BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Jagung
Sumber genetik (plasma nutfah) tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Bentuk liar tanaman jagung yang disebut pod maize telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Nikolai Ivanovich Vavilof, seorang ahli botani Soviet, melakukan ekspedisi tahun 1923-1933 ke berbagai daerah di dunia memastikan daerah sentrum asal tanaman jagung adalah Meksiko Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman jagung ke berbagai negara di dunia antara lain dilakukan oleh orang Portugis dan Spanyol. Linnaeus (1737), seorang ahli botani, memberikan nama Zea mays untuk tanaman jagung. Zea berasal dari bahasa Yunani yang digunakan untuk mengklasifikasikan jenis padi-padian. Adapun mays berasal dari bahasa Indian, yaitu Mahiz atau Marisi yang kemudian digunakan untuk sebutan spesies. Sampai sekarang nama latin jagung disebut Zea mays Linn (Rukmana, 1997).
Gambar 2.1 Tanaman Jagung
Tanaman jagung merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ± 1,5 m. Batang bulat massif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, dan berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, dan berwarna hijau (Shofiyanto, 2008). Di Indonesia, tanaman jagung sudah dikenal sekitar 400 tahun yang lalu, didatangkan oleh orang Portugis dan Spanyol. Daerah sentrum produksi jagung di Indonesia pada mulanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura.Selanjutnya, tanaman jagung lambat laun meluas ditanam di luar Pulau Jawa. Indonesia merupakan negara penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara, maka tidak berlebihan bila Indonesia mengancang swasembada jagung.
2.1.1 Taksonomi Jagung Dalam
sistematika
(taksonomi)
tumbuhan,
kedudukan
tanaman
jagung
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (Graminae)
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
(Rukmana, 1997)
2.1.2 Tongkol Jagung Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah sampah (Hidajati, 2006). Tongkol jagung muda dan biji jagung merupakan sumber karbohidrat potensial untuk dijadikan bahan pangan, sayuran, dan bahan baku sebagai industri makanan. Kandungan kimia jagung terdiri atas air 13,5%, protein 10%, lemak 4%, karbohidrat 61%, gula 1,4%,
pentosan 6%, serat kasar 2,3%, abu 1,45% dan zat-zat lain 0,4% (Rukmana, 1997). Tongkol jagung adalah tempat pembentukan lembaga dan gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji. Jagung mengandung kurang lebih 30 % tongkol jagung sedangkan sisanya adalah kulit dan biji. Tongkol jagung mengandung selulosa (4060%), hemiselulosa (2030%) dan lignin (1530%). Komposisi
kimia
tersebut
membuat
tongkol
jagung
dapat
digunakan sebagaisumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Komposisi KimiaTongkol Jagung (Shofiyanto, 2008)
No
Kandungan
%
1
Hemiselulosa
36
2
Selulosa
41
3
Xilan
30
4
Lignin
6
5
Pektin
3
6
Pati
0,01
7
Air
9,4
2.2
Selulosa
Berdasarkan struktur kimia, selulosa termasuk polimer-polimer alam paling sederhana dalam artian bahwa selulosa terdiri dari unit ulang tunggal D-glukosa yang terikat melalui karbon 1 dan 4 oleh ikatan-ikatan β. Selulosa banyak ditemukan di alam yang merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuhtumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu (Stevens, 2007). Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida yang merupakan pembentuk sel-sel kayuhampir 50%. Kertas saring dan kapas hampir merupakan selulosa yang murni. Berat molekul selulosa kira-kira 300.000 (Sastrohamidjojo, 2005)
Selulosa berfungsi sebagai bahan struktur dalam jaringan tumbuhan dalam bentuk campuran polimer homolog dan biasanya disertai polisakarida lain seperti lignin dalam jumlah yang beragam. Lignin dapat dihilangkan dengan cara delignifikasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi delignifikasi yaitu: a. Jenis bahan delignifikasi Bahan-bahan yang dapat digunakan dalam proses delignifikasi yaitu asam phosfat, asam klorida (HCl), asam sulfat, dan yang basa seperti NaOH, natrium sulfit, dan natrium sulfat. b. Waktu delignifikasi Pada proses delignifikasi waktu berpengaruh pada hasil delignifikasi, biasanya digunakan waktu 1-3 jam. c. Temperatur delignifikasi Temperatur operasi mempengaruhi kualitas dari produk delignifikasi yang dihasilkan (Widodo, 2012). Campuran senyawa lain yang terdapat bersamaan dengan selulosa yaitu hemiselulosa. Hemiselulosa adalah polisakarida kompleks nonselulosa dan nonpati yang terdapat dalam banyak jaringan tumbuhan. Hemiselulosa mengacu kepada polisakarida nonpati yang tidak larut dalam air. Hemiselulosa tidak berperan dalam biosintesis selulosa tetapi dibuat tersendiri dalam tumbuhan sebagai komponen struktur dinding sel. Hemiselulosa dikelompokkan berdasarkan kandungan gulanya (Deman, 1997).
