Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Jalan Tebet Utara II, Blok C No. 22 Jakarta Selatan 12820, Indonesia Tel/Fax. +62 21 8297954
Forest Peoples Programme 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ, UK tel: +44 (0)1608 652893 fax: +44 (0)1608 652878
[email protected]
Ms. Gabriella Habtom Sekretaris Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial UNOG-OHCHR 1211 Jenewa 10 Swiss
www.forestpeoples.org
14 Juli 2015
Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Aksi Mendesak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial I.
Pendahuluan
1. Untuk menghindari kerugian yang akan terjadi dan yang tidak dapat diperbaiki, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi masyarakat adat nasional Indonesia, 1 dan Forest Peoples Programme2 ("Organisasi Pemohon") dengan hormat meminta Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial ("Komite") mempertimbangkan situasi masyarakat adat Aru dari Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak dari Komite. Situasi dimaksud menyangkut pemberian izin oleh Republik Indonesia ("Indonesia" atau "Negara") untuk perkebunan tebu industri besar di atas sebagian besar wilayah leluhur masyarakat adat Aru dan kurangnya jaminan hukum yang efektif terhadap hak-hak masyarakat tersebut. Permintaan khusus diuraikan dalam ayat 19 di bawah ini. 2. Pada tahun 2010, Bupati Kabupaten Kepulauan Aru mengeluarkan 'izin prinsip' untuk konversi hutan alam di Kepulauan Aru menjadi perkebunan.3 Izin ini didukung oleh Gubernur Maluku, yang mengeluarkan 'Surat Rekomendasi kepada Menteri Kehutanan untuk Pelepasan Kawasan Hutan ' pada bulan Juli 2011. 4 Selanjutnya, pada bulan Februari 2013, Kementerian Kehutanan Indonesia mengalokasikan 'kawasan hutan' untuk 19 dari 28 perusahaan yang membentuk Konsorsium PT. Menara Group ("Menara Group").5 Setahun kemudian, pada tanggal 6 Februari 2014, Pjs Gubernur 1 2 3
4
5
Untuk profil AMAN lihat http://www.aman.or.id/en/about-aman/. Tentang Forest Peoples Programme, lihat http://www.forestpeoples.org/background/about-forest-peoples-programme. Pernyataan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, disampaikan dalam sebuah konferensi pers tanggal 10 April 2014 di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Kehutanan, Jakarta. Lihat Rilis Pers yang dikeluarkan Forest Watch Indonesia, Hutan Alam di Kepulauan Aru Terancam Hilang http://fwi.or.id/publikasi/hutan-alam-di-kepulauan-aru-terancam-hilang/ Menara Group adalah sebuah konsorsium yang terdiri dari 28 anak perusahaan, yaitu: 1. PT. Anugerah Timur Indonesia (12.640 ha), 2. PT. Pratama Maju Lestari (13.200 Ha), 3. PT. Usaha Berkah Sejahtera (19.330 ha), 4. PT. Majutama Alam Nusantara (11.640 ha), 5. PT. Aru Alam Perkasa (13.960 ha), 6. PT. Hijau Raya Abaditama (19.790 Ha), 7. PT. Cipta Makmur Alami (19.740 ha), 8. PT. Berkah Alam Aru (12.330 Ha), 9. PT.Sahabat Aru Sejati (20.000
Maluku, Saut Sitomorang, juga mengizinkan pembangunan perkebunan tebu di daerah-daerah yang sama. Yang terbaru, pada bulan Juni 2015, Menteri Pertanian mengumumkan bahwa Negara telah menetapkan tiga lokasi untuk pengembangan perkebunan tebu industri dan fasilitas pengolahannya di Indonesia. 6 Menteri perhatikan bahwa, "untuk mencapai swasembada pangan, termasuk gula dan daging sapi, Kementerian Pertanian telah menyiapkan tiga wilayah di Indonesia timur yaitu Aru di Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Merauke, untuk pertanian dan perkebunan tebu."7 Pengumuman terbaru ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap bermaksud mendesakkan pembangunan perkebunan di Aru tanpa mempertimbangkan tingginya penentangan dari masyarakat setempat dan dampak ekstrim yang sangat mungkin terjadi terhadap masyarakat adat di sana. 3. Subjek dari permohonan ini berkaitan dengan pelanggaran yang akan segera terjadi dan masif terhadap hak-hak masyarakat adat Aru atas lebih dari 50 persen wilayah tradisional mereka dan sumber-sumber penghidupan yang terdapat di dalamnya terkait dengan pembangunan perkebunan tebu besar ini. Daerah ini, yang meliputi wilayah sekitar 484.500 hektar dan sebagian besar pulaupulau dalam kepulauan Pulau Aru, telah diberikan kepada Menara Group sebagai konsesi. Daerah ini sama dengan lebih dari setengah wilayah tradisional masyarakat adat Aru dan mencakup lebih dari setengah dari 179 desa mereka. Oleh karena itu, hal ini merupakan situasi mendesak yang sepenuhnya sesuai dengan kriteria yang diadopsi oleh Komite sehubungan dengan prosedur peringatan dini dan tindakan mendesaknya. Selain skalanya besar dan "perambahan di tanah tradisional masyarakat adat ... [termasuk] untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam," 8 hal ini juga merupakan situasi yang serius "yang membutuhkan perhatian segera untuk mencegah atau membatasi skala atau jumlah pelanggaran serius terhadap Konvensi."9 4. Situasi ini menjadi lebih mendesak dan serius mengingat bahwa sebelumnya dan pada beberapa kesempatan Komite telah menyatakan keprihatinan serius tentang perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh situasi masyarakat adat Aru saat ini. Pada tahun 2007, misalnya, Komite antara lain, mendesak Indonesia untuk meninjau kembali undang-undangnya "untuk memastikan bahwa UU tersebut menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah komunal mereka."10 Komite mengulangi kembali rekomendasi ini pada tahun 2009, mengamati bahwa Indonesia "tetap belum memiliki sarana hukum yang efektif untuk mengakui, mengamankan dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya." 11 Demikian juga, pada
