BAB 2 STUDI PUSTAKA
2.1 Pendahuluan Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam bentuk batuan atau fluida yang terkandung di bawah permukaan bumi. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italia sejak tahun 1913 dan di Selandia Baru sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor nonlistrik (direct use) telah berlangsung di Islandia sekitar 70 tahun lalu. Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979 telah memacu negara‐negara lain, termasuk Amerika Serikat untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. (El-Wakil,1985) Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar yaitu sekitar 28,5 GWe. Potensi ini setara dengan 12 milyar barel minyak bumi untuk masa pengoperasian 30 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkaya potensi energi yang ramah lingkungan ini. (Badan Geologi, 2009) Berdasarkan proses pengolahan fluida panas bumi, sistem pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat dibagi menjadi beberapa macam siklus [1], namun dalam tugas akhir ini tidak akan seluruhnya dibahas, yang akan dibahas adalah 1. Siklus Uap Cetus Tunggal (Single Flash Steam Cycle) 2. Siklus Biner (Binary Cycle) 3. Siklus Kombinasi (Combined Cycle)
2.1.1 Siklus Uap Cetus Tunggal Siklus ini paling banyak digunakan untuk kondisi sumur produksi yang didominasi oleh fasa cair. Zat cair tersebut diekspansi dengan katup (sistem flash), sehingga tekanannya akan turun dan terbentuk fasa campuran uap dan cair. Kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam separator untuk dipisahkan, fasa
uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (brine) ( sisanya disuntikkan kembali ke dalam sumur sumur injeksi. Skema dari siklus cetus tunggal sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi digambarkan pada diagram T-s T yang ada pada Gambar 2.2.
Gambar 2.1 Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit embangkit.
Gambar 2.22 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana ederhana. [1]
2.1.2 Siklus Biner Siklus ini digunakan apabila sumur produksi memiliki temperatur yang tidak terlalu tinggi (125-225 oC), sehingga kurang efektif dan ekonomis bila digunakan untuk temperatur sumber yang tinggi (Badan Geologi, 2010). Dengan memanfaatkan temperatur yang tidak terlalu tinggi, diperlukan fluida kerja lain yang memiliki titik didih di bawah titik didih air, sehingga fluida kerja yang tepat untuk digunakan adalah fluida kerja organik. Fluida kerja organik memiliki temperatur didih yang rendah, sehingga panas yang tidak terlalu tinggi dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk menggerakan turbin yang ada di PLTP, yang umum disebut sebagai siklus biner. Prinsip kerja siklus biner dengan memanfaatkan adanya penukar panas (heat exchanger), panas yang dimiliki oleh brine dapat dimanfaatkan oleh fluida kerja organik untuk menggerakkan turbin dan pada akhirnya dapat menghasilkan listrik. Pada Gambar 2.3 ditampilkan gambar skematik dari siklus-biner. 1
b
Gambar 2.3 Skema siklus biner sederhana pada sistem pembangkit.
Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan diagram P-hh seperti Gambar 2.4 di bawah ini. Pada diagram P-h P h dapat dilihat juga perubahan fasa yang terjadi dalam siklus biner.
Gambar 2.4 2. Diagram T-ss untuk siklus biner sederhana. [1]
iklus Kombinasi 2.1.3 Siklus Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada prinsipnya, brine sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur yang cukup tinggi. Brine tersebut dapat digunakan sebagai cairan pemanas untuk memanaskan fluida kerja pada siklus biner,, tentunya dengan perantaraan penukar panas (heat heat exchanger). exchanger). Dengan memanfaatkan prinsip kerja tersebut, daya listrik yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan dengan siklus cetus tunggal ataupun siklus biner. Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus cetus-biner biner dapat dilihat gambar skematik dari siklus cetus-biner cetus biner yang ada pada Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T-s T pada Gambar 2.6.
a
b f
Gambar 2.5 Skema siklus kombinasi sederhana pada sistem pembangkit.
