BAB I PEN DAH ULU AN Bab ini menguraikan latar belakang penelitian dan proses konstruksi gerakan kolektif masyarakat adat Batak memperjuangkan pengakuan atas eksistensi dan hak-hak tradisionalnya dari negara dan pihak lain. Konstruksi identitas kolektif membentuk dan mendorong terjadinya tindakan kolektif dalam perjuangan masyarakat adat Batak. Pada prinsipnya, setiap aktor gerakan memproduksi dan menghasilkan tindakan kolektif sendiri-sendiri yang beragam. Hal ini sangat ditentukan dari bentuk interaksi dan pemahaman bersama yang diproduksi oleh aktor gerakan saat menentukan tujuan gerakan dan ruang kesempatan dan tantangan yang tersedia. Sebagaimana dikatakan oleh A lberto M elucci: Collective identity is an interactive an d shared definition produced by several individual (or group at more complex level) and concerned with the orientation of action and the field of opporuinities and 1 constraints in which the action takes places.
Prinsip dasar dalam gagasan M elucci di atas menjadi alat analisis dalam mengkaji bagaimana identitas kolektif dikontruksi dalam gerakan masyarakat adat Batak di Pandumaan dan Sipituhuta dalam keseluruhan sejarah perlawanan untuk mendapat pengakuan atas hak dan w ilayahnya. Selanjutnya, dalam bab ini juga diuraikan tentang gerakan masyarakat adat Batak Toba yang memiliki bentuk dan strategi khas yang berbeda denga n gerakan petani Katu di Lore Lindu Sulawesi Tengah yang menggunakan identitas sebagai 1
Johnston, Hank & Bert Klandermans, Social M ovement and Culture, Social M ovement, Protest, and Contention, Volume 4, M inneapolis, University of M innesota Press, 1995
1
masyarakat adat, dan juga gerakan-gerakan sosial lainnya yang pernah terjadi di Tanah Batak, khususnya
dinamika dan pilihan strategi yang digunakan .
Perbedaaan ini disajikan dalam bagian tinjauan studi-studi terdahulu. Hal lain yang akan dipaparkan dalam bab ini adalah alasan menggunakan metode etnografi dalam penelitian dan teknik-teknik penggalian data.
1.1.
LAT AR BEL A KA NG
Pengakuan merupakan hal yang sangat penting bagi seluruh umat manusia, tidak terkecuali dengan masyarakat adat yang tersebar di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Pengakuan yang dimaksud dalam hal ini adalah pengakuan oleh negara akan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat termasuk hak-hak tradisionalnya. Sebagaimana dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi
masyarakat adat yang otonom dan kemudian daripada
itu juga untuk
mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas
dan/atau di dalamnya – yang bernilai vital untuk menjamin
kelestarian fisik dan non fisik masyarakat tersebut.
2
2
Djalin, Upiks dan Noer Fauzi Rahman, Pengantar untuk M embaca Karya Cornelis van Vollenhoven (1919) O rang Indonesia dan Tanahnya, dalam buku Orang Indonesia dan Tanahnya yang diterjemahkan oleh Soewargono dan dite rbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Sajogyo Institute, Perkumpulan HuM A, STPN pers dan tanah air Beta tahun 2013.
2
Perjuangan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat merupakan fenomena yang muncul sudah lama. Perjuangan ini terkait dengan tuntutan atas diakuinya hakhak masyarakat adat atas tanah dan sum ber daya alamnya, karena tanah dan sumber daya alam adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup masyarakat adat. Tanah merupakan eksistensi masyarakat adat. Nam un sangat disayangkan kebijakan pembangunan di era globalisasi acap kali mengesampingkan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. M enurut Vandhana Shiva bahwa praktek pembangunan di era globalisasi dan privatisasi bukan hanya memberikan kontribusi yang besar terhadap kerusakan lingkungan tetapi juga ketimpangan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berujung pada lahirnya berbagai konflik, khususnya terhadap masyarakat adat di manapun. Karena tanah dan sumber daya alam memiliki kedekatan yang sangat erat dengan masyarakat adat. Tanah -tanah adat yang kaya akan sumber daya alam menjadi tempat bagi perusahaan perusahaan nasional dan internasional untuk mendapatkan keuntungan yang besar melalui akses yang dimilikinya. Hal ini disebut oleh Vandhana Shiva sebagai rent economy.
3
Ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut memicu lahirnya perlawanan-perlawanan dari masyarakat adat. Perlawanan masyarakat adat yang paling banyak d ibicarakan tidak hanya oleh aktivis gerakan sosial
tetapi
juga
para
penguasa
dan
pelaku
bisnis
internasional,
adalah
pemberontakan Ejercito Zapatista Liberacion Nacional (EZLN) di Chiavas, M eksiko. 3
www.huma.org.id, diakses pada 26 Juni 2015, pukul 22.10 W ib.
3
Tepat di awal tahun 1994, pada saat pemberlakuan North Am erica Free Trade Agreement (NAFTA) di Kanada, Amerika Serikat, dan M eksiko , Subcomandante M arcos mengumumkan adanya EZLN terhadap rezim pemerintahan. Gerakan ini menyerbu San Cristobal de Las Casas (Balaikota Chiapas) untuk melakukan pemberontakan dan mengumumkannya ke berbagai kantor berita di dunia. Gerakan perlawanan atau pemberontakan ini menolak penggunaan logika pasar dalam kehidupan sehari-hari yang menghancurkan eksistensi masyarakat adat. Ekonomi Neoliberalisme dengan penerapan NAFTA ancaman berat bagi masyarakat adat. Oleh karena itu EZLN terus melakukan perlawanan dan membuat gerah para pendukung neolib di Amerika dan M eksiko. Perlawanan EZLN membuahkan lahirnya kesepakatan The San Andrés Accords pada 16 February 1996 di San A ndrés Larráinzar, Chiapas. Kesepakatan yang memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat di Chiapas serta pengakuan terhadap hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam, serta hak berpartisipasi dalam politik dan pengawasan kebijakan negara.
4
Perlawanan EZLN adalah salah satu contoh perlawanan masyarakat adat yang mampu mengangkat isu lokal menjadi perhatian global. Walau tidak sekuat perlawanan EZLN, di nusantara ini juga fenomena munculnya
perlawanan
masyarakat adat menguat di era tahun 1980-an. Keleluasaan atau akses yang besar yang dimiliki perusahaan -perusahaan nasional maupun multinasional terhadap penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
4
Diperoleh dari www://www.globalexchange.org, diakses pada 15 M ei 2015 pada 23.20 W ib.
4
alam ini berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat dan m elahirkan ketidakadilan dan diskrim inasi. Demi alasan pembangunan, negara gagal dan enggan memberikan pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, wilayah dan sum be r daya alam. Bahkan negara mengabaikan fakta bahwa sekitar 30 -40 juta penduduk Indonesia 5
adalah masyarakat adat. Jumlah yang tidak sedikit, mencapai lebih dari 10% jumlah masyarakat adat di seluruh dunia yang menurut data International W ork Group for Indigeneous Affairs (IWGIA), mencapai 370 juta jiwa yang menyebar di daerah daerah terpencil di A sia, Afrika, Arctic, Amerika Latin, Timur Tengah, Amerika Utara dan Pasifik. Paling banyak terdapat di Asia, mencapai 260 juta jiwa, yang menyebar di Bangladesh, Burma, Kamboja, China, India, Indonesia, Jepang, Laos, Nagalim, Nepal, M alaysia, Philipina, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Tibet dan 6
Vietnam . Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat atau biasa juga disebut M asyarakat Hukum A dat (M HA), pada hakekatnya diakui dalam UUD 1945, khususnya pasal pasal 18b:2 dan pasal 281 ayat 3. Pasal 18B ayat 2 berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan 5
Aliansi M asyarakat Adat Nusanta ra (AM AN) mempe rkirakan bahwa jum lah masyarakat adat di Indonesia berkisar antara 50-70 juta atau sekita r 20% da ri penduduk Indonesia. Jumlah itu merupakan jumlah yang dominan bila dibandingkan dengan perkiraan jumlah indigenous peoples secara regional di Asia dan dunia. UN Permanen Forum on Indigenous Issue m emperkirakan jumlah indigenous peoples adalah 370 juta jiwa yang 2/3 dari jumlah itu tinggal di Asia (AIPP, 2014). Arizona, New York, 2014 M ende finisikan Indigineous People di Inodonesia. (http://yancearizona.net/2014/06/18/new -york -2014-mendefinisikan-indigenous-peoples-di-indonesia/) diunduh, tanggal 21 M ei 2015.
5
sesuai dengan perkembangan m asyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Sedangkan pasal 28I ayat 3 berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pengakuan konstitusi tersebut kemudian diadopsi dalam beberapa Undang Undang, antara lain U UPA N o.5 Tahun 1960, Undang-U ndang Nom or 39/1999 tentang Hak Asasi M anusia, dan Ketetapan M PR Nomor X/2001 tentang Reforma Agraria. Selain itu pemerintah Indonesia juga ikut ser ta menandatangani The UN Declaration on the Rights of Indigeneous Peoples (UN DRIP). Artinya bahwa secara konstitusi dan hukum, walau terbatas, pengakuan keberadaan masyarakat adat benarbenar diakui di negara ini. M asalah pengakuan masyarakat adat tidak b isa dipisahkan dengan pengakuan atas hak-hak tradisionalnya sebagaimana juga diakui dalam konstitusi dan Undang Undang di atas. Komunitas masyarakat adat pada umumnya tinggal di wilayah yang kaya sumber daya alam, seperti hutan, tambang, dan energi. Keberadaan mereka di wilayah itu secara historis sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri. Sehingga memiliki hubungan yang sangat erat dengan wilayah, tanah dan lingkungan di mana mereka tinggal.
M asyarakat adat merupakan sebuah komunitas yang memiliki
identitas yang diwariskan secara turun temurun. Kesamaan identitas tersebut juga dibarengi dengan adanya hak-hak komunal yang melekat pada komunitas tersebut. Hak-hak komunal ini terkait dengan sumber daya alam, seperti tanah, air dan hutan.
6
Cobo, pelapor khu sus PBB, untuk isu indigenous peoples, yang menjadi tema sentral pemahaman indigenous peoples dalam Konvensi ILO 169 menuliskan hasil studinya tentang hubungan antara indigenous peoples dengan tanah dan sumberdaya alam sebagai berikut: ”Bagi orang-orang seperti ini, tanah bukan lagi sekedar barang dan alat produksi. Hubungan menyeluruh antara kehidupan spiritual masyarakat asli dan Ibu Pertiwi, dan tanah mereka, mem iliki implikasi yang sangat dalam. Tanah mereka bukan sebuah kom oditas yang dapat diperoleh, tapi sebuah 7 elemen materi yang dapat dinikmati dengan bebas” .
Walau diakui secara hukum sebagaimana disebutkan di atas, namun dalam kenyataannya pengakuan dan perlindungan terhadap hak -hak masyarakat adat atas tanah dan sum ber daya alam lainnya jauh da ri apa yang diharapkan. Padahal tanah dan sumber daya alam menjadi sesuatu yang sangat penting bagi komunitas masyarakat adat, tidak hanya sebagai sumber kehidupan namun yang paling utama adalah sebagai identitas komunitas tersebut. Keberadaan masyarakat adat pada kenyataan seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan ekonomi. Realitas hubungan antara masyarakat adat dengan tanah dan sumberdaya alam seperti ini tidak mendapatkan ruang untuk dipraktek kan dalam sistem politik hukum negara Indonesia. Negara secara sistematis telah menyingkirkan aspek hubungan yang erat ini dari ruang politik, hukum, budaya dan ekonom i. Dalam bidang ekonom i, tanah dan sumberdaya alam dianggap komoditi semata, dari aspek budaya misalnya,
7
Jose M artinez Cobo, Study of the problem of Discrimination againts Indogeneous P opulations, Volume 5. Conclusions, proposals and recommendations, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7&Adds.1 -4 (selanjutnya disebut Studi Cobo(Cobo Study)).
