BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum PLTU Suralaya Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya terletak di Kecamatan Pulo Merak, Kotamadya Cilegon Provinsi Banten. Kota Cilegon mempunyai iklim tropis dengan suhu berkisar antara 21,1-34,1ºC. Secara geografis terletak antara 105º54’05”-106º05’11” BT dan 5º52’24”-6º04’07” LS (Gambar 1). Kota Cilegon merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera yang dilalui oleh 11 sungai, antara lain Kahal, Tompos, Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuasa, Sumur Wuluh, Grogol, Cipangurungan dan Cijalumpang. Diantara 11 sungai tersebut Grogol merupakan yang terbesar dan hampir seluruhnya bermuara di Selat Sunda (Dishubkominfo Prov. Banten 2012).
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian PLTU Suralaya Cilegon Provinsi Banten
4
5
Luas lahan yang digunakan untuk membangun PLTU Suralaya berikut sarana dan fasilitas penunjang lainnya ± 240,65 ha (Indonesia Power 2011). Ada empat lokasi alternatif yang dipilih sebelumnya untuk lokasi PLTU dengan bahan bakar utamanya batubara yaitu Cigading-Anyer; Suralaya-Merak; GorenjangBalaraja; dan Tanjung Pasir-Tangerang. Berdasarkan hasil studi kelayakan, Suralaya dipilih sebagai lokasi yang paling baik karena adanya beberapa faktor diantaranya :
Tersedia tanah dataran yang cukup luas dan tanah tersebut dipandang tidak produktif untuk pertanian serta pantai dan laut yang cukup dalam.
Tenang dan bersih sehingga dinilai baik untuk pelabuhan dan air pendingin yang akan membantu atau memperlancar pengangkutan peralatan berat dan bahan bakar.
Jalan masuk lokasi tidak terlalu jauh dan sebelumnya sudah ada jalan namun belum begitu baik.
Jumlah penduduk di sekitar lokasi masih relatif sedikit sehingga tidak perlu pembebasan penduduk guna pemasangan saluran transmisi.
Tanah memungkinkan untuk didirikan bangunan yang besar dan bertingkat.
Tersedia tempat yang cukup untuk penimbunan limbah abu dari sisa pembakaran batubara.
Tersedia
tenaga
kerja
yang
cukup
memperlancar
pelaksanaan
pembangunan, dan dampak lingkungan yang baik karena terletak diantara perbukitan dan laut.
6
2.2 Plankton Plankton adalah semua kumpulan organisme, baik hewan maupun tumbuhan air berukuran mikroskopis dan hidupnya melayang mengikuti arus (Odum 1998). Secara sederhana plankton juga dapat diartikan sebagai hewan dan tumbuhan renik yang terhanyut di laut. Nama plankton berasal dari akar kata Yunani “planet” yang berarti pengembara. Istilah plankton pertama kali diterapkan untuk organisme di laut oleh Victor Hensen direktur Ekspedisi Jerman pada tahun 1889, yang dikenal dengan “Plankton Expedition” yang khusus dibiayai untuk menentukan dan membuat sitematika organisme laut (Charton dan Tietjin 1989 dalam Sunarto 2008). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan plankton terdiri dari faktor fisika dan kimiawi. Faktor fisika diantaranya suhu, transparansi dan arus. Sedangkan untuk faktor kimiawi diantaranya salinitas, disolved oxygen (DO), derajat keasaman (pH), nutrien (fosfat, nitrat, dan silikat). Pada beberapa hal definisi dari plankton tersebut tidak selalu berlaku demikian sebab ada organisme pelagik (pelagis) yang dianggap sebagai plankton namun mempunyai gerakan vertikal dengan cepat dan amplitude tinggi sehingga mampu melawan kondisi lingkungan di sekelilingnya. Organisme yang demikian itu cenderung disebut sebagai mikronekton atau nekton berukuran kecil. Disamping itu, ada organisme yang biasa hidup di dasar perairan, berpindah menuju ke permukaan pada malam hari dan hidup sebagai plankton. Jadi organisme ini mempunyai dua sisi kehidupan, yaitu sebagai benthos dan sebagai plankton (Asriana dan Yuliana 2012). 2.2.1 Fitoplankton Fitoplankton adalah organisme renik yang hidup dalam air yang menempati posisi sebagai produsen tingkat pertama dari mata rantai makanan di perairan (Odum 1998). Menurut (Nybakken 1992) fitoplankton adalah organisme renik yang melayang-layang dalam air yang mempunyai kemampuan renang yang sangat lemah dan pergerakannya selalu dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Sumich (1992) dalam Asriyana dan Yuliana (2012) menyatakan bahwa sebagai produsen primer, fitoplankton berperan sebagai penghasil oksigen dan bahan
