antaranya karena perkembangan teknologi (nama lama dianggap sudah ’usang’ dan tidak lagi relevan), cakupan bisnis saat ini terlalu sempit, restrukturisasi organisasi, merger dan de-merger, serta kekhawatiran akan persepsi negatif pihak eksternal saat ini terhadap organisasi dan aktivitasnya. Deretan perusahaan dan produk yang mengalami re-branding mencakup Northwest Airlines (menjadi NWA), Kentucky Fried Chicken (KFC), Handyplast (Hansaplast), Tarmac (Carillion), British Gas (BG dan Centrica), BLA (Citrus Publishing), Scottish Telecom (Thus), Gardner Merchant (Sodexho), The Spactics Society (Scope), WorldCom (MCI), Philip Morris (dari semula nama perusahaan induk, kemudian bergeser hanya untuk divisi rokok, sementara perusahaan induknya memakai nama baru Altria). Contoh re-branding terbaru adalah perubahan nama asuransi astra dan value proposition. Dari sekian banyak contoh itu, ada yang sukses, namun tak sedikit pula yang gagal. Di antara kasus sukses, pengalaman Accenture paling banyak dikupas. Penyedia jasa konsultasi dan solusi manajemen dan teknologi ini berhasil melakukan re-branding, restructuring dan repositioning secara efektif sewaktu memisahkan diri dari Andersen Worldwide Societe Cooperative (AWSC). Nama Accenture yang merupakan kombinasi kata ”accent” dan ”future” dipromosikan secara agresif di semua negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Hasilnya, ketika Accenture berhenti menggunakan tagline ”formerly known as Andersen Consulting” pada 31 Maret 2001, nama baru ini sudah dikenal publik luas. Sebaliknya, Consignia merupakan contoh menarik kasus kegagalan re-branding. Pernah membayangkan Kantor Pos diganti nama lain? Itu terjadi di Inggris di tahun 2002. Kala itu pihak manajemen ingin mengubah identitas dan memodernisasi nama BUMN Inggris yang telah berusia 300 tahun itu. Nama Post Office Group dipandang sudah tidak lagi relevan dengan cakupan bidang usaha yang juga meliputi jasa logistik dan customer call centers. Selain itu, kelihatannya mereka terinspirasi perusahaan12 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
perusahaan lain yang sudah lebih dulu mengganti namanya dengan ‘made-up names’, di antaranya Accenture (dulunya Andersen Consulting), Centrica (British Gas), Corus (hasil merger British Steel & Koninklijke Hoogovens), Diageo (hasil merger Guinness dan Grand Metropolitan), Elementis (Harrisons & Crosfield), Thales (Thomson-CSF), Thus (Scottish Telecom), Uniq (Unigate), Xansa (FI Group), dan Zeneca (divisi obatobatan ICI). Dengan bantuan konsultan Dragon Brands, dipilihlah nama Consignia yang merupakan perpaduan antara consign (‘to entrust to the care of’) dan insignia (lencana). Nama itu diyakini merefleksikan aspek kepercayaan dan citra royalty-ish. Namun, publik Inggris bereaksi negatif terhadap perubahan nama itu, misalnya lewat komentar “the most notorious ever Post Office robbery —that of the name itself”, “I didn’t know that the Post Office wasn’t called the Post Office”, “Everyone I know calls it the Post Office”, dan sejenisnya. Sebagian konsumen malah menertawakan nama itu karena dalam bahasa Spanyol artinya adalah ‘lost luggage’. Akhirnya, nama Consignia diganti kembali menjadi Royal Mail Group, yang merupakan perusahaan induk bagi divisi Royal Mail, Post Office, dan Parcelforce Worldwide. Pengalaman UAL juga patut dicatat sebagai contoh re-branding yang gagal. Di tahun 1987, UAL (perusahaan induk United Airlines) bukan lagi sekedar perusahaan penerbangan, namun kerajaan bisnis beraset US$ 9 milyar yang juga memiliki persewaan mobil Hertz dan jaringan hotel Westin dan Hilton International. Saat itu diputuskan untuk mencari nama baru yang lebih mencerminkan identitas sebagai travel company yang menawarkan one-stop shopping. Setelah melakukan riset ekstensif, nama Allegis dipilih (gabungan ‘allegiance’ yang berarti kesetiaan dan ‘aegis’ yang bermakna pengayoman). Indah bukan maknanya? Apa lacur, reaksi publik malah negatif. Berbagai kritik menganggap nama itu sulit diucapkan dan tidak berkonotasi langsung dengan jasa travel. Bahkan Donald Trump, mantan pemegang saham utama UAL, menganggap nama itu lebih pantas untuk ’the next world class disease’. Setelah menghabiskan dana US$ 7 juta untuk biaya riset dan promosi, perusahaan memutuskan untuk melepas bisnis hotel dan persewaan mobil, serta kembali ke nama United Airlines Inc. Dalam kebanyakan kasus re-branding, perusahaan mengganti namanya dalam rangka memfasilitasi peluang ekspansi ke berbagai kategori produk atau pasar geografis baru. Kasus MicroPro justru kebalikannya. Pada dekade 1980-an perusahaan ini pernah merajai pasar perangkat lunak pengolah kata lewat produknya, WordStar. Saking tergantungnya pada kesuksesan tersebut, MicroPro mengganti namanya menjadi 13 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
