GERAKAN DAN AKTIVITAS AGAMA BUDDHA: MAJELIS MAJUBUTHI DI KOTA TANGERANG Achmad Ubaidillah¹ dan R. Adang Nofandi² Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat
[email protected] ABSTRAK Tiba pada sekitar abad ke-5 masehi, Agama Buddha merupakan agama tua yang kedatangannya bersamaan dengan agama Hindu di Indonesia. Dalam perkembangannya, agama Buddha di Indonesia mengalami polarisasi yang melahirkan berbagai majelis, salahsatu di antaranya yakni Majubuthi. Tujuan dalam penelitian ini secara umum adalah berupaya untuk mengetahui Sejarah perkembangan Majubuthi di Kota Tangerang dan bagaimana dinamika atau konflik-konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaianya; bagaimana manajemen organisasi majelis Majubuthi; apa yang menjdi pembeda majelis Majubuthi; serta bagaimana relasi sosial dengan penganut Buddha lainnya dan masyarakat sekitar.Pendekatan penelitian ini kualitatif, dalam bentuk studi kasus untuk mendalami, menjelaskan dan mendeskripsikan tentang gerakan dan aktivitas Majubuthi sebagai salahsatu sekte dalam majelis Buddha Theravada di indonesia. Hasil penggalian data kemudian di-crosceck untuk mendapatkan seperangkat pengetahuan tentang pandangan tokoh Majubuthi, kemudian dianalisis secara teoritis. Data-data yang diperoleh itu diklasifikasi dan diinterpretasi agar didapatkan dekskripsi yang cukup dan memudahkan penyusunan laporan. Berdasarkan temuan lapangan, keberadaan Majubuthi merupakan implikasi perpecahan di internal Walubi. Pemeluk agama Buddha, kecil kemungkinannya terlibat dalam konflik meskipun secara laten dan tidak bersifat konflik terbuka khususnya di kalangan internal mazhab Theravada. Ajaran pokok dan tata cara peribadatan semua mazhab pada umumnya sama, yang membedakan hanyalah intonasi, tata cara pelafalan, simbol simbol dan perlakuan terhadap tradisi Tionghoa dan Hinduisme. Kata Kunci: Buddha, Majubuthi, dan Deprivasi ABSTRACT Arrived at around the 5th century AD, Buddhism is the old religion whose arrival along with Hinduism in Indonesia. During its development, Buddhism in Indonesia experienced a polarization that gave birth to various assemblies, one of the main of which the Majubuthi. The purpose of this research in general is to attempt to determine the history of the development Majubuthi in Tangerang city and how the dynamics or internal conflicts that have occurred and how they solved; how management organization Majubuthi assembly; what is deferer Majubuthi assembly; and how they conduct social relations with other Buddhists and surround community. This research use the qualitative research approacment, in the form of case studies to explore, explain and describe the movements and activities Majubuthi as one of the Theravada Buddhist sect in Indonesia. The results of data mining and then in-crosceck to get a set of knowledge about the view Majubuthi figures, then analyzed theoretically. The data obtained were classified and interpreted in order to obtain sufficient desc and facilitate the preparation of reports. Based on the findings from the field, where Majubuthi the implications of internal divisions in Walubi. Buddhists, less likely to engage in conflict though latent and open conflict is not particularly among internally Theravada sect. The basic teachings and ordinances of worship are generally the same, the difference is the intonation, pronunciation ordinances, symbols and treatment of Chinese tradition and Hinduism. Keyword: Buddhist, Majubuthi and Deprivation
I. Pendahuluan Latar Belakang Adanya sekte dan majelis adalah realitas yang tidak dapat ditolak dalam kehidupan sosial keagamaan (kepastian dari Tuhan). Walaupun demikian ada saja kelompok keagamaan tertentu berusaha memaksakan kehendaknya seolah hanya pemahamannya sendiri sebagai kebenaran, hingga mengabaikan kelompok lainya. Mereka mudah menyalahkan dan menyesatkan aliran, paham dan gerakan keagamaan yang tidak sama, meskipun secara teologis perbedaan itu masih sangat absah. Agama Buddha merupakan agama tua yang kedatanganya bersamaan dengan agama Hindu di Indonesia. Tiba pada sekitar abad ke-5 masehi, dan sejumlah kerajaan Hindu dan Buddha pun telah
1
dibangun secara bergelombang sejak abad ke-5 hingga abad ke-13. Kedatangan agama Buddha dimulai dengan aktivitas perdagangan sejak awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India – Cina dan jalur rempah-rempah India –Nusantara (Buddha Dharma Education Association, 2015). Seiring perkembangan zaman, perkembangan agama Buddha mengalami pasang surut meskipun dikenal sebagai agama yang pernah berjaya berabad-abad. Pada masa kolonial, Buddha malah dianggap tidak ada, dan yang disebut agama waktu itu adalah Islam, Kristen dan Katolik. Bagi Belanda, Buddha bukan agama tetapi budaya, karena tidak memiliki sistem teologi yang jelas. Namun saat ini Agama Buddha mulai bangkit kembali dan terus tumbuh subur dan berkembang hingga hari ini. Menurut keterangan Dirjen Bimas Buddha dalam brain storming untuk bahan penyusunan desain penelitian ini, jumlah umat Buddha di Indonesia saat ini mencapai 8,7 juta jiwa. Sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 3% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 8,7 juta orang (Buddha Dharma Education Association, 2015). Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu banyak, mengingat penganut Konghucu dan Taoisme masih menjadi satu, sehingga dalam sensus mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha (Badan Pusat Statistik, 2014). Di samping itu banyak majelis yang dikelola oleh komunitas beragama Buddha di seluruh Indonesia, baik itu bersekte Theravada, Mahayana maupun Tantrayana. Para penganut Buddha aliran manapun berpegang pada Tripitaka, di dalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama, yang dicatat dan mengklasifikasikan dalam 3 buku yaitu Sutta Pitaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Pitaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abdidhamma Pitaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). Itulah sebabnya ketiga kumpulan kitab suci itu disebut Tripitaka. Tri artinya tiga dan pitaka artinya keranjang. Artinya Tripitaka terdiri dari 3 keranjang (kelompok) buku di atas (Nahrawi, 2006: 200 – 201). Secara keseluruhan jumlah majelis yang resmi tercatat adalah 20 buah di Indonesia, 12 buah masuk Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), yaitu Majubuthi, Mapanbumi, Madhatantri, PSBDI, PBD NSI, Majabumi, Kasogatan, Tantrayana, Tapak Suci, Matrisia, Amithaba, dan Sinar Buddha. Kemudian 4 majelis masuk KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia), yaitu Sagin, STI, SMI (Sangha), MBI, Magabudhi, Majabumi, Majelis Tridarma (majelis). Sementara itu majelis yang berada di luar Walubi dan Kasi, yaitu Ekadarma, SPI, Tridarma, Soka Ghokai, Mikti, Mahabudhi (Dirjen Bimas Buddha, 2015). Perkembangan agama Buddha saat ini kian pesat di Indonesia, salah satu kota yang mengalami perkembangan agama Buddha yang pesat adalah kota Tangerang. Umat Buddha menyebar di kota sampai ke pelosok kota Tangerang. Diiringi dengan pembangunan rumah ibadah hingga ke pelosok kota guna memudahkan umat untuk beribadah di Vihara/Cetiya. Gambaran ini dapat dilihat dari data komposisi penduduk berdasarkan agama dari Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang yang menyebutkan jumlah populasi umat Buddha di Kota Tangerang adalah sebesar 84.724 jiwa dari total jumlah penduduk Kota Tangerang telah mencapai 2.043.432 jiwa. Adapun komposisi penduduk Kota Tangerang berdasarkan agama lainnya terdiri atas: Islam (1.786.638 jiwa), Kristen (112.952 jiwa), Katolik (54.508 jiwa), Hindu (3.704 jiwa), Konghucu (698 jiwa) dan lain-lain (208 jiwa). (Data Kementerian Agama Kota Tangerang Tahun 2015). Dari data tersebut terlihat jelas bahwa Kota Tangerang merupakan salah satu kota di Indonesia yang begitu plural masyarakatnya khususnya dalam hal keragaman agama. Selanjutnya, berdasarkan data Pembimas Buddha Kementerian Agama Provinsi Banten Tahun 2015, secara terperinci data keberadaan Agama Buddha di Kota Tangerang adalah berikut: 8 Bikhhu/Bikkhuni, 78 Juru Penerang, 90 Dharmaduta, 26 Pandita, 90 Penyuluh non-PNS, 86 Guru, 1 Pengawas Pendidikan, 49 Vihara, 29 Sekolah Minggu Buddha, 12 Yayasan dan 19 Sekolah Bercirikan Buddha. Sedangkan majelis yang ada di Kota Tangerang antara lain: Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi), Majelis Agama Buddha Indonesia (Magabudhi), Majelis Agama Buddha Tri Dharma Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Panidata Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia. Dengan beragamnya mazhab dan aliran/sekte dalam agama Buddha, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian lapangan mengenai majelis umat Buddha Theravada Indonesia atau Majubuthi di Kota Tangerang, sehingga diketahui gerakan dan aktifitasnya dalam upaya tetap menjaga keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2
Kerangka Teori dan Penelitian Sebelumnya Menurut Durkheim, agama adalah realitas sosial dan kekuatan kolektif masyarakat yang berada di atas individu-individu, sehingga para pemeluknya tunduk dan bergantung pada kekuatan moral daripadanya, menerima segala sesuatu yang baik dan meninggalkan laranganya (Ravo SVD, 2013: 44). sehingga agama dipahami sebagai jalan menuju kehidupan sejati, yang diyakini setiap pemeluknya dan menjadi pedoman atau lentera dalam hidupnya. Dalam hal lain, Abdul Azis dengan mengutip teori Glock dan Stark serta Weber dan Troelth, mengatakan ada beberapa penyebab dan pertimbangan tertentu sehingga suatu aliran keagamaan tertentu hadir di hadapan publik, baik dalam bentuk aliran, mazhab, sekte, gerakan, organisasi/majelis keagamaan dan bahkan tarekat. Kesadaran yang tinggi dalam mencari jawaban atas suatu kondisi lingkungan yang terus berkembang menjadi penyebab munculnya mazhab, sekte, gerakan, organisasi atau majelis keagamaan dan tarekat baru untuk memenuhi dahaga keagamaanya. Di samping itu, memungkinkan elit agama bersangkutan memiliki kebebasan menjalankan tafsir keagamaan dan menampilkanya di hadapan publik atau mengalami deprivasi (Aziz, 1998: 2-3). Deprivasi dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu deprivasi ekonomi, deprivasi sosial, deprivasi organistik, deprivasi etis dan deprivasi pshikhis. Semua jenis deprivasi itu menimbulkan dampak yang berbeda-beda atau saling melengkapi dalam kehidupan sosial keagamaan. Di kalangan umat Buddha, deprivasi yang pas dan mendorong munculnya mazhab dan sekte maupun organisasi keagamaan Buddha adalah deprivasi pshikhis, deprivasi organistik dan deprivasi ekonomik. Hal ini terlihat adanya gejala bahwa perpecahan sekte dan majelis selalu dipengaruhi oleh ketiga faktor itu, terutama ekonomi dan kuasa (menjadi pemimpin majelis atau sekte). Sebagaimana halnya dengan agama-agama lain timbul madzhab dikalangan para pengikutnya, maka demikian pula Budhisme ini setelah