FUNGSI PENGADILAN PENYELESAIAM KONFLIK PERSEPKTIF HUKUM NASIONAL Oleh : I Nyoman Subrata Abstrak Dalam dalam persaingan global, maka keberadaan hukum sebagai bagian dari pluralisme hukum yang ada di Indonesia, setelah melalui kajian sosiologi-empiris, kajian – kajian sejarah hukum.Dengan memperdayaan potensi masyarakat dapat tetap terbina dan hidup sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya dalam pemgembangan hukum nasional yang ada, dalam penyelesaian persengketa atau konflik yang masuk kejalur pengadilan. Persengketaan hukum adalah salah satu wujud dari konflik pada umumnya dan Karena konflik tidak selalu identik dengan persengketaan hukum.Fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam masyarakat. Sebagaimana di kemukakan oleh Harry C.Bredemeier (Aubert,1975 :52-52) The fungction of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, the law (The clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation afer there has been a conflict someone claims that his interests have been violated by someone clse the courts task is to render a decision that will prevet the conflict –and all potential conflicts like it –from disrupting productive cooperation Jadi Menurut Harry C.Bredemeter, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik -konflik secara tidak langsung, sistem pengadilan baru beroperasi setelah baru ada konflik yaitu : jika seorang mengklaim bahwa kepentingan telah diganggu oleh orang lain, tugas pengadilan adalah untuk mambuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dari gangguan. Dan hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam pandangan kawashima sebagai seorang sosiologi hukum jepang, besar kemungkinan tiada masyarakat di dunia ini dimana penyelesaian konflik melalui litigasi atau pengadilan dianggap sebagai cara yang normal untuk menyelesaian persengketaan atau konflik. (Ali Achman, 2012:93) Rescoe pound (1942), mengemukan bahwa masyarakat terdiri kelompok – kelompok dimana di dalamnya sering terjadi konflik antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya tetapi ada suatu kententuan yang mendasar di belakang konflik -konflik itu. Fungsi hukum Menurut rescoe pound untuk memenuhi peran rekonsiliasi dan untuk menciptakan keharmonisan sebagai tuntutan dan kebutuhan yang saling bertentangan, hukum merupakan bentuk rekayasa sosial yang di arahkan tercapainya keharmonisan social. Kata Kunci :Fungsi Pengadilan Penyelesaian Konflik
*Dosen Pada Prodi Magister Ilmu Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
69
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam upaya melakukan penegakan hukum dan keadilan, sesungguhnya bangsa Indonesia telah melalui jalan panjang dengan melakukan berbagai proses perubahan UUD45 sejak proklamasi kemerdekaan, kita telah melalui era pengantian konstitusi antara penerapan UUD 1945, UUDS 1950, dan konstitusi RIS 1949. Maupun UUD 1945 yang telah disempurnakan melalui reformasi konstitusi dalam bentuk perubahan UUD 1945setelah empat kali perubahan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 pemantapan bentuk pemerintah negara kesatuan denagn otonomi seluas – luasnya. Permurnian sistem pemerintah dari sistem campur menjadi sistem presidensial murni. Penataan sistem perwakilan dari sistem unikameral, dengan keberadaan MPR sebagai lembaga tinggi negara menjadi sistem perwakilan trikameral yang sederajat dalam kerangkap prinsip”Checks dan balances”dengan cabang – cabang kekuasaan negara lainnya. Demikian pula dengan perubahan konstitusi pelaksanaan kekuasan kehakiman dengan di bentuk MK, disamping MA yang selama ini berperan sebagai satu satunya lembaga yudisial yang kita miliki. Disamping itu, perbagai proses perubahan hukum dasar tersebut sesungguhnya merupakan upaya sadar dari seluruh komponen bangsa untuk memperbaiki tatanan kehidupan bernegara dengan melakukan pembaharuan sistem. (Nurtjahjo Hendra dkk, 2010 : 100). Pasal 1 ayat 3 Bab I Amandemen ketiga UUD1945 menegaskan kembali bahwa Negara Bangsa Indonesia adalah Negara Hukum artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), buka absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas), sebagai konsekuensi dari pasal 1 ayat 3 Amandemen ketiga UUD1945, danada tiga prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu : Supremasi Hukum, Kesetaraan di hadap hukum, dan Penegakkan Hukum dengan cara – cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Penerapan