BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
2.1 Tinjauan Umum Cekungan Laut Jawa Bagian Timur terletak di bagian ujung selatan Craton Sunda dan memiliki luas sekitar 50.000 km2. Cekungan berumur Eosen ini terbentuk sebagai cekungan busur belakang (back arc basin) yang berasosiasi dengan busur volkanik di selatan (Mudjiono dan Pireno, 2001) (Gambar 2.1). Pada Zaman Kapur Akhir cekungan ini merupakan cekungan laut di bagian selatan zona subduksi (Satyana dan Purwaningsih, 2003). Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dibatasi di bagian barat oleh Karimunjawa Arch, di bagian timur oleh lingkungan laut dalam Lombok, Flores, Salayar dan Cekungan Makasar Selatan. Cekungan ini memanjang ke arah timur-laut dari lepas pantai busur volkanik Laut Jawa hingga ujung tenggara Kalimantan dan bergabung dengan bagian selatan Selat Makasar dan dibatasi di bagian timur-laut oleh Paternoster Platform dan Zona Sesar Adang.
Gambar 2.1. Tatanan regional Cekungan Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).
16
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Batuan dasar Cekungan Laut Jawa Bagian Timur tersegmentasi menjadi beberapa bentukan horst dan graben yang memiliki arah NE – SW (Satyana dan Purwaningsih, 2003). Batuan dasar yang tersegmentasi tersebut menghasilkan tempat akomodasi bagi pengendapan synrift dan postrift berumur Paleogen serta perkembangan sedimen karbonat. Pre-Ngimbang silisiklastik darat, Ngimbang Bawah berumur Eosen Awal - Tengah yang merupakan endapan darat – transisi, Ngimbang Atas dan “CD” berumur Eosen Akhir – Oligosen Awal berupa serpih dan karbonat, dan Kujung berumur Miosen Awal berupa silisiklastik dan karbonal merupakan litologi yang berkembang di Cekungan Jawa Timur. Puncak pengendapan batuan karbonat terjadi pada Miosen Awal yaitu formasi Kujung I/Tuban. Tektonik inversi terjadi mulai dari Miosen Tengah. Transgresi dan regresi yang terjadi hingga Pliosen dicirikan oleh pengendapan Formasi Lidah dengan litologi
serpih,
batupasir,
karbonat
dan
batubara.
Pengendapan
sedimen
volkanoklastik mengalami puncak pada Plio-Pleistosen.
2.2. Tatanan Tektonik Regional Pola struktur di Cekungan Jawa Timur yang umumnya berarah NE – SW mencerminkan pola struktur batuan dasarnya (basement) (Gambar 2.2) yang memiliki kisaran umur Yura Awal – Kapur Akhir (Bransden and Matthews, 1992, op.cit. Mudjiono dan Pireno, 2001). Pada Kapur Akhir, kerak samudera mulai mengalami konvergensi (subduksi) ke arah NE dengan Paparan Sunda, bagian dari Lempeng Eurasia. Subduksi tersebut mengikuti arah Meratus Ridge dengan arah SW (Gambar 2.1). Batuan dasar berumur Pra-Tersier menunjukan zonasi yang jelas dimulai dari granit cratonic dan gneis di area Karimunjawa, Kalimantan Selatan, hingga mélange di Meratus. Zonasi ini menerus hingga ke Laut Jawa, sebelah utara Madura hingga berubah menjadi basement batuan beku basa (Gambar 2.2). Di sebelah tenggara basement metasedimen adalah basement batuan beku asam – intermediet berpola NE – SW yang menunjukan fragmen benua. Akibat kompresi yang terus berlanjut, Cekungan Jawa Timur mengalami pengangkatan dan pembentukan peneplain pada Awal Tersier. Punggungan dan
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 17
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
graben berpola NE – SW terbentuk sebagai respon pembentukan busur belakang (Mudjiono dan Pireno, 2001). Pola utama yang terbentuk dari barat ke timur adalah Karimunjawa Arch, Muriah Trough, Bawean Arch, Tuban Trough dan North Madura High (Gambar 2.1).
Gambar 2.2. Persebaran litologi utama basement berumur Pra-Tersier, Cekungan Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).
