eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (1): 63-76 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015
UPAYA FOREST PEOPLES PROGRAMME (FPP) DALAM MEMPERJUANGKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ADAT MALIND DI PAPUA (STUDI KASUS: KRITIK ATAS PROGRAM MIFEE) Febrina Gita Grahita1 NIM.1002045085
Abstract MIFEE is a Food Estate Programme from The Government of Indonesia, but since MIFEE was begun, this programme has given impact for increase caused of deforestation and the changed life of Malind’s indigenous people livelihoods. Malind’s indigenous people livelihoods more decreased because of project from the companies are included of MIFEE’s programme. FPP as an international organization protecting the Malind’s human rights and struggling for Malind’s livelihoods. FPP efforts to removing the discrimination of Malind’s rights because of activities from the companies already reported to UNCERD’s committee, doing advocacy for non-governmental organizations and international organizations and together reported of MIFEE’s programme, investigated activities of MIFEE’s programme, and doing sosialisation with Malind’s indigenous people to efforts for changing Malind’s life becoming better because impact of MIFEE’s programme. Key Words : Forest Peoples Programme, Malind’s indigenous people, MIFEE. Pendahuluan Papua merupakan pulau terbesar ketiga di Indonesia setelah Kalimantan dan Sumatera yang luasnya mencapai 45 juta hektar. Jumlah penduduk Papua adalah 2.833.381 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 4,18% per tahun. Papua terdiri dari 29 kabupaten dengan pembagian wilayah per distrik untuk setiap kabupaten. Kabupaten Merauke merupakan salah satu kabupaten terbesar yang ada di Papua. Luasnya mencakup wilayah sekitar 4,5 juta ha atau 11% dari Provinsi Papua dengan penduduk sekitar 233.000 jiwa. Kabupaten Merauke terbagi menjadi 20 distrik dan memiliki 160 desa. Lebih dari 30% penduduk asli Merauke atau sekitar 71.838 jiwa yang tinggal di kabupaten tersebut. Sebagian besar penduduk Kabupaten Merauke merupakan masyarakat adat asli yang biasa disebut masyarakat adat Malind. Masyarakat adat Malind merupakan 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Email :
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
penduduk asli Merauke yang menyebar di beberapa distrik seperti di Distrik Malind dan Animha yang terdiri dari beberapa desa didalamnya, yaitu: Desa Baad, Wayau, Koa, Zanegi, Kolam, Kaliki dan Selauw dengan jumlah penduduk sekitar 13.104 jiwa. Kehidupan masyarakat adat Malind sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada di hutan. Namun, kehidupan masyarakat adat Malind telah mengalami perubahan sejak diluncurkannya program pangan dari pemerintah pusat. Yaitu Merauke Integrated and Energy Estate (MIFEE). MIFEE merupakan sebuah proyek Perkebunan Lumbung Pangan dan Energi Terpadu di Merauke yang diluncurkan peresmiannya pada tanggal 11 Agustus 2010 oleh Menteri Pertanian RI. MIFEE merupakan pengembangan program pertanian pangan dan energi skala luas dari Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) melalui gagasan Bupati Merauke John Gluba Gebze pada tahun 2007. Ada 19 distrik dijadikan area konsesi program MIFEE yang dialokasikan untuk aktivitas investasi kelapa sawit, industri kayu, perkebunan tebu, tanaman pangan seperti padi dan jagung melalui program MIFEE. Sekitar 80 perusahaan yang berinvestasi dalam proyek MIFEE, namun hanya 36 perusahaan yang mendapatkan izin dari pemerintah, 44 perusahaan sisanya masih melakukan sosialisasi dan dinyatakan belum aktif dalam proyek MIFEE. Total luas lahan yang disediakan pemerintah untuk para investor adalah seluas 2.051.157 ha atau sekitar 70% dari luas Kabupaten Merauke yaitu 4,5 juta hektar. Beberapa perusahaan telah melakukan aktivitas perluasan lahan dan penebangan hutan seperti salah satunya Perusahaan PT Anugerah Rejeki Nusantara (ARN) di tiga desa, yaitu: Baad, Koa, Wayau dan Zanegi. Sekitar 100.000 ha luas lahan yang akan dijadikan area perkebunan tebu. Perusahaan hanya membayar 10 juta untuk tanah seluas seribu hektar sebagai kompensasi tanah yang akan diserahkan dimana harga tanah adat di Papua pada umumnya seharga Rp.350.000/ha. Perusahaan memanfaatkan tingkat pendidikan masyarakat adat yang lemah dan mendesak masyarakat adat untuk menyetujui kesepakatan tersebut. Hal ini membuat 27 organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi internasional Forest Peoples Programme (FPP) melaporkan program ini ke PBB dan terjun langsung dalam menanggapi dan memantau aktivitas program MIFEE. FPP adalah organisasi internasional non-pemerintah yang didirikan oleh Marcus Colchester pada tahun 1990 di Inggris dan berlokasi dikota Moreton-in-Marsh. FPP didirikan untuk mendukung penuh hak-hak asasi masyarakat adat yang berada diwilayah Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Selain membantu melindungi hak-hak asasi masyarakat adat, FPP juga membangun gerakan masyarakat adat, bernegosiasi dengan pemerintah maupun perusahaan yang terlibat tentang bagaimana pembangunan ekonomi dan konservasi terbaik yang dapat dicapai untuk tempat tinggal dan lahan hutan yang merupakan mata pencaharian masyarakat adat. Tulisan ini akan menjelaskan apa saja upaya FPP dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat adat Malind di Papua yang mengalami perubahan kehidupan setelah adanya program MIFEE.