7
makanan bagi organisme perairan lain. Lima kelompok besar fitoplankton yang hidup diperairan, yaitu Cyanophyta (alga biru), Cholophyta (alga hijau), Chrysophyta (alga kuning), Pyrophyta dan Euglenophyta. Basmi (2000) menambahkan bahwa masing-masing organisme tersebut memiliki tingkat respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan perairan. Produktivitas fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan apabila faktor lingkungan tidak mendukung dapat menyebabkan jumlah individu atau kelimpahannya menurun. Baik tumbuhan air makro di perairan tawar dan di laut yang tumbuh di dasar perairan (misalnya makroalga/seaweed) umumnya hanya menempati area yang relatif sempit di dasar perairan yang dangkal, namun sebaliknya organisme fitoplankton ini menghuni seluruh perairan yang mendapat sinar (zona eufotik) karenanya, produksi primer perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton. Fitoplankton diduga menghasilkan 98% dari total produksi di perairan (terutama di laut). Faktor yang menjadi penentu keberadaan fitoplankton adalah arus, cahaya, suhu, dan kadar zat hara (Nybakken 1992). Fitoplankton juga dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat menggambarkan kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan (Odum 1998). Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di sekitar muara sungai. Hal ini terjadi karena masuknya zat hara dari daratan yang masuk ke sungai dan dialirkan ke laut. 2.2.2 Zooplankton Zooplankton, disebut juga plankton hewani, adalah hewan yang hidupnya mengapung atau melayang dalam laut. Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga
keberadaaannya
sangat
ditentukan
kemana
arus
membawanya.
Zooplankton bersifat heterotrofik, yang maksudnya tidak dapat memproduksi sendiri bahan organik dari bahan anorganik. Oleh karena itu, untuk kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada bahan organik dari fitoplankton yang menjadi makanannya (Nontji 2008). Jadi zooplankton lebih berfungsi sebagai konsumen bahan organik. Ukurannya yang paling umum berkisar 0,2-2 mm, tetapi ada juga yang berukuran besar misalnya ubur-ubur yang bisa mencapai ukuran lebih 1 m.
8
Kelompok yang paling umum ditemui antara lain copepoda (copepod), eufausid (euphausid), misid (mysid), amphifod (amphifod), kaetognat (chaetognath). Zooplankton dapat dijumpai mulai dari perairan pantai, perairan estuaria di depan muara sampai ke perairan di tengah samudera, dari perairan tropis hingga keperairan kutub. Zooplankton ada yang hidup di permukaan dan ada pula yang hidup di perairan dalam. Ada pula yang dapat melakukan migrasi vertikal harian dari lapisan dalam kepermukaan. Hampir semua hewan yang mampu berenang bebas (nekton) atau yang hidup di dasar laut (bentos) menjalani awal kehidupannya sebagai zooplankton yakni ketika masih berupa telur dan larva. Baru dikemudian hari, menjelang dewasa sifat hidupnya yang semula sebagai plankton berubah menjadi nekton atau bentos (Nontji 2008). Zooplankton merupakan makanan bagi ikan pemakan plankton seperti ikan terbang di permukaan. Keseluruhannya merupakan makanan bagi ikan predator tingkat pertama yang lebih besar dan cumi-cumi. Predator tingkat pertama dimangsa oleh predator yang lebih besar seperti tuna, ikan cucut, dan ikan hiu. Menurut (Nybakken 1992), hanya satu golongan zooplankton yang penting yaitu subkelas copepoda (kelas Crustacea, filum Arthropoda). Copepoda adalah
crustacean
holoplanktonik
berukuran
kecil
yang
mendominasi
zooplankton. Hewan kecil ini sangat penting artinya bagi ekosistem bahari karena merupakan herbivora primer di laut (Ambiasa 2007). 2.3 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Menurut (Nybakken 1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti plankton perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus 2004). Parsons et al (1984), menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas, oksigen dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan tertentu.