7
pendidikan di Indonesia tidak m emberi ruang untuk transformasi pengetahuan dan budaya-budaya lokal untuk dijadikan pedoman dalam mengembangkan pola hidup yang mandiri. Spiritualitas masyarakat adat dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap norma-norma umum. Dalam bidang politik, pola unifikasi dan sentralisme menjadi pegangan utama negara dan mengakibatkan kehancuran sistem sosial politik lokal. Sementara di bidang hukum, ruang bagi pluralisme hukum tidak diberikan, bahkan sampai ke tataran tafsir menjadi monopoli negara.
8
Terbatasnya akses masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alam juga dilatarbelakangi oleh proses panjang teritorialisasi kontrol negara atas penguasaaan hutan yang sudah berlangsung sejak masa kolonial. Komnas HAM dalam Ringkasan Eksekutif- inquiry nasional Kom nas H AM yang dilakukan tahun 2014 menjelaskan ada lima periode yang menjadi tonggak penting kebijakan politik kehutanan: pertama, Era Kolonial Belanda 1870-1942; kedua, Era K olonial Jepang 1942-1945; ketiga, Era Awal Kemerdekaan 1945-1965; keempat, Era Orde Baru 1965-1998; kelima, Era Reformasi 1999-2014.
M asing-masing periode menyumbangkan tonggak penting
bagi kebijakan dan klaim negara atas kawasan hutan yang berlanjut sampai 2014.
9
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ada dua undang-undang penting terkait penguasaan sektor kehutanan di wilayah jajahannya. Pertama Undang-Undang kehutanan tahu 1865 yang dianggap sebagai peraturan kehutanan pertama bagi P ulau
8 9
Kleden, Emil, M akalah dalam W orkshop Komnas Ham di Kupang, 7 – 8 Agustus 2005 Draft Ringkasan Eksekutif - Inkuiri Nasional Komnas HAM - M HA, 12/1/2015
8
Jawa; kedua adalah Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 yang didasari prinsip domeinverklaring yang menetapkan semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya serta merta menjadi domain Negara.
10
Undang-undang
ini tidak hanya berlaku di w ilayah Jawa dan M adura saja, tetapi juga di daerah jajajan lainnya. Peraturan ini kemudian menjauhkan akses masyarakat pribumi dari hutan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Semua berada dalam kontrol kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan-kebijakan ini melahirkan perlawananperlawanan dari kelompok pribumi, khususnya perlawa nan yang dilakukan oleh kelompok Samin. Pada masa pemerintahan M iliter K olonial Jepang, hutan-hutan di Jawa mengalami kerusakan yang sangat parah. M asa di mana masyarakat pribumi dibiarkan mengelola kembali tanah-tanah yang tadinya diklaim pemerintahan k olonial Belanda secara bebas termasuk dengan membuka hutan. Pembiaran ini tidak terlepas dari program tanam paksa Jepang untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam perang Pasifik. Namun pembiaran ini tanpa dibarengi perubahan status hak-hak hukum mereka tanah-tanah tersebut.
11
Periode berikutnya, era awal kemerdekaan, masyarakat hukum adat diberikan ruang dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam melalui ditetapkannya Undangundang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang mengakui keberadaan hukum adat dan hak ulayat. Namun UUPA penerapannya masih sangat terbatas dan 10
Peluso, Nancy Lee, Hutan Kaya Rakyat M elarat; Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta, Insist Press, 2006 11 Draft Ringkasan Eksekutif, Inkuiri Nasional Komnas HAM -M HA, 12/1/2015
9
kemudian disusul pergantian pemerintahan orde baru yang berkontribusi besar terhadap menguatnya kontrol negara atas penguasaan hutan. Ditetapkannya UU Pokok Kehutanan N o. 5 Tahun 1967 menjadi landasan Pemerintah menjalankan program “teritorialisasi fungsional” melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TG HK) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1970. TG HK kemudian diformalkan dalam serangkaian Peraturan M enteri Pertanian tahun 1980 dan 19 81. TGH K berfungsi sebagai rujukan hukum bagi ekstraksi hutan di Pulau-pulau luar Indonesia. Dengan menggunakan kebijakan ini, terutama bagian tentang alokasi untuk hutan produksi, Kementrian Kehutanan Indonesia memberikan lisensi atas tanah hutan kepada perusahaan penebangan kayu baik swasta maupun BUM N sekaligus kepada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI).
12
Penunjukan
kawasan hutan melalui peta-peta TG HK tanpa diketahui masyarakat lokal.. Proses yang mengambil alih secara sepihak hampir seluruh wilayah M H A menjadi tanah (hutan) Negara. Paska penetapan UU 5/1967 berbagai undang-undang
yang
menunjukkan kuatnya kontrol kuasa negara terhadap hutan dan SDA diterbitkan, semisal UU Kehutanan, UU Pertambangan dan UU Penanaman M odal. Era penting lainnya, ialah era reformasi, ditandai dengan lahirnya UU N o. 39 Tahun 1999 tentang Hak A sasi M anusia yang menjamin dan perlindungan masyarakat adat. Selain itu terbit juga UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana otonom i daerah menjadi alasan baru pengabaian hak-hak masyarakat
12
Fauzi, Noer Rachman, dkk; Laporan Studi Reforma Tenurial Kehutanan di Indonesia , Sayogyo Institute, Bogor, 2014
10
adat atas tanah dan sumber daya alamnya. U ndang-undang lainnya adalah UU 41/1999 tentang kehutanan. Undang-undang ini menetapkan bahwa penunjukan dan penetapan status dan fungsi kawasan h utan dilakukan oleh Pemerintah. Di mana kawasan hutan dinyatakan sebagai hutan tetap— hutan negara, hutan hak dan hutan adat, dimaknai oleh Pemerintah menjadi hutan negara. M asa reformasi tadinya diharapkan memperbaiki kehancuran kebijakan pembangunan yang terjadi di era orde baru, namun lahirny a berbagai UndangUndang di atas justru sebaliknya, selain menjadi mengukuhkan fondasi yang kuat terhadap kontrol negara atas tanah dan dum ber daya alam juga memberikan amunisi yang kuat atas kuasa perusahaan. Ada banyak undang-undang lainnya yang muncul pada msaa reformasi ini, diantaranya U U M inyak dan Gas, UU No. 19 Tahun 2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman M odal. Semuanya memberikan kemudahan bagi pemodal dan investor. Proses teritorialisasi sebagaimana disebutkan di atas di barengi dengan gempuran globalisasi semakin mempersempit ruang bagi masyaraat adat untuk menguasasi dan mengelola tanah dan sumber daya alam yang a da di w ilayah adatnya. Berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat adat menjadi pemicu munculnya berbagai perlawanan yang kemudian berkembang menjadi gerakan -gerakan sosial. Perlawanan yang menggugat negara karena paska kolonial, tetap abai mengakui keberadaan masyarakat adat. Gerakan inilah yang disebut oleh Polanyi (1957) sebagai
11
gerakan tandingan (counter m ovement), sebagai upaya melindungi tanah, tenaga kerja dan sumber-sumber kehidupan dari proses komodifikasi. Dari pengamatan Polanyi, gerakan-gerakan tandingan di Eropa dan Amerika pada abad ke -19 memiliki komponen multikelas, di mana di dalamnya terdapat peran para kritikus. Dia juga mengamati gerakan-gerakan yang merupakan koalisi strategis di antara berbagai actor, termasuk di dalamnya warga yang kritis, para ahli yang memiliki keperdulian, dan anggota-anggota partai politik berhaluan kiri.
13
Perlawanan yang sama juga terjadi di Tanah Batak paska hadirny a PT Inti Indorayon Utara (IIU), sebuah pabrik penghasil pulp dan rayon. Perusahaan milik Sukanto Tanoto, memiliki izin konsesi sesuai Surat Keputusan IUP HHK-HTI Nomor 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992 Tentang pemeberian Hak pengusahaan H utan Tanaman Industri Kepada PT Inti Indorayon Utama seluas 269.060 hektar. Kemudian SK ini direvisi melalui SKNom or 58/M enhut-II/2011 tanggal 28 Pebruari 2011 14
menjadi seluas 188.055 hektar . Kehadiran perusahaan ini telah menorehkan sejarah panjang perlawanan masyarakat di Tapanuli. Sejak tahun 1980 -an, ketika perusahaan ini baru berdiri, gerakan perlawanan sudah muncul. A walnya isu yang diusung adalah isu perampasan tanah, namun kemudian berkembang ke isu lingkungan hidup. Perusahaan penghasil pulp dan rayon yang pabriknya berada di Kota Porsea tersebut dituduh menimbulkan pencemaran lingkungan tidak hanya di sekitar pabrik, tetapi
13
Siscawati M ia, M asyarakat Adat dan Perebutan Penguasaaan Hutan , dalam Jurnal W acana Nomor 33 Tahun XVI, INSIST, 2014 14 Dokumen M ateri Presentase PT TPL Dalam Rangka Rapat Dengar Pendapat, Gabungan Komisi A, D, DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan Toba Pulp Lestari, Tbk, 2015
12
juga di desa-desa sepanjang DAS Asahan.
Gerakan perlawanan dengan isu
lingkungan ini semakin meluas ke daerah-daerah lain yang juga terkena dampak lingkungan akibat kehadiran perusahaan tersebut. Aksi massa yang berujung pada kekerasan kerap terjadi, korban jiwa pun tak terhindarkan baik dari pihak masyarakat maupun dari pihak perusahaan. Gerakan perlawanan tersebut akhirnya membuahkan hasil, paska reformasi, tepatnya 19 M aret 1999, Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghentikan sementara PT IIU. Penutupan
15
perusahaan tersebut disambut hangat oleh masyarakat, dan dianggap
sebagai sebuah kemenangan gerakan rakyat. Namun di era kepemimpinan Presiden Abdul Rahman Wahid, perusahaan tersebut kembali dibuka, melalui sidang kabinet, 1 0 M ei 2000. Sidang yang dipimpin oleh M egawati tersebut memutuskan untuk menutup pabrik rayon namun membuka kembali pabrik pulp. Keputusan ini memicu kemarahan masyarakat. Gerakan perlawanan pun kembali muncul, namun perusahaan terus melakukan berbagai strategi supaya bisa beroperasi kembali. Salah satu strategi yang digunakan adalah mensosialisasikan paradigma baru Indorayon yang berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Gerakan perlawanan kemudian semakin melemah seiring dengan semakin banyaknya tokoh-tokoh Batak yang sebelumnya menolak kehadiran perusahaan ini berbalik mendukung paradigma baru perusahaan tersebut.
15
M analu, Dimpos, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik ; Studi Kasus Gerakan Perlawanan M asyarakat Batak Ve rsus PT Inti In dorayon Utama di Sumatera Utara, Yogyaka rta, Gadjah M ada University Press, 2009.