6
7 8 9
10 11
Ha), 10. PT.Rahmat Indonesia Subur (19,990 Ha), 11. PT.Berkah Rajab Indonesia (20.000 Ha), 12. PT.Pandawa Usaha Nusantara (19.420 Ha), 13. PT.Subur Makmur Abadi (19.520 Ha), 14. PT.Kreasindo Lahan Hijau (14.240 Ha), 15. PT.Platindo Aru Makmur (13.540 Ha), 16. PT.Cakra Makmur Sentosa (15.740 Ha), 17. PT. Aneka Bio Pulau Aru (14.380 Ha), 18. PT.Prakarsa Indonesia Timur (14.170 Ha), 19. PT.Sentra Aru Gemilang (11.590 Ha), 20. PT.Cahaya Malindo Abadi (19.760 Ha), 21. PT.Multi Aru Perkasa (20.000 Ha), 22. PT.Sari Indah Cemerlang (19.980 Ha), 23. PT.Inti Global Perkasa (20.000 Ha), 24. PT.Bina Makmur Lestari (20.000 Ha), 25. PT.Intra Jaya Kencana (19.890 Ha), 26. PT.Dobo Alam Makmur (19.990 Ha), 27. PT.Berkaj Dobo Perkasa (19.980 Ha), 28. PT.Anugrah Alam Dobo (16.583 Ha). Amran Sulaiman, berbicara selepas pertemuan dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, Amran mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyiapkan tiga daerah — Sulawesi Tenggara, Merauke di Papua dan Kepulauan Aru di Maluku — sebagai lokasi utama untuk sedikitnya 10 pabrik gula dan perkebunan tebu bagi investor baru. Lihat Jakarta Post Kamis, 18 Juni 2015, 9:01 AM: Lihat selanjutnya di: http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/18/govt-prepares-areas-sugar-cattleinvestors.html#sthash.1HxMLoSQ.dpuf Id. Lihat ‘Guidelines for the Use of the Early Warning and Urgent Action Procedure,’ August 2007, at para. 12. Prevention of Racial Discrimination, including early warning and urgent procedures: working paper adopted by the Committee on the Elimination of Racial Discrimination. UN Doc. A/48/18, Annex III, at para. 8-9. CERD/C/IDN/CO/3, at para. 17. Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 13 March 2009, at p. 2. Tersedia di: http://www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/early_warning/Indonesia130309.pdf.
2
tahun 2011, 2012 dan 2013, Komite menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang permasalahan yang sama sehubungan dengan pembangunan perkebunan besar di atas tanah adat di Merauke, Papua Barat, jenis perkebunan yang sama yang dalam waktu dekat mengancam Kepulauan Aru dan pemilik adat kawasan tersebut.12 Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ("CESCR") juga telah mengadopsi rekomendasi-rekomendasi yang rinci di bulan Mei 2014, yang banyak di antaranya menyangkut pengabaian terus-menerus di Indonesia atas hak-hak masyarakat adat dalam kaitannya dengan perkebunan agro-industri.13 II.
Deskripsi Umum tentang Kepulauan Aru
5. Kabupaten Kepulauan Aru terletak di bagian tenggara Provinsi Maluku, berdekatan dengan Australia di Laut Arafura. Kabupaten ini mencakup 187 pulau yang tersebar di seluruh wilayah, yang lima di antaranya adalah pulau besar, dan mencakup area seluas 8.563 km2. 14 Orang-orang yang menghuni Kabupaten Kepulauan Aru berasal dari suku Aru. Mereka percaya bahwa alam dan seluruh isinya adalah mutlak milik para leluhur yang selalu mengawasinya. Dengan pandangan seperti ini, keseimbangan yang secara alami terkandung di alam akan selalu terjaga, karena hal-hal yang merusak seperti eksploitasi yang berlebihan dan yang lainnya dapat terhindar karena adanya kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk alamnya selain untuk kebutuhan dasar hidupnya. 6. Kabupaten Kepulauan Aru sangat kaya sumber daya alam dan budaya. Kepulauan Aru memiliki budaya yang beragam. Ada 12 bahasa adat yang berbeda dengan tujuh di antaranya digunakan oleh kurang dari 2000 orang. Penghidupan sehari-seharinya disandarkan pada hortikultura subsisten (tanaman pokok di sana adalah singkong dan jagung), pengolahan sagu, berburu hewanhewan besar dan memerangka hewan-hewan kecil di hutan, dan memancing di sungai dan pesisir. Hal ini dilengkapi dengan upah buruh harian dan penjualan hasil hutan dan hasil laut. Secara biogeografis, kabupaten ini adalah rumah bagi berbagai spesies fauna endemik Wallacea antara lain burung cendrawasih, kanguru pohon, kakatua hitam, kakatua jambul kuning Aru, dan kasuari. III. Perampasan lahan adat Aru oleh Menara Group 7. Pada tahun 2012, masyarakat adat yang tinggal di beberapa desa di Kepulauan Aru terkejut mendapati Menara Group melakukan survei atas tanah tradisional mereka untuk keperluan pengembangan perkebunan tebu tanpa pemberian informasi sebelumnya atau tanpa partisipasi efektif mereka dalam pengambilan keputusan. Para pemimpin adat dan warga dari desa-desa di sana berkumpul untuk membahas apa yang sedang terjadi. Kekhawatiran muncul bahwa kegiatan Menara Group akan mengancam lingkungan, tanah dan masa depan mereka. Untuk mendapatkan kejelasan, mereka mencari informasi di Kota Dobo, pusat pemerintahan terdekat. Setelah mendapatkan informasi tentang rencana perkebunan tebu dari Menara Group, mereka membentuk koalisi untuk mempertahankan pulau-pulau mereka dari kelanjutan rencana pengembangan perkebunan ini. Koalisi ini dengan tegas telah menolak konversi tanah adat tradisional di Aru menjadi perkebunan dan telah memberitahu pemerintah tentang penentangan mereka ini (lihat Kotak 1 di bawah).