9
2.3.1 Suhu Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu permukaan laut bergantung pada presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor fisik yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi di laut terjadi melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut. Menurut McPhaden dan Hayes (1991) dalam Asriyana dan Yuliana (2012) evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1°C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,002°C pada kedalaman 10-75 m (Asriyana dan Yuliana 2012). Suhu air merupakan salah satu faktor fisik yang keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Peningkatan suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju fotosintesis maksimum lebih kurang dua kali lipat (Steeman dan Nielsen 1975). Setiap jenis fitoplankton memiliki suhu yang optimum tersendiri dan sangat bergantung kepada faktor lain seperti cahaya. Alga dari filum Chlorophyta tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 3035°C dan diatom pada suhu 20-30°C (Asriyana dan Yuliana 2012). 2.3.2 Transparansi Transparansi suatu perairan sangat penting bagi kehidupan mahluk autotrof seperti fitoplankton yang berada di laut, karena sangat berhubungan dengan besarnya radiasi sinar matahari yang masuk dalam perairan tersebut, sehingga mempengaruhi produktifitas fitoplankton akibatnya fitoplankton banyak ditemukan di daerah permukaan air daripada di daerah yang lebih dalam. Menurut (Nybakken 1992), laju fotosintesis akan tinggi apabila tingkat intensitas cahaya tinggi dan menurun bila intensitas cahaya juga menurun. Kekeruhan merupakan penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, selanjutnya akan menurunkan fotosintesis fitoplankton yang mengakibatkan turunnya produktifitas fitoplankton. Pola sebaran horizontal kekeruhan memperlihatkan bahwa semakin ke daerah pantai kekeruhan semakin tinggi dan bervariasi. Diperairan yang keruh
10
zooplankton tidak dapat tumbuh dengan baik. Kekeruhan yang tinggi dapat mempengaruhi migrasi vertikalnya. 2.3.3 Arus Nybakken (1992) menyatakan bahwa arus adalah massa air permukaan yang bergerak. Gerakan ini ditimbulkan antara lain oleh kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan laut. Arus merupakan faktor fisika yang banyak berpengaruh terhadap distribusi plankton di perairan. Perbedaan arus di lapisan dasar dengan di permukaan menyebabkan penyebaran plankton yang tidak merata di perairan tersebut. Selain itu arus dapat menyuburkan perairan, karena arus yang naik ke permukaan akan membawa zat hara yang terakumulasi di dasar perairan. Kecepatan dan arah arus permukaan berubah dari permukaan kearah dasar laut. Makin jauh dari permukaan, kecepatan arus berkurang. Hal ini berarti bila zooplankton bergerak kearah dasar laut akan dijumpai arus air yang semakin lambat dan berganti arah. Bila kecepatan arus lebih lambat daripada arus air permukaan, maka berarti permukaan membawa massa air baru (Ambiasa 2007). Jika zooplankton kembali mengadakan gerakan kearah permukaan, setibanya di lapisan permukaan akan dijumpai suatu massa air yang berbeda dari massa air yang ditinggalkannya pada waktu bergerak kearah dasar laut. Kemampuan berenang zooplankton yang rendah membuat posisi zooplankton selalu berada di lapisan massa air yang sama dalam laut. Jika zooplankton tetap berada pada kedalaman tersebut, maka makanan (fitoplankton) akan habis karena dikonsumsi, hal ini berarti zooplankton akan kelaparan. Untuk mengatasi hal tersebut zooplankton akan menenggelamkan diri menjauhi permukaan, kemudian akan kembali ke permukaan dan zooplankton akan menjumpai suatu massa air yang baru dengan persediaan fitoplankton yang cukup (Ambiasa 2007). 2.3.4 Salinitas Menurut (Nontji 1987) salinitas adalah semua garam yang terlarut dalam satuan permil (‰). Garam-garam terlarut hadir dalam bentuk ion muatan positif dan negatif atau dalam kelompok ion-ion. Nybakken (1992) menyatakan bahwa beberapa jenis organisme ada yang tahan terhadap perubahan salinitas disebut
11