Gambar 2.6 Diagram T-s untuk siklus kombinasi sederhana. [1]
2.2 Komponen-Komponen Utama Pada Sistem Pembangkit Panas Bumi Komponen utama suatu sistem pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan siklus cetus-biner terdiri dari: katup ekspansi, separator, turbin, kondensor, pompa, dan penukar panas (preheater dan evaporator). 2.2.1 Katup Ekspansi (Proses Cetus/Flash) Proses ekspansi oleh katup dilakukan untuk menurunkan tekanan secara spontan, sehingga akan terbentuk fluida dengan dua fasa seperti yang dapat dilihat dalam proses 1-2 pada diagram T-s di Gambar 2.2. Proses flashing berlangsung secara isentalpik (h = konstan), sehingga akan didapatkan persamaan: h1 = h2
(2.1)
2.2.2 Separator (Komponen Pemisahan Fasa Fluida) Separator berfungsi untuk memisahkan dua jenis fasa fluida (uap dan cair) yang dihasilkan pada proses cetus/flashing dengan katup. Dengan diagram T-s pada Gambar 2.2, dapat dilihat proses yang berlangsung pada separator. Proses dari titik 2 ke 4 merupakan proses terbentuknya fasa uap jenuh, sedangkan proses dari titik 2 ke 3 merupakan proses terbentuknya fasa cair jenuh. Kualitas/fraksi dari campuran akibat proses flashing didekati dengan persamaan x2 =
(2.2)
2.2.3 Turbin Turbin merupakan komponen yang penting pada sistem pembangkit listrik, dimana kerja yang dihasilkan oleh turbin digunakan untuk memutar generator. Generator tersebut dikelilingi oleh kumparan, sehingga akan menghasilkan energi listrik. Dari diagram T-s pada Gambar 2.2, yaitu proses dari titik 4 ke 5 dapat diketahui bahwa kerja maksimum yang dapat dihasilkan oleh turbin adalah t = s (h4-h5)
(2.3)
Sedangkan efisiensi isentropik turbin, didapatkan dengan ηt =
(2.4)
Untuk siklus biner, dari diagram skematik pada Gambar 2.7 di bawah ini, turbin dapat menghasilkan kerja maksimum, dimana persamaannya adalah t = wf (h1-h2)
(2.5)
Gambar 2.7 Turbin-generator untuk siklus biner.
2.2.4 Kondensor Umumnya kondensor yang digunakan pada pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah kondensor berpendingin air [1]. Dengan bantuan diagram T-s pada Gambar 2.2 di atas dapat dilihat bahwa proses kondensasi yang berlangsung adalah dari titik 5 ke 6, dimana jumlah air pendingin yang diperlukan dapat diperoleh dengan persamaan cw = x2 total
(2.6)
Dengan = konstanta kalor spesifik (4200 J/kg.K) Prinsip kerja dari kondensor memanfaatkan kesetimbangan kalor yang terjadi antara fluida kerja panas dengan fluida kerja dingin. Proses yang berlangsung pada kondensor dapat dilihat pada Gambar 2.8, dengan persamaan kalor untuk fluida kerja panas t = wf (h2-h3)
Gambar 2.8 Kondensor dengan pendingin air.
(2.7)
Dari Gambar 2.8 di atas juga, didapatkan persamaan kesetimbangan energi untuk kondensor cw(hy-hx) = wf (h2-h3)
(2.8)
Pada kondensor berpendingin udara, fluida yang berfungsi sebagai pendingin adalah udara. Prinsip yang dimanfaatkan adalah memanfaatkan aliran udara yang dihasilkan oleh kipas untuk menurunkan temperatur fluida kerja yang ada di dalam tube kondensor. Kondensor berpendingin udara dimanfaatkan apabila lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada sulit untuk mendapatkan air. Pada tugas akhir ini, kondensor yang digunakan adalah kondensor berpendingin udara, sehingga tidak diperlukan adanya menara pendingin / cooling tower.
2.2.5 Pompa (Feedwater Pump) Pompa digunakan untuk menaikkan tekanan/head dari fluida yang dialirkan. Dari gambar skematik pada Gambar 2.9 dapat diketahui bahwa kerja yang diperlukan oleh pompa adalah p = wf (h4-h3) = wf (h4s-h3)/ηp
(2.9)
Gambar 2.9 Pompa untuk kondensat.