Budha wafat pecah menjadi beberapa aliran/sekte dikalangan pengikutnya. Yang menjadi salah satu alasan utamanya adalah karena adanya perbedaan pandangan tentang Dharma yang diajarkan Sang Budha. Dari sinilah sejarah Theravada muncul, yaitu mazhab atau aliran yang berusaha mempertahankan ajaran Buddha Gautama secara murni yang mazhab utama Majubuthi. Pada sidang Pasamuan Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya (ajaran Buddha awal) , di sisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Buddha Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada, yang kelak menjadi Buddha Theravada. Pada sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya (ajaran Buddha awal), dan Bikhu Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyampaikan hasil investigasi (buku Kathavatthu) yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Pada saat inilah ajaran Abhidamma ditulis, dan dimasukkan dalam tata ajaran Buddha dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tripitaka ini ke Sri Lanka untuk disebarkan, sehingga Sri Langka sampai hari ini merupakan negara Buddha Theravada. Sementara itu di Indonesia, ada mazhab yang masih eksis dan memiliki pengikut dari berbagai etnis dan suku bangsa di Indonesia. Bagaimana proses polarisasi itu terjadi di Indonesia, apakah ketika masuk ke Indonesia memang hanya mazhab itu, ataukah muncul mazhab itu setelah Indonesia merdeka. Setidaknya mazhab-mazhab itu mampu mempertahankan eksistensinya. Jika memang hanya mazhab itu dan tidak bertambah, berarti secara sosiologis, ekonomis dan relegiusitas (dahaga keagamaan) masih sangat fungsional bagi pemeluknya. Bahkan jika dilihat dari data statistik jumlah umat Buddha terus meningkat dibandingan komunitas agama yang lain. Ini berarti agama Buddha tidak mengalami deprivasi yang berarti di kalangan pemeluknya, meskipun mungkin ada saja yang berbeda dengan lainya, tetapi semua masih dalam koridor ajaran Buddha. Itulah perbedaan di kalangan umat Buddha jarang terdengar pencelaan, penyesatan, pengkafiran dan konflik, karena memang tujuan beragama tidak untuk mencela yang lain tetap ingin mencapai Kebuddhaan dan Nirwana. Secara teologis, Buddha tidak menyatakan bahwa hanya ia yang masuk surga, tetapi semua orang dapat masuk surga tergantung dari karmanya, apapun agama dan keyakinanya. Masalah dan Tujuan Penelitian 3
Dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimana sejarah perkembangan sekte dan majelis Majubuthi? 2). Bagaimana manajemen organisasi majelis Majubuthi dan sistem ajarannya? 3). Apa perbedaan majelis Majubuthi dengan majelis lainnya? 4). Bagaimana relasi sosial dengan penganut Buddha lain, dan masyarakat sekitar? Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui Majubuthi meliputi sejarah sekte dan majelisnya; manajemen organisasinya (struktur, keanggotaan, pembinaan, dana dan sarananya); Kitab sucinya dan pokok-pokok ajaranya (teologi), ritual (sistem peribadatan), etika dan tradisi keagamaanya (hari suci keagamaanya); konflik-konflik intern yang pernah terjadi dan cara penyelesaianya, dan relasi sosialnya hubunganya dengan pemerintah, umat Buddha lainya dan masyarakat setempat. Manfaat penelitian Beberapa manfaat penelitian yang penulis harapkan dapat dicapai pertama pada aras akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah intelektual – khususnya penelitian ilmiah terkait sekte agama Buddha yang dirasakan masih minim akan literatur ilmiah. Sehingga diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi secara ilmiah akan permasalahan terebut. Selanjutnya pada aspek kebijakan, pada aras ini penelitian ini nantinya diharapkan mewujud pada sejumlah rekomendasi dalam menentukan arah kebijakan Pemerintah dalam rangka pelayanan kepada umat, terutama bagi Kementerian Agama RI Cq. Direktorat Jenderal Bimas Buddha.
II. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam bentuk studi kasus untuk mendalami, menjelaskan dan mendeskripsikan tentang gerakan dan aktivitas Majubuthi sebagai salahsatu sekte Buddha Theravada di indonesia. Hasil penggalian data kemudian di-crosceck untuk mendapatkan seperangkat pengetahuan tentang pandangan tokoh Majubuthi, kemudian dianalisis secara teoritis. Data-data yang diperoleh itu diklasifikasi dan diinterpretasi agar didapatkan dekskripsi yang cukup dan memudahkan penyusunan laporan. Adapun tehnik pengumpulan data dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a). Wawancara. Wawancara dilakukan dengan informan (“key informan”) yang dianggap memahami pokok persoalan, yaitu pertama, Pembimas Buddha Kementerian Agama; dan kedua, Pandita, guru agama Buddha, pengurus organisasi atau yayasan Majubuthi dan sebagainya; b). Observasi. Observasi sebagai metode yang digunakan adalah untuk menghimpun data tentang kegiatan obyek penelitian baik secara terlibat (participant) maupun observasi tidak terlibat (non participant). Dengan demikian peneliti memahami benar bagaimana nuansa kekeluargaan di kalangan umat Buddha dan masyarakat lingkungan sekitar. Semua dokumen berupa tulisan, baik itu dokumen resmi, hasil wawancara dan dokumen pribadi yang berkaitan dengan Majubuthi dihimpun sebagai sumber data primer dalam bentuk catatan harian. Data yang terkumpul kemudian diolah, dan diinterpretasi sehingga dapat disajikan secara deskriptif analitis dan komparatif. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menginterpretasi dan menganalisis hasil wawancara, dokumen, dan observasi.