hukum yang baik akan membatasi dan sekaligus akan memperkaya kemerdekaan warga negara. Pelaksanaa hukum yang transparan dan terbuka di satu sisi dapat menekan dampak negatif yang dapat di timbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus juga meningkatan dampak positif dari aktivitas warga negara. Dengan demikian hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek. Aspek positif dari kemanusiaan dan menghambat aspek negatif dari kemanusiaan. Dan penerapan hukum yang di taati dan diikuti memunculkan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat Tantang yang besar yang dihadapi oleh setiap bangsa dalam membangun bangsanya dengan berkepentingan yang berbeda, karana terdapat berbedaan atau pluralisme dalam struktur dan budaya masyarakat. Perbedaan etnis, perbedaan keyakinan, religious, perbedaan pandangan terhadap alam dan lingkungan, sering kali menjadi faktor penyebah kegagalan suatu bangsa, pluralisme dalam masyarakat
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
70
memang manjadi pemicu sehingga cita – cita sulit untuk direalisasikan. Demokrasi sering tidak ditetegakkan, hak asasi manusia menjadi terancam, solidaritas masyarakat semangkin mengkristal pada tumpukan – tumpukan kecil, cita – cita bangsa menjadi sangat pragmatis dengan tujuan – tujuannya yang berjangka pendek, harkat dan martabat kemanusiaan semangkin mengecil manakala keadaan pluralisme dalam masyarakat itu di biarkan berkembang dan berjalan dengan alami tanpa ada upaya untuk menghimpunnya menjadi kekuatan yang sangat besar, padahal pluralisme dalam masyarakat adalah suatu rahmat tuhan,bila di telusuri melalui pemikiran yang arif, oleh karana itu pluralisme buka untuk di pertentangkan, pluralisme hukum merupakan bagian dari pluralisme budaya. Kenyataan membuktikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis, beserta dengan keragaman aturan dan pengaturan mengenai berbagai hukum yang ada didalamnya. Dari sudut pandangan sejarah dan budaya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agraris dan sehingga saat ini walaupun industrialisasi sudah menjadi tuntunan dari masyarakat di era modernisasi namun sebagaian besar dari masyarakat Indonesia masih mempertahankan hukum sebagai hukum yang berlaku dalam kehidupan seharin- hari Dalam kaitan dengan eksistensi hukum dan masyarakat itu sendiri dalam persaingan global, maka keberadaan hukum sebagai bagian dari pluralisme hukum yang ada di Indonesia, setelah melalui kajian sosiologi-empiris, kajian – kajian sejarah hukum. Dan dalam kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat maka hukum rakyat atau hukum sebagai bagian hukum yang hidup haruslah ada dan hidup berdampingan hukum nasional. Dengan demikian memperdayaan potensi masyarakat dapat tetap terbina dan hidup sebagai bagian yang tidak dapat di pisahkan dalam upaya dalam pemgembangan hukum nasional yang ada, dalam penyelesaian konflik yang masuk kejalur pengadilan. Dengan demikian penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya – upaya pencipta Indonesia yang damai dan sejahteran. Apabila hukum di tegakkan dan di tertibkan diwujudkan, maka kepastian, rasa aman, tentram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Namun ketiadaan penegakkan hukum dan ketertiban akan menghambat pencapaian masyarakat yang berusahan dan bekerja dengan baik untuk memenuhui kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara damai adil, dan sejahteran. Untuk itu perbaikan pada aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian. (Nurtjahjo Hendra dkk,2010 : 48) Dalam pandangan kawashima sebagai seorang sosiologi hukum jepang,besar kemungkinan tiada masyarakat di dunia ini dimana penyelesaian konflik melalui litigasi atau pengadilan dianggap sebagai cara yang normal untuk menyelesaian persengketaan atau konflik. (Ali Achman,2012:93) Realism hukum merupakan studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar – benar sebagai realitas dilaksanakan oleh karana itu, sehingga realism hukum merupakan bahasan penting dari pendekatan sosiologi, Menurut Gray (anwarul
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
71
