Peradilan di inggris sekarang sudah memperjelas posisi pasien seperti ini setidaknya dalam hal hukum sipil. Dalam kasus ‘airedale national health service trust vs Bland’, house of lords di Inggris mempertimbangkan posisi seorang pria muda yang menderita trauma kapitis beratvdalam posisi seseorang yang telah memasuki kondisi vegetative persisten. Dokter dan keluarga dari pasien tersebut menerima bahwa tidak terdapatkemungkinan pemulihan kesadaran sehingga dalam kondisi seperti ini rumah sakit meminta izin peradilan untuk melepaskan NGT untuk pemberian nutrisi sehingga pasien dibiarkan meninggal. Hasil putusan baik pada ‘court of appeal stage’ maupunm pada ‘house of lords’ merupakan contoh contoh dari tindakan peradilan yang sangat sensitive mengenai suatu masalah yang sarat kandungan emosi dan telah mendapat banyak persetujuan walaupun persetujuan tersebut bersifat anonim. Pada intinya, pemberian ‘artificiaal feeding’ dipandang lebih sebagai tindakan medis daripada sebagai kewajiban. Oleh karena itu, keputusan penghentian ‘artificial feeding’ dapat diselesaikan sebagaimana keputusan penghentian tindakan medis lain dibuat. Apakah mempertahankan tubuh Anthony bland hidup saat kepribadian dan kemanusiaannya telah hancur merupakan kepentingan tertingginya? Mahkamah memutuskan menjawab tidak untuk pertanyaan ini sehingga pasien dibiarkan meninggal. Sekali lagi, Eutanasia tidak diizinkan tetapi terdapat sebuah tanda yang jelas bahwa kehidupan seorang manusia tidak usah dipertahankan lagi dengan sedemikian rupa jika usaha untuk mempertahankan kehidupan tersebut tidak akan membuahkan nilai atau kenikmatan dari kembalinya kesadaran .14 G. Jepang Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia . Demikian pula pengadilan tinggi Jepang (Supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “euthanasia pasif”. Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai University pada tahun 1955 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif”. Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangkanhukum dan suatu alas an pembenar dimana euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melewan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pegadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mepunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangkan hukum sementara guna melaksanakan euthanasia. Komunikasi antara dokter dan pasien di Jepang juga mempunyai batasan. Dimana seorang dokter di Jepang jarang melakukan komunikasi dengan pasiennya. Misalnya, pada pasien dengan kasus kanker stadium lanjut. Biasanya dokter lebih memilih merahasiankan keadaan pasien , karena tidak ingin membuat pasien merasa tertekan dengan keadaan penyakitnya. 12 Hubungan antara dokter dengan pasien di Jepang Secara tradisi, dokter di Jepang kebanyakan membuat keputusan tanda adanya masukan dari pasien dan memberikan informasi seminim mungkin. Kesempatan pasien untuk bertanya kepada
dokter adalah kecil. Karena, para dokter percaya bahwa dengan member tahu keadaan pasien mengidap kanker dengan kesempatan hidup kecil akan memperburuk dan menyebabkan mental pasien terganggu. Dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Tokyo , 95% dari para dokter tidak pernah membicarakan mengenai hal hal yang menyinggung tentang prognosis pasien yang buruk. 12 Asai eukuharai (1999) melaporkan 77% dari dokter di Jepang percaya bahwa para dokter sebaiknya mendiskusikan terapi yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup, terlebih dahulu dengan keluarga pasien meskipun pasien tersebut berkompeten mengambil keputusan tersebut. Dokter lebih sering menyampaikan diagnosis yang samar dan yang lebih mudah diterima, sedangkan diagnosis yang sebenarnya diinfokan kepada keluarga (McDonald-Scott). Sebagai hasilnya, dokter dan keluarga akan berhasil memberikan dorongan kepada pasien untuk percaya bahwa mereka bisa sembuh dan bisa tetap menjaga interaksi dan komunikasi yang baik dengan keluarga dan dokter. Inti dari “inform concent” adalah semua yang berhubungan dengan tidakan medis yang berkaitan dengan pasien harus didiskusikan dengan pasien dan sesuai dengan kehendaknya. Motivasi seseorang akan berkurang untuk menandatangani inform concent jika pasien tersebut sudah mengetahui keadaan penyakitnya yang sudah fase terminal. Keinginan sebenarnya dari pesien menjadi sulit, karena factor rasa sakit yang tak tertahankan.12 Kasus di Olaka , memaparkan ada suami mebunuh istrinya karena penderitaan dari istrinya yang sangat berat. Pasien selalu menginginkan komunikasi yang lancer dan dua arah dengan dokter untuk menghasilkan hubungan yang suportif antara dokter dan pasien.12 Kurangnya kejelasan dari pasien : Di Jepang menenkankan euthanasia diperbolehkan, dimana keputusan yang dibuat bail oleh orang yang dekat dengan pasien ( misalnya, anggota keluarga atau teman teman) atau pleh professional medis, pasien tidak aktif terlebih dalam keputusan yang dibuat oleh atau dalam pelaksanaan penderitaan dokter. Mungkin hanya mengatakan, :saya ingin mati” bahkan mungkin kesadaran dari pasien 9 misalnya di Yokohama kabupaten) pengadilan tidak dianggap. Terlepas dari pasien jiwa, umumnya orang orang terdekat yang merasa simpati, dalm rangka untuk meringankan penderitaan mereka. Ini merupakan perbedaan dramatis antara Jepang dan Negara Negara barat dalam hal partisipasi pasien dalam mengambil keputusan. 