III. Hasil dan Pembahasan Sejarah Majelis Majubuthi dan Dinamika Keagamaan Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia disingkat Majubuthi, dideklarasikan pada tanggal 19 April 2000 di Bandung. Majubuthi merupakan Majelis Agama Buddha yang bersumber pada kitab Suci Tipitaka (Pali) dan berasaskan pada Buddha Dhamma dan Pancasila Negara. Sebagai majelis yang menaungi umat Buddha Theravada di Indonesia, Majubuthi merupakan organisasi yang bersifat kerukunan yang menjalankan fungsi memberikan bimbingan, tuntunan dan menghimpun serta mengarahkan kehidupan beragama untuk umat Buddha Theravada sesuai ajaran Agama Buddha dengan kepribadian Indonesia. (http://www.walubi.or.id/majelis/majelis_majubuthi.shtml. 9 Mei 2015).
4
Sebelum terbentuknya Majubuthi, telah ada satu organisasi berbentuk LSM yang dinamakan Pervitubhi atau Persaudaraan Vihara Umat Buddha Indonesia yang lahir pada tanggal 30 November 1999 dan merupakan cikal bakal Majubuthi. Pervitubhi didirikan oleh para tokoh agama Buddha dari mazhab Theravada yang berkeinginan untuk tetap berada dalam tubuh Walubi pasca keluarnya Magabudhi atau Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia dari Walubi. Kekosongan majelis Theravada dalam organisasi Walubi tersebut mendorong para tokoh agama Buddha mazhab Theravada yang tetap ingin berada dalam Walubi melahirkan keputusan untuk melebur Pervibuthi menjadi Majubuthi pada tanggal 19 April tahun 2000 di Bandung. Perubahan nama ini selain disebabkan oleh kedudukan Pervitubhi sebagai LSM juga disebabkan adanya persyaratan keanggotaan Walubi bahwa anggota Walubi harus merupakan majelis-majelis agama Buddha (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Penjelasan mengenai syarat keanggotaan Walubi tersebut sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Walubi yang berbunyi: “Anggota WALUBI terdiri dari Majelis-Majelis Agama Buddha dan Lembaga Keagamaan Buddha yang bertaraf nasional.” (AD-ART Walubi Bab VII Pasal 12). Dalam pendirian Majubuthi, tokoh tokoh agama Buddha yang berperan dalam pendirian tersebut antara lain: Romo Soedjito Kusumo Kartiko, Romo Anton Setiawan, Murdaya Widyawimarta Poo dan beberapa tokoh agama Buddha Theravada perwakilan dari daerah Jakarta, Pekanbaru, Jambi, Manado, Tangerang dan Bandung. Pertemuan di Bandung pada tanggal 19 April 2000 tersebut dalam sejarah pendirian Majubuthi dikenal dengan sebutan Konsensus yakni sebuah kesepakatan peleburan nama Pervitubhi menjadi Majubuthi sekaligus memutuskan Romo Soedjito Kusumo Kartiko sebagai ketua umum DPP Majubuthi. Sedangkan tokoh-tokoh yang menjadi tim perumus selama Konsensus itu berlangsung antara lain Romo Rubi Santamoko, Leo Kristi, Eeng, Antonio dan beberapa tokoh lain dalam mazhab Buddha Theravada di Indonesia. (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Selain faktor-faktor di atas, pendirian Majubuthi merupakan imbas dari adanya keputusan Ibu Hartati Murdaya selaku ketua umum Walubi mengubah kata “perwalian” dalam akronim Walubi menjadi “perwakilan” (Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Perubahan kata “perwalian” menjadi “perwakilan” tersebut telah membuka kesempatan kepada orang biasa untuk menjadi pengurus Walubi. Adapun konflik Walubi dengan KASI dikarenakan ada kelompok di Sangha yang menginginkan kepimpinan Walubi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Adanya peristiwa ini menyebabkan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia atau Magabudhi keluar dari keanggotaan Walubi dan bergabung dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia. Dengan keluarnya Magabudhi yang bermazhab Theravada, maka terjadi kekosongan representasi Theravada dalam organisasi Walubi yang pada akhirnya mendorong para tokoh Buddha Theravada di Indoonesia yang masih ingin bergabung dalam Walubi membentuk Majubuthi atau Majelis Umat Buddha Theravada di Indonesia serta mengisi kekosongan tersebut dengan masuk dalam keanggotaan Walubi (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Perubahan kata “perwalian” menjadi “perwakilan” memang menjadi hal yang sangat kontroversial dalam internal Buddha di Indonesia. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang dibentuk di era reformasi, tidaklah sama dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), walaupun menggunakan singkatan yang sama. Perwalian Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Mei tahun 1979 oleh 3 (tiga) Sangha dan 7 (tujuh) majelis agama Buddha (organisasi umat Buddha awam) merupakan wadah tunggal yang didesign mencakup semua organisasi umat Buddha Indonesia, tetapi Perwakilan Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Desember tahun 1998 hanyalah organisasi umat Buddha awam. Karena itu kemunculan Dewan Sangha dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia tidak dapat dibenarkan, sebab tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Suci Tripitaka. Kemunculan Dewan Sangha Walubi di samping telah melanggar aturan Kitab Suci, juga telah menjadikan adanya bhiksu dan bhiksuni di luar KASI, walaupun mayoritas bhiksu dan bhiksuni Indonesia (95 %) tergabung dalam KASI. Sebaliknya pembubaran Walubi (Perwalian) dan pembentukan Walubi (Perwakilan) yang penuh kontroversi serta sikap Walubi (Perwakilan) yang tidak menghormati keberadaan KASI, telah mengakibatkan Walubi (Perwakilan) dianggap tidak mendapat dukungan dari mayoritas umat Buddha kendati Walubi (Perwakilan) beranggotakan banyak majelis agama Buddha (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8212.15. 14 Mei 2015).