euryhaline sedangkan (Odum 1998) menyatakan yang mempunyai toleransi yang sempit disebut dengan sifat stenohaline. Salinitas di perairan sangat penting untuk mempertahankan tekanan osmosis antara tubuh dengan perairan karena itu salinitas dapat mempengaruhi kelimpahan dan distribusi plankton. Salinitas yang tinggi akan mengakibatkan tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungan meningkat sehingga energi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri pun meningkat (Odum 1998). Menurut (Sachlan 1982), salinitas yang sesuai bagi fitoplankton adalah lebih besar dari 20 yang memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis. Nontji (1984) menyatakan bahwa pada umumnya kisaran salinitas yang baik bagi kehidupan fitoplankton adalah 11-40‰, meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas individu fitoplankton namun peranannya tidak begitu besar, tetapi di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan suhu menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan dan penenggelaman fitoplankton. Salinitas juga merupakan faktor pembatas penyebaran zooplankton di perairan, karena salinitas mempunyai sebaran yang tidak merata di seluruh permukaan laut.
12
2.3.5 Derajat keasaman ( pH ) Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas dalam suatu perairan (Pescod 1973). Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Derajat keasaman yang ideal bagi kehidupan fitoplankton pada umumnya adalah berkisar antara 6,5-8 (Pescod 1973). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup dari organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus 2004). Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah, yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin 2002). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto 2002). 2.3.6 Disolved Oxygen ( DO ) Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan yang dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/L. Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan
13
sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus 2004). Sumber oksigen dalam air laut berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton, tanaman air dan aliran air yang masuk. Kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, maka kandungan oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut. Selain itu, penurunan kandungan oksigen terlarut dapat diakibatkan karena adanya limbah yang masuk ke perairan (Nybakken 1992). Kadar oksigen terlarut di perairan tropis umumnya kurang dari 10 mg/L (Apha 1979 dalam Ambiasa 2007). Rendahnya oksigen terlarut dalam perairan bisa menjadi indikator pencemaran bahan organik akibat pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan. Rendahnya oksigen di perairan mengakibatkan bakteri mereduksi nitrat menjadi nitrit yang membahayakan perairan. Terkait akan hal ini maka dilakukanlah baku mutu air laut untuk biota laut yang dikeluarkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 oksigen terlarut di dalam air harus melebihi dari 5 mg/L. 2.3.7 Fosfat Nutrien atau zat hara merupakan zat-zat yang sangat penting bagi produktivitas primer fitoplankton dalam air. Nutrien tersebut diabsorspi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan. Produktivitas primer dapat didefinisikan sebagai laju pembentukan senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis dalam suatu waktu dan volume (Nybakken 1988). Mekanisme penyediaan zat hara ke zona eufotik karena penaikan massa air (upwelling), tetapi hal ini terjadi di beberapa tempat saja. Fosfat merupakan salah satu nutrien yang paling penting. Fosfor di laut terdapat dalam keadaan terlarut dan juga dalam keadaan tersuspensi. Fosfor terlarut hampir semuanya ditentukan oleh persentase ion-ion ortofosfat yaitu H2PO4 dan HPO4. Fosfor berasal dari batuan fosfat, dalam hal ini erosi membawa senyawa-senyawa kimia ke dalam air dimana airnya melalui hewan dan tumbuhan serta dikembalikan ke sirkulasi umum melalui pembusukan ekskresi (Nybakken 1988). Cadangan fosfor terbesar bukan di udara seperti halnya nitrogen, tetapi terdapat pada batu karang atau
14