2.3. Evolusi Tektonik Supaya pemahaman mengenai evolusi tektonik lebih baik maka pengetahuan mengenai tipe-tipe interaksi lempeng dan penggunaan prinsip dan sifat pergerakan lempeng wajib dimiliki. Evolusi tektonik di Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dapat dibagi menjadi 3 periode utama (Sribudiyani, dkk., 2003) berdasarkan interaksi antar lempeng dan karakteristik bagian-bagiannya, yaitu: Periode Akhir Kapur – Tersier Awal (70 – 35 Ma), Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma), dan Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma). Bentuk kerangka tektonik Indonesia Barat sebelum periode pertama adalah seperti ditunjukan oleh Gambar 2.3 dimana kontrol utamanya adalah pergerakan Lempeng Australia ke arah timur-laut yang menyebabkan subduksi mengikuti pola
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 18
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Jawa – Meratus Sribudiyani, dkk., 2003). Aktivitas magmatik berumur Kapur Akhir dapat ditelusuri dari Sumatera Utara hingga Jawa dan Kalimantan Tenggara (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Kerangka tektonik Asia Tenggara sebelum 70 Ma (Sribudiyani, dkk., 2003). 2.3.1. Periode Akhir Kapur – Tersier Awal (70 – 35 Ma) Pada periode ini cekungan-cekungan fore-arc berkembang dengan pola utaraselatan mengakomodasi busur magmatik yang terangkat akibat pergerakan Lempeng Australia, contohny: cekungan di selatan Jawa Barat dan Pegunungan Serayu Selatan di Jawa Tengah (Sribudiyani, dkk., 2003). Endapan-endapan turbidit sangat umum dijumpai pada periode ini (Martodjojo, 1998). Di Cekungan Laut Jawa Bagian Timur sendiri perkembangan cekungan memiliki dua pola utama, yaitu: NE – SW (mengikuti pola Meratus) dan E – W (mengikuti pola Sakala) (Sribudiyani, dkk., 2003). Endapan cekungan berpola NE – SW umumnya memiliki litologi utama yaitu batupasir kuarsa yang diendapkan tidak selaras di atas cekungan berpola E – W. Cekungan berpola barat-timur diperkirakan memiliki batuan dasar yang berasal dari pecahan Gondwana yang bertumbukan dengan Lempeng Mikro Sunda bagian tenggara pada Zaman Kapur – Eosen Awal
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 19
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
(Gambar 2.4). Tumbukan yang terjadi mengakibatkan aktivitas magmatik di daerah tersebut berhenti dan pengangkatan zona subduksi menghasilkan Kompleks Meratus (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 70 – 35 Ma (Sribudiyani, dkk., 2003). Pada Miosen Tengah – Akhir terjadi pergeseran posisi lempeng-lempeng di Asia Tenggara termasuk kolisi antara India dan Asia. Kolisi tersebut mengakibatkan terbentuknya zona strike-slip dan block-faulting di sepanjang tepian Lempeng Mikro Sunda serta berkembangnya cekungan-cekungan transtensional seperti Cekungan Thai, Malay, Natuna Barat, Sumatera dan Jawa. Pergerakan strike-slip tersebut juga memicu perputaran Lempeng Mikro Sunda berlawanan arah jarum jam (Tapponnier, dkk., 1986 op.cit. Sribudiyani, dkk., 2003). 2.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma) Pada Oligosen Awal terjadi penurunan laju pergerakan lempeng-lempeng (Hall, 2002). Penurunan kecepatan memicu pembesaran sudut penunjaman pada zona-zona subduksi dan pengangkatan di seluruh area Sundaland.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 20
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Pada periode ini juga terjadi proses divergen, yaitu aktifnya Laut Cina Selatan sebagai sea-floor spreading center (Gambar 2.5) (Sribudiyani, dkk., 2003). Pergerakan konvergen Lempeng India yang terus berlanjut menyebabkan rejim tektonik kompresi di Sumatera dan Jawa sehingga menyebabkan struktur-struktur inversi pada cekungan, meskipun pola cekungan yang berkembang tetap mengikuti arah utara-selatan.