2.2.6 Penukar Panas (Heat Exchanger) Pada siklus biner diperlukan adanya komponen penukar panas. Fungsi utama dari penukar panas tersebut digunakan sebagai pemanas awal (preheater) dan evaporator, yaitu mengubah fasa fluida kerja dari cairan bertekanan (compress liquid) menjadi cair jenuh untuk kemudian diubah menjadi uap jenuh.
Dalam mengkaji penukar panas digunakan asumsi bahwa pertukaran panas antara brine dengan fluida kerja terisolasi dengan baik, aliran fluida berlangsung tetap terhadap waktu (steady), dan dengan mengabaikan energi kinetik dan potensial. Dari gambar skematik pada Gambar 2.10 di bawah ini dapat diperoleh persamaan kesetimbangan energi pada penukar panas b(ha-hc) = wf (h1-h4)
(2.10)
Gambar 2.10 Preheater dan Evaporator.
Untuk memudahkan dalam menganalisis preheater dan evaporator digunakan diagram temperatur terhadap persen perpindahan panas seperti Gambar 2.11 di bawah ini. Diagram tersebut dapat menggambarkan fungsi dari setiap komponen penukar panas, dan menunjukkan besar kalor yang dilepas/diterima oleh preheater dan evaporator. Preheater (PH) berfungsi untuk menaikkan temperatur fluida kerja sampai titik cair jenuhnya, kemudian evaporator (E) berfungsi untuk mengubah fasa fluida kerja dari cair jenuh menjadi uap jenuh. Posisi pada penukar panas dimana temperatur dari brine dengan fluida kerja mencapai titik minimum disebut dengan titik pinch, dan nilai selisih temperaturnya adalah ∆Tpp (delta temperatur pinch). Tingkat keadaan 4 memiliki fasa dalam bentuk cair bertekanan (compressed liquid) yang merupakan keluaran dari pompa, tingkat keadaan 5 merupakan fasa cair jenuh (saturated liquid) yang bekerja pada tekanan evaporator, dan keadaan 1 merupakan fasa uap jenuh (saturated vapor) yang
sama dengan kondisi masuk turbin. Dari Gambar 2.10 di atas, diperoleh persamaan energi untuk kedua jenis penukar panas tersebut Preheater
:
bb(Tb-Tc) = wf (h5-h4)
(2.11)
Evaporator
:
bb(Ta-Tb) = wf (h1-h5)
(2.12)
Temperatur brine masuk (Ta) selalu diketahui, sedangkan perbedaan temperatur pinch (∆Tpp) umumnya diberikan oleh pabrik pembuat penukar panas dalam spesifikasinya. Dengan diketahuinya nilai T5, maka nilai dari Tb dapat diketahui juga. Luas permukaan perpindahan panas dari evaporator bisa diperoleh dengan persamaan: AELMTD|E E =
(2.12)
adalah nilai dari koefisien perpindahan panas total, dan LMTD|E Nilai adalah nilai log-mean temperature difference yang diperoleh dengan persamaan LMTD|E =
! " #
(2.13)
Sedangkan nilai perpindahan kalor dari evaporator diperoleh dari E = bb(Ta-Tb) = wf (h1-h5)
(2.14)
Persamaan energi yang sama diterapkan juga untuk preheater, yaitu APHLMTD|PH PH = LMTD|PH =
" # $ %
PH = bb(Tb-Tc) = wf (h5-h4)
(2.15) (2.16) (2.17)
Hubungan-hubungan pada Persamaan 2.11–2.17 di atas, dapat dilihat dari Gambar 2.11 di bawah ini. ) didapatkan dari hasil Nilai koefisien perpindahan panas total ( eksperimen fluida yang digunakan pada sistem pembangkit. Sebagai asumsi awal ) dalam proses analisis, untuk menebak nilai koefisien perpindahan panas total ( dapat digunakan Tabel 2.1 di bawah ini
