FERMENTASI SEBAGAI UPAYAMENGHILANGKAN AROMA “PRENGUS” SUSU KAMBING (Fermentation as an Alternative to Eliminate Presence of Goaty Flavor In Goat Milk) Ahmad N Al-Baarri1, AM Legowo1, TW Murti2 1 Staf Pengajar Fakultas Peternakan UNDIP 2 Staf Pengajar Fakultas Peternakan UGM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fermentasi susu kambing menjadi yogurt terhadap intensitas aroma “prengus” yang ada di dalam susu sambing. Parameter yang diamati untuk mengetahui perubahan intensitas aroma “prengus” adalah senyawa volatil (asetaldehid, diasetil dan etanol). Pengamatan terhadap pH dan derajat keasaman juga diambil sebagai parameter. Susu kambing segar yang telah disterilisasi, diinokulasi dengan bakteri asam laktat (Streptococcus thermohillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus) dan diinkubasi selama 6 jam pada suhu 43° C. Susu kambing segar diinokulasi starter Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbruechii subsp. bulgaricus masing-masing sebanyak 1,5% volume secara steril. Sampel diambil pada jam inkubasi ke-0, 2 ,4, 6 untuk diuji laboratorium. Kadar senyawa volatil dianalisis dengan menggunakan dengan menggunakan metode Kromatografi gas (menggunakan kolom jenis Carbowax). Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan uji beda rata-rata. Hasil analisis statistik menunjukkan pH yogurt susu kambing menurun secara nyata dari 6,80 hingga mencapai 6,45. Hasil derajat keasaman juga menunjukkan peningkatan yang nyata mulai 0,25 hingga 0,35 pada akhir penelitian. Konsentrasi asetaldehid, diasetil, dan etanol pada penelitian masing-masing mencapai konsentrasi 13,05; 3,34; dan 3,00 ppm. Keseluruhan konsentrasi ini masih berada dibawah level pencapaian optimal senyawa volatil yang mampu menghilangkan aroma “prengus”, sehingga secara uji organoleptik terhadap intensitas aroma “prengus” terhadap 25 panelis sebagian besar menyatakan bahwa produk akhir penelitian masih terdapat aroma prengus pada akhir penelitian. kata kunci : susu kambing, yogurt, “prengus”, senyawa volatil. ABSTRACT This research was conduct to evaluate effect of fermentation in goat milk (as yogurt) on goaty flavor level. There were three compounds were used to evaluate a presence of goaty flavor (known as goaty flavor rinse compounds): acetaldehyde, diacetyl, and ethanol. Variable were used in this research were pH, acidity acetaldehyde level, diacetyl level, and ethanol level. 25 panelis were used to prove the presence of goaty flavor in goat milk yogurt. Goat milk was fortified with Streptococcus thermophillus (1,5% v/v) and Lactobacillus bulgaricus (1,5% v/v). The samples were incubated in 6 hours at 43°C. Samples were collected at 0, 2, 4, 6 hours of incubation to analyse pH, acidity acetaldehyde level, diacetyl level, and ethanol level and organoleptic test. Gas Chromatography were used to analyse the level of acetaldehyde, diacetyl, and ethanol. Data were analyse with mean differences test. The result shows that there were decreasing in pH of goat milk yogurt from 6.80 to 6.45. The acidity were increase from 0.25 % to 0.35 %. At 6 hours incubation, the level of acetaldehyde, diacetyl and ethanol were 13.05, 3.34, and 3.00 ppm. As a result, volatile compounds in yoghurt were inadequate to rinse goaty flavor in goat milk yogurt. This result were proved by organoleptic test that were still detect goaty flavor presence in goat milk yogurt at the end of research. Key Word : goat milk, yogurt, goaty flavor, volatil compounds.