2
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
Kerangka Dasar Teori 1. Organisasi Internasional Organisasi Internasional merupakan suatu organisasi yang baik gerak, maupun pelakunya melintasi batas sebuah negara, berangkat dari kesepakatan masingmasing anggota untuk bekerjasama, memiliki regulasi yang mengikat anggota, dan untuk mewujudkan tujuan internasional tanpa meleburkan tujuan nasional dari masing-masing anggota dari Organisasi Internasional yang bersangkutan. Ada dua kategori lembaga di Organisasi Internasional, yaitu: 1. IGO ( Inter-Governmental Organization) IGO merupakan institusi yang beranggotakan pemerintah atau instansi pemerintah suatu negara secara resmi, yang mana kegiatannya berkaitan dengan masalah konflik, krisis dan penggunaan kekerasan yang menarik perhatian masyarakat internasional. Anggotanya terdiri dari delegasi resmi pemerintah negara-negara. 2. INGO ( Inter-Non-Governmental Organization) INGO merupakan institusi yang terdiri atas kelompok-kelompok di bidang agama, kebudayaan, dan ekonomi. Anggotanya terdiri dari kelompokkelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi dan sebagainya. Beberapa fungsi dan peran INGO, yaitu: 1. Fasilitator. Sebagai aktor yang memberikan pemantauan terhadap perkembangan negara dan bantuan dalam memahami serta memecahkan masalah bersama-sama. Organisasi Internasional non-pemerintah sebagai fasilitator tidak hanya memberikan bimbingan, pelatihan, dan pendapat, namun juga sebagai narasumber dalam berbagai masalah. 2. Mediator. Sebagai aktor yang memiliki sifat netral dalam membuat komunikasi antara pihak-pihak yang berselisih atau pihak-pihak yang memiliki masalah. Organisasi Internasional non-pemerintah juga memberikan informasi dan menyarankan beberapa solusi. Ketika organisasi internasional non-pemerintah melakukan fungsinya sebagai mediasi dan upaya perdamaian, secara diam-diam organisasi internasional membuat keputusan yang memaksa pihak yang bersangkutan. 3. Komunikator. Sebagai aktor yang menjadi sumber dalam hubungan komunikasi. Organisasi Internasional non-pemerintah menfasilitasi pengembangan hubungan komunikasi antar negara dan antar lembaga swadaya masyarakat yang memiliki tanggung jawab dalam program domestik. Organisasi Internasional non-pemerintah sebagai komunikator tidak hanya berperan dalam menyampaikan pesan kepada penerima, namun juga memberikan respon dan tanggapan. 4. Advokasi. Sebagai aktor yang menyuarakan, mempengaruhi para pengambil keputusan, khususnya pada saat pihak yang bersangkutan menetapkan peraturan, mengatur sumber daya dan mengambil keputusankeputusan yang menyangkut khalayak masyarakat, dan sebagai organisasi
3
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
sukarela untuk negara yang sebagian besar keputusan tergantung pada organisasi internasional itu sendiri. 2. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan rencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang terencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana merupakan tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan dimasa mendatang. Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan didirikan di atas tiga pilar pokok, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya.Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial, namun juga berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang lebih baik salah satunya ialah untuk kesejahteraan sosial guna meningkatkan kapabilitas dan mensejahterakan masyarakat demi penghidupan yang lebih baik. 3. Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan. Secara umum hak asasi manusia dapat dimaknakan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak- hak yang diatur menurut Piagam PBB tentang deklarasi Universal Human Rights 1948, yaitu: 1. Hak berpikir dan mengeluarkan pendapat 2. Hak memiliki sesuatu 3. Hak mendapatkan aliran kepercayaan atau agama 4. Hak untuk hidup 5. Hak untuk kemerdekaan hidup 6. Hak untuk memperoleh nama baik 7. Hak untuk memperoleh pekerjaan 8. Hak untuk mendapatkan perlindungan hokum Metode Penelitian Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian Deskriptif, dimana penulis menggambarkan dan mendeskripsikan secara sistematis upaya dari FPP terhadap kesejahteraan masyarakat adat Malind di Papua. Jenis data yang
4
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
penulis gunakan adalah data sekunder, teknik pengumpulan data menggunakan library research, dan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, karena penelitian ini hanya memaparkan situasi dan peristiwa dengan menjelaskan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh FPP dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat adat Malind di Papua. Hasil Penelitian A. Masyarakat Adat Malind di Papua Masyarakat adat Malind merupakan penduduk pedalaman asli kabupaten Marauke yang mendiami daerah tersebut sejak dahulu kala. Daerah asal masyarakat adat Malind dulunya mulai dari perbatasan Papua Nugini sampai dengan Pulau Yos Sudarsa dan seluruh daerah pedalaman sampai di daerah hulu Sungai Maro, Sungai Kumbe, Sungai Bian dan Bulaka, atau menurut wilayah pemerintahan masuk dalam Distrik Merauke, Muting dan Okaba. Yang kemudian masyarakat adat ini menyebar di beberapa distrik, seperti: Distrik Malind, Merauke, Animha, Semangga, Kurik, Tanah Miring hingga ke Distrik Waan dan Tabonji yang terdiri dari beberapa desa didalamnya, yaitu: Desa Baad, Wayau, Koa, Zanegi, Kolam, Kaliki, dan Selauw. Jumlah penduduk masyarakat adat Malind diperkirakan sekitar 13.104 jiwa pada tahun 2006. Masyarakat suku Malind disebut juga sebagai “Anim-ha” yang berasal dari Tanah Kondo (tanah yang sudah ada sebelum adanya manusia menurut kepercayaan suku Malind). Masyarakat adat Malind terdiri dari 7 marga yang terbagi menjadi sub-suku, yang keseluruhannya diwakilkan oleh masing-masing kepala marga. Kepala desa (kepala kampung) dipilih oleh pemerintahan Indonesia, namun kepala marga tetap memiliki legitimasi, wewenang dan kekuasaan yang lebih besar atas tanah daripada kepala desa. Daerah suku Malind terletak di tepi laut dimana masyarakat dengan mudah dapat memancing ikan-ikan segar. Sementara di daerah pedalaman terdapat babi hutan dan kanguru yang menjadi sasaran perburuan masyarakat adat setempat. Wilayah suku Malind dikelilingi oleh pohon-pohon sagu yang merupakan makanan pokok tradisional yang dikonsumsi sehari-hari oleh suku adat Malind. Tepung sagu dikonsumsi oleh suku Malind baik dalam keadaan kering, diolah dan digiling dengan campuran kelapa untuk makanan khas, seperti: sagu sep, sagu bola dan sebagainya. Terdapat perbedaan aktivitas yang dilakukan oleh kaum lelaki dan perempuan suku Malind dalam mencari sumber mata pencaharian. Seperti kaum laki-laki yang mengajarkan anak lelakinya untuk berburu sementara kaum perempuan mengajarkan anak perempuannya untuk memasak dan memanen sagu. Sementara berburu hanya boleh dilakukan oleh laki-laki, sedangkan memancing dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, dimana kaum lelakinya melemparkan jaring dan perempuan mengumpulkan hasil tangkapannya.