5
Sementara itu di Indonesia, ada mazhab yang masih eksis dan memiliki pengikut dari berbagai etnis dan suku bangsa di Indonesia. Bagaimana proses perpecahanya itu di Indonesia, apakah ketika masuk ke Indonesia memang hanya mazhab itu, ataukah muncul mazhab itu setelah Indonesia merdeka. Setidaknya mazhab-mazhab itu mampu mempertahankan eksistensinya. Jika memang hanya mazahab itu dan tidak bertambah, berarti secara sosiologis, ekonomis dan relegiusitas (dahaga keagamaan) masih sangat fungsional bagi pemeluknya. Bahkan jika dilihat dari data statistik jumlah umat Buddha terus meningkat dibandingan komunitas agama yang lain. Ini berarti agama Buddha tidak mengalami deprivasi yang berarti di kalangan pemeluknya, meskipun mungkin ada saja yang berbeda dengan lainya, tetapi semua masih dalam koridor ajaran Buddha. Oleh sebab itulah di kalangan umat Buddha jarang terdengar pencelaan, penyesatan, pengkafiran dan konflik, karena memang tujuan beragama tidak untuk mencela yang lain tetap ingin mencapai Kebuddhaan dan Nirwana. Secara teologis, Buddha tidak menyatakan bahwa hanya ia yang masuk surga, tetapi semua orang dapat masuk surga tergantung dari karmanya, apapun agama dan keyakinannya. Manajemen Organisasi dan Sistem Ajaran Selanjutnya terkait dengan perkembangan Majubuthi di Indonesia dan Kota Tangerang, sejak didirikan pada tahun 2000, perkembangan Majubuthi relatif kurang berkembang dengan baik dan bahkan dalam hal kepemimpinan pun Romo Sujito begitu lama memimpin organisasi Majubuthi. Namun demikian, kondisi ini – sebagimana diungkapkan oleh Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi, lamanya masa kepemimpinan tersebut bukan karena tidak ingin melakukan regenerasi tetapi lebih pada alasan pembenahan di internal dan pilihan para elit Majubuthi untuk fokus mendirikan yayasan pendidikan Dharma Widya sebagai yayasan yang mengelola TK, SD, SMP, SMK dan Sekolah Tinggi Agama Buddha Dharma Widya di Tangerang. Perkembangan dan kemajuan ini merupakan dampak positif dari reformasi yang terjadi di tubuh Majubuthi yang dimulai pada tahun 2012. Pada tahun ini, Majubuthi melakukan reformasi diri setelah mengalami masa vakum yang cukup panjang. Bahkan tahun 2012 dianggap oleh kalangan internal Majubuthi sebagai tahun kebangkitan Majubuthi secara organisasi. Kemajuan ini kemudian berdampak pula pada pengembangan keorganisasian yakni dengan adanya pembentukan kepengurusan di 14 Provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Di 14 provinsi tersebut juga sudah terbentuk kepengurusan cabang di Kota Kabupaten. Di samping itu, saat ini Majubuthi memiliki 387 Romo/Pandita di seluruh Indonesia, dan paling banyak terdapat di Propinsi Banten yakni 52 Romo/Pandita dan sebagian besar ada di Kota Tangerang. Adapun jumlah Vihara Majubuthi di Kota Tangerang ada sekitar 10 vihara dan ada 60 Vihara yang dibina Majubuthi di wilayah Tangerang Raya. Namun, terkait dengan jumlah Umat Buddha yang tergabung ke dalam Majubuthi, hingga saat ini tidak pernah ada data valid mengenai jumlah tersebut dan ini diakui merupakan kelemahan umat Buddha secara keseluruhan termasuk di Majubuthi yang tidak mempunyai data valid mengenai keanggotaan. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya melakukan pendataan tersebut dikarenakan umat Buddha yang mengikuti peribadatan di Vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi tidak selalu merupakan anggota Majubuthi, melainkan dari kalangan mazhab yang berbeda pun seringkali beribadah di vihara Majubuthi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Ajaran Pokok umat Buddha Majubuthi tidak berbeda dengan sebagian besar pemeluk agama Buddha yang menjadikan Tripitaka sebagai sumber ajaran pokok. Ajaran utama dari kitab Tripitaka meliputi 3 inti ajaran sang Buddha yaitu tidak berbuat jahat, memperbanyak perbuatan baik, menyucikan hati dan fikiran. Ajaran agama Buddha dapat dirangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Ajaran tentang Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup pada perkembangan. Ajaran tentang Buddha berkaitan pula dengan masalah ketuhanan yang menjadi salah satu ciri ajaran semua agama. Ajaran tentang Damma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia itu sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya. Ajaran tentang Sangha sebagai pasamuan para bikshu juga berkaitan dengan umat yang menjadi tempat para bikshu menjalankan dhammanya.
