ffiufivuxp
mil
ISurfiqill
Inhgrasi Ilmu danAgama lnterpretasidan Aksi
Editor: Zainal Abidin Bagir Jarot Wahyudi Afnan Anshori
Diterbitkan atas kerja sama:
6, r,b.y.nk tdY.ogY*.nr
m(!l
a
mtzan KRONI(
Z MAN BARU
A
SUl(A-Pre3r
INTEGMSI II..i'U DAN AGAMA: INTERPRETASI DAN A1(5I
Jarot Wahyudi
Afnan Anshori
@
Dlterbitkan oleh Pen€rbit Mizan
Pf Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jl. Yodl(ali No. l6 gandung 40124 Telp. (022) 7200931 - Faks. (022) 7207038
emalt
[email protected]
http/A,vwwmizan.aom Bekerja sama dengan Masyarakat Yogyakarta untuk llmu dan Agama Program Studi Agama dan Lintas Budaya Univershas Gadjah Mada
dan SUKA Press
Universitas lslam Neged Sunan lGlijaga Yogyakarta atas bantuan MccilFProject Desain sampul: Andreas Kusumahadi oesain isi: Uus Suyudi ISBN 979.433-389-1
Didistrlbuslkan oleh Mlzan Medla t tama (MMU) Jln. Onambo (cisaEmen Wetan) No. 1 46 Ujungberung, Eandung 40294
(02 7815500 - FalG. (022) 7802288 emall mizanmu@bdgrentrinJetjd
Telp,
lsi Buku
PENGANTAR- 1I PENDAHULUAN: BAGAIMANA "MENGINTEGRASIKAN" ILMU DAN AGAi'IA? 17. Zainol Abidin Bogir Ragam "lntegrasi": Beberapa llustrasi 20 o llmu, Agama, dan Persentuhan Keduanya 27 o Ringkasan Bab-Bab 30
-
.
-
-
-
lntegrasi llmu dan Agama
1
IIMU DAN AGAMA DATAM KURIKULUM PERGURUAN TINGGI 39 Bambang Sugiharto . Perbedaan Mendasar Antara llmu 41 dan Agama o Persoalan Zaman 42 . Kemungkinan Titik-Temu 45 . Beberapa Peluang Konkret 47
-
-
2
-
-
-
KUHN DAN KUNG: PERUBAHAN PARADIGMA ILMU DAN DAMPAKNYA TERHADAP TEOLOGI KRISTEN 53 E.G. Singgih o Pendahuluan 53 . Pandangan Thomas Kuhn Mengenai Paradigma llmu 56 r Hans K0ng dan Perubahan Paradigma dalam Teologi 62 . Catatan-Catatan Penutup 67
-
-
-
-
3
-
DASAR.DASAR VALIDITAS ILMU DAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF TEORI KRITIS JURGEN HABERMAS 71 Sindung Tjahyadi r Pendahuluan 71 . Teori Kritis Jurgen Habermas 75 o Dasar-Dasar Validitas llmu dan Agama 78 . Penutup: Proyeksi dan Aksi yang Mungkin 87
-
-
4
-
-
-
INTEGRASI SAINS DAN AGAMA: MODEL DAN
METODOLOGI -92 Armohedi Mahzar . Model lntegrasi 94 o Paradigma lntegralisme lslam: Sebuah Model
Pentadik-
100
o lri
.
B{rkU
Metodologi lmplementasi: Sebuah Alternatif
o Kesimpulan-1.l0
s
-
107
HIPOTETIKALITAS:KETIDAKPASTIANDAN PILIHAN ETIS?
-
1
12
LiekWilardjo Pengantar
.
112 o Realitas- i 13
o llmu
.
-
113
'1 Transaintivitas 14 o llmu Murni dan Siklus lndeval 1 15 o llmu Terapan 1 19 r Teknologi 119 Ketakpastian dan Rislko 120 o Contoh Hipotetikalitas 122 Pertimbangan Etika dan Kearifan Agama
-
-
.
-
-
-
. 6
UNIVERSITAS PADA ERA
-
i 25
-
PASCAKOTONIAL-128
RobertSetio 'l Pendahuluan 28 Gejala-Gejala Dewasa lni 134 Kelemahan-Kelemahan 136 o Ancaman-Ancaman 138 Peluang di Masa Depan 139 Pascakolonial 141
. . .
-
-
. . 7
-
-
-
-
ILMU DAN AGAMADI PERGURUANTINGGI: DIPADUKAN .I45 ATAU DIBINCANGKAN? LiekWilardjo o Perbedaan yang Menipiskan Kemungkinan Perpaduan
-
.
-
147
Persamaan sebagai Dasar Perbincangan
o Bidang dan Ragam Perbincangan
.
-
155
-
|50
Penutup: Sekelumit tentang ldeal Aristoteles
-
159
'
8
o
lntegrasi llmu dan Agama
INTEGRASI ILMU.ILMU ALAM DAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI 163
-
Muslim Pendahuluan 163 o Karakteristik Sains dan Metodologi Kajiannya 164 o Fisika sebagai Perintis Sains Dasar dan Paradigmanya
r
o
-
168 SOU sebagai Tiga Paradigma Utama dan Peranan
Pokoknya
o Kesimpulan dan 9
-
1
72
Saran
-
176
MENILAI ULANG GAGASAN "ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN" SEBAGAI BLUE PRINT 180 PENGEMBANGAN KEILMUAN UIN Muslim r UIN dan Kegamangan lntelektual 183 Menguji Ulang lslamisasi llmu Pengetahuan: Perspektif 186 Epistemologis Keragaman Wacana sebagai Spirit Pengembangan 196 Keilmuan di UIN: Sebuah Tawaran
-
-
.