5
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
Budaya akan keyakinan kepemilikan tanah juga diyakini merupakan hal sakral dan dianggap sebagai leluhur yang harus dilindungi oleh suku Malind. Selain keunikan ritual dari suku Malind, masyarakat adat ini juga mempraktekkan budaya pernikahan patrilokal, yaitu budaya dimana istri berpindah ke desa suami mereka. Namun, beberapa perempuan masih bisa mengakses tanah milik saudara mereka. Pernikahan dalam satu marga dilarang keras dalam tradisi suku adat Malind. Dapat disimpulkan bahwa sumber mata pencaharian masyarakat adat semuanya didapatkan dari hasil hutan. Dari berkebun, memanen sagu, berburu dan memancing ikan di sungai, masyarakat adat tentunya sangat bergantung pada hasil alam yang ada di hutan. B. MIFEE MIFEE merupakan sebuah proyek Perkebunan Lumbung Pangan dan Energi Terpadu di Merauke yang telah diresmikan tepat pada tanggal 11 Agustus 2010 oleh Menteri Pertanian RI yang didukung penuh oleh pemerintah pusat dan daerah Kabupaten Merauke. MIFEE sendiri merupakan pengembangan program pertanian pangan dan energi skala luas dari Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). Program ini telah digagas oleh Bupati Merauke John Gluba Gebze sejak tahun 2007 yang ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Bupati Merauke dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Namun, MIRE diperkirakan belum mencapai kelayakan sosial dan ekonomi dalam periode 20 tahun kedepan. Oleh karena itu, MIRE dikembangkan lagi menjadi Program MIFEE yang juga diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dan bertujuan menanggapi krisis pangan tahun 2008 dengan tema, “beri makan Indonesia, lalu beri makan dunia”. Untuk mempercepat pelaksanaan MIFEE, telah diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, dan Inpres No. 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, dengan mewujudkan penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Tujuannya yaitu agar Indonesia bisa berada di peringkat ke-9 perekonomian terbesar di dunia. Beberapa perusahaan telah melakukan aktivitas perluasan lahan dan penebangan hutan seperti salah satunya perusahaan terbesar yang dilakukan oleh Wilmar International melalui anak Perusahaan PT Anugerah Rejeki Nusantara (ARN) di tiga desa, yaitu: Baad, Koa, Wayau dan Zanegi. Sekitar 100.000 ha luas lahan yang akan dijadikan area perkebunan tebu. BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) yang diinstruksikan untuk membuat dan menghasilkan analisa lahan untuk program MIFEE telah mempublikasikan potensi lahan proyek MIFEE seluas 1,283,000 ha, dengan alokasi pemanfaatan untuk pangan 50%, tebu 30% dan sawit 20% serta telah mengeluarkan peta arahan lokasi lahan investasi pangan di Kabupaten Merauke.
6
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
Pada perkebunan kelapa sawit, program yang telah dijalankan masih sekitar 30% dimana perusahaan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah dan mendapatkan jatah lahan perkebunan ini masih dalam tahapan land clearing atau perluasahan lahan, dan beberapa perusahaan masih melakukan sosialisasi untuk melakukan kompensasi dengan masyarakat adat setempat. Proses penanaman kelapa sawit terbilang cukup lama dan memakan waktu sekitar 5 tahun untuk proses pemanenan yang kemudian di lakukan peremajaan kelapa sawit kembali. Pada perkebunan tebu, program ini masih sekitar 40% yang juga masih dalam tahapan land clearing, dan masih dalam proses pembibitan. Beberapa perusahaan juga masih melakukan sosialisasi, dan izin pembukaan lahan. Pada perkebunan tanaman pangan, program masih berjalan sekitar 20% karena hanya sedikit perusahaan yang mendapatkan izin dari pemerintah dan dinyatakan aktif dalam proyek ini yang juga masih dalam tahapan perluasan lahan dan pembibitan. Salah satunya ialah Perusahaan PT. China Gate Agriculture Development, PT. Indo Sawit Lestari dan PT. Kharisma Agri Pratama dengan total luas lahan mencapai 100.000 ha. Pada industri kayu dan hutan tanaman industri (HTI), program juga masih berjalan sekitar 30% dimana masih dalam tahapan land clearing, dan izin pemanfaatan pohon yang telah ditebang untuk memproduksi kayu serpih, bubur kertas dan pellet. Namun, seiring berjalannya program MIFEE yang telah berlangsung selama 3 tahun tepatnya pada tahun 2010 lalu, telah menimbulkan pertentangan dan memberikan dampak yang signifikan terhadap keberadaan masyarakat adat setempat. Program MIFEE yang awalnya bertujuan untuk mengatasi masalah krisis pangan dan energi, sekaligus sebagai upaya penghematan