temperatur perpindahan panas preheater dan evaporator. [1] Gambar 2.11 Diagram temperatur-laju
Nilai
di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan
nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual, yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan panas yang terjadi dalam suatu proses.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Fluida Ammonia (kondensasi) - Air Propana atau Butana (kondensasi) - Air Refrigerant (kondensasi) - Air Refrigerant (evaporasi) - Brine Refrigerant (evaporasi) - Air Uap airair Gas Uap air - Air Uap air (kondensasi) - Air Air - Udara Air - Brine Air - Air Tabel 2.1 2. Perkiraan Nilai
Koefisien Perpindahan Panas Total ( ) 2 Btu/h.ft .F W/m2.K 150- 250 850 - 1400 125- 135 700 - 765 80- 150 450 - 850 30- 150 170 - 850 30- 150 170 - 850 5- 50 30 - 285 175- 600 1000 - 3400 175-1050 1000 - 6000 5 - 10 25 - 50 100- 200 570 - 1135 180- 200 1020 - 1140
Untuk Beberapa Kondisi [1]
2.3 Pemilihan Fluida Kerja Faktor pemilihan fluida kerja pada siklus biner memiliki peran yang penting dalam penentuan performansi sistem pembangkit. Ada banyak jenis fluida yang dapat dijadikan fluida kerja dalam siklus biner, tetapi harus diperhatikan juga batasan-batasan yang ada, misalnya sifat termodinamika fluida, faktor kesehatan, faktor keamanan, serta faktor lingkungan. 2.3.1 Sifat Termodinamika Faktor yang penting dalam pemilihan jenis fluida kerja adalah tekanan dan temperatur kritisnya harus lebih rendah dari air. Temperatur kritis fluida kerja yang rendah memungkinkan terjadinya perubahan fasa dari fluida kerja karena proses pemanasan oleh brine. Fluida kerja yang memiliki fasa uap dapat digunakan untuk menggerakan turbin, sehingga dapat menghasilkan energi listrik. Dari Tabel 2.2 di bawah ini, dapat diketahui perbandingan temperatur dan tekanan kritis antara berbagai jenis fluida kerja yang umum digunakan pada siklus biner. Tabel 2.2 Sifat Termodinamika Beberapa Fluida Kerja Untuk Siklus Biner [1]
No
Jenis Fluida
Rumus Kimia
Tc C
Tc o F
Pc Mpa
Pc lbf/in2
96,95 135,92 150,80 187,80 193,90 133,65 374,14
206,50 276,70 303,40 370,10 380,90 272,57 705,45
4,236 3,685 3,718 3,409 3,240 11,627 22,089
614,4 534,4 539,2 494,4 469,9 1686,3 3203,6
o
1 2 3 4 5 6 7
Propana i-Butana n-Butana i- Pentana n-Pentana Ammonia Air
C3H8 i-C4H10 C4H10 i-C5H12 C5H12 NH3 H2O
Ps @ Ps @ 300 K 400 K Mpa Mpa 0,993500 n.a. 0,372700 3,20400 0,255900 2,48800 0,097590 1,23800 0,073760 1,03600 1,061000 10,30000 0,003536 0,24559
Karakteristik penting lain yang dimiliki oleh fluida kerja organik adalah adalah bentuk diagram Temperatur-Entropi (T-s) yang sedikit berbeda dengan air. Perbedaannya terdapat pada garis uap jenuh yang dimiliki. Garis uap jenuh pada air memiliki kemiringan (slope) bernilai negatif, sedangkan untuk fluida kerja organik kemiringannya bernilai positif. Perbedaannya dapat dilihat pada Gambar 2.12 di bawah ini.