WordStar International. Keputusan ini justru kemudian terbukti membelenggu perusahaan. Selain kalah bersaing dengan sesama program pengolah kata (seperti Word Perfect dan Microsoft Word), mereka juga tak berkutik menghadapi kemunculan program perangkat lunak terintegrasi (seperti Microsoft Office). Bentuk spesifik re-branding bisa mencakup perubahan nama dan citra (simbol visual, warna, auditory mnemonics, dan sebagainya) hingga redefinisi strategi dan positioning merek. Secara garis besar, motivasi utama perusahaan melakukan rebranding meliputi: (1) ’menyegarkan kembali’ atau memperbaiki citra merek (contohnya, Eurodisney diganti Disneyland Paris setelah kinerja di awal berdirinya tergolong buruk); (2) memulihkan citra setelah terjadinya krisis atau skandal (valuJet berubah menjadi Airtran setelah kasus kecelakaan pesawat); (3) bagian dari merger atau akuisisi (Guinness dan United Distillers lahir kembali sebagai Diageo); (4) bagian dari de-merger atau spin-off (Arthur Anderson de-merger menjadi Anderson dan Accenture); (5) mengharmonisasikan merek di pasar internasional (chocolate bar Marathon diganti namanya menjadi Snickers di Inggris); (6) merasionalisasi portofolio merek (Unilever menghapus merek Olivio dan memasukkan ke dalam merek Bertolli); dan (7) mendukung arah strategik baru perusahaan (British Petroleum menjadi BP). Secara teoretis ada tiga kriteria pokok yang wajib dipenuhi dalam setiap upaya rebranding. Pertama, re-branding tidak bisa digunakan sekedar sebagai ‘kosmetik’ untuk menutupi krisis reputasi, cacat produk/jasa, skandal, dan sejenisnya, tanpa dibarengi perubahan fundamental pada aspek kunci yang melandasi perlunya perubahan merek. Kedua, nama baru yang dipilih harus diseleksi secara ketat lewat riset dan analisis intensif yang mencakup pula kajian mendalam terhadap global trademark dan ketersediaan URL (Uniform Resource Locators). Ketiga, nama baru tersebut haruslah inoffensive, singkat, gampang diingat, dan mudah diucapkan di semua negara tempat perusahaan bersangkutan beroperasi. Proses re-branding kerapkali memakan biaya besar dan waktu lama, belum lagi risiko kegagalannya juga besar. Oleh karena itu, empat perangkap re-branding berikut ini harus dihindari: 1.
Heritage re-branding trap.
Setiap upaya re-branding harus dilandasi pemahaman mendalam atas persepsi dan opini konsumen terhadap merek perusahaan (baik yang lama maupun baru). Salah satu aspek krusial dalam warisan kultural dan historis merek perusahaan adalah nasionalitas 14 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
merek. Dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan Inggris (terutama BUMN) yang berbondong-bondong ingin menghilangkan atau menyamarkan ciri “Britishness” dalam mereknya. Contohnya, demi mengejar citra merek global, British Telecom, British Petroleum, dan British Gas menghilangkan kata British dalam namanya. Media massa di Inggris mengecam habis perubahan nama seperti ini yang dianggap melecehkan warisan budaya Inggris. Padahal di masa kejayaan Kerajaan Inggris dulu, perusahaan Inggris justru berebut ingin menggunakan nama yang bersangkut-paut dengan British, Imperial atau Royal. Pengalaman Swissair Group dan British Airways bisa dijadikan contoh menarik kegagalan perusahaan yang berusaha menjauhkan diri dari akar historis dan kulturalnya. Swissair Group mencoba menyembunyikan kata Swiss dalam namanya lewat SAir Group. Sementara British Airways mengganti hiasan bercirikan bendera Union Jack di ekor pesawat dengan aneka gambar bernuansa global (seperti aksara Mandarin dan desain tato Maori) dalam rangka merefleksikan komposisi penumpangnya selama ini (40% penumpang Inggris dan 60% non-Inggris). Hasilnya? Keduanya memutuskan untuk menghentikan kampanye re-branding kontroversial tersebut dan kembali ke selera asal. Dalam kasus British Airways (BA), misalnya, pihak manajemen berkeinginan menciptakan persepsi sebagai maskapai penerbangan dunia dan kosmopolitan. Sayangnya, survei terhadap para penumpang internasional mengungkap bahwa mereka memilih BA justru karena citra British diasosiasikan dengan “responsible, calm in a crisis, and in control”. Ironisnya, keputusan untuk kembali ke ciri “Britishness” justru dibuat CEO BA yang berasal dari Australia, Rod Eddington. 2.