12
13 14
Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 2 September 2011; Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 2 September 2012; dan Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 30 August 2013. E/C.12/IDN/CO/1. Informasi lengkap dapat dilihat di: http://www.wacananusantara.org/suku-aru/
3
8. Informasi yang dikumpulkan menunjukkan bahwa rencana investasi Menara Group telah dimulai pada awal 2010. Pada saat itu, Bupati Kepulauan Aru telah mengeluarkan izin prinsip, izin lokasi, 15 dan 'rekomendasi pelepasan kawasan hutan’16 seluas 481.403 hektr untuk kepentingan rencana Menara Group ini. Hal ini ditegaskan dan disahkan oleh Gubernur Maluku, yang mengeluarkan 'Surat Rekomendasi kepada Menteri Kehutanan untuk pelepasan kawasan hutan' pada bulan Juli 2011.17 Selanjutnya, di bulan Februari 2013, Kementerian Kehutanan Indonesia mengalokasikan lahan hutan untuk 19 dari 28 perusahaan yang membentuk Menara Group. Izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan mencakup total 305.120 hektar18 atau sekitar 50 persen dari seluruh 626.900 hektar lahan di Kepulauan Aru. Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 177 Desa dan 99 di antaranya termasuk dalam konsesi Menara Group. 1. KOTAK 1: Pernyataan Koalisi Rakyat “SAVE ARU” 2. Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, baik bertindak secara pribadi atau atas nama organisasi, setelah meninjau dan mempelajari fakta-fakta terkait dengan rencana pembukaan 484.493 Ha lahan hutan di Kepulauan Aru untuk pengembangan perkebunan tebu oleh konsorsiun PT. Menara Group, dengan ini menyatakan bahwa: 3. Kepulauan Aru dengan semua kekayaan alamnya adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Infonesia (NKRI) yang harus dilindungi oleh Negara terhadap segala bentuk degradasi dan kerusakan alam, lingkungan, dan manusia. Pemerintah didesak untuk meninjau dan/atau mencabut semua izin yang telah dikeluarkan dengan menyalahi hukum yang berlaku. Dengan rencana PT Menara Group atau investor perkebunan lainnya untuk menggunakan 484.493 Ha dari total 626.000 hektar wilayah adat Aru, masyarakat, alam dan lingkungan di sekitarnya berada di bawah ancaman. 4. 5. Oleh karena itu, kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan ini MENOLAK EKSPLOITASI TANAH ADAT DAN MASYARAKAT ADAT KEPULAUAN ARU oleh PT. Menara Group dan/atau investor lainnya baik saat ini atau di masa depan.. Pernyataan ini dibuat dan ditandantangani tanpa paksaan oleh pihak manapun. 6. Ambon, 21 Oktober 2013. 9. Karena izin yang diterbitkan Negara mencakup hampir 50 persen dari wilayah adat masyarakat adat Kepulauan Aru, izin tersebut secara serius mengancam kepemilikan, pemanfaatan yang harmonis dan bahkan kelangsungan hidup wilayah adat mereka. Skala konversi yang akan dilakukan untuk pengembangan perkebunan tebu monokultur ini juga mungkin akan mengakibatkan kehancuran pada budaya dan sumber daya ekonomi yang menopang kehidupan mereka. Sumber penghidupan subsisten mereka sebagian besar berasal dari hutan, yang akan ditebang habis untuk
15
16
17
18
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk mendapatkan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang, yang juga berlaku sebagai izin pemindahan hak. Lihat Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Perolehan Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal. Kronologi penerbitan izin ini dapat dilihat dalam lembar fakta yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia: http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2014/08/Lembar-Fakta-KepulauanAru_FWI_RFN.pdf Pembebasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan, lihat pasal 1(16) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Lihat Rilis Pers yang dikeluarkan Forest Watch Indonesia, Hutan Alam di Kepulauan Aru Terancam Hilang http://fwi.or.id/publikasi/hutan-alam-di-kepulauan-aru-terancam-hilang/. Hutan terakhir di pulau-pulau kecil di Indonesia “Studi Kasus Eksploitasi Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Kepulauan Aru”, Forest Watch Indonesia, 2014.