-
.
-
1O
REINTEGRASI ILMU-ILMU DALAM ISLAM
AzyumardiAzro 205 Respons Muslim r Reintegrasi llmu-llmu 209
.
11
-
-
203
-
MEMBANGUN INTEGRASI ILMU DAN AGAMA: 213 PENGALAMAN UIN MALANG lmam Suprayogo o Pendahuluan 213 r ldealisme UIN Malang ke Depan 216 r lntegrasi llmu dan Agama pada Tataran Konseptual
-
-
-
-219 o Kelembagaan dan Perangkat Pendukung
-
226
o
lsi Buku
. . 12
lklim dan Budaya Kampus Penutup 231
-
-
229
DESAIN PENGEMBANGAN AKADEMIK IAIN MENUJU UIN SUNAN KALIJAGA: DARI POLA PENDEKATAN DIKOTOMIS-ATOMISTIK KE ARAH INTEGRATIF
INTERDISIPLINARY- 234 M. Amin Abdullah
. . . . .
234 Pengantar Pengembangan lAlN ke UIN: Menjawab Kekhawatiran 237 dan Membuka Peluang dan Harapan Baru Kegelisahan llmuwan terhadap Rancang Bangun Akademik llmu-llmu Keislaman yang Dikotomis241 Atomistik Eoytin i,'lrfdni, Burhdni Harapan Baru Universitas lslam Negeri bagi Kelangsungan Hidup Masyarakat: Pekerjaan, 254 Komunikasi, Etik-Emansipatoris Meretas Jalan Baru Proyek Reintegrasi Epistemologi 260 Keilmuan Era UIN
-
-
-
-
-
INDEKS
-
267
Universias pada Era Pascakolonial Robert Setio
There areno dangerous thoughts; thinkingitselt' is dangerous.
-Hannah
Arendt (1906-1925)
Our education is a cuseless compromise betwean the corcerv ative and. the pr o gr cssive actors. t'
-William
James (1842-1910)
Pendahuluan Dunia pendidikan akhir-akhir initelah mengalami berbagai bentuk perubahan. Dalam hal metode misalnya, pengaruh dari pemikiran konstruktivisme telah membalikkan paradigma pengajaran. Semula pengajaran merupakan suatu proses yang menempatkan pengijar (guru/dosen) sebagai sumber pengetahuan bagi para peserta ajardalam memperoleh semua pengetahuannya. Dalam hal ini, peserta ajar diharapkan setia mendengar atau "mencari ilmu" dari para pengajarnya itu. Sekarang, karena pengaruh konstruktivisme, terjadi pembalikan prinsip yang oleh Paul Suparno diringkaskan demikian:
@
Universitas pada Era
(i ) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara
personal maupun sosial, (2) pengetahuan dapat dipindahkan dariguru ke murid hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengonstruksi terus-menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih terperinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4)guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.l Prinsip tersebut kemudian dijadikan dasar untuk membuat metode pengajaran yang sekarang ini mulai banyak dipraktikkan.'? Perubahan lain terjadi dalam hal arah pendidikan terutama di
perguruan tinggi. Dominasi jurusan-jurusan teknik dan eksakta masih tampak kuat, tetapisecara perlahan ilmu-ilmu nonekata juga sudah mulai diperhatikan orang. llmu Komunikasi misalnya,sekarang
ini mengalami peningkatan pemina! walau terkadang alasan para
peminat masih terkesan dangkal seperti ingin mendapatkan pe. kerjaan di media, terutama televisi, khususnya lagi sebagai presenter.
teknik, orang juga mulai berbicara tentang pentingnya penguasaan teknis yang diimbangi dengan penguasaan konseptual. Mungkin selama ini, orang terlalu asyik dengan hal-hal yang bersifat teknis saja sehingga kemampuannya menjadi sangat terbatas dan mirip dengan tukang, jebolan program diploma. atau kursus keterampilan. Seorang sarjana teknis semakin dituntut untuk tidak hanya menjadi pelaksana, melainkan menjadi konseptor. Orang berharap, seorang arsitek bukan hanya mampu membuatkan gambar sebuah rumah saja, tetapi mampu menangkap kebutuhan psikologis, aspirasi budaya, dan filosofi konsumen maupun masyarakat tempat konDi ju rusan-jurusan
r ':
Paul Suparno, Filsdfdt Konstruktivisme dalom Pendidikon, Kanisius,1997, h.49, Sayangnya, yang lebih bersemangat mempraktikkan metode ini adalah sekolah_sekolah unggulan yang dalam kondisisekarang inisebagian besar masihtergolong sekolah yang mahal sehingga belum banyak siswa yang bisa menikmatinya.