6
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, dhamma, Sangha dengan kata dalam satu rumusan kuno yang sederhana namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tiratana yang berasal dari bahasa Pali yang artinya satu bagian terpenting dan yang menjadi dasar agama Buddha. Tiratana berasal dari dua kata Ti yang berarti tiga dan Ratana yang berarti permata arti keseluruhannya adalah tiga permata mulia, yang maksudnya adalah tiga Perlindungan. Permata yang pertama adalah Buddha yaitu seseorang yang mencapai penerapan yang sempurna dengan kemampuan sendiri tanpa bantuan dari makhluk-makhluk lain. Ia mempunyai kemampuan untuk menguraikan dan membabarkan penyatuan kepada makhluk-makhluknya. Permata yang kedua adalah Dhamma yaitu ajaran-ajaran yang diberikan dan dibabarkan Sang Buddha untuk mencapai Nibbana. Permata yang ketiga adalah Ariya Sangha yaitu persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah melaksanakan dhamma dengan sempurna dan yang telah mencapai magga (jalan) dan phala (hasil) dapat juga dikatakan persaudaraan para pengikut sang Buddha yang telah mencapai tingkatan tingkatan kesucian baik tingkatan pertama (sota panna) orang yang telah mencapai tujuh kali kelahiran, kedua (saka dagami) orang yang telah mencapai lima kali kelahiran, ketiga (anagani) orang yang telah mencapai satu kali kelahiran, maupun yang keempat (arahat) orang yang tidak sama sekali mengalami kelahiran (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Dalam hal peribadatan, umat Buddha Majubuthi melaksanakan peribadatan di Vihara: Membaca Parita (membaca doa Tripitaka), Meditasi (menyucikan hati dan fikiran), berdana/beramal. Selain aktifitas peribadatan tersebut, dilaksanakan pula kebaktian umum untuk semua usia, sekolah minggu untuk anak anak, kebaktian remaja, meditasi pagi dan pujabahkti, pujabhakti sore dan meditasi sore. Peribadatan ini tidak hanya dilakukan di vihara tetapi juga terdapat peribadatan doa pagi, doa malam yang dilakukan di rumah serta melakukan ibadah pujabhakti untuk pemberkatan rumah, kelahiran, kematian dan pada saat akan membuka usaha. Secara runut peribadatan di Vihara terdiri atas: 1). Menghormat kepada Buddha Dharma dan Sangha; 2). Mengukuhkan keyakinan dengan membaca Parita; 3). Mengulang ikrar bertekad melaksanakan Pancasila (tidak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, melatih diri menghindari perbuatan asusila, menghindari ucapan tidak benar/ berbohong, tidak mengonsumsi minuman atau makanan yang melemahkan kesadaran); 4). Membaca Parita tentang 9 keagungan Buddha; 5). Membaca Parita keagungan Dhamma; 6). Membaca Parita para Sangha (para bikkhu); 7). Membaca Parita pernyataan kebenaran; 8). Membaca tentang Manggalasuta tentang berkah utama; 9). Membaca aturan tentang cinta kasih termasuk terhadap mahluk setan; 10). Membaca Parita tentang pelimpahan jasa (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten; Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei 2015). Simbol simbol yang terdapat dalam keyakinan mazhab Majubuthi antara lain: bendera warna warni sebagai perlambang bahwa umat Buddha Majubuthi siap melaksanakan dhamma/ajaran. Warna tersebut terdiri atas warna biru bermakna bakti; kuning bermakna bijaksana; merah bermakna cinta kasih; putih bermakna suci dan jingga bermakna semangat (Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. Wawancara. 1 Mei 2015). Di samping itu, di vihara vihara Majubuthi pada umumnya terdapat rupang Brahma dan rupang Dewi Kwan Im. Adanya rupang Dewa Brahma tersebut bukan dalam rangka memuja melainkan menghormati Brahma karena telah berjasa dalam menerangkan ajaran Buddha yang menjadi ajaran yang dijalankan oleh umat Buddha. Dasar argumentasi penghormatan tersebut mengacu pada Kitab Tripitaka Parita Manggalasuta Bait ke-4 yang berbunyi: “Hormatilah siapapun yang patut dihormati” (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten; Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan. Wawancara. 2 Mei 2015). Perbedaan lainnya yang nampak adalah pada warna seragam yang dipakai oleh para romo yaitu cokelat muda yang awalnya berwarna cokelat tua. Perubahan warna tersebut didasari oleh semangat era kebangkitan Majubuthi. Adapun hari raya suci yang dirayakan oleh Umat Buddha Majubuthi kurang lebih sama dengan mazhab lainnya dalam agama Buddha yaitu merayakan Hari Raya Suci Waisak, Magapuja, Khatina, Asadha. Upacara Keagamaan lainnya yaitu acara pelimpahan jasa kepada leluhur lewat Patidana sebuah upacara menggabungkan tradisi dengan agama serta menyajikan sesaji makanan untuk leluhur kemudian didoakan Bikkhu. 7
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia atau Majubuthi sejak tahun 2000 mulai melakukan reformasi melalui upaya pembenahan internal organisasi dan pembentukan perwakilan di wilayah wilayah dan cabang di beberapa provinsi, kota/kabupaten di Indonesia termasuk di Kota Tangerang. Oleh karena itu, di Kota Tangerang pun telah dibentuk kepengurusan yang diketuai oleh Romo Ridwan selaku tokoh yang dianggap sesepuh bagi umat Buddha Majubuthi khususnya di Propinsi Banten. Hal yang menarik dalam proses pergantian kepemimpinan di organisasi Majubuthi adalah pergantian kepemimpinan melalui mekanisme pembentukan yang hampir tidak menimbulkan gesekan sama sekali di internal Majubuthi. Hal ini berbeda dengan organisasi lain di mana proses suksesi kepemimpinan melalui mekanisme pemilihan yang relatif berlangsung dinamis dan kompetitif. Peneliti berpandangan bahwa proses ini terjadi dikarenakan minimnya ketertarikan umat Buddha Majubuthi untuk terlibat aktif dalam struktur organisasi. Selanjutnya, secara struktur organisasi, selain Majubuthi merupakan bagian