Global re-branding trap.
Re-branding yang lebih dikarenakan faktor ikut-ikutan bukan hanya berisiko tinggi dan berbiaya mahal, namun juga counterproductive. Sejumlah perusahaan multinasional, misalnya, memangkas merek lokal dan regionalnya dalam rangka menciptakan citra merek global yang seragam dan menghemat biaya desain, produksi, distribusi, dan promosi. Meskipun strategi seperti ini bisa sukses bagi sebagian perusahaan, namun belum tentu bisa berhasil bagi perusahaan lain. Prinsip fundamentalnya adalah motif dan tujuan re-branding harus diidentifikasi secara cermat dan komprehensif. Dalam sejumlah kasus, konsolidasi merek demi strategi global re-branding mungkin ditentang konsumen, terutama mereka yang loyal pada merek sebelumnya. 15 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Contohnya, Kellogg’s pernah mengubah nama salah satu produknya, Coco-Pops, di Inggris tahun 1999. Keputusan ini didasari keinginan untuk menyeragamkan mereknya di pasar Eropa menjadi Choco Krispies. Ternyata penjualannya justru merosot drastis. Polling via telepon di Inggris menyimpulkan bahwa konsumen lebih suka nama merek yang lama. Kesimpulan yang sama ditemukan pula pada hasil voting online mengenai nama favorit konsumen. Akhirnya, Kellogg’s memutuskan untuk kembali memakai nama merek Coco-Pops di Inggris. Kasus lain menunjukkan bahwa mempertahankan merek lokal dan mengabaikan ’godaan’ untuk mengkonsolidasikan merek menjadi satu merek global justru merupakan strategi bersaing yang efektif. Jaringan pasar swalayan Ahold NV merupakan salah satu contohnya. Jaringan yang berasal dari Belanda dan terbesar ketiga di dunia setelah WalMart Stores Inc dan Carrefour ini beroperasi dengan sekitar 20 merek di seluruh dunia. Termasuk di dalamnya antara lain Stop and Shop dan Giant di Amerika, Superdiplo di Spanyol, ICA di Swedia, dan Albert Heijen di Belanda. Salah satu merek lokalnya, ICA, termasuk merek terpopuler di Swedia, sejajar dengan merek Volvo. 3.
Merger re-branding trap.
Merger kerapkali diikuti kampanye re-branding. Biasanya perusahaan hasil merger
ingin
mempertahankan
ekuitas
dan
nilai
merek
lamanya.
Dengan
menggabungkan kedua nama lama, perusahaan baru berusaha menciptakan persepsi bahwa nama baru tersebut merupakan hasil penggabungan kekuatan dua merek kokoh. Sayangnya, kadangkala strategi ini tidak jalan. Publik bisa jadi malah bingung. Ambil contoh kasus merger antara bank investasi Morgan Stanley dan broker ritel Dean Witter di tahun 1997. Semula hasil merger-nya dinamakan Morgan Stanley, Dean Witter, Discover and Co. Kemudian nama Discover dihapus, disusul nama Dean Witter dihilangkan pada April 2001. Pihak manajemen perusahaan menyimpulkan bahwa cukup memakai nama Morgan Stanley saja malah tidak membingungkan publik. Lagipula, nama Morgan Stanley lebih kuat dan terkenal dibandingkan Dean Witter di pasar Eropa dan Asia yang juga dimasukinya. 4.
Celebrity re-branding trap.