@
llmu dan
sumen itu berada. Bahkan, sentuhan-sentu ha n kemanusiaan yang melebihi aspek-aspek teknis itu sekarang mulai diberi penghargaan yang sangat tinggi. Jadi, arsitek yang andal adalah arsitek yang bisa memahami sisi-sisi kemanusiaan dari penggunanya. lni sekaligus mepbuktikan bahwa perkiraan orang tentang teknologi sebagai ilmu yang sama sekali terlepas dari humanisme tidak lagi terbukti dengan adanya perubahan dewasa iniSelain itu, perubahan juga terjadi ketika orang mulai me-
rasakan tren spesialisasi ilmu yang sepertinya terjadi dengan sendirinya itu, yangjustru dirasakan sebagai pemlsah antara satu ilmu dan ilmu lainnya. Keterpisahan juga dirasakan dalam lingkup intern sebuah ilmu. Oleh sebab itu, sekarang ini ada keinginan yang cukup kuat untuk membuat sinergi antarbidang-bidang yang selama ini terpisah-pisah. Di tingkat universitas, pembicaraannya menjadi apakah orang bisa mengembalikan arti "uni" pada universitas itu dengan tidak membiarkannya justru menjadi multiversitas. Sudah semakin terdengar adanya penelitian-penelitian antar disiplin maupun multidisiplin. Kedua istilah ini pun ramai diperdebatkan, tetapi dengan semangat yang sama, yaitu mempertemukan disiplin ilmu yang berbeda-beda.3 Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, kita tidak perlu terlalu pesimis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bentuk pendidikan, lebih khusus lagi, perguruan tinggi. Sains, yang oleh banyak orang ditempatkan dalam posisi yang mencurigakan karena telah memperlihatkan gejala-gejala yang destruktif di balik janji-janjinya yang selalu baik-baik, tetapi perlu disikapi dengan berhati-hati, tidak perlu membuat kita berkeinginan untuk menggantinya dengan sesdatu yang lain.a Demikian juga dalam hubungan dengan agama.
t
Lihal huku Manajemen Riset Antadisiplin, Lili Rasjidi, peny., Remaja Rosdakarya, 1991, yang merupakan terjemahan dati Monaging lntedisciplindry Research, S.R. Epton, R.L.Payne, A.W. Pearson {eds.).
'SalahsatubukuyangbanyakmemperlihatkaniisinegatifdarisainsadalahTheTu'r,ingPoint: Science, Society ond the Rising Culture kaangan Fritjof Capra @1982.
@
U.liversitas pada Era
Tidak perlu sains ditempatkan dalam posisi yang melawan agama. Saya pribadi mengalami kesulitan untuk bisa mengikuti pola pikir yang antagonistis antara sains dan agama. Sebabnya adalah, sepengetahuan saya, persepsi kita sangat menentukan apakah antagonisme itu ada atau tidak. Saya tidak memungkiri bahwa ada cukup banyak saintis yang memperlihatkan sikapsikap kritis, bahkan anti, terhadap agama. Tetapi, saintis yang bersimpati dan bahkan menjadi tokoh-tokoh agama pun tidak sedikit jumlahnya. Apalagi di lndonesia. Teman-teman saya di fakultas nonteologia diUKDW (Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta) yang sering saya mintai mengajarkan ilmunya kepada mahasiswa saya di Fakultas Teologia malah sering belum apa-apa sudah dibayangiketakutan bahwa apa yang disampaikannya itu seakan-akan tidak sesuai dengan ajaran agama dan karena itu tanpa disuruh pun sudah melakukan kritik diri. Suatu contoh, teman yang saya minta memberi masulSan mengenai perkembangan lnternet dengan pertanyaan apakah nanti para ahli komputer bisa membuat dunia maya sebagai alternatif atas dunia riil? Teman ini memang berkenan menunjukkan arah per-
kembangan ilmu informatika yang memungkinkan tahap seperti itu terjadi, tetapi sering sekali menyelipi keterangannya dengan pesan: "bagaimanapun, dunia ciptaan Tuhan ini jauh lebih baikdaripada dunia ciptaan manusia". Orang teologia tentu tidak asing dengan kata-kata seperti itu dan pasti juga tidak punya keberatan sedikit pun, tetapi jika itu diucapkan oleh seorang saintis, maka kesannya ia sendiri tidak terlalu mendukung perkembangan ilmu yang digelutinya. Bukannya-saya tidak setuju dengan pesan sponsornya itu, tetapi saya lebih senangjika yang berbicara seperti itu adalah teolog dan bukan ahli komputer. Namun, dengan adanya kenyataan seperti itu, yang juga saya temui pada teman-teman lain termasuk yang ahli rekayasa genetika, sulit saya bayangkan bahwa kita akan menemui perlawanan antara sains dan agama di lndonesia. Para saintis kita
@ sudah memiliki filter-filter yang membuat mereka tidak kehilangan kesadaran agama. Jangan-jangan, para saintis kita ini malah bisa berpandangan lebih konservatif dalam soal agama daripada para teolog. Saya juga sering menyaksikan teman-teman sesama teolog jauh lebih tertutup terhadap sains daripada teman-teman saintis terhadap teologia. Kembali persepsi sangat menentukan. Ketakutan bahwa sains hanya membawa orang jauh dari Tuhan sudah begitu membekas dalam benak para teolog sehingga apa saja yang dikatakan para saintis selalu diletakkan dalam kerangka pikir seperti itu. Tidakjarang pula, ketertutupan itu terjadi karena warisan pemikiran masa lalu. Pertama, dari masa lalu orang