Gambar 2.5. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 35 – 20 Ma (Sribudiyani, dkk., 2003). 2.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma) Pada periode ini terjadi perubahan arah gerak Lempeng India-Australia lebih ke selatan, diikuti aktivitas magmatik yang terus menerus di seluruh bagian Pulau Jawa (Sribudiyani, dkk., 2003). Di bagian utara Jawa terbentuk subcekungansubcekungan back-arc yang dipisahkan oleh tinggian dan block faulting, serta masih mencerminkan pola struktur dan cekungan sebelumnya, yaitu: utara-selatan di Jawa Barat dan timurlaut – baratdaya dan baratlaut – tenggara di Jawa Tengah (Gambar 2.5). Pola NE – SW dan NW – SE di Jawa Tengah ini menunjukan pola berpasangan
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 21
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
sebagai akibat dari mekanisme strike-slip akibat subduksi ke arah utara sepanjang Jawa selatan.
Gambar 2.6. Kerangka tektonik Asia Tenggara pada periode 20 – 5 Ma (Sribudiyani, dkk., 2003).
Pola-pola cekungan yang berkembang pada periode ini sangat mencerminkan kontrol bentuk dan struktur yang terdapat pada batuan dasarnya. Di Cekungan Laut Jawa Timur sendiri berkembang dua pola utama yaitu pola NE – SW yang mengikuti pola Meratus dan kemungkinan besar merupakan cekungan fore-arc, dapat ditelusuri hingga Subcekungan Kendal dan Subcekungan Kebumen (Sribudiyani, dkk., 2003), dan pola E – W yang lebih dominan (Kendeng dan Madura Trough). Pola timur-barat tersebut mencerminkan pola struktur batuan dasarnya yang berasal dari pecahan Gondwana dan teraktivasi menjadi sesar geser (strike-slip) pada periode ini (Manur dan Barraclough, 1994 op.cit. Sribudiyani, dkk., 2003).
2.4. Tatanan Tektonostratigrafi Ada tiga fase megasekuen tektonostratigrafi yang berkembang di Cekungan Jawa Timur akibat pengaruh pergerakan lempeng sejak Kapur Akhir (Bransden dan
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 22
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Matthews, 1992), yaitu: Fase Pre-rift, Fase Syn-rift (Megasekuen Paleogen), dan Fase Post-rift (Megasekuen Neogen). Fase Pre-rift dicirikan oleh basement yang terstrukturkan secara intensif dan zona perlipatan yang tererosi secara intensif yang diperkirakan berkembang pada Zaman Kapur. Fase syn-rift (Megasekuen Paleogen) dicirikan oleh pelamparan sedimen pada rift kompleks berpola E – W disepanjang cekungan, dibatasi oleh area-area dengan tempat akomodasi yang lebih tipis. Fase post-rift (Megasekuen Neogen) dicirikan oleh onset dan inversi berkelanjutan yang menyebabkan perubahan arsitektur cekungan.
2.4.1. Fase Pre-rift (Kapur Akhir) Fase pre-rift merupakan zona akresi yang disebabkan oleh kolisi antara Lempeng Mikro Laut Jawa Timur dengan Lempeng Eurasia bagian tenggara pada Kapur Akhir (postulat Hamilton, 1979 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992). Kolisi yang terjadi mengakibatkan zona tektonostratigrafi, yaitu busur depan dan busur magmatik, mengalami pergeseran beberapa kilometer ke arah selatan antara Kapur Akhir dan Kenozoik (Gambar 2.3). Unit tektonostratigrafi (Gambar 2.4) pada fase pre-rift ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Basement Akresi Umumnya dicirikan oleh kuarsit, rijang, konglomerat, metavolkanik, sabak, sepertinit amfibolit, dan ofiolit yang membentuk batuan prisma akresi.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 23
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Gambar 2.7. Tektonostratigrafi Pra-Tersier dan Tersier Awal (Bransden dan Matthews, 1992). 2. Sedimen Kapur Akhir (Formasi Pre-Ngimbang) Diendapkan secara tidak selaras di atas basement akresi, dicirikan oleh struktur yang kompleks dan membentuk pola flower structure yang besar, litologi umumnya mud-dominated, sejumlah kecil perselingan batulanau dan batupasir litik – sublitik. Geometri kompresi pada unit ini diperkirakan akibat kolisi pada Zaman Kapur. Pembentukan pola struktur di Cekungan Jawa Timur diperkirakan berkembang pada fase ini.
