ISSN 2406-7601
Jurnal
AGAMA BUDDHA DAN
ILMU PENGETAHUAN Hesti Sadtyadi Sujiono
Pengembangan Instrumen Motivasional, Kepuasan Kerja dan Kinerja Guru Pendidikan Agama Buddha. Penerapan Metode SQ3R Pada Pembelajaran Komptensi Membaca Kritis
Suhartoyo, dkk
Korelasi Antara Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana) dengan Bhakti Anak Kepada Leluhur Di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah
Mujiyanto, dkk
Pengaruh Kompetensi Sosial Guru Pendidikan Agama Buddha Tersertifikasi Terhadap Pembinaan Umat Di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung
Mujiyanto
Pengaruh Disiplin Belajar Dan Keaktifan Kegiatan ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci (PKS) Agama Buddha Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung Tahun Ajaran 2011/2012
Hariyanto
Pengaruh Media Gambar dan Lagu Buddhis Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Buddha
Sukodoyo
Motivasi Bekerja di Vihâra Pada Wanita Dewasa Awal (Studi Kasus Di Vihâra Tanah Putih Semarang)
Tri Yatno, dkk Untung Suhardi
Volume 1
Pengembangan Model Asesmen Otentik Pada Pendidikan Agama Buddha di Sekolah Dasar dalam Rangka Peningkatan Kinerja Guru Eksistensi Perempuan Hindu Kajian Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya
Nomor 1
September 2014
ISSN 2406-7601
Jurnal
AGAMA BUDDHA DAN
ILMU PENGETAHUAN DAFTAR SUSUNAN PENGURUS Penanggung Jawab : 1. Ketua STAB N Raden Wijaya 2. Hesti Sadtyadi Ketua UP2M: Sukodoyo Ketua Unit: Tri Yatno Sekretaris: Prihadi Dwi Hatmono Penyunting Pelaksana: Hesti Sadtyadi Hariyanto Novianti Situ Asih Mitra Bestari: Eni Lestari Penyunting Bahasa: Sujiono Urip Widodo
Penerbit Yayasan Cipta Sarana Budhi Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
ISSN 2406-7601
Jurnal
AGAMA BUDDHA DAN
ILMU PENGETAHUAN Volume I Nomor 1 September 2014
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan Sang Tiratana sehingga Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan edisi perdana ini dapat terbit. Seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta sumberdaya manusia maka hasil-hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah dibidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan perlu dipublikasikan dan dapat diakses dengan mudah, gratis oleh pembaca. Selain itu, publikasi ilmiah di bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan yang diterbitkan di jurnal-jurnal masih terbatas sehingga penyebaran hasil-hasil penelitian juga sangat terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut Yayasan Cipta Sarana Budhi bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah berinisiatif untuk menerbitkan jurnal bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Tulisan ilmiah hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi: Pendidikan Agama Buddha, Pendidikan, Keagamaan Buddha, dan Ilmu Pengetahuan, dan bidang lain yang berkaitan dengan Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan merupakan pilihan utama masa kini dan masa mendatang untuk digunakan sebagai media diseminasi hasil-hasil penelitian maupun sanggahan ilmiah karena melalui media ini: (1) pembaca akan dapat dengan cepat mengakses informasi (isi) dalam jurnal tersebut, (2) penulis akan lebih cepat melakukan komunikasi dengan penerbit, (3) potensi jumlah pembaca jurnal ini menjadi lebih besar. Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan ini diharapkan dapat terbit secara berkala sekali dalam setahun. Dalam edisi perdana ini, menyajikan sebanyak sembilan jurnal yang terdiri dari bidang pendidikan Agama Buddha, Keagamaan Buddha, Pendidikan, dan Ilmu Pengetahuan. Semoga Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan ini dapat menambah dan melengkapi diseminasi hasil-hasil penelitian di bidang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan serta sebagai ajang komunikasi sesama ilmuwan untuk pengembangan Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan.
ii
ISSN 2406-7601
DAFTAR ISI Nama Penulis Hesti Sadtyadi
Sujiono Suhartoyo, dkk
Mujianto, dkk
Mujiyanto.
Hariyanto
Sukodoyo Tri Yatno, dkk
Untung Suhardi
Judul Halaman 1 PENGEMBANGAN INSTRUMEN MOTIVASIONAL, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA PENERAPAN METODE SQ3R PADA PEMBELAJARAN 17 KOMPETENSI MEMBACA KRITIS 31 KORELASI ANTARA UPACARA PELIMPAHAN JASA (PATTIDANA) DENGAN BHAKTI ANAK KEPADA LELUHUR DI KABUPATEN KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH 45 PENGARUH KOMPETENSI SOSIAL GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA TERSERTIFIKASI TERHADAP PEMBINAAN UMAT DI KECAMATAN KALORAN KABUPATEN TEMANGGUNG. 59 PENGARUH DISIPLIN BELAJAR DAN KEAKTIFAN KEGIATANEKSTRAKURIKULER PENDALAMAN KITAB SUCI (PKS) AGAMA BUDDHA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 2 KALORAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN AJARAN 2011/2012 73 PENGARUH MEDIA GAMBAR DAN LAGU BUDDHIS TERHADAP HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA MOTIVASI BEKERJA DI VIHĀRA PADA WANITA DEWASA 90 AWAL (Studi Kasus di Vihāra Tanah Putih Semarang) 106 PENGEMBANGAN MODEL ASESMEN OTENTIK PADA PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DI SEKOLAH DASAR DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA GURU 121 EKSISTENSI PEREMPUAN HINDU KAJIAN NILAI PENDIDIKAN ETIKA HINDU TENTANG KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KITAB SARASAMUCCAYA
iii
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
1
PENGEMBANGAN INSTRUMEN MOTIVASIONAL, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA AN INSTRUMENT DEVELOPMENT OF MOTIVASIONAL, TASTE AND PERFORMANCE RELIGION BUDDHIS’T SCHOOL TEACHERS Hesti Sadtyadi
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan instrumen dengan menemukan dan mengetahui komponen yang berpengaruh terhadap motivasional, kepuasan dan kinerja guru pendidikan agama Buddha, serta indikator komponen dari motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha. Penelitian ini dikembangkan dengan metode research and development, berdasarkan model pengembangan pembelajaran Borg and Gall, yang disesuaikan. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas, instrumen tersebut valid dan reliabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen motivasi dapat disusun berdasarkan indikator sub komponen ektrinsik yang meliputi 1) kebijakan dan administrasi, 2) pengawasan, dan 3) kondisi kerja, serta dari faktor instrinsik yang terdiri dari 1) pengembangan, 2) pekerjaan dan 3) tanggung jawab. Komponen kepuasan kerja dapat disusun dari indikator 1) penggunaan jam kerja, 2) keadilan, 3) kedisiplinan, 4) penghargaan dan 5) stres kerja. Komponen kinerja dapat disusun dari indikator yang meliputi tugas guru dalam mengajar, tugas guru dalam mendidik, serta tugas guru dalam membimbing dan melatih. Kata Kunci : instrumen motivasional, kepuasan kerja, kinerja, guru agama Buddha ABSTRACT The purposes of this research are to develop an instrument with find and know the components that affect the motivational, satisfaction, and performance of Buddhism religious teacher and components indicators of the motivation, job satisfaction and performance of Buddhism religious teachers. This research developed with research and development methods based on the Borg and Gall’s learning development model, which is adjusted. Based on validity and reliability test, these instruments are valid and reliabel, so that it can be concluded that the motivation instrument can be composed based on the indicator of extrinsic factor which includes of 1) policy and administration, 2) supervision, and 3) working conditions, as well as from intrinsic factors of which consists of 1) development, 2) job and 3) responsibilities. The job satisfaction components can be composed from the indicator of 1) use of working hours, 2) justice, 3) discipline, 4) reward, and 5) work stress. The performance components can be composed from indicators of teachers’ duties in teaching, teachers’ duties in educational, and teachers’ duties in guiding and coaching. Keywords: motivational instrument, job satisfaction, performance, Buddhism religious teacher
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
2
Pendahuluan Peningkatan mutu pendidikan tidak akan terlepas dari keadaan guru. Memahami guru dengan upaya mamahami karakter yang ada, dalam kaitannya dengan motivasionalnya dapat menyebabkan proses pendidikan akan berjalan sangat baik. Terlebih jika berbagai faktor penunjang bekerja seiring mengerakkan kearah positip kemajuan pendidikan. Kita pahami bahwa motivasional dapat kita bagi menjadi dua bagian yakni motivasional ekstrinsik dan instrinsik. Jika pemahaman kita pada bagaimana mengembangkan faktor ektrinsik dan instrinsik, tentunya adalah bagaimana dapat dipetakan motivasional guru tersebut. Dipahami bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan pemberian tunjangan yang cukup mengiurkan seperti tunjangan sertifikasi merupakan faktor yang mampu memberikan dorongan guru untuk berpacu dan termotivasi seperti tujuan dalam sertifikasi yakni profesional. Namun pemahaman dalam pemetaan motivasi disini diharapkan akan mampu memberikan pandangan bahwa dengan pencapaian tunjangan dimaksud, guru akan tetap termotivasi untuk tetap terdorong menjadi lebih profesional, atau dalam makna evaluasi bagaimana kinerja yang akan dicapai atas dorongan tunjangan sertifikasi atau faktor eksternal tersebut. Meningkatkan kinerja melalui motivasi diri guru tentunya yang terpenting adalah melalui pemetaan motivasional intrinsik guru. Faktor apa yang akan meningkatkan kinerjanya, dan melalui keadaan bagaimana dapat dicapai? Mengembangkan faktor instrinsik, dengan penekanan pada lebih profesional, merupakan motivasional yang tidak akan pernah berhenti, dan tentunya dengan pemahaman demikian akan mampu meningkatkan secara terus menerus profesional guru. Teori Maslow yang disederhanakan oleh Herzberg dari lima tingkatan kebutuhan menjadi dua faktor ektrinsik dan instrinsik, jika kita sesuaikan dengan bidang pekerjaan guru, tentunya merupakan upaya untuk memberikan dorongan dari dalam pribadi guru untuk mencapai apa yang diinginkan melalui proses pembelajaran. Dengan proses pemotivasian guru tentunya akan memberikan dorongan dalam capaian proses pembelajaran yang semakin baik dan berkualitas serta akan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
selalu bersesuaian dengan target atau hasil yang akan dicapai. Meningkatkan motivasi, berarti meningkatkan dorongan, jika hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan kinerja, maka berarti kinerja yang diharapkan akan berubah, seperti yang diharapkan. Hal ini juga terkait dengan proses pembagian waktu dalam kerja, yang masih dipengaruhi oleh pekerjaan yang bersifat administratif diantaranya; penyelesaian administrasi guru, administrasi terkait dengan sekolah, tugas yang diberikan kepala sekolah, komite sekolah, maupun dari dinas atau departemen terkait, selain adanya fungsi dan peran kontrol pengawas pendidikan, yang kadang juga menuntut akan kriteria pekerjaan guru. Pembagian waktu kerja akan memiliki dampak pada pekerjaan itu sendiri, dan penempatan sekala prioritas dalam pekerjaan yang menunjukkan atau menggambarkan adanya motivasi instrinsik. Motivasional pada bagian intrinsik guru, yang berdampak pada kinerja. Motivasional juga akan mengarah pada proses pembelajaran yang baik, tentunya akan berdampak pada peningkatan kinerja atau motivasional siswa dalam proses pembelajaran. Guru yang memiliki motivasi dalam proses pembelajaran yang baik, tentunya akan berdampak pada motivasional siswa yang baik pula, dengan gambaran bahwa siswa akan terbangun motivasinya dalam proses pembelajaran. Dampak motivasi siswa dalam berbagai hasil proses pembelajaran akan tampak pada kemampuan yang tergambar dalam struktur taksonomi Bloom, baik dalam bidang kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Terpenting disini adalah bagaimana mengupayakan dorongan tersebut untuk menjadi motivasional yang tidak pernah padam, sehingga akan berpengaruh positip pada lingkungan sekolah khususnya siswa. Guru sebagai tulang punggung keberhasilan pendidikan dengan kondisi penting terkait dengan bagaimana motivasional dapat dikedepankan, merupakan hal yang utama, nilai penting ini dapat dilihat dengan berbagai permasalahan mendasar guru, sebagai contoh dalam Tabel 1. yang terlihat bahwa 45 % guru yang dimiliki untuk guru SD berstandar DII, SLTP sebanyak 21 % dengan standar DIII dan 29 % pada SLTA dengan kualifikasi Sarjana (S1).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
3
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Motivasi guru, yang merupakan kajian penting, yang sudah seharusnya dipahami dari awal, yang dimulai dari penilaian formal, sudah seharusnya dapat dilihat dan dipahami sejak dini. Namun keadaan penilaian tersebut khususnya terkait dengan kinerja, secara umum masih dalam bentuk penilaian formalitas saja, dan belum berkembang kearah pengkajian atas hasil dari penilaian tersebut. Sudah sepantasnya penilaian tersebut menjadi penilaian yang memiliki nilai guna yang dapat digunakan untuk mengkaji kedudukan dan posisi motivasional guru. Tabel 1. Daftar Kebutuhan Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkatan Kategori Pendidikan Prosentase SD DII 45% SMP DIII 21% SMA S1 29% Sumber Data : Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Th2004. Pentingnya pemahaman motivasional, akan meningkatkan kinerja, pada satu sisi, yang merupakan keharusan seoarang guru, sehingga tugas dan peran utamanya dapat dicapai. Meningkatkan kinerja bukan berarti hanya terkait bagaimana mengeksploitasi guru sebagai tenaga pendidik, tetapi sekaligus memahami guru dengan motivasinya, sehingga dapat dicapai kepuasan kerja. Bentuk pemahaman ini akan membawa bentuk keseimbangan, pada satu sisi tujuan atas pekerjaan dan sisi yang lain, apa yang menjadi tujuan guru dapat terpenuhi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan penelitian dengan upaya memahami motivasional, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha dengan mengembangkan instrumen motivasional, kepuasan kerja dan kinerja yang disesuaikan dengan karakteristik guru yang ada, sehingga dapat disajikan struktur motivasional guru, kinerja maupun kepuasan kerjanya. Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah 1). Faktor apa sajakah yang mempengaruhi motivasional, kepuasan dan kinerja guru pendidikan agama Buddha? 2). Indikator apa sajakah yang mempengaruhi
motivasi, kepuasan dan kinerja guru pendidikan agama Buddha. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan mengetahui: 1). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasional, kepuasan dan kinerja guru pendidikan agama Buddha. 2). Indikator komponen dari motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha. Diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadi informasi dan referensi bagi pihak – pihak terkait dalam membuat kebijakan mengenai motivasi kinerja guru dalam usaha penentuan kebijakan terkait dengan motivasional dan memberikan kepuasan kerja serta meningkatkan kinerja. Diharapkan pula, penelitian ini menjadi masukan dan bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut terkait dengan motivasi guru , kepuasan kerja, dan kinerja guru. Dalam studi pendahuluan beberapa teori terkait dengan variabel dilakukan pembahasan seperti teori Motivasi Herzberg, yang membagi faktor kebutuhan menjadi dua faktor penting dalam lingkungan kerja, salah satu diantaranya adalah faktor ekstrinsik, yang terdiri dari upah, keamanan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, dan mutu hubungan interpersonal antara sesama rekan kerja, atasan dan bawahan. Keberadaanya terhadap kepuasan tenaga kerja tidak selalu memotivasi mereka, tetapi ketidak beradaanya menyebabkan ketidak puasan bagi tenaga kerja. (Gibson, et al.,1996,p. 197). Kepuasan kerja juga diartikan sebagai suatu derajat dimana individu merasakan positip atau negatip tentang pekerjaanya, kondisi tersebut sebagai seperangkat pernyataan emosional terhadap tugasnya yang disebabkan oleh kondisi fisik dan sosial di lingkungan pekerjaan. (Osborn et al., 1991, p.55). Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu respon efektif emosional yang mengarah kepada berbagai tampilan dari suatu pekerjaan (Kreitner, 1995, p. 159). Dalam pengembangan instrumen kepuasan kerja juga mempertimbangkan dari Minnesofa Satisfaction Questionare (MSQ). Instrumen ini digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan kerja individu terhadap aspek pekerjaannya (Baron, & Greenberg,1990 ; Osborn et al., 1991). Menurut Dunham et al.(1977) seperti dikutip Praptini (2000) MSQ versi pendek dengan dua puluh (20) item
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
4
pernyataan, memiliki instrumen yang sudah lengkap dan telah teruji validitasnya. Motif diartikan sebagai dorongan atau tenaga yang menggerakkan jiwa dan jasmani untuk berbuat sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa motif adalah yang melatar belakangi individu dalam berbuat untuk mencapai tujuan tertentu atau dapat dikatakan bahwa motif merupakan pendorong dalam mencapai suatu tujuan tertentu dan motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan motif. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang memberikan semangat atau dorongan seseorang untuk bekerja. Kuat lemahnya motivasi kerja seseorang akan ikut menentukan besar kecil prestasi kerjanya. (As’ad, 1995, p. 44). Arah dan tujuan dari pemberian motivasi adalah memberikan dorongan agar apa yang menjadi tujuan suatu organisasi tersebut dapat tercapai. Dalam hal ini menunjukkan bahwa motivasi tersebut dapat berasal dari dalam diri guru atau dapat pula berasal dari lingkungan luar mereka. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya motivasi dapat dikategorikan menjadi dua yaitu motivasi internal dan eksternal. The Liang Gie, (Martoyo, 1996, p. 155) dengan rumusannya sebagai berikut : “Motivasi adalah pekerjaan yang dilakukan seorang manajer dalam memberikan inspirasi, semangat, dan dorongan kepada orang lain, dalam hal ini tenaga kerjanya, untuk menggambil tindakan – tindakan. Pemberian dorongan itu bertujuan untuk mengiatkan orang – orang atau tenaga kerja agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil sebagaimana dikehendaki dari orang – orang tersebut.“ (Martoyo, 1996, p. 155) Herzberg, (Dessler, 1997, p. 332) membagi faktor kebutuhan menjadi dua faktor penting dalam lingkungan kerja, yaitu dissatisfiers atau hygiene factors dan satisfiers atau motivators. 1. Dissatisfiers atau hygiene factors, merupakan kebutuhan tingkat rendah, seperti : kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan sosial,.yaitu suatu kondisi pekerjaan dimana apabila suatu faktor tidak dipenuhi akan dapat menimbulkan ketidakpuasan para pegawai, tetapi bila kondisi tersebut ada tidak akan memotivasi pegawai. 2. Satisfiers atau motivators, merupakan kebutuhan tingkat tinggi, seperti : kebutuhan ego dan perwujudan diri, yaitu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
suatu kondisi yang apabila dipenuhi akan menimbulkan kepuasan kerja dan akan menggerakkan motivasi yang kuat sehingga dapat menghasilkan prestasi yang baik, tetapi bila faktor – faktor tersebut tidak ada tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Dalam hal penilaian kinerja dilakukan terhadap hasil kerja, yang dicapai guru dalam melaksanakan tugas-tugas keguruanya, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi guru, yang meliputi tugas mendidik, mengajar (menilai, dan mengevaluasi), membimbing, mengarahkan dan atau melatih, peserta didik yang dibebankan kepadanya berdasarkan atas kecakapan atau kemampuan, pengalaman, kesanggupan serta waktu. Hasil kerja guru pendidikan agama Buddha adalah berupa output yang berwujud hasil pelaksanaan tugas pokok dan fungsi guru pendidikan agama Buddha, yang dilaksanakan berdasarkan kemampuannya. Penilaian kinerja didasarkan atas instrument kinerja guru dapat dibandingkan dengan sejumlah pertanyaan pengetahuan yang berdiri sendiri tanpa menguji aplikasi atas pengetahuan guru pada saat mengajar. Penilaian kinerja didasarkan pada pertanyaan yang diinginkan dalam penggunaan untuk menentukan profesionalitas kualitas kinerja, sebab tidak ada satu jawaban yang benar seperti dalam test objektive. Metode pertanyaan kinerja dinilai oleh ahlinya dan disusun oleh penilai yang mempergunakan rubrik menulis skala yang berarti tingkatan atas kualitas kinerja yang berstandar dapat digunakan untuk membuat keputusan terhadap kualitas kinerja (Coggshall, 2008, p. 1). Tugas guru yang pertama adalah tugas profesional, kedua adalah tugas kemanusiaan, yang menunjukkan bahwa guru adalah orang tua kedua bagi siswa di sekolah. Dengan tugas memberikan pengawasan dan pendidikan kepada para siswa (Suharjo, 2006, p. 61-62). Tugas ketiga adalah kemasyarakatan, yang berarti guru mempunyai tugas menyiapkan siswa agar menjadi warga negara yang baik. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah pola relasi dalam keluarga, relasi antar manusia dan pandangan tentang hidup dan kehidupan. Jadi guru pendidikan agama Buddha memiliki tugas kemasyarakatan untuk memberikan pendidikan dan menyiapkan peserta didik dan warga masyarakat menjadi warga negara yang baik
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
5
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 (Suharjo, 2006: 61-62). Bentukan hasil belajar yang merupakan proses yang terjadi secara terus menerus, menghasilkan perubahan tingkah laku yang merupakan interaksi keseluruhan proses, sebagai hasil atas proses belajar dalam hal tingkah laku dapat berupa a. Tingkah laku baru itu berupa kemampuan aktual dan potensial, b. Kemampuan itu berlaku dalam waktu yang relative lama c. kemampuan diperolah melalui usaha (Sudjana, 1990; p. 5). Melihat tugas guru pendidikan agama Buddha dengan tujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bermanfaat bagi dirinya sesuai dengan tingkat perkembangannya, dan mempersiapkannya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, pada pendidikan agama Buddha. Kinerja guru pendidikan agama Buddha adalah hasil pelaksanaan tugas guru dalam mendidik, mengajar, melatih dan mengarahkan, membimbing serta mengevaluasi peserta didiknya. Dengan wujud berupa indikator kinerja yang berkaitan dengan tugas pokok guru pendidikan agama Buddha, yang dapat berupa kedisiplinan, kuantitas, kualitas kerja guru, pengetahuan, kemandirian, kerja sama, loyalitas, kebiasaan dan sikap serta manajerial. Untuk melakukan penilaian motivasional, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha, maka dilakukan pengembangan instrumen, yang dapat digunakan sebagai asesmen terhadap komponen tersebut. Menurut TGAT dalam Djemari Mardapi (2007,p.1), asesmen mencakup semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok. Pengertian asesmen atau penilaian berbeda dengan evaluasi. Penilaian menunjuk pada proses memperoleh informasi, sedangkan evaluasi menunjuk pada proses menentukan kualitas kerja. Asesmen bertujuan untuk menyediakan informasi yang selanjutnya digunakan untuk keperluan evaluasi (Lutan, 2000, p. 9). Worthen and Sanders (1984, p.19) mendefinisikan evaluasi sebagai ...the determination of worth of a thing. It includes obtaining information for use in judging the worth of a program, product, procedure, or objective, or potential utility alternative approach desiged to attain sepcified objective. Hal ini berarti bahwa evaluasi adalah pengumpulan dan pengunaan informasi untuk
membuat keputusan mengenai program pendidikan (Worthen dan Sanders, 1984,p. 19). Berarti evaluasi mencakup semua proses kegiatan belajar yang terjadi didalamnya. Evaluasi menurut Guba dan Lincoln (1991,p.35-36) adalah “a process for describing an evaluation and judging its merit and wort” Evaluasi dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk menguraikan karakteristikkarektesitik yang akan dievaluasi. Pendapat Gay (1981, p.61) menyebutkan bahwa : (1) Evaluation is systematic proses of collecting and analyzing data in order to determine whether, and to what degree, objective have been or are being achieved ; (2) evaluation is systematic process of collecting and analyzing data in order to make decision. Asesmen dan evaluasi memiliki perbedaan dan persamaan, perbedaan terletak pada fokus kegiatannya yakni asesmen memfokuskan pada proses pengumpulan data sedangkan evaluasi memfokuskan pada pengambilan keputusan. Hubungan asesmen dan evaluasi merupakan proses pemberian penilaian terhadap data atau hasil yang diperoleh melalui asesmen. Jadi asesmen merupakan bagian dari evaluasi, jika membicarakan evaluasi maka asesmen sudah termasuk di dalamnya. Demikian halnya menurut Griffin dan Nix dalam Djemari Mardapi (2008, p. 1) menyatakan bahwa pengukuran, asesmen, dan evaluasi adalah hirarki. Membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria disebut sebagai pengukuran, sedangkan asesmen adalah penjelasan dan penafsiran atas hasil pengukuran, sedangkan penetapan nilai atau implikasinya terhadap suatu perilaku baik individu atau lembaga disebut sebagai evaluasi. Demikian juga menurut Allen Yen (1979, p. 2), yang menyatakan bahwa pengukuran merupakan pemberian angka dengan cara yang sistematis untuk menyatakan keadaan yang dimiliki individu. Sedangkan Penilaian (assessment) merupakan proses menjelaskan dan menafsirkan hasil pengukuran. Oleh karena itu, pengukuran dan penilaian merupakan suatu rangkaian proses. Dalam proses penilaian selalu didahului oleh pengukuran. Bentuk-bentuk asesmen alternatif menurut O’Malley & Pierce (1996) antara lain 1. Asesmen kinerja (performance asessment), 2. Observasi dan pertanyaan (observation and question), 3. Presentasi dan diskusi (presentation and Discussion), 4. proyek/
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
6
pameran (Project/Exhibition), 5. Exsperimen/ demontrasi (experimen/demontration), 6. bercerita (story or text reteling) 7.Evaluasi diri (self assesment) 8. Portofolio dan jurnal. Asesmen kinerja guru adalah merupakan performance assessment., yang menekankan pada apa yang dapat dikerjakan oleh guru sekolah dalam bentuk kinerja. Asesmen kinerja merupakan penilaian pada kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya. Jadi asesmen kinerja merupakan cara untuk menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang seperti tingkatan, nilai guna dan keunggulannya (Badarudin, 2010). Asesmen kinerja merupakan sistem formal yang digunakan untuk menilai kinerja guru pendidikan agama Buddha secara periodik yang ditentukan oleh organisasi. Hasilnya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka pengembangan diri, menjadi reward, perencanaan, kompensasi dan motivasi. Berdasarkan rumusan tentang motivasional, yang disusun berdasarkan indikator dari komponen motivasional dari Herzberg, yang dapat dipilah menjadi komponen intrinsik dan ekstrinsik. Pengembangan ini akan mengembangkan instrumen dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan teori tentang kepuasan kerja, maka akan dikembangkan intrumen, dari intrumen yang sebelumnya ada, yaitu dari minesofa satisfaction questionary, instrumen akan disesuaikan dengan kondisi guru pendidikan agama Buddha. Berdasarkan rumusan tentang asesmen kinerja guru adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis data tentang kualitas pekerjaan sebagai guru kelas pendidikan agama Buddha dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Tugas pokok guru pendidikan agama Buddha adalah mendidik, mengajar, melatih, dan membimbing. Penilaian kinerja guru pendidikan agama Buddha bertujuan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab sebagai guru dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, dan membimbing di tempat tugasnya. Pengembangan asesmen yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu dari petunjuk Borg and Gall sebagai berikut, bahwa model penelitian dan pengembangan selain untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil-hasil pendidikan, Research and Development juga bertujuan menemukan pengetahuan-
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
pengetahuan baru melalui “ basic research” atau untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus tentang masalah-masalah yang bersifat praktis melalui applied research yang digunakan untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan. Pengembangan dimaksud adalah merupakan pengembangan instrumen dengan menggabungkan beberapa instrumen yang ada, baik intrumen kinerja yang digunakan oleh pengawas sekolah, yang dipadukan dengan teori terkait dengan kinerja guru, serta peraturan perundangan yang berlaku. Perbedaan instrumen yang dihasilkan adalah, instrumen kinerja guru yang dihasilkan berdasarkan atas hasil kerja guru dalam wujud hasil pelaksanaan tugas pokok dan fungsi guru, meliputi tugas guru dalam mendidik, mengajar, melatih dan membimbing yang bersifat lebih melengkapi asesmen yang dipergunakan dalam operasional penilaian kinerja, sedangkan komponen motivasi di kembangkan dari teori Herzberg, serta kepuasan kerja dari Minesofa Satisfaction Questionary. Pengembangan intrumen yang dibentuk, dengan mengembangkan intrumen yang ada, sehingga menghasilkan intrumen yang dapat mendukung dan membantu intrumen sebelumnya, serta lebih mudah dalam penerapannya, selain lebih praktis. Rencana mekanisme penilaian juga lebih sederhana, yaitu dari guru itu sendiri, siswa, serta pihak pengguna yang terdiri dari masyarakat Buddha, ataupun pengguna pendidikan agama Buddha lainnya. Penilaian dilakukan setiap bulan atau tengah semester, sehingga penilaian tersebut dapat menjadi masukan dan perubahan positip pada guru tersebut, tahap berikutnya. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan. Menurut Borg and Gall yang dimaksud model penelitian dan pengembangan adalah “a process used to develop and validate educational product” atau disebut juga sebagai research based development. Selain untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil-hasil pendidikan, Research and Development juga bertujuan menemukan pengetahuanpengetahuan baru untuk menjawab pertanyaan khusus tentang masalah-masalah yang bersifat praktis melalui applied research yang
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
7
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
digunakan untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan. Dalam penelitian ini mempergunakan sepuluh langkah dari model Borg & Gall (1983, p.772), yang disesuaikan. Sampel penelitian adalah guru pendidikan agama Buddha di wilayah Temanggung, Semarang, Boyolali dan Wonogiri, siswa dan masyarakat Budhis dari lingkungan sekitar guru tersebut berdomisili. Teknik pengambilan sampel adalah Quota proportional random sampling, dengan masingmasing kabupaten kota diambil berdasarkan proporsi sesuai dengan jumlah guru pendidikan agama Buddha yang dimiliki. Berdasarkan pokok masalah dan hipotesis yang telah dikemukakan, maka variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini dikelompokan sebagai berikut : Penelitian ini terdiri dari 3 (Tiga) variabel utama, yaitu : Pertama. Kinerja Kedua Variabel kepuasan kerja sebagai variabel antara. Dan ketiga. Variable motivasi. Variabel motivasi sebagai variabel X, adalah merupakan motivasi guru pendidikan agama Buddha, Variabel ini merupakan kondisi intrinsik atau motivator dari Herzberg, yang meliputi indikator prestasi, pengakuan lingkungan terhadap keberhasilan dan penghargaanya atas pekerjaanya, pekerjaan yang menantang, pemberian tanggung jawab yang diberikan dari sekolah, dan kemungkinan untuk mewujudkan potensi diri atau mengembangkan diri dalam lingkungan pekerjaan dalam usaha untuk ikut mengembangkan sekolah, yang dinyatakan dengan angka. Variabel ini sebelumnya akan dilakukan pengkajian atas faktor-faktor manakah yang berlaku pada guru pendidikan agama Buddha, dengan isntrumen dari faktorfaktor tersebut manakah yang dapat digunakan sebagai komponen penilaian motivasi kinerja guru. Variabel kedua kepuasan kerja (X), merupakan variabel antara, pengukuran dilakukan dengan mempergunakan Minnesofa Satisfaction Questionare (MSQ), versi pendek, dengan 15 item pernyataan, yang telah dilakukan perubahan dan disesuaikan dengan keperluan dalam penelitian ini. Variabel ketiga yaitu kinerja guru, yang merupakan variable independent. Teknik dan Instrumen Pengumpulan data Dalam penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan, dengan maksud untuk mengetahui hal – hal yang lebih mendalam
mengenai responden yang akan diteliti, yang dilakukan dengan metode inventory. Tahap selanjutnya seperti dalam tujuan penelitian, dilakukan penelitian terhadap Guru pendidikan agama Buddha, sebagai sumber data dalam penelitian ini, yang akan memberikan jawaban atas instrumen melalui kuesioner. Pertanyaan – pertanyaan tersebut mengenai variabel motivasi, kepuasan kerja dan kinerja yang selanjutnya jawaban tersebut merupakan data primer yang akan dianalisis untuk menguji hipotesis yang diajukan. Selain data Primer, penelitian ini didukung pula dengan data sekunder yang diperoleh dari literatur sebagai penunjang data primer. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian pengembangan ini adalah: a. Instrumen yang dihasilkan dari kajian teoritis sebagai panduan pelaksanaan Focus Group Discussion. b. Instrumen motivasional, kepuasan kerja dan kinerja, guru yang dikembangkan berdasarkan kisi-kisi yang telah disusun. Validitas dan Reliabilitas Mehrens & Lehmann (1973, p. 124) mengatakan bahwa ada beberapa jenis validitas diantaranya validitas kontruk dan validitas isi. Validitas konstruk merupakan derajat yang menunjukkan ketepatan suatu tes mengukur sebuah konstruk. Validitas konstruk menunjuk pada sejauh mana muatan instrumenn dapat mewakili faktor sebagaimana yang diidentifikasikan berdasarkan konstruk teorinya (Sugiyono, 2003, p.270). Kriteria yang dijadikan dasar pengujian validitas kontruk mengunakan analisis faktor dengan tujuan untuk menemukan komposisi butir terbaik. Kim & Muller (1978, p. 70), dan Coakes & Steed, (1996, p. 124), demikian halnya Syamsul Bachri Thalib (2010, p. 315) serta Eko Putro Widoyoko (2012, p. 180), bahwa kriteria yang dijadikan dasar untuk menentukan valid tidaknya intstrumen dengan melihat muatan factor setiap indicator, bahwa setiap intrumen harus memiliki muatan factor lebih besar dari 0,3. Validitas isi menunjuk pada seberapa jauh muatan intrumen/tes sesuai jika dibanding dengan materi yang ada. Dalam menetapkan validitas isi seorang harus melihat topik atau pokok bahasan yang dicakup oleh tes. Validitas isi diperoleh dari keputusan para
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
8
ahli tentang hubungan antara bagian-bagaian tes konstruk yang diukur (Sukardi, 2007,p. 123). Reliabilitas intrumen menunjuk tingkat keandalan instrumen. Instrumen dikatakan reliabel bila ia digunakan berkali-klai, maka data yang diperoleh sama. Dengan kata lain intrumen reliabel adalah instrumen yang dapat dipercaya (konsisten). Kriteria digunakan dengan cronbach alpha, reliabilitas 0,65 atau lebih maka intrumen tersebut handal (Mehrens & Lehmann, 1973,p. 122: Nunally, 1981,p. 230). Keandalam tes model evaluasi kinerja guru diperoleh melalui uji reliabilitas interrater. Untuk menghitung koefisien reliabilitas inter-rater, penelitian ini menggunakan bantuan komputer program SPSS. Teknik Analisis Data Hasil pengumpulan data survai dan dari FGD dianalisis dengan metode kualitatif. Sedangkan data hasil pengembangan asesmen dianalisis secara kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan inventory dan rating scale. Instrumen pengumpulan data dianalisis dengan EFA (Exploratory Faktor Analysis), (Eisengart, 2006), model akan dilakukan analisis diskriptif berdasarkan penilaian guru sekolah dasar, siswa, dan masyarakat Buddhis. Pengujian atas kecocokan model teoritis dengan data empiris, model pengukuran dan asesmen didasarkan atas indikator yaitu 1). KMO. 2.Uji Bartlet, dan secara butir dari loading faktornya.. Analisis data yang terkumpul akan juga dipergunakan teknik statistik deskriptif kuantitaif dan deskriptif kualitatif. Teknik statistik deskriptif kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan berapa responden yang hadir dan memberi masukan, berapa responden yang hadir tetapi tidak memberi masukan, serta berapa responden yang tidak hadir. Sementara itu, teknik statistik deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan kata, kalimat, dan atau substansi apa saja yang harus dihilangkan atau ditambahkan pada draf asesmen, selain proses mengkonversikan nilai dari kuantitatif menjadi kualitatif, sehingga didapatkan makna yang berarti bagi pengembangan asesmen kinerja guru sekolah dasar. Penentuan batasan kriteria guru dengan motivasional, kepuasan kerja dan kinerjanya mempergunakan pembagian berdasarkan kurve normal, dengan didasarkan standar kualifikasi guru dengan kinerja yang tinggi, dengan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
pelaksanaan tugasnya. Penentuan cut off score atas kinerja salah satunya dilakukan dengan mempergunakan kajian teori, pendapat ahli maupun nilai aktual, sehingga didapatkan nilai cut off score yang sesuai, dengan batasan ini akan dapat diklasifikasikan kedalam bentuk nilai : Sangat tinggi, tinggi, kurang, rendah dan sangat rendah. Dari batasan dapat dirunut guru yang bermotivasi, kepuasan kerja dan berkinerja sangat tinggi, bermotivasi, kepuasan kerja dan berkinerja tinggi, bermotivasi, kepuasan kerja dan berkinerja cukup, bermotivasi, kepuasan kerja dan berkinerja rendah, maupun sangat rendah. Teknik ini sekaligus untuk memahami dan mendapatkan bagaimana sesungguhnya guru yang berkinerja tinggi, yang sesuai bagi guru sekolah dasar, dengan tidak meninggalkan tujuan, metode pembelajaran, kemampuan yang seharusnya bagi siswa sekolah dasar, dan kesesuaiannya dalam proses pembelajaran bagi siswa sekolah dasar. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian diawali dengan penyusunan indikator melalui telaah teoritis dan telaah empirik. Telaah empirik dilakukan dengan menggunakan Foccus Group Discussion (FGD) yang dilakukan sebanyak dua kali. FGD I dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2013 di Dharmasala Vihara Cipta Sarana Budhi diikuti oleh sejumlah nara sumber yang memiliki pengalaman dalam bidangnya. Selain itu dilakukan telaah oleh sejumlah sejumlah mahasiswa STAB N Raden Wijaya pada tanggal 27 Agustus 2013, dengan maksud untuk mendapatkan masukan berkaitan dengan instrumen yang telah disusun dan direvisi. FGD II yang dilaksanakan pada tanggal 26 September 2013 di Lab Bahasa STAB N Raden Wijaya. Dalam FGD ini dilakukan oleh sejumlah Dosen STAB N Raden Wijaya serta mahasiswa, dan tidak terlepas peneliti, selaku penanggung jawab. Uji coba instrumen kinerja guru dilaksanakan dua kali, yaitu uji coba I pada bulan Agustus sampai dengan September 2013, yang dilaksanakan dalam wilayah Wonogiri dan Boyolali jumlah sampel 55 orang responden. Uji coba II dilaksanakan pada bulan September-Nopember 2013 jumlah sampel 110 orang responden. Instrumen yang diujicobakan adalah instrumen motivasional, kepuasan kerja dan kinerja guru dengan model Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
9
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
inventori dengan skala summated ratings atau skala Likert. Instrumen yang dikembangkan adalah tentang motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru yang meliputi tugas guru dalam mengajar, dalam mendidik,dalam melatih dan mengarahkan, dalam membimbing serta dalam evaluasi. Dimensi yang diukur disesuaikan dengan teori-teori tentang motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi guru dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, Peraturan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 03/V/PB/2010, No. 14 Tahun 2010, tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, Permendiknas No. 35 Tahun 2010, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta hasil FGD. Instrumen yang disusun dianalisis dengan analisis faktor yang ada pada program SPSS versi 15,0. Analisi faktor untuk mengukur validitas konstrak, yaitu menemukan butir soal yang cocok atau mempunyai bobot faktor evaluatif tertinggi berdasarkan korelasi antar faktor dengan skor butir soal, kemudian menemukan faktor dan butir soal yang mewakili dalam faktor yang ditentukan secara empiris (berdasarkan uji coba instrumen) sesuai dengan indikator dalam kinerja guru yang tersusun dalam tugas pokok dan fungsi guru. Pengujian reliabilitas bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen konsisten dan stabil untuk mengukur suatu konstrak pengujian reliabilitas untuk instrumen dengan formula koefisien Alpha dari Cronbach. Indeks reliabilitas ditentukan 0,70, artinya jika berdasarkan uji statistik koefisien reliabilitas lebih besar atau sama dengan 0,70, maka instrumen tersebut memliki konsistensi/kepercayaan yang tinggi Focus Group Discussion dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis dilakukan dengan mencermati setiap tanggapan peserta FGD melalui rekaman diskusi yang dituangkan ke dalam tulisan. Hasil analisis FGD I dan FGD II kemudian dibandingkan dengan kajian teoritis dan selanjutnya dilakukan analisis akhir untuk menentukan indikator-indikator motivasional, kepuasan kerja dan kinerja guru yang berasal dari tugas pokok dan fungsi guru, sesuai dengan
Permendiknas No. 35 Tahun 2010, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Hasil Uji Coba Tahap I Komponen Motivasional Instrumen motivasional, kepuasan kerja dan kinerja guru terdiri dari 3 intrumen meliputi : instrumen motivasional, instrumen kepuasan kerja dan instrumen kinerja guru. Dalam uji coba I berjumlah 50 butir dengan 5 alternatif jawaban. Tiap alternatif jawaban merupakan sejumlah pernyataan yang berkaitan dengan motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi guru. Pernyataan yang sesuai adalah pernyataan yang mampu memisahkan antara mereka yang masih dalam kelompok responden yang bermotivasi, memiliki kepuasan, serta berkinerja tinggi dan mereka yang termasuk dalam kelompok responden yang berkinerja rendah. Dengan wujud intrumen tersebut memiliki kehandalan. Dalam uji tahap I untuk instrumen motivasional memiliki KMO > 0,5 yaitu 0,743, yang menunjukkan bahwa indikator dapat dianalisis, didukung dengan nilai Bartlett’s test, yang menunjukkan signifikan. Jika dilihat berdasarkan loading faktor tampak dalam tabel nilai loading faktor > 0,5, yang menunjukkan bahwa tiap intrumen tersebut valid. Hal ini didukung dengan nilai koefisien korelasinya, yang memiliki nilai > 0,5. Besaran nilai loading faktor yang lebih dari 0,5 menunjukkan bahwa tiap butir instrumen sudah sangat baik. Hal ini menunjukkan jika instrumen yang disusun merupakan instrumen yang sesuai digunakan untuk mengukur motivasi kerja guru pendidikan agama Buddha. Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor kebijakan dan administrasi memiliki varian sebesar 17,21%, artinya faktor kebijakan dan administrasi mengukur konstrak teori motivasi guru yang berada pada komponen ektrinsik guru, pada bagian kebijakan dan administrasi sebesar 17,21% yang diwakili oleh instrumen (item) nomor 1 sampai dengan 4. Faktor-faktor yang lain dapat dijelaskan seperti cara menjelaskan faktor pertama dengan melihat nama faktor, varian, dan nomor butir pernyataan yang mewakili faktor yang bersangkutan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
10
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Motivasi Loading
Indikator
Motiva1
0,9488806
BMOTIVA1
Loading 0,9101488
Motiva2
0,9644376
BMOTIVA2
0,9195299
Motiva3
0,9717431
BMOTIVA3
0,9036597
Motiva4
0,9532978
BMOTIVA4
0,9384499
Motiva5
0,959631
BMOTIVA5
0,9100835
Motiva6
0,9141513
BMOTIVA6
0,8705096
Motiva7
0,9707199
BMOTIVA7
0,921603
Motiva8
0,9693874
BMOTIVA8
0,8866176
Motiva9
0,9411134
BMOTIVA9
0,9313376
Motiva10
0,9090804
BMOTIVA10
0,9103091
Motiva11
0,9171071
BMOTIVA11
0,9036291
Motiva12
0,9317767
Indikator
Sumber : Hasil olahan SPSS
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Motivasi dalam Besaran Varian
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa penggunaan jam kerja memiliki varian sebesar 18,124%, artinya faktor penggunaan jam kerja mengukur konstrak teori kepuasan kerja, pada bagian kepuasan kerja sebesar 17,21% yang diwakili oleh instrumen (item) nomor 1 sampai dengan 3. Faktor-faktor yang lain dapat dijelaskan seperti cara menjelaskan faktor pertama dengan melihat nama faktor, varian, dan nomor butir pernyataan yang mewakili faktor yang bersangkutan. Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Kepuasan Kerja Component
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 tersebut dapat menunjukkan bahwa terdapat intrumen untuk komponen ekstrinsik yang mempengaruhi motivasional guru pendidikan agama Buddha yang terdiri dari: 1. Kebijakan dan administrasi, 2.Pengawasan, dan 3. Kondisi kerja. Indikator komponen motivasional instrinsik yang dapat digunakan untuk menyusun instrumen motivasional guru pendidikan agama Buddha yang terdiri dari: 1. Pengembangan, 2. Pekerjaan, dan 3. Tanggung jawab.
Komponen Kepuasan Kerja Berdasarkan uji tahap I terhadap komponen kepuasan kerja, dihasilkan nilai KMO sebesar 0,717, berarti analisis dapat dilanjutkan, karena sudah sesuai dengan kriteria yang diinginkan, untuk nilai KMO > 0,5. Faktor loding untuk tiap indikator lebih besar dari 0,5, hal ini menunjukkan bahwa tiap indikator valid untuk mengukur komponen kepuasan kerja. Artinya masing-masing indikator tersebut telah mengukur sesuai dengan komponen yang seharusnya diukur. Berdasarkan Tabel 4, tersebut tampak bahwa tidak terdapat nilai loding faktor yang kurang dari 0,5.
Rotated Component Matrix(a)
Total Variance Explained Component
Rotation Sums of Squared Loadings
3
% of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
1
26,608592
26,608592
3,9586195
17,211389
2
19,655188
46,26378
3,7739585
16,408515
3
13,774717
60,038497
3,6730774
15,969902
4
12,453397
72,491894
3,4909985
15,178254
5
9,6317638
82,123658
3,3448954
14,543024
6
8,5805268
90,704185
2,6204132
11,393101
1
4
2
5
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
PUAS1
.864
PUAS2
.918
PUAS3
.928
PUAS4
.935
PUAS5
.958
PUAS6
.858
PUAS7
.871
PUAS8
.918
PUAS9
.882
PUAS10
.933
PUAS11
.919
PUAS12
.955
PUAS13
.903
PUAS14
.874
PUAS15
.864
11
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Tabel 5. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Kepuasan Kerja dalam Besaran Varian Total Variance Explained Component
Rotation Sums of Squared Loadings % of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
1
33,02068
33,0207
2,718539
18,1236
2
17,2017
50,2224
2,691764
17,9451
3
15,57536
65,7977
2,640158
17,6011
4
11,72435
77,5221
2,538725
16,9248
5
9,958876
87,481
2,532959
16,8864
Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Kinerja Guru Component 1
2
4
Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji I Komponen Kinerja Guru dalam Besaran Varian Total Variance Explained Component
Komponen Kinerja Guru
3
Berdasarkan uji tahap I, menunjukkan bahwa perencanaan pembelajaran memiliki varian sebesar 19,214%, artinya faktor perencanaan pembelajaran mengukur konstrak tugas guru dalam mengajar, pada bagian perencanaan pembelajaran sebesar 17,21% yang diwakili oleh instrumen (item) nomor 1 sampai dengan 3. Faktor-faktor yang lain dapat dijelaskan seperti cara menjelaskan faktor pertama dengan melihat nama faktor, varian, dan nomor butir pernyataan yang mewakili faktor yang bersangkutan.
Rotated Component Matrix(a) AJAR1
0,8513
AJAR2
0,9041
AJAR3
0,7924
DIDIK1
0,8589
DIDIK2
0,8834
DIDIK3
0,8361
BIMBING1
0,7594
BIMBING2
0,7927
BIMBING3
0,6694
BIMBING4
0,6784
LATIH1
0,8992
LATIH2
0,9402
Berdasarkan uji tahap I komponen kinerja guru, menunjukkan bahwa komponen kinerja guru memiliki KMO sebesar 0,643, yang lebih besar dari 0,5, berarti tiap indikator dalam intrumen tersebut dapat dianalisis. Hal ini ditunjang pula dengan Bartlet’s test yang dignifikan. Loding faktor tiap indiator yang menyusun kinerja guru pendidikan agama Buddha memiliki nilai yang cukup valid, hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai masing-masing loding faktor dalam indikator komponen tugas guru yang lebih besar dari 0,5.
Rotation Sums of Squared Loadings % of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
1
25,10974
25,1097
2,305651
19,2138
2
19,15759
44,2673
2,290231
19,0853
3
18,31462
62,582
2,287913
19,0659
4
11,6045
74,1865
2,018579
16,8215
Kumulatif muatan faktor berdasarkan rotation sums of sequared loading sebesar 74,186% untuk instrumen kinerja guru, artinya instrumen kinerja guru yang terdiri dari komponen tugas guru dalam mengajar, mendidik, melatih dan mengarahkan, dan membimbing dapat dijelaskan oleh 4 komponen dan konstruk teoritis yang tercermin dalam butir pernyataan yang mewakili faktor yang ada sebesar 74,186%. Validitas dan Reliabilitas instrumen uji tahap I. Berdasarkan analisis terhadap validitas dan reliabilitas intrumen dapat menunjukkan bahwa indikator yang menyusun tiap komponen memiliki nilai yang valid. Nilai validitas tersebut dapat ditunjukkan berdasarkan nilai loading faktor yang lebih besar dari 0,5. Artinya indikator dalam tiap instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Nilai reliabilitas dapat dilihat dari koefisien Cronbach Alpha. Kriteria yang digunakan dalam mengukur validitas tersebut adalah sebesar 0,7, dapat dijelaskan hasilnya
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
12
Tabel 8. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Motivasi Component
Hasil Uji Tahap II
laten pada uji Scree terdapat 6 indikator komponen yang dapat dianalisis. Jika dilihat berdasarkan loading faktor, tampak bahwa ke 23 pernyataan atau butir tersebut tergolong baik (100%) untuk semua butir.
Component
sebagai berikut : Nilai Cronbach Alpha untuk intrumen motivasi sebesar 0,807, artinya bahwa intrumen tersebut reliabel, berarti intrumen memiliki reliabilitas yang baik. Nilai reliabilitas untuk instrumen kepuasan kerja sebesar 0,848, yang dapat menunjukkan bahwa intrumen tersebut reliabel, artinya intrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur kepuasan kerja guru pendidikan agama Buddha. Nilai reliabilitas untuk intrumen kinerja guru pendidikan agama Buddha sebesar 0,702. Nilai koefisien ini masih lebih besar dari 0,7, yang menunjukkan bahwa intrumen kinerja guru reliabel. Berdasarkan analisis uji tahap I memberikan gambaran bahwa intrumen telah memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang cukup baik, tetapi tahapan dalam penelitian tetap akan melakukan uji sampai dengan dua kali uji. Uji tahap ke dua sekaligus merupakan uji implementasi. Berdasarkan uji tahap I dapat memberikan pendapat bahwa komponen motivasi dapat diukur berdasarkan indikator motivasi yang terdiri dari 3 indikator komponen ektrinsik dan 3 indikator komponen intrinsik. Komponen kepuasan kerja dapat diukur dengan mempergunakan lima indikator kepuasan kerja dan komponen kinerja guru dapat diukur dengan empat indikator yang terdiri dari mengajar, mendidik, membimbing dan melatih.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Rotated Component Matrix(a) Motiv1 Motiv2
3
5
0,868
BMotiv1
0,911
0,849
BMotiv2
0,871
BMotiv3
0,907
2
Motiv3
0,883
Motiv4
0,882
BMotiv4
0,897
Motiv5
0,840
BMotiv5
0,918
Motiv6
0,790
BMotiv6
0,923
BMotiv7
0,934 0,938
Motiv7
4
Rotated Component Matrix(a)
0,838
1
Motiv8
0,875
BMotiv8
Motiv9
0,877
BMotiv9
0,941
Motiv10
0,820
BMotiv10
0,896
Motiv11
0,810
BMotiv11
0,946
Motiv12
0,855
6
Tabel 9. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Motivasi Guru dalam Besaran Varian
Komponen Motivasi Total Variance Explained Component
Berdasarkan perbaikan yang dilakukan berdasarkan saran dalam uji tahap I, serta FGD tahap II, serta diskusi dengan guru dan mahasiswa juga masyarakat pengguna, maka dalam Instrumen motivasi kerja guru, uji coba II berjumlah 23 butir dengan 5 alternatif jawaban yang dapat dibagi dalam rentang nilai Termotivasi Sangat Tinggi, Memiliki motivasi Tinggi, Sedang, Kurang, dan Sangat Kurang. Hasil dari uji II dengan mempergunakan analisis faktor dengan pendekatan konfirmatori dengan exctraction method: maximum likelihood. Berdasarkan hasil analisis untuk kedua kalinya menunjukkan bahwa instrumen motivasi guru pendidikan agama Buddha, memiliki indeks determinan tidak sama dengan nol. KMO_MSA sebesar 0,857, uji Bartlett’s signifikan. Berdasarkan eigen values dan akar
Rotation Sums of Squared Loadings % of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
1
34,735
34,735
3,645
15,848
2
18,343
53,078
3,568
15,514
3
11,675
64,753
3,429
14,908
4
8,404
73,157
3,314
14,407
5
7,524
80,680
3,233
14,057
6
6,161
86,842
2,785
12,108
Kumulatif muatan faktor berdasarkan rotation sums of sequared loading sebesar 86,842% untuk instrumen motivasi guru, artinya instrumen motivasi guru yang terdiri Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
13
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dari 23 butir komponen dapat dijelaskan oleh 6 komponen dan konstruk teoritis yang tercermin dalam butir pernyataan yang mewakili faktor yang ada sebesar 86,842%. Komponen Kepuasan Kerja
Tabel 11. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Kepuasan Kerja dalam Besaran Varian Total Variance Explained Component
Hasil uji II dengan mempergunakan analisis faktor dengan pendekatan konfirmatori dengan exctraction method: maximum likelihood. Untuk kedua kalinya menunjukkan bahwa instrumen kepuasan kerja guru pendidikan agama Buddha, memiliki indeks determinan tidak sama dengan nol. KMO_MSA sebesar 0,815, uji Bartlett’s signifikan. Berdasarkan eigen values dan akar laten pada uji Scree terdapat 5 indikator komponen yang dapat dianalisis. Jika dilihat berdasarkan loading faktor, tampak bahwa ke 15 pernyataan atau butir tersebut tergolong baik (100%) untuk semua butir.
instrumen mengukur apa yang sehusnya diukur. Hal ini menunjukkan bahwa tiap butir instrumen memiliki nilai validitas yang sangat baik. Berarti instrumen sesuai untuk mengukur kepuasan kerja guru pendidikan agama Buddha. Berdasarkan kumulatif muatan faktor rotation sums of sequared loading sebesar 88,265% untuk instrumen kepuasan kerja guru, artinya instrumen kepuasan kerja guru yang terdiri dari15 butir komponen dapat dijelaskan oleh 5 komponen dan konstruk teoritis yang tercermin dalam butir pernyataan yang mewakili faktor yang ada sebesar 88,265%.
Tabel 10. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Kepuasan Kerja Component 2
1
3
5
4
Rotated Component Matrix(a) Puas1
0,902
Puas2
0,835
Puas3
0,936
Puas4
0,949
Puas5
0,872
Puas6
0,924
Puas7
0,892
Puas8
0,840
Puas9
0,917
Puas10
0,923
Puas11
0,821
Puas12
0,875
Puas13
0,904
Puas14
0,857
Puas15
0,896
Berdasarkan data uji tahap II komponen kepuasan kerja memiliki loding faktor diatas 0,7, yang menunjukkan bahwa tiap butir intrumen tersebut valid. Artinya tiap butir
Rotation Sums of Squared Loadings % of Variance
Cumulative %
Total
% of Variance
1
34,207
2,797
18,649
18,649
2
58,668
2,683
17,888
36,536
3
71,396
2,664
17,763
54,299
4
80,582
2,575
17,169
71,468
5
88,265
2,52
16,797
88,265
Komponen Kinerja Hasil dari uji II dengan mempergunakan analisis faktor dengan pendekatan konfirmatori dengan exctraction method: maximum likelihood, di hasilkan analisis yang menunjukkan untuk kedua kalinya instrumen kinerja kerja guru pendidikan agama Buddha, memiliki indeks determinan tidak sama dengan nol. KMO_MSA sebesar 0,850, uji Bartlett’s signifikan. Berdasarkan eigen values dan akar laten pada uji Scree terdapat 3 indikator komponen yang dapat dianalisis. Jika dilihat berdasarkan loading faktor, tampak bahwa ke 12 pernyataan atau butir tersebut tergolong baik (100%) untuk semua butir. Tampak dalam Tabel 12, yang menunjukkan bahwa loading faktor tiap butir instrumen lebih besar dari 0,5, berarti tiap butir intrumen tersebut valid. Perbedaan berdasarkan uji I dan II menunjukkan bahwa terdapat saran yang diberikan melalui analisis ini, bahwa indikator ke 3 dan ke 4 bergabung menjadi satu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
14
dan diberi nama membimbing dan melatih. Artinya komponen tersebut menjadi satu indikator membimbing dan melatih. Butir dalam komponen tetap valid karena faktor loding yang lebih besar dari 0,5. Tabel 12. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Kinerja Guru Component
3
2
1
Rotated Component Matrix(a) Ajar1
0,934
Ajar2
0,801
Ajar3
0,875
Didi1
0,902
Didik2
0,819
Didik3
0,905
Bimb1
0,787
Bimb2
0,798
Bimb3
0,907
Bimb4
0,901
Latih1
0,717
Latih2
0,660
Total Variance Explained Component
Rotation Sums of Squared Loadings Cumulative %
Uji tahap II, menghasilkan nilai reliabilitas untuk intrumen motivasi sebesar 0,912, dan reliabilitas instrumen komponen motivasi sebesar 0,863, serta reliabilitas instrumen komponen kinerja sebesar 0,898. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga instrumen memiliki nilai reliabilitas instrumen diatas 0,7. Artinya instrumen tersebut memiliki reliabilitas yang cukup baik. Pembahasan Hasil Penelitian
Tabel 13. Rangkuman Hasil Uji II Komponen Kinerja Guru dalam Besaran Varian
% of Variance
Reliabilitas dan Validitas Indikator yang digunakan dalam menyusun tiap komponen, pada Uji tahap II.
Total
% of Variance
1
45,500
4,111
34,259
34,259
2
62,271
2,580
21,499
55,758
3
75,766
2,401
20,009
75,766
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa rotation sums of sequared loading sebesar 75,66% untuk instrumen kinerja guru, artinya instrumen kinerja guru yang terdiri dari12 butir komponen dapat dijelaskan oleh 3 komponen dan konstruk teoritis yang tercermin dalam butir pernyataan yang mewakili faktor yang ada sebesar 75,66%.
Instrumen motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru sekolah dasar dikembangkan berdasarkan model skala likert. Diawali dalam pengajuan instrumen yang berjumlah 50, yang terbagi dalam instrumen motivasi sebanyak 23 butir, intrumen kepuasan kerja sebanyak 15 butir dan intrumen kinerja sebanyak 12 butir, yang terbagi dalam komponen tugas pokok dan fungsi guru dalam mengajar, mendidik, membimbing, serta melatih dan mengarahkan. Langkah yang ditempuh sebelum dilakukan uji tahap 1, adalah dilakukan FGD serta diskusi dalam kelompok terbatas, dihasilkan sejumlah saran dan masukan, sehingga menghasilkan perubahan intrumen, baik dalam model atau bentuk, serta jumlah intrumennya. Jumlah Instrumen/pernyataan pada uji coba I adalah 50 butir dan pada uji coba II adalah tetap berjumlah 50 butir, masing-masing dengan 5 alternatif jawaban. Instrumen ini dianalisis dengan analisis program SPSS dengan mempergunakan analisis faktor. Berdasarkan analisis dengan program SPSS dengan mempergunakan analisis faktor dihasilkan bahwa ke 50 intrumen tersebut layak untuk digunakan, sedangkan ke 50 intrumen tersebut membentuk 6 sub komponen atau indikator motivasi, 4 sub komponen atau indikator kepuasan kerja dan 3 sub komponen atau indikator kinerja. Analisis dilanjutkan dengan membuat skala hasil penilaian dari uji 2, kedalam tiap komponen motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha. Untuk melihat apakah tiap komponen tersebut sesuai dalam membentuk dimensi-dimensinya, digunakan analisis faktor. Berdasarkan rotated faktor matrix terdapat 14 indikator valid yang terbagi
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
15
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dalam komponen motivasi 6 indikator, komponen kepuasan kerja 5 indikator, dan komponen kinerja 4 indikator, yang memenuhi kriteria nilai communality dan factor loading yaitu lebih dari 0,5 dan setiap butir-butir instrumen tersebut memuat satu faktor. Berdasarkan Uji ke 1 dan Uji ke 2, dapat disimpulkan bahwa ke 50 butir intrumen tersebut layak untuk digunakan, yang membentuk 15 faktor dalam uji 1 dan 14 faktor dalam uji 2, yang terangkum dalam 3 komponen. Selanjutnya hasil penilaian tersebut dibawa ke dalam 3 komponen dalam wujud motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru. Berdasarkan analisis faktor tampak bahwa 14 faktor tersebut memiliki kecenderungan dalam membentuk 3 komponen tugas guru sekolah dasar, dalam komponen motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru. Hasil akhir instrumen motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru sekolah dasar dilengkapi dengan norma yang dijadikan patokan untuk memaknai hasil pengukuran. Berdasarkan analisis faktor dengan mempertimbangkan nilai validitas dan reliabilitas intrumen dapat memberikan gambaran bahwa komponen motivasi terdiri dari 6 sub indikator yang meliputi : 1. Kebijakan dan administrasi, 2. Pengawasan, 3. Kondisi kerja. Faktor instrinsik yang mempengaruhi motivasional guru pendidikan agama Buddha yang terdiri dari, 1. Pengembangan, 2.Pekerjaan, dan 3.Tanggung jawab. Berdasarkan analisis faktor untuk komponen kepuasan kerja memiliki 5 indikator kepuasan kerja yang meliputi : 1. Penggunaan jam kerja, 2. Keadilan, 3. Kedisiplinan, 4. Penghargaan dan 5. Stres kerja. Kesemua indikator komponen tersebut valid, dan intrumen reliabel. Berdasarkan analisis faktor komponen kinerja guru, dihasilkan bahwa indikator kinerja guru yang dilaksanakan melalui pelaksanaan tugas pokok dan fungsi guru terdiri dari tiga indikator, yang meliputi tugas guru dalam mengajar, tugas guru dalam mendidik, serta tugas guru dalam membimbing dan melatih. Hasil ini dapat dilihat dari nilai validitasa tiap butir instrumen serta nilai reliabilitas intrumen, yang menunjukkan bahwa instrumen reliabel.
