BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pengolahan Data Citra
4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk memetakan sebaran lamun. Citra yang digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik secara sistematik. Selain itu, tujuan dari koreksi geometrik ini untuk melakukan pemulihan citra (restoration) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik ini adalah proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zone 50 Selatan (Gambar 11) dengan datum WGS 1984.
Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)
Koreksi geometrik dilakukan dengan cara memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) yang tersebar merata pada citra agar memperoleh ketelitian yang lebih baik. Titik kontrol lapangan yang dipilih diutamakan merupakan titik-titik yang permanen seperti perpotongan jalan, sungai, muara
33
34
sungai, pulau kecil dan titik-titik lain yang dianggap tidak berubah posisi dalam jangka waktu yang lama. Penentuan GCP minimal 4 titik secara otomatis akan dapat diketahui nilai RMS (Root Mean Square) Error (Lampiran 1), sehingga dapat dilihat GCP yang memiliki nilai kesalahan terbesar dan dapat dihitung kesalahan rata-rata (RMS rata-rata) dari semua GCP. Nilai rata-rata RMS tidak boleh melebihi dari limit kesalahan maksimum. Menurut Purwadhi (2010) RMS error secara umum nilainya kurang dari 0,5 pada setiap pixel (Image cell). Sedangkan koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan.
Tahun 2007
Tahun 2010
Gambar 12. Posisi Ground Control Point pada Citra
4.1.2 Pemotongan Citra (Cropping) dan Kombinasi Band Citra hasil koreksi kemudian dilakukan cropping sesuai dengan lokasi penelitian dengan tujuan memfokuskan area penelitian yang ingin dikaji. Proses pengolahan data citra, cropping untuk memfokuskan wilayah perairan di Nusa Lembongan yang secara visual terdeteksi adanya padang lamun.
35
Gambar 13. Cropping Citra Tahun 2007
Gambar 14. Cropping Citra Tahun 2009
Gambar 15. Cropping Citra Tahun 2010
36
Penampakan citra visual yang lebih tajam menggunakan komposit citra. Citra komposit warna merupakan paduan citra dari tiga saluran yang berbeda. Penyusunan citra komposit warna dimaksudkan untuk memperoleh gambaran visual yang lebih baik sehingga pengenalan obyek dan pemilihan sampel dapat dilakukan. Pembuatan citra komposit warna dilakukan dengan memberi warna dasar merah, hijau dan biru pada tiga saluran spektral yang dipilih. Citra komposit warna yang dibuat dalam penelitian ini adalah citra komposit RGB (Red-Green-Blue) dengan pemilihan kanal (band) 3-2-1 pada citra ALOS AVNIR2. Pemilihan ketiga kanal (band) ini dilakukan karena komposit band tersebut paling sesuai untuk melihat penampakan dari tutupan lahan. Komposit red menggunakan band 3 yang sesuai untuk mendeteksi lahan/tanah kering. Semakin tinggi nilai digitalnya maka kenampakan di citra akan berwarna semakin merah. Komposit green menggunakan band 2 yang sesuai untuk mendeteksi klorofil pada vegetasi. Klorofil yang tinggi di daratan akan memberikan nilai digital pantulan yang tinggi dan ditunjukkan dengan warna hijau tua. Daerah yang berair dideteksi dengan menggunakan band 1 pada komposit blue sehingga daerah perairan digambarkan dengan warna biru. Biru muda menunjukkan perairan dangkal dengan kandungan sedimentasi yang cukup tinggi dan biru tua menunjukkan perairan yang lebih dalam dan cenderung lebih jernih (Amran 2010). 4.1.3 Masking dan Algoritma Lyzenga Tahap awal pemrosesan citra, setelah menggabungkan tiga band citraRGB (Red-Green-Blue) pada citra satelit ALOS AVNIR2 dilakukan masking. Tujuan dilakukannya masking ini untuk memisahkan batas wilayah antara darat dan laut dengan menggunakan band 4 (infrared). Masking dalam penelitian ini dilakukan secara manual dengan menggunakan file vektor. Teknik ini digunakan karena band 4 pada citra tidak tersedia. Penggunaan algoritma Lyzenga untuk mengetahui kondisi lamun yang diawali dengan pembuatan training area berjumlah minimal 30 region. Penentuan ketiga puluh region tersebut dilakukan pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi sebagai bagian dari ekosistem padang lamun. Hal ini memerlukan bimbingan
37
seorang interpreter, memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu memahami sifat atau karakteristik padang lamun, terutama tentang sebarannya (Bintar dkk. 2005). Hasil dari pemilihan training area, dicari nilai ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2. Dalam melakukan perhitungan statistik ini dapat dibantu dengan menggunakan perangkat lunak MS Excel. Kemudian, dalam mencari koefisien attenuasi untuk memperjelas hasil data citra kelas lamun (ki/kj), berdasarkan hasil perhitungan ragam dan peragam maka digunakan formula :
dimana :
Hasil dari proses ini didapatkan nilai rasio koefisien band 1 dan band 2 (ki/kj) dimana nilai yang diperoleh untuk setiap cropping citra (Tabel 6), antara lain : Tabel 6. Nilai Rasio Koefisien Band 1 dan Band 2 (ki/kj) No. Tahun Nilai ki/kj 1 2007 0,505 2 2009 0,610 3 2010 0,672 Nilai ki/kj pada cropping citra di pulau Nusa Lembongan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Menurut Setiawan (2012) bahwa perbedaan nilai (ki/kj) tergantung terhadap panjang gelombang band dan tingkat kekeruhan airnya. Setelah mendapatkan nilai ki/kj, kemudian nilai tersebut di masukkan ke dalam formula Lyzenga. Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk memperoleh