230
J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(4) Dec 2003
PENDAHULUAN Salah satu masalah dalam konsumsi susu kambing adalah adanya aroma “prengus” yang tidak disukai konsumen. Aroma “prengus” adalah aroma khas susu kambing yang cukup tajam dan tidak dijumpai pada susu ternak lainnya. Istilah “prengus” masih merupakan istilah lokal dan belum ditemukan adanya laporan tentang deskripsi aroma “prengus” tersebut. Salah satu masalah dalam mengkonsumsi susu kambing adalah adanya aroma “prengus” yang kurang disukai konsumen. Jika aroma “prengus” pada susu kambing dapat dihilangkan atau minimal dapat dikurangi, maka diharapkan konsumsi susu kambing dapat meningkat. Meningkatnya konsumsi susu kambing, pada gilirannya dapat membawa dampak positif terhadap perkembangan ternak kambing di Indonesia. Informasi tentang aroma “prengus” pada susu kambing juga merupakan tambahan khasanah ilmu pengetahuan dan bagian dari HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) di Indonesia. Pengolahan susu menjadi susu fermentasi (yogurt, misalnya) merupakan salah satu cara pengolahan susu yang selain berguna untuk meningkatkan nilai nutrisi susu juga berguna unuk menghilangkan senyawa aroma yang kurang disuka seperti bau “amis” yang terdapat di semua susu segar pada umumnya. Berbagai penelitian tentang susu fermentasi dari berbagai macam jenis susu telah banyak dilaporkan. Namun, penelitian tentang fermentasi yang bersumber dari susu kambing sebagai upaya menghilangkan aroma “prengus” belum dilakukan. Aroma asli susu segar pada umumnya (yaitu aroma “amis”) setelah menjadi susu fermentasi, akan berkurang bahkan hilang. Hal ini karena selama proses fermentasi, dikeluarkan gasgas atau senyawa volatil seperti asetaldehid, diasetil, dan aseton yang dapat berfungsi sebagai senyawa “pencuci” aroma asli susu. Mekanisme ketiga senyawa tersebut dalam fungsinya sebagai “pencuci” aroma, belum diketahui dengan jelas. Namun, keberadaan senyawa tersebut, mempunyai pengaruh positif dalam mengurangi atau menghilangkan aroma asli susu.
Mengingat fungsi fermentasi susu salah satunya bertujuan untuk menghilangkan aroma asli susu segar yang tidak disukai, perlu dilakukan pengolahan pada susu kambing menjadi susu kambing fermentasi. Pengolahan menjadi susu kambing menjadi susu fermentasi diharapkan dapat menghilangkan atau paling tidak mengurangi aroma “prengus”. Setelah dilakukan fermentasi, selanjutnya dilakukan dilakukan pendeteksian terhadap keberadaan senyawa asetaldehid, diasetil dan aseton. Selanjutnya dilakukan upaya crosscheck melalui uji organoleptik terhadap keberadaan aroma “prengus” pada susu fermentasi tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis senyawa volatil pada susu sapi segar dan beberapa produk olahannya (Ulberth, 1991; Monnet et al., 1997; Hashim dan Chaveron, 1998; Marsili dan Miller, 1998). Metoda yang lazim digunakan untuk menganalisis senyawa volatil tersebut adalah dengan kromatografi gas (Wijaya et al., 1997). Asetaldehid merupakan jenis senyawa volatil yang memberikan aroma yang spesifik pada susu fermentasi. Asetaldehid pada fermentasi susu sapi, dapat mencapai 18 ppm. Komposisi ini diatas rata-rata komposisi senyawa volatil lain seperti etanol dan diasetil yang hanya mencapai kisaran 3 ppm. Asetaldehid yang rendah akan memberikan pengaruh pada aroma asli susu segar pada hasil akhir produk. Aroma asli susu akan berkurang jika kandungan asetaldehid tinggi (Rysstad et al., 1987). Keberadaan asetaldehid ini perlu diteliti pada susu fermentasi yang terbuat dari susu kambing guna menganalisis aroma asli susu kambing setelah menjadi susu fermentasi. Diasetil mempunyai peranan pada aroma susu fermentasi. Keberadaan diasetil ini akan memberikan aroma “harum” susu fermentasi. Senyawa diasetil tidak terdeteksi pada susu segar dan akan menunjukkan eksistensinya ketika dilakukan fermentasi pada susu tersebut (Manjunath et al., 1983). Ethanol adalah senyawa volatil yang terdapat baik pada susu sapi fermentasi maupun susu sapi segar. Kadar etanol pada susu sapi fermentasi mencapai sekitar 3 ppm. Kadar etanol pada susu sapi segar mencapai 2 ppm. Kadar etanol pada
Fermentation as an Alternative to Eliminate Presence of Goaty Flavor (Albaarri)
231
susu sapi fermentasi lebih tinggi daripada susu sapi segar. Kadar etanol yang lebih tinggi tersebut diyakini mempunyai peranan yang cukup penting pada pengurangan aroma yang tidak disukai yang terdapat pada susu segar sebelum difermentasi (Law, 1981). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan aroma “prengus” pada susu kambing segar setelah mengalami proses fermentasi dengan cara mendeteksi keberadaan senyawa volatil asetaldehid, diasetil, dan aseton yang diduga berperan penting dalam penghilangan atau pengurangan aroma “prengus” susu kambing.