Simpulan dan Saran Memperhatikan nilai validitas dan reliabilitas intrumen, dan kriteria dihasilkan simpulan sebagai berikut: Komponen motivasi dapat disusun dari instrumen sub komponen ektrinsik yang memiliki indikator : Kebijakan dan administrasi, Pengawasan, dan Kondisi kerja, serta dari faktor instrinsik yang mempengaruhi motivasional guru pendidikan agama Buddha yang terdiri dari: pengembangan, pekerjaan dan tanggung jawab. Komponen kepuasan kerja dapat disusun dari indikator, penggunaan jam kerja, keadilan, kedisiplinan, penghargaan dan stres kerja. Komponen kinerja dapat disusun dari indikator yang meliputi tugas guru dalam mengajar, tugas guru dalam mendidik, serta tugas guru dalam membimbing dan melatih. Berdasarkan penelitian dan pengembangan terhadap instrumen motivasi, kepuasan kerja dan kinerja guru pendidikan agama Buddha dapat disarankan untuk pemanfaatan produk sebagai berikut. 1. Instrumen motivasi kerja guru pendidikan agama Buddha seharusnya mempergunakan instrumen yang mempertimbangkan faktor intrinsik dan ekstrinsik guru tersebut. 2. Untuk mendalami kondisi kerja guru pendidikan agama Buddha yang sesungguhnya, perlu mempertimbangkan kepuasan kerja guru tersebut. 3. Seharusnya kinerja guru pendidikan agama Buddha mempertimbangkan kinerja guru berdasarkan tugas pokok dan fungsi guru sebagai upaya untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kinerjanya.
Daftar Pustaka Allen,
M.J., & Yen, W.M., (1979), Instroduction to measurement theory.: Wardsworth, Inc. Monterey.
Badarudin, (2010), Penilaian Kinerja,Diambil 2 April 2010, http://badarudinalbana, worldpress.com/2010/02/14 Baron, R.A., & Greenberg, J., 1990, Behaviour in Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
16
Third Edition, Allyn and Bacon, Massacgusetts. Borg,W.R.,& Gall,M.D. (1983). Education research: an introduction: Longman inc. New York Coakes, S.J. & Steed. D. (1996). SPSS for Window: analysis without anguish.: Jacaranda Wiley LTD. Cambera. Coggshall, J. and Jeffrey, M. (2008). Key Issue : Using Performance-Based Assessment to Identify and Suport High-Quality Teachers, The National Comprehensive Center for Teacher Quality is a collaborative effort of Education Commissioan of the states, ETS, Learning Point Associates, and Vanderbit University. Dessler, Garry.,1997, Manajemen Personalia, Edisi Ke tiga.,Erlangga, Jakarta. -----------------, 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Prenhalindo, Jakarta. Gibson, James L., et al., 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur, dan Proses. Edisi Kedelapan, Binarupa Aksara, Jakarta. Gay, L, R. (1981) Education Research, Competencies for Analysis & Application. Charles E. Merril Publication. London. Guba,E.G., & Lincolln, Y.S., (1991), Effective Evaluation, Improving the Usefulness of Evaluation Results Through Responsive and Naturalistic Approaches.Jossey-Bass Publisher-San Francisco. Kim, J.O., & Muller, C.M. (1986). Factor analysis, statistical methods & practical issues. Sage Publications.Inc. London. Luthans, 1995,Organisasi Behaviour, McGrawHill, Inc., Singapore Mardapi. D., (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes.Mitra Cendekia Press, Yogjakarta.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Mehrens,W.A, & Lehmann, I, J. (1973), Measurement and Evaluation in education and psycology.Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York. Nunnally, J. C. (1981). Psychometric Theory (2nd Ed). McGraw-Hill. New York. O’Malkey & Pierce (1996). Pengertian Asesmen bentuk asesmen dan langkah penerapan asesmen. Diambil dari http://mectabied. worldpress. com/2011/01/14 tanggal 29 Desember 2011. Osborn, R. N., et al., 1991, Managing Organizational Behavior, Fourth Edition, John Wiley & Sons Inc., Canada. Praptini, Y., 2000, Pengaruh Sumber – Sumber Stres Kerja Terhadap kepuasan Kerja Tenaga Edukatif tetap Fakultas Ilmu Sosial Universitas Airlangga Di Surabaya, Tesis Pada Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Suharjo, M.S., (2006). Mengenal Pendidikan Sekolah Dasar, Teori dan Praktek. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Sudjana,N., (1990). Teori-Teori Belajar Untuk Pengajaran. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.Jakarta. Sugiyono. (2003). Statistika Untuk Penelitian: Alfabeta. Bandung. Syamsul Bahri, (2009).Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Sekolah Dasar di Dataran Tinggimoncong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, TESIS, Program Studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Worthen, B. R., & Sanders, J. R., (1984). Educational evaluation: Theory and practice. OH: Charles A Jones Publishing Company. Worthington.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
17
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
PENERAPAN METODE SQ3R PADA PEMBELAJARAN KOMPETENSI MEMBACA KRITIS
THE IMPLEMENTATION OF SQ3R METHOD IN THE CRITICAL READING COMPETENCE LEARNING Sujiono
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian memberikan kajian penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran kompetensi membaca kritis dan memaparkan manfaat keterampilan membaca kritis bagi mahasiswa. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan teknik dokumenter. Teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis dan teknik analisis kritis. Hasil penelitian ini bahwa penerapan metode SQ3R dilakukan melalui lima langkah secara bertahap, yaitu; (1) survei adalah proses aktif melakukan pengenalan awal bahan bacaan; (2) question adalah proses menggali pertanyaan menyangkut hal-hal penting; (3) read yaitu proses membaca secara kritis; (4) recite berarti melakukan refeksi terhadap bahan bacaan; dan (5) review mengulang kembali sesuatu yang telah dibaca tanpa melihat bahan bacaan. Manfaat keterampilan membaca kritis bagi mahasiswa, yaitu; (1) memperlancarkan mengembangkan keterampilan menulis, baik menulis makalah dan skripsi; (2) meningkatkan keterampilan berbicara presentasi ilmiah; (3) kemudahan menghadapi ujian tengah semester dan ujian akhir semester; dan (4) ketepatan waktu penyelesaian perkuliahan, sehingga tercapai kesuksesan dalam studi. Kata kunci : Metode SQ3R, membaca kritis.
ABSTRACT The study purposes are provides a review on the implementation of SQ3R method in the critical reading competency learning and explain the benefits of critical reading skills for students. This research type is the literature study. Data collection techniques are interviews and documentary techniques. The data analysis technique used the technique of content and critical analysis. The results of this study that the application of SQ3R method is done through the five steps in stages, namely; (1) survey is an active process of doing the early introduction of reading materials; (2) question is to explore the question concerning important matters; (3) read is the process of critical reading; (4) Recite is doing reflection to the reading material; and (5) reviews is repeating something that has been read without looking at reading material. The benefits of critical reading skills for students, namely; (1) smooth the developing of writing skills, both papers and thesis writing; (2) improve the speaking skills of scientific presentations; (3) ease facing midterm and final exams; and (4) the timeliness of the course completion, in order to achieve success in the study. Keywords: SQ3R method, critical reading.
PENDAHULUAN Dijenjang perguruan tinggi keterampilan berbahasa diperlukan. Keterampilan berbahasa merupakan aspek yang harus dikuasi oleh mahasiswa. Sebagaimana diamanatkan di Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor
43/DIKTI/Kep/2006, tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok matakuliah pengembangan kepribadian diperguruan tinggi wajib dimasukkan kedalam kurikulum inti setiap program studi, yaitu matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan matakuliah Bahasa (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi: 2006).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
18
Berpijak pada kutipan diatas dapat diambil simpulan bahwa matakuliah bahasa Indonesia merupakan matakuliah yang sangat krusial di perguruan tinggi. Melalui matakuliah Bahasa Indonesia mahasiswa dibekali dengan empat keterampilan berbahasa. Menurut Tarigan (2008: p.1) Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu; (1) keterampilan menyimak (listening skills); (2) keterampilan berbicara (speaking skills); (3) keterampilan membaca (reading skills); dan (4) keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan berbahasa sangat diperlukan bahasa dalam pemantapan ilmu berbahasa. Bagi mahasiswa keterampilan membaca kritis sangat diperlukan. Mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar dituntut menguasai ilmu-ilmu. Diakhir studi mahasiswa wajib menghasilkan karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Kesuksesan dalam penyelesaian skripsi sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh mahasiswa yang bersangkutan. Jadi keterampilan membaca memberikan pengaruh yang besar dalam menentukan keberhasilan penyelesaian studi mahasiswa. Kegiatan penulisan skripsi terkadang menjadi momok yang sangat mengerikan bagi mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menulis skripsi. Penyebab utama mahasiswa mengalami kesulitan dalam menulis skripsi adalah kurangnya kegiatan membaca yang dilakukan mahasiswa. Mahasiswa masih kurang dalam kegiatan membaca. Dikalangan mahasiswa program studi Dharmacarya keterampilan membaca menjadi permasalahan, terutama membaca kritis. Penulis saat melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa semester 2 Jurusan Dharmacarya pada tanggal 11 Maret 2014, dari 7 informan rata-rata jarang membaca buku. Bahkan ada yang membaca jika hanya menyelesaikan tugas dari dosen. Ada mahasiswa kurang senang terhadap aktifitas membaca buku, Kendala yang dihadapi mahasiswa dalam membaca yaitu kesulitan dalam menangkap makna pada isi bacaan. Mahasiswa belum pernah menerapkan metode SQ3R, sehingga mengakibatkan kurang menyenangi aktiftas membaca kritis. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa jarang membaca buku. Mahasiswa lebih sibuk dengan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
aktifitas lainnya daripada kegiatan membaca. Mahasiswa cenderung lebih suka membaca facebook dari pada membaca buku materi ajar. Ketertarian mahasiswa terhadap aktifitas membaca masih kurang. Keterpaksaanlah yang menjadi dasar mahasiswa melakukan aktifitas membaca sehingga mengakibatkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam menangkap makna yang terdapat dalam buku bacaan. Mahasiswa terderung membaca hanya saat mengerjakan tugas dari dosen dan saat mau melaksanakan ujian. Kurang ketertarikan mahasiswa terhadap kegiatan membaca kritis karena dipengaruhi kurangnya pemahaman mahasiswa tentang pentingnya membaca kritis bagi mahasiswa. Keterbukaan pola pikir terhadap pentingnya keterampilan membaca kritis belum sepenuhnya dimiliki mahasiswa semester II program studi Dharmacarya. kendala lain yang dihadapi mahasiswa dalam kegiatan membaca adalah belum tepatnya metode membaca kritis yang selama ini dipergunakan oleh mahasiswa. Menurut Saksono (dalam Sudrajat, 2009: p. 6) menjelaskan salah satu metode yang tepat digunakan dalam pembelajaran membaca adalah SQ3R, dengan pertimbangan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah dalam meningkatkan aktvitas dan keterampilan membaca. Mengacu pada kutipan di atas dapat diambil sismpulan bahwa untuk mengatasi permasalahan di atas maka diperlukan penerapan metode SQ3R. Penerapan metode SQ3R sangat tepat diterapkan pada perkuliahan bahasa Indonesia dengan kompetensi membaca kritis. Penerapan metode SQ3R dapat mengkondisikan mahasiswa menjadi aktif dalam membaca kritis. Mahasiswa bilamana mampu membaca kritis dengan baik maka akan memproleh kemudahan dalam mengikuti perkuliahan. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas dan mengingat pentingnya keterampilan membaca kritis bagi mahasiswa, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penerapan Metode SQ3R Pada Pembelajaran Kompetensi Membaca Kritis”. KAJIAN TEORI Hakikat Metode SQ3R Metode SQ3R merupakan sebuah metode yang dikembangkan di Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat. Lebih lanjut
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
19
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dijelaskan Mulyati (2009: p. 4.12) teknik metode SQ3R untuk pertama kali digagas oleh seorang guru besar Psikologi dari Ohio State University, yaitu Prof. Francis P. Robinson pada tahun 1941. SQ3R merupakan singkatan Survei, Question, Read, Recite, dan Riview. Tampobolon mengindonesiakannya menjadi SURTABAKU, singkatan dari Survei, Tanya, Baca, Katakan, dan Ulang. Jadi penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis sangat sesuai. Melalui penerapan metode SQ3R dapat meningkatkan daya ingat. Menurut Tarigan (2008: p. 55) menjelaskan bahwa SQ3R adalah suatu metode studi yang mencakup lima tahap: Survey, Question, Read, Recite, Review. Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa metode SQ3R merupakan metode dalam kegiatan membaca melibatkan menjajagi, bertanya, membaca, menceritakan, dan meninjau ulang. Jadi metode SQ3R merupakan metode yang dilakukan secara lengkap dan terstruktur. Metode SQ3R memiliki keunggulan melebihi metode-metode lainnya, yaitu tingkat pemahaman yang akan pembaca peroleh dapat lebih mendalam karena Anda membaca dengan aktif. Dengan demikian proses membaca yang anda lakukan lebih efektif dan efisien (Aizid, 2011: p. 104). Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa penerapam metode SQ3R dapat mengkondisikan pembaca aktif. Penerapan metode SQ3R sangat efektif dan efesien dalam pembelajaran membaca kritis. Kegiatan membaca yang dilakukan secara aktif dapat meningkatkan daya ingat pembaca. Melalui metode SQ3R pembaca akan melalui tahap menjajagi, bertanya, membaca, menceritakan, dan meninjau ulang. Metode SQ3R sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran membaca kritis. Begitu pula dalam perkuliahan mata kuliah bahasa Indonesia di STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah. Penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis dengan menerapkan lima langkah yaitu penelitian pendahuluan (survei), tanya (ouestion), baca (read), menceritakan kembali (recite), dan tinjau kembali (review). Adapun tahap-tahap pelaksanaan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis dapat dipaparkan sebagaimana di bawah ini. Langkah pertama adalah survei (menjajagi). Perhatikanlah judul-judul serta subjudul-judul bab utama. Perhatikan organisasi
bab tersebut. Bacalah secara sekilas paragraf pertama. Bacalah sekilas paragraf terakhir. Lihat dan perhatikanlah gambar-gambar, fotografi-fotografi, lukisan-lukisan para seniman, peta, grafik, diagram yang ada (Albert dalam Tarigan, 2008: 56). Menurut Mulyati (2009: p. 4.12) pada tahap survei pembaca melakukan penjajagan awal mengenai gambaran umum isi buku sebelum kegiatan membaca yang sesungguhnya dilakukan. Hal-hal yang harus dicermati pada saat melakukan tahap survei, yaitu; (1) bagian pendahuluan, meliputi pengamatan halaman cover luar, pengarang, penerbit, tempat dan tahun terbit, edisi, cetakan), daftar isi, dafar tabel, daftar grafik/gambar, kata pengantar, abstrak; (2) bagian isi, meliputi pengamatan urutan dan tata penyajian isi buku; serta (3) bagian akhir penutup yaitu pengamatan bagaian simpulan dan rekomendasi, biografi penulis, apendiks, daftar pustaka. Lebih lanjut Aizid (2011: p. 104-107) menjelaskan survei adalah usaha untuk mengetahui garis besar isi dari bacaan, serta cara penyusunan dan penyajiannya secara sepintas. Survei adalah melakukan pengamatan awal secara sekilas mengenai identitas buku dan gambaran umum isinya, mulai dari judul utama, subjudul, cover buku bagian belakang, kata pengantar dari penulis, maupun daftar isi. Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan survei merupakan langkah pertama dalam penerapan metode SQ3R. Kegiatan survei dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap bahan bacaan. Pada saat survei pembaca mengenal bahan bacaan yaitu melalui pengataman terhadap halaman sampul baik sampul depan dan belakang, membaca kata pengantar, daftar isi, judul dan subjudul. Melalui survei pembaca mengetahui pengarang, penerbit, dan tahun penerbitan. Kegiatan survei sangat memberikan manfaat kepada pembaca untuk mengetahui inti pokok bahan bacaan yang akan dibaca. Tahap kedua dalam pelaksanaan metode SQ3R adalah Ouestion (bertanya). Menurut Mulyati (2009: p. 4.13) setelah memperoleh gambaran terkait bahan bacaan adalah mengajukan pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan itu mungkin berkenaan apa yang ingin pembaca ketahui, apa yang seharusnya pembaca ketahui, atau apa yang pembaca ragukan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada pembaca kemudian dicatat dan dikelompokkan. Melalui pertanyaan-pertanyaan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
20
akan memamdu kegiatan baca pembaca secara aktif untuk mencari jawaban, membuktikan jawaban, menolak, mengkritik, atau mengukuhkan gagasan pengarangnya. Ouestion (bertanya), artinya adalah bertanya dalam hati mengenai bahan bacaan yang hendak dibaca, serta mengenai informasi yang dibutuhkan. Mempertanyakan masalah, isi, atau ruang lingkup buku yang akan dibaca berfungsi mengantarkan menuju sesuatu yang pembaca perlukan. Melalui bertanya, pembaca mencoba untuk mencari tahu jawabannya di dalam buku tersebut. Pelaksanaan Ouestion (bertanya) berarti pembaca melakukan proses aktif dengan melakukan analisis, sintesis, maupun proses argumentasi terhadap pokok pikiran yang disampaikan penulis. Tahap Ouestion (bertanya) menyebabkan pembaca terlibat aktif dalam proses belajar, sehingga dapat membantu meningkatan pemahaman dan proses ingatan (Aizid, 2011: p. 107-110). Mengacu pada beberapa kutipan di atas disimpulkan bahwa Ouestion (bertanya) adalah proses aktif menggali pertanyaan-pertanyaan terkait bahan bacaan. Pembaca dalam tahap ini menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang diperoleh saat bersamaan melakukan survei. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah tersusun mengkondisikan pembaca menjadi aktif mencari jawaban, membuktikan jawaban, menolak, mengkritik, atau mengukukuhkan pendapat penulis bahan bacaan. Saat melakukan Ouestion pembaca menjadi aktif dengan melakukan analisis, sintesis, maupun proses argumentasi terhadap pendapat penulis bahan bacaan. Pelaksanaan Ouestion menyebabkan pembaca aktif dalam proses membaca sehingga membantu meningkatkan daya ingat dan pemahaman terkait bahan bacaan. Pelaksanaan baca (read) yaitu bacalah tugas itu dengan teliti dan saksama, paragraf demi paragraf. Seperti yang telah kita ketahui, setiap paragraf mengembangkan satu pikiran pokok (central thought). Kalau kita menggabungkan keseluruhan pikiran pokok menjadi satu kesatuan, tercerminlah ide-ide utama dari serangkaian paragraf-paragraf dalam suatu bab. Dengan perkataan lain, keseluruhan pikiran-pikiran pokok itu, kalau digabungkan, mencerminkan ide-ide utama dari serangkaian paragraf-paragraf di dalam suatu bab. Kita harus dapat mengenal pikiran-pikiran pokok ini agar kita dapat mengikuti deratan pikiran para pengarang. Perhatikan pula hal-hal penting
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
serta unsur-unsur penunjangnya (Tarigan, 2008: p. 57). Tahap read (membaca) tidak bisa dilepaskan dari proses Ouestion (bertanya). Pada tahap ini pembaca berpedoman pada hasil pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun pada tahap sebelumnya. Menurut Mulyati (2009: p. 4.13-1.14) menjelaskan dengan perpedoman pada pertanyaan yang telah rumuskan, kegiatan membaca yang dilakukan akan bersifat fleksibel, yakni kegiatan membaca yang disesuaikan dengan bahan, jenis, tingkat kesulitan bahan, tujuan, keperluan, dari pembaca. Melalui kegiatan read (membaca) akan memperoleh beberapa alternatif kesimpulan; (1) pertanyaan terjawab; (2) pertanyaan tidak terjawab; (3) pertanyaan terjawab tetapi tidak puas dan tidak lengkap; (4) memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru; (5) menolak gagasan penulis; dan (6) mengukuhkan gagasan penulis. Lebih lanjut dijelaskan menurut Aizid (2011: p. 110-111) disini pembaca membaca keseluruhan isi buku. Proses membaca keseluruhan dapat dilakukan dengan kecepatan tinggi. Proses pembacaan keseluruhan ini buku dapat dilakukan dengan break di tiap akhir bab untuk kemudian melakukan riview, atau dengan cara menyelesaikan secara total. Pada tahap read (membaca) mulai mempelajari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat. Kemudian tuliskan jawaban yang telah diperoleh dengan menggunakan kata-kata sendiri. Berdasarkan kutipan-kutian di atas dapat diambil simpulan bahwa bagian read (membaca), yaitu membaca isi bahan bacaan yang dilakukan secara feksibel. Kegiatan membaca disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan. Pada tahap read (membaca) pembaca bahan bacaan dengan teliti, sehingga mengenal pikiran-pikiran pokok dan dapat mengikuti deratan pikiran pengarang. Melalui kegiatan read (membaca) untuk memperoleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun pada tahap ouestion. Jawabanjawaban yang telah diperoleh kemudian ditulis ulang dengan menggunakan kata-kata sendiri. Pada bagian recite (menceritakan kembali) sekarang berhentilah dulu dan renungkan kembali apa yang telah ditelaah tadi. Yakinilah diri sendiri bahwa kita dapat membayangkan atau memvisualisasikan organisasi, dasar bab tersebut. Lihat kembali
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
21
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
apa yang telah ditelaah tadi. Yakinilah diri sendiri bahwa dapat membayangkan atau memvisualisasikan organisasi, dasar bab tersebut. Lihat kembali pada catatan-catatan yang telah dibuat dan ingat-ingat ide-ide utama yang disarankan. Periksalah kembali bab itu dan haruslah dapt menyakini diri sendiri bahwa dapat menyatakan dengan tepat isi setiap bagian-bagiannya. Jawablah segala pertanyaan yang telah dibuat pada tahap/langkah bertanyan (question). Selanjutnya alihkan perhatian pada setiap proses, atau hal-hal lain yang menarik yang harus diingat atau tercakup dalam catatancatatan. Pembaca harus yakin bahwa pembaca dapat menjawab setiap pernyataan yang diajukan pada akhir bab, dan mencoba untuk meramalkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan (Albert dalam Tarigan, 2008: p. 57). Recite (menceritakan kembali) menurut Aizid (2011: p. 111-112) adalah proses melakukan refleksi terhadap bahan bacaan setelah melakukan proses membaca. Tahap recite (mengingat sambil menyebutkan kembali) untuk menguji pemahaman pembaca. Cara melakukan recite (menceritakan kembali) adalah dengan menceritakan ulang pokok pikiran yang dibahas dalam buku dengan menggunakan gaya bahasa sendiri. Proses recite (menceritakan kembali) bermanfaat terutama ketika membaca buku perkuliahan yang wajib dikuasai. Proses recite (menceritakan kembali) mendorong pembaca untuk memahami bacaan dan menyebutkan kembali dengan bahasa sendiri. lebih lanjut menurut Mulyati (2009: p. 4.14) recite (menceritakan) dilakukan setelah kegiatan membaca selesai dilakukan dan selanjutnya menginternalisasikannya ke dalam sistem memori guna menyakinkan perolehan informasi yang didapatkan dengan menggunakan katakata sendiri. Berpijak dari berbagai kutipan di atas dapat diambil simpulan bahwa recite (menceritakan) merupakan proses melihat kembali terhadap bahan bacaan yang telah dibaca. Pada tahap ini pembaca menceritakan kembali pokok-pokok bahan bacaan dengan menggunakan bahasa sendiri. Pembaca menginternalisasikan informasi-informasi ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dari kegiatan membaca kedalam sistem memori. Kegiatan menginternalisasikan ilmu pengetahuan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Melalui proses recite (menceritakan) akan membantu
menumbuhkan pemahaman terhadap bahan bacaan. Tahap kelima dalam penerapan metode SQ3R adalah review. Menurut Aizid (2011: p. 112-113) menjelaskan review berarti mengulang kembali. Artinya harus mengungkapkan kambali sesuatu yang telah dipelajari tanpa melihat bahan bacaan. Pada tahap review mencoba mengiat kembali informasi dengan membaca ulang teks. Pada tahap review pembaca menelusuri kembali halhal penting yang sudah dibaca. Tujuan review untuk agar segala yang dibaca tidak hanya masuk dalam memori jangka pendek, tetapi juga masuk ke dalam memori jangka panjang. Dengan demikian, kapan pun membutuhkan materi yang telah dibaca, tinggal melakukan proses pemanggilan dari memori jangka panjang. Penerapan tinjauan kembali (review) adalah meninjau kembali keseluruhan bagian yang telah dibaca. Albert (dalam Tarigan 2008: p. 57) menjelaskan review periksalah kembali keseluruhan bagian itu. Hanyalah lihatlah pada judul-judul, gambar-gambar, diagram-diagram, tinjauan kembali pertanyaan-pertanyaan, dan sarana-sarana studi lainya, untuk menyakinkan bahwa kita telah mempunyai suatu gambaran yang lengkap mengenai tugas tersebut. Lebih lanjut menurut Mulyati (2009: p. 4.14) menjelaskan bahwa untuk memastikan pemahaman terhadap buku yang dibaca, langkah terakhir dari SQ3R adalah melakukan review (meninjau ulang) seluruh serangkaian kegiatan baca Anda. Melalui kegiatan review, Anda bukan sekedar bisa mendeksi dan mempelajari ulang bagian yan belum dikuasai, tetapi juga dapat memantapkan bagian yang sudah dikuasai. Mengacu pada berbagai kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa review adalah proses meninjau kembali sesuatu hal yang telah di baca. Melalui review pembaca mengingat kembali bahan bacaan yang telah dipelajari. Pada saat melakukan review pembaca hanya melihat pada judul, gambar, diagram. Pelaksanan review bukan hanya meninjau bahan yang belum dikuasai juga lebih memantapkan bagian-bagian yang telah dikuasai. Tujuan melakukan review adalah untuk memperkuat daya ingat, sehingga memori ingatan menjadi bertahan lama.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
22
Hakikat Membaca Kritis Membaca kritis merupakan aktivitas yang bukan sekedar membaca, namun diperlukan kajian analisis terhadap bahan bacaan. Menurut Albert (Tarigan, 2008: p. 92) menjelaskan membaca kritis adalah sejenis membaca yang dilakukan secara bijaksana, penuh tenggang hati, mendalam, evluatif, serta analitis, dan bukan hanya mencari kesalahan. Membaca kritis adalah aktivitas membaca yang ditempuh secara bijak, mendalam, evaluatif, serta analisis, dan bukan sekedar mencari-cari kesalahan dari isi atau pilihan kata yang dalam objek kajian (Rohmadi, 2011: p. 32). Membaca kritis adalah membaca dengan melihat motif penulis dan menilainya. Sehingga pembaca tidak sekedar membaca, namun juga berpikir tentang masalah yang dibahas penulis buku tersebut (Aizid, 2011: p. 32). Menurut Slamet (2009: p. 86) menjelaskan bahwa membaca kritis merupakan tahapan yang lebih jauh daripada membaca intensif dan dianggap sebagai kegiatan membaca yang bertataran lebih tinggi. Hal ini karena ide-ide buku yang telah dipahami secara baik dan detail, perlu direspon (ditanggapi), bahkan dianalisis. Membaca kritis mengisyaratkan pembacanya bersikap cermat, teliti, korektif, bisa menemukan kesalahan dan kejanggalan dalam teks, baik dari sudut isi dan bahasanya. Di samping itu, pembaca harus mampu pula membetulkan kesalahan-kesalahan itu. Lebih lanjut dijelaskan menurut Mulyati (2009: p. 4.9) keterampilan membaca dengan pemahaman kritis adalah keterampilan membaca yang dimiliki oleh pembaca yang tidak hanya mampu memaknai bacaan secara literal dan menginterprestasikan. Pembaca pada kategori ini juga mampu menilai apa yang dibacanya. Pembaca mampu menilai secara kritis gagasan-gagasan yang disampaikan penulis dan juga kesahihan apa yang dibacanya. Berpijak dari berbagai macam kutipan para ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa membaca kritis merupakan membaca secara mendalam, teliti, objektif, evaluatif dan korektif. Pembaca secara aktif mengalisis pokok-pokok gagasan yang disajikan penulis. Proses membaca kritis bukan sekedar membaca namun diserta evaluatif secara mendalam. Saat melakukan membaca kritis pembaca secara aktif menanggapi kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam bahan bacaan. Membaca kritis
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
bukan sekedar mencari-cari kesalahan tata bahasa maupun isinya, tetapi pembaca membetulkan kesalahan-kesalahan yang ada. Menurut Rohmadi (2011: p. 32) tujuan membaca kritis adalah; (1) memahami maksud penulis; (2) memahami organisasi dasar tulisan dan menilai penyajian penulis; (3) menerapkan prinsip-prinsip kritis dalam suatu bacaan; (4) meningkatkan minat dan keterampilan membaca dan selalu berpikir positif; serta (5) mengetahui prinsip-prinsip pemilihan bahan dan memanfaatkan penerbitan buku-buku ilmiah. Lebih lanjut dijelaskan tujuan membaca kritis adalah untuk menemukan fakta-fakta yang terdapat dalam teks bacaan, kemudian memberikan penilaian terhdapnya (Aizid, 2011: p. 33). Mengacu pada kutipan diatas maka dapat dipahami bahwa tujuan membaca kritis adalah memahami maksud penulis baik dari segi isi, maupun tata bahasa tulis melalui penerapkan prinsip-prinsip kritis. Kegiatan membaca kritis juga bertujuan untuk meningkatkan minat dalam keterampilan berbahasa khusunya keterampilan membaca. Melalui membaca kritis mahasiswa akan mampu memiliki prinsip-prinsip dalam memilih bahan-bahan pembelajaran dan secara optimal memanfaat buku-buku ilmiah yang bermanfaat dalam menunjang keberhasilan dalam studi. Membaca kritis sebagaimana membaca intensif, merupakan modal utama bagi mahasiswa untuk mencapai kesuksesan studi. Menurut Dipdiknas (2006: p. 16) membaca merupakan kegiatan yang sangat menunjang kegiatan menulis. Dengan banyak membaca akan mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dapatkan dari pengalaman sehari-hari. Dengan banyak membaca akan dapat banyak gagasan yang berguna untuk tulisan. Oleh karena itu, kalau ingin menghasilkan tulisan yang baik perlu banyak membaca. Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan pentingnya membaca kritis yaitu menunjang keberhasilan dalam kegiatan menulis. Melalui proses membaca kritis maka mahasiswa akan memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan tugas-tugas pembuatan makalah. Lebih dari sekedar membantu pembuatan makalah-malakah, membaca kritis akan menunjang keberhasilan dalam menyelesaikan tugas akhir yaitu membuat skripsi. Skripsi merupakan tugas utama dan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
23
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
wajib yang harus di tempuh mahasiswa sebelum meraih gelar sarjana. Mahasiswa yang terbiasa dengan membaca kritis, tentu akan lebih mudah dalam menemukan gagasan-gasan penting, serta informasi yang dibutuhkan dalam menulis skripsi. Mahasiswa akan cenderung lancar dalam menulis manakala memiliki berbagai macam gagasan dan pengetahuan. Tidak sedikit mahasiswa mengalami kendala dalam menyelesaikan skripsi, hal ini dikarena masih minimnya pengetahuan yang dimiliki. Jadi membaca kritis sangat penting bagi mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan maupun menyelesaikan tugas akhir. Kegiatan membaca kritis sangat bermanfaat bagi mahasiswa. Melalui membaca kritis merupakan langkah awal dalam usaha mencapai kesuksesan dalam perkuliahan. Lebih lanjut dijelaskan manfaat yang dapat dipetik dari membaca kritis yaitu pertama-tama haruslah dipahami benar-benar bahwa membaca kritis meliputi penggalian lebih mendalam di bawah permukaan, upaya untuk menemukan bukan hanya keseluruhan kebenaran mengenai apa yang dikatakan, tetapi juga (dan inilah yang lebih penting pada masamasa selanjutnya) menemukan alasan-alasan mengapa sang penulis mengatakan apa yang dilakukannya. Kedua, membaca kritis merupakan modal utama bagi para mahasiswa untuk mencapai kesuksesan dalam studinya (Tarigan, 2008: p. 92). Berdasar kutipan diatas dapat di simpulkan bahwa manfaat dari kegiatan membaca kritis yaitu mampu menggali ilmu pengetahuan atau hal-hal yang utama yang terdapat dalam sebuah bacaan. Melalui membaca kritis mahasiswa akan mampu memahami secara mendalam terkait argumentasi-argumentasi yang menguatkan pemapaparan penulis dalam sebuah buku. Bila mahasiswa mampu memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam dari sebuah buku tentunya akan mendukung keberhasilan dalam menyelesaikan studi. Mahasiswa sebagai inteltual tentunya juga harus memahami alasan-alasan yang menjadi dasar pengetahuan yang disajikan penulis. Di dunia perkuliahan hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah evaluasi pembelajaran baik ujian tengan semester maupun ujian akhir semester. Mahasiswa untuk sukses dalam perkuliah tentunya harus sukses dalam menempuh segala macam bentuk ujian dalam masing-masing mata kuliah. Disinilah
kebermanfaat membaca kritis bagi mahasiswa untuk membantu dalam menyelesaikan tugastugas maupun segala macam bentuk ujian yang harus ditempuh. Membaca kritis merupakan proses membaca yang dilakukan secara mendalam, teliti, analitif, dan evaluatif. Kegiatan membaca kritis agar memberikan hasil yang optimal maka diperlukan cara dalam membaca kritis. Adapun cara membaca kritis dapat dijelaskan sebagai berikut; (1) penggarisbawahi ide-ide cermelang; (2) penyempurnaan materi-materi yang dirasakan masih kurang lengkap; (3) antisipasi bantahan-bantahan, terhadap ide-ide yang dianggap kontroversial atau jauh berbeda dengan konsep pembaca; dan (4) penyempaian ide-ide alternative sebagai pembanding wawasan lain dari ide yang disodorkan penulis (Rohmadi, 2011: p. 38). Jadi disini sangatlah jelas bahwa cara membaca kritis diperlukan kejelian, kecermatan, dan keseriusan. Pembaca dalam melakukan membaca kritis tentunya mampu melihat ide-ide cermelang yang tersaji dalam bacaan. Ide-ide cermelang yang sudah ditemukan diberikan perhatian khusus sehingga ide-ide cermelang tersebut akan terrekam dalam ingatan jangka panjang. Saat melakukan proses membaca kritis mana kala ada bagian-bagian yang diangap mengalami kekurangan maka pembaca melakukan penyempurnaanpenyempurnaan. Penulis terkadang dalam menyajikan ide-ide berbeda dengan ide-ide yang dimiliki pembaca sehingga terjadi kontroversi, sehingga pembaca perlu menyiapkan antsipasi bantahan-bantahan, sehingga terjadi proses analisis. Diakhir proses membaca kritis pembaca menyampaikan ideide alternative ini sebagai bentuk pembanding, dan juga sebagai bentuk evaluatif terhadap bahan bacaan. Penelitian Relevan Penilitian ini tentunya tidak lepas dari pelenitian-penelitian yang terdahulu. Adapun penilitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan Isminatun alumni MPB UMS angkatan 2006 dalam publikasi ilmiah UMS (2011: p. 207-215) yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman dengan Metode SQ3R Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri 2 Gatak, Sukoharjo”. Hasil penelitian Isminatun yaitu minat siswa untuk mengikuti pembelajaran bahasa
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
24
Indonesia terutama materi membaca lebih meningkat. Tingkat kelancaran membaca secara berpasangan dari siklus I ke siklus berikutnya mengalami perkembangan. Kebiasaan membaca siswa semakin lama semakin baik. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan masing-masing siklus. Pada siklus I hambatan membaca sebesar 20%, siklus II sebesar 12,5%, dan siklus III menjadi 9%. Dengan dipraktikkan membaca dengan metode SQ3R merangsa siswa untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran membaca yang berdampak pada pemahaman membaca semakin meningkat. Hal ini dapat diketahui dari hasil ulangan / tes membaca yang semakin lama semakin baik, pada siklus I nilai rata-rata 52, siklus II rata-rata 63, dan siklus III rata-rata 73. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Isminatun yaitu terletak objek kajian penelitian. Penelitian Isminatun berusaha meningkatkan kemampuan membaca pemahaman, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengkaji dalam hal membaca kritis. Jadi perbedaan utama terletak pada membaca pemahaman dengan membaca kritis. Perbedaan selanjutnya yaitu penelitian ini dilakukan di STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah, sedangkan penelitian Isminatun dilaksanakan di kelas VII D SMP Negeri 2 Gatak, Kabupaten Sukoharjo. Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Isminatun yaitu sama-sama menerapkan metode SQ3R. Penelitian yang dilakukan Imaniar Zeety Annisa (2013) dalam Jurnal dengan judul “Peningkatan Aktivitas dan Keterampilan Membaca Cerita Melalui Penerapan Metode Pembelajaran SQ3R”. Adapun hasil penelitian yang dilakukan Imaniar Zeety Annisa bahwa pembelajaran menggunakan metode SQ3R dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VA SD Negeri 2 Metro Utara. Berdasarkan hasil pembahasan setiap siklus diperoleh persentase rata-rata siklus I sebesar 66,50% dengan kategori sedang, pada siklus II sebesar 74,50% dengan kategori tinggi dan pada siklus III meningkat lagi menjadi 79,13% dengan kategori sangat tinggi. Pembelajaran melalui penerapan metode SQ3R, dapat meningkatkan kinerja guru. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan rata-rata persentase kinerja guru pada siklus I adalah 63,57 dengan kategori cukup baik, meningkat pada siklus II menjadi 77,15 dengan kategori baik dan meningkat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kembali pada siklus III menjadi 83,22 dengan kategori sangat baik. Pembelajaran menggunakan metode SQ3R juga dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas VA SD Negeri 2 Metro Utara. Rata-rata hasil keterampilan membaca siswa pada siklus I sebesar 63,50. Pada siklus II menjadi 74 dan meningkat lagi pada siklus III sebesar 76,50. Sedangkan tingkat keberhasilan membaca pada siklus I terdapat 14 siswa (70%) dengan kategori terampil, meningkat menjadi 15 siswa (75%) pada siklus II dengan kategori terampil dan pada siklus III meningkat menjadi 18 siswa (90%) dengan kategori sangat terampil. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Imaniar Zeety Aniisa, Suwarjo, dan Siswantoro yaitu fokus kajian. Fokus kajian dalam penilitian ini adalah pembelajaran membaca kritis sedangkan penelitian Imaniar Zeety Aniisa, Suwarjo, dan Siswantoro adalah peningkatan aktivitas dan keterampilan membaca cerita. Persamaan kedua peneliti adalah sama-sama menerapkan metode SQ3R. Perbedaan lainnya terletak pada setting penelitian. Penelitian dilaksanakan di STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah Tahun Akademik 2013/2014, sedangkan penelitian Imaniar Zeety Aniisa, Suwarjo, dan Siswantoro di laksanakan di kelas VA SD Negeri 2 Metro Utara Tahun Pelajaran 2012/2013. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah sebuah penelitian dimana seorang peneliti yang mendalami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku referensi atau hasil penelitian lain) untuk menunjang penelitiannya (Hasan, 2002: p. 45). Studi pustaka merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2008 : 2). Terdapat 4 ciri utama studi kepustakaan, yaitu; (1) peneliti berhadapan langsung dengan teks (nash) data angka; (2) data pustaka bersifat siap pakai; (3) data pustaka umumnya adalah sumber skunder; dan (4) kondisi data pustaka tidak dibatasi ruang dan waktu (Zed, 2008: 3-6). Berdasarkan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
25
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kutipan di atas dapatlah dipahami bahwa penelitian studi kepustakaan adalah penelitian yang berfokus pada pengkajian berbagai macam sumber kepustakaan yang bersifat siap pakai sehingga peneliti berperan aktif mengkaji, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi bahan bacaan yang relevan dengan variabelvaribel penelitian. Penelitian ini menggunakan dasar library research dikarenakan (1) penelitian tentang penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis diperoleh dari sumber data kepustakaan. Melalui telaah kepustakaan, akan diperoleh data empiris dari beberapa data primer maupun skunder. (2) Studi kepustakaan merupakan studi pendahuluan (prelimannry research) untuk memahami lebih dalam gejala baru yang berkembang. (3) Data pustaka tetap handal unttuk menjawab persoalan penelitian (Zed, 2008: p. 3). Adapaun tujuan dan pertimbangan peneliti menggunakan studi kepustakaan dalam penelitian ini adalah; (1) ingin mengkaji lebih mendalam mengenai penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis; (2) belum pernah dilakukannya pengkajian terkait penerpan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis di STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah; (3) institusi dalam hal ini STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah memberikan izin dalam pelenitian ini; (4) minat mahasiswa dalam kegiatan membaca masih rendah; (5) saat melakukan kegiatan membaca mahasiswa belum pernah menggunakan metode SQ3R; dan (6) keterbatasan biaya. Pada
penelitian ini variabel yang dapat diidentifikasi yaitu; 1. Metode SQ3R Penelitian kajian pustaka ini mengenai penerapan metode SQ3R untuk meningkatkan keterampilan membaca kritis bagi mahasiswa STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah, Semester II Tahun Akademi 2013/2014. Peneliti memaparkan penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis. 2. Membaca kritis Membaca kritis yang dimaksud disini adalah merupakan membaca secara mendalam, teliti, objektif, evaluatif dan korektif. Pembaca secara aktif mengalisis pokok-pokok gagasan yang disajikan
penulis. Proses membaca kritis bukan sekedar membaca namun diserta evaluatif secara mendalam. Saat melakukan membaca kritis pembaca secara aktif menanggapi kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam bahan bacaan. Membaca kritis bukan sekedar mencari-cari kesalahan tata bahasa maupun isinya, tetapi pembaca membetulkan kesalahankesalahan yang ada. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi wawancara atau diskusi dan teknik dokumenter. Menurut Sutopo (2006: p. 66-67) sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai informan. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik wawancara. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara atau diskusi antara peneliti dengan mahasiswa semester II program studi Dharmacarya tahun akademik 2013/2014. Peneliti melakukan wawancara dengan informan yaitu mahasiswa Program Studi Dharmacarya semester II Tahun akademik 2013/2014, yang dilakukan pada tanggal 11 dan 18 Maret 2014 di kampus STAB Negeri Raden Wijaya. Wawancara dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi terkait kegiatan membaca kritis mahasiswa. Peneliti selain menggunakan teknik wawancara juga menggunakan teknik dokumenter. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini yaitu teknik dokumenter, dengan mengumpulkan data sumber dari buku-buku pustaka yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penyusunan penelitian ini (Saukah, 2000: p.25). Jadi peneliti mengumpulkan berbagai macam dokumen baik dalam berbentuk buku-buku, jurnal penelitian yang gayut dengan metode SQ3R dan membaca kritis. Adapun jurnal penelitian yang telah dikumpulkan diantaranya; (1) Annisa, Imaniar Zeety., Suwarjo, dan Siswantoro. 2013. “Peningkatan Aktivitas dan Keterampilan Membaca Cerita Melalui Penerapan Metode Pembelajaran SQ3R”. jurnal.fkip.unila; (2) Isminatun (2011) “Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman dengan Metode SQ3R Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri 2 Gatak, Sukoharjo” publikasi ilmiah UMS.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
26
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu: (1) Peneliti memilih-memilah buku-buku yang relevan dengan pokok pembahasan pada penelitian ini. (2) Peneliti membuat catatan data-data yang telah dikumpulkan. (3) Data-data yang dianggap penting kemudian di analisa sesuai dengan pokok pembahan dalam penelitian ini. Penulis dalam melakukan pengumpulan data tidak dapat diwakilkan. Hal ini disebabkan hanya penulis sendiri sebagai alat yang mampu memahami serta menganalisis secara keseluruhan serta menguji keabsahan dan kelayakan data apabila akan digunakan dalam sebuah kajian sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji. Teknik analisis dalam penelitian ini merupakan unsur yang paling penting. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis dan teknik analisis kritis. Menurut Widodo (2000: p. 52) content analysis yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat referensi-referensi yang dapat ditiru dan memperhatikan konteknya. Data yang diperoleh dalam kajian akan menjadi bermakna secara berguna dalam memecahkan masalah dan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan penulis yang berkaitan penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis. Teknik analisis kritis berkaitan dengan data kualitatif (Suwandi, 2011: p. 66). Teknik analisis dalam penelitian ini mencakup kegiatan untuk mengukapkan penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis di STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penerapan Metode SQ3R dalam Pembelajaran Kompetensi Membaca Kritis. Sebuah metode akan berhasil manakala mampu diterapkan secara optimal. Begitu hal metode SQ3R dalam penerapannya harus seoptimal mungkin dalam pembelajaran membaca kritis. Penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi haruslah seoptimal mungkin. Hal ini disebabkan mata kuliah bahasa Indonesia di perguruan tinggi memiliki peran yang strategis dalam meningkatkan keterampilan berbahasa, yaitu; (1) keterampilan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
menyimak; (2) keterampilan berbicara; (3) keterampilan membaca; dan (4) keterampilan menulis. Empat keterampilan berbahasa jika dikembangan secara optimal akan membentuk mahasiswa yang unggul dan kompetitif. Penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis dilakukan dengan menerapkan lima langkah secara bertahap. Adapun lima langkah sebagai bentuk penerapan metode SQ3R adalah penelitian pendahuluan (survei), tanya (ouestion), baca (read), menceritakan kembali (recite), dan tinjau kembali (review). Langkah pertama dalam penerapan metode SQ3R yaitu survei. Survei merupakan kegiatan pendahuluan yang harus dilalui mahasiswa. Kegiatan survei adalah sebuah proses kegiatan dimana mahasiswa secara aktif melakukan pengenalan awal terhadap bahan bacaan. Survei terhadap bahan bacaan dilakukan untuk mengetahui gambaran umum bahan bacaan. Hal yang dilakukan untuk melakukan survei bahan bacaan yaitu: 1. Mengamati cover bagian depan. Pengamatan cover depan sangat berfungsi untuk mengetahui judul utama dan sub judul sebuah bahan bacaan. Hal ini sangat dipenting, dikarenakan sebagai gambaran awal untuk mengenal isi bahan bacaan yang akan dibaca. 2. Mengamati cover bagian belakang. Melalui pengamatan cover bagian belakang akan diperoleh pemahanan tentang ringkas isi terhadap bahan bacaan. Ringkas bahan bacaan sangat berguna untuk mengetahui secara sekilas isi buku yang akan dibaca. Pengamatan pada cover bagian belakang juga bermanfaat untuk mengetahui riwayat singkat penulis, sehingga akan diketahui kredibilitas kemampuan penulis terhadap isi buku yang akan disajikan. 3. Mengamati kata pengantar. Pengamatan kata pengantar ini bermanfaat untuk mengetahui apa saja hal yang penting yang diinginkan dari penulis. Pada kata pengantar penulis biasanya juga menyajikan hal-hal yang menarik dalam sebuah buku. Melalui pemahaman isi kata pengantar akan mampu menghantarkan kesiapan pembaca dan meningkatkan semangat membaca kritis terhadap bahan bacaan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
27
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
4.
Mengamati daftar isi Para pembaca hendaknya tidak melupakan sebuah daftar isi pada sebuah buku bacaan. Melalui pengamatan daftar isi akan sangat berguna bagi pembaca untuk mengetahui sajian-sajian informasi yang terdapat dalam sebuah buku bacaan. Biasanya seorang penulis buku akan merinci secara detail hal-hal yang akan disajikan. Daftar isi juga bermanfaat bagi pembaca untuk mengetahui secara cepat dihalaman berapa penulis menyajikan informasi yang diperlukan pembaca. Hal ini sangat efeksi dan efesien sehingga pembaca tidak perlu membuka buku halaman demi halaman. Berdasarkan empat pengamatan yang dilakukan sebagai survei terhadap bahan bacaan akan sangat membantu pembaca. Melalui kegiatan survei dalam kegiatan membaca kritis akan sangat membantu pembaca. Kegiatan survei terhadap bahan bacaan akan mengkondisikan pembaca akan dengan mudah dan cepat mengetahui judul dan subjudul buku yang akan dibaca, ringkasan isi buku yang akan disajikan penulis, mengetahui tahun penulisan buku dan nama percetakan, hal-hal yang menarik dalam sebuah buku, dan rincian informasi yang akan disajikan penulis buku. Tahap kedua dalam penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis adalah bertanya (question). Kegiatan bertanya dilakukan setelah selesai melakukan survei terhadap buku bacaan. Pembaca setelah melakukan pengenalan terhadap buku bacaan akan terkondisi memunculkan pertanyaanpertanyaan penting terhadap buku bacaan. Pembaca harus bertanya dalam hati mengenai bahan bacaan akan disajikan penulis buku. Pembaca juga menggali pertanyaan menyangkut hal-hal penting atau terkait informasi-informasi penting yang diperlukan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, hendaknya pembaca segera mencatatnya dalam sebuah buku catatan. Melalui pertanyaanpertanyaan akan mendorong pembaca tergerak aktif mencari jawaban dalam sebuah buku akan dibaca. Pembaca akan terdorong menggeluti isi buku bacaan yang dipenuhi semangat untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah dikumpulkan. Melalui kegiatan bertanyan (question) akan mengkondisikan aktif membaca buku bacaan secara kritis, mengungkap isi buku dengan kritis, mempertanyakan masalah isi buku, dan melakukan analisis terhadao buku bacaan.
Tahap ketiga dalam penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis adalah read. Bentuk pelaksanaan read yaitu melakukan kegiatan proses membaca yang dilakukan secara kritis. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah digali pembaca sebelumnya sebagai dasar untuk melakukan read. Pembaca melakukan read dilakukan secara fleksibel hal ini disesuaikan dengan kebutuhan informasi yang diperlukan. Tahap pelaksanaan read pembaca menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun. Saat melakukan read terhadap isi buku pembaca bersikap cermat, teliti, dan korektif. Tahap keempat dalam penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis adalah mencerita kembali (recite). Proses menceritakan kembali dilakukan setelah selesai melakukan proses read. Pemerolehan informasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya perlu direnungkan kembali oleh pembaca. Ide-ide penting dari hasil proses pembaca harus kembali dicerita dengan menggunakan bahasa sendiri oleh pembaca. Pembaca menyakinkan diri sendiri bahwa apa yang telah dibaca dapat dikuasi dengan baik. Melalui proses recite ini berarti pembaca melakukan refeksi terhadap bahan bacaan yang telah dibaca. Pembaca perlu menguji pemahaman hasil proses membaca melalui mengingat dan menyebutkan kembali pokokpokok pikiran bahan bacaan. Pelaksanaan proses recite akan semakin menguatkan pemahaman sehingga informasi dari proses membaca tertanam kuat dalam memori ingatan. Jadi recite merupakan tahap dimana pembaca memantapkan pengetahuan terhadap bahan bacaan. Pelaksanaan recite yaitu menceritakan kembali ide-ide penting bahan bacaan. Melalui recite akan sangat membantu pemahaman dan peningkatan daya ingat karena tersimpan dalam memori ingatan. Tahap kelima dalam penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis adalah review. Pada tahap review ini pembaca mengulang kembali terhadap sesuatu yang telah dibacanya tanpa melihat bahan bacaan. Pembaca menelusuri informasi-informasi penting yang telah dibacanya. Pembaca juga melihat secara sekilas judul-judul, gambargambar, diagram-diagram, pikiran-pikiran pada tiap-tiap paragraf. Tahap review ini dilakukan supaya informasi yang telah dibaca tidak mudah terlupakan, karena informasi itu akan disimpan dalam jangka panjang. Review akan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
28
semakin memantapkan bagian-bagian tentang bacaan yang telah dikuasai. Manfaat Keterampilan Membaca Kritis Bagi Mahasiswa Mahasiswa dalam kesehariaanya dihadapkan pada berbagai macam tugas perkuliahan dituntut mampu menyelesaikan tugas perkuliahan dengan baik. Mahasiswa dalam perkuliahan mata kuliah bahasa Indonesia dibekali dengan empat keterampilan berbahasa. Adapun empat keterampilan berbahasa yang diberikan kemahasiswa, yaitu; (1) keterampilan menyimak; (2) keterampilan berbicara; (3) keterampilan membaca; dan (4) keterampilan menulis. Pada dasarnya keempat keterampilan berbahasa yang diajarkan kemahasiswa merupakan suatu kesatuan yang tidak berdiri sendiri. Keempat keterampilan saling memberikan hubungan satu dengan yang lain. hal ini disebabkan untuk mampu menguasai keterampilan menyimak diSalah satu hal yang diperlu dikuasi adalah memiliki ketarampilan membaca kritis. Mahasiswa harus membangun rasa suka yang kuat terhadap aktivitas membaca kritis. Diperlukan usaha dan semangat yang besar untuk menumbuhkan rasa suka terhadap aktivitas membaca kritis. Mahasiswa memerlukan pengetahuan dalam menyelesai berbagai macam tugas perkuliahan. Melalui kegiatan membaca kritis mahasiswa akan memperoleh sesuatu hal yang bermanfaat. Membaca kritis yang dilakukan dengan menerapkan metode SQ3R akan memberikan manfaat-manfaat penting bagi mahasiswa. Manfaat pertama dari kegiatan membaca kritis melalui penerapan metode SQ3R adalah mempelajarkan dalam mengembangkan keterampilan menulis. Kegiatan menulis tidak bisa ditinggalkan bagi mahasiswa. Aktivitas mahasiswa dalam dunia perkuliahan selalui dihadapkan dengan berbagai macam tugas menulis, baik membuat makalah, merangkum, membuat analisis, dan penyelesaian tugas akhir yaitu skripsi. Setiap mata kuliah yang disajikan dosen hampir sebagian besar memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat karya tulis. Aktivitas membaca kritis dengan menerapkan metode SQ3R akan sangat bermanfaat dalam membuat karya tulis. Pengetahuan dan pemahaman sebuah konsep akan didapatkan dari aktivitas membaca kritis. Mahasiswa yang
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
memiliki banyak pengetahuan tentunya akan memiliki banyak ide-ide cemerlang. Bermodalkan pengetahuan dan ide-ide cermelang akan mengkondisikan mahasiswa mudah memunculkan gagasan-gagasan penting untuk menunjang pembuat karya tulis penyelesaian tugas dari mata kuliah. Mahasiswa tidak lagi mengalami kebingungan untuk memulai makalah. Aktivitas membaca kritis juga akan mempermudah mahasiswa dalam penulisan skripsi. Kekayaan pengetahuan akan memopang keberhasilan mahasiswa dalam menulis skripsi. Jadi kegiatan membaca kritis dengan menerapkan metode SQ3R dapat meningkatkan keterampilan menulis mahasiswa. Kedua manfaat membaca kritis melalui penerapan metode SQ3R adalah untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Mahasiswa selain dituntut memiliki keterampilan menulis juga dituntut memiliki keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara yang dikembangkan diperkuliahan adalah berbicara presentasi ilmiah. Saat berbicara ilmiah mahasiswa dituntut untuk memiliki pola pikir ilmiah. Setiap mata kuliah menuntut mahasiswa untuk mampu presentasi ilmiah. Hasil perkerjaan mahasiswa yang telah diselesaikan langkah berikutnya untuk dipresentasikan dihadapan dosen pengempu dan teman sekelas. Ketika ujian skripsipun mahasiswa juga dituntut mampu melakukan presentasi ilmiah dengan baik. Melalui aktivitas membaca kritis dengan menerapkan metode SQ3R akan mengkondisikan mahasiswa mahir dalam presentasi ilmiah. Pengetahuanpengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca kritis akan memperlancar proses presentasi ilmiah. Mahasiswa akan sangat terbantu dalam mengeluarkan gagasan dalam presentasi ilmiah. Jika diberi pertanyaan, sanggahan tercenderung akan lebih siap untuk memberikan jawaban dan tanggapan. Mahasiswa tidak lagi takut dibantai oleh temannya saat presentasi karena memiliki bekal pengetahuan yang memadai. Jadi membaca kritis dengan metode SQ3R akan semakin memingkatkan keterampilan berbicara presentasi ilmiah. Ketiga manfaat dari membaca kritis dengan penerapan metode SQ3R adalah kemudahan dalam menghadapi ujian. Pada setiap semester mahasiswa dihadapkan pada berbagai jenis ujian. Umunya ujian yang harus
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
29
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dihadapi mahasiswa adalah ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Pembobotan nilai pada umumnya dosen akan menempatkan nilai ujian yang paling besar prosentasenya. Melalui aktivitas membaca kritis dengan menerapkan metode SQ3R akan semakin menguatkan pengetahuan dan pemahan terhadap materi ajar yang diberikan oleh dosen. Melalui penguasaan materi yang baik tentunya akan mempermudahkan mahasiswa dalam menghadapi ujian baik tengah semester maupun akhir semester. Penguasaan materi memedai akan menghantarkan mahasiswa memperoleh nilai yang memuaskan. Jadi aktivitas membaca kritis melalui penerapan metode SQ3R akan mengkondiskan mahasiswa lebih memahami dan menguasai materi perkuliahan, sehingga saat ujian akan lebih siap dan optimal yang memperoleh nilai. Keempat manfaat dari membaca kritis dengan penerapan metode SQ3R adalah ketepatan waktu sesuai target penyelesaian perkuliahan. Sangat besar manfaat dari aktivitas membaca kritis melalui penerapan metode SQ3R. Kegiatan membaca kritis akan membantu mahasiswa merealisasikan target waktu penyelesaian studi. Kelancaran dalam menyelesaikan berbagai macam tugas menulis, kelancaran dalam menyelesaikan skripsi, mahir dalam presentasi ilmiah, kesiapan yang matang dalam segala ujian akan membuat mahasiswa tepat waktu dalam menyelesaikan studi. Kesuksesan dalam studi akan tercapai dengan aktivitas membaca kritis. Hasil pembahasan yang telah disajikan sejalan dengan pendapat ahli bidang bahasa, yaitu (Tarigan, 2008: 92). Menjelaskan manfaat yang dapat dipetik dari membaca kritis yaitu pertama-tama haruslah dipahami benar-benar bahwa membaca kritis meliputi penggalian lebih mendalam di bawah permukaan, upaya untuk menemukan bukan hanya keseluruhan kebenaran mengenai apa yang dikatakan, tetapi juga (dan inilah yang lebih penting pada masa-masa selanjutnya) menemukan alasan-alasan mengapa sang penulis mengatakan apa yang dilakukannya. Kedua, membaca kritis merupakan modal utama bagi para mahasiswa untuk mencapai kesuksesan dalam studinya. PENUTUP Simpulan Berdasarkan kajian teori, penelitian relevan, dan hasil pembahasan dari bab
sebelumnya, maka penulis dapat mengambil simpulan bahwa penerapan metode SQ3R dalam pembelajaran kompetensi membaca kritis yaitu dilakukan melalui lima langkah secara bertahap, yaitu; (1) survei adalah sebuah proses kegiatan dimana pembaca secara aktif melakukan pengenalan awal terhadap bahan bacaan; (2) question adalah proses menggali pertanyaan menyangkut hal-hal penting atau terkait informasi-informasi penting yang diperlukan; (3) read yaitu melakukan kegiatan proses membaca yang dilakukan secara kritis; (4) recite ini berarti pembaca melakukan refeksi terhadap bahan bacaan yang telah dibaca; dan (5) review ini pembaca mengulang kembali terhadap sesuatu yang telah dibacanya tanpa melihat bahan bacaan. Adapun manfaat keterampilan membaca kritis bagi mahasiswa, yaitu; (1) memperlancarkan dalam mengembangakan keterampilan menulis, baik menulis makalah dan skripsi ; (2) meningkatkan keterampilan berbicara presentasi ilmiah; (3) kemudahan dalam menghadapi ujian baik ujian tengah semester maupun ujian akhir semester; dan (4) ketepatan waktu penyelesaian perkuliahan, sehingga tercapai kesuksesan dalam studi. Saran Berpijak pada hasil simpulan yang telah dipaparkan di atas maka penulis menyarankan: 1. Bagi mahasiswa STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah, hendaknya tergerak untuk menumbuhkan aktivitas membaca kritis dengan menerapkan metode SQ3R. 2. Bagi para dosen di STAB Negeri Raden Wijaya, hendaknya memotivasi rekan-rekan mahasiswa untuk gemar membaca kritis. 3. Bagi pimpinan STAB Negeri Raden Wijaya, hendaknya lebih berkontribusi untuk menumbuhkan kegiatan gemar membaca kritis melalui kegiatan perlombaan penulisan karya ilmiah dan lebih memperbanyak pengadaan buku-buku yang berkatan dengan metode SQ3R. Daftar Pustaka Aizid, Rizem. 2011. Bisa Baca Secepat Kilat (Super Quick Reading). Yogyakarta: Buku Biru.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
30
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
(LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).