dan penghasilan devisa negara ini disisi lain memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat adat Malind di Papua. C. Dampak Program MIFEE Beberapa dampak yang sangat terlihat sejak dicanangkannya program MIFEE dari pemerintah setempat tidak hanya memberikan masalah bagi kehidupan masyarakat adat setempat, namun juga telah menimbulkan masalah bagi lingkungan khususnya keadaan hutan yang ada di Kabupaten Merauke, Papua. Berikut dampak dari program MIFEE, yaitu: 1. Deforestasi Hutan dan Kerusakan Keanekaragaman Hayati Sejak tahun 2000 hingga tahun 2009, luas tutupan hutan telah mencapai 46% dari luas daratan Papua atau sekitar 4.138.992,70 ha dan total luas deforestasi telah mencapai 628.898,44 ha. Setelah adanya proyek MIFEE, tercatat pada tahun 2011 total luas tutupan hutan bertambah sekitar 27.032,456 ha. Dapat dikatakan luas tutupan hutan akan semakin bertambah dari tahun ke tahun dan hal ini semakin diperparah dengan adanya proyek MIFEE. Tercatat pada tahun 2013 lahan hutan seluas 126,754 ha atau sekitar 36,35 % dari total luas keseluruhan Desa Baad, Wayau, Koa, Zanegi, Kolam, Kaliki dan Selauw yaitu 348,660 ha ini mengalami
7
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
penurunan luas lahan menjadi 341,056.7 ha setelah adanya aktivitas proyek MIFEE. Kerusakan keanekaragaman hayati juga menjadi dampak yang ditimbulkan oleh proyek MIFEE. Penebangan hutan yang secara berkala membuat ekosistem menjadi rusak dan habitat flora dan fauna pun akan punah. Hal ini tentunya berpengaruh pada luas lokasi perburuan sekaligus mengurangi habitat berbagai hewan perburuan. Selain itu, pencemaran air di Sungai Kumbe terjadi dikarenakan oleh pestisida dari proyek yang dilakukan oleh perusahaan pun membuat ikanikan yang merupakan sumber mata pencaharian masyarakat adat Malind mati dan jumlahnya semakin berkurang. Hal ini berdampak pada berkurangnya hasil SDA yang diperoleh masyarakat adat dimana 90% SDA bersumber pada hasil hutan yang tentunya juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat adat dimana hasil hutan yang jumlahnya semakin menurun akibat dari proyek MIFEE. 2. Perubahan Kehidupan Masyarakat Adat Malind Kehidupan masyarakat adat Malind telah mengalami perubahan sejak adanya program MIFEE. Berkurangnya mata pencaharian akibat dari perluasan lahan dan proyek-proyek yang sedang berjalan ini menimbulkan masalah yang telah dialami oleh masyarakat adat setempat. Berkurangnya hasil perburuan akibat dari suara proyek yang keras ini menyebabkan binatang-binatang buruan lari dan menjauh dari tempat yang biasa menjadi lokasi perburuan masyarakat adat. Sebelum adanya proyek MIFEE, hasil buruan bisa mencapai 5 ekor dalam sehari, namun setelah adanya proyek tersebut jumlah yang biasanya didapatkan dalam waktu sehari menjadi seminggu. Akibat dari kegiatan penggantian hak atas tanah yang dilakukan oleh sebagian perusahaan dengan memberikan kompensasi yang tidak sebanding untuk masyarakat adat, mengakibatkan diskriminasi sosial antara pelaku perusahaan dengan suku adat asli membuat keberadaan masyarakat adat menjadi terancam dan hilangnya nilai-nilai religius yang terkandung dalam aktivitas masyarakat dalam mempertahankan tanah adat yang mereka miliki. Hal ini menimbulkan aksi protes dari kalangan masyarakat adat akibat perlakuan yang sewenang-wenang dari perusahaan. Masyarakat adat melakukan aksi protes dengan melakukan demo di sekitar wilayah proyek MIFEE. Hal ini membuat FPP sebagai organisasi internasional yang mengatasi permasalahan lingkungan dan fokus dalam kesejahteraan masyarakat adat terjun langsung dalam menanggapi dampak dari program MIFEE di Papua. D. Forest Peoples Programme FPP adalah organisasi internasional non-pemerintah yang didirikan oleh Marcus Colchester sejak tahun 1990 yang berlokasi dikota Moreton-in-Marsh, Inggris. FPP didirikan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak asasi masyarakat adat (indigenous people). Sejak tahun 1990, FPP telah melakukan programprogram sosial untuk masyarakat adat diseluruh dunia, khususnya di kawasan
8
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