mengerti bahwa teologia sebagaimana juga filsafat adalah "Ratu" segala ilmu. Karena teologia lahir lebih dulu, segala ilmu yang lahir darinya dianggap sebagai "keturunan" yang harus "tunduk" pada "Ratu" teologia. Dengan alasan itu, banyak teolog yang merasa tahu ilmu-ilmu lain walau sebenarnya lebih cocok disebut soktahu. Sebaliknya, para teolog initidak akan bisa menerima begitu saja jika ilmu-ilmu lainnya mengomentari teologia. Apalagijika sampai mengkritik. Warisan masa lalu lainnya adalah dalam bentuk pertentangan "anjing dan kucing" antara
teologia dan sains. Seperti sudah banyak disebutkan, pertentangan ini terjadi sudah cukup lama dan memuncak pada abad modern di mana positivisme seakan-akan memberikan tanda bahwa pertentangan itu akan berlangsung selamanya. Tetapi, di balik semua gejala permusuhan itu, tidak sedikit persahabatan antara teologia/agama dan sains yang terjadi. Saya sendiri sebagai orang yang mendalami bidang Alkitab dapat mengatakan bahwa dalam bidang saya ini, persahabatan dengan sains bukan lagi barang baru. Tidak ada yang aneh bagi ahli Alkitab untuk meneliti Alkitab dengan bantuan ilmu-ilmu sejarah, arkeologi, sosiologi, psikologi, budaya, dan juga sastra. Se. baliknya, ilmu tafsir Alkitab juga pernah dipinjam oleh para kritikus sastra di sekitarabad ke-18. Pinjam-meminjam ini bukan hal yang
@
Universilar pada Era Pascakolonial
aneh, apalagi pada zaman modern di mana para ahli Alkitab mau
tidak mau harus mencarijalan bagaimana caranya agar Alkitab tetapdapat diterima oleh masyarakat modern. Alih-alih melawan modernisasi, para ahli Alkitab justru mencoba memakai paradigma modern untuk menjelaskan isi Alkitab. Hasilnya menguntungkan semua pihak. lman yang lahir dari studi kritis (studi yang menggunakan sistem keilmuan modern) justru semakin mendalam dan sehat. Sementara, studi Alkitab dengan cara-cara ilmiah modern masih terus berkembang, memang harus diakui adanya penolakan terhadap penggunaan cara-cara seperti itu dalam studi Alkitab. Tetapi, umumnya mereka yang menolak ini mengalami kesulitan untuk memisahkan antara apa yang mereka yakini sendiri dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Alkitab. Tidak sedikit dari mereka ini yang kemudian kita kenal sebagai orang-orang fundamentalis. Walaupun saya tidak setuju jika ada yang menghubungkan fundamentalisme hanya dengan penolakan terhadap studi kritis Alkitab. Ada banyak faktor lain yang layaknya membentuk sikap yang kita sebut fundamentalis itu. Tetapi, yang mau saya katakan di sini hanyalah bahwa sikap kritis yang merupakan hasil dari studi ilmiah terhadap Alkitab sedikit banyak telah mampu mencegah orang untuk menyatukan pikirannya sendiri dengan pikiran yang ada dalam Alkitab. Atau, dengan kata lain, sains telah bermanfaat untuk membantu orang membebaskan dirinya dari subjektivitas yang biasanya menciptakan kemandekan dalam pemahaman akan Tuhan dan akan agamanya. Dengan bersikap optimis terhadap hubungan sains dan agama, saya tidak ingin menutup mata terhadap berbagaipersoalan yang timbul dewasa ini. Tetapi saya hanya tidak ingin terjebak untuk melihat berbagai persoalan dewasa ini sebagai persoalan yang ditimbulkan oleh sains atau saintisme atau lebih-lebih lagi karena pengkhianatan sains terhadap agama. Bagi saya, memandang sains sebagai kekuatan yang demikian hebatnya
@
llmu dan
sehingga tidak ada faktor lain selain sains yang bisa membuat dunia seperti sekarang ini (dalam arti positif maupun negatifl adalah mitos belaka. Sebaliknya, memandang bahwa agama tidak ikut memberikan sumbangan apa-apa pada tren dunia dewasa ini adalah terlalu naif. Maka, bagisaya,yang lebih penting adalah mencoba mengamat; dunia sekarang ini apa adanya serta mencari peluang-peluang di mana kita bisa berbuat sesuatu untuk membuat dunia kita ini menjadi lebih baik. Fokus perhatian kita arahkan pada masa depan. Gejala-Geiala Dewasa lni Demokratisasi yang dialami oleh banyak lembaga di dunia ini terutama sebagai efek globolisasi yang mengalami akselerasi berkali-kali lipat dengan bantuan teknologi informasi modern (lnternet). Sekalipun globalisasi tidak selalu memberikan hasil yang indah, karena ideologi demokrasitersebardan menjadi pilihan yang menggiurkan, maka kita patut menghargaiproses ini. Dalam bidang pendidikan, kita memperoleh manfaat dari semakin mudahnya memperoleh informasi. Jika dahulu ilmu yang baru, baru akan sampai di negeri kita dalamjangka waktu 10 tahunan, sekarang bisa dalam hitungan bulan atau mungkin juga hari. Sebagai salah satu akibat, pola hubungan guru-murid juga ikutterdemokratisasi. Karena murid bisa memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber lain di luar gurunya, peranan guru tidak lagi mutlak menentukan. Kebenaran juga tidak lagi tergantung sepenuhnya dariguru, murid bisa mengecek kebenaran apa yang dikatakan gurunya pada sumber-sumber lain. Pendidikan memang masih memerlukan guru, tetapi lebih pada peran sebagai gurUe dalam mendapatkan pengetahuan, perangsang untuk berpikir, patron dalam soal ketekunan, kedisiplinan, dan kejujuran. Upaya-upaya untuk memonopoli pengetahuan oleh guru bahkan oleh seorang penemu sekalipun tidak lagi terlihat relevan. Patenisasi memang terjadi, tetapi kita selalu bisa mendapati orang-orang yang mengidealkan kebebasan informasiseperti ilmuwan di MlT.