2.4.2. Fase Syn-rift (Eosen - Miosen) Fase ini terbentuk akibat aktivitas subduksi di tepi Lempeng Eurasian yang telah mengalami perubahan (Gambar 2.5). Pada Paleosen hingga Eosen Awal, Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 24
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
pergerakan Lempeng Samudera Hindia ke arah utara diakomodasi oleh subduksi kerak Samudera Hindia disepanjang Palung Sunda (Bransden dan Matthews, 1992). Di sebelah timur, subduksi aktif Lempeng Pasifik juga sedang terjadi berarah W – NW menuju Eurasia.
Gambar 2.8. Rekonstruksi pergerakan lempeng selama Kapur Akhir dan Tersier (modifikasi dari Daly dkk, 1991 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992) Berikut rangkuman formasi-formasi yang diendapkan pada fase syn-rift: 1. Formasi Ngimbang Komposisi umum formasi ngimbang adalah batuan sedimen klastik berbutir halus (batulempung dengan alternatif batulanau) dan batugamping yang berkembang secara lokal (KNOC, 2006). BATULEMPUNG: abu terang kehijauan, kenampakan seperti lilin, tekstur halus, sedikit – sedang kandungan pecahan karbonan berbutir sangat halus dan glaukonit, kandungan euhedral pirit melimpah, kandungan kristal kalsit sedang. Di bawah kedalam 2600 m warna menjadi abu gelap - abu sedang. BATULANAU: abu terang berangsur abu sedang, sebagian abu kehijauan, platy, kandungan pecahan karbonanan dan fragmen tanaman sedang - melimpah, terkadang dijumpai kandungan
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 25
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
foram dan glaukonit berwarna hijau keabuan, micromicaceous, dolomitic sedang, semen buruk, porositas buruk – sedang. BATUGAMPING: warna cokelat sangat muda – muda, halus, kilap translucent di beberapa tempat, kandungan foram melimpah, tekstur wackestone - packstone, kandungan karbonan dan pyrite jarang, porositas tidak ada – buruk. 2. Formasi “CD” Karbonat Tersusun atas batuan karbonat dolomitic limestone dan dolomite yang memiliki porositas/permeabilitas sekunder (KNOC, 2006). DOLOMITIC LIMESTONE: warna putih – cokelat muda dengan bintik-bintik warna abu gelap, halus, mudah hancur, terkadang berwarna abu pucat kehijauan – abu terang kehijauan, kenampakan seperti butiran tanah, brittle, mengandung mikrokristalin dolomite yang terkristalisasi (berbutir sedang) dengan matriks karbo-lempungan warna abu terang - sedang, kandungan pirit masif sedang hingga melimpah, porositas secara umum tidak ada. DOLOMITE: warna cokelat pucat - terang, terkadang cokelat sedang, halus, mudah hancur, tekstur mikrokristalin dolomit berbutir sedang – halus berwarna putih susu, matriks kriptokristalin – mikrokristalin berwarna cokelat gelap, kristal dolomit euhedral umum dijumpai pada urat dan vuggy, porositas berkisar dari tidak ada – baik. 3. Formasi Kujung Unit II (Lower Kujung dan Kujung Shale) Tersusun oleh perselingan batugamping dan batulempung dengan sisipan batulanau (KNOC, 2006). BATUGAMPING (LIMESTONE): umumnya berwarna cokelat muda atau cokelat kehijauan, lunak, mudah hancur, terkadang
ditemukan
bintik-bintik
berwarna
abu
gelap
(lempungan/karbonan/pirit), tekstur mikrokristalin wackestone – packstone, foram, terkadang bertekstur granular, porositas tidak ada – buruk. BATULEMPUNG: warna abu gelap - abu kehijauan, plastis – mudah hancur, kandungan bintik-bintik halus karbonan rendah, umumnya bersifat non calcdolomitic. BATULANAU: warna abu gelap – sedang, getas sedang – getas,
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 26
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
platy, kandungan fragmen tumbuhan jarang – sedang, kandungan pirit rendah, tersemenkan sedang, non calc-dolomitic. 4. Formasi Kujung Build Up Tersusun oleh batugamping (limestone) masif dengan dolomitisasi secara lokal dan lempungan/napalan pada kedalaman tertentu, ditemukan juga dolomit, napal, dan rijang pada kedalaman tertentu (KNOC, 2006). BATUGAMPING (LIMESTONE): warna cokelat sangat pucat, kompak, brittle, mikrokristalin – kriptokristalin wackestone bergradasi menjadi mudstone, kandungan foram dan koral tinggi, sebagian mengalami dolomitisasi, porositas terduga tidak ada. DOLOMIT: cokelat terang – sedang, sebagian translusen, kompak – kompak sedang, brittle, masif kristalin bergradasi mikrosukrosik, terkadang mengandung microvug, porositas sedang – baik di beberapa tempat. NAPAL: cokelat gelap – sedang, terkadang ditemukan laminasi warna abu-abu, kompak sedang, kandungan pirit rendah. RIJANG: tidak berwarna – cokelat atau abu pucat, sangat kompak, terdapat rekahan-rekahan konkoidal, bersifat karbonatan di beberapa bagian. 5. Formasi Kujung Unit I (Upper Kujung/Prupuh) Litologi yang dominan adalah perselingan batulempung dan batugamping sisipan
batupasir,
batulanau
dan
nodul
dolomit
(KNOC,
2006).