4
membangun perkebunan monokultur di atas area luas dalam wilayah mereka. 19 Hutan juga merupakan lokasi dari tempat-tempat vitalitas budaya dan spiritual yang mendasar, yang juga akan hilang bila hutan dikonversi menjadi perkebunan tebu. 10. Setelah mendapat izin dari pemerintah pada tahun 2010, pada tahun 2012, Menara Group melakukan survei lahan untuk perkebunan tebu di hutan adat masyarakat adat Aru tanpa konsultasi terlebih dahulu, dan tanpa pemberian informasi tentang rencana tersebut. Masyarakat adat Aru baru menyadari ketika mereka melihat sendiri kegiatan survei yang dilakukan oleh Menara Group. Untuk mengamankan kegiatan surveinya, perusahaan melibatkan Angkatan Laut dan Kepolisian Republik Indonesia, sebuah praktek yang telah banyak dikritik, termasuk oleh Komite, saat aparat-aparat seperti itu digunakan di tempat-tempat lainnya di Indonesia. 20 Polisi tidak hanya terlibat dalam kegiatan survei perusahaan, mereka juga secara aktif membatasi hak-hak masyarakat adat atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai dengan melarang atau membubarkan pertemuanpertemuan damai, seperti ketika Polres Aru melarang dan membubarkan musyawarah adat masyarakat adat tentang perkebunan yang digelar di Kota Dobo pada tanggal 11 Desember 2013. 11. Pada tanggal 23 Oktober 2013, Pengurus Wilayah AMAN Maluku melaporkan situasi Aru kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ("Komnas HAM") Indonesia. Komnas HAM menyelidiki dan menemukan pelanggaran serius terhadap hak-hak masyarakat adat (lihat Lampiran 1 untuk temuan-temuan fakta dan rekomendasi Komnas HAM). Selain itu, pada tahun 2014, Komnas HAM melakukan Inkuiri Nasional terhadap " Pelanggaran Hak-Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan." Kasus Aru adalah salah satu kasus yang diselidiki dalam proses tersebut. Komnas HAM menemukan antara lain bahwa Negara "telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Kepulauan Aru" (lihat Lampiran 2 yang berisi temuan-temuan dan rekomendasi Komnas HAM). Namun Negara tidak menanggapi atau bertindak untuk melaksanakan rekomendasi yang diadopsi oleh Komnas HAM dan, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan bulan Juni 2015 oleh Menteri Pertanian, Negara tampaknya memutuskan untuk mengizinkan Menara Group mengembangkan perkebunan di Kepulauan Aru. IV. Negara telah gagal memenuhi UU Nasional dan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penegakan Hak-Hak Masyarakat Adat saat mengesahkan konsesi Menara Group 12. Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku mendapati bahwa lisensi Negara dan izin yang dikeluarkan kepada Menara Group telah diberikan sebelum perusahaan memperoleh izin lingkungan yang diperlukan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Ini bertentangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. 21 Meskipun adanya cacat ini, Gubernur Maluku menyatakan penilaian dampak post hoc "layak" lewat Keputusan No. 114, 115,
19
20
21
Lihat Spriggs et al., The Aru Islands In Perspective: A General Introduction in THE ARCHAEOLOGY OF THE ARU ISLANDS, EASTERN INDONESIA (ANU Press: 2011), at p. 5 (yang menjelaskan bahwa “ekonomi subsisten desa bergantung pada pemeliharaan tegakan pohon sagu yang luas, baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh ‘liar’, budidaya pisang, singkong dan jagung. Berburu dan mengumpulkan hasil hutan juga penting”) Lihat misalnya, Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 2 September 2012 (yang menyatakan bahwa “Komite juga prihatin dengan informasi tentang dugaan bahwa aksi perambahan didukung oleh pihak negara dan dilindungi angkatan bersenjata Indonesia”); serta E/C.12/IDN/CO/1, at para. 28. Lihat misalnya UU No. 32 Tahun 2009, Pasal 22 dan 24; serta Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Pasal 42-43.
5
dan 116, semuanya diterbitkan tanggal 16 Agustus 2012. Selain itu, tidak ada konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat adat seperti yang disyaratkan oleh UU Perkebunan tahun 2004.22 13. Dalam Keputusan Nomor 35/PUU-X/2012, yang diterbitkan pada bulan Mei tahun 2013, Mahkamah Konstitusi di Indonesia menyatakan bahwa sebagian isi UU Kehutanan Tahun 1999 tidak konstitusional mengenai bagian yang menyatakan bahwa hutan yang secara tradisional ditempati dan digunakan oleh masyarakat adat termasuk sebagai "hutan negara".23 Keputusan ini menggolongkan kembali tanah adat tradisional sebagai tanah yang dimiliki secara perorangan oleh masyarakat adat, bukan sebagai "hutan negara", dan dengan demikian juga menghapus yurisdiksi Kementerian Kehutanan atas tanah adat tradisional. 24 Keputusan ini pada prinsipnya mengoreksi cacat substansial dalam hukum Indonesia, meskipun UU lainnya tetap menghambat pengakuan dan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat adat.25 Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak dianggap mengikat Negara dan Negara masih belum mengadopsi atau melakukan amandemen undang-undang atau peraturan untuk melaksanakan keputusan ini. 26 Seandainya keputusan tersebut telah diadopsi atau amandemen undang-undang atau peraturan telah dilakukan, hal itu akan semakin menegaskan ilegalitas pemberian hak konsesi kepada Menara Group di Kepulauan Aru. Yang semakin memperburuk masalah, seperti ditegaskan oleh CESCR, Negara kemudian mengadopsi undang-undang yang tidak sejalan dengan keputusan MK.27 14. Pada bulan Juni 2014, Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya merekomendasikan agar Indonesia mengamandemen legislasi dan peraturan lainnya yang tidak sesuai dengan Keputusan 22
23
24
25
26
27