12 Pemindah tanganan pasien dari pengambilan keputusan dapat mengakibatkan tidak hanya dari karakter yang jauh dari hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi juga dari kebiasaan warga Jepang yang memiliki kebiasaan saling ketergantungan, Lebra (1976). Diangaap berasal dari penerimaan jepang terhadap suatu keinginan dalam hubungan. Orang yang sakit dan tua, diharapkan menjadi ketergantungan. Struktur tradisional menyikat ketergantungan dengan kebutuhan moral untuk mengabdikan diri kepada keluarga. Orang tua berharap untuk mengandalkan anak mereka. Untuk keamanan dan dukungan emosional. 12 Paternalisme vs Otonomi: Pendidikan kedokteran di Jepang yang berorientasi terhadap sciene medis dan teknologi. Sedikit perhatian di berikan kepada moral, masalahetika, dan psikologis dalam praktek medis. Pasien menyediakan sarana bagi dokter untuk menerapkan pengetahuan ilmiah mereka dimana dokter menggunakan pengetahuan mereka untuk membantu pasien mencapai kesehatan dan kebahagian.
Kursus perawatan jarang di pengaruhi oleh preferensi pasien individu pribadi atau pilihan antara terapi yang memungkinkan. Sebenarnya, tujuan terapi profesi medis tidak mengatur tujuan pribadi pasien. Pasien enggan menuntut mengungkapkan informasi media karena menghormati perintah profesi medis dan ketaatan tidak perlu diragukan lagi. Meninjau kasus makino versus rumah sakit palang merah, pasien mempunyai hak untuk mengetahui dari diagnosis kanker higuati (1992), morted bahwa pengadilan Japanese memberikan toleransi yang cukup besar kepada dokter yang bertanggung jawab untuk merawat sesuai dengan keinginan pasien. 12 Hayashi (2000) berpendapat bahwa situasi di Jepang adalah perubahan pertama, hak-hak pasien diakaui dengan pengenalan ide-ide otonomi dan masing-masing untuk penentuan nasib sendiri. Kedua, banyak orang yang bebrbicara tentang bagaimana cara kematiannya, terdapat pula suatu asosiasi Jepang yang didirikan pada tahun 1970 sebagai asosiasi euthanasia di Negara Jepang , telah meningkat dam mencapai 70.000 orang setelah beberapa tahun. 12 H. India Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 340-IPC. Ketentuan ini hanyalah terhadap kasus euthanasia sukarela dimana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian dan dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia).1 Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain ) ataupun euthanasia diluar kemampuan pasien akan dikenakan hukum berdasarkan pasal 92 Undang Undang hukum pidana India.1 I.Korea Belum ada suatu hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan “kasus rumah sakit boramae”. Dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya pengananan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharunya dinyatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing, dalam arti kata euthanasia aktif. Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa “Pada kasus tertentu dari penghentianpenanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia pasif dan dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya”,. 4,13
VI. PRO DAN KONTRA EUTHANASIA Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolak. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya seusatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb : atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan? 4,8,9,11
a. Pro Euthanasia Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argument yang paling sering digunakan adalah argument atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan pasien. Argument kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati. 4,8,9,11 b. Kontra Euthanasia Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argument teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan denga kehendak Tuhan. Meraka berpendapat bahwa hidup adalah sematamata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati. 4,8,9,11 Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argument “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia
langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan milai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman. 4,8,9,11 Argumen yang lain adalah argument berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian secara lansung karena kesulitan pribadi tidak dibernarkan”*21+. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirnya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjalani makna hidup 4,8,9,11 VII. TINJAUAN KEDOKTERAN TERHADAP EUTHANASIA Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu : 2,5 a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan b. Waktu hidup akan berakhir , diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dari pengertian pengertian diatas maka euthanasia mengandung unsur unsur sebagai berikut : 2,5 a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup pasien. c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya. Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hiprokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang memintanya”. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hiprokrates sendiri yang membuatnya. 2,5 Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apaabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. 2,5 Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah meyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan diluar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan diluar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunayna lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis. 2,5
VIII. TINJAUAN FILOSOFI- ETIS TERHADAP EUTHANASIA Dari seging filosofis , persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan kebebasan manusia dimana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut : Atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai control secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah apakan pengakhiran hidup seperti itu dapat dibenarkan ?, banyak pakar etik menolak euthanasia dan assisted suicide salah saty argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak beguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “ kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolute dan karena itu dimana mana harus dihormati.10
Setiap orang memiliki martabat (nilai) sendiri sendiri yang ada secara intrinsic (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang , artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing masing orang harus mempertangungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu , manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat atau instrument untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal : the right to die.10 Menurut mereka , jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sehingga memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu. 10
IX. KESIMPULAN Pada seorang pasien, hal yang dibutuhkan adalah perawatan dan pendampingan. Baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan seorang pasien terminal. Bukan lagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional sehingga baik secara lansung maupun tidak lansung. Kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan persoalan pribadinya dan kemudian siap menerima kematian dari Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya. Hukum yang berlaku di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini penting untuk disampaikan mengingat berbagai hal yang ada. Pertama, munculnya tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi betapa masyarakat mengalami pergeseran nilai kultural. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunanakan argument quality of life , autonomi dan inkonsistensi hukum.
DAFTAR PUSTAKA 1. Bansal, R.K. et all. Death wish. In: Medicolegal notes, JK Science. 2005. P.169-171. 2. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis kehormatan etik kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta 2002. Hal 40-45 3. Darji, JA, Dr. et all. Euthanasia : Most Controversial and debatable topic. NJIRM. 2011. P 94-97 4. Naudts, K. Dkk. Euthanasia : The Rule of The Psikiatric. In: The British Journal of Psychiatrics. Royal Collage of Psychiatrics. 2006. p 405-409. 5. Almatsier, Merdias. Dkk. Himpunan Peraturan Tentang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta 2006. 6. Sanbar, S.,S.,MD, Ph.D, JD, FCLM. Classification of Euthanasia. P.1-2 7. Lafal Sumpah Dokter. Peraturan Pemerintah 26/1960. Jakarta 1960. 8. Cohen, R,A. Belgian Euthanasia law : a critical analysis. Medical Ethis. 2009. P.436439. 9. Jochemsen, H. Euthanasia in Holand: an ethical critique of the new law. Medical Ethics, 1994. p.212-217 10. Dickens, Elizabeth. et all. Psycological perpectives on euthanasia and the terminally ill. The Australian Psycological society. 2008. p.2,12-13. 11. Voluntary Euthanasia and New Zealand. Parlementary Library 2003. p.15. 12. Hayashi, M. Kitamura,T. Euthanasia Trial in Japan: Implication for Legal and Medical Practice. In International Journal of Law and Psychiatric. Pergamon 2001. p.557-569 13. Shin, Dong Cun. Perspective on Death : Korea’s first court decision supporting death will dignity, it’s meaning ang future prospect. In: International Journal Community. JMAJ.2009. p.132-133 14. Smith, Alexander McCall. Euthanasia : the law in the United Kingdom. British Medical Bulletin. 1996. p.334-339.