FORUM TARBIYAH JURNAL PENDIDIKAN ISLAM STAIN PEKALONGAN
ISSN 1829-5525 Vol. 12, Nomor 2, Desember 2014 Halaman 137-276
Daftar Isi Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan dalam Menciptakan Iklim Kerja Kondusif ............................................................... 137-160 Muh. Hizbul Muflihin Contextual Teaching And Learning dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Kajian Teoritik dan Praktik) ...................... 161-172 Sopiah Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif untuk Meningkatkan Self Regulated Learning Siswa (Konsep Teoritis) ..................................................................... 173-189 Esti Zaduqisti Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI melalui Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Jigsaw ............ 190-206 Siti Rohmah Manajemen Pembelajaran IPA dalam Rangka Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Kelas MI. .................................. 207-218 Budiyono Saputro Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) terhadap Pemahaman Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Menggunakan Garis Bilangan Mata Kuliah Pembelajaran Matematika pada Mahasiswa Program Studi PGMI STAIN Salatiga ...................................... 219-238 Eni Titikusumawati Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan Nilai-Nilai Islami di SD/MI ...................................................... 239-254 Muchamad Fauzan Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah Menurut Kurikulum 2013 ......................................................... 255-274 Moh. Slamet Untung
MENINGKATKAN MUTU PERAN PIMPINAN DALAM MENCIPTAKAN IKLIM KERJA KONDUSIF Muh. Hizbul Muflihin*
Abstract: The environment of an educational institution essentially describes a social system of a people group in it. That working environment, itself, is created as an implication that arise indirectly from the practice of leadership in such institution, which can be: autocratic, semi-autocratic, consultative or participative. In addition, working environment that occurs in educational institutions is associated so much with the perspective used by the leader of its members, whether it is regarded as a machine or it is considered as a whole person. Conducive working environment in an educational institution can be realized with various approaches, namely: psychology, physic, value or management approaches. Of course, each has its own philosophical concepts in practice. While indicators of a conducive working environment are: first, environment that is safe, comfortable and orderly; second, environment that is supported by optimism and expectations of citizens of the campus; third, environmental health; and fourth, activities centered on the development of students. Kata Kunci: Iklim kerja, kepemimpinan, dan pendekatan
PENDAHULUAN Keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan kadangkala dikaitkan dengan kepemimpinan seorang pimpinan. Hal yang demikian memang bukan beralasan, sebab penilaian terhadap keberhasilan seorang pimpinan dalam mengelola atau memanaj sebuah lembaga bisa dilihat secara umum, apakah *.
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan Institut Agma Islam Negeri (IAIN) Purwokerto. Jl. Jendral A. Yani No. 41 Purwokerto 53131, e-mail :
[email protected]
138
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
tujuan (visi dan misi) yang telah ditetapkan, bisa direalisasikan atau tidak. Di sini nampak bahwa keberhasilan atau kemajuan sebuah organisasi ada kaitannya dengan kepemimpinan seseorang. Ini artinya gerak dinamika seseorang dalam memimpin sebuah organisasi menjadi indikator di dalamnya. Nilai keberhasilan seorang pimpinan dalam memajukan lembaga pendidikan sering kali diukur dengan seberapa jauh kepuasan para tenaga pendidik dan kependidikan dalam mendapatkan layanan. Kepuasan kerja di kalangan tenaga pendidik dan kependidikan pada gilirannya akan membawa dampak terhadap kulitas kerjadalam melaksanakan tugas. Selain hal ini, keberhasilan pimipinan sekolah juga seringkali diukur dari seberapa banyak persentase calon siswa yang mendaftar setiap tahunnya (walaupun besaran angka ini sebenarnya dipengaruhi oleh seberapa besar kapasitas sekolah dalam menampung mereka dalam rombonganrombongan belajar). Aspek persentase jumlah lulusan untuk setiap tahun juga kadang kala dijadikan pula sebagai baromater, seberapa bagus dan baik sebuah kepemimpinan yang telah dilaksanakan oleh pihak manajemen sekolah. Jika kita pahami secara mendalam, masalah keberhasilan seorang pemimpin dalam mengelola lembaga pendidikan tidak serta merta ditentukan oleh kepemimpinan seseorang belaka, namun ada unsur lain yang turut serta menentukan keberhasilannya yaitu; kualitas anggota/pengikut dan serta kondisi iklim kerja yang terjadi. Kualitas anggota atau pengikut memang secara langsung dapat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang pimpinan dalam mencapai tujuan. Sedangkan iklim kerja adalah merupakan faktor yang secara tidak langsung memengaruhi keberhasilan pimpinan dalam memanaj lembaga pendidikan . Masalah iklim kerja adalah merupakan suatu hal yang tercipta oleh karena adanya hubungan komunikasi yang terjadi antara pimpinan dengan anggota. Di sini pola, jenis atau model kepemimpinan seorang pemimpin menjadi faktor yang memengaruhi adanya jenis dan bentuk iklim yang ada dalam organisasi dimaksud. Secara ideal iklim yang kondusif adalah merupakan dambaan setiap pemimpin. Seperti apakah cara menciptakan iklim kerja yang kondusif ? Tulisan singkat ini mencoba menguraikannya.
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 139
IKLIM KERJA Ada beberapa ahli yang memberikan definisi tentang iklim kerja, dimana definisi iklim yang ada, sebenarnya mencerminkan cara pandang para ahli yang berbeda-beda, namun demikian secara substantif menggambarkan tentang suatu keadaan yang biasa terjadi dalam sebuah organisasi. Gambaran itu merepresentasikan tentang gerak dinamika seseorang di dalamnya, yang notabene merupakan implikasi dari sebuah bentuk dan model kepemimpinan yang sedang dan atau sudah berjalan. Iklim lembaga pendidikan secara tekstual tidak luput dan tidak lepas dari makna atau pengertian iklim secara umum. Iklim menurut Hoy dan Miskell (1982:165) merupakan kualitas dari lingkungan yang terus menerus dialami oleh para pendidik, memengaruhi tingkah laku dan berdasar pada persepsi kolektif tingkah laku mereka. Lebih lanjut Hoy dan Miskell (1982:153) menegaskan bahwa iklim lembaga pendidikan adalah produk akhir dari interaksi antar kelompok peserta didik di sekolah, guru-guru dan para pegawai tata usaha (administrator) yang bekerja untuk mencapai keseimbangan antara dimensi organisasi (sekolah) dengan dimensi individu. Statemen yang dikemukakan oleh Hoy dan Miskell di atas, menggambarkan bahwa iklim sebuah sekolah atau lembaga pendidikan pada hakekatnya merupakan karakteristik suatu lembaga itu sendiri, yang menggambarkan ciri-ciri kondisi secara psychispsikologis dari sebuah lembaga pendidikan tertentu, dimana kondisi dimaksud adalah kondisi yang membedakan antara suatu situasi dan kondisi satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan yang lain.. Selain itu kondisi yang digambarkan itu pada gilirannya akan membawa pengaruh terhadap munculnya tingkah laku individuindividu yang ada di dalam lembaga pendidikan. Setiap organisasi lembaga pendidikan dapat dikatakan memiliki cara sendiri dalam menjalankan kegiatannya. Dengan demikian setiap lembaga pendidikan juga akan memiliki atau mempunyai kondisi/iklim yang berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain. Iklim lembaga pendidikan jelas akan memengaruhi setiap individu atau person yang ada di dalam bekerja, iklim dapat bersifat menekan, netral, atau dapat pula bersifat mendukung, tergantung bagaimana mengaturnya, karena itu setiap lembaga pendidikan selalu mempunyai iklim kerja yang unik.
140
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Iklim kerja juga menggambarkan sistem sosial dari berbagai kelompok kerja. Dengan demikian, iklim organisasi merupakan sebuah konsep sistem. Menurut Harsey dan Blanchard (1982:7), menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa organisasi-organisasi tempat para manajer menjalankan tugasnya merupakan sistem sosial yang terdiri dari subsistem yang berkaitan. Subsistem tersebut terdiri dari subsistem manusia/sosial, subsistem administrasi/struktur, subsistem informasi/pengambilan keputusan, dan sub sistem ekonomi dan teknologi. Apabila iklim kerja berada dalam kondisi terbuka, maka akan memacu dan mendorong para pegawai untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan, hal seperti ini dapat ditangani dengan cara yang positif dan konstruktif. Iklim keterbukaan bagaimanapun bisa tercipta jika pegawai mempunyai tingkat keyakinan yang tinggi dan memercayai keadilan tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan pihak manajemen. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly (1992:702), iklim organisasi adalah serangkaian keadaan lingkungan yang dirasakan secara langsung atau tidak langsung oleh karyawan, diasumsikan merupakan kekuatan yang besar dalam memengaruhi karyawan. Dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat memengaruhi perilaku karyawan. Iklim kerja di lembaga pendidikan, bukan saja ditentukan oleh kemampuan-kemampuan pimpinan dalam menyediakan sarana-sarana pembelajaran dan sarana sekolah yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, namun juga ditentukan oleh model pendekatan pimpinan dalam melaksanakan kebijakan yang telah diambil dalam mengimplementasikan programprogram kerja lembaga. Selain hal ini, iklim kerja di lembaga pendidikan, juga bisa dilihat seberapa bagus komunikasi yang terjadi antara pemimpin dengan staf dan anggotanya, antara pimpinan dengan para guru dan antara pimpinan tiap level dengan para siswa. Mencermati beberapa pengertian di atas, maka dapat kita pahami bahwa iklim kerja di lembaga pendidikan adalah merupakan cerminan tentang penilaian dan atau persepsi warga sekolah yang berkaitan dengan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang pahami atas pelaksanaan suatu kegiatan/tugas akibat adanya struktur kerja kelembagaan, gaya kepemimpinan, manajemen, supervisi, serta faktor lingkungan sosial dan sistem komunikasi yang
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 141
tercermin dalam sikap, kepercayaan, nilai, cara kerja dan motivasi yang dimiliki dalam melaksanakan pekerjaan. Iklim lembaga pendidikan yang tercipta pada gilirannya juga akan membawa munculnya semangat dan antusiasme seluruh komponen dan unsur lembaga pendidikan, baik itu pimpinan, tenaga pendidik, pegawai serta para pejabat struktural dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan secara optimal dan sungguh-sungguh. Iklim ini pula terjadi bukan karena ditopang oleh banyaknya finansial yang diterimakan kepada pegawai dan atau karyawan semata, akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh sistem yang diterapkan oleh pimpinan dalam memanaj lembaga sekolah. TERJADINYA IKLIM KERJA Keterlibatan individu dalam sebuah organisasi sudah barang tentu dilandasi oleh adanya suatu harapan-harapan tertentu. Sikap para anggota terhadap organisasi antara lain ditentukan oleh tingkat aspirasi pegawai atau warga sekolah, sedangkan aspirasi itu perlu juga dipenuhi oleh pihak lembaga atau organisasi. Asumsi umum menyatakan bahwa tinggi rendahnya apresiasi individu terhadap organisasi itu dipengaruhi oleh apakah apa yang menjadi kebutuhan mereka dapat dipenuhi atau tidak. Dalam kaitan ini Abraham Maslow (1954:87) sebagaimana ditulis oleh Alo Liliweri (1997) menyatakan bahwa, kebutuhan manusia terhadap organisasi itu ditentukan oleh faktor (1) kebutuhan fisik, (2) keamanan dan kesejahteraan, (3) merasa dimiliki, (4) dihargai, (5) dilibatkan. Ide yang muncul dibalik skema Piramida Maslow didorong oleh adanya pengkajian, bahwa setiap hari manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis. Sehingga iklim kerja organisasi pada hakekatnya terjadi dan dibuat atas adanya hubungan antara pimpinan dengan anggota atau pegawai yang ada. Selanjutnya kondisi hubungan antara pegawai dengan pimpinan organisasi ini, mereka tidak ingin dianggap sebagai komoditi yang dapat diperjualbelikan. Oleh karenanya, para pegawai tidak menyukai dijadikan subjek tindakan-tindakan yang serampangan dan tidak terduga-duga yang dilakukan manajemen (Henry Simamora, 1997). Dengan demikian, jelaslah bahwa iklim kerja organisasi yang diharapkan oleh pegawai atau warga sekolah adalah iklim kerja yang
142
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
dapat memicu dan memacu timbulnya kepuasan kerja yang bersifat terbuka, demokratis dan penuh hubungan kekeluargaan serta manusiawi. Iklim dalam sebuah organisasi muncul diilhami oleh adanya interaksi yang nyata antara individu dengan individu, khususnya antara atasan/pimpinan dengan bawahan/anggota, yang sering kita sebut dengan“human rela ion”. Menurut Alo Liliweri (1997: 120) iklim yang baikakan membawa kepada situasi kerja yang kondusif antara lain; kepribadian karyawan yang responsibelitis, dan persepsi mereka yang positif terhadap prosedur organisasi. Pernyataan ini memberikan suatu indikasi bahwa iklim suatu lembaga pendidikan tidak lepas dari kondisi aseptabilitas diri anggota terhadap organisasi atau lembaga di mana ia bergabung, serta kualitas diri anggota itu sendiri. Ini artinya bawahan relatif akan menerima dengan baik dan merasa aman, manakala kondisi iklim lembaga itu sendiri memang tercipta dalam kondisi yang kondusif, demokratis. Dengan terciptanya iklim kerja yang baik dan kondusif, maka masalah pembagian tugas dan tanggung jawab akan dapat dilaksanakan secara merata kepada semua orang sesuai dengan kecakapan dan fungsinya masing-masing. Sebab dalam iklim yang baik tiap orang mengerti dan menyadari tugasnya dan tempatnya di dalam struktur organisasi itu. Dengan demikian dapat dihindari pula adanya tindakan yang sewenang-wenang atau otoriter dari kepala sekolah, dan sebaliknya dapat diciptakan adanya suasana yang demokratis di dalam menjalankan roda sekolah itu (Ngalim Purwanto, 1981:111-112). Menurut Badjoeri Widagdo (http:/www ut.ac.Id/01-SUPP/fisip/ adne 4334/w2 di.htm.) menyatakan bahwa, kepemimpinan hanya akan menemukan maknanya apabila ia (pemimpin) terkait dengan tujuan-tujuan yang bersifat kolektif, yang melibatkan sang pemimpin dan pengikutnya. Kenyataan sering menunjukkan bahwa, kepemimpinan banyak dilepaskan dari konteks organisasi dengan tujuan-tujuan kolektif yang bersifat umum. Kondisi terciptanya iklim organisasi yang baik dimaksud,tidak bisa terlepas dari kepemimpinan kepala sekolah, oleh karena sebagai kepala sekolah ia tergolong administrator yang tugasnya melaksanakan kebijaksanaan, peraturan dan ketentuan yang telah digariskan dan ditetapkan oleh instansi atau lembaga yang lebih tinggi (Supandi, 1985: 116).
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 143
Masalah iklim kerja initergambar pula dalam hubungan komunikasi yang dipakai oleh pimpinan lembaga dimaksud. Mekanisme hubungan formal ini memang secara formal baik untuk menegakkan ketertiban dan kedisiplinan anggota dalam bekerja, namun di satu sisi ada unsur kurang menghargai terhadap keberadaan manusia sebagai yang memiliki kepribadian utuh. Posisi kepemimpinan dengan iklim dan komunikasi sebagaimana digambarkan oleh Keith Davis & John W. Newstrom (Agus Dharma, 1985: 27). Filsafat dan Tujuan Sumber - Individu - Kelompok - Lembaga
Jenis - Psikologis - Sosial - ekonomi kepemimpinan
Organisasi Formal: - Kebijakan - Struktur - Prosedur
Organisasi Informal : - Pemimpin - Norma - Grapevin
Lingkungan : - Serikat Pekerja - Pemerintah - keluarga
-
Komunikasi Sistem Pengendalian
Sikap Pegawai
Situasi
Motivasi
Pencapaian Tujuan
Gambar 1. Relasi kepemimpinan, Iklim dan Motivasi kerja Usaha menciptakan iklim organisasi yang baik, humanis dan kondusif ini sangat diperlukan bagi jalannya sebuah lembaga pendidikan. Sebab dengan iklim organisasi yang baik ini
144
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
bagaimanapun akan dapat memacu semangat dan gairah kerja anggota dalam melaksanakan tugas kesehariannya. Selain itu perlu kiranya dimaklumi oleh setiap pimpinan lembaga (khususnya sekolah), bahwa pada dasarnya manusia itu suka bekerja dan mempunyai motivasi diri, manusia mampu menghayati dan dapat bekerja untuk meraih tujuan organisasi, mampu dan mau atau bersedia bertanggung jawab dan berdisiplin diri (Supandi, 1985 : 40). Iklim kerja yang terbuka, demokratis akan dapat memancing pegawai untuk bekerja secara baik sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dan akan merasa tenang untuk menyampaikan keluhannya jika menghadapi hambatan, tanpa rasa takut akan adanya perlakuan yang kurang baik. Di sini iklim keterbukaan akan tercipta bila mana karyawan memiliki keyakinan yang tinggi dan percaya pada keadilan keputusan dan tindakan manajerial yang di ambil oleh pimpinan (Henry Simamora, 1997: 87). Perihal kualitas pegawai dalam bekerja menurut T. Hani Handoko (1984: 69) terjadi didasari atas asumsi bahwa: 1. Unsur manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau kegagalan tujuan organisasi. 2. Pola-pola pengawasan dan manajemen pengawasan harus dibangun atas dasar pengertian positif yang menyeluruh mengenai karyawan dan reaksi mereka terhadap pekerjaan. 3. Organisasi harus menyediakan iklim yang mendatangkan kesempatan bagi karyawan untuk memuaskan seluruh kebutuhan mereka. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa iklim lembaga pendidikan yang dinamis dan baik, ditandai dengan adanya: (1) tersedianya saluran komunikasi informal, (2) kesempatan untuk melakukan promosi, (3) menyampaikan aspirasi atau pikiran, (4) pelaksanaan supervisi dan kontrol yang dilakukan oleh pimpinan, (5) komunikasi dengan pimpinan dan sesama dosen secara personal atau kelembagaan. Sedangkan efektifitas kerja guru ditandai dengan; (1) membuat rencana pembelajaran, (2) mengorganisir bahan pembelajaran, (3) merencanakan strategi pembelajaran (4) merencanakan dan memilih sarana pembelajaran, (5) merencanakan evaluasi pembelajaran, (5) mengorganisir evaluasi pembelajaran, (6) melakukan komunikasi dan kontrak pembelajaran.
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 145
KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KERJA Iklim kerja sebagaimana digambarkan di atas, memberikan sebuah ilustrasi bahwa iklim kerja dalam suatu lembaga pendidikan terjadi bukan berkaitan dengan aspek fisik finansial dan ketersediaan sarana dan prasarana saja, akan tetapi lebih berkaitan dan bersinggungan dengan kondisi apa yang dirasakan secara bathin oleh setiap person dalam lembaga pendidikan itu. Dengan demikian iklim yang dirasakan seseorang ada kaitannya dengan sikap perenungan, penilaian atas suatu kebijakan atau aturan yang diberlakukan di lembaga pendidikan dimaksud. Iklim di sebuah lembaga pendidikan ini dengan demikian ada kaitannya dengan bentuk dan pendekatan kepemimpinan yang sedang berjalan.Kepemimpinan yang sedang berjalan dalam sebuah lembaga pendidikan pada dasarnya adalah sebuah praktek dari ide gagasan dan pendekatan yang percaya tepat dan baik oleh pihak pimpinan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan lembaga. Lebih jauh Likert (Gibson, dkk., 1992), melihat dimensi iklim suatu organisasi dapat dilihat dan dianalisis dari desain struktur organisasi sebuah lembaga pendidikan yang digunakan. Ini artinya sebuah lembaga pendidikan yang didesain dengan menerapkan sebuah struktur organsasi tertentu pada gilirannya juga akan menghasilkan suatu kondisi iklim organisasi tertentu. Sebuah lembaga pendidikan yang dengan sebuah proses kepemimpinan dengan tidak memberi kebebasan pada bawahan, menggunakan ancaman, proses komunikasi mengalir secara bebas tanpa batas, pada gilirannya menghasilkan iklim yang kaku, tegang, dan cenderung berada dalam kondisi kurang mendukung semangat untuk bergairah. Gibson, dkk 1992, mengemukakan bahwa iklim organisasi dapat dideteksi menjadi 4 (empat), yaitu : 1. Autokratis yaitu proses kepemimpinan yang terjadi sama sekali tidak memberikan keyakinan dan kepercayaan pada bawahan, memotivasi dengan ancaman, sentralisasi dan sama sekali tidak mendorong partisipasi bawahan dan tidak merasa terikat untuk mengembangkan bawahannya. 2. Semi autokratis yaitu proses kepemimpinan yang hanya sedikit memberikan kepercayaan pada bawahan tetapi masih tetap memotivasi dengan ancaman, masih sentralisasi, sedikit mendorong partisipasi dan tidak terikat mengembangkan bawahannya.
146
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
3.
Konsulatif adalah proses kepemimpinan yang mulai memberikan kepercayaan pada bawahan, tidak sentralisasi, motivasi sudah tidak didasarkan pada ancaman dan mengikutsertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipatif yaitu kepemimpinan yang lebih kompleks dari tiga iklim terdahulu, pemimpin memberikan kepercayaan, bawahan merasa bebas membahas permasalahan pekerjaan, motivasi lewat metode partisipatif, interaksi secra terbuka, desentralisasi dan pimpinan memikirkan pengembangan bawahan.
4.
Iklim kerja sebuah lembaga pendidikan sebagaimana diilustrasikan di atas, nampak ada kaitannya dengan pola dan jenis kepemimpinan yang dilaksanakan oleh seorang pimpinan pada semua level. Dengan demikian seorang Pembantu Rektor atau Wakil Ketua sedikit banyak akan bisa merasakan, apakah dalam bekerja berada dalam situasi atau iklim yang nyaman dan menyenangkan atau tidak, hal ini bisa melihat dan merasakan bagaimana pola kepemimpinan rektor/ ketuanya. Begitu juga selanjutnya, para dosen juga akan dapat merasakan berada dalam iklim tertentu, bisa melihat dan merasakan bagaimana kepemimpinan yang dilakukan oleh para pembantu rektor, dekan, pembantu dekan dalam menggerakkan dosen dan pegawai dalam mencapai tujuan atau visi dan misi perguruan tinggi. Kepemimpinan menjadi sebuah pintu masuk dalam memaknai sebuah iklim pada sebuah lembaga pendidikan. Oleh karena dalam gerak dinamikanya terlihat dari kepemimpinan yang diterapkan. Hal ini berkaitan dengan hubungan antara atasan dengan bahwan/anggota, cara memerintah, mengarahkan, cara-cara memberi informasi dan bentuk-bentuk pendekatan yang dipakai dalam meminta dan menggerakkan anggota dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka. Jenis dan atau suasana iklim kerja sebuah lembaga pendidikan berada dalam garis yang sejajar serta linier dengan pola dan jenis kepemimpinan yang terjadi di dalam lembaga pendidikan itu, Ini artinya jika pimpinan lembaga pendidikan memberi kesempatan yang luas kepada pegawai dalam berkreasi, berinovasi dalam pencapaian visi dan misi lembaga dengan ditopang adanya infra struktur dan supra struktur yang memadai, maka akan mampu mendorong munculnya semangat dan gairah para pegawai dalam melaksanakan kegiatan secara enjoy dan penuh dengan dedikasi. Di sinilah iklim
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 147
kerja yang kondusif dan humanis tercipta berkat adanya pola kepemimpinan yang supportif- demoratis. Selanjutnya kepemimpinan yang otoriter pada sebuah lembaga pendidikan, akan memunculkan iklim kerja yang serba berada dalam suasana kaku, beku, dan tegang. Karena hal ini terasa dalam atmosfir keterpenjaraan dalam bayang-bayang pengawasan yang ketat, tiadanya kesempatan bagi pegawai untuk melaksanakan kegiatan secara tenang, damai dan penuh dengan kepercayaan antara pimpinan dengan pegawai. Iklim yang tercipta dalam pola kepemimpinan otoriter ini cenderung lama kelamaan akan merugikan lembaga pendidikan, karena bisa berimbas pada turunnya semangat dan motivasi dalam bekerja. Bahkan yang lebih fatal bisa membawa pola kinerja yang tidak bertanggung jawab dan kurang mempunyai rasa memiliki terhadap lembaga di mana dirinya bekerja. YANG MEMENGARUHI IKLIM ORGANISASI Iklim di sebuah organisasi secara umum maupun di lembaga pendidikan khususnya, terjadi oleh karena adanya penerapan pola atau gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pimpinan dimaksud. Kepemimpinan sebagaimana kita pahami adalah merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memengaruhi orang lain, agar orang lain itu mau melakukan atau mengerjakan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan oleh yang memengaruhi sehingga tujuan dan harapannya bisa terwujud atau tercapai. Dalam operasionalisasinya, masalah kepemimpinan ini berkaitan dengan komunikasi, pengambilan kebijakan dan pengelolaan konflik. Komunikasi adalah alat yang dipakai oleh pemimpin dalam rangka mengajak atau memengaruhi anggota, dengan maksud setelah anggota memahami atas penjelasan atau keterangan yang diberikan oleh pemimpin, pada akhirnya mereka akan mau melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Di sinilah cara yang dipakai oleh pimpinan lembaga pendidikan dalam berkomunikasi dengan anggota, akan menciptakan suatu iklim tertentu di dalam lembaga dimaksud. Jenis komunikasi dalam bentuk top down dengan pendekatan formal birokratik cenderung akan mengarah pada terciptanya iklim yang kurang dan atau tidak kondusif, oleh karena bentuk ini ada kecenderungan pimpinan memaksakan keinginan dan kehendak dengan tanpa melihat apa dan
148
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
bagaimana kepentingan anggota atau apa yang menjadi kebutuhan mereka. Pola komunikasi dalam kepemimpinan yang bersifat formal birokratik (yang menekankan pada tugas), ada kecenderungan mendikte kepada anggota yang ada di bawah kepemimpinannya tentang apa yang harus dikerjakan. Inisiatif dan daya pikir anggota sangat dibatasi, sehingga tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat mereka. Dalam hal ini kepala sekolah bebas membuat peraturan sendiri dan peraturan tersebut harus ditaati dan diikuti oleh anggota, akhirnya tindakan yang beginilah yang tidak bisa menciptakan kegembiraan kerja dari suatu kelompok, sebab bawahan merasa dipermainkan dan tidak adanya harga diri (Hendiyat Sutopo dan Wasty Sumanto, 1984:4). Sebaliknya bentuk komunikasi yang diterapkan oleh pimpinan lembaga pendidikan dengan model informal fungsional humanistik, yaitu suatu komunikasi dengan lebih menekankan munculnya kesadaran pada diri anggota tentang arti pentingnya melaksanakan tugas secara ikhlas, dan konsep penghargaan anggota sebagai pribadi yang utuh, jauh dari menekan, memaksa dan mengintimidasi, pada gilirannya dapat menciptakan iklim kerja di suatu lembaga pendidikan yang kondusif, damai dan penuh dengan kesepahaman dalam menggerakkan organisasi ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Selain komunikasi, cara yang dipakai oleh pimpinan lembaga pendidikan dalam pengambilan keputusan juga menjadi salah satu variabel yang turut serta akan mencitrakan jenis iklim kerja yang dirasakan dan dipersepsi oleh anggota. Jenis pengambilan keputusan yang tanpa memberi peluang atau kesempatan kepada anggota untuk menyampaikan gagasan atau ide dan pendapat, adalah di antara indikasi yang memicu adanya iklim kerja yang kaku, otoriter dan sepihak. Pola pendekatan seperti ini disinggung oleh Higgins (1994:447): bahwa tindakan yang diambil pemimpin dalam pengambilan keputusan akan memengaruhi aturan-aturan, kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur organisasi yang berhubungan dengan masalah personalia, distribusi imbalan, dan gaya komunikasi. Agar tercipta iklim kerja yang nyaman, tenang, dan penuh dengan antusiasme pegawai dan dosen dalam melaksanakan tugas secara baik yang dilandasi sikap responsible dan akuntable, maka sebaiknya pimpinan dalam mengambil kebijakan perlu menciptakan
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 149
pola yang memungkinkan disenangi dan disukai olah anggota. Tindakan-tindakan yang dapat dijadikan petunjuk agar bawahan atau personil menyukai dan menyegani atasannya ialah : 1. Harus bersikap adil. 2. Mereka perlu disalami dengan segera ketika bertemu. 3. Mereka perlu diberi perhatian. 4. Atasan lebih banyak mendengar dari pada berbicara. 5. Atasan sebaiknya memakai kata meminta bukan memerintah. 6. Nama-nama para bawahan perlu diingat dan disebutkan bila berhubungan dengan mereka. (Harsey dalam Made Pidarta, 1988: 138). Kepemimpinan sebagaimana disinggung di atas, dalam praktiknya ternyata melibatkan anggota pula. Bahkan, bisa dikatakan di sini bahwa praktik kepemimpinan tidak mungkin meninggalkan adanya anggota atau para pengikut sebagai pihak yang dipengaruhi. Dalam konteks terjadinya iklim di sebuah lembaga pendidikan, pola hubungan antara pemimpin dengan anggota ini juga turut serta menjadi pewarna dan pembentuk iklim yang ada. Selain itu tingkat kematangan anggota secara emosional dan psychis juga turut menjadi penentu kondisi iklim yang terjadi. Dengan demikian, iklim kerja dalam sebuah lembaga pendidikan dapat ditentukan oleh kualitas dan kondisi sang pemimpin, dan kematangan anggota. Dimensi iklim sebuah lembaga pendidikan dikembangkan atas dasar dimensi umum yang dikemukakan oleh Moos dan Arter dalam Hadiyanto (2004:119), yaitu dimensi hubungan, dimensi pertumbuhan atau perkembangan pribadi, dimensi perubahan dan perbaikan sistem, dan dimensi lingkungan fisik. JENIS IKLIM KERJA LEMBAGA PENDIDIKAN Kita sadari bahwa kondisi iklim suatu sekolah atau lembaga pendidikan di suatu tempat dengan di tempat yang lain tidaklah sama atau berbeda-beda. Perbedaan kondisi iklim kerja di lembaga pendidikan ini, sudah barang tentu banyak sekali faktor yang menentukan atau mengondisikannya. Artinya iklim kerja sebuah lembaga pendidikan bukan karena kondisi fisik semata, misalnya berkaitan dengan ketersediaan sarana dan prasarana kerja yang dibutuhkan, kemutakhiran sistem teknologi informasi, akan tetapi iklim kerja ini lebih berkaitan dengan kondisi psikis yaitu menyangkut perasaan,
150
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
penilaian dan atau pernyataan puas atau tidak puas atas hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan, kepemimpinan, keputusan yang telah ada atau dilakukan oleh pimpinan sekolah atau lembaga pendidikan. Halpin dan Don B. Croft dalam Burhanuddin (1990: 272), mengemukakan bahwa iklim-iklim organisasi pendidikan itu dapat digolongkan sebagai berikut : 1)
Iklim Terbuka Yaitu suasana yang melukiskan organisasi pendidikan yang penuh dengan semangat daya hidup dan kreasi, yang mampu memberikan kepuasan kepada anggota kelompok atau para pegawai dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Iklim terbuka ini ditandai dengan adanya tindakan-tindakan atau kebijakan pimpinan sekolah yang lancar dan serasi antara apa yang diharapkan dengan pelaksanaannya. Para anggota atau pegawai sekolah dapat dengan mudah memperoleh kepuasan kerja karena dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik (karena adanya kejelasan tugas, ketersediaan sarana kerja , kesempatan berkreasi), sementara itu apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan pribadi terpenuhi juga terpenuhi (tenang, aman, nyaman, berserikat dan bisa berekspresi). Kondisi ciri-ciri iklim lembaga pendidikan yang demikian ini adalah munculnya kewajaran tingkah laku semua orang dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, jauh dari kepura-puraan atau kerja secara asal-asalan atau asal atasan senang. 2)
Iklim Bebas Keadaan iklim bebas suatu lembaga pendidikan ditandai dengan adanya tindakan kepemimpinan yang muncul dari kelompok. Artinya ide atau inisiatif tentang suatu hal yang perlu dilakukan untuk gerak langkah sebuah lembaga pendidikan ini justru berawal dari adanya keinginan dan gagasan yang dilontarkan atau disampaikan oleh anggota atau pegawai, dan dalam pelaksanaannya mereka para anggota atau pegawai dapat melaksanakannya dengan sesuai dengan apa yang dikehendaki atau apa yang diinginkan. Dalam hal ini pihak pemimpin lembaga pendidikan sedikit sekali dan bahkan nyaris tidak melakukan pengawasan atas semua pelaksanaan kegiatan dimaksud. Di sini nampak bahwa semangat kerja yang muncul pada diri anggota atau pegawai lebih banyak disebabkan adanya keinginan untuk memenuhi kepuasan pribadi, serta tidak memikirkan bagaimana
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 151
nilai kontribusi atau kemanfaatannya terhadap lembaga pendidikan. Akibat dari keadaan yang demikian ini para pegawai atau anggota hanya mendapatkan nilai kepuasan kerja yang amat sedikit, oleh karena tidak ada sebuah target atau tujuan yang jelas dan berkontribusi besar bagi keberlangsungan lembaga pendidikan di mana dirinya bekerja. Kondisi iklim kerja pada sekolah yang demikian ini satu sisi memberi kepuasan kepada para pegawai atau anggota untuk berbuat secara leluasa, bebas, jauh dari adanya perasaan diintimidasi, diawasi dan atau terbebas untuk memikirkan apakah yang dikerjakan memiliki nilai kemanfaatan secara umum atau tidak. Keadaan yang demikian adalah hal yang baik, akan tetapi di sisi lain membawa kerugian yang amat besar bagi lembaga pendidikan, karena target, tujuan atau visi dan misi yang diamanatkan kepada pimpinan tidak dapat dicapai, oleh karena tiadanya peran sang pemimpin dalam menggerakkan dan mengarahkan para anggota untuk beraktivitas. 3)
Iklim Terkontrol Model iklim terkontrol ini adalah model klasik atau tradisional, dimana dalam dinamikanya pihak lembaga sangat mementingkan tugas atau ketercapaian tujuan/visi dan misi secara jelas melalui bentuk pengawasan anggota atau pegawai secara ketat dan tegas. Sementara itu kebutuhan anggota organisasi atau lembaga pendidikan tidak diperhatikan. Pada model ini satu sisi bisa memunculkan semangat kerja kelompok yang amat tinggi, namun di sisi lain terdapat nuansa/cerminan adanya pengorbanan (peniadaan) pemenuhan kebutuhan pribadi anggota atau pegawai. Iklim terkontrol ini linier dengan suatu kondisi dimana pimpinan menganggap bahwa pegawai/anggota lembaga pendidikan adalah sebagai pekerja belaka, yang harus melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan dengan target pencapaian hasil sebagaimana yang sudah digariskan, dan tidak boleh kurang. Implikasi dari kondisi yang demikian ini adalah munculnya suasana kerja yang terasa dalam sebuah pengawasan yang ketat, dan panas, sehingga yang muncul adalah adanya ketidakwajaran tingkah laku pegawai sekolah. Kondisi ini dipincu adanya harapan yang amat terlalu besar oleh seorang pimpinan lembaga dalam mewujudkan harapan atau tujuannya.