Gambar 2.12 2. Diagram T-ss untuk fluida kerja organik. [1]
2.3.2 Faktor Kesehatan, Kesehatan Keamanan, dan Lingkungan Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja adalah faktor kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang berisi sifat-sifat sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan untuk beberapa jenis fluida kerja. Tabel 2.3 Sifat Keamanan dan Lingkungan Untuk Beberapa Jenis Flui Fluida Kerja [1]
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Fluida Kerja R-12 R-114 Propana i-butana n-butana i-pentana n-pentana Ammonia Air
Rumus Kimia CCl2F2 C2Cl2F4 C3H8 i 4H10 i-C C4H10 i 5H12 i-C C5H12 NH3 H2O
Sifat Beracun Tidak Beracun Tidak Beracun Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Beracun Tidak Beracun
Sifat Keterbakaran Tidak Terbakar Tidak Terbakar Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Rendah Tidak Terbakar
ODP 1,0 0,7 0 0 0 0 0 0 0
GWP 4500 5850 3 3 3 3 3 0 -
Nilai Ozone Depletion Potential (ODP) merupakan nilai perbandingan antara zat yang memiliki kandungan yang dapat merusak ozon dengan zat yang merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk R-11 dan R-12. Sedangkan nilai Global Warming Potential (GWP) merupakan ukuran dari berapa besar massa yang diberikan dari zat penghasil gas efek rumah kaca yang diperkirakan akan berkontribusi terhadap pemanasan global dibandingkan dengan zat yang merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk karbondioksida.
2.4 Pembentukan Kerak (Scaling) Hal lain yang menjadi masalah serius pada siklus PLTP adalah masalah pembentukan kerak (scaling). Masalah scaling dapat dianalogikan seperti terbentuknya kolestrol di dalam pembuluh darah manusia yang setiap saat dapat menimbulkan masalah serius. Sama seperti itu, kerak akan menyebabkan tersumbatnya aliran fluida yang melewati pipa/tube, mengurangi kemampuan perpindahan panas, dan pada akhirnya akan mengganggu kinerja PLTP. Salah satu penyebab terbentuknya kerak (Scale) adalah adanya kandungan silika (SiO2). Senyawa silika memiliki empat bentuk, yaitu quartz, amorphous, chalcedony, dan cristobalite. Yang menjadi pusat perhatian pada siklus PLTP adalah fasa silika dalam bentuk quartz dan amorphous, karena kedua fasa ini menunjukkan sifat kelarutan silika yang memiliki sifat paling mudah larut dan paling sulit larut. Sifat-sifat yang mempengaruhi konsentrasi silika adalah temperatur, kadar garam (salinitas), dan nilai keasaman (pH). Faktor yang paling mempengaruhi konsentrasi silika adalah temperatur, sehingga persamaan yang ada banyak didekati sebagai fungsi dari temperatur [2]. Pada Gambar 2.13 akan diperlihatkan tingkat kelarutan dari berbagai bentuk silika, dari yang mudah larut (E) sampai yang sulit larut (A).
A = amorphous silica B = β-cristobalite C = α-cristobalite D = chalcedony E = quartz
Gambar 2.13 Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]
Dalam menganalisis proses terbentuknya kerak, ada tiga metode yang biasa digunakan, yaitu metode Founier, DiPippo, dan Silica Scaling Index (SSI). Ketiga metode tersebut akan dijelaskan pada sub-bab di bawah ini, dimana yang ingin diperoleh adalah temperatur minimum keluar brine supaya tidak terbentuk kerak.
2.4.1 Metode Fournier Untuk menghitung besarnya konsentrasi quartz digunakan persamaan di bawah ini. Persamaan ini berlaku dengan menggunakan asumsi bahwa kandungan yang terdapat di sumur produksi seluruhnya berfasa quartz. q(tr,m=0) = 41,598 + 0,23932tr – 0,011172tr2 + 1,1713 × 10-4tr3 – 1,9708 × 10-7tr4 [2]
(2.18)
Bila memperhitungkan kadar garam (salinitas), diperlukan koreksi: q(tr,m) = q(tr,m=0) × F(tr,m) [4],
(2.19)
Dimana nilai F(tr,m) = 1-[1-F(t,m=5)] × (m/5), nilai m = 0-5 F(tr,m=5) = 0.3363tr0,1644
(2.20)
m = molalitas = mol zat terlarut / kg larutan (menunjukan nilai kadar garam). Sedangkan, untuk menghitung besarnya konsentrasi amorphous silika, digunakan persamaan, S(t1,m2) = q(tr,mr) × C1 × C2 [5]
(2.21)
Dimana, C1 = 1/(1-x1)
(2.22)
C2 = 1/(1-x5)
(2.23)
Nilai hr = h1, sehingga x1 = (h1-h2) / (h3-h2) = [hf(tr) – hf(t1)] / hfg(t1)
(2.24)
Persamaan di atas tidak memperhitungkan memperhitungkan pengaruh salinitas, untuk contoh kasus single flash (Gambar 2.14) dan double flash (Gambar 2.15).