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Pasal 9(2) (yang menyatakan bahwa “Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.) lihat juga Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 18B(2) (yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang”) dan; Amandemen Kedua UUD 1945 Pasal 28I(3) (yang menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”); dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”). Lihat misalnya, Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 30 August 2013 (yang menyatakan bahwa “Mahkamah Agung Indonesia telah memutuskan tanggal 16 Mei 2013 bahwa beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan No. 41/1999 tidak konstitusional dikarenakan penggolongan ‘hutan adat’ sebagai bagian dari ‘hutan negara’ Akibat ketentuan yang masih berlaku ini, masyarakat adat, seperti yang terkena dampak proyek MIFEE, hak-haknya kalah oleh hak kepemilikan negara”). Keputusan 35/PUU-X/2012, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Mahkamah Konstitusi Indonesia, 16 Mei 2013, paragraf 4 (di mana MK menyatakan bahwa “selama lebih dari 10 tahun pelaksanaannya, UU Kehutanan telah digunakan Negara untuk mengambil alih hak-hak masyarakat adat atas kawasan hutan adat mereka dengan menggolongkan kawasan tersebut menjadi hutan negara, yang kemudian oleh Negara diberikan/diserahkan kepada pemilik modal, lewat berbagai perizinan untuk dieksploitasi tanpa mempertimbangkan hak-hak dan kearifan lokal masyarakat adat di daerah bersangkutan, ini telah menimbulkan konflik antara masyarakat adat dan pengusaha yang mengeksploitasi hutan adat mereka. Praktik seperti ini terjadi di sebagian besar kawasan Indonesia...”). Lihat misalnya, CERD/C/IDN/CO/3, para. 15 (yang menyatakan keprihatinan “bahwa di bawah hukum domestik, orang-orang ini diakui “sepanjang keberadaannya masih ada”, tanpa perlindungan yang menjamin penghormatan terhadap prinsip fundamental identifikasi sendiri dalam menentukan masyarakat adat”). Lihat idem. (yang meminta “informasi tentang langkah-langkah yang diambil negara untuk melaksanakan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 16 Mei 2013”). E/C.12/IDN/CO/1, at para. 39 (yang menyatakan keprihatinan “atas ketentuan yang baru-baru ini diadopsi UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta UU yang berlaku lainnya di Indonesia yang bertentangan dengan Keputusan MK 35/PUU-X/2012 tentang hak kepemilkan hutan adat”).
6
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, CESCR mendesak Indonesia untuk melakukan penataan batas dan demarkasi batas-batas wilayah adat dan hutan adat, dan untuk menyelesaikan seluruh sengketa melalui konsultasi dengan perwakilan masyarakat adat dan Komnas HAM. 28 Kelanjutan konsesi perkebunan Menara Group di Kepulauan Aru bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan, seperti yang dibahas di bawah, bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia, yang tingkat dan sifat nya melibatkan prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak Komite. V. Perkebunan Tebu Besar di Kepulauan Aru Akan Menimbulkan Kerugian Yang Tidak Dapat Dipulihkan Pada Masyarakat Adat Kepulauan Aru 15. Komite, CESCR dan lain-lainnya sebelumnya telah menyatakan keprihatinan tentang ketiadaan kerangka perlindungan hukum yang efektif untuk hak-hak masyarakat adat29 serta adanya inkonsistensi dengan hak-hak tersebut, yang menghambat dan menegasikan praktik dan pemenuhan hak-hak tersebut dalam banyak hal, dalam berbagai ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Tidak ada yang berubah sejak keprihatinan ini dilayangkan. Mereka juga telah mengamati bahwa hak-hak masyarakat adat terus-menerus diabaikan sehubungan dengan pembangunan perkebunan di Indonesia dan bahwa konsekuensi yang ditimbulkan umumnya mengerikan dan berlangsung lama.30 Sekali lagi, tidak ada yang berubah untuk sementara, itu adalah kesimpulan dari hasil praktik Negara, dengan kata-kata Komnas HAM, dari pengabaian masyarakat adat di Kepulauan Aru saat menerbitkan konsesi yang mencakup hampir 50 persen dari tanah mereka dan 99 dari ke-177 desa mereka. Kawasan luas milik mereka ini telah dirampas secara legal dan dialihkan ke Menara Group dan mereka akan sangat kehilangan sumber penghidupan mereka ketika, seperti ancaman dalam waktu dekat ini, hutan-hutan leluhur mereka akan dikonversi menjadi perkebunan industri monokultur. 16. Mantan Pelapor Khusus tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Rodolfo Stavenhagen, mengidentifikasi perkebunan di Indonesia menempatkan masyarakat adat "di ambang sungguhsungguh kehilangan wilayah tradisional mereka dan dengan demikian menghilangkan mereka sebagai komunitas yang unik."31 Ini adalah situasi saat ini yang terancam oleh perampasan besarbesaran dan secara paksa atas tanah adat di Kepulauan Aru untuk mendukung Menara Group. Pengambilalihan tanah adat secara masif untuk perkebunan tebu ini juga tepatnya adalah situasi yang dirancang untuk ditangani oleh prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak Komite. Tidak hanya Indonesia telah mengabaikan keprihatinan sebelumnya yang dinyatakan oleh Komite dan banyak pihak lain ketika pemberian konsesi ini, Indonesia secara terbuka menyatakan di bulan Juni 2015 bahwa konsesi-konsesi tersebut akan dikembangkan lebih lanjut meskipun ada keputusan Mahkamah Konstitusi dan penolakan terang-terangan dari masyarakat adat yang terkena dampak. Dalam hal ini, baik Komite dan CESCR telah jelas menyarankan Indonesia bahwa konsesi-konsesi
28 29
30
31
Id. Lihat misalnya, CERD/C/IDN/CO/3; E/C.12/IDN/CO/1; ‘South-East Asia / Agrofuel: UN rights experts raise alarm on land development mega-projects’, 23 May 2012, http://www.srfood.org/index.php/en/component/content/article/1-latest-news/2263-south-east-asia-agrofuel-un-rightsexperts-raise-alarm-on-land-development-mega-projects-. Lihat misalnya, Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 2 September 2011; Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 2 September 2012; dan Communication of the Committee adopted pursuant to the early warning and urgent action procedures, 30 August 2013. R. Stavenhagen, Pelapor Khusus situasi hak asasi dan kebebasan dasar masyarakat adat, Pernyataan Lisan kepada Sesi Ke-6 Forum Permanen PBB tentang Masalah-Masalah Masyarakat Adat, 21 Mei 2007, hal 3.