@
Universilas pada Era
Demikianjuga dengan adanya pe mbuatan freeware seperti Linux di hadapan raksasa Microsoft yang terlihat ingin menguasai segala-galanya untuk keuntungan dirinya sendiri. Alternotif semakin banyak dan bisa diperoleh dengan mudah. Orang tidak harus pergi ke luar negeri untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, justru lembaga luar negeri itulah yang datang dan membuka kampus disini. Masuk ke universitas negeri yang dahulu terasa su lit sekarang dipermudah. Universitas onllne dengan biaya yang lebih murah menjadi pilihan yang tak kalah menariknya. Maka tak akan ada lagi lembaga yang bisa mengklaim dirinya sebagai agen tunggal pendidikan dengan alasan apa pun. Upaya memang dibuat untuk membentuk citra yang khas sehingga sebuah lembaga pendidikan terasa tidak ada duanya. Tetapi, jika itu tidak berkaitan langsung dengan ilmu yang ditawarkannya, sulit juga mempertahankan citra yang khas itu sebagai daya tarik. lbaratnya, sebuah restoran menjanjikan kekhasan dirinya dalam hal servis pijat. Dengan banyaknya alternatif, orang semakin pintar untuk menentukan mana yang terbaik dan cocok untuk dirinya. Tidak ada lagi keterpakaan untuk memilih. .luga tidak perlu lagi alasan-alasan semu untuk memilih sebuah perguruan tinggi jika semakin jelas bahwa yang dibutuhkan nantinya adalah tenaga yang memiliki performance yang baik dan tidak dari universitas mana atau universitas yang berasaskan apa. Demikian juga dengan lapangan pekerjaan. Meski bekerja sebagai pegawai negeri masih sangat menarik, sekarang ada kesadaran bahwa pilihan-pilihan lain tidak kalah menariknya. Bahkan, pilihan bekerja secara wiraswasta semakin disadari memberi peluang masa depan yang tidak kalah menjanjikan nya. Perguruan tinggi perlu menyiapkan mahasiswanya agar memiliki jiwa wiraswasta sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada pihak lain dalam memperoleh penghasilan. Perubahan tren lerjadi dalam waktu yang relatif singkat, menuntut adanya kelincahan untuk menyesuaikan diri. Sebuah produk dipasarkan dengan perkiraan hanya akan laku tidak lebih
@
llmu dan
dari 5 tahun, setelah itu harus dimodifikasi lagi. Demikian juga dengan sebuah jurusan di perguruan tinggi. Sekarang, jurusan informatika sedang naik daun, tetapi tidak sampai l 0 tahu n lalu, ekonomi menjadi primadona. Ke depan mungkin jurusan desain grafis. Siapa tahu teologi yang setelah sekian abad kehilangan pamor akan kembali menarik minat orang. pendeknya, kita tidak bisa menawarkan sesuatu dalam jangkawaktu yang terlalu lama. Jika perlu, begitu membuka sebuahjurusan baru, sudah langsung siap dengan perubahannya sekaligus. Setidaknya, kita tidak terlalu kaku untuk berubah. Lembaga yang kita buat sebaiknya tidak berukuran besar sehingga tidak sulit berubah dan tidak membuat beban yang berat. Orientasi kita bukan ke dalam, melainkan ke luar, yaitu ke pasar. Kita memang bisa ikut memengaruhi pasar, tetapi mengharapkan pasar untuk menuruti ideide kita saja adalah sesuatu yang mustahil. Malah kita yang seharusnya peka akan segala perubahan yang terjadi pada pasar dan melakukan langkah-langkah penyesuaian agar mampu untuk terus ikut bermain di sana. Analisis tren menjadi perlu kita lakukan. Kita masih bisa menambahkan banyak gejala lainnya, tetapi pada dasarnya dunia sekarang ini adalah dunia yang berjalan menurut kehendak pasar. Karena itu, kita tidak bisa menutup mata terhadap apa yang dikehendaki pasar. Di pihak lain, kita juga tidak boleh menganggap bahwa dunia yang dituntun oleh kehendak pasar ini tidak memiliki kelemaha n-kelemahan. Kelemahan-Kelemahan Reduksi ilmu di mana sekolah tidak lagi dilihat sebagai upaya untuk mencapai nilai-nilai yang mulia (sebagaimana Sokrates pernah berkata, "fhe unexamined life is notworth living"), tetapi lebih dimengerti sebagai jalan untuk memperoleh pekerjaan yang bergengsi. Mata kuliah humaniora, seberapa pun dipandang perlu oleh ahli pendidikan, akan dirasakan sebagai beban yang tidak perlu oleh mahasiswa. Mata kuliah tersebut tidak dapat memberikan sumbangan yang jelas bagi, misalnya, mereka yang ingin bekerja
@
universita5 pada Era Pas.akolonial