152
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
4)
Iklim yang Familier Model iklim lembaga pendidikan familier ini adalah iklim lembaga pendidikan yang lebih mementingkan dan mempertimbangkan kepentingan personil atau pegawai (sangat bersifat manusiawi) namun telah melampaui batas kewajaran sehingga ada dalam kondisi lepas kontrol. Para anggota hanya berlomba-lomba untuk memenuhi tuntutan pribadi mereka, namun sangat sedikit perhatian pada penyelesaian tugas dan kontrol sosial yang ada kurang diperhatikan. Iklim ini mendekati kesamaan dengan iklim bebas, hanya saja dalam iklim bebas pimpinan lembaga pendidikan masih memiliki kepedulian memikirkan ketercapaian tujuan, walaupun apa yang akan dicapai lebih banyak ditentukan oleh ide dan kemauan bawahan. Dalam kondisi iklim bebas ini pegawai atau personil memiliki semangat kerja kelompok yang tidak begitu tinggi, karena tidak adanya target atau sasaran yang sebagaimana apa yang diharapkan oleh pimpinan. Iklim lembaga yang bersifat familier ini pimpinan bisa diajak kompromi dan menerima saja usul anggota, walaupun dirasa apa yang diusulkan anggota itu sedikit menyimpang dari prosedur atau harapan semula. Dalam iklim familier ini, para personil memang mendapatkan kepuasan yang sedikit dalam penyelesaian tugas-tugas. 5)
Iklim Keayahan Lembaga pendidikan yang berada dalam iklim keayahan ini bercirikan adanya penekanan bagi munculnya kegiatan kepemimpinan dari anggota sekolah/lembaga pendidikan. Dalam iklim ini, kecenderungan yang ada adalah kepala sekolah atau pimpinan lembaga sangat berusaha menekankan pentingnya anggota/personil melaksanakan apa yang telah disampaikan secara rinci dan tegas. Pelaksanaan tugas yang diberikan oleh pimpinan ini harus dilaksanakan apa adanya, inisiatif yang muncul dari orang-orang yang dipimpinnya tidak perlu diperhatikan apa lagi dihargai. Dalam kondisi ini, walaupun para personil/anggota itu jelas memiliki sejumlah kecakapan-kecakapan yang secara signifikan dapat mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, pimpinan tidak perlu memanfatkannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa iklim kerja kebapakan atau keayahan ini lebih menekankan arti pentingnya ketaatan anggota lembaga pendidikan terhadap apa yang telah disarankan atau diarahkan.
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 153
CARA MENCIPTAKAN IKLIM KERJA YANG KONDUSIF Iklim sebuah lembaga pendidikan itu tidak muncul dan terjadi dengan sendirinya, akan tetapi Ia perlu diciptakan dan dibina agar dapat bertahan lama (terutama adalah iklim kerja yang dapat mendukung ketercapaian visi dan misi lembaga pendidikan). Memang pada saat seorang pimpinan pendidikan itu telah dan sedang melaksanakan kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan yang dipimpinnya, dapat dipastikan dia akan melakukan komunikasi, pengambilan kebijakan dan bahkan melakukan pengelolaan konflik. Jenis dan cara yang dipakai oleh pimpinan lembaga pendidikan dalam menyelesaikan konflik, dalam pengambilan keputusan serta caranya didalam melaksanakan berkomunikasi inilah yang pada gilirannya akan mendorong terbentuknya sebuah iklim kerja sekolah pada jenis tertentu. Bagi seorang pimpinan lembaga pendidikan yang memiliki wawasan yang luas tentang manajemen lembaga pendidikan secara komprehensif serta pemahaman dari segi aspek psikologi pekerja, dia akan menyadari arti pentingnya menciptakan iklim kerja yang baik yang mengarah pada kelancaran dan keberhasilan pencapaian tujuan/visi misi lembaga pendidikan yang diiringi kesadaran arti pentingnya bertumpu pada pemberdayaan kemampuan dan potensi anggota atau pegawai. Dengan demikian, iklim kerja yang baik itu harus direncanakan dan diciptakan, bukan dibiarkan terjadi dengan sendirinya atas kepemimpinan yang dilaksanakan. Untuk menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang sehat dan produktif menurut Made Pidarta (1988: 178) perlunya dilakukan dan diupayakan untuk : a. Saling memberi informasi, ide, persepsi, dan wawasan. b. Kerja sama dalam kelompok mereka. Kerja sama itu dapat saling memberi dan menerima tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas mereka sebagai pendidik. c. Membuat para personalia pendidikan khususnya para pengajar sebagai masyarakat paguyuban di lembaga pendidikan. a. Mengusahakan agar fungsi kepemimpinan dapat dilakukan secara bergantian, sehingga tiap orang mendapat kesempatan mengalami sebagai pemimpin untuk menunjukkan kemampuannya. e. Menciptakan jaringan komunikasi yang memajukan ketergantungan para anggota satu dengan yang lain.
154
f.
g. h.
i. j.
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Perlu diciptakan situasi-situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan yang membuat para anggota tertarik pada kegiatankegiatan pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Usahakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menyerupai hidup dalam keluarga dan hilangkan situasi tegang. Kalau ada permasalahan, berilah kesempatan orang atau kelompok yang paling bertalian dengan masalah itu menyelesaikan terlebih dahulu. Kalau mereka tidak bisa mengatasi baru dipecahkan bersama-sama. Para pegawai yang baru, diberi penjelasan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan masalah. Wujudkan tindakan dalam setiap kegiatan yang menggambarkan bahwa lembaga pendidikan adalah milik setiap warga paguyuban.
Iklim sekolah yang kondusif-akademis baik fisik maupun nonfisik merupakan landasan bagi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan produktif. Oleh karena itu, sekolah perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk menumbuhkembangkan semangat dan merangsang nafsu belajar peserta didik. Dengan iklim yang kondusif diharapkan tercipta suasana yang aman, nyaman, tertib, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan. Iklim yang kondusif menurut E. Mulyasa (2004: 23) mencakup : 1) Lingkungan yang aman, nyaman, dan tertib 2) Ditunjang oleh optimisme dan harapan warga sekolah 3) Kesehatan sekolah 4) Kegiatan-kegiatan yang berpusat pada perkembangan peserta didik Seperti halnya iklim fisik, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan juga akan membangkitkan kinerja para tenaga kependidikan (H. E Mulyasa, 2004:120). Untuk itu, semua pihak sekolah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan menyenangkan. Untuk menciptakan lingkungan kerja ada 4 (empat) macam pendekatan. a.
Pendekatan Psikologi Dari sudut pandang psikologi masalah kepuasan adalah adalah hal yang berkaitan dengan aspek kejiwaan; yaitu perasaan senang,
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 155
bahagia, suka cita, yang pada gilirannya hal ini akan memunculkan respon dan ekspresi berupa sikap atau tingkah laku dalam bekerja yang positif, yaitu bersemangat, antusiasme, rajin, penuh dedikasi dan sungguh-sungguh. Gerungan (1991:195) menyatakan lingkungan kerja (khususnya pada perusahaan modern) akan membawa pengaruh terhadap diri pegawai/karyawan berupa cara kerja yang tersusun, kebersihan dan ketelitian, yang pada gilirannya membawa dampak pula dalam bekerja secara cermat, tepat, cepat dan teratur. Sedangkan bekerja pada lingkungan perusahaan tradisional atau di pedesaan akan memunculkan cara kerja dalam situasi yang harmonis, realistis, tidak tergesa-gesa dan bersifat kekeluargaan. Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang bagaimanapun pada prinsipnya akan mampu membawa dampak terhadap tingkat kinerja para karyawan. Artinya, di sini lingkungan kerja akan membawa pada puas dan tidaknya seseorang dalam bekerja, dan hal tidak sematamata terkait langsung dengan besarnya gaji yang diterima, atau ragam dan jelasnya jenis pekerjaan yang harus dilakukan, akan tetapi dipengaruhi pula oleh lingkungan kerja yang tercipta di dalam perusahaan tersebut. Lingkungan kerja di sinipun tidak serta merta terkait dengan lengkap dan modernnya peralatan kerja yang dipakai, akan tetapi adalah sikap komunikasi antara pimpinan perusahaan dengan para karyawannya, antara karyawan satu dengan karyawan lain, serta sikap penerimaan dan sikap mempercayai terhadap karyawan atau sesama (bahwa mereka mampu bekerja dengan baik dan maksimal) yang dapat memunculkan perasaan kepuasan seseorang dalam bekerja. Panji Anoraga (1995:241) menyatakan bahwa apabila perusahaan tidak dapat melaksanakan komunikasi yang baik, maka semua rencana instruksi-instruksi, petunjuk-petunjuk, sasaran-sasaran dan motivasi-motivasi dan sebagainya, hanya akan tinggal di atas kertas. Bahkan Panji Anoraga menegaskan bahwa komunikasi yang tidak lancar dapat menimbulkan dampak buruk, antara lain : 1. Timbulnya sentimen-sentimen 2. Timbulnya prasangka-prasangka dan ketegangan-ketegangan di kalangan para anggota 3. Juga dapat menimbulkan konflik-konflik diantara bermacammacam tingkatan dalam organisasi (1995 : 242).
156
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Dampak-dampak buruk tersebut di atas, jika terjadi dalam suatu lembaga pendidikan baik yang ada di kita besar, sedang atau kota kecil, dan hal pada gilirannya memunculkan perasaan ketidak puasan karyawan dalam bekerja. Jika kondisi ini terjadi, maka jelas akan membawa pengaruh terhadap maju-mundurnya, atau laju perkembangan perusahaan tersebut. b.
Pendekatan Fisik Pendekatan ini memandang bahwa, kinerja seorang pegawai dalam bekerja dapat dilihat dari aspek fisik (baik yang bersifat tingkah laku dalam bekerja atau berkaitan dengan simbol aktivitas dalam kehidupan sehari-hari). Bentuk aktual kinerja seseorang yang bagus ada pada sifat tingkah lakunya dalam bekerja, hal ini ditandai antara lain dengan munculya semangat, antusiasme dan sungguhsungguh dalam bekerja. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar berbagai jenis kebutuhan fisik, misalnya; makan, minum, hiburan, kendaraan dan papan (Bhs. Jawa) dapat terpenuhi secara wajar. Orang yang mengerjakan tugas atau bekerja dengan sungguhsungguh, bersemangat dan giat, hal ini dilakukan bukan tanpa adanya suatu alasan atau tujuan tertentu. Mereka melakukannya dengan harapan dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai pribadi atau sebagai kepala rumah tangga (untuk memenuhi kebutuhan primer atau sekunder). Atas dasar inilah seseorang menjadi senang bekerja dan mau melakukan tugas pekerjaan yang telah diberikan dan dipercayakan kepadanya dengan baik. Dengan melaksanakan tugas/ pekerjaan ini, dia sadar bahwa apa yang dia lakukan akan mendapat imbalan yang sebanding dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Jika pada gilirannya ia mampu bekerja dengan baik, sempurna dan tepat waktu, lalu mendapatkan imbalan yang sepadan, kemudian ia mampu memenuhi kebutuhan keluarga, senang dan puaslah dirinya dalam bekerja. Seseorang yang menyenangi pekerjaannya akan tampak giat, lebih kuat, dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan fisik, seperti untuk membeli pakaian, makanan, rumah dan sebagainya (Husaini Usman, 1997:3). c.
Pendekatan Nilai Manusia adalah makhluk sosial secara naluri atau sunnatullah membutuhkan adanya orang lain –bukan saja sebagai teman dalam bekerja—akan tetapi juga sebagai tempat untuk menyampaikan
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 157
gagasan, pikiran, ide atau cita-cita. Pendekatan nilai ini memandang bahwa individu yang sedang bekerja, yang dicari dan dikejar bukan sebatas uang atau finansial semata, akan tetapi ada aspek lain yang bersifat nonmaterial yang juga ingin diraihnya. Lembaga pendidikan sebagai tempat individu berkumpul untuk bekerja, disadari atau tidak juga berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi diri sendiri untuk mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan di mana dia berada. Seseorang mulai mengerti bahwa di dalam kelompok (perusahaan dan sejenisnya) terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma sosial yang hendaknya dipatuhui dengan rela guna dapat melanjutkan hubungannya dengan kelompok tersebut secara lancar (Gerungan, 1991:25). Dalam kebersamaan bekerja di suatu tempat inilah, seorang karyawan akan merasa puas jika dirinya dapat pula memperoleh kesempatan untuk bisa melakukan komunikasi secara baik dengan berbagai person yang ada di dalam, baik itu dengan pimpinan/ manajemen, sesama karyawan atau dengan staf lainnya. Dengan demikian, seseorang akan memanfaatkan waktu dalam meraih prestasi kerja yang maksimal, dengan mengisi waktu luangnya secara positif, menambah pengetahuan, dan memanfaatkan ilmunya serta mampu beribadah sesuai dengan agama & keyakinannya (Husaini Usman, 1997:3). Dilihat dari sudut pendekatan nilai ini, maka dapat dikatakan bahwa kinerja pegawai akan dapat diraih, jika pihak pimpinan atau manajemen memiliki anggapan dan penilaian yang positif terhadap diri pribadi pegawai Dengan demikian, posisi pegawai bukan dianggap sebagai pekerja saja, akan tetapi juga dianggap sebagai sumber pengetahuan dan sumber pemenuhan kebutuhan spiritual atau psikis. d.
Pendekatan Manajemen Dari sudut manajemen memandang bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan individu yang tergabung dalam perusahaan. Pegawai akan merasakan suatu kepuasan dalam bekerja, jika dirinya tidak dianggap sebagai pekerja belaka, yang harus melaksanakan tugas pekerjaan secara disiplin ketat tanpa mempertimbangkan aspek-aspek insani pada dirinya. Di sinilah cara pandang dan anggapan pihak manajemen terhadap pegawai sangatlah memengaruhi semangat dan kinerja pegawai di dalam bekerja. Jika
158
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
para pegawai mampu menunjukkan kinerja yang baik, maka pihak manajemen pun juga mampu merasakan kepuasan pula, jika dia mampu menjadikan para pegawi itu berkompeten atau terampil dalam melaksanakan tugas pekerjaannya secara baik dan sungguh-sungguh. Kualitas kinerja pegawai juga akan dapat diraih, manakala ia mampu melaksanakan tugas pekerjaannya dengan lancar tanpa hambatan, dan maksimal dalam penyelesaiannya. Jika pegawai mampu melaksanakan tugas pekerjaannya dengan lancar, baik tanpa hambatan, pada gilirannya ia akan mendapatkan balasan, gaji, atau penghasilan secara lancar dan penuh. Bahkan ia mampu terhindar dari perasaan dimutasi, diskorsing atau kemungkinan di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dilihat secara sosial dapat dikatakan bahwa, pada dasarnya manusia itu suka bekerja dan mempunyai motivasi diri, manusia mampu menghayati dan dapat bekerja untuk meraih tujuan organisasi, mampu dan mau atau bersedia bertanggungjawab dan berdisiplin diri. (Supandi, 1985 : 40). Akar utama dalam hal ini adalah bagaimana seorang pemimpin bisa memahami bahwa semua pengikut atau anggota pada dasarnya mempunyai modalitas untuk berbuat yang baik (karena mereka juga khawatir akan kehilangan pekerjaan). Dengan demikian, unsur penghargaan dan atau penilaian terhadap diri manusia sebagai pekerja belaka (sebagaimana cara kerja mesin), adalah kurang tepat jika hal ini diterapkan dalam suatu perusahaan, oleh karena apapun jenis perusahaan itu tetap akan melibatkan unsur manusia. Secanggih dan selengkap apapun peralatan yang dipakai oleh sebuah perusahaan, tetaplah manusia sebagai operator atau programernya SIMPULAN Kegiatan seorang manajer atau pimpinan lembaga pendidikan dalam realitasnya adalah merupakan sebuah implementasi dari sebuah teori kepemimpinan. Sementara itu, jenis kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga pendidikan sangatlah dipengaruhi oleh penilaian diri seorang pemimpin terhadap para anggotanya. Ini artinya cara pandang pimpinan terhadap anggota atau pegawai akan memunculkan jenis praktik dari bentuk gaya kepemimpinan tertentu. Praktik kepemimpinan dalam sebuah lembaga pendidikan secara umum sudah barang tentu berkaitan
Meningkatkan Mutu Peran Pimpinan … 159
dengan komunikasi yang dibangun atau dilakukan antara pimpinan sebagai top leader dengan anggota/pegawai sebagai follower. Sementara itu, jenis komunikasi yang bagaimanapun perlu dipahami akan menciptakan sebuah iklim kerja yang terbangun di dalam lembaga pendidikan dimaksud. Dengan demikian, iklim kerja itu tercipta bukan semata-mata bersifat alami, namun demikian terbentuk karena pola pendekatan pimpinan dalam meminta dan mendorong para anggota dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. DAFTAR PUSTAKA Anoraga, Panji. 1995. Perilaku keorganisasian. Jakarta: Pustaka Jaya. Burhanuddin. 1990. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Dharma, Agus. 1991. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta: Rajawali pers. Gerungan, W.A. 1991. Psikologi Sosial, Bandung: T Eresco. Gibson, James L., John M. Ivancenvich, James H. Donely, JR. 1973. Organizations: Structure, Processes, Behavior. Dallas: Business Publications. Inc. Handoko, Hani. 1984. Manajemen. Edisi 2.Yogyakarta: BPFE UGM. Harsey dan Blanchard. 1982. Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resources. Sixth Edition. London: Prentice-Hall International. Hoy, Wayne K., Cecil G. Miskel. 1982. Educational Administration: Theory, Research, and Practice. Singapore: McGraw-Hill. Liliweri, Alo. 1997. Sosiologi Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mulyasa, E. 2004. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pidarta, Made. 1988. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: BinaAksara. Purwanto, Ngalim. 1981. Ilmu pendidikan: Teoritis dan praktis. Bandung: Remadja Karya. Simamora, Henry. 1997. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: STIE.
160
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Supandi. 1985. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Modul 4- 6. Jakarta: Depdiknas. Sutopo, Hendiyat & Wasty Sumanto. 1984. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Usman, Husaini. 1997. Kepuasan Kerja. Makalah Seminar. 6 September.
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN DI PERGURUAN TINGGI (KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK) Sopiah*
Abstract: Learning at the College is essentially to develop three concepts of teaching. The first is that the task of teaching is defined as delivering authoritative material or demonstrating procedures, which can be explicit or implicit otherwise. It usually uses traditional teaching methods. The Second is that the task of teaching is to organize the students’ activities. In this view, teaching is a process that involves the articulated techniques designed to ensure that the students learn. The used method should be psychologically motivate students so that they are ready to learn like giving reward and funishment, discussion and seminar classes. The third is that teaching is to make students learn. Teaching and learning are like two sides of a coin which are inseparable. To teach, study the students and the materials are related to each other by a system. To teach is understood as a process of cooperation with the students to help transform their understanding. In other words, to teach is to help students learn. To maximize the learning to become more meaningful, contextual teaching and learning can be an alternative for learning at the college. Kata kunci: pembelajaran di Perguruan Tinggi, contextual teaching and learning
PENDAHULUAN Pembelajaran di perguruan tinggi merupakan ujung tombak dari keberhasilan pendidikan di perguruan tinggi, karena pembelajaran dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi, pendidikan yang baik salah satunya didukung secara pasti karena keberadaan pembelajaran yang baik. Pembelajaran di perguruan tinggi memiliki aspek terpenting saling keterdukungan antara dosen dan mahasiswa sebagai subjek pembelajaran-pendidikan, alat dan *.
Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, e-mail:
[email protected]
162
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
media pembelajaran, pendekatan dan metode pembelajaran serta sumber belajar. Untuk itu, meskipun semua pendekatan dan metode punya kelebihan kekurangan masing-masing, tapi harus disadari para dosen bahwa pemilihan pendekatan, metode dan strategi pembelajaran harus didasari oleh kebutuhan para mahasiswa, kesesuaian dengan materi, kesesuaian dengan tujuan atau kompetensi yang diinginkan serta kesesuaian dengan kondisi kelas. Proses belajar mengajar baik di tingkat dasar, menengah maupun di perguruan tinggi pada umumnya ada yang berlangsung satu arah, ada yang berlangsung dua arah dan ada yang multi-arah. Proses pembelajaran yang mana dan yang seperti apa yang dilakukan oleh seorang guru atau dosen tentu banyak dipengaruhi oleh paradigma berpikir dari guru dan dosen, selain faktor lain yang tentu saja tidak signifikan. Proses belajar yang berlangsung satu arah dikenal sebagai proses belajar mengajar yang konvensional. Dalam proses belajar jenis ini lajim di gunakan DDCH bagi siswa yaitu Duduk, Diam, Catat dan Hapal. Proses belajarnya lebih berparadigma teacher center, di mana guru dan dosen lebih aktif dan menjadi ”penguasa” di kelas. Selanjutnya proses belajar yang agak lebih maju yang banyak melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Proses yang terakhir disebut, yaitu proses yang ”menjadikan” mahasiswa belajar dianggap sebagai proses belajar yang menerapkan paradigma baru dalam pendidikan dan pengajaran. Menurut Suryadi dalam buku Hisyam Zaini Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (2002:97-98), proses belajar satu arah umumnya merupakan proses transfer pengetahuan, informasi, norma dan nilai dari seorang guru kepada muridnya atau dari seorang dosen kepada mahasiswanya. Proses ini dibangun atas dasar anggapan bahwa peserta didik ibarat bejana kosong atau kertas putih yang harus diisi oleh guru atau dosen. Sistem pembelajaran seperti ini dikenal dengan sebutan bank system. Proses ini dibangun atas beberapa asumsi: guru pintar, serba tahu, sementara murid bodoh, serba tidak tahu; guru mengajar, murid diajar; guru bertanya, murid menjawab; guru memerintah, murid melakukan perintah. Sebaliknya pembelajaran yang multi-arah memiliki paradigma dan kesadaran yang lebih humanis bahwa pendidikan dan pengajaran akan lebih berhasil bila siswa atau mahasiswa terlibat penuh dalam pembelajaran, karena para siswa, santri dan mahasiswa dianggap manusia yang memiliki pengalaman, pengetahuan, perasaan, keyakinan, cita-cita, kesenangan
Contextual Teaching and Learning … 163
dan ketrampilan yang harus dihargai dan dimanfaatkan dalam sebuah proses pembelajaran. Untuk semua itu maka perlu pendekatan, metode dan strategi yang memungkinkan interaksi siswa atau mahasiswa lebih multi arah atau interaktif. Dalam kaitan ini maka maka strategi DDCH (Duduk, Diam, Catat dan Hapal) sudah kurang tepat dilaksanakan dalam pembelajaran baik ditingkat dasar, menengah apalagi pembelajaran di tingkat tinggi, karena jauh dari kondisi interaksi siswa atau mahasiswa yang multi-arah. Pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran sebagai salah satu komponen pembelajaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan pembelajaran. Dalam satu pembelajaran sebagai suatu sistem adanya kerja sama antar komponen pembelajaran sangat penting, sehingga pemilihan pendekatan, metode dan strategi pembelajaran harus berdasarkan kriteria yang seharusnya seperti kesesuaian dengan materi, kesesuaian dengan kebutuhan, kesesuaian dengan tujuan atau kompetensi pembelajaran dan kriteria lainnya yang menjadikan pilihan guru jatuh pada pendekatan, metode, dan strategi tertentu. Banyak pendekatan mengajar di perguruan tinggi yang dilakukan dosen hanya karena pendekatan itu “praktis dan ekonomis” tanpa memperhatikan dengan seksama tujuan atau kompetensi pembelajaran misalnya, padahal pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi itu selain penguasaan materi secara kognitif biasanya lebih menekankan penanaman (afektif) dan bagaimana supaya “sesuatu” yang ditanamkan itu bisa menumbuhkan kembali, bisa menginspirasi dan bisa “menular” ke masyarakat umum (psikomotorik). Hal ini sesuai dengan hakikat mengajar sebagai usaha untuk membuat dan mengkondisikan orang lain (agar bisa) belajar, belajar apa saja dan belajar dimana saja yang dilakukan oleh siapa saja (John De Patricia Cranton, 1992:5-6). Dewey dalam Cranton (1992:5-6) menyebutkan bahwa “pengetahuan dan belajar diperoleh dari dan didasarkan pada pengalaman. Realitas di definisikan melalui pengalaman dan tindakan, oleh karena itu belajar merupakan proses yang berlangsung seumur hidup.” Edgar Dale dalam Hisyam Zaini dkk, menekankan perlunya “pengalaman”. Dia memperkenalkan kerucut pengalaman, dia berpendapat bahwa potensi pengalaman belajar semakin besar ketika materi pembelajaran disampaikan dengan lebih bervariasi. Ketika informasi disampaikan hanya dalam bentuk simbol-simbol verbal,
164
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
potensi pengalaman belajar sangat kecil karena hanya mendengar saja. Sebaliknya ketika informasi yang disampaikan ditambah dengan simbol-simbol visual, gambar, film, demonstrasi, kunjungan lapangan dan bahkan melalui berbagai aktivitas yang mengondisikan warga belajar mengalami sesuatu secara terarah, potensi pengalaman belajar semakin tinggi. Penggunaan pengalaman sebagai cara belajar dan penggunaan pengalaman sebagai sumber belajar merupakan dua konsep fundamental dalam pendidikan orang dewasa. Kedua konsep ini menekankan pada bagaimana pengalaman berperan dalam mempengaruhi dan membentuk individu dan cara belajarnya. Pengalaman menjadi tidak ada artinya tanpa proses refleksi dan perenungan karena melalui refleksi inilah pengalaman dapat memberikan kontribusi terhadap proses belajar. Lebih dari itu refleksi tersebut menjadi unsur penting dalam belajar. Proses refleksi mencakup mengangkat pengalaman, menggunakan ide-ide positif dan keterlibatan perasaan, menguji, dan membuang ide-ide atau perasaan-perasaan yang menjadi hambatan belajar, dan mengevaluasi kembali pengalaman-pengalaman sehingga muncul perspektif baru dari pengalaman tersebut, perubahan perilaku dan rencana tindakan (Hisyam Zaini, 2002:100). Pendapat tadi menguatkan bahwa penyampaian materi dalam pembelajaran perlu disampaikan dengan pendekatan, metode, dan strategi yang bervariasi, pemilihan pendekatan, metode, strategi, dan media pembelajaran harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan subjek pembelajaran. Dengan demikian, pendekatan contextual teaching and learning di antara salah satu yang bisa dipilih untuk menjembatani kesenjangan antara tujuan dan kompetensi pembelajaran di perguruan tinggi dengan proses pembelajarannya. CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING Kata Contextual bisanya merupakan lawan kata dari textual. Contextual Teaching and Learning diartikan secara sederhana sebagai pembelajaran yang berusaha mengaitkan materi yang dipelajari dengan realitas kehidupan siswa atau mahasiswa. Adanya keterkaitan antara materi dengan realitas kehidupan siswa atau mahasiswa diharapkan akan menjadikan suatau pembelajaran lebih bermakna bagi siswa atau mahasiswa, lebih memiliki pengaruh terhadap kehidupan siswa. Pembelajaran kontektual dimaknai dan diartikan para ahli dengan pengertian yang tidak seragam, namun pada
Contextual Teaching and Learning … 165
prinsipnya para ahli sepakat bahwa secara hakikat pembelajaran kontekstual merupakan system yang mendorong suatu pembelajaran untuk membangun keterkaitan antara apa yang dipelajari dengan realitas, baik pada lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi dalam kehidupan sehari–hari. Pembelajaran dengan pendekatan contectual teaching and learning merupakan pembelajaran yang didasarkan pada pemikiran bahwa siswa atau mahasiswa akan belajar bila mereka mengetahui makna dari materi dan mengetahui makna dari segala kegiatan mereka di sekolah. Selain itu, mereka bisa belajar bila mereka dapat mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Elaine B. Johnson (2002: vii) yang menyatakan bahwa “contextual teaching and learning is a system of instuction based on the philosophy that student learn when they see meaning in academic material, and they see meaning in schoolwork when they can connect new information with prior knowledge and their experience”. Dengan pendekatan contextual teaching and learning diharapkan siswa akan lebih terlibat aktif dalam pembelajaran, siswa bukan hanya men-transfer of knowledge tapi juga bisa men-transfer of values, memaknai materi dan menemukan sendiri hal yang dipelajari dan menemukan arti dan makna dari apa yang dipelajari. Hal ini akan lebih bermanfaat dari pada siswa atau mahasiswa di beri pengetahuan yang sudah “matang”. Dengan contextual teaching and learning akan menjadikan siswa atau mahasiswa lebih dewasa, berani mencari dan menemukan sendiri dari apa yang dipelajari, sehingga mereka lebih mandiri dalam belajar. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya guru dan dosen “menjadikan siswa dan mahasiswa belajar”. KOMPONEN DASAR CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING Elaine B. Johnson dalam bukunya Contextual teaching and learning (2002) menyatakan bahwa the contectual teaching and learning system consist of eigh componen: making connections that hold meaning, self regulated learning, collaboration, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standar and using authentic assessment. Komponen Contextual Teaching and Learning tersebut di ikuti Nurhadi dkk, (2003: 31) yang menyebutkan tujuh komponen utama
166
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
yang mendasari penerapan pendekatan contextual teaching and learning di dalam kelas, yaitu: contructivisme, menemukan (inquiri), bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Menurut Nurhadi (2003: 33) Contructivisme, yaitu bahwa pengetahuan yang dibangun oleh manusia itu sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Oleh karena itu manusia terutama harus membangun (mengkonstruksi) pengetahuan dan memberi makna pengetahuan itu melalui pengalaman nyata dalam kehidupan. Dalam pendekatan ini lebih mementingkan proses memperoleh pengetahuannya bukan hasilnya. Dalam pembelajaran ditekankan supaya siswa dan para mahasiswa bisa membangun pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Untuk itu guru dan dosen harus menjadi fasilitator bagi siswa dan mahasiswa supaya mereka terlibat aktif dalam pembelajaran, terlibat aktif dalam membangun pengetahuan mereka. Salah satu implikasi dari contructivisme adalah strategi kerja kelompok (Rosyada, 2006: 3). Dalam kerja kelompok ditekankan adanya pembelajaran interaktif, siswa atau mahasiswa bisa kerja sama dan saling memeriksa pekerjaan temannya, bisa dikembangkan dengan kombinasi antara dua kelompok kecil sehingga semakin banyak masukan, pada akhirnya diharapkan penguasaan siswa terhadap bahan ajar menjadi lebih baik. Untuk mencapai kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik berbagai strategi bisa dilakukan dalam pembelajaran, terutama strategi yang dapat melibatkan siswa dalam belajar, baik melalui self discovery learning, groupwork, cooperative learning maupun strategi lain yang dikembangkan guru. Siswa memiliki tujuan dan guru menjadi fasilitator untuk menuju implementasi prinsip–prinsip learning to do, learning to be, learning to learn dan learning to live together. Menurut Nurhadi (2003: 34) guru dapat menjadi fasilitator bagi siswa dengan cara menjadikan sesuatu pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, memberi kesempatan kepada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri dan menyadarkan para siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Memang sebagai mana kita maklumi bahwa strategi dan gaya belajar seseorang dengan orang lain itu berbeda, maka kalau siswa dan mahasiswa bisa menerapkan strategi dan gaya belajarnya sendiri, siswa atau
Contextual Teaching and Learning … 167
mahasiswa akan lebih nyaman dalam belajar, suasana belajar menyenangkan, tidak belajar dengan keterpaksaan karena strategi dan gaya pembelajaran tidak cocok atau tidak sesuai dengan keinginan mereka. Inquiri atau “menemukan” merupakan bagian dari pendekatan contextual teaching and learning. Dalam hal ini diharapkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat fakta-fakta, bukan hafalan tapi hasil penemuan siswa sendiri, maka dalam setiap pembelajaran guru harus merancang kegiatan yang mengarah kepada “siswa menemukan”. Tentu saja guru atau dosen harus pandai dalam merancang pendekatan, metode dan strategi pembelajaran, memilih media yang sesuai serta mengelola kelas dengan tepat sehingga pembelajaran benar-benar kondusif dan memungkinkan siswa atau mahasiswa menemukan pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) atau keterampilan (psikomotorik) sebagai hasil dari belajar siswa atau mahasiswa Questioning atau bertanya merupakan aktivitas siswa atau mahasiswa untuk menganalisis, mengkritik juga untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan yang mereka miliki. Dalam pembelajaran guru harus merangsang (memberi stimulus) kepada siswa untuk selalu berpikir dan bertanya. Siswa bisa bertanya kepada guru kepada sesama siswa maupun kepada sumber belajar yang lain. Tentu saja pembelajaran ini bisa dilakukan bila pelaku pembelajaran yaitu guru dan dosen berparadigma student center (terpusat kepada siswa) bukan pembelajaran yang teacher center (terpusat kepada siswa) atau berparadigma humanitis, bukan bank system. Kebiasaan bertanya akan menjadikan siswa atau mahasiswa kritis dan kreatif, aktif dalam proses pembelajaran, tidak apriori, tidak asal menerima hasil yang ”matang”, tapi mereka akan melatih diri untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Masyarakat Belajar, dalam konsep ini pengetahuan siswa seyogyanya diperoleh dari kerja sama dengan teman baik sebaya maupun teman yang lebih dewasa. Pada praktiknya siswa dalam satu pembelajaran dikelompokan menjadi beberapa kelompok secara variatif dengan menggunakan reward, insentif dan punishment secara kelompok. Situasi pembelajaran diarahkan untuk kerja sama dan bersaing secara sehat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam konteks strategi pembelajaran kerja sama dikenal dengan istilah cooperatif learning. dalam pembelajaran dengan cooperatif
168
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
learning ini belajar dilakukan bersama, saling membantu satu sama lain, siswa pada umumnya telah mengetahui dan menyepakati tujuan atau kompetensi yang akan dicapai, masing-masing memiliki akuntabilitas individual, dan masing-masing harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai sukses. Menurut Nurhadi (2003: 49) teknik learning comunity dalam pembelajaran dapat diwujudkan dengan berbagai cara seperti: pembentukan kelompok, bekerja dalam pasangan, mendatangkan ahli/tokoh ke dalam kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya dan bekerja dengan masyarakat. Modelling, pelaksanaan pemodelan bisa berbentuk demontrasi, pemberian contoh tentang konsep belajar atau hasil belajar. Pemodelan pengetahuan dan ketrampilan tertentu kadang-kadang diperlukan juga dalam pelaksanaan contectual teaching and learning. Dalam kelas dengan paradigma pendekatan contextual teaching and learning bukan hanya guru yang bisa jadi model, bisa siapa saja figur yang terkait yang didatangkan dalam satu pembelajaran atau model dengan bantuan media terkait materi pembelajaran. Dalam konteks pendidikan Islam Modelling, lebih dikenal sebagai tauladan, sehingga selain figur dari tokoh tertentu guru bisa juga sebagai model, karena sesungguhnya guru yang baik yang memberikan contoh teladan yang terbaik bagi para siswa itulah model terbaik. Begitu juga dengan dosen, dosen yang terbaik adalah dosen yang tidak hanya mampu mengajar tapi dosen yang bisa menjadi tauladan atau teladan bagi para mahasiswa. Refleksi, merupakan cara berpikir siswa tentang apa yang baru di pelajari atau siswa bisa berpikir tentang apa yang sudah dilakukan dalam pembelajaran. Dalam hal ini siswa bisa mengendapkan tentang apa yang telah dipelajari dan apa yang telah dilalui dalam aktivitas pembelajaran. Salah satu yang berkaiatan dengan refleksi adalah dasar teoretis belajar transformatif dari Mezirow dalam (Zaini, 2002:100). Transformatif learning adalah proses refleksi diri yang kritis atau proses mempertanyakan asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membenuk dasar pandangan dunia. Nilai-nilai tersebut tidak harus diubah, tetapi diuji dalam arti sumber-sumber nilai tersebut diidentifikasi serta bisa diterima dan dijustifikasi atau direvisi atau mungkin ditolak. Selanjutnya menurut Hisyam Zaini (2002:102) Proses refleksi dimulai dari kesadaran baru mengenai asumsi-asumsi
Contextual Teaching and Learning … 169
yang dipertanyakan hingga krisis kehidupan seseorang. Kesadaran itu mungkin diikuti oleh pengujian terhadap terhadap asumsi-asumsi atau membuat asumsi menjadi eksplisit dengan memikirkan dan merenungkan asumsi-asumsi tersebut. Proses seperti ini bagian dari self analysis yang selanjutnya menuju critical self reflection (refleksi diri kritis). Penilaian yang sebenarnya atau dikenal sebagai penilaian authentik ini menjadi salah satu ciri khas dari kurikulum tahun 2013. Kurikulum baru yang banyak mengundang pro-kontra, kemudian di berhentikan “dulu” pelaksanaannya di semester genap 2014-2015 ini untuk sekolah “non piloting project”. Penilaian yang dimaksud dalam pembelajarn ini adalah penilaian proses dan juga penilaian hasil. Siswa atau mahasiswa diarahkan agar dapat mempelajari materi dari berbagai sumber dengan penilaian “apa adanya” (penilaian secara utuh) berdasarkan proses dan hasil belajar siswa atau mahasiswa. Penilaian authentik bisa dilakukan dengan teknik pengukuran ketrampilan secara langsung, penilaian atas tugas-tugas dan analisis proses belajar atas perolehan siswa atau mahasiswa atas sikap, ketrampilan dan pengetahuan. Dengan penilaian authentik siswa atau mahasiswa bisa menunjukan kompetensi yang mereka miliki sehingga guru dan atau dosen bisa memutuskan untuk melanjutkan materi atau mengulang materi dari satu pembelajaran. IMPLEMENTASI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DALAM PEMBELAJARAN Pada dasarnya ada tiga cara berbeda dari dosen mengajar di perguruan tinggi (Zaini, 2002: 104-107): Pertama, yang mendefinisikan tugas mengajar sebagai menyampaikan materi yang otoritatif atau mendemontrasikan prosedur-prosedur, bisa eksplisit atau sebaliknya implisit. Biasanya menggunakan metode pengajaran tradisional, dosen merupakan sumber informasi yang tidak terdistorsi, sedangkan mahasiswa sebagai penerim,a yang pasif dari kearifan seorang pembicara tunggal. Teori ini dalam versi yang lebih modern beranggapan bahwa masalah mendasar dari pengajaran di perguruan tinggi menyatu dengan jumlah informasi yang akan disampaikan, masalah ini dapat dipecahkan dengan upaya teknis yang didesain untuk dapat menyampaikan informasi
170
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
lebih banyak dan lebih cepat di antaranya dengan bantuan computer atau presentasi video yang canggih. Kedua, tugas mengajar adalah mengorganisir aktivitas mahasiswa. Dalam pandangan ini mengajar adalah proses yang melibatkan artikulasi teknik-teknik yang didesain untuk menjamin mahasiswa belajar. Metode yang digunakan harus memotivasi mahasiswa sehingga secara psikologis mereka siap belajar seperti pemberian reward and funishment dalam penilaian, teknik mempromosikan diskusi di kelas dan proses yang menuntut mahasiswa untuk mengaitkan pengetahuan teoritis dengan pengalaman mereka seperti bentuk-bentuk belajar eksperiensial (experiential learning).. Ketiga, mengajar adalah membuat mahasiswa belajar. Mengajar dan belajar ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Mengajar, belajar mahasiswa dan materi yang akan dipelajari terkait satu sama lain oleh sebuah sistem. Mengajar dipahami sebagai sebuah proses kerja sama dengan mahasiswa untuk membantu mengubah pemahaman mereka, dengan kata lain mengajar adalah membantu mahasiswa belajar. Dari pandangan yang ketiga tentang proses pembelajaran mahasiswa bahwa terdapat keadaan-keadaan yang menyenangkan untuk proses terjadinya pembelajaran, akan tetapi harus tetap ditafsirkan ulang secara aktif agar sesuai dengan keadaan, mahasiswa dan materi tertentu. Dengan kata lain mengajar dilihat sebagai kegiatan yang terkait konteks (contex related), tidak pasti dan dapat ditingkatkan secara terus menerus. Dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi, seperti UIN, IAIN dan STAIN pendekatan contextual teaching and learning bisa diimplementasikan dalam mata kuliah apapun, termasuk dalam mata kuliah “keagamaan” atau ilmu agama. Sebagai satu ilustrasi di STAIN Pekalongan ada mata kuliah Fiqh, sebagai mata kuliah yang dipandang “normatif”. Sesungguhnya dalam pembelajaran fiqh ini pun bisa dilakukan dengan pendekatan contextual teaching and learning, karena ilmu fiqh yang sudah terbukukan dalam kumpulan kitab atau buku itu justru harus dipahami secara contextual, karena kalau tidak sesuai dengan konteks kekinian, akhirnya ilmu fiqh itu akan stagnan, tidak memiliki makna yang sesuai dengan kebutuhan sesuai zamannya. Hal seperti itu akan membuat generasi muslim
Contextual Teaching and Learning … 171
berikutnya termasuk para mahasiswa tidak paham terhadap perkembangan ilmu fiqh dan kontektualisasi ajaran ilmu fiqh tersebut. Akhirnya, ilmu fiqh akan dianggap final dan tidak boleh berubah, padahal ilmu fiqh yang dipelajari adalah produk ulama zaman yang sebelumnya, yang sesuai dengan keadaan pada masa itu, dan belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi sekarang. Kasus kecil yang berkaitan dengan bersuci misalnya yang ada dalam ilmu fiqh, tentang bersuci dengan menggunakan batu yang sudah sangat jarang sekali dipakai pada kenyataannya justru digunakan tisu untuk bersuci baik di toilet pada pesawat terbang maupun toilet ”kering” tanpa air di hotel-hotel. Maka dalam kasus ini perlu dikembangkan pembelajaran fiqh yang kontekstual yang bisa dijadikan bekal mahasiswa dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Pembelajaran ilmu fiqh yang visioner memandang ke masa depan sesuai dengan kehidupan sekarang dan yang akan datang. Implementasi pendekatan contextual teaching and learning dalam mata kuliah di jurusan Tarbiyah di STAIN Pekalongan rumpun pendidikan, untuk sekedar mengambil contoh misalnya tentang teoriteori ilmu pendidikan ini pun harus “kontekstual” dengan mengemukakan aspek tekstual teorinya dan makna kontektualnya, sehingga materi berupa teori-teori ilmu pendidikan lebih bermakna bagi para mahasiswa tarbiyah dan kependidikan Islam. Teori belajar dalam kajian psikologi pendidikan juga bisa menggunakan pendekatan contextual teaching and learning, sehingga teori-teori belajar bisa dimanfaatkan untuk mewarnai pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Teori behaviorisme misalnya masih relevan di bidang tertentu tapi tidak terlalu tepat untuk hal yang lain, bagaimana mengembangkan fantasi anak supaya terarah ke hal yang positif, bagaimana mengajar supaya anak menjadi kreatif dan inovatif pada dasarnya tidak terlepas dari implementasi dasar-dasar teori dari ilmu pendidikan dan ilmu psikologi pendidikan, yang pengembangannya di selaraskan dengan konteks kekinian sesuai dengan kebutuhan kondisi sekarang dan mendatang. Begitu juga dengan pembelajaran yang lain, maka pendekatan contextual teaching and learning bisa menjadi salah satu alternatif bagi pembelajaran di perguruan tinggi.
172
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
SIMPULAN 1. Pembelajaran sebagai suatu sistem membutuhkan kerja sama yang saling mendukung dari komponen-komponen pembejaran dalam rangka mencapai kompetensi dan tujuan pembelajaran. 2. Pendekatan, metode, strategi, dan media pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik subjek belajar dari suatu pembelajaran. 3. Ada beberapa pandangan dosen dalam mengajar mahasiswa yaitu mengajar adalah menyampaikan materi, mengajar adalah mengorganisir aktivitas mahasiswa dan mengajar adalah membuat mahasiswa belajar. 4. Idealnya pembelajaran di perguruan tinggi selain transfer of knowledge, juga transfer of values serta bisa menginspirasi subjek pembelajaran untuk mendapatkan sesuatu makna dari pembelajaran secara berkesinambungan. 5. Pendekatan contextual teaching and learning salah satu yang bisa menjadi alternatif pilihan untuk menjadikan pembelajaran, terutama di perguruan tinggi menjadi lebih bermakna DAFTAR PUSTAKA Dede Rosyada. 2006. “Materi, Kurikulum, Pendekatan dan Metode PAI dalam perspektif Multikultural”, Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama RI, Vol.4 nomor 1. Elaine B.Johnson. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press Inc. Hisyam Zaini, dkk, 2002. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: CTSD IAIN Sunan Kalijaga. Nurhadi, dkk, 2003. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press. Patricia Cranton. 1992. Planning Instruction for Adult Learners, Toronto: Wall & Eemerson Inc.
MATH JOURNALING DALAM MODEL PEMBELAJARAN BERPIKIR INDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN SELF REGULATED LEARNING SISWA (KONSEP TEORITIS) Esti Zaduqisti* Abstract: The quality of education in Indonesia are seen not show satisfactory results. This can be seen that the graduation standards set by the government is very low, does not require students to work hard to learn, and also does not foster students to have self-regulation in learning. Skill to adjust (regulate) self is often referred to as self-regulated learning (SRL). SRL, which are defined as the skills of learners in the management and self-regulation, has four components. They are: the management of cognitive, metacognitive management, setting motivational, and emotional regulation. Conceptally, by applying math journaling in thinking inductive learning model, learners can optimize the ability to regulate themselves in learning. Kata Kunci:
self regulated learning, math journaling, dan model pembelajaran berpikir induktif
PENDAHULUAN Pendidikan bagi kehidupan manusia adalah sesuatu hal yang penting dan selalu diperhatikan problematikanya. Kontribusinya bagi kualitas kehidupan sumber daya manusia sangatlah besar. Suatu negara dan bangsa akan menjadi negara dan bangsa yang maju apabila rakyatnya memiliki pendidikan yang tinggi dan berkualitas, sebaliknya suatu negara akan tertinggal dari negara dan bangsa lain apabila pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, suatu bangsa akan tertinggal dari bangsa lain dalam percaturan dan persaingan kehidupan global yang semakin kompetitif.
*.
Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl. Kusuma Bangsa no. 9 Pekalongan, email:
[email protected]
174
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Pendidikan di Indonesia sampai saat ini nampaknya belum menunjukan indikator yang memuaskan bagi kontribusi kualitas sumber daya manusia warganya. Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) dari laporan UNDP sebagai inisiator dan penyelenggara survei HDI di dalam "Human Development Report 2001" ternyata Indonesia hanya berhasil menempati peringkat 102 dari 162 negara. Pada tahun 2007 dari 177 negara yang dipublikasikan HDI, Indonesia berada pada urutan ke107 dengan indeks 0,728, hingga menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN di bawah Vietnam dan di atas Kamboja dan Myanmar. Oleh karena HDI terbangun atas indikator ekonomi pendidikan, kesehatan, dan kependudukan hal itu berarti bahwa tingkat ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kependudukan manusia Indonesia berada di bawah Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, dan Australia. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkannya. Hampir pada semua komponen masukan (inputs) dan komponen proses dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia kurang mendukung terciptanya pendidikan yang berkualitas, dan hal ini terjadi di sebagian besar sekolah di Indonesia. Para pendidik atau guru, sebagai komponen masukan dari suatu proses pembelajaran, tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dan profesional. Anggapan bahwa guru merupakan sumber ilmu dan siswa adalah bejana yang harus diisi, menimbulkan kecenderungan pasif dalam belajar siswa. Metode pembelajaran yang umumnya digunakan guru di sekolah adalah metode ceramah. Metode yang dicirikan dengan konsep one way information ini menjadikan guru sebagai sumber utama pengetahuan serta memposisikan pelajar sebagai penerima pasif informasi. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pembelajaran selama ini hanya terbatas pada pengajaran saja, belum pada yang bertujuan untuk perbaikan, kegiatan pengayaan, peningkatan motivasi belajar, serta pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif. Kondisi semacam ini perlu adanya pembenahan dan peran pendidik sangat dibutuhkan khususnya dalam permasalahan perubahan perilaku. Handarini (2000) mengatakan bahwa konteks pendidikan dewasa ini lebih mengutamakan pengembangan intelektual. Kondisi ini menuntut guru untuk menyelesaikan materi pengajaran dan mencapai target kurikulum.
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
175
Pendidikan di Indonesia hanya mengejar formalitas gelar dan ijazah; proses pendidikan dilakukan pelajar dengan cara menghafal atas bahan yang diberikan oleh guru, bukan berlatih, atau terjun langsung ke hal-hal yang nyata. Hal ini diperparah dengan padatnya kurikulum, sehingga guru dalam melaksanakan proses pembelajaran lebih berorientasi pada pencapaian materi sesuai silabus dan kurang memperhatikan kualitas pembelajaranya. Sistem evaluasi dan ujian akhir nasional yang dipakai selama ini pun tidak efektif mendongkrak kualitas lulusan, ditambah lagi dengan standar kelulusan yang dipatok pemerintah jauh di bawah yang seharusnya. Kondisi yang tergambar diatas menimbulkan efek yang kurang baik pada siswa sebagai calon generasi bangsa. Banyak siswa yang tidak bisa mengelola dirinya dalam belajar sehingga tidak mempunyai hasil optimal dalam belajar. Alsa (2005) mengatakan bahwa Self regulated learning pada pelajar Indonesia rendah, rendahnya SRL itu disebabkan karena lingkungan dan setting belajar tidak banyak memberikan tantangan kepada pelajar. Pemberian materi secara instan lebih disukai oleh siswa bahkan mahasiswa dalam proses pembelajaran, Budaya membaca siswa lebih terkalahkan oleh budaya mereka menerima materi instan yang diberikan oleh guru, sehingga keinginan untuk belajar mandiri pada siswa akan menjadi rendah. Seringnya terjadi procastinasi, menunda-nunda mengerjakan tugas yang diberikan di sekolah, sehingga saat sudah mendekati deadline siswa akan kalut dan cepat mengerjakannya, akibatnya hasil yang diperoleh tidak maksimal dan tidak optimal. Sistem kebut semalam saat menghadapi ujian menunjukkan kurangnya siswa dalam mengelola diri untuk belajar, rendahnya SRL pada pelajar dan bahkan mahasiswa belum optimal melakukan aktivitas belajar berdasar regulasi diri (Wolters 1998 dalam Alsa 2005). Belajar berdasar regulasi diri belum dilakukan secara optimal oleh banyak pelajar. Standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah sangat rendah, tidak menuntut pelajar untuk kerja keras dalam belajar. Pelajar yang tidak belajar secara baik, asal ia memenuhi syarat partisipasi dan kehadirannya di kelas, maka ia dapat naik kelas atau lulus ujian, betapapun rendahnya nilai ujiannya. Masyarakat sudah tidak pernah lagi mendengar pelajar yang tidak naik kelas atau tidak lulus ujian. Tidak ada lagi tekanan (pressure) yang ditujukan pada pelajar agar mereka belajar secara tekun dan giat karena sekolah lebih berorientasi pada kuantitas lulusan. Hal tersebut juga salah satu faktor
176
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
yang memberikan kontribusi terhadap tidak berkembangnya belajar berdasar regulasi diri pada pelajar. Padahal self regulated learning turut mempengaruhi keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi yang optimal. Dinyatakan oleh Susanto (2006) bahwa Meskipun seorang siswa memiliki tingkat intelegensi yang baik, kepribadian, lingkungan rumah, dan lingkungan sekolah yang mendukungnya, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan self regulation maka siswa tersebut tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000 dalam Achmad:2010), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Self regulated learning merupakan salah satu skill yang termasuk dalam soft skill tersebut, karena self regulated learning itu sendiri merupakan pengarahan diri, pengaturan diri dalam berperilaku, merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri dan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya tantangan kehidupan di era globalisasi sekarang ini, pendidikan harus dapat memberi bekal kepada pelajar untuk dapat secara mandiri menambah pengetahuan dan wawasannya, melengkapi pengetahuannya, memperbarui pengetahuannya, dan mengadaptasi pengetahuannya sesuai dengan tuntutan kehidupan. Oleh karena itu, menjadikan pelajar memiliki kemampuan belajar berdasar regulasi diri menjadi tujuan yang harus dicapai oleh sebanyak mungkin pelajar. Dengan belajar berdasar regulasi diri, secara metakognitif pelajar aktif merencanakan, mengorganisasi, mengatur diri, memantau diri, dan mengevaluasi diri pada berbagai tahap dalam proses belajar. Secara motivasional pelajar yang meregulasi diri dalam belajar menunjukkan efikasi diri yang tinggi, atribusi diri, dan memiliki minat intrinsik terhadap belajar serta menunjukkan usaha dan persistensi yang tinggi dalam belajar. Secara behavioral, pelajar yang belajar berdasar regulasi diri akan aktif memilih, menstruktur, dan menciptakan lingkungan yang dapat mengoptimalkan belajar,
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
177
mencari saran, mencari informasi, menempatkan dirinya pada situasi yang memungkinkan untuk belajar, memerintah diri sendiri, dan menghadiahi diri sendiri atas keberhasilan belajarnya. Zimmerman (1998) mengatakan bahwa belajar berdasar regulasi diri dapat berkembang dalam pendidikan atau pembelajaran yang sifatnya khusus, sedangkan Pintrich (2000) mengatakan bahwa pelajar memang harus mengembangkan belajar berdasar regulasi diri ketika menghadapi tantangan pendidikan atau kurikulum baru. Regulasi diri dapat membangun kompetensi sesuai yang diharapkan di usia sekolah, maka dibutuhkan kemampuan anak dalam mengelola diri tanpa mengandalkan bantuan orang lain, yang sering disebut sebagai regulasi diri. SRL ini mampu Memperbaiki dan membentuk hasil yang optimal (Zimmerman, 1998). Susanto (2006:65) menyatakan bahwa perkembangan regulasi diri sebenarnya sudah mulai berlangsung pada anak mulai memasuki lingkungan sekolah. Pada lingkungan sekolah, anak-anak dituntut untuk dapat mengikuti proses belajar-mengajar misalnya belajar untuk memusatkan perhatian. Senada dengan susanto, Santrock (2008: 37) juga menyatakan bahwa dalam periode masa kanak-kanak menengah dan akhir adalah suatu periode dimana prestasi menjadi tema yang lebih utama dan pengendalian diri menjadi semakin baik. Dari alasan tersebut maka self regulated learning akan lebih optimal jika dikembangkan sejak anak dudk di bangku sekolah dasar. Apalagi Kemampuan meregulasi diri tidak dapat berkembang dengan sendirinya, perlu diupayakan pengembangannya sejak dini, disamping itu dibutuhkan pula suatu lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan regulasi diri dan salah satu lingkungan yang representatif untuk mengembangkannya dalah lingkungan sekolah. Sekolah dasar sebagai lingkungan awal anak-anak mengatur dirinya dan menyelesaikan tugas-tugasnya, adalah temat yang efektif untuk mengembangkan self regulated learning sejak dini. Model pembelajaran apakah yang tepat untuk diaplikasikan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa dalam mengatur dirinya dalam belajar? Media pembelajaran apa yang perlu diupayakan untuk mengembangkan SRL tersebut? Dua pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban. Maka makalah ini ditulis dalam rangka untuk mencoba pertanyaan tersebut. Permasalahan maka berdasar gambaran latar belakangnya dalam pendahuluan, terumuskan permasalahan diantaranya: apa Self
178
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Regulated Learning? Seperti apa model pembelajaran berpikir induktif?, seperti apa Math Journaling dalam model pembelajaran berpikir induktif? dan bagaimana Math Journaling dalam model pembelajaran berpikir induktif mampu meningkatkan Self Regulated Learning siswa SD? SELF REGULATED LEARNING Regulasi diri merupakan salah satu komponen penting dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory). Teori kognitif sosial merupakan kelanjutan dari teori belajar sosial (social learning theory), yang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang dan kaya. Albert Bandura adalah orang yang pertamakali mempublikasikan teori belajar sosial pada awal tahun 1960an, yang kemudian diganti namanya menjadi teori kognitif sosial pada tahun 1986 dalam bukunya berjudul Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Brown, 1999). Teori kognitif sosial, memiliki tiga prinsip dasar (Brown, 1999). Prinsip pertama, bahwa konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu respon (seperti hadiah dan hukuman) memungkinkan seseorang untuk melakukan perilaku tertentu yang sama dalam situasi serupa. Prinsip kedua bahwa manusia dapat belajar dengan mengobservasi orang lain, selain melalui partisipasinya secara individual dalam suatu kegiatan. Belajar dengan cara melakukan observasi terhadap keberhasilan dan kegagalan perilaku orang lain disebut belajar vikarius (vicarious learning). Konsep belajar vikarius tidak dianut oleh kelompok belajar behavioral (Brown, 1999). Prinsip ketiga bahwa individu sangat mungkin meniru perilaku yang diobservasinya dari orang lain. Mengidentifikasi perilaku orang lain merupakan fungsi sampai sejauh mana seseorang mempersepsikan orang lain sama dengan dirinya, selain derajat ikatan emosional yang dirasakannya terhadap orang lain (Brown, 1999). Teori kognitif sosial mendefinisikan perilaku manusia sebagai suatu interaksi triadik, dinamis, dan resiprokal antara faktor-faktor individual, perilaku, dan lingkungan (Bandura, 1986; Brown, 1999). Menurut pandangan teori kognitif sosial, manusia tidak digerakkan oleh kekuatan-kekuatan internal atau dibentuk oleh stimulus eksternal secara otomatis. Fungsi-fungsi pada diri manusia dijelaskan melalui model “tritunggal yang saling mempengaruhi” (triadic reciprocality), yang menyatakan bahwa perilaku, kognisi dan faktor-faktor
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
179
individual yang lain, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan, semuanya beroperasi sebagai faktor-faktor penentu secara utuh (integrating determinants) (Bandura, 1986). Bandura (dalam Brown, 1999) mengatakan bahwa sistem regulasi diri menjembatani pengaruh-pengaruh eksternal dengan kemampuan atau kapital yang dimiliki manusia, sebagai dasar untuk melakukan perilaku yang bertujuan, sehingga memungkinkan manusia memiliki kontrol individual atas pikiran, perasaan, motivasi, dan perilakunya. Berdasar pengertian ini maka regulasi diri memiliki peran penting terhadap perilaku manusia. Regulasi diri (selfregulation) dapat diartikan sebagai pengarahan diri atau pengaturan diri dalam berperilaku. Self-regulated learning dapat diartikan sebagai “mengatur atau mengarahkan diri dalam belajar” atau “belajar dengan mengarahkan atau mengatur diri”. Peneliti menggunakan istilah “belajar berdasar regulasi diri” untuk menggantikan istilah selfregulated learning, satu istilah yang lebih efisien tanpa mengurangi maknanya. Teori sosial kognitif oleh Bandura (dalam Alwisol, 2004: 358359) menyatakan bahwa regulasi diri dalam belajar tidak hanya ditentukan oleh oleh faktor pribadi, tetapi juga faktor perilaku dan faktor lingkungan/faktor eksternal, yang berhubungan secara timbal balik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses SRL terjadi dalam tiga tahap: pertama, Siswa menganalisis tugas dengan menetapkan tujuan dan membuat perencanaan strategis, selanjutnya siswa berusaha memotivasi dirinya, dan tahap terakhir adalah refleksi diri atas kegiatan yang telah dilakukannya. Istilah Self regulation bisa diidentikkan dengan istilah kontrol diri, disiplin diri, dan mengarahkan diri sendiri (self-directed) (Cobb, 2003). Sama halnya self-regulation memiliki beberapa kata yaitu, self regulated learning juga mempunyai beberapa definisi, diantaranya adalah yang didefinisikan oleh Zimmerman (1989) sebagai kemampuan aktif peserta didik secara metakognitif, motivasional, dan behavioral dalam proses pembelajaran secara metakognitif, pelajar mengatur dirinya untuk merencanakan, mengatur, self-teaching, selfmonitoring, dan mengevaluasi diri pada tahap-tahap yang berbeda dalam belajar. Secara Motivational, mereka menganggap diri mereka sebagai yang kompeten, mempunyai efikasi diri, dan otonom. Sedang secara behavioral mereka mampu memilih, membentuk, dan menciptakan lingkungan untuk belajar yang optimal. Pelajar yang mem-
180
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
punyai self regulated learning menyikapi tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan keyakinan, ketekunan, dan logis. Mereka sadar kapan mereka harus menguasai keterampilan tertentu dan bahkan seperangkat keterampilan lain dan menggunakan strategi yang sesuai untuk pencapaian tujuan mereka. Selain sebagai sebuah skill atau kemampuan, seperti digambarkan di atas, Zimmerman juga menyebutkan bahwa self regulated learning (SRL) adalah pembelajaran yang memfokuskan pada bagaimana pebelajar menggerakkan, mengubah, dan mempertahankan kegiatan belajar baik secara sendiri maupun pada lingkungan sosialnya, dalam konteks instruksional informal maupun formal (Zimmerman & Schunk, 1989). Pelajar yang melakukan pengaturan diri sadar akan emosi mereka dan mempunyai strategi untuk mengelola emosi (Winne, 1995). Tidak kalah pentingnya, pelajar yang melakukan pengaturan diri mampu mengevaluasi rintanganrintangan yang mungkin timbul dan melakukan adaptasi-adaptasi yang diperlukan. Dapat disimpulkan bahwa pelajar yang melakukan pengaturan diri tentunya mampu mengontrol dirinya dalam melakukan kegiatan yang selaras dengan norma-norma yang melingkupi kehidupannya, termasuk norma sosial maupun norma agama dimana penanaman nilai nilai karakter yang diharapkan oleh norma-norma tersebut. Self-regulated learning juga didefiniskan sebagai tindakan prakarsa diri (self-initiated) yang meliputi latar tujuan (goal setting) dan usaha-usaha pengaturan untuk mencapai tujuan, pengelolaan waktu, dan pengaturan lingkungan fisik dan sosial (Zimmerman & Risenberg, 1997). Regulasi diri (self-regulation) atau yang sering disebut dengan pengarahan diri, pengaturan diri dalam berperilaku, merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri dan salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian manusia. Regulasi diri merupakan salah satu konsep penting dalam teori kognitif sosial; bahkan ia merupakan kunci untuk dapat memahami teori tersebut. Lebih dari dua dekade, para peneliti teori belajar sosial melakukan penelitian mengenai proses regulasi diri, seperti pemberian hadiah atau ganjaran pada diri sendiri, penetapan standar, penundaan kesenangan, penetapan tujuan, persepsi terhadap efikasi diri, memerintah diri sendiri, dan evaluasi diri. Selama periode waktu tersebut, sejumlah
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
181
peneliti telah mencoba mengintegrasikan hasil-hasil penelitiannya ke dalam satu model regulasi diri (Bandura, 1977 dalam Alsa). Self-regulated learning menunjuk kepada belajar yang sebagian besar terjadi dari pikiran, perasaan, strategi, dan perilaku yang dihasilkan pebelajar sendiri yang ditujukan kepada pencapaian tujuan (Schunk & Zimmerman, 1989). Self-regulated learners tidak saja perlu memiliki kognisi (pengetahuan membangun atau knowledge to build upon), dan metakognisi (pengetahuan dan monitoring strategi belajar), tetapi mereka juga harus termotivasi menggunakan strategi metakognisi mereka untuk membangun pemahaman mereka terhadap bahan-bahan pembelajaran (Pintrich & De Groot, 1990). Sebuah Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan personal yang memungkinkan pembelajar menjadi pembelajar yang independen dan mengembangkan inti (core) kegembiraan (resilinecy) adalah sangat berhubungan dengan prestasi (achievement) (Zimmerman & Martinez-Pons, 1986). Komponen-komponen yang bisa diukur untuk mengetahui self regulated learning yang berimplikasi bagi performance siswa di sekolah adalah pengelolaan kognitif, pengelolaan metacognitive, pengaturan motivasional, dan pengaturan emosional. MODEL PEMBELAJARAN BERPIKIR INDUKTIF Model pembelajaran berpikir induktif mengeksplorasi prosesproses induktif pada siswa yang relatif kaku dan siswa yang fleksibel. Model pembelajaran berpikir induktif ini dirancang untuk melatih siswa membuat konsep dan sekaligus untuk mengerjakan konsepkonsep dan cara penerapannya (generalisasi) pada mereka. Model ini mengajar minat siswa pada logika, minat pada bahasa dan arti katakata, dan minat pada sifat pengetahuan. Model ini memberikan kontribusi dampak instruksional berupa kemampuan siswa untuk mendapatkan informasi, kemudian membentuk formasi sebuah konsep, serta penerapannya. Model ini juga mempunyai dampak pengiring spirit penelitian, kesadaran atas sifat pengetahuan, dan berpikir logis Selain itu model itu juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan (Joyce & Weil, 1996). Dampak-dampak, baik instruktional maupun pengiring dapat digambarkan sebagaimana gambar 1. berikut:
182
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Gambar 1. Dampak Intruksional dan dampak pengiring model berpikir induktif. (Adopsi dari Joyce & Weil, 1996)
Model pembelajaran berpikir induktif ini tokoh pengembangnya adalah Hilda Taba, kemudian dikembangkan oleh Bruce Joyce. Model ini mendasarkan pada 3 asumsi, yaitu: berpikir dapat diajarkan; berpikir adalah transaksi yang aktif antara individu dan data; dan proses berpikir mengikuti hukum-hukum tertentu (by a sequence that is lawful). Model ini mencakup 3 strategi, yaitu: Strategi dasar: pembentukan konsep; interpretasi data dan aplikasi konsep. Dimana strategi yang pertama ditempuh melalui 3 fase, yaitu: Fase ke – 1: enumerasi (penyebutan satu per satu) dan membuat daftar, Fase ke – 2: grouping (pengelompokkan) dan Fase ke – 3: pemberian label dan ketegorisasi. Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam tabel 1. berikut: Aktivitas tampak (Overt Activity) Enumerasi dan membuat daftar Pengelompokan Pelabelan dan kategorisasi
Aktivitas mental yang tidak tampak (Covert Mental Operation) Identifikasi item-item yang terpisah (Differensiasi) Identifikasi cirri-ciri yang sama, abstraksi Menentukan urutan itemitem (super dan subordinasi)
Pertanyaan yang muncul Apa yang kau lihat? Dengar? Catat? Kesamaan apa yang dimiliki? Kriterianya apa? Disebut apa kelompok ini?