38
gambaran visual lebih baik untuk obyek-obyek bawah permukaan air, termasuk padang lamun (Lampiran 3). Metode yang digunakan mengacu pada metode asli yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981). Adapun formulanya sebagai berikut:
Lyzenga (Y) = (log(b1))+(nilai ki/kj*log(b2))
Keterangan : b1 = band 1(biru) b2 = band 2 (hijau) ki/kj = nilai koefisien atenuasi (Lyzenga 1981) Hasil dari algoritma Lyzenga berupa tampilan citra baru yang menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 2). Citra hasil hasil transformasi disajikan dalam colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi citra yang digunakan sebagai acuan dalam membantu mengindentifikasi fitur dan menentukan warna pada transformasi algoritma Lyzenga adalah colour LUT Rainbow. Kunci interpretasi dibagi menjadi 7 (tujuh) kelas berdasarkan transformasi yang dilakukan COREMAP (2001) yaitu :
Warna Ungu gelap adalah daratan
Warna biru dan ungu adalah laut
Warna kuning adalah pasir
Warna cyan – hijau tegas adalah terumbu karang hidup
Warna merah adalah karang mati
Warna cyan – biru menyebar adalah kekeruhan perairan
Warna coklat bercak – bercak atau orange adalah lamun Berdasarkan hasil algoritma Lyzenga tersebut untuk citra tahun 2007
mengalami banyak kekeliruan, warna hijau yang mengindikasikan untuk terumbu karang hidup dan warna kuning untuk pasir namun secara visual merupakan kekeruhan pada gambar citra yang ditangkap oleh satelit. Pada citra tahun 2009 terjadi kekeliruan dalam interpretasi, sebagian laut berwarna hijau dan sedikit
39
warna kuning karena secara visual juga terjadi kekeruhan pada citra. Sedangkan pada citra tahun 2010 tidak terjadi banyak kekeliruan dalam interpretasi hanya saja terdapat awan yang ditunjukkan warna ungu gelap sehingga dapat mempengaruhi nilai spektral saat identifikasi citra terhadap warna daratan. Keterbatasan penggunaan metode algoritma Lyzenga menurut Green et al. (2000) adalah adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan akan mempengaruhi nilai spektral citra. Namun, dimana sifat air cukup konstan, metode algoritma Lyzenga sangat baik untuk meningkatkan interpretasi visual citra dan akurasi pada saat klasifikasi. 4.1.4 Klasifikasi Citra Proses pengklasifikasian diolah dengan software ER Mapper yang didasarkan pada algoritma Lyzenga sebagai kunci interpretasi. Kelas yang dihasilkan pada unsupervised classification adalah kelas spektral yaitu kelas didasarkan pada nilai natural spektral citra (Lampiran 3). Setiap kelas habitat dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda. Klasifikasi citra dibagi menjadi 100 kelas agar lebih memudahkan dalam penggabungan kelas mengingat jumlah kelas yang dihasilkan cukup banyak dan warna yang ditampilkan terlalu beragam yang selanjutnya di reclass menjadi 6 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang hidup, karang mati, darat dan laut dalam sesuai kunci interpretasi yang digunakan COREMAP (2001) (Lampiran 4). Proses klasifikasi juga di reclass kembali untuk menggabungan kelas yang sama dengan menggunakan ArcToolbox dengan ekstensi Reclassify pada Software Arc GIS 9.3 berdasarkan nilai-nilai data raster citra. Hasil reklasifikasi dilakukan pengeditan warna dan interpretasi kelas serta diberi label. Pengeditan dilakukan untuk memperbaiki keakuratan perhitungan luasan dan menghilangkan fitur yang tidak diinginkan setelah diidentifikasi seperti awan dan kekeruhan (Lampiran 5). Hasil tersebut masih perlu diakurasikan keakuratannya dengan survei lapangan sehingga hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk peta tematik sebagai informasi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan. Dalam penelitian ini survei lapangan sebagai validasi pada klasifikasi citra tahun 2007, 2009 dan 2010.
40
4.2
Survei Lapangan (Ground Check) Kegiatan survei lapangan pada penelitian ini dilakukan di sekitar perairan
Nusa Lembongan selama 3 hari (12,13,14 April 2013). Pengamatan kondisi lamun dengan transek kuadrat dan pengukuran parameter lingkungan perairan dilakukan pada sore hari ketika air laut sudah surut agar mempermudah dalam pengambilan data survei lapangan. Survei lapangan dilakukan untuk melengkapi dan membuktikan hasil interpretasi citra satelit yang masih meragukan. Survei yang dilakukan dengan memilih beberapa titik sampel secara acak dan perlu dibuktikan kebenarannya dan melakukan pengukuran mengenai posisi objek dengan menggunakan GPS (Global Positioning System), kemudian hasil dari survei lapangan untuk melihat kesesuaian hasil pengecekan dilapangan dengan hasil interpretasi dari citra satelit ALOS AVNIR2 yang dituliskan pada form validasi data (Lampiran 5). Karakteristik citra ALOS AVNIR2 dengan resolusi spasial 10 meter cukup akurat dalam mendeteksi geomorfologi padang lamun dengan baik. Lokasi penelitian terbagi dalam lima stasiun yang menyebar diseluruh daerah perairan Nusa Lembongan, titik stasiun I (08 o39'48.8'' LS dan 115 o27'21.5'' BT), titik stasiun II (8°41'27.4" LS dan 115 o27'11.8'' BT), titik stasiun III (8°41'40.5" LS dan 115 o26'15.3'' BT), titik stasiun IV (08o40'57.7'' LS dan 115o25'58.3'' BT) dan titik stasiun V (08o40'45.4'' LS dan 115o26'43.9'' BT). Berdasarkan pengamatan lapangan selama penelitian, Nusa Lembongan memiliki karakteristik pantai yang beragam, diantaranya: 1.