7
atau perkebunan dalam arti yang lebih luas adalah tidak sah tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan dari masyarakat adat yang terkena dampak. 32 17. Saat meninjau rencana Indonesia untuk membangun perkebunan kelapa sawit besar-besaran di atas tanah adat di provinsi Kalimantan, Komite menyoroti "ancaman yang ditimbulkannya terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah mereka dan untuk dengan bebas mempraktikkan budaya mereka."33 Komite menyarankan agar Indonesia meninjau hukum-hukumnya "serta cara hukum-hukum ditafsirkan dan diimplementasikan dalam praktik, untuk memastikan bahwa hukumhukum tersebut menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah komunal mereka."34 Komite juga menyarankan agar "Negara mengamankan harta benda dan hak kepemilikan masyarakat lokal sebelum melangkah lebih lanjut" dengan konsesi-konsesi tersebut.35 Rekomendasi serupa juga dibuat oleh CESCR di tahun 2014. Organisasi Pemohon dengan hormat menyampaikan bahwa ini juga merupakan langkah-langkah tepat yang diperlukan dalam kaitannya dengan situasi masyarakat adat Kepulauan Aru. VI.
Kesimpulan dan Permohonan
18. Hampir 50 persen kawasan hutan masyarakat adat Kepulauan Aru akan dikonversi menjadi perkebunan tebu jika Menara Group diizinkan untuk melanjutkan kegiatannya lebih jauh. Hal ini akan segera menyebabkan hilangnya mata pencaharian tradisional masyarakat adat Aru di wilayah bersangkutan. Hal ini juga akan mengakibatkan kerusakan besar pada hubungan spiritual antara masyarakat adat Aru dan lingkungannya serta kerugian besar bagi integritas budaya mereka. Meskipun ancaman-ancaman terhadap masyarakat adat ini jelas dan sangat nyata, Negara tidak mengambil tindakan apapun untuk menangani ancaman-ancaman ini atau hak-hak yang akan dilanggar. Sebaliknya, Negara berkomitmen untuk mengizinkan pengambilalihan tanah adat yang masif dan bahaya ekstrim dan kerugian nyata bagi pemilik tradisionalnya. 19.
32
33 34 35
Berdasarkan hal di atas, Organisasi Pemohon dengan hormat meminta Komite untuk: a.
Memantau dan membuat rekomendasi bawah prosedur peringatan dini dan tindakan segera pada situasi Aru masyarakat adat yang terkena dampak konsesi perkebunan yang diberikan kepada Menara Group, termasuk seperti yang diusulkan dalam ayat 17 di atas;
b.
Mendesak Indonesia untuk segera melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Mei 2013 dengan partisipasi yang efektif masyarakat adat serta memastikan bahwa ada standar hukum nasional untuk mengarahkan penerapan hukum oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pelaksanaan keputusan tersebut;
c.
Mendesak Indonesia untuk segera mengembangkan kebijakan dan memberlakukan dan mengamandemen undang-undang untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak-hak mereka atas tanah dan wilayah dan cara-cara hidup mereka; dan
CERD/C/IDN/CO/3, at para. 17; E/C.12/IDN/CO/1, at para. 27 and 38 (yang terakhir ini mendesak Indonesia untuk “menetapkan mekanisme yang kuat untuk memastikan penghormatan terhadap persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka atas keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka dan sumber-sumber daya mereka, serta kompensasi yang layak dan ganti rugi yang efektif dalam hal terjadi pelanggaran”). CERD/C/IDN/CO/3, at para. 17. Id. Id.
8
d.
Mendesak Indonesia untuk mengundang Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, atau menerima permintaan kunjungan ke lokasi.