Dalam rangka meremajakan kembali produk atau merek yang sudah loyo, tak jarang perusahaan terpikat untuk memakai jasa selebriti. Gagasan ini sebenarnya bagus, mengingat pamor selebriti berpotensi mengangkat citra merek dan produk, terutama apabila ada keterkaitan erat antara selebriti dan produk yang didukung. Namun, semata16 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
mata bergantung pada selebriti dalam upaya re-branding juga berisiko besar. Pengalaman majalah McCall’s menarik dijadikan pelajaran berharga. Majalah wanita yang didirikan tahun 1876 ini mencapai kejayaannya pada akhir dekade 1960an dengan tiras sekitar 8,5 juta eksemplar, namun perlahan tapi pasti tiras dan pendapatan iklannya merosot tajam. Akhirnya, di musim semi 2001 pemiliknya (Gruner and Jahr USA) memutuskan untuk berkolaborasi dengan Rosie O’Donnell, mantan selebriti talk show terkemuka. Majalah McCall’s diganti namanya menjadi Rosie. Sayangnya, kerja sama itu tidak mulus. Ada ketidakcocokan antara pihak penerbit dan Rosie menyangkut sejumlah hal, seperti siapa yang menjadi editor, siapa yang akan ditampilkan di sampul majalah, dan apakah teman dan keluarga Rosie layak ditampilkan di majalah itu. Bukan hanya majalah tersebut tamat riwayatnya (edisi terakhir terbit Desember 2002), namun pertikaian kedua mantan rekan bisnis itu berlanjut ke pengadilan. Pada hakikatnya, re-branding berfokus pada upaya mentransformasi citra organisasi dan produk. Pilihan kebijakan re-branding bisa dipilah berdasarkan dua dimensi (perubahan nama dan perubahan nilai/atribut merek) menjadi empat macam: (1) Re-iterating (nama dan nilai merek tidak diubah, karena dipandang tetap sesuai dan relevan dengan kebutuhan pelanggan; contohnya Mars dan Coke); (2) Re-naming (nilai fundamental tidak berubah, namun nama baru diperlukan untuk mengkomunikasikan perubahan struktur kepemilikan atau mengubah persepsi eksternal; contohnya Sodexho, BG dan Centrica); (3) Re-defining (nama merek tetap dipertahankan, hanya saja atribut dasar merek diubah; contohnya Tarmax); dan (4) Re-starting (perubahan fundamental dilakukan terhadap nama dan nilai merek; contohnya Scope dan Citrus). Lebih lanjut, proses re-branding bisa ditempuh dengan menggabungkan enam strategi pokok. Pertama, phase-in/phase out strategy yang ditempuh lewat dua tahap. Dalam tahap phase-in, merek baru masih dilekatkan pada merek saat ini selama periode introduksi tertentu. Setelah melewati periode transisi, merek lama perlahan-lahan dihapus. EuroDisney (dibuka tahun 1992) diganti namanya menjadi Disneyland Paris (Oktober 1994) lewat beberapa tahap: EuroDisney ⟶ Euro Disneyland ⟶ Euro Disneyland Paris ⟶ Disneyland Paris. Kedua, umbrella branding strategy, yakni menggunakan merek tunggal sebagai ’payung’ bagi hampir semua lini produk perusahaan di seluruh pasar yang dimasukinya. National BankAmericard, misalnya, mengkonsolidasi 22 merek kartu kreditnya ke dalam satu merek: Visa.
17 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Ketiga, translucent warning strategy, yaitu mengingatkan para pelanggan sebelum dan setelah perubahan nama merek aktual (biasanya melalui promosi intensif, pajangan dalam toko, dan kemasan produk). Keberhasilan Marathon berganti nama menjadi Snickers menggambarkan betapa pentingnya komunikasi pemasaran terintegrasi. Kemasan Marathon diberi tagline ”known worldwide as Snickers”, sementara kemasan Snickers memakai tagline ”formerly known as Marathon”. Keempat, sudden eradication strategy, yakni secara serta-merta mengganti nama merek lama dengan nama baru tanpa periode transisi. Strategi ini cocok dipilih apabila perusahaan bermaksud segera melepaskan diri dari citra ‘lama’. Selain itu, merek lemah yang tidak berpotensi untuk dijual atau dibangkitkan kembali merupakan kandidat utama bagi strategi ini. Proses re-branding majalah McCall’s menjadi Rosie menggunakan strategi ini. Kelima, counter-takeover strategy, yaitu strategi paska akuisisi yang mengabaikan nama merek sendiri dan menggantinya dengan nama merek yang diakuisisi. Contohnya, sewaktu France Telecom membeli merek Orange, perusahaan asal Perancis itu mengganti nama semua produknya dengan Orange. Demikian pula saat C&N Touristic mengakuisisi Thomas