Tabel 1. Tiga Fase dalam Strategi Dasar Model Pembelajaran Berpikir Induktif
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
183
Strategi yang kedua, interpretasi data, ditempuh melalui 3 fase pula, yaitu, fase ke-1: Identifikasi hubungan yang penting; fase ke-2: meneliti hubungan; fase ke-3: membuat kesimpulan. Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam tabel 2 berikut: Aktifitas tampak (Overt Activity) Identifikasi hubungan yang penting Meneliti hubungan Membuat Kesimpulan
Aktivitas mental yang tidak tampak (Covert Mental Operation) Identifikasi item-item yang terpisah (Differensiasi) Menghubungkan kategori satu sama lain Melampaui apa yang diberikan, Menemukan Implikasi, ekstrapolasi
Pertanyaan yang muncul Apa yang kau lihat? Perhatikan? Temukan? Mengapa ini bias terjadi? Apa ini maknanya? Gambaran apa yang tercipta dalam pikiranmu?
Tabel 2. Tiga Fase dalam Strategi Kedua Model Pembelajaran Berpikir Induktif
Strategi yang ketiga, aplikasi konsep, ditempuh melalui 3 fase pula, yaitu, fase ke-1: meramalkan konsekuensi, menjelaskan fenomena yang tidak dikenal, membuat hipotesis; fase ke-2: menjelaskan dan/atau mendukung prediksi dan hipotesis; fase ke-3: memverifikasi prediksi. Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam tabel 3. berikut: Aktivitas tampak (Overt Activity) Meramalkan konsekuensi fenomena yang tidak dikenal, membuat hipotesis Menjelaskan dan atau mendukung prediksi dan hipotesis Memverifikasi Prediksi
Aktivitas mental yang tidak tampak (Covert Mental Operation) Menganalisa sifat karakteristik problem atau situasi, mengelurkan pengetahuan yang relevan Menentukan hubungan kausal yang mengarah pada prediksi atau hipotesis Menggunakan prinsip-prinsip logis atau pengetahuan factual untuk menentukan kondisi yang perlu dan mencukupi
Pertanyaan yang muncul Apa yang akan terjadi jika...? Perhatikan? Temukan? Mengapa kamu berpikir ini akan terjadi? Apa ini maknanya? Gambaran apa yang tercipta dalam pikiranmu?
Tabel 3. Tiga Fase dalam Strategi Ketiga Model Pembelajaran Berpikir Induktif
184
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Dari karakteristik model pembelajaran berpikir induktif yang mempunyai dampak instruksional menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, maka model ini bisa jadi sangat efektif jika diterapkan untuk mengembangkan self regulated learning. MATH JOURNALING DALAM MODEL PEMBELAJARAN BERPIKIR INDUKTIF MAMPU MENINGKATKAN SELF REGULATED LEARNING Model pembelajaran berpikir induktif mengeksplorasi prosesproses induktif pada siswa yang relatif kaku dan siswa yang fleksibel. Model pembelajaran berpikir induktif ini dirancang untuk melatih siswa membuat konsep dan sekaligus, untuk mengerjakan konsepkonsep dan cara penerapannya (generalisasi) pada mereka. Model ini mengajar minat siswa pada logika, minat pada bahasa dan arti katakata, dan minat pada sifat pengetahuan. Model ini memberikan kontribusi dampak instruksional berupa kemampuan siswa untuk mendapatkan informasi, kemudian membentuk formasi sebuah konsep, serta penerapannya. Selain itu, model itu juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Model ini juga mempunyai dampak pengiring spirit penelitian, kesadaran atas sifat pengetahuan, dan berfikir logis (Joyce & Weil, 1996). Salah satu mata pelajaran yang memiliki hasil UN yang rendah adalah matematika. Dilaporkan bahwa matematika rata-rata matematika siswa belum mencapai standar kelulusan UN. Dibandingkan mata pelajaran lainnya, matematika selalu tertinggal jauh. (http://www.tribunnews.com/2010/04/13/nilai-matematikarendah-benahi-metodenya). Selama ini matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian besar siswa. Anggapan ini tidak terlepas dari persepsi yang berkembang di masyarakat tentang matematika. Anggapan banyak orang bahwa matematika pelajaran yang sulit tanpa disadari telah mengkooptasi pikiran siswa. Sehingga siswa juga beranggapan demikian, ketika berhadapan dengan matematika. Pandangan bahwa matematika ilmu yang kering, abstrak, teoritis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus yang sulit dan membinggungkan. Anggapan ini ikut mem-bentuk persepsi negatif siswa terhadap matematika. Akibatnya pelajaran matematika tidak dipandang secara objektif lagi. Matematika sebagai salah satu ilmu pengetahun kehilangan sifat netralnya (Sriyanto: 2008).
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
185
Paradigma tradisional pembelajaran matematika di sekolah cenderung didominasi oleh transfer pengetahuan. Materi yang banyak dan sulit, serta tuntutan untuk menyelesaikan materi pembelajaran telah membuat guru membelajarkan matematika dengan cepat tapi tidak mendalam. Pembelajaran matematika dilakukan dengan pola instruksi, bukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan. Bahkan tanpa memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan sendiri arah mana siswa ingin berekplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Akibatnya pembelajaran matematika di sekolah hanya bersifat hafalan dan bukan melatih pola pikir. Math Journaling sebuah media yang dipertimbangkan sebagai media yang cukup simpel, dimana siswa dilatih untuk bisa merekam kegiatannya dalam pembelajaran matematika, math journaling yang dikonsepkan dari writing prompt yang mampu memberikan siswa kesempatan untuk berpikir menyelesaikan problem, memformulasikan penjelasan, mencoba kosa-kata atau ejaan, berpengalaman dalam membentuk argumentasi, menilai kegunaan, mengkritik penilaian dan merefleksikan dalam pemahaman mereka sendiri dan ide-ide orang lain (McIntosh, 2001 dalam Walz, 2008). Math journaling, tidak hanya menjadikan siswa lebih kaya dan mendalam memahami pelajaran, tapi juga bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan dan mengukur proses pembelajaran mereka sendiri. Math Journaling ditetapkan sebagai refleksi yang benar-benar bisa berfungsi sebagai seperangkat pengukuran untuk evaluasi diri (Walz, 2008). Matematika adalah pelajaran yang sangat penting dan harus dikuasai oleh siswa. Karena matematika adalah ilmu yang mencakup ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Meskipun tidak dikuasai secara penuh, paham konsep saja itu sangatlah cukup. Maka Self regulated learning dalam pembelajaran matematika dimungkinkan untuk diterapkan. Dari karakteristik math journaling tersebut di atas, serta dengan menggunakan model pembelajaran berpikir induktif lewat pembelajaran matematika di SD diprediksikan bahwa math journaling akan efektif jika diterapkan dalam pembelajaran untuk meningkatkan self regulated learning siswa SD. Math journaling merupakan sebuah treatmen yang didesain sebagai aktivitas metakognitif yang bertujuan untuk membantu mereka mengungkap bagaimana mereka belajar matematika dengan
186
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
baik (Tanler, 2006). Math Journaling dipraktekan oleh Walz (2008) untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika, dimana murid dilatih menciptakan dan menggunakan kemampuan dalam mengorganisasikan (organize), merekam (record), dan mengombinasikan ide-idenya dalam pelajaran matematika. Math jounaling ini bisa diimplementasikan dalam kurikulum tanpa harus mengganggu metode yang telah digunakan oleh guru dalam kelas. (Walz, 2008). Dengan math journaling ini tidak hanya mengubah cara belajar dan mengajar, tetapi juga memperbaiki cara belajar-mengajar yang bisa menimbulkan self regulated learning pada siswa, karena math journaling ini juga bisa dijadikan sebagai strategi dalam self regulated learning (Tanler, 2006). Math journaling itu sendiri adalah salah satu bentuk dari teknik pembelajaran yang merupakan salah satu teknik journaling secara umum, yang cirinya antara lain adalah mengolaborasikan jurnaljurnal, membawa ke rumah jurnal tersebut dan mengumpulkan tugastugas dan penilainya ke dalam jurnal tersebut sebagai portofolio. Journaling sendiri oleh Paris dinyatakan sebagai Provoking though with a specific activity like journaling gives students oppprtunities for self evaluation and independent problem solving; important skills for self-regulated leaners (Paris & Paris in Tanler, 2006). Dengan menggunakan math journaling guru bisa menetapkan beberapa tujuan pembelajaran dan membantu memfasilitasi pebelajar dalam kelas. Hal ini karena dalam math journaling guru akan melihat bagaimana siswa mengolaborasi dan mendiskusikan apa yang harus dimaukan dalam jurnalnya. Selain itu juga, dengan math journaling, guru akan menyaksikan kesediaan siswa membawa pulang jurnal mereka untuk membantu penyelesaian pekerjaan rumah (PR) dan dengan cara ini pula orang tua yang tidak akrab dengan topik dalam pelajaran matematika pun bisa membantu anak mereka (Walz, 2008). Murid diinstruksikan untuk melakukan cutting dan pasting tugas mereka dalam jurnal baik secara individu maupun kelompok sehingga menjadi semacam portofolio. Dengan jurnal ini siswa bisa menggunakannya sebagai sumber bahan belajar mereka dan alat evaluasi diri atas prestasi hasil kerja mereka.
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
187
SIMPULAN Math journaling dalam model pembelajaran berpikir induktif merupakan sebuah media pembelajaran yang bisa diaplikasikan dalam proses pembelajaran di tingkat SD, sebagai dasar atau fundamen yang kuat dalam mengembangkan self regulated learning pada siswa SD. Dengan alur demikian, yang seperti disajikan dalam makalah ini, diharapkan akan memberikan sumbangan yang berarti untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di tanah air ini. kontribusi tersebut kemudian juga diharapkan bisa memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Bagi para pengajar bisa menerapkan konsep ini supaya bisa memupuk self regulated learning para pembelajarnya.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, Sudrajat. 2010. “Tentang Pendidikan Karakter”. Diakses tanggal 30 september 2010 melalui http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikankarakter-di-smp/ Alsa, Asmadi, 2005, Program Belajar, Jenis Kelamin, Belajar Berdasar Regulasi Diri Dan Prestasi Belajar Matematika Pada Pelajar SMA Negeri di Yogyakarta, disertasi, psikologi UGM, tidak diterbitkan. Bakar, A.K; Roslan S; Luan Su Wong; & Rahman,A.PZM. 2005. Predictors of self-regulated learning in Malaysian smart schools. International Education Journal, vol.6 (3). Cobb, R. 2003.The relationship between self-regulated learning behaviors and academic performance in web-based courses. Disertation. Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University. Diakses 25 Agustus 2010. melalui www.ubvu.nl Cook, T. D & Champbell, D.T, (1979), Quasi-Experimentation, USA, Houghton Miilin Copmpany. Chung, M.K. 2000. The development of Self-Regulated Learning. Asia Pasific Eduction review. Vol. 1, No. 1. Darmiany. 2009. Penerapan Pembelajaran Eksperiensial Dalam Mengembangkan Self Regulated Learning Mahasiswa. Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Studi Bimbingan Dan Konseling. Universitas Negeri Malang. Malang.
188
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Eilam, B., Zeidner, M. And Aharon, I. 2009. Student Conscientiousness, Self-Regulated Learning, And Science Achievement: An Explorative Field Study, Psychology in the Schools, Vol. 46(5). Hammann, L. 2005. Self-Regulation in Academic Writing Tasks. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education Vol 17, No 1. Handarini, D.M. 2000. Pengembangan model pelatihan ketrampilan sosial bagi SMU terpadu. Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana. Universitas Negeri Malang. Joice B, & Weil M. 1996. Model of teaching. New Jersey: Prentice Hall. Martensa, R. C., de Brabanderb, Rozendaalb, J. Boekaertsb M. and der Leedenc R. van. 2010. Inducing mind sets in self-regulated learning with motivational information. Educational Studies Vol. 36, No. 311–327 Mih C & Mih V. 2010. Components Of Self-Regulated Learning; Implications For School Performance. Acta Didactica Napocensia, vol.3 no.1. Richter, T. & Schmid, S. 2010. Epistemological beliefs and epistemic strategies in self-regulated learning. Journal of Metacognition Learning vol.5. Rotgansa, J. and Schmidtb, H. 2009. Examination of the contextspecific nature of self-regulated learning,. Educational Studies Vol. 35, No. 3. Usher, E.L. & Pajares, F. 2008. Self-Efficacy for Self-Regulated Learning, A Validation Study. Educational and Psychological Measurement Vol. 68 (3). Pintrich, P.R, Smith, D.A.F, & Mckeachie,W.J. 1993. Reliability and Predictive Validity of the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (Mslq). Educational and Psychological Measurement 1993. Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan (Alih Bahasa: Diana Angelica). Jakarta: Salemba Humanika. Soric.I. 2009. The role of students’ interests inself-regulated learning: The relationship between students’ interests, learning strategies and causal attributions. European Journal of Psychology of Education Vol. XXIV, no 4, 545-565 © 2009.
Math Journaling dalam Model Pembelajaran Berpikir Induktif …
189
Sriyanto: 2008 http://pembelajaraninovatif.blogspot.com/2008 /12/paradigma-baru-pendidikan-matematika.html Susanto, H. 2006. Mengembangkan Kemampuan Self Regulation untuk Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur. No.07/th V/Desember 2008. Tanler, H. 2006. Math Journaling as a self regulated learning Technique in the Fifth-Grade Classroom. Oregon state university. Diakses tanggal 5 desember 2010 melalui www.linkpdf.com/ebook-viewer. Virtanena, P. & Nevgib, A. 2010. Disciplinary and gender differences among higher education students in self-regulated learning strategies, Educational Psychology Vol. 30, No. 3. Walz, C.& Lincoln, 2008. Journal Writing in Mathematics: Exploring the Connections between Math Journals and the Completion of Homework Assignment. Action Research Project Report. Department of Teaching, Learning, and Teacher Education University of Nebraska-Lincoln. Diakses 6 Desember 2010. melalui www.ubvu.nl. Winne, P. & Butler, D. 1995. Feedback and self-regulated learning: A theoretical synthesis. Research of Educational Review. 65. Wolters, C.A. (1998). Self-regulated learning and college s tudents’ regulation of motivation. Journal of Educational Psychology: 90. Zimmerman, B.J. 1989. A Social Cognitive View of Self-Regulated Academic Learning. Journal of Educational Psychology, Vol. 81, No. 3. Zimmerman,B. Bandura, A. and Martinez-pons, M. 1992. The Motivation for Academic Attachment: The Role of self Efficacy Beliefs and personal goal setting. American Educational Research journal, vol.29. no. 03. Zimmerman, B.J. 2002. Achieving Self-regulation: The trial and Triumph of Adolescence. In Pajares, F., & Urdan, T. 2002. Adolescence and education, vol.2, p. (122-124). Academic motivation of adolescence. Greenwich: Information Sage Publishing. Zimmerman, B.J. 2008. Investigating Self-Regulation and Motivation: Historical Background, Methodological Developments, and Future Prospects. American Educational Research journal. 45.
PENINGKATAN AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN PAI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK JIGSAW Siti Rohmah*
Abstract: The focus of this research are: whether the Learning Model Jigsaw Cooperative Learning Techniques increased activity of students in Islamic Education? This study uses a class action (PTK), with the cycle model (round or spiral) according to Kemmis and Mc Taggart consisting of three cycles. Class Action Research was carried out in several stages. They are: planning, action, observation and reflection. The results of this study indicate that after the application of the learning model of Jigsaw conducted from cycle 1 to cycle 3, an increase in the activity of PAI students in the learning process, ie in cycle 1 to cycle 2 on average 12.5% of student activity, in cycle 2 to cycle 3 student activity’s average becomes 15.62%, so increase of student activity’s average becomes 37.5%. It can be concluded that the Jigsaw cooperative learning model can improve the learning activities of students in PAI. Kata Kunci:
cooperatif learning tipe Jigsaw, Penelitian Tindakan Kelas
PENDAHULUAN Dalam pembelajaran PAI guru sering kali menggunakan model pembelajaran ceramah. Model pembelajaran ini tidak dapat membangkitkan aktivitas siswa dalam belajar. Hal ini tampak dari perilaku siswa yang cenderung hanya mendengar dan mencatat pelajaran yang diberikan guru. Siswa tidak mau bertanya apalagi mengemukakan pendapat tentang materi yang diberikan Melihat kenyataan-kenyataan pada sikap siswa di dalam proses pembelajaran tersebut di atas, peneliti berpendapat bahwa aktivitas siswa dalam *.
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jl. KH.Ahmad Dahlan Ciputat Jakarta Selatan, e-mail:
[email protected]
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 191
pembelajaran PAI sangat kurang. Karena masih jauh dari pengertian aktivitas yang diungkapkan dari para ahli. Seperti Paul D. Dierich dalam Oemar Hamalik, mengemukakan bahwa jenis aktivitas dalam kegiatan lisan atau oral adalah mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi (Hamalik, 2001: 173). Berdasarkan observasi pendahuluan, ditemukan bahwa siswa jarang sekali mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, apalagi mengajukan saran. Karena aktivitas siswa yang rendah itu, hasil belajar yang diperoleh juga menjadi rendah. Rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya perhatian siswa dalam mengikuti pelajaran PAI. Guru sering memberikan pelajaran dalam bentuk ceramah dan tanya-jawab, sehingga siswa tidak terangsang untuk mengembangkan kemampuan berfikir kreatif. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang model pembelajaran lain, sehingga pembelajaran lebih bermakna dan lebih berkualitas. Model pembelajaran yang akan peneliti coba untuk melakukannya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Ketertarikan peneliti mengambil model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, karena dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw semua anggota kelompok diberi tugas dan tanggung jawab, baik individu maupun kelompok. Jadi, keunggulan pada pembelajaran kooperatif Jigsaw dibanding dengan diskusi yaitu seluruh anggota dalam kelompok harus bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan, sebab tugas itu ada yang merupakan tanggung jawab individu dan ada pula tanggung jawab kelompok. Masalah penelitian dibatasi pada peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui model pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw. Dalam hal ini peneliti hanya meneliti aktivitas siswa, tidak meneliti sampai hasil belajar siswa, dengan materi Sholat Jum’at, di SMP Muslim Asia Afrika kelas VII semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui model pembelajaran kooperatif teknik jigsaw. Adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan tentang model pembelajaran Cooperative Learning teknik jigsaw sebagai upaya peningkatan
192
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
aktivitas siswa dalam pembelajaran PAI sehingga dapat dilakukan di Sekolah lain. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK), dengan menggunakan model siklus (putaran atau spiral) menurut Kemmis dan Mc Taggart yang terdiri dari tiga siklus. Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu : tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Siswa kelas VII SMP Muslim Asia Afrika Ciputat yang berjumlah 32 orang, terdiri dari 14 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. Alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah berupa instrumen untuk mencatat semua aktivitas siswa selama tindakan berlangsung. Ada dua macam alat pengumpul data yang digunakan, yaitu: 1.
Lembar Observasi Aspek-aspek yang diamati adalah: a. Keaktifan Siswa dalam bertanya b. Keaktifan siswa memberikan sanggahan c. Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan diskusi d. Keaktifan siswa dalam memberikan sara e. Keaktifan siswa dalam mengemukakan pendapat f. Keaktifan siswa dalam konsentrasi kelompok g. Keaktifan siswa dalam memerhatikan diskusi h. Keaktifan mempresentasikan hasil kerja kelompok i. Keaktifan siswa dalam keseriusan menyangkut diskusi j. Keaktifan siswa dalam menjalankan tugas
2.
Catatan Lapangan Catatan lapangan merupakan buku jurnal harian yang ditulis peneliti secara bebas, buku ini mencatat seluruh kegiatan pembelajaran serta sikap siswa dari awal sampai akhir pembelajaran.
Dalam menganalisis data menggunakan model sebagai berikut: data model pembelajaran kooperatif Jigsaw dan aktivitas siswa dikelompokkan dan ditabulasikan sesuai dengan fungsi, yaitu : Data X untuk model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Data Y untuk untuk
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 193
aktivitas siswa dalam pembelajaran PAI yang keduanya diambil dari data yang disebarkan kepada 32 responden. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK JIGSAW Jigsaw pertama kali diperkenalkan dan diujicobakan oleh Eliot Aronson dan teman-teman di Univrsitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends) Teknik metode Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et., al., sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pelajaran membaca, menulis, mendengarkan ataupun berbicara. Dalam teknik ini, guru memerhatikan latar belakang pengalaman belajar siswa mengaktifkan agar bahan pelajaran yang diajarkan menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesimpulan untuk mengolah informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. Keberhasilan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh pemilihan metode belajar yang ditentukan oleh guru. Sebab dengan penyajian pembelajaran secara menarik akan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa, sebaliknya jika pembelajaran itu disajikan dengan cara yang kurang menarik, membuat motivasi siswa rendah. Untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, upaya yang harus dilakukan guru adalah memilih model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi pembelajaran. Dengan model pembelajaran yang tepat diharapkan akan meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar sehingga hasil belajarpun dapat ditingkatkan. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut dengan anggota kelompok lain. Dengan demikian “siswa saling tergantung
194
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut: 1. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4–6 orang siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 195
2.
3. 4.
5. 6.
diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang diruntut sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidak selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning 2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton. 3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik Cooperative Learning. 4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran 5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
196
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran kooperatif di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan. 2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen. 3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang pembelajaran kooperatif. 4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber. 5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya system teknologi dari informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksakan di SMP Muslim Asia Afrika, yang terletak di Jl. KH. Dewantara No. 78 Kedaung Pamulang Tangerang Selatan. Sarana penunjang yang ada pada SMP Muslim Asia Afrika sangat memadai begitu juga dengan penunjang lainnya misalnya gedung milik sendiri, adanya perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup memadai sehingga siswa dengan mudah untuk mencari data yang dibutuhkan dari buku paket, buku penunjang lainnya, majalah dan bulletin. Internet sebagai media penunjang siswa dengan mudah mengakses keperluan bahan ajar sesuai pelajaran atau tugas yang diberikan oleh guru. Kualifikasi guru bidang studi mencapai 96 % S.I /A.IV yang sudah sesuai dengan jurusan masing-masing mengajar dengan bidangnya sehingga SMP Muslim Asia Afrika telah berupaya menuju Profesionalisme Guru yang diharapkan.
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 197
2. a.
Temuan Penelitian Siklus I Pertemuan 1 1). Perencanaan Tindakan Berkaitan dengan masalah penelitian ini sudah dirumuskan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Materi pelajaran yang dibahas pada siklus I ini adalah : “Sholat Jum’at”, dengan perencanaan penelitian sebagai berikut: a) Menyiapkan rencana pembelajaran b) Menyiapkan wacana / tugas c) Menyiapkan LKS d) Menyiapkan format observasi e) Membagi kelompok siswa, yaitu kelompok kooperatif asal enam orang anggota dan kelompok ahli tujuh kelompok terdiri dari empat kelompok terdiri enam orang dan tiga kelompok tujuh orang. 2). Pelaksanaan Tindakan. Berikut ini dipaparkan kondisi riil yang dialami selama proses belajar mengajar berlangsung. a) Pendahuluan Membuka pelajaran, mengabsensi kehadiran siswa dilanjutkan dengan tanya jawab singkat mengenai Sholat Jumat. b) Kegiatan Inti Membuat kelompok awal yang beranggotakan enam orang dan memberi nomor kepala kepada setiap anggota kelompok dan selanjutnya membuat kelompok ahli, masing-masing anggota kelompok yang bernomor kepala sama membuat kelompok masing-masing. Setiap kelompok ahli menjawab pertanyaan-pertanyaan di LKS sebagai berikut: a) Kelompok yang bernomor kepala satu menjawab pilihan ganda nomor 1 s.d 10. b) Kelompok yang bernomor kepala dua mengisi pilihan ganda nomor 11 sampai dengan 20.
198
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
c) Kelompok dengan nomor kepala tiga mengisi atau menjawab no 21 sampai dengan 30. d) Kelompok yang bernomor kepala empat mengisi atau menjawab no 31 sampai dengan 40 e) Kelompok yang berkepala lima mengisi atau menjawab isian singkat no. 1 sampai dengan 5 3). Kegiatan Penutup a) Membahas jawaban yang salah sekaligus b) Menyimpulkan materi dan c) Merefleksikan materi yang dibahas. b.
Siklus II Pertemuan 2 1). Perencanaan Siklus II Pada siklus II ini dilakukan tindakan seperti pada siklus pertama. Materi pelajaran yang dibahas adalah “Sholat Jum’at”. Siklus kedua ini dilaksanakan satu kali tatap muka yaitu 2×40 menit. Seluruh perangkat pembelajaran disusun sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Sedangkan rencana tindakan yang dilaksanakan adalah: a) Menyiapkan Rencana Pembelajaran untuk satu kali pertemuan, b) Menyiapkan format observasi aktivitas siswa dalam PBM, c) Membagi kelompok siswa, yaitu kelompok kooperatif asal enam orang anggota dan kelompok ahli tujuh kelompok terdiri dari empat kelompok terdiri enam orang dan tiga kelompok tujuh orang. Berdasarkan hasil refleksi siklus satu, maka tindakan tambahan yang direncanakan pada siklus dua ini adalah: a) Memberikan arahan kembali tentang langkah-langkah kerja kelompok b) Kepada siswa, diinformasikan topik pelajaran yang akan dibahas minggu depan dengan tujuan agar siswa lebih siap lagi melakukan kegiatan pembelajaran c) Kelompok siswa direvisi sehingga dalam kelompok tersebut benar-benar heterogen dalam berbagai hal.