13
PT Toba Pulp Lestari resmi beroperasi kembali pada 6 Pebruari 2003. Perlawanan terhadap reoperasional perusahaan ini pun berangsur -angsur melemah dan akhirnya sejak 2005 mengalami stagnasi. Trauma dan jenuh menjadi alasan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Penangkapan -penangkapan terhadap tokoh-tokoh perlawanan yang dilakukan aparat kepolisian berkontribusi besar terhadap melemahnya gerakan perlawanan tersebut. Selama tahun 2005, hampir tidak ada perlawanan berarti dari masyarakat terhadap keberadaan PT TPL. Namun perlawanan kembali m uncul pada tahun 2007, kali ini datang dari petani kemenyan yang kebun kemenyannya masuk dalam wilay ah konsesi PT TPL. Jika dulu perlawanan terjadi di sekitar Pabrik PT Indorayon, atau tepatnya di Kabupaten Toba Samosir, sejak tahun 2007, perlawanan berada di areal areal konsesi perusahaan. Perlawanan ini pertama sekali terjadi di Kecamatan Pollung, Kab upaten Humbang Hasundutan. Ratusan hektar hutan kemenyan ditebang oleh perusahaan dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan areal konsesi P T TPL. Berbagai aksi massa pun dilakukan, namun akhirnya para elite kelompok petani kemenyan ini bersedia berdamai dengan perusahaan yang ditandai dengan pemberian ganti rugi sebesar Rp.110 juta.
16
Pada Juni 2009, perlawanan kembali muncul dari masyarakat adat di Desa Pandumaan dan
Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten H umbang
Habinsaran. Tanpa sepengetahuan m asyarakat, perusahaan melakukan penebangan 16
Laporan Pelaksanaan Program KSPPM 2007.
14
hutan kemenyan (syntrax sp)
17
18
mereka dan menanaminya dengan eukalyptus .
Tindakan perusahaan ini melahirkan ketegangan-ketegangan di wilayah yang diklaim masyarakat dua desa sebagai tanah adatnya. M ayoritas penduduk Desa Pandumaan dan Sipituhuta merupakan petani kemenyan yang kehidupan dan identitasnya menyatu dengan hutan sebagai tempat mereka hidup dan mencari nafkah. Sehingga penebangan pohon-pohon kemenyan yang berlangsung sejak Juni 2009 oleh PT TPL menjadi ancaman yang merampas kehidupan dan identitas mereka. Berbagai aksi perlawanan pun dilakukan. Pada 23 Juni 2009, ratusan petani kemenyan melakukan aksi penghentian penebangan kemenyan di lokasi yang mereka klaim sebagai miliknya. Aksi protest terus berlanjut tidak hanya di lokasi lahan yang diklaim masyarakat sebagai miliknya, tetapi juga di kantor pemerintah kabupaten dan DPRD. Kedua kantor ini diserbu ribuan warga pada aksi tanggal 29 Juni 2009 yang lalu. M ereka menuntut agar pemerintah mendesak perusahaan untuk menghentikan operasionalnya. Gelombang aksi terus berlanjut, karena pihak perusahaan melalui mitra lokalnya tetap melakukan penebangan pohon kemenyan dan me nggantinya dengan tanaman eukaliptus. Aksi yang berujung pada penangkapan warga terjadi pada 1 4 Juli 2009, di mana ratusan petani kemenyan melakukan penjagaan di lahan kemenyan milik warga. Selain menghentikan aktivitas penebangan, petani kemenyan juga 17
Sejenis tanaman yang menghasilkan getakh kemenyan, dianggap sebagai tanaman endemik yang banyak tumbuh di daerah Tapanuli (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Pakpak, Toba Samosir, tapanuli selatan). Getah kemenyan yang digunakan sebagai bahan baku kosmetik, dupa, campuran rokok dan lain-lain. 18 Sejenis pohon yang menjadi bahan baku pabrik bubur kertas ( pulp)
15
melakukan penyitaaan terhadap 14 gergaji milik kontraktor TPL yang pada saat itu melakukan kegiatan di tombak haminjon mereka. Akibatnya lima orang ditahan, yakni M ausin Lumban Batu, James Sinambela, Sartono Lumban Batu, dan M adilaham Lumban Gaol.
19
Penahanan terhadap warga yang dilakukan aparat Kepolisian Resor H umbang Hasundutan, semakin membuat warga marah. Aksi penangkapan ini dianggap sebagai proses kriminalisasi terhadap petani kemenyan yang memperjuangkan tanah adatnya. M ereka pun menuntut agar pihak kepolisian melepaskan empat warga karena aksi yang mereka lakukan bukan tindakan individu tetap i merupakan aksi bersama. Selain itu mereka juga menuntut agar pemerintah segera mengeluarkan tanah adat mereka dari areal konsesi PT TPL.
20
Aksi petani kemenyan tersebut mendapatkan perhatian dari beberapa pihak, baik Organisasi Non Pemerintah, tokoh agama , akademisi, budayawan dan pers. Untuk memperluas gerakan, identitas sebagai petani kemenyan pun kemudian bergeser dengan lahirnya identitas kolektif yang baru yakni masyarakat adat. Identitas sebagai masyarakat adat digunakan oleh para petani kemenyan bersama dengan para pihak yang mendukung perjuangan mereka untuk memperluas arena tindakan. Identitas sebagai petani kemenyan dianggap belum mampu menjadi ikatan yang kuat untuk menggerakkan banyak pihak untuk bertindak bersama -sama. Karena yang mereka perjuangkan bukanlah hutan kemenyan dari aspek ekonom isnya, namun
19 20
Harian Kompas, 17 Juli 2009 W awancara dengan Pdt. Haposan Sinambela , 5 November 2015.
16
merupakan bagian dari tanah adat yang menjadi identitas mereka secara teritorial. Pergeseran identitas kolektif gerakan dari petani kemenyan berkembang menjadi identitas kolektif masyarakat adat memang bukanlah hal yang sulit. Petani kemenyan yang melakukan perlawanan tersebut masih merupakan satu komunitas masyarakat adat (homogen), di mana dalam kehidupan sehari-hari, norma-norma adat masih menjadi pegangan. Kehomogenan komunitas masyarakat ada t di dua desa tersebut mempermudah proses negosiasi, interaksi dan pengambilan keputusan dalam proses pembentukan identitas kolektif gerakan. Proses negosiasi, interaksi dan pengambilan keputusan menjadi hal yang sangat penting menurut M elucci dalam konstruksi identitas kolektif sehingga lahir kesepakatan untuk bertindak bersama-sama mencapai 21
tujuan bersama pula . Aksi atau tindakan bersama menurut kajian studi gerakan sosial adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan. Hal ini juga berlaku dalam Gerakan M asyarakat adat Batak di Pandumaaan dan Sipituhuta, bahwa aksi bersama mereka merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama, yakni adanya pengakuan masyarakat adat Batak dan perlindungan atas hak-hak tradisionalnya sebagaimana diamanatkan konstitusi dan undang-undang. Sebagai sebuah proses, gerakan ini membangun jaringan aktif antar aktor, membangun komunikasi, mempengaruhi satu dengan yang lain, menegosiasikan setiap hal dan mengambil keputusan. Di dalam komunitas lokal, proses ini terus
21
Karl-Diete r OPP, Theories of Political Protest and Soc ial M ovement, A multidisciplina ry Introduction, Critique, And Synthesis, Routledge, Oxon.2009
17
dilakukan sehingga semua anggota masyarakat adat Batak yang berada di desa Pandumaaan dan Sipituhuta memilik perasaan “kita” yang kuat. Pembentukan rasa”kita” ini dilakukan melalui interaksi sosial yang terus menerus. Namun gerakan ini tentu tidak hanya melibatkan kom unitas adat Pandumaan dan Sipituhuta saja. Seperti disebutkan di atas, gerakan ini kemudian melibatkan banyak aktor, lintas wilayah, lintas etnis dan lintas profesi. Walau menyebutkan dirinya sebagai gerakan masyarakat adat Batak, namun aktor yang terlibat dalam gerakan ini bukanlah hanya beretnis Batak. Hal inilah yang membuat penulis tertarik menganalisis
bagaimana
konstruksi gerakan
kolektif
memperoleh pengakuan
eksistensi dan hak – hak adat di Komunitas A dat Pandumaan-Sipituhuta.
1.2.
PERU MUSA N MASA LA H
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka perlu melihat lebih mendalam Konstruksi Gerakan kolektif masyarakat adat Batak Toba. Pertanyaan umum dalam penelitian ini adalah “Bagaimana masyarakat adat Batak Toba membangun identitas kolektif, solidaritas dan tindaka kolektif untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak adatnya?” Sedangkan pertanyaan khusus yang memperinci pertanyaan umum di atas adalah a. Bagaimana latar historis gerakan masyarakat adat Batak Toba
di
Pandumaan dan Sipituhuta? b. Bagaimana dinam ika masyarakat adat Batak Toba membangun identitas kolektif dan memelihara solidaritas gerakan?
18
1.3.
TUJU AN DA N MAN FA AT P EN ELITIAN
1.3.1. Tujuan Penelitian a. M enguraikan
latar historis gerakan masyarakat adat Batak Toba
di
Pandumaan dan Sipituhuta. b.
M endalami lebih jauh proses dan dinamika masyarakat adat Batak Toba membangun identitas kolektif dan memelihara solidaritas gerakan untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak adatnya.
1.3.2. M anfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Dari segi akademik, penelitian ini selain ingin menunjukkan proses munculnya sebuah gerakan sosial, isu-isu utama perjuangan yang diangkat, strategi gerakan dipakai, strategi pengorganisasian gerakan yang digunakan, dan sekaligus mengkaji lebih dalam bagaimana gerakan masyara kat adat Batak membentuk identitas kolektif untuk mencapai tujuan gerakan mereka. b. Secara teoritik penelitian ini hendak berkontribusi untuk menambah hazanah keilmuan dan memperkaya referensi tentang gerakan sosial khususnya tentang masyarakat
adat
dalam
memperjuangkan
lingkungan sumber daya alamnya.
1.4.
PERSPE KT IF TE ORI TIS
19
hak-hak
tradisonalnya
dan
1.4.1.
PERS PE KT IF GE RA KA N S OS I AL
Seperti disebutkan di atas, gerakan sosial bukanlah hal yang baru dalam perkembangan ilmu sosial. Pandangan dan pendekatan tentang gerakan sosial sudah banyak dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial untuk menganalisis fenomena fenomena sosial khususnya tentang tindakan kolektif terhadap suatu masalah yang dihadapi sekelompok orang. M enganalisis gerakan masyarakat adat dengan menggunakan len sa gerakan sosial diharapkan mampu menjawab masalah yang dirumuskan di atas. Namun sebelum jauh melangkah, penulis akan terlebih dahulu memetakan teorisasi gerakan gerakan sosial yang dikemukakan oleh para pakarnya dari berbagai pendekatan dan latar belakang yang berbeda. 1.4.1.1.
Peta Teori Gerakan Sosial
Pembahasan persoalan gerakan sosial, tidak pernah bisa dipisahkan dari teorisasi gerakan sosial yang berkembang di Barat. Setidaknya, terdapat empat perspektif atau pendekatan tentang gerakan sosial yang berkemba ng hingga kini: 1) Gerakan sosial sebagai perilaku kolektif, 2) Gerakan sosial sebagai mobilisasi sumber daya, 3) Gerakan sosial sebagai proses politik dan 4) Gerakan sosial sebagai gerakan kultural (gerakan sosial baru). M enurut Diani dan Bison, gerakan s osial merupakan bentuk aktivisme civil society yang khas. Sebagai sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu. Dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh actor -aktor yang diikat oleh
20
rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk -bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.
22
Selanjutnya dijelaskan bahwa gerakan sosial bukan sekedar aksi kolektif yang dilakukan sekelompok orang. Tetapi terdiri dari lintas kelompok/kelembagaan yang dalam prosesnya terdapat pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara berbagai actor individu maupun kelembagaan yang mandiri.