MATERI DAN METODE Materi Materi penelitian ini mencakup bahan dan peralatan untuk memfermentasi susu. Bahan yang digunakan adalah susu kambing, bakteri asam laktat Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus dan media perkembangan bakteri yaitu MRS. Peralatan yang digunakan yaitu inkubator, tabung vakum, gelas ukur, ose, pipet, venojek, aluminium foil. Perangkat kromatografi gas yang digunakan adalah Kromatografi Gas merek Schimadzu, dengan menggunakan kolom “Carbowax”. Metode Fermentasi susu kambing. Proses fermentasi yang dipilih adalah pembuatan yogurt. Prosedur pembuatan yogurt dilaksanakan sesuai petunjuk Tamime et al. (1980). Starter bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus terlebih dahulu dikembangbiakkan dalam media MRS. Pembiakan starter ini diperlukan untuk meremajakan starter agar nantinya mampu berkembang di dalam media susu. Dua jenis bakteri (Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus) dicampur menjadi satu kemudian diinkubasi dalam media MRS broth sebagaimana memfermentasi susu. Inkubasi ini dilaksanakan di dalam inkubator dengan lama inkubasi 6 jam. Setelah proses peremajaan selesai, dilakukan persiapan untuk menginokulasi starter ke
232
dalam susu kambing. Mula-mula susu kambing segar dipasteurisasi, kemudian didinginkan sampai suhu 43°C, yang dilanjutkan dengan inokulasi starter bakteri asam laktat (Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus) dengan jumlah 3%. Inkubasi susu dilakukan pada suhu 43°C di dalam inkubator. Waktu inkubasi dipilih adalah selama 6 jam, sesuai dengan proses pembuatan yogurt yang lazim dilakukan (Tamime et. al., 1980). Lama waktu inkubasi tersebut merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi yogurt yang dihasilkan (Tamime et.al., 1980; Rysstad, 1986; Al-Baarri, 1998; Al-Baarri, 2001). Analisis Kromatografi.. Setelah proses fermentasi selesai, segera dilakukan persiapan untuk analisis kromatografi gas. Metode kromatografi gas yang dipakai adalah dengan “Head Space”, yaitu dengan cara memberikan tekanan di dalam cairan sampel yogurt susu kambing supaya aroma yang berada di dalam cairan sampel, dapat keluar (Rysstad, 1986). Mula-mula kolom pada kromatografi gas dicuci terlebih dahulu untuk menghindari kontaminasi dari uji sebelumnya. Kemudian Kromatografi gas distandardisasi dengan larutan standar yang berisi gas asetaldehid, diasetil dan etanol. Setelah itu, kromatografi gas, siap untuk dipakai analisis. Data yang dihasilkan berupa grafik yang tidak beraturan yang disebut kromatogram. Selanjutnya data dianalisis dengan metode Biorad (1998) untuk mengetahui kadar masing-masing gas. Analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan gas yang dikeluarkan oleh susu kambing segar dan susu kambing yang telah difermentasi adalah dengan menggunakan uji beda mean. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan pH Hasil analisis pH yogurt susu kambing memperlihatkan adanya penurunan pH yang tidak terlalu tajam dari 0 jam inkubasi sampai 6 jam inkubasi yaitu dari 6,80 hingga 6,45. Penurunan pH ini tidak sesuai dengan yang dikatakan Buckle et.al. (1987), bahwa adanya kegiatan mikroorganisme yang
J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(4) Dec 2003
Tabel 1. Perubahan pH pada Yogurt Susu Kambing Macam Uji
pH
rerata
Waktu Inkubasi (jam) 0
2
4
6
6,80
6,60
6,80
6,40
6,80
6,65
6,80
6,45
6,80
6,70
6,80
6,50
6,80a
6,65a
6,80a
6,45b
ab
Huruf superskrip yang berbeda pada waktu inkubasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.