2.2.1 Sumber-Sumber Selulosa Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi hingga organism primitive seperti rumput laut, flagellate dan bacteria. Selulosa bahkan dapat diperoleh dalam dunia binatang: tunicin, zat kutikula tunicate adalah identik dengan selulosa nabati. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut biji (kapas,kapok) dan serabut kulit (rami, flax, henep; lumut, ekor kuda, dan bakteria mengandung sedikit selulosa (Fengel, 1995). Selulosa yang terdapat dalam tumbuhan digunakan sebagai bahan pembentuk dinding sel. Serat kapas boleh dikatakan seluruhnya adalah selulosa. Dalam tubuh kita selulosa tidak dapat dicernakan karena kita tidak mempunyai
enzim yang dapat menguraikan selulosa. Dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis, tetapi oleh asam dengan konsentrasi dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan D-glukosa. Selobiosa adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan glikosiik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4 (Poedjiadi, 2006). Tabel 2.2 Komposisi Kimia dari Beberapa Tipe Selulosa Penyusun Material
Sumber
Komposisi (%) Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Ekstrak
Kayu Keras
43-47
25-35
16-24
2-8
Kayu Lunak
40-44
25-29
25-31
1-5
Sisal
73
14
11
2
Tongkol Jagung
45
35
15
5
Batang Jagung
35
25
35
5
Kapas
95
2
1
0,4
Rami
76
17
1
6
Kenaf
36
21
18
2
(Zugenmaier, 2008) 2.2.2 Struktur Molekul Selulosa Selulosa tersambung melalui β-1,4 yang dibangun oleh rantai glukosa.Untuk memahami peristilahan ini pertama-tama kita harus melihat struktur glukosa itu sendiri. Glukosa mempunyai rumus molekul C6H12O6. Dengan kata lain kita dapat menggambarkan struktur glukosa sebagai rantai lurus ataupun struktur cincin. Struktur cincin dapat terbentuk dari hasil pembentukan hemiasetal internal (Cowd, 1991).
Gambar 2.2 Struktur selulosa (Sastrohamidjojo, 2005)
Ditinjau dari strukturnya, dapat saja diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksi yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut terlarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidoksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran. Hal ini dapat dilakukan, dan ester yang dihasilkan larut dalam sejumlah pelarut (Cowd, 1991). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Pada saat yang sama, komponen-komponen utama penyusun tanaman ini diuraikan oleh aktivitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan kapang (Cherlina, 2014).
2.2.3 Pembagian Selulosa Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5% selulosa dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu: a.
α-selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat polimerisasi) 600-15.000. α-selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92% memenuhi syarat untuk bahan baku utama pembuatan propelan. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar α-selulosa, maka semakin baik mutu bahannya.