Pantai berpasir halus yang merupakan perairan pantai dangkal dan relatif tenang.
2.
Pantai berpasir bercampur pecahan karang (coral rubble) yang merupakan daerah yang perairan pantainya mendapatkan aksi gelombang yang besar sehingga mengakibatkan pecahan-pecahan karang.
3.
Pantai bertebing terjal merupakan dasar perairan pantai yang dalam, tidak dipengaruhi oleh pasang surut dan mendapatkan aksi gelombang yang besar.
4.
Pantai bermangrove merupakan pantai dangkal dan landai yang dipengaruhi oleh pasang surut.
41
4.3.
Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan Parameter fisik kimia suatu perairan memegang peranan yang penting
dalam menunjang kehidupan organisme di suatu perairan, terutama ekosistem lamun karena kondisi parameter fisik kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan. Karakteristik fisik kimia pada suatu habitat akan mendukung suatu struktur komunitas biota yang hidup di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka pengukuran parameter fisika kimia perairan dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi perairan yang ditumbuhi ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan (Tabel 7).
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan Stasiun Parameter I II III IV V o Suhu ( C) 25,5 26,3 26,6 27,2 27,1 Kecerahan (%) 100 100 100 100 100 Kecepatan Arus (m/det) 0,043 0,057 0,051 0,086 0,077 Kedalaman (cm) 44,4 58,7 62,1 83,3 76,5 Salinitas (o/oo) 30 31 31 34 32 pH 7,91 8,34 8,23 8,21 8,10
No. 1 2 3 4 5 6
4.3.1 Suhu
27.5
27.2
27.1
Suhu Perairan (o C)
27 26.6 26.5
26.3
26 Suhu Perairan
25.5 25.5 25 24.5 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 16. Diagram Suhu Perairan
42
Berdasarkan hasil pengukuran suhu pada kelima stasiun pengamatan diperoleh nilai yang berkisar antara 25 - 27 oC. Suhu daerah tersebut tergolong dengan temperatur yang cukup rendah dikarenakan pengamatan dilakukan pada bulan April yang merupakan musim peralihan dari musim Barat ke musim Timur . Nilai-nilai tersebut terlihat bahwa suhu perairan di setiap lokasi pengamatan relatif sama dan berada dalam kisaran yang normal di perairan tropis. Suhu terendah terjadi pada stasiun I, yaitu 25,5 oC dan suhu tertinggi pada stasiun IV, yaitu 27,2 oC. Kondisi suhu di perairan pesisir pada umumnya selalu berfluktuasi karena dipengaruh oleh faktor oseanografi lautan. Pada saat terjadi surut suhu perairan relatif lebih tinggi dibanding pada saat pasang, sebaliknya pada saat air pasang suhu perairan pesisir relatif lebih rendah (Alhanif 1996). 4.3.2 Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan perairan pada kelima stasiun lokasi pengamatan menunjukkan nilai kecerahan mencapai 100 % karena perairan relatif dangkal berkisar antara 44,4 - 83,3 cm dan dapat memberikan informasi yang lebih tepat. Menurut Sunnudin (2012), kecerahan mempengaruhi pertumbuhan lamun, kecerahan mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke perairan. Lamun dapat beradaptasi dengan perairan keruh selama masih terdapat sinar matahari masih mencukupi untuk kelangsungan hidupnya. Kerusakan lamun dapat terjadi karena kekurangan cahaya akibat terjadinya kekeruhan atau banyaknya sedimen sehingga menyebabkan lamun sulit untuk berfotosintesis. 4.3.3 Kecepatan Arus Arus air daerah tubir (daerah yang dalam di laut) sampai ke tengah di sekitar perairan Nusa Lembongan relatif keras karena berkaitan dengan letak geografis perairan dalam Indonesia di sebelah utara. Faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi gerak arus adalah angin dan gelombang. Disamping itu, dangkalnya perairan dan keberadaan komunitas lamun juga mempunyai pengaruh yang besar dalam memperlambat gerak arus (Hamid 1996).