menghasilkan asam laktat, dapat menurunkan pH menjadi 4,5 selama 8 jam inkubasi. Demikian juga dengan pernyataan Eiber dan Brunner (1979) bahwa selama proses fermentasi, pH menurun hingga 4,0 selam 6 jam proses inkubasi. Fenomena ini disebabkan oleh jumlah starter yang digunakan untuk setiap penelitian ini adalah berbeda-beda. Menurut Kosikowski (1977), keasaman produk fermentasi dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. Perhitungan rasio bakteri Strepcoccus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus yang digunakan untuk pembuatan yogurt sampai saat ini masih kurang jelas. Menurut Tamime dan Deeth (1980), rasio bakteri Streptoccus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus dari berbagai penelitian adalah berbedabeda, yaitu menurut koloni dibanding koloni, rantai dibanding rantai atau sel dibanding sel. pH awal pada penelitian ini adalah rata-rata adalah 6,80. pH normal susu menurut Buckles et. al. (1978), bahwa pH susu berada diantara 6,6-6,7 dan bila terjadi pengasaman oleh aktivitas bakteri, nilai tersebut akan munurun secara nyata. Menurut Jennes dan Patton (1969), susu segar umumnya mempunyai pH antara 6,5-6,7. Niali pH yang lebih besar dari 6,7 biasanya menunjukkan adanya gangguan pada putting susu seperti mastitis, sebaliknya jika pH dibawah 6,5 menunjukkan kolustrum atau terjadinya pengasaman karena aktifitas bakteri. pH pada awal inkubasi sedikit lebih tinggi dari berbagai pustaka yang digunakan. Akan tetapi efek dari pemanasan yang dilakukan pada
penelitian ini dapat menyebabkan pH menjadi naik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Tamime dan Deeth (1980) bahwa pemanasan mempunyai efek pada waktu inkubasi dan akan menaikkan nilai pH. Perlakuan pemanasan, dapat mempersingkat waktu inkubasi dan dapat meningkatkan pH. Perubahan laktosa menjadi asam laktat akan menyebabkan susu rasa asam atau souring dan bila asam telah cukup diproduksi, susu akan menggumpal (Porter, 1975). Penggumpalan juga terjadi akibat tercapainya titik isoelektrik pada pH 4,6; saat casein berubah strukturnya menjadi gel. Pengamatan pada hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya penggumpalan. Hal ini karena pH yang dicapai pada akhir penelitian belum mencapai pH isoelektrik yaitu pada pH 4,6. Penurunan pH yang tajam dimulai pada jam ke-4 inkubasi. Hal ini diperkirakan pertumbuhan bakteri mulai fase pertumbuhan dipercepat.
Kadar Keasaman Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan yang cukup tajam selama inkubasi terutama setelah inkubasi jam ke-4. Perubahan tersebut mulai dari 0,25 hingga 0,35 pada akhir inkubasi. Hasil yang diperoleh mengenai kadar keasaman serta asam laktat ini berbeda-beda pada berbagai macam penelitian karena berbagai faktor yang mempengaruhinya antara lain umur kultur yang digunakan, waktu dan suhu inkubasi. Tetapi semua pustaka yang digunakan menyatakan bahwa kadar
Fermentation as an Alternative to Eliminate Presence of Goaty Flavor (Albaarri)
233
Tabel 2. Perubahan Kadar Keasaman Setara Asam Laktat (%) pada Yogurt Susu Kambing Macam Uji
Waktu Inkubasi (jam)
Keasaman (%)
rerata
0
2
4
6
0,24
0,22
0,26
0,36
0,25
0,23
0,26
0,35
0,25
0,23
0,26
0,35
a
a
a
0,35b
0,25
0,23
0,26
ab
Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,01).
keasaman setara asam laktat akan meningkat dengan sangat tajam sejalan dengan waktu inkubasi. Semakin banyak dan semakin mampu bakteri yang mencemari susu untuk memproduksi asam laktat, semakin tinggi asam laktat yang terbentuk pada yogurt (Kosikowski, 1977). Keasaman yogurt susu susu sapi dapat mencapai 0,79% (Rysstad dan Abrahamsen, 1987). Namun hasil tersebut tidak direkomendasi Hui (1993) yang menyatakan sebaiknya kadar keasaman yogurt tidak melebihi 0,9 % karena batas ini merupakan batas derajat keasaman yang tidak disuka konsumen. Tinggi rendahnya kadar asam laktat setiap penelitian adalah berbeda-beda. Lampert (1975) menyatakan bahwa kecepatan terbentuknya asam laktat tergantung pada jumlah bakteri yang mencemari susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) bahwa tinggi rendahnya kadar asam laktat dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan.