Gambar 2.3 Struktur α-Selulosa b.
Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5 % atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 1590, dapat mengendap bila dinetralkan.
Gambar 2.4 Strukturβ-Selulosa c.
Selulosa γ (Gamma Cellulose)adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) kurang dari 15, kandungan utamanya adalah hemiselulosa (Sumada, 2011). Bervariasinya struktur kimia selulosa (a, ß,γ) mempunyai pengaruh yang
besar pada reaktivitasnya. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah daerah amorf sangat mudah dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterfikasi (asam) (Sjostrom, 1995).
2.2.4 Sifat Kimia Selulosa Selulosa mengembang (swelling) dalam air dan teristimewa dalam basa pekat. Polimer yang mengembang dalam basa, dikenal sebagai selulosa alkali atau selulosa soda dipakai untuk mempreparasikan selulosa regenerasi. Proses mereaksikan kapas dengan basa air, dan kemudian menghilangkan basa tersebut dikenal sebagai merserasi. Kapas yang termerserasi memiliki tingkat kekilauan yang lebih tinggi daripada kapas alam yang kurang rapat, dan tingkat kekristalannya agak sedikit rendah. Meskipun jumlah gugus hidroksil pada selulosa besar, selulosa tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut lainnya yang umum, meskipun akan larut ke beberapa campuran pelarut. Larutan dari logam-logam kompleks seperti tembaga (II)-amonia akan melarutkan selulosa. Jenis-jenis pelarut lain yang dapat melarutkan
selulosa
adalah
LiCl-dimetilasetamida,
dimetil
sulfoksida-
paraformaldehida, amin oksida dan asam fosfat (Stevens, 2007). Sifat-sifat selulosa dengan pereaksi kimia: a. Selulosa dengan asam encer tidak dapat terhidrolisis b. Selulosa dengan asam konsentrasi yang tinggi dapat terhidrolisis menjadi selubiosa dan D-glukosa c. Dengan asam sulfat dapat menghidrolisis selulosa, digunakan untuk pembuatan kertas. Selulosa direaksikan dengan aluminium sulfat yang dapat bereaksi dengan sejumlah kecil pulp kertas untuk menghasilkan aluminium karboksilat yang membantu mengentalkan serat pulp menjadi permukaan kertas yang keras (Cowd, 1991).
2.2.5 Kegunaan Selulosa Meskipun selulosa tidak dapat digunakan sebagai bahan makanan oleh tubuh, namun selulosa yang terdapat sebagai serat-serat tumbuhan, sayuran atau buahbuahan, berguna untuk memperlancar pencernaan makanan. Adanya serat-serat dalam saluran pencernaan, gerak peristaltik ditingkatkan dan dengan demikian memperlancar proses pencernaan dan dapat mencegah konstipasi. Tentu saja jumlah serat yang terdapat dalam bahan makanan tidak boleh terlalu banyak
(Poedjiadi, 2006). Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan kertas (Cowd, 1991).