yagin,1996) bahwa hukum sebagai suatu aturan tingkah laku yang di tetapakan oleh tindakan personil aparat pengadilan. Hukum adalah apa yang di putuskan oleh hakim.kepribadian dan pandangan pribadi hakim. Memainkan peran penting dalam proses terwujudnyan putusan. Rescoe pound (1942), mengemukan bahwa masyarakat terdiri kelompok – kelompok dimana di dalamnya sering terjadi konflik antara kepentingan yang satu dengan yang lainnyatetapi ada suatu kententuan yang mendasar di belakang konflik – konflik itu. Fungsi hukum Menurut rescoe pound untuk memenuhi peran rekonsiliasi dan untuk menciptakan keharmonisan sebagai tuntutan dan kebutuhan yang saling bertentangan, hukum merupakan bentuk rekayasa sosial yang di arahkan tercapainya keharminisan sosial.disamping itu dalam masyarakat kepenting – keptungan yang saling tumpah tidih dan bertentang sering mengakibatkan tuntunan yang berbeda. Persengketan hukum timbul jika konflik kepentingan tidak lagi mampu di pecahkan oleh cara lain. Para pihak yang bersengketa terpaksa jalur hukum jika mereka tidak lagi mampu untuk menyelesaikan konflik mereka di luar pengadilan ( Ali Achman,2012 : 112-113) I. PEMBAHASAN A. Fungsi Pengadilan Penyelesaian Konflik Persengketaan hukum adalah salah satu wujud dari konflik pada umumnya.dan Karana konflik tidak selalu identik dengan persengketaan hukum. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam masyarakat. Sebagaimana di kemukakan oleh Harry C.Bredemeier (Aubert,1975 :52-52) The fungction of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, the law (The clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation afer there has been a conflict someone claims that his interests have been violated by someone clse the courts task is to render a decision that will prevet the conflict –and all potential conflicts like it –from disrupting productive cooperation. Jadi Menurut Harry C.Bredemeter, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik -konflik secara tidak langsung, sistem pengadilan baru beroperasi setelah baru ada konflik yaitu : jika seorang mengklaim bahwa kepentingan telah diganggu oleh orang lain, tugas pengadilan adalah untuk mambuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dari gangguan.Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Schuyt, secara panjang lebar mengemukakan tentang persoalan konflik dan penyelesaian konflik sebagai berikut: pihak ketiga dapat muncul dalan berbagai bentuk, termasuk sebagai suatu badan, seorang kepala suku, suatu dewan yang terdiri dari orang – orang pandai, sesepuh, atau yang di tuakan dalam suatu keluarga atau klan. Seorang yang memiliki keahlian khusus yang memiliki gelar dibidang hukum.
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
72
Munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netra dan tidak memihak. Dalam hal ini, hukum diidentikkan dengan “negara” di dalam masyarakat “pra negara” pun terdapat aturan – aturan yang bersifat memaksa terhadap warga masyarakatnya, tentang bagaimana warga harus bertindak jika terjadi konflik, salah satu bentuk peneyelesaian secara kekeluagaan tidak bisa di selesaikan makan jalan terakhir melalui pengadilan Di dalam masyarakat industri modern sekarang pun tidak semua konflik yang muncul dalan situasi sosial yang beraneka ragam itu diajukan oleh pihak yang bersengketa kedepan pengadilan. Banyak konflik, baik yang bersekala kecil maupun besar diselesaikan dengan cara – cara sendiri diluar pengadilan.. misalnya siapa pun yang terlibat dalam suatu konflik, baik ia pihak yang langsung bersengketa maupun pihak ketiga yang mewakilinya berada dalam posisi yang memihak. Didalam bentuk informal atau yang di bentuk tersendiri untuk mengatasi konflik itu, juga di terapkan normal - normal dan ideal –ideal yang biasa di terapkan di pengadilan.seperti misalnya : mendengar dan mendengar ulang keterangan dan argumentasi para pihak yang bersengketa serta saksi – saksi dan memperhatikan bukti -bukti yang relevan, kesimbang kepantasan antara tindakan dan jenis hukuman yang dijatuhkan, memperhatikan dan faktor kewajaran dan keadilan. Jadi salah satu problem sentral hukum adalah menyelesaikan setiap konflik yang terjadi didalam masyarakat. Didalam penyelesaian konflik mencakup bentuk yuridis maupun non yuridis, jadi bentuk nonyuridis pun tetap dilakukan. Masyarakat di dalam menyelesaikan konflik adalah memilih jenis penyelesaian konflik yang paling cocok dan wajar untuk menyelesasikan konflik mereka.konflik itu bermacam – macam jenis dan tingkatnya yang ada dimasyarakat. B. Penyelesaian KonflikMenurut Schuyt 1. konflik menjadi terselesaikan karena salah satu pihak, biasanya pihak yang berada dalam posisi lemah atau menduduki posisi sebagai bawahan, menyerah terhadap