di bidang komputer. Jika ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa sehingga ia hanya menjadi sarana untuk memperoleh pekerjaan saja, kuliah dalam program sarjana tidak akan berbeda dengan kursus keterampilan saja. Perguruan tinggi tidak lagi dituntut untuk mencetak ilmuwan, tetapi tukang. Patokannya bukan tenaga yang siap berpikir dan berkreasi, melainkan tenaga yang siap pakai. Bukan kno wledge dan awareness yang diharapkan dimiliki lulusan perguruan tinggi, melainkan skil/. Spesialisasi yangkaku sesuai dengan tuntutan profesionalisme menjadikan orang tidak mau tahu lagi urusan-urusan yang lain. Kepandaian di suatu bidang berakhir dengan kebodohan di bidang lainnya. Meski jawabannya tidak harus berupa penguasaan akan semua bidang, membiarkan setiap bidang berjalan sendiri-sendiri justru akan menimbulkan banyak kesulitan. Maka, sekalipun gejala ini agaknya terus berlanjut, di pihak lain sudah mulai ada keinginan untuk melakukan sinergi lintas bidang' Fragmentasi kehidupan karena kepedulian orang hanyalah pada bidang dan profesiyang digelutinya. Pembicaraan dengan
orang yang berlainan bidang menjadi kekurangan bahan dan karenanya kurang menarik. Masyarakat profesi menjadi kebutuhan yang semakin mutlak, tetapi yang sekaligus menjadi garis pemisah dengan pihak di luar kelompok profesinya. Dalam cakupan yang lebih luas, fragmentasijuga dirasakan antara kehidupan materiil dan spiritual. Orang tidak lagi bisa menghubungkan antara kebutuhan materiilnya dan kebutuhan spiritualnya Dua dunia itu seakan terpisah. Bahkan, lebih parah lagi jika dunia spiritual dianggap bukan urusan selama manusia masih berada di du.nia materiil ini. Dunia spiritual adalah surga, sedangkan dunia sekarang ini adalah dunia materiil saja. Surga urusan nanti' Kalaupun surga dibicarakan, itu hanya pada saat tertentu, katakanlah pada hari Minggu bagi orang Kristen. Maka, terjadilah, pada hari Minggu orang kelihatan saleh, di luar hari Minggu "bisnis berjalan seperti biasa": korupsi, zina, menindas sesama, memusuhi orang lain.
@
llmu dan
Menghadapi kelemahan-kelemahan dunia seperti itu, berbagai reaksi bisa muncul, tetapi ada reaksi yang mesti diwaspadai. Ancaman-Ancaman Romantisme masa lalu, terutama jika landasannya adalah agama. Dalam bahasa kekristenan, gejala ini disebut nostalgia Abad Pertengahan. Karena pada zaman itulah agama memiliki peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, tidak bisa dimungkiri justru pada zaman seperti itu kehidupan juga tidak bisa mengalami banyak perkembangan. Hampirtidak ada perkembangan yang cukup berartiyang terjadi pada zaman tersebut. Namun.toh masih banyak yang berpikir bahwa zaman seperti itu lebih baik daripada zaman sekarang. Tentu bukan karena sudah tahu sendiri apa yang sesungguhnya terjadi pada zaman tersebut (bagaimana mungkin jika tahunya saja lewat cerita-cerita orang lain), tetapi lebih sebagai reaksi penolakan terhadap zaman sekarang. Sehingga, nostalgia Abad Pertengahan mesti ditafsirkan sebagai keengganan untuk hidup di dunia seperti sekarang ini. Kesenjangan anlara lembaga yang kuat dan lemah, terutama dalam soal modal. Lembaga yang kuat modalnya akan lebih mampu berbuat banyak dalam mengikuti perubahan zaman, tetapi sebaliknya, yang lemah akan tertinggal jauh. Demikian juga dalam soal go international. Masih ada lembagalembaga yang kurang percaya diri malah menutup diri dari pergaulan internasional. Terkadang alasannya hanyalah soal bahasa. Tetapi, bisa juga alasan budayd. Meski go international tidak menuntut perubahan yang mencakup hal-hal mendasar, bisa dianggap demikian jika sudah dipersepsi negatif. Akibatnya, kesenjangan antara yang sudah dan belum go interndtional semakin parah. Birokratisasi yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagaijawaban atas perubahan zaman. Organisasi agama seperti gereja, ketika menghadapi kepelbagaian, ada yang malah mem-
@
Universi!as pada Era Pascakolonial
perkuat birokrasinya supaya tidak mudah dirembesi kepelbagaian yang dianggap akan menyulitkan dirinya.Tetapi, birokratisasi justru akan menciptakan jebakan yang membuat sebuah lembaga sulit untuk keluar apalagi menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Birokratisasi bagaikan gua perlindungan yang kemudian tanpa sadar berubah menjadi kuburan. Kita yang bergerak di bidang pendidikan sudah semestinya
terpanggil untuk mencegah agar ancaman-ancaman tersebut tidak berlanjut menuju tindakan-tinda ka n yang berpotensi menghancurkan diri kita sendiri. Kita ingat kata-kata bijak dari Epictetus (50-120): "To accuse others for one's misfortunes is a sign ofwant of education; to occuse oneself shows that one's education has begun; to accuse neither oneself nor others shows that one's education is comPlete."
