FILSAFAT NILAI DALAM PANDANGAN HAMKA Pangulu Abdul Karim Nasution Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara Jl. Williem Iskandar Psr. V Medan Estate, 20371 – Medan e-mail:
[email protected]
Abstrak: HAMKA is known as a scholars, writer, commentator, philosopher, and even politician, although public knows him more as a scholar. He was the figure of Islamic thoughts containing many philosophical thoughts about value, life, and devotion to God (Sufism), and other thoughts on various aspects of life. Basically, HAMKA’s thoughts of the philosophy of value is a moderate form of thinking. In determining the value of an attitude or behavior, he tent to put things in proportion, not one-sided. This is of course in accordance with wasathiyyah concepts taught in Islam, that true happiness or true value and remains relevant at all times is not measured by materialistic values, because all worth materialistic is temporary. The value of happiness is in the form of spiritual (soul, spirit, mind, and heart), that promises eternal happiness and intrinsic worth.
Kata Kunci: Filsafat Nilai, Hamka. A. Pendahuluan
H
AMKA dikenal sebagai ulama, sastrawan, mufassir, filosof, bahkan politikus, meskipun masyarakat awam lebih mengenalnya dengan sosok ulama. Beliau adalah tokoh pemikiran Islam yang banyak memiliki pemikiran filsafat tentang nilai, hidup, dan pengabdian kepada Tuhan (tasawuf), dan pemikiran-pemikiran lainnya di berbagai lini kehidupan. Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan sosok kepribadian Buya HAMKA maupun pemikiran-pemikiran filosofisnya, sehingga pemikiran-pemikiran tersebut tetap bisa mempengaruhi pola pikir dan pemikiran generasi sekarang, terlebihlebih dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan prinsip hidup dan nilai-nilai yang harus dipedomani oleh setiap diri, agar orientasi hidupnya tidak melenceng dari tujuan semula. Tentu saja, hal yang terlebih dahulu dibahas dalam makalah ini adalah riwayat hidupnya yang terdiri dari latar belakang internal dan eksternal, dan selanjutnya menelusuri pemikiran demi pemikirannya, untuk selanjutnya dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap pemikiran tersebut. Secara umum, nilai bagi Hamka adalah ukuran dari kebaikan dan kebenaran dari sesuatu sikap, barang, atau apa saja, di mana sesuatu itu berpotensi semakin mendekatkan jiwa kepada Tuhan, sedangkan yang tidak bernilai adalah ukuran ketidakbaikan dan ketidakbenaran dari sesuatu di mana sesuatu itu berpotensi untuk menjauhkan jiwa dari Tuhan.
90
Pangulu Abdul Karim Nasution : Filsafat Nilai Dalam Pandangan HAMKA
B. Riwayat Hidup HAMKA Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian namanya disingkat menjadi HAMKA, akrab dipanggil dengan Buya HAMKA. HAMKA lahir pada tanggal 16 februari 1908 M (13 Muharram 1326 H), di desa Tanah Sirah, di Nagari Sungai Batang, di Tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat. HAMKA diasuh dan dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. (HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup.9) Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amrullah, gelar tuanku Kisai bin Tuanku Abdullah Saleh. (HAMKA, 1984: 188-189 dan Azra, 1998: 3). Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dan pelajaran membaca Alquran dari ayahnya. Di usia enam tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang, sebuah kota dengan gairah pendidikan keagamaan di Nusantara pada waktu itu. Pada usia tujuh tahun, ia dimasukkan ke sekolah desa yang dijalaninya sekitar tiga tahun dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Meskipun ayahnya seorang yang fanatik dalam agama, namun HAMKA tidak kaku menghadapi ayahnya. (HAMKA, 1982: 186-187). Selanjutnya, HAMKA melanglang buana untuk mencari ilmu dan pengalaman ke tanah Jawa, tepatnya Yogyakarta dan Pekalongan, di rumah kakaknya yang menjadi istri A.R. Sutan Mansur, guru yang sangat kuat membentuk kepribadiannya. (HAMKA, 1982: 2). Adapun guru-guru Buya HAMKA yang disadarinya sangat mempengaruhi pemikirannya setelah ayahnya adalah Abdul Hamid Tuanku Mudo (guru Fiqh di Pesantren Thawalib Padang Panjang), Engku Zainuddin Labay el-Yunusy (guru di pesantren Diniyyah) yang tidak hanya membentuk