BATULEMPUNG: warna abu gelap kecokelatan, tekstur platy, terkadang bersifat lanauan dengan laminasi lanau berwarna abu terang, kandungan fragmen tumbuhan melimpah – sangat melimpah, kandungan pirit jarang – sedang, karbonatan sedikit – sedang, terkadang ditemukan bintik-bintik karbonan, kandungan mika jarang. BATUGAMPING (LIMESTONE): warna putih – abu pucat, abu kehijauan, bintik-bintik berwarna abu gelap – hitam, sedikit translusen, kompak sedang, blocky, tekstur mikrokristalin mudstone – wackestone, terdapat kandungan pecahan fosil (foram, bivalve, koral, echinoid, dan gastropod), kandungan glaukonit melimpah – sangat melimpah, bintik-bintik berukuran butir pasir dan karbonan, porositas buruk – tidak ada. BATUPASIR: bersifat lepas-lepas, tidak berwarna, umumnya
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 27
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
berbutir halus – sedang, kebundaran subangular – angular, sorting sedang, sedikit matriks lempungan warna keabuan, sedikit ditemukan bintik-bintik karbonan berukuran lanau. BATULANAU: abu sedang, abu kehijauan – kecokelatan, crumbly – subplaty, matriks lempungan – berbutir lanau bergradasi pasir sangat halus, ditemukan kandungan fosil pecahan cangkang (bivalve, foram, dll) sedang – melimpah, kandungan pirit sedang, bersifat calc-dolomitic sedang. DOLOMITE: cokelat keabuan, kilap porselen, kompak, brittle, rekahan konkoidal, tekstur kriptokristalin mudstone, bersifat karbonatan di beberapa bagian (proses diagenesis?). 6. Formasi Tuban Shale Litologi yang dominan adalah campuran antaran sedimen klastik berbutir halus dan karbonat (KNOC, 2006). BATULEMPUNG: warna abu tua kehijaun, kompak sedang, halus, ditemukan sedikit – sedang kandungan mineral mika berstruktur flake (abu gelap kehijauan), kandungan bintik-bintik karbonan dan glaukonit jarang – sedang, bersifat karbonatan sedang dan bergradasi menjadi napalan di beberapa bagian, kandungan fragmen tumbuhan yang ter-coalified melimpah – sangat melimpah (berbutir lanau sangat halus – kasar), kandungan pirit sedang. BATUPASIR: kenampakan sedimen lepas, tidak berwarna, berbutir pasir halus - sedang, angular subangular (masih menampakan tekstur kristalin mineral batuan beku), kandungan glaukonit sedang – melimpah berwarna abu sangat gelap kehijauan - hitam, kandungan mineral mika melimpah (umumnya berbentuk pipih akibat proses kompaksi), kandungan pecahan fosil cangkang (foram, bivalve) sedang, berasosiasi dengan sedikit kandungan Amber (cokelat pucat kekuningan – cokelat tua, transparan - translusen, kompak sedang - kompak, rekahan konkoidal, biasanya ditemukan bersama dengan laminasi karbonat atau batupasir lempungan), perkiraan porositas baik. LIMESTONE: warna cokelat muda, terkadang bergradasi menjadi warna cokelat terang, kompak sedang, tekstur wackestone bergradasi menjadi mudstone, mengandung pecahan fosil cangkang (foram, bivalve, koral), matriks amorphous - chalky
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 28
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