Peluang di Masa Depan Kata kuncinya bagi saya adalah sinergi, baik dalam pengertian lintas ilmu maupun lintas lembaga pendidikan' Tanpa meninggalkan profesionalisme yang bisa membawa orang pada kedalaman ilmunya, orang sebenarnya masih memerlukan kesadaran akan apa yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya. Pengalaman saya sebagai pengampu mata kuliah "Globalisasi dan Teologi", di mana mahasiswa (teologi) diajak untuk mendiskusikan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir, ternyata semakin menguatkan saya untuk meyakini bahwa teologi tidak lagi bisa berdiri sendirijika tidak ingin kehilangan sentuhan pada realitas. Demikian juga ilmu-ilmu lain, mereka tidak bisa menganggap teologi sebagai ilmu arkaik yang bukannya mendukung, tetapi malah sering membebani laju perkembangan ilmu lainnya. Kepada teman-teman dari bidang ilmu lain, saya sering mengatakan bahwa teologi juga jangan dianggap identik dengan etika saja. Seolah-olah kalau teolog mengomentari ilmu lainnya, ia pasti akan berbicara soal moral. Dan kalaupun ilmu lain mau memberi teologi kesempatan untuk berbicara, wadah
@
llmu dan
yang disediakan adalah etika. Dalam bidang ekonomi menjadi etika ekonomi, dalam bidang biologi, etika lingkungan atau bioetika, dan begitu seterusnya untukilmu-ilmu lainnya. Bagi saya, pikiran tersebut masih meninggalkan ciri kecurigaan terhadap hubungan antara agama dan sains. Agama dianggap hanya akan atau hanya mampu berbicara dalam soal moral. Malahan, moral yang dimaksud adalah laranganlarangan, hukum-hukum. Pada zaman sekarang ini, para ahli etika yang saya kenal sering kali justru sangat liberal dan lebih liberaldaripada ahli lain. Maka, jika yang dibayangkan adalah etika akan banyak memberikan larangan, orang akan kecewa. Sebab, para ahli etika itu justru akan banyak membolehkan apa-apa yang dikira akan dilarang. Sepengetahuan saya, etika sendiri sekarang ini dikembangkan untuk lebih banyak berbicara pada dataran konsep dan bukan pada dataran praktik. lni perkembangan yang penting dan sekaligus mencegah orang berpikir bahwa dengan etika maka yang ada hanyalah koda-koda perilaku, apalagi perilaku yang boleh dan yang tidak boleh saja. Sinergi lintas ilmu bisa terjadi dalam berbagai wilayah, tetapi ada baiknyajika diarahkan pada wilayah yang lebih konseptual. Masalahnya, kita sekaligus ingin membuat dunia kellmuan kita menjadi dunia yang tidak hanya membicarakan hal-hal yang praktis. Kita sangat butuh pendalaman keilmuan yanq mencapai konsep-konsep mendasar. Dengan begitu, kita bisa memahami sebuah ilmu hingga ke akar-akarnya dan bukan tidak mungkin jika pada akhirnya kita sendiri bisa menciptakan sebuah ilmu. Maka, penelitian yang kita lakukan perlu memberi ruang bagi hal-hal yang sifatnya masih jauh dari realitas yang tampak agarkita bisa menguasai ilmu secara mendasar. Tetapi, perlu juga kita membuat penelitian-penelitian yang sifatnya lebih praktis. Penelitian-penelitian yang nantinya langsung laku dijual. Bagi saya, ini bukan pilihan yang sifatnya either-or. Penelitian yang idealis tetap perlu meskipun yang praktis tidak boleh disepelekan. Dengan begitu, kita sekaligus bisa memberikan kesempatan
@
Universitas pada Era Pascakolonial
seluas-luasnya bagi para peneliti kita. Artinya, ada tempat bagi peneliti yang cenderung bergerak dalam kerangka paradigma
yang sudah lebih dulu diciptakan, dan peneliti yang ingin mengujicobakan paradigma yang baru juga diberi tempat. Dalam hubungan sinergi antarlembaga, juga amat dibutuhkan model-model kerja sama yang fleksibel. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari memperkecil kesenjangan yang diakibatkan oleh perbedaan modal (finansial, politik, sosial), menciptakan ketahanan dalam menghadapi pasar (tidak
saling menjatuhkan), sampai dengan menambah efektivitas dalam menjawab kebutuhan pasar (kekuatan masing-masing dipakai bersama-sama). Kerja sama antarlembaga juga mencegah monopolismeyang tidak akan menguntungkan siapa pun termasuk pihak yang merasa mempunyai cukup sumber untuk melakukan monopoli itu. Pola yang diterapkan di universitasuniversitas luar negeri di mana universitas terbentuk dari beberapa collegesbisa kita upayakan. Pola seperti itu telah terbukti membuat lembaga tersebut berdaya tahan lama. Pascakolonial Dalam tulisan di atas, saya belum menyentuh topik yang saya gunakan sebagaijudul, yaitu "pasca kolonial". Tetapi, itu bukan berarti saya belum mengungkapkan idenya sama sekali' Sebab, yang saya maksud dengan pascakolonial adalah adanya hibridasi dalam lingkup budaya, agama, ekonomi, sosial, dan politik sebagaimana saya harapkan menjadijelas dalam cara saya menggambarkan gejala yang ada dewasa ini dan terutama dalam menyampaikan usul-usul menghadapi gejala-gejala tersebut'5 Pada dasarnya, kita sebagai bangsa yang pernah dijajah perlu membuktikan diri bahwa kita bisa menyejajarkan diri dengan bangsa
I