perkembangan intelektualnya, tetapi juga pembentukan watak atau karakter (transfer of value), walaupun kebersamaan mereka hanya sebentar, karena sang guru tersebut meninggal dunia pada saat HAMKA berusia 14 tahun, A.R. Sutan Mansur, H. Fachroedin (Wakil Ketua P. B. Muhammadiyah), K. H. Mas Mansur (guru Filsafat), H. O. S. Tjokroaminoto (guru yang mengenalkan tentang ilmu pengetahuan Barat dalam pemikiran sosilogis), A. Hassan Bandung, M. Natsir. (HAMKA, 1994: 2). Pendidikan yang ia mulai dari rumah, sekolah, Diniyah dan surau sangat besar pengaruhnya dalam jiwanya dan membentuknya menjadi sosok seperti yang kita saksikan melalui karya-karyanya, di samping juga keinginan orang tuanya menjadikan HAMKA seorang ulama. Hal ini terlihat dari perhatian penuh ayahnya terhadap model pendidikan dan jenis sekolah lanjutan yang harus didalaminya. Sebenarnya, HAMKA tidak memiliki tanda-tanda pada dirinya bahwa kelak nanti dia akan menjadi ulama besar di Indonesia, terbukti HAMKA sering merasa tertekan oleh cita cita ayahnya itu. (Yusuf, 2003: 39). Namun dengan dorongan dasar-dasar ilmu yang ia dapatkan sewaktu kecil yaitu berupa ilmu alat seperti nahwu dan shorof, fiqih, dan Tafsir al-Qur’an yang ia dapatkan sewaktu ia belajar di Thawalib School, HAMKA berhasil menjadi pemikir Islam besar di Nusantara. 91
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
Hal lain yang dipengaruhi oleh sang guru A.R. Sutan Mansur terhadap sikap hidup HAMKA adalah keberhasilannya memformat hati dan jiwanya untuk tidak terpengaruh oleh uang, sehingga hal ini mewarnai kejiwaan HAMKA untuk tidak menganut dan mengamalkan paham materialisme. HAMKA terbiasa melihat sendiri untuk selanjutnya meneladani sikap guru-gurunya yang tidak pernah tergiur dengan uang, bahkan mereka cenderung dikatakan orang “bodoh” jika berhadapan dengan uang (mengikuti gaya bahasa HAMKA), dan tidak mengenal uang. Mereka, setiap kali ada uang di tangan, jika bertemu dengan siapa saja yang terlihat kesusahan atau mengeluh karena kesusahan, uang yang di tangannya akan diberikannya begitu saja, padahal beberapa saat setelah itu istrinya datang dan menyampaikan bahwa beras untuk dimasak hari itu sudah tidak ada. Begitu juga saat akan membangun rumah dari hasil pemberian seseorang, tiba-tiba seseorang yang mengaku telah kematian ibu mendatanginya dan mengatakan butuh perkakas dan bahan-bahan bangunan untuk membangun rumah, lantas semua pemberian orang untuk membangun rumahnya diserahkannya begitu saja kepada orang yang mendatanginya. (HAMKA, 1994: 6). Betapa tidak berartinya nikmat harta di mata dan jiwa orang-orang besar seperti guru-guru HAMKA, yang secara langsung sangat mempengaruhi dan mewarnai kejiwaan HAMKA. Itulah sebabnya, pemikiran-pemikiran HAMKA terkait dengan filsafat hidup dan filsafat nilai terasa begitu menyentuh hati, karena memang lahir dan muncul dari seseorang yang mengutarakannya setelah sekian lama ia mengamalkan filsafat hidup tersebut. Buya HAMKA hidup di masa-masa awal tumbuhnya organisasi Muhammadiyah dengan energi positif yang dipancarkan oleh K. H. A. Dahlan yang begitu menggelora ke seluruh penjuru Nusantara. Kebanyakan ulama Minangkabau dan lebih khusus lagi guru-guru maupun orang-orang berpengaruh dalam jiwa buya HAMKA termasuk pengikut setia pemikiran Tokoh Pencetus Muhammadiyah ini. bahkan bisa dikatakan sosok yang sangat dikagumi Buya HAMKA, A.R. Sutan Mansur, adalah orang kedua setelah K.H. Ahmad Dahlan yang mengobarkan semangat Islam Muhammadiyah di Nusantara. Karena HAMKA hidup di masa gerakan pembaharuan sedang marak, sehingga hal ini memberi peluang bagi HAMKA untuk memiliki peran dalam pengembangan periode modernis di Indonesia, begitu juga dengan pemikiran pembaharuannya sangat moderat dibandingkan dengan golongan Islamis lainnya. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor: pertama, orang tua, terutama ayahnya. Kedua, situasi dan kondisi sosial dan masyarakat Minang yang berpola atas lapisan masyarakat kaum tua, dan masyarakat kaum muda. Ketiga, pengaruh pemikiran pembaharuan yang terdapat dalam dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, baik kontak ini melalui pribadi maupun artikel-artikel dan karya yang ditulis berbentuk buku.