dari organisasi Walubi, juga berkiblat pada Organisasi Sangha Thervada Thailand. Ini berbeda dengan sesama majelis bermazhab Theravada lainnya yaitu Magabudhi yang berkiblat pada Sangha Theravada Indonesia. Dalam hal keanggotaan, meskipun ada etnis Jawa yang menjadi umat Buddha Majubuthi, tetapi sebagian besar adalah berlatar belakang Tionghoa. Adapun kegiatan pembinaan yang rutin dilakukan oleh Majubuthi adalah melalui kegiatan sekolah Minggu dan kebaktian anak-anak dan remaja. Selain itu secara rutin dilakukan kegiatan upgrading untuk para romo/pandita yang mengabdi di vihara vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi. Kegiatan pembinaan pun tidak sebatas itu, Majubuthi juga terus melakukan pembinaan dengan cara mendorong umat untuk terlibat aktif dalam setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh Majubuthi sebagai bagian dari penanaman dan penguatan nilai-nilai dan ajaran Buddha (Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten Tangerang/Plt Pembimas Buddha Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Sedangkan dalam hal pendanaan, pada umumnya dalam setiap kegiatan termasuk honor para pandita, sebagian besar diperoleh dari umat dan pengurus Majubuthi yang memberikan donasi kepada Vihara yang dimiliki dan dibina oleh Majubuthi yang statusnya otonom tidak bersifat hierarkis di bawah struktur Majubuthi. Namun demikian, pemerintah juga tetap memberikan perhatian dalam bentuk bantuan dana untuk kegiatan upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh Majubuthi meskipun bantuan tersebut tidak bersifat rutin dan periodik (Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara. 8 Mei 2015). Untuk kegiatan sosial, Majubuthi rutin menyelenggarakan kegiatan sosial dalam bentuk bakti sosial dan santunan. Perbedaan Majelis Majubuthi dengan Majelis Lainnya Terdapat beberapa perbedaan dalam 2 mazhab besar agama Buddha di antaranya: Theravada dan Mahayana berbeda dalam perayaan hari suci Waisak. Untuk Mahayana misalnya diperingati dengan memandikan rupang Shidahrta Kecil (patung). Selain itu, Majubuthi memberikan kelonggaran bagi mereka yang ingin bergabung sebagai romo, sedangkan di mazhab lain ada kriteria yang ketat untuk menjadi romo yaitu harus menjadi Upacarika lalu di test untuk menjadi romo/Pandita. Sedangkan di Majubuthi hal tersebut tidak dilakukan karena para pengurus Majubuthi berpikir bahwa setelah mereka memiliki keinginan maka pengurus Majubuthi akan melakukan pembekalan dan pendidikan. Oleh karena itu, Majubuthi merupakan era baru dalam rekrutmen rohaniwan dan bahkan dianggap terlalu mudah dalam melakukan proses rekrutmen. Hal semacam ini di Magabudhi pun tidak dilakukan padahal notabene sesama mazhab Theravada. Apa yang dilakukan oleh Majubuthi ini membawa haluan baru dan ketertarkan baru di kalangan generasi muda yang ingin menjadi romo/pandita (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Perbedaan lainnya adalah dari segi tata cara kebaktian meskipun tidak berbeda dengan mazhab lainnya dalam Buddha, namun intonasi dan pelafalan pembacaan doa terdapat sedikit perbedaan. Selain itu ada beberapa peraturan khusus untuk setiap Sanghanya: Untuk Theravada termasuk Majubuthi ada 227 Peraturan kehidupan, sedangkan mazhab Mahayana ada 356 aturan yang harus dipegang dan dilaksanakan oleh para Sangha (Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten. Wawancara. 2 Mei 2015). Relasi Sosial dengan Masyarakat 8
Dari uraian di atas jelas bahwa relasi antar umat beragama khususnya kalangan pemeluk agama Buddha dengan umat agama lain berlangsung baik dan hampir tidak pernah terjadi gesekan maupun konflik terbuka. Begitupun halnya dalam intern Buddha antara Majubuthi yang bermazhab Theravada dengan mazhab lain yang berbeda. Justeru yang terjadi adalah relasi yang kurang harmonis terjadi di internal mazhab Theravada di Indonesia yakni antara umat Buddha Majubuthi dengan Magabudhi meskipun relasi yang kurang harmonis ini hanya terjadi di level elit mengingat di level akar rumput hampir tidak memikirkan soal perbedaan mazhab terlebih lagi perbedaan organisasi. Gambaran potensi konflik semacam ini tentu penting untuk menjadi informasi yang bisa menguatkan pendapat bahwa tidak mesti konflik terjadi disebabkan oleh perbedaan agama maupun perbedaan mazhab, karena faktanya terjadi bahwa di internal mazhab/aliran tertentu pun potensi konflik terjadi akibat adanya perbedaan cara pandang dan penafsiran misalnya dalam hal dihadirkannya rupang Brahma dan Dewi Kwan Im di Vihara Majubuthi yang mendapat respon kurang positif dari kalangan Magabudhi (Irwan, Umat Buddha Magabudhi. Wawancara. 8 Mei 2015). Peristiwa kurang harmonisnya elit Majubuthi dengan Magabudhi yang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perpecahan di internal agama Buddha di Indonesia antara tokoh tokoh Walubi dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia. Sedangkan potensi konflik di internal Majubuthi, berdasarkan hasil observasi dan wawancara, dapat dikemukakan bahwa potensi konflik di internal Majubuthi nyaris tidak ada dan bahkan justeru sebaliknya, mereka satu sama lain bekerjasama membangun dan menguatkan organisasi dan kiprah Majubuthi di kalangan umat Buddha dan masyarakat pada umumnya. Hal menarik yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menguatkan hal tersebut adalah pada peristiwa suksesi kepemimpinan di Majubuthi baik di tingkat Dewan Pimpinan Pusat maupun Wilayah dan Cabang. Tidak ada proses pemilihan yang dinamis dan kompetitif sebagaimana terjadi di organisasi pada umumnya di Indonesia. Tentu akan berbeda apabila Majubuthi sudah menjelma menjadi organisasi yang relatif besar dalam arti pengaruh dan posisi tawar politik di hadapan publik meskipun Majubuthi bukan merupakan organisasi politik maupun organisasi keagamaan yang terstigma sebagai organisasi keagamaan yang cenderung politis. Selanjutnya dalam hal relasi umat Buddha Majubuthi dengan mazhab yang berbeda dan umat pemeluk agama lain termasuk dengan masyarakat berlangsung baik dan harmonis. Sejauh ini dengan majelis lain tidak ada masalah dan hidup saling hormat menghormati. Bahkan untuk pembangunan vihara pun tidak menemui kendala berarti. (Kasubag TU Kementerian Agama Kota Tangerang. Wawancara. 