23
Dari perspektif D iani dan Bison terdapat beberapa ciri dan karakteristik gerakan sosial, yakni pertama, gerakan sosial lebih menekankan pada adanya sebuah jejaring solidaritas dan identitas kolektif. Kedua, M elibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama, Ketiga, strateg i, koordinasi dan pengaturan peran dalam aksi kolektif ditentukan dari negosiasi yang secara terus menerus di antara semua actor, dan keempat, semua actor yang terlibat dalam gerakan sosial tersebut diikat oleh identitas kolektif yang dibangun diatas dasar kebutuhan dan kesadaran atas keterhubungan (connectedness) Pandangan Diani dan Bison jauh berbeda dengan pandangan para pakar teori perilaku kolektif sebelumnya, seperti G ustava Le Bon. Bon merupakan perintis utama teori perilaku kolektif menginterpretasikan bahwa kerumunan massa revolusi Perancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Di
22
M Diani dan I Bison, Organisations, Coalitions and M ovements . Dipartimento di sosiologia e Ricerca Sociale (Universita di Trento, 2004) 23 M Diani dan I Bison, Organisations, Coalitions and M ovements . Dipartimento di sosiologia e Ricerca Sociale (Universita di Trento, 2004)
21
mana individu tidak lagi memiliki kemampuan merasa, berpikir dan bertindak seperti yang diinginkannya secara pribadi kehilangan rasionalitasnya.
namun mengikuti keingin an massa. Individu
24
Bon dan para pendukung teori perilaku kolektif seperti Neil Smelser sebagaimana dituliskan oleh D onatella Della Porta dan M ario D iani berpandangan bahwa kemunculan perilaku-perilaku kolektif seperti gerakan sosial tim bul akibat transformasi sosial yang berjalan sangat cepat dan dalam skala besar. Di mana lembaga-lembaga
dan
mekanisme
kontrol
sosial
tidak
mampu
atau
gagal
mereproduksi kerekatan sosial. Di sisi lain merefleksikan berbagai upaya masyarakat untuk bereaksi atas kritis sosial melalui berbagai keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas dan kemudian menjadi dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.
25
Perilaku kolektif ini timbul secara spontan, tidak terorganisir dan biasanya tidak menggunakan saluran-saluran resmi. Perasaaan terpinggirkan sebagaimana dikatakan Gurr, perilaku kolektif yang biasanya disertai dengan kekerasan -kekerasan muncul karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. G urr menjelaskan bahwa semakin besar kesenjangan maka potensi kekerasan akan semakin besar.
26
Pandangan para pendukung gerakan sosial sebagai perilaku kolektif yang cenderung negative ini mendapat banyak kritik. Khususnya tentang pandangan bahwa gerakan sosial sebagai sesuatu yang tidak rasional , tidak teror ganisir, menyerupai 24
Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movem ent and Contention Politics. Cam bridge; Cam bridge University, 1998 25 Della Porta, Donatella dan M ario Diani; Soc ial M ovement:An Introduction, Oxford/M assachusetts: Blackwell Publisher. 1999 26 Gurr, Ted Robert. W hy M en Rebel, New Jersey, Princetown University Press. 1970
22
emosi binatang dan menggunakan kekerasan untuk mengatasi ketegangan sosial. Para ahli teori ini tidak mempertimbangkan proses membangun jaringan dan upaya -upaya setiap actor untuk bersinergi membangun gerakan yang lebih besar. Berangkat dari kritik terhadap teori ini, para penggagas teori gerakan sosial sebagai mobilisasi sumber daya berpendapat lain. Gerakan sosial juga sangat dipengaruhi oleh kuat dan besarnya sumber daya internal yang ada dan kemampuan memobilisasinya dengan tepat. Kedua hal ini tidak masuk dalam pertimbangan teori perilaku kolektif. M cCharty, Zald dan Tilly merupakan penggagas gerakan sosial yang melihat pentingnya teori struktur mobilisasi sumber daya. Struktur mobilisasi sumber daya merupakan sarana kolektif baik dalam lembaga formal maupun informal. Di mana melalui sarana tersebut semua pihak yang terlibat memobilisasi sumber daya yang tersedia dan melebur dalam sebuah aksi kolektif. Dalam konteks ini, unit-unit keluarga, jaringan pertemanan, organisasi-organisa si tenaga sukarela, lingkungan kerja, dan elemen negara menjadi bagian struktur mobilisasi mikro.
27
Dalam gagasan M cCharty ini ada struktur formal dan informal membentuk struktur mobilisasi sumber daya. Di mana mobilisasi jaringan kekerabatan, persaudaraan sebagai organisasi informal menjadi dasar dan berkontribusi penting terhadap terbentuknya gerakan-gerakan lokal.
27
28
Peleburan antara struktur formal dan
M cCarthy, John D, Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting and Inverting ”. Di Dalam Comparative perspective on Social M ovement Political Opportunities, M obilizing Structures, and Cultural framing, Doug M c. Adam, John D (ed) 28 M cCarthy, Jhon D dan W olfson. “Consensus M ovement , Conflict M ovements, And The Cooptation of CivicState Infrastructures .” Di dalam Frontiers in Social M ovement Theory , diedit oleh A.M orris dan C.Clurg M ueller. New Haven; Y ale University Press.1992
23
informal jika dimobilisasi dengan baik akan menghasilkan gerakan sosial yang lebih besar dan memiliki landasan yang kuat. Sedangkan oleh Charles Tilly dalam karyanya From Mobilization to Revolution, mengatakan bahwa sebesar apapun ketidakpuasaan rakyat yang terjadi, mereka tidak akan masuk dalam aksi politik apapun, kecuali jika mereka menjadi bagian dari sebuah kelompok yang terorganisir dan memiliki beragam sumber daya.
29
Intinya
pendekatan ini lebih menekankan bahwa gerakan sosial muncul sebagai akibat dari peleburan semua actor dalam cara yang sangat rasional, tidak hanya bersarkan ketidakpuasan, kemarahan akibat kesenjangan. Struktur formal dan informal memiliki kepentingan yang sama, namun struktur formal, sebagai organisasi bersama memiliki peran sentral untuk memobilisasi sum ber daya yang ada. Kepentingan yang sama menjadi alasan yang rasional yang me mbuat mereka terlibat dalam gerakan sosial tersebut. Dalam perkembangannya, kemudian teori ini pun mendapat kritik karena dianggap terlalu menekankan pada aspek rasional dari sebuah kepentingan yang sama. Pendukung teori ini kurang mempertimbangkan adanya kesadaran, cita-cita, kultur bahkan ideologi yang mendorong setiap orang terlibat dalam sebuah gerakan sosial. Kritik lainnya terhadap teori ini adalah peran sentral dari organisasi formal dan penekanan pada faktor organisasional sebagai faktor yang sangat mendukung perkembangan gerakan sosial justru sebaliknya
29
dilihat sebagai faktor yang
M ustain; Petani Versus Negara; Gerakan Sosial M elawan Hegemoni Negara.Yogyakarta.AR -Ruzz M edia.2007. Hal 40.
24
melemahkan gerakan. Dufhues dan Feling memberikan evaluasi kritis terhadap pandangan
tentang
organisasi
biroktarisasi dan oligarkisasi organisasi gerakan sosial. Pandangan
lain
gerakan
sosial,
yang
menyimpulkan
bahwa
merupakan takdir yang tidak dapat dihindari
dari
30
yang
juga
memberikan
sum bangan
besar
terhadap
perkembangan teorisasi gerakan sosial adalah Gerakan sosial sebagai proses politik. Dalam pandangan ini, tetap sepakat dengan pandangan rasional teori struktur mobilisasi sumber daya, hanya saja tidak lagi berpusat pada internal organisasi gerakan. Para akademisi gerakan sosial yang mendukung teori ini seperti Tarrow, M c Adam, Lipsky dan lain-lain sependapat bahwa tersedianya kesempatan politik dalam tingkat negara maupun lintas negara merupakan faktor penting dalam kebangkitan gerakan sosial. M c Adam, dalam sebuah esainya mengelompokkan empat dimensi kesempatan Politik; pertama, keterbukaan atau ketertutupan relative dari sistem politik yang formal dan terlembagakan; kedua, Stabilitas atau instabilitas aliansi kelompok elit yang secara tipikal mencirikan sebuah komunitas politik; ketiga, ada atau tidaknya sekutu di tingkat elite; dan keempat, kemampuan dan cara a parat negara melakukan represi.
31
30
Kalndermans, Bert. Protest dalam Kajian Psikologi Sosial (Terj.Helly P.Soetjipto), Yogyakarta. Pustaka Belajar. 2005 31 M c Adam, Doug, John D. M c Charty, dan M ayer Zald (ed.)1996. Comperative Perspective on Social M ovement; Political Opportunities, M obilizing Structures, and Cultural Framing , Cambridge;Cambridge University Press.
25
M odel Gerakan Sosial lainnya adalah Gerakan Sosial Baru. Sebuah gerakan yang menurut Touraine sebagai gerakan sejumlah warga
masyarakat yang secara
budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginya memilik i pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Fungsi mereka tak dapat dipahami dalam logika tatanan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang menyimpang benar -benar merupakan tantangan bagi logika itu dan mentransformasikan hubungan sosial yang dicerminkan dan diperkuatnya. Lebih lanjut Touraine menjelaskan tiga hal pokok yang tercakup dalam gerakan sosial baru. Pertama, karena secara kualitatif berbeda dengan gerakan sosial lama, seperti organisasi petani dan organiasi buruh yang menaruh perhatian kepada keadilan ekonomi dan sosial politik. Kedua, Gerakan ini terkait dengan isu sosial. Ketiga, gerakan ini
terdiri dari kelompok
tetapi membentuk unsur gerakan yang lebih besar.
perorangan
32
Perkembangan teori Gerakan Sosial Baru muncul sejak tahun 1960 -an, di mana perlawanan yang muncul pada masa itu tidak lagi menjadikan buruh sebagai pelaku utamanya. Teori Gerakan Sosial Baru merupakan respon terhadap teori-teori gerakan sosial marxis yang menempatkan kelas buruh sebagai pemeran utama gerakan sosial dan perubahan sosial. Pada era 1970-an dan 1980-an, banyak gerakan sosial yang muncul yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perjuangan kelas yang diusung oleh kelas buruh, misalnya gerakan feminis, gerakan hak asasi manusia, gerakan lingkungan dan gerakan-gerakan lainnya.
32
Silaen, Viktor, Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas Lokal pada kasus Indorayon di Toba Samosir, Yogyakarta, IRE Press, 2006.
26
Sebagaimana dikatakan oleh Escobar dan Alvarez yang dikutip oleh Fakih, hal yang sama terjadi dalam gerakan-gerakan sosial yang terjadi di negara dunia ketiga bahwa perjuangan kelas ekonomi yang terbatas beralih menjadi gerakan sos ial yang mengusung transformasi sosial. Ada perubahan actor -aktor sosial yang terlibat, di mana dalam gerakan sosial yang lama ada dua kutub yang saling bertentangan, misalnya
borjuis dan proletar. Sedangkan dalam gerakan sosial baru, ada
keberagaman actor sosial yang terlibat.
33
Terkait dengan keberagaman actor yang diutarakan oleh Escobar dan Alvarez, hal yang sama juga dikatakan oleh S ing h bahwa partisipan dari gerakan sosial baru ini pada umumnya berasal dari “kelas menengah baru”, kaum terdidik, ser ingkali bekerja di sektor-sektor non produksi, seperti akademisi, aktivis, seniman, LSM dan kaum terdidik lainnya.