situasi yang tidak menggenakan dan menguntungkannya. Jika pihak yang lemah tandi mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri dari kekuasaan yang kuat, maka konflik pun terselesaikan. Jadi penyelesaian konflik dengan cara pertama ini akan terwujud jika terwujud keadaan –keadaan dan yang berkonflik tidak saling bertemu lagi satu sama lain, dan suatu penundukan yang sifatnya sementara akan muncul jika pihak yang berposisi paling lemah tidak dapat membebaskan diri dari kekuasaan pihak yang kuat. Inilah yang membedakannya dengan cara penyelesaian konflik dimana penundukan atau penerimaan pihak yang kalah terdapat putusan penyelesaian konflik itu bersifat permanen. Suatu contoh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. 2. Konflik di tandai dengan keikut sertaan yang bersifat sederajat dari kedua belah pihak dalam penyelesaian konflik. Tidak ada pihak ketiga atau instansi tertentu yang di ikut sertakan. Hal ini memberikan kebebasan yang lebih
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
73
besar untuk penyelesaian konflik, tetapi membutuhkan upaya keras dari pihak-pihak yang berkonflik itu. Maka dari itu memerlukan keterampilan yang besar dan jiwa yang benar – benar yang bersifat terbuka untuk menyelesaikan suatu konfrontasi. Keberhasilan penyelesaian konflik dengan cara ini sangat di pengaruhi oleh apakah kedua belah pihak yang berkonflik itu masih menghargai kelanjutan relasi (hubungan) mereka di masa depan. Kalau hubungan mereka berlanjut merupakan faktor yang memudahkan penyelesaian konflik itu. Didalam melibatkan pihak ketiga dalam konflik itu, dimana keterlibatan pihak ketiga karana inisiatif pihak yang bersengketa. Pihak ketiga bisa di kenal atau tidak oleh pihak yang konflik, pihak ketiga sebagai penengah atau sebagai perumusan yang di peroleh dalam Pertemuan. Pihak ketiga ini tidak menonjolkan diri dalam penyelesaian konflik, dan mereka muncul secara insidental sesuai dengan pihak yang konflik, tipe ketiga dalam penyelesaiann konflik ini, membentuk cara penyelesaian konflik yang bersifat pra – yuridis. Menurut Schuytperantara tidak terikat oleh prosendur – prosendur formal dalam penyelesaian konflik. Sehinggah perantara dapat lebih mengupayakan penyelesaian konflik, serta dapat mengajukan kemungkinan baru yang dapat membantu situasi yang akan datang serta dapat mengadakan tekanan pada pihak – pihak yang berkonflik untuk menerima kompromi dengan ancaman sang pencegah akan mengundukan diri sebagai penengah jika keduan pihak tidak bersedia menerima kompromi yang ditawarkan biasanya sebagai penengah lebih banyak mempunyai wibawa dan kepercayaan diri dari kedua belah pihak yang konflik, sehinggah pencegah itu sangat mudah menguasai kedua belah pihak yang berkonflik. 3. Ketiga adalah mengutamakan terwujudnya perdamian yang berati kedua pihak yang berkonflik melupakan segala sesuatu dan memaatkan segala segalanya dan kemudian mulai yang baru. Dalam penyelesaian konflik tipe ketiga ini diutamakan penyesuaian diantara dua berkepentingan yang berlawanan, agar kedua pihak yang konflik bersedia saling memberi dan menerima dengan tujuan agar hubungan mereka kedepanya berjalan seperti biasa. 4. Menyelesaikan konflik bersifat arbitrase melalui suatu proses singkat berdamian bersifat yudisal, proses penyelesaiannya melalui proses hukum adminitratif dan proses sipil, dan menghasilkan putusan yang bersifat penghukum.Tipe keempat ini mencakup semua bentuk yang kas dari penggunaan dari pencegah, yaitu para hakim arbitrator dalam penyelesaian konflik, dimana meskipun inisiatif keterlibatan pencegah itu berasal dari pihak yang berkonflik, namun tetap keputusan terletak pada hakim, perdamian pun dapat dilakukan tetapi atas usul hakim
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
74