43
Kecepatan Arus Perairan (m/det)
0.1 0.086
0.09
0.077
0.08 0.07 0.057
0.06 0.05
0.051 0.043
Kecepatan Arus Perairan
0.04 0.03 0.02 0.01 0 Stasiun I
Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 17. Diagram Kecepatan Arus Perairan
Hasil pengukuran kecepatan arus pada kelima lokasi stasiun pengamatan menunjukkan nilai dengan kisaran antara 0,043 - 0,086 m/det. Kecepatan arus terendah pada stasiun I, yaitu 0,043 m/det. Sedangkan kecepatan arus pada stasiun IV lebih tinggi dibandingkan keempat stasiun lainnya. Hal ini terjadi disebabkan karena lokasi stasiun IV merupakan daerah yang langsung menghadap ke selat Badung yang memisahkan Pulau Nusa Penida dengan Nusa Lembongan. Berdasarkan penelitian Alhanif (1996) bahwa selat Badung memiliki arus yang sangat kuat terutama pada saat terjadi perubahan air dari pasang menjadi surut atau sebaliknya. Bagi padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh nyata terutama tinggi rendahnya produktivitas padang lamun. Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal menghasilkan biomassa pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det (Berwick 1983). 4.3.4 Kedalaman Kedalaman perairan pesisir sangat berkaitan dengan fenomena pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran kedalaman saat survei lapangan diperoleh kedalaman rata-rata dibawah 1 m. Kedalaman perairan lokasi penelitian berturutturut dari stasiun I sampai V diantaranya 44,4 cm; 58,7 cm; 62,1 cm; 83,3 cm dan
44
76,5 cm. Menurut Sitania (1998), kisaran kedalaman tersebut merupakan kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun karena komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Pengukuran kedalaman dilakukan ketika keadaan surut, yaitu sore hari yang bertujuan agar perhitungan persentase tutupan dan jumlah tegakan lamun dapat dilakukan dengan mudah.
90
83.3 76.5
Kedalaman Perairan (cm)
80 70
58.7
60
62.1
44.4
50 40
Kedalaman Perairan
30 20 10 0 Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 18. Diagram Kedalaman Perairan 4.3.5 Salinitas
35 34 Salinitas Perairan (o /oo )
34 33 32 32 31
31
31 30
Salinitas Perairan
30 29 28 Stasiun I
Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 19. Diagram Salinitas Perairan
45
Nilai salinitas optimum untuk lamun adalah 35 o/oo (Berwick 1983). Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan (Berwick 1983). Hasil pengukuran salinitas pada kelima stasiun pengamatan diperoleh nilai masing-masing 30 o/oo, 31 o/oo, 31 o/oo, 34 o/oo dan 32 o/oo. Berdasarkan nilai-nilai tersebut terlihat bahwa fluktuasi salinitas tidak terlalu besar dan merupakan kisaran yang menunjang laju pertumbuhan pada lamun. Salinitas di perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di suatu perairan rendah yang menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah (Berwick 1983). Kegiatan survei lapangan di Nusa Lembongan dilakukan saat curah hujan cukup tinggi sehingga mengakibatkan nilai pengukuran salinitas pada kelima stasiun cukup rendah. 4.3.6 Derajat Keasaman (pH) Nilai derajat keasaman (pH) pada suatu perairan sering kali dijadikan acuan untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap organisme perairan. Air laut mempunyai kemampuan untuk menyangga (buffer) yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga, hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO 2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut (Fardiaz 1992). Nilai derajat keasaman (pH) yang terdapat pada lima stasiun pengamatan berkisar antara 7,90 - 8,34. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pH perairan cenderung bersifat basa dan termasuk kisaran normal bagi pH air laut di Indonesia yang pada umumnya bervariasi antara 6,0 - 8,5 (Fardiaz 1992). Pada kisaran pH tersebut dapat disimpulkan bahwa perairan yang menjadi lokasi pengamatan termasuk dalam nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan lamun.
46
Derajat Keasaman Perairan
8.4
8.34
8.3
8.23
8.2
8.21 8.1
8.1 8
7.91
7.9
Derajat Keasaman Perairan
7.8 7.7 7.6
Stasiun I
Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 20. Diagram Derajat Keasaman Perairan 4.4
Karakteristik Substrat Padang lamun mampu tumbuh pada hampir seluruh tipe substrat mulai
dari substrat lumpur sampai substrat keras seperti batuan dan karang, namun pada umumnya jenis-jenis tertentu hanya dapat tumbuh dengan baik pada satu tipe substrat saja (Irfania 2009). Berdasarkan hasil analisis besar butir substrat yang terdapat pada kelima stasiun pengamatan yang kemudian diolah dengan software Kummod dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Analisis Besar Butir Substrat dengan Software Kummod Kerikil Pasir Lanau Lempung Stasiun Tipe Substrat (%) (%) (%) (%) I 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan II 1,6 98,4 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan III 8,2 91,8 0,0 0,0 Pasir kerikilan IV 2,5 97,5 0,0 0,0 Pasir sedikit kerikilan V 14,1 85,9 0,0 0,0 Pasir kerikilan Tipe substrat pada kelima stasiun pengamatan di perairan Nusa Lembongan sebagian besar terdiri dari pasir. Secara umum seluruh stasiun memiliki komposisi pasir yang besar, yaitu sekitar 85,9 % - 98,4 % dan sedikit komposisi kerikil yang berkisar antara 1,6 % - 14,1 %. Pada kelima stasiun
47
pengamatan tidak terdapat komposisi lanau dan lempung. Klasifikasi tipe substrat seperti berbatu, berpasir, pasir berkerikil dan kerikil berpasir dan lainnya didasari oleh komposisi partikel yang terkandung pada substrat.