34
Kaum -kaum terdidik mendorong munculnya masyarakat
sipil yang berjuang melakukan perubahan menuju demokratisasi di institusi-institusi formal. Hal inilah yang menonjol dari Gerakan Sosial Baru sebagaimana dikatakan oleh Cohen bahwa gerakan sosial baru merupakan respon terhadap isu -isu yang berakar dari masyarakat sipil.
35
M asyarakat Sipil menjadi motor penggerak
kokohnya gerakan-gerakan sosial baru yang penekanannya yang paling menonjol pada identitas, kultur dan peran ruang public .
33
34
35
Fakih, M ansour, M asyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1996. Sing, Rajendra, Social M ovement Old and New: A post M odernist Critique, New Delhi/London:Sage Publication, 2001. Cohen, Jean L, “Strategy or Identity: New Theoritical Pa radigm and Contempora ry Social M ovement”Social Research, Vol.52, No,4, 1985.
27
1.4.1.2.
Perspektif Identitas Kolektif dalam Studi Gerakan Sosial Baru
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa identitas, kultur dan peran ruang publik adalah merupakan aspek yang paling menonjol dalam studi-studi gerakan sosial baru. M elucci menyebut identitas kolektif merupakan proses “konstruksi” sebuah sistem tindakan. Selanjutnya dia mengatakan, ”Collective identity is an interactive and shared definition produced by several individuals (or groups at a more complex level) and concerned with the orientations of action and the field of opportunities and constraints in which the action takes 36 place”
Pengertian identitas kolektif ini dijabarkan dalam tiga hal, yakni; Pertama, identitas kolektif sebagai sebuah proses yang memerlukan defenisi-defenisi kognitif tentang tujuan, makna, dan arena sebuah tindakan. Kedua, identitas kolektif sebagai sebuah proses merujuk pada jaringan dari hubungan yang aktif antara aktor, yang berinteraksi, kom unikasi, pengaruh satu dengan yang lainnya, negosiasi dan pengambilan keputusan. Ketiga, keharusan dalam proses identitas kolektif adalah adanya perasaan emosional, di mana setiap individu merasa bagian dari sebuah satu kesatuan. Bagi M elucci, tidak ada kognisi tanpa perasaan, dan tidak ada makna tanpa perasaan.
37
Sebagai penggagas konsep identitas kolektif, perbedaan konsep ini dengan pendekatan mobilisasi sumber daya dan struktur kesempatan politik, terletak pada proses negosiasi, interaks i, pembentukan “kita” dan definisi dari situasi.
Aksi
kolektif masih menurut M elucci berbeda dengan tindakan pilihan rasional yang diperkenalkan oleh M ancur Oslon, bahwa tindakan bersama tidak terlepas dari
36
37
Klandermans, Bert & Hank Jhonston, Social M ovements and Culture; Social M ovements, Protest, and Contention, volume 4, M inneapolis, University of M innesota Press, 1995. Idem, p.45
28
konteks kalkulasi untung rugi yang sangat mengedepankan rasionalitas. Bagi M elucci ukuran rasionalitas terbentuk atas dasar kesepakatan bersama para pihak yang terlibat dalam sebuah gerakan. Artinya bahwa ada sebuah proses internal untuk mengenali dirinya, mengenali persoalan yang sedang dihadapi, dan m engenali lingkungan di luar dirinya. Proses internal inilah yang disebut sebagai proses pembentukan identitas kolektif. Sehingga dengan terbentuknya identitas kolektif, maka tindakan kolektif pun bisa
terlaksana. M elucci menekankan pentingnya
aspek negosia si, interaksi,
pembentukan “kita” dan definisi situasi dalam studi gerakan sosial baru, hal ini terlihat dari rekonstruksi teoritis M odel M elucci di bawah ini: O PPO RT U NI T I E S / CO NS T RAI NT S
S O CI AL R E L AT I O NS H I P
N E G O T I AT I O N / I
A DJU S TI N G DI FF E R EN T
NT E R ACT I O N
O R I EN T A TI O N
D E F E NIT I O N
F ORM AT I ON OF A “ W E ”
OF THE
C O LLE C TI
S I T U AT I ON A S
VE
S U S C EP T I BL E
A C TI O N
O F CO M MO N A C T I ON
I N DI VI DU A L R E SO U R C E S
P U RP O S E S C A L CU L TI ON OF C O S T AN D B EN EF I T S
Gambar 1. Rekonstruksi model Melucci
38
38
Dieter-KARL Op, Theories of Political Protest and Social M ovement, A M ultidisciplina ry Introduction, Critique and synthesys
29
Dalam konsep ini Peluang dan tantangan merupakan variable makro yang menentukan batas-batas tindakan kolektif, mulai dari proses negosiasi, penyesuaian dengan orientasi yang berbeda, pembentukan kita sampai pada lahirnya tindakan bersama. Selanjutnya tujuan, sumber da ya, dan kalkulasi untung rugi menjadi sifat aktor yang menjadi variabel mikro. D i mana relasi sosial mempengaruhi variable mikro tersebut. Sebagaimana
dikatakan M elucci: “purposive
orientation”
is
“constructed” by means of social relationship within a sys tem of opportunities and constrain”.
39
Defenisi terhadap situasi memiliki pengaruh langsung terhadap tindakan kolektif.
Sementara defenisi dihasilkan oleh negosiasi dan interaksi yang
menyesuaikan orientasi yang berbeda. M elucci menekankan orientasi yang berbeda ini antara tujuan, cara dan lingkungan yang mengarah pada pembentukan “kita”. Terkait dengan kalkulasi biaya dan manfaat, M elucci tidak mengabaikan hal tersebut masuk dalam tindakan kolektif. Namun, dia menegaskan,” .... collective action is never based solely on cost and benefit calculations ....some element of participation in collective action are endowed with meaning but cannot be reduced to instrumental rationality
39
(they are not irrational but neither are they based on
Ibid. P.207
30
calculation logic).
40
Artinya bahwa tindakan kolektif bukan gerakan yag irrasional
tetapi tidak selalu didasari oleh logika kalkulasi untung dan rugi. Lebih lanjut M elucci juga mendefenisikan identitas kolektif sebagai sebuah proses di mana aktor menghasilan kerangka kognitif bersama yang memampukan mereka menilai lingkungannya, dan mengkalkulasikan untung dan rugi sebuah tindakan yang akan dilakukan, di mana definisi yang mereka rumuskan adalah bagian dari hasil interaksi yang dinegosiasikan; dan sebagian dari buah pengakuan. Asumsi dari teori ini adalah bahwa kalkulasi untung rugi tidak semata -mata untuk tindakan, sebagaimana biasanya menjadi asumsi dari pendekatan Teori Tindakan Rasional. Kalkulasi untung rugi lebih untuk memperoleh keyakinan dan sikap bersama dalam gerakan, bukan sekedar tindakan.
1.4.2.
GER A KAN M AS Y ARA K AT A D AT S EB AG AI G ER AK AN S OS IA L
1.4.2.1. Gerakan Masyarakat Adat Sebelum membahas tentang gerakan masyarakat adat, sebelumnya penulis akan menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat adat. Istilah masyarakat adat biasanya digunakan dalam merujuk individu-individu atau kelompok-kelom pok yang merupakan keturunan penduduk asli yang tinggal di sebuah negara. Namun defenisi yang paling banyak dirujuk adalah defenisi masyarakat adat menurut Jose M artinez Cobo, di mana masyarakat adat adalah: “mereka yang sembari memiliki kelanjutan sejarah dengan masyarakat pra -invasi dan pra-kolonial yang berkembang 40
Ibid. P.207
31
diwilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dari sektor -sektor (bagianbagian) lain dari masyarakat yang se karang mendominasi w ilayah tersebut, atau sebagaian dari wilayah tersebut. D i masa kini mereka merupakan sektor -sektor (atau bagian-bagian) yang non –dominan dari masyakat (yang lebih besar) dan mereka berketetapan melestarikan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi yang akan datang, wilayah leluhur mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka sendiri.”
41
Tidak jauh berbeda dengan defenisi Cobo, Working Group of Indigineous People(WGIP) membuat criteria masyarakat adat, yang meliputi: (a) hubungan yang khas dengan tanah atau wilayah yang turun temurun telah dimiliki, ditinggali atau digunakan; (b) keberlanjutan sejarah; (c) karakteristik budaya yang khas; (d) nondominan; (e) identifikasi diri dan kesadaran kelom pok.
42
Istilah M asyarakat adat ini kembali diadopsi dalam K ongres M asyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan pada M aret 1999. Dalam K ongres disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di w ilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan w ilayah sendiri.
43
Istilah “masyarakat adat”
sesungguhnya memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan perjalanan 41
Bosko, Edy Rafael, Hak-Hak M asyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam , Jakarta, ELSAM , 2006. Hal. 55 42 Idem, Hal 59 43 M oniaga, S. 2010. “Dari Bumiputera ke M asyarakat Adat: Sebuah Perjalanan Panjang dan M embingungkan.” Dalam Adat dalam Politik Indonesia, disunting oleh J.S. Davidson, D. Henley, dan S. M oniaga, 301–322. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV -Jakarta.
32
penguasaan wilayah, tanah, dan sumberdaya alam lain oleh kelompok -kelom pok tertentu sejak zaman prakolonial, kolonial, hingga pascakolonial. Gerakan masayarakat adat, sebagaimana disebutkan bagian aw al bab ini, muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap kontrol kuasa negara atas hutan yang abai terhadap keberadaan masyarakat adat. M asyarakat adat kerap mengalami ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan karena mempertahankan hak haknya atas tanah dan sumber daya alam yang ada di w ilayah adatnya. AM AN sebuah organsiasi payung masyarakat adat di nusantara ini, mencatat bahwa pada tahun 2013 saja terdapat 143 kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat di nusantara ini yang mereka tangani.
44
M enilik ke belakang, sadar akan penindasan, ketidakadilan, dan diskriminasi yang kerap dialami oleh masyarakat adat, beberapa Ornop yang bergerak dalam pendampingan masyarakat dan isu lingkungan bersama -sama dengan para pemimpin adat yang berjuang mempertahankan haknya sepakat untuk duduk bersama. Pada pertemuan yang dilaksanakan pada 1993 itu, semua yang hadir sepakat untuk membentuk Jaringan Pembelaaan Hak-Hak M asyarakat A dat (Japhama). Pertemuan ini kemudian diperkuat dengan diselenggarakannnya K on ferensi pertama masyarakat adat pada M aret 1999 di Jakarta. K ongres sepakat untuk mendirikan AM AN sebagai oraganisasi formal untuk mewakili masyarakat adat di seluruh kepulauan Indonesia. Pendirian AM AN juga ditujukan untuk menemukan jalan keluar agar eksi stensi masyarakat adat terlihat, hak mereka dihormati, dan status kewarganegaraan mereka 44
http://aman.or.id, diakses 10 M ei 2015, 16.30 W ib
33
dipulihkan.
45
Lahirnya AM AN, memberikan kontribusi yang besar bagi gerakan
perlawanan masyarakat adat di seluruh nusantara dalam memperjuangkan haknya sampai saat ini. 1.4.2.2. Gerakan Masyarakat adat B atak Terbentuknya JAPHAM A pada tahun 1993, sebagaimana disebutkan di atas, diikuti oleh tokoh perempuan adat Batak dari Sugapa, Tapanuli U tara (sekarang masuk di wilayah Toba Samosir), Nai S inta boru Sibarani. Keikutsertaan perempuan Batak yang satu ini tidak terlepas dari kegigihannya bersama dengan sembilan ibu lainnya dari Desa Sugapa melakukan perlawanan terhadap PT IIU. Perlawanan ini dilatarbelakangan perampasan tanah adat mereka yang disebut dengan perladangan Barimbing seluas 52 hektar. Nai Sinta merupakan istri dari marga Barimbing keturunan dari Raja Sidomdom Barimbing.