Hakim pada awalnya menyupayakan perdamian diantara kedua belah pihak yang berkonflik, sehinggah proses penyelesaian konflik berlangsung singkat, tetapi jika itu gagal maka hakim akan mengikuti seluruh prosendur formal yang berlaku. Dan putusan dalam tipe keempat ini suka atau tidak suka oleh hakim atau arbitrator, dan menaati prosendur yang berlaku yang pada ahkirnya menjatuhkan putusan yang bersifat menghukum . Pihak yang berkonflik sering mengalami kerugian waktu akibat proses yang lama dan bertele –tele. Namun sering terjadi konflik yang sedang berlangsung di pengadilan atau diarbitrase berhenti ditengah jalan karana terjadi perubahan keadaan yang mempengaruhi situasi dan kondisi yang berkonflik. 5. Menyelesaian konflik dengan menggunakan cara yuridis politik. Ciri penyelesaian konflik ini berlangsung tanpa kekerasan, berwujud tindakan politik dan sosial,yang mengenal pembentukan putusan badan legislatif dimana penyelesaian konflik terpimpin. Menurut Dahrendort pembuatan undang-undang sebagai perlembagaan konflik yang dimaksud disini adalah bahwa telah ada suatu prosedur yang permanen yang diterima oleh semua orang, dengan tujuan untuk menangahi konflik-konflik yang telah ada di dalam masyarakat dengan jalan damai. Dalam kaitan ini aturan aturan formal memegang peran yang sangat penting. 6. Menggunakan kekerasan, karana kekerasan merupakan suatu bentuk penyelesaian konflik dimana satu pihak atau kelompok melalui penggunaan alat – alat yang bersifat fisik, merugikan pihak atau kelompok lain dalam usahan penyelesaian konflik. Penggunaan kekerasan sering dibenarkan dengan anggapan bahwa hal ini justru merupakan cara yang paling tepat. dan jika kita pelajari sejarah ternyata penyelesaian konflik dengan cara kekerasan ini sudah lazin digunakan. Salah satu kelemahan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian adalah dapat menimbulkan reaksi balik dengan berwujud kekerasan, dengan penggunaan kekerasan untuk menyelesaian konflik di bedakan antara penggunaan kekerasan oleh negara dan warga masyarakat. Contoh : situasi yang paling ekstrem adalah dalam suatu perang samudra dimana konflik dalam dua kelompok yang bertikai diselesaikan dengan penggunakan kekerasan. C. Bentuk – Bentuk Penyelesaian Konflik Ada tiga proses perkembangan cara – cara penyelesaian konflik yaitu : 1) Dari cara penyelesaian yang tidak melibatkan pihak ketiga menjadi cara penyelesaian yang melibatkan pihak ketiga. 2) Dari cara penyelesaian yang masih bersifat pra-yuridis menjadi cara penyelesaian yang bersifat yuridis
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
75
3) Dari cara penyelesaian bersifat politis tanpa kekerasan menjadi cara penyelesaian dengan menggunakan kekerasan. Tampak adanya perkembangan dari suatu penyelesaian suatu konflik yang berbentuk “ non-formalatif “ (tidak menggunakan formulasi argumentasi), menjadi cara penyelesaian yang berbentuk formulatif ( lebih banyak menggunakan formulasi baik secara lisan maupun secara tertulis) tetapi dalam kemudian konflik tertentu bisa merubah menjadi penggunaan dengan cara no formulatif yang terliha pada aksi aksi politik dari penggunakan kekerasan. Dalam skema model sepatu kuda, menunjukan tiga alternatif cara penyelesaian konflik yaitu : onderwerping : ketaat, penundukan geweld : kekerasan bestuurlijk politieke opplesing : pemecahan cara politis pemerintah overleg c.d : perundingan dan lain lain rechterlijke – tussekomst : perantaran pengadilan bemiddeling e.d : perantara – perantaran lain a. Penyelesaian konflik oleh satu pihak b. Penyelesaian konflik oleh dua pihak c. Penyelesaian konflik oleh tiga pihak Pertama: Hukum harus mentransformasikan bentuk – bentuk penyelesaian konflik yang menggunakan kekerasan kedalam bentuk penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Kedua: Hukum harus mentransformasikan penyelesaian konflik secara sepihak, terutama bentuk ketaatan / penundukan kedalam penyelesaian konflik secara dua pihak dan ketiga pihak. Pertama sudah biasa di kenal dalam penyelesaian secara hukum atau melalui pengadilan sedangkan yang kedua mengandung unsur perwujudan emansipasi diantara pihak yang berkonflik, dimana kedudukan yang selalu dominan pada satu pihak dalam suatu konflik disini perlu di ketahui bahwa nilai –nilai yuridis tetap memainkan peranan yang penting, baik dalam penyelesaian konflik yang berbentuk yuridis maupun yang berbentuk non yuridis karana di dalamnya orang dapat mengenal aspek peradaban dari hukum yang ada di masyarakat. D. Seberapa Jauh Peran Hakim Dan Pembuat Undang – Undang Mencapai Suatu Penyelesaian Konflik Tanpa Kekerasan Secara teoritis diketahui bahwa tujuan pokok dari penyelesaian konflik yang menggunakan cara hukum dan pengadilan adalah untuk mewujudkan penyelesaian tanpa kekerasan. Diantara para kriminolog, ada pandangan yang meninginkan agar penyelesaian konflik kembali diserahkan kepada pemilki konflik, kebaikan atau kelebihan pengadilan yang diselenggarakan negara ketimbangan yang diselenggarakan sendiri oleh warga masyarakat adalah karana negara lebih memilki kemampuan untuk mengendalikan diri, sedangkan warga sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh emosi yang meluap – luap kususnya dalam penyelesaikan konflik