9
Lampiran 1: Temuan dan Rekomendasi Komnas HAM Mengenai Kasus Aru Temuan: 1. Pelanggaran hak atas tanah adat, yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terutama Pasal 9 ayat (4) tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Perkebunan (IUP), yang harus menjamin dan menghormati hak masyarakat adat atas tanah adat mereka. Pemberian IUP untuk 28 (dua puluh delapan) anak perusahaan PT. Menara Group tidak memenuhi seluruh prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, karena tidak adanya Surat Rekomendasi dari Gubernur Maluku mengenai kepatuhan dengan rencana makro pembangunan perkebunan provinsi dan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). Akibatnya, validitas lisensi yang dikeluarkan juga harus diperiksa kembali, termasuk izin prinsip yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada 19 (sembilan belas) perusahaan di bawah PT. Menara Group. 2. Pelanggaran hak atas lingkungan yang memadai dan sehat, yang dijamin oleh Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 25 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Kepulauan Aru menyatakan bahwa kawasan hutan produksi yang boleh dikonversi adalah seluas 484.493 Ha. Sementara itu, luas lahan Kepulauan Aru berdasarkan data dalam AMDAL adalah 626.900 Ha. Kebijakan ini diduga mengganggu keseimbangan ekologi, sosial dan budaya masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka. Perkebunan skala besar akan membutuhkan pasokan besar sumber daya dan menghasilkan sejumlah besar limbah yang bisa memiliki implikasi tidak terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang memadai dan sehat. Potensi pelanggaran dari hak atas lingkungan hidup yang memadai dan sehat juga merupakan hasil dari proses dan isi AMDAL yang diduga tidak memenuhi syarat seperti yang dinyatakan dalam Surat Kementerian Lingkungan Hidup Nomor B668/Dep.I/LH/PDAL/01/2013 tanggal 25 Januari 2013. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, AMDAL yang disiapkan oleh PT Menara Group tidak memenuhi standar proses dan isi. Dengan demikian, Keputusan Gubernur Maluku Nomor 114, 115, dan 116 tanggal 16 Agustus 2012 tentang Kelayakan Lingkungan harus dicabut dan AMDAL harus dilakukan kembali. 3. Pelanggaran hak atas partisipasi, di mana dokumen AMDAL tidak disertai dengan konsultasi dengan dan penilaian obyektif oleh masyarakat yang terkena dampak, juga tidak memenuhi aspek prosedural. Orang-orang yang mengadu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia percaya bahwa mereka tidak pernah menyetujui AMDAL-nya, namun AMDAL tersebut telah dinyatakan layak oleh Gubernur Maluku melalui Keputusan Nomor 114, 115, dan 116 tertanggal 16 Agustus 2012 tentang Kelayakan Lingkungan. 3. Pelanggaran hak atas keamanan yang dijamin oleh Pasal 30 UU Hak Asasi Manusia, di mana Konsorsium PT. Menara Group dalam kegiatannya diduga dijaga oleh polisi dan angkatan laut. Selain itu, PT. Menara Group diduga tidak melaporkan kedatangan dan kegiatannya kepada pemimpin masyarakat adat di daerah tujuan mereka, sebaliknya mereka langsung melakukan survei ke hutan adat masyarakat adat seperti yang terjadi di Doka Barat dan Desa Lainini. Proses survei dan peletakan tata batas yang dilakukan perusahaan telah memicu penolakan dari masyarakat setempat. Selain itu, tindakan PT. Menara Group yang diduga dijaga oleh Polisi/Militer selama survei di hutan adat Kepulauan Aru telah menyebabkan tekanan psikologis pada masyarakat adat. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat di Kepulauan Aru. 4. Pelanggaran hak atas keadilan, hak kesetaraan di depan hukum, dan hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, di mana polisi melarang dan membubarkan musyawarah adat masyarakat adat yang dilakukan di Dobo pada tanggal 11
Desember tahun 2013. 5. Pelanggaran hak atas informasi, di mana seharusnya didapat persetujuan bebas dari masyarakat adat sehubungan dengan kebijakan investasi. Dengan demikian, masyarakat adat dapat memahami potensi dampak dari investasi untuk memungkinkan mereka berpikir tentang langkah-langkah yang harus diambil seandainya mereka menerima atau menolak investasi tersebut. Ini adalah norma dan prinsip yang harus ditegakkan dalam berhubungan dengan masyarakat adat, yang disebut FPIC (Free, Prior dan Informed Consent – persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan) dan yang saat ini telah menjadi norma nasional dan internasional dalam kaitannya dengan masyarakat adat. Rekomendasi: 1. Bupati Kepulauan Aru • Meninjau izin-izin yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di bawah PT. Menara Group, jika ada indikasi kesalahan prosedural dan substantif. • Menerapkan kebijakan secara transparan, terutama dalam menerbitkan izin atau dokumen lain yang berkaitan dengan perusahaan di bawah PT. Menara Group. • Melakukan pemantauan dan pelaporan secara rutin sehubungan dengan izin yang dikeluarkan atas nama perusahaan di bawah PT. Menara Group. • Menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk segera menyiapkan langkah-langkah untuk melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang penegasan kembali kawasan hutan adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka. • Mengintegrasikan dan menerapkan norma-norma yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) ke dalam kebijakan dan program pembangunan. 2. • • • •
•
3. •
•
Gubernur Maluku Mencabut Keputusan Gubernur Maluku Nomor 114. 115, dan 116 tertanggal 16 Agustus 2012 tentang Kelayakan Lingkungan yang diberikan kepada anak-anak perusahaan PT. Menara Group. Meminta PT. Menara Group untuk melakukan kembali AMDAL secara transparan, partisipatif, dan profesional. Mengawasi dan meninjau izin-izin yang telah diberikan kepada PT Menara Group sesuai dengan kewenangan Gubernur. Menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk segera menyiapkan langkah-langkah untuk melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang penegasan kembali kawasan hutan adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka. Mengintegrasikan dan menerapkan norma-norma yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) ke dalam kebijakan dan program pembangunan. DPRD Kepulauan Aru dan Provinsi Maluku Menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk segera meminta pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyiapkan langkah-langkah untuk melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang penegasan kembali kawasan hutan adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat mereka. Mengawasi dan meninjau izin-izin yang telah dikeluarkan untuk PT Menara Group sesuai dengan kewenangan DPRD.