C. Filsafat Nilai Dalam Pemikiran Hamka Berbicara tentang nilai –saat ini- dirasakan semakin urgen karena masyarakat telah mulai mengabaikan nilai-nilai dalam kehidupan mereka sehari92
Pangulu Abdul Karim Nasution : Filsafat Nilai Dalam Pandangan HAMKA
hari. Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia telah membuat mereka melambung tinggi ke suatu dunia yang sudah tidak mementingkan prinsip-prinsip nilai, kecuali hanya segelintir orang dari mereka. Dalam makalah ini, hal-hal yang ingin dibahas bukan masalah defenisi nilai dan segala macam keragamannya, seperti; (1) Nilai instrinsic (baik dari dalam diri dan untuk dirinya sendiri) dan ekstrinsik (baik dari luar dirinya sendiri), (2) Nilai permanen dan tidak permanen, (Titus, 1984: 129-130). (3) Nilai social, nilai agama, nilai budaya, dan nilai material, (4) Nilai obyektif dan nilai subyektif. (Frondizi, 2007: 21). Akan tetapi, nilai-nilai yang akan dibahas adalah nilai-nilai kehidupan yang filosofis yang digagas Buya Hamka dan ditemukan di bebagai karya-karyanya, nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam kesempurnaan kehidupannya baik untuk kebaikan hidup di dunia ini maupun untuk kehidupan akhirat kelak. Dalam pemaparan HAMKA tentang penilaiannya terhadap aliran materialisme sebagai sikap hidup dapat disimpulkan bahwa beliau memiliki penilaian yang negatif terhadap aliran ini atau disebut kurang bernilai. Menurutnya, materiallisme praktis hanya mengajarkan kepada manusia bahwa hidup hanya untuk mencari kesenangan jasmani semata, hal ini didasarkan hanya kepada pertimbangan akal semata, dan demikian jugalah pertimbangannya dalam menentukan sikap hidupnya. (Frondizi, 2007: 16) Terkait dengan nilai, HAMKA juga berpendapat bahwa nilai dari suatu karya anak bangsa ditentukan oleh luasnya pengetahuan dan penguasaan orang yang berkarya tersebut terhadap budaya, bahasa, dan sejarah bangsanya sendiri, karena hal itu akan mengisyaratkan orisinalitas pemikiran seseorang. Adapun seorang intelek yang "buta" terhadap budaya dan bahasa bangsanya, dapat dipastikan orang itu tidak memahami perjalanan proses yang membentuk pemikiran anak bangsa dan tidak membaca karya-karya para pendahulu, sehingga pemikiranpemikiran yang ditorehkannya tidak didasarkan pada kesadaran akan kondisi sosiologis suatu bangsa atau yang disebut dengan a-historis. Dari kategori penilaian terhadap suatu karya anak bangsa sebagaimana disebutkan di atas dapat diketahui bahwa gagasan-gagasan Buya Hamka sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang dialaminya, dilihatnya, disaksikannya, dan bahkan hal-hal tersebut mengalami pertarungan hebat dalam dirinya, untuk menerima atau menolak, melestarikannya atau menghapusnya dari kebiasaan-kebiasaannya. Artinya, bahwa Hamka termasuk kategori sosok yang mengatakan bahwa anak manusia adalah produk zamannya atau anak zamannya yang perkembangan jiwanya sangat terkait dengan hal-hal yang dialaminya dan disaksikannya pada zamannya. Salah satu hal yang kerap mempengaruhi gagasan dan pemikiran seseorang. Sebagai contoh, Hamka sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya Minangkabau, khususnya dalam menentukan nilai dan penilaian terhadap sesuatu atau seseorang. Sebagai contoh, jika ditelusuri dalam karyanya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di sana terlihat bahwa Hamka melakukan 93
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