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
76
yang berkaitan dengan kasus pengianatan, pembunuhan, permerkosaan dan pencurian. Pihak ketiga yang terlibat dalam konflik yang bersifat perdata, dapat membantu pihak – pihak yang berkonflik unuk berdamai, dengan syarat bahwa pihak ketiga tersebut dapat menyakinkan pihak – pihak yang berkonflik serta dapat menempatkan diri untuk tidak memihak salah satu pihak yang berkonflik. Didalam penyelesaian konflik lewat pengadilan, terdapat kesenjangan antara persepsi para hakim dan persepsi para pihak yang berkonflik sendiri tentang kasus mereka itu, sangat sering terdapat berbedaan persepsi tajam antara hakim yang berstandar tembok – tembok yang bersifat yuridis yaitu ketentuan foremal yang berlaku, sedangkan para pihak yang berkonflik yang berstandar pada Pengerti yang lebih samar – samar. Perbedaan lain dalam penyelesaian konflik itu, hakim berjuang untuk menyelesaian konflik tanpa kepentingan pribadi, dan sebagian lagi terpengaruh dengan kepentingan pribadi tententu dalam kadar yang bervariasi pula. sebaliknya para pihak yang berkonflik tentu saja memiliki kepentingan pribadi yang bersifat langsung dalam konflik, para pihak yang berkonflik menunjukkan secara konkrit apa yang mereka sukai dan apa yang mereka tidak sukai, mereka secara konkret menunjukkan kepentingan dan keinginan pihak mereka sendiri. Kesenjangan antara hakim dan para pihak – pihak yang berkonflik itu kadang -kadang menjadi sedemikian besarnya sehinggah sering dikatakan menimbulkan dua dunia yang sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya.ketidak puasan kepada pihak pihak yang berkonflik terdapat putusan pengadilan, dapat melahirkan polarisasi baru, dapat menimbulkan rentetan konflik baru. Yang kadang – kadang menggunakan sarana atau cara yang langgar kukum yaitu cara – cara kekerasan. Dengan demikian posisi netra hakim sangat dipengaruhi oleh faktor sejauh mana hakim dapat mempertahakan diri untuk tidak terlalu dekat pada para satu pihak yang berkonflik, kedekatan hakim pada salah satu pihak akan membahayakan netralitasnya seorang hakim. E. Penyelesaian Konflik Dengan Cara Non Litigasi Jika masyarakat menganggap bahwa di dalam masyarakat modern ini hanya pranata pengadilan satu satunya cara penyelesaian sengketa atau konflik. Di luar pengadilan (non litigasi) masih terdapat cara – cara penyelesaian persengketaan / konflik dengan cara :1. Negosiasi, mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Ada masyarakat yang di dominasi oleh cara litigasi seperti masyarakat amerika serikat sebaliknya juga ada yang didominasi oleh cara non litigasi seperti korea dan jepang. Menurut Gary Goodpaster (1993 : 5) Negosiasi adalah Negotiating is the process of working to come to an agrccment with other parties, an interaction and communication process as dynamic and wariead, and as subtle and nuanced, as humans themselves are or can be (Negosiasi merupakan proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses intraksi dan komunikasi yang
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
77
dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuasa, sebagaimana manusia itu sendiri). Negosiasi, menurut Gery Goodpaster Menjelaskan kapan proses terjadinya negosiasi itu. Orang yang bernegosiasi yang tidak terhitung jumlahnya dimana mereka membutuhkan dan menginginkan suatu yang dapat di berikan ataupun di pertahankan oleh orang / pihak lain. Bila mereka menginginkan untuk memperoleh kerja sama, bantuan, atau persetujuan orang lain, atau ingin menyelesaikan atau mengurangin persengketaan atau konflik / perselisihan. Situasi seperti ini meliputi upaya kerja sama yang sederhana penuh persahabatan dengan yang berjarak dekat.negosiasi juga dapat melibatkan dua orang saja, satu lawan satu, atau banyak pihak, dan aliansi dan koalisi yang bergerak. Negosiasi juga dapat melibatkan permasalahan tunggal ataupun banyak, berlaku satu kali, berulang –ualang atau terus menerus. Mediasi adalah merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan dibantu oleh pihak luar yang tidak memihak/netral guna memperoleh penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak.Pada umunya orang yang menggunakan mediasi menemukan banyak keuntungan didalamnya antara lain: 1. Proses yang cepat : persengketaan atau konflik yang banyak ditangani oleh pusat -pusat mediasi publik dapat di tuntaskan dengan permeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang di gunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam. 2. Bersifat rahasia : segala suatu yang di ucapakan selama meriksaan mediasi bersifat rahasia dimana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliputi. 