11
4. •
• • • •
5. • •
6. • • •
Polda Maluku Meminta informasi dari Kapolres Kepulauan Aru terkait dengan pelarangan dan pembubaran musyawarah adat Ursiwa Urlima pada tanggal 10 Desember dan 11 Desember 2013 melalui Surat Perintah (Sprint/712/XII/ 2013) tentang pembubaran pertemuan antara Masyarakat Adat Aru dan Pengurus Wilayah AMAN Maluku. Mengawasi dan memastikan netralitas dan profesionalisme polisi dalam menangani penolakan rakyat atas investasi PT. Menara Group. Menyelesaikan perselisihan di antara masyarakat setempat melalui dialog dan mediasi. Memantau dan mengawasi kegiatan investasi PT Menara Group agar sesuai dengan perundang-undangan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku. Mengintegrasikan dan menerapkan norma-norma yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) ke dalam kebijakan penegakan hukum dan ketertiban sosial. Kementerian Kehutanan Meninjau izin prinsip yang telah dikeluarkan sehubungan dengan tuduhan bahwa penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk 28 (dua puluh delapan) perusahaan di bawah PT. Menara Group cacat prosedural. Tidak melanjutkan pemrosesan Izin Pelepasan Kawasan Hutan sampai semua permasalahan yang ada di masyarakat lokal dan apapun yang berhubungan dengan proses perizinan tersebut dinyatakan tidak bermasalah (clear and clean). Kementerian Lingkungan Hidup Dengan tegas meminta Gubernur Maluku untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Nomor 114. 115, dan 116 tertanggal 16 Agustus 2012 tentang Kelayakan Lingkungan atas nama perusahaan-perusahaan di bawah PT. Menara Group. Meminta PT. Menara Group untuk melakukan kembali AMDAL secara transparan, partisipatif, dan profesional. Menyelidiki dugaan pelanggaran UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan penerbitan 28 Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada perusahaanperusahaan di bawah PT Menara Group tanpa Izin Lingkungan.
7. •
Kepala Badan Pertanahan Nasional Tidak melanjutkan pemrosesan Izin Pelepasan Kawasan Hutan sampai semua permasalahan yang ada di masyarakat lokal dan apapun yang berhubungan dengan perizinan tersebut dinyatakan tidak bermasalah (clear and clean).
8. •
Komandan Pattimura dan Danlanal Komando Daerah Militer XVI Maluku Menyelidiki dugaan keterlibatan pasukan militer dalam mengamankan kegiatan survei yang dilakukan oleh Konsorsium PT. Menara Group. Mengawasi dan memastikan netralitas dan profesionalisme personil militer dalam menangani penolakan rakyat atas investasi PT. Menara Group
•
9. • • • •
PT. Menara Group Memastikan bahwa semua tindakan yang direncanakan dan dilaksanakan tidak akan membahayakan dan melanggar hak asasi manusia (tidak menimbulkan bahaya). Menghormati hak-hak masyarakat adat dengan tidak melakukan kegiatan apapun yang mungkin mengabaikan dan/atau menghilangkan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah adat. Menghormati norma-norma dan ketentuan hukum dalam melakukan kegiatannya. Menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan bisnis secara konsisten dan 12
•
berkelanjutan. Mengintegrasikan dan menerapkan norma-norma yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) ke dalam kebijakan dan program perusahaan.
13
KOTAK 2: Temuan dan Rekomendasi Komnas HAM untuk kasus perkebunan tebu PT. Menara Group di Kepulauan Aru Temuan: Masyarakat Kepulauan Aru adalah masyarakat adat yang memiliki hak yang melekat, termasuk hak-hak masyarakat adat; Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kepulauan Aru telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Kepulauan Aru; Masyarakat adat menyatakan ketidaksetujuan atas rencana pembangunan perkebunan, yang berpotensi merampas hak kolektif mereka atas wilayah adat mereka (telah dimulai lewat alokasi kawasan hutan) – yang mencakup 96% dari luas Kepulauan Aru; Ada masalah yang berkaitan dengan masyarakat adat, pengelolaan hutan dan lahan yang dialokasikan untuk perkebunan (APL). Hanya mereka yang memegang izin dianggap sebagai subjek hukum, sedangkan masyarakat adat tidak dianggap sebagai subjek hukum yang sama dengan pemegang izin atau pihak lainnya. Ini menyebabkan ketidakseimbangan layanan publik, di mana hak istimewa diberikan kepada pemegang izin, memperlakukan masyarakat adat seolah-olah mereka bukan warga negara legal; Setiap masalah sehubungan dengan masyarakat adat harus dilihat dari perspektif bahwa masyarakat adat adalah subjek hukum; 1. Permasalahan hukum atau sistem peradilan adat telah lama diabaikan, tetapi keadilan tidak dapat dihilangkan (bahkan seandainya langit runtuh pun, keadilan harus ditegakkan); Ada indikasi pelanggaran hak atas perasaan nyaman dan aman akibat kehadiran polisi/militer; Pelanggaran hak atas informasi; Pelanggaran hak atas ekonomi dan sumber daya kehidupan. Dalam hal ini, perempuan memiliki akses terbatas untuk mengambil hasil laut; Hak atas identitas diabaikan. Hal ini memainkan peran penting dalam ritual tradisional; Pelanggaran lingkungan; Ditemukan indikasi yang berkaitan dengan pelanggaran Hak atas Kesetaraan di Depan Hukum. Rekomendasi: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru didesak untuk tidak menunggu sampai masyarakat adat mendatangi mereka, namun memulai proses identifikasi misalnya dengan mengundang perwakilan masyarakat adat bersangkutan untuk datang ke pemerintah kabupaten dan/atau dengan melakukan inspeksi langsung ke wilayah Masyarakat Adat Aru; 1. Penting untuk bekerja sama dengan erat dengan Pemerintah Daerah dalam pengakuan Masyarakat Adat Aru dan penegasan kembali Wilayah Adat Aru; Dinas Kehutanan Provinsi Maluku dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kepulauan Aru diminta untuk tidak mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Pemerintah daerah harus menjamin hak-hak perempuan dalam hal status adat; Pemerintah daerah harus menjamin kesejahteraan sosial dalam menyusun tata ruang; Pemerintah, PT. Menara Group, dan pasukan keamanan diharapkan untuk melakukan pendekatan ideologis, bukan intimidasi; Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, polisi dan militer harus tetap netral dalam memberikan keamanan kepada masyarakat;
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menggali aspirasi rakyat dalam hal pembangunan.
15