Wacana Wacanapascakolonialbanyakdigunakanakhir-akhirinidalamlingkuptafsirbudaya inijuqa menjadipembicaraan yang hangatdalam studiAlkitab.Salah satu buku yang memuat p".bi."r""n terseb!t adalah ,4ridn Eiblical Hermeneutics and Postcolonialism ka?ngan R.S. 5uqi(harajah, Orbis Books, 1998
@ yang pernah menjajah kita. Atau, dengan nada yang lebih positif,
kita perlu menunjukkan diri dalam pergaulan internasional sebagai bangsa yang bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia. Wacana pascakolonialwalaupun bisa me-
nimbulkan bayangan antagonisme, yaitu antara bekas bangsa penjajah dan bekas bangsa yang dijajahnya, tidak d imaksudkan demikian. Tetapijuga, bukan berarti wacana ini sama sekali tidak menghiraukan kolonialisme dengan segala akibat buruknya. Kolonialisme malah dimengerti tidak sebatas fenomena fisik saja. Jika penjajahan secara fisik sudah lewat, bukan berarti kolonialisme sudah lewat juga. Pasca kolon ia lis me tidak hanya merespons kolonialisme fisik pada zaman prakemerdekaan dulu, tetapijuga dan terutama merespons gejala kolonialisme pada zaman sekarang ini. Pascakolonialisme ingin merespons kolonialisme dengan cara mengajak mereka yang dijajah untuk bangkit dan menunjukkan kualitas kita yang tidak kalah dari kualitas penjajah. Namun, menunjukkan kualitas kita tidak perlu membuat kita memisahkan diri dari apa saja yang sudah kita kenal dari penjajah kita. Katakanlah kita tidak perlu membuat program deBelandanisasi. Sebab, di samping sulit, itu juga mustahil. Di sini saya berbicara soal budaya. Dalam hal budaya, yang maksimal bisa kita bayangkan adalah terjadinya hibridasi. Dalam konteks itu, kita perlu memperlihatkan sumbangan yang datang dari kekayaan kita sendiri. Sebab, hibridasi jelas menolak adanya dominasi sementara pihak. Hibridasi berbicara soal percampuran berbagai unsur, tetapi dalam kondisi kesetaraan. Bagi saya, globalisasi sekarang tidak lain dari hibridasi. Hibridasi yang ditimbulkan oleh perjumpaan antarbudaya, antarfilsafat, antarideologi, antaretnis, antarkomunitas, antarilmu, juga antar agama. Mentalitas yang perlu ada di sini adalah mentalitas orang yang percaya diri. Sedangkan mentalitas orang yang kurang percaya dirijustru menjadi ciri khas dari zaman kolonialisme. Banyak bangsa yang dijajah akhirnya memilih dua sikap yang ekstrem. Pertomo, mengikuti budaya sang tuan. Kedua, melawan apa saja
Universit3s pada Era Pasaakolonial
yang dianggap datang dari sang tuan. Kedua sikap itu sama saja. Keduanya datang dari rasa percaya diriyang kurang. Menunjuk-
kan kualitas diri sendiri tidak harus berarti melawan apa saja yang datang dari luar diri sendiri. Sebaliknya, mengambil alih apa-apa yang datang dari luar diri sendiri tidak harus datang dari perasaan rendah diri. Saya sering heran, mengapa kita di satu pihak sering menunjukkan sikap sinis terhadap Belanda, di pihak lain hormat kita kepada londo jauh lebih tinggi daripada hormat kita terhadap bangsa sendiri. Selain itu, yang tak kalah
mengherankan adalah orang Belanda yang menjajah kita itu justru menyimpan berbagai dokumen penting tentang budaya kita, mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bahkan bisa mengajari kita tentang budaya kita sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah ini bukan bukti bahwa kita memang sering kurang percaya diri? Jika memang demikian, bukankah lebih baik jika kita mencoba mengatasinya sendiri dan tidakjustru malah meneruskan rasa tidaksenang t erhadap Londo (entah Londo Belanda alau Londo lnggris atau londo Amerika, pokoknya semua londo alias orang Barat), apalagi membangun sebuah harapan bahwa kita bisa membuat suatu dunia yang bersih dari unsur-unsur Barat. Perdebatan antala sains dan agama yang kita lakukan selama ini kiranya jangan sampai bergeser pada sikap-sikap pemisahan diri yang sulit untuk dipraktikkan, kecuali jika kita mampu memformat ulang dunia kita sekarang ini. Namun bagaimanapun, saya tetap memilih untuk menerima dunia kita ini dengan segala kebaikan dan keburukannya, terlibat secara aktif di dalamnya, semata-mata u ntuk menjadikannya lebih baik lagi di masa depan. Jika masa depan yang lebih baik itu yang menjadi acuan kita dalam melakukan sinergi, perjumpaan, integrasiatau apa pun namanya, antarilmu, antarsains dan agama, antaragama, antarlembaga pendidikan, antarbangsa dan antar-antar yang lain, peduli amat dengan asal-usulnya, jejak ontologisnya, epistemologinya, sumber budayanya, juga sumber agamanya. Pen-
@
llmu dan
deknya, peduli amat dengan soal-soal metafisikanya (dalam artian filsafat). Metafisika justru bercerita tentang perbedaanperbedaan saja, atas nama "dulunya", atas nama "identitas", atas nama 'ruh", atas nama 'surga", tetapi setelah itu apa? Wacana a better future sebaliknya, bercerita tentang solidaritas di mana perbedaan mau diakui atau tidat(, disadari atau tidak diagungkan atau tidak tidak menjadi masalah, Masalahnya hanyalah kesepakatan apa yang bisa kita buat demi masa depan bersama yang lebih baik I