4 Mei 2015). Relasi yang tidak harmonis justeru berlangsung di internal, terutama dengan sesama mazhab Theravada yaitu Magabudhi. Magabudhi bahkan pernah memasang label/plang Sangha dari Magabudhi di vihara vihara yang diklaim sebagai binaan Magabudhi meskipun sekarang sudah berubah. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan eksistensi mereka dan untuk menutup Majubuthi masuk ke dalam vihara mereka. Saat itu bahkan Majubuthi dicap sebagai kelompok sempalan. Selain pemasangan plang tersebut, juga pernah terjadi pelarangan kepada romo/pandita Majubuthi untuk melakukan pembabaran Dharma di vihara yang dibina oleh Magabudhi (Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. Wawancara. 5 Mei 2015). Hal yang sama juga dialami Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten Tangerang/Plt Pembimas Buddha Kota Tangerang (Wawancara. 8 Mei 2015). IV. Penutup Berdasarkan uraian uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, lahirnya Majubuthi merupakan implikasi perpecahan di internal Walubi. Kedua, potensi konflik di kalangan umat Buddha sesungguhnya terjadi tidak seperti asumsi yang berkembang selama ini bahwa pemeluk agama Buddha, kecil kemungkinannya terlibat dalam konflik meskipun berlangsung diam diam dan tidak bersifat konflik terbuka khususnya di kalangan internal mazhab Theravada yakni Magabudhi dan Majubuthi. Ketiga, ajaran pokok dan tata cara peribadatan semua mazhab pada umumnya sama, yang membedakan hanyalah intonasi, tata cara pelafalan, simbol simbol dan perlakuan terhadap tradisi Tionghoa dan Hinduisme. Keempat, dalam penelusuran jumlah anggota majelis termasuk jumlah pemeluk agama Buddha selain terkendala oleh tidak adanya data base yang akurat di
9
pembimas Buddha juga disebabkan oleh perilaku beribadat umat Buddha yang tidak terpaku pada satu vihara dan mazhab tertentu. Atas dasar kesimpulan tersebut maka penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi antara lain: Pertama, perlu dilakukan kegiatan kegiatan yang lebih menguatkan kebersamaan di internal mazhab Theravada meskipun saat ini konflik konflik semacam itu tidak terjadi dan masih bersifat laten dan tidak bersifat terbuka. Inisiatif itu perlu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama melalui Pembimas Buddha. Kedua, pemerintah perlu membuat program yang lebih menekankan pada dukungan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan umat Buddha dan kepada para rohaniwan yang telah berbakti bagi umat Buddha yang pada umumnya lebih berorientasi pada kepedulian membabarkan Dharma Buddha. Ketiga, perlu diselenggarakan kegiatan kegiatan yang intensif untuk membangun kebersamaan di kalangan umat Buddha baik di internal mazhab maupun dari berbagai mazhab yang berbeda.
V. Ucapan Terimakasih Hasil penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya kontribusi dan bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada: 1. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah membiayai penelitian. 2. Pembimbing Karya Tulis Ilmiah Pusbindiklat LIPI Drs. Machmud Thoha, yang telah memberikan arahan sehingga karya tulis ini terwujud sesuai kaidah penulisan LIPI. 3. Achmad Ubaidillah sebagai penulis utama, yang memberikan izin dan dukungan agar laporan ini dipergunakan dan dioleh kembali sebagai Karya Tulis Ilmiah. 4. Seluruh staf dan Pengurus Majelis Majubuthi Kota Tangerang, yang telah memberikan informasi dan data hingga penyusunan laporan ini rampung. 5. Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang, atas fasilitasi dan asistensi selama penulis berada di lapangan.
Daftar Pustaka Aziz, Abdul. Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Dian, 1998. Nahrawi, Nahar. Studi tentang Nichiren Syosyu pada Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia di Kota Batam (dalam Kelompok Keagamaan Kristen, Hindu dan Buddha di Indonesia). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2006. Raho, Bernard SVD. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Penerbit Obor, 2013. "Buddhism in Indonesia". Buddha Dharma Education Association. Buddha Dharma Teitaro Suzuki, Daisetz. “Agama Buddha Mahayana.” Terj. Hastiati. Beatrice Lane. Jakarta: Karania Dharma Universal Untuk Semua, 2009. “
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut.” Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2014.
“
Buddisme in Indonesia”. Buddha Dharma Education Association, 2005. Diakses 10 Maret 2015.
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/agama-buddha-dan-perkembangannya-di-indonesia. 23 Maret 2015 AD-ART Walubi Bab VII Pasal 12, Tahun 2014.
10
Daftar Informan: 1. Romo Rubi Santamoko, Wakil Ketua DPP Majubuthi. 2. Romo Andreas, Ketua DPW Majubuthi Provinsi Banten. 3. Romo Yura, Ketua DPC Walubi Kota Tangerang. Wawancara. 4. Romo Sriyono, Sekretaris DPW Majubuthi Propinsi Banten 5. Romo Nanda, Pengurus Vihara Shidarta Milik Majubuthi dan Ketua Majubuthi Kota Tangerang Selatan 6. Romo Taram, Ketua Majubuthi Kabupaten Tangerang/Plt Pembimas Buddha Kota Tangerang. Wawancara. 7. Irwan, Umat Buddha Magabudhi. Wawancara. 8. Kasubag Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang
11