Gambar 2.14 Diagram T-s T Single Flash. [2]
Gambar 2.15 Diagram T-ss Double Flash. [2]
Setelah didapatkan nilai konsentrasi amorphous silika,, langkah selanjutnya adalah menentukan nilai temperatur minimum brine keluar/temperatur temperatur rekristalisasinya supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada Gambar 2.16 seperti contoh di bawah ini.
Gambar 2.16 2. Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]
Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan nilai konsentrasi amorphous silika ke dalam persamaan garis A yang ada pada gambar di atas. t oC =
(2.25)
dimana nilai s adalah konsentrasi amorphous silika (ppm), dan t adalah temperatur rekristalisasi (oC).
2.4.2 Metode DiPippo Cara yang sama dengan metode Founier diterapkan juga dalam metode DiPippo,, dimana nilai kelarutan amorphous silika yang diperoleh dari persamaan di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai contoh:
Gambar 2.17 Pengaruh konsentrasi silika terhadap temperatur keluar. keluar [1]
Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan: = - 6,116 + 0,01625T – 1,758×10-5T2 + 5,257×10-9T3 [6] (2.26) Nilai kelarutan amorphous silika perlu dibagi dengan 58.400 ppm. Dengan proses trial & error, akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam, sehingga nilai molalitas (m) = 0.
2.4.3 Metode Silica Scaling Index (SSI) Ada juga metode lain yang digunakan untuk mencari temperatur terbentuknya kerak (scale), yaitu dengan metode Silica Scaling Index (SSI). Metode SSI adalah metode yang membandingkan antara nilai konsentrasi silika yang dikandung brine dengan kelarutan amorphous silica. (Nugroho, 2007) Untuk siklus cetus: SSI = SII/s
(2.27)
SSI = SI/s
(2.28)
Untuk siklus biner dan Kalina:
Jika SSI > 1 terbentuk kerak, dan sebaliknya bila < 1 tidak terbentuk kerak. Kelarutan Amorphous Silica diperoleh dengan persamaan Log10s(T,m=0) = -6,116 + 0,01625T – 1,758 × 10-5T2 + 5,257 × 10-9T3 [6] (2.29) Nilai s dikalikan dengan 58.400 sehingga diperoleh satuan ppm, dan nilai T merupakan temperatur keluar brine, dalam satuan Kelvin (K). Bila memperhitungkan salinitas s(T,m) = s(T,m=0) × 10-mD(t) [5] dimana, log10D(t) = -1,0569 – 1,573 × 10-3t
(2.30) (2.31)
Untuk siklus biner dan Kalina, konsentrasi silika keluar pada separator utama SI = q(tr,m)/(1-x)
(2.32)
dimana, x = fraksi uap pada separator utama. Pada siklus cetus, konsentrasi silika keluar dari separator flash SII = SI/(1-x1)
(2.33)
Dimana, x1 = fraksi uap pada separator flash. Dari persamaan di atas, apabila nilai SSI > 1 maka akan terbentuk kerak, dan sebaliknya bila nilai SSI < 1 tidak terbentuk kerak.
2.5 Paket Program HYSYS HYSYS adalah program yang umum digunakan untuk proses simulasi di dunia industri, khususnya industri proses. Program ini dapat melakukan proses simulasi secara statik maupun dinamik. Pada proses simulasi statik, parameter operasi seperti tekanan, temperatur, laju aliran massa, dan lain-lain hanya
digambarkan pada waktu tertentu saja yang ditentukan sebelumnya. Sedangkan untuk proses simulasi dinamik, perubahan parameter operasi dapat diamati seiring berjalannya waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Cara kerja dengan program HYSYS dimulai dengan memilih fluida kerja, sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.18 di bawah ini. HYSYS memiliki database untuk berbagai jenis fluida kerja yang dapat digunakan.