4.5
Sebaran Lamun di Perairan Nusa Lembongan Penyebaran lamun di Perairan Nusa Lembongan dalam penelitian ini
berupa peta tematik dari hasil interpretasi citra lamun dan klasifikasi lainnya. Peta tematik digunakan untuk mewakili informasi tertentu mengenai suatu daerah, peta tematik yang dihasilkan berupa peta klasifikasi dasar perairan dangkal tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23). Tabel 9. Luas Perubahan Kelas di Nusa Lembongan Tahun 2007 - 2010 Area (Ha) Area Perubahan Kelas 2007 2010 Ha % Lamun 177,7 130,9 46,8 26,3 Karang Hidup 49,2 37,4 11,8 23,9 Karang Mati 37,8 68,7 30,9 81,7 + Pasir 139,7 167,4 27,7 19,8 + Keterangan : (+) peningkatan; (-) penurunan Luasan citra yang terklasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami perubahan luasan, baik peningkatan dan penurunan. Pada kelas lamun dan karang hidup terjadi penurunan luasan sedangkan kelas karang mati dan pasir mengalami peningkatan luasan. Hasil klasifikasi dan interpretasi citra didapatkan luasan padang lamun di perairan Nusa Lembongan pada tahun 2007 mencapai 177,7 ha sedangkan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 130,9 ha. Dari hasil analisis area perubahan, dapat dilihat bahwa penurunan luasan padang lamun sebesar 46,8 ha atau terjadi penurunan persentasenya sebesar 26,3 %. Perubahan luasan padang lamun pada peta akibat terdegradasinya lamun menjadi karang hidup, karang mati atau pasir dan begitu juga sebaliknya. Hasil dari peta wilayah keberadaan jenis ekosistem di harapkan dapat digunakan sebagai langkah awal acuan sebagai penentuan kawasan konservasi.
48
Gambar 21. Peta Sebaran Lamun Tahun 2007
Gambar 22. Peta Sebaran Lamun Tahun 2009
49
Gambar 23. Peta Sebaran Lamun Tahun 2010 Perubahan padang lamun yang disebabkan baik oleh aktivitas manusia disekitar tumbuhnya lamun di perairan Nusa lembongan seperti jalur navigasi, budidaya rumput laut dan kegiatan lainnya maupun akibat perubahan kondisi alam yang menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan deteksi perubahan padang lamun dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang memiliki fungsi untuk merekam data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci dalam mendeteksi perubahan suatu ekosistem. Deteksi perubahan padang lamun yang terjadi di perairan Nusa Lembongan dapat dilihat secara visual dengan melakukan perbandingan peta sebaran lamun antara tahun 2007, 2009 dan 2010 (Gambar 21 - 23). Ekosistem padang lamun terdapat mengelompok di utara dan barat Nusa Lembongan. Keberadaan padang lamun berkaitan erat dengan keberadaan substrat dasar pasir,
50
karena pada umumnya lamun tumbuh pada perairan dengan substrat pasir halus (Kiswara dan Hutomo 1985). Perubahan padang lamun di perairan Nusa Lembongan dari tahun 2007 sampai tahun 2010 mengalami perubahan klasifikasi dengan kelas lain. Pada peta terlihat perubahan luasan lamun, disebelah selatan akibat terdegradasinya lamun sehingga menjadi tempat terbentuknya terumbu karang, baik karang mati maupun karang hidup. Terdegradasinya ekosistem lamun yang tergambar pada peta hanya menunjukkan pasir/substrat dasar perairan. Adapun hilangnya karang hidup dan karang mati yang disebabkan oleh faktor fisik dan kimia suatu perairan yang tidak mendukung pertumbuhan terumbu karang sehingga menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan lamun. Terdegradasinya ekosistem lamun
yang terdapat pada peta sehingga
menjadi tempat pertumbuhan terumbu karang sangat tidak memungkinkan dalam periode waktu 2 tahun karena pembentukan karang memerlukan proses yang cukup lama dan kompleks. Hal tersebut kemungkinan karena kesalahan klasifikasi pada citra yang diakibatkan karena adanya kekeruhan pada citra, awan dan juga bayangan awan yang mempengaruhi nilai spektral citra. Perubahan ilmiah yang memungkinkan apabila sebaran pasir/substrat dasar perairan ditumbuhi oleh ekosistem lamun yang menunjukkan adanya pertumbuhan lamun maupun sebaliknya. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami kekeliruan (Setiawan 2012). Padang lamun pada peta sebaran lamun di Nusa Lembongan menyebar hampir diseluruh perairan tetapi sangat sedikit dan semakin berkurang bahkan menghilang disebelah timur yang berdekatan dengan tumbuhnya padang mangrove. Hal ini diduga lokasi tersebut merupakan lokasi endapan lumpur yang kaya akan bahan organik yang terdapat di dalam tanah, terutama berasal dari sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove. Kondisi tanah seperti ini sangat baik untuk tumbuhnya padang mangrove tetapi tidak untuk lamun karena dari endapan lumpur dan adanya bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan
51
mikroorganisme lain mengakibatkan kekeruhan air. Kekeruhan air juga mengurangi intensitas cahaya yang masuk sehingga akan menghambat proses fotosintesis oleh tumbuhan air yang berakibat turunnya produktivitas primer pada ekosistem lamun. 4.6