endapan-endapan yang terbentuk pada zaman geologi. Endapan yang terbentuk secara perlahan akan hanyut atau mengalami pengikisan dan melepaskan ion fosfat kedalam ekosistem. Banyak fosfat lepas ke laut di antaranya adalah berupa endapan pada laut dangkal dan deposit pada laut dalam (Ambiasa 2007). Manusia juga berperan dalam hal ini yaitu penangkapan ikan dan penambangan batu karang yang dapat memindahkan fosfor dari laut ke darat. Nilai konsentrasi fosfat di laut umumnya meningkat terhadap kedalaman. Kandungan fosfat yang rendah dijumpai dipermukaan dan kandungan yang lebih tinggi ditemui pada perairan yang lebih dalam. Konsentrasi fosfat di permukaan dapat menjadi tinggi jika terjadi kenaikan massa air. Fosfat digunakan fitoplankton dalam proses fotosintesis (Ambiasa 2007). 2.3.8 Nitrat Nitrogen di perairan berada dalam bentuk nitrogen molecular (N2) atau sebagai garam-garam anorganik nitrat (NO3) dan nitrit (NO2), ammonium (NH4) dan beberapa senyawa nitrogen organik seperti urea dan asam-asam amino. Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan. Pada umumnya dalam memanfaatkan nitrogen fitoplankton mempunyai kecenderungan untuk secara berturut-turut mengambil nitrat, nitrit dan ammonium (Nontji 1984). Menurut (Odum 1971), nitrogen terdapat dalam bentuk molekul protein dalam organisme yang telah mati kemudian diuraikan menjadi bentuk inorganik oleh serangkaian organisme pengurai, terutama bakteri pembentuk nitrat. Hasil selanjutnya adalah zat hara nitrat yang merupakan bentuk yang siap digunakan oleh fitoplankton. Kadar nitrat di laut sangat dipengaruhi oleh masuknya limbah domestik dan pertanian yang banyak mengandung nitrat. Kadar nitrat akan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Menurut (Mackentum 1969), pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9-3,5 mg/L. Pada distribusi horizontal kadar nitrat akan semakin tinggi di daerah muara sungai. Kadar nitrat maksimal berkisar antara 0,01-1 mg/L (Reynolds 1990 dalam Ambiasa 2007).
15
2.3.9 Silikat Selain nitrogen dan fosfor, keberadaan silikat dalam suatu perairan laut erat kaitannya dengan kehadiran fitoplankton. Silikon terlarut merupakan nutrien yang penting bagi produktivitas primer. Silikon juga merupakan nutrien yang berperan sebagai regulator bagi kompetisi fitoplankton, dimana diatom selalu mendominasi populasi fitoplankton pada konsentrasi silikat yang tinggi. Diatom membutuhkan silikat untuk membuat cangkang tubuhnya (Hani 2006, Risamasu dan Prayitno 2011). Turner (1980) dalam Widjaja dkk (1994) mengemukakan bahwa bila kandungan silikat lebih kecil dari 0,5 mg/L maka fitoplankton khususnya diatom tidak dapat berkembang dengen baik. Menurut Sverdup et al (1960) dalam Riksawati (2008)
silikat di
permukaan laut berasal dari aliran sungai dan kandungan silikat rendah ditemukan di lapisan permukaan. Silikon dioksida diketahui merupakan bagian penting dalam pembentukan silikon flagelata seperti diatom dan beberapa Radiolaria. Zat anorganik dalam diatom mengandung lebih dari 60% silikon dioksida. Pertumbuhan Diatom yang cepat dapat menurunkan kadar silikat yang terlarut dalam air laut. Pada perairan pantai umumnya kadar silikat tinggi akibat pengaruh dari daratan. Di laut lepas kadarnya semakin besar dengan bertambahnya kedalaman Riley (1967) dalam Hakim (2008). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Risamasu dan Prayitno 2011) di Perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan yang menunjukkan bahwa konsentrasi silikat tertinggi berada di lapisan dekat dasar perairan daripada di lapisan permukaan. Distribusi silikon dioksida di perairan pesisir umumnya lebih tinggi daripada di laut terbuka karena limpasan air sungai. Konsentrasi silikat terlarut di lapisan permukaan perairan laut umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan di dasar perairan kecuali di daerah yang mengalami upwelling. Rendahnya konsentrasi silikat di lapisan permukaan disebabkan lebih banyaknya organismeorganisme yang memanfaatkan silikat di lapisan ini, seperti diatom yang membutuhkan silikat untuk membentuk dinding selnya.