2.3
Hidrogel
Hidrogel merupakan jaringan polimer hidrofilik yang dapat menyerap sejumlah besar air sehingga dapat menyebabkan peningkatan volume secara drastis (Mohadi, 2007). Hidrogel adalah bahan polimer hidrofilik yang mempunyai kemampuan untuk mengembang di air atau cairan biologi tetapi tidak larut dalam air. Ketika mengembang di air, hidrogel tetap mempertahankan bentuk asalnya. Sifat hidrofilik dari hidrogel ini dipengaruhi oleh adanya gugus-gugus –OH, COOH, -CONH2, dan –SO3H. Sedang sifat ketidaklarutannya dalam air dan kemampuannya mempertahankan bentuk dipengaruhi oleh struktur tiga dimensi dari hidrogel. Umumnya hidrogel dibuat dari polimer hidrofilik baik dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan polimer lainnya dengan teknik kimia atau radiasi sehingga membentuk ikatan silang (crosslinking). Kemampuan dari hidrogel untuk mengembang di air adalah kesetimbangan antara kekuatan disperse pada rantai hidrat dengan kekuatan kohesi yang tidak mencegah penetrasi air ke dalam hidrogel. Selain itu, derajat dan sifat ikatan silang serta kekristalan dari polimer turut menentukan sifat mengembang dari hidrogel (Felasih, 2010). Hidrogel merupakan materi yang sangat menarik karena sifat kelarutannya dan daya angkut air yang unik. Bentuknya yang mirip air disebabkan polimer ini hampir seluruh bagian bentuknya terdiri dari air (Erizal,2010). Hidrogel memiliki biokompatibilitas yang sangat baik. Ini karena hidrogel memiliki beberapa sifat unik yang membuat sangat biokompatibel. Pertama, hidrogel memiliki tegangan antarmuka yang rendah dengan cairan biologis dan jaringan disekitarnya. Ini menurunkan gaya yang digunakan untuk adsorpsi pelarut dan gaya adhesi sel. Kedua, kandungan airnya sangat tinggi karena permukaan hidrogel sangat hidrofilik dan mampu menstimulasi beberapa sifat jaringan dari alam dengan kadar air yang tinggi. Hal ini membuatnya sangat biokompatibel. Dan ketiga adalah sifatnya yang lunak dapat meminimalkan iritasi mekanik dan gesekan pada jaringan di sekitarnya. Dengan demikian hidrogel
sangat potensial untuk membawa makromolekul bioaktif dalam keadaan mengembangnya, sehingga hidrogel juga dapat digunakan untuk aplikasi di berbagai bidang kesehatan (Muthoharoh, 2012).
2.3.1 Sifat-Sifat Hidrogel Sifat fisikokimia dari hidrogel tidak hanya tergantung dari struktur molekul, struktur gel dan banyaknya ikatan silang, tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan dan keadaan air didalam hidrogel tersebut. Hidrogel mempunyai sifat yang dapat mengembang dan menyusut pada kondisi pH tertentu. Hidrogel mempunyai karakter fisika-kimia yang khas dan memiliki kelebihan dan peranan masingmasing. Hidrogel yang berikatan secara fisika digunakan untuk penggunaan yang relatif cepat karena ikatannya yang cukup lemah sehingga dalam media asam yang encer pada waktu tertentu sudah mengalami pengembangan dan akhirnya melarut. Lain halnya dengan hidrogel yang berikatan secara kimia, karena ikatannya kuat atau sulit diubah-ubah lagi sehingga dalam kondisi asam masih bisa bertahan cukup lama (Mohadi, 2007). Rantai polimer dengan ikat silang kimia atau fisika pada umumnya sangat penting untuk menjaga struktur ruang hidrogel (Bao, 2014). Hidrogel dapat menunjukkan karakteristik swelling, didasarkan pada perubahan lingkungan sekitarnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon hidrogel terhadap perubahan lingkungan yaitu, pH, temperatur dan radiasi elektomagnetik. Selain faktor-faktor diatas, rasio bahan ikat silang dan struktur kimia juga mempengaruhi karakteristik swelling hidrogel. Faktor lain yang mempengaruhi karakter swelling hidrogel adalah rasio bahan ikat silang. Semakin besar rasio bahan ikat silang, maka struktur hidrogel akan semakin rapat, sehingga molekul air sulit masuk pada hidrogel, akibatnya derajat swelling berkurang dibandingkan dengan hidrogel yang sama dengan rasio bahan ikat silang lebih rendah. Karakter swelling hidrogel juga dipengaruhi oleh struktur kimia dari polimer yang menyusun hidrogel. Hidrogel yang mengandung gugus hidrofilik, karakter swelling nya lebih baik dibandingkan dengan hidrogel yang mengandung gugus hidrofobik (Yuniarti, 2012).