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 199
2). Pelaksanaan Siklus II Pertemuan pertama pada siklus dua ini, masing-masing nomor kepala mendapat tugas yang berbeda, yaitu: a) Nomor kepala satu membahas : Pengertian dan hukum Sholat Jum’at. b) Nomor kepala dua membahas : Syarat-syarat Sholat Jum’at. c) Nomor kepala tiga membahas : Sunah-sunah Sholat Jum’at. d) Nomor kepala empat membahas : Hal-hal yang menghalangi shalat Jum’at e) Nomor kepala lima membahas : Fungsi Sholat Jum’at. Kondisi riil yang dialami selama proses pembelajaran dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Pendahuluan Membuka pelajaran, memerhatikan penjelasan-penjelasan guru dengan baik saat membuka pelajaran, mulai dari mengabsensi siswa, memberikan motivasi, sampai menyampaikan kompetensi dan indikator yang akan dicapai. Kemudian guru membentuk kelompok dan penjelasan kerja kelompok. b.
Kegiatan Inti Ada tiga tahapan pada kegiatan inti ini, yaitu: a) Tahap I Pada tahap ini siswa diberi wacana / tugas melalui kelompok. Masing-masing anggota kelompok mencatat dan mencari tugas yang menjadi bagiannya. Pada tahapan ini masih ada siswa yang kurang perhatian terhadap tugasnya, namun secara keseluruhan sudah ada peningkatan. b) Tahap II Siswa yang mempunyai nomor kepala yang sama bergabung dalam satu kelompok. Masing-masing kelompok melaksanakan diskusi untuk membahas topik/materi yang menjadi tanggungjawabnya. Guru memerhatikan semua kelompok dan memberi bantuan
200
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
seperlunya pada kelompok yang mengalami kesulitan. Guru bersama observer dari teman sejawat mengamati aktivitas siswa yang sedang bekerja pada kelompok masing-masing. Pada tahap ini secara umum siswa kelihatan sudah serius bekerja, sehingga konsep pelajaran yang didiskusikan dapat dikuasai dengan baik. Selanjutnya siswa kembali ke kelompok asal untuk menyampaikan secara bergiliran materi yang sudah dipelajarinya pada kelompok ahli dengan jelas. c) Tahap III Siswa berkomunikasi dan berdiskusi dengan serius untuk menyelesaikan tugas kelompoknya. Siswa saling memberi dan menerima informasi untuk mendapatkan konsep pelajaran secara utuh. Selanjutnya setiap kelompok membuat laporan hasil kerjanya untuk dipresentasikan di depan kelas. 3). Kegiatan Penutup 1. Refleksi pembelajaran dan persiapan presentasi minggu depan 2. Tindak lanjut (penugasan) : membagi tugasmasingmasing kelompok bagi untuk mempresentasikan yang akan dilaksanakan minggu berikutnya supaya terlaksana dengan efektif. c.
Siklus III Pertemuan 3 1). Perencanaan Siklus III Pada siklus III ini dilakukan tindakan seperti pada siklus kedua. Materi pelajaran yang dibahas adalah “Sholat Jum’at”. Siklus ketiga ini terdiri dari satu kali tatap muka dan satu kali tatap muka 2×40 menit. Seluruh perangkat pembelajaran disusun sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Sedangkan rencana tindakan yang dilaksanakan adalah: a) Menyiapkan Rencana Pembelajaran untuk satu kali pertemuan,
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 201
b) Menyiapkan format observasi aktivitas siswa dalam PBM, c) Membagi kelompok siswa, yaitu kelompok kooperatif asal enam orang anggota dan kelompok ahli tujuh kelompok terdiri dari empat kelompok terdiri tujuh orang dan tiga kelompok delapan orang untuk mempresentasikan materi / tugas minggu lalu. Berdasarkan hasil refleksi siklus dua, maka tindakan tambahan yang direncanakan pada siklus tiga ini adalah: a) Memberikan arahan kembali tentang langkah-langkah presentasi kelompok di depan kelas. b) Memberikan penilaian kinerja (pengamatan diskuai dan kerja kelompok) hasil presentasi di depan kelas. c) Menyiapkan lembar observasi d) Menyiapkan lembar pengamatan diskusi e) Menyiapkan pengamatan sikap dan minat. 2). Pelaksanaan Siklus III Pertemuan pertama pada siklus tiga ini, masing-masing nomor kepala mendapat tugas mempresentasikan hasil diskusi minggu lalu, yaitu: a) Kelompok bernomor kepala satu mempresentasikan : Hakikat kemerdekaan mengemukakan pendapat. b) Nomor kepala satu membahas : Pengertian dan hukum Sholat Jum’at. c) Nomor kepala dua membahas : Syarat-syarat Sholat Jum’at. d) Nomor kepala tiga membahas : Sunah-sunah Sholat Jum’at. e) Nomor kepala empat membahas : Hal-hal yang menghalangi shalat Jum’at f) Nomor kepala lima membahas : Fungsi Sholat Jum’at. Kondisi riil yang dialami selama proses pembelajaran dapat dipaparkan sebagai berikut: a. Pendahuluan Membuka pelajaran, memerhatikan penjelasanpenjelasan guru dengan baik saat membuka pelajaran, mulai dari mengabsensi siswa, memberikan motivasi,
202
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
sampai menyampaikan kompetensi dan indikator yang akan dicapai. Kemudian guru membentuk kelompok dan penjelasan kerja kelompok. b.
Kegiatan Inti Pada tahapan ini siswa masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok minggu lalu sesuai dengan waktunya masing-masing. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi minggu lalu dan siswa berkomunikasi dan berdiskusi dengan serius untuk menyelesaikan tugas kelompoknya. Siswa saling memberi dan menerima informasi untuk mendapatkan konsep pelajaran secara utuh. Selanjutnya setiap kelompok membuat laporan hasil kerjanya untuk dikumpulkan dan di nilai.
c.
Kegiatan Penutup Refleksi meyimpulkan materi serta meluruskan pernyataan atau pendapat dan juga saran saran siswa.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Setelah penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw dilaksanakan dari siklus 1 sampai siklus 3 secara perlahan timbul keberanian siswa, sehingga terjadi peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, hal itu terbukti pada lembar observasi bahwa aktivitas siswa dalam memberikan sanggahan, menyampaikan pendapat dan bertanya mengalami peningkatan. 1) LEMBAR OBSERVASI Aktivitas yang diamati yaitu: a. Keaktifan Siswa dalam bertanya b. Keaktifan siswa memberikan sanggahan c. Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan diskusi d. Keaktifan siswa dalam memberikan saran e. Keaktifan siswa dalam mengemukakan pendapat f. Keaktifan siswa dalam konsentrasi kelompok g. Keaktifan siswa dalam memerhatikan materi diskusi h. Keaktifan mempresentasikan hasil kerja kelompok i. Keaktifan siswa dalam keseriusan menyangkut diskusi j. Keaktifan siswa dalam menjalankan tugas.
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 203
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Aktivitas Belajar Siswa N0
Aktivitas yang diamati
Jumlah siswa Pertemuan 1
Pertemuan 2
Pertemuan 3
1
Keaktifan Siswa dalam bertanya
6
10
15
2
Keaktifan siswa memberikan sanggahan
3
8
17
3
Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan diskusi.
5
18
28
10
18
23
6
17
26
12
20
26
22
28
30
12
30
32
24
28
30
32
32
32
Keaktifan siswa dalam memberikan saran Keaktifan siswa dalam mengemukakan pendapat Keaktifan siswa dalam konsentrasi kelompok Keaktifan siswa dalam memerhatikan materi diskusi Keaktifan mempresentasikan hasil kerja kelompok Keaktifan siswa dalam keseriusan menyangkut materi diskusi Keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas
4 5 6 7 8 9 10
Dari tabel di atas terlihat sudah terjadinya perubahan yang cukup berarti untuk semua aktivitas yang diteliti. Khusus aktivitas yang ke enam, yaitu mempresentasikan hasil kerja kelompok memang tidak ada perubahan, karena presentase berdasarkan kelompok yang terdiri dari enam kelompok, sehingga yang tampil satu orang per kelompok. Tabel 2 Pengolahan Data Lembaran Observasi Aktivitas Belajar Siswa Data Prosentase No
1
Aktivitas yang diamati Keaktifan Siswa dalam bertanya
Peningkatan (%)
Siklus I Siklus Siklus Siklus Siklus (%) II (%) III (%) 1 – 2 2-3 18,75 31,25 46,87
12,5
15,62
Siklus 1-3 28,12
Ratarata (%) 37,5
204 2
3
4
5
6
7
8
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014 Keaktifan siswa memberikan sanggahan Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan diskusi. Keaktifan siswa dalam memberikan saran Keaktifan siswa dalam mengemukakan pendapat Keaktifan siswa dalam konsentrasi kelompok Keaktifan siswa dalam memerhatikan materi diskusi Keaktifan mempresentasikan hasil kerja kelompok
9,37
25
15,62 56,25
53,125 15,62 28,125
87,5
43,75
58,33
40,62
31,25
71,87
95,83
25
15,62
40,62
54,16
18,75 53,12 81,25 34,37
28,12
62,5
83,33
37,5
62,5
81,25
18,75
43,75
58,33
68,75
87,5
93,75 18,75
6,25
25
33,33
37,5
93,75
6,25
62,5
83,33
31,25 56,25 71,87
100
25
56,25
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa dari siklus 1 ke 2, siklus 2 ke 3, siklus 1 ke 3. Aspek dalam memberi sanggahan pada awal (pertemuan 1, siklus 1) sangat kurang sekali, yaitu hanya 3 orang siswa yang berani dari 32 siswa yang ada (9.7%). Kemudian dengan memberikan penjelasanpenjelasan dan motivasi dalam proses pembelajaran, maka terjadilah peningkatan aktivitas belajar pada pertemuan berikutnya. Selanjutnya aktivitas yang sangat kurang pada awal (siklus 1) yaitu dalam hal memberikan saran atau menyampaikan sanggahan. Menurut pengamatan peneliti hal ini terjadi karena keterbatasan ilmu dan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari. Dan yang sangat menentukan sekali adalah siswa tidak terbiasa dan tidak berani tampil untuk mengajukan pendapat, memberikan saran dan memberikan sangahan. Namun setelah penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw dilaksanakan dari sikulus 1 sampai siklus 3 secara perlahan timbul keberanian siswa, sehingga aktivitas siswa dalam proses pembelajaran mengalami peningkatan, yaitu pada siklus 1 ke siklus 2 ratarata aktivitas siswa 12.5 %, pada siklus 2 ke siklus 3 rata-rata aktivitas siswa menjadi 15,62 %. Jadi peningkatan rata-rata aktivitas siswa menjadi 37,5 %.
Peningkatan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran PAI … 205
Sebagaimana pada siklus I, II dan III, saat membuka pelajaran secara keseluruhan siswa tertarik mengikuti pelajaran. Permasalahan yang muncul pada siklus I, II dan III, sudah jauh berkurang. Secara rinci kondisi proses pembelajaran dan keaktifan siswa sebagai berikut: 1. Siswa sudah dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. 2. Secara komprehensif siswa sudah mampu menyelesaikan konsepkonsep yang dibahas secara utuh. 3. Pada kegiatan kelompok tahap II maupun tahap III , siswa sudah dapat berdiskusi dengan baik dan mencatat hasil diskusinya. 4. Frekuensi bertanya dan menjawab sudah meningkat. Dengan meningkatnya aktivitas siswa tersebut sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa siswa memahami materi pelajaran yang di pelajari, sesuai yang dilakukan pada siklus 1, II dan III. Juga dilakukan diskusi yang mendalam terhadap deskripsi data yang dipaparkan, sedangkan pada siklus II dan III aktivitas belajar siswa terjadi perubahan keaktifan yang cukup berarti. Pada awalnya (siklus I) siswa belum berani dan ragu-ragu untuk menyampaikan sanggahan dan memberikan saran, namun pada siklus II dan Siklus III, sudah ada keberanian untuk memberikan saran dan menyampaikan sanggahan. Demikian juga dalam mengerjakan tugas kelompok atau diskusi, secara keseluruhan siswa sudah menunjukkan aktivitas yang baik. SIMPULAN Setelah penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw dilaksanakan dari siklus 1 sampai siklus 3, terjadi peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran PAI, yaitu pada siklus 1 ke siklus 2 ratarata aktivitas siswa 12.5%, pada siklus 2 ke siklus 3 rata-rata aktivitas siswa menjadi 15.62 %, jadi peningkatan rata-rata aktivitas siswa menjadi 37.5 %. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran PAI di SMP Muslim Asia Afrika. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: Siswa dapat mengikuti proses pembelajaran lebih bergairah dan bersemangat, timbulnya keberanian siswa dalam menyampaikan ide atau pikiran, tumbuhnya rasa percaya diri siswa dalam mengemukakan pendapatnya, mening-
206
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
katnya rasa tanggung jawab siswa dalam mengikuti pembelajaran dan berkurangnya siswa yang membicarakan materi di luar diskusi. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Hamzah dan Annanda Santosa. 1996. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya: Fajar Mulya. Anton, M. Mulyono. 2000. Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Artmanda, Prista. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jombang: Lintas Media. Budiardjo, Meriam. 1997. Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta : Gramedia. Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Depdikbud. Depdiknas. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan, Kurikulum dan Silabus Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : Depdiknas. Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. DW, Johnson & Johnson, R, T. 1991. Learning Together and Alone. Allin and Bacon : Massa Chussetts. Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Juenarto. 1974. Sumber-Sumber Hukum HTN di Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Sardiman, A.M. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Senjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prima. Team Pelatih Penelitian Tindakan. 2000. Penelitian Tindakan (Action Research). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Team Pustaka Phoenik. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Terbaru. Jakarta : Pustaka Phoenik.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN IPA DALAM RANGKA PENINGKATAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU KELAS MI Budiyono Saputro*
Abstract: The fact shows that the classroom teacher of Elementary School (MI) in various regions dominated by the alumni of Islamic Education (PAI). One of the task of the class teacher in MI is to deliver the subject matter of Natural Sciences (IPA). Science learning process at the level of MI aims to enable students to understand the basic notions of science and its relevance to everyday life and understand the natural environment. The essence and existence of the teacher to manage or perform science learning management, especially those of classroom teachers of MI, is a necessity. Management of science learning is done as a part of the efforts to support the achievement of professional competence of MI’s science teacher as a classroom teacher. One of the solutions in order to improve the professional competence of teachers is through training. Training in classroom management framework including planning, implementation and evaluation of learning. Planning, for example, is a preparation of learning tools, media planning, methods, and teaching materials. Training of implementation of learning is learning implementation from the side of deepness and suitability of materials, methods, media and evaluation tools. Training of evaluation of learning includes analysis of question items, analysis of the final value and reflection of learning. Kata Kunci:
*.
manajemen pembelajaran profesional guru MI
IPA,
kompetensi
Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Jl. Tentara Pelajar No.02 Salatiga, e-mail:
[email protected]
208
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
PENDAHULUAN Berdasarkan kenyataan di lapangan guru kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) di berbagai daerah didominasi alumni Pendidikan Agama Islam (PAI). Tugas guru kelas di MI salah satunya adalah menyampaikan materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Proses belajar mengajar IPA pada tingkat MI bertujuan agar siswa memahami pengertian-pengertian dasar IPA dan saling berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, memahami lingkungan alam, sehingga dengan melihat tujuan pengajaran IPA pada tingkat MI/SD, maka didalam menyampaikan materi IPA kepada siswa tentunya berbeda dengan materi pelajaran yang lain, terutama dalam metode penyampaian materi. Saputro (2013) telah melakukan penelitian terhadap guru kelas bidang IPA lulusan PAI di MI se-kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang sebagai berikut: (1) kondisi nyata pemanfaatan alat peraga secara kontekstual pada guru IPA MI di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut: (a) 87,5% guru IPA MI di Kecamatan Ngablak belum melaksanakan pemanfaatan alat peraga IPA secara kontekstual, 75% guru IPA MI tidak suka dalam pemanfaatan alat peraga dalam pembelajaran IPA, 87,5% guru IPA MI se-Kecamatan Ngablak mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi IPA dengan menggunakan alat peraga, (b) minat guru IPA MI se-Kecamatan Ngablak dalam mengikuti pelatihan pemanfaatan alat peraga IPA secara kontekstual adalah sebesar 100%, (c) kebutuhan pelatihan dan pemanfaatan alat peraga IPA berdasarkan rekapitulasi tabel 5 adalah sebesar 100%. (2) Cara optimalisasi pemanfaatan alat peraga IPA secara kontekstual bagi guru IPA MI di Kecamatan Ngablak adalah sebagai berikut: pelatihan merupakan sebuah solusi untuk peningkatan kompetensi pedagogik guru IPA MI se-Kecamatan ngablak, perlu Fasilitator dalam pelatihan sesuai dengan kompetensi IPA, perlu implementasi hasil pelatihan pasca pelatihan di lapangan, perlu supervisor untuk mengamati implementasi hasil pelatihan pasca pelatihan di lapangan. (3) Model manajemen pelatihan alat peraga secara kontekstual efektif dapat meningkatan kompetensi pedagogik guru IPA MI di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Efektifitas model manajemen pelatihan alat peraga secara kontekstual dapat ditunjukkan pada: (1) Hasil penilaian model manajemen pelatihan alat peraga IPA secara kontekstual oleh peserta dengan kategori sangat baik dari setiap unsur model manajemen, (2) peningkatan kemampuan pretes dan postes
Manajemen Pembelajaran IPA … 209
peserta, paired t test diperoleh hasil signifikansi 0,000 < 0,05, dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara hasil pretes dengan postes., (3) hasil pengamatan kemampuan penggunaan alat peraga IPA peserta pascapelatihan di sekolah masing-masing dengan hasil kompeten. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, menjadi sangat penting bagi guru untuk mengelola atau melakukan manajemen pembelajaran IPA khususnya bagi guru kelas MI. Satu diantara manajemen pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah persiapan pembelajaran dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP dipersiapakan sejak awal sebelum proses pembelajaran dimulai. Ruang lingkup RPP terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait dan menunjukkan persiapan guru dalam mengajar. Manajemen pembelajaran dilakukan sebagai upaya untuk mendukung tercapainya kompetensi profesional guru. MANAJEMEN PEMBELAJARAN GURU KELAS MI DAN SOLUSINYA Beberapa teori dasar manajemen seperti pendapat para ahli berikut: Hanry L. Sisk mendefinisikan Management is the coordination of all resources through the processes of planning, organizing, directing and controlling in order to attain stted objectivies. Artinya manajemen adalah pengkoordinasian untuk semua sumber-sumber melalui proses-proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan di dalam ketertiban untuk tujuan. Manajemen merupakan suatu sistem dan memiliki komponen. Teori dasar manajemen menurut Terry (1977: 4) “management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human beings and other resources”. Artinya manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggiatan dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lain. Mulyono (2009: 18) menyatakan “manajemen adalah sebuah proses yang khas yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan serta evaluasi yang dilakukan pihak pengelola organisasi untuk mencapai tujuan bersama dengan memberdayakan sumber daya
210
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
lainnya”. Menurut Fattah (2009: 1) “manajemen diartikan sebagai proses merencana, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efesien”. Kamil (2010: 16) “secara manajerial, fungsi-fungsi organizer pelatihan adalah merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pelatihan”. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan bahwa pembelajaran adalah proses interaktif peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Danim, S (2002) bahwa manajemen kelas sebagai proses mengorganisasikan segala sumber daya kelas bagi terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efesien. Pembelajaran memerlukan manajemen sehingga dengan demikian proses belajar mengajar dan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. Esensi dan eksistensi manajemen kelas seorang guru dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran. Yulaelawati (2004) konsep manajemen pembelajaran dapat diartikan proses mengelola yang meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian (pengarahan) dan pengevaluasian kegiatan yang berkaitan dengan proses membelajarkan si pembelajar dengan mengikutsertakan berbagai faktor di dalamnya guna mencapai tujuan. Dalam “memanaje” atau mengelola pembelajaran, manajer dalam hal ini guru melaksanakan berbagai langkah kegiatan mulai dari merencanakan pembelajaran, mengorganisasikan pembelajaran, mengarahkan dan mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan. Pengertian manajemen pembelajaran demikian dapat diartikan secara luas dalam arti mencakup keseluruhan kegiatan bagaimana membelajarkan siswa mulai dari perencanaan pembelajaran sampai pada penilaian pembelajaran. Berdasarkan pengertian manajemen dan pembelajaran dari para ahli di atas, maka manajemen pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan seorang guru dalam mengelola pembelajaran yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien. Manajemen pembelajaran berkaitan erat dengan fungsi manajemen pembelajaran. Adapun fungsi-fungsi manajemen pembelajaran adalah: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Fungsi-fungsi manajemen pembelajaran secara rinci adalah sebagai berikut.
Manajemen Pembelajaran IPA … 211
1.
Perencanaan Pembelajaran Guru dalam menjalankan tugasnya memiliki tugas merencanakan pembelajaran. Majid, A (2005) Perencanaan adalah proses penetapan dan pemanfaatan sumber daya secara terpadu yang diharapkan dapat menunjang kegiatan-kegiatan dan upayaupaya yang akan dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam mencapai tujuan. Dalam konteks pembelajaran perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, penggunaan media pembelajaran, penggunaan pendekatan atau metode pembelajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Perencanaan pembelajaran merupakan langkah awal guru dalam mempersiapkan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran yang dilakukan guru hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: tujuan pembelajaran, kebutuhan dan potensi siswa, media, metode, dan strategi pembelajaran.
2.
Pelaksanaan Pembelajaran Proses kegiatan belajar mengajar di lapangan atau di kelas merupakan pelaksanaan pembelajaran. Proses kegiatan belajar mengajar merupakan interaksi antara guru dengan siswa. Fungsi pelaksanaan pembelajaran ini memuat kegiatan pengelolaan dan kepemimpinan pembelajaran yang dilakukan guru di kelas dan pengelolaan peserta didik. Selain itu juga memuat kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kepala sekolah seperti pembagian pekerjaan ke dalam berbagai tugas khusus yang harus dilakukan guru, juga menyangkut fungsi-fungsi manajemen lainnya. Oleh karena itu, dalam hal pelaksanaan pembelajaran mencakup dua hal yaitu, pengelolaan kelas dan peserta didik serta pengelolaan guru. Majid, A (2005:165) pengelolaan kelas sedikitnya terdapat tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu ruang belajar, pengaturan sarana belajar, susunan tempat duduk, yaitu ruang belajar, pengaturan sarana belajar, susunan tempat duduk, penerangan, suhu, pemanasan sebelum masuk ke materi yang akan dipelajari (pembentukan dan pengembangan kompetensi) dan bina suasana dalam pembelajaran.
212
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
3.
Evaluasi Pembelajaran Hamalik, O (2008: 156) Evaluasi merupakan suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal yang telah dimiliki oleh siswa dari hal-hal yang telah diajarkan oleh guru. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses bahwa evaluasi pembelajaran mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi proses pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Pidarta (2004) bahwa praktek manajemen menunjukkan bahwa fungsi atau kegiatan manajemen seperti planing, organizing, actuating, dan controling secara langsung atau tidak langsung selalu bersangkutan dengan unsur manusia, planning dalam manajemen adalah perencanaan oleh manusia, organizing adalah mengatur tugas dan wewenang unsur manusia, actuating adalah proses menggerakkan manusia-manusia anggota organisasi, sedang controlling diadakan agar pelaksanaan manajemen (manusia-manusia) selalu dapat meningkatkan hasilnya.
Berbagai kendala yang dihadapi guru dalam praktek manajemen pembelajaran di kelas, maka dapat ditempuh dengan sebuah solusi. Satu diantara solusi tersebut adalah pelatihan. Pelatihan dalam rangka manajemen kelas di antaranya adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Perencanaan misalnya persiapan perangkat pembelajaran, perencanaan media, metode, bahan ajar. Pelatihan pelaksanaan pembelajaran yang merupakan implementasi pembelajaran dari sisi kedalam dan kesesuaian materi, metode, media dan alat evaluasi. Pelatihan evaluasi pembelajaran di antaranya analisis butir item soal, analisis nilai akhir dan refleksi pembelajaran. KOMPETENSI PROFESONAL GURU KELAS MI DAN UPAYA PENINGKATANNYA Kompetensi menurut Wibowo (2010: 324) “adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan
Manajemen Pembelajaran IPA … 213
atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut”. Spencer and Spenser dalam Uno (2010:62) mendefinisikan “kompetensi adalah kemampuan sebagai karakteristik yang menonjol dari seseorang individu yang berhubungan dengan kinerja efektif dan atau superior dalam suatu pekerjaan atau situasi”. Sedangkan definisi kompetensi menurut Sedarmayanti (2010: 126) “kompetensi diartikan sebagai kecakapan, ketrampilan dan kemampuan”. Menurut Kunandar (2011:55) “kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif”. Saud (2009:45) “kompetensi dipandang sebagai pilarnya atau teras kinerja dari suatu profesi”. Menurut Oemar Hamalik (1991:32) bahwa tugas profesional guru adalah: (1) bertindak sebagai model bagi para anggotanya, (2) merangsang pemikiran dan tindakan, (3) memimpin perencanaan dalam mata pelajaran, (4) memberikan nasehat kepada executive teacher sesuai dengan kebutuhan tim, (5) membina dan memelihara literature profesional dalam daerah pelajarannya, (6) Bertindak atau memberikan pelayanan sebagai manusia sumber dalam daerah pelajaran tertentu dengan referensi pada inservice training dan pengembangan kurikulum, (7) mengembangkan file kurikulum dalam daerah pelajaran tertentu dan mengajar di kelas-kelas yang paling besar, (8) memelihara hubungan dengan orang tua murid dan memberikan komentar atau laporan, (9) bertindak sebagai pengajar dalam timnya. Berdasarkan Undang-Undang Kompetensi profesional guru kelas MI/SD dalam Undang-Undang Guru dan Dosen RI No.14 Tahun 2005 adalah: (1) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, (3) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (4) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri. Uno (2009) bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki seperangkat kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan perilaku) yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Kompetensi guru di
214
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Indonesia yang telah dikembangkan oleh Proyek Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu sepuluh kompetensi guru sebagai berikut: (1) menguasai bahan, (2) mengelola program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media/sumber belajar, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai prestasi belajar, (8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah dan (10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran. Kompetensi profesional guru dapat dicapai dengan berbagai upaya. Satu diantara solusi dalam rangka peningkatan kompetensi profesional melalui pelatihan. Hasil penelitian Saputro (2012) bahwa model manajemen pelatihan IPA terpadu efektif dapat meningkatan kemampuan profesional guru IPA dalam pembelajaran IPA terpadu. Hal tersebut terbukti dengan tercapainya kompetensi profesional dalam penyampaian pembelajaran IPA terpadu pasca pelatihan IPA terpadu dari tamatan pelatihan dengan rerata 4,68 (sangat profesional). Secara umum model manajemen pelatihan IPA terpadu lebih baik, lebih mudah dipahami dan mudah dijalankan serta lebih lengkap unsur manajemennya yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, monitoring serta tindak lanjut pasca pelatihan. Senada dengan Uno (2009) dalam kegiatan profesionalnya, guru harus memiliki kemampuan untuk merencanakan program pembelajaran dan kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran. Kemampuan tersebut diperoleh dengan latihan yang berkesinambungan, baik pada masa pendidikan prajabatan maupun pada masa pendidikan dalam jabatan. Depdikbud (1998) untuk mengukur kemampuan guru diperlukan Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG meliputi: a. Kemampuan membuat perencanaan pengajaran, meliputi: 1). Perencanaan pengorganisasian bahan pengajaran. 2). Perencanaan pengolahan kegiatan belajar mengajar. 3). Perencanaan Pengelolaan kelas. 4). Perencanaan penggunaan media dan sumber belajar. 5). Perencanaan penilaian hasil belajar. b.
Kemampuan dalam mengajar di Kelas, meliputi: 1). Menggunakan metode, media dan bahan latihan.
Manajemen Pembelajaran IPA … 215
2). Berinteraksi dengan siswa. 3). Mendemonstrasikan khazanah metode mengajar. 4). Mendorong dan menggalakkan ketertiban siswa dalam kelas. 5). Mendemonstrasikan penguasan mata pelajaran. 6). Mengorganisasikan waktu, ruang, bahan perlengkapan. 7). Melakukan evaluasi hasil belajar. c.
Kemampuan mengadakan hubungan antara pribadi siswa, meliputi: 1). Membantu mengembangkan sikap positif pada diri siswa. 2). Bersikap terbuka dan luwes terhadap siswa dan orang lain. 3). Menampilkan kegairahan dan kesanggupan dalam kegiatan belajar mengajar serta dalam pelajaran yang diajarkan.
MATERI PEMBELAJARAN IPA MI/SD Materi IPA MI tentang pengertian-pengertian dasar IPA dan saling berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, memahami lingkungan alam. Berdasarkan. Pengajaran IPA bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan tentang alam sekitar mempunyai minat untuk mengenal dan mempelajari benda-benda serta kejadian di lingkungan sekitar bersikap ingin tahu, tekun, terbuka, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, bekerja sama dan mandiri mampu menerapkan berbagai konsep IPA mampu menggunakan teknologi sederhana mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar, sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Materi MI/SD IPA lebih mudah dipahami oleh siswa jika disampaikan melalui pendekatan kontekstual, hal tersebut dikarenakan pendekatan kontekstual memberikan konsep yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Metode pembelajaran IPA praktikum, demonstrasi dan pembelajaran out door juga memberikan konsep nyata pada siswa. Penyampaian pembelajaran IPA agar siswa paham yang disampaikan oleh guru diperlukan manajemen pembelajaran IPA yang optimal. Adapun manajemen pembelajaran IPA adalah sebagai berikut: (1) guru membuat perencanaan pengajaran (2) pelaksanaan pembelajaran, dan (3) guru melakukan evaluasi pembelajaran.
216
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran IPA esensinya memerhatikan kesesuaian materi IPA dengan potensi siswa. Contoh materi fotosintesis, guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran fotosintesis menekan-kan pada konsep nyata dan keterkaitan fotosintesis dalam kehidupan sehari-hari siswa. Perencanaan pembelajaran IPA melalui RPP dikondisikan sesuai kebutuhan dan potensi siswa, mulai dari contoh tumbuhan yang melakukan fotosintesis, bahan-bahan yang digunakan untuk praktikum dan pendukung pelaksanaan pembelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan konsep manajemen yang demikian maka siswa lebih mudah dalam menerima materi pembelajaran IPA. SIMPULAN Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kenyataan di lapangan guru kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) di berbagai daerah didominasi alumni Pendidikan Agama Islam (PAI). Tugas guru kelas di MI salah satunya adalah menyampaikan materi pelajaran IPA. Esensi dan eksistensi guru untuk mengelola atau melakukan manajemen pembelajaran IPA khususnya bagi guru kelas MI merupakan suatu kebutuhan. Satu diantara manajemen pembelajaran yang dilakukan oleh guru adalah persiapan pembelajaran dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Manajemen pembelajaran dilakukan sebagai upaya untuk mendukung tercapainya kompetensi profesional guru. Berbagai kendala yang dihadapi guru dalam praktek manajemen pembelajaran di kelas, maka dapat ditempuh dengan sebuah solusi. Pelatihan dalam rangka manajemen kelas di antaranya adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Perencanaan misalnya persiapan perangkat pembelajaran, perencanaan media, metode, bahan ajar. Pelatihan pelaksanaan pembelajaran yang merupakan implementasi pembelajaran dari sisi kedalam dan kesesuaian materi, metode, media dan alat evaluasi. Pelatihan evaluasi pembelajaran di antaranya analisis butir item soal, analisis nilai akhir dan refleksi pembelajaran. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran IPA esensinya memerhatikan kesesuaian materi IPA dengan potensi siswa. Contoh materi fotosintesis, guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran fotosintesis menekankan pada konsep nyata dan keterkaitan
Manajemen Pembelajaran IPA … 217
fotosintesis dalam kehidupan sehari-hari siswa. Perencanaan pembelajaran IPA melalui RPP dikondisikan sesuai kebutuhan dan potensi siswa, mulai dari contoh tumbuhan yang melakukan fotosintesis, bahan-bahan yang digunakan untuk praktikum dan pendukung pelaksanaan pembelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan konsep manajemen yang demikian maka siswa lebih mudah dalam menerima materi pembelajaran IPA. DAFTAR PUSTAKA Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. Dirjen Depdikbud. 1998. Proyek Peningkatan Guru, Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta: Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan. Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hamalik, Oemar. 1991. Pendidikan Guru, Konsep dan Strategi. Bandung: Mandar Maju. Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara. Kamil, M. 2010. Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta. L. Sisk, Hanry. 1969. Principles of Management a System Appoach to The Management Proces. Chicago: Publishing Company. Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyono. 2009. Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Saputro, B. 2013. Efektifitas Model Manajemen Pelatihan Alat Peraga IPA Melalui Pendekatan Kontekstual dalam rangka Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru IPA Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Penelitian Individual. Salatiga: P3M STAIN Salatiga. Saputro, B. 2013. Pengemgembangan Model Manajemen Pelatihan IPA Terpadu dalam Rangka Peningkatan Kemampuan
218
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Profesional bagi Guru IPA SMP Se-Kabupaten Kudus. Disertasi. Semarang: UNNES Semarang. Saud, U. S. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Sedarmayanti. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Refika Aditama. Terry, G. R. 1977. Principles of Management. 7rd ed. United State of America: Illionis Richard D. Irwin, Inc. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2010. Jakarta: Diperbanyak oleh Sinar Grafika. Uno, H. B. 2010. Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Wibowo. 2010. Manajemen Kinerja Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Press. Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Filosofi Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya.
EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR (SPPKB) TERHADAP PEMAHAMAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT MENGGUNAKAN GARIS BILANGAN MATA KULIAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PGMI STAIN SALATIGA Eni Titikusumawati∗
Abstract: This study aims to determine the effectiveness of SPPKB to the understanding of the concept of addition and subtraction of integers using a number line in Mathematics learning in STAIN Salatiga year 2023/2024. This research is a quasi experiment. Subjects in this study were 2 grade students of PGMI’s 5th semester totaling 62 students. One class is the control class and another class is an experiment class. The research data were the form of the students’ understanding. Data were collected through a comprehension essay test. Implementation of the learning process used SPPKB that was observed using the observation sheet. The results showed that Ho was rejected and Ha was accepted. Thus SPPKB to the concept of addition and subtraction of integers using a number line in Mathematics learning in STAIN Salatiga year 2023/2024 was proved more significant than the conventional strategy. Therefore SPPKB learning strategies can be used as an alternative model of learning in the subject of Mathematics Learning. Kata Kunci: efektivitas strategi SPPKB, pemahaman, penjumlahan, pengurangan, garis bilangan ∗.
Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Jl. Tentara Pelajar No.02 Salatiga, e-mail:
[email protected]
220
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
PENDAHULUAN Penelitian ini berangkat dari adanya teori pembelajaran berupa Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB). Model SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan berpikir mahasiswa melalui telaah faktafakta atau pengalaman mahasiswa sebagai bahan untuk memecahkan masalah (Sitorus, 2011). SPPKB didasarkan asumsi bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran mahasiswa (Conbern, 1996; Bordner, 1993). Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dosen ke pikiran mahasiswa. Mengajar adalah kegiatan memberdayakan mahasiswa untuk membangun sendiri pengetahuannya. Definisi tersebut mengharuskan mahasiswa untuk mampu berpikir untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Definisi SPPKB pada paragraf sebelumnya dapat dimaknai bahwa dosen (pendidik) harus mengutamakan kemampuan berpikir mahasiswa dalam menelaah masalah-masalah yang diangkat berdasarkan pengalaman mahasiswa. Lebih jelasnya tentang SPPKB dapat diperhatikan kesimpulan berikut ini: 1. SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan berikir, artinya tujuan yang ingin dicapai dari model SPPKB adalah mahasiswa bukan sekedar dapat menguasai sejumlah konsep mata kuliah, tetapi bagaimana mahasiswa dapat mengembangkan ide-ide atau gagasan. 2. Telaah fakta-fakta sosial atau pengalaman sosial merupakan dasar pengembangan kemampuan berpikir, artinya pengembangan gagasan dan ide-ide didasarkan pada pengalaman sosial anak dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan anak mendeskripsikan hasil pengamatan terhadap berbagai fakta dan data yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan taraf perkembangan anak. 3. Sasaran akhir SPPKB adalah kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah sosial sesuai dengan taraf perkembangan mahasiswa. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas SPPKB terhadap pemahaman mahasiswa pada mata kuliah Pembelajaran Matematika konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Menggunakan strategi SPPKB diharapkan bahwa
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 221
dengan strategi SPPKB akan terjadi proses pembelajaran sebagai berikut: (1) Strategi SPPKB dapat menempatkan matematika sebagai produk dan proses. (2) Strategi SPPKB dapat memberdayakan kemampuan pemahaman mahasiswa. (3) Strategi SPPKB dapat mensejajarkan prestasi belajar mahasiswa akademik bawah dan atas. Berdasarkan kriteria sebuah strategi pembelajaran SPPKB tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Strategi pembelajaran SPPKB dipilih karena banyak penelitian menyatakan strategi pembelajaran SPPKB dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam mempelajari suatu konsep. Penelitian yang dilakukan oleh Yahya dan Fibri, 2011 yaitu peningkatan keterampilan berbicara melalui strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir siswa kelas III SDN Sumberdiren I Kabupaten Blitar, menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia keterampilan berbicara dapat meningkat. Penelitian Effendy, 2006 tentang penerapan model SPPKB dalam pembelajaran fisika pada siswa SMP terbukti mampu membedakan secara signifikan antara hasil belajar fisika konsep alat-alat optik dengan pembelajaran model konvensional di SMPN 9 Jember tahun 2006/2007. Penelitian Sitorus, 2011 tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran siswa SMA menggunakan SPPKB terbukti dapat meningkatkan sesuai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dalam penelitian. Ada masalah pada pemahaman mahasiswa PGMI STAIN Salatiga semester 5 terkait dengan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada mahasiswa tersebut, terdapat sebanyak 30,85% mahasiswa yang mengalami miskonsepsi terhadap konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, sedangkan sebanyak 69,14% mahasiswa tidak paham konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Ketika mahasiswa menyelesaikan soal tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, hasil akhir rata-rata benar, tetapi mahasiswa salah dalam prosedur penyelesaian operasi aljabar tersebut menggunakan garis bilangan. Pemahaman mahasiswa rendah terhadap konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan media garis bilangan.
222
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Hal ini dibuktikan adanya fakta bahwa: (1) Sebanyak 100% mahasiswa mengaku tidak paham perosedur yang benar ketika melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, (2) Sebanyak 69,14% mahasiswa tidak memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, sehingga seandainya dosen memberikan soal, akan diselesaikan sesuai dengan pemahaman mahasiswa yang telah dianut selama ini. (3) Sebanyak 30,85% mahasiswa mengaku paham terhadap konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, hasil akhir mahasiswa benar, akan tetapi terdapat kesalahan yang fatal pada prosedur (langkah-langkah) penyelesaiannya (Titikusumawati, 2013). Temuan ini mengindikasikan, pemahaman mahasiswa terhadap konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan masih rendah, sebagian mahasiswa miskonsepsi dan bahkan banyak yang mengalami ketidaktahuan konsep dan prosedur yang benar dalam menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Berdasarkan kesenjangan harapan dan kenyataan yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, diperlukan pergeseran paradigma pembelajaran matematika sebagai berikut: (1) pembelajaran matematika tidak hanya berorientasi kepada produk tetapi juga proses, (2) anggapan pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran dosen ke pikiran mahasiswa, menjadi pembelajaran yang memberdayakan potensi mahasiswa, (3) pembelajaran berpusat kepada dosen, menjadi pembelajaran berpusat kepada mahasiswa, (4) belajar menghafal konsep, menjadi belajar mengkonstruksi konsep, (5) pembelajaran kompetitif dan individual, menjadi pembelajaran yang memfasilitasi kegiatan saling membelajarkan antar mahasiswa. Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) terhadap Pemahaman Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Menggunakan Garis Bilangan Mata Kuliah Pembelajaran Matematika pada Mahasiswa Program Studi PGMI STAIN Salatiga. Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimanakah efektivitas strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) terhadap pemahaman penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 223
menggunakan garis bilangan mata kuliah Pendidikan Matematika pada mahasiswa program studi PGMI STAIN Salatiga? Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) terhadap pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan menggunakan SPPKB pada mahasiswa PGMI STAIN Salatiga. Sementara manfaat dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sumber rujukan bagi dosen, guru, dan praktisi pendidikan ketika akan mengaplikasikan suatu strategi pembelajaran untuk konsep matematika. KAJIAN PUSTAKA 1. Hakikat dan Pengertian SPPKB SPPKB merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada kemampuan berpikir mahasiswa (Joyce dan Weil, 1980). SPPKB menekankan bahwa mahasiswa dibimbing untuk menemukan sendiri konsep yang harus dikuasai melalui proses dialogis yang terus menerus dengan memanfaatkan pengalaman mahasiswa. Tujuan SPPKB sama dengan strategi pembelajaran inquiri (SPI), yaitu agar mahasiswa dapat mencari dan menemukan konsep pelajaran sendiri, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut terletak pada pola pembelajran yang digunakan. SPPKB memanfaatkan pengalaman mahasiswa atau pengetahuan awal mahasiswa sebagai titik tolak berpikir, bukan teka-teki yang harus dicari jawabannya seperti dalam pola inquiri. Model SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu kepada kemampuan berpikir mahasiswa melalui telaahan fakta-fakta atau pengalaman mahasiswa sebagai bahan untuk memecahkan masalah yang diajukan. Beberapa hal yang terkandung dalam pengertian SPPKB adalah : (1) SPPKB adalah model pembelajaran yang bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir. Artinya tujuan yang ingin dicapai oleh SPPKB bukanlah sekedar mahasiswa dapat menguasai sejumlah konsep pelajaran, tetapi lebih pada bagaimana mahasiswa dapat mengembangkan gagasan atau ide melalui kemampuan pemahamannya, (2) telaahan fakta-fakta sosial atau pengalaman sosial merupakan dasar pengembangan kemampuan berpikir, artinya pengembangan gagasan dan ide didasarkan pada pengalaman sosial mahasiswa dalam pembelajaran sebelumnya, (3)
224
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
sasaran akhir SPPKB adalah kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah sesuai dengan taraf perkembangan mahasiswa. 2.
Tahapan Pembelajaran SPPKB Terdapat 6 (enam) tahapan dalam SPPKB, yaitu:
a.
Tahap Orientasi Tahap ini dosen mengkondisikan mahasiswa pada posisi siap untuk melakukan pembelajaran. Tahap orientasi dilakukan dengan: (1) penjelasan tujuan yang harus dicapai, baik tujuan yang berhubungan dengan pemahaman konsep pembelajaran, maupun tujuan yang berhubungan dengan proses pembelajaran, (2) penjelasan proses pembelajaran yang harus dilakukan mahasiswa, yaitu penjelasan tentang apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam setiap tahapan proses pembelajaran.
b.
Tahap Pelacakan Tahap pelacakan adalah penjajakan untuk memahami pengalaman dan kemampuan mahasiswa sesuai dengan tema atau pokok persoalan yang akan dibicarakan. Melalui tahap ini dosen mengembangkan dialog dan tanya jawab untuk mengungkapkan pengalaman apa saja yang telah dimiliki mahasiswa yang dianggap relevan dengan tema yang akan dikaji. Pemahaman yang telah dimiliki mahasiswa akan menentukan pengembangan dialog dan tanya jawab pada tahaptahap berikutnya.
c.
Tahap Konfrontasi Tahap konfrontasi adalah tahapan penyajian persoalan yang harus dipecahkan sesuai dengan tingkat kemampuan dan pengalaman mahasiswa. Untuk merangsang peningkatan kemampuan mahasiswa dosen dapat memberikan soal-soal yang memerlukan jawaban atau jalan keluar. Pemahaman terhadap masalah akan mendorong mahasiswa untuk berpikir.
d.
Tahap Inkuiri Tahap inkuiri adalah tahap paling penting dalam SPPKB. Pada tahap ini mahasiswa belajar berpikir yang sesungguhnya. Mahasiswa diajak untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 225
Oleh sebab itu, pada tahap ini dosen haarus memberikan ruang dan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan gagasan dalam upaya pemecahan masalah. Melalui berbagai teknik bertanya dosen harus dapat menumbuhkan keberanian mahasiswa agar mereka dapat menjelaskan, mengungkap fakta sesuai dengan pengalamannya, memberikan argumentasi yang meyakinkan, mengembangkan gagasan, dan lain sebagainya. e.
Tahap Akomodasi Tahap akomodasi adalah tahap pembentukan pengetahuan baru melalui proses penyimpulan. Pada tahap ini mahasiswa dituntut untuk dapat menemukan kata-kata kunci sesuai dengan topik atau tema pembelajaran. Dosen bertugas membimbing agar mahasiswa dapat menyimpulkan apa yang mereka temukan dan mereka pahami sekitar topik yang dipermasalahkan. Tahap akomodasi juga dikatakan sebagai tahap pemantapan hasil belajar, sebab pada tahap ini mahasiswa diarahkan untuk mampu mengungkapkan kembali pembahasan yang dianggap penting dalam proses pembelajaran.
f.
Tahap transfer Tahap transfer adalah tahapan penyajian masalah baru yang sepadan dengan masalah yang disajikan. Tahap transfer dimaksudkan sebagai tahapan agar mahasiswa mampu mentransfer kemampuan berpikir setiap mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah baru. Pada tahap ini dosen dapat memberikan tugas-tugas yang sesuai dengan topik pembahasan.
3.
Peran SPPKB terhadap pemahaman mahasiswa PGMI STAIN Salatiga SPPKB berpotensi memberdayakan pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan mahasiswa. Langkah-langkah SPPKB memfasilitasi mahasiswa belajar saling membantu, berdiskusi, dan beradu argumentasi untuk memecahkan permasalahan pembelajaran dengan fokus pada kemampuan berpikir. Kegiatan diskusi dan saling berargumentasi akan memunculkan perluasan dan konflik kognitif pada mahasiswa, akibatnya mahasiswa terbiasa memecahkan permasalahan pembelajaran (Lie, 2008; Slavin, 2005). Pendapat ini
226
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
dikuatkan oleh penelitian Yahya dan Fibri (2011) dan Jufri (2008), Effendy (2006), yang menunjukkan SPPKB dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa. SPPKB berpotensi meningkatkan pemahaman mahasiswa pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. SPPKB menuntut mahasiswa belajar berpikir yang sesungguhnya (Sanjaya, 2009). SPPKB tidak hanya mengharapkan mahasiswa sebagai obyek belajar yang hanya duduk mendengarkan penjelasan dosen kemudian mencatat untuk dihafalkan. Cara yang demikian bukan saja tidak sesuai dengan hakikat belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengalaman, namun juga dapat menghilangkan gairah dan motivasi belajar mahasiswa (George W. Maxim, 1987) 4.
Kajian riset sebelumnya (Prior Reseach Review) Penelitian yang dilakukan oleh Yahya dan Fibri (2011) yaitu peningkatan keterampilan berbicara melalui strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir siswa kelas III SDN Sumberdiren I Kabuoaten Blitar, menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia keterampilan berbicara dapat meningkat. Penelitian Effendy (2006) tentang penerapan model SPPKB dalam pembelajaran fisika pada siswa SMP terbukti mampu membedakan secara signifikan antara hasil belajar fisika konsep alat-alat optik dengan pembelajaran model konvensional di SMPN 9 Jember tahun 2006/2007. Penelitian Sitorus (2011) tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran siswa SMA menggunakan SPPKB terbukti dapat meningkatkan sesuai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dalam penelitian. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, tentang model SPPKB, terbukti bahwa mampu memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan pembelajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, berdasarkan analisis akar masalah, yang telah diuraikan di latar belakang penelitian, diharapkan penerapan model SPPKB dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan.
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 227
METODOLOGI PENELITIAN 1. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 5 program studi PGMI STAIN Salatiga yang berjumlah 62 orang, masing-masing terdiri dari 2 kelompok kelas. Penentuan kelas dilakukan secara acak dari 3 kelas semester 5. Satu kelas sebagai kelompok eksperimen dan yang lain sebagai kelompok kontrol. Kelas dan jumlah mahasiswa dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1 berikut: No 1 2
Nama Kelas Kelas A Kelas B Total
Strategi Pembelajaran SPPKB Strategi Konvensional
Jumlah Mahasiswa 32 30
Keterangan Kelompok Eksperimen Kontrol
62
2.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa semester 5 prodi PGMI STAIN Salatiga Jawa Tengah. Pemilihan mahasiswa ini dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan kelas yang setara dan dapat mewakili dari seluruh kelas mahasiswa semester 5 di prodi PGMI STAIN Salatiga. 3.
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen quasi dengan rancangan pre test-post test control group design. Rancangan penelitian ini menggunakan sejumlah 62 mahasiswa yang ditetapkan sebagi subjek penelitian, terdiri dari dua kelompok kelas yaitu satu kelas berjumlah 32 mahasiswa sebagai kelompok eksperimen, dan satu kelas lainnya berjumlah 30 mahasiswa sebagai kelompok kontrol. Penentuan kelompok eksperimen dalam kelompok kontrol ditentukan secara acak. Kelompok eksperimen menggunakan model SPPKB. Mahasiswa dibagi menjadi kelompok kecil heterogen yang beranggotakan 5 orang mahasiswa. pembelajaran dalam kelompok ekperimen ini menekankan mahasiswa aktif melakukan kegiatan pemecahan masalah untuk konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, orientasi pembelajaran
228
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
pada proses, dan langkah-langlah pembelajaran meliputi (1) tahap orientasi, (2) tahap pelacakan, (3) tahap konfrontasi, (5) tahap inkuiri, (6) tahap akomodasi, dan (7) tahap transfer. Kelompok kedua adalah kelompok kontrol, dosen sebagai pelaksana pembelajaran, mahasiswa menerima pelajaran, berorientasi pada produk dengan rencana pembelajaran sebagai berikut, (1) kegiatan awal, (2) kegiatan inti, (3) kegiatan akhir. Dalam kegiatan ini guru menggunakan metode ceramah demonstrasi dan tanya jawab. Gambaran rancangan eksperimen dalam penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Rancangan Penelitian dengan Model Pratest dan Pasca test Kelompok Eksperimen Kontrol
Penetapan Kelas R R
Keterangan: R T1 T2 X 4.
= = = = =
Pratest T1 T1
Perlakuan X -
Pasca Test T2 T2
Random Pratest pasca test perlakuan tanpa perlakuan
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tes pemahaman, pedoman observasi model SPPKB, dan pedoman observasi pembelajaran konvensional. Tes pemahaman digunakan untuk mengumpulkan data tentang kemampuan pemahaman mahasiswa, pedoman observasi model SPPKB dan model pembelajaran konvensional digunakan untuk mengamati pembelajaran yang dilakukan oleh dosen di dalam kelas. Format ini berperan penting dalam ‘menjamin’ pembelajaran yang dilakukan oleh dosen selalu tetap dalam ‘bingkai’ model SPPKB. Kesemua instrumen di atas dikembangkan sendiri oleh peneliti, dengan memerhatikan jabaran masing-masing variabel dan indikatorindikatornya. Instrumen yang telah disusun selanjutnya diujicobakan pada mahasiswa semester 7 prodi PGMI STAIN Salatiga yang sudah pernah menerima konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan. Tujuan uji coba instrumen adalah
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 229
untuk mengetahui validitas dan realibilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda soal kemampuan berikir formal. TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS DATA 1. Teknik Pengumpulan Data Data tentang variabel bebas yaitu model SPPKB dan pendekatan konvensional diperoleh dengan menggunakan instrumen (lembar observasi) bentuk cheklist. Data tentang variabel terikat yaitu pemahaman diperoleh dengan menggunakan test pemahaman dalam bentuk uraian. Observasi dilakukan oleh anggota peneliti lain dan dosen. 2.
Analisis Data Sebelum analisis data dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat statisitik parametrik meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik masing-masing variabel. Untuk menguji hipotesis digunakan statistik inferensial yaitu analisis kovarian (anacova), di mana skor rerata pratest digunakan sebagai kovariatnya. Pemilihan analisis anacova dengan pertimbangan bahwa skor pre-test (kemampuan awal) siswa dapat diperhitungkan oleh statistik selama dalam pengujian, hal ini tidak bisa dilakukan bila diuji dengan menggunakan t-test. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS For Windows versi 10 . HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Data Deskripsi data penelitian, terdiri dari deskripsi tentang kemampuan pemahaman, yang terbagi menjadi: (1) berpikir adolensi, (2) berpikir proporsional, (3) berpikir kombinatorial, dan (4) berpikir reflektif mahasiswa. Data mengenai kemampuan pemahaman akan dideskripsikan sebagai berikut. a. Kemampuan Berpikir Adolensi Hasil analisis statistik deskriptif pada kelompok eksperimen menunjukkan skor pratest kemampuan berpikir adolensi menunjukkan bahwa, skor tertinggi 7, skor terendah 1, standard deviasi 1.54, dan skor rata-rata 3.55 sedangkan skor pasca test untuk kemampuan berpikir adolensi menunjukkan bahwa, skor
230
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
tertinggi 20, skor terendah 8, standard deviasi 3.27 skor rata-rata 13.22. Pada kelompok kelas kontrol hasil analisis statistik deskriptif pada komponen kemampuan yang sama (berpikir adolensi) menunjukkan bahwa, skor pra test tertinggi 6, skor terendah 0, standard deviasi 1.29, dan skor rata-rata 3.15 sedangkan skor pasca test untuk kemampuan berpikir adolensi pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa, skor tertinggi 15 skor terendah 5, standard deviasi 2.28, dan skor rata-rata sebesar 18.42. b.
Kemampuan Berpikir Proporsional Hasil analisis statistik deskriptif pada kelompok eksperimen untuk aspek kemampuan berpikir proporsional menunjukkan bahwa skor pra test tertinggi 25, skor terendah 8, standard deviasi 4.26, dan skor rata-rata 18.25, sedangkan skor pasca test untuk kemampuan berpikir proporsional menunjukkan bahwa, skor tertinggi 29 skor terendah 11, standard deviasi 4.71, skor rata-rata 18.42 Pada kelompok kelas kontrol hasil analisis statistik deskriptif pada komponen kemampuan yang sama (berpikir proporsional) menunjukkan bahwa, skor pra test tertinggi 29, skor terendah11, standard deviasi 4.71, dan skor rata-rata 18.42, sedangkan skor pasca test untuk kemampuan berpikir proporsional pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa, skor tertinggi 37, skor terendah19, standard deviasi 4.08, dan skor rata-rata sebesar 28.67.
c.
Kemampuan Berpikir Kombinatorial Hasil analisis statistik deskriptif pada kelompok eksperimen untuk pra test aspek kemampuan berpikir kombinatorial menunjukkan bahwa skor tertinggi 23, skor terendah 12, standard deviasi 2.26, dan skor rata-rata 18.62, sedangkan skor pasca test untuk kemampuan berpikir kombinatorial menunjukkan bahwa, skor tertinggi 34, skor terendah 24, standard deviasi 2.48, skor rata-rata 30.62. Kelompok kelas kontrol hasil analisis statistik deskriptif pada komponen kemampuan yang sama (berpikir kombinatorial) menunjukkan bahwa, skor pra test tertinggi 24, skor terendah 12, standard deviasi 2.98, dan skor rata-rata 18.30, sedangkan
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 231
skor pasca test untuk kemampuan berpikir kombinatorial pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa, skor tertinggi 35, skor terendah 22, standard deviasi 3.33, dan skor rata-rata sebesar 28.52. d.
Kemampuan Berpikir Reflektif Hasil analisis statistik deskriptif pada kelompok eksperimen untuk aspek kemampuan berpikir reflektif menunjukkan bahwa skor tertinggi 14, skor terendah 8, standard deviasi 1.29, dan skor rata-rata 3.15. Kelompok kelas kontrol hasil analisis statistik deskriptif pada komponen kemampuan yang sama (berpikir reflektif) menunjukkan bahwa, skor tertinggi 14, skor terendah 6, standard deviasi 1.84, dan skor rata-rata 9.65. Semua analisis deskriptif pada komponen variabel terikat divisualisasikan pada Matriks tabel 3 berikut: Tabel 3. Matriks Hasil Perhitungan Mean Variabel Terikat No Kelompok
Pra-Test Post Test Ado Prop Komb Refl Ado Prop Komb Refl 1 Eksperimen 3.55 18.25 18.62 - 13.22 18.42 30.62 11,23 2 Kontrol 3.15 18.42 18.30 - 9.62 28.67 28.52 9.65 Skor Maks. 20 40 36 15 20 40 36 15
Keterangan: Ado = kemampuan berpikir adolensi Prop = kemampuan berpikir proporsional Komb = kemampuan berpikir kombinatorial Refl = kemampuan berpikir reflektif Gambaran skor rata-rata pra test dan pasca test kemampuan berpikir adolensi, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif berdasarkan kelompok eksperimen dan kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014 40
30
20
Mean
10
0 PR_AN_E PS_AN_E PR_SIN_E PS_SIN_E PR_TAB_E PS_TAB_E
Gambar 1. Histogram Skor Rata-Rata Pra test dan Post Test Kemampuan berpikir adolensi, proporsional, kombinatorial, dan reflektif pada Kelompok Eksperimen 40
30
20
10
Mean
232
0 PR_AN_K
PR_SIN_K PS_AN_K
PR_TAB_K PS_SIN_K
PS_TAB_K
Gambar 2. Histogram Skor Rata-Rata Pra test dan Post Test Kemampuan berpikir adolensi, proporsional, kombinatorial, dan reflektif pada Kelompok Kontrol
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 233
Gambaran hasil pengamatan proses pembelajaran untuk setiap kelompok kelas yaitu kelompok eksperimen (model SPPKB) dan kelompok kontrol (model konvensional) adalah sebagai berikut: 2.
Pembelajaran pada Kelas Eksperimen (model SPPKB) Langkah-langkah kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dengan menggunakan model SPPKB dengan langkahlangkah pembelajaran meliputi: (1) tahap orientasi; (2) tahap pelacakan; (3) tahap konfrontasi; (4) tahap inkuiri; ,(5) tahap akomodasi; dan (6) tahap transfer. Berdasarkan pengamatan peneliti dan dua orang pengamat lain secara real di lapangan, pada tahap orientasi mulanya mahasiswa terlihat kesulitan memecahkan masalah penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan, sebab mereka berangkat dari pengalaman atau pengetahuan awal mereka yang salah, keadaan kelas menjadi ramai tidak terkontrol ketika beberapa mahasiswa diminta kedepan oleh peneliti untuk menceritakan pengalamanya di depan kelas. Namun setelah pertemuan berikutnya mahasiswa mulai terbiasa menceritakan pengalamannya sehingga suasana kelas menjadi lebih bernuansa student centre, mahasiswa saling berebut untuk mengeluarkan gagasan/ide mereka dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Tahap akomodasi mahasiswa diminta merumuskan masalah sendiri, mencoba merancang percobaan sampai dengan pengambilan keputusan sendiri, pada waktu mahasiswa mengorganisasikan meteri pelajaran sesuai dengan masalah mahasiswa terlihat agak kesulitan dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan selanjutnya, setelah peneliti memberikan analogi-analogi yang berkaitan dengan konsep materi pelajaran yang akan diorganisasikan mahasiswa mulai bisa “meraba” apa yang perlu ia lakukan untuk membuktikan adanya konsep tersebut. Peneliti (dosen) membimbing mahasiswa merancang langkah-langkah penyelesaian yang tepat untuk membuktikan konsepkonsep tersebut. Kesulitan lain muncul pada tahap inkuiri dan tahap transfer berkaitan dengan kegiatan memberikan mahasiswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri, pada mulanya sebagian besar kelompok mahasiswa pada umumnya masih kurang bisa (kurang tepat) dalam menentukan bentuk dan arah
234
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
data yang komunikatif, hal ini kemungkinan besar disebabkan mereka kurang memahami unsur-unsur yang harus dicantumkan, bahkan beberapa kelompok mahasiswa dalam menuliskan temuan penelitianya tidak dalam bentuk kalimat matematika yang bagus dan komunikatif, melainkan dalam bentuk narasi dan gambar-gambar yang sulit untuk dipahami oleh orang lain. Tetapi setelah dibimbing oleh peneliti (dosen) rata-rata kelompok mahasiswa memahami dan dapat membentuk dan mengarahkan materi yang dipelajari dengan tepat (komunikatif). Temuan lain selama kegiatan belajar mengajar pada kelas eksperimen (menggunakan SPPKB) adalah meskipun mahasiswa dikelompokkan dalam kelompok heterogen dalam hal kemampuan dan jenis kelamin, ada kecenderungan hanya beberapa ‘gelintir’ mahasiswa yang terlihat aktif bekerja, menyumbangkan ide bagi kelompoknya. Temuan ini terasa sangat menggangu bagi semua anggota kelompok, untuk mengatasi hal ini akhirnya semua anggota peneliti menyepakati bahwa perlu diberikan ‘perangsang’ untuk mengaktifkan semua anggota kelompok yaitu dengan pemberian bonus nilai bagi kelompok yang anggota kelompoknya mempunyai nilai terendah yang disepakati sebelumnya, cara ini ditempuh untuk menumbuhkan ‘sinergisitas’ positif dalam kelompok-kelompok, sehingga mahasiswa yang pandai mau membantu mahasiswa yang kurang pandai, mahasiswa yang kurang pandai mau menyumbangkan pendapat/idenya dalam kelompok tanpa mereka harus minder. Masih pada kegiatan yang sama (mengorganisasikan pelajaran sesuai dengan masalah) siswa diminta mendiskusikan peristiwa ‘dibalik’ fakta-fakta temuan-temuan percobaan yang baru saja dilakukan dengan semua anggota kelompoknya, guru (peneliti) membantu setiap kelompok menemukan (mengkonstruk) sendiri peristiwa dibalik temuan-temuan tersebut. Setelah dirasa cukup oleh guru(peneliti) secara acak guru (peneliti) meminta salah satu kelompok mempresentasikan temuan-temuannya dan hasil diskusinya dengan sesama anggota kelompok di muka kelas. Selama kegiatan presentasi kelompok di muka kelas suasana kelas tampak lebih hidup, hal ini disebabkan mereka sangat memahami permasalahan yang sedang mereka diskusikan bersama. Tahap transferdosen mencoba membawa mahasiswa lebih ‘mengkonkritkan’ konsep yang baru dipelajari oleh mahasiswa dengan mensimulasikan temuan-temuan tersebut di depan kelas.
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 235
Mahasiswa diminta menceritakan kembali langkah-langkah prosedurprosedur kegiatan sampai dengan hasil yang ia dapatkan. Kegiatan ini mahasiswa juga diminta refleksi diri terhadap semua yang telah ia lakukan dengan mengukur sendiri konsep yang ia peroleh serta meminta mereka merenungkan apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi hal tersebut. 3.