Asia Pasifik, Afrika, Amerika Tengah dan Selatan yang terbagi menjadi beberapa fokus, yaitu: 1. Tata kelola lingkungan FPP mendukung masyarakat adat dalam fokus tata kelola lingkungan. Masyarakat adat dibekali ilmu dalam mengelola lingkungan melalui sistem mereka sendiri berdasarkan pengetahuan, praktek, dan aturan tradisional, karena sebagian besar masyarakat adat tidak memiliki jaminan atas kepemilikan tanah juga penolakan akses dan penggunaan wilayah mereka karena kebijakan pemerintah yang belum memadai. Banyaknya wilayah masyarakat adat semakin terancam oleh kegiatan yang tidak berkelanjutan, seperti: penebangan, pertambangan, dan perkebunan sementara, dan masyarakat adat hanya sedikit yang terlibat dalam pengambilan keputusan resmi dari pengelolaan kawasan tersebut. 2. Iklim dan Hutan Advokasi FPP bertujuan untuk memastikan bahwa semua pendanaan internasional untuk hutan dan mitigasi perubahan iklim dan adaptasi telah diberikan kepada masyarakat adat dimana kehidupannya bergantung pada sumber daya alam yang ada di hutan. Pendanaan telah dibentuk di Bank Dunia dan PBB dalam mendukung kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Pendanaan lainnya juga telah dibuat untuk REDD melalui Congo Basin Forest Fund yang didukung oleh Pemerintah Inggris, dan Norwegian Climate and Forest Initiative (NCFI). 3. Hukum dan HAM Sebagian besar masyarakat adat mengalami diskriminasi ras dan budaya, penolakan hak atas tanah dan sumber mata pencaharian. FPP memberikan bantuan hukum untuk membantu masyarakat adat dalam menyuarakan pendapat mereka. Dengan mendukung organisasi mereka, dan untuk memahami serta menggunakan proses hukum nasional dan internasional, FPP membantu masyarakat adat untuk melindungi hak-hak asasi mereka, dan memperjuangkan keadilan hukum bagi masyarakat adat melalui pengadilan nasional maupun internasional. 4. Tanggung jawab pendanaan FPP membuat Responsible Finance Programme (RFP) yang bertujuan mengumpulkan pendanaan publik untuk pembangunan dan lingkungan yang bertanggung jawab sepenuhnya bagi pembangunan wilayah masyarakat adat. Pendanaan ini berasal dari lembaga-lembaga keuangan internasional. FPP telah banyak berperan dalam kasus-kasus deforestasi di Indonesia, salah satunya adalah keterlibatan FPP menanggapi kasus sejak tahun 2007 di Jambi, Sumatera. FPP telah memantau aktivitas anak Perusahaan Wilmar yang telah melanggar hukum dan kebijakan lingkungan di Jambi, yang kemudian aktivitas itu terulang kembali di Papua saat Perusahaan Wilmar mendapat lahan untuk program MIFEE tahun 2010.
9
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
E. Upaya FPP dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind di Papua 1. Laporan FPP tentang Program MIFEE ke Komite PBB FPP telah melaporkan program MIFEE ke Komite PBB melalui UNCERD (United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination). Program MIFEE telah dibawa ke PBB melalui dua belas penandatangan LSM dan organisasi internasional lewat permohonan untuk pertimbangan tentang situasi masyarakat adat di Merauke tanggal 21 Juli 2011 di bawah Prosedur Aksi Mendesak dan Peringatan Dini Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UNCERD) karena hal ini telah dianggap melanggar HAM karena tidak sesuai dengan Deklarasi Universal HAM atas hak masyarakat adat untuk mempertahankan hidupnya. Dalam menanggapi pengajuan yang dilakukan oleh FPP, UNCERD telah mengeluarkan sebuah komunikasi formal melalui Forum Tetap Indonesia pada tanggal 2 September 2011. Namun, Pemerintah Indonesia belum menanggapi kembali komunikasi formal tersebut yang kemudian permohonan kembali diajukan kepada Pemerintah Indonesia untuk pertimbangan lebih lanjut di bawah Prosedur Aksi Mendesak dan Peringatan Dini Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada tanggal 6 Februari 2012, 7 bulan setelah permohonan pertama diajukan. Namun, Pemerintah Indonesia juga belum menanggapi rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh UNCERD. FPP juga telah meminta Komite PBB yang menangani tentang Hak-Hak Masyarakat Adat untuk segera mengangkat kasus pelanggaran HAM yang berkaitan dengan proyek MIFEE kepada Pemerintah Indonesia. Pengajuan ketiga FPP kepada UNCERD kembali dilakukan setelah kunjungan lapangan yang dilakukan FPP ke lokasi proyek MIFEE dimana laporan-laporan tersebut menghasilkan rekomendasi-rekomendasi lebih lanjut dari Komite CERD untuk Pemerintah Indonesia. Pelapor Khusus PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga telah dihubungi FPP untuk segera mengangkat kasus pelanggaran HAM yang berkaitan dengan proyek MIFEE kepada Pemerintah Indonesia. Pengajuan kembali dilanjutkan FPP saat Konsultasi Regional Asia dengan Pelapor Khusus Komite PBB di Kuala Lumpur pada bulan Maret 2013. Permohonan kembali diajukan FPP kepada Komite UNCERD pada tanggal 25 Juli 2013 Atas permohonan yang dikirimkan oleh FPP, Komite UNCERD telah mengeluarkan surat permohonan kepada Pemerintah Indonesia pada tanggal 30 Agustus 2013 atas peringatan dan permintaan untuk menghentikan program MIFEE karena berdampak pada kehidupan masyarakat adat Malind di Papua. Dalam isi surat yang dikirimkan