2.3.2 Klasifikasi Hidrogel Klasifikasi hidrogel didasarkan pada sumbernya yaitu alami dan sintetik, berdasarkan sifat dari cross-link yaitu kovalen dan fisika gel, berdasarkan sifat dari jaringan yaitu homopolimer, kopolimer, interpenitrasi, atau jaringan ganda. Berdasarkan struktur fisiknya dibedakan menjadi mikropori, dan makropori. Berdasarkan sifat organisme dibedakan menjadi hidrogel biodegradable dan nondegradable (Kopocek, 2009).
2.3.3 Aplikasi Hidrogel Aplikasi hidrogel mempunyai cakupan yang relatif luas antara lain dapat digunakan untuk: a.
Penyerapan urin dalam popok bayi
b.
Wadah penyimpan air untuk daerah kering/pertanian
c.
Salju buatan
d.
Sumber air untuk tanaman hortikultura
e.
Drug delivery
f.
Detoksifikasi limbah minyak
g.
Penyerap zat warna
h.
Eliminasi air tubuh pada kasus penyakit edemas
i.
Absorpsi bakteri dan jamur pada pembalut luka; dan
j.
Pemekatan larutan protein. (Erizal,2010).
2.3.4 Metode Pembentukan Hidrogel Hidrogel dapat dibentuk melalui ikat silang secara fisik atau kimia dari homopolimer atau kopolimer sehingga terbentuk struktur tiga dimensi. Ikat silang dapat dibentuk dengan interaksi kovalen atau nonkavalen. Hidrogel yang terikat silang secara kovalen disebut gel kimia sedangkan secara non kovalen disebut gel fisik. Ikat silang dapat dilakukan setelah atau pada waktu yang sama dengan homopolimerisasi ataupun kopolimerisasi. Hidrogel kimia memberikan kekuatan
mekanik yang kuat, akan tetapi rentan terhadap efek samping. Gel fisik adalah jaringan tiga dimensi dimana ikatan rantai polimernya memiliki interaksi non kovalen. Cara untuk membentuk ikat silang secara fisik yaitu dengan interaksi hidrofobik, interaksi muatan, atau dengan membentuk ikatan hidrogen.Interaksi muatan dapat terjadi antara polimer dan molekul kecil atau antara dua muatan polimer yang berbeda. Hidrogen dan ikatan non kovalen lainnya lebih lemah daripada ikatan kovalen. Interaksi kovalen yang lebih kuat dari non kovalen memiliki stabilitas mekanik yang lebih kuat. Metode ikat silang kimia meliputi polimerisasi radikal, energi tinggi irradiasi dan penggunaan enzim. Pada ikat silang kimia, dibutuhkan pengikat silang yang mungkin dapat bereaksi dengan zat-zat lainnya. Hidrogel kimia bisa dihasilkan dari ikat silang polimer larut air atau dengan konversi polimer hidrofobik menjadi polimer hidrofilik kemudian diikat silang untuk membentuk polimer jaringan. Pada keadaan terikat silang, hidrogel mencapai kesetimbangan swelling di larutan berair bergantung pada densitas ikat silang. Pada proses pembentukan hidrogel, gel yang terbentuk dapat mengalami cacat. Cacat tersebut mengakibatkan kurangnya elastisitas dari hidrogel (Fadhli, 2012).