3. Tidak mahal : sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah. Para pengacara tidak di butuhkan dalam suatu proses mediasi. 4. Adil : solusi bagi yang persengketaan atau konflik dapat di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak. 5. Berhasil baik : kedua pihak yang bersengketa atau konflik mencapai suatu hasil yang diinginkan Arbitrase : Pihak ketiga sebagai penengah. Pihak ketiga dipilih oleh kedua belah pihak yang bersengketa atau konflik. Ada karakteristik utama dalam arbitrase Menurut professor Gary Goodpaster (1993 :1) a. Arbitration involves the private adjudication of disputes. b. In agreeing to arbitrate, merchants agree to give up their rights to litigate in national courts. c. Arbitration is often faster, less formal, less expensive, more adaptable, and more confidential than litigation. d. Arbitration awards may be more readily enforceable than foreign court judgments Jadi jelas bahwa penggunaan arbitrase hanya terbatas pada penyelesaian secara perdata. 36
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
78
Konsiliasi, Consilliation dalam bahasa Inggris berarti perdamaian , penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsisliator) untuk membantu pihak yang berdetikai dalam menemukan bentuk penyelesaian yang disepakati para pihak. Hasil konsiliasi ni harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa atau konflik, selanjutnya didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak. F. Konsep Saks dan Hastie Tentang Konflik Peran Salah konsep yang sangat terkenal tentu konflik peran yang berlangsung di pengadilan adalah yang dikemukan oleh Michael J. Saks Dari Boston College dan Reid Hastie, Dari Harvard University. Menurut sak dan hastie pola – pola perilaku dari para aktor didalam suatu sistem sosial dianggap di tentukan dan di pertahankan oleh peran – peran, suatu pernyataan yang pada hakikatnya, berati bahwa orang – orang didalam lokasi – lokasi sosialnya berperilaku sesuai harapan – harapan tertentu, harapan ini di buat oleh penentu peran, sedangkan orang – orang di dalam lingkungan sosial dari pemegang peran. Banyak sekali titik temu yang terdapat didalam harapan para penentu peran Ada beberapa jenis konflik peran yang berbeda telah diidenfikasikan. Antara yaitu : 1. Konflik intrasender adalah terjadi ketika pemegang penentu peran tentumempunyai harapan yang tidak sesuai si pemegang peran (seperti ketika seorang klien menginginkan pengacaranya secara serentak mengambil alih komando untuk memcahkan persoalan klien dan untuk tunduk kepada putusan – putusan klien tentang perkara yang bersangkutan). 2. Konflik intraperan adalah terjadi ketika penentuan penentuan mempunyaiharapan yang berlawanan dengan perilaku suatu peran tunggal (seperti ketika seorang hakim yang di harapkan oleh seorang pengacara untuk tetap berada di luar perkara dan membiarkan mereka para pengacara bekerja atau tidak bekarja sebagaimana mereka tentukan, di harapkan oleh ketua pengadilan untuk memproses kasus – kasus itu lebih cepat melalui sistem yang bersangkutan dan diharapkan pula para hakim lainya melakukan pekerjaan secara cermat, sungguh- sungguh, sehinggah tidak ada kesalahan timbal balik yang dilakukan). 3. Konflik antarperan adalah tetrjadi ketika peran – peran berbeda yang dipegang oleh seseorang dalam kehidupannya menimbulkan tuntutan – tuntutan yang saling bertentangan terhadap perilaku orang tersebut. Pengadilan sebagai sisten sosial tidak terbatas hanya hubungan, diantara para klien, para pihak yang berlawanan, para hakim, yang secara formal ditata oleh hakim. Hubungan informa juga terjadi hubungan dan ini menjadi memungkinkan dan penting oleh kenyataan bahwa para pemegang peran mempunyai banyak kebebasan untuk menentukan keputusan yang mereka buat serta tindakan yang mereka lakukan dalam peran mereka dan bertanggung jawab terhadap terjadinya kesenjangan antara
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
79