kritik sosial terhadap budaya Minangkabau yang menentukan nilai seorang manusia dalam mengelola harta, penentuan keputusan, pemberian wewenang sangat tergantung kepada jenis kelamin (perempuan). Hal ini membuat seseorang yang bersuku minang dan berjenis kelamin laki-laki tidak begitu tertarik untuk pulang atau berkunjung ke kampung halamannya di Minangkabau karena memang sudah dapat dipastikannya bahwa kedatangannya tidak begitu diinginkan, bahkan membawa kesan dan penilaian negatif bagi orang kampung terhadap orang tersebut. Jadi, dalam kisah roman di buku tersebut dinyatakan bahwa sosok Zainuddin yang tinggal di Mengkasar (Makasar) yang sudah sangat merindukan kampung halamannya (Minangkabau), tetapi mengingat budaya Minangkabau yang menetapkan nilai yang negatif bagi laki-laki yang datang atau pulang ke kampung halamannya, membuatnya hanya berani bermenung dan mengkhayalkan keindahan kampungnya. Hal ini dapat disimpulkan dari tulisan Hamka yang dikutip secara langsung dari bukunya: “itu jangan disebut,” kata Datuk Mantari Labih. “itu kuasaku, saya mamak di sini, menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan menggantung tinggi membuang jauh”. “Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tidak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjaga harta benda, SAWah yang berjenjang, bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang. Setelah meninggal dunia ibunya, maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya, Datuk Mantari Labih. Mamaknya itu, usahkan menekuk dan menambah, hanya pandai menghabiskan saja. harta benda, beberapa tumpak SAWah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang lain. Kalau pandekar Sutan mencoba menjual atau menggadai pula, selalu dapat bantahan, selalu tidak semufakat dengan mamaknya itu. Sampai dia berkata: “Daripada engkau menghabiskan harta itu, lebih baik engkau hilang dari negeri, saya lebih suka”. (HAMKA, 2002: 5-6). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Hamka adalah sosok yang sangat dipengaruhi (adat dan budaya) oleh budayanya sendiri sehingga menciptakan satu sikap dan memberikan penilaian untuk menolaknya atau menerimanya, lalu menunjukkannya dalam kehidupannya. Terbukti dari sikap Hamka yang masih di usia yang relatif muda sudah menginjakkan kakinya dari kampung kelahirannya, pergi merantau ke negeri-negeri yang menurutnya dapat memberikan kebebasan berfikir, bergerak, dan berkembang bagi jiwa dan pemikirannya. Dalam hal ini, daerah-daerah yang pernah dikunjunginya termasuk kota Deli (Medan), bahkan sempat berguru pada ulama tiga serangkai, yang di antaranya ust. Zainal Arifin Abbas untuk mendalami ilmu tafsir Alquran, sebagaimana hal ini disebutkan dalam pembahasan latarbelakang eksternal kehidupan Hamka, termasuk guru-guru yang pernah membimbingnya dan sangat mempengaruhi pemikirannya. Hanya saja, penulis tidak menemukan referensi yang menjelaskan secara detail seberapa besar pengaruh kunjungannya ke tanah Deli dalam membentuk pemikiran dan gagasan-gagasan Hamka, khususnya pandanganpandangannya tentang nilai. 94
Pangulu Abdul Karim Nasution : Filsafat Nilai Dalam Pandangan HAMKA
Salah satu nilai filsafat menurut HAMKA adalah pada pembentukan jiwa kebebasan berfikir sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak hanya memikirkan konsumsi perut hari ini, tetapi juga mampu memikirkan kondisi dan kebutuhan anak manusia seribu tahun yang akan datang. Tentulah ini semua mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dalam perjalanan sejarah panjang anak manusia. Besarnya nilai filsafat di tengah-tengah suatu bangsa ditentukan oleh kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa tersebut. Sejauh mana pemerintahnya mampu memberikan jaminan kebebasan, keamanan, dan peningkatan taraf hidup, setinggi itu pulalah apresiasi anak bangsa terhadap filsafat, dan selanjutnya berefek pada kemajuan cara berfikir dan pencapaian-pencapaian mereka di berbagai