Annisa, Imaniar Zeety., Suwarjo, dan Siswantoro. 2013. “Peningkatan Aktivitas dan Keterampilan Membaca Cerita Melalui Penerapan Metode Pembelajaran SQ3R”. (online), (jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/pgsd/art icle/download/1597/9), di akses 5 Mei 2014.
Sudrajat, Ahmad. 2009. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif. Online http://apfi-ppsi.com., diunduh pada tanggal 12 Mei 2014.
Depdiknas. 2006. Acuan Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Suwandi, Sarwiji. 2011. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Yuma Pressindo.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. 2006. Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian diPerguruan Tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasioanal.
Tarigan, Henry Guntur. 2008a. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Hasan, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. H.B. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
_________________. 2008b. Menulis Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Widodo, Erna. 2000. Kontruksi Kearah Penelitian Deskriptif. Jakarta: Avyrous. Zed,
Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Isminatun. 2011. “Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman dengan Metode SQ3R Pada Siswa Kelas VII Di SMP Negeri 2 Gatak, Sukoharjo”(online), (http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id :8080/.../11_Peningkatan_Kemampuan_ Memb, di akses 5 Mei 2014. Mulyati, Yeti dkk. 2009. Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. Rohmadi, Muhammad, 2011. Teori dan Aplikasi Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan (UNS Press). Saukah, Ali dan Sukamyana, I Wayan. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Ed.4. Cet. 2. Malang: Universitas Negeri Malang. Slamet, St. Y. 2009. Dasar-dasar Keterampilan Berbahasa Indonesia. Surakata: Lembaga Pengembangan Pendidikan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
31
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
KORELASI ANTARA UPACARA PELIMPAHAN JASA (PATTIDANA) DENGAN BHAKTI ANAK KEPADA LELUHUR DI KABUPATEN KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH THE CORRELATION STUDY ON THE MERITS TRANSFER CEREMONY (PATTIDANA) WITH CHILDREN’S DEVOTION TO THE ANCESTORS IN THE KEBUMEN DISTRICT OF CENTRAL JAVA Suhartoyo, Sujiono, Supartini, Jais Widodo, Situ Asih, Kustiani, Pujono
[email protected],
[email protected] Abstrak Bentuk bakti anak kepada orangtua setelah meninggal dunia salah satunya melakukan pattidana atau pelimpahan jasa. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara upacara pattidana dengan bhakti anak kepada leluhur di kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Dengan sampel 100 orang dari populasi yang berjumlah 1969 orang yang tersebar di beberapa Kecamatan. Data dikumpulkan melalui angket diolah dengan teknik analisis korelasi sederhana ganda dengan bantuan program SPSS. Hasil koefisien korelasi menunjukkan bahwa upacara patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0,00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0,851.Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan: (1) meningkatkan bhakti anak terhadap leluhur, (2) mempertahankan upacara pelimpahan jasa, (3) adanya penelitian yang sejenis. Harapan dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman anak jaman sekarang untuk berperilaku baik terhadap orangtuanya. Kata Kunci: pelimpahan jasa (pattidana), bhakti anak, leluhur. ABSTRACT The forms of children devotion to the parents after died one of them are doing pattidana or merits transfer ceremony. Based on this, the study aims to determine the relationship between the pattidana ceremony and children’s devotion to the ancestors in Kebumen district of Central Java province. With a sample of 100 peoples from a population of 1969 peoples spread over several districts. Data were collected through a questionnaire prepared by the simple technique of multiple correlation analysis with SPSS. The results showed that the correlation coefficient of patidana ceremony performed by Buddhist in Kebumen district has a very close relationship or have a high correlation with the children’s devotion to the ancestors, this can be seen from the significance level that reached of 0.00 and Pearson Correlation reached of 0.851. Based on these results can be suggested that: (1) increase the children’s devotion to the ancestors; (2) maintain the merits transfer ceremony; and (3) the existence of similar research. Expectations of this study can be used to guide children today for good behavior towards parents. Keywords: merit transfer (pattidana), children’s devotion, ancestor PENDAHULUAN Kehidupan manusia di dunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orangtua. Begitu besar jasa dan pengorbanan yang diberikan, sejak ibu mengandung, melahirkan, sampai anak beranjak dewasa dan menikah, bahkan sampai orangtua meninggal dunia. Orangtua selalu mencintai dan berusaha
membahagiakan anak-anaknya. mereka rela menderita, bahkan selalu bekerja keras mencari uang demi mencukupi kebutuhan hidup, seperti makan, pakaian dan pendidikan anak. Orangtua tidak pernah merasa bosan untuk mendidik dan membimbing anak. Mereka mengajarkan kemoralan dan kebaikan dengan harapan agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang bermoral. Mereka
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
32
berusaha menumbuhkan hiri (malu berbuat jahat) dan ottappa (takut akan akibat perbuatan jahat), menanamkan ajaran cinta kasih, kerelaan memberi, menghormati yang lebih tua, toleransi, sopan santun, mempunyai tanggung jawab, dan lain-lain. Anak tidak menyadari bahwa anak yang luhur dan mulia seyogyanya berbakti kepada orangtua. Namun pada kenyataanya dijumpai anak yang tidak menghormati dan tidak patuh kepada orangtuanya. Mereka sering menentang, dan membangkang orangtuanya. Mereka tidak mengacuhkan teguran-teguran dan peringatanperingatan yang diberikan orangtuanya. Banyak pula anak-anak yang sukar dididik dan diatur. Mereka keras kepala, malas, dan dungu. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk belajar. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera meniru kebiasaan-kebiasaan jahat tersebut. Anak-anak menjadi nakal, suka berkelahi, dan melakukan tindakan yang melanggar hukum. Sebagaimana diberitakan di Kompas pada hari Selasa (22/10/2013) telah terjadi kasus perkelahian antara siswa SMK YKTB Bogor dengan SMK Yatek Bogor. “Kepolisian Resot Bogor Kota menangkap dan menahan dua siswa SMK YKTB dan satu siswa SMK Yatek Bogor. Mereka terlibat dalam penganiayan yang hampir menewaskan Hendro Pratama Putra (15), siswa SMK PGRI 2. Tiga tersangka yang ditangkap yaitu AS (18) dan ASR (17) siswa SMK YKTB Bogor, dan RSM (16), siswa SMK Yatek Bogor. "Mereka menganiaya Hendro dalam tawuran sehingga korban kritis dan masih harus dirawat di rumah sakit," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bogor Kota Ajun Komisaris Candra Sasongko. Candra mengatakan, kasus ini berawal dari tawuran antara SMK YKTB dan SMK Yatek melawan SMK PGRI 2 di Jalan Empang. Tawuran pecah pukul 15.00 beberapa waktu lalu. Karena kalah jumlah, siswa PGRI 2 mundur. Saat itu, Hendro terpisah dari rombongan dan mencoba melarikan diri. Namun, anak ini dikejar oleh ketiga tersangka. Merasa terpojok dan tidak menemukan jalan keluar, Hendro nekat melawan tiga tersangka tetapi malah jadi bulan-bulanan. AS yang saat itu membawa pisau menusuk perut Hendro dan menyabet kepala Hendro. Akibatnya, Hendro roboh. Namun, penganiayaan belum selesai. RMS datang membawa batu dan menghantam kepala Hendro. ASR membantu memegang
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kaki korban. Akibatnya fatal, korban luka parah. Hendro ditinggalkan begitu saja oleh ketiga tersangka. Hendro ditolong oleh warga dengan dibawa ke rumah sakit. "Korban gegar otak, tulang rusuk patah, dan luka tusuk," kata Candra. Akibat perbuatan itu, ketiga tersangka terancam dijerat pelanggaran Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 80 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman minimal 7 tahun penjara. Candra mengatakan, meski tersangka berstatus pelajar, tetapi tindakan mereka tergolong kejahatan sebab telah direncanakan dan memakai senjata (Wiwiho, 2013).” Peristiwa di atas merupakan suatu perbuatan yang tidak menunjukkan bakti terhadap orangtua. Akibat perbuatan tersebut orangtau dari tersangka akan malu. karena gagal mendidik anaknya. Tawuran antar pelajar merupakan perbuatan yang menyakiti orangtua. Perilaku kurang berbakti masih banyak terjadi di masyarakat. Orangtua yang sudah meninggal kurang mendapat perhatian dari anak-anaknya. Di masyarakat dijumpai ada anak yang kurang menunjukkan rasa bakti kepada orangtua yang telah meninggal. Hal ini diketahui tidak semua anak melaksanakan pattidana terhadap orangtua. Setelah orangtua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pattidana. Di kalangan umat Buddha banyak mengenal pattidana, namun umat terkadang kurang memahami makna pelaksanaan tersebut. Umat cenderung melaksanakan pattidana kepada orangtua yang meninggal hanya pada hari-hari tertentu bahkan satu tahun dua kali. Tentu bila dibandingkan dengan pengorbanan dan jasa orangtua sangatlah tidak sebanding. Peneliti mendapatkan fakta terkait jarangnya pelaksanaan pattidana di Kecamatan Kuwarasan, Kecamatan Ayah, dan Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen. Berdasarkan hasil wawancara telah dilakukan peneliti pada tanggal 26 September 2013, dengan Bapak Parjo Dharmo Suwito selaku pengurus Vihara Bodhi Kirti di Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarsan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah peneliti memperoleh informasi dari informan bahwa pelaksanaan pattidana yaitu saat peringatan hari Asadha dan Waisak (setahun dua kali). Pelaksanaan pattidana tidak mengundang bhikkhu. Peserta pattidana dari umat Buddha
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
33
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dan beberapa simpatisan. Saat pelaksanaan pattidana tidak semua umat mengikuti pattidana. Berdasarkan hasil wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa umat Buddha di Vihara Bodhi Kirti melaksanakan pattidana setahuan dua kali. Tidak semua umat di Vihara Bodhi Kirti melaksanakan pattidana kepada leluhur. Peneliti juga melakukan wawancara dengan umat Buddha di Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 September 2013. Selama melakukan wawancara peneliti memperoleh informasi bahwa umat melaksanakan pattidana tiap malam minggu kliwon. Saat pelaksanakan pattidana umat yang mengikuti sebanyak 30 orang. Umumnya yang mengikuti pelimpahan jasa adalah di atas usia 25 tahun. Mengacu pada hasil wawancara di Desa Karangduwur dapat di ambil simpulan bahwa umat melaksanakan pattidana setiap hari malam minggu kliwon. Pada pelaksanakaan pattidana pesertanya adalah 30 dengan usia sebagian besar di atas 25 tahun. Masih banyak umat di Desa Karangduwur yang tidak melaksanakan pattidana. Pada tanggal 28 September 2013 saat peneliti melakukan wawancara dengan pengurus vihara Tirta Dharma Loka, Desa Sidarum, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen di peroleh informasi dari informan pelaksanaan pattidana di Candi Sewu saat menjelang peringatan hari Waisak. Umat memasang lentera-lentara yang dipersembahkan kepada leluhur. Umat mengadakan bakti sosial, melepas makhluk (fangsen) yang ditujuan untuk sanak keluarga yang telah meninggal. Tiap malam 17 Agustus mengadakan selamatan untuk para leluhur. Berpijak pada hasil wawancara di atas dapat di ambil simpulan bahwa pelaksanakan pattidana di Candi Sewu menjelang peringatan hari Waisak. Umat Buddha di Kecamatan Sempor juga melaksanakan pelimpahan jasa kepada leluhur dengan cara melaksanakan bakti sosial dan fangsen, dan selamatan tiap malam 17 Agustus. Pelaksanaan pattidana hanya satu tahun dua kali. Pelaksanaan pattidana merupakan wujudnyata bakti kepada leluhur. Anak bisa berbakti kepada leluhur akan membuahkan kebahagiaan karena telah membalas jasa para leluhur. Sebagaimana Sang Buddha jelaskan dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332,
sebagai berikut, “Menghormati ibu membawa kebahagiaan, menghormati ayah juga membawa kebahagiaan. Melayani para bhikkhu membawa kebahagiaan. Memuja para Ariya membawa kebahagiaan (Widya, 2001: 135)” berdasarkan kutipas di atas dapat disimpulkan bahwa menghormati ayah dan ibu akan membuahkan kebahagiaan. Pelaksanaan pattidana merupakan bentuk penghormatan kepada ayah dan ibu yang telah meninggal. Anak yang melaksanakan pattidana telah melakukan perbuatan baik yang mendatangkan kebahagiaan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Korelasi Antara Tradisi Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana) dengan Bhakti Anak Kepada Leluhur Di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah, dengan harapan dapat dijadikan pedoman anakanak zaman sekarang untuk berperilaku baik dan berbakti terhadap leluhur. KAJIAN TEORI Hakikat Pattidana Dikalangan umat Buddha tidak sedikit belum memahami pattidana sebagai yang terdapat dalam kamus bahasa Pali. Pattidana menurut kamus bahasa Pali mempunyai arti berdana dengan cara pelimpahan jasa. Pattidana juga diartikan sebagai memberikan inspirasi kebajikan/kebahagiaan bagi makhluk lain. Pattidana sering diterjemahkan sebagai “Pelimpahan Jasa”, walaupun pada kenyataan sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dilimpahkan (Widiyanto, 2011: p. 28-29). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pattidana sesungguhnya memberikan kondisi makhluk lain untuk melakukan kebaikan yang akan membuahkan kebahagiaan. Perbuatan baik yang dilakukan dapat dilakukan antara lain setelah melakukan jasajasa/perbuatan baik, maka seseorang (sanak keluarga) menyatakan bahwa perbuatan baik yang dilakukan atas nama leluhur yang telah meninggal agar mereka turut berbahagia. Dengan harapan supaya para leluhur mengetahui perbuatan baik yang telah dilakukan dan tumbuh pikirannya ikut berbahagia dalam batin sehingga dapat terlahir kembali di alam bahagia. Berdasar penjalasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pattidana adalah pelimpahan jasa yang diperuntuhkan untuk para leluhur. Melalui Pattidana, lehuhur
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
34
diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia. Tradisi pattidana telah dilakukan dari generasi ke generasi. Sejarah pelaksanaan pelimpahan jasa (pattidana) terdapat dalam kitab suci “Petavatthu”, yang merupakan salah satu kitab bagian Kitab Suci Agama Buddha, Khuddakka-Nikāya, Sutta Pitaka, Tipitaka Pali. Disebutkan bahwa dalam sembilan puluh dua kalpa yang lalu ada sebuah kota bernama Kāsipurī. Bertahta seorang raja bernama Jayasena. Ratunya bernama Sīrimā. Dari kandungannya lahirlah Bodhisatta Phussa yang akhirnya menjadi Buddha. Raja Jayasena sangat melekat terhadap putranya. Dia berpikir Sang Buddha adalah milikku sendiri, Dhamma adalah milikku sendiri, Sangha adalah milikku sendiri. Sepanjang waktu dia melayani Beliau, tanpa memberikan kesempatan kepada siapapun. Ketiga saudara laki-laki Sang Buddha, adik-adiknya dari ibu yang lain, berpikir ‘Para Buddha memang muncul demi manfaat bagi seluruh dunia, bukan demi satu orang saja. Namun ayah tidak memberikan kesempatan kepada siapapun. Ketiga saudara lelaki, adik dari ibu yang lain kemudian berfikir tentang cara supaya dapat melayani Sangha. Mereka membuat rencana seolah-olah ada keributan di batas negeri. Ketika raja mendengar keributan tersebut, Ia mengirimkan tiga putranya ke perbatasan. Ketiga putranya itu pun pergi untuk menenangkan situasi di batas negeri. Ketika mereka kembali, raja amat senang dan ingin memberikan hadiah. Apapun yang diminta akan diberikan kecuali Sang Buddha. Namun ketiga putranya meminta supaya diizinkan untuk melayani Sang Buddha. Setelah berdiskusi panjang akhirnya raja mengizinkan. Sang Buddha memberikan persetujuan dengan berdiam diri. Akhirnya dengan mengenakan pakaian kuning, bersama dengan dua ribu lima ratus pelayan pria, ketiga putra raja mengiringi Sang Buddha serta komunitas para bhikkhu ke daerah. mereka melayani dengan penuh hormat, dan menyerahkan vihāra untuk mereka gunakan selama musin hujan. Bendahara kerajaan, putra seorang umat awam yang sudah menikah, memiliki keyakinan dan bakti yang amat besar. Dengan cermat dia memberikan apapun yang didanakan kepada komunitas para bhikkhu dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Penguasa daerah itu menerima segala dana yang dikirimkan, dan bersama dengan sebelas ribu penduduk pria di daerah itu mengatur pemberian dana dengan amat berhati-hati. Namun diantara ada beberapa yang memiliki pikiran yang korup. Mereka menyelewengkan pemberian dana itu, makan persembahan-jasa itu sendiri dan membakar ruang makan. Pada saatnya, para putra raja, wakil mereka di daerah itu, dan bendahara mereka meninggal dunia dan lahir kembali di surga bersama dengan kelompok para pembantu, sedangkan orang-orang yang berpikir korup itu lahir kembali di neraka. Sembilan puluh dua kalpa berlalu sementara dua kelompok orangorang lahir di satu surga ke surga lain dan di satu neraka ke neraka lain. Kemudian selama kalpa yang menjanjikan keberuntungan ini, yaitu pada zaman Buddha Kassapa, orangorang yang memiliki pikiran korup itu lahir di antara para peta. Pada saat itu, bila orang-orang memberikan dana atas nama sanak saudara yang menjadi peta, mereka memberikannya dengan mengatakan, ‘Biarlah dana ini untuk sanak saudara kami (Dan dengan itu) mereka mencapai kemuliaan. Ketika para peta melihat hal ini, mereka menghampiri Buddha Kassapa dan bertanya, ‘Bhante, bagaimana kami bisa (juga) mencapai kemuliaan seperti itu? Sang Buddha mengatakan, ‘kalian tidak akan mencapainya sekarang. Tetapi di masa depan akan ada Orang Yang Mencapai Pencerahan Sempurna bernama Gotama. Pada zaman Buddha Gotama ini akan ada seorang raja bernama Bimbisāra yang merupakan sanak saudaramu sembilan puluh dua kalpa yang lalu. Dia akan memberikan dana kepada Sang Buddha dan mempersembahkannya padamu. Pada saat itu kalian akan mencapai (kemuliaan seperti itu)’. Dikatakan bahwa ketika Buddha Kassapa berkata demikian, para peta tersebut merasa seolah-olah mereka sudah akan mencapainnya. Setelah Sang Buddha Gotama muncul di dunia dan melewatkan tujuh minggu (setelah pencerahan spiritual), pada waktunya Beliau tiba di Benares. Di situ Sang Buddha mulai memutar Roda Dhamma dan mengajar pertamatama pada Kelompok Lima Petapa, lalu tiga petapa berambut kumal dengan seribu pengikutnya, dan kemudiaan pergi ke Rājagaha. Di sana Sang Buddha membuat raja Bimbisāra memperoleh buah sotāpatti ketika mengunjungi Beliau pada hari itu juga, bersama dengan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
35
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
sebelas kelompok perumah tangga brahmana yang merupakan penduduk Aṅ ga-Magadha. Sang Buddha menerima undangan raja untuk makan di hari berikutnya, dan keesokan harinya Beliau memasuki Rājagaha, beserta Sakka, Raja para Dewa, yang menjelma menjadi seorang pemuda brahmana. Di kediaman raja, Sang Buddha menerima dana makanan yang melimpah. Pada saat itu, para peta berdiri di sekeliling rumah sambil berpikir, ‘Sekarang raja akan mempersembahkan dana ini untuk kami’. Tetapi ketika memberikan dana makanan itu, raja hanya memikirkan tentang tempat untuk vihāra Sang Buddha. Raja sibuk bertanya-tanya dalam hati, ‘Di mana seharusnya Sang Buddha berdiam?’, sehingga dia tidak mempersembahkan dana itu bagi siapapun. Karena tidak memperoleh persembahan dana dengan cara ini, harapan para peta menjadi sirna. Malam itu mereka menjerit-jerit dalam kesedihan yang amat yang mencekam dan mengerikan di sekitar tempat tinggal raja. Raja Bimbisāra menjadi gelisah, amat takut dan gemetaran. Ketika fajar menyingsing dia memberitahu Sang Buddha, ‘Saya mendengar suara mengerikan (tadi malam)! Apa yang akan terjadi pada saya, Bhante?’ Sang Buddha menjawab, ‘Janganlah takut, raja agung. Tidak ada hal buruk yang akan menimpamu, engkau akan baik-baik saja. Yang terjadi adalah bahwa sanak saudaramu di masa lampau telah lahir kembali di antara para peta’. Mereka telah berkelana selama satu masa jeda-Buddha dengan harapan bahwa engkau akan memberikan dana kepada seorang Buddha dan kemudian mempersembahkan dana itu kepada mereka. Tetapi ketika memberikan dana kemarin, engkau tidak mempersembahkannya bagi mereka. Rasa putus asa dan meratap dengan kesedihan yang amat mengerikan. ‘Yang Mulia, apakah mereka akan dapat menerimanya jika (dana) diberikan sekarang?’ (tanya raja itu)’. Ya, raja agung.’ ‘Kalau demikian, sudilah kiranya Yang Mulia menerima undangan saya untuk hari ini, dan saya akan mempersembahkan dana itu bagi mereka.’ Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri. Setelah siap, kemudian dia memberitahu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke ruangan makan istana bersama dengan komunitas para bhikkhu dan duduk di tempat yang telah disediakan. Para peta itu berpikir, ‘Hari ini kita akan memperoleh sesuatu’. Mereka pergi dan berdiri
di laur dinding dan lain-lain. Sang Buddha dengan kesaktiannya membuat para peta dapat dilihat oleh raja. Ketika memberikan dana air, raja mempersembahkan sambil berkata, ‘Biarlah ini untuk sanak saudaraku!’ Pada saat itu juga kolam-kolam teratai bermunculan bagi para peta itu, kolam tersebut penuh dengan teratai dan lilin air warna biru. Para peta mandi dan minum di dalam kolam-kolam itu. Dan karena kesedihan, keletihan dan kehausan mereka hilang warna mereka pun berubah menjadi keemasan. Raja memberikan bubur beras, makanan keras lunak, dan mempersembahkan semua itu. Pada saat itu juga bubur beras surgawi dan makanan-makanan keras serta lunak pun bermunculan. Ketika para peta memakannya kemampuan bantin para peta menjadi segar. Raja kemudian memberikan pakaian, tempat tinggal dan mempersembahkan semua itu. Maka pakaian dan istana-istana surgawi yang penuh dengan berbagai macam perabot, tempat duduk dan kain penutupnya, dan lain-lain muncul bagi para peta itu. Segala kemulian mereka ini ditampakkan bagi raja karena Sang Buddha telah menetapkan bahwa memang seharusnya demikian. Ketika raja melihat hal ini, dia merasa amat bersukacita. (Anggawati, 2001: p. 53-60) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sejarah kemunculan pelaksanaan pattidana bermula Raja Bimbisāra setelah mengetahui bahwa makhluk-makhluk peta yang mengganggunya merupakan saudaranya sendiri, akhirnya raja berdana minuman, makanan, tempat tinggal untuk Sangha. Melalui pelaksanaan pattidana sangat membantu para leluhur tertutama yang terlahir di alam peta. Makhluk peta merasakan manfaat langsung dari apa yang raja danakan, akhirnya mencapai kemuliaan dan terbebas dari alam peta karena terlahir kembali dialam surga. Pelimpahan jasa bagi orang meninggal didasarkan pada kepercayaan bahwa pada kematian seseorang perbuatan baik atau perbuatan buruk yang dilakukannya menentukan di alam mana ia akan terlahir kembali. Makhluk yang terlahir di alam yang lebih rendah tidak dapat menimbulkan jasa kebajikan baru dan mereka hidup dengan jasa yang diperoleh dari dunia ini. Ketika orang yang meninggal mengetahui bahwa sanak keluarganya melakukan perbuatan baik maka diharapkan ia menjadi gembira, dan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
36
kebahagiaan ini membebaskannya dari penderitaan. Dengan berbagai cara, sanak keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi leluhur yang telah meninggal. Terkait pelaksanaan pattidana Sang Buddha menjelaskan dalam Khuddaka Nikāya: Khuddaka Pāṭ ha, Tirokudda Sutta, sebagai berikut: “So they who are compassionate. At heart do give for relatives. Such drink and food as may be pure and good and fitting at these times. As water showered on the hill. Flows down to reach the hollow vale. So giving given here can serve. The ghosta of the departed kin. As riverbeds when full can bear. The water down to fill the sea. So giving geven here can serve. The ghosts of the departed kin. He gave to me, he worked for me. He was my kin, friend, intimate. Give gifts, then, for departed ones. Recalling what they used to do. But when this offering is given. Well placed in the Community. For them, then it can serve them long. In future and at once as well (Ñāṇ amoli, 2005: p. 231-239).” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa para penyokong memberikan minuman dan makanan yang bersih, lembut dan sesuai dengan waktunya dengan bertekad demikian; ‘semoga pemberian ini melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia. Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikian persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Sebagaimana sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan;’ demikianlah persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku, patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal. Persembahan yang telah dihaturkan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sangha, akan segera bermanfaat bagi mendiang itu sepanjang waktu yang lama. Sang Buddha menganjurkan cara yang lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang telah meninggal, yaitu dengan berdana
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
makanan, minuman serta lain-lain kepada para Bhikkhu Sangha dan selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dana ini kepada leluhur. Nagasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Panha bahwa penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahir kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yang terlahirkan kembali sebagai hantu (peta) yang makan ludah, dahak dan muntahan (vantasika), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppipasika), dan yang senanti asa terberangus (nijjhamatadhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa, atau yang tergolong dalam hantu yang hidup berdasarkan dana dari orang lain (paradattupajivika peta). Dalam Tirokudda Sutta disebutkan bahwahantu Paradattupajivika adalah hantu yang apabila ia ikut berbahagia terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh keluarganya (manusia), maka ia dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Karena dengan ia ikut berbahagia (mudita), maka ia telah melakukan perbuatan baik (kusala kamma), walaupun kamma ini kecil bobotnya namun sangat membantu hantu tersebut untuk terbebas dari kehidupannya sebagai hantu kelaparan agar terlahir kembali di alam yang lebih baik. Jadi peta ini tertolong oleh karmanya sendiri yang dibuatnya melalui pikiran dengan memunculkan mudita. Penyaluran jasa kepada orang yang telah meninggal dunia hanya dapat dilakukan apabila orang yang telah meninggal dunia terlahir di alam hantu kelaparan (Peta) yaitu Paradattupajivika, yang bersangkutan juga sebaiknya mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada dirinya sehingga dapat berterima kasih atas kebajikan ini. Manfaat pelaksanaan pattidana dalam Tirokudda Sutta disebutkan bahwa hantu Paradattupajivika adalah hantu yang dapat merasakan turut berbahagia atas perbuatan baik yang dilakukan oleh sanak keluarganya (manusia), sehingga mereka dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan. Pelaksanaan pelimpahan jasa bermanfaat bagi makhluk lain, seperti yang diuraikan oleh Bhikkhu Nagasena kepada Raja Milinda:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
37
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
”Siapapun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan memperaktikkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai, kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahunpun kebajikannya akan semakin tumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat ” (Pelasa, 1969: p. 161-162). Pelimpahan jasa adalah perbuatan luhur (karma luhur) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Pikiran yang melakukan pelimpahan jasa di arahkan kepada sanak keluarga yang telah meninggal, dengan harapan bahwa mendiang mengetahui adanya perbuatan luhur ini dan menikmati jasa atau karma luhur ini. Bagi yang melakukan pelimpahan jasa; dengan tindakan’melimpahkan jasa’ merupakan tindakan yang identik dengan menimbun dan menambah karma luhur di dalam dirinya. Bersama dengan itu, tindakan ini juga sama berdampak pada terkikisnya karma rendah yang berpotensi pada penderitaan. Dengan proses pertukaran karma dari pelimpahan jasa ini yaitu menambah karma luhur dan mengurangi karma rendah, melahirkan kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagiaan bagi yang melakukan pelimpahan jasa. Demikian pula bagi yang menerima pelimpahan jasa, yaitu mahluk-mahluk dan mendiang, jasa yang diterima merupakan bentuk karma luhur yang pada kondisi tertentu dapat mengikis karma rendah yang ada di dalam mahluk-mahluk itu. Disini juga terjadi proses pertukaran karma. Dengan proses pertukaran karma ini yaitu menambah karma luhur dan mengikis atau mengurangi karma rendah melahirkan kebahagiaan bagi yang menerima pelimpahan jasa. Inilah proses terbentuknya kebahagian bagi yang menerima pelimpahan jasa. Dengan pemahaman ini menunjukkan bahwa pelimpahan jasa terdapat dampak dan manfaat baik bagi yang melakukan pelimpahan jasa maupun yang menerima pelimpahan jasa. Pengamatan yang lebih seksama maka pelimpahan jasa merupakan proses bentuk pertukaran karma.
Bakti anak kepada leluhur Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia. Banyak berbagai bentuk budaya dalam penghormatan kepada leluhur, misalnya masyarakat Tionghoa (Cina) memberikan sesaji dan doa di klenteng atau tempat ibadah, masyarakat Batak Toba penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga dengan pembangunan makam dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya. Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur dalam periode tertentu, maka tulang belulang leluhur dipindahkan ke kuburan baru. Ritual ini disebut dengan ngampaken tulan-tula. Hampir sama dengan suku karo, orang Toraja di Sulawesi melakukan penghormatan kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan kerbau. Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengancara upacara, juga menyertakan namanama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya. Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu juga namaTionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti. Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak laki-laki dariHasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah menyertakan nama klen atau marga yang ditarik secara matrilineal. Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang ibu yang bermarga Koto. Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini, sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
38
Kehidupan manusia didunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orang tuanya. Orangtua senantiasan melaksakan kewajiban dengan baik untuk membahagikan anak-anaknya. Sang Buddha pernah menerangkan di dalam Sigalovāda Sutta, Dīgha Nikāya tentang kewajiban orangtua terhadap anaknya. Ada lima cara, yaitu: 1) menjauhinya dari kejahatan; 2) mendukungnya dalam melakukan kebaikan; 3) mengajarinya beberapa keterampilan; 4) mencari istri yang pantas; dan 5) pada waktunya mewariskan warisan kepadanya (Walshe, 2009: p. 491). Lebih lanjut kewajiban orang tua terhadap anak Wowor (2004: p. 62) menjelaskan orang tua mempunyai tanggung jawab kepada anak adalah menghindarkan anak dari perbuatan yang tidak baik, menganjurkan anak untuk selalu berbuat baik dan berguna, memberikan pendidikan yang baik untuk anak. memiliki peran sebagai pola asuh bagi anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, menunjukkan otoritasnya, dan memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya (Tarmudji, 2011: p. 4). Berdasarkan pendapat Tarmudji orang tua berperan aktif dalam membangun interaksi dengan anakanaknya. Orang juga memberikan aturan-aturan demi kebapkan anak-anaknya. Orangtua senantiasa memberikan perhatian kepada anakanaknya dalam segala kondisi suka maupun duka. Salah satu peran orang tua adalah menjadi guru yang mendidik dan mengajar anaknya. Keluarga dengan penuh cinta kasih orang tua mendidik anaknya agar menghindari kejahatan dan menimbun kebaikkan. Anak yang mendapat pendidikan yang baik akan berbakti dengan menunjang orang tuanya (Mukti, 2006: p. 321). Berdasarkan penjelasan dari Mukti dapat disimpulkan bahwa orang tua berjasa dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih. Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakir adalah ayah (Anggutara Nikaya 11. 4) dalam Enawaty, dkk., 2008: p.. 34). Ayah dan ibu merupakan ladangan yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sunggguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
perempuan yang memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti hendaknya melaksanakan kewajiban anak terhadap orang tua. Ada lima cara bagi seorang putra untuk melayani ibu dan ayahnya sebagai arah timur. [Ia harus berpikir;] “Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. Aku harus melakukan tugas-tugas mereka untuk mereka. Aku harus menjaga tradisi keluarga. Aku akan berharga bagi silsilahku. Setelah orangtuaku meninggal dunia, aku akan membagikan persembahan mewakili mereka.” (Walshe, 1995: p. 490). Dalam Itivuttaka IV dijelaskan ibu dan ayah disebut Brahma ‘guru awal’ dan pantas dipuja,’ karena penuh kasih sayang terhadap anak-anak mereka. Maka orang bijaksana harus menghormati ibu dan ayahnya. Memberi mereka penghormatan yang sesuai. Menyediakan makanan dan minuman bagi mereka. Memberi mareka pakaian dan tempat tidur, meminyaki dan memandikan mereka serta membasuh kaki mereka. (Ireland, 1998. p. 122). Berdasarkan kutipan di atas dapat tarik simpulan bahwa sebagai anak yang berbakti sudah sepantasnya memberikan penghormatan kepada orang tua. Anak yang berbakti akan memperoleh manfaat yang berupa kebahagiaan. Hal ini sangat relevan dengan ajaran Buddha yang terdapat di Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda: Sukhā matteyyatā loke, Atho petteyyatā sukhā, Sukhā sāmaññatā loke, Atho brahmaññatā sukhā. Artinya: Menghormati ibu membawa kebahagiaan, menghormati ayah juga membawa kebahagiaan. Melayani para bhikkhu membawa kebahagiaan. Memuja para Ariya membawa kebahagiaan. (Sarada, 1994: p. 134) Lebih lanjut dalam Itivutaka di jelaskan “Bahwa dia melakukan pelayanan terhadap ibu dan ayahnya, mereka memuji orang bijaksana itu di sini juga dan setelah kematian dia bersuka citta di alam surga (Ireland, 1998. p. 122). Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan berbakti kepada orang tua merupakan sebuah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
39
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kebahagiaan. Seorang anak yang berbakti kepada orang tua akan di puji oleh para bijaksana dan setelah meninggal dunia akan terlahir di alam bahagia.
Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 1863 orang yang tersebar di beberapa Kecamatan. dan dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
METODE PENELITIAN
Tabel 1. Data Statistik Umat Buddha di Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah Per Januari Tahun 2013
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk angka-angka, meskipun juga terdapat data kualitatif sebagai pendukungnya. Seperti katakata atau kalimat yang tersusun dalam angket, kalimat hasil konsultasi atau wawancara antara peneliti dan informan. Sesuai permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah ada atau tidak adanya hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya, yaitu suatu pertanyaan penelitian yang ingin meneliti apakah ada hubungan antara Upacara Pelimpahan Jasa dengan Bhakti anak terhadap leluhur pada masyarakat Budhis di Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui hubungan ini, maka penelitian ini berjenis expost facto, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil data-data atau kejadian yang sudah berlalu untuk ditarik hasil/kesimpulan. Penelitian ini sering disebut restropective study karena penelitian ini menelusuri kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Penelitian bersifat ex post facto artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil satu atau lebih akibat (sebagai “dependent variable”) dan menguji data itu dengan menelusur kembali masa lampau untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan, dan maknanya (Slamet, 2007: p. 35-36). Jadi hal yang dilakukan penelitian mengambil data-data atau kejadian mengenai pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) yang telah dilaksanakan umat Buddha di Desa Sidoarum, Desa Purwodadi, dan Desa Karangduwur dan ditarik hasil/kesimpulan. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini mengambil lokasi 3 desa yakni: Desa Sidoharum, Desa Purwodadi, dan Desa Karangduwur. Waktu penelitian selama enam bulan, sejak bulan Juli 2013 sampai dengan bulan Desember 2013. Populasi penelitian ini adalah umat Buddha di Kabupaten Kebumen,
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17
Alamat (Desa Jumlah - Kecamatan) KK Sidoharum – 66 Sempor Wanareja – 20 Karanganyar Jl kol 20 Sugiyono 21 Kebumen Purwodadi – 111 Kuwarasan Sitiadi – 26 Puring Wanadadi – 16 Buayan Jagamulya22 Buayan Sikayu – 15 Buayan Gumawang 9 Kuwarasan Karangduwur 117 – Ayah Wonoharjo – 17 Rowokele Wonoharjo – 60 Rowokele Wonoharjo – 25 Rowokele Giyanti – 75 Rowokele Giyanti 22 Rowokele Jl. Mangga No.14 25 Gombong Jl pramuka No.41 22 Kebumen Jumlah 668
Jumlah Umat
Pembina
205
SAGIN
45
STI
48
SAGIN
357
STI
63
STI
45
STI
62
NSI
24
STI
12
STI
375
STI
57
STI
201
STI
25
STI
199
SAGIN
60
STI
40
TRI DHARMA
45
TRI DHARMA
1863
Cara pengambilan sampel adalah secara acak atau random. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
40
Data hasil penelitian sampel selengkapnya disajikan pada tabel 3 berikut: Tabel 2. Sampel Penelitian No Desa
Jumlah Populasi
1
Sidoharum
205
2
Karangduwur
357
3
Purwodadi
375
JUMLAH
937
Penghitungan Jumlah Jumlah Sampel Sampel (100/937 . 205) 22 = 22 (100/937 . 357) 38 = 38 (100/937 . 375) 40 = 40 100 100
Metode pengumpulan data melalui dokumentasi, angket (kuesioner) dan wawancara. Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di BPS Kabupaten Kebumen, Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah ataupun yang berada di masing-masing Vihara yang berada di wilayah Kabupaten Kebumen, yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. Guba dan Lincloln (dalam Sukmadinata, 2006: p. 216) mengemukakan dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film. Dokumentasi dalam penelitian digunakan untuk mengumpulkan data tentang hubungan antara Upacara Ulambana dengan Bhakti anak terhadap leluhur. Angket merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menggunakan pertanyaan yang harus dikerjakan atau dijawab oleh orang yang meliputi sasaran angket tersebut. Dalam penelitian ini, angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang upacara pelimpahan jasa (pattidana) dan bhakti anak terhadap leluhur. Penelitian ini menggunakan angket tertutup dalam bentuk skala sikap dari Linkert, berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala deskriptif. Variabel merupakan sesuatu hal yang menjadi titik perhatian penelitian, dalam hal ini yang menjadi variabel adalah Upacara pelimpahan jasa (pattidana) dan Bhakti anak terhadap leluhur. Definisi Operasional variabel penelitian ini adalah: 1. Pelimpahan jasa yang diartikan sebagai perbuatan diperuntukkan untuk para leluhur. Melalui Pattidana lehuhur diharapkan ikut berbahagia atas perbuatan yang baik yang dilakukan keluarga sehingga terkondisi terlahir di alam bahagia.
2. Bhakti anak terhadap leluhur adalah anak menunjukkan rasa bakti kepada orangtuanya yang walaupun orangtuanya telah meninggal dunia. Seorang anak akan memberikan penghormatan kepada orangtuanya walaupun telah meninggal dunia. Sebagai bentuk rasa bakti anak kepada orangtua akan melakukan pelimpahan jasa kepada orangtuanya yang telah meninggal. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya; 1) mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha; 2) banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo; 3) melepaskan binatangbinatang yang akan mati disembelih; 4) mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian kebagikan kepada mereka yang membutuhkan; 5) berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara; dan bermeditasi. Penelitian ini menggunakan angket tertutup dalam bentuk skala sikap dari Linkert, berupa pertanyaan atau pernyataan yang jawabannya berbentuk skala deskriptif. Angket tertutup untuk mengungkap data tentang Upacara Ulambana. Pada bagian ini yang diungkap meliputi Pemahaman umat Buddha mengenai Upacara Ulambana, Frekuensi pelaksanaan Ulambana dan lain-lain. Alternatif jawaban menggunakan skala linkert dengan lima alternatif jawaban, misalnya sangat setuju (SS), Setuju (S), Tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor untuk jawaban dari pertanyaan atau pernyataan positif adalah SS=4, S=3, TS=2, dan STS=1, sedangkan untuk pertanyaan atau peryataan negatif, skor sebaliknya. Dalam penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, karena data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis. Benar tidaknya data, sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian. Sedang benar tidaknya data, tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpulan data. Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi; 1) deskripsi data; 2) uji persyaratan analisis. Uji persyaratan analisis itu meliputi uji normalitas dan uji Hipotesis.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
41
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan di wilayah Purwodadi, Karangduwur, dan Sidoharum dengan jumlah responden yang tercantum dalam tabel berikut ini: Tabel 3. Jumlah Sampel Penelitian No Wilayah 1 Sidoharum 2 Karangduwur 3 Purwodadi JUMLAH
Correlations
DAN
Jumlah Sampel 22 38 40 100
Penelitian diawali dengan melakukan observasi atau pengamatan, yakni observasi mengenai keadaan umat di wilayah kabupaten Kebumen, dalam hal ini meliputi data jumlah umat dan vihara yang berada di wilayah Kebumen. Dilanjutkan dengan observasi mengenai Upacara Patidana yang dilakukan oleh umat Buddha, selain itu peneliti membuat kuisioner dengan tujuan memperoleh data sebanyak mungkin untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara upacara Patidana dengan bhakti anak terhadap leluhurnya. Kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti dibagikan kepada responden, langkah pertama peneliti membagikannya kepada 30 orang umat yang dipilih secara acak untuk menguji apakah kuisioner yang telah dibuat memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan dapat diketahui bahwa dari 10 daftar pertanyaan yang dberikan kepada umat, semua memiliki validitas dan reliabilitas yang cukup baik, hal ini diketahui dari uji Corelations yang menunjukkan tingkat signifikan dibawah 5 % atau 0.05. Tabel di bawah ini merupakan hasil uji korelasi dari 5 pertanyaan mengenai upacara Patidana yang diujikan kepada responden memiliki validitas yang baik:
tanya1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya2 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya3 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya4 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N tanya5 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
tanya1 tanya2 tanya3 tanya4 tanya5 .858(* 1 .902(**) .898(**) .869(**) *) .000 .000 .000 .000 30 30 30 30 30 .858(**)
1 .738(**) .800(**) .809(**)
.000 30
.000 .000 .000 30 30 30 30 .738(* 1 .799(**) .767(**) *) .000 .000 .000 30 30 30 30 .800(* .799(**) 1 .682(**) *) .000 .000 .000 30 30 30 30 .809(* .767(**) .682(**) 1 *) .000 .000 .000 30 30 30 30
.902(**) .000 30 .898(**) .000 30 .869(**) .000 30
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Melihat tingkat signifikansi yang mencapai 0.00, maka dapat dikatakan bahwa 5 pertanyaan mengenai upacara Pattidana yang diujikan kepada 30 responden memiliki tingkat validitas yang baik, sehingga layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel untuk penelitian ini. Selain itu dapat diketahui juga dari hasil uji reliabilitas, bahwa 5 pertanyaan mengenai Upacara Pattidana memiliki reliabilitas yang tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil SPSS yang menunjukkan hasil seperti berikut ini: Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items 5 .954 Melihat angka 0.954, maka dapat dikatakan bahwa 5 instrumen untuk mengetahui upacara Pattidana memiliki reliabilitas yang cukup tinggi dan layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel penelitian. Selanjutnya mengenai 5 pertanyaan untuk mengetahui Bhakti anak kepada leluhur, berikut ditampilkan hasil uji korelasi untuk mengetahui validitas soal yang diujikan kepada 30 orang responden.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
42
Correlations tanya 2 tanya3 tanya4 tanya5 .879( .823(** .715(** .835(** 1 **) ) ) )
tanya1 tanya Pearson 1 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 2 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 3 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 4 Correlation Sig. (2tailed) N tanya Pearson 5 Correlation Sig. (2tailed) N
.000 30 .879(** )
.000
.000
30
30 30 30 .776(** .775(** .887(** 1 ) ) )
.000
.000
30 30 .823(** .776( ) **)
.000
30
.000
30
30 .679(** 1 )
.000
.000
30 30 30 30 .835(** .887( .886(** .679(** ) **) ) ) .000 .000
.000
30 30 .728(** .886(** 1 ) )
30 30 30 .715(** .775( .728(** ) **) ) .000 .000
.000
30
.000 .000
30
.000
.000
.000
30
30
30 1
30
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, 5 pertanyaan untuk mengetahui bhakti anak kepada orang tua memiliki tingkat signifikansi yang sangat baik yakni: 0.00, dengan begitu dapat dikatakan bahwa 5 soal tersebut layak untuk diujikan kepada keseluruhan sampel karena memiliki validitas yang baik. Selain uji validitas, peneliti juga melakukan uji reliabilitas untuk mengetahui tingkat reliabilitas ke 5 soal untuk mengetahui bhakti anak kepada leluhur, berdasarkan uji reliabilitas, maka dapat diketahui bahwa 5 soal berikut memiliki reliabilitas yang cukup tinnggi, yaitu 0.952 dan seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini: Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items 5 .952 Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa 10 soal yang terdiri dari 5 pertanyaan untuk mengetahui upacara pattidana dan 5 pertanyaan untuk mengetahui bhakti anak kepada leluhur, maka semua memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang sangat baik,
sehingga layak untuk keseluruhan sampel.
diujikan
kepada
Analisis Data Setelah kuisioner diuji cobakan kepada 30 orang responden maka selanjutnya peneliti melakukan penelitian lanjutan, yaitu dengan menyebarkan kuisioner kepada keseluruhan sampel yang berjumlah 100 orang yang menyebar di 3 wilayah yakni, Purwodadi sebanyak 40 orang responden, Karangduwur sebayak 38 orang responden, dan Sidoharum sebanyak 2 orang responden, sehingga total responden dalam penelitian ini adalah 100 orang. Setelah kuisioner terkumpul, maka selanjutnya dilakukan pengolahan data. Karena untuk mengetahui seberapa kuat upacara pelimpahan jasa (Pattidana) memiliki hubungan dengan bhakti anak kepada leluhur, maka metode yang digunakan untuk mengolah data adalah dengan corelations dimana menurut Suharsimi Arikunto (1997: 251) bahwa koefisien korelasi adalah suatu alat statistik yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil pengukuran dua variabel yang berbeda agar dapat menentukan tingkat hubungan antar variabel-variabel tersebut. Berdasarkan pengolahan data mentah dengan menggunakan SPSS for Windows 15.00, maka dapat ditampilkan hasil seperti berikut ini; Correlations Pati dana Pati dana
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed) N Bhakti an Pearson Correlation ak Sig. (2-tailed) N
Bhakti Anak 1
.851(**)
100
.000 100
.851(**)
1
.000 100
100
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Dengan melihat hasil pengolahan data tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa upacara Patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0.00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0.851. Dimana menurut Suharsimi Arikunto korelasi
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
43
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
yang mencapai nilai 0.800 sampai dengan 1.00 memiliki interpretasi yang sangat tinggi. Hasil penelitian ini relevan dengan apa yang telah disabdakan oleh Buddha yang tertuang dalam dalam Khuddaka Nikāya bagian Khuddaka Pāṭ ha, di Tirokudda Sutta (dalam Ñāṇ amoli, 2005: 231-239) sebagai berikut: “Para penyokong memberikan minuman dan makanan yang bersih, lembut dan sesuai dengan waktunya dengan bertekad demikian; semoga pemberian ini melimpah kepada sanak keluarga yang telah meninggal. Semoga mereka berbahagia. Sebagaimana air hujan yang turun di dataran tinggi mengalir ke tempat rendah; demikian persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang. Sebagaimana sungai yang meluap airnya akan mengalir memenuhi lautan; demikianlah persembahan yang disampaikan oleh sanak keluarga dari alam manusia akan menuju ke para mendiang”. Orang yang mengenang budi yang mereka lakukan di waktu lampau bahwa, Ia memberi ini kepadaku. Ia melakukan hal ini untukku. Ia adalah kerabatku, sahabatku, dan temanku, patut memberikan persembahan dāna kepada mereka yang telah meninggal. Persembahan yang telah dihaturkan ini, yang disajikan dengan baik kepada Sangha, akan segera bermanfaat bagi mendiang itu sepanjang waktu yang lama. Jadi pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) memiliki hubungan terhadap bhakti anak kepada leluhur di Kabupaten Kebumen. Pelaksanaan upacara pelimpahan jasa (pattidana) sangat bermanfaat untuk para leluhur yang telah meninggal dunia. Sebagai mana sabda Sang Buddha yang telah diuraikan di atas sangatlah jelas bahwa upacara pelimpahan jasa (pattidana) sangat bermanfaat untuk para leluhur. Makna upacara pelimpahan jasa antara lain Pertama, kita mempunyai kesempatan untuk mengingat jasa kebajikan dan nasehat yang telah diucapkan almarhum semasa hidupnya. Dengan demikian, keluarga akan dapat melaksanakan berbagai nasehat tersebut sebagai perwujudan cinta kasih keluarga kepada almarhum. Kedua, kita mempunyai kesempatan untuk mengingat berbagai pesan, niat, maupun cita-cita yang telah pernah almarhum sampaikan. Apabila ada ucapan atau niat almarhum yang belum tercapai, maka dengan upacara pelimpahan jasa ini, setelah diingat, maka pihak keluarga hendaknya mempunyai
kesepakatan dan tekad untuk mewujudkan citacita, keinginan yang telah almarhum sampaikan itu. Dan yang ketiga, yang paling penting adalah bahwa upacara pelimpahan jasa adalah merupakan kesempatan untuk keluarga almarhum melakukan kebajikan atas nama almarhum. Setelah melakukan kebajikan, maka keluarga dapat mengucapkan tekad: “Semoga dengan perbuatan baik ini, almarhum akan memperoleh kebahagiaan di kelahiran yang sekarang, demikian pula dengan keluarga yang ditinggalkan semoga akan selalu memperoleh kekuatan, kebaikan dan manfaat dari wafatnya beliau.” Tiga manfaat besar tersebut yang merupakan wujud bakti anak kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upacara patidana yang dilakukan oleh umat Buddha di kabupaten Kebumen memiliki hubungan yang sangat erat atau memiliki korelasi yang tinggi dengan bhakti anak terhadap leluhur, hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi yang mencapai 0.00 dan Pearson Correlation yang mencapai 0.851. Dimana menurut Suharsimi Arikunto korelasi yang mencapai nilai 0.800 sampai dengan 1.00 memiliki interpretasi yang sangat tinggi. Mengacu pada hasil simpulan dalam penelitian ini umat Buddha selayaknya meningkatkan kegiatan upacara pelimpahan jasa (pattidana), sebab akan bermanfaat bagi leluhur/sanak saudara yang telah meninggal. Bagi pemuka agama ataupun tokoh masyarakat, perlu sosialisasi yang lebih giat terkait pentingnya upacara pelimpahan jasa (pattidana). Semoga penelitian ini dapat meningkatkan keyakinan akan Buddha Dhamma. Semoga manfaat upacara pelimpahan jasa ini dapat benar-benar dihayati oleh seluruh anggota keluarga almarhum, sehingga pada akhirnya dapat memberikan kebahagiaan kepada almarhum dan juga memberi kebahagiaan kepada keluarga yang ditinggalkan. DAFTAR PUSTAKA Anggawati, Lanny dan Wena Cintiawati. 2001. Petavatthu Cerita-cerita Makhluk Peta
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
44
Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa. Enawaty, Eny, dkk. 2009. Membangun Keluarga Bahagia Sejahtera dari Prespektif Agama Buddha. Ed. Emy Enawaty. Jakarta: BKKBN Bekerjasama dengan Departemen Agama RI dan WALUBI. Ireland, John D. 1998. The Buddha’s Saying. Penerjemah Anggawati Lanny dan Cintiawati Wena. 2007. Itivuttaka. Ed. Jotidhammo. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. Mukti,
Krishnanda Wijaya. 2006. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Ñāṇ amoli, 2005. The Minor Readings (Khuddakatāṭ tha). Oxford: The Pali Text Society. Pelasa, 1969. The Debate of King Milinda an Abridgement of The Milinda Pañha. Penerjemah Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. edisi pertama. 2002.
Petikan Milinda Pañha Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna. Sarada, Weragoda. 1994. Treasury of Truth. Penerjemah Widya Surya. Cetakan keenam. 2009. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Abdi Dhamma Indonesia. Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Walshe, Maurice. 2009. The Long Discourses of the Buddha A Translation of the Dīgha Nikāya. Penerjemah DhammaCitta: Jakarta Widiyanto, Tri. 2011. Pattidana: Jalan Membebaskan Leluhur dari Alam Penderitaan. Yogyakarta: Vihara Karangdjati. Wowor, Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: CV Nitra Kencana Buana.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
45
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
PENGARUH KOMPETENSI SOSIAL GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA TERSERTIFIKASI TERHADAP PEMBINAAN UMAT DI KECAMATAN KALORAN KABUPATEN TEMANGGUNG. THE EFFECT OF SOCIAL COMPETENCE OF CERTIFIED BUDDHA RELIGION TEACHER TO THE PEOPLE GUIDANCE IN KALORAN SUB DISTRICT TEMANGGUNG DISTRICT Mujiyanto, Marjianto, Prihadi Dwi Hatmono, Sukarti, Agus Subandi, Dini Yulinda W Abstrak Kompetensi Sosial guru Pendidikan Agama Buddha masih jauh menunjukkan keprofesionalannya. Misalnya dalam pembinaan umat Buddha di wilayahnya. Peran guru bulum menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan, begitu juga bagi guru yang sudah tersertifikasi Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan populasi sebanyak 100 umat Buddha di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Pengujian terhadap validitas, reliabilitas butir kuesioner dilakukan dengan menghitung korelasi product moment dan cronbach alpha melalui program SPSS. Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa butir kuesioner semua valid dan reliabel, dengan nilai r hitung lebih besar dari r tabel. Data yang sudah valid dan reliabel diolah melalui program SPSS dengan uji regresi linier berganda. Hasil uji regresi linier berganda dihasilkan bahwa variabel berpengaruh adalah kompetensi guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi dengan nilai signifikansi 0% dan nilai beta 1,189 . Hal ini dapat dilihat pada koefisien beta dengan koefisien yang belum distandarkan. Kata kunci: Kompetensi Sosial, Guru Pendidikan Agama Buddha, Sertifikasi, Pembinaan Umat. ABSTRACT The social competence of Buddhist Religion teachers is still far from professionalism. For example is in the development of Buddhists in the region. The teacher’s role was not showed significant competence improvement, as well as for certified teachers. This study used quantitative methods with a population of 100 Buddhists in Kaloran Subdistrict of Kebumen District. The tests on the validity, reliability of questionnaire item were conducted by calculating the product moment correlation and Cronbach alpha through SPSS. The validity and reliability test results showed that the all questionnaire items are valid and reliable, with the value of rcount are greater than rtable. The valid and reliable data processed through the SPSS program with multiple linear regressions. The results of multiple linear regressions showed that the effected variable is competence of certified Buddhist teacher with a significance value of 0% and a beta value of 1.189. This can be seen in the beta coefficients are not standardized coefficients. Keywords:
social competence, Buddhist teacher, certification, people guidance
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada semua aspek kehidupan manusia. Kondisi ini dapat menimbulkan perubahan positif dan negatif bagi kehidupan manusia di era persaingan global. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan.