hukum.seperti : yang digambarkan dan diperilakukan manusia yang mengoperasikan hukum itu. Para pemegang peran dapat menerapkan kebebasan mereka untuk menentukan, asalkan tidak melampaui batas – batas yang sah secara hukum, meskipun sebagian dari mereka mungkin berspekulasi untuk melewati batas – batas tersebut. G. Keadilan dan aparat penegak hukum Tujuan hukum tertinggi adalah keadilan, keadilan artinya meletakkan sesuatu dengan proposisinya. Dengan meletakan sesuatu secara proposional berati keadilan adalah ketertiban dan kedisiplinan. Meletakan dan menerapkan hukum sesuai dengan kesalahanya dan kesalehan yang di terapkan oleh hakim atas dasar bukti – bukti yang menyakinkan. Konsep keadilan sama dengan prinsip berpikiran ilmiah yang seharusnya objektif, empirik dan konsesten yakni terdapat relevan antara pernyataan dengan kenyataan. Untuk memdapatkan bukti – bukti, saksi – saksi dan berbagai alat bukti lainya diperlukan penegak hukum yang memahami makna keadilan bagi masyarakat. Aparat penegak hukum seperti : polisi, pengacara, hakim,jaksa,paniteran dan termasuk saksi yang semua berkecimpung di dunia keadilan, dan disamping itu ralitas masyarakat dan hukum serta harapan keadilan adalah gejala sosial yang saling berkaitan. Sistem hukum yang kuat adalah karana subsistem yang terdapat didalamnya sangat kuat. Hukum dan keadilan akan kuat, apabila parat penegak hukum dan seluruh komponen masyarakat yang menjadi subsistemnya memiliki kesadaran hukum dan rasa keadilan (Saebani Ahmad Beni, 2007:198-199) H. KESIMPULAN Penyelesaian konflik adalah dimana pihak ketiga dapat muncul dalan berbagai bentuk, termasuk sebagai suatu badan, seorang kepala suku, suatu dewan yang terdiri dari orang – orang pandai, sesepuh, atau yang di tuakan dalam suatu keluarga atau klan. Seorang yang memiliki keahlian khusus yang memiliki gelar dibidang hukum. Munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netra dan tidak memihak. Dalam hal ini, hukum diidentikkan dengan “negara” di dalam masyarakat “pra negara” pun terdapat aturan – aturan yang bersifat memaksa terhadap warga masyarakatnya, tentang bagaimana warga harus bertindak jika terjadi konflik, salah satu bentuk peneyelesaian secara kekeluargaan tidak bisa di selesaikan makan jalan terakhir melalui pengadilan Di dalam masyarakat tidak semua konflik yang muncul dalan situasi sosial yang beraneka ragam yang diajukan oleh pihak yang bersengketa kedepan pengadilan. Banyak konflik, baik yang bersekala kecil maupun besar diselesaikan dengan cara – cara sendiri diluar pengadilan.. misalnya siapa pun yang terlibat dalam suatu konflik, baik ia pihak yang langsung bersengketa maupun pihak ketiga yang mewakilinya berada dalam posisi yang memihak.
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
80
Didalam bentuk informal atau yang di bentuk tersendiri untuk mengatasi konflik itu, juga di terapkan normal - normal dan ideal –ideal yang biasa di terapkan di pengadilan.seperti misalnya : mendengar dan mendengar ulang keterangan dan argumentasi para pihak yang bersengketa serta saksi – saksi dan memperhatikan bukti -bukti yang relevan, kesimbang kepantasan antara tindakan dan jenis hukuman yang dijatuhkan, memperhatikan dan faktor kewajaran dan keadilan. Jadi salah satu problem sentral hukum adalah menyelesaikan setiap konflik yang terjadi didalam masyarakat. Didalam penyelesaian konflik mencakup bentuk yuridis maupun non yuridis, jadi bentuk non yuridis pun tetap dilakukan. Masyarakat di dalam menyelesaikan konflik adalah memilih jenis penyelesaian konflik yang paling cocok dan wajar untuk menyelesasikan konflik mereka.konflik itu bermacam – macam jenis dan tingkatnya yang ada dimasyarakat. Seperti Penyelesaian konflik dengan cara non litigasi Negosiasi,Mediasi,Arbitrase dan Konsiliasi, DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali.Dkk.Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Kencana Prenada Media Group:Jakarta. 2012 Beni Ahmad Saebani.Sosiologi Hukum.Pustaka Setia. Bandung. 2007 Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad,Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum adat. Salemba Humanika: Jakarta. 2010 H.Zainuddin Ali.Sosiologi Hukum. Sinar Grafika.Jakarta.2005 IIhami bisri.Sistem Hukum Indonesia (Prinsip - prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia). PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.2011 Jimly Asshiddiqie.Dkk. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.kontitusi PressJakarta. 2012
Satya Dharma Volume III No. 1 Oktober 2015
81