10
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
tersebut meminta Pemerintah Indonesia untuk merespon permohonan ini sebelum tanggal 31 Januari 2014. 2. Melakukan Advokasi Terhadap LSM dan Organisasi Internasional FPP telah melakukan advokasi yang membuat sejumlah 27 LSM dan organisasi internasional, bersama-sama melakukan aksi protes dan mendesak PBB untuk menghentikan program MIFEE. Melalui FPP, sejumlah LSM dan organisasi internasional yang diwakilkan melalui 12 penandatanganan ini dilakukan untuk mengajukan permohonan kepada Komite PBB terkait tentang program MIFEE, dan beberapa LSM dan organisasi lokal juga telah mendesak Pemerintah Indonesia untuk merespon permohonan tersebut. 3. Tinjauan Lapangan serta Melakukan Sosisalisasi terhadap Masyarakat adat Malind Terkait Program MIFEE FPP telah meninjau langsung aktivitas program MIFEE dengan melakukan investigasi lapangan selama 11 hari di Kabupaten Merauke pada tanggal 15 Mei hingga 26 Mei 2013. FPP meninjau wilayah adat Desa Baad, Wayau, dan Zanegi yang merupakan wilayah area konsesi Perusahaan PT. ARN. Sebelumnya, FPP telah melakukan pertemuan dengan PT. ARN di Jakarta pada tanggal 05 Mei 2013 untuk membahas seputar profil perusahaan, seperti: investasi tebu Wilmar, proses konsultasi di PT. ARN, tren pasar tebu dan kebutuhan masyarakat. Investigasi ini dilakukan FPP karena sebelumnya Perusahaan Wilmar telah melakukan pelanggaran HAM melalui anak perusahaan PT. Asiatic di Jambi, yang kemudian pengaduan diajukan oleh sejumlah 30 organisasi lokal yang membuat FPP melakukan pertemuan dengan staf perusahaan PT. ARN untuk meninjau aktivitas PT. ARN dalam proyek MIFEE. Setelah itu FPP melakukan sosialisasi terhadap masyarakat adat Malind terkait dengan tanggapan masyarakat adat setempat mengenai program MIFEE dan aktivitas perusahaan dalam menjalankan sosialisasi untuk penggantian kompensasi atas tanah adat. Hal ini dilakukan FPP agar masyarakat adat mendapatkan informasi lebih lanjut tentang program MIFEE, profil perusahaan investasi, serta pemahaman tentang kesepakatan atas kompensasi yang telah dilakukan agar masyarakat adat mampu bernegosiasi ataupun mempertahankan tanah adatnya. Dalam kurun waktu sekitar 3 tahun terakhir dari tahun 2010, dapat dikatakan bahwa FPP masih belum mencapai hasil yang diinginkan. Namun, beberapa upaya yang telah dicapai, yaitu: FPP telah menerbitkan hasil laporan dalam situs resminya tentang masyarakat adat Malind, serta menerbitkan hasil penelitian yang dilakukan bersama Yayasan Pusaka, Sawit Watch dan Down to Earth Indonesia. FPP juga berhasil melakukan advokasi yang membuat 27 LSM dan organisasi internasional mendukung penuh dalam pengajuan yang dilakukan FPP ke Komite PBB. Dalam sosialiasi yang dilakukan FPP terhadap masyarakat adat membuat
11
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
masyarakat adat mampu mempertahankan tanah adatnya dan mampu menyuarakan pendapat mereka dengan melakukan aksi penolakan terhadap Perusahaan PT. Mayora dan PT. Astra yang bergerak dibidang perkebunan tebu. FPP telah mendesak Bupati Merauke dan melakukan rapat pertemuan yang dihadiri oleh masyarakat adat yang berada di Distrik Tubang, Okaba, Ngguti dan Ilwayab yang menjadi lokasi proyek perusahaan yang terkait. Dalam pertemuan selama 2 jam tersebut menyatakan bahwa bupati telah memutuskan sepakat untuk mengeluarkan surat pemberhentian aktivitas PT. Mayora dan PT. Astra. Beberapa upaya yang belum dicapai FPP tentunya adalah penghentian atas program MIFEE yang telah diajukan permohonannya oleh Komite UNCERD. Beberapa hambatan/tantangan dialami FPP dalam melakukan upaya tersebut. Hambatan terbesar berasal dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam merealisasikan program MIFEE yang telah berdampak pada kehidupan masyarakat adat Malind di Papua. Belum adanya tanggapan dan respon yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia sendiri dalam menanggapi permohonan pertama hingga terakhir yang telah diajukan oleh UNCERD. Hal ini terbukti dengan belum adanya respon yang diberikan Pemerintah Indonesia yang telah melewati masa tenggang waktu yang diberikan UNCERD saat pengajuan permohonan ketiga dilakukan pada tanggal 31 Januari 2014. Kesimpulan Beberapa upaya-upaya yang telah dilakukan FPP dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat adat Malind dinilai sudah cukup berhasil dalam melakukan pengajuan sampai ke