Gambar 2.18 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan fluida kerja.
Setelah menentukan fluida kerja, perlu ditentukan persamaan tingkat keadaan yang akan digunakan, sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.19 di bawah ini.
Gambar 2.19 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan persamaan tingkat keadaan.
Langkah selanjutnya adalah memilih komponen-komponen yang akan digunakan, sebagai contoh turbin seperti pada Gambar 2.20 di bawah ini. Warna indikator akan berubah dari kuning menjadi hijau bila input data yang diberikan bernilai benar.
Gambar 2.20 Tampilan pada pemilihan kompenen turbin.
Komponen-komponen yang akan digunakan pada proses simulasi seperti terlihat pada Gambar 2.21 di bawah ini akan dirangkai/disusun menjadi diagram alir proses sesuai dengan komponen-komponen yang dipilih untuk proses simulasi, sebagai contoh seperti Gambar 2.22 di bawah ini.
Gambar 2.22 Tampilan diagram alir proses.
Gambar 2.21 Komponen pada HYSYS.
Setelah diagram alir proses didapatkan, dapat diketahui hubungan suatu parameter dengan parameter lainnya. Hubungan tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk grafik maupun tabel, sebagai contoh seperti Gambar 2.23 untuk tampilan grafik dan Gambar 2.24 di bawah ini untuk tampilan tabel.
Gambar 2.23 Tampilan grafik tekanan evaporator-laju aliran massa turbin.
Gambar 2.24 Tampilan tabel tekanan evaporator dan daya turbin.
Dari hasil yang telah didapatkan dengan program HYSYS, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan proses pengolahan data dengan bantuan paket program Microsoft Excel. Dari hasil pengolahan data pada program excel, akan didapatkan pengaruh dari parameter-parameter yang ingin diketahui korelasinya. Langkah terakhir adalah melakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dari proses pengolahan data.
2.6 Paket Program HTRI dan Metode GPSA Proses perancangan termal untuk penukar panas (preheater dan evaporator) dilakukan dengan bantuan paket program Heat Transfer Research Inc. (HTRI). Sedangkan untuk kondensor berpendingin udara dilakukan dengan metode yang ada pada Gas Processors Suppliers Association (GPSA). 2.6.1 Paket Program HTRI Paket program HTRI merupakan salah satu program yang banyak digunakan dalam proses perancangan. Jenis perancangan yang akan dilakukan dalam tugas akhir ini adalah proses perancangan termal, dimana kekuatan struktur dan getaran tidak diperhitungkan. Yang diperhitungkan adalah neraca kalor dan neraca massa yang terjadi sehingga diperoleh dimensi dasar. Dalam menggunakan paket program HTRI ada beberapa langkah yang perlu dilaksanakan, yaitu memasukan data tingkat keadaan masuk dan keluar penukar panas, menentukan parameter perancangan (panjang tube, tebal tube, jumlah tube, diameter shell, jenis penukar panas, jenis material, dan lain-lain), dan menentukan jenis fluida kerja yang bekerja pada penukar panas. Tampilan paket program HTRI dapat dilihat pada Gambar 2.25, dimana diperlukan masukan data yang sesuai untuk proses perancangan yang diinginkan. Parameter proses didapatkan dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS. Sedangkan parameter perancangan ditentukan sesuai dengan standar yang lazim digunakan dalam proses perancangan.
Gambar 2.25 25 Tampilan masukan data pada paket program HTRI. HTRI
Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki database untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila fluida kerja yang digunakan tidak tid ada pada database HTRI, bisa didefiniskan sendiri untuk dimasukkan nilai sifat-sifatnya. sifat sifatnya. Sebagai contoh pemilihan jenis fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26 dan 2.27. Standar yang umum digunakan dalam proses perancangan perancangan penukar panas adalah standar Tubular Exchanger Manufaturer’s Manufaturer s Association (TEMA).
Gambar 2.27 Pemilihan fluida kerja untuk aliran dingin.
Gambar 2.26 Pemilihan fluida kerja untuk aliran panas.