bidang. Menurut HAMKA, salah satu nilai akal terletak pada fungsinya sebagai alat penjaga, penyeimbang, dan penguasa diri manusia untuk melakukan suatu perbuatan (karena diukurnya perbuatan itu baik dan layak dilakukan) atau meninggalkannya (karena menurut akalnya perbuatan itu tidak manusiawi dilakukan). Jadi, meskipun suatu perbuatan itu diinginkan oleh nafsu manusia atau dengan kata lain lezat untuk badannya, tetapi ketika hal itu tidak mendapat persetujuan dari akalnya, maka orang tersebut tidak akan mau melakukan perbuatan atau panggilan nafsu tersebut. (HAMKA, 2002: 24) Dalam hal ini penulis menyimpulkan betapa nilai-nilai prinsipil sangat melekat dalam filsafat HAMKA, di mana akal manusia tetap pada nilai prinsipilnya, yaitu bernilai baik dan benar. Inilah sebenarnya yang menjadi sentral nilai yang menjadi fokus perhatian Hamka. Hamka memposisikan akal sehat manusia sebagai pusat dan poros penentu nilai dalam diri manusia. Jika akal sehatnya berkembang dan terasah dengan baik, maka akan muncul darinya nilai-nilai baik dan pada akhirnya membuat sikap hidupnya menjadi bernilai. Jika tidak demikian, maka sikap dan perilaku hidupnya cenderung jauh dari bernilai baik. Maka jika akal seseorang bernilai karena telah dididik dan diasah dengan benar, hal ini akan melahirkan manusia-manusia yang beretika, bermoral, dan berakhlak mulia sesuai dengan tuntunan akal, di mana akal juga selalu sejalan dengan tuntunan agama. Dari kutipan di atas dapat diketahui kelanjutan atau corak berfikir seseorang yang memberikan porsi yang sangat besar bagi akal untuk bermain dalam kehidupannya, orang tersebut sedikit banyak akan cenderung menerima perubahan. Dalam hal ini banyak para peneliti yang meneliti corak berfikirnya Hamka dan mengkategorikannya sebagai orang yang modern dan moderat; menerima perubahan selama itu dinilai logis menurut logika yang sehat dan lurus, dan seimbang dalam mengukur sisi duniawi dan ukhrawi nya. Kemudian, Hamka juga komitmen dengan segala gagasan-gagasan perubahan yang disampaikannya. Begitu juga ketika mengkritisi budaya atau hal-hal lainnya, Hamka tidak sekedar menggagas dan berfikir-fikir saja, tetapi dia juga membuktikan segala penolakan, pemikiran, dan penerimaannya terhadap segala sesuatu dalam bentuk sikap dan perbuatan. Hamka berani meninggalkan tanah Minangkabau karena ia menilai tidak akan banyak perubahan dan perkembangan 95
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
hidup yang bisa diukir dan digagasnya jika masih berdomisili di sana, karena adat Minangkabau yang menurutnya sangat membelenggu perkembangan akal. Akal seharusnya mampu menghindarkan orang dari perbuatan mengambil barang, milik atau harta yang bukan haknya, seseorang juga tidak akan mendekati lawan jenisnya jika akalnya benar-benar terbimbing dan menguasai dirinya, karena menurut pertimbangan akal, pasti perbuatan tersebut akan menurunkan martabat dan harga dirinya. Demikian menurut HAMKA. Pandangan HAMKA terhadap nilai dalam filsafat pragmatisme bahwa kebenaran – kegunaan- ada dua: idealis dan praktis, kebenaran praktis itulah yang kemudian disebutkan sebagai pragmatisme. Ajaran Islam dapat ditelusuri mengandung kebenaran (kegunaan) idealis maupun praktis. Akan tetapi, praktis yang dimaksud tentulah tidak yang mutlak atau kebablasan, melainkan praktis yang harus tetap dalam koridor syariat. Menurut HAMKA, jangan dikira bahwa orang yang berilmu atau kaya ilmu secara otomatis menjadi kaya harta, karena ilmu tidak berhubungan langsung dengan kekayaan. Hal yang sama juga sama dengan salat, bahwa orang yang rajin salat atau kaya ibadah tidak secara otomatis menjadi kaya harta. Jadi, nilai ilmu tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah harta. Prinsip nilai bagi HAMKA ditentukan oleh koridor agama, di mana koridor agama sangat selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Contoh, menikah antara orang yang berbeda agama. Bagi penganut pragmatism, menikah dengan orang yang berlainan agama tidak menimbulkan masalah atau disebut tetap bernilai, selama kepentingan-kepentingan pragmatis dapat terpenuhi dalam pernikahan tersebut, seperti; kebutuhan materialis dan pisik. Hal ini didasarkan pada prinsip hidup mereka yang tidak mempermasalahkan nilai-nilai hidup yang harus dibangun dalam sebuah kehidupan berumah tangga, terlebihlebih lagi nilai-nilai yang harus terkandung dalam pendidikan jiwa anak. Nilai ilmu bagi HAMKA, tidak sekedar memperkaya dirinya dengan ilmu, tetapi lebih dari itu, ia memandang ilmu yang tidak diperluas jaringannya dan targetnya dalam bentuk "lahan perjuangan atau pergerakan" di mana perjuangan itu bertujuan untuk mengenalkan dan memberitahu kepada yang tidak tahu tentang nilai-nilai kebenaran, ilmu pengetahuan, maka ilmu yang tidak digunakan untuk mencerahkan kehidupan dan kemanusiaan cenderung tidak bernilai, termasuk ilmu yang sekedar ditransfer, tanpa target untuk membenahi kehidupan si pendengar ilmu. Ilmu yang bernilai adalah yang memberi arti buat kemanusiaan dan kehidupan, yang dalam bahasa HAMKA ilmu yang terus berkembang dalam dunia perjuangan dan pergerakan. Menurut filsafat tasawuf, HAMKA menyatakan bahwa kebahagiaan sejati (hidup yang bernilai) diperoleh dengan hidup bermasyarakat, tidak dengan ber'uzlah, karena hal itu lebih sesuai dengan sunnah Nabi SAW., karena menurutnya, meskipun dalam keramaian, HAMKA menambahkan bahwa orang yang berakal akan senantiasa menyediakan waktu bagi jiwa dan akalnya untuk tafakkur, merenung, dan menemukan rahasia dan hikmah. 96
Pangulu Abdul Karim Nasution : Filsafat Nilai Dalam Pandangan HAMKA
Menurut HAMKA, nilai-nilai kebenaran akan lebih mudah ditemukan dan dikenali, dipahami, lalu menimbulkan efek positif dalam sejarah kemanusiaan, jika dicapai melalui upaya kolektif. Dengan potensi filosofis yang terdapat dalam Alquran dan menyuruh umatnya mencari kebenaran, sampai-sampai Alquran menyatakan bahwa sifat-sifat orang yang utama adalah "orang yang mendengar kata (nasehat) lalu mereka ikuti mana yang lebih baik" (QS. Az-Zumar; 18), sebab "kebenaran itu adalah dari Allah" (QS. Al-Baqarah; 147). Artinya, bagi HAMKA nilai berjama'ah dalam suatu masyarakat sangat potensial untuk membangun peradaban manusia, sedangkan nilai menyendiri dan mengasingkan diri dari kehidupan berjamaah di tengah-tengah masyarakat cenderung lamban dalam pergerakannya membangun peradaban, terlebih-lebih jika mengkorelasikannya dengan bimbingan Alquran dan hadis. HAMKA mengemukakan dalam kitab Tafsirnya bahwa suatu budaya atau tradisi yang sudah memasyarakat hanya akan bernilai apabila budaya tersebut telah benar-benar dikaji ulang dan dipertimbangkan oleh akal sehat kebenaran dan kebaikannya, lalu selanjutnya dilestarikan untuk dinobatkan sebagai budaya, kultur, tradisi yang manusiawi (sesuai dengan bimbingan akal dan hati manusia). Jadi, alangkah naifnya suatu masyarakat yang "menggila dan membabi buta" dalam mempertahankan tradisi nenek moyangnya, tanpa pernah mempertimbangkan dasar, tujuan, dan relevansi dari suatu tradisi tersebut dengan akal sehatnya, terlebih-lebih lagi dengan wahyu Tuhan. Hal ini sangat selaras dengan Alquran yang sangat mencela orang yang mengikuti budaya dan tradisi nenek moyangnya secara tergesa-gesa dan membabi buta, tanpa mempertimbangkannya dengan akal sehat. Itulah yang dimaksudkannya dengan budaya yang manusiawi. (HAMKA, 1983: 7).