Cook, nama barunya adalah Thomas Cook AG. Terakhir, retrobranding strategy, yakni beralih kembali ke nama merek lama yang sempat dicampakkan. Wunderman (perusahaan direct marketing yang berdiri tahun 1958 di New York), misalnya, pernah diganti namanya menjadi Impiric pada Februari 2000, sebelum akhirnya kembali ke nama Wunderman pada Juni 2001. Meskipun perubahan nama atau logo dapat memberikan dampak revitalisasi bagi perusahaan, efek positif ini hanya akan bisa terealisasi dalam persepsi konsumen apabila strategi, komunikasi, produk dan layanannya selaras. Masih hangat dalam ingatan kita ”ganti kulit” yang dilakukan armada taksi tertentu di Jakarta yang mencoba mengubah citra buruknya di masa lalu dengan jalan mengganti logo, nama, dan warna dasar mobilnya. Walaupun sejumlah kecil pengguna jasa taksi sempat terkecoh, dalam waktu relatif singkat mereka segera menyadari kekeliruannya dan waspada setiap kali mau mencegat taksi. Selain itu, keterlibatan, komitmen dan dukungan manajemen puncak mutlak diperlukan. Manajemen puncak harus menjelaskan alasan perubahan kepada semua karyawan dan secara rutin mengkomunikasikan proses penciptaan identitas baru yang
18 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
sedang berlangsung. Dengan demikian, karyawan lebih mudah memahami, menerima, dan mendukung implementasi re-branding.
3. Kesimpulan Siapapun bisa melakukan kesalahan, tak terkecuali raksasa-raksasa bisnis sekaliber Coca-Cola, Harley-Davidson, Walt Disney, General Motors, Gerber, Virgin, P&G, Heinz, Cosmopolitan, dan Kellogg’s. Tampaknya, excellent companies yang bebas dari blunder hanyalah ilusi. Ironisnya, sejarah membuktikan bahwa banyak perusahaan yang justru tidak bisa (mungkin pula tidak mau) belajar dari kegagalan perusahaan lain. Hendon (1989) menyimpulkan bahwa kebanyakan kesalahan klasik terjadi dikarenakan perusahaan mengabaikan prinsip-prinsip pemasaran. Kesimpulan serupa dikemukakan pula oleh Ricks (1999) yang menegaskan bahwa mayoritas blunder yang terjadi sesungguhnya bisa dihindari kalau saja prinsip dasar bisnis dan pemasaran dipatuhi. Sementara itu, Haig (2003) mengidentifikasi tujuh faktor kritis yang berkontribusi pada kegagalan merek: brand amnesia, brand ego, brand megalomania, brand deception, brand fatigue, brand paranoia, dan brand irrelevance. Terlepas dari itu semua, takut melakukan kesalahan tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Jangan lupa: "the man who makes no mistakes does not usually make anything”. Yang lebih penting dari itu adalah kerendahan hati, kesungguhan, dan niat tulus untuk selalu belajar dari kegagalan sendiri dan orang lain agar tidak mengulang hal yang sama di kemudian hari. Ini semua tergambar secara gamblang dalam ungkapan kuno yang mengatakan: “learn from the mistakes of others, because you can’t live long enough to make them all yourself”.
DAFTAR PUSTAKA Haig, M. (2003), Brand Failures: The Truth about the 100 Biggest Branding Mistakes of All Time. London and Sterling, VA: Kogan Page. Hartley, R.F. and Claycomb, C. (2014), Marketing Mistakes & Successes, 12th ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc. Hendon, D.W. (1989), Classic Failures in Product Marketing: Marketing Principles Violations and How to Avoid Them. New York: Quorum Books.
19 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014
JURNAL ASURANSI DAN MANAJEMEN RESIKO Volume 2, Nomor 2, September 2014
Kaikati, J.G. (2003), “Lessons from Accenture’s 3Rs: Rebranding, restructuring and repositioning”, Journal of Product & Brand Management, Vol. 12, No. 7, pp. 477-490. Kaikati, J.G. and Kaikati, A.M. (2003), “A rose by any other name: Rebranding campaigns that work”, Journal of Business Strategy, Vol. 24, No. 6, pp. 17-23. Lomax, W. and Mador, M. (2006), “Corporate re-branding: From normative models to knowledge management”, Journal of Brand Management, Vol. 14, No. 1/2 (SeptemberNovember), pp. 82-95. Ricks, D.A. (1999), Blunders in International Business, 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. Tjiptono, F. and Chandra, G. (2012), Pemasaran Strategik, Edisi 2. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
20 | P a g e ASOSIASI AHLI MANAJEMEN ASURANSI INDONESIA (AAMAI) 2014