Pembelajaran pada Kelas Kontrol (Pembelajaran Konvensional) Langkah-langkah pembelajaran pada kelompok kontrol (pembelajaran konvesional) meliputi tahap-tahap pembelajaran konvensional yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, evaluasi dan penutup. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti secara faktual di lapangan, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konvensional mahasiswa tampak duduk dengan tertib mendengarkan dan mencatat penjelasan dosen, dalam hal ini dosen banyak menjelaskan materi pelajaran beberapa mahasiswa sesekali mengacungkan jari bertanya. Dosen mengaktifkan mahasiswa menggunakan pertanyaan kurang mendapatkan respon positif dari mahasiswa, sehingga suasana kelas sangat hening yang banyak terdengar adalah suara dosen. Pada saat kegiatan inti perwakilan kelompok mahasiswa mendemonstrasikan percobaan dengan bimbingan dosen, mahasiswa yang lain memperhatikan dari tempat duduknya masing-masing dalam kelompok, kemudian secara klasikal hasil pengamatan dibahas dalam diskusi kelas. Pada pendekatan konvensional ini dosen telah menyediakan tabel hasil pengamatan yang harus disi oleh mahasiswa, sehingga mahasiswa tanpa dilatih untuk mengambil keputusan dengan bahasa yang komunikatif. Pada akhir kegiatan dosen membimbing mahasiswa menyimpulkan hasil kegiatan pembelajaran, sehingga suasana kelas tampak bernuansa teacher centris. PENGUJIAN HIPOTESIS Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu diadakan pengujian normalitas dan uji homogenitas varians pada dua kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol, pengujian kedua hal diatas dilakukan dengan batuan komputer pengolah statistik SPSS versi 10 for windows. Uji normalitas pada kelompok kontrol dan eksperimen dengan menggunkan uji kolmogorov smirnov. Hasil uji normalitas pada skor post test dikurangi pra test pada kelompok eksperimen dan
236
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
kontrol menunjukkan nilai signifikansi (p) pada kemampuan analisis, sintesis, membuat tabel data dan presentasi di atas 0,05, hal ini menunjukkan secara nyata bahwa semua data tentang analisis, sintesis, membuat tabel data, dan presentasi berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan uji homogenitas terhadap data analisis, sintesis, membuat tabel data, dan presentasi pada kelompok eksperimen dan control menunjukkan data berasal dari populasi yang homogen. Uji homogenitas dengan menggunakan uji Leven. Dalam penelitian ini mengajukan hipotesis “Penggunaan SPPKB lebih efektif bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan pada Mahasiswa Prodi PGMI STAIN Salatiga”. Uji hipotesis yang digunakan untuk membuktikan semua hipotesis di atas dengan menggunakan t-test untuk dua sample independent. Hasil analisis data secara ringkas pengujian hipotesis tersebut diuraikan pada sub bab di bawah ini:
PENGUJIAN HIPOTESIS UMUM Hipotesis umum yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Penggunaan model SPPKB lebih efektif bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap pemahaman mahasiswa Prodi PGMI STAIN Salatiga pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat menggunakan garis bilangan.” Pengujian hipotesis statistika dilakukan terhadap 4 aspek kemampuan pemahaman, yaitu: kemampuan berpikir adolensi, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif) secara bersama-sama mengikuti kriteria, jika t hitung dengan nilai signifikansi (p) > 0,05 maka Ho diterima, tetapi jika t hitung dengan nilai signifikansi (p) < 0,05 maka Ho ditolak. Rangkuman hasil analisis pada dua kelompok kelas yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Efektivitas Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir… 237
Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji T-test terhadap Dua Kelompok Kelas SPPKB dan Kelompok Konvensional terhadap Aspek (Kemampuan Berpikir Adolensi, Proporsional, Kombinatorial, dan Reflektif) Secara Bersama-sama.
Diasumsi kedua varians sama Diasumsi kedua varians tidak sama
Db
T-Hitung
78
9,459
Sig (2-Tailed) (P) . 000
63,638
9,549
. 000
Berdasarkan Tabel 4 di atas diperoleh t-hitung sebesar 9,459 dengan nilai signifiknasi (p) < 0,05 maka hipotesis (Ho) ditolak. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua rata-rata kemampuan kedua kelompok mahasiswa yang menggunakan SPPKB dan mahasiswa yang menggunakan pendekatan konvensional berbeda secara nyata (sangat signifikan), dengan kata lain penggunaan SPPKB lebih efektif bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap pemahaman mahasiswa semester 5 Prodi PGMI STAIN Salatiga. Skor rata-rata perolehan aspek kemampuan berpikir adolensi, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan SPPKB relatif lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang menggunakan pendekatan konvensional, yaitu sebesar 54,05 untuk kelompok mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan SPPKB dan 36, 60 untuk mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
DAFTAR PUSTAKA Dahar, RW. 1986. Teori-Teori Belajar. Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLP Tenaga Kependidikan: Jakarta. Hadi, Sutarto. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. on line. http://www.ditnaga-dikti.com/artikel/pmri.html . diakses 4 juli 2008. Halpern, D.F. 1987. Analogies as a Critical Thinking Skill. In D.E. Berger.; K. Pezdek, & W.P. Bauks.(Eds). Aplication of
238
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Cognitive Psycology Problem Solving, Education, and Computing. London: Lawrence Erlbaum Associates Publiser. Hurst, R.W. 1996. Facilitating Successful Prediction Problem Solving in Mathematics through Aplication if Skill Theory. Journal of Reseach in Science Teaching. Johnson, D.W. and Johnson, R.T. 1991. Learning Together and Alone. (3nd Ed). Toronto: Allyn and Bacon. Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: PT. Gramedia. McNiff, Jean dan Whitehead, Jack. 2002. Action Research: Principles and Practice. Routledge Falmer: London. Nur, Muhammad. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Timur. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Cetakan ke-6. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Theory, Reseach, and Practice.(2nd Ed.). Singapore: Allyn and Bacon. Sudrajat, Akhmad. 2008. Perbedaan Model, Pendekatan, Strategi, Metode, dan Teknik Pembelajaran. Online. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/. Diakses 7 Agustus 2008.
MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERMUATAN NILAI-NILAI ISLAMI DI SD/MI Muchamad Fauzan*
Abstract: The learning model of Indonesian that charges Islamic values in SD / MI is a conceptual framework that describes a systematic procedure to organize Indonesian learning process that aims to develop four aspects of language skills and help learners to understand, appreciate, believe, and practice Islam in order to become personal faith and fear of Allah. In addition, it leads the students to have good character by receiving Islamic values in learning, both in materials and in process of learning. The implementation of learning has characteristics, such as: always mention the name of Allah, use the term, the visual illustrations, the applications or the examples, and insert the relevant verse or hadith, search history and networking topics. Kata Kunci: pembelajaran Islami
Bahasa
Indonesia,
Nilai-nilai
PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
*.
Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Pekalongan, e-mail:
[email protected]
240
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Dalam upaya mewujudkan fungsi pendidikan nasional tersebut, bahasa Indonesia sebagai bagian dari kurikulum pendidikan juga diharapkan menjadi wahana dalam pembangunan karakter bangsa mengingat kondisi bangsa saat ini sedang mengalami krisis karakter. Pembelajaran bahasa Indonesia seharusnya tidak hanya diorientasikan pada penguasaan teori bahasa dan pengembangan keterampilan berbahasa saja, tetapi perlu diubah dan dikembangkan agar menyentuh dimensi spiritual Islami sehingga berkontribusi lebih besar lagi dalam pendidikan nilai Islam di sekolah. Oleh sebab itu, diperlukan suatu rumusan pembelajaran bahasa Indonesia yang bermuatan nilai Islami pada proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau pun madrasah. Berdasarkan permasalahan di atas dan didasari oleh adanya penekanan pada pendidikan nilai Islami dan landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka penulis menyusun makalah dengan judul “Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan Nilai-Nilai Islami di SD/MI”. Dalam makalah ini penulis membahas tentang konsep model pembelajaran, nilai-nilai Islami dan bentuk pembelajarannya, serta rumusan model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami di SD/MI. KONSEP MODEL PEMBELAJARAN Untuk membahas model pembelajaran, terlebih dahulu dijelaskan pengertian dari istilah-istilah yang seringkali dikacaukan penggunaannya dengan istilah model pembelajaran. Dalam pandangan Wina Sanjaya (2007: 324) beberapa istilah itu, antara lain: 1) Pendekatan pembelajaran adalah titik tolak atau sudut pandang seseorang terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, 2) Strategi pembelajaran adalah perencanaan, metode, atau serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, 3) Metode pembelajaran adalah cara yang dilakukan untuk mengimplementasikan atau upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dan 4) Teknik dan taktik mengajar adalah penjabaran dari metode pembelajaran. Lebih jelasnya, teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 241
metode, sedangkan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu. Lalu apa pengertian model? Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah yang disebut dengan model pembelajaran. Menurut Ali (2007:4), model-model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan, teori-teori psikologis, sosiologis, psikiatri, analisis sistem, atau teori-teori lain. Joyce & Weil (Ali, 2007:124) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Jadi, model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu pola atau bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran adalah bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN KHAS BAHASA INDONESIA SD/MI Beberapa model pembelajaran bahasa Indonesia SD/MI di antaranya pembelajaran terpadu, tematik, PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan), kooperatif, keterampilan proses, kecakapan hidup, pembelajaran menyeluruh, dan kontekstual. Guru sebagai elemen penting dalam pembelajaran harus betul-betul paham dan mengerti model pembelajaran apa yang digunakan untuk menyampaikan materi pada peserta didik sehingga pembelajaran terjadi secara efektif. Para guru boleh memilih model pembelajaran tersebut yang disesuaikan dengan karakteristik perkembangan dan karakter belajar siswa serta efesien untuk mencapai tujuan pendidikan bahasa Indonesia. Dalam konteks makalah ini, pola pembelajaran yang dianggap paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam pada siswa SD/MI adalah model pembelajaran tematik dengan pendekatan integralistik yang dikolaborasikan dengan pendekatan pembelajaran bahasa, yakni pendekatan tujuan, struktural, dan komunikatif. Hal ini dikarenakan, pendekatan integral dalam pembelajaran nilai cocok
242
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
diterapkan ketika suatu nilai ingin diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Di samping itu, dengan tematik dapat melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman dan kesadaran nilai yang bermakna kepada siswa. Yang demikian itu adalah sejalan dengan isi dokumen lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran bahwa kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna. Lebih lanjut, dalam dokumen lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 dijelaskan bahwa kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran, yaitu proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect. Sedangkan, pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan yang terjadi selama belajar di sekolah dan di luar dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan moral dan perilaku yang terkait dengan sikap. Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD (Kompetensi Dasar) yang dikembangkan dari KI-3 (Kompetensi Inti-3/Pengetahuan) dan KI-4 (Kompetensi Inti4/Penerapan Pengetahuan). Keduanya, dikembangkan secara
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 243
bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 (Kompetensi Inti-1/sikap Keberagamaan) dan KI-2 (Kompetensi Inti-2/Sikap Sosial). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2. INTEGRASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SD/MI Sebagaimana dijelaskan Mulyana dalam (Kohar, 2010) bahwa pendekatan integral dalam pembelajaran nilai cocok diterapkan bilamana suatu nilai ingin diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Pendekatan ini memadukan kemampuan kognitif dan afektif secara integral. Melalui pertimbangan kognitif-afektif inilah yang diharapkan siswa dapat bertindak dengan benar dan tepat atas dasar nilai yang ia peroleh. Oleh karena itu, dalam mengintegrasikan nilai-nilai islam ke dalam pembelajaran bahsasa Indonesia, guru perlu membuat suatu model integrasi nilai islam dengan materi bahasa Indonesia. Model keterkaitan ini hendaknya disesuaikan dengan topik bahasa Indonesia dan nilai islam yang akan dibelajarkan kepada siswa. Melalui model integrasi ini guru dapat mengembangkannya menjadi perangkat pembelajaran dengan tetap memerhatikan pendekatan/strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan nilai Islam yang akan ditanamkan. Sebenarnya, ada berbagai model pengintegrasian yang dapat dilakukan, di antaranya adalah model terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan model terintegrasi (integrated). Model terhubung adalah model pembelajaran yang menghubungkan secara eksplisit suatu topik dengan topik berikutnya, suatu konsep dengan konsep lain, suatu keterampilan dengan keterampilan lain, atau suatu tugas dengan tugas berikutnya, dalam satu bidang studi. Kemudian, model jaring laba-laba merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik untuk mengintegrasikan beberapa bidang studi. Yang terakhir, model terintegrasi ialah model pembelajaran yang menggabungkan berbagai bidang studi dengan menemukan konsep, keterampilan, dan sikap yang saling tumpang tindih (Zuchdi, 2010: 23-24). Di antara ketiga model tersebut, yang paling sering digunakan adalah model yang kedua, yakni model yang menggunakan pendekatan tematik. Model pengintegrasian nilai-nilai agama Islam pada
244
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
mata pelajaran bahasa Indonesia disajikan secara visual dalam gambar di bawah ini. Gambar Pengintegrasian Nilai-Nilai Agama Islam Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kompetensi 1 Tema:
Tujuan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD/MI
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis NilaiNilai Islamikan Islami
Kompetensi 2 Kemurnian Beraqidah
Kompetensi 3
Kompetensi 1 Metode Tematik Integrated
Tema: Kompetensi 2 Ketaatan Beribadah
Kompetensi 3
Kompetensi 1 Tema: Berakhlak Karimah
Kompetensi 2 Kompetensi 3
Seperti tampak pada gambar di atas, pengintegrasian nilai-nilai agama Islam diawali dengan penentuan tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia dan nilai-nilai Agama Islam sebagai target, kemudian dikembangkan model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilainilai Islam, dengan metode integratif secara tematis sehingga dihasilkan kompetensi akademik maupun kompetensi sikap keberagamaan dan sosial dalam bentuk pemikiran (kognisi), komitmen untuk bertindak (afeksi), dan perilaku sehari-hari (habit). Pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia yang mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam di SD/MI dapat dilakukan oleh guru atau tim yang terdiri dari dua atau tiga guru kolaboratif dalam bentuk lesson study, dengan prosedur sebagai berikut: 1)
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 245
Penentuan nilai-nilai Islam yang akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, 2) Penentuan tujuan pembelajaran, yaitu menguasai teori dan keterampilan berbahasa Indonesia dan mengaktualisasikan nilai-nilai agama Islam, 3) Pembuatan silabus dengan mengintegrasikan nilai-nilai target agama Islam, 4) Pembuatan RPP dengan mengintegrasikan nilai-nilai target agama Islam, 5) Pembuatan instrumen evaluasi pembelajaran, 6) Melaksanakan pembelajaran berpusat pada siswa, 7) Melaksanakan evaluasi program pembelajaran yang meliputi capaian dalam ranah kognitif, afektif, keterampilan, dan perilaku sehari-hari (habit), berupa evaluasi proses dan evaluasi hasil, dan 8) Menganalisis hasil evaluasi serta menentukan tindak lanjut program pembelajaran. Adapun nilai-nilai Islam yang diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia SD/MI harus mempertimbangkan aspek SKL bahasa Indonesia SD/MI, faktor nilai-nilai Islam dalam materi PAI SD/MI yang meliputi aspek alquran, akidah, syariah, sejarah peradaban Islam, dan akhlak. MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERMUATAN NILAI-NILAI ISLAMI DI SD/MI Pada umumnya pembelajaran bahasa Indonesia di SD/MI dilakukan secara parsial, yaitu mata pelajaran terpisah dengan mata pelajaran lain. Pembelajaran bahasa Indonesia secara parsial, tidak mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam muatan-muatan pelajarannya. Fokus pembelajaran parsial hanya pada ketercapaian tujuan materi pelajaran yang cenderung hanya menyentuh aspek kognitif. Akibatnya, pelajaran bahasa Indonesia kering dari pesan-pesan moral dan upaya pembentukan pribadi yang berkarakter. Padahal, bahasa Indonesia ditinjau secara filosofis memiliki nilai transenden yang banyak terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Nilai transendensi bahasa adalah bahasa sebagai fitrah manusia. Firman Allah “Yang Mahakasih. Mengajarkan Alquran. Mencipta insan. Mengajarkan al bayan” (Al Rahman, 1-4). Al bayan diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi. Prinsip komunikasi dalam Islam sendiri dengan menarik kata “qaul” disimpulkan ada enam prinsip, yaitu qaulan sadidan (QS. 4:9; 33:70), qaulan balighan (QS. 4:63), qaulan maysuran (QS. 17:28), qaulan layyinan (QS. 20:44), qaulan kariman (QS. 17:23), dan qaulan ma’rufan (QS. 4:5). Selanjutnya, merujuk pengertian model pembelajaran di atas, maka model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai
246
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Islami di SD/MI diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis untuk mengorganisasikan proses pembelajaran bahasa Indonesia untuk mencapai tujuan belajar bahasa Indonesia di SD/MI dengan pemberian nilai-nilai ke-Islaman pada pembelajarannya baik berupa bahan ajar maupun pada proses transformasi pembelajaran yang dilaksanakan. Dari pengertian tersebut, dalam konteks tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang ingin dicapai di samping untuk mengembangkan empat aspek keterampilan berbahasa sekaligus membantu peserta didiknya untuk memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. serta berakhlak mulia, maka dapat dilakukan, pertama dengan pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan prinsip pembinaan keimanan dan ketakwaan serta pembinaan terhadap guru bahasa tentang keimanan dan ketakwaan. Dengan kata lain, guru bahasa Indonesia di samping mengajarkan bahasa juga mengajarkan ajaran Islam dan akhlak berbahasa baik secara eksplisit maupun implisit. Cara kedua, menekankan peran guru dalam mentransformasikan nilai-nilai agama melalui pembelajaran bahasa Indonesia (Anshori, TT). Sehubungan itu, Yasri (2009) memaparkan beberapa strategi pembelajaran yang dikaitkan dengan penanaman nilai-nilai ajaran Islam dilakukan dengan cara, yaitu: selalu menyebut nama Allah, penggunaan istilah, ilustrasi visual, aplikasi atau contoh-contoh, menyisipkan ayat atau hadits yang relevan, penelusuran sejarah, dan jaringan topik. Aplikasi model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami di SD/MI sesuai pendapat Yasri tersebut dikembangkan sebagai berikut: a)
Selalu menyebut nama Allah Sebelum pembelajaran dimulai, ditradisikan diawali dengan membaca Basmalllah dan berdoa bersama-sama. Dalam RPP dapat dimuatkan secara eksplisit penyebutan/pengucapan Basmallah dan bacaan doa belajar. Kemudian pada setiap tahap demi tahap dalam memulai dan mengakhiri pengerjaan soal dalam pembelajaran bahasa Indonesia diupayakan diawali dan ditutup secara bersama-sama dengan mengucap Basmalah dan Alhamdulillah. Tenaga pendidik atau pengajar hendaknya selalu mengingatkan kepada peserta didik betapa pentingnya kita
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 247
selalu ingat, mengatasnamakan Allah untuk segala aktivitas dan bersyukur kepada Allah, apalagi ketika sedang menggali ilmuNya Allah, harus diniatkan karena Allah. b)
Penggunaan Istilah Istilah dalam bahasa Indonesia sangat banyak. Diantara istilah tersebut dapat ditambah dengan peristilahan dalam ajaran Islam, antara lain: penggunaan istilah bahasa dalam bahasa arab, nama, cerita/peristiwa atau benda yang bermuatan islam. Misalnya: penggunaan istilah bahasa dalam bahasa arab (membaca-qiraah, menulis-kitabah, tahfidz, tahqiq, tartil, dll), nama (Ahmad, Fatimah, Khodidjah), cerita/peristiwa (mujizat para nabi, surga dan neraka), benda-benda (kitab-kitab suci, masjid).
c)
Ilustrasi visual Alat-alat dan media pembelajaran dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dapat berupa wacana Islami, cerita bergambar yang divisualisasikan dengan gambar-gambar atau potret yang Islami, dll.
d)
Aplikasi atau contoh-contoh Dalam menjelaskan suatu kompetensi dapat menggunakan bahan ajar dengan memberikan contoh-contoh aplikatif. Misalnya dalam keterampilan membaca-menulis diajarkan posisi membaca dan memegang pensil serta adab-adab sebagaimana membaca alqur’an, dalam keterampilan berbicara dapat dijelaskan dan dicontohkan teknik komunikasi berdasarkan prinsip komunikasi Islam sesuai lawan bicara dan tujuan pembicaraan, seperti seni berkomunikasi dengan orang tua atau yang lebih tua, dengan guru, dengan teman, dll.
e)
Menyisipkan ayat atau hadits yang relevan Dalam pembahasan materi tertentu dapat menyisipkan ayat atau hadis yang relevan dengan aspek keterampilan berbahasa Indonesia yang ingin dikembangkan, antara lain: (1) pembelajaran membaca (surat al Alaq 1-5, dll); (2) pembelajaran menyimak (surat 47:21 dan surat 7:157, dll); (3) Pembelajaran berbicara (surat 2:163, dll); (4) Pembelajaran menulis (surat 68:1, surat 16:125, surat 16:10-11, surat 3:17,
248
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
surat 16:96 dll); dan (5) Dalam mengapresiasi karya sastra (surat 16:44, surat 53:3-4, surat 17:23, surat 31: 11, 18 dll). f)
Penelusuran sejarah Penjelasan suatu kompetensi dapat dikaitkan dengan sejarah Islam. Misalnya dalam pembahasan membaca dan menulis dapat disampaikan sejarah pengkodifikasian alquran, tradisi tulis menulis di kalangan Islam pertama, para sahabat nabi yang ahli baca tulis, dll.
g)
Jaringan topik Mengaitkan bahasa Indonesia dengan topik-topik dalam disiplin ilmu lain sesuai dengan SK-KD atau KI-KD yang terdapat dalam kurikulum.
Sementara itu, sebagai sebuah model pembelajaran, model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami terdiri dari beberapa komponen. Masing-masing komponen model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1)
Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan NilaiNilai Islami Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami merupakan pengembangan dari tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya sebagaimana tercantum dalam standar kompetensi lulusan mata pelajaran bahasa Indonesia SD/MI yang meliputi empat aspek tujuan: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pengembangan ini dilakukan sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan akan adanya pembelajaran bahasa Indonesia di samping untuk mengembangkan empak aspek keterampilan berbahasa sekaligus membantu peserta didiknya untuk memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. serta berakhlak mulia.
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 249
2)
Nilai-nilai Islami yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia SD/MI Nilai-nilai Islami yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran bahasa ini mempertimbangkan faktor materi PAI untuk SD yang meliputi aspek akidah, syari’ah, dan akhlak. Sebagai contoh landasan transenden/ayat-ayat alquran yang hendaknya diberikan kepada para siswa dalam rangka mengintegrasikan pembelajaran bahasa yang didasarkan pada kelompok keterampilan yang terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia, yakni: a) Dalam pembelajaran membaca, landasan religius yang bisa ditransformasikan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam surat al Alaq 1-5. Kelima ayat tersebut merupakan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw. ketika beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Berlandaskan ayat di atas, membaca menjadi salah satu keharusan. Tanpa membaca manusia akan buta ilmu pengetahuan, karena membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan. Dalam pembelajaran membaca, guru bisa menyisipkan ayat di atas sebagai reward agar para siswa tidak hanya membaca karena ingin mendapatkan nilai baik atau diminta gurunya. Para siswa hendaknya disadarkan bahwa membaca merupakan perintah Allah. Dengan demikian, membaca merupakan salah satu bentuk ibadah; b) Menyimak, merupakan media untuk menyerap informasi baik berupa gagasan, ide, pikiran, kehendak, keluhan, dll. Dalam proses pembelajaran, guru bisa menyisipkan makna dari surat 47:21 dan surat 7: 157; c) Berbicara, dalam ajaran Islam pembicaraan yang baik, mengandung manfaat bagi pihak lain, lebih baik nilainya daripada sadaqah yang diikuti dengan cacian kepada si penerimanya. Inilah nilai transendental dari keterampilan berbicara. Untuk itu perlu diberikan bagaimana cara pembicaraan (pragmatik) yang disesuaikan dengan lawan bicaranya dengan menggunakan prinsip-prinsip berbicara dalam Islam, sehingga komunikasi lisan tersebut memberikan manfaat kepada orang lain (QS. 2:163); d) Menulis, merupakan bagian dari dakwah, selama informasi yang diberikan bisa membantu orang lain. Menulis merupakan motode efektif untuk menyampaikan informasi secara terbuka. Landasan moral untuk menulis bisa disimak dalam surat 68; 1, surat 16: 125, surat 16: 10-11, surat 3: 17, surat 16: 96 dll. Sebagaimana diketahui, wahyu kedua
250
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
yang diturunkan adalah surah al-Qalam (surah ke-68). Pada ayat pertama surat itu tergambar pentingnya qalam (alat tulis) berikut kegiatan tulis-menulis. Kitab suci Alquran sendiri diberikan nama lain yang tidak kalah terkenalnya, yaitu alkitab yang berarti sesuatu yang tertulis. e). Dalam mengapresiasi karya sastra, selain memilih karya sastra diperlukan juga landasan moral untuk mencontoh perilaku orang lain secara benar. Landasan moral ini bisa dilihat dalam surat 16:44, surat 53:3-4, surat 17:23, surat 31:11 dan 18, dan lain-lain. Pemilihan karya sastra merupakan bagian dari langkah untuk memperkenalkan nilai-nilai akhlak kepada para siswa. 3)
Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan NilaiNilai Islami Materi pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami yang dikembangkan mempertimbangkan faktor-faktor: a) Ruang lingkup materi bahasa Indonesia untuk SD dan keterkaitannya dengan materi PAI untuk SD, b) Materi bahasa Indonesia berdasarkan kerangka teori materi bahasa Indonesia, c) Materi muatan nilai-nilai Islami berdasarkan kerangka teori agama Islam, d) Perkembangan siswa, masyarakat, dan IPTEK, dan e) Pendapat pakar dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia dan pendidikan nilai.
4)
Metode, dan Teknik Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan Nilai Nilai Islami Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa dalam konteks pengembangan model pembelajaran bahasa bermuatan nilainilai islami maka pola pembelajaran yang dianggap paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam pada siswa SD/MI adalah model pembelajaran tematik dengan pendekatan integralistik yang dikolaborasikan dengan pendekatan pembelajaran bahasa, yakni pendekatan tujuan, struktural, dan komunikatif. Metode yang dapat digunakan di antaranya: metode tata bahasa/terjemahan, metode membaca, metode audiolingual, metode reseptif/produktif, metode langsung, metode komunikatif, metode integratif, metode tematik, metode kuantum, metode konstruktivistik, metode partisipatoris, dan metode kontekstual. Sedangkan, teknik yang digunakan terdiri dari: 1)
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 251
Teknik klarifikasi; teknik ini merupakan salah satu cara untuk membantu anak dalam menentukan nilai-nilai yang akan dipilihnya. 2) Teknik internalisasi; kalau teknik klarifikasi hanya terbatas pada pemilihan nilai dengan disertai wawasan yang cukup luas dan mendalam, maka dalam teknik internalisasi ini sasaranya kepada tahap pemilikan nilai yang menyatu dalam kepribadian siswa, atau sampai pada taraf karakterisasi atau mewatak. 5)
Media Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan NilaiNilai Islami Alat-alat atau media yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami dapat berupa wacana Islami, yaitu wacana yang di dalamnya disisipkan ayatayat alquran dan alhadist atau media yang divisualisasikan dengan gambar-gambar atau potret yang islami. Yang perlu dilakukan pendidik dalam menyiapkan media termasuk bahan bacaan adalah disesuaikan dengan tingkat keterbacaan wacana, waktu tersedia, dan bisa tidaknya wacana membangkitkan minat peserta didik.
6)
Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan NilaiNilai Islami Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami dapat dilakukan baik secara tes maupun nontes.
7)
Pola Interaksi Guru dengan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Bermuatan Nilai-Nilai Islami Berdasarkan nilai-nilai Islam dalam pembelajaran, maka pola interkasi guru dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami, adalah: a) Pendidik dan peserta didik hendaknya memiliki hubungan yang akrab, bagaikan hubungan orang tua dengan anaknya. b) Pendidik dan peserta didik memiliki niat yang benar dalam pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami. c) Pendidik hendaknya mampu memberikan materi pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik dan
252
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
d)
e)
f)
g)
h) i)
j)
bermakna, baik untuk kepentingan hidupnya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidik hendaknya mampu meningkatkan kemampuan pemahaman konsep bahasa Indonesia dan nilai-nilai Islam bagi peserta didik dengan pembinaan keterampilan bahasa Indonesia. Pendidik hendaknya mampu memberikan model/contoh yang dapat diamati dan ditiru oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidik hendaknya mampu mengembangkan sikap komunikasi terbuka dan komunikasi yang jelas dengan peserta didik. Peserta didik memiliki ketaatan dan kepatuhan kepada pendidika atas dasar pendekatan normatif, yaitu penunaian kewajiban yang akan mendatangkan ilmu yang bermanfaat. Peserta didik dituntut untuk mengamalkan ajaran Islam yang dikembangkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Peserta didik dituntut untuk semangat dalam belajar mandiri atau kelompok dengan suasana penuh kekeluargaan. Kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilainilai islami hendaknya memiliki suasana yang menyenangkan.
SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan model pembelajaran bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai Islami bertujuan untuk mengembangkan empat aspek keterampilan berbahasa peserta didik sekaligus membantu peserta didiknya untuk memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. serta berakhlak mulia. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, transformasi nilai-nilai Islami (religi) oleh guru secara implisit atau eksplisit dalam proses pembelajaran bahasa. Kedua, pemilihan bahan ajar yang mendukung terintegrasinya antara materi bahasa dan nilainilai Islami. Dengan demikian, diharapkan guru bahasa Indonesia dalam memahami nilai-nilai agama dalam konteks bahasa perlu ditingkatkan. Hal ini disadari karena terintegrasinya pembelajaran bahasa dengan nilai Islami bergantung pada kemampuan guru dalam
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia… 253
membuka hikmah di balik semua proses pembelajaran bahasa, dan yang tidak kalah penting adalah perlu dirumuskan bahan ajar yang memungkinkan terintegrasinya nilai-nilai Islam dalam pembelajaran bahasa untuk pengembangan berbahasa, keimanan, dan ketakwaan para siswa mengingat wacana yang dikutip dalam buku paket belum bisa mendukung terintegrasinya nilai-nilai agama Islam dengan pembelajaran bahasa Indonesia SD/MI.
DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 2007. Modul Teori dan Praktek Pembelajaran Pendidikan Dasar. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Alquran dan Terjemahnya. 1971. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah. Anshori, Dadang S. TT. “Ruh Islam dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”. E-book. Tersedia di Internet. Cahyani, Isah. 2009. Modul Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2006. Model Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta: Balai Pustaka. Kohar, Ahmad Wachidul. 2010. “Membumikan Pendidikan Nilai Melalui Integrasi Nilai Islam Dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah Disamapaikan dalam Seminar Pendidikan Matematika. Tersedia di http://bangqohar. wordpress.com//. Lampiran IV Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran. Sanjaya, Wina. 2006. Stretegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. Syarifuddin, Ahmad. 2004. Mendidik Anak Membaca, Menulis, dan Mencintai Alquran. Jakarta: Gema Insani Press. Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
254
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Yasri. TT. 2014. “Strategi Pembelajaran Matematika Bernuansa Islami”. http://bdkpadang.kemenag.go.id/. Diakses Tanggal 25 Oktober 2014. Zuchdi, Darmiyati. 2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas. Yogyakarta: UNY Press.
KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH MENURUT KURIKULUM 2013 Moh. Slamet Untung∗
Abstract: Changes in the curriculum from time to time by the Government aims to make education more relevant and higher quality. The curriculum itself is not likely to achieve the quality of anything, because the curriculum without actualization remain a dead program. That is, in addition to the curriculum, educators elements should be prioritized in order to increase the quality of education in schools. All curricula are applied in Indonesia, including Curriculum 2013 implies character education. But lately character education in schools has risen at national discourse level. The National Education System explicitly explain that character education is an inherent part of the national education system. Curriculum 2013 also expressly stated that the curriculum is designed for the development of the full potential of students to be qualified Indonesian man who is listed in the national education goals and rooted in the nation's cultural life of the nation to build the present and the future that it is none other than the development of the character of the Indonesian nation. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Sekolah, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang ∗.
Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan, e-mail:
[email protected]
256
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (UU Sisdinas, 2003: 2). Rumusan ini mencerminkan tiga domain pendidikan yang harus diinternalisasikan oleh pendidikan nasional kepada peserta didik, yakni domain kognitif, afektif, dan konatif. Namun, faktanya hanya domain kognitif yang memperoleh perhatian paling besar. Sementara itu, Pasal 2 Bab II Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas, 2003: 5-6). Untuk mencapai idealisme tujuan pendidikan nasional tersebut, maka pendidikan diselenggarakan berdasarkan pada ketentuanketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan penyelenggaran pendidikan nasional dapat dipahami dari Bab III Undang-Undang Sisdiknas UU RI Nomor 20 Tahun 2003. Pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sedangkan Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Secara substansial, dua pasal di atas menegaskan bahwa nilai kultural dan nilai keagamaan menjadi core utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Penyelenggaraan pendidikan nasional tidak boleh tercerabut dari akar budaya bangsa dan nilai-nilai keagamaan yang dihayati dan diyakini oleh masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, pendidikan nasional berfungsi untuk memperkuat karakter bangsa yang religius. Untuk merealisasikannya, Pemerintah antara lain menerbitkan PP RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Bab II Pasal 2 PP tersebut menjelaskan bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antarumat beragama (PP No. 55,
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 257
2007: 147). Rumusan ini dapat dipahami sebagai konstruksi pendidikan karakter yang diamanatkan oleh pendidikan nasional kita yang implementasinya dilakukan melalui jalur pendidikan formal (persekolahan), nonformal (kemasyarakatan), maupun informal (keluarga). SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN KARAKTER Untuk memahami signifikansi pendidikan karakter di sekolah, beberapa istilah terkait dengan masalah ini perlu diklarifikasi. Secara leksikal, kata karakter (character) berarti the particular combination of qualities in a person or place that makes them different from others (Cambridge, 2008: 225). Sementara itu, secara terminologi karakter merupakan jati diri seseorang yang meliputi keseluruhan sikap/tingkah laku (behavior) seseorang yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. Seorang yang berkarakter dapat berarti seseorang yang mempunyai reputasi baik di dalam kehidupannya. Seorang yang berkarakter juga berarti seorang yang memiliki integritas moral yang sangat tinggi (HAR Tilar, 2012: 1042). Adapun pendidikan karakter (character education) adalah an umbrella term loosely used to describe the teaching of children in a manner that will help them develop variously as moral, civic, good, mannered, behaved, non-bullying, healthy, critical, successful, traditional, compliant and/or socially acceptable beings (Barnawi dan M. Arifin, 2012: 23). Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18 ketika istilah itu diperkenalkan pertama kali oleh FW. Foerster. Terminologi ini merujuk kepada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan. Pendekatan ini juga dikenal dengan teori pendekatan normative (Asmani, 2012: 26). Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut menunjukkan karakter buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, dan suka membantu, tentulah orang tersebut menunjukkan karakter mulia. Istilah karakter berhubungan erat dengan personality. Seseorang bisa dikatakan “berkarakter” (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral (Barnawi dan M. Arifin, 2012: 21). Jadi, istilah karakter juga berhubungan dengan istilah moral. Istilah moral sendiri berarti adat kebiasaan atau cara hidup (Rochmat Mulyana, 2012: 8), ajaran dan kumpulan peraturan serta ketetapan (lisan atau tulisan)
258
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
tentang cara manusia hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik (Wiwien Widyawati R., 2010: 1). Karakter merupakan nilai-nilai yang mendasari perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Nilai-nilai (values) sendiri merupakan elements that show how a person decided to put his life (L. Jarret, 1991: 45). Nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit diukur itu antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamian, dan persamaan. Nilai harus menjadi intisari dari pendidikan. Nilai perlu ditanamkan dan dikembangkan pada diri seseorang melalui pendidikan nilai. Pendidikan nilai merupakan ruh pendidikan itu sendiri sehingga kapan saja pendidikan itu dilakukan, maka nilai itu akan muncul secara otomatis. Dengan kata lain, pendidikan nilai merupakan nilai pendidikan. Pendidikan nilai berfungsi membentuk karakter yang baik atau dengan kata lain pendidikan nilai berfungsi sebagai pendidikan karakter. Membangun karakter (character building) merupakan proses mengukir/memahat jiwa sedemikian rupa sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dari orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam Alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikian pula orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan mereka yang belum/tidak berkarakter/”berkarakter” tercela). Proses pembentukan karakter dijelaskan oleh Hellen Keller seperti dikutip Elmubarok only through experience of trial ad suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved Elmubarok, 2009: 102). Proses membangun karakter memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan instan, melainkan diperlukan refleksi mendalam untuk membuat serangkaian keputusan moral dan ditindaklanjuti dengan perbuatan nyata sehingga menjadi konkret, reflektif, dan praktik. Membangun karakter memerlukan waktu untuk membuat semua itu menjadi kebiasaan dan membentuk watak/karakter seseorang. Pendidikan karakter dalam pendidikan nasional bukan merupakan fenomena yang ujug-ujug. Perkembangan sosial, politik, dan kebangsaan dewasa ini cenderung menegasikan karakter bangsa (Mustakim, 2011: 1). Persoalan pendidikan karakter sebenarnya telah menjadi wacana pemikiran dari founding fathers bangsa ini baik
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 259
sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara (18891959), Bapak Pendidikan Indonesia, mengkritik tajam sistem pendidikan yang bertumpu pada intelektual semata-mata tanpa memerhatikan pembangunan karakter sebagaimana dipraktikkan di dalam sekolah-sekolah yang mengikuti sistem pendidikan Barat. Sistim sekolah kebaratan itu hampir semata-mata mengutamakan pendidikan intelektual, yaitu pendidikan fikiran, lalu menimbulkan “intellektualisme”, yaitu jiwa kenadlaran, yang lalu mengadakan alam kenadlaran, dalam mana intelleklah yang berkuasa dalam jiwa manusia, sedangkan sewutuhnya “budi” manusia terdesak ke belakang (diktatur intellek)… Sistim pengajaran menurut sekolah kebaratan, yang sifat intellektualistisnya telah diakui sendiri oleh sebagian besar dari bangsa barat pada waktu ini, tidak akan berubah menjadi pendidikan budi, selama dasarnya pengajaran masih bersifat “memberi pengetahuan” semata-mata dan masih kurang “member tuntunan hidup” (Dewantara, 1997: 465-466).
Ki Hajar Dewantara melihat bahaya yang cukup besar dari sekolah model Barat yang intelektualistik itu, yakni timbulnya sifat buruk (egoisme dan egosentrisme) yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Selain itu, intelektualisme juga dapat melahirkan materialisme, yakni keangkaramurkaan kepada benda yang hanya mementingkan keduniawian. Oleh karena itu, dia memandang perlu dikembangkannya sistem pendidikan Timur yang memuat semangat pendidikan untuk mengembangkan karakter (Dewantara, 1997: 473474). Sesungguhnya bangsa Indonesia telah memiliki sistem pendidikan karakter sejak bangsa ini belum dijajah oleh Belanda. Hampir semua kitab-kitab yang dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu selalu memuat tujuan pendidikan baik dalam bentuk cerita babad maupun cerita roman, atau cerita-cerita lainnya pasti memprioritaskan pendidikan karakter. Sistem pendidikan model “sekolah” yang dimiliki bangsa Indonesia pada zaman dahulu bersifat “perguruan”. Sistem pendidikan model “perguruan” berarti menggabungkan tiga macam kepentingan, yakni tempat – rumah bagi guru (disebut asrama), tempat orang-orang berguru (maguru, belajar), dan aliran pendidikan dari guru (paguron). Apabila dibandingkan dengan sistem “sekolah” menurut model Barat, maka tampak jelas bahwa sistem Barat itu semata-mata menekankan
260
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
pada pencarian ilmu dan kecerdasan intelektual, sedangkan sistem “perguruan” itu lebih menekankan pada pencarian ilmu dan pembentukan karakter untuk menjadi manusia yang bahagia jiwa dan raga. Jiwa dan raga dari masing-masing orang itu mempunyai sifatnya sendiri-sendiri yang khusus dan membentuk individualitas (sifat individu) yang utuh. Individualitas ini menurut Ki Hajar Dewantara apabila dididik menurut kodratnya akan membentuk kepribadian, yakni “karakter” (watak) atau jiwa yang merdeka (Dewantara, 1977: 467). Pendidikan dengan demikian berarti daya upaya untuk memacu pertumbuhan karakter, pikiran, dan jasmani anak secara integratif. Pendidikan karakter harus menggunakan parameter-parameter yang sesuai dengan jiwa bangsa menuju kepada kesucian, ketertiban, dan kedamaian lahir batin, bukan hanya parameter-parameter yang sudah ada dan baik, akan tetapi juga parameter-parameter zaman baru yang bermanfaat dan sesuai dengan maksud serta tujuan berbangsa (Dewantara, 1977: 14-15). Orang yang memiliki karakter senantiasa memikirkan, merasakan, dan memakai dasar-dasar, ukuran, dan pertimbangan yang pasti dan konsisten. Karakter, watak, dan budi pekerti merupakan integrasi antara gerak pikiran, perasaan, dan kehendak yang kemudian memunculkan kekuatan (power). “Budi pekerti” sebagai padanan dari karakter terbentuk dari kata “budi” yang berarti “pikiran-perasaan-kemauan” dan “pekerti” berarti “kekuatan”. Jadi “budi pekerti” merupakan sifat jiwa manusia dari pikiran hingga kekuatan. Dengan adanya “budi pekerti” ini, setiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berkarakter) yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri). Inilah manusia yang berkarakter (berkepribadian/beradab) yang menjadi maksud dan tujuan umum pendidikan bangsa Indonesia (Dewantara, 1977: 25). Pendidikan karakter dalam era globalilasi dewasa ini semakin memiliki makna signifikan. Globalisasi melahirkan kebudayaan global (S. Ahmed dan Hastings Donnan, 1994: 1). Kebudayaan global di satu pihak dapat membuka horizon pemikiran anggota masyarakat, tetapi juga kemungkinan masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif dapat meracuni kehidupan masyarakat kita khususnya generasi muda. Kita dapat menyaksikan misalnya mengenai perdagangan narkoba di mana Indonesia telah merupakan suatu jaringan persilangan perdagangan barang haram tersebut yang dimungkinkan oleh semakin mudahnya komunikasi internasional. Hal ini merupakan bahaya besar bagi masyarakat kita. Oleh sebab itu
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 261
semakin penting adanya kesadaran mengenai identitas dan karakter sebagai suatu bangsa. Tugas pendidikan nasional ialah mengembangkan identitas dan karakter peserta didik agar dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang berbudaya dan berkarakter. Pendidikan memang bukan hanya bertujuan menghasilkan anak didik yang pintar terdidik, tetapi yang lebih penting ialah anak didik yang terdidik, berbudaya, dan berkarakter (HAR Tilaar, 2000: 117). Globalisasi dewasa ini mengancam ambruknya karakter suatu bangsa. Nilai-nilai karakter luhur bangsa tergusur oleh arus moderniasi dan globalisasi. Kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh globalisasi ibarat pedang bermata ganda, di satu sisi memberikan kemudahan bagi manusia, dan di sisi lain memberikan dampak negatif jika disalahgunakan. Globalisasi juga menghasilkan kebebasan berdemokrasi. Namun, kebebasan itu diterjemahkan sebagai kebebasan berkehendak tanpa rule of game yang jelas. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep nilai menjadi sesuatu yang nisbi. Tidak mengherankan apabila fotofoto dan pose-pose hot, seronok dan sesuatu yang semestinya menjadi domain privat masuk ke dalam ruang publik. Hal ini berdampak pada hancurnya benteng moral dan rusaknya karakter bangsa khususnya di kalangan para pemuda dan pelajar (Barnawi dan M. Arifin, 2012: 1415). Apabila moralitas dan karakter bangsa kita rusak, maka kita akan menjadi bulan-bulanan negara-negara maju yang memiliki pengetahuan dan teknologi tinggi. Mereka mampu membuat terobosan progresif dan melakukan akselerasi massif di semua bidang kehidupan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, negara kita akan semakin terpuruk dan tertindas di dalam dan di luar negeri, menjadi “budak” di negeri sendiri, yang pada akhirnya dijajah SDM dan SDA-nya oleh bangsa asing dan oleh bangsanya sendiri (Ma’ruf Asmani, 2012: 21). Tentunya, hal itu tidak kita harapkan bersama dan tidak akan terjadi manakala seluruh komponen bangsa ini menyadari signifikansi pendidikan karakter untuk menyiapkan generasi Indonesia yang lebih bermartabat dan berbudaya. Memang, sesuatu yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun bahwa karakter memiliki makna yang signifikan bagi kehidupan manusia. Seorang Hakim Agung di Amerika Serikat, Antonin Scalia pernah menyatakan sebagaimana dikutip Elmubarok sebagai berikut.
262
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world harm harm than good (Elmubarok, 2009: 10).
Pernyataan Scalia di atas menunjukkan bahwa karakter harus menjadi konstruksi dasar dari kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang dapat diperjualbelikan (bought dan sold). Kita sepakat bahwa sudah menjadi pengetahuan umum di mana dalam era knowledge economy abad ke-21 ini berlaku ungkapan “knowledge is power”. Melihat fakta ini, maka pendidikan karakter menjadi kebutuhan hidup yang amat mendesak bagi bangsa-bangsa di dunia dewasa ini untuk diajarkan di semua jenjang pendidikan sekolah. Gagasan memunculkan pendidikan karakter ke dalam wacana pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama. Namun, patut diakui bahwa mulai tahun 1966 gagasan itu kandas dan lenyap dari perhatian sekolah. Pemerintah dalam beberapa hal seakan-akan hanya mengedepankan muatan ilmu dan teknologi untuk masa depan bangsa dan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sejak dihapuskannya pendidikan karakter (ketika itu lebih dikenal “pendidikan budi pekerti”) mulai pertengahan tahun 1970, kurikulum seolah-seolah kehilangan salah satu bagian penting, yakni komponen penggerak lahirnya pribadi luhur anak didik yang terwujud lewat tutur kata, tingkah laku, dan perbuatan nyata sebagai cerminan nilai etika atau moral terpuji (Endraswara, 2006: 51). Selama ini sistem pendidikan nasional kita sebenarnya sudah memiliki visi pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter dituangkan dalam perundang-undangan yang membahas pendidikan nasional mulai dari UU No. 4 Tahun 1950 jo. UU No. 12 Tahun 1954, UU No. 2 Tahun 1989, hingga UU No. 20 Tahun 2003. Secara substansial, semua perundang-undangan itu menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk membentuk karakter bangsa, meskipun diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Hanya saja karakter yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut gagal dihasilkan oleh sekolah. Selama ini pendidikan nasional telah memuat
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 263
visi pendidikan karakter, sementara karakter yang terbentuk justru bertentangan dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan, hal ini berarti ada persoalan dalam implementasi nasional. Sekolah telah gagal mewujudkan visi undang-undang untuk membangun karakter bangsa (Mustakim, 2011: 2). PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Pendidikan di seluruh dunia dewasa ini sedang mengkaji ulang perlunya pendidikan karakter diintensifkan kembali. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Bahkan di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan signifikansi revival dari pendidikan karakter yang pada akhir-akhir ini telah ditelantarkan. Urgensi pendidikan karakter antara lain disebabkan oleh melemahnya ikatan keluarga. Keluarga telah mengalami semacam disintegrasi sehingga menuntut perlunya menghidupkan kembali pendidikan karakter di lembaga-lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak. Sekolah dengan demikian telah menjadi pengganti keluarga dalam memperkenalkan nilai-nilai moral yang tidak diperoleh lagi oleh anak dari keluarga. Dengan demikian sekolah telah mempunyai tugas ganda selain tugas pokoknya untuk mengajar. Keluarga yang tidak lagi kondusif menyebabkan anak-anak sukar belajar. Oleh sebab itu, sekolah perlu mewujudkan suatu masyarakat moral dalam kehidupan sekolah yang membantu anak-anak yang tidak memperolehnya lagi di dalam lingkungan keluarganya (HAR Tilaar, 2002: 74). Pendidikan karakter mulai dilirik kembali oleh para pemerhati pendidikan kita ketika kondisi bangsa ini sudah mulai terpuruk. Ketika bangsa kita sudah mulai tergelincir dalam perebutan kekuasaan, disintegrasi bangsa, isu SARA, dan lain-lain, banyak pihak menuding bahwa kondisi bangsa yang semakin rapuh itu disebabkan oleh kegagalan sekolah mendidik karakter peserta didiknya (Endraswara, 2006: 49). Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan karakter di sekolah perlu dilakukan. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian integral dari misi sekolah dalam praktik kependidikannya. Mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah berarti mengembalikan sekolah pada tugas pendidikannya sesuai dengan undang-undang, yakni membangun karakter bangsa (mustakim, 2011: 3).
264
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Pendidikan sebagai pranata sosial yang berwujud dalam bentuk lembaga sekolah merupakan lembaga pendidikan yang berhubungan dengan perilaku-perilaku tertentu, yaitu interaksi-interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan suatu sistem nilai. Keberhasilam sekolah mewujudkan sistem nilai ini membutuhkan para pelaksana, yakni tenaga pendidik dan seluruh tenaga yang menunjang pelaksanaan tugas dari lembaga pendidikan itu. Demikian pula, sekolah perlu didukung oleh adanya fasilitas fisik yang memadai, termasuk di dalamnya program kurikulum yang mendeskrispsikan keseluruhan sistem nilai serta fasilitas fisik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut (Durkheim, 1956: 71). Kurikulum lembaga pendidikan harus memenuhi tuntutan dari dimensi-dimensi temporal, yaitu kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa depan di dalam dimensi spasial yang semakin lama semakin meluas sesuai dengan perkembangan kepribadian peserta didik. Kurikulum haruslah mencerminkan seluruh komponen budaya bangsa (HAR Tilaar, 2012: 72-73). Kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan kita merupakan suatu keharusan. Perubahan kurikulum di Indonesia telah berlangsung sejak 1947 sampai sekarang (Kurikulum 2013). Perubahan kurikulum tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Dalam keadaan masyarakat dan kebudayaannya yang cepat berubah itu apakah pendidikan kita akan tetap mengutamakan fungsi sekolah untuk melakukan transmisi, meneruskan kebudayaan lampau, ataukah memberi tempat yang lebih banyak kepada fungsi transformasi sebagai “agent of change” atau minimal mempersiapkan generasi masa depan agar sanggup menghadapi masa depan yang serba tak menentu bahkan dengan sengaja mendidik mereka agar turut serta dalam transformasi kebudayaan. Perubahanperubahan dalam masyarakat menambah kepelikan dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Kita mendidik anak di dalam sekolah yang makin asing bagi kita untuk masa depan yang kita tidak kenal. Konflik-konflik nilai yang dilahirkannya menimbulkan keraguan pada para pendidik mengenai nilai-nilai yang diterimanya dari masa lampau. Orang tua dan pendidik tidak lagi dapat diterima peserta didik sekarang sebagai model kepribadian, suri teladan, karena segera diklaim kolot dan ketinggalan zaman. Kepribadian dan karakter generasi muda yang
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 265
dipengaruhi oleh zaman modern ini akan berbeda sekali dengan apa yang dialami generasi tua sehingga terjadi gap antara kedua generasi itu. Tugas sekolah semakin berat karena keluarga sendiri mengalami perubahan ketika para ibu turut bekerja di luar rumah dan tak dapat memusatkan perhatiannya kepada kehidupan rumah tangga. Meningkatnya penggunaan narkotika, kriminalitas anak muda, kebebasan seks, merosotnya moral menunjukkan lemahnya pendidikan karakter anak dalam keluarga. Sejarah pendidikan menunjukkan bahwa tugastugas rumah tangga yang tidak sanggup dijalankan dengan baik dilimpahkan kepada sekolah. Sekolah harus mempertimbangkan persoalan ini dalam perubahan kurikulum (S. Nasution, 1993: 60-61). Perubahan Kurikulum 2013 dari Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) juga bertujuan untuk menyesuaikan dinamika perubahan berupa tantangan-tantangan internal dan eksternal yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Tantangan-tantangan internal itu antara lain ialah kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Sementara itu, tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di World Trade
266
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Organization (WTO), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Community, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (Permendikbud No. 67, 2013: 1-2). Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 2013 dikembangkan menggunakan filosofi bahwa pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik, Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini (Permendikbud No. 67, 2013: 4). Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik untuk mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 267
sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik, dan menjadikan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana di mana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar. Sedangkan tujuan Kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud No. 67, 2013: 3-4). Landasan filosofis dan tujuan Kurikulum 2013 dapat dipahami sebagai bentuk penegasan mengenai konstruksi pendidikan karakter dengan menjadikan sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang penting dalam melakukan transfer of knowledge dan transfer of value. Untuk itu, sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi maka prinsip pembelajaran yang digunakan ialah peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills), pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat, dan pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarsa sung tuladha), membangun kemauan (ing madya mangun karsa), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani) (Permendikbud No. 67, 2013: 3). Implementasi pendidikan karakter di sekolah yang diamanatkan oleh Kurikulum 2013 tersebut amat ditentukan oleh kompetensi pendidik. Sementara itu, faktanya bahwa dunia pendidikan kita masih menghadapi masalah besar terkait dengan kompetensi pendidiknya. Menurut Satria Dharma, dunia pendidikan kita dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Ini adalah buah dari kebijakan pendidikan sebelumnya yang merekrut pendidik secara asal-asalan hingga pada akhirnya dunia pendidikan diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Ironisnya, kita hampir tidak punya daya untuk mengubah keadaan tersebut. Berbagai upaya untuk memperbaiki kompetensi dan profesionalitas pendidik tampaknya selalu terganjal oleh fakta bahwa banyak pendidik yang tidak mampu (dan juga tidak mau) untuk ditingkatkan kualitasnya. Hanya sebagian kecil saja pendidik yang bisa dididik dan dilatih ulang.
268
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
Ketidakmampuan memahami pendekatan yang mendasari suatu kurikulum (dalam hal ini Kurikulum 2013) membuat para pendidik tidak berusaha untuk mengubah pola pembelajaran lama mereka secara mendasar. Mereka belum mampu untuk melaksanakan KBM dalam sebuah proyek secara bersama dengan pendidik-pendidik dari bidang studi lain. Pendidik belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkanya dalam kaitannya dengan bidang studi lain dan masih melihat berbagai bidang studi secara terpisah dan tersendiri. Pendidik masih melihat bidang studinya berupa “text” dan belum “context” karena metode CTL (Contextual Teaching and Learning) masih berupa wacana dan belum menjadi pengetahuan, apalagi keterampilan. Mereka masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya (Dharma, 2009: 14-15). Kemampuan pendidik memahami landasan aksiologi dalam pendidikan karakter merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan. Landasan aksiologis adalah landasan yang memusatkan perhatian pada hakikat, makna dan peran nilai (value) dalam kehidupan, menjadi penting karena pendidikan kita di masa lalu cenderung mengorbankan nilai-nilai kehidupan. Pendidikan masa lalu tidak memadai memberikan perhatian pada usaha memanusiakan peserta didik. Secara konstitusional peserta didik dididik seutuhnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, namun secara praktis peserta didik direndahkan martabatnya, dipasung kemerdekaaannya, dibatasi ruang geraknya, dikondisikan pemikirannya, semua atas nama pendidikan. Sekolah semakin menjadi pranata pengolah pengetahuan, sungguhpun pendidikan mencanangkan pendidikan manusia seutuhnya. Kedangkalan moralitas yang melanda bangsa Indonesia sampai sekarang membuktikan betapa kurangnya kemampuan bangsa memecahkan masalah secara beradab dengan pertimbangan hati nurani. Apa yang terjadi di sekolah tidak lebih dari latihan-latihan otak, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal yang sudah ditentukan, yakni kategori kemampuan kognitif yang paling elementer yang hanya sedikit lebih tinggi dari kemampuan seekor monyet yang cerdas dalam laboratorium. Memang pendidikan nilai sebagai pendidikan karakter telah diabaikan oleh bangsa ini sejak awal. Pendidikan karakter telah hancur dari pendidikan keluarga, pendidikan kanak-kanak, pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi. Ini diperkuat oleh
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 269
sikap Pemerintah di masa lalu yang hanya mampu mengindoktrinasikan nilai, bukan menumbuhkan nilai melalui pendidikan. Bangsa ini akhirnya tidak pernah memiliki pemahaman untuk menilai, bahkan tidak memahami konsep menilai nilai. Sebaliknya, karena bangsa ini hanya dipaksa untuk menelan “nilai”, bangsa ini tidak lagi memiliki kesadaran nilai, tidak menghargai nilai, tidak dapat membangun nilai, tidak dapat memperjuangkan nilai. Mereka hidup tanpa menghiraukan nilai, pada akhirnya mereka tumbuh sebagai manusia yang tidak berkarakter. Melalui landasan aksiologis yang mantap, setiap pendidik dapat memulai aktualisasi dan operasionalisasi tugas-tugasnya dengan baik. Dia dapat memberikan makna lebih mulia pada tugas-tugas kependidikannya (Surakhmad, 2009: 62-65). Pendidik merupakan faktor utama dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana dirumuskan Kurikulum 2013 dalam prinsip pembelajaran nilai-nilainya. Ada beberapa alasan, yakni pendidik langsung melaksanakan kurikulum di kelas, pendidik berkewajiban mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran, pendidik langsung menghadapi masalah-masalah yang muncul berhubungan dengan implementasi kurikulum, dan pendidik yang mencarikan upaya memecahkan segala masalah yang dihadapi dan melaksanakan upaya itu. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 di sekolah banyak bergantung pada profesionalisme pendidik (Ali, 1985: 30). Oleh karena itu, idealnya pendidik adalah seorang yang profesional sehingga mampu mengembangkan kurikulum apa pun. Pendidik profesional bukan hanya harus “well-performed”, tapi juga harus “well-trained”, “well-equipped”, dan tentunya juga “well-paid” (Dharma, 2009: 14-18). Kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas profesional pendidiknya, bukan besarnya dana pendidikan dan bukan oleh hebatnya fasilitas. Apabila pendidik berkualitas profesional, maka akan berkualitas pula pendidikannya. Pendidikan karakter akan berhasil manakala pendidik yang mengampunya terdiri dari para pendidik berkualitas profesional. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan pendidikan Indonesia pernah berkata,”Jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan”. Dia sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sadar betul bahwa kualitas pendidik justru menjadi persoalan pokok pendidikan di mana
270
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
pun (Dharma, 2009: 66). Selain pendidik berkualitas profesional, implementasi pendidikan karakter di sekolah juga membutuhkan sosok pendidik yang disebut “great teachers”. Sosok pendidik ini member i inspirasi. Sayang umumnya pendidik kita masih dalam taraf mediocre yang hanya mampu menceritakan bahan ajar –itu pun sangat membosankan. Menurut Ahmad Rizali, A Great Teacher Inspires, A Superior Teacher Demonstrates, A Good Teacher Explains, A Mediocre Teacher Tells (Rizali, 2009: 14-15). Pendidik profesional menurut Tilaar meliputi tiga bidang utama: bidang profesi, bidang kemanusiaan, dan bidang kemasyarakatan. Dalam bidang profesi, seorang pendidik profesional berfungsi untuk mengajar, mendidik, melatih, dan melaksanakan penelitian masalahmasalah kependidikan. Dalam bidang kemanusian, pendidik profesional berfungsi sebagai pengganti orang tua. Dia menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik mentransformasikan potensi yang dimiliki peserta didik menjadi kemampuan serta keterampilan yang berkembang dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Dalam bidang kemasyarakatan, profesi pendidik berfungsi untuk memenuhi amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia (HAR Tilaar, 2012: 552-553). Ketiga bidang utama yang menjadi tugas pendidik profesional tersebut terkait erat dengan pendidikan karakter (HAR Tilaar, 2012: 1039). SIMPULAN Masalah pendidikan karakter dewasa ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Hal ini disebabkan masyarakat dalam transisi dewasa ini merasa telah mulai kehilangan karakter bangsa sebagaimana telah diperjuangkan oleh founding fathers kita. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi juga untuk melakukan transfer of value. Sekolah mempunyai peran yang amat signifikan dalam mengkonstruksi pendidikan karakter anak didik, terutama jika anak didik kurang/tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Meskipun anak-anak didik hanya terbatas dalam lingkungan sekolah, namun di lembaga ini mereka akan lebih mudah dibentuk karakternya. Konstruksi pendidikan karakter di sekolah yang termaktub di dalam Kurikulum 2013 memerlukan personil sekolah terutama pendidik yang profesional dan kompeten. Pendidik profesional
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 271
tentunya menguasai falsafah pendidikan nasional yang menjadi landasan pengembangan Kurikulum 2013. Sebagai seorang pendidik, seorang pendidik profesional adalah seorang komunikator yang dapat berkomunkasi dengan peserta didiknya dalam upaya untuk mengembangkan karakter peserta didiknya. Pendidik yang kompeten memiliki berbagai kompetensi antara lain meliputi kemampuan untuk mengembangkan karakter peserta didik dan membawa peserta didik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu. Peran pendidik dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah berat. Pendidik dituntut menjadi sosok ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Akbar S., dan Hastings Donnan. 1994. Islam, Globalization and Postmodernity.London: Routledge. Ali, Mohammad. 1985. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru. Arifin, Syamsul, Agus Purwadi dan Khoirul Habib. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS. Asmani, Jamal Ma’mur. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: DIVA Press. Barnawi & M. Arifin. 2012. Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary. 2008. Cambridge: Cambridge University Press. Dewantara, Ki Hajar. 1977. “Pengajaran adab di dalam perguruan”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama PENDIDIKAN. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. ________, 1977. “Pendidikan dan kesusilaan”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama PENDIDIKAN. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. ________, 1977. “Hal watak”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama PENDIDIKAN. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
272
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014
________, 1977. “Hal Pendidikan”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama PENDIDIKAN. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. ________, 1977. “Dasar-dasar pendidikan”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama PENDIDIKAN. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Satria Dharma, 2009. “Apa pun Kurikulumnya, Mutu Guru Kuncinya”, dalam Mira Rainayati (ed.), Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profeional. Jakarta: PT Grasindo. ________, 2009. “Mencetak Guru Berkualitas: Tantangan Dunia Pendidikan”, dalam Mira Rainayati (ed.), Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profeional. Jakarta: PT Grasindo. Durkheim, Emile. 1956. Education and Sociology. Illinois: The Free Press. Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Endraswara, Suwardi. 2006. Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur dari Budaya Adiluhung. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Jarrett, James L. 1991. The Teaching of Values caring and appreciation. London: Routledge. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Mulyana, Rochmat. 2011. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Mustakim, Bagus. 2011. Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudra Biru. Nasution, S. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. PP RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dalam Himpunan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang Sisdiknas, Bandung: Fokusmedia, 2009.
Konstruksi Pendidikan Karakter di Sekolah… 273
Rizali, Ahmad. 2009. “Great Teachers”, dalam Mira Rainayati (ed.), Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profeional. Jakarta: PT Grasindo. R, Wiwien Widyawati. 2010. Etika Jawa Menggali Kebijaksanaan dan Keutamaan demi Ketenteraman Hidup Lahir Batin. Yogyakarta: Pura Pustaka. Surakhmad, Winarno. 2009. “Filosofi Pendidikan: Menemukan Kembali Landasan yang Hilang”, dalam St. Sularto (ed.), Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, Jakart: Penerbit Buku Kompas. Tilaar, H.A.R. 2012. ”Karakter Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer”, dalam Kaleidoskop Pendidikan Nasional Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Buku kompas. ________ . 2012. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. ________ . 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. ________ 2012. “Demitologisasi Profesi Guru”, dalam Kaleidoskop Pendidikan Nasional Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ________. 2012. “Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa” dalam Kaleidoskop Pendidikan Nasional Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan UndangUndang Sisdiknas. 2009. Bandung: Fokusmedia.
274
FORUM TARBIYAH Vol. 12, No. 2, Desember 2014