D. Penutup Pada dasarnya, pemikiran HAMKA tentang filsafat sudah termasuk dalam poin-poin yang sudah dijelaskan sebagai bagian dari filsafat nilainya. Meskipun demikian, kita melihat bahwa salah satu daya tarik pemikiran HAMKA tentang filsafat nilai adalah bentuk pemikirannya yang moderat, dalam menetapkan nilai dari suatu sikap atau perilaku, di mana beliau cenderung menempatkan sesuatu secara proporsional, tidak berat sebelah. Hal ini tentu saja sesuai dengan konsep wasathiyyah yang diajarkan dalam Islam; yaitu apapun aktivitasnya, manusia yang telah dibekali Allah dengan potensi akal, khayal, hati, dan nafsu harus menyeimbangkan antara porsi kerja akal, khayal, nafsu, dan hati dalam dirinya, pemenuhan kebutuhan jiwa dan raganya, serta harus meyakini bahwa kebahagiaan yang sejati atau nilai yang sejati dan senantiasa relevan di sepanjang zaman- tidak diukur dengan nilai-nilai materialistis, karena semua yang bernilai materialistis bersifat sementara. Adapun nilai kebahagiaan berupa spiritual (jiwa, rohani, akal, dan hati) inilah yang menjanjikan kebahagiaan yang bernilai abadi dan hakiki, Satu hal yang paling penting untuk digarisbawahi dari pemikiran filsafat nilai HAMKA adalah mengukur nilai dari sesuatu sangat tergantung pada mendekatkan atau menjauhkan jiwa dari Tuhan. Jika sesuatu itu membuat 97
١٢٠١٤ ،
–
،١ د
ا
ا ا
ا:
ءا
إ
seseorang semakin dekat dengan Tuhan, maka itu menjadi satu standar penilaian baik terhadap sesuatu, dan sebaliknya jika menjauhkan jiwa dari Tuhan, hal itu menjadi standar ketidakbernilaian dari sesuatu itu. Secara umum, kesimpulan dari pemikiran filsafat HAMKA tentang nilai menunjukkan bahwa pribadi beliau adalah pribadi yang sangat bernilai, baik itu kualitas jiwanya maupun aktifitas sehari-harinya (hidupnya). Demikian tulisan ini dan semoga bermanfaat, atas segala kekurangan, penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA Amirhamzah, Yunus, (1993). HAMKA sebagai Pengarang Roman (Jakarta: Puspita Sari Indah An-Naraqi, Muhammad Mahdi ibn Abi Zar, (2003). Jami’ al-Sa-adah atau Penghimpun Kebahagiaan. Terj. Ilham Mashuri dan Sinta Nuzuliana, Jakarta: Lentera. Chair, Abdul, SM, (2009). Mengenang 28 Tahun Wafatnya Buya HAMKA (Medan: Opini Waspada, Senin, 27 Juli. Frondizi, Risieri, (2007). What is Value, terj. Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. HAMKA, (1982). Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama Di Sumatera (Jakarta: Umminda. ________, (1983). Doktrin Islam Yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian Jakarta:Yayasan Idayu. ________, (1994). Falsafah Hidup, cet. XIII (Jakarta: Pustaka Panjimas. ________, (1984). Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas. ________, (1979). Kenang-Kenangan Hidup, jilid I, Jakarta: Bulan Bintang ________, (1983). Lembaga Budi, cet. VIII, Jakarta: Pustaka Panjimas. ________, (1990). Perkembangan Kebatilan di Indonesia, cet. IV, Jakarta: Bulan Bintang ________, (2001). Tafsir Al-Azhar, Juz I-II. Jakarta: Pustaka Panjimas. ________, (1998). Tasawuf Modern, Cet. XII, Jakarta: Pustaka Panjimas. ________, (2002). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Cet. XXVI, Jakarta: Bulan Bintang Madjid, Nurcholish, (1998). Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina.
98
Pangulu Abdul Karim Nasution : Filsafat Nilai Dalam Pandangan HAMKA
Rusjdi,H., (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. HAMKA, Jakarta: Pustaka Panjimas. Titus, Harold H. (1984). Living Issue in Philosophy, (terj). Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.
99