2.3.5 Ikat Silang Ikat silang dapat digambarkan sebagai ikatan antara dua rantai polimer yang bergabung satu sama lain melalui suatu cabang (branch). Ikatan antar polimer ini dapat terjadi dengan bantuan agen pengikat silang yang jumlahnya 2-12% dari jumlah masing-masing komponen polimer yang berikatan. Secara umum ikat silang dibedakan menjadi 2 yaitu, ikat silang kimia (chemical cross-link) dan ikat silang fisika (physical cross-link).Ikat silang kimia dapat terjadi melalui ikatan kovalen maupun ion. Ikat silang pada suatu polimer dapat mempengaruhi derajat swelling. Ketika hadir pelarut, suatu polimer ikat silang akan mengembang pada saat molekul-molekul pelarut menembus jaringannya. Tingkat pengembangan (swelling) ini selain bergantung pada tingkat pengikatsilangan, juga bergantung pada afinitas antara pelarut dan polimer. Ikat silang fisika merupakan ikatanikatan silang yang labil secara termal, yakni ikatan-ikatan silang kimia yang putus
oleh pemanasan dan mengikat kembali setelah pendinginan.Ikat silang ion termasuk ikat silang fisika (Stevens, 2007). Ikat silang dapat dibentuk melalui reaksi kimia yang diprakarsai oleh panas, perubahan tekanan, pH, atau radiasi.Ikat silang juga dapat diinduksi ke dalam bahan termoplastik melalui paparan sinar elektron, radiasi gamma, maupun sinar UV. Seringkali, polimer yang terikat silang tidak dapat terurai jika dipanaskan (tidak meleleh) sehingga bentuknya tidak dapat dirubah ke bentuk lain yang disebut dengan polimer termoset. Ikatan silang kimia kovalen pada polimer ini memiliki kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, sehingga sangat sulit didegradasi. Sedangkan polimer terikat silang yang dapat di daur ulang dengan mengubah bentuknya ke bentuk lain dengan pemanasan atau dengan melarutkannya ke dalam pelarut yang cocok disebut polimer termoplastik. Dengan demikian, perlu diselidiki derajat ikat silang optimum yang memiliki sifat relatif kuat dan cukup elastis (Muthoharoh, 2012).
2.3.6 Agen Pengikat Silang Agen pengikat silang(crosslinking agent)dibutuhkan dalam membuat polimer jaringan hidrogel karena struktur jaringan ini yang dapat menentukan daya absorb terhadap medium cair dan kemampuan mengembang (swelling) suatu hidrogel. Perubahan dari derajat ikat silang dimanfaatkan untuk memperoleh sifat mekanik yang diinginkan. Peningkatan derajat ikat silang suatu hidrogel akan menghasilkan gel yang lebih kuat, namun derajat ikat silang yang lebih tinggi akan membuat struktur menjadi lebih rapuh. Oleh karena itu, perlu dicari derajat ikat silang optimum yang memiliki sifat relatif kuat dan cukup elastis (Devine, 2005). Zat pengikat silang pada selulosa mencakup diepoksida, epiklorohidrin (yang berkelakuan sebagai suatu diepoksida), aldehida, asetal (yang dipreparasi dari formaldehida dan poliol) dan tetraoksana (Stevens, 2007). Pada penelitian ini digunakan agen pengikat silang glutaraldehid yang memiliki struktur yang dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur Glutaraldehid
2.4
Uji karakteristik
2.4.1 Fourier Transform Infrared Pada dasarnya, teknik Fourier Transform Infrared (FTIR) adalah sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi (Wirjosentono, 1995). Jumlah energi yang diperlukan untuk meregangkan suatu ikatan tergantung pada tegangan ikatan dan massa atom yang terikat. Bilangan gelombang suatu serapan dapat dihitung menggunakan persamaan yang diturunkan dari Hukum Hooke.