lime-mud terkadang bergradasi menjadi kriptokristalin, terdapat microvug dalam jumlah jarang – sedang yang dilingkari oleh mineral kalsit euhedral. 7. Formasi Tuban Karbonat Terutama tersusun oleh batugamping dengan interkalasi batugamping argilik. BATUGAMPING: cokelat pucat, terkadang bergradasi menjadi warna cokelat terang, kompak sedang, tekstur wackestone bergradasi menjadi mudstone, mengandung pecahan fosil cangkang (foram, bivalve, koral) matriks amorphous - chalky lime-mud terkadang bergradasi menjadi kriptokristalin, terdapat microvug dalam jumlah jarang – sedang yang dilingkari oleh mineral kalsit euhedral. Terkadang berwarna cokelat muda keabuan, kilap porselen, kompak sedang - kompak, brittle, blocky, tekstur mudstone kripstokristalin, kandungan mikrofosil (foram) sedang dan sedikit dolomitik di beberapa bagian. 8. Formasi Paciran Formasi ini didominasi oleh litologi batulempung dan batulanau dengan sisipan batupasir dan batugamping (KNOC, 2006). BATULEMPUNG: warna abu gelap, plastis – mudah hancur, halus, kenampakan sedikit waxy, kandungan glaukonit melimpah – sangat melimpah (abu sangat gelap kehijauan - hitam, berbutir halus – sedang, terkadang kasar – sangat kasar, kebundaran pelloidal/rounded), terdapat sedikit – sedang bintik-bintik karbonan dan fragmen lignitik, umumnya bersifat karbonanatan sedang – tinggi. BATULANAU: abu sedang - gelap, sedikit abu kehijauan, kompak sedang - kompak, lepas-lepas – blocky, ukuran butir lanau – pasir sangat halus, matriks argilik, kandungan glaukonit melimpah – sangat melimpah (abu sangat gelap kehijauan - hitam, ukuran butir lanau – pasir sangat halus, pelloidal), ditemukan juga siderit (reworked?) berwarna cokelat sedang – gelap kehijauan, karbonatan sedang – tinggi. BATUPASIR: lepas-lepas, jernih dan tidak berwarna, ukuran butir pasir halus – sedang terkadang kasar – sangat kasar, angular bergradasi menjadi subangular (menunjukan tekstur kristalin mineral asal: batuan beku), sorting sedang, matriks argilik.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 29
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
BATUGAMPING: abu pucat – abu kecokelatan, mudah hancur, tekstur mudstone amorf - chalky di beberapa bagian, sedikit bintik-bintik karbonan, mengandung fragmen fosil cangkang (bivalve, foram) dalam jumlah sedang, sedikit kandungan glaukonit berbutir lanau – pasir sangat halus (abu sangat gelap kehijauan - hitam). 2.4.3. Fase Post-rift (Miosen – Resen) Fragmen benua Banggai-Sula bertabrakan dengan Sulawesi pada Miosen Akhir (Davis, 1990 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992). Pergerakan Benua Australia terus terjadi ke arah utara menuju Palung Sunda dan Busur Banda mengakibatkan thrust dan inversi di sepanjang busur. Struktur thrust mayor diinterpretasikan terjadi di utara Flores, Lombok, dan Bali (Silver dkk, 1983 op.cit. Bransden dan Matthews, 1992). Aktivitas inversi ini yang dianggap sebagai pemicu mekanisme inversi di Laut Jawa bagian Timur. Alternatif penyebab lain adalah terhalangnya pergerakan Laut Jawa bagian Timur sebagai bagian dari Lempeng Eurasia oleh Palung Kalimantan berarah NW pada akhir Miosen Awal dan kolisi Sulawesi pada Miosen Akhir. Formasi yang terendapkan pada fase ini adalah Formasi Lidah. 1. Formasi Lidah Ciri Formasi Lidah adalah adanya sekuen batulempung endapan darat yang terkonsolidasi secara buruk dan sisipan batubara (KNOC, 2006).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 30
BAB II – GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Gambar 2.9. Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur (modifikasi dari KNOC, 2006)
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 31