Komunitas Lamun
4.6.1 Komposisi Jenis Tabel 10. Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan Stasiun No. Jenis Lamun I II III IV 1 Thalassia hemprichii * * * 2 Enhalus acoroides * 3 Halophila ovalis * * * * 4 Cymodocea serrulata * 5 Halodule pinifolia * 6 Syringodium isoetifolium * 7 Halodule uninervis Keterangan : (*) Ada; (-) Tidak Ada
V * * * *
Berdasarkan hasil pengamatan pada kelima lokasi stasiun, ditemukan tujuh spesies lamun yang termasuk dalam dua famili, yaitu Hydrocharitaceae terdapat tiga spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis sedangkan dari famili Potamogetonaceae terdapat empat spesies diantaranya Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis. Penyebaran ketujuh spesies tersebut tidak merata dan tidak terdapat pada semua stasiun pengamatan, hanya jenis Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis saja yang ditemukan pada empat stasiun pengamatan. Sedangkan spesies lamun yang jarang dijumpai adalah Cymodocea serrulata dan Halodule uninervis yang hanya ditemukan pada satu lokasi pengamatan saja. Meskipun secara keseluruhan pada kelima stasiun ditemukan tujuh spesies, akan tetapi pada tiap plot transek memiliki komposisi kombinasi spesies yang berbeda-beda. Misalnya apabila antar transek dijumpai jumlah spesies yang sama, yaitu dua atau tiga spesies, tetapi jenisnya belum tentu sama. Dapat dilihat pada kelima stasiun, variasi spesies pada stasiun empat paling beragam dibanding
52
keempat stasiun lainnya sedangkan pada stasiun dua hanya ditemukan satu spesies saja. Keberadaan tiap spesies lamun sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan terutama substrat dasar perairannya. Substrat memegang peranan yang penting, dan berdasarkan pengamatan survei lapangan ditemukan beberapa jenis lamun tidak mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang tidak sesuai. Beberapa faktor lingkungan dan aktivitas manusiapun sangat mempengaruhi terhadap keberadaan lamun pada tiap stasiunnya (Arthana 2004). 4.6.2 Kerapatan Lamun Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kerapatan jenis lamun (Tabel 11) dengan tipe daun normal (Thalassia hemprichii) umumnya memiliki kerapatan tinggi pada setiap transeknya. Jenis ini ditemukan pada empat stasiun pengamatan mempunyai kerapatan paling tinggi pada stasiun III dengan kisaran kerapatan 100 - 300 ind/m2. Spesies Enhalus acoroides dengan tipe daun berbentuk pita besar ditemukan dengan kerapatan yang cukup kecil pada plot transek yang hanya ditemukan pada stasiun I dan V, yaitu 1 - 40 ind/m2. Kerapatan jenis lamun berdaun kecil (Halophila ovalis) ditemukan pada stasiun I - IV dengan kisaran 10 - 150 ind/m2. Jenis ini merupakan satu-satunya lamun yang ditemukan pada stasiun II. Spesies lamun Cymodocea serrulata dan Halodule pinifolia hanya ditemukan pada stasiun IV dengan kerapatan bervariasi, yaitu 5 - 150 ind/m2. Syringodium isoetifolium yang mempunyai tipe daun kecil panjang memiliki kerapatan cukup tinggi, yaitu 100 - 500 ind/m2. Jenis Halodule uninervis hanya ditemukan pada stasiun V, yaitu 10 - 200 ind/m2. Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi bergantung kepada tipe substrat dan jenis lamun, karena jenis-jenis lamun mempunyai morfologi daun yang berbeda. Misalnya, jenis lamun yang mempunyai morfologi daun berbentuk pita besar, daun berbentuk pita ukuran sedang, daun berbentuk pita kecil dan bentuk daun normal (Nienhuis et al. 1989 dalam Kiswara 1994).
53
No. 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 11. Kerapatan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan Stasiun Jenis I II III IV Thalassia hemprichii 266 274 129 Enhalus acoroides 9 Halophila ovalis 23 109 18 112 Cymodocea serrulata 69 Halodule pinifolia 31 Syringodium isoetifolium 73 Halodule uninervis Total 298 109 292 414
V 8 3 265 94 370
300
Kerapatan (ind/m2)
250 Thalassia hemprichii 200
Enhalus acoroides
150
Halophila ovalis
100
Cymodocea serrulata Halodule pinifolia
50 Syringodium isoetifolium
0
Stasiun I
Gambar 24.
Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Diagram Kerapatan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan
Pengamatan pada stasiun I ditemukan 3 spesies lamun dengan kerapatan total 298 ind/m2. Jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis yang memiliki kerapatan tertinggi, yaitu 266 ind/m2. Jenis Enhalus acoroides dan Halophila ovalis memiliki kerapatan yang cukup rendah, yaitu masing-masing sebesar 9 ind/m2 dan 23 ind/m2. Total kerapatan lamun pada stasiun II diperoleh sebesar 109 ind/m2 yang hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Hal tersebut disebabkan karena pada stasiun ini telah dilakukan pembersihan daerah yang ditumbuhi ekosistem lamun yang mengganggu kegiatan budidaya rumput laut.