1 f (m1 + m2) v= 2πc m1m2
1
2
....................................(2.1)
Persamaan di atas menghubungkan bilangan gelombang dari vibrasi regangan terhadap konstanta gaya ikatan (f) dan massa atom (dalam gram) yang digabungkan olehikatan (m1 dan m2). Konstanta gaya merupakan ukuran tegangan dari suatu ikatan. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa ikatan yang lebih kuat dan atom yang lebih ringan menghasilkan frekuensi yang lebih tinggi. Semakin kuat suatu ikatan, makin besar energi yang dibutuhkan untuk meregangkan ikatan tersebut. Frekuensi vibrasi berbanding terbalik dengan massa atom sehingga vibrasi atom yang lebih berat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah. Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang
mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14.290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1 (14,3-5,0 µm). Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui inframerah. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi disperse standar karena resolusinya lebih tinggi. Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke detector sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa interferogram. Informasi yang keluar dari detektor diubah secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai domain, tiap-tiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang lengkap (fourier transform) kemudian sinyal itu diubah menjadi spektrum IR sederhana (Gunawan, 2010). FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitian-penelitian struktur polimer. Karena spektrum-spektrum bias di-scan, disimpan, dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian-penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. Persyaratan-persyaratan ukuran sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrument FTIR dengan suatu mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi (Stevens, 2007).
2.4.2 Scanning Electron Microscopy Scanning Electron Microscopy (SEM) adalah suatu alat yang digunakan untuk memberikan informasi tentang topografi permukaan sampel, komposisi dan sifatsifat lainnya seperti daya hantar listrik (Gulrez, 2011). SEM adalah alat yang
dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik.Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektrondengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron,sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron. Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersematerial tersebutmenyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana alat yang biasa digunakan adalah SEM. Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar topografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan. Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam kedalam suatu disket (Wirjosentono,1996). Cuplikan yang akan dianalisis dalam kolom SEM perlu disiapkan dahulu, walaupun telah ada jenis SEM yang tidak memerlukan penyepuhan (coating) cuplikan. Terdapat tiga tahap persiapan cuplikan, antara lain: a. Pelet dipotong menggunakan gergaji intan b. Cuplikan dikeringkan pada 60oC minimal 1 jam c. Cuplikan non logam harus dilapisi dengan emas tipis, cuplikan logam dapat langsung dimasukkan dalam ruang cuplikan. Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan yang menggunakan SEM lapisan cuplikan harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas electron dan mengalirkannya ke ground. Bila lapisan cuplikan tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas (Gunawan, 2010).
2.4.3 Rasio Swelling Swelling adalah salah satu sifat fisika yang khas hidrogel, menggambarkan kemampuan hidrogel dalam menyerap air (Erizal, 2002). Jika polimer hidrogel mengembang (swelling) dalam mediumnya, ini menunjukkan bahwa hidrogel mampu mengadsorb medium cairnya tanpa larut didalamnya. Semakin banyak rantai yang berikatan silang dalam suatu polimer, kemampuan mengembangnya akan menurun dan gel menjadi semakin keras/kuat. Hidrogel direndam dalam air destilasi hingga mencapai keadaan kesetimbangan. Lalu diambil dan setelah sisa air dihilangkan, kemudian ditimbang. Pengukuran persen rasio swelling dapat ditentukan dengan rumus berikut (Muthoharoh, 2012) :
𝑆𝑆(%) =
𝑊𝑊𝑊𝑊−𝑊𝑊𝑊𝑊 𝑊𝑊𝑊𝑊
× 100%.................................(2.2)
Dimana, Ws = Berat swollen hidrogel Wd = Berat kering dari hidrogel
2.4.4 Derajat Ikat Silang ( degree of crosslinking) Berat kering hidrogel yang dihasilkan ditimbang. Kemudian hidrogel tersebut direndam dengan pelarutnya selama 24 jam. Setelah perendaman, hidrogel dioven pada suhu 60oC hingga kering selama 3 jam. Berat kering hidrogel setelah perendaman ditentukan dengan penimbangan menggunakan neraca analitis. Derajat ikat silang ( degree of crosslinking) dapat ditentukan dengan: % 𝐷𝐷𝐷𝐷 =
𝑊𝑊𝑊𝑊 𝑊𝑊𝑊𝑊
× 100…………….(2.3)
Dimana Wg adalah berat hidrogel kering setelah perendaman dan Wo adalah berat hidrogel kering sebelum perendaman (Muthoharoh, 2012).