Barimbing adalah nama M arga yang
bermukim di desa tersebut selain marga Naipospos. Tanpa sepengetahuan masyarakat adat Barimbing, tanah tersebu t diserahkan oleh kepala desa Sugapa dan Camat Silaen kepada pihak PT IIU dengan menerima pago-pago
46
dari pihak IIU sebesar R p.12.500/hektar. Buntut dari pemberian tanah
ini, pihak perusahaan mengklaim bahwa mereka sudah sah memiliki tanah tersebut dan menanami eukaliptus di perladangan tersebut. Tindakan inilah yang membuat keturunan M arga Barimbing yang ada di Desa tersebut melakukan perlawanan
45
Fauzi, Noer Rachman, dkk, Laporan Studi Reforma Tenurial di Indonesia , Samdhana Institute dan Right and Resources Initiative (RRI), ,2014 46 Pago-Pago dalam budaya Batak merupakan pemberian berupa uang saksi kepada pihak ketiga pertanda atas adanya sebuah keputusan atau kesepakatan atas sebuah persoalan. Pago -pago . bukan uang hasil pembelian.
34
dengan mencabut tanaman eukaliptus PT IIU. Akibat tuduhan pengrusakan tanaman ini kesepuluh ibu-ibu ini ditahan dan divonis bersalah dengan penjara enam bulan oleh PN Tarutung.
47
Namun para perempuan adat tersebut melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan kebebasan dan juga kembalinya tanah adat mereka. M ereka didampingi KSPPM bersama dengan ornop lainnya, mengadu ke M enteri Dalam Negeri , Rudini, di Jakarta. Perjalanan panjang perjuangan mreka membuahkan hasil, selain mendapat kebebasan, tanah adat mereka juga dikembalikan. Perlawanan di atas merupakan salah satu contoh perlawanan masyarakat adat di Tapanuli di akhir tahun 1980-an. M asih ada beberapa kelompok masyarakat adat yang melakukan perlawanan, seperti masyarakat adat B ius Lontung Sinaga Situmorang 15 Turpuk di Parbuluan, Dairi. Pada tahun 1990, masyarakat adat ini melakukan perlawanan terhadap PT Agro Citra Wahanamas Gemilang (ACWG) yang merampas tanah adat mereka.
Gerakan perlawanan ini juga berjalan cukup
lama, hampir sepuluh tahun, sampai akhirnya tanah tersebut tidak jadi dikelola oleh perusahaan. Namun perlawanan sempat menimbulkan konflik horizontal antara kelompok bius yang ada di w ilayah tersebut.
48
Perlawanan masyarakat adat di Tanah Batak tersebut dipicu oleh semangat industrialisasi yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat dan hak - haknya.
47
Tumiur, Saur Situm orang, Sepuluh O rang dari Sugapa, M embebaskan Tanah Adat da ri Cengkeraman Inndorayon, dalam Gomar Gultom (Ed), Bunga Rampai Tulissan Dalam 50 Tahun Pendeta Nelson Siregar, Spritualitas Pemberdayaan Rakyat, Parapat, KSPPM , 2003. 48 http:/www.ksppm.or.id/Prakarsa diakses 15 Mei 2015, pukul 17.30 W ib
35
M asyarakat Batak pada dasarnya bukanlah masyarakat yang anti pada industrialisasi, hal ini terlihat dari kesediaan pemerintah daerah, tokoh adat dan tokoh masyarakat memberikan tanah untuk lokasi pembangunan pabrik pulp dan rayon PT IIU Desa Sosorladang,
Porsea, Tapanuli U tara (setelah pemekaran menjadi Toba Samosir).
Namun semangat menyambut industrialisasi tersebut tidak bertahan lama, karena berbagai kekhawatiran terkait
pencemaran lingkungan mulai muncul dari tokoh -
tokoh gereja dan intelektual Batak. Kekhawatiran itupun menyatu dengan semakin banyaknya
bencana
lingkungan
yang
terjadi
paska
operasional
PT
IIU.
Ketidakpuasaan dan keresahan masyarakat pun meluas dan melahirkan perlawanan perlawanan kecil.
49
Perlawanan-perlawanan yang muncul pada masa itu menggunakan isu yang sangat beragam, ada isu hak adat Batak, tanah ulayat, mempertahankan bona pasogit (kampung halaman), pemiskinan, dan pendemaran lingkungan. Kelima Isu ini, menurut Silaen, tidaklah berdiri sendiri, justru saling berhubungan, sehingga isu yang satu bisa saja mengartikulasikan isu-isu yang lainnya, dan begitu sebaliknya.
50
Gerakan yang muncul tidak secara spesifik menyebut dirinya gerakan masyarakat adat Batak, namun S ilaen menyebutkan bahwa gerakan itu diperkuat oleh budaya Batak, khususnya terkait dengan nilai-nilai “kekeluargaan, kebersamaan, dan kekuatan”, ikatan dalihan natolu, ikatan genealogis, bahkan seluruh adat istiadat
49
M analu, Dimpos, Perjalanan Panjang Perlawanan M ASYARAKAT Batak M enentang Industri P ulp dan Paper di Tapanuli 1986-2001; Jurnal W acana, INSIST Press, 2012 50 Silaen, Viktor, Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta, IRE Press, 2006. P.320
36
mereka” dan menjunjung tinggi nilai hasangapon (kehormatan).
51
Nilai-nilai budaya
Batak ini di satu sisi memang mendukung gerakan, namun disayangkan nilai -nilai itu seperti pedang bermata dua yang digunakan oleh pihak perusahaan memperlemah gerakan rakyat. Indorayon juga melakukan pendekatan kultural melalui para elit Batak di Jakarta yang sejak awal memuluskan kehadiran Indorayon di Porsea, antara lain M ayor Jenderal (Purnawirawan) Agus M arpaung, Sabam Sirait, dan Dr. M idian Sirait.
52
M asyarakat adat Batak dalam melakukan perlawanan -perlawanannya, juga didukung oleh jejaring yang luas, dari tingkat lokal, regional, nasional sampai internasional. Luasnya jejaring ini didukung oleh bergabungnya mahasiswa dan Organsiasi N on Pemerintah (Ornop) dalam gerakan. M asih menurut Silaen, dikutip dari David C Kohen, bahwa pada masa itu khususnya di A sia Tenggara telah berkembang harapan yang besar terhadap Ornop.
53
Gerakan perlawanan masyarakat Batak terhadap PT IIU/TPL sejak tahun 1986 sampai dengan saat ini memiliki dinamikanya sendiri-sendiri. Perlawanan mengalami pasang surut, namun tidak pernah mati, embrio-embrio perlawanan tetap muncul dari berbagai daerah di tanah Batak. Dan di era tahun 2000-an, perlawanan pada umumnya terkait dengan perampasan tanah adat. Karena isunya adalah tanah dan
51
Ibid; P.323 M analu, Dimpos, Perjalanan Panjang Perlawanan M asyarakat Batak M enentang Industri Pulp dan Paper di Tapanuli 1986-2001; Jurnal W acana, INSIST Press, 2012; P. 160. 53 Silaen, Viktor, Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta, IRE Press, 2006. P. 309 52
37
sumber daya yang berada di w ilayah adat, maka perlawanan -perlawanan yang muncul belakangan menggunakan istilah gerakan masyarakat adat Batak. 1.4.2.3. Membaca Realitas Gerakan Masyarakat Batak Toba Melalu i Konsep Identitas Kolektif Melucci M emilih menggunakan konsep identitas K olektif M elucci untuk membaca fenomena gerakan masyarakat adat batak ini bukan tanpa alasan. Setidaknya ada beberapa gagasan tentang identitas kolektif yang mendorong penulis menggunakan pendekatan ini, sebagaimana dikatakan oleh M elucci: Pertama, bahwa gagasan identitas kolektif ini relevan dengan literature sosiologi karena memberi pandangan yang luas dan dinamis. Adanya ruang sosial sebagai bagian dari konstruksi gerakan tidak sebatas defenisi formal (bahasa, dokumen, opini anggota), namun
selalu ada negosiasi yang aktif, sebagai kerja interaktif antar
individu, kelompok, atau bagian dari gerakan. K onsep identitas kolektif tidak hanya mempertimbangkan bentuk dari tindakan dan wacana kepemim pinan, lebih dari itu identitas kolektif melihat bentuk yang tidak terlihat dan men c oba mendengar suarasuara yang diam. Konsep identitas kolektif tidak hanya melihat proses mo bilisasi, bentuk organsiasi, model kepemimpinan, ideologi dan bentuk komunikasi. Tetapi juga hubungan dengan pihak luar, mendefenisikan ruang peluang dan tantangan di mana aktor kolektif terbentuk, pelanggengan diri dan perubahan yang terjadi. Penulis ingin melihat semua proses negosiasi ini dalam Gerakan masyarakat adat Batak dalam rangka memperoleh pengakuan dari pihak lain.
38
Kedua, konsep ini juga berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik atas bentuk sifat dan makna yang muncul dari tindakan kolektif d alam sistem yang berbeda. Perkembangan analisis gerakan sosial saat ini menjadikan studi tentang gerakan sosial menjadi lebih otonom, tidak lagi mengacu hanya pada solidaritas atau jalur konvensional representasi politik. Gerakan kontemporer muncul dari ja ringan solidaritas dengan makna budaya yang kuat. Dalam kajian ini, penulis juga ingin melihat bagaimana proses terbangunnya jaringan solidaritas yang berakar pada nilai nilai budaya. Ketiga, M elalui tahap identifikasi spesifik masuk pada konstruksi identi tas kolektif, kita dapat melihat gerakan sebagai sistem tindakan, memiliki jaringan yang kompleks antara tingkat dan makna yang berbeda. Sebelumnya, studi konflik digunakan
menganalisis
kon disi
sosial
kelompok
dan
dari
hasil
analisis
menyimpulkan penyebab tindakan kolektif. M elalui konsep ini penulis juga tidak sekedar ingin mencari tahu peneyebab munculnya tindakan kolektif tersebut, tetapi ingin mengidentifikasi ruang sosial di mana konflik muncul dan menjelaskan bagaimana gerakan sosial bertindak. Keempat, konsep identitas kolektif memiliki konsekuensi penting dalam menjelaskan beberapa
kesalahpahaman dalam
gerakan sosial baru.
Gerakan
kontemporer, seperti pada umumnya fenomena kolektif, bukan perkara “baru” atau “lama” tetapi merupakan tindakan yang sama-sama melibatkan berbagai tingkat struktur
sosial.