54
Pada stasiun III memiliki kerapatan lamun sebesar 292 ind/m2 yang terdiri dari dua spesies, yaitu Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Thalassia hemprichii memiliki kerapatan yang sangat tinggi, yaitu sebesar 274 ind/m2 dibandingkan dengan jenis Halophila ovalis sebesar 18 ind/m2. Tingginya jenis Thalassia hemprichii karena memiliki kemampuan bertoleransi dalam kondisi lingkungan yang cukup drastis yang memungkinkan jenis ini dapat tumbuh dengan baik meskipun hanya mampu bertahan dalam waktu singkat. Pada stasiun IV merupakan nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan kelima stasiun pengamatan lainnya, yaitu sebesar 414 ind/m2, dan pada stasiun ini terdapat spesies terbanyak yaitu lima spesies diantaranya Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium. Tingginya kerapatan lamun pada stasiun IV dan keanekaragaman jenis yang banyak karena didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok bagi tumbuhan lamun dan juga masih sedikitnya aktivitas manusia seperti budidaya rumput laut dan aktivitas wisata setempat maupun untuk pariwisata. Suhu pada stasiun ini, yaitu 27,2 oC dan salinitas nya sebesar 34 o/oo yang merupakan suhu dan salinitas optimum bagi lamun untuk melakukan proses fotosintesis. Interaksi antara parameter fisik kimia terhadap padang lamun di stasiun ini menyebabkan lamun dapat bertoleransi dengan baik. Menurut Supriyadi (2009) bahwa kondisi perairan dan lingkungan sangat mempengaruhi bagi pertumbuhan lamun, seperti suhu yang mempengaruhi proses metabolisme bagi lamun, salinitas yang mempengaruhi kerapatan dan produktivitas lamun serta kondisi perairan dan lingkungan lainnya yang cocok bagi lamun untuk tumbuh. Jenis lamun yang ditemukan pada stasiun V adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis dengan kerapatan total 370 ind/m2. Jenis Syringodium isoetifolium dengan kerapatan 265 ind/m2. Total kerapatan lamun dan tingginya keanekaragaman jenis pada stasiun V hampir sama dengan stasiun IV, hal ini disebabkan karena karakteristik kondisi fisik dan kimia (Tabel 7) perairan pada kedua stasiun relatif sama yang mendukung tumbuhnya lamun. Sunnudin (2012) menyatakan bahwa beberapa
55
faktor Lingkungan fisik kimia yang mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah suhu, kecerahan, salinitas, substrat, arus, kedalaman, nutrien dan gelombang. 4.6.3 Persentase Tutupan Lamun Penutupan menggambarkan tingkat penutupan ruang oleh komunitas lamun. Persentase tutupan komunitas lamun pada lokasi penelitian relatif tinggi dengan kisaran penutupan 47 - 90 % dari keseluruhan area yang potensial ditumbuhi lamun. Penutupan tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V (90 %) dan penutupan terendah terdapat pada stasiun II (47 %). Hasil pengamatan nilai persentase penutupan masing-masing jenis lamun pada lima stasiun dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Persentase Tutupan Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan Stasiun No. Jenis I II III IV V 1 Thalassia hemprichii 75,86 75,87 33,69 1,52 2 Enhalus acoroides 2,42 0,69 3 Halophila ovalis 5,72 47 7,13 22,16 4 Cymodocea serrulata 17,42 5 Halodule pinifolia 7,29 6 Syringodium isoetifolium 9,44 64 7 Halodule uninervis 23,79 Total 84 47 83 90 90
80 Persentase tutupan (%)
70 60
Thalassia hemprichii
50
Enhalus acoroides
40
Halophila ovalis
30
Cymodocea serrulata
20
Halodule pinifolia
10
Syringodium isoetifolium
0
Stasiun I
Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V
Gambar 25. Diagram Persentase Tutupan Jenis-jenis Lamun pada Tiap Stasiun Pengamatan
56
Persentase tutupan total lamun pada stasiun I adalah 84 % yang didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii, yaitu sebesar 75,86 %. Kondisi tutupan lamun pada stasiun I cukup merata dan menyebar karena kegiatan budidaya rumput laut masih sedikit dan tidak mengganggu keberadaan komunitas lamun tersebut. Pada stasiun ini dengan kedalaman perairan 44,4 cm, intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat memungkinkan sehingga sangat membantu dalam proses fotosintesis lamun serta kecepatan arus pada stasiun ini tergolong paling rendah, yaitu sebesar 0,043 m/det sehingga tidak banyak lamun yang rusak akibat gelombang atau arus dari laut. Di stasiun II diperoleh nilai persentase tutupan sebesar 47 % yang hanya terdapat satu spesies lamun saja, yaitu Halophila ovalis. Persentase tutupan lamun di stasiun II yang relatif kecil disebabkan karena terus-menerusnya kegiatan budidaya rumput laut di daerah ini yang cukup meluas. Kondisi perairan di stasiun ini cukup dangkal, dengan kedalaman 58,7 cm dan kondisi arus lautnya yang rendah, yaitu 0,057 m/det sehingga sangat mendukung untuk aktivitas budidaya rumput laut. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa lamun merupakan alangalang yang menjadi penghalang bagi tumbuhnya budidaya rumput laut disekitarnya sehingga dilakukan pengerukan agar tidak mengganggu pertumbuhan rumput laut. Tujuan lain dikeruknya dasar perairan adalah untuk mendapatkan kedalaman optimal agar rumput laut tumbuh dengan baik dan mencegah kekeringan pada saat surut. Lamun jenis Halophila ovalis ini dibiarkan tumbuh karena ukurannya yang sangat kecil dan menempel pada substrat sehingga para masyarakat budidaya rumput laut beranggapan bahwa jenis ini tidak mengganggu aktivitas budidaya rumput laut. Persentase tutupan pada stasiun III mencapai 83 % yang didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii sebesar 75,87 % seperti yang terdapat pada stasiun I. Bagian 17 % yang tidak tertutupi lamun adalah pasir dan kerikil yang menjadi substrat tumbuhnya lamun pada stasiun ini. Kondisi lamun pada stasiun ini cukup mendapat perhatian karena aktivitas para masyarakat pesisir budidaya rumput laut dan menambatkan perahunya baik menangkap ikan maupun mengambil hasil budidaya rumput laut.