Setelah semua masukan data yang diperlukan dimasukan dalam program HTRI, akan dihasilkan lembar yang berisi hasil keluaran yang dihasilkan seperti: dimensi, penurunan tekanan aktual, nilai kalor, persen overdesign, dan lain-lain. Keluaran paket program HTRI seperti pada Gambar 2.28 di bawah ini.
Gambar 2.28 Keluaran lembar TEMA dengan paket program HTRI.
2.6.2 Metode GPSA Gas Processors Suppliers Association (GPSA) adalah buku yang berisi dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin udara pada PLTP akan menggunakan metode yang ada pada GPSA. Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu tipe forced draft dan induced draft.. Gambar skematik kondensor berpendingin udara dapat dilihat pada Gambar 2.29.
Gambar 2.29 2 Tipe kondensor berpendingin udara. [7]
Perbedaan antara tipe forced draft dan induced draft terletak pada letak tube-nya. Untuk forced draft, letak tube berada pada keluaran (discharge) ( ) kipas sedangkan pada tipe induced draft, draft letak tube berada di sisi masuk (suction)) dari kipas. Kelebihan tipe induced draft: draft -
Distribusi udara lebih baik
-
Pengaruh sinar matahari dan hujan tidak besar, karena tube terlindungi
Kekurangan tipe induced draft: -
Perlu daya kipas yang lebih besar
-
Lebih sulit dalam perawatan komponen kipas
Sedangkan untuk tipe forced draft, kelebihan yang dimilikinya adalah -
Perlu daya kipas yang lebih kecil
-
Mudah dalam perawatan komponen mekanik yang ada
Kekurangan tipe forced draft: -
Distribusi udaranya kurang merata
-
Dipengaruhi oleh sinar matahari dan hujan
Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara, ada kelaziman yang umum digunakan: -
Ukuran diameter kipas 3 - 28 ft, yang umum digunakan adalah 14 - 16 ft
-
Daya pada satu kipas umumnya kurang dari 50 hp
-
Panjang tube antara 6 – 50 ft
-
Lebar bay (bay width) 4 – 30 ft
-
Diameter tube antara 0,625 – 1,5 in, yang umumnya digunakan 1 in
-
Jumlah baris tube antara 3 – 8 baris
Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perancangan yang memerlukan masukan data berupa: Temperatur rata-rata fluida kerja Nilai Cp fluida kerja Nilai viskositas dinamik (µ) fluida kerja Nilai koefisien konduksi (k) fluida kerja Nilai kalor (Q) dari penukar panas Nilai laju massa fluida kerja Nilai temperatur masuk (Tin) fluida kerja Nilai temperatur keluar (Tout) fluida kerja Nilai hambatan fouling fluida kerja Nilai penurunan tekanan yang diijinkan
Untuk udara sebagai fluida kerja pendingin, diperlukan masukan data berupa temperatur udara sekitar, ketinggian tempat, dan nilai Cp untuk udara. Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara diperlukan juga asumsi geometri, yang berupa: Jenis kondensor yang digunakan Diameter sirip tube dan jenisnya Jarak pitch tube dan jenisnya Jumlah aliran tube Panjang tube Luas bundle luar (APSF) Jumlah baris tube Luas total (APF) Diameter dalam tube Perbandingan luas sirip dan tube (AR) Diameter luar tube Jumlah kipas yang digunakan Proses perancangan kondensor berpendingin udara dilakukan dengan bantuan paket program Microsoft Excel, karena diperlukan proses iterasi untuk memperoleh hasil yang memenuhi persyaratan. Hasil yang didapatkan dari proses perancangan dengan metode GPSA diantaranya adalah: daya kipas aktual, jumlah kipas, penurunan tekanan, diameter kipas, lebar unit, dan lain-lain. Nilai penurunan tekanan yang dihasilkan dengan metode GPSA digunakan sebagai nilai koreksi penurunan tekanan pada proses simulasi dengan paket program HYSYS. Pada proses perancangan termal dengan metode GPSA tidak dihasilkan gambar teknik. Hasil dari proses perancangan dengan metode GPSA adalah dimensi dari kipas, diameter bundle, lebar unit, dan lain-lain.