Gagasan
identitas
kolektif
membantu
menggambarkan
dan
menjelaskan koneksi antara unit yang jelas, di mana titik poinnya harus selalu empiris
39
dan menggaris bawahi keragaman, yang dapat dideteksi hanya ole h alat analisis yang sesuai. Kelima, konsep identitas kolektif merupakan catatan tentang pentingnya pengakuan keberagaman dalam tindakan kolektif. Gerakan kontemporer, pada kondisi tertentu, bersama
menenun berbagai makna, warisan masa lalu, dampak
modernisasi, perlawanan perubahan. Kompleksitas, pengurangan, intrik makna semantik tindakan sosial adalah kontribusi dasar yang oleh konsep identitas kolektif dapat membawa ruang studi gerakan sosial. M elihat lebih jauh dan mendalam aspek konstruksi identi tas kolektif gerakan masyarakat adat Batak bagi penulis menjadi sangat menarik. Karena gerakan yang diawali dengan
gerakan petani kemenyan yang
merasa sumber kehidupannya
terancam karena hadirnya industri yang merusak dan mengambil alih hutan kemenyannya, mampu membangun sebuah identitas kolektif baru sebagai masyarakat adat. Di mana identitas baru tersebut terinternalisasi dalam kehidupan setiap aktor yang terlibat dalam gerakan. Gerakan petani kemenyan di dua desa tersebut menurut penulis menjadi cikal bakal lahirnya gerakan masyarakat adat Batak yang mampu melibatkan berbagai pihak. Perlawanan M asyarakat A dat Batak terhadap perampasan hak -hak atas tanah dan sumber daya alam yang ada di w ilayah konsesi P T TPL merupakan sebuah gerakan perlawanan sejumlah warga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri.
Adanya tuntutan akan sebuah pengakuan terhadap identitas dan budaya
40
mereka yang selama ini diabaikan oleh negara. Tuntutan terhadap tanah dan sumber daya tidak semata-mata disebabkan oleh adanya keterancaman dari aspe k ekonomi dan sosial politik. Namun ada nilai yang lebih dalam yang hendak mereka perjuangkan sebagai masyarakat adat, di mana nilai itu terleta k pada adanya sebuah pengakuan dan perlindungan atas identitas dan budaya mereka. Identitas dan budaya yang diperjuangkan tersebut melekat dalam perjuangan akan tanah dan sumber daya alam yang mereka miliki. Bagaimana mereka membangun, memelihara , dan merekonstruksi identitas kolektif tersebut sehingga mampu mengidentifikasi siapa “kami” dan siapa “mereka”, siapa “kawan” dan siapa “lawan”.
1.4.3.
TINJ A UA N S TU DI-S T UD I TER DA HU LU
Sudah banyak penelitian menggunakan analisis gerakan sosial baru berbasis budaya.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh D’ A ndrea tentang
perjuangan petani Katu melawan Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dalam memperoleh pengakuan. D’Andrea dengan gamblang menceritakan bagaimana petani Katu yang didukung oleh para aktifis membangun identitas kolektif sebagai masyarakat adat. Sampai akhirnya berhasil memenangkan pengakuan negara atas wilayah adat mereka. M asyarakat adat Katu, tidak hanya terlepas dari ancaman relokasi ke wilayah rawa akibat rencana proyek Bank Pembangunan Asia untuk membangun taman konservasi di tahun 1995. Tetapi perjuangan petai kopi yang didukung para aktifis
41
tersebut berhasil mengukuhkan klaim
mereka sebagai masyarakat adat dan
memperoleh pengakuan. Sebuah keberhasilan yang belum banyak dicapai oleh gerakan masyarakat adat di nusantara ini. Di bulan April 1999, kepala taman nasional mendengar kasus mereka dan mengakhiri protes terhadap pemindahan Katu dengan satu keputusan resmi memberikan pengakuan terhadap klaim -klaim adat mereka di dalam taman.
54
Disertasi ini tidak hanya membahas strategi yang digunakan oleh petani Katu dalam me-“romantisasi” adat, untuk mencapai tujuan mereka. Tetapi juga menelusuri efek dari pengakuan tersebut melalui telaah atas perubahan dari rancangan pemilikan dan tenaga kerja, dan lahirnya identitas adat. Pengakuan yang juga menggiring petani Katu menggunakan kapasitas produksi tanah mereka untuk menguatkan dan menegaskan indigenous dan adat mereka, atau customary instituion, melalui praktekpraktek baru akumulasi modal.
55
Dalam disertasi tersebut D ‘Andrea menjelaskan bagaimana perjuangan petani Katu yang berada tidak hanya dalam konteks praktek kehidupan lokal mereka . Tetapi pada tingkat yang lebih luas bergerak dalam arena politik nasional dan juga perjuangan lingkungan tingkat global. Berhasil membangun aliansi jaringan yang luas dengan memanfaatkan isu-isu global konservasi internasional. Studi etnografi ini menjelaskan setiap proses pembuatan aturan -aturan adat baru di Katu yang menguatkan klaim bahwa petani Katu adala h merupakan komunitas 54
D’Andrea, Claudia Fransesca, Kopi, Adat dan M odal;Teritorialisasi dan Identitas ADAT DI Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi tengah, Tanah Air Beta, Yogyakarta, 2013. 55 Ibid
42
yang juga menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Hukum adat baru tersebut memuat tentang berbagai larangan dan kewajiban merek a sebagai masyarakat adat untuk menjaga hutan, tdak terkecuali dengan aturan tidak boleh menjual dan memb eli tanah w ilayah adat mereka. Paska pengakuan terhadap petani Katu D’Andra menemukan adanya nilai baru hutan bagi Petani Katu, di mana ada kesadaran untuk memelihara kenekaragaman varietas flora dan fauna yang ada di Hutan. Kesadaran ini terlihat dari kesepakatan mereka membentuk hutan lindung di dekat desa yang tidak seorang pun bisa bertani di sana, serta menentukan adanya area hutan yang tidak boleh diambil hasil hutannya.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
ekologi politik yang berdasar pada pe rdebatan perubahan agraria dan literatur mengenai kepemilikan dan teori praktek sosial untuk menunjukkan peran aktif petani Katu dalam mengkonfigurasi kembali praktek dan identitas adat mereka dengan 56
melawan mitos tentang adat dan wacana globalisasi di Ind onesia paska reformasi. . Namun, kajian dalam tesis ini memiliki perbedaan khusu snya dalam soal rezim yang dihadapi, jika kajian D ‘Andrea M syarakat Katu menghadapi rezim konservasi (Taman Nasional) kajian dalam Tesis ini masyarakat adat Batak menghadapi rezim Perusahaan Hutan tanaman Industri. Jenis rezim dan kesempatan politik yang tersedia sangat menentukan bentuk dan jenis gerakan yang dilahirkan dan strategi yang digunakan.
56
D’Andrea, Claudia Fransesca, Kopi, Adat dan M odal;Teritorialis asi dan Identitas ADAT DI Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi tengah, Tanah Air Beta, Yogyakarta,2013
43
Di samping penelitian di atas kajian ini juga ingin membandingkan dengan dua penelitian terdahulu tentang gerakan sosial di Sumatera Utara. Walau tidak menggunakan konsep identitas kolektif, namun kedua penelitian di bawah ini juga mengambil setting di w ilayah yang sama dengan penelitian ini. Pertama, Disertasi Viktor S ilaen tentang Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir. Di mana dalam disertasi tersebut, penulis mengatakan bahwa Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir adalah sebuah Gerakan Sosial Baru, dengan meng acu pada
pandangan sejumlah teoritisi gerakan sosial Touraine, Auda, Eskobar, dan
Alvarez, dan Cohen. Dengan mencoba meringkas pandangan mereka bahwa: “Gerakan sosial baru berupaya untuk mengerahkan bagian -bagian dan kelompok-kelom pok yang tertindas atau tereksploitasi dalam cara yang “baru” atau berbeda, khususnya melalui “proses-proses kapitalisme modern”. Bagi mereka, gerakan sosial baru muncul sebagai gerakan yang terutama “berisu tunggal”, mungkin banyak yang berharap bahwa dengan memutuskan suatu isu tunggal, misalnya isu kedudukan sosial perempuan yang malang, akan menuju pada kecenderungan progressif di dalam masyarakat secara lebih umum. Viktor Silaen dalam disertasinya
57
juga menjelaskan keberagaman isu yang
saling terkait dalam gerakan perlawanan masyarakat Porsea dan jejaringnya, antara lain; 1) isu hak adat Batak; 2) isu tanah ulayat; 3) isu mempertahankan bona pasogit
57
Silaen, Vikctor, Gerakan Sosial Baru; Perlawanan Komunitas Lokal Pada Kasus Indorayon di Toba Samosir, Yogyakarta, IRE Press, 2006. Hal 35.
44
(kampung halaman); 4) isu pemiskinan; 5) isu pencemaran lingkungan. Selain isu yang beragama, penelitian ini juga menekankan spirit perjuangan yang mendorong gerakan perlawanan tersebut solid dan kuat adalah budaya Batak. Namun, disertasi ini lebih banyak menjelaskan pada soal bagaimana terbentruknya gerakan sosial baru dari perlawanan msyarakat adat. Sementara kajian dalam Tesis ini lebih melihat pada dinamika dan proses masyarakat adat Batak melakukan konstruksi identitas kolektif dalam memperjuangakan pengakuan dari negara atas
keberadaan dan hak-hak
tradisionalnya. Dengan cara melakukan identifikasi ruang-ruang sosial, melakukan proses negosiasi, interaksi dan komunikasi dalam membangun solidaritas dan memelihara
ikatan emosional untuk mencapai tujuan bersama
mendapatkan
pengakuan atas wilayahnya.
Kedua, Tesis dari Dimpos M analu tentang Gerakan Sosial dan perubahan Kebijakan Publik, Studi Kasus Gerakan Perlawanan M asyarakat Batak Versus PT inti Indorayon Utama. Penelitian ini lebih menekankan pada perkembangan gerakan perlawanan masyarakat Batak di Porsea dan sekitarnya dan keberhasilan gerakan tersebut mendesak serangkaian kep utusan dan kebijakan pemerintah mengenai Indorayon, mulai pemerintahan dari level kabupaten hingga pemerintah pusat. Selain itu juga gerakan perlawanan tersebut mampu mendorong terjadinya perubahan struktur operasi dan gaya manajemen Indorayon.
58
58
Tesis ini berorientasi pada
M analu, Dimpos, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik ; Studi Kasus Gerakan Perlawanan M asyarakat Batak Versus PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara, Yogyakarta,
45
pengaruh gerakan sosial
terhadap kebijakan publik, namun kurang melihat pada
proses pembentukan tindakan kolektif dari perlawanan masyarakat adat Batak yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini. Dari kajian dan studi sebelumnya, dapat dilihat persamaan dan perbedaan dengan kajian dalam penelitian tesis ini. Di antara persamaan penelitian dalam tesis ini dengan disertasi D’Andrea; Pertama, bahwa perlawanan ini dilatarbelakangi oleh adanya ketidakadilan akibat saling klaim antara masyaraka t lokal dengan negara (perusahaan). Kedua, petani Katu dan Petani Kemenyan di Pandumaan Sipituhuta sama-sama mengkonstruksi identitas kolektif mereka untuk mendapatkan pengakuan dari negara. Jika C laudia menggunakan istilah me -romantisasi adat, maka petani kemenyan menggunakan istilah me-rekonstruksi identitas kolektif. Ketiga, kedua komunitas adat mendapat dukungan aliansi jaringan aktifis baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional dengan sama -sama memanfaatkan isu-isu global seperti konservasi lingkungan, perempuan dan isu-isu Hak A sasi M anusia. Sedangkan hal yang membedakan penelitian saya dengan disertasi Claudia adalah, Pertama, bahwa jika Petani K uta melawan Rezim Taman Konservasi Nasional, maka Petani Kemanyan melawan rezim kehutanan (H TI) . Perbedaan ini berimplikasi terhadap proses negosiasi dan strateg -strategi yang dilakukan. Kedua, Disertasi Claudia membahas tentang proses romantisasi identitas kolektif petani Katu sejak awal perjuangan sampai paska keberhasilan mereka mendapatkan penga kuan.