tahap PBB yang membuat PBB turun tangan dalam menanggapi dampak yang ditimbulkan oleh Program MIFEE dengan mengirimkan surat permohonan kepada Pemerintah Indonesia. Namun, disisi lain upaya-upaya tersebut masih belum mampu merubah kebijakan Program MIFEE, dikarenakan kendala dari Pemerintah Indonesia sendiri yang belum merespon surat pengajuan dari PBB yang telah melewati batas waktu yang sudah ditentukan. Beberapa upaya sepenuhnya masih belum tercapai untuk menyuarakan keprihatinan yang dialami oleh masyarakat adat Malind. Seperti upaya eksternal yang dilakukan FPP melalui PBB, upaya ini cukup berhasil sampai ke PBB, akan tetapi mengalami hambatan ke Pemerintah Indonesia dikarenakan pemerintah masih belum menanggapi permohonan yang dilakukan oleh PBB, karena pemerintah sendiri menganggap program ini baru terealisasikan. Oleh karena itu, pemerintah mengabaikan beberapa permohonan yang telah diajukan oleh UNCERD. Proyek MIFEE dapat dikatakan masih akan terus berjalan tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat setempat. FPP sebagai organisasi internasional nonpemerintah masih sangat sulit untuk terjun langsung melakukan berbagai upayaupaya lebih lanjut guna merubah kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, karena program MIFEE telah resmi dicanangkan oleh Bupati Merauke sendiri yang didukung penuh oleh Menteri Pertanian dan Pemerintah Pusat.
12
Upaya FPP memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat Adat Malind Papua (Pebrina Gita Grahita )
Seharusnya FPP melakukan pendekatan lebih lanjut dengan Pemerintah Indonesia guna membahas permasalahan MIFEE lebih lanjut, dan melakukan konferensi internal yang lebih memfokuskan tentang dampak program MIFEE yang dihadiri oleh Pemerintah Indonesia, perusahaan yang terkait, LSM serta perwakilan masyarakat adat Malind sehingga permasalahan MIFEE ini dapat terselesaikan oleh masing-masing pihak yang bersangkutan. Daftar Pustaka Literatur Buku : Boelaars, Jan. 1986. Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: PT Gramedia. Jacobson, Horold K. 1979. Networks Of Interdependence: International Organizations and The Global Political System. New York: A.A. Knof. L. Spiegel, Steven. 1995. World Politics in a New Era. Florida: Harcourt Brace and Company. Yando Zakaria, R dkk Emilianus Ola Kleden, Y.L. Franky. 2011. MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind. Jakarta: Yayasan Pusaka. Internet : About Forest Peoples Programme terdapat di: http://www.forestpeoples.org/background/about-forest-peoplesprogramme. Annex A: perusahaan yang sudah, atau sedang, memperoleh lahan di Merauke terdapat di: http://www.cerduamifeejuly2013annexabahasaindonesia.pdf. Bupati Merauke Menyuruh PT Mayora dan PT Astra Berhenti Aktivitas, Diskusi Kembali terdapat di: http://awasmifee.potager.org/?p=532&lang=id. Climate and Forests terdapat di: http://www.forestpeoples.org/topics/climate-forests. Destroying local livelihoods with MIFEE terdapat di: http://www.thejakartaglobe.com/archive/destroying-local-livelihoodswith-mifee/. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Sesi ke-79, 8 Agustus – 2 September 2011 terdapat di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2011/08/EW_UA%20In digenous%20Peoples%20Merauke%20Indonesia%20July%2031%202011 %20Final.pdf. Legal and Human Rights terdapat di: http://www.forestpeoples.org/topics/legal-human-rights. Manis dan Pahitnya Tebu, Suara Masyarakat Adat Malind dari Merauke, Papua terdapat di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/_les/publication/2013/10/asweetnes sundodeathmifeeindonesiabahasaindonesia2.pdf. MIFEE Datang Tanah Pun Hilang terdapat di:
13
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 1, 2015 : 63-76
http://www.lenteratimur.com/mifee-datang-tanah-pun-hilang/. MIRE: Kebangkitan dan Ketahanan Kemandirian Pangan dari Ufuk Timur Indonesia terdapat di: http://www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART8-4c.pdf. Responsible Finance terdapat di: http://www.forestpeoples.org/topics/responsible-finance. Statistik Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua terdapat di: http://www.papua.go.id/view-detail-instansipage-16_33/kehutanan-dankonservasi.html. Tanah Papua: Perjuangan yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan terdapat di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2011/12/Down%20to%2 0Earth%20Newsletter%20December%202011%20-%20Bahasa.pdf. Universal Declaration of Human Rights 1948 terdapat di: http://www.declarationmontreal.org/id/declaration%montreal_bahasa.pdf.
14