Senyawa Odor pada Yogurt Susu Kambing Asetaldehid Produksi asetaldehid selama inkubasi berkisar dari 10,25 ppm hingga 13,04 ppm. Produksi asetaldehid terbanyak terdapat pada masa inkubasi 4 jam yaitu 3,05 ppm dan produksi yang paling sedikit terdapat pada masa inkubasi awal, yaitu sebesar 10,25 ppm. Jika dibandingkan dengan produksi tiap-tiap jam inkubasi, produksi asetaldehid mulai menunjukkan adanya kenaikan produksi yang nyata mulai masa inkubasi jam ke-6. Hasil produksi asetaldehid yogurt susu kambing seperti yang tertera pada Tabel 3, jika dibandingkan dengan produksi asetaldehid pada fermentasi susu sapi berbagai penelitian lain, relatif lebih rendah produksinya. Fuadi (1999) melaporkan bahwa yogurt yang terbuat dari susu sapi akan mengeluarkan senyawa asetaldehid hingga 17,00 ppm selama inkubasinya.
Tabel 3. Konsentrasi Ssenyawa Odor (ppm) pada Yogurt Susu Kambing Senyawa Odor 0
2
4
6
Asetildehid
10,25 a
11,00a
13,05 b
13,04b
Diasetil
2,30a
2,15a
3,45a
2,80a
Etanol
0,50a
0,50a
0,50a
3,00b
ab
234
Waktu Inkubasi (jam)
Huruf Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(4) Dec 2003
Penelitian lain menunjukkan bahwa produksi asetaldehid pada fermentasi susu sapi, dapat mencapai 18 ppm. Aroma asli susu sapi berkurang pada fermentasi susu sapi dengan produksi asetaldehid yang mencapai 18 ppm. Semakin tinggi kandungan asetaldehid, akan semakin hilang pula aroma asli susu (Rysstad et al., 1987). Beberapa peneliti lain juga menemukan hubungan hilangnya aroma negatif susu dengan asetaldehid. Murti (1993) melaporkan hasil penelitian pada yogurt yang terbuat dari susu kedelai. Produksi asetaldehid pada yogurt susu kedelai dapat mencapai 38,95 ppm. Kandungan asetaldehid yang tinggi ini, terbukti mengurangi aroma negatif pada susu kedelai. Mengingat produksi asetaldehid fermentasi susu kambing (10,24 sampai 13,05 ppm) masih jauh di bawah produksi asetaldehid pada fermentasi susu sapi maupun fermentasi susu kedelai, maka upaya fermentasi susu kambing selama jam inkubasi ini, tidak mampu menutupi aroma “prengus” yang ditimbulkan dari susu kambing. Hasil ini didukung dengan hasil penelitian tentang uji organoleptik terhadap aroma “prengus” fermentasi susu kambing, yang masih menunjukkan adanya aroma “prengus” hingga akhir penelitian (Tabel 4).
dilakukan fermentasi pada susu tersebut (Manjunath et al., 1983). Penelitian mengenai produksi diasetil pada fermentasi susu sapi dapat mencapai 5,45 ppm, sebagaimana yang dilaporkan Fuadi (1999) bahwa konsentrasi diasetil dapat mencapai 5,45 ppm selama 24 jam inkubasi, dan dari hasil uji organoleptik, aroma asli susu sapi, tidak terdeteksi pada akhir penelitian. Diasetil yang terbentuk selanjutnya akan mengalami transformasi menjadi asetoin dan asetaldehid, sehingga keberadaan diasetil lebih rendah konsentrasinya daripada konsentrasi asetaldehid (Murti 1993). Hasil penelitian konsentrasi diasetil pada yogurt susu kambing dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil menunjukkan bahwa selama inkubasi, produksi asetaldehid mencapai 3,45 ppm yang dicapai pada masa inkubasi jam ke-4. hasil ini masih berada dibawah level konsentrasi diasetil penelitian Fuadi (1999). Faktor inilah yang menyebabkan aroma “prengus” masih terdeteksi pada fermentasi susu kambing. Hal ini karena konsentrasi diasetil belum mampu memberikan aroma “harum” yang cukup guna menutup aroma “prengus”. Etanol Ethanol adalah senyawa volatil yang terdapat baik pada susu sapi fermentasi maupun susu sapi segar. Kadar etanol pada susu sapi fermentasi mencapai sekitar 3 ppm. Kadar etanol pada susu sapi segar mencapai 2 ppm. Kadar etanol pada susu sapi fermentasi lebih tinggi daripada susu sapi segar. Kadar etanol yang lebih tinggi tersebut diyakini mempunyai peranan yang cukup penting pada pengurangan aroma yang