57
Sedangkan pada stasiun IV dan V merupakan persentase tutupan terbesar yang mencapai 90 %. Pada stasiun IV terdapat lima spesies lamun sedangkan stasiun V terdapat empat spesies lamun. Kesamaan total persentase penutupan pada kedua stasiun ini dimungkinkan karena kondisi fisik dan kimia (Tabel 7) yang hampir sama hanya saja komunitas lamun pada stasiun IV lebih menyebar luas. Kelima stasiun tersebut sangat jarang bahkan hampir tidak ada ditemukannya jenis Enhalus acoroides karena jenis ini tumbuh pada substrat berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun. Begitu juga pada jenis Halophila ovalis yang berdaun kecil-kecil memiliki penyebaran yang sama dengan Enhalus acoroides, namun keberadaannya hanya terbatas pada bagian perairan dangkal, sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat mencapai dasar perairan yang tetap memberikan kesempatan lamun jenis ini untuk tumbuh dan berfotosintesis. Komposisi penutupan pada jenis-jenis lamun memiliki tingkat penutupan yang berbeda-beda pada tiap stasiun, hal tersebut dikarenakan penyebaran tiap spesies yang terbatas pada kondisi substrat dan aktivitas manusia yang merusak keberadaan ekosistem lamun tersebut. Komposisi jenis, luas tutupan dan sebaran lamun dapat juga dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu (Dahuri 2003).
4.7
Status Kondisi Padang lamun Penelitian ini memberikan analisis skala kondisi (skoring) sementara
mengenai keadaan komunitas padang lamun dari komponen ekosistemnya seperti jumlah jenis/kerapatan jenis dan persentase tutupan lamunnya yang sangat bermanfaat dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan.
58
Tabel 13. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Kerapatan di Perairan Nusa Lembongan Stasiun Skala Kerapatan (ind/m2) Kondisi I 5 298 Sangat rapat II 3 109 Rapat III 5 292 Sangat rapat IV 5 414 Sangat rapat V 5 370 Sangat Rapat Tabel 14. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Persentase Tutupan di Perairan Nusa Lembongan Persentase Tutupan Stasiun Skala Kondisi (%) I 5 84 Sangat bagus II 3 47 Agak bagus III 5 83 Sangat bagus IV 5 90 Sangat bagus V 5 90 Sangat bagus Berdasarkan tabel skala (Tabel 13 - 14) kondisi padang lamun baik berdasarkan kerapatan maupun persentase Tutupan menunjukkan bahwa kondisi padang lamun di perairan Nusa Lembongan berada pada stasiun I, III, IV dan V memiliki tingkat kerapatan > 175 ind/m2 yang masuk dalam kategori "sangat rapat" dan persentase tutupan > 75 % dengan kategori "sangat bagus". Sedangkan kondisi lamun pada stasiun II memiliki tingkat kerapatan 109 ind/m2 yang masuk dalam kategori "rapat" dan persentase tutupan 47 % yang termasuk dalam kategori "agak bagus". Kategori "sangat bagus" dengan pengertian bahwa keanekaragaman jenis, persentase tutupan dan tingkat kerapatan relatif masih tinggi Informasi data spasial yang diperoleh dapat dilakukan identfikasi awal calon yang dapat diusulkan untuk kepentingan perlindungan lamun dan biota asosiasinya. Skala kondisi lamun pada stasiun I dan IV merupakan lokasi yang cocok untuk penetuan kawasan konservasi ekosistem lamun karena didukung kondisi perairan dan masih sedikitnya aktivitas masyarakat yang merusak keberadaan lamun. Penelitian yang dilakukan oleh Amran (2010) menyatakan bahwa, peta kondisi sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan dapat digunakan sebagai dokumen status dan pengujian terhadap perubahan padang lamun dalam jangka panjang terutama perubahan luas, keragaman dan sebaran jenisnya. Penilaian
59
kondisi ekosistem lamun yang dilakukan dengan metode skoring ini diterapkan untuk penentuan calon lokasi konservasi. Hasil penelitian mengenai kondisi lamun dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, maka perlu dilakukan penzonaan ekosistem lamun di perairan Nusa Lembongan agar dapat dipertahankan kelestariannya mengingat pentingnya keberadaan ekosistem lamun ini sebagai produsen primer organik utama dibandingkan dengan ekositem perairan dangkal lainnya dan semakin menurunnya luasan ekosistem lamun yang semakin terdegradasi akibat aktivitas manusia, terutama kegiatan budidaya rumput laut dan pengerukan pantai untuk pembangunan yang digunakan sebagai daerah pariwisata. Kegiatan budidaya lamun yang dapat dilakukan adalah transplantasi lamun dengan tujuan untuk restorasi habitat. Mengingat adanya kegagalan dan keberhasilan transplantasi lamun memerlukan beberapa tahap penelitian pendahuluan untuk memperkecil kemungkinan gagalnya proyek transplantasi. Hal-hal yang perlu dipelajari antara lain adalah karakteristik perairan, tipe substrat, kecepatan tumbuh spesies dan berbagai parameter lain yang harus dipelajari.