Gajah M ada University Press bekerja sama dengan Ke lompok Studi dan Pengembangan Praka rsa M asyarakat (KSPPM ), 2009
46
Sementara
tesis
ini menggambarkan rekonstruksi
identitas
kolektif gerakan
masyarakat Batak untuk mendapatkan pengakuan. Sedangkan persamaan penelitian dalam tesis ini dengan penelitian V iktor Silaen adalah bahwa gerakan sosial yang muncul melakukan perlawanan terhadap perusahaan yang sama, walau berbeda nama. PT Inti indorayon U tama adalah perusahaan yang sama dengan PT Toba Pulp Lestari. Namun fokus dari gerakan sosial yang diteliti oleh Viktor Silaen adalah komunitas lokal yang berada di daerah Toba Samosir yang terkena dampak kehadiran PT Inti Indorayon. Sedangkan penelitian saya lebih pada gerakan masyarakat adat Batak yang muncul di wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari. Perbedaan lain penelitian saya dengan disertasi Viktor Silaen adalah pada aspek identitas kolektif yang dibangun oleh gerakan. Dalam penelitian tersebut V iktor Silaen, sebagaimana dikatakan oleh George Junus Aditjondro dalam kata pengantar buku disertasinya, mengatakan bahwa “Akar budaya Batak” adalah “spirit perjuangan
rakyat m elawan Indorayon”.
Pada
penelitian saya, fokusnya adalah bagaimana gerakan masyarakat adat Batak merekonstruksi identitas kolektif masyarakat Batak yang ada sebelumnya dan sudah mulai tergerus sehingga mampu menjadi spirit gerakan, sekaligus membangun identitas kolektif gerakan masyarakat adat itu sendiri. Sementara itu, persamaan kajian dalam tesis ini dibandingkan dengan Tesis Dimpos M analu adalah kesamaan dalam membahas tentang gerakan sosial yang muncul akibat kehadiran industri di Tanah Batak. Namun setting penelitian M analu fokus pada gerakan perlawanan di Porsea dan sekitarnya yang digerakkan oleh isu
47
lingkungan hidup. Sementara penelitian saya lebih fokus pada gerakan masyarakat adat Batak terkait dengan masifnya perampasan tanah -tanah adat di Tanah Batak paska operasional PT Toba Pulp Lestari.
Selain itu, jika D impos M analu
menekankan gerakan perlawanan dan perubahan kebijakan publik, maka penelitian saya untuk menjawab bagaimana proses membangun identitas kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Setelah mendiskusikan persamaan dan perbedaan dengan kajian sebelumnya posisi dari kajian tesis ini adalah mendalami lebih jauh persoalan proses konstruki gerakan kolektif M asyarakat A dat Batak Toba dalam memperjuangakan pengakuan dari negara atas keberadaan dan hak-hak tradisionalnya. Pendasaran
tujuan tesis ini adalah penjelasan bahwa aksi kolektif yang
dibangun oleh gerakan masyarakat adat Batak bukanlah sebuah realitas yang bersifat “given”, namun
merupakan produk dari upaya gerakan sosial menkons truksi
koherensi internal untuk memahami siapa “kita” dan siapa “mereka”. Sehingga “kita” mampu menguraikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi dan bagaimana mengatasinya. Perlawanan masyarakat adat Batak akan kuat dan solid jika semua aktor gerakan mampu membangun identitas kolektifnya. Perspektif M elucci dalam mendefinisikan tentang pembentukan identitas kolektif menjadi dasar u tama perspektif dalam kajian tesis ini.
48
1.5.
M ET ODE
P E NEL IT IA N
1.5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian dan Informasn Penelitian ini mengambil setting
di Desa Pandumaan dan Sipituhuta,
Kecamatan Pollung, Kabupaten H umbang Hasundutan, Sumatera Utara. Paska berakhirnya gerakan perlawanan melawan PT IIU/TPL di awal tahun 2000 -an, gerakan perlawanan yang kuat dan solid hingga saat ini adalah ge rakan yang muncul dari dua desa ini. D i wilayah Tapanuli, masih terdapat banyak komunitas adat, namun tidak semua berani melakukan perlawanan terhadap perusahaan dan negara untuk mendapatkan pengakuan. Gerakan yang muncul dari dua desa ini menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan perlawanan dari komunitas adat Batak lainnya yang ada di Tanah Batak. Selain para actor gerakan masyarakat adat di lokasi tersebut, informan lain yang memiliki peran penting dalam penelitian ini adalah organisasi-organisasi jaringan masyarakat adat yang ada di Sumatera U tara dan juga Jakarta, seperti Kelom pok Studi dan Pengembangan Prakarsa M asyarakat (KSPPM ) di Parapat, Sumatera Utara, Aliansi M asyarakat Adat Nusantara (AM AN) Tano Batak , AM AN Pusat, YAKOM A PGI dan PGI di Jakarta.
1.5.2. PEN DE KAT AN P EN ELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode etnografi untuk menggambarkan sebuah fenomena sosial
dengan teliti, kredibel dan otentik berdasarkan suara -suara yang
49
berasal dari konteks lokal, dari cara pandang masyarakat lokal tentang keseharian mereka dalam komunitasnya.
59
M elalui pendekatan ini penulis menggunakan nilai-
nilai budaya menginterpretasikan perilaku masyarakat adat Batak Toba dalam membangun gerakan kolektif untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisionalnya. Penelitian etnografi mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial dengan beberapa ciri khas, seperti: Pertama, menekankan upaya eksplorasi terhadap hakikat/sifat dasar fenomena sosial tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atau fenomena tersebut; Kedua, bekerja dengan data tak berstruktur; Ketiga; penelitian terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail; dan Keempat, menganalisis data yang meliputi interpretasi makna dan fungsi berbagai tindakan manusia secara eksplisit sebagai sebua h produk yang secara umum mengambil bentuk-bentuk deskripsi dan penjelasan verbal tanpa harus terlalu banyak memanfaatkan analisis kuantifikasi dan statistik.
1.5.3. PEN GU M PUL AN D AT A 1.5.3. 1.
DA N
60
A NA LIS IS D AT A
TEK NIK P EN GUM P ULA N D AT A
Peneliti sejak awal sudah memilih fok us penelitian ini, karena sebelumnya peneliti sudah terlibat aktif dalam mengamati gerakan masyarakat adat Batak ini. Bekerja di sebuah Lembaga Swadaya M asyarakat bernama Kelompok Studi dan 59
Fetterman, David M , Ethnography; Step by Step, 3 rd, Sage Publication Ltd, Londo, 2010 Atkinson, Paul & M artyn Hammersley. Etnografy dan Observasi Partisipan. Dalam Denzin K.Norman & Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Res earch. Yogyakarta. Pustaka Belaja r. 2009
60
50
Pengembangan Prakarsa M asyarakat (KSPPM ), membuat peneliti banyak terlibat dalam beberapa kegiatan gerakan-gerakan sosial yang ada di w ilayah pendampingan KSPPM di Sumatera Utara. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yakni: a. Observasi partisipan, karena metode yang digunakan adalah etnog rafi, maka observasi yang saya lakukan adalah observasi partisipan atau pengamatan terlibat. Sehingga peneliti mampu menangkap pola perilaku, nilai-nilai dan kebiasaan yang ada dalam gerakan mas yarakat adat di Tanah Batak. Dalam observasi partisipan peneliti banyak terlibat dalam kegiatankegiatan Gerakan M asyarakat Adat Batak ini, seperti rapat-rapat pengurus gerakan, diskusi-diskusi di desa, dengar keterangan saksi dalam Inkuiri Nasional K omnas HAM tentang masyarakat adat yang dilakukan di M edan pada September 2014 lalu dan kegiatan-kegiatan lain yang membuat peneliti bisa mengamati langsung proses konstruksi identitas kolektif dalam gerakan tersebut. Peneliti membuat rekaman atau catatan harian setiap peristiwa yang diperoleh dari pengamatan terlibat d an partisipan yang diteliti. Rekaman dan catatan harian ini kemudian peneliti tuliskan sebagai temuan lapangan. b. Wawancara mendalam terhadap informan-informan penting yang sudah ditetapkan. Peneliti selama enam bulan melakukan wawancara mendalam
51
dengan pengurus-pengurus Gerakan M asyarakat Adat tersebut, juga dengan para pihak yang terlibat di dalamnya.
A dapun informan yang
diwawancarai oleh peneliti adalah James Sinambela (Ketua M asyarakat Adat), Pdt. Haposan Sinambela (Tokoh agama yang juga bagian dari gerakan), Kersi Sihite (sekretaris), Budiman Lumban Gaol (Kepala Desa Pandumaan), Sartono Lumban Gaol (Koordinator), Rusmedia Lumban Gaol (Tokoh perempuan adat dari Sipituhuta), Christina Simamora (tokoh perempuan adat dari Pandumaan), Edison Lumban Gaol (anggota komunitas adat), Lambok Lumban Gaol (tokoh pemuda adat), Ama Risma Lumban Batu (koordinator Sipituhuta), M animbul Nainggolan (tokoh adat marga nainggolan), Suryati Simanjuntk (Sekretaris Eksekutif KSPPM ), Pdt. Gomar Gultom (Sekum PGI), Irma Riama Sima njuntak (Direktur Yakoma PGI), Roganda S imanjuntak (Ketua BPH AM AN Tano Batak), David Rajagukguk (Staf KSPPM , dan Abdon Nababan (Sekjen AM AN).
Peneliti memilih informan dari komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta mewakili pengurus komunitas adat, anggota kom unitas adat, tokoh marga, pemuda adat dan tokoh perempuan adat yang terlibat sejak awal pembentukan gerakan. Selain itu peneliti juga memilih informan dari pengurus dan staf lembaga pendamping lokal, jaringan gereja dan ornop nasional yang mendukung gerakan tersebut untuk mengetahui peran dan alasan mereka mendukung gerakan tersebut.
52
c. Diskusi kelompok terarah, merupakan kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah. Diskusi kelompok terarah dilakukan sebanyak lima kali dengan orang-orang yang berbeda. Diskusi Kelompok Terarah ini bertujuan untuk mencari informasi tambahan sekaligus
melakukan
klarifikasi
terhadap
informasi-informasi
yang
diperoleh sebelumnya. d. Studi literature/dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diteliti, baik dalam bentuk laporan-laporan, kliping K oran atau majalah, film -film pendek, dan dokumentasi photo..
1.5.3.2.
Tehnik Analisis Data Salah satu yang menjadi ciri khasnya penelitian etnografi sebagaimana
disebutkan di atas adalah proses analisis data yang mel iputi interpretasi makna dan fungsi berbagai tindakan manusia secara eksplisit sebagai sebuah produk yang secara umum mengambil bentuk-bentuk diskrripsi dan penjelasan verbal tanpa harus banyak memanfaatkan analisis kuantitatif dan statistik. Penulis
melakukan
analisis
data
secara
menyeluruh
(holistik)
yaitu
menghubungkan antara fenomena budaya yang satu dengan fenomena budaya lainnya atau menghubungkan konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Analisis data dalam etnografi ini tidak bisa dipisahkan da ri pengumpulan data. Ssetiap kali ada data yang terkumpul, penulis langsung membuat catatan etnografis untuk menjaga agar data dan informasi terdokumentasi dengan baik, sekaligus untuk mengetahui data apa
53
lagi yang diperlukan pada observasi berikutnya . Catatan etnografis ini meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar/video, artefak dan benda lain yang memberikan gambaran yang jelas tentang suasanan budaya yang penulis teliti.
54