Salah satu bidang yang mempunyai peranan besar dalam menentukan kemajuan suatu bangsa adalah bidang pendidikan. Terkait hal tersebut pemerintah Indonesia memberikan prioritas dalam bidang pendidikan dengan menambahkan jumlah anggaran setiap tahunnya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik dengan pemberian tunjangan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
46
sertifikasi guru. Namun Kondisi ini belum sepenuhnya mendapatkan respon positif dari masyarakat umum. Sebagian masyarakat menilai tunjangan setifikasi guru merupakan pemborosan anggaran negara, dimana kegiatan belajar belum menampakkan hasil signifikan dengan anggaran yang dikeluarkan oleh negara. Sebagian lagi menilai bahwa guru-guru yang mendapatkan tunjangan sertifikasi mengalami perubahan gaya hidup yang tidak lagi mencerminkan gaya sebagai seorang pendidik, antara lain guru menjadi eksklusif dan konsumtif serta kepedulian sosialnya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi guru yang mendapatkan tunjangan sertifikasi belum mencerminkan seorang guru yang ideal. Kompetensi guru ideal harus memiliki kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kondisi demikian juga terjadi pada guru Pendidikan Agama Buddha. Sehingga tidaklah mengherankan jika masyarakat Buddha yang peduli pendidikan memberikan kritik atas kinerja para guru Pendidikan Agama Buddha. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 39 ayat 2 menyebutkan bahwa tugas guru adalah: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kalimat tersebut di atas menyiratkan bahwa guru Pendidikan Agama Buddha mempunyai peran penting dalam membentuk pribadi yang luhur, mandiri dan bertanggung jawab sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam tujuan pendidikan nasional. Pendidikan harus menghasilkan manusia atau pribadi yang utuh, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan berilmu serta memilliki tingkah laku yang luhur dan bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya guru Pendidikan Agama Buddha masih sangat jarang menunjukkan kompetensi sosialnya, sehingga masyarakat merasa kecewa karena kontribusi para guru tersertifikasi masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Secara umum,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
kewajiban guru tersertifikasi harus meningkatkan kompetensi sosialnya dalam melakukan pendidikan berupa pembinaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik serta masyarafkat. Kabupaten Temanggung, khususnya di Kecamatan Kaloran merupakan salah satu basis umat Buddha di Jawa Tengah, yang rata-rata tingkat pendidikan formalnya selesai pada tingkat pendidikan dasar. Mata pencaharian mereka sebagai petani, sehingga mereka membutuhkan bimbingan dan pembinaan dari para guru pendidikan agama Buddha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka beranggapan bahwa guru pendidikan agama Buddha memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih dibandingkan masyarakat Buddha pada umumnya mengenai ajaran agama Buddha. Kondisi demikian menjadikan guru Pendidikan Agama Buddha dihormati dan dijadikan teladan bagi masyarakat karena memiliki memiliki status sosial yang lebih tinggi. Sudah sepantasnya jika masyarakat bimbingan dan pembinaan yang bermanfaat dari guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi. Masyarakat menjadi bagian penting dari tingkat profesionalisme guru tersertifikasi karena masyarakat akan kritis dalam menilai kinerja, kemampuan bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan. Hal inilah yang mendasari mengapa guru harus memiliki beberapa kompetensi khususnya kompetensi sosial bagi guru tersertifikasi. Masyarakat akan menilai profesi guru itu rendah bila guru tersebut tidak memiliki peran yang penting dalam kemajuan lingkungannya. Menurut Nana Sudjana (1988) dalam Drs. Moh Uzer Usman (2006) rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya pandangan masyarakat, bahwa siapa pun dapat menjadi guru jika mempunyai berpengetahuan. Kedua, kekurangan guru daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru. Ketiga, banyak guru yang belum menghargai profesinya, sehingga tidak berusaha mengembangkan profesinya. Kabupaten Temanggung dipilih sebagai tempat penelitian karena di kabupaten tersebut
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
47
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
memiliki setidaknya 10 guru pendidikan agama Buddha yang telah tersertifikasi. Selain itu letak kabupaten Temanggung strategis dan berdekatan dengan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Menurut informasi dari masyarakat terdapat beberapa guru Pendidikan Agama Buddha yang belum memberikan peran dalam membina umat di daerah tersebut. Apabila hal ini terjadi berarti kompetensi guru tersertifikasi belum baik atau kurang sempurna. Masyarakat di Kabupaten Temanggung khususnya umat Buddha mengharapkan kepedulian dari para guru dan kaum intelek untuk berperan aktif dalam memajukan agama Buddha di daerahnya. Dimana salah satu tugas guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi memberikan pelayanan kepada masyarakat, salah satu contoh pelayanan yaitu memberikan peran dalam kegiatan Vihara seperti membina kegiatan umat dan pembinaan Sekolah Minggu Buddhis. Guru Guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: p. 497) diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Guru merupakan profesi, yaitu pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya bahwa pekerjaan sebagai guru tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan. Dengan demikian Guru pendidikan agama Buddha sebagai seorang pendidik hendaknya memiliki empat jenis kompetensi, baik kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005, disebutkan bahwa guru harus memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang sesuai dengan tugas jabatan guru sebagai profesi. Tugas dari seorang guru ditercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 ayat (2) yaitu guru mempunyai tugas mendidik secara profesional dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu tanggung jawab guru adalah meningkatkan peranan secara profesional. Dimana dibutuhkan kecakapan maksimal dalam mengemban dan melaksanakan tanggung jawab tersebut. Seperti yang disabdakan Buddha Gautama dalam Kronologi Hidup
Buddha (Bhikkhu Kusaladhamma, 2007: p. 179) bahwa beliau memiliki konsep tersendiri dalam pembabaran Dhamma sebagai berikut: “Pergilah, Para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.” Bentuk solusi ini selaras dan sesuai dengan kondisi realita umat Buddha di Kabupaten Temanggung, sehingga perlu diadakan penambahan guru pendidikan agama Buddha, sekaligus pembagian tugas guru untuk diterjunkan ke daerah-daerah untuk memberikan bimbingan dan pembinaan kepada masyarakat Buddha. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan guru profesional yang sedikitnya memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) mempunyai keterampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu‚ (2) mempunyai pengetahuan yang mendalam, (3) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang ilmu sesuai dengan bidang profesinya, (4) tingkat pendidikan keguruan yang memadai, (5) mempunyai kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya, dan (6) menunjukkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupannya. Seorang guru dikatakan sempurna jika fungsinya sebagai pendidik dan pembimbing berjalan dengan baik. Dalam hal ini guru sertiifikasi mempunyai peran ganda untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satu contoh peran ganda guru adalah ketika ia melakukan pekerjaan bimbingan, seperti bimbingan belajar tentang keterampilan, maka seorang guru menjelaskan melalui proses pendidikan kegiatan mendidik. Dengan demikian mengajar dan membimbing sebagai satu hal yang tak dapat dipisahkan. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah hendaknya mereka dapat berperan sebagai orang tua kedua dari siswa. Dalam hal ini guru perlu menarik simpati sehingga menjadi idola bagi para siswanya. Guru merupakan kunci keberhasilan dalam sistem pendidikan. Tetapi secara umum mereka memiliki permasalahan mengenai rendahnya kualitas pengajaran, kualitas pendidikan dan praktek pengajaran, serta tidak adanya sistem pemantauan yang layak atau pengawasan yang efektif dalam proses pembelajaran, sementara mereka dituntuk untuk memiliki aspek efektifitas dalam mengajar,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
48
metodologi pengajaran, psikologi pendidikan, penggunaan bantuan audio-visual, teknik evaluasi dan lainnya” (Amin, Khan; 2009). Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswa dalam belajar. Sehinggga guru perlu memilih metode dan strategi yang cocok bagi siswa dalam proses pembelajaran sesuai dengan materi yang disampaikan. Masyarakat telah menempatkan guru sebagai sosok pribadi yang terhormat di lingkungannya. Maka dari itu tidak heran jika masyarakat mengharapkan ilmu pengetahuan dari seorang guru. Ini berarti guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukkan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kemampuan khusus yang wajib dimiliki guru sehingga mereka bertanggung jawab atas profesiya. Menurut Wijaya dkk. (1994: p. 9), setidaknya guru memiliki tanggungjawab sebagai berikut: 1) Tanggung jawab moral Setiap guru hendaknya memiliki kemampuan menghayati perilaku dan etika sesuai dengan moral Pancasila, sekaligus mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah guru hendaknya menguasai cara pengajaran yang efektif, mampu membuat satuan pelajaran, mampu dan memahami kurikulum dengan baik, mampu mengajar dikelas, mampu menjadi model bagi siswa, mampu memberikan nasihat, menguasai teknik-teknik pemberian bimbingan dan layanan, mampu membuat dan melaksanakan evaluasi dan lain-lain. Seperti sabda Sang Buddha dalam Angguttara Nikaya dijelaskan: “Sering mengulang pelajaran membuahkan pengetahuan yang mendalam” (A. V. p. 136). Sabda Buddha Gotama di atas merupakan salah satu cara Sang Buddha memberikan pelajaran kepada murid-muridNya. Cara tersebut juga merupakan teknik dalam proses pembelajaran yang dilakukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. 3) Tanggung jawab guru dalam bidang kemasyarakatan Tanggung jawab guru dalam bidang kemasyarakatan antara lain turut serta menyukseskan pembangunan dalam bidang kemasyarakatan, untuk itu guru harus mampu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
membimbing, mengabdi kepada dan melayani masyarakat. 4) Tanggung jawab guru dalam bidang keilmuan guru bertanggung jawab dan turut serta memajukan ilmu, terutama ilmu yang telah menjadi spesialisasinya dengan melaksanakan penelitian dan pengembangan. Kompetensi Sosial Guru Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: p. 497) kompetensi berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna, Broke and Stone (Mulyasa, 2007: p. 25) mengemukakan bahwa kompetensi guru adalah a descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful ... (suatu gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti). Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 045/U/2002, “kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu”. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Johnson menyatakan "competency as a rational performance which satisfactirily meeets the objective for a desired condition". Menurutnya, kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Pengertian standar kompetensi guru dalam Australian Journal of Teacher Education, Tuck (1995) menyatakan bahwa "the notions of criterionreferenced and mastery testing had been around in one form or another for quite some time" (p. 59) and asks why they have failed to capture the minds of teachers. Dalam ajaran Buddha, Guru yang pantas dicontoh dan mendapatkan pujian juga telah dijelaskan Buddha Gotama di dalam Lohicca Sutta, yaitu: “Di sini, Lohicca, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang sempurna, telah sempurna menempuh
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
49
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna Guru Yang Baik dan Yang Buruk, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, mencapai jhàna pertama (Sutta 2, paragraf 41-76). Dan jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela. Dan jika seseorang mencela guru itu, celaannya tidak pantas, tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan, dan salah.” (Dhigha Nikaya: p. 232-233) Menurut penjelasan Sutta diatas dalam Lohicca Sutta dijelaskan guru yang terpuji adalah guru yang telah sepenuhnya terampil dalam tiga praktek yaitu moralitas, konsentrasi, dan pengetahuan, dan mengajar siswa- siswa yang menjadi sepenuhnya mantap seperti dirinya. Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Pada intinya adalah anak didik diajak untuk bergaul dengan orang lain disekitarnya, sehingga dapat memberikan kesiapan kepada mereka dengan masyarakat di masa yang akan datang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial seorang guru sangat berguna dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pandangan profesi seorang guru dimasyarakat sangatlah tinggi. Masyarakat masih menganggap bahwa profesi guru sebagai profesi yang mulia dan pantas dihormati. Seorang guru sering dimintai pendapat apabila di lingkungannya mengalami masalah. Hal ini membuktikan bahwa guru adalah orang yang
berpendidikan dan mampu menyelesaikan masalah sosial di masyarakat. Seseorang yang menginginkan menjadi seorang pendidik maka ia dipersyaratkan untuk mempunyai kriteria yang ditentukan oleh dunia pendidikan. Dalam hal ini oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995) syarat seorang pendidik adalah:(1) mempunyai perasaan terpanggil sebagai tugas suci, (2) mencintai dan mengasihsayangi peserta didik, (3) mempunyai rasa tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya. Ketiga persyaratan tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Orang terasa terpanggil untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dengan dedikasi yang tinggi atau bertanggungjawab. Dengan demikian Tidak semua orang dapat menjadi pendidik jika yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan bukti dengan kriteria yang ditetapkan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru antara lain: 1) Berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat ; Bobbi De Porter dalam buku terkenalnya Quantum Taeching menyebutkan prinsip komunikasi ampuh yakni menimbulkan kesan, mengarahkan atau fokus pada materi yang disampaikan, dan spesifik. Guru hendaknya kreatif mengoptimalkan kemampuan kinerja otak sebagai tempat menimbulkan kesan. Maka guru dituntut mampu menentukan kata-kata yang tepat dalam memberi penjelasan kepada siswa. Oleh karena itu, hendaknya guru menyusun perkataan yang komunikatif serta santun untuk pembelajaran yang berkesan dan bermakna. 2) Menggunakan dan informasi;
teknologi komunikasi
Dalam perkembangan globalisasi yang semakin meningkat, kebutuhan untuk menguasai teknologi komunikasi dan informasi sangat dibutuhkan, ketika seorang guru tidak menguasainya, maka dalam hal pembelajaran maupun cara komunikasi dengan siswa akan ketinggalan zaman. Kondisi saat ini, jaringan sosial untuk membangun komunikasi semakin
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
50
luas misalnya dengan adanya facebook, twitter, blog, e-mail, e-learning maupun fasilitas internet lainnya yang bisa dijadikan sarana untuk berkomunikasi dan mencari ilmu pengetahuan selain di kelas. Berikut adalah manfaat adanya teknologi komunikasi dan informasi : a. Memperluas kesempatan belajar b. Meningkatkan efisiensi c. Meningkatkan kualitas belajar d. Meningkatkan kualitas mengajar e. Memfasilitasi pembentukan keterampilan f. Mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan g. Meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen h. Mengurangi kesenjangan digital 3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; Adanya saling menghormati dan menghargai baik itu dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik. 4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dan memperhatikan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai pribadi yang hidup di tengahtengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Ketika guru tidak memiliki kemampuan pergaulan, maka pergaulannya akan menjadi kaku dan kurang bisa diterima oleh masyarakat. Untuk memiliki kemampuan pergaulan, hal-hal yang harus dimiliki guru adalah a) Pengetahuan tentang hubungan antar manusia, b) Memiliki keterampilan membina kelompok, c) Keterampilan bekerjasama dalam kelompok, d) Menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok 5) Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan Seorang guru hendaknya benar-benar mengajar dari hati, tanpa adanya keterpaksaan, sehingga membuat siswa lebih nyaman dengan
guru tersebut, selain itu seorang guru selalu berusaha untuk saling terbuka, membangun persaudaraan dimana disini guru bukan hanya berperan sebagai seseorang yang mengajar di kelas, tapi juga dapat berperan sebagai orang tua, kakak, teman ataupun sahabat. Hal ini akan mempengaruhi karakter dari siswa yang guru tersebut ajarkan, sehingga mereka akan lebih mudah menerima dan mengikuti apa yang guru tersebut sampaikan. Guru juga harus memupuk semangat kebersamaan dengan adanya diskusi kelompok sehingga terbentuk ikatan emosional dengan teman-temannya. Sertifikasi Guru Sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik (Mulyasa, 2007: p. 34). Sertifikasi guru merupakan salah satu amanat yang tertulis dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bagian kedua tentang sertifikasi, pasal 61 menyatakan: 1. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. 2. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. 3. Sertifikasi kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. 4. Ketentuan mengenal akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV pasal 8 tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
51
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tujuan pendidikan nasional. Sedangkan Pasal 9 mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Pasal 10 menjelaskan tentang: 1. Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denagan Peraturan Pemerintah. Pasal 11 menjelaskan tentang: 1. Sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. 2. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. 3. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Persyaratan bagi guru yang akan melaksanakan sertifikasi tertulis dalam buku Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2013 Bab III mengenai persyaratan peserta sertifikasi guru. Persyaratan sertifikasi dibagi menjadi dua yaitu: 1.Persyaratan Umum a. Guru yang belum memiliki sertifikat pendidik dan masih aktif mengajar di sekolah di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kecuali guru Pendidikan Agama. Sertifikasi bagi guru Pendidikan Agama dan semua guru yang mengajar di madrasah diselenggarakan oleh Kementerian Agama dengan kuota dan aturan penetapan peserta dari Kementerian Agama (Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal PMPTK dan Sekretaris Jenderal Departemen Agama
Nomor SJ/Dj.I/Kp.02/1569/ 2007, Nomor 4823/F/SE/2007 Tahun 2007). b. Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi atau minimal memiliki izin penyelenggaraan. c. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas dengan ketentuan: diangkat menjadi pengawas satuan pendidikan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (1 Desember 2008), dan memiliki usia setinggi-tingginya 50 tahun pada saat diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan. d. Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila: 1) pada 1 Januari 2013 sudah mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru, atau 2) mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a (dibuktikan dengan SK kenaikan pangkat). e. Sudah menjadi guru pada suatu satuan pendidikan (PNS atau bukan PNS) pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditetapkan tanggal 30 Desember 2005. f. Guru bukan PNS pada sekolah swasta yang memiliki SK sebagai guru tetap minimal 2 tahun secara terus menerus dari penyelenggara pendidikan (guru tetap yayasan), sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK dari Bupati/Walikota. g. Pada tanggal 1 Januari 2014 belum memasuki usia 60 tahun. h. Sehat jasmani dan rohani dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter. Jika peserta diketahui sakit pada saat datang untuk mengikuti PLPG yang menyebabkan tidak mampu mengikuti PLPG, maka LPTK berhak melakukan pemeriksaan ulang terhadap kesehatan peserta tersebut. Jika hasil pemeriksanaan kesehatan menyatakan peserta tidak sehat, LPTK berhak menunda atau membatalkan keikutsertaannya dalam PLPG. i. Memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
52
2. Persyaratan Khusus untuk Guru yang mengikuti Pemberian Sertifikat secara Langsung (PSPL) a. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b. b. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki golongan serendahrendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c. Pembinaan Umat Pembinaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: p. 202) berarti usaha, tindakan dan kegiatan yang diadakan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembinaan juga dapat berarti suatu kegiatan yang mempertahankan dan menyempurnakan apa yang telah ada sesuai dengan yang diharapkan. Dari definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan apa yang sudah ada kepada yang lebih baik (sempurna) baik dengan melalui pemeliharaan dan bimbingan terhadap apa yang sudah ada (yang sudah dimiliki). Serta juga dengan mendapatkan hal yang belum dimilikinya yaitu pengetahuan dan kecakapan yang baru. Pembangunan di bidang agama diarahkan agar menuju kehidupan beragama yang harmonis, semarak dan mendalam serta meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Terpeliharanya kemantapan kerukunan hidup umat beragama dan bermasyarakat mampu meningkatkan kesadaran dan peran serta serta tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak secara bersama-sama dalam memperkokoh kesadaran spiritual, moral dan etika bangsa menuju pelaksanaan pembangunan nasional,
peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama. Dimaksudkan untuk lebih memperdalam pengalaman ajaran dan nilainilai agama untuk membentuk akhlak mulia, sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan melalui pemahaman dan pengamalan nilai-nilai spiritual, moral dan etik agama, sehingga terbentuk sikap batin dan sikap lahir yang setia. Pembinaan adalah suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif (A. Mangunhardjana, 1989: p. 12). Tidak jarang terjadi bahwa sasaran, objective, program pembinaan tidak dirumuskan dengan tegas dan jelas. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, antara lain : a. Pembina tidak tahu kepentingan perumusan sasaran program pembinaan, sehingga dia tidak membuat sasaran program pembinaan. b. Pembina terlalu yakin diri, sehingga dia tidak merasa perlu untuk membuatnya. c. Penyelenggara tidak mampu membedakan antara isi dan sasaran program pembinaan. d. Program pembinaan sudah biasa dijalankan, tahun demi tahun, sehingga sudah menjadi tujuan tersendiri dan tidak lagi dipersoalkan sasarannya Suatu pembinaan yang tidak mempunyai sasaran jelas mempunyaai resiko besar, karena arah dan tujuan tidak terprogram dengan jelas. Sehingga pembinaan tersebut hasilnya tidak dapat maksimal . Oleh karena itu sasaran harus dirumuskan dengan jelas dan tegas sesuai dengan minat dan kebutuhan para peserta. Isi, content, program pembinaan berhubungan dengan sasarannya. Maka betapapun baiknya suatu acara, pembina tidak begitu saja menjadikan acara itu sebagai isi program yang dipimpinnya, kalau tidak mendukung tercapainya sasaran program. Agar dapat sejalan dengan sasaran program, waktu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
53
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
merencanakan isi program, pembina sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut : a. Isi sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan para peserta pembinaan dan berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka. b. Isi tidak terlalu teoritis, tetapi praktis dalam arti dapat dibahas dan dikembangkan dari berbagai pandangan dan pengalaman para peserta, serta dapat dipraktekan dalam hidup nyata. c. Isi tidak terlalu banyak, tetapi disesuaikan dengan “daya tangkap” para peserta dan waktu yang tersedia Untuk dapat mempergunakan metode-metode pembinaan secara efektif, dalam pemilihan metode itu perlu diperhitungkan dengan bahan dan acara, para peserta, waktu, sumber/peralatan, program pembinaan. a. Bahan dan acara Penggunaan metode disesuaikan : 1) Dari segi pencapaian tujuan acara pembinaan, apakah lewat metode itu bahan diolah sehingga tujuan acara pembinaan tercapai? 2) Jangan sampai terjadi bahwa tujuan acara dikorbankan demi metode yangbarangkali menarik, tetapi tidak membawa acara pembinaan menujutujuannya. 3) Dari segi kecocokan isi dan cara pengolahan isi acara, apakah isi acara cocok diolah dengan metode itu? 4) Tidak setiap isi acara dapat diolah dengan sembarang metode. b. Para peserta Sebelum mempergunakan suatu metode sebaiknya diketahui terlebih dahulu: 1) Tingkat umur, pendidikan dan latar belakang para peserta. Tidak semua metode cocok untuk segala macam orang. Misalnya metode yang menuntut banyak keaktifan lebih cocok untuk para peserta muda, kurang cocok untuk para peserta tua. 2) Pengetahuan dan kecakapan para peserta tentang metode yang akan dipergunakan. Kalau mereka belum mengetahui dan cakap melaksanakan, metode itu perlu dijelaskan dulu sebelum dipergunakan. c. Waktu Sebelum mempergunakan suatu metode sebaiknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Waktu yang tersedia dalam rangka seluruh acara pembinaan. Karena kurang perhitungan waktu pembinaan itu dapat mengacau jalannya seluruh acara. 2) Waktu hari yang ada, pagi, siang, atau malam. Tidak semua acara cocok untuk segala waktu. d. Sumber atau peralatan Sebelum mempergunakan suatu metode sebaiknya diperiksa hal-hal sebagai berikut : 1) Apakah sumbernya tersedia : tenaga, buku, hand-out, petunjuk. 2) Apakah peralatan siap. Karena tanpa sumber dan peralatan yang memadai, metode tak dapat dilaksanakan dengan baik. Sebelum mempergunakan suatu metode sebaiknya dipertimbangkan integrasi penggunaan metode itu kedalam seluruh program pembinaan. Maka : a. Perlu dijaga, agar dalam seluruh program diciptakan variasi metode dalam mengolah acara. Tujuannya, agar program berjalan secara memikat dan tidak monoton, membosankan. b. Perlu diketahui sikap, pengalaman dan keahlian Pembina dalam bidang pembinaan. Sikap Pembina menentukan cara pelaksanaan metode. Pembina yang bersifat otoriter akan lebih sulit menjalankan metode partisipatif daripada pembinaan demokratif. Pengalaman dan keahlian Pembina menentukan kecakapan menyesuaikan metode dengan keadaandan proses pembinaan yang ada Singkatnya, sebagai pegangan dalam pemilihan metode dalam suatu acara pembinaan, butirbutir dibawah ini kiranya dapat dipergunakan : a. Pokok acara pembinaan yang digarap. b. Hasil maksimum yang diharapkan datang karena mempergunakan metode itu. c. Keadaan, pendidikan dan pengalaman para peserta. d. Waktu yang tersedia dan ada. e. Tersedianya sumber dan peralatan untuk melaksanakan metode Pembinaan menurut macamnya dikenal ada pembinaan orientasi, pembinaan kecakapan, pembinaan kepribadian, pembinaan penyegaran, pembinaan lapangan. (A. Mangunhardjana : p. 21)
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
54
a. Pembinaan Orientasi Pembinaan orientasi, orientation training program, diadakan untuk sekelompok orang yang baru masuk dalam suatu bidang hidup atau kerja. Bagi orang yang sama sekali belum berpengalaman dalam bidangnya, pembinaan orientasi membantunya untuk mendapatkan halhal pokok. b. Pembinaan Kecakapan Pembinaan kecakapan, skill training, diadakan untuk membantu para peserta guna mengembangkan kecakapan yang sudah dimiliki atau mendapatkan kecakapan baru yang diperlukan untuk pelaksanaan tugasnya. c. Pembinaan Pengembangan Kepribadian Pembinaan pengembangan kepribadian, personality development training, juga disebut pembinaan pengembangan sikap, attitude development training. Tekanan pembinaan ini ada pengembangan kepribadian dan sikap. Pembinaan berguna untuk membantu para peserta, agar mengenal dan mengembangkan diri menurut gambaran atau cita-cita hidup yang sehat dan benar. d. Pembinaan Kerja Pembinaan kerja, in-service training, diadakan oleh suatu lembaga usaha bagi para anggota stafnya. Maka pada dasarnya pembinaan diadakan bagi mereka yang sudah bekerja dalam bidang tertentu. Tujuannya untuk membawa orang keluar dari situasi kerja mereka, agar dapat menganalisis kerja mereka dan membuat rencana peningkatan untuk masa depan. Bersamaan dengan itu dalam pembinaan para peserta mendapatkan penambahan pandangan dan kecakapan serta diperkenalkan pada bidang-bidang yang sama sekali baru. e. Pembinaan Penyegaran Pembinaan penyegaran, refreshng training, hampir sama dengan pembinaan kerja. Hanya bedanya, dalam pembinaan penyegaran biasanya tidak ada penyajian hal yang sama sekali baru, tetapi sekedar penambahan cakrawala pada pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada. Banyak kali dalam pembinaan penyegaran para peserta meninjau pola kerja yang ada dan berusaha mengubahnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan baru. f. Pembinaan Lapangan Pembinaan lapangan, field training, bertujuan untuk menempatkan para peserta dalam situasi nyata, agar mendapat pengetahuan dan memperoleh pengalaman langsung dalam bidang yang diolah dalam pembinaan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pembinaan ini membantu para peserta untuk membandingkan situasi hidup dan kerja mereka dengan situasi hidup dan kerja mereka ditempat yang dikunjungi. Hal ini dapat memberikan pandangan dan gagasan yang baru dan segar. Maka tekanan pembinaan lapangan adalah mendapat pengalaman praktis dan masukan, input, khusus sehubungan dengan masalahmasalah yang ditemukan para peserta dilapangan. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan Ex Post Facto. Penelitian Ex Post Facto sering disebut juga dengan restropective study karena penelitian ini merupakan penelitian penelusuran kembali terhadap suatu peristiwa atau suatu kejadian dan kemudian merunut ke belakang untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejadian tersebut. Kuantitatif artinya mengumpulkan variabel demi variabel, satu demi satu dalam bentuk bilangan. Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Adapun waktu penelitian adalah pada bulan Agustus 2013 sampai Desember 2013. Sampel dalam penelitian menggunakan umat Buddha yang berada pada wilayah binaan guru Pendidikan Agama Buddha tersertifikasi di Kecamatan Kaloran. Data sampel diambil menggunakan teknik random sampling berdasarkan jumlah populasi umat Buddha di wilayah kecamatan Kaloran sebanyak 8109 umat yang tersebar di 48 vihara. Dengan teknik random sampling diperoleh 100 sampel. Variabel dalam penelitian adalah kompetensi sosial guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi sebagai variabel independen serta pembinaan umat sebagai variabel dependen. Teknik pengumpulan data dilakukan adalah sumber data primer, yang akan diambil dengan cara menggunakan angket/kuesioner, wawancara dan observasi. alat pengambilan data yang peneliti gunakan adalah Angket atau Kuesioner dan pedoman wawancara. Responden dalam penelitian ini adalah umat Buddha yang berada di wilayah binaan guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Penyusunan kisi-kisi pertanyaan pada kuesioner ini dengan mengacu pada variable-variabel penelitian yang dijabarkaan dalam indikatorindikator. Instrumen angket diuji melalui SPSS
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
55
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dilakukan untuk menguji kesesuaian butir pertanyaan dengan variabel penelitian hingga mendapatkan hasil yang valid. Setelah dilakukan uji instrumen dengan teknik FGD, kemudian diadakan revisi sesuai dengan masukan dari ahli. Tahap berikutnya adalah menyusun kembali butir-butir pertanyaan secara lengkap sesuai dengan kisi-kisi yang telah direvisi. Teknik pengukuran instrumen menggunakan skala likert. Instrumen penelitian yang menggunakan skala likert dibuat dalam bentuk multiple choice dengan gradasi nilai angka 1 sampai 4 dengan asumsi berbeda untuk tiap variabel. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan program SPSS dengan menghitung korelasi product moment dari tiaptiap butir instrument. Uji reliabilitas dilakukan dengan jalan menghitung koefisien korelasi dari tiap-tiap item pertanyaan. Uji selengkapnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar nilai dari pengukuran uji reliabilitas dengan koefisien alpha (cronbach alpha) dari tiap-tiap butir instrumen. Perhitungan uji reliabilitas dilakukan dengan program SPSS. Butir instrumen dikatakan reliabel apabila nilai r hitung lebih besar dari r tabel (Sugiyono, 2011: 190). Sebelum dilakukan uji regresi linier, data diuji normalitasnya pada setiap variabel. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS Chi Square Test (X2). Data dikatakan normal apabila nilai X2 lebih kecil dari X tabel (Sugiyono, 2011: 82). Penelitian ini didasarkan dengan model analisisnya, maka teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis Regresi Linier dengan nilai (α) 5%. Analisis Regresi Linier digunakan untuk menjelaskan seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. PEMBAHASAN Data primer dalam penelitian berasal dari hasil kuesioner terhadap responden sebanyak 100 umat Buddha di Vihara-Vihara se-kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Data primer kemudian diolah dengan uji regresi linier. Data sekunder dari lapangan melalui wawancara tidak berstruktur dan data observasi, diperoleh informasi bahwa masih banyak umat menyatakan bahwa guru agama Buddha tersertifikasi yang berada di lingkungan Vihara tempat penelitian kurang berperan aktif dalam pembinaan umat. Hal tersebut dapat diketahui dari ketidakhadiran
mereka pada berbagai kegiatan yang diadakan di Vihara, serta kurangnya minat umat mengikuti kegiatan di Vihara. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas terhadap butir instrumen, dapat diketahui bahwa semua butir instrumen adalah valid dan reliabel. Tingkat validitas dapat ditunjukkan dengan nilai r hitung lebih besar dari r tabel dengan tingkat signifikansi 0,05. Begitu pula dengan tingkat reliabilitas dapat diketahui dari jumlah r hitung lebih besar dari r tabel, dengan nilai r tabel 0,312 pada tingkat signifikansi 5%. Sebelum data diolah dengan regresi linier menggunakan program SPSS variabel-variabel diuji normalitasnya dengan menggunakan Chi Square (X2). Berdasarkan nilai X2 hitung dalam uji normalitas data penelitian ini adalah normal, dengan X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel. Hasil uji frekuensi menunjukkan bahwa`kompetensi guru pendidikan agama Buddha adalah dalam skala kadang-kadang dan pernah, dengan prosentase tertinggi sebesar 50 % yang menyatakan kadang-kadang, sehingga dapat diasumsikan bahwa pembinaan umat di Kecamatan Kaloran oleh guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi hanya dilakukan kadang-kadang saja. Pernyataan yang menyatakan bahwa pembinaan umat hanya dilakukan kadang-kadang, didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa umat sebagai responden. Hal ini didukung pula dengan data kegiatan pembinaan umat yang ada di wilayah kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, sehingga hasil penelitian ini sesuai dengan keadaan yang ada di wilayah penelitian bahwa pembinaan umat oleh guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi intensitasnya masih rendah. Hasil keseluruhan data tersebut menunjukkan bahwa pembinaan umat hanya kadang-kadang saja dilakukan oleh guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi. Jika dilihat dengan prosentase secara kumulatif sebesar 91% sehingga dapat diasumsikan bahwa hampir semua responden menyatakan bahwa pembinaan umat jarang dilakukan. Pernyataan yang dapat mendukung data diatas dapat diketahui dari hasil observasi lapangan. Melalui hasil frekuensi pembinaan umat dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan umat sebagai responden menyatakan bahwa pembinaan umat kadangkadang saja dilakukan dengan frekuensi sebesar 71%, dan pernah sebanyak 27%. Sedangkan 0%
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
56
yang termasuk kategori sering. Berdasarkan akumulasi prosentase sebesar 98% umat sebagai responden menyatakan pembinaan umat kadang-kadang dan pernah. Kesimpulan dari data tersebut menunjukkan bahwa pembinaan hanya diadakan kadang-kadang saja. Hasil regresi didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Dalam hal ini berhubungan dengan pembinaan umat Buddha sebagai anggota masyarakat. Kompetensi sosial seorang guru sangat berguna dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pandangan profesi seorang guru di masyarakat sangatlah tinggi. Masyarakat masih menganggap bahwa profesi guru itu adalah profesi yang mulia dan pantas dihormati. Seorang guru pasti akan selalu diminta pendapat apabila di dalam lingkungan masyarakat mengalami masalah. Hal ini juga membuktikan bahwa guru adalah orang yang berpendidikan dan mampu menyelesaikan masalah sosial di masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, salah satu kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dan memperhatikan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai pribadi yang hidup di tengahtengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Ketika guru tidak memiliki kemampuan pergaulan, maka pergaulannya akan menjadi kaku dan kurang bisa diterima oleh masyarakat. Untuk memiliki kemampuan pergaulan, hal-hal yang harus dimiliki guru adalah: a) Pengetahuan tentang hubungan antar manusia, b) Memiliki keterampilan membina kelompok, c) Keterampilan bekerjasama dalam kelompok, d) Menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok Pembinaan umat merupakan suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki oleh umat, hal ini sesuai dengan pendapat Mangunhardjana yang menyatakan bahwa tujuan pembinaan adalah membantu orang lain untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif. Berdasarkan hasil data dan observasi dapat disimpulkan bahwa responden yang merupakan umat Buddha yang berada di beberapa Vihara di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung tempat penelitian yang merupakan tempat domisili guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi menyatakan bahwa pembinaan umat hanya kadang-kadang saja dilakukan. Kondisi demikian dapat menghambat perkembangan umat Buddha di wilayah kecamatan Kaloran, sehingga perlu kerjasama berbagai pihak agar pembinaan oleh guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi lebih intensif dilakukan. Berdasarkan hasil analisis regresi tersebut dihasilkan gambaran bahwa variabel berpengaruh adalah kompetensi sosial guru Pendidikan agama Buddha tersertifikasi dengan nilai signifikansi kesalahan 0% dan nilai beta 1,189 . Hal ini dapat dilihat pada koefisien beta dengan koefisien yang belum distandarkan. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru Pendidikan agama Buddha tersertifikasi sangat mempengaruhi pembinaan umat Buddha di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Hasil data tersebut dapat digunakan sebagai bahan acuan tentang perlunya intensitas yang lebih tinggi dan penjadwalan yang jelas tentang pembinaan umat Buddha yang ada di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Hal ini diperlukan mengingat Kabupaten Temanggung merupakan basis umat Buddha di Jawa Tengah. Usaha-usaha untuk lebih mengaktifkan peran guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi dalam hal pengaplikasian kompetensi sosial yang dimiliki perlu kerjasama berbagai pihak, antara lain pengawas, dinas terkait dan pemerintah. Melalui kerjasama ini diharapkan kompetensi sosial lebih maksimal penerapannya di masyarakat.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
57
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
KESIMPULAN Berdasarkan data dan pengolahan data yang penulis teliti secara panjang lebar dalam penelitian ini, maka disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru pendidikan agama Buddha tersertifikasi berdasarkan tingkat signifikansi (α5%) tampak bahwa koefisien regresi tersebut memiliki tingkat kesalahan dibawah 5%, berarti mempengaruhi pembinaan umat sebesar 1,189. Artinya, jika kompetensi sosial guru pendidikan agama Buddha meningkat 1 satuan maka pembinaan umat meningkat sebesar 1,189 dengan asumsi variabel lain konstan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial Guru Pendidikan Agama Buddha Tersertifikasi mempengaruhi pembinaan umat di Kecamatan kaloran Kabupaten Temanggung. Maka sebaiknya guru memahami pentingnya pembinaan umat pada masyarakat. Ada pengaruh kompetensi sosial guru pendidikan agama Buddha terhadap pembinaan umat. Maka dari penelitian ini diharapkan dari semua pihak baik dari pengawas dapat memantau terus kinerja guru terhadap perkembangan umat Buddha. Supaya dapat menjaga dan meningkatkan kompetensi sosial guru pendidikan agama Buddha. Pemerintah diharapkan dapat ikut berperan dalam pembinaan umat Buddha, dan lebih memperhatikan lagi kebutuhan yang harus di berikan pada masyarakat.
Belajar Mengajar. P.T Rosda Karya: Bandung. Cintiawati, Wena, dkk., 2003. Petikan Angutara Nikaya. Vihara Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna: Klaten. Dedi Permadi. 2010. The Smiling Teacher; Perubahan Motivasi dan Sikap Dalam Mengajar. Bandung. Nuansa Aulia. Ir. M. Iqbal Hasan, M. M. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia. Jakarta. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002. Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Majjhima Nikaya 5 Diterjemahkan dari Bahasa Inggris Oleh : Dra. Wena Cintiawati, Dra. Lanny Anggawati Penerbit : Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, 2008 Mangunhardja A.M., SJ, 2004. Kepemimpinan, Penerbit Kanisius ; Jogjakarta. Maurice Walshe. 2009. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha (Digha Nikaya). Dhammacitta Press. Jakarta. Miftahul A’la. 2011. Quantum Teaching. DIVA Press. Jogjakarta.
DAFTAR PUSTAKA Amin, Hafeez Ullah, Khan Abdur Rashid. 2009. Acquiring Knowledge for Evaluation of Teachers’ Performance in Higher Education – using a Questionnaire. (IJCSIS) International Journal of Computer Science and Information Security, Vol. 2, No. 1. Australian Journal Of Theacher Education, Tuck (1995). Bhikkhu Kusaladhamma, 2007. Kronologi Hidup Buddha. Ehipassiko Foundation: Jakarta Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan. 1994 Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses
Moh. User Usman. 2005. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyasa. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Rosda. Bandung. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007, Tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan. Prof. Dr. Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan, ALFA Beta, Bandung.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
58
S. Armida S. Alisjahbana, et al, 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia Tahun 2010. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Sayudi. 2012. Peranan Guru Agama Buddha. (http://belajarbuddhisme.blogspot .com/2012/06/peranan-guru-agamabuddha-dalam.html) diaksesl 4 Agustus 2012 pukul: 19.35) Tim Penerjemah. 2008. Majjhima Nikaya V. Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna: Klaten. Tim Penerjemah. 2010. Sutta Pitaka Digha Nikaya VI. Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha Penerbit : CV. Danau Batur: Jakarta. Tim Penulis. 2003. Materi Kuliah Buddha untuk Perguruan Agama Buddha (Kitab Suci Pitaka). CV Dewi Kayana Jakarta.
Agama Tinggi Vinaya Abadi:
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa: Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang guru dan dosen. Citra Umbara: Bandung. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Citra Umbara: Bandung.
Zain,
Syaiful Bahri Djamarah. 2000. Strategi Belajar Mengajar. PT.Rineka Cipta: Jakarta.
Publikasi Elektronik: Emil Rosmali. 2005. Tugas Dan Peranan Guru, (online), http://www.alfurqon .or.id/index.php?option=com_conte nt&task=view&id=58&Itemid=110, diakses 4 Agustus 2012 pukul: 19.40).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
59
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
PENGARUH DISIPLIN BELAJAR DAN KEAKTIFAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER PENDALAMAN KITAB SUCI (PKS) AGAMA BUDDHA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) NEGERI 2 KALORAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN AJARAN 2011/2012 Mujiyanto Jurusan Dharmacarya, STAB Negeri Raden Wijaya Wonogiri ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara disiplin belajar dan keaktifan kegiatan ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha terhadap prestasi belajar. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Kaloran, Kabupaten Temanggung. Metode pengumpulan data adalah metode angket dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriftif kuantitatif. Dan analisis regresi ganda dua prediktor untuk hipotesis yang ketiga untuk mengetahui pengaruh antar variabel penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) Disiplin Belajar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi yaitu sebesar 0.263. 2) Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang ditunjukkan oleh nilai nilai koefisien determinasi yaitu sebesar 29,7%. 3) Secara bersama-sama Disiplin Belajar dan Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang ditunjukkan oleh harga koefisien determinasi sebesar 0.736. Kata Kunci: disiplin belajar, ekstrakurikuler pendalaman kitab suci agama Buddha, prestasi belajar.
ABSTRACT This study aims to determine the effect of the learning discipline and extracurricular liveliness of Buddhist Holy Book Deepening to the learning achievement. The population in this study was students of SMP Negeri 2 Kaloran, Temanggung. The data collection methods were the questionnaire and documentation method. The data analysis was used quantitative descriptive analysis. The multiple regression analysis with two predictors used for third hypothesis to determine the effect of the learning variables. The study results showed that 1) learning disciplinary has a significant effect to the achievements of Buddhist religion learning indicated by the determination coefficient is equal to 0.263. 2) The extracurricular liveliness of Buddhist holy book deepening have a significant effect to the achievement of Buddhist Education learning indicated by the value of the determination coefficient is equal to 29.7%. 3) The learning discipline and extracurricular liveliness of Buddhist holy book deepening simultaneous has significant effect to the achievement of Buddhist Education learning indicated by the determination coefficient equal to 0.736. Keywords:
learning discipline, Buddhist holy book deepening extracurricular, learning achievement.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan Ayat 2 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Melihat kedua pasal tersebut pendidikan mempunyai
peran yang sangat penting untuk memajukan bangsa dan negara. Di bidang pendidikan pemerintah telah berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan bukan hanya memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana saja, tetapi juga perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Selain itu kualitas tenaga pendidik dan kualitas siswa juga menyumbang peran penting dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal tersebut
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
60
dilakukan agar negara dapat menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan dunia. Pendidikan Agama Buddha saat ini merupakan salah satu mata pelajaran penting di sekolah. Mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha bertujuan untuk membimbing siswa dalam mengimbangi pesatnya perkembangan informasi. Prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang didapatkan siswa selama kurun waktu tertentu yang ditunjukkan dengan angka-angka setelah melalui pengujian atau tes. Prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha tercermin dalam hasil evaluasi dan ulangan yang diperoleh siswa. Banyak siswa yang mengalami masalah dalam belajar Pendidikan Agama Buddha yang berakibat rendahnya prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha. Pihak sekolah sudah berupaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Buddha. Namun prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui permasalahan tersebut perlu diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha, dengan diketahuinya faktorfaktor tersebut diharapkan masalah dapat ditemukan pemecahannya dan pada akhirnya siswa mampu mencapai prestasi yang baik. Usaha untuk meningkatkan prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha bukanlah perkara yang mudah, hal ini disebabkan karena proses belajar mengajar yang kompleks dan melibatkan banyak unsur didalamnya. Prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang baik perlu dipacu baik oleh guru, orang tua maupun siswa itu sendiri. Prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa antara lain motivasi, intelegensi, pengusaan ketrampilan, disiplin diri dan minat terhadap suatu objek tertentu. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa meliputi cara mendidik orang tua, lingkungan rumah, keadaan ekonomi keluarga, metode mengajar, hubungan guru dengan siswa dan lain-lain. Prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha SMP Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung masih belum optimal.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, diperoleh hasil bahwa masih banyak siswa yang belum mencapai batas ketuntasan nilai minimal. Terlebih untuk pelajaran praktek. Siswa mengikuti ulangan perbaikan (remedial) agar nilai ulangannya mencapai kriteria yang ditentukan. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha antara lain adalah disiplin belajar siswa. Kedisiplinan adalah cermin kehidupan masyarakat bangsa. Maknanya, dari gambaran tingkat kedisiplinan suatu bangsa akan dapat dibayangkan seberapa tingkatan tinggi rendahnya budaya bangsa yang dimilikinya. Sementara itu cerminan kedisiplinan mudah terlihat pada tempat-tempat umum, lebih khusus lagi pada sekolah-sekolah dimana banyaknya pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa-siswa yang kurang disiplin. Kedisiplinan ada banyak hal. Disiplin sekolah, disiplin kelas, disiplin di dalam lingkungan serta disiplin rumah. Seorang siswa yang mempunyai kedisiplinan belajar yang tinggi akan mengikuti dan mentaati peraturan sekolah secara baik, dengan kesadaran diri untuk melaksanakan peraturan tersebut, dan anak melaksanakan hukuman apabila melakukan kesalahan. Kedisiplinan belajar tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan adanya bantuan dari pendidikan, baik dari oaring tua, guru maupun masyarakat. Sedangkan faktor lain adalah keaktifan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler. Ada dua macam ekstrakurikuler wajib yaitu ekstrakurikuler Pendidikan Agama Buddha dan pramuka. Keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler mendorong siswa membentuk sikap yang mempengaruhi keaktifan siswa. Seperti contohnya ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha yang sebenarnya sangat menunjang kemampuan siswa dalam prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha. Karena dalam kegiatan ekstrkurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha siswa bisa lebih banyak belajar, lebih banyak waktu untuk mengulang pelajaran di kelas. Siswa juga bisa menanyakan kesulitan-kesulitan pelajaran Pendidikan Agama Buddha saat kegiatan ekstrakurikuler berlangsung kepada instruktur. Perlu disayangkan dan tidak seperti yang diharapkan bahwa dalam kenyataannya keterlibatan siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah kadang ada unsur
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
61
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
keterpaksaan, sehingga pemahaman siswa tentang ekstrakurikuler bukan merupakan kegiatan yang digunakan sebagai penyalur dari bakat dan minat mereka sendiri melainkan karena ada unsur keterpaksaan dan pengaruh dari teman-teman. Tidak menutup kemungkinan karena terlalu aktifnya siswa untuk mengikuti kegiatan sehingga hampir seluruh kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan di sekolah diikuti. Terkait hal tersebut menurut penulis perlu adanya perhatian khusus dari guru dan orang tua untuk memperhatikan perkembangan anak didiknya, agar siswa memiliki kesadaran untuk melaksanakan kedisiplinan belajar dan mau terlibat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yang berhubungan dengan kegiatan belajar di sekolah. Dari uraian diatas dan kenyataan yang terjadi di SMP Negeri 2 Kabupaten Temanggung, akan dibuat penelitian sejauh mana disiplin belajar dan keaktifan kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Buddha terhadap prestasi belajar dengan judul penelitian, “Pengaruh Disiplin Belajar dan Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Buddha Siswa SMP Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung Tahun Ajaran 2011/2012”. PEMBAHASAN Disiplin Belajar Pengertian belajar menurut Sugihartono (2007: p. 74) merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Ngalim (2006: 102) belajar adalah suatu proses yang menimbulkan terjadinya suatu perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku dan atau kecakapan. Pendapat lain tentang belajar diungkapkan oleh Wina (2009: p. 112) bahwa belajar adalah proses mental yang terjadi di dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Masykur Arif Rahman (2011: p. 64-66) mengatakan bahwa disiplin berasal dari bahasa Inggris “discipline” yang mengandung beberapa arti. Diantaranya adalah pengendalian diri, membentuk karakter yang bermoral,
memperbaiki dengan sanksi, serta kumpulan beberapa tata tertib untuk mengatur tingkah laku. Disiplin juga merupakan upaya untuk membentuk tingkah laku sesuai dengan yang sudah ditetapkan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dan diharapkan. Terkait itu, sekolah yang punya tata tertib jelas bermaksud mendisiplinkan guru dan murid untuk mencapai tingkat tertinggi dalam prestasi belajarmengajar. Sedangkan disiplin menurut A.S Moenir (2010: p. 94) adalah suatu bentuk ketaatan terhadap aturan, baik tertulis mauppun tidak tertulis yang telah ditetapkan. David Johnson (1979) mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Educational Psycology, sebagai berikut: Being a good disciplinarian does not mean, however, that students sit quietly reading or listening. Many instructional activities call for active student involvement and require students to discuss problem with one another or to carry out experiments and operations. Teachers also want students to be enthusiastic about what they are learning. selanjutnya Johnson mengemukakan bahwa, menjadi siswa yang disiplin itu berarti siswa harus terlibat aktif dalam pembelajaran, penuh perhatian, mengikuti prosedur yang ditentukan, mematuhi norma-norma kelas dan memperhatikan perilakunya. Disiplin ada dua jenis, yaitu disiplin waktu dan disiplin perbuatan. Hal ini seperti diungkapkan oleh A.S Moenir (2010: p. 95-96) sebagai berikut: Mengenai disiplin ada dua jenis yang sangat dominan dalam usaha menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan apa yang dikehendaki organisasi. Kedua disiplin itu adalah disiplin dalam hal waktu dan disiplin dalam hal kerja atau perbuatan. Kedua jenis disiplin tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan serta saling mempengaruhi. Dapat saja seseorang hadir tepat waktunya, tetapi tidak segera melakukan perbuatan sesuai ketentuan organisasi pada hakekatnya merugikan organisasi. Disiplin mendorong siswa belajar secara konkrit dalam praktik hidup di sekolah maupun dirumah. Seperti dikemukakan A.S Moenir (2010: p. 95) bahwa melalui disiplin yang tinggi pelaksanaan suatu ukuran dapat mencapai maksud dan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak. Sedangkan menurut Slameto (2010: p. 2) belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
62
interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Slameto (2010: p. 67) juga mengemukakan bahwa jika siswa mau belajar lebih maju maka siswa harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah dan di perpustakaan. Dari pendapat tersebut, dapat diartikan disiplin dapat membuat siswa belajar lebi maju dan dengan kemajuan yang diperoleh tersebut maka akan meningkatkan hasil belajar siswa. Sedangkan menurut A.S Moenir (2010: p. 96), untuk mengukur tingkat disiplin belajar siswa berdasarkan ketentuan disiplin waktu dan disiplin perbuatan. Disiplin Waktu meliputi (1) Tepat waktu dalam belajar, mencakup datang dan pulang sekolah tepat waktu, mulai dari selesai belajar di rumah dan di sekolah tepat waktu, (2) Tidak meninggalkan kelas/membolos saat pelajaran, (3) Menyelesaikan tugas sesuai waktu yang ditetapkan. Sedangkan disiplin perbuatan meliputi patuh dan tidak menentang peraturan yang berlaku, tidak malas belajar, tidak menyuruh orang lain bekerja demi dirinya, tidak suka berbohong, tingkah laku menyenangkan, mencakup tidak mencontek, tidak membuat keributan, dan tidak mengganggu orang lian yang sedang belajar. Dapat disimpulkan bahwa indikator disiplin belajar ada empat macam, yaitu: (1) Ketaatan terhadap tata tertib sekolah, (2) Ketaatan terhadap kegiatan belajar di sekolah, (3) Ketaaatan dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran, (4) Ketaatan terhadap kegiatan belajar di rumah. Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin belajar merupakan setiap macam pengaruh yang ditunjukan untuk membantu peserta didik agar dia dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan juga penting tentang cara menyelesaikan tuntutan yang mungkin ingin ditunjukkan peserta didik terhadap lingkungannya. Untuk mengukur tingkat disiplin belajar siswa di SMP Negeri 2 Kaloran Kabupaten Temanggung diperlukan indikator-indikator mengenai disiplin belajar. Indikator-indikator ini peneliti menggunkan pendapat A.S Moenir (2010: p. 96), yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat disiplin belajar siswa berdasarkan ketentuan disiplin waktu dan disiplin perbuatan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pentingnya Disiplin Disiplin diperlukan oleh siapapun dan di manapun, begitupun seorang siswa dia harus disiplin baik itu disiplin dalam menaati tata tertib sekolah, disiplin dalam belajar di sekolah, disiplin dalam mengerjakan tugas, maupun disiplin dalam belajar di rumah, sehingga akan dicapai hasil belajar yang optimal. Disiplin berperan penting dalam membentuk individu yang berciri keunggulam. Disilin merupakan hal yang penting, Menurut Tulus Tu’u (2004: p. 37) dikarenakan (1) melalui disiplin akan muncul kesadaran diri, siswa berhasil dalam belajarnya. Sebaliknya siswa yang kerap kali melanggar ketentuan sekolah pada umumnya terhambat optimalisasi potensi dan prestasinya, (2) melalui disiplin memberi dukungan yang tenang dan tertib bagi proses pembelajaran, tanpa disiplin yang baik, suasana sekolah dan kelas kurang kondusif. (3) menjadikan anakanak dapat menjadi individu yang tertib, teratur, dan disiplin dalam menaati norma dan nilai kehidupan, (4) disiplin merupakan jalan bagi siswa untuk sukses dalam belajar dan kelak ketika bekerja. Sedangkan menurut Maman Rachman (1999) dalam Tu’u (2004: p.35) pentingnya disiplin bagi para siswa adalah sebagai berikut (1) Memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) Membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, (3) Cara menyelesaikan tuntutan yang ingin ditunjukan peserta didik terhadap lingkunganya, (4) Untuk mengatur keseimbangan keinginan individu satu dengan individu lainnya, (5) Menjauhi siswa melakukan hal-hal yang dilarang sekolah, (6) Mendorong siswa melakukan hal-hal yang baik dan benar, (7)Peserta didik belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, positif dan bermanfaat baginya dan lingkungannya, (8) Kebiasaan baik itu menyebabkan ketenangan jiwanya dan lingkungannya Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa disiplin sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap siswa. Disiplin yang tumbuh secara sadar akan membentuk sikap, perilaku, dan tata kehidupan yang teratur yang akan menjadikan siswa sukses dalam belajar Fungsi disiplin Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa batuan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
63
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
sering terjadi pertikaian antara sesama orang yang disebabkan karena benturan kepentingan, karena manusia selain sebagai mahluk sosial ia juga sebagai mahluk individu yang tidak lepas dari sifat egonya, sehingga kadangkadang di masyarakat terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Di sinilah pentingnya disiplin untuk mengatur tata kehidupan manusia dalam kelompok tertentu atau dalam masyarakat. Sehingga kehidupan bermasyarakat akan tentram dan teratur. Disiplin juga mampu membangun kepribadian. Kepribadian adalah keseluruhan sifat, tingkah laku yang khas yang dimiliki oleh seseorang. Antara orang yang satu dengan orang yang lain mempunyai kepribadian yang berbeda. Lingkungan yang berdisiplin baik sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Apalagi seorang siswa yang sedang tumbuh kepribadiannya, tentu lingkungan sekolah yang tertib, teratur, tenang, dan tentram sangat berperan dalam membangun kepribadian yang baik. Melatih kepribadian yang baik. Kepribadian yang baik selain perlu dibangun sejak dini, juga perlu dilatih karena kepribadian yang baik tidak muncul dengan sendirinya. Kepribadian yang baik perlu dilatih dan dibiasakan, sikap perilaku dan pola kehidupan dan disiplin tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, namun melalui suatu proses yang membutuhkan waktu lama. Pemaksaan Disiplin akan tercipta dengan kesadaran seseorang untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan, dan noma yang berlaku dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Disiplin dengan motif kesadaran diri lebih baik dan kuat. Dengan melakukan kepatuhan dan ketaatan atas kesadaran diri bermanfaat bagi kebaikan dan kemajuan diri. Sebaliknya disiplin dapat pula terjadi karena adanya pemaksaan dan tekanan dari luar. Misalnya, ketika seorang siswa yang kurang disiplin masuk ke satu sekolah yang berdisiplin baik, maka ia terpaksa harus menaati dan mematuhi tata tertib yang ada di sekolah tersebut. Hukuman dalam suatu sekolah tentunya ada aturan atau tata tertib. Tata tertib ini berisi hal-hal yang positif dan harus dilakukan oleh siswa. Sisi lainnya berisi sanksi atau hukuman bagi yang melanggar tata tertib tersebut. Hukuman berperan sangat penting karena dapat memberi motifasi dan kekuatan bagi siswa untuk mematuhi tata tertib dan peraturan-
peraturan yang ada, karena tanpa adanya hukuman sangat diragukan siswa akan mematuhi paraturan yang sudah ditentukan. Menciptakan lingkungan yang kondusif. Disiplin di sekolah berfungsi mendukung terlaksananya proses kegiatan pendidikan berjalan lancar. Hal itu dicapai dengan merancang peraturan sekolah, yakni peraturan bagi guru-guru dan bagi para siswa, serta peraturan lain yang dianggap perlu. Kemudian diimplementasikan secara konsisten dan konsekuen, dengan demikian diharapkan sekolah akan menjadi lingkungan pendidikan yang aman, tenang, tentram, dan teratur. (Tulus Tu’u, 2004, p.38-44) Dasar Kedisiplinan Belajar Kedisiplinan mempunyai dasar yang dijadikan sebagai pedoman atau pijakan dan landasan dalam berbuat. Disiplin adalah kunci sukses, karena dengan disiplin orang bisa berbuat sesuatu, menyelesaikan suatu pekerjaan dan akan membawa hasil sesuai yang diinginkan. Dalam pendidikan, disiplin sangat diperlukan dan disiplin ini menjadi alat pengikat dalam pendidikan, karena dengan adanya disiplin, anak dapat diarahkan, dibimbing dan dididik sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal. Kedisiplinan dalam belajar penting diterapkan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar karena memiliki tujuan yang hendak dicapai. Menurut Charles Schaefer ada dua macam tujuan kedisiplinan belajar yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari disiplin ialah membuat anak-anak terlatih dan terkontrol dengan mengajarkan mereka bentuk-bentuk tingkah laku yang pantas dan tidak pantas atau masih asing bagi mereka. Tujuan jangka panjang disiplin adalah untuk perkembangan dan pengendalian diri sendiri dan mengarahkan diri sendiri (Self control and self direction) yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian dari luar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan kedisiplinan belajar adalah untuk membuat anak didik terlatih dan terkontrol dalam belajar, sehingga ia memiliki kecakapan cara belajar yang baik. Selain itu merupakan proses pembentukan perilaku yang baik sehingga mencapai pribadi yang luhur yang tercermin dalam persesuaian perilaku dengan aturan-aturan belajar yang ditetapkan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
64
serta kemampuan untuk mengontrol dan mengendalikan diri sendiri tanpa pengaruh dan pengendalian dari luar. (Charles, 1994: p. 3) Faktor intern kedisiplinan belajar adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah faktor fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan faktor psikologis (yang bersifat rohaniah). Faktor fisiologis meliputi kondisi dan kesehatan jasmani dari individu sejak lahir, keadaan panca indera siswa terutama mata dan telinga. Sedangkan faktor psikologis meliputi inteligensi/tingkat kecerdasan siswa, sikap siswa, bakat, minat dan motivasi. (Muhibbin, 2000: p. 132-133) Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar siswa, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial. Faktorfaktor yang termasuk lingkungan sosial adalah keluarga, guru, staf administrasi, teman-teman sekelas dan masyarakat. Sedangkan faktorfaktor lingkungan non sosial meliputi: gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal siswa, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. (Muhibbin, 2000: p. 138) Demikian beberapa faktor yang dipandang turut menentukan tingkat kedisiplinan dan keberhasilan belajar siswa. Bentuk-bentuk Kedisiplinan Belajar Orang tua yang bijak akan selalu menampakan suatu disiplin dalam semua hal terhadap kegiatan anak-anaknya, baik mengenai kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan formal yaitu disiplin dalam belajar, disiplin dalam mengerjakan tugas yang berkaitan dengan sekolah maupun disiplin dalam pendidikan non formal yaitu yang berkaitan dengan kegiatan rumah/tempat tinggal anak. Adapun bentukbentuk kedisiplinan belajar antara lain: a. Masuk kelas tepat waktu Masuk kelas tepat waktu artinya anak didik masuk ruangan guna mengikuti kegiatan belajar mengajar tepat pada waktunya. Masuk kelas tepat waktu merupakan kewajiban yang mutlak yang harus ditaati dan dipatuhi oleh semua anak didik. Melanggarnya dikenakan sanksi dengan jelas dan bentuk yang disesuaikan berat ringannya kesalahan. Maka, bagi anak yang menghargai disiplin, dia akan memperhitungkan jarak antara rumah/tempat tinggal dengan sekolah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
b.
c.
d.
e.
sehingga tidak terlambat ketika masuk sekolah. Berpakaian seragam sesuai dengan ketentuan sekolah Seorang siswa apabila ia berangkat ke sekolah dituntut untuk berpakaian dan dalam hal ini berpakaian rapi bukan berarti harus baru, tetapi harus memakai seragam sesuai dengan peraturan yang ditentukan sekolah seperti memakai tanda lokasi sekolah, baju dimasukkan dan sebagainya. Memperhatikan pelajaran Pentingnya memperhatikan pelajaran,karena apa yang guru jelaskan terkadang tidak ada keterangan dalam buku paket atau sudah ada di dalam buku paket, tetapi keterangannya belum jelas, inilah keuntungan dari memperhatikan pelajaran. Bagi seorang yang berdisiplin tentunya ia akan memusatkan seluruh perhatiannya kepada penjelasan guru sehingga mampu menangkap materi yang disampaikan. Namun sebaliknya, bagi siswa yang mengabaikan disiplin, ia akan membuat gaduh di dalam kelas sehingga mengganggu konsentrasi kawan sekelasnya. Untuk itu, tugas guru adalah memberikan nasehat kepada siswa mengenai betapa pentingnya memperhatikan pelajaran. Mengikuti pelajaran tanpa bolos Seorang siswa yang terbiasa berdisiplin akan berusaha untuk aktif berangkat ke sekolah dan senantiasa mengikuti pelajaran dari awal sampai akhir. Ia akan merasa sangat menyesal apabila ia tidak dapat masuk sekolah karena sakit/karena alasan lain yang karenanya ia ketinggalan pelajaran tersebut. Dan apabila hal itu terjadi, maka ia akan berusaha untuk mengejar ketertinggalan pelajaran tersebut, misalnya dengan meminjam catatan temannya yang masuk, serta ia akan memberi keterangan kepada guru kenapa ia tidak masuk sekolah. Memiliki rencana belajar yang teratur Rencana yang dimaksud adalah perhitungan jangka pendek yang menyangkut tentang pembagian waktu, tenaga dan bahan yang akan dipelajari. Dalam rangka mendapatkan efektifitas dan efisien dalam belajar, karena salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
65
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
f.
seseorang adalah kedisiplinan dalam pelaksanaannya, bukan lamanya belajar yang diutamakan tetapi kebiasaan teratur dan rutin dalam belajar. Mengerjakan tugas Dalam prinsip belajar mengajar siswa tidak hanya dituntut untuk mendengarkan apa yang disampaikan guru saja atau bersikap pasif, tetapi yang dituntut untuk aktif di dalam proses belajar mengajar. Salah satunya dengan mengerjakan tugas yang diberikan guru. Semua tugas-tugas yang telah diberikan oleh guru harus dikerjakan, karena kedisiplinan siswa dalam mengerjakan tugas sangatlah mendukung keberhasilan siswa dalam belajar. Seorang siswa yang terbiasa berdisiplin akan berusaha untuk aktif berangkat ke sekolah dan senantiasa mengikuti pelajaran dari awal sampai akhir. Ia akan merasa sangat menyesal apabila ia tidak dapat masuk sekolah karena sakit/karena alasan lain yang karenanya ia ketinggalan pelajaran tersebut. Dan apabila hal itu terjadi, maka ia akan berusaha untuk mengejar ketertinggalan pelajaran tersebut, misalnya dengan meminjam catatan temannya yang masuk, serta ia akan memberi keterangan kepada guru kenapa ia tidak masuk sekolah.
Aspek-Aspek Disiplin Belajar Menurut Arikunto (1990: p. 137) dalam penelitiannya mengenai kedisiplinan membagi tiga indikator kedisiplinan yaitu: 1) perilaku kedisiplinan dalam kelas, 2) perilaku kedisiplinan di luar kelas, di lingkungan sekolah, 3) perilaku kedisiplinan di rumah.Tlus Tu’u (2004: p. 9) dalam penelitiannya mengenai disiplin sekolah mengemukakan bahwa indikator yang menunjukkan pergeseran atau perubahan hasil belajar siswa sebagai kontribusi mengikuti dan menaati peraturan sekolah meliputi: dapat mengatur belajar di rumah, rajin dan teratur belajar, perhatian yang baik saat belajar di kelas dan ketertiban diri saat belajar di kelas. Sedangkan menurut Syafruddin dalam jurnal Edukasi (2005: p. 80) membagi indikator disiplin belajar menjadi empat macam yaitu: 1) ketaatan terhadapwaktu belajar, 2) ketaatan terhadap tugas-tugas pelajaran, 3) ketaatan terhadap penggunaan fasilitas belajar, dan 4) ketaatan menggunakan waktu datang dan pulang sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penelitian ini penulis membagi indikator disiplin belajar menjadi lima macam yaitu (1) disiplin dalam masuk sekolah, (2) disiplin dalam mengikuti pelajaran di sekolah, (3) disiplin dalam mengerjakan tugas, (4) Disiplin dalam menaati tata tertib sekolah, (5) disiplin belajar di rumah. Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Keaktifan Siswa Thorndike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of exercise” yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan. Aktif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: p. 19) berarti giat (bekerja, berusaha). Sedangkan keaktifan diartikan sebagai hal atau keadaan dimana siswa dapat aktif. Salah satu penilaian proses pembelajaran adalah melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Munurut Nana Sudjana (2004: p. 61) keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal (1) Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, (2) Terlibat dalam pemecahan masalah, (3) Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapi, (4) Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah, (5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru, (6) Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya, (7) Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis, (8) Kesempatan menggunakan/ menerapkan apa yang diperolehnya dalam menyelesaikan tugas/ persoalan yang dihadapinya. Jadi keaktifan siswa adalah kegiatan berusaha atau bekerja, baik secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan aktivitas yang giat dalam proses belajar untuk mencapai tujuan yang meliputi: melaksanakan tugas belajarnya dengan sungguh-sungguh, ikut berlatih memecahkan masalah, berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan, introspeksi diri. Kegiatan Ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pengayaan dan perbaikan yang berkaitan dengan program kokurikuler dan intrakurikuler. Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai wadah bagi siswa yang memiliki minat mengikuti kegiatan tersebut. Melalui bimbingan dan pelatihan guru, kegiatan ekstrakurikuler
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
66
dapat membentuk sikap positif terhadap kegiatan yang diikuti oleh para siswa. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan (2008: p. 4), kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu jalur pembinaan kesiswaan. Kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti dan dilaksanakan oleh siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah, bertujuan agar siswa dapat memperkaya dan memperluas diri. Memperluas diri ini dapat dilakukan dengan memperluas wawasan pengetahuan dan mendorong pembinaan sikap dan nilai-nilai. Pengertian ekstrakurikuler menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: p. 291) yaitu suatu kegiatan yang berada di luar program yang tertulis didalam kurikulum seperti latihan kepemimpinan dan pembinaan siswa. Kegiatan ekstrakurikuler ini dilaksanakan diluar jam pelajaran wajib. Kegiatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menentukan kegiatan sesuai dengan bakat dan minat mereka. Sedangkan menurut Depdiknas (2003: p. 16), “kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan untuk memenuhi tuntutan penguasaan bahan kajian dan palajaran dengan alokasi waktu yang diatur secara tersendiri berdasarkan pada kebutuhan. ”Kegiatan ekstrakurikuler dapat berupa kegiatan pengayaan dan kegiatan perbaikan yang berkaitan dengan program kurikuler atau kunjungan studi ke tempat-tempat tertentu yang berkaitan dengan esensi materi pelajaran tertentu. Kegiatan-kegiatan lain yang dapat diselenggarakan di sekolah untuk lebih memantapkan pembentukan kepribadian yaitu kepramukaan, koperasi, usaha kesehatan sekolah, olahraga, dan palang merah. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan juga untuk mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dalam kegiatan kurikuler secara kontekstual dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ikut andil dalam menciptakan tingkat kecerdasan yang tinggi. Kegiatan ini bukan termasuk materi pelajaran yang terpisah dari materi pelajaran lainnya, bahwa dapat dilaksanakan di sela-sela penyampaian materi pelajaran, mengingat kegiatan tersebut merupakan bagian penting dari kurikulum sekolah. Ekstrakurikuler erat hubungannya dengan prestasi belajar siswa.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Melalui kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat bertambah wawasan mengenai mata pelajaran yang erat kaitannya dengan pelajaran di ruang kelas. Melalui kegiatan ekstrakurikuler juga siswa dapat menyalurkan bakat, minat dan potensi yang dimiliki. Hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti pelajaran ekstrakurikuler dan berdampak pada hasil belajar di ruang kelas yaitu pada mata pelajaran tertentu yang ada hubungannya dengan ekstrakurikuler yaitu mendapat nilai baik pada pelajaran tersebut. Biasanya siswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler akan terampil dalam berorganisasi, mengelola, memecahkan masalah sesuai karakteristik ekstrakulikuler yang diikuti. Di dalam memberikan pengertian tentang kegiatan ekstrakurikuler terdapat perbedaan yang satu dengan yang lainnya, diantaranya yaitu: 1) Menurut Moh. User Usman dalam bukunya upaya optimalisasi kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam pelajaran (tatap muka) baik dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah dengan maksud serta mempunyai tujuan untuk lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan serta kemampuan yang telah dimilikinya dari berbagai bidang studi (Moh. Uzer Usman, 1993: p. 22) 2) Menurut Suharsimi Arikunto (1999), kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan tambahan, di luar struktur program yang pada umumnya merupakan kegiatan pilihan (Suryosubroto, 1997: p. 271). 3) Menurut Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum. Sejalan dengan pengertian tersebut, kegiatan ekstrakurikuler keagamaan adalah kegiatan yang berada diluar materi wajib sekolah yang menampung keinginan siswa yang ingin mengembangakan ilmu & bakatnya di bidang keagamaan. Kegiatan ekstrakurikuler keagamaan berupa Pendalaman Kitab Suci, dimana ada raportnya, yang mecatat kecakapan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
67
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
siswa dalam belajar, dalam ekstrakulikuler ini juga tidak semua diajarkan cara bagaimana cara membaca Kitab Suci dengan baik dan benar, akan tetapi juga diajarkan materi-materi akhlak, seperti, cara menghormati orang yang lebih tua, bergaul dengan teman dan lain-lain. Efektifitas kegiatan ekstrakurikuler dapat memberikan sumbangan pendidikan yang sangat besar pada diri siswa, namun tentu saja harus didasari dengan elemen dasar tujuan pembelajaran, sehingga target pembelajaran dapat dievaluasi dengan baik. Berikut sedikit ulasan bagaimanakah kegiatan ekstrakurikuler bila ditinjau dari segi tujuan pembelajaran. Selanjutnya, kegiatan pendidikan yang didasarkan pada penjatahan waktu bagi masingmasing mata pelajaran sebagaimana tercantum dalam kurikulum sekolah lebih kita kenal dengan sebutan kurikuler. Sedangkan kegiatan yang di selenggarakan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau diluar sekolah agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum disebut Kegiatan Ekstrakurikuler (Suryosubroto. 1997: p. 271). Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci agama Buddha dengan kegiatan ekstrakurikuler pada umumnya, baik tujuan, manfaat, prinsip, dan lain sebagainya. Perbedaan yang ada hanya pada orientasi pelaksanaannya kepada ajaran agama Buddha serta dalam jenis kegiatan ekstrakurikuler yang diselenggarakan. Jadi kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilaksanakan diluar jam sekolah yang telah di tentukan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Dan kegiatan ini juga di maksudkan untuk lebih mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dalam program kurikuler dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan. Kegiatan ini di samping di laksanakan di sekolah, dapat juga dilaksanakan diluar sekolah guna memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan atau kemampuan meningkatkan nilai sikap dalam rangka penerapan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dan kurikulum sekolah. Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha “merupakan istilah yang menunjuk pada operasional dalam usaha pendidikan ajaranajaran agama Buddha dan merupakan sub sistem pendidikan Buddha. Dengan kata lain
lain, pendalaman kitab suci agama Buddha adalah aplikasi pendidikan agama Buddha dalam pembelajaran di sekolah, baik dalam bentuk kegiatan belajar mengajar ataupun kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan Buddha. Dari pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan program kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci agama Buddha dalam penelitian ini adalah rancangan atau usaha-usaha yang dijalankan dalam bentuk kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, baik dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah dengan tujuan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari siswa dalam bidang studi Pendidikan Agama Buddha. Mengenai tujuan kegiatan dalam ekstrakurikuler dijelaskan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995: p. 2), kegiatan ekstrakurikuler bertujuan agar (1) Siswa dapat memperdalam dan memperluas pengetahuan keterampilan mengenai hubungan antara berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani dan jasmani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan; (2) Siswa mampu memanfaatkan pendidikan kepribadian serta mengaitkan pengetahuan yang diperolehnya dalam program kurikulum dengan kebutuhan dan keadaan lingkungan. Dari tujuan kegiatan ekstrakurikuler diatas, dapat peneliti kemukakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang diperuntukan bagi siswa agar menambah wawasan, sikap dan keterampilan siswa baik di luar jam pelajaran wajib serta kegiatannya dilakukan di dalam dan di luar sekolah. Berdasarkan pengertian dan tujuan tentang ekstrakurikuler tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrakurikuler adalah kegiatan diluar jam pelajaran yang dilakukan, baik di sekolah ataupun di luar sekolah yang bertujuan untuk memperdalam dan memperkaya pengetahuan siswa, mengenal hubungan antar berbagai pelajaran, serta menyalurkan bakat dan minat.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
68
Prestasi Belajar Pengertian Prestasi Belajar Pada dasarnya setiap manusia selalu melakukan kegiatan belajar, karena kegiatan ini bertujuan mengubah tingkah laku manusia kearah perkembangan, misal dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan suatu pekerjaan atau aktifitas tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: p. 895), “Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya)”. WS Winkel mengemukakan bahwa: Prestasi adalah bukti usaha siswa yang dapat dicapai oleh siswa dalam waktu tertentu dan dapat diukur dengan suatu alat atau tes. Dengan diketahuinya prestasi belajar maka seorang guru dapat mengetahui tingkat penguasaan materi dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan mengembangkan bahan ajar. (2004: p. 51) Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan seseorang yang tercapai dari usaha tertentu seperti belajar, dapat memberikan kepuasan atau rasa bangga dan dapat diukur dengan tes atau alat bantu lain. Menurut Saiful Bahri Djamarah (1994: p. 20-21) dalam bukunya Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, bahwaprestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dalam buku yang sama Nasrun Harahap, berpendapat bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dankemajuan siswa berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam individu (faktor internal) maupun dari luar diri individu (faktor eksternal). Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting artinya dalam membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang optimal. Menurut Slameto (2010: p. 54-72) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar berasal dari
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dalam dan luar diri individu. Faktor dari dalam meliputi faktor jasmani, psikologi, kelelahan, intelegensi, bakat dan motivasi, sedangkan faktor dari luar meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Faktor jasmaniah meliputi kesehatan dan cacat tubuh. Faktor jasmaniah atau kondisi fisiologis pada umumnya berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seseorang. Orang yang ada dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang ada dalam keadaan lelah. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuannya berada dibawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi. Anak-anak yang kurang gizi mudah lelah, mudah mengantuk, dan tidak mudah menerima pelajaran. Faktor psikologi meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan, dan sikap. Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologi. Oleh karena itu semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung maka faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh karena itu minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampukan-kemampuan kognitif adalah faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar mahasiswa(Djamara: 2008) Faktor kelelahan dibedakan menjadi kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kobosanan sehinga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Intelegensi adalah suatu kemampuan umum dari seseorang untuk belajar dan memecahkan suatu permasalahan. Jika intelegensi seseorang rendah bagaimanapun usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar, jika tidak ada bantuan orang tua atau pendidik niscaya usaha belajar tidak akan berhasil. Bakat merupakan kemampuan yang menonjol disuatu bidang tertentu misalnya bidang studi matematika atau bahasa asing.Bakat adalah suatu yang dibentuk dalam kurun waktu,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
69
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
sejumlah lahan dan merupakan perpaduan taraf intelegensi. Pada umumnya komponen intelegensi tertentu dipengaruhi oleh pendidikan dalam kelas, sekolah, dan minat subyek itu sendiri. Bakat yang dimiliki seseorang akan tetap tersembunyi bahkan lamakelamaan akanmenghilang apabila tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Motivasi memegang peranan penting dalam memberikan gairah, semangat, dan rasa senang dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatanbelajar. Mahasiswa yang mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal dalam belajarnya. Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu motivasi belajar perlu diusahakan terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekat bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar. Bila ada siswa yang kurang memiliki motivasi instrinsik diperlukan dorongan dari luar yaitu motivasi ekstrinsik agar mahasiswa termotivasi untuk belajar. Faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor ekstern) adalah faktor yang bersumber dari luar diri individu yang bersangkutan. Faktor ini sering disebut dengan faktor ekstrinsik yang meliputi segala sesuatu yang berasal dari luar diri individu yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya baik itu di lingkungan sosial maupun lingkungan alam (Djamara, 2008). Lingkungan alami meliputi keadaan suhu, kelembaban udara berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar padasuhu udara yang lebih panas dan pengap. Sedangkan lingkungan sosial meliputi yang berwujud manusia dan representasinya (wakilnya), walaupun yang berwujud hal yang lain langsung berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Seseorang yang sedang belajar memecahkan soal akan terganggu bila ada orang lain yang mondarmandir di dekatnya atau keluar masuk kamar. Representasi manusia misalnya memotret, tulisan, dan rekaman suara juga berpengaruh terhadap hasil belajar. Lingkungan sosial meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat. faktor keluarga berupa
cara orang tua mendidik, hubungan antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian keluarga, dan latar belakang budaya; faktor sekolah mencakup metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode mengajar, dan tugas rumah; faktor masyarakat mencakup kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Pendapat lain dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (2006: p. 106-107), bahwa faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, faktor luar meliputi (1) lingkungan alam dan lingkungan sosial (2) instrumenal terdiri dari kurikulum atau bahan pelajaran, guru atau pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi atau manajemen. Faktor dalam meliputikondisi fisik dan kondisi panca indra, faktor psikologis terdiri dari bakat, minat, kecerdasan, motivasi, kemampuan kognitif. Selanjutnya Sumadi Suryabrata (2002: p. 233) mengklasifikasikan faktor dari dalam yang mempengaruhi belajar terdiri dari faktor non sosial, faktor sosial. Faktor non-sosial dalam belajar meliputi keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat dan alat-alat yang dipakai untuk belajar (alat tulis, alat peraga), Faktor sosial dalam belajar meliputi kepala sekolah, guru, staf pengajar, siswa dan masyarakat. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri meliputi faktor fisiologi dan psikologi dalam belajar. Faktor fisiologi terdiri dari keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi jasmani tertentu.Sedangkan Faktor psikologi dalam belajar dapat mendorong aktivitas belajar seseorang karena aktivitas dipacu dari dalam diri, seperti adanya perhatian, minat, rasa ingin tahu, fantasi, perasaan, dan ingatan Dari beberapa pendapat ahli yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu faktor dari dalam individu dan faktor dari luar individu. Jadi dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan seseorang yang tercapai dari usaha tertentu seperti belajar, dapat memberikan kepuasan atau rasa bangga dan dapat diukur dengan tes atau alat bantu lain yang dipengaruhi dari faktor inter dan ekstern siswa yang meliputi: 1)
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
70
keadaan fisik, 2) psikologi, 3) keluarga, 4) sekolah, 5) masyarakat. HIPOTESIS Hipótesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat disusun seperti bawah ini (1) Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara disiplin belajar terhadap prestasi belajar mata pelajaran pendidikan agama Buddha. (2) Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara keaktifan kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci terhadap prestasi mata pelajaran pendidikan agama Buddha. (3) Diduga secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan antara kedisiplinan siswa dan keaktifan kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci terhadap prestasi siswa pada mata pelajaran pendidikan agama Buddha. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian populasi, sehingga semua subyek yang ada di dalam wilayah penelitian dijadikan subyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa beragama Buddha SMP negeri 2 Kaloran Temanggung yang berjumlah 75 siswa. Pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakanangket/kuesioner, wawancara dan dokumentasi. Hasil Dan Pembahasan Hasil Penelitian Hasil uji validitas disiplin belajar memperlihatkan dari 30 item yang diuji menghasilkan semua item valid dengan validitas yang baik dilihat dari nilai KMO sebesar 0,723. Untuk validitas instrument keaktifan kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci (pks) agama buddha memperlihatkan dari 8 item yang diujikan memiliki validitas yang baik dilihat dari nilai KMO sebesar 0,808. Sedangkan instrument prestasi belajar pendidikan agama Buddha memperlihatkan dari 31 item pertanyaan yang diujikan memiliki validitas yang baik dilihat dari nilai KMO sebesar 0,832. Setelah dilakukan uji validitas dilanjutkan dengan uji reliabilitas yang dimaksudkan untuk mengetahui hasil pengukuran tersebut dapat dipercaya atau tidak. Koefisien reliabilitas alpha skala disiplin belajar menunjukkan reliabilitas yang baik dilihat dari nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,833. Begitu juga dengan instrument kegiatan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
ekstrakurikuler pendalaman kitab suci (pks) agama buddha memiliki reliabilitas yang baik dilihat dari nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,899. Sedangkan instrument prestasi belajar pendidikan agama Buddha juga menunjukkan reliabilitas dengan nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,899. Berdasarkan dari hasil uji normalitas dapat disimpulkan bahwa variabel disiplin belajar, kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci (pks) agama buddha, dan prestasi belajar pendidikan agama Buddha mempunyai sebaran data yang berdistribusi normal. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa disiplin belajar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar pendidikan agama Buddha yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi yaitu sebesar 0.263. Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang ditunjukkan oleh nilai nilai koefisien determinasi yaitu sebesar 29,7%. Secara bersama-sama Disiplin Belajar dan Keaktifan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendalaman Kitab Suci Agama Buddha berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Buddha yang ditunjukkan oleh harga koefisien determinasi sebesar 0.736. Kesimpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a) Disiplin belajar akan meningkatkan prestasi belajar sebesar 26,3%. b) kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci (PKS) agama buddha berpengaruh besar terhadap prestasi belajar sebesar 29,7%. c) Secara bersama-sama disiplin belajar dan kegiatan ekstrakurikuler pendalaman kitab suci (PKS) agama buddha berpengaruh terhadap prestasi belajar senilai 73,6%. Saran Berbagai fenomena telah ditemukan dalam penelitian, beberapa saran yang dapat dikemukakaan adalah sebagai berikut:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
71
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
a) Disiplin belajar yang sudah baik selama ini perlu dipertahankan dan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan prestasi belajar. b) Perlu kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang lain untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih, sehingga prestasinya meningkat dari hasil pengalamannya. c) Perlu ada penelitian yang sejenis dengan tema yang berbeda untuk menguji berbagai teori serta dengan memilih variabel lain yang masih dalam lingkup prestasi belajar untuk mengungkap variabel lain yang berpengaruh besar terhadap prestasi belajar. DAFTAR PUSTAKA Algifari. 2009. Analisis Regresi Teori, Kasus dan Solusi Edisi 2. Yogyakarta: BPFE. Arif Rahman, Masykur. 2011. Kesalahankesalahan Fatal Paling Sering Dilakukann Guru dalam Kegiatan Belajar-Mengajar. Yogyakarta: Diva Press. Anonim. 2012. Keterkaitan Kegiatan Ekstrakulikuler Dan Prestasi Belajar Di Sekolah. (http://pinarac.wordpress.com/2012/04/0 6/keterkaitan-kegiatanekstrakulikulerdan-prestasi-belajar-di-sekolah/). Diakses pada tanggal 05 Mei 2012. Anneahira. 2012. Pengaruh Disiplin Terhadap Prestasi Belajar Siswa. (http://www.anneahira.com/pengaruhdisiplin-terhadap-prestasibelajar.htm). Diakses pada tanggal 05 Mei 2012. Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto, Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. A.S. Moenir. 2010. Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Candra, Andriani M. 2011. Hubungan Antara Motivasi Belajar, Kemandirian Belajar Dan Disiplin Belajar Dengan Prestasi
Belajar Akuntansi Siswa Kelas XII IPS SMA Islam 1 Sleman Tahun Ajaran 2010/2011. Yogyakarta: UNY. David
W. Johnson. 1979. Educational Psychology. New Jersey: PENTICEHALL, INC.
Charles Schaefer. 1994. Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplinkan Anak, Jakarta: Mitra Utama, Depdiknas. 2003. Pedoman Pembuatan Laporan Hasil Belajar SMP. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Dianingtyas, Anindita. 2010. Pengaruh Keaktifan Siswa Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Di Sekolah Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Kelas XI IPS SMA N 5 Yogyakarta Tahun Ajaran 2009/2010. Yogyakarta: UNY. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. 1987. http://www.scribd.com/doc/29026218/Pe nelitian-Pengaruh-Ekskul-TerhadapPrestasi-Belajar. Hadi,
Sutrisno. 1982. Analisis Yogyakarta: Andi Offset.
Regresi.
Halim, Thursan. 2000. Belajar Secara Efektif. Jakarta: Puspa Swara. Moh. Uzer Usman. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya. Prawira, Adi Putra. 2010. Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Disiplin Belajar Dengan Prestasi Belajar Ekonomi Siswa SMA Negeri 1 Wonogiri Tahun Ajaran 2008/2009, menyatakan bahwa terdapat hubungan posotif dan tidak signifikan antara Disiplin Belajar dengan Prestasi Belajar Ekonomi Siswa SMA Negeri 1 Wonogiri Tahun Ajaran 2008/2009. Yogyakarta: UNY. Purwanto, Ngalim. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
72
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Muhibbin Syah. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Nana Sudjana. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya. WS. Winkel. 2005. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Satmawati, Natalia Siwi. 2010. Pengaruh Disiplin Belajar dan Lingkungan Belajar terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas X Program Keahllian Akuntansi SMK Negeri 1 Bantul Tahun Ajaran 2009/2010. Yogyakarta: UNY. Slameto. 2010. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suryosubroto. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Tulus Tu’u. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo. Uztati, Delia. 2011. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Media Pembelajaran dan Disiplin Belajar Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Keuangan Siswa Kelas XI Kompetensi Keahlian Akuntansi SMK Negeri 7 Yogyakarta Tahun Ajaran 2010/2011. Yogyakarta: UNY.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
73
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
PENGARUH MEDIA GAMBAR DAN LAGU BUDDHIS TERHADAP HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA Hariyanto
[email protected] Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran melalui presentasi materi oleh guru dengan menggunakan buku paket, Penelitian ini menggunakan rancangan Nonequivalent Control Group Design. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III Sekolah Dasar yang beragama Buddha di Kabupaten Wonogiri. Uji normalitas menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test dan uji homogenitas menggunakan Levence Test pada SPSS. Sedangkan untuk menguji hipotesis menggunakan Independent Sample T Test dan Paired Sample T Test pada SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor hasil belajar pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi normal dan homogen. Rata-rata peningkatan hasil belajar kelompok kontrol 5,1250 kelompok eksperimen 16,5000. Hasil uji independent sample t test SPSS diketahui Sig. (2-tailed) atau p 0.000. Sedangkan α 0.05 jadi p < α berarti Ho ditolak. Hasil uji paired sample t test SPSS diketahui sig. (2tailed) atau p 0.000. Sedangkan α 0.05 jadi p < α berarti Ho ditolak. Kata Kunci: media gambar dan lagu Buddhis, hasil belajar.
Abstract This study aims to investigate the difference in the learning outcomes of Buddhism education in elementary schools in Wonogiri Regency between the learning that uses the media of Buddhist pictures and songs and the learning through the teacher’s material presentation that uses a course book. It employed a non-equivalent control group design. The research subjects were Year III elementary school students whose religion is Buddhism in Wonogiri Regency. The normality was tested using the One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test and the homogeneity was tested using the Levene Test with SPSS. The hypothesis was tested using the Independent Sample T-Test and Paired Sample T-Test with SPSS. The results of the study show that the learning outcome scores in the experimental and control groups are normally distributed and homogeneous. The average learning outcome improvement in the control group is 5.250 and that in the experimental group is 16.5000. The results of the IndependentSample T-Test with SPSS show Sig. (2-tailed) or p 0.000. Meanwhile, α is 0.05 and p < α, showing that Ho is rejected. The results of the Paired-Sample T-Test with SPSS show Sig. (2-tailed) or p 0.000. Meanwhile, α is 0.05 and p < α, showing that Ho is rejected. Keywords: media of Buddhist pictures and songs, learning outcomes PENDAHULUAN Pendidikan agama merupakan bagian pendidikan untuk melestarikan aspek-aspek sikap dan nilai keagamaan yang dioperasionalkan secara konstruktif dalam masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Pendidikan agama berpengaruh dalam membentuk moral dan kepribadian serta berperan dalam membimbing perilaku seseorang menjadi lebih baik. Pendidikan
agama juga membentuk karakter kemoralan dan kesusilaan bagi seseorang sehingga mampu membedakan antara perilaku yang baik dengan perilaku yang tidak baik. Selain di tempat ibadah, siswa dapat memperoleh pendidikan agama di keluarga maupun di sekolah. “Pendidikan agama Buddha adalah usaha yang dilakukan secara sadar, terprogram serta berkelanjutan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa untuk memperkuat keyakinan dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki moral yang baik, serta
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
74
meningkatkan kompotensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Buddha” (Permendiknas No.22 Tahun 2006). Berdasarkan tujuan pendidikan agama Buddha yang diberikan di Sekolah Dasar, maka tujuan Pendidikan agama Buddha tidak cukup berhenti pada tataran kognitif (pengetahuan), tetapi juga afektif (sikap dan nilai) dan psikomotor (perbuatan). Penguasaan pengetahuan tentang agama Buddha menjadi penting karena siswa dapat bertindak baik apabila pengetahuan tentang agama Buddha yang dimiliki juga baik. Tetapi yang terpenting adalah siswa dapat mempraktikkan pengetahuan tentang agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 materi yang disampaikan meliputi beberapa aspek sebagai berikut: 1. Sejarah, 2. Keyakinan (Saddha), 3. Perilaku/moral (Sila), 4. Kitab Suci Agama Buddha Tripitaka (Tipitaka), 5. Meditasi (Samadhi), dan 6. Kebijaksanaan (Panna). Salah satu media yang dapat mengkonkretkan materi yang bersifat abstrak dan menarik perhatian siswa dalam pelajaran pendidikan agama Buddha adalah media gambar. Media gambar dapat diperoleh melalui internet, website lembaga keagamaan Buddha, buku-buku keagamaan Buddha, dan gambar yang sengaja dicetak. Selain mudah didapat media gambar juga tidak mahal sehingga harganya terjangkau. Media gambar mengkonkretkan materi yang bersifat abstrak. “Semakin konkret materi yang dipelajari siswa, maka semakin mudah siswa belajar. Sebaliknya, semakin abstrak materi yang dipelajari siswa, maka semakin sulit siswa belajar” (Wina Sanjaya, 2008: p. 165). Hasil belajar siswa diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkrit) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Pada saat kondisi seperti ini kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Media dalam posisinya yang sedemikian rupa akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi siswa. Kenyataan ini didukung oleh teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale dalam Zainuddin Arif (1994: p. 79), yaitu teori
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience) seperti Gambar 1 berikut. Teori ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner.
Gambar 1. Kerucut Pengalaman Dale Hasil belajar siswa diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkrit) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Pada saat kondisi seperti ini kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Media dalam posisinya yang sedemikian rupa akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi siswa. Media gambar dapat menarik perhatian siswa. Menurut Hoy (2007: p. 251) “In sensory memory, control processes of perception; attention and recognition determine what will be transferred to working memory and held briefly for further use”. Perhatian merupakan langkah pertama dalam proses pembelajaran. Selain itu, perhatian berperan penting terhadap stimulus dalam hal ini materi ajar yang diterima sensor memory. Materi yang disampaikan guru pendidikan agama Buddha dapat diterima apabila perhatian siswa terfokus. Lagu yang diperdengarkan kepada siswa pada waktu proses pembelajaran agama Buddha adalah lagu buddhis yang berhubungan dengan materi yang disampaikan. Shinta Rahmawati (2001: p. 86-89), mengutip pernyataan Gardiner, berpendapat bahwa “musik dapat membantu seseorang memfokuskan diri pada hal yang dipelajari, meningkatkan prestasi belajar membaca dan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
75
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
matematika anak usia enam dan tujuh tahun”. Lagu buddhis yang dinyanyikan dapat menimbulkan rasa senang. Dengan timbulnya perasaan senang siswa lebih bersemangat untuk mengikuti proses belajar mengajar sehingga materi pendidikan agama Buddha yang telah diterima tidak mudah dilupakan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru pendidikan agama Buddha, khususnya di Kabupaten Wonogiri ketika melaksanakan pembelajaran di kelas dengan presentasi materi oleh guru dengan menggunakan buku paket. Guru hanya menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan materi pendidikan agama Buddha sehingga materi pendidikan agama Buddha yang bersifat abstrak tidak dapat dipahami siswa karena tidak konkrit, Kegagalan menafsirkan materi ataupun siswa yang mudah lupa terhadap materi pendidikan agama Buddha menjadi salah satu sebab hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar kelas III tidak optimal, terbukti dengan skor hasil belajar pendidikan agama Buddha masih rendah yaitu 6,5 (Sumber: Daftar Nilai Pendidikan Agama Buddha siswa SD Negeri I Karang tahun ajaran 2009-2010). Selain itu, beberapa alasan guru pendidikan agama Buddha belum menggunakan media gambar dan lagu Buddhis secara optimal adalah: 1. mengajar menggunakan buku paket sudah merupakan kebiasaan guru pendidikan agama Buddha, 2. pembelajaran menggunakan media gambar dan lagu Buddhis membuat repot, dan 3. belum ada penelitian yang menunjukkan manfaat media gambar dan lagu buddhis terhadap hasil belajar pendidikan agama Buddha hasil wawancara 13 Agustus 2010. Rumusan masalah berdasarkan uraian di atas adalah: 1. Adakah perbedaan signifikan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen? 2. Seberapa besar pengaruh pembelajaran media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha? Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen, dan 2) mengetahui besarnya pengaruh media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha Tingkat Sekolah Dasar.
Hasil belajar disebut juga dengan prestasi akademik (academic achievement). Pengertian prestasi belajar dari Good (1945: p. 27) adalah: "knowledge attained or skills developed in the school subjects usually designated by tes score or by marks assigned by teachers, or by both. The achievement of pupils in the so called "academic" subjects, such as reading arithmatic, and history, as contrasted with skills developed in such areas as industrial art and physical education". Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: p. 250) “hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran”. Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah proses belajar berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan siswa sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagaimana yang dikemukakan Oemar Hamalik (1995: p. 48) hasil belajar adalah “Perubahan tingkah laku subjek yang meliputi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dalam situasi tertentu berkat pengalamannya berulang-ulang”. Pendapat tersebut didukung oleh Nana Sudjana (2005: 3) “hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya”. Gambar termasuk jenis media grafis. Media grafis berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan melalui saluran penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan dalam simbol-simbol komunikasi visual. Selain menyalurkan pesan pembelajaran, media grafis juga berfungsi menarik perhatian siswa, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan fakta yang cepat dilupakan apabila tidak digrafiskan oleh siswa. Menurut Sadiman (2009: 29) “media gambar memiliki kelebihan, beberapa kelebihan media gambar: a. sifatnya konkrit, gambar lebih
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
76
realistis menunjukan pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata, b. gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu. Tidak semua benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan tidak selalu anakanak dapat dibawa ke objek/peristiwa tersebut, c. media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan anak didik. d. gambar dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman, e. gambar harganya murah dan gampang didapat serta digunakan tanpa peralatan khusus”. Gambar merupakan media visual yang penting dan mudah didapat, media gambar dapat mengganti kata-kata verbal. Mengkonkritkan yang abstrak, dan mengatasi pengamatan manusia. “Gambar membuat siswa dapat menangkap ide atau informasi yang terkandung di dalamnya dengan jelas, lebih jelas dari yang diungkapkan melalui kata-kata” (Yudhi Munadi, 2008: p. 89). Salah satu yang termasuk media audio adalah lagu. Lagu atau nyanyian adalah sebuah alunan nada dan bunyi yang dapat didengarkan oleh manusia di manapun berada. Menurut situs http://id.wikipedia.org/wiki/Lagu dijelaskan bahwa “lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama)”. Sedangkan dalam situs http://de.wikipedia.org/wiki/Lied juga dikatakan bahwa: “Der Begriff Lied (v. althochdt.: liod Gesungenes) bezeichnet ein gesungenes Musikstück, das aus mehreren gleich gebauten gereimten Strophen oder einer auskomponierten variierenden Melodie für jede Strophe besteht. Das Lied stellt die ursprünglichste und schlichteste Form der Lyrik dar. Im Lied findet das menschliche Gefühl in seinen Stimmungen und Beziehungen eine reine und intensive Ausdrucksmöglichkeit”. Atan Hamju (1980: p. 26) menyatakan bahwa “lagu adalah ratusan ekspresi dasar dari hati manusia yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bahasa bunyi”. Lagu terbentuk dari gabungan dari unsur-unsur irama, melodi,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
harmoni, bentuk atau struktur lagu dan ekspresi sebagai kesatuan. Lagu yang diciptakan oleh manusia dan didengarkan oleh manusia memiliki berbagai pesan atau informasi. Banyak yang dapat diambil dari lagu atau nyanyian yang diciptakan oleh manusia. Selain informasi yang didapat, dalam lagu juga terdapat perasaan sang pencipta lagu tersebut. Melalui lagu perhatian siswa dapat terfokus pada materi belajar. Seperti pendapat Daveson & Edwards (1998) “their summary showed that there is some evidence of benefit to students with severe intellectual disabilities through the use of music in an art primary school setting. Improvements in on-task behaviour, development of auditory skills, and attention to task were noted”. Selain itu, musik dapat mempengaruhi sikap siswa dalam proses belajar mengajar Pendidikan Agama Buddha. Belajar dengan cara mendengarkan musik akan menyenangkan siswa dan siswa tidak akan merasa bosan dalam mempalajarinya. Seperti dijelaskan Lazanov dalam Porter dan Hernacki (2003: p. 72) yang mengemukakan bahwa, “musik yang harmonis merupakan rangsangan terbaik bagi perkembangan otak. Saat mendengarkan musik, lirik lagu akan merangsang otak kiri dan melodinya akan merangsang otak kanan”. Penggunaan lagu dalam pembelajaran pada umumnya dapat memberikan gambaran kepada siswa mengenai ungkapan sebuah lagu karena siswa tidak hanya mendengarkan saja melainkan siswa ikut menyanyikan lagu tersebut. Jamalus (1988: p. 2) mengemukakan pendapat yang sama bahwa “penghayatan suatu lagu melalui kegiatan mendengarkan bernyanyi, bermain musik, bergerak mengikuti musik, membaca musik, sehingga mendapat gambaran yang menyeluruh tentang ungkapan lagu tersebut”. Menurut Schewe, (6 November 2009) bahwa “Shahin said that when a person listens to sounds over and over, especially for something as harmonic or meaningful as music and speech, the appropriate neurons get reinforced in responding preferentially to those sounds compared to other sounds”. Lagu juga berfungsi untuk mengulang-ulang materi belajar, ketika siswa mendengarkan suara yang diulang-ulang, terutama suara yang harmonik atau bermakna seperti musik dan ceramah, neuron siswa lebih cepat, lebih tepat dan lebih kuat merespon dengan mendengarkan musik dibandingkan menggunakan suara lainnya.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
77
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Informasi yang dipersepsi siswa akan mendapat perhatian, kemudian ditransfer ke memori jangka pendek. Memori jangka pendek adalah sistem penyimpanan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa detik. Satu cara untuk menyimpan informasi dalam memori jangka pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya berkali-kali. Memori jangka pendek atau sering disebut working memory adalah suatu proses penyimpanan memori sementara, informasi yang disimpan hanya dipertahankan selama informasi tersebut masih dibutuhkan. Kapasitas memori jangka pendek sangat terbatas untuk menyimpan berbagai informasi, informasi tersebut hanya akan bertahan dalam jangka waktu tertentu. Proses mengingat dalam memori jangka pendek tidak memerlukan waktu yang lama, Memori jangka panjang adalah suatu proses penyimpanan informasi yang relatif permanen. Proses encoding pada memori jangka panjang dilakukan dengan penyaringan berdasarkan arti dari informasi itu bagi siswa, oleh karena itu penyimpanan informasi dapat berlangsung secara permanen. Kapasitas memori jangka panjang sangat besar, sehingga memungkinkan untuk menyimpan informasi yang banyak selama hidup organisme (siswa). (Santrock, 1995: p. 18). Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori tempat menyimpan informasi untuk periode panjang. Paivio (Salmiyati, 2007: p. 21) mengembangkan dual coding theory (teori pengkodean ganda), yang mengemukakan bahwa siswa memiliki sistem pengolahan informasi visual dan pengolah informasi verbal. Narasi dalam bentuk audio masuk ke dalam sistem verbal, sedangkan gambar masuk ke dalam sistem visual. Menurut teori tersebut, terdapat aktivitas dalam mengolah informasi dalam bentuk teks dan gambar (visual). Berikut tahapan-tahapan aktivitas tersebut, yaitu: 1. Siswa memilih informasi yang relevan dengan teks, selanjutnya membentuk representasi proposisi berdasarkan teks dan mengorganisasikan informasi verbal yang dipilih ke dalam mental model verbal. 2. Siswa juga memilih informasi yang relevan dari gambar, selanjutnya membentu “image” dan mengorganisasikan kedua informasi visual tersebut ke dalam mental model visual.
3. Menghubungkan kedua mental model terbentuk dari teks dan model yang terbentuk dari gambar. Pada situasi tertentu para siswa akan membentuk mental connection antara teks dengan gambar akan menunjang memori dan pemahaman siswa apabila keduanya diletakkan saling berdekatan.
Gambar 2 Model umum Teori Dual Coding Peneleitian Yos Sudarman berjudul “Pengaruh Strategi Pembelajaran Berbantuan Media Terhadap Hasil Belajar Musik: Studi Eksperimen Pada SD di Kota Padang”. Diterbitkan oleh jurnal bahasa dan seni Vol 7 No 2 September 2006 hal 76 – 135. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok siswa di kelas eksperimen dan kontrol yang pada awalnya mempunyai pengetahuan musik dan keterampilan membaca notasi relatif sama. Setelah diberikan perlakuan belajar musik dengan strategi pembelajaran berbantuan media dan konvensional menunjukkan hasil belajar yang signifikan. Hasil belajar musik bagi siswa yang diberikan perlakuan dengan strategi pembelajaran berbantuan media ternyata lebih tinggi daripada yang diberi perlakuan menggunakan strategi pembelajaran konvensional yang ditunjukkan dengan data statistic t hitung = 2,91 lebih besar t tabel pada α= 95% = 1 - ∞ pada derajat kebebasan (df) = n – 1 adalah 1, 69. Penelitian Rini Prisma Gusti (2005) yang berjudul upaya peningkatan pemahaman konsep biologi melalui pendekatan kontektual dengan model pembelajaran berbasis gambar (picture and picture) pada siswa kelas XI IPA SMA Muhamadiyah Padang Panjang dihasilkan beberapa kesimpulan diantaranya: 1. Penggunaan model pembelajaran berbasis gambar dapat dijadikan alternatif pilihan dalam pembelajaran biologi, namun sebaiknya diselingi dengan model pembelajaran lain yang bervariasi karena tidak ada satupun model pembelajaran yang efektif untuk semua materi
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
78
dan segala kondisi. 2. Untuk menggunakan model pembelajaran picture and picture ini guru perlu teliti memilih topik serta gambar yang sesuai sehingga gambar tersebut dapat meningkatkan pemahaman konsep biologi siswa. 3. Bagi siswa yang memiliki kemampuan dasar kognitif rendah penggunaan model pembelajaran picture and picture sebaiknya dilatih berulang-ulang yakni perlu beberapa siklus sehingga hasilnya lebih efektif. 4. Penggunaan pendekatan kontektual dengan model gambar ini dianjurkan dan efektif untuk sekolah swasta yang jumlah jam biologinya sedikit namun memiliki input siswa yang cukup banyak. METODE PENELITIAN Berisi jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, target/sasaran, subjek penelitian, prosedur, instrumen dan teknik analisis data serta hal-hal lain yang berkait dengan cara penelitiannya. target/sasaran, subjek penelitian, prosedur, data dan instrumen, dan teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data serta hal-hal lain yang berkait dengan cara penelitiannya dapat ditulis dalam sub-subbab, dengan sub-subheading. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Pemilihan metode eksperimen ini karena peneliti merancang pembelajaran yang belum diketahui keefektifan media gambar, dan lagu buddhis dibandingkan dengan pembelajaran Agama Buddha secara konvensional. Peneliti mendesain pembelajaran agama Buddha kelas III semester genap dengan menggunakan media gambar dan lagu Buddhis kemudian melakukan percobaan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Metode eksperimen dapat menunjukkan lebih tajam suatu hubungan sebab akibat, apakah penggunaan media gambar dan lagu Buddhis yang telah dipilih peneliti berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa Sekolah Dasar. Subjek Penelitian tidak ditentukan secara acak sehingga metode eksperimen yang digunakan merupakan eksperimen semu atau quasi experimental desain (Ibnu Hadjar, 1996: p. 334). Rancangan penelitian ini menggunakan Nonequivalent Control Group Design (Ibnu Hadjar, 1996: 334). Rancangan penelitian ini disajikan pada
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Tabel 1 berikut: Tabel 1. Desain penelitian
Kelompok Eksperimen
01
X2
O2
Kelompok Kontrol
02
X0
O2
Keterangan Tabel 1: O1 : pretest kelompok eksperimen O2 : posttest kelompok eksperimen O3 : pretest kelompok kontrol O4 : posttest kelompok kontrol X1: pembelajaran menggunakan media gambar dan lagu buddhis X2 : pembelajaran tanpa menggunakan media gambar dan lagu buddhis Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tingkat Sekolah Dasar yang terdapat siswa yang beragama Buddha di Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan April 2011. Treatment atau pemberian perlakuan pada kelompok eksperimen dilakukan guru yang sudah direkrut dengan mengikuti jadwal pelajaran di kelas yang bersangkutan. Setiap pelaksanaan treatment peneliti selalu hadir di kelas untuk memastikan bahwa program dijalankan guru. Treatment berupa media gambar dan lagu Buddhis yang dipakai guru dalam pembelajaran menyesuaikan dengan silabus, RPP yang telah peneliti buat. Subjek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas III yang beragama Buddha di Kabupaten Wonogiri yang berjumlah 49 siswa tersebar di beberapa sekolah. SD Negeri 1 Karang 16 siswa, SD Negeri 1 Randusari 16 siswa, SD Negeri 1 Bubakan 10, SD Negeri 2 Giriwoyo 5, dan SD 1 Wonogiri 2 siswa. Penentuan sampel dalam penelitian ini tidak dapat menggunakan teknik acak secara individu karena pembandingnya berupa sekolah. Menurut Driscoll dalam Anglin (1995: p. 323), “it is not always possible or desirable in instructional research to randomly assign individual students to treatment conditions or to assign some students to receive a particular treatment which others will not get.” Sampel dalam penelitian ini berupa kelompok, karena
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
79
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tidak memungkinkan membuat kelompok dengan pemilihan sampel secara individu acak, maka sampel kelompok diwakili oleh sekolah. Pemilihan sampel untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan dengan cara mengundi sekolah sehingga diperoleh 2 sekolah yaitu Sekolah Dasar Negeri 1 Karang dan Sekolah Dasar Negeri 1 Randusari sebagai sampel, kemudian 2 sekolah tersebut diundi lagi untuk menentukan sekolah yang menjadi kelompok kontrol dan sekolah yang menjadi kelompok eksperimen. SD Negeri 1 Karang sebagai kelompok eksperimen dan SD Negeri 1 Randusari sebagai kelompok kontrol. Prosedur Persiapan dengan melakukan kegiatan prasurvai untuk mengetahui situasi dan kondisi pembelajaran Agama Buddha tingkat sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri. Kemudian menyiapkan materi kelas III semester II untuk 4 kali pertemuan, yaitu standar kompetensi “Memahami hari raya agama Buddha”. Kompetensi dasar: a. menjelaskan latar belakang hari raya agama Buddha, b. mendeskripsikan makna hari raya agama Buddha. Materi yang telah disiapkan kemudian dituangkan dalam dua skenario pembelajaran, yaitu pembelajaran dengan menggunakan media gambar dan lagu buddhis serta pembelajaran melalui presentasi materi oleh guru dengan menggunakan buku paket. Menyusun dan membuat kisi-kisi tes pretest dan postest, pretest dan postest digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Bahan instrumen pretest dan postest disesuaikan dengan materi yang telah ditentukan. Memvalidasi instrumen tes dengan cara mengujicobakan instrumen tes kepada kelas yang bukan merupakan kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen. Hasil uji coba dianalisis menggunakan software Iteman versi 3 untuk mendapatkan instrumen tes tertulis yang valid dan reliabel. Validitas media dan validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran melalui proses penilaian ahli (expert judgement). Setelah menentukan gambar dan lagu Buddhis yang akan digunakan sebagai media, serta Rencana Pelaksanaan Pembelajaran telah selesai disusun, peneliti kemudian menyiapkan lembar validasi yang digunakan untuk memvalidasi media dan RPP yang telah disiapkan. Ahli yang dilibatkan
untuk memvalidasi media adalah ahli media pendidikan agama Buddha, sedangkan untuk RPP adalah guru pendidikan agama Buddha yang tidak mengajar pendidikan Agama Buddha di sekolah yang dijadikan tempat penelitian. Melakukan koordinasi dengan guru pendidikan agama Buddha. Peneliti menghubungi guru pendidikan agama Buddha sebanyak 3 orang sesuai dengan banyaknya kelompok penelitian yaitu guru pendidikan agama Buddha SD N Karang I, SD N Karang II, dan SD Negeri Randusari I. Peneliti melatih guru-guru yang telah direkrut selama 2 hari untuk menjelaskan tentang prosedur dan tugas yang dilakukan, yaitu mengajar pendidikan agama Buddha dengan menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dan serta mengambil data penelitian. Pelaksanaan pretest, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberi tes tertulis yang sama kemudian nilainya diambil sebagai data hasil pembelajaran awal. Proses pembelajaran, kedua kelompok diberi pembelajaran dengan materi yang sama tetapi menggunakan media berbeda, kelompok eksperimen melakukan pembelajaran memanfaatkan media gambar dan lagu Buddhis dan kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru dengan menggunakan buku paket. Proses pembelajaran ini berlangsung selama 4 kali pertemuan dengan materi menjelaskan hari raya Agama Budddha. Guru melakukan pembelajaran di kelas pada masing-masing kelompok menyampaikan rancangan materi pembelajaran latar belakang hari raya agama Buddha dan mendeskripsikan makna hari raya agama Buddha. Materi tersebut ditentukan berdasarkan standar isi, kompetensi dasar dan sesuai materi dalam proses pembelajaran pada waktu penelitian dilakukan. Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bagi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dirancang oleh peneliti kemudian dikonsultasikan kepada guru Pendidikan agama Buddha SD Negeri Karang I dan SD Negeri Randusari I. RPP untuk kelas kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket sedangkan kelas eksperimen RPP dirancang menggunakan media gambar dan lagu buddhis. Pelaksanaan posttest, setelah proses pembelajaran selesai, kedua kelompok diberi posttest yang sama berupa tes tertulis kemudian
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
80
diambil nilainya sebagai data hasil pembelajaran akhir. Analisis data dan interprestasi hasil, datadata yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 16 untuk menguji hipotesis. Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data tentang hasil belajar pendidikan agama Buddha siswa. Berdasarkan data yang dikumpulkan maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik test, pretest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, memberikan treatmen pada kelompok eksperimen dengan menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dalam pembelajaran agama Buddha dan yang terakhir posttest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Guna mengungkap hasil belajar agama Buddha siswa, instrumen yang digunakan adalah tes. Tes dilakukan untuk mengungkap hasil belajar siswa sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Bentuk tes berupa tes objektif dengan 4 (empat) pilihan jawaban. Penyusunan tes ini mengacu pada teknik penyusunan tes objektif pilihan ganda. Penyusunan tes objektif pilihan ganda mencakup a. Penyusunan spesifikasi tes dan menulis soal tes Penyusunan spesifikasi tes dan soal tes sesuai dengan proses pembelajaran di sekolah. Tes disusun berdasar kompetensi dasar yang tercermin dalam kelompok bahasan, berdasar tabel spesifikasi tes disusun 30 butir soal. Materi tes berdasarkan standar isi pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yaitu materi latar belakang hari raya agama Buddha dan mendeskripsikan makna hari raya agama Buddha b. Melakukan uji coba tes dan menganalisis butir soal Syarat validitas dan reliabilitas suatu tes maka perlu dilakukan uji instrumen. Uji instrumen dilakukan dengan 2 langkah yaitu mengujicobakan instrumen dan analisa instrumen. Uji coba dilakukan di SD yang tidak menjadi subjek penelitian dan SD yang setara. Uji coba tes dilakukan di SD Negeri I Bubakan.
c. Merakit tes Berdasarkan hasil uji coba dan analisis tersebut di atas, maka butir soal yang telah terbukti valid dipilih 15 butir soal dan digunakan sebagai instrumen penelitian. Pemilihan didasarkan sebaran indikator dari kisi-kisi yang telah dibuat. Tabel 2 Kisi-kisi Tes Tertulis Standar Kompetensi Memahami Hari Raya Agama Buddha Kelas/Semester III/Genap No 1
Kompetensi Dasar Menjelaskan agama
hari-hari
Buddha
dan
belakangnya
Indikator raya macam-macam
Butir hari 1,2,4,6,7,9,10,12,1
latar raya agama Buddha, Magha Puja, Waisak,
3,16,17,21,23,25, 27
Asadha. Kathina.
Teknik Analisis Data 1. Uji Persyaratan Analisis a. Uji Normalitas Uji normalitas dilaksanakan sebelum pengujian hipotesis yang bertujuan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data menggunakan one-sample KolmogorovSmirnov test pada SPSS. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan sebelum pengujian hipotesis yang bertujuan untuk mengetahui variansi kedua kelompok sama atau tidak, apabila variansi sama berarti data homogen. Uji homogenitas data menggunakan Levence Test pada SPSS. 2. Uji Hipotesis
a. Hipotesis 1: Ho: Tidak ada perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Ha: Ada perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
81
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Data yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah gain skor kelompok eksperimen dan gain skor kelompok kontrol. Gain skor kelompok eksperimen diperoleh dari skor postest dikurangi skor pretest. Sedangkan gain skor kelompok kontrol diperoleh dari skor postest dikurangi skor pretest. Data yang digunakan terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitasnya kemudian dilakukan analisis menggunakan independent sample t test pada SPSS. Hasil analisis kemudian diuji signifikansinya pada taraf signifikansi 5% atau 0,05. b. Hipoteisi 2: Ho: Tidak lebih berpengaruh positif pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Ha: Lebih berpengaruh positif pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Data yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah skor pretest kelompok eksperimen dan skor postest kelompok eksperimen. Data yang digunakan terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitasnya kemudian dilakukan analisis menggunakan paired sample t test pada SPSS. Hasil analisis kemudian diuji signifikansinya pada taraf signifikansi 5%. Kesimpulan apakah Ho diterima atau ditolak, diperoleh dengan cara membanding nilai sig dari hasil melalui SPSS dengan taraf signifikansi 5%. Jika nilai sig, < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Begitu juga sebaliknya, jika nilai sig. > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Instrumen tes digunakan untuk mengetahui data sebelum dan sesudah perlakuan pembelajaran dengan menggunakan media gambar dan lagu buddhis dalam pembelajaran Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri. Data yang diperoleh dari hasil pretest dan postest merupakan data mentah yang perlu diolah dan dianalisis. Adapun data telah terkumpul dan akan dianalisis disajikan sebagai berikut: Data yang diperoleh dari dari kelompok eksperimen berupa data: a. Data skor pretest diperoleh dari pemberian tes tertulis sebelum pembelajaran Agama Buddha dengan menggunakan media gambar dan lagu Buddhis. Sebaran skor hasil pelaksanaan pretest disajikan dalam diagram batang berikut ini:
Gambar 3 Sebaran Skor pretest kelompok eksperimen Skor hasil pelaksanaan pretest pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa sebanyak 6 anak belum mencapai KKM 73 dan sebanyak 10 anak telah mencapai KKM 73. b. Data skor postest diperoleh dari pemberian tes tertulis sesudah pembelajaran Agama Buddha dengan menggunakan media gambar dan lagu Buddhis. Sebaran skor hasil pelaksanaan postest disajikan dalam diagram batang berikut ini:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
82
belum mencapai KKM 73 dan sebanyak 4 anak telah mencapai KKM 73. b. Data skor postest diperoleh dari pemberian tes tertulis sesudah pembelajaran Agama Buddha melalui presentasi materi guru dengan menggunakan buku paket. Sebaran skor hasil pelaksanaan postest disajikan dalam diagram batang berikut ini:
Gambar 4. Sebaran skor postest kelompok eksperimen Skor hasil pelaksanaan postest pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa sebanyak 16 anak telah mencapai KKM 73. Deskripsi data penelitian pada kelompok eksperimen secara keseluruhan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 2 Deskripsi Data Penelitian Kelompok Eksperimen N
Min
Max
Mean
Std.
Varians
Deviasi Pretest
16
53.00
87.00
67.1250 9.98582
99.717
Postets
16
73.00
100.00 83.6250 8.79299
77.317
Valid N 16
Data yang diperoleh dari dari kelompok eksperimen berupa data: a. Data skor pretest diperoleh dari pemberian tes tertulis sebelum pembelajaran Agama Buddha melalui presentasi materi guru dengan menggunakan buku paket. Sebaran skor hasil pelaksanaan pretest disajikan dalam diagram batang berikut ini:
Gambar 6. Sebaran skor postest kelompok kontrol Skor hasil pelaksanaan postest pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa sebanyak 11 anak belum mencapai KKM 73 dan sebanyak 5 anak telah mencapai KKM 73. Deskripsi data penelitian pada kelompok eksperimen secara keseluruhan disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 3. Deskripsi Data Penelitian Kelompok kontrol Data Skor
P
Α
Hasil Distribusi data
Pretest
0,574 0,05 p > α Normal
Postets
0,100 0,05 p > α Normal
A. Analisis Data 1. Uji Normalitas Data a. Data Kelompok Eksperimen Hasil uji normalitas data dengan menggunakan one-sample KolmogorovSmirnov Test pada kelompok eksperimen adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Output one-sample KolmogorovSmirnov Test untuk menguji normalitas data kelompok eksperimen Gambar 5. Sebaran skor pretest kelompok kontrol Skor hasil pelaksanaan pretest pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa sebanyak 12 anak Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
83
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Uji normalitas data pada kelompok eksperimen untuk menguji hipotesis: Ho : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal Ha : Sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal Normalitas terpenuhi apabila Asymp. Sig. (2-tailed) atau p output dari one-sample Kolmogorov-Smirnov Test lebih besar dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan, atau dengan kata lain apabila P > α maka Ho diterima dan apabila p < α maka Ho ditolak. Berdasarkan hasil uji data kelompok eksperimen di atas dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa semua data kelompok eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal karena p semua hasil uji data menunjukan lebih besar dari 0,05. Hasil uji normalitas data kelompok eksperimen disederhanakan seperti tabel berikut:
Tabel 5. Hasil uji normalitas data pada kelompok eksperimen Data Skor
P
Α
Hasil
apabila p < α maka Ho ditolak. Berdasarkan hasil uji data kelompok kontrol di atas dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa semua data kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal karena p semua hasil uji data menunjukan lebih besar dari 0,05. Hasil uji normalitas data kelompok kontrol disederhanakan seperti tabel berikut: Tabel 7. Hasil uji normalitas data pada kelompok kontrol N
Min
Max
Mean
Std. Deviasi
Varians
Pretest
16
53.00 80.00
64.1250 8.46857
71.717
Postets
16
60.00 93.00
69.2500 7.46994
55.800
Valid N
16
2. Uji Homogenitas Data a. Data Kelompok Eksperimen Hasil uji data menggunakan Levene Test SPSS pada kelompok eksperimen adalah sebagai berikut: Tabel 8. Output Levene Test untuk menguji homogenitas data Kelompok eksperimen
Distribusi data
Pretest
0,594 0,05 p > α
Normal
Postets
0,407 0,05 p > α
Normal
b. Data Kelompok Kontrol Hasil uji normalitas data dengan menggunakan one-sample KolmogorovSmirnov Test pada kelompok kontrol adalah sebagai berikut: Tabel 6. Output one-sample KolmogorovSmirnov Test untuk menguji normalitas data kelompok kontrol
Uji normalitas data pada kelompok kontrol untuk menguji hipotesis: Ho : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal Ha : Sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal Normalitas terpenuhi apabila Asymp. Sig. (2tailed) atau p output dari one-sample Kolmogorov-Smirnov Test lebih besar dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan, atau dengan kata lain apabila P > α maka Ho diterima dan
Interpretasi dilakukan dengan memilih salah satu statistik yang didasarkan pada rata-rata (based on mean). Hipotesis yang diuji adalah: Ho : varians tiap kelompok sama (homogen) Ha : varians tiap kelompok tidak sama (tidak homogen) Homogenitas varians terpenuhi apabila Based on Mean Sig. Atau p output dari Levene Test lebih besar dari signifikansi (α) yang ditetapkan atau dengan kata lain bila p > α maka Ho diterima dan apabila p < α maka Ho ditolak. Berdasarkan uji data pada kelompok eksperimen di atas dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa data skor pretest dan data skor postest pada kelompok eksperimen memiliki varians yang sama atau homogen karena nilai p > 0,05. Hasil uji homogenitas data menggunakan Levene Test pada kelompok eksperimen disederhanakan dengan tabel berikut:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
84
Tabel 9. Hasil uji homogenitas data kelompok eksperimen
Data skor Tes tertulis
P Α Hasil Varians Kelompok 0,836 0,05 P > α Homogen
b. Data Kelompok Kontrol Hasil uji data menggunakan Levene Test SPSS pada kelompok kontrol adalah sebagai berikut: Tabel 10. Output Levene Test untuk menguji homogenitas data kelompok kontrol
Interpretasi dilakukan dengan memilih salah satu statistik yang didasarkan pada rata-rata (based on mean). Hipotesis yang diuji adalah: Ho : varians tiap kelompok sama (homogen) Ha : varians tiap kelompok tidak sama (tidak homogen) Homogenitas varians terpenuhi apabila Based on Mean Sig. Atau p output dari Levene Test lebih besar dari signifikansi (α) yang ditetapkan atau dengan kata lain bila p > α maka Ho diterima dan apabila p < α maka Ho ditolak. Berdasarkan uji data pada kelompok kontrol di atas dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa data skor pretest dan data skor postest pada kelompok kontrol memiliki varians yang sama atau homogen karena nilai p > 0,05. Hasil uji homogenitas data menggunakan Levene Test pada kelompok kontrol disederhanakan dengan tabel berikut: Tabel 1. Hasil uji homogenitas data kelompok kontrol
Data skor
P
Tes tertulis 0,203
Α
Hasil Varians Kelompok
0,05 P > α Homogen
3. Uji Hipotesis a. Hipotesis 1 Ho: Tidak ada perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang
menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Ha: Ada perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Data yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah gain skor hasil tes pada kelompok eksperimen dan gain skor hasil tes pada kelompok kontrol. Gain skor kelompok eksperimen diperoleh dari skor postest dikurangi skor pretest pada kelompok eksperimen. Sedangkan Gain skor kelompok kontrol didapat dari skor postest dikurangi skor pretest pada kelompok kontrol. Data semua kelompok sudah diuji normalitas dan homogenitasnya dan hasil ujinya diketahui bahwa data berdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen. Kemudian gain skor diuji menggunakan Independent Sample T Tets pada SPSS dan hasilnya diketahui sebagai berikut: Tabel 12. Output independent sample t test untuk menguji hipotesis 1
Ho diterima jika besarnya Sig. (2-tailed) atau p lebih besar dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan atau p > α. Sedangkan Ho ditolak jika besarnya Sig. (2-tailed) atau p lebih kecil dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan atau p < α. Berdasarkan output uji menggunakan Independent Sample T Test di atas dan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan Ho ditolak sebab nilai p sebesar 0,000 atau p < α. b. Hipotesis 2 Ho: Tidak lebih berpengaruh positif pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
85
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Wonogiri dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Ha: Lebih berpengaruh positif pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Data yang digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah skor pretest dan skor postest pada kelompok eksperimen yang sudah diketahui berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Uji data menggunakan paired sample t test SPSS adalah sebagai berikut: Tabel 13. Output Paired Sample T Test untuk menguji hipotesis 2
Ho diterima bila besarnya Sig. (2-tailed) atau p lebih besar dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan atau p > α. Sedangkan Ho ditolak apabila besarnya Sig. (2-tailed) atau p lebih kecil dari taraf signifikansi (α) yang ditetapkan atau p < α. Berdasarkan hasil uji data pretest dan postets pada kelompok eksperimen dengan menggunakan Paired Sample T Test SPSS dan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, sebab diperoleh p sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α, atau p < α. Artinya pada taraf signifikansi 0,05 media gambar dan lagu Buddhis lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri. B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) perbedaan hasil belajar hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. 2) yang lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar Pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah
Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian dengan menggunakan program SPSS diperoleh fakta-fakta sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan hasil belajar hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket. Data yang mendukung fakta ini adalah pada kelompok eksperimen rata-rata skor pretest sebelum menggunakan media gambar dan lagu Buddhis sebesar 67.1250 setelah penggunaan media gambar dan lagu Buddhis sebanyak empat kali pertemuan kemudian rata-rata skor postest 83.6250. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata skor pretest sebesar 64.1250 setelah pembelajaran dilaksanakan selama empat kali pertemuan kemudian diketahui rata-rata skor postest 69.2500. Rata-rata gain skor pada kelompok eksperimen adalah sebesar 16.5000 sedangkan rata-rata gain skor pada kelompok kontrol adalah sebesar 5.1250, sedangkan perbedaan rata-rata gain skor kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebesar 11.3750. Gambaran perbedaan rata-rata hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis (kelompok eksperimen) dibandingkan dengan pembelajaran yang menggunakan presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket (kelompok kontrol) disajikan dalam diagram batang berikut:
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
86
Gambar 7. Perbedaan rata-rata skor hasil belajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol 2. Pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri. Data yang mendukung fakta ini adalah rata-rata pretes sebesar 67.1250 setelah penggunaan media gambar dan lagu Buddhis sebanyak empat kali pertemuan kemudian rata-rata skor postest 83.6250. peningkatan rata-rata hasil belajar sebesar 16.5000. Gambaran rata-rata hasil belajar pendidikan Agama Buddha Tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri sebelum dan sesudah menggunakan media gambar dan lagu Buddhis disajikan dalam diagram batang berikut:
Gambar 8. Rata-rata skor hasil belajar sebelum dan sesudah menggunakan media gambar dan lagu Buddhis
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Terdapat perbedaan hasil belajar pendidikan agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri antara pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Buddhis dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket dibuktikan hasil uji Independent sample t test diperoleh Sig. (2-tailed) atau p sebesar 0,000. Taraf signifikansi 0,05 berarti p lebih kecil dari α, atau p < α yang artinya ada perbedaan hasil belajar. 2. Pembelajaran pada kelompok eksperimen yang menggunakan media gambar dan lagu Buddhis lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar pendidikan Agama Buddha tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Wonogiri dibandingkan pembelajaran pada kelompok kontrol melalui presentasi materi oleh guru menggunakan buku paket dibuktikan hasil uji paired sample t test SPSS diperoleh Sig. (2-tailed) atau p sebesar 0,000. Taraf signifikansi 0,05 berarti p lebih kecil dari α, atau p < α yang artinya lebih berpengaruh positif. Saran 1. Berdasarkan simpulan, dan keterbatasan penelitian, maka disarankan: 2. Untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang hari raya Agama Buddha sebaiknya guru dalam proses pembelajaran menggunakan media gambar dan lagu Buddhis. 3. Sekolah untuk dapat berperan aktif memotivasi para pendidik di dalam mengembangkan keterampilan dan daya kreatifitasnya untuk menyusun pembelajaran dengan menggunakan media sebagai alat dan fasilitas pembelajaran. 4. Pemahaman siswa yang baik terhadap suatu materi pelajaran perlu ditingkatkan, oleh karena itu diperlukan dukungan dari pihak sekolah dan komite sekolah dalam upaya pengadaan media pembelajaran. 5. Untuk kesempurnaan penelitian ini, disarankan kepada peneliti untuk mengadakan penelitian lanjutan dengan menggunakan media pembelajaran yang mencakup materi lebih luas lagi. DAFTAR PUSTAKA Anglin, G.J. (1995). Instructional technology, past, present and future. Colorado: Libraries Unlimited Inc.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
87
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Atan Hamju. (1980). Pengetahuan seni musik. Jilid ketiga. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Aunurrahman. (2009). Belajar dan pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Azhar Arsyad. (2007). Media pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bimo Walgito. (1994). Pengantar psikologi umum (Cet I, Ed.II). Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Benton, D. (1999). Applied human relationship an organizational approach. London: Publisher. BNSP. (2006). Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Burhan. (2004, 9 Juli). Belajar bahasa inggris dengan lagu populer. Tersedia : http://www.republika.co.id. (20 Februari 2011). Danuser, et al .(2004). Musikalische lyrik. Tersedia: http://de.wikipedia.org/wiki/Lied. (5 Februari 2011). Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dimyati & Mudjiono. (1999). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Membangun Ingatan Super. (Terjemahan Esti A. Budihabasari dan Lala Herawat Dharma). Bandung: Kaifa. Erman Suherman. (2003). Evaluasi pendidikan matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Good, C.V. (1945). Dictionary of education. New York: McGraw-Hill Book Company. Hammond, L.D. (2006). Powerful teacher education. Francisco: Jossey-Bass Publisher. Hasan Alwi. (2002). Kamus besar bahasa indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Heinich, R. et al. (1996). Instructional media and the new technologies of instruction. New York: John Wiley & Sons. Hoy, A.W. (2007). Educational psychology (10th ed). New York: Pearson. Ibnu Hadjar. (1996). Dasar-dasar metodologi penelitian kuantitaif dalam pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jamalus. (1988). Pengajaran musik melalui pengalaman musik. Jakarta: Depdikbud. Kosadi Hidayat & Iim Rahmina,. (1995). Perencanaan pengajaran. Bandung: Binacipta.
Djamarah, S.B. (2002). Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Miller, P.H. (1993). Theories of developmental psychology (3rd Ed). New York: W.H. Freeman & Co.
Djamarah, S.B, & Aswan Zain. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Mohammad Surya. (2004). Psikologi pembelajaran dan pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.
Muijs, D & Reynolds, D. (2008). Effektive teaching evidence and practice. London: SAGE Publications Ltd.
Eric Jensen & Karen Markowitz. (2002). Otak Sejuta Gigabyte Buku Pintar Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
88
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Nana Sudjana. (2004). Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sardiman. (2007). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
____________. (2005). Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Salmiyati.
Nana Sudjana & Ahmad Rivai. (2009). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
(2007). Implementasi teknologi multimedia interaktif dalam pembelejaran konsep sistem saraf untuk meningkatkan pemahaman dan Retensi Siswa. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Nuyten, Ronald. (1994). Pengaruh teknik pengajaran dan kepekaan terhadap musik pada hasil belajar struktur Bahasa Jerman mahasiswa strata satu program studi bahasa Jerman FPBS IKIP Jakarta, Tesis: Program Pasca sarjana IKIP Jakarta.
Santrock, J.W. (1995). Perkembangan masa hidup. Jilid I. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Oemar
Slameto. (2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik. (1995). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. _____________. (2006). Proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi aksara. Ortiz, J.M. (2002). Menumbuhkan anak-anak yang bahagia, cerdas, dan percaya diri dengan musik (Terjemahan Juni Prakoso). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Paul Suparno. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Pusatka Filsafat. Porter, D.B. & Hernacki, M. (2003). Quantum learning membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. (Terjemahan Alwiyah Abdurrahman). Bandung: Kaifa. Rini Prisma Gusti. (2005). Upaya peningkatan pemahaman konsep biologi melalui pendekatan kontektual dengan model pembelajaran berbasis gambar. Ujung Pandang. Sadiman, A.S, dkk. (2009). Media pendidikan: Pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shinta Rahmawati. (Ed). (2001). Mencetak anak cerdas dan kreatif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Slavin, R.E. (2000). Educational psychology: Theory and practice (6th ed). Needham Heights, MA: Allyn and Bacon. Sukmadinata, N.S. (2008). Metode penelitian pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Surakhmad Winarno. (1989). interaksi belajar Bandung: Tarsito.
Pengantar mengajar.
Syaiful Sagala. (2006). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta. Tina Afiatin. (2001). Belajar pengalaman untuk meningkatkan memori. Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol. 17. No. 1. 26-35. Wagner, D. & Zeigler, P. (1982). Mit liedern lernen. München: Verlag Für Deutsch. Wasty Soemanto. (1984). Psikologi pendidikan. Jakarta: Bina Aksara Waugh, R.F. & Riddoch, J.V. (2007). The effect of classical music on painting
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
89
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
quality and classroom behaviour for students with severe intellectual disabilities in special schools. International Journal of Special Education, 3, 2. Wina Sanjaya. (2008). Perencanaan dan desain sistem pembelajaran. Jakarta: Kencana. Winkel, W.S. (1989). Psikologi pengajaran. Jakarta: Gramedia. Yos Sudarman. (2006). Pengaruh strategi pembelajaran terhadap hasil belajar musik. Jurnal Bahasa dan Seni.
Yusufhadi Miarso. (2004). Menyemai benih teknologi pembelajaran. Jakarta: Prenada Jakarta. Yudhi Munadi. (2008). Media pembelajaran; sebuah pendekatan baru. Jakarta: Gaung Persada Pers. Zainuddin Arif. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa. Ditulis di belakang SIMPULAN DAN SARAN, dengan mengikuti gaya selingkung E-Journal, seperti tercantum dalam Guideline jurnal ini (yang meratifikasi APA Edisi IV).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
90
MOTIVASI BEKERJA DI VIHĀRA PADA WANITA DEWASA AWAL (Studi Kasus di Vihāra Tanah Putih Semarang) Sukodoyo
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi sulitnya wanita dewasa awal mendapatkan pekerjaan yang yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi wanita dewasa awal untuk bekerja di vihāra. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Subjek penelitian yaitu wanita dewasa awal yang berusia 19-22 tahun, lulusan Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan yang bekerja di Vihāra Tanah Putih Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Keabsahan data dilakukan dengan ketekunan, triangulasi, diskusi teman sejawat, dan perpanjangan keikutsertaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dewasa awal mau bekerja di vihāra karena didasari adanya keyakinan (saddhā) yang kuat tentang hukum sebab akibat (hukum kamma). Wanita dewasa awal ketika bekerja di vihāra mempunyai keyakinan bekerja di vihāra sambil berbuat baik. Selain itu, termotivasi adanya lowongan pekerjaan yang ada di vihāra, mencari modal, dan mencari pengalaman. Kata Kunci: motivasi, bekerja, wanita dewasa awal, vihāra
ABSTRACT The research is inspired by the difficulty of the early adult women to get appropriate jobs. This research aims to know about motivation of the early adult women to work in the monastery. This research is a qualitative research with a phenomenological approach. The research subjects are early adult women aged 19-22 years, graduate from senior high school/vocational school that work in Tanah Putih Monastery, Semarang. The data was collected through interview and observation, and then the data was analyzed qualitatively with these steps: data reduction, data presentation, and conclusion. The validity of the data was done with persistence, triangulation, peer discussions, and extensive of participation. The results showed that early adult women worked in the monastery because it is based on the strong belief of the law of cause and effect (law of kamma). Early adult women while working at the monastery have had the belief that working in a monastery with doing kindness. In addition, they were motivated by the job availability that existed in the monastery, seeking capital, and getting experience. Key words: motivation, work, early adult women, monastery PENDAHULUAN Pada era globalisasi wanita bekerja menjadi suatu hal yang wajar. Kedudukan wanita dan laki-laki sebagai makhluk sosial mempunyai hak yang sama dalam hidup dan menentukan masa depan merupakan salah satu faktor wanita bekerja. Wanita dewasa awal bekerja merupakan bagian dari tugas perkembangan yang berkaitan dengan pekerjaan. Tugas perkembangan dan tuntutan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berguna di masyarakat merupakan kebutuhan wanita untuk bekerja. Kondisi lain yang dianggap pokok adalah memilih bidang yang cocok dengan
bakat, minat, dan faktor psikologis lainnya secara hakiki sulit untuk dipungkiri agar kesehatan mental dan fisiknya sebagai orang dewasa dapat terjaga (Hurlock, 1980: p. 279). Hal tersebut menyebabkan kebingungan pada banyak lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ingin melanjutkan studi dan tidak mampu secara ekonomi. Lowongan pekerjaan yang minim dan penggangguran yang semakin bertambah mengakibatkan wanita dewasa awal sulit mendapatkan pekerjaan. Tuntutan kompetensi yang tinggi bagi lulusan SMA/SMK dalam dunia kerja berdampak pada pilihan pekerjaan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
91
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Keinginan yang diharapkan dan tidak tersedia dalam dunia kerja mengakibatkan wanita dewasa awal bekerja seadanya. Zannatos dan Zafiris (1994), wanita sebagai salah satu sumber daya di pasar tenaga kerja terutama di Indonesia mempunyai kontribusi yang besar dalam arti bahwa jumlah wanita yang menawarkan dirinya untuk bekerja cukup besar. Wanita dewasa awal atau dini dimulai dari umur 18 sampai kira-kira umur 40 tahun (Hurlock, 1980: p. 246). Faktor ekspektasi dan kebutuhan menjadikan salah satu alasan wanita dewasa awal harus bekerja. Bekerja (Kamus Besar Bahasa Indnesia, 2008: p. 704), adalah melakukan suatu pekerjaan. Pekerjaan tersebut lebih identik dengan mencari nafkah atau mata pencaharian. Hasil wawancara (Jumat, 2 November 2011) dengan salah satu wanita dewasa awal mantan pekerja vihāra Tanah Putih Semarang. Sewaktu lulus SMA dan berkeinginan kuliah tetapi tidak memiliki biaya. Subjek berasal dari keluarga petani musiman dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Mendengar dari salah satu tetangga tentang infornasi lowongan pekerjaan sebagai tenaga administrasi, subjek mendaftar untuk bekerja di vihāra. Latar belakang tidak memiliki pekerjaan dan mengganggur membuat subjek mau bekerja di vihāra. Sebelum bekerja subjek sudah diberitahu oleh tetangga bahwa bekerja di vihāra gaji sedikit tetapi dapat berbuat baik. Selain hal tersebut subjek juga di dorong pengalaman SMA tinggal di asrama vihāra. Oleh karena itu subjek memutuskan untuk bekerja di vihāra dan mencari modal serta pengalaman dalam bekerja. Pada saat interview subjek diberitahu kondisi pekerjaan, gaji, dan prasarana, serta sarana di vihāra yang sederhana. Pada kasus di atas, sebelum bekerja di vihāra, subjek berkeinginan melanjutkan studi dan orang tua tidak mampu membiayai. Keinginan subjek untuk melanjutkan studi yang belum tercapai membuat subjek bekerja. Dalam bekerja subjek juga berkeinginan untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan membantu keluarga. Selama bekerja di vihāra, subjek dari pagi mempersiapkan sarapan untuk temanteman subjek dan makan pagi untuk samanera. Subjek kemudian bekerja dengan mengurusi administrasi yayasan, vihāra, rumah abu, dan perpustakaan. Selama subjek bekerja di vihāra,
setiap ada orang yang mendaftar dan bekerja di administrasi vihāra hanya bertahan 1-3 bulan. Keinginan subjek untuk melanjutkan studi berhasil. Hal tersebut diawali dengan subjek bekerja di vihāra dan peneliti mengenalkan subjek dengan yayasan anak asuh yang mau membantu biaya studi dengan melihat prestasi, pengabdian, dan kondisi subjek. Peneliti mengenal subjek karena bersama-sama dalam kepengurusan organisasi pemuda di Jawa Tengah dan merasa kasihan sehingga mencarikan informasi untuk dapat membantu studi subjek. Bantuan biaya studi tiap semester dan sisa tabungan yang didapat membuat subjek dapat melanjutkan studi. Subjek melakukan aktivitas kuliah pada pukul 17.30-20.30 WIB setiap Senin-Jumat di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Akuntansi di Semarang. Meskipun tidak memiliki motor atau alat transportasi sendiri, subjek memberanikan diri untuk naik angkot sewaktu pulang kuliah. Berdasarkan wawancara (Kamis, 3 November 2011, di Kampus subjek), dapat dikatakan bahwa subjek memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dan mengubah kondisi hidup menjadi lebih baik walaupun pada awalnya dilatarbelakangi karena tidak memiliki pekerjaan. Subjek hanya mampu bertahan bekerja di vihāra selama 19 bulan dikarenakan sakit dan harus operasi pada usus 12 jari yang tersumbat. Hal tersebut membuat subjek keluar dari bekerja di vihāra dan berfokus pada kesehatan serta kuliah. Selain pada beberapa hal di atas, latar belakang perlu ditelitinya motivasi bekerja pada wanita dewasa awal juga dipengaruhi fenomena dan pengalaman peneliti saat membantu vihāra. Fenomena tersebut terletak pada wanita dewasa awal yang bekerja di vihāra. Para wanita tersebut hanya bertahan antara 1-3 bulan. Berdasarkan pada wawancara dengan subjek di atas dan pengalaman peneliti pada vihāra tersebut selama tahun 2011 di sekretrariat vihāra sudah mengalami pergantian sebanyak 3 kali, sementara di perpustakaan dan rumah abu 1 kali. Para wanita dewasa awal keluar dari bekerja di vihāra dan lebih khusus motivasi bekerja mempunyai pengaruh pada fenomena tersebut. Motivasi kerja adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal (Prabu, 2005). Dalam kaitan dengan motivasi bekerja
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
92
maka motivasi dapat diartikan sebagai pendorong wanita dewasa awal untuk bekerja. Motivasi merupakan dorongan, keinginan, sehingga seseorang melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan memberikan yang terbaik bagi dirinya, baik waktu maupun tenaga, demi tercapai tujuan yang diinginkan (Anoraga dan Suyati, 1995: p. 115). Bekerja pada masa dewasa menandakan dimulainya peran dan tanggung jawab baru bagi individu. Peran karir berbeda dengan peran yang mungkin dimiliki individu sebagai seorang pekerja sementara atau paruh waktu saat remaja (Santrock, 2002: p. 96). Menurut Teori Kebutuhan Maslow, bekerja dimaksudkan sebagai usaha yang dilakukan individu untuk mengisi kekurangan dalam hidupnya, jadi individu mengeluarkan usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya (Jewwel dan Siegall, 1998: p. 336). Greenberg & Robert (2003: p. 190), motivasi bekerja adalah seperangkat proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku manusia untuk mencapai suatu tujuan. Dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap baru dalam tahapan perkembangan kehidupan. Individu telah menjalani masa remaja dan kini akan memasuki tahap pencapaian kedewasaan dengan segala tantangan yang lebih beragam bentuknya (Turner & Helms, 1995). Dewasa awal menurut Hurlock (1980: p. 246) merupakan masa dewasa awal. Istilah dewasa awal dan dewasa awal merupakan istilah yang sama hanya berbeda rentang usia yang disebabkan perbedaan dari para tokoh penelitinya. Terdapat berbagai pendapat mengenai batasan usia dewasa awal. Hurlock, (1980: p. 246) memberikan batasan masa dewasa awal antara 18 sampai umur 40 tahun. Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa usia 20 sampai 30 tahunlah batasan usia dewasa awal, dan yang terakhir adalah Levinson (Turner dan Helms, 1995) yang menyebutkan bahwa batasan usia dewasa awal adalah 20 sampai 40 tahun. Vihāra merupakan tempat tinggal para bhikkhu (Panjika, 2004: p. 379). Istilah bhikkhu dalam kamus Pāli-English (Davids, 1992: p. 504) berasal dari kata bhiks yang berarti peminta sedekah. Terjemahan tersebut tidak mencerminkan pengertian yang sebenarnya karena bhikkhu tidak meminta tetapi menerima apa yang dipersembahkan kepadanya. Menurut
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Widya (2005: p. 21), bhikkhu (bhikshu dalam bahasa Sansekerta) adalah umat Buddha pria yang hidup melepaskan diri dari keduniawian (berumah tangga) dan mengikuti cara hidup sebagai pertapa menurut peraturan (vinaya). Sedangkan tempat berteduh bagi bhikkhu atau samanera (calon bhikkhu) disebut dengan kuti (Panjika, 2004: p. 358). Vihāra merupakan tempat tinggal rohaniawan agama Buddha. Dalam perkembangannya vihāra identik dengan tempat ibadah umat beragama Buddha. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi wanita dewasa awal bekerja di vihāra adalah dorongan wanita yang berusia 1840 tahun yang mengarahkan tingkah laku untuk mencapai tujuan peran dan tanggung jawabnya sebagai individu di tempat ibadah umat Buddha. Motivasi Bekerja dalam Agama Buddha Motivasi bekerja merupakan dorongan untuk menuju perubahan kearah yang lebih baik. Motivasi dapat terjadi apabila terdapat unsur keyakinan (saddhā). Keyakinan merupakan suatu sikap batin yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang diyakini. Keyakinan terhadap sesuatu yang benar akan menghasilkan perbuatan yang benar, demikian sebaliknya keyakinan terhadap sesuatu yang salah akan menghasilkan perbuatan yang salah pula. Buddha menjelaskan dalam Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000: p. 267), keyakinan merupakan benih yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Saddhā merupakan hal yang paling dasar yang harus dimiliki oleh para perumah tangga untuk mencapai kebahagiaan. Buddha menjelaskan kepada Bodhi dalam Bodhirajakumara Sutta, Majjhima Nikāya (Horner, 2002: p. 282), bahwa saddhā sebagai tingkatan pertama dalam faktor usaha untuk mencapai keberhasilan. Landasan awal untuk memperoleh kesuksesan adalah dengan memiliki saddhā serta didukung dengan adanya usaha keras. Saddhā merupakan salah satu yang mendukung umat Buddha untuk melakukan perbuatan baik. Perbuatan yang menyebabkan keberhasilan merupakan rangkaian proses sebab akibat dan disebut sebagai hukum kamma. Penjelasan tersebut disampaikan Buddha dalam Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000: p. 328) yaitu, ”Whatever sort of seed is sown, that is the sort of fruit one reaps: the doer of good reaps good;
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
93
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
the doer of evil reaps evil. By you dear, has the seed been sown; thus you will experience the fruit”. Seseorang yang melakukan perbuatan baik (kusala kamma) maka akan memetik hasil perbuatan baik (kamma vipaka) yang dilakukannya. Demikian pula dengan seseorang yang melakukan perbuatan tidak baik atau jahat (akusala kamma) maka akan memetik hasil dari perbuatan tidak baik atau jahat yang telah dilakukan. Timbunan perbuatan jahat menyebabkan seseorang dapat menderita. Sedangkan timbunan kebajikan dapat menghasilkan kekayaan. Proses tersebut merupakan akibat dari hukum kamma yang saling bergantungan antara perbuatan yang telah dilakukan dan hasil yang akan diperoleh. Kebajikan atau memberi dengan tulus dalam Buddhisme identik dengan berdana. Dāna dalam Buddhime dikelompokkan dalam beberapa bagian. Masing-masing disesuaikan dengan kategori atau jenis dāna tersebut. Itivuttaka, Khuddaka-Nikāya (Masefield, 2001: p. 84) mengkategorikan dāna ke dalam dua bagian, secara materi (āmisa-dāna) dan dāna secara mental (dhamma-dāna). Secara materi dāna berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dan tempat tinggal, sedangkan secara mental atau non-materi, seperti memberikan keterampilan, pelajaran, nasihat atau pengetahuan kebenaran. Buddhisme menekankan dāna harus dilakukan oleh setiap individu agar dalam kehidupan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal tersebut merupakan salah satu dasar dan motivasi bagi umat Buddha untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadi bekerja dalam agama Buddha dapat diartikan sebagai segala bentuk dorongan atau usaha untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik melalui keyakinan kuat dan perbuatan baik yang terwujud dalam dāna. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Bekerja Faktor penyebab motivasi terdiri dari intrinsik dan ekstrinsik (Wade dan Carol, 2007: p. 144). Motivasi intrinsik merupakan keinginan untuk melakukan suatu aktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan yang didapat dari melakukan aktivitas tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan keinginan untuk mengejar suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal. Sedangkan menurut Gomes (Azami, 2009), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan motivasi untuk bekerja,
yaitu: 1) faktor yang berasal dari dalam diri (intrinsik) terdiri dari a) kebutuhan, b) tujuantujuan, c) sikap, d) kemampuan; dan 2) faktorfaktor yang berasal dari luar diri (ekstrinsik) terdiri dari a) gaji atau upah, b) keamanan pekerjaan, c) kesesuaian sesame pekerja, d) pengawasan, e) pujian, dan f) pekerjaan itu sendiri. Dalam Ańguttara Nikāya (Hare, 2001: p. 97) dijelaskan Buddha kepada para bhikkhu bahwa seseorang yang ingin berubah dari keadaan yang dialaminya, harus memiliki keyakinan (saddhā), moral yang baik (sīla), pengetahuan (bāhusacca), dan disiplin (viriyambha), serta bijaksana (pañña), yaitu: ”a monk has faith, is virtuos, learned, energetic, and has insight”. Keyakinan (saddhā) pada kemampuan yang dimiliki untuk berubah dan berjuang mencapai kesuksesan, serta tidak takut kepada resiko yang belum dan akan dialaminya. Moral (sīla) yang baik tercermin pada tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan membuat individu dipercaya dan mendapat simpati serta mempermudah untuk bekerja sama dalam berbagai pekerjaan atau berusaha. Pengetahuan (bāhusacca) merupakan sarana untuk menjadi maju, kreatif, inovatif, serta mempermudah untuk menyelesaikan permasalahan. Disiplin (viriyambha) dalam bekerja berarti tekun, penuh semangat, dan pantang menyerah. Sikap tersebut membuat individu bertanggung jawab dan mendukung keberhasilan pada setiap pekerjaan yang dilakukan. Kebijaksanaan (pañña) merupakan sikap mengetahui tindakan yang akan dilakukan dan tidak merugikan. Kelima hal tersebut merupakan motivasi intrinsik yang harus dimiliki oleh setiap individu, sebab hal tersebut dapat membantu keberhasilan dan perubahan ke arah positif untuk berhasil dalam pekerjaan. Selain faktor motivasi intrinsik dan ektrinsik, aspek motivasi sangat diperlukan dalam bekerja. Menurut Purwanto (2007: p. 72-102), aspek motivasi mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam bekerja. Aspek motivasi tersebut, yaitu: 1) Menggerakkan merupakan aspek yang menunjukkan bahwa motivasi menimbulkan kekuatan pada individu atau mendorong untuk bertindak dengan cara-cara tertentu. Seperti kekuatan dalam hal ingatan, respon-respon afektif, dan kecenderungan mendapatkan kesenangan. 2) Mengarahkan merupakan aspek yang menunjukkan bahwa motivasi menjadi suatu orientasi tujuan tingkah laku diarahkan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
94
pada suatu tujuan bekerja. 3) Menopang merupakan aspek yang menunjukkan diperlukanya dukungan penguatan (reinforce) dari lingkungan sekitar selain kekuatan dari dalam individu sendiri. Aspek ini digunakan untuk menjaga tingkah laku bekerja. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor dan aspek yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang untuk bekerja, baik dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar individu. Faktor-faktor motivasi bekerja secara umum diantaranya kebutuhan, sikap, tujuan, kemampuan, gaji, keamanan pekerjaan, kondisi sosial, pengawasan, pujian, dan pekerja yang mengerakkan, mengarahkan dan menopang pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan faktor motivasi bekerja dalam Buddhis adalah keyakinan, moral, pengetahuan, disiplin, dan kebjaksanaan. Ciri-Ciri Motivasi Tinggi Individu yang mempunyai motivasi tinggi menurut Weiner (1982: p. 203-215), mempunyai inisiatif yang berhubungan dengan dengan kerja, lebih tahan dalam menghadapi kegagalan, mempunyai intensitas tinggi, dan memiliki tingkat resiko sedang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi tinggi adalah individu yang memiliki inisiatif dan dorongan untuk mencapai tujuan dan masa depan, mempunyai intensitas tinggi, bersikap positif, percaya diri, bertanggung jawab dan disiplin dengan demikian lebih tahan dalam menghadapi kegagalan dan memiliki harapan untuk membuahkan hasil. Syarat Bekerja Sebagai Pegawai Administrasi di Vihāra Dalam bekerja di suatu vihāra bagi dewasa awal, terdapat kriteria yang di tentukan. Kriteria untuk dapat bekerja di vihāra dari masing-masing vihāra berbeda. Kriteria untuk dapat bekerja di vihāra tempat dilakukan penelitian adalah: 1) Pendidikan minimal SMA/SMK sederajat, 2) Menguasai komputer terutaman Microsoff Office Word dan Microsoff Office Excel, 3) Usia miniman 18 tahun, dan 4) Jujur dan bertanggunggjawab (Infomasi Lowongan Pekerjaan Vihāra Tanah Putih Semarang, Bulan Agustus 2011). Kriteria tersebut merupakan syarat minimal individu dapat diterima dan bekerja di
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
vihāra. Selain syarat minimal tersebut terdapat syarat tambahan yaitu beragama Buddha dan lolos test Wawancara. Dengan syarat-syarat tersebut individu diterima sebagai tenaga admistrasi di vihāra. Rata-rata dewasa awal yang bekerja di vihāra adalah wanita pada setiap tahunnya. Pada tahun 2009-2010 pernah terdapat tiga pria yang keluar masuk bekerja di vihāra, tetapi sebagian besar yang bekerja di bagian administrasi wanita dan pada tahun 2011 wanita yang mendaftar. Sehingga penelitian ini mengambil salah satu kriteria subjek wanita dewasa awal sebagai objek penelitian. Dinamika Motivasi Bekerja di Vihāra Wanita dewasa awal memiliki motivasi yang berbeda-beda untuk bekerja. Latar belakang pendidikan dan keluarga sangat mempengaruhi wanita mau bekerja. Kebutuhan bekerja pada pada wanita dewasa awal pada zaman modern sangat besar dan ingin bekerja sesuai keinginannya. Motivasi bekerja di vihāra berkaitan dengan motivasi internal dan eksternal dari wanita dewasa awal. Motivasi internal untuk bekerja berkaitan dengan kebutuhan, tujuan-tujuan, sikap, dan kemampuan yang secara Buddhis di dukung dengan keyakinan, moral, pengetahuan, kedisiplinan, dan kebijaksanaan. Kebutuhan dan tujuan menjadi dasar dari dalam bagi seseorang untuk bekerja. Sedangkan sikap berkaitan dengan keyakinan, moral, kedisiplinan, dan kebijaksanaan. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan yang selanjutnya dapat mewujudkan keahliah atau keterampilan dalam bekerja. Keinginan untuk berbuat baik dari bekerja di vihāra Dorongan dari luar wanita dewasa awal untuk bekerja juga dipengaruhi oleh gaji, keamanan atau kenyamanan dalam bekerja, hubungan sesama pekerja, pujian, dan pekerjaan tersebut. Motivasi internal dan eksternal merupakan faktor pendukung wanita dewasa awal untuk bekerja di vihāra. Dalam bekerja di vihāra selain kedua faktor tersebut, keinginan untuk berbuat baik juga menjadi salah satu pendorong. Bekerja di vihāra yang bukan merupakan pilihan awal, tetapi salah satu alternatf pilihan. Dorongan untuk bekerja daripada menganggur, mendapatkan pengalaman dan menabung agar dapat meningkatkan perbaikan sumber daya diri
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
95
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dilakukan oleh wanita dewasa awal yang bekerja di vihāra. Berdasarkan kajian teori faktor-faktor motivasi internal dan eksternal dan latar belakang masalah yang ada, terdapat empat yang menjadi motivasi dasar wanita dewasa awal bekerja di vihāra, yaitu: lowongan pekerjaan di vihāra, keinginan untuk mencari modal, dan berbuat baik atau berdana Peneliti mencoba menerangkan apa yang ingin peneliti angkat tentang motivasi bekerja pada wanita dewasa awal bekerja di vihāra dengan skema seperti pada gambar 1. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, dan berusaha memahami pemikiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution dalam Prastowo, 2012: p. 359). Menurut Denzin and Lincoln (2000: p. 3), penelitian kualitatif merupakan: … a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set of interpretive, material practices that make the world visible. … They turn the world into a series of representations, including field notes, interviews, conversations, photographs, recordings and memos to the self. Penelitian kualitatif merupakan suatu aktivitas yang menempatkan pengamat di dunia. Hal tersebut terdiri dari serangkaian interpretasi, perbuatan atau kebiasaan yang membuat dunia menjadi tampak. pengamat melihat dunia melalui sebuah bagian yang mewakili, termasuk melalui catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan refleksi diri. Guna mengungkap permasalahan motivasi bekerja di vihāra pada wanita dewasa awal di Vihāra Tanah Putih Semarang, dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan, dan kegunaan penelitian, maka dalam penelitian ini akan digunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2001: p. 3) metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan fakta deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Kirk dan Miller (Moleong, 2001: p. 3) mendeskripsikan bahwa penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Penelitian yang bersifat kualitatif ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari penelitian lapangan (field research) membantu peneliti bagaimana sebenarnya motivasi wanita dewasa awal untuk bekerja di vihāra. Peneliti berusaha untuk melihat sejauhmana motivasi wanita dewasa awal bekerja di vihāra. Kemudian, data akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan masalah yang diteliti dan tujuannya, maka peneliti menggunakan metode kualitatif fenomenologis. Fenomenologis merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus terhadap pengalamanpengalaman subjektif manusia dan interpretasinya. Peneliti dalam pandangan femomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu (Moleong, 2001: 17). Sedangkan menurut Husserl (Prastowo, 2012: p. 28), fenomenologi adalah pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; atau suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang. Jadi metode kualitatif fenomenologis merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan fakta yang deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati berdasarkan pengalaman subjektif dari seseorang. Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini bertempat di Vihāra Tanah Putih Semarang. Vihāra Tanah Putih Semarang dipilih menjadi tempat penelitian karena vihāra tersebut memiliki kegiatan yang beragam. Kegiatan di Vihāra Tanah Putih Semarang terdiri dari Puja Bakti Umum pukul 09.00-11.00 dan 11.00-12.00 WIB, serta Sekolah Minggu untuk anak-anak pukul 09.0011.00 WIB. Ketiga kegiatan tersebut berlangsung setiap Minggu. Kegiatan meditasi untuk umum berlangsung setiap Rabu pukul 19.00-21.00 WIB, dan Jumat pukul 19.00-21.00 WIB kegiatan pemuda. Layanan di Vihāra Tanah Putih Semarang terdiri dari; Buddhist Shop (bursa vihāra), Rumah Abu, Perpustakaan, dan Kantin. Pelayanan umat terdiri dari layanan doa, pernikahan, bakti
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
96
sosial, konseling, mimbar agama Buddha di radio dan televisi, dll. Vihāra Tanah Putih Semarang memiliki kegiatan workshop dalam bidang seni, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan keagamaan. Kegiatan lain seperti; dhamma class, talk show, dan kegiatan hari besar keagamaan. Dalam pelaksanaan aktivitas pelayanan terhadap umat dan kegiatan di vihāra, Vihāra Tanah Putih Semarang memiliki karyawan yang bekerja sebagai cleaning service sejumlah 3 orang, satpam sejumlah 2 orang, dan bursa vihāra sejumlah 2 orang, tenaga administrasi sejumlah 1 orang, dan perpustakaan sejumlah 1 orang. Waktu penelitian dimulai Desember 2011 sampai dengan Maret 2012. Subjek dan objek penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Vihāra Tanah Putih Semarang yang difokuskan pada kegiatan rutinitas pelayanan umat dan proses kegiatan vihāra yang dilakukan oleh orang yang bekerja di Vihāra Tanah Putih Semarang. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita dewasa awal, lulusan SMA/SMK, Sehat jasmani dan rohani, serta tidak mempunyai cacat fisik yang menyebabkan tidak dapat hidup mandiri, berusia 18-40 tahun, dan bekerja di Vihāra Tanah Putih Semarang, serta mempunyai kapasitas sebagai sumber informasi penelitian yang dipilih secara purposif. Adapun subjek dalam penelitian ini yaitu seorang wanita dewasa awal berusia 21 tahun yang bekerja di vihāra selama 10 bulan dan telah menyelesaikan pendidikan SMK. Subjek saat ini bekerja sebagai sekretaris yayasan dan Vihāra Tanah Putih Semarang. Subjek kedua adalah seorang wanita dewasa awal berusia 19 tahun yang bekerja di vihāra selama 3 bulan dan telah menyelesaikan pendidikan SMA. Subjek saat ini bekerja sebagai sekretaris dan pelayanan Perpustakaan dan Rumah Abu dan Vihāra Tanah Putih Semarang. Subjek ketiga adalah seorang wanita dewasa awal berusia 22 tahun yang bekerja di vihāra selama 14 bulan dan telah menyelesaikan pendidikan SMA. Subjek saat ini bekerja di bagian pelayanan dan penjualan di bursa Vihāra Tanah Putih Semarang.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
merupakan istilah yang diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan yang terjalin antara tema. Hasil observasi dicatat dalam sebuah catatan lapangan selengkap-lengkapnya. Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi tentang bahasa tubuh saat diwawancara, perilaku subjek sehari-hari, dan tempat subjek berada/bekerja. Wawancara diartikan sebagai kegiatan komunikasi verbal antara dua orang atau lebih, satu sebagai pihak pewawancara, dan yang lain sebagai pihak yang diwawancarai, dengan tujuan mendapatkan informasi penting dan gambaran menyeluruh mengenai suatu hal yang ingin diungkap. Peneliti melakukan indepth interview (wawancara secara mendalam) dengan subjek. Wawancara terhadap perorangan yaitu secara langsung antara pewawancara dengan subjek penelitian. Melalui metode ini diharapkan peneliti dapat mengetahui secara mendalam mengenai motivasi bekerja di vihāra, serta faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi serta sikap wanita dewasa awal bekerja di vihāra. Melalui indepth interview ini peneliti hanya mengoleksi data dari informan bukan menghakimi responnya (Patton, 1987: p. 142). Melalui pengoleksian data tersebut, peneliti akan mendeskripsikan ke dalam bahasa akademik berdasarkan data dari wanita dewasa awal yang bekerja di vihāra. Data di-konstruksi melalui interaksi dialog yang komunikatif dan direkam menggunakan Hand Phone Nokia E63. Teknik keabsahan data Teknik pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan ketekunan, triangulasi teori dan metode, diskusi dengan teman sejawat, dan perpanjangan keikutsertaan yang merupakan bagian dari kriteria derajat kepercayaan (credibility).
Teknik analisis data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis model Miles dan Huberman (1992: p. 16), analisis data secara kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi data. Teknik pengumpulan data Data dikumpulkan dengan melakukan Dalam penelitian ini menggunakan klarifikasi dan dianalisis secara kritis dengan teknik observasi dan wawancara. Observasi menggunakan metode; a) analisis deskriptif, Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
97
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
yaitu data tentang motivasi bekerja di vihāra pada wanita dewasa awal yang diuraikan secara sistematis; b) analisis interpretasi, yaitu memberi makna atau pemaknaan oleh peneliti melalui analisis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tema dan Intensitas Dari ketiga subjek dapat diketahui bahwa keinginan untuk bekerja di vihāra berdasarkan keinginan sendiri. Meskipun keinginan tersebut dilatarbelakangi tidak adanya lowongan pekerjaan lain yang ketiga subjek ketahui. Keinginan yang muncul pada saat yang berbeda-beda dan dari kejadian dari masing-masing subjek, namum bekerja di vihāra dengan gaji di bawah upah minimum regional merupakan pilihan. Subjek memilih bekerja di vihāra juga di landasi keinginannya untuk mengabdi. Ketiga subjek dalam penelitian telah menyelesaikan pendidikan SMA/SMK dan memiliki keinginan untuk melanjutkan studi atau kursus, maka para subjek bekerja terlebih dahulu. Ketiga subjek berbuat baik dengan mengabdi ternyata besar faktornya untuk bekerja di vihāra. Pengetahuan berbuat baik dan mengabdi di vihāra ada pada ketiga subjek. Meskipun dilatarbelakangi tidak adanya pekerjaan dan mendapatkan pekerjaan di vihāra, ketiga subjek ingin berbuat baik dan mengabdi sekaligus bekerja. Keinginan ketiga subjek tersebut merupakan salah satu aplikasi dari saddhā yang dimiliki. Perbuatan baik (kusala kamma) yang didasari saddhā, diyakini ketiga subjek akan menghasilkan kebahagian (kusala kamma vipaka). Buddha menjelaskan dalam Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000, p.267), keyakinan merupakan benih yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan. Saddhā merupakan hal yang paling dasar yang harus dimiliki oleh para perumah tangga untuk mencapai kebahagiaan. Perbuatan yang menyebabkan keberhasilan atau kebahagiaan merupakan rangkaian proses sebab akibat dan disebut sebagai hukum kamma. Buddha dalam Samyutta Nikāya (Bodhi, 2000, p. 328), Seseorang yang melakukan perbuatan baik (kusala kamma) maka akan memetik hasil perbuatan baik (kusala kamma vipaka) yang dilakukannya. Melalui pemahaman Buddhisme tentang hukum kamma, ketiga subjek melakukan dāna dengan bekerja di vihāra.
Selain hal tersebut, ketiga subjek memahami lingkungan, pekerjaan, dan gaji hasil bekerja di vihāra sebagai cara tersendiri untuk dapat termotivasi dalam bekerja. Dukungan orang tua dan keluarga dengan pemberian ijin dan pengertian membuat subjek dapat bertahan bekerja. Maslow (Handoko, 1992, p. 20), motivasi manusia dipengaruhi oleh taraf kebutuhannya, mulai dari kebutuhan biologis sampai dengan kebutuhan psikologis yang kompleks, yaitu: 1. Kebutuhan fisiologis (makan, minum, oksigen). Kebutuhan ini telah tercukupi sejak subjek dalam kandungan, mulai dari asupan makanan, sampai ketika lahir ke dunia subjek menghirup oksigen, minum, buang air besar (BAB) dan kecil (BAK), menggunakan pakaian. 2. Kebutuhan akan rasa aman Kebutuhan rasa aman juga tercukupi sejak kecil, seperti berada dalam perlindungan dan pantauan orang tua, merasa tentram atau tidak dalam berada tekanan tentang suatu hal, ketika bekerja ada jaminan keselamatan. 3. Kebutuhan akan cinta kasih dan rasa memiliki Kebutuhan ini dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat, tampak dengan adanya persahabatan dan interaksi dalam kelompok yang dimiliki subjek, baik itu mulai sejak bersekolah, sampai bekerja, dan didukung dengan kasih sayang yang dicurahkan oleh orang tua dan keluarga sejak kecil. 4. Kebutuhan akan penghargaan Kebutuhan ini tampak pada timbulnya kepercayaan diri bagi diri sendiri, muncul kemampuan untuk berkompetensi, sehingga orang lain juga menghargai diri kita tentang status, jabatan atau reputasi yang kita miliki. 5. Kebutuhan untuk tahu (pengetahuan, pemahaman, eksplorasi) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk mengetahui dan memahami apa yang ada di luar diri manusia. Kebutuhan untuk mengetahui haruslah dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan untuk memahami
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
98
sesuatu. Selebihnya, pengetahuan yang didapat, harus dikembangkan. 6. Kebutuhan akan keindahan (estetika, keseimbangan, keteraturan) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan keseimbangan dalam proses pembelajaran manusia pembelajaran manusia. Ada pemahaman tentang kealamian yang terjadi dalam proses hidup ini. 7. Kebutuhan akan kebebasan bertindak (aktualisasi diri). Kebutuhan untuk menjadi diri sendiri dengan mengelurkan segala kemampuan yang dimiliki dalam tingkatan tertinggi perkembangan manusia. Kebutuhan akan pekerjaan sampai dengan untuk mengabdi atau berbuat baika di vihāra pada subjek menjadi salah satu motivasi bekerja. Subjek yang menginginkan kebutuhannya terpenuhi menjadi pendorong untuk mengabdi. Selain itu, subjek yang memiliki kepercayaan membuat dalam banyak tindakan untuk dengan pemahaman. Banyak aspek kepribadian subjek terlibat dalam kegiatan pengabdian di vihāra. Salah satu faktor lain terwujud dalam perilaku prososial atau kesukarelaan. Clary dan Synder (Sear, 1999), ada enam fungsi dasar yang menjadikan alasan mengapa seseorang terlibat dalam aktivitas sukarela. Enam fungsi tersebut adalah: 1. Nilai: untuk berekspresi atau bertindak pada nilai yang penting seperti kemanusiaan. Contoh: “saya merasa penting untuk menolong orang lain”. 2. Pemahaman: untuk belajar lebih tentang dunia atau melatih keterampilan yang sering digunakan. Contoh: “Dengan bersukarela dalam mengerjakan sesuatu, saya dapat belajar melalui pengalaman langsung”. 3. Pengembangan: untuk tumbuh dan berkembang secara psikologis melalui aktivitas sukarela. Contoh: “Melakukan sukarela membuat saya lebih baik dalam mengenal diri saya sendiri”.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
“Melakukan kerja sukarela dapat menolong saya untuk sampai pada tempat di mana saya ingin bekerja”. 5. Sosial: untuk memperkuat hubungan sosial. Contoh: “orang-orang yang saya kenal berbagi ketertarikan pada pelayanan masyarakat”. 6. Perlindungan: untuk mengurangi perasaan negatif seperti merasa bersalah atau untuk menyelesaikan masalah pribadi. Contoh: “melakukan kerja sukarela adalah pelarian yang baik dari masalah saya sendiri”. Keadaan emosi mampu mempengaruhi perilaku prososial. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor tertentu dalam situasi dan bentuk bantuan yang dibutuhkan. Bantuan yang dibutuhkan melalui motivasi intrinsik dan ekstrinsik secara aktif sampai pada pemahaman kognitif membuat seseorang termotivasi. Efek positif dari motivasi memunculkan perasaan senang setelah dapat bekerja, hal ini dianggap sebagai keuntungan. Dukungan pemahaman terhadap kusala kamma atau berbuat baik dengan mengabdi atau membantu kegiatan di vihāra merupakan wujud dari dāna pada diri subjek. Berdasarkan hasil diskusi teman sejawat, bekerja di vihāra pada wanita dewasa awal dipengaruhi beberapa faktor utama. Faktor yang mendorong wanita dewasa awal bekerja di vihāra terutama dari dalam diri. Berdasarkan hasil diskusi dengan Ibu Setyaningsih, S.Ag., M.Pd., (Jumat, 7 Januari 2012, di Rumah Setyaningsih, S.Ag., M.Pd.) bahwa bekerja di vihāra sangat dipengaruhi karena tidak adanya lowongan pekerjaan; dari pada menganggur dan malu di masyarakat; keinginan mencari uang untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri, keinginan untuk mencari modal sehingga dapat menabung, memenuhi kebutuhan diri, melanjutkan studi atau mengikuti kursuskursus; dan ingin berbuat baik (kusala kamma) atau lebih pada berdana. Sedangkan hasil diskusi dengan Bapak Sulistiyo, S.Ag., M.Ag., dan Bapak Suhantojo, S.Pd., (Rabu, 12 Januari 2012, di gedung Thomas Aquinas lantai 4, ruang 4.21 Unika Soegijapranata Semarang) yang merupakan teman studi peneliti. Kedua teman peneliti tersebut merupakan orang yang sering
4. Karier: untuk memperoleh pengalaman yang berhubungan dengan karier. Contoh: Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
99
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
membantu kegiatan dan tinggal di tempat Ibadahnya dan pernah melakukan observasi serta wawancara tentang motivasi para pekerja dewasa awal bekerja di tempat ibadah. Diskusi tersebut memberikan kesimpulan bahwa bekerja di tempat ibadah dilatar belakangi untuk mencari uang dan memenuhi kebutuhan; terdesak ekonomi; pengabdian pada agama; mencari pengalaman; dan menambah perbuatan baik. Berdasarkan hasil diskusi dengan teman sejawat di atas dapat diketahui motivasi bekerja di vihāra pada masa dewasa awal didorong karena adanya lowongan pekerjaan di tempat ibadah, keinginan untuk mencari modal, mencari pengalaman, dan berbuat baik dengan mengabdi. Hasil diskusi dengan teman sejawat tersebut relevan dengan beberapa tema yang muncul berkaitan dengan motivasi bekerja di vihāra pada wanita dewasa awal, antara lain: 1. Lowongan pekerjaan di vihāra Perlu di ketahui seorang dapat bekerja di vihāra khususnya di kota di pengaruhi lowongan pekerjaan di vihāra tersebut. Selain pada dasarnya pada ketiga subjek tidak memiliki pekerjaan dan dari pada menganggur. Lowongan pekerjaan ini adalah salah satu tema dalam penelitian. Perlu diketahui bahwa selama melakukan wawancara dan observasi, ketiga subjek bekerja di vihāra. Pada subjek I, lowongan pekerjaan di vihāra tampak mempengaruhi sangat besar subjek bekerja di vihāra. Karena subjek mengalami kejenuhan waktu bekerja di perusahaan-perusahaan sebelumnya. Subjek ingin mendapatkan suasana baru dan bekerja di vihāra dianggap subjek lebih damai dan tentram. Subjek juga mendapat dukungan dari orang tua untuk bekerja di vihāra karena dapat membantu di vihāra. Motivasi bekerja subjek terwujud dengan bekerja secara disiplin dan rapi serta hari minggu tetap bekerja. Pada subjek II, lowongan pekerjaan di vihāra tampak mempengaruhi sangat besar. Karena subjek perasaan tidak menyenangkan sewaktu bekerja di swalayan menjadikan subjek keluar. Pengalaman subjek menganggur di rumah dan hanya membantu orang tua membuat subjek berkeinginan bekerja kembali. Subjek bekerja di vihāra juga ingin belajar lebih dekat dengan Agama Buddha. Pengetahunan yang luas tentang agama sangat diharapkan oleh subjek. Keluarga mendukungan subjek untuk dari bekerja di vihāra dan menambah
pengetahuan tentang agama. Motivasi bekerja subjek terwujud dengan bekerja secara dengan semangat. Pada subjek III, lowongan pekerjaan di vihāra tampak terwujud dengan bekerja displin dan bersemangat. Subjek dapat bekerja di vihāra berkat informasi dari kakak sepupunya. Subjek mulai bekerja langsung di tempatkan di bursa vihāra. Selama satu tahun 2 bulan bekerja, motivasi bekerja subjek untuk bekerja sangat besar. Hal tersebut diketahui dari aktivitas subjek di bursa dan dalam senggang waktu masih menyempatkan membaca dan menulis novel. Pengalaman menganggur, melamar pekerjaan berulang kali, dan sekarang dapat bekerja dimanfaatkan dengan baik oleh subjek. Bagi subjek waktu dapat dimanfaatkan dengan mengerjakan segala sesuatu yang bermanfaat. 2. Keinginan untuk mencari modal Ketiga subjek bekerja di vihāra berkeinginan untuk dapat memperoleh modal bagi masa depan. Bekerja dan menabung sehingga dapat melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus merupakan harapan ketiga subjek. Pada subjek I, keinginan mencari modal untuk dapat membiayai kuliah dari hasil bekerja. Subjek mempunyai motivasi bahwa dengan bekerja akan merubah hidupnya. Hal ini diperkuat usaha subjek tetap berusaha meningkatkan kompetensi dengan kursus Bahasa Mandarin. Subjek melakukan kursus di luar jam bekerja, karena merasa tidak mengetahui Bahasa Mandarin dan didorong dari rasa sukanya. Motivasi subjek untuk dapat berkuliah lagi juga cukup tinggi dengan tetap berusaha melanjutkan studi kembali dengan hasil kerja. Subjek juga akan beralih pada profesi lain yang lebih menjanjikan apabila ada profesi lain yang lebih menguntungkan untuk masa depan. Selain hal tersebut subjek berharap dapat memiliki keahlian agar dapat bekerja dan mendapat gaji yang mencukupi kebutuhan hidup. Pada subjek II, keinginan mencari modal untuk memenuhi kebutuhan dan meringankan beban orang tua. Subjek juga menabung untuk dapat memiliki modal agar dapat melanjutkan kuliah atau kursus. Subjek memilih kursus apabila tidak dapat melanjutkan kuliah, karena hal tersebut untuk masa depan subjek. Hal tersebut membuat subjek dapat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
100
bekerja, mempunyai modal untuk merubah kehidupan serta merealisasikan cita-cita. Pada subjek III, keinginan mencari modal untuk dapat melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus. Subjek berusaha mandiri dengan membiayai kebutuhannya sendiri karena dengan usia yang cupuk dewasa subjek juga memerlukan modal untuk masa depan. Subjek juga berkeinginan memiliki usaha sendiri, dari hasil mengelola bursa subjek berharap pengalaman tersebut dapat digunakan saat mampu berwiraswasta. 3. Mencari pengalaman
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
terpenting adalah pengalaman dan pengetahuan. Dengan pengalaman dan pengetahuan serta hobi maka minat keterampilannya subjek tersalurkan. 4. Berbuat baik dengan mengabdi Berbuat baik dalam agama Buddha di kenal dengan kusala kamma. Kusala kamma merupakan perbuatan baik yang disertai kehendak melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani (fisik). Perbuatan baik dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan mengabdi atau membantu di vihāra, dan melalui wawancara serta observasi ketiga subjek tersebut menunjukkan keinginannya untuk berbuat baik dengan mengabdi. Pada subjek I, berbuat baik dengan mengabdi bermakna dengan bekerja di vihāra subjek dapat melayani umat dan para bhikkhu. Subjek bekerja di vihāra juga mendapatkan dukungan dari orang tua. Bagi subjek, dengan bekerja mendorong subjek untuk mengabdi, bukan hanya untuk mencari uang. Subjek juga merasa senang dapat berbuat baik dan bekerja di vihāra. Pada subjek II, berbuat baik dengan mengabdi di vihāra merupakan perbuatan baik. Selain untuk mencukupi kebutuhan bekerja di vihāra juga lebih pada pengabdian. Pengetahuan subjek bekerja di vihāra merupakan perbuatan baik wujud dari pengabdian. Pengetahuan berbuat baik dan pengabdian tersebut menjadikan subjek termotivasi bekerja di vihāra. Pada subjek III, berbuat baik dengan bekerja di vihāra merupakan suatu pengabdian dan gaji tidak menjadi masalah. Dengan mengabdi subjek dapat belajar agama. Kondisi subjek yang berhadapan dengan banyak literatur membuat wawasan sumbek bertambah. Selain melayani bhikkhu atau samanera berinteraksi dengan umat merupakan wujud pelayanan yang membuat subjek merasa nyaman dan bahagia.
Pengalaman merupakan sesuatu yang berharga bagi orang yang bekerja. Pengalaman tersebut dapat menjadi bekal dalam bekerja atau beradaptasi pada lingkungan pekerjaan yang baru. Mencari pengalaman dalam bekerja merupakan harapan umum bagi setiap individu, seperti halnya ketiga subjek dalam penelitian ini. Pada subjek I, mencari pengalaman ingin membedakan pekerjaan di vihāra dengan di perusahaan dan berkeinginan mencari suasana baru. Pengalaman bekerja di vihāra bagi subjek lebih pada organisasi dan mengelola yayasan. Subjek juga beranggapan bila di vihāra lebih tentram dan damai. Dengan pengalaman, subjek dapat menguasai pekerjaan dan memanejemen dengan baik, yang didukung suasana kerja yang kondusif. Pada subjek II, mencari pengalaman ingin membandingkan dengan pekerjaan di swalayan tempat subjek pertama kali bekerja. Subjek bekerja di vihāra juga ingin mengenal lebih dekat Agama Buddha, mengenal bhikkhu, dan umat, serta dapat mengikuti acara di vihāra. Pengalaman bekerja di vihāra memperluas pengetahuan agama dan bermanfaat bagi subjek. Subjek mendapatkan pengalaman dari orang-orang yang berada di lingkungan vihāra serta belajar agama. Pada subjek II, mencari pengalaman ingin mendapatkan pengalaman dalam mengelola bursa. Bekerja di vihāra membuat subjek dapat mengaplikasikan ide kreatifnya dan dapat di jual. Subjek merasa cocok bekerja di bursa vihāra. Selain hal tersebut subjek juga dapat berinteraksi dengan para umat serta berbagi pengalaman, sehingga menambah wawasan subjek. Subjek dari awal sudah mengetahui bahwa bekerja di vihāra dengan gaji sedikit atau di bawah upah minimum regional, tetapi subjek memotivasi diri yang Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
101
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap ketiga subjek, dapat dibuat tabel sebagai berikut: Tema
S.1
S.2
S.3
Kesimpulan
Lowongan pekerjaan di vihāra
++ +
++ +
++ +
Keinginan untuk mencari modal
++ ++
++ +
++
Mencari pengalaman
++ +
++ +
++
Berbuat baik
++ +
++ +
++ +
Lowongan pekerjaan di vihāra sangat mendukung subjek untuk dapat bekerja. Subjek I mendapat suasana baru, Subjek II dapat belajar agama, dan Subjek III bermanfaat dengan baik. Keinginan untuk mencari modal agar dapat melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus agar masa depannya lebih baik. Ketiga subjek mencari pengalaman dengan bekerja di vihāra. Subjek I untuk masa depan. Subjek II mengenal agama dan umat. Subjek III menyalurkan ide-ide kreatif. Mengabdi merupakan perbuatan baik yang harus dilakukan subjek yang bekerja di vihāra.
Berdasarkan hal di atas maka dapat dilihat bahwa dari ketiga subjek yang telah peneliti temui, ketiga subjek mempunyai motivasi bekerja di vihāra setelah melakukan pemenuhan kebutuhan yang lain. Hal ini tampak motivasi subjek yang berujung pada harapan masa depan lebih baik dan ingin berbuat baik dengan mengabdi di vihāra, yang artinya bekerja dapat memenuhi kebutuhan secara mandiri, dengan harapan dapat hidup lebih layak melalui pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dan akhirnya dapat berbuat baik dilingkungan vihāra dan dengan melayani para umat terutama bhikkhu dan samanera yang tinggal di vihāra. Dinamika Psikologis Subjek pertama masih membutuhkan kebutuhan fisiologis sebagai hal utama dalam hidup. Subjek juga membutuhkan rasa aman, karena lingkungan vihāra yang nyaman dalam bekerja merupakan pilihan. Dalam kebutuhan dimiliki dan dicintai subjek mendapatkan dengan melakukan interaksi dengan umat di vihāra. Subjek juga membutuhkan kebutuhan akan pengakuan diri, subjek melakukan
pekerjaan atas nama pribadi untuk tujuan pengembangan hidup. Kebutuhan kognitif sangat dibutuhkan subjek, hal ini terbukti di luar jam kerja subjek mengikuti kursus Bahasa Mandarin, dan ingin melanjutkan studinya di USM. Subjek telah sampai dalam tahapan kebutuhan akan estetika, karena bagi subjek apapun yang terjadi di dunia ini merupakan proses yang wajar dan dapat menjadi baik apabila sekarang dikondisikan dengan baik. Kebutuhan aktualisasi diri subjek belum nampak. Hal ini terjadi sebab subjek menekankan pada kebutuhan-kebutuhan yang lain. Beberapa kebutuhan tersebut yang belum terpenuhi mempengaruhi motivasi subjek bekerja di vihāra. Subjek kedua masih membutuhkan kebutuhan fisiologis sebagai hal utama dalam hidup. Subjek bekerja di vihāra karena ingin mendapatkan rasa aman dibanding dengan bekerja di swalayan sebelum subjek keluar. Subjek membutuhkan rasa dimiliki dan dicintai oleh setiap orang yang berada di vihāra. Kebutuhan pengetahuan dan keterampilan sangat dibutuhkan oleh subjek, oleh sebab itu subjek berkeinginan untuk dapat berkuliah dan menjadi guru. Kebutuhan akan estetika sangat subjek butuhkan dalam lingkungan kerja. Subjek belum dapat mengaktualisasikan diri dengan baik, sebab kebutuhan-kebutuhan lain belum terpenuhi. Kebutuhan dasar yang belum terpenuhi mendorong subjek untuk bekerja, mencari modal, pengalaman, dan berbuat baik. Subjek ketiga masih membutuhkan kebutuhan fisiologis sebagai hal utama dalam hidup. Subjek memerlukan rasa aman, karena subjek sebagai wanita dewasa awal yang menginginkan rasa aman untuk dapat bekerja dengan nyaman. Subjek juga membutuhkan rasa dimiliki dan dicintai oleh teman-teman dan para umat. Subjek membutuhkan pengakuan diri, karena setiap karya tulisan atau kreatifitas subjek dapat membantu masa depannya. Kebutuhan pengetahuan subjek sangat diperlukan. Subjek ingin melanjutkan studi dan kursus serta dapat membuka usaha. Kebutuhan estetika bagi subjek merupakan bagian dari keindahan yang membantu memajukan pengetahuan dan kreativitas dalam usahanya. Subjek sambil bekerja beberapa kali mengaktualisasikan dirinya dengan membuat cerpen dan menulis novel. Dengan melihat hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian mempunyai motivasi bekerja di
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
102
vihāra. Hal ini karena dipengaruhi kebutuhan yang belum terlewati pada penjabaran hierarki kebutuhan Maslow, sehingga ketiga subjek bekerja di vihāra. Selain itu keyakinan subjek pada kusala kamma yang akan menghasilkan kebajikan atau kebahagiaan bagi pelakunya, membuat subjek mengabdi atau berbuat baik. Dari hasil tersebut digambarkan hubungan antar tema yang muncul sehubungan dengan motivasi bekerja di vihāra pada wanita dewasa awal yang telah dilalui oleh ketiga subjek. Skema kasus gabungan dapat dilihat seperti pada gambar 2. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Motivasi wanita dewasa awal bekerja di vihāra adalah dorongan wanita yang berusia 1922 tahun yang mengarahkan tingkah laku untuk mencapai tujuan peran dan tanggung jawabnya sebagai individu di tempat ibadah umat Buddha. Banyak faktor dan/atau komponen yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang, baik dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar individu dan keseluruhan tersebut akan tampak dalam kematangan dan kedewasaan kepribadian seorang individu dalam kehidupannya sehari-hari. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi ada pada diri individu itu sendiri misalnya kemampuan dan kematangan pribadinya serta lingkungan sekitar di mana individu, berada misalnya keluarga dan lingkungan sosialnya. Diketahui motivasi bekerja di vihāra pada masa dewasa dini didorong karena adanya lowongan pekerjaan di tempat ibadah, keinginan untuk mencari modal, mencari pengalaman, dan berbuat baik dengan mengabdi. Lowongan pekerjaan di vihāra sangat mendukung subjek untuk dapat bekerja. Subjek I mendapat suasana baru, subjek II dapat belajar agama, dan subjek III dengan bekerja di vihāra membawa manfaat. Keinginan untuk mencari modal agar dapat melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus agar masa depannya lebih baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga subjek mencari pengalaman dengan bekerja di vihāra. Subjek I mencari pengalaman untuk masa depan, subjek II mencari pengalaman untuk mengenal agama dan umat, dan subjek III mencari pengalaman untuk menyalurkan ide-ide kreatif. Mengabdi merupakan perbuatan baik yang harus dilakukan subjek yang bekerja di vihāra.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Ketiga subjek mempunyai motivasi bekerja di vihāra setelah melakukan pemenuhan kebutuhan yang lain. Hal ini tampak motivasi subjek yang berujung pada harapan masa depan lebih baik dan ingin berbuat baik dengan mengabdi di vihāra, yang artinya berbuat baik dengan kusala kamma. Kusala kamma merupakan perbuatan baik yang disertai kehendak melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani (fisik). Perbuatan baik dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan mengabdi atau membantu di vihāra. Bekerja dapat memenuhi kebutuhan secara mandiri, dengan harapan dapat hidup lebih layak melalui pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dan akhirnya dapat berbuat baik di lingkungan vihāra dan dengan melayani para umat terutama bhikkhu dan samanera yang tinggal di vihāra. Saran Mengingat bahwa subjek telah memiliki motivasi bekerja di vihāra, maka diharapakan subjek mampu lebih dalam memotivasi diri dalam bekerja untuk bekal masa depan subjek. Memahami ajaran agama dengan mengabdi memang diperlukan tetapi subjek juga harus memikirkan masa depan subjek selanjutnya. Subjek harus tetap belajar, sebab dengan pengetahuan dan keterampilan hidup subjek akan lebih baik dan semakin mantap dalam pengabdian atau membantu bagi vihāra, sesama maupun makhluk lain. Peneliti lain yang akan mengadakan penelitian serupa dapat memilih subjek penelitian yang lebih representative dalam jumlah yang lebih banyak sehingga penelitian lebih baik dan akurat. Dalam pemilihan subjek, diharapkan dapat memiliki waktu yang lebih lama untuk melakukan wawancara dan observasi. Daftar Pustaka Anoraga, P dan Suyati, S. (1995). Perilaku Keorganisasian. Jakarta: Dunia Pustaka. Azami, Syuwi. (2009). Motivasi Kerja pada Guru Honorer. Hasil Penelitian. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadharma. Bodhi (Trans.). (2000). The Connected Discourses of the Buddha Vol. I
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
103
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
(Samyutta Nikāya). Oxford: The Pali Text Society. Davids, Rhys and William Stede (Ed). (1992). The Pali Text Society’s Pali-english Dictionary. Oxford: The Pali Text Society. Denzin, K. N dan Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Greenberg, J dan Robert, A. B. (2003). Behavior in Organizations: Understanding and Managing The Human Side of Work. Third Edition. Allin and Bacon. A Division of Schuster. Massachuscets. Handoko M. (1992). Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku Cetakan ke IX. Yogyakarta: Kanisius. Hare. (2001). The Book of Gradual Sayings (Anguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society. Horner (Trans.). (2002). The Middle Length Sayings Vol. III (Majjhima Nikāya). Oxford: The Pali Text Society. Hurlock, E. B. (1980). Developmental Psychology, A Life-Span Approach: Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (Terjemahan Istiwidayanti dan Soejarwo). Jakarta : Erlangga.
Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya. Vol. 3. No 6. Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Purwanto N.M. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Santrock, J.W. (2002). Life Span Development. Alih bahasa: Achmad Chusairi & Juda Damanik. Jakarta: Erlangga. Sear, David O. (1999). Psikologi Sosial. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Tim Penyusun. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Turner, J. S. dan Helms, D. B. (1995). Life-span development. 5 th ed. Forth wort : Harcout Brace College Publisher. Wade, C dan Carol T.( 2007). Psikologi. Jakarta: Erlangga. Weiner, B. 1982. Theories of Motivation from Mechanism to Cognition. Chicago: Mark Co. Widya, D. K. (2005). Kompilasi Istilah Buddhis. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Masefield, Peter (Trans). (2001). The Itivuttaka. Oxford: The Pali Text Society. Moleong L.J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Panjika. (2004). Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Satva Buddhist Centre. Patton. (1987). Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: Sage Publication. Prabu, Anwar. (2005). Pengaruh Motivasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Badan Koordinasi Keluarga Berncana Nasional Kabupaten Muara Enim. Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
104
Gambar 1
Manusia (Wanita)
Berusia 18-40 Tidak memiliki k j Lowongan P k j Vihāra Mendaftar dan diterima
Motivasi Bekerja
Motivasi Intrinsik
Motivasi Ekstrinsik
Lowongan pekerjaan di ihā
Mencari pengalaman
Keinginan untuk mencari d l
Berbuat baik
Motivasi bekerja di vihāra pada wanita
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
105
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Gambar 2 Skema Kasus Gabungan Sosial Sejak lulus SMA ingin bekerja dan mandiri Berinteraksi dengan baik pada semua orang
Wanita Dewasa Awal Berusia 19-22 tahun tidak mencari pekerjaan
Pendidikan Ingin melanjutkan kuliah atau kursus Mencari keterampilan
Berbuat baik Mengabdi merupakan perbuatan baik yang harus dilakukan subjek yang bekerja di vihāra.
Mencari pengalaman Ketiga subjek mencari pengalaman dengan bekerja di vihāra. Subjek I untuk masa depan, Subjek II mengenal agama dan umat, Subjek III menyalurkan ide-ide kreatif.
Keinginan untuk mencari modal Agar dapat melanjutkan kuliah atau mengikuti kursus agar masa depannya lebih baik.
Lowongan pekerjaan di vihāra Lowongan pekerjaan di vihāra sangat mendukung subjek untuk dapat bekerja. Subjek I mendapat suasana baru, Subjek II dapat belajar agama, dan Subjek III bermanfaat dengan baik.
Motivasi Wanita Dewasa Awal Bekerja di Vihāra
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
106
PENGEMBANGAN MODEL ASESMEN OTENTIK PADA PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DI SEKOLAH DASAR DALAM RANGKA PENINGKATAN KINERJA GURU THE DEVELOPMENT OF AUTHENTIC ASSESSMENT MODEL ON BUDDHIST EDUCATION IN PRIMARY SCHOOL IN THE CONTEXT OF TEACHERS’ PERFORMANCE IMPROVEMENT Tri Yatno, Hesti Sadtyadi, Hariyanto, Novianti, Urip Widodo, Sukodoyo
[email protected].
[email protected]. Abstrak Model pengembangan dalam penelitian ini adalah mengembangkan MAO dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha. MAO yang dikembangkan merupakan model assessment for learning. Penyusunan MAO meliputi penyusunan model, validasi pakar, dan melatih guru. Analisis data dalam penelitian awal adalah pendekatan deskriptif, sedangkan analisis pengembangan model adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keterlaksanaan MAO uji coba terbatas sebesar 3,75 lebih rendah dibandingkan dengan uji coba luas sebesar 3,92. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab kondisi tersebut adalah pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan waktu untuk penyesuaian muatan aktivitas yang dilakukan dalam pembelajaran juga bebeda. Perasaan canggung diamati oleh pengamat, dan siswa belum siap menghadapi situasi yang baru. Berbeda dengan pengamatan keempat bahwa semua aktivitas yang telah direncanakan telah dapat direalisasikan semuanya oleh guru. Hasil pengamatan keterlaksanaan implementasi MAO dalam kelas di satu Kabupaten, satu Karesidenan dan dalam satu Provinsi berhasil dengan baik dan selalu mengalami peningkatan. Kata Kunci: pengembangan asesmen otentik, pendidikan agama Buddha
ABSTRACT The development model in this research was to develop the MAO in Buddhism learning. The developed MAO is assessment for learning model. The MAO preparation includes of modeling, expert validation, and teachers training. The data analysis in the initial study was a descriptive approach, while the analyses of the model development were qualitative and quantitative approach. The observation results showed that the enforceability of MAO in limited testing of 3.75 lower than the wide test of 3.92. Several factors are thought to be the cause of this condition is different from the previous study, so it takes time to activities charge adjustments made in the different learning. The awkward feeling observed by the observer, and the student is not ready to face the new situation. Unlike to the fourth observation, that all of the planned activities have been realized by the teacher. The observations of MAO implementation in the classroom in the one district, one residency and in one province are work well and always increase. Keywords: authentic assessment development, Buddhism education pembenahan sistem asesmen (penilaian). PENDAHULUAN Artinya dalam usaha perbaikan sistem pembelajaran di sekolah, diperlukan sejumlah Asesmen penting dalam proses informasi yang diperoleh dari hasil kegiatan pendidikan untuk mengetahui sejauh mana hasil asesmen yang dilakukan secara sistematis dan belajar siswa. Menurut Fran Hagstrum (2006) profesional oleh guru atau instansi pendidikan. peningkatan kualitas pendidikan memerlukan Pelaksanaan asesmen yang selama ini perbaikan proses pembelajaran di sekolah digunakan dalam pembelajaran pendidikan dengan menerapkan cara kerja sistematis yang agama Buddha menggunakan tes tertulis salah satu diantaranya dapat dimulai dari Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
107
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
berbentuk tes pilihan ganda, isian, maupun uraian. Penilaian dilakukan secara terencana yakni dilakukan melalui ulangan harian maupun ulangan akhir semester. Hasil belajar siswa yang hanya ditunjukkan dengan nilai ulangan harian dari setiap bidang studi dan kebiasaan tersebut dilakukan secara terus-menerus menyebabkan berkurangnya kreativitas siswa (Munif Chatib, 2011: p. 145-146). Penelitian Philip dan John (1997) berkaitan dengan hasil belajar siswa dalam pendidikan agama, bahwa pendidikan agama berbeda dengan pendidikan lainnya seperti pendidikan matematika, sains, dan sejarah. Demikian pula dengan pendidikan agama Buddha. Strategi penilaian evaluasi hasil belajarnya berbeda, tidak hanya dilihat dari hasil tes tetapi dari proses pembelajaran di kelas. Munif Chatib (2011:71) menjelaskan bahwa kecerdasan seseorang tidak dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes formal). Setelah dilakukan penelitian, kecerdasan seseorang selalu berkembang (dinamis), tidak statis. Tes yang dilakukan untuk menilai kecerdasan seseorang, praktis hanya menilai kecerdasan pada saat itu, tidak untuk satu bulan lagi, atau sepuluh tahun ke depan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan siswa selalu mengalami perubahan dan berkembang sesuai dengan hal yang dipelajari. Dalam Digha Nikaya (Mahagovinda Sutta, 11-12: p. 290), dijelaskan bahwa Sang Buddha sebagai guru melakukan sesuatu yang beliau katakan dan mengatakan sesuatu yang beliau lakukan dalam setiap aspek ajarannya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Sang Buddha telah melampaui keragu-raguan, menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”, mencapai tujuannya sehubungan dengan cita-citanya dan kehidupan suci yang tertinggi. Guru-guru agama Buddha semestinya meneladani sikap Sang Buddha tersebut dalam hal pembelajaran sehingga tujuan dari pembelajaran pendidikan agama Buddha dapat tercapai. Guru memberikan materi pendidikan agama Buddha pada siswa dengan mengaplikasikannya dalam kegiatan belajar siswa di kelas. Dalam melakukan evaluasi belajar siswa, guru memberikan pertanyaan yang membuat siswa untuk berpikir kritis dengan menggunakan kata tanya “mengapa” dan “bagaimana”. Bentuk-bentuk pertanyaan seperti ini memberikan jawaban yang luas dan membuat belajar siswa lebih bermakna.
Teori Multiple Intelligences menawarkan perubahan yang cukup fundamental dalam penilaian sebagai output sebuah proses pembelajaran. Teori ini menganjurkan sistem yang tidak bergantung pada tes standar atau tes yang didasarkan pada nilai formal melainkan didasarkan pada penilaian otentik yang mengacu pada kriteria khusus dengan menggunakan tes yang memiliki titik acuan spesifik dan tes yang memandingkan prestasi siswa saat ini dengan prestasi yang lalu. Teori selanjutnya adalah Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson. Adapun batasan penilaian kompetensi yaitu tes tunggal tidak cukup untuk memberikan gambaran/informasi tentang kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, dan sikap seorang siswa. Selanjutnya penilaian tidak mutlak karena siswa terus berkembang sesuai dengan pengalaman belajar yang dialaminya. Berikut digambarkan domain kognisi: Evaluasi
mencipta
Sintesis
Mengevaluasi
Analisis
Menganalisis
Penerapan
Menerapkan
Pemahaman
Memahami
Pengetahuan
Mengetahui
Taksonomi
Revisi
Gambar 1. Revisi domain kognisi (Muhammad Yaumi, 2013: p. 93)
Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa domain kognisi pengetahuan (Bloom) atau mengetahui (revisi Anderson) menempati urutan bawah yang berarti itu pengalaman belajar yang paling dasar. Padahal tes yang biasanya dilakukan oleh guru baru mengukur pengetahuan siswa. Meskipun ada pula yang telah mengukur sintesis tetapi itu belum maksimal apalagi domain kognisi evaluasi belum terukur sehingga pengalaman belajar siswa belum terukur secara keseluruhan. Menurut Permendiknas Nomor 2 Tahun 2006 tujuan pendidikan agama Buddha diantaranya siswa dapat memiliki kemampuan dalam (1) mengembangkan keyakinan (Saddha) dan ketakwaan (Bhakti) kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, Bodhisattva dan Mahasattva; (2) mengembangkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia melalui peningkatan pelaksanaan moral (Sila), meditasi (Samadhi) dan kebijaksanaan (Panna) sesuai
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
108
dengan Buddha Dharma (Agama Buddha); (3) mengembangkan manusia Indonesia yang memahami, menghayati, dan mengamalkan/menerapkan Dharma sesuai dengan Ajaran Buddha yang terkandung dalam Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka, sehingga menjadi manusia yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip Dharma dalam kehidupan sehari-hari; (4) memahami agama Buddha dan sejarah perkembangannya di Indonesia. Kompetensi yang harus dicapai dalam pendidikan agama Buddha SD tersebut menuntut beragamnya alat ukur yang digunakan sebagai penilaian. Berdasarkan wawancara dengan guru agama Buddha “X”, tentang alat penilaian yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa, sejauh ini masih menggunakan tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda, isian, dan uraian. Hasil belajar yang dinilai meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor sehingga untuk mengungkap secara menyeluruh ketiga ranah tersebut diperlukan asesmen otentik, yaitu proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh siswa melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan serta menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan capai (Bahrul Hayat, 2010: p. 20). Tes tertulis bisa digunakan tetapi perlu dilengkapi dengan penggunaan alat ukur yang dapat mengungkap kemampuan siswa dari aspek kerja ilmiah (keterampilan dan sikap ilmiah) dan sejauh mana siswa dapat menerapkan informasi pengetahuan yang diperolehnya. Alat penilaian yang diasumsikan dapat memenuhi hal tersebut antara lain tes kinerja atau performance test dan jenis alternatif lainnya seperti penilaian produk, portofolio, penilaian projek, penilaian sikap, penilaian diri dan penilaian tingkah laku (Stiggins, 1994: p. 159). Penggunaan model penilaian otentik dalam pendidikan agama Buddha masih jarang dilakukan. Beberapa guru pendidikan agama Buddha masih berorientasi pada materi dan hasil belajar, bukan dari proses pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran pendidikan agama Buddha harus tercermin dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal tersebut diharapkan dapat menilai secara menyeluruh keberhasilan siswa dalam pembelajaran.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pengembangan Model Asesmen Otentik (MAO) dalam pembelajaran merupakan salah satu kompetensi guru pendidikan agama Buddha yang perlu dikembangkan secara berkelanjutan. Pengembangan MAO ini juga untuk melihat perkembangan belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha. Oleh karena itu, sangat penting melakukan penelitian berkaitan dengan asesmen otentik dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha di SD. Penelitian ini bertujuan: 1) Mengembangkan sebuah produk berupa Model Asesmen Otentik pada pembelajaran pendidikan agama Buddha kelas IV, V dan VI SD yang memenuhi persyaratan asesmen yang baik dan lengkap dengan pedoman pemakaiannya; 2) Mendeskripsikan prosedur pengembangan Model Asesmen Otentik pada pembelajaran pendidikan agama Buddha sebagai laporan informatif; dan 3) Mendeskripsikan karakteristik Model Asesmen Otentik pada pembelajaran pendidikan agama Buddha sebagai laporan informatif. PEMBAHASAN Model Asesmen Otentik Istilah asesmen otentik pertama kali diperkenalkan oleh Grant P Wiggins pada tahun 1988 dalam jurnal Phi Delta Kappan yang berjudul Authentic assessment. Sejak itulah para ahli dan praktisi pendidikan mulai ramai membicarakan tentang alternatif baru dalam pengukuran hasil belajar. Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Selain itu amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang teori Bloom sebuah model yang dijadikan acuan pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di Indonesia sebelum ini penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
109
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya, dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lainlain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna. Arends (1997: p. 284) menafsirkan asesmen otentik sebagai proses penilaian kemampuan siswa dalam melaksanakan tugastugas tertentu dalam situasi nyata. Magdeleine & Henk G Schmidt (2007) juga menegaskan bahwa asesmen otentik mencari dan mengumpulkan serta mensintesis informasi kemampuan siswa dalam memahami dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan proses dalam situasi nyata. Grant Wiggins menekankan perlunya kinerja ditampilkan secara efektif dan kreatif. Tugas yang diberikan dapat berupa pengulangan tugas atau masalah yang analog dengan masalah dihadapi orang dewasa (warga negara, konsumen, profesional) di bidangnya. Biasanya suatu asesmen otentik melibatkan suatu tugas bagi para siswa untuk menampilkan, dan sebuah kriteria penilaian atau rubrik yang akan digunakan untuk menilai penampilan berdasarkan tugas tersebut. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008) penilaian otentik merupakan:“a form of assessment inwhich students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills”. Artinya bentuk penilaian dilakukan dimana siswa diminta untuk melakukan tugastugas dunia nyata yang menunjukkan kebermaknaan dari penerapan pengetahuan dan keterampilan. Hampir sama dengan pernyataan Mueller, selanjutya Stiggins (dalam Mueller, 2008) mengungkapkan bahwa penilaian otentik merupakan penilaian kinerja (perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan ketrampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan yang dikuasainya. Hal serupa dikemukakan oleh Hiebert, Valencia, & Afferbach (1994,
http://www.eduplace.com/, diunduh 5-9-2013) menyatakan bahwa penilaian otentik merupakan penilaian terhadap tugas-tugas yang menyerupai kegiatan membaca dan menulis sebagaimana halnya di dunia nyata dan di sekolah. Tujuan penilaian itu adalah untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata dimana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Dalam pendidikan agama Buddha misalnya siswa dituntut untuk melakukan praktek ritual Buddhis berdasarkan materi yang telah mereka dapatkan dari guru agama Buddha di sekolah. Asesmen otentik dalam pembelajaran adalah suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran sebagai bahan evaluasi dan pengambilan keputusan oleh guru untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa (Herman et al, 1992 : p. 95; Popham, 1995 : p. 3). Variabel-variabel penting yang dimaksud sekurang-kurangnya meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap siswa dalam pembelajaran yang diperoleh oleh guru dengan berbagai metode dan prosedur baik formal maupun informal. Dari beberapa pendapat tersebut didapat pemahaman bahwa asesmen otentik adalah proses asesmen yang dilakukan secara menyeluruh (meliputi semua aspek pembelajaran), berkelanjutan, dan tidak terpisahkan dari proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa, memperbaiki proses belajar, dan sebagai belajar siswa itu sendiri. Tugas otentik atau authentic tasks: is an assignment given to students designed to assess their ability to apply standard-driven knowledge and skills to real-world challenges. Dengan kata lain, suatu tugas yang meminta siswa melakukan atau menampilkannya dianggap otentik apabila: (i) siswa diminta untuk mengkonstruk respons mereka sendiri, bukan sekedar memilih dari yang tersedia; (ii) tugas merupakan tantangan yang mirip (serupa) yang dihadapkan dalam (dunia) kenyataan sesungguhnya. Baron’s (Marzano, 1993) mengemukakan lima kriteria task untuk penilaian otentik, yaitu: 1) tugas tersebut bermakna baik bagi siswa maupun bagi guru; 2) tugas disusun bersama atau melibatkan siswa; 3) tugas tersebut menuntut siswa menemukan dan menganalisis informasi sama baiknya dengan menarik kesimpulan tentang hal tersebut; 4)
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
110
tugas tersebut meminta siswa untuk mengkomunikasikan hasil dengan jelas; 5) tugas tersebut mengharuskan siswa untuk bekerja atau melakukan. Anonymous (2005) mengemukakan dua hal yang perlu dipilih dalam menyiapkan tugas dalam penilaian otentik, yaitu keterampilan (skills) dan kemampuan (cabilities). Anonymous mengungkapkan lima dimensi yang perlu dipertimbangkan pada saat menyiapkan task yang otentik pada pembelajaran sains. Pertama, length atau lama waktu pengerjaan tugas. Kedua, jumlah tugas terstruktur yang perlu dilalui siswa. Ketiga, partisipasi individu, kelompok atau kombinasi keduanya. Keempat, fokus evaluasi: pada produk atau pada proses. Kelima, keragaman cara-cara komunikatif yang dapat digunakan siswa untuk menunjukkan kinerjanya. Penilaian otentik merupakan penilaian langsung dan ukuran langsung (Mueller, 2006: p. 1) saat melakukan penilaian akan lebih baik jika penilaian dilaksanakan saat kegiatan itu berlangsung, contohnya kemampuan berpendapat, saat berdiskusi. Begitu pula menilai sikap atau perilaku terhadap sesuatu atau pada saat melakukan sesuatu. Dalam konteks pendidikan agama Buddha misalnya pada saat mendapatkan materi praktek memberikan ceramah Dhamma (Dhamadesana) ataupun praktek perbuatan baik atau kemoralan. Azmawi Zainul (2001: p. 7-8) menegaskan perlunya asesmen alternatif untuk mengukur kemampuan siswa diluar kemampuan kognitif. Menurut Howard Gardner ada tujuh macam kemampuan dasar, yaitu visual-spatial, bodily-kinesthetic, musicalrhytmical, enterpersonal, intrapersonal, logical mathematical, dan verbal linguistic. Dalam pendidikan agama Buddha kemampuan interpersonal dan intrapersonal adalah yang paling menonjol untuk dinilai. Oleh karena kemampuan intrapersonal melibatkan banyak aspek maka asesmen otentik sangat diperlukan dalam pembelajaran agama Buddha. Landasan psikologis pelaksanaan asesmen otentik diantaranya teori belajar dari Shapiro (1990) tentang teori fleksibilitas kognitif. Teori ini menjelaskan bahwa belajar menghasilkan kemampuan secara spontan untuk merespon segala perubahan yang terjadi secara terus menerus dan seketika. Teori ini menkankan bahwa belajar tidak pernah berhenti karena situasi didunia nyata juga terus berubah.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Pada teori ini penilaian dilakukan pada konteks belajar dan tidak terpisah dari situasi yang dihadapi. Asesmen otentik merupakan asesmen yang menyentuh seluruh aspek pembelajaran. Penyelenggaraan penilaian jenis apa pun menuntut adanya kegiatan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas secara jelas. Menurut Marc Tucker (dalam Mar-zano, 1993:p. 15), guru tidak dapat menilai kinerja siswa tanpa memberikan tugas-tugas kepada siswa; begitu juga guru tidak dapat menilai tingkat prestasi siswa tanpa adanya bukti otentik adanya tugas-tugas yang dikerjakan siswa secara nyata. Dengan demikian apabila asesmen kinerja diterapkan guru, maka dengan sendirinya siswa mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pengetahuan sebelumnya, menunjukkan penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan baru dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya. Tugas-tugas kinerja dalam pengajaran pendidikan agama Buddha di Sekolah Dasar hendaknya dipilih atau diciptakan secara menarik dan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan tingkat perkembangan siswa. Hal demikian diduga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yang memiliki kadar ontask, hands-on, dan minds-on yang relatif tinggi. Dalam menerapkan penilaian terhadap kinerja siswa perlu diperhatikan empat komponen berikut ini: (1) tugas-tugas menghendaki siswa menggunakan pengetahuan dan proses yang telah mereka pelajari; (2) ceklis yang mengidentifikasi aspek-aspek yang diamati; (3) seperangkat deskripsi dari suatu proses yang digunakan sebagai dasar untuk menilai keseluruhan kinerja; (4) contoh-contoh dengan mutu yang baik sebagai model dari pekerjaan yang harus dikerjakan siswa (Moh. Nur, 1997: 2). Dengan demikian, guru dalam memberikan tugas kepada siswa hendaknya didasarkan pada materi apa yang sudah disampaikan dan atau akan dipelajari oleh siswa, sehingga ada kesesuaian dengan kompetensi yang akan dicapai. Selanjutnya penilaian kerja tersebut disertai dengan aspekaspek apa saja yang akan diamati sehingga dalam melakukan penilaian akan terperinci. Deskripsi tentang penilaian yang dilakukan juga diperlukan, hal ini sebagai bahan awal dalam memperlihatkan sejauh mana penilaian yang akan dilakukan dan sesuai tidak dengan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
111
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tujuannya. Kemudian bentuk penilaian kinerja tersebut hendaknya diberikan contoh agar memberi kemudahan kepada siswa untuk mengerjakan tugas tersebut. Asesmen otentik dalam proses pembelajaran adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai teknik sehingga mampu mengungkapkan sejauh mana kemampuan siswa dalam menguasai materi. Beberapa kritik menyarankan agar digunakan cara yang terfokus pada performa aktual siswa atau tugas kehidupan nyata melalui asesmen otentik. Asesmen otentik merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan siswa dalam konteks yang merefleksikan kehidupan nyata. Asesmen otentik tidak hanya mengacu pada penguasaan satu bidang tertentu saja, melainkan menyeluruh dan mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Colin (1991: p. 3). “assesment as a general term enhancing all methods customarily to appraise performance of individual pupil or a group. It may refer to abroad apprasial including many sources of evidence and many aspects of a pupil’s knowledge, understanding, skill and attitudes.” Berdasarkan kutipan tersebut, penilaian merupakan salah satu cara untuk memberitahukan peningkatan kinerja murid secara individual maupun kelompok. Banyak bukti sebagai bahan rujukan pada sistem pemberitahuan di luar negeri yang melakukan penilaian dari banyak aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap. Menurut Pedoman Asesmen untuk Sekolah Dasar (Depdiknas, 2006 : p. 1) asesmen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan merupakan landasan awal yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dan asesmen adalah alat yang digunakan untuk meraih tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu melalui asesmen maka tercapai atau tidak tujuan pendidikan yang diharapkan itu dapat diketahui baik itu pada proses maupun hasilnya. Menurut Zainul (2001: p. 23), ada beberapa jenis tugas yang dapat dilakukan dalam asesmen otentik, tugas-tugas tersebut adalah ; 1) Computer adaptif testing, 2) tes
pilihan ganda diperluas dengan memberikan alasan terhadap jawaban yang dipilih, 3) Extended respons atau open ended question, 4) group performance assessment atau individual performance, 5) interview, 6) observasi partisipatif, 7) portofolio sebagai kumpulan hasil karya siswa, 8) proyek, expo atau demonstrasi, 9) constructed respons. Dengan demikian banyak model tugas yang bisa digunakan dalam pengembangan asesmen otentik. Model tugas tersebut telah mengalami perkembangan dari model tugas-tugas asesmen pada umumnya. Misalnya bentuk pilihan ganda masih bisa digunakan namun ada pengembangan yaitu siswa harus memberikan alasan terhadap jawaban yang dipilihnya. Model Pembelajaran Pendidikan Agama Buddha Pembelajaran pendidikan Agama Buddha merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa Sekolah Dasar beragama Buddha. Proses pembelajaran pendidikan agama Buddha bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan tentang agama Buddha serta membentuk kemoralan yang baik bagi anak. Dalam proses tranformasi pengetahuan ini tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang dalam hal ini guru, ke kepala orang lain dalam hal ini siswa. Siswa harus mampu mengartikan sendiri apa yang sudah diajarkan oleh guru dan menyesuaikan dengan apa yang pernah mereka alami (Lorsbach & Tobin, 1992 dalam Suparno 1997: p. 19). Pembelajaran pendidikan agama Buddha bukan hanya sekedar menghafal serta mampu menyelesaikan setiap tugas dan ujian yang diberikan oleh guru, tetapi juga bagaimana para siswa mamapu mengaplikasikan apa yang mereka dapatkan dari guru pada kehidupan sehari-hari. Pembelajaran pendidikan agama Buddha di sekolah hendaknya menggunakan variasi dalam model pembelajarannya sehingga tidak terjadi kebosanan pada siswa dan akan mendukung maksimalnya proses pembelajaran maupun hasilnya. Sedangkan model-model yang bisa diterapkan dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha antara lain Model Pembelajaran Alternatif, Model Classroom Meeting, Model Cooperative Learning, Model Integrated Learning, Model Inquiry Learning, dan Model Quantum Learning. Tujuan umum pendidikan tidak berbeda dengan tujuan pembabaran Dhamma yang
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
112
diamanatkan oleh Sang Buddha, mereka mengemban misi atas dasar cinta kasih demi kebaikan, kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan bagi orang banyak, seperti yang tercantum dibait keempat Mahamanggala Sutta kitab suci Khuddhakapatha,Khuddaka Nikaya yaitu memiliki pengetahuan dan ketrampilan, terlatih baik dalam tata susila, ramah tamah dalam ucapan, itulah berkah utama. Bahusaccanca secara umum berarti memiliki pengetahuan yang luas atau banyak mendengar. Pada zaman Sang Buddha pendidikan dilakukan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya, karena pendidikan dan pengetahuan tertulis pada waktu itu belum dilakukan. Tingkat pengetahuan orang terpelajar ditentukan dari daya ingat setelah mendengarkan pembicaraan orang lain. Seorang siswa harus mempunyai kualitas seperti daya ingat yang kuat, keinginan belajar dan bergaul dengan orang terpelajar, seseorang yang banyak mendengar dan mengingatnya (bahussuta) adalah orang yang banyak memiliki pengetahuan. Hal ini merupakan berkah utama baik digunakan untuk melaksanakan Dhamma maupun pengendalian diri melalui sila yang dilaksanakan sehari-hari (Rashid, 1997: p. 72). Belajar merupakan bentuk pengembangan pola pikiran manusia untuk perubahan tingkah laku, baik perubahan positif manpun negatif. Pikiran manusia sangat mendominan akan perkembangan kemampuan manusia baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Seperti yang dikhotbahkan Sang Buddha dalam Dhammapada syair I dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah lembu yang menariknya. Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya (Dhammapada syair 1 dan 2)
Berdasarkan kutipan Dhammapada tersebut, dapat dipahami bahwa segala perbuatan yang muncul baik melalui ucapan, pikiran dan badan jasmani berawal dari pikiran. Apabila pikiran dikondisikan baik, maka perbuatan yang muncul akan baik. Tetapi sebaliknya apabila pikiran dikondisikan tidak baik, maka perbuatan yang muncul adalah tidak baik pula. Keberhasilan belajar tergantung dari tingkat kemampuan siswa dalam menangkap dan menerima materi pelajaran yang diberikan guru melalui proses belajar mengajar, kategori tingkat kemampuan anak ada yang cerdas, sedang dan kurang. Bagi anak yang cerdas akan lebih banyak kesempatan untuk lulus dalam menghadapi berbagai evaluasi. Belajar di sekolah memiliki banyak manfaat bagi perkembangan ilmu, moral dan keterampilan. Mata pelajaran tentang ilmu, moral dan keterampilan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Ketiga jenis pengetahuan ini jika digabungkan menjadi satu akan menjadi pengetahuan yang sejati. Seperti yang dijelaskan dalam Khandavagga, Samyutta Nikaya tentang pengetahuan sejati yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh siswa mulia terpelajar memahami bentuk asal mulanya, berhentinya dan jalan menuju berhentinya. Dia memahami perasaan, persepsi, bentukanbentukan berkehendak, kesadaran, asal mulanya serta mengetahui jalan menuju terhentinya (Jotidhammo, 2010: p. 1754). Khotbah Sang Buddha yang tertuang dalam Dighanakha Sutta, Paribbajaka Vagga, Majjhima Nikaya berisi tentang penghapusan pandangan pandangan salah yang ditujukan kepada Dighanakha seorang petapa kelana keponakan Bhante Sariputta. Ketika khotbah dibabarkan Bante Sariputta ikut mendengarkan bagaikan diberi makanan yang sebenarnya disiapkan untuk orang lain. Beliau langsung maju pesat dari tingkat Sotapana menuju tingkat Arahat dengan pengetahuan analitis berunsur empat (Patisambada Nana). Keempat unsur tersebut antara lain: a. Memahami maksud dan tujuan, mampu menjelaskan atau menjabarkan secara rinci, dan mampu mempertimbangkan akibat. b. Memahami intisari atau mampu meringkas dan meneliti atau menunjukkan penyebab.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
113
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
c. Cakap memilih kata atau menggunakan bahasa yang tepat, yang mudah dimengerti dengan benar. d. Kelancaran dalam cara penerapan atau penyesuaian dan dengan bijaksana mampu menguasai persoalan yang timbul mendadak. Pada akhir khotbah petapa kelana Dighanakha mencapai tingkat kesucian tahap awal yaitu Sotapana. Bhante Sariputta mengalami perkembangan spiritual dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian dengan usaha menjalankan Dhamma dengan baik, begitu juga dengan keberhasilan belajar. Belajar harus berusaha dengan sekuat tenaga guna meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor (Anggawati, 2000: p. 101). Guru dalam proses kegiatan belajar mengajar sangat berperan dalam berhasil tidaknya mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tingkat keberhasilan belajar dapat dilihat melalui berbagi bentuk evaluasi baik tes lisan maupun tertulis, yang dapat ditukar dengan nilai. METODE PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan MAO dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha, yang memenuhi kriteria asesmen yang berkualitas. MAO yang dikembangkan merupakan model assessment for learning, yakni di laksanakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menggunakan model penelitian dan pengembangan pembelajaran, bukan pengembangan model pengukuran. Penyusunan MAO meliputi penyusunan model, validasi pakar, dan melatih guru. Model yang dimaksud terdiri atas instrumen: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar tugas siswa, lembar pengamatan ilmiah untuk kelas IV, V, dan VI, asesmen unjuk kerja untuk kelas IV, V, dan VI, lembar pengamatan ketrampilan proses pendidikan agama Buddha untuk kelas IV, V, dan VI, lembar pengamatan aktifitas guru dalam kelas, angket efektifitas MAO, dan pedoman penskoran untuk setiap instrumen dan buku panduan penggunaan MAO dalam kelas. Sedangkan validasi pakar dilakukan terhadap angket penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian awal adalah pendekatan deskriptif disertai dengan narasi yang sesuai dengan kepentingan penelitian, sedangkan analisis pada saat pengembangan model adalah pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan angka antara 1 sampai 4. V = Σ s/[r(c-lo)] Keterangan: V :Validitas isi 1o : Angka penilaian validitas yang terendah (1) c : Angka penilaian validitas yang tertinggi (4) r : Angka yang diberikan oleh seorang penilai s = r-lo
DATA HASIL STUDI AWAL Studi pendahuluan dilakukan terhadap keadaan sekolah, kondisi pembelajaran dan asessmen lapangan, dilakukan dengan observasi proses pembelajaran di kelas, wawancara, dan kuesioner dengan guru-guru pendidikan agama Buddha di Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil observasi proses pembelajaran pendidikan agama Buddha di beberapa Sekolah Dasar diperoleh data bahwa kondisi pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Buddha di Sekolah Dasar dilakukan dengan pendekatan yang konvensional, komunikasi yang terjadi dominan satu arah dari guru, RPP yang dibuat belum menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran, dan dalam melakukan penilaian hasil belajar dominan aspek kognitif dengan tes tertulis serta hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan penilaian dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa guru pendidikan agama Buddha di Kabupaten Wonogiri diperoleh data bahwa, (1) persepsi guru terhadap pembelajaran pendidikan agama Buddha sangat baik dan guru mempunyai motivasi yang tinggi untuk melakukan inovasi terhadap pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Buddha dan assesmennya, (2) minat belajar siswa cukup tinggi terutama yang dilakukan dengan kegiatan yang menggunakan alat bantu bersifat konkret yang ada di lingkungan siswa. Data hasil penyebaran angket terhadap pelaksanan pembelajaran dan penilaian memperlihatkan bahwa assesmen yang dilakukan disekolah ternyata belum sesuai dengan sistem asesmen dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kinerja siswa maupun penilaian diri oleh siswa tidak pernah dilakukan oleh guru. Padahal, kurikulum KTSP untuk mata pelajaran pendidikan agama Buddha menuntut agar penilaian kinerja khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran wajib dilaksanakan. Tanpa itu, sulit bagi guru untuk memberikan nilai kompetensi dasar. Hal
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
114
ini juga memperlihatkan bahwa metode mengajar yang digunakan masih didominasi dengan metode ceramah, tanya jawab, dan latihan soal, sedangkan metode demonstrasi, praktik, mendapat porsi yang masih minim. Hasil ini dijadikan rujukan untuk mengembangkan model asessmen otentik dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha, terutama di Sekolah Dasar.
Hasil validasi angket efektifitas MAO secara keseluruhan setelah uji coba mengalami peningkatan dibanding pra uji coba. Rata-rata hasil penilaian secara keseluruhan pra uji coba sebesar 3,75 dan setelah uji coba meningkat menjadi 3,92. Aspek validitas, reliabilitas, dan sistematis juga mengalami peningkatan, sedangkan aspek objektifitas dan praktis rata-rata hasil penilaiannya tidak mengalami perubahan. Rata-rata hasil penilaian aspek validitas pra uji coba sebesar 3,78 dan setelah uji coba meningkat menjadi 3,89, aspek reliabilitas juga meningkat dari 3,67 menjadi 3,89 dan aspek sistematis meningkat dari 3,56 menjadi 4. Sedangkan aspek objektifitas tidak mengalami perubahan dengan rata-rata hasil penilaian sebesar 3,83 dan aspek praktis juga mempunyai rata-rata tetap yaitu sebesar 3,92.
ANALISIS DATA UJI COBA 1. Hasil validasi angket efektifitas MAO dalam satu Kabupaten Kriteria penilaian dalam validasi efektifitas MAO dengan menggunakan pemberian angka 1 sampai dengan 4. Angka 1 menunjukkan kriteria kurang baik, angka 2 menunjukkan kriteria cukup baik, angka 3 menunjukkan kriteria baik dan angka 4 menunjukkan kriteria sangat baik. Hasil penilaian efektifitas MAO pra uji coba terbatas sebagai berikut: Tabel Hasil penilaian efektifitas MAO pra uji coba terbatas Aspek yang dinilai Validitas
Rata-rata hasil penilaian 3,78
Keterangan Valid
Reliabilitas
3,67
Reliabel
Objektif
3,83
Sangat objektif
Sistematis
3,56
Sistematis
Praktis
3,92
Praktis
Keseluruhan
3,75
Efektif
Tabel di atas hasil penilaian efektifitas MAO pra uji coba terbatas. Terdapat enam aspek yang diuji yaitu validitas, reliabilitas, objektif, sistematis, dan praktis. Rata-rata menunjukkan nilai baik. Sedangkan hasil penilaian efektifitas MAO setelah uji coba terbatas sebagai berikut: Tabel 1. hasil penilaian efektifitas MAO setelah uji coba terbatas
2. Hasil Validasi RPP Satu Kabupaten Hasil validasi RPP Pendidikan Agama Buddha materi Sila dilakukan oleh 3 guru pendidikan agama Buddha Kabupaten Wonogiri menggunakan kriteria penilaian validasi: sangat kurang, kurang, baik, sangat baik. seperti pada lampiran 5. Mencermati tabel tersebut tampak bahwa pada tahap uji coba ini penilai pada umumnya memberikan penilaian yang baik pada semua aspek yang dinilai, sehingga perlu adanya sedikit revisi, yang akan digunakan pada uji coba yang selanjutnya yaitu uji coba satu karesidenan Surakarta. Tabel Hasil validasi RPP N o
Aspek yang dinilai
1
Cakupan RPP Bahasa
2 Aspek yang dinilai Validitas Reliabilitas
Rata-rata hasil penilaian 3,89 3,89
Keterangan 3 Valid Reliabel
Objektif
3,83
Sangat objektif
Sistematis Praktis
4 3,92
Sistematis Praktis
Keseluruhan
3,92
Efektif
Hasil Validasi Pra uji coba Setelah uji coba Rataketer RataKetera rata anga rata ngan penilai n penilai an an 3,5 Baik 3,78 Sangat baik 3,75 Baik 3,89 Sangat baik B A
Penilaian Umum Keterangan: A=dapat digunakan tanpa revisi B=dapat digunakan dengan sedikit revisi C=dapat digunakan dengan banyak revisi D=belum dapat digunakan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
115
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Data hasil validasi RPP oleh pakar sebelum dan sesudah uji caba terbatas mengalami kenaikan. Dimana Aspek petunjuk cakupan RPP dalam pra uji coba mempunyai rata-rata penilaian 3,5, sedangkan setelah uji coba mengalami kenaikan sebesar 0,28 menjadi 3,78. Sehingga aspek petujuk cakupan RPP dari baik menjadi sangat baik. Aspek Bahasa juga mengalami kenaikan sebelum dan sesudah uji coba, kenaikan tersebut sebesar 0,14. Dimana besarnya nilai sebelum uji coba adalah 3,75, sedangkan setelah uji coba menjadi 3.89. 3. Hasil validasi angket MAO oleh pakar dalam satu Kabupaten Tabel Hasil validasi angket MAO N o
Aspek yang dinilai
Hasil Validasi Pra uji coba Setelah uji coba Rataketer RataKeterangan rata anga rata penilai n penilai an an 3,67 Baik 3,84 Sangat baik 3,73 Baik 3,87 Sangat baik 3,78 Baik 3,89 Sangat baik B A
1 2 3 3
Petunjuk Cakupan Bahasa Penilaian Umum Keterangan Tabel : A=dapat digunakan tanpa revisi B=dapat digunakan dengan sedikit revisi C=dapat digunakan dengan banyak revisi D=belum dapat digunakan
Data hasil angket MAO oleh pakar sebelum dan sesudah uji coba terbatas mengalami kenaikan. Dimana Aspek petunjuk angket MAO dalam pra uji coba mempunyai rata-rata penilaian 3,67, sedangkan setelah uji coba mengalami kenaikan sebesar 0,17 menjadi 3.84 Sehingga aspek petujuk meningkat dari baik menjadi sangat baik. Aspek cakupan juga mengalami kenaikan sebelum dan sesudah uji coba, kenaikan tersebut sebesar 0,14. Dimana besarnya nilai sebelum uji coba adalah 3,73, sedangkan setelah uji coba menjadi 3.87. Aspek bahasa juga mengalami peningkatan sebesar 0,11 dimana sebelum uji coba sebesar 3,78 dan setelah uji coba menjadi 3,89.
guru pendidikan agama Buddha dan mahasiswa. Kegiatan praktek kelas masingmasing dilaksanakan 4 kali pertemuan dengan waktu dua jam pelajaran (2x35 menit). Pengamatan keterlaksanaan MAO dalam kelas terdapat 16 aspek yang dinilai oleh pengamat dengan memberikan tanda centang (V) pada kolom ada dan tidak ada. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keterlaksanaan MAO uji coba terbatas lebih rendah dibandingkan dengan ujicoba luas. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab kondisi tersebut adalah pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan waktu untuk penyesuaianmuatan aktivitas yang dilakukan dalam pembelajaran juga bebeda. Perasaan canggung diamati oleh pengamat, dan siswa belum siap menghadapi situasi yang baru. Berbeda dengan pengamatan keempat bahwa semua aktivitas yang telah direncanakan telah dapat direalisasikan semanya oleh guru. Pengamatan Karakter Siswa dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing di tingkat Kabupaten Wonogiri dengan responden 30 siswa, di tingkat Kota Surakarta dengan responden sebanyak 55 siswa dan tingkat Provinsi Jawa Tengah 110 siswa. Pengamatan dilakukan dengan tujuan mengetahui karakterkarakter yang muncul pada diri siswa saat proses pembelajaran. Aspek-aspek yang diamati meliputi kedisiplinan, kejujuran, kemampuan kerjasama, membantu teman, menghargai pendapat teman, ketekunan, dan kehati-hatian. Skala penilaian adalah sebagai berikut: Angka 1 artinya kurang baik Angka 2 artinya cukup baik Angka 3 artinya baik Angka 4 artinya sangat baik Skala tersebut dilengkapi dengan kriteria berdasarkan rubrik penilaian dari hasil pengamatan terhadap karakter siswa. Hasil pengamatan karakter siswa dalam tiga tahap tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut.
HASIL PENGAMATAN UJI COBA Selama pelaksanaan uji coba terbatas dan uji coba luas dalam pembelajaran di kelas, dilakukan pengamatan aktivitas guru masingmasing kelas oleh dua pengamat. Uji coba terbatas MAO dilakukan di Kabupaten Wonogiri dengan 30 objek yang terdiri dari Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
116
Tabel Hasil Pengamatan Karakter Siswa Tingkat N o
Aspek yang diamati
1 2 3
Kedisiplinan Kejujuran Kemampua n kerjasama Membantu teman Menghargai pendapat teman Ketekunan Kehatihatian
4 5
6 7
Kab. Wonogiri (30 siswa) 2,97 2,77 3,2
3,27 3,16 3,38
Prov Jateng (110 siswa) 3,5 3,46 3,49
2,9
3,32
3,59
2,8
3,44
3,68
2,77 3,07
3,42 3,4
3,55 3,6
Kota Surakarta (55 siswa)
Berdasarkan tabel tersebut, aspek kedisiplinan yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 2,97 (dibulatkan menjadi 3) artinya rata-rata kedisiplinan siswa adalah baik yaitu siswa tidak pernah datang terlambat, menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi mengerjakan tugas tidak tuntas. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek kedisiplinan menunjukkan angka 3,27 artinya kedisiplinan siswa adalah baik yaitu siswa tidak pernah datang terlambat, menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi mengerjakan tugas tidak tuntas. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek kedisiplinan menunjukkan angka 3,5 artinya kedisiplinan siswa adalah baik yaitu siswa tidak pernah datang terlambat, menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi mengerjakan tugas tidak tuntas. Aspek kedisiplinan siswa dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan nilai ratarata. Hasil pengamatan terhadap aspek kejujuran yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 2,77 (dibulatkan menjadi 3) artinya rata-rata kejujuran siswa adalah baik, dikatakan baik apabila siswa melaporkan hasil kinerja dan pengamatan apa adanya, tetapi siswa mencontek pekerjaan teman. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek kejujuran menunjukkan angka 3,16 artinya kejujuran siswa adalah baik, yaitu apabila siswa melaporkan hasil kinerja dan pengamatan apa adanya, tetapi masih mencontek pekerjaan
teman. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek kejujuran menunjukkan angka 3,46 artinya kejujuran siswa adalah baik, yang artinya kejujuran siswa baik apabila mampu melaporkan hasil kinerja dan pengamatan apa adanya, dan mengakui hasil mencontek pekerjaan teman. Aspek kejujuran siswa dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan. Aspek kemampuan kerjasama yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 3,2 artinya ratarata kemampuan kerjasama siswa adalah baik yaitu mampu bekerjasama dengan teman dalam satu kelompok dan satu kelas, mudah bergaul, tetapi tidak disenangi teman. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek kemampuan kerjasama menunjukkan angka 3,38 artinya kemampuan kerjasama siswa adalah baik, dikatakan baik jika siswa mampu bekerjasama dengan teman dalam satu kelompok dan satu kelas, mudah bergaul, tetapi tidak disenangi teman. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek kejujuran menunjukkan angka 3,49 artinya kemampuan siswa adalah baik, yaitu mampu bekerjasama dengan teman dalam satu kelompok dan satu kelas, mudah bergaul, tetapi tidak disenangi teman. Walaupun secara kriteria sama yakni mampu bekerjasama dengan teman dalam satu kelompok dan satu kelas, mudah bergaul, tetapi tidak disenangi teman namun aspek kemampuan kerjasama siswa jika dilihat dari nilai rata-ratanya berdasarkan tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan. Aspek membantu teman yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 2,9 artinya rata-rata kemampuan siswa dalam membantu teman adalah baik, maksudnya siswa dapat menjawab dengan sikap yang menyenangkan apabila ada teman yang bertanya, membantu teman yang kesulitan apabila diminta, tetapi tidak membantu teman kalau tidak diminta ketika melihat ada teman yang kesulitan. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek membantu siswa menunjukkan angka 3,32 artinya kemampuan siswa dalam membantu
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
117
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
teman adalah baik. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek membantu siswa menunjukkan angka 3,59 (dibulatkan menjadi 4) artinya kemampuan siswa dalam membantu teman adalah sangat baik dengan kriteria bahwa siswa mampu menjawab dengan sikap yang menyenangkan apabila ada teman yang bertanya, membantu teman yang kesulitan apabila diminta, serta menunjukkan sikap membantu teman walaupun tidak diminta ketika ada teman yang kesulitan. Aspek membantu siswa dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan yang berarti yaitu memiliki kesadaran untuk membantu teman tanpa diminta. Hasil pengamatan terhadap aspek menghargai pendapat teman yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 2,8 (dibulatkan menjadi 3) artinya rata-rata karakter siswa dalam menghargai pendapat teman adalah baik dengan mau mendengarkan teman yang sedang menjelaskan, mengapresiasi pendapat teman, tetapi tidak bersedia mengubah pendapat sendiri. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek menghargai pendapat teman menunjukkan angka 3,44 artinya karakter siswa dalam menghargai pendapat teman adalah baik yaitu mendengarkan teman yang sedang menjelaskan, mengapresiasi pendapat teman, tidak bersedia mengubah pendapat sendiri jika ada pendapat teman yang lebih benar. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek menghargai pendapat teman menunjukkan angka 3,68 (dibulatkan menjadi 4) artinya karakter siswa dalam menghargai pendapat teman adalah sangat baik yaitu mendengarkan teman yang sedang menjelaskan, mengapresiasi pendapat teman, bersedia mengubah pendapat sendiri apabila pendapat teman lebih benar dan valid. Aspek menghargai pendapat teman yang ditunjukkan siswa berdasarkan hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan. Ketekunan siswa yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 2,77 (dibulatkan menjadi 3) artinya ratarata ketekunan siswa adalah baik dengan kriteria bahwa siswa dapat menyelesaikan tugas walaupun sulit, tidak mengeluh saat
mengerjakan tugas, tetapi siswa tidak bertanya pada guru ketika belum jelas. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek ketekunan siswa menunjukkan angka 3,42 artinya adalah baik yaitu mampu menyelesaikan tugas walaupun sulit, tidak mengeluh saat mengerjakan tugas, dan bersikap diam atau tidak bertanya pada guru ketika belum jelas. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek ketekunan siswa menunjukkan angka 3,91 (dibulatkan menjadi 4) hal ini menunjukkan ketekunan siswa meningkat menjadi sangat baik yang artinya siswa mampu menyelesaikan tugas walaupun sulit, tidak mengeluh saat mengerjakan tugas, siswa bertanya pada guru ketika belum jelas. Aspek ketekunan siswa dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Aspek kehati-hatian yang diamati terhadap 30 siswa di Kabupaten Wonogiri menunjukkan nilai 3,07 artinya rata-rata karakter kehati-hatian siswa adalah baik maksudnya siswa mengecek alat yang akan digunakan, dan sebelum dikembalikan, mengerjakan tugas dengan hati-hati, namun tidak merapihkan kembali tempat dan alat yang digunakan selesai pembelajaran. Pada tahapan selanjutnya dengan jumlah responden sebanyak 55 siswa di tingkat Kota Surakarta, aspek kehati-hatian menunjukkan angka 3,4 artinya adalah baik, yaitu siswa mau mengecek alat yang akan digunakan, dan sebelum dikembalikan, mengerjakan tugas dengan hatihati, namun tidak merapihkan kembali tempat dan alat yang digunakan selesai pembelajaran. Kemudian di tingkat Provinsi Jawa Tengah dengan responden sebanyak 110 siswa, pengamatan terhadap aspek kehati-hatian menunjukkan angka 3,6 (dibulatkan menjadi 4) artinya kemampuan siswa adalah sangat baik dengan pengertian bahwa siswa mengecek perlengkapan yang akan digunakan, dan sebelum dikembalikan, mengerjakan tugas dengan hati-hati, serta mau merapihkan kembali tempat dan alat yang digunakan selesai pembelajaran. Aspek kehati-hatian siswa dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap tiga lokasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
118
KESIMPULAN Berdasarkan tujuan dan pertanyaan serta kajian terhadap hasil dan pembahasan mengenai pengembangan model asesmen otentik dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Persepsi guru terhadap pembelajaran agama Buddha sangat baik dan guru mempunyai motivasi yang tinggi untuk melakukan inovasi terhadap pelaksanaan pembelajaran agama Buddha dan asesmennya, dan didukung dengan minat belajar siswayang tinggi teruutama yang dilakukan dengan kegiatan yang mengggunakan alat bantu yang bersifat kongkrit yang ada di lingkunggan siswa. 2. Berdasarkan uji validitas dan reliabiitas semua instrumen MAO dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha memiliki kriteria sebagai instrumen yang baik. 3. Berdasarkan hasil pengamatan keterlaksanaan implimentasi MAO dalam kelas di satu kabupaten, satu karesidenan dan dalam satu provinsi berhasil dengan baik dan selalu mengalami peningkatan. SARAN 1. Bagi guru: dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan agama Buddha, terutama yang berkaitan dengan asesmen, MAO dapat dijadikan salah satu model alternatif. 2. Bagi kepala sekolah: perlu mendorong dan memfasilitasi upaya pengembangan dan implikasi MAO dalam pembelajaran pendidikan agama Buddha sesuai dengan kondisi sekolah. Daftar Pustaka Arends, R.I. (2004). Learning to Teach. New York: McGraw-Hill Companies Arends, R.I. (1997). Classroom intruction and management (Terjemahan). Unitedstates of American Anonymous (2005). Performance Assessment for Science Teachers: Performance Test and Task. Available: http://www.usoe.k12.ut.us/curr/science/ perform/past5.htm
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Anggawati Lanny, Cintiawati Wena. 2000. Panduan Tipitaka Kitab Suci AgamaBuddha. Klaten: Vihara Bodhivamsa. Arikunto Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Jakarta: Bumi Aksara. Azwar
Saifudin. (2012). skalaPsikologi. PustakaPelajar
Penyusunan Yogyakarta:
Azmawi Zaimil, (2001). Alternative assesment. Jakarta: Dirjen Dikti. Collin,
at all. (1991). Test Equiting: Methodesnand practices, New York: Springer Verlag.
Depdiknas. (2006). Buku Dua. Pedoman Pembuatanlaporan hasil belajar,pedoman pengembangan ranah psikomotorik, pedoman pembelajarantuntas, pedoman penilaian ranah efektif, pedoman penilaian denganportofolio, pedoman manajemen pelaksanaan kurikulum berbasiskompetensi, Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Dahar, R.W. (1992). Dampak pertanyaan dan Teknik bertanya guru selama proses. Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Djiwandono Sri Esti Wuryani. 2006. Psikologi Pendidikan Jakarta: PT gramediaWidiasarana Indonesia Driver. R (1982). Children's Ideas in Science. Buckingham, emgland: OpenUnivercity Press. Halawi Leila A, McCarthy V, Pires Sandra. 2009. An Evaluation af E-Learningon the Basis of Bloom's Talcsonomy: An Exploratory Study. Herman, J.L., dkk. (1992). A Practical Guide to alternative assesment. Alexandra:ASDC
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
119
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
htttp://www.unesco.org/ne#fileadmin[vIULTI MEDIA/FIO/ED/pdf/smr2012-rep ortedi.pdf diakses padatanggal 12 Agustus 2013). htttp:// www. unesco. or/neWefa-developmentindex.pdf diakses pada tanggal 12 Agustus 2013) Isaken, S.G., Dorval, K.B., & Treffinger, Dj. (1994). Creative approaches toproblem solving. Dubuque. Iowa: kendall Hunt publishing companyUS Department of Education and the National School to Work Office, 2001belajar mengajar IPA pada berfikir siswa, laporan penelitian FP MIPA. IKIP Bandung. Jotidhamma" Limiadi Rudy Ananda. 2010. Samyutta Nikaya 6 Bagian III:Tentang Khandhw agga. Klaten: Vihara Bodhivamsa. Marzano, R.J., et al. (1994). Assessing Student Outcomes: Performance Assessment Using the Five dimensions of Learning Model.Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development. Muhammad Yaumi. 2013. Prinsip-prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Miller J.P. (2002). Cerdas di kelas sekolah kepribadian. Rangkuman modelpengembangan kepribadian dalam pendidikan berbasis kelas (disadur olehAbdul Munir Mulkhun dari Humanizing the class room oleh John. P.Miller) Yogyakarta: kreasi baru Magdeleine & Henk G Schmidt. Q0A7\ Learning Trought assessment. Reflektion Journal http://www. eduplace.com/, diunduh 5-9 -2013 Mueller, D.J. (2006). Measuring social attitudes. New York: Teachers College,Colombia University Marzato,R.J., et.al. (1993). Asessment student outcomes: performance assesmentusing the dimensions of learning model. Alexandria, Virginia: ASD
Mohamad Nur, (1997). '?engembangan model PBM IPA Berorientasi PKP untuk meningkatkan daya nalar siswa", Executive sunmary hasil-hasil penelitianhibah beraing perguuan tinggi, bab tV. Jakarta: Ditbinlitabmas ditjen Dikti Depdikbud. Osborne, R. & Withock, M. (1985). Leaning in Science: The Implications ofchildren's science. Auckland, NZ: Heinemiurn. Popham, W.J. (1995). Classroom Assesment, what techers need to know. Boston:Allyn and Bacon Rashid Teja SM. 1997. Sila Dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi. Rusidi.
2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Naga Jawa Berdikari.
Slavin, E. Robert. (1997). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik.Bandung: Nusa Bangsa. Sudiyatno. 2010. Pengembangan Model Penilaian Komprehensif Unjuk Kerja Siswa pada Pembelajaran Berbasis Standar Kompetensi di SMK Tel*tologi Industri. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Disertasi tidak diterbitkan. Suhardi, (2002). Landasan pengembangan model buku mata pelajaran Sainssekolah dasarlmadrasah ibtidayah, Yogyakarta: FP MIPA UNS Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: PTBumi Aksara. Sukmadinata Nana. 20A5. Landasan Psikologi Proses Pendidikan Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Syaodih. Suparno. (1997). Filsafat Kontmktivis dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Stiggins, R.J. (Summer, 1994 ) Student Centered Clossroom Assesment NewYork: Maxwell Macmilan Intemational.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
120
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Syah Muhibbin. 2AA5. Psiklologi Pendidilmn Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Team Penterjemah. 1996. Sutta Prtaka Digha Nikaya VII. Jakarta: CV. Inti Kanari Jakarta. Veronika, L.D. (1995). Model Mengajar Inkuiry. Jurnal Teknologi pembelajaran,teori dan penelitian. Tahun ke-3 Nomor .1-2. Oktober 1996. Bandung: Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan PPS IKIP Bandunghttp : /iwww. eduplace. com/, diunduh 5 -9-2 0 I 3 ). Wowor Comelis. 1989. Maha Parinibbana Sutta. Jakarta: CV Lovina Indah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
121
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
EKSISTENSI PEREMPUAN HINDU Kajian Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya Untung Suhardi Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
[email protected]
Abstrak Dasar penelitian ini menggunakan metoda kualitatif dengan pendekatan fenomenalogis melalui teori hermeneutika Gadamer dan teori rasa yang didalamnya menggunakan pengumpulan data wawancara tidak berstruktur. Permasalahannya adalah banyak orang yang beranggapan bahwa sarasamuccaya adalah kitab bias gender yang banyak menimbulkan pro dan kontra dalam kehidupan. Pada hasil penelitian ini bahwa karya sastra besar ini yang ditulis oleh Bhagavan Vararuci yang menceritakan wejangan dari Bhagavan Vaisampayana kepada raja Janamejaya bukanlah untuk merendahkan perempuan tetapi, keberadaan makna wejangan itu adalah agar laki-laki tidak memperlakukan wanita secara sembarangan dan memberikan perhatian bahwa ketika berada didekat perempuan faktor pengendalian pikiran itu sangatlah penting, janganlah sampai terjerumus dalam hubungan yang terlarang, apalagi dengan perempuan yang bukan pasangannya. Hal inilah yang harusnya dihindari oleh laki-laki baik itu pendeta yang selalu berkiprah dalam dunia spiritual yang selalu dijadikan panutan bagi umatnya dan laki-laki pada umumnya agar tetap berada dijalan dharma. Adapun nilainilai pendidikan etika yang berkaitan dengan sloka 424-442 adalah adanya pengendalian diri laki-laki terhadap nafsu birahi, dan pengendalian diri inilah yang memegang peranan penting adalah pikiran sebagai rajanya indriya (Rajendriya). Adapun didalamnya terdapat nilai tat twam asi, viveka, vairagya, dama dan ahimsa yang semuanya ini inti ajarannya adalah pengendalian diri dari masing-masing individu, terutama untuk kaum laki-laki. Kata Kunci : Perempuan, gender, Etika, pendidikan dan Pengendalian diri. Abstract This research using qualitative methods with the fenomenalogis approach of Gadamer's hermeneutics theory and the theory of taste which uses data collection interviews not structured. The problem is many people who assumed that sarasamuccaya is a book of gender bias which raises a lot of pros and cons in life. On the results of this research that this great literary work written by Bhagavän Vararuci which tells to the discourse of the Bhagavän Vaisampayana to Janamejaya King is not to denigrate women but, the existence of the discourse of meaning that is so that men do not treat women arbitrarily and giving attention to that when it is near the woman's mind control factor is very important, not to fall in a forbidden relationship, let alone with a woman not his wife. It should be avoided by both men were pastors who are always engaged in a spiritual world that always was a role model for his people and men in General in order to remain in the way of the dharma. As for the ethics of education values related to the Rigvedic 424-442 is a restraint against male concupiscence, and self-control which play an important role is the mind as his King indriya (Rajendriya). There is value in it as for tat twam asi, viveka, vairagya, dama and ahimsa which are these core teachings from selfcontrol is each individual, particularly for men. Keywords : women, gender, ethics, education and self control.
A. Pendahuluan Secara khusus di Indonesia menugaskan satu departemen untuk menampung aspirasi dan memberikan penguatan kepada perempuan Indonesia, agar terbebas dari keterpinggiran dan ketidakadilan selama ini yakni Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sesuai dengan pasal
27 UUD 1945 yang diperkuat melalui ratifikasi konversi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on The Elimination of All Form of Diskrimination Against Women / CEDAW) ke dalam UU No.7 tahun 1984 serta Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil konferensi dunia tentang perempuan keempat di Beijing
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
122
pada tahun 1995 (Bantas dkk, Gender Dalam Perspektif Agama Hindu, 2004 : p. 2). Ada 5 bentuk ketidakadilan dalam pembakuan peran gender di Masyarakat, yaitu : 1). Marjinalisasi (Pemiskinan ekonomi) 2). Subordinasi perempuan 3). Pelabelan atau penandaan (stereotip) perempuan 4). Kekerasan fisik dan mental psikologis perempuan 5). Beban kerja ganda perempuan. (Bantas dkk, 2004 : p. 1821). Selain itu, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan maka, pemerintah melalui Inpres No.9 Tahun 2000 mengeluarkan konsep Pengarusutamaan Gender (PUG) ”...yang merupakan konsep yang diadvokasi dari konferensi perempuan se dunia ke-4 Beijing (1995) yang secara global telah diterima sebagai strategi dan pendekatan untuk kesejahteraan perempuan dalam pembangunan ...” (Gadis Arivia dalam jurnal perempuan, 2006 Edisi 50 : p. 100). Dewasa ini kajian tentang perempuan menjadi permasalahan yang menarik untuk dieksplorasi dan dianalisis. Sejak perempuan menyadari bahwa dirinya diperlakukan secara tidak adil bila dibanding dengan laki-laki, maka kajian tentang perempuan menjadi salah satu bagian yang digeluti oleh akademisi dan LSM yang secara spesifik menjadi kajian-kajian ilmiah di Universitas-universitas serta menjadi topik utama dalam seminar oleh perkumpulan yang bergerak pada bidang sosial terutama para pemerhati perempuan yang dilakukan diseluruh dunia, termasuk di Indonesia yang dimulai abad 18 dalam satu payung “feminisme”. Hal yang senada juga terdapat dalam kitab Veda yang berusia beribu-ribu tahun, tidak mempengaruhi dalam pola berpikir modern tentang perempuan, perempuan menempati posisi yang istimewa baik di rumah maupun di masyarakat dalam peradaban Veda. Dalam pandangan Hindu perempuan harus diperlakukan dengan halus dan sopan santun karena perempuan banyak memberikan sumbangan khusus kepada dunia dia adalah pembawa Vibrasi kesucian pada keluarganya. (Media Hindu edisi 54, Agustus 2008 : p. 56). Selain itu, perempuan yang telah menjadi seorang ibu dengan tulus ikhlas mengembangkan janin didalam kandungannya yang tidak dapat dilakukan oleh laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa perempuan mempunyai keunggulan-keunggulan dari pada pria. Hal ini dipertegas didalam Rg Veda.I.6.4 menjelaskan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
“Selanjutnya persenyawaan kemampuan yang diilhami oleh sang diri batin untuk bekerja dan memuja. Mulai memahami tugasnya seperti ibu yang memahami Adanya nyawa pada janinnya”. (Maswinara, 1999 : p.11). Berdasarkan mantra diatas bahwa penempatan perempuan melebihi laki-laki, karena hanya perempuan yang mengetahui dan memahami bahwa dalam kandungannya ada janin atau tidak, sedangkan laki-laki tidak pernah merasakan hal itu, karena laki-laki tidak pernah hamil. Hal ini menunjukan diterimanya superioritas perempuan oleh kalangan laki-laki. Dan perempuan hendaknya dihormati karena sebagai tempat tumbuhnya benih-benih penerus leluhur. Dalam mengandung itulah pengorbanan seorang ibu yang tiada bandingannya dalam hal kasih penulisng. Ketika bayi lahir kata pertama yang diucapkan bayi adalah Ma, ketika anak tersebut mencapai usia delapan tahun mulai memasuki kehidupan Brahmacarya, sang Ayah dan Ibu membisikan Mantram Gayatri pada telinga anak dan sejak saat itu sampai usia 24 tahun harus menganggap perempuan diseluruh dunia sebagai ibunya. (Tim Kompilasi, 2006 : p. 254-255) Perbedaan gender seperti di dunia barat tidak dikenal dalam nilai-nilai Hindu, tidak ada diskriminasi dalam kesempatan untuk meraih pendidikan dan karier bagi laki-laki ataupun perempuan. Hal ini dijelaskan dalam beberapa mantra Rg Veda, seperti Rg Veda X.87.3 menyatakan : “Wahai umat manusia laki-laki maupun perempuan milikilah mata ketiga dari ilmu pengetahuan”. Rg Veda X.33.19 menyatakan : “Perempuan sesungguhnya adalah seorang sarjana dan seorang pengajar. Rg Veda X.159.2 menyatakan : “Penulis dapat menjadi seorang raja, seorang sarjana yang terkemuka dan seorang perempuan orator yang ulung”. Dan dalam Kitab Atharva Veda V.17.3.4 menyatakan bahwa : “Dimana kehormatan perempuan dilindungi, bangsa itu akan selamat dan terjamin dan seorang perempuan yang tidak dihormati dapat meruntuhkan bangsa itu” (Suwira dan Yoga, 2007). Ucapan “Sorga ada ditangan perempuan” bukanlah suatu slogan kosong. Dalam Manawa Dharmasastra menempatkan perempuan pada tempat yang istimewa, hal ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra III.56 yang menyatakan ”Dimana perempuan dihormati disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
123
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala” (G. Puja, T.Rai Sudharta, 2002 : p. 147). Beberapa tokoh perempuan dimasa lalu dapat ditemukan dalam Upanisad dan sastrasastra Hindu lainnya yang disebutkan dalam kitab Vedayang sangat dihormati sebagai para Brahmavadini seperti : Visvavara, Apala, Ghosa, Godha istri dari Vasukra saudara perempuan Maharsi Agastya, Lopamudra, Sasvati dan Romasa. Tokoh lainnya dapat dijumpai dalam Ramayana seperti : Anasuya (jnanin yang memberikan nasehat kepada Rama, Sita dan Laksmana, Sabari, Svayampraba (pertapa yang menolong Hanoman), Trijata, Madodari, Sita, Kausalya diMahabharata, antara lain : Drupadi, Kunti, sakuntala, dalam Purana ada Devahuti ibu Maharsi Kapila. (Titib, 1998 : p. 27-28). Konteks hubungan laki-laki dan perempuan dalam unit terkecil adalah bentuk hubungan suami istri. Teks-teks suci ada istilah Ardhaanggani artinya bahwa istri adalah belahan yang tak terpisahkan (ardha) dari badan (angga) suaminya. Tidak ada laki-laki yang sempurna pada dirinya sendiri tanpa didampingi oleh perempuan sebagai istrinya (Tjok Rai Sudharta, “Manusia Hindu”, 1993 : p. 89-90). Laki-laki dan perempuan adalah mitra atau partner dalam segala aktifitas dalam kehidupan. Oleh karena itulah perempuan yang telah dewasa harus dinikahkan dengan cara-cara yang baik sesuai dengan kitab Manava Dharmasastra III : 21-30 yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati. Sastra Hindu memandang perempuan sebagai sosok Vital dan subjek yang patut dihormati, tetapi dalam kitab Sarasamuccaya posisi perempuan seolah-olah dipinggirkan dan dijauhkan. Hal ini dipertegas dalam sloka Sarasamucaya dari sloka 424-442, ada 19 sloka yang merendahkan kedudukan perempuan, yaitu : Sloka 424 : … tidak ada yang menyamai perempuan dalam membuat kesengsaraan … sloka 425 : ... adapun mereka yang berdiam didalam desa ... wanita adalah pangkal keprihatinan... jangan hati tertambat ... sloka 426 ... maut pancadranila ... disebut pula wanita. Sloka 427 : … perempuan penyebab datangnya cinta yang mengikat laki-laki… sloka 428 : … perempuan akan pergi kepada siapa saja tua, muda ... jika birahinya datang …
sloka 429 : … umumnya perempuan itu berprilaku buruk dan tetap saja walaupun diberi ajaran-ajaran … sloka 430 : … pikiran perempuan sangat sulit dimengerti … sloka 431 : … nafsu birahinya tidak pernah terpuaskan dalam persetubuhan … sloka 432 : … semua orang berbicara dosa perempuan … sloka 433 : … hanya orang arif bijaksana yang terhindar dari godaan perempuan … sloka 434 : perempuan menjijikan …. Sloka 435 : …. Perempuan sumber bencana … sloka 436 : …. Vagina perempuan sangat kotor dan menjijikan … sloka 437 : … pendetapun tidak luput dari ketertarika pada vagina … sloka 438 : … ada luka yang tidak pernah sembuh tetapi, setiap laki-laki tertari padanya … sloka 439 : … vagina biarpun digangsir tetap alot … sloka 440 : …. Vagina barang yang menjijikan dan memperangkap laki-laki ….sloka 441 : … jauhi perempuan …. Sloka 442 : … jangan berduaan dengan perempuan. (Suwira dan Yoga Sagara, 2007 : p. 4). Berangkat dari uraian diatas penulis mengambil permasalahan tentang kedudukan perempuan dalam Sarasamuccaya, karena penulis ingin mengetahui sebab kedudukan perempuan Hindu dalam sloka Sarasamuccaya itu, yang sangat direndahkan dan bahkan menjauhkan perempuan. Selain itu, banyak adanya kontra yang terjadi karena salah pemahaman dalam mengartikan sloka 424 sampai 442 yang seharusnya untuk pandita tetapi, karena dibaca oleh umat Hindu pada umumnya pada masa kini maka akan terjadi pemahaman yang keliru karena dianggap bertentangan dengan keseluruhan Kitab sarasamuccaya itu, sehingga kitab Sarasamuccaya itu dianggap tabu dan adanya larangan bagi kaum perempuan untuk membacanya. Sehingga, dengan penelitian ini penulis akan melakukan penafsiran maksud dari sloka 424-442 dengan pemaknaan sebenarnya, karena pada dasarnya kitab ini merupakan sumber ajaran agama yang mengandung nilainilai etika yang tinggi dan Kitab Sarasamuccaya ini salah-satu bagian dari kitab smrti yang merupakan kitab tafsir yang menyisakan ruang bebas melakukan koreksi dan reinterpretasi.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
124
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka, masalah yang akan menjadi fokus penelitiannya adalah kedudukan perempuan Hindu dalam Sarasamuccaya sehingga, dapat dirumuskan masalahnya, sebagai beikut : 1. Bagaimanakah kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya 424-442 ? 2. Apa saja nilai – nilai pendidikan etika Hindu dalam sloka Sarasamuccaya tentang perempuan ? C. Tujuan Penelitian Berkaitan penjelasan diatas ada beberapa tujuan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya. 2. Untuk memahami nilai-nilai pendidikan etika Hindu dalam Sarasamuccaya tentang perempuan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini ada beberapa kegunaan baik dalam praktik maupun teoritis, antara lain adalah : 1. Manfaat praktis : Untuk bahan pembelajaran dalam kehidupan yang sesungguhnya kita harus menghormati perempuan. 2. Manfaat teoritis : untuk bahan bacaan serta menambah referensi bacaan diperpustakaan dan untuk bahan dalam penelitian selanjutnya serta untuk mengisi ruang kosong dan pengembangan dari penelitian sebelumnya. E. Metoda Penulisan Naskah ini menggunakan metode kualitatif, karena dalam penyajian dan analisisnya dilakukan dengan pemaparan. Sumber data ini diperoleh dari pengumpulan buku diperpustakaan, dengan melakukan pencatatan dokumen serta melakukan wawancara dengan informan, seperti : tokoh agama Hindu, para intelektual dan umat Hindu umumnya. Jenis data primer dengan cara wawancara tidak berencana dengan tekhnik wawancara tidak berstruktur yang bersifat terarah, yaitu tanpa mengajukan daftar
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
pertanyaan sesuai masalah, tetapi peneliti sebelum wawancara membuat catatan pertanyaan sesuai dengan masalah (Oka Setiawan, 2008). Dan sumber data skunder dengan kepustakaan, misalnya kitab suci Hindu, pengarang buku tentang perempuan serta artikel lain. Selain itu, penulis menggunakan metoda hermeneutika Gadamer, yaitu Dalam mengartikan teks tidak terbatas pada maksud pengarang, sehingga makna teks itu lebih terbuka dan produktif, seorang interpertator tidak dapat melepaskan historis sekarang dan menyelami kehidupan masa lampau ketika teks ditulis, akan tetapi dalam mengartikan teks tidak terbatas pada masa lalu dan lebih menitiberatkan keterbukaan pada kehidupan masa kini dan masa mendatang, Seorang interpretator tidak dapat terbebas dari prasangka dan tradisi, karena justru akan membantu dalam proses pemahaman, prasangka harus dibedakan antara benar atau salah dan sah atau tidak sah dan untuk mendapatkan pemahaman adalah dengan metoda dialektika (dialog yang produktif antara masa kini dan masa lampau) yang memungkinkan lahirnya pemahaman baru. F. Analisa Masalah 1. Kedudukan perempuan Hindu yang sebenarnya dalam sloka Sarasamuccaya 424-442 Kitab Sarasamuccaya yang merupakan bagian dari Upangaveda. Sebenarnya Sarasamuccaya merupakan intisari dari kitab Mahabharata yang berisi 18 parva (Astadasa parva) disusun oleh Bhagavan Vyasa yang mengisahkan lika-liku kehidupan keturunan Bharata. Kitab Mahabharata inilah yang kemudian disarikan oleh Bhagavan Vararuci yang dinamakan Kitab Sarasamuccaya; Sara artinya intisari dan muccaya artinya Himpunan, nama pengarang kitab ini adalah “Vararuci ini adalah seorang pujangga besar yang diperkirakan adalah Katyayana, Bhagavan Vararuci ini merupakan salah satu Navaratna di Istana raja Wikramaditya” (Classical Dictionary John Downson M.R.A.S London 1891 : 335 dalam N. Kajeng, 1997 :2). Vararuci juga diterjemahkan sebagai Vararuchi: di Devanagari : adalah nama yang terkait dengan teks-teks sastra dan ilmiah
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
125
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
beberapa bahasa Sansekerta dan juga dengan berbagai legenda dibeberapa bagian India. Nama Vararuchi sering dikaitkan dengan Katyayana, Namun, identifikasi Vararuci dengan Kātyāyana belum sepenuhnya diterima oleh para sarjana. Vararuci diyakini penulis Prakrita Prakasa risalah tertua di tata bahasa dari Prakrit bahasa. Nama Vararuci muncul dalam sebuah daftar “sembilan permata” (Navaratnas) di pengadilan Raja Vikrama. Vararuci adalah figur ayah dalam sebuah legenda di Kerala populer disebut sebagai legenda dua belas suku yang lahir dari seorang wanita Parayi panthirukulam Petta paria. Vararuci dari Kerala legenda juga seorang yang cerdik asrtonomi diyakini penulis candravākyas bulan kalimat, satu set nomor menetapkan bujurs dari Bulan pada interval waktu yang berbeda. Dengan demikian, Bhagavan Wararuci (yang terkait dengan Sarasamuçcaya), adalah salah seorang dari “Sembilan Mutiara” di istana raja Wikramãditya. Beliau juga diperkirakan menulis buku-buku Sanskerta seperti Katantra (buku-IV), Lingganusasana, Wararucisanggraha, Wararucikawya, Puspanetra, Carumati dan Kasika. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Wararuci ini adalah seorang Rsi Pujangga Indonesia (Nusantara), yang mahir berbahasa Sanskerta. Sarasamuçcaya kemungkinan disusun di Nusantara dalam bahasa Kawi olehnya, dengan menekankan pada pendidikan moral dalam catur warga. Kemudian pada jaman Dharmawangsa Teguh (985-1006) terjadi penerjemahan Mahabharata dari bahasa sansekerta kedalam bahasa Jawa Kuno yang berlangsung sampai jaman Majapahit (Pudja,1981 : p. 2 dalam Titib, 2006 : p. 73). Seperti tersebut diatas bahwa bahasa dalam Kitab Sarasamuccaya adalah menggunakan bahasa Jawa Kuno sebagai medianya. Bahasa Jawa Kuno ini disebut juga dengan bahasa kawi, karena kata Kawi dalam bahasa Jawa Kuno berarti penyair atau pujangga (Mardiwarsito, 1981 : p. 274 dalam Titib, 1998 : p. 32). Dari penggunaan bahasa kawi ini dapat dilihat dalam bentuk karya sastra seperti Parva, kakawin, geguritan dan kidung. Dalam pelaksanaannya berfungsi dalam kegiatan dalam upacara agama Hindu. Selanjutnya, untuk memperjelas bahwa Sarasamuccaya adalah bagian dari pada Itiasa Mahabhrata maka, dalam hal ini penulis
kutipkan dari Kitab Sarasamuccaya dalam pengantarnya sebagai berikut : Dan ada lagi keutamaannnya yang lain, jika seseorang telah mendengarkan kesedapan rasa puitis sastra suci itu, sekali-kali ia tidak akan berkemauan untuk mendengarkan cerita-cerita lain, termasuk nyanyian-nyanyian rebab, seruling dan lain-lain semacam itu, sebagai misalnya orang yang sudah pernah mendengarkan keindahan suara burung kutilang, yang telah meresap kedalam hatinya keindahan suara burung itu dan dapat membangkitkan kesenangan hatinya, tidak ada kemungkinannya ia akan berkemauan untuk mendengarkan kengerian suara burung Gagak, demikianlah kata Bhagavan Vararuci menghormati Bhagavan Vyasa, serta lanjut mengutarakan keutamaan cerita Mahabharata yang dinamai Sarasamuccaya, Sara artinya intisari dan Muccaya artinya himpunan, demikianlah sebabnya maka Sarasamuccaya disebut sastra suci karya Bhagavan Vararuci, inilah petuah yang dipergunakan oleh Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya pada beliau menceritakan Mahabharata. Inilah asal mula Sarasamuccaya (Nyoman Kajeng, 1997 : p. 5-6). Dari kutipan pengantar tersebut, maka asal mula Sarasamuccaya bermula dari peristiwa yang terjadi dalam keturunan Bharata kemudian dihimpun oleh Bhagavan Vyasa yang disebut kitab Mahabhatara. Dari penjelasan Adi Parva (P.J. Zoetmulder, 2005) bahwa Kitab Mahabhatara menceritakan kehidupan keturunan Bharata sampai meletusnya perang Saudara antara Pandava dan Kurava yang disebabkan karena perebutan kekuasaan dan dalam Adi parva inipula dijelaskan tentang ringkasan cerita 18 Parva dalam Kitab Mahabharata. 1.1 Kajian umum perempuan dalam sarasamuccaya Hindu adalah kebenaran yang abadi (Sanatana Dharma) yang ajarannya bersumber dari Veda. Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang kedudukan perempuan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
126
dalam Kitab Sarasamuccaya. Akan tetapi, penulis akan membahas terlebih dahulu tentang perempuan dalam pustaka seperti, BhagavadGita, Niti Sastra, Manava Dharmasastra, Atharva Veda dan lainnya yang digunakan penulis sebagai referensi dalam memahami perempuan dalam Kitab Sarasamuccaya tentang kedudukan perempuan dalam kitab tersebut. Kitab Veda sesungguhnya sangatlah menghormati dan menghargai martabat perempuan. Dalam kitab Manava Dharmasastra III:56 menjelaskan bahwa ketika wanita tidak dihormati, maka segala yajna tidak berpahala. Kemudian Atharva Veda V.17.3.4 menerangkan bahwa jika perempuan dihormati maka negara akan sejahtera. Kemudian Bhagavad-Gita IX.17 menjelaskan bahwa Aku adalah Bapa, Ibu, pelindung dari alam semesta ini. Kemudian dijelaskan dalam Yajur Veda 39 menerangkan bahwa meletakan lagi diatas tempat dudukmu, air agni dan bumi. Padanya engkau yang menakjubkan berbaring seperti diatas pangkuan seorang ibu (Griffith, 2006 : p. 216). Selain itu, ada juga dari Kama Sutra dan Brhadaranyaka Upanisad yang menempatkan perempuan pada singgasana yang mulia. Pada Kama Sutra karya Rsi Vatsyayana menerangkan bahwa peranan perempuan sangatlah vital dalam hubungan seksualitas dan penerus keturunan (Suwantara, 2007). Dan pada Brhadaranyaka Upanisad VI.2.13 dinyatakan bahwa pada hubungan suami istri bahwa alat kelamin perempuan disimbolkan dengan api yajna (Radhakrisnan, 2008). Hal ini juga dijelaskan dalam Lontar Ganapati Tattva bahwa untuk melanjutkan penciptaan maka, perempuan mempunyai kewajiban untuk mengandung anaknya denga laki-laki yang mulia untuk mendapatkan anak yang suputra (Bantas, 2000). Dengan demikian, kitab Hindu sangatlah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Akan tetapi, karena adanya pembahasan yang dikhususkan untuk hal-hal tertentu, seperti untuk pemimpin, pandita, seseorang yang memasuki tahapan wanaprasta dan sannyasin. Pembahasan tentang sloka 424-442 yang berkaitan dengan perempuan seolah-olah bertolak belakang dengan keseluruhan kitab Hindu tersebut yang sebenarnya selalu menghormati perempuan. Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini bertujuan agar selalu berpegang teguh pada
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
dharma, sehingga malapetaka besar yang dialami leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara antara Pandava dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak Kaurava dan pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi Drupadi yang dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena penghinaan pihak kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak disepakati, ahkirnya meletuslah perang dahsyat itu. Selanjutnya, dalam pembahasan kitab Sarasamuccaya ini, pembahasan tentang perempuan sudah ada dari sloka awal yang membahas perempuan. Karena pemahaman suatu teks ini selalu berkaitan antara teks satu dengan yang lainnya (Teeuw, 2003 : p. 120212). Untuk itulah, penulis akan membahas sloka-sloka dalam Kitab Sarasamuccaya yang berkaitan dengan perempuan, sebelum membahas lebih jauh tentang sloka ini maka, penulis sajikan kutipan teks Sarasamuccaya sloka 424-442 sebagai berikut : a) Sloka 424: Na strῑ bhyah kincidanyadvai pāpῑ yo bhuvi vidyate, strῑ yo mūlamanarthānām manasāpi ca cintitāh. Artinya : Diantara sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita dalam hal membuat kesengsaraan; apalagi memperolehnya dengan cara yang jahat; karenanya singkirilah wanita itu, meskipun hanya di angan-angan, hendaklah ditinggalkan saja. b) Sloka 425 : Strῑ kṛ to grāmanigamah strῑ kṛ tah krayavikrayah, mūlamanarthānām strῑ yo tasmānnaitāh parişvajet. Artinya : Adapun mereka yang ingin berdiam di dalam desa, adalah wanita yang menyebabkannya demikian pula orang yang mau berjual beli dan berdagang, adalah wanita pula yang menyebabkannya; pendeknya yang disebut wanita itu merupakan pangkal prihatin saja; oleh karenanya, janganlah hati tertambat kepadanya.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
127
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
c) Sloka 426 : Antakah pavano mṛ tyuh pātālam vaḍ -avāmukham, kşuradhārā vῑ şam sarpo vahnirityekatah striyah. Artinya : Maut pracandanila, yaitu angin yang luar biasa kencangnya dewa maut, wadawanala, yaitu api berkepala kuda di dasar bumi, tajamnya pisau cukur, bisa atau racun kalkuta, ular berbisa, prakupitagni, yaitu api berkobar-kobar dengan dahsyatnya, kesemuanya itu, adalah wanita dinamakannya; pun salah satu dari kesemuanya itu, sesungguhnya disebut pula wanita. d) Sloka 427 : ānāyamiva matsyānān pañjaraṁ cakuneriva, samastapācam mūdasya bandhanan vāmalocanā. Artinya : Sebab wanita itu, menyebabkan datangnya cinta, matanya yang galak-pikir doyan asmara; merupakan alat pengikat, rantai pembelenggu si bodoh, sebenarnya itu seperti misalnya jala, pukat, pajang, adalah diadakan untuk perangkap ikan, dan sangkar burung itu diadakan adalah memenjarakan burung. e) Sloka 428 : Nāsām kaşcidagamyo’sti nāsām vayasi nişcayah, virūpam vā surūpam va pumānityena bhunjate. Artinya : Tidak ada yang tidak patut akan didatangi oleh wanita; tidak patut aku pergi kesitu, sebab keadaanku begini; akan dia itu, keadaannya begitu, patut dihormati; tidak mempunyai pertimbangan demikian wanita itu; sebaiknya ia pergi saja dan tidak memikirkan, apakah si anu itu orang muda ataupun orang tua, ia tidak menghiraukan, apakah tampan atau buruk, laki-laki ini, demikian
saja pikirannya, pada waktu nafsu birahinya datang. f) Sloka 429 Anarthivanmanusyana bhayāt paribhavāt tathā, maryādāyāmamaryadah striyaşṭ istanti bharṭ ṛ şu. Artinya : Kesimpulannya, wanita itu umumnya berlaku buruk, tidak dapat dibatasi; meskipun telah dibatasi, kepadanya telah diberikan ajaranajaran yang benar, namun sebab ia bukan karena patuh waktu dinasehati, hanya tampaknya tunduk terhadap suaminya; sebab yang sesungguhnya ia berbuat demikian, agar dia jangan digarap (disakiti) lagi; juga sang suami jangan membujuk-bujuknya; mungkin karena takutnya, mungkin karena takut disiksa, maka ia berlaku demikian (terhadap suaminya). g) Sloka 430 : Uşanā veda yacchāstram yacca veda vṛ haspatih, ubhe te na vişisyeta strῑ buddhistu vişişyate. Artinya : Biarpun ilmu Bhagavan Sukra dan ilmu pengetahuan Bhagavan Wrhaspati, dapat keduanya itu, dengan tiada begitu sukar dikuasai dengan jalan selalu mengulangulanginya, sehari-hari harus digiatkan dan diusahakan; sebaliknya pikiran wanita itu sangat sulit untuk dimengerti tak dapat dipastikan bahwa ia dapat dikuasai, biarpun sehari-hari dengan giat diusahakan; penuh kekecewaan sesungguhnya hamba; apa nian cara orang menjaga akan dia. h) Sloka 431 : Nāgnistrpyati kāstānām napagānāṁ mahodadhih, nāntakah servabhutānām na pumsam vāmalocanā Artinya : Tidak ada puas-puasnya api itu, biarpun segala rupa pohon kayu, semua yang tumbuh di muka bumi
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
128
ini dijatuhkan kepadanya, pasti tidak akan menjadikan kepuasannya, bahkan semakin bertambah besar saja nyalanya, oleh kesemuanya itu; demikian pula laut itu tidak kenyang-kenyang meminum air dari sungai-sungai, begitu pula sang maut tidak puas-puas mencaplok jiwa semua mahluk; maka demikianlah si wanita itu tidak ada kepuasan nafsu birahinya akan persetubuhan. i)
Sloka 432
Yasya jihvāsahasraṁ syājjῑ vecca şarada şatam, ananyakarmā strῑ dosān naivoktvā nidhanaṁ vrajet. Artinya : Tidak ada henti-hentinya dosa wanita itu jika diceritakan, bilamana ada orang yang berlidah seribu dan berusia seratus tahun serta tidak melakukan pekerjaan lain, melainkan hanya dosa wanita itu saja yang diceritakannya, pasti tidak akan berakhir ceritanya sampai jangkanya datang dicaplok maut. j) Sloka 433 : Angārasadrşi narῑ ghrtakumbhasamah pumān, ye prasakta vilῑ nāste ye sthitaste pade sthitāh. Artinya : Dan wanita itu adalah bara sesamanya, sedang si pria itu sama halnya dengan minyak, artinya apabila pria berahi itu datang mendekat kepada si wanita, pasti akan hancur lebur, tidak bergaya; sebaliknya jika orang tetap berlaku arif bijaksana, tidak terkuasai hatinya oleh wanita, niscaya ia tetap selalu dalam keadaan selamat. k) Sloka 434 : Strῑ nāma māyā nikṛ tih krodhamātsaryavigrahā, dtūrā tyajedanāryām tāmjvalitamedhyavadbudhah. Artinya : Sesungguhnya wanita itu tidak lain dari pada sulap, berbahaya,
l)
berwujud kemarahan, cemburu; oleh karena itu maka dijatuhkan oleh sang pandita, sebab tiada bedanya dengan sesuatu yang tidak suci (untuk digunakan kurban kebaktian), sesuatu yang menjijikkan, sesuatu yang kotor. Sloka 435 :
Svabhāvaccaiva nāriṇ ām narāṇ amiha dūsanam, itthvam vai na pramādyanti pramadāsu vipaşcitah. Artinya : Kebiasaan wanitalah yang berbuat bencana kepada orang; dukacita dan prihatin ditimbulkan olehnya, serta membatalkan segala kerja; sadarlah sang pandita akan hal itu; karenanya, selalu berusaha menjauhi wanita. m) Sloka 436 : Yeşu yeşu pradeşcesu kāyo’tyantajugupsitah, teşu teşu janah sakto vairagyam kèna yāsyati. Artinya : Adalah suatu alat pada tubuh si wanita, sangat menjijikkan dan sangat kotor; mestinya dibenci, dan dijauhi, jangankan dapat demikian, untung sekali, jika orang tidak sampai lekat, rindu berahi dan cinta kasmaran pada alat tersebut; orang yang bersikap demikian, apakah mungkin tidak terikat pada asmara. n) Sloka 437 : Ko hi nāma manusyesu jānannapi vicakşaṇ ah, harinῑ padamātreṇ a carmana nā khalῑ kṛ tah. Artinya : Sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya cukup bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada tubuh wanita, yaitu kulit yang berukuran sebesar jejak kaki kijang. o) Sloka 438 : Prasvedamaladig mūtraşoṇ itam,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
dhena
vahatā
129
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
vraṇ ena vivṛ tenaiva sarvamandhῑ kṛ tam jagat Artinya : Ditengah-tengah kulit sebesar jejak kaki kijang, terdapatlah luka yang menganga yang tidak pernah sembuh, yang menjadi salura jalan air seni dan darah, penuh berisi keringat dan segala macam kotoran; itulah yang membuat orang bingung di dunia ini, kegila-gilaan, buta dan tuli karenanya. p) Sloka 439 : Kūlāni nāsya pātyante na kathamapi khanyate, khanakaiva kşayaṁ yāti balena ca ḍ hanena ca. Artinya : Luka itu digangsir selalu, tapi tidak ada yang rapuh, tidak ambruk pinggirnya, malahan alat penggangsirnya yang menjadi lemah, hilang kekuatannya, lenyap kekayaannya. q) Sloka 440 : Yānyeva malavāhini pūticchidraṇ i yositām, tānyeva khalu kāmyani aho pumsāṁ viḍ ambanā Artinya : Terlalu menjijikkan luka itu, menurut pendapat hamba; mengeluarkan segala macam kotoran badan; luka itu diselubungi oleh semacam jerat burung (tampus=Bali), yang berlemak lagi sangat alot, itulah yang menyebabkan berahi, terikat cinta asmara di dunia ini; heran sesungguhnya hamba buka alang kepalang bencana di dunia ini. r) Sloka 441 : Yositām na kathā şravyā na nirῑ ksyā nirambarāh, kadāciddarşanat tāsām durbalānavişedrajah. Artinya : Oleh karena itu hendaklah dijauhi wanita itu; jangan didengarkan katakatanya, apalagi segala bisikbisiknya, jangan dipandang wajahnya, apalagi bila ia telanjang
bulat, sebab akan tampak itu, dan terdengar akan perkataannya, itulah yang menyebabkan merasuknya nafsu berahi. s) Sloka 442 : Mātrā svasrā duhitrā vā na viviktāsano bhavet, balavānindriyagrāmo vidvāṁsamapi karşati. Artinya : Jangan tidak berhati-hati, jangan bersenda gurau, bercakap-cakap berduaan dengan ibu anda, saudara anda, anak anda, karena cepat benar menyusup pengaruh indria (nafsu birahi) itu, meski sang pandita sekalipun tertarik olehnya. (Nyoman Kajeng, 1999 : p. 331-344) Merujuk dari uraian tentang sloka tersebut, bahwa yang menjadi fokus naskah penulis adalah sloka 424-442, dengan adanya 19 sloka tentang stri ini bukanlah untuk menjauhi perempuan secara fisik karena seolaholah pembawa kesengsaraan. Akan tetapi, yang menjadi pokok permasalahannya adalah pengendalian diri seorang laki-laki terhadap objek perempuan, janganlah sampai berpikir negatif tentang perempuan dan hindarilah wanita yang bukan miliknya karena akan menyebabkan kesengsaraan baik diri sendiri maupun orang lain. Hal inilah isi dari wejangankan Rsi vaisampayana kepada Janamejaya bahwa yang dijauhkan bukanlah wanitanya, akan tetapi pikiran laki-lakilah yang harus menjauhi hal-hal yang negatif terhadap perempuan jangan sampai menjadi pelayan nafsu dan selalu berada dijalan dharma. Bagian dari kitab Sarasamuccaya diuraikan tentang perempuan (Stri) yaitu dari sloka 424 sampai dengan 442 (N. Kajeng, 1999) pada uraian sloka-sloka ini menjelaskan tentang perempuan dipandang sebagai pembawa kesengsaraan dan harus dijauhkan terutama oleh golongan Pandhita (Sloka 434435). Padahal, Sarasamuccaya itu merupakan kitab suci Veda yang harus dipahami oleh umat Hindu khususnya, tetapi karena pemahaman yang keliru tentang bagian sloka ini maka kedudukan perempuan dalam Sarasamuccaya itu seolah-olah direndahkan dan dijauhkan. Hal ini terutama jika dipahami oleh umat Hindu pada umumnya selain golongan pandhita.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
130
Perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan guru rupaka yang berperan dalam pelaksana agama bersama suami terutama Nitya karma, hal ini menunjukan kesamaam hak dan kewajiban yang sama dalam mencari kesucian, pelaksanaan dharma, berhak mendapat samskara sebagai Dwijati (Pandita). Dalam hal inilah perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki untuk mencapai kehidupan spiritual dan mencapai tujuan akhir yaitu pembebasan. Dengan demikian, dalam mencapai tataran kehidupan spiritual ini tidak ada tembok pemisah antara laki-laki dengan perempuan, namun pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk mencapai pendakian spiritual. Hal tersebut misalnya, pada kitab Sarasamuccaya yang secara keseluruhan mengandung ajaran moral yang tinggi yang merupakan intisari kitab Mahabharata yang ditulis oleh Bhagavan Wararuci yang berisi wejangan Bhagavan Vaisampayana kepada Maharaja Janamejaya. Ajarannya mengandung nilai moral (etika) dan spiritual yang tinggi yang merupakan pedoman untuk para pemimpin agar dapat menjalankan pemerintahannya dengan benar dan rakyatnya sejahtera serta sebagai pedoman bagi seseorang yang termasuk golongan Pandhita (rohaniawan). Karena menurut konsep Hindu dalam kehidupan ini seorang manusia mengalami 4 tahapan kehidupan, yaitu masa menuntut ilmu (Brahmacari), berumah tangga (grhasta), wanaprasta dan sanyasin, sehingga tujuan hidup ini tercapai setelah dharma, artha, kama terpenuhi dan akan memcapai pembebasan (Gede Rudia Adiputra, 2003). Bhagavan Vaisampayana menyampaikan ini bertujuan agar selalu berpegang teguh pada dharma, sehingga malapetaka besar yang dialami leluhurnya dahulu tidak terulang kembali, yaitu perang saudara antara Pandava dan Kurava, yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan pada pihak Kaurava dan pandava serta adanya penghinaan kaurawa dengan menelanjangi Dewi Drupadi yang dilakukan oleh Dursasana (Kumala Subramaniam, 2002). Karena penghinaan pihak kaurawa itu sudah keterlaluan, dan upaya damai tidak disepakati, ahkirnya meletuslah perang dahsyat itu. Merujuk dari sloka-sloka tersebut perempuan begitu direndahkan, dari cara pandang yang demikian ini, sangatlah cocok dengan empat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
tahapan kehidupan (Catur Asrama) yang terakhir dalam Hindu yaitu Saniyasin, karena pada tahapan ini diharuskan menjauhi seks yang selalu dikaitkan dengan perempuan sebab dia sudah menjalaninya pada tahapan Grhasta. Dengan kata lain, kehidupan sex tidak lagi menjadi tugas seorang yang memasuki Sanyasin, tugasnya adalah mempelajari sastra suci untuk bekal kehidupan selanjutnya menuju alam keabadian. Dari Pemahaman sloka Sarasamuccaya hanya diperuntukan untuk golongan rohaniawan terutama golongan sanyasin akan tetapi, umat Hindu pada umumnya membaca sebagian potongan sloka itu maka, secara spontan mereka akan memberikan komplain atas sloka tersebut bahwa ternyata kedudukan perempuan dalam kitab suci Veda seolah-olah dimarginalkan dan seluruh latar belakang dari Sarasamuccaya sebagai kitab Etika Hindu hilang karena 19 sloka tersebut. Dari uraian tentang perempuan tersebut bukanlah secara sembarangan dijauhkan akan tetapi, karena perempuan itu suci dan agung sehingga, jauhilah sifat-sifat yang menjelekan tentang perempuan. Dengan demikian, yang dijauhkan bukanlah diri perempuan sebagai objek pembawa kesengsaraan, akan tetapi cara berpikir laki-laki tentang perempuan yang seharusnya dikendalikan. Dan bahkan perempuan itu menurut pandangan para Maharsi adalah altar dari pada suatu yajna dan sakti dari laki-laki sebagai kekuatannya (Titib, 2000). 2.Nilai Pendidikan Etika Hindu Tentang Kedudukan Perempuan Hindu Dalam Kitab Sarasamuccaya sloka 424-442 Ajaran Etika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) yang membentuk sistem nilai dalam suatu golongan atau masyarakat (K. Berten, 1997: p. 16 dalam Bantas dan Wirawan, 2009: p. 2). Pada dasarnya ada dua kecenderungan sifat manusia sebagaimana yang telah diuraikan dalam Kitab Sarasamuccaya yaitu Sadhujana, sifat orang yang suka berbuat baik dan berbudi luhur dan Durjana, sifat orang yang bertabiat buruk yang selalu membicarakan noda orang lain walaupun sebesar biji sawi dan tidak terlihat olehnya noda sendiri walau sebesar buah maja (Sarasamuccaya 341). Dari penjelasan awal bahwa Kitab Sarasamuccaya merupakan sebuah ajaran yang mengandung
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
131
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
nilai etika yang sangat tinggi yang harus dipedomani oleh setiap manusia, khususnya umat Hindu. Pada pembahasannya merupakan suatu yang saling berkaitan antara teks sebelumnya dan teks setelahnya, yaitu membicarakan tentang dharma, penggunaan Artha, pemenuhan kama dan pada bagian akhir membicarakan tentang kelepasan (Moksa). Ajaran etika Hindu tidak menggunakan istilah yang bersifat dogmatik, baik atau jahat, surga atau neraka. Hal ini karena etika Hindu dibutuhkan untuk menyelaraskan kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan yang merupakan tiga konsep kebahagiaan (Tri Hita Karana) untuk mencapai tujuan akhir penjelmaan manusia (Gede Jaman, 2006). a. Nilai Pendidikan Tat Twam Asi Merujuk sloka diatas mengandung makna yang sangat dalam bahwa Tat Twam Asi berarti engkau adalah itu, engkau adalah aku dan aku adalah engkau dan semua makhluk adalah Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu oleh karena itu, jiwatmaku dan prakerti semua makhluk adalah tunggal dengan jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Dengan demikian, engkau adalah aku dan aku adalah engkau, itulah kebenaran. Ajaran Tat Twam Asi ini mengakui dan mengajarakan bahwa harkat dan martabat manusia adalah sama. Perbedaannya adalah pada guna (sifat) dan kerja serta kualitas pengabdiannya (Gede Rudia Adiputra, 2003 : p. 75). Selanjutnya, Kitab Sarasamuccaya sloka ini menjelaskan bahwa Rsi Waisampayana menganjurkan agar seorang raja harus mengayomi rakyatnya, dengan melaksanakan swadharmanya merupakan sebagai suatu kewajiban tanpa adanya pamrih dan tanpa terpengatuh godaan-godaan nafsu duniawi terutama dengan godaan nafsu birahi yang disalurkan secara tidak benar kepada sembarangan perempuan, kecuali dengan pasangan sendiri dalam bingkai Grhasta melalui pernikahan yang sah. Selain itu, dalam hal spiritual Bhagavan Vaisampayana mengajarkan bahwa seorang raja harus selalu melakukan tapa (pengendalian diri), terutama mengendalikan pikirannya agar tidak terjerembab dalam lembah kehancuran dan penderitaan serta sopan santun terhadap semua orang tanpa membedakan drajat dalam struktur masyarakat.
b. Nilai Pendidikan Viveka Viveka artinya daya pembeda yang dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, amal, dan dosa, baik-buruk, sejati dan palsu; ini sangat menentukan “keputusan hati’ yang disebut Nisacaya Jnana. Sedangkan “keputusan hati” akan mendorong dan mewarnai ucapan maupun tindakan.“Dadi pwang niscaya jnana lumekas tak ujar, lumekasang maprawerthi Artinya : Bila keputusan hati telah terbentuk maka keluarlah kata-kata dan gerak perilaku” (Sarasamuccaya 79. Nyoman Kajeng, 1999). Jadi, kemampuan melakukan Wiweka sangat membantu untuk menjadi lebih bijak dan lebih arif dalam “Angraksa acara rahayu” (menjaga agar perilaku tetap benar dan baik). Dengan demikian, pengendalian terhadap pikiran itu sangatlah penting jika menguasai atas indria ini maka seseorang akan menjadi sosok yang bijaksana. Dinyatakan dalam sloka 437 bahwa “sebab di dunia ini sang pandita sesungguhnya ssangatlah bijaksana, tiada luput beliau dari pada noda, dikuasai oleh alat yang ada pada tubuh wanita, sebesar jejak kaki kijang”. Oleh karena itulah Bhagavan Vararuci menjabarkan wejangan tersebut bahwa walaupun seorang pendeta yang bijaksana sekalipun dapat terikat oleh benda sebesar kaki kijang (sloka 437), sehingga ia terjatuh dalam gelombang duniawi. Hal ini seperti Bhagavan Viswamitra yang digoda oleh bidadari Menaka, dan akhirnya gagalah pertapaan beliau, karena dalam hal ini belum adanya pengendalian pikiran atas indriya yang selalu mengikat seseorang untuk menikmatinya. Hal ini Bhagavan Vararuci mengamanatkan bahwa walapun seorang pandita ada kelemahan berpikir mengenai subjek seorang perempuan, apalagi perempuan itu sedang dilanda asmara, jika pikiran tidak terkendali maka akan terperosok dalam lembah kesengsaraan dan kehancuran. Jadi, Bhagavan vararuci menceritakan bahwa pada saat itu seseorang janganlah selalu mengumbar hawa nafsunya sembarangan, tetapi mengarahkannya pada hal yang positif karena pada dasarnya perempuan itu mempunyai tempat terhormat. Hal inilah yang disebut dengan pengendalian alat indria (Indriya nigraha) adalah mengekang atau mengendalikan indriya, tidak mengumbar nafsu untuk menikmati kesenangannya (Sarasamuccaya :63, Nyoman Kajeng, 1999).
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
132
c. Nilai Pendidikan Vairagya Merupakan istilah yang digunakan dalam filsafat Hindu yang secara kasar diterjemahkan sebagai dispassion, detasemen, atau penolakan, dalam penolakan khususnya dari rasa sakit dan kesenangan di dunia material (Maya). Para filsuf Hindu yang menganjurkan Vairagya mengatakan kepada pengikut mereka bahwa itu adalah sarana untuk mencapai moksha. Vairagya adalah kata majemuk bergabung vai berarti "kering, dikeringkan" + raga yang berarti "warna, gairah, perasaan, emosi, minat" (dan berbagai penggunaan lainnya). Rasa "pengeringan dari hawa nafsu" Vairagya memberikan arti umum tertarik pertapa dalam hal-hal yang akan menyebabkan lampiran pada kebanyakan orang. Sikap terhadap kehidupan seorang pertapa yang telah tenang semua hawa nafsu dan keinginan disebut sebuah vairāgika. Jadi, Vairagya adalah ketidakterikatan terhadap indriya untuk menikmati kesenangan duniawi dan kesibukan pikiran dalam kegiatan rojani (Prabhupada, 2000:343). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikaitkan dengan Sarasamuccaya sloka 424-442 bahwa pengendalian indriya sangatlah perlu dilaksanakan oleh semua orang, agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan. Hal ini terkandung dalam bagian stri bahwa seorang yang ingin mencapai tingkatan kebijaksanaan harus mampu untuk melepaskan keterikatannya terhadap objek indriya dengan pengendalian pikirannya. Hal ini seperti dalam sloka 428 ... “tidak patut aku pergi kesitu, sebab keadaanku begini ... keradaannya begitu patut dihormati”. Dapat dijelaskan bahwa seorang pendeta seperti Rsi Vaisampayana sangat menjauhi pikiranpikiran tentang objek wanita, karena jika kelemahan berpikir tentang wanita dituruti, maka akan menyebabkan jatuhnya martabat sang pendeta. Sehingga bukan objek perempuan yang dijauhi akan tetapi, kelemahan berpikir laki-laki yang harus dikendalikan, karena pada dasarnya bahwa perempuan itu memiliki kedudukan yang terhormat dalam kehidupan ini. Sehingga, vairagya haruslah diterapkan dalam hidup ini, dengan melaksanakan perbuatan dengan tulus ikhlas karena pahala pasti akan mengiringinya sesuai dengan perbuatan. Dan pemenuhan nafsu ini diperkenankan pada tahapan Grhasta bukan pada yang lain sesuai ajaran dharma.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
d. Nilai Pendidikan Ahimsa Perkataan Ahimsa berasal dari dua kata yaitu : “a” artinya tidak,“himsa” artinya menyakiti, melukai, atau membunuh.Jadi, Ahimsa artinya tidak menyakiti, melukai, atau membunuh mahluk lain baik melalui pikiran, perkataan, dan tingkah laku secara sewenang – wenang. Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membunuh atau menyakiti mahluk lain adalah dosa. Ajaran Ahimsa itu merupakan salah satu faktor susila kerohanian yang amat penting dan amat utama.Menurut ajaran Dharma didalam sloka disebutkan ahimsa para dharmah artinya kebajikan ( Dharma ) yang tertinggi terdapat pada ahimsa. Jadi, jelaslah bahwa ajaran yang tinggi itu adalah tidak membunuh atau menyakiti. Dengan demikian, ahimsa mengandung pengertian bahwa tanpa adanya kekerasan dan penuh dengan welas asih dan kasih sayang dan ajaran ahimsa ini sangat erat kaitannya dengan adanya pemahaman tentang pengendalian diri, kedermawanan dan cinta kasih. Dalam etika Hindu ketiga hal ini merupakan suatu fondasi yang akan membentuk dasar kehidupan yang baik dan benar yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dan ketiga kebaikan ini terdapat dalam Brhadaranyaka Upanisad 5.2.1-3 yang menyatakan bahwa : Pada suatu hari dewa-dewa, manusia dan raksasa meminta Rsi Prajapati untuk memberikan mereka nasehat. Pada para Dewa, Prajapati berkata :”Da” yang mereka mengartikan dengan Danayata atau praktek pengendalian diri. Pada manusia, Prajapati Berkata “Da” yang diartikan dengan Datta atau latihan beramal. Pada raksasa, prajapati berkata : “Dayadham atau cinta kasih. Lebih lanjut upanisad selalu mengatakan pada kita bahwa prajapati mengingatkan kepada semua makhluk hidup melalui suara natural “da-dada” untuk selalu melakukan tiga kebaikan ini (Radhakrisnan, 2008 : p. 336-337). Penggalan kutipan upanisad tersebut, dalam kaitannya dengan Sloka Sarasamuccaya tentang perempuan mengandung ajaran tentang pengendalian diri, kedermawanan dan cinta kasih. Karena pada dasarnya perempuan jangan
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
133
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
diperlakukan sembarangan namun harus dihormati. Kemudian untuk mendapatkan pasangan hidup hendaknya harus didapatkan dengan cara yang benar dan tidak dengan cara yang menyalahi dharma. Hal ini dijelaskan dalam Isa Upanisad 1 menyatakan bahwa : ῑ syāvasyām idam sarvam yatkiñca jagatyām jagad, tena, tyaktena Bhuñjῑ thā mā gṛ ddhaḥ kasya svidhanam Terjemahan : Sesungguhnya apapun yang ada dijagad raya ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Isa (Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukan bagi dirinya dan tidak menginginkan milik orang lain (I Gede Puja, 1995 : p. 33). Berdasarkan uraian diatas dapat dianalisis bahwa dalam mendapatkan perempuan, khususnya untuk pendamping hidup haruslah diperoleh dengan cara yang benar sesuai dengan aturan norma agama dan perundang-undangan yang berlaku. Dan hal inilah akan menjadi malapetaka besar jika mendapatkannya dengan menginginkan perempuan yang sudah menjadi milik orang lain dengan cara merebutnya melalui paksaan. Hal ini jika dikaitkan dengan Sarasamuccaya 424-442 bahwa, dalam beberapa sloka seperti 424, 426, 427, 429, 433,436-440 dan 441, seolah olah perempuan demikian dijauhkan karena sebagai pembawa asmara dan kesengsaraan. Hal tersebut menerangkan tentang adanya cacat pada perempuan sebagai objek yang harus dijauhi oleh kaum laki-laki. Hal ini tidaklah demikian karena pada kontekstual dalam sastra ini menekankan untuk pedoman raja dalam menjalankan pemerintahan dengan benar dan jangan sampai terikat dengan nafsu birahi apalagi mendapatkannya secara tidak benar, sehingga Bhagavan Vaisampayana mengharapkan bahwa selain seorang raja mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar agar rakyatnya sejahtera, dalam hal lain juga harus selalu berlatih olah spiritual untuk pengendalian diri agar tidak terjerumus dengan nafsu rendahan dan diarahkan untuk tujuan yang positif. Hal tersebut kemudian dijabarkan lagi oleh Bhagavan Vararuci bahwa tujuan beliau mempublikasikan ini adalah agar
semua orang terutama laki-laki agar memperlakukan wanita secara wajar dan menghormati hak-haknya. Dengan demikian, tidak ada jurang pemisah antara laki-laki dengan perempuan karena pada dasarnya mereka adalah sejajar. Sehingga tidak ada lagi rasa mendiskriminasikan perempuan lantaran perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. e. Nilai Pendidikan Dama Penjelasan tentang Sarasamuccaya sloka 254 menyatakan bahwa “Dama ngaranya, wruh miluluri awaknya, tumang guha awaknyaArtinya, yang disebut Dama adalah bisa menasehati diri sendiri (Nyoman Kajeng, 1999)”. Bisa menyadarkan diri (matuturi) adalah orang bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi. Orang yang dama akan menjadi “danta” artinya kepribadiannya suci. Sarasamuscaya menjelaskan bahwa pada hakekatnya bukanlah orang yang membasahi dirinya dengan air disebut mandi, melainkan ia yang danta (suci) karena dama-lah disebut mandi yang sesungguhnya. Hal ini dengan menerapkan (Tri Kaya Parisudha) pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik dalam kehidupan seharihari. Berangkat dari uraian diatas jika dikorelasikan dengan Sarasamuccaya sloka 424-442 maka, hendaknya seorang laki-laki yang menginginkan perempuan sebagai pendamping hidupnya haruslah didapatkan dengan cara yang benar yaitu perempuan yang bukan milik orang lain dan dengan jalan dharma. Ketika hal ini dilanggar maka akan mendapatkan konsekuansi yang harus diterima sesuai dengan perbuatannya (Karma) jika perbuatan baik kebahagiaan yang diperoleh dan jika buruk perbuatan itu maka penderitaan yang diperoleh karena pada dasarnya keberadaan manusia adalah mempunyai kehendak bebas, tetapi dia terikat dengan aturan atau norma agama dan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, wejangan Bhagavan vaisampayana kepada raja Janamejaya yang ditulis oleh Bhagavan Vararuci mengingatkan kepada semua orang laki-laki khususnya agar mempunyai rasa dama yang mampu menasehati dirinya agar tidak terbelenggu dengan ikatan nafsu birahi yang disalurkan dengan jalan menyimpang dari ajaran kebenaran. Hal ini, jelas bahwa seorang raja dia harus memperlakukan semua wanita sebagai ibunya
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
134
kecuali istrinya, dan harus menjalankan tapa untuk memperoleh kesucian lahir dan batin, sehingga swadarma sebagai pemimpin dapat terlaksana baik dharma agama maupun dharma negara. Dan jika seorang pendeta maka, harus memegang prinsip-prinsip kepanditaan, jangan sampai terjerumus dengan hafsu untuk menikmati duniawi, karena tugas utamanya adalah untuk kesucian dirinya dan sebagai pelayanan umat yang membutuhkan. Kesimpulan Kitab Sarasamuccaya merupakan bagian Smrti pada bagian Upangaveda sebagai penjelasan Sruti dan dalam memahaminya dapat dilakukan reinterpretasi maka, penulis menyimpulkan sebagai berikut : 1. Karya sastra besar ini yang ditulis oleh Bhagavan Vararuci yang menceritakan wejangan dari Bhagavan Vaisampayana kepada raja Janamejaya bukanlah untuk merendahkan perempuan tetapi, keberadaan makna wejangan itu adalah agar laki-laki tidak memperlakukan wanita secara sembarangan dan memberikan perhatian bahwa ketika berada didekat perempuan faktor pengendalian pikiran itu sangatlah penting, janganlah sampai terjerumus dalam hubungan yang terlarang, apalagi dengan perempuan yang bukan pasangannya. Hal inilah yang harusnya dihindari oleh laki-laki baik itu pendeta yang selalu berkiprah dalam dunia spiritual yang selalu dijadikan panutan bagi umatnya dan laki-laki pada umumnya. 2. Adapun nilai-nilai pendidikan etika yang berkaitan dengan sloka 424-442 adalah adanya pengendalian diri laki-laki terhadap nafsu birahi, dan pengendalian diri inilah yang memegang peranan penting adalah pikiran sebagai rajanya indriya (Rajendriya). Adapun didalamnya terdapat nilai tat twam asi, viveka, vairagya yang semuanya ini inti ajarannya adalah pengendalian diri dari masing-masing individu, terutama untuk kaum laki-laki.
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa (Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal) Cet I. Yogyakarta : Shahida Yogyakarta. Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Persektif Feminis. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. ---------, Gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Untaian Hati cet I. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. ---------, Gadis. 2006. Pengarusutamaan Gender. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Bantas, Ketut Dkk. 2004. Gender Dalam Perspektif Hindu. RI. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Foucault, Michele. 2008. Ingin Tahu, Sejarah Seksualitas. Jakarta : Yayasan Obor. Georg, Hans-Gadamer. 2004. Truth and Method Pengantar Filsafat Hermeneutika terjemh Ahmad Sahidah Cet I. Yogyakarta : Pustaka pelajar offset. Griffith, R.T.H. 2006. Yajur Veda Samhita (Sukla Yajur Veda). Surabaya : Paramitha. Haryatmoko “Kekuasaan Melahirkan Anti kekerasan : Menelanjangi Mekanisme dan Tekhnik Kekuasaan Bersama Foucault” basis Jakarta, Februari 2002. ----------------.“Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana, Sejarah Seksualitas : Sejarah Pewacanaan Seks Dan Kekuasaan Menurut Foucault”makalah disampaikan pada kuliah umum Salihara, Jakarta Selatan, 12 Juni 2010.
DAFTAR PUSTAKA Adia, G.k, Wiratmadja. 1991. Perempuan Hindu Dalam Suatu Proyeksi. Bandung: Ganeca Exact Bandung. Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis (Kritik Penerapan Dan Implikasinya) cet I terjemah Nurhadi [ed] Hadi Purwanto. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Kajeng, I Nyoman dkk.1999. Sarasamuccaya Teks Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya: Paramita. Made, Ngakan Madrasuta. 2005. Hindu Akan Ada Selamanya cet I. Jakarta : Media Hindu.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
135
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
Kasus) cet I[ed] Rocky Geruny. Jakarta : Filsafat UI Press.
Manik, Putra Aryana. 2009. Widhu Tattwa ((Makhluk Super Dahsyat itu Ternyata Wanita) cet III. Denpasar : Bali Aga. Mardalis. 2008. Metode Naskah Suatu Pendekatan Proposal.Jakarta : Bumi Aksara. Maswinara, I Wayan. 1997. Kamasutra Dari Watsayana cet I. Surabaya : Paramita. -----------------, Wayan, 2010. Srimad Bhagavad-Gita. Surabaya : Paramitha dalam Kodam Jayakarta.
Sugiarto, R. 1980. Brhadaranyaka Upanisad cet III. Jakarta : Proyek pengadaaan kitab suci Hindu. Suka, I Wayan Yasa.2007. Teori Rasa : Memahami Taksu, Ekspresi dan Metodanya. Denpasar : Widhya Dharma bekerja sama dengan program Magister Agama dan Kebudayaan. Suparlan, Y.B. 1991. Kamus Indonesia-Kawi cet I. Yogyakarta : Kanisius
Media Hindu, Edisi 12, Nov – Des 2004 -----------------, Edisi 54, Agustus 2008 Oka, I Ketut Setiawan, 2009. Metodologi Naskah I dan II. Jakarta : STAH Dharma Nusantara Jakarta. Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu (PokokPokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafat) terjemah IGA Dewi Paramita. Surabaya : Paramita Puja, G, Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Veda Smrti Compedium Hukum Hindu. Jakarta: CV Felita Nursatama Lestari. ------------.1995. Isa Upanisad. Yayasan Dharma Sarathi.
Jakarta
------------.1999. Bhagavad-Gita Veda). Surabaya : Paramita
(Pancama
Suwantana, Gede. 2007. Seks Sebagai Pendakian Spiritual (Kajian Teks Rsi Sembina cet I, [ed] I Ketut Widnya. Denpasar : Program Pascasarjana IHDN Kerjasama Dengan Sri Kahyangan. Suwira, I Wayan Satria. 2008. Sejarah Filsafat India. Jakarta : Departemen Filsafat UI Tim
Kompilasi.2006. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada. Jakarta: PHDI Pusat.
Tim penyusun, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III.Jakarta : Balai Pustaka.
:
Rai Sudhartha, Tjok. 2004. Slokantara Untaian Ajaran Etika. Surabaya : Paramita. Radhakrisnan, S. 2008. Upanisad-Upanisad Utama terjemah Agus S. Mantik. Surabaya : Paramita. Satria, I Wayan Suwira dan I Nyoman Yoga Sagara, 2007. Diskriminasi Perempuan Dalam Kitab Sarasamuccaya (penolakan perempuan Hindu dan menafsirkan ulang dengan perspektif perempuan). Jakarta :STAH DNJ. Saraswati, L.G, Taufik Basari, Doni Gahral Adi, Singkop Boah, Boang Manalu, Gadis Arivia etc . 2006. HAM (Teori, Hukum,
-------------------. 2006. Buku Pelajaran Agama Hindu SLTA Kelas 3. Surabaya: Paramita -------------------. 1986. Nitisastra Dalam Bentuk Kakawin. Jakarta: Proyek Penerangan Bimbingan Hindu dan Budha. --------------------. 2007. Pedoman Penulisan Skripsi (PTAHS). Surabaya : Paramita --------------------, 2007. Pedoman Kerukunan Umat Beragama Hindu. Jakarta : Mitra Abadi press. Titib, I Made. 1998. Citra Perempuan Dalam Kakawin Ramayana (Cerminan masyarakat Hindu Tentang Wanita). Surabaya: Paramita.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
136
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
------------------. 2006. Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka Dan Moksa Dalam Swargarohana Parva (Perspektif Kajian Budaya). Surabaya : Paramita. Zoetmulder, P.J. 2005. AdiParva (Bahasa Jawa Kuno Dan Indonesia). Surabaya : Paramitha.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Vol I No. 1 September 2014
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN
1. Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan memuat hasil hasil penelitian, maupun
kajian yang terkait dengan hasil penelitian pengembangan, maupun penelitian penerapan dalam bidang Agama Buddha maupun Ilmu Pengetahuan. Artikel yang dikirim ke redaksi belum pernah dipublikasikan dan dikemas kembali sesuai dengan format artikel jurnal. 2. Panjang naskah + 20 halaman A4, satu setengah spasi, Times New Roman, font 11, dan ditulis menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. 3. Artikel ditulis dengan ketentuan sebagai berikut: a. Judul maksimal 15 kata, dengan font 14. Peringkat judul disusun sebagai berikut: PERINGKAT SATU (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, font 14, di tengah-tengah halaman) PERINGKAT DUA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) PERINGKAT TIGA (HURUF BESAR, TEBAL, di tengah-tengah) b. Nama penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul: untuk Tim semua nama penulis dicantumkan c. Nama instansi ditulis di bawah nama: email ditulis di bawah nama instansi d. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, satu spasi, 100-200 kata, satu paragraf dan font 11. e. Kata kunci merupakan inti permasalahan, bisa satu kata atau lebih, ditulis miring di bawah abstrak dengan jarak satu spasi. f.
Batang tubuh artikel: artikel kajian terdiri dari Pendahuluan (permasalahan, kerangka pikir, dan atau kerangka analisis), sub-sub judul pembahasan, dan kesimpulan; sedangkan artikel hasil penelitian terdiri dari pendahuluan ( latar belakang permasalahan, dan landasan teori), metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan, dan saran.
4. Kutipan harus disebutkan nama pengarang, tahun ,dan p. nomor halaman. Contoh: (Triyatno, 2014, p.89). kutipan langsung (persis aslinya) lebih dari tiga baris ditulis satu spasi, rata kiri dan menjorok ke kanan 7 ketukan. 5. Artikel rangkap dua disertai soft copynya dikirim ke sekretariat redaksi Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, penulis dari lar kota bisa mengirimkan artikel secara elektronik melalui email:
[email protected] 6. Daftar pustaka disusun dengan tata cara s merujuk pada APA style dan diurutkan secara alfabetis nama pengarang.
Penerbit Yayasan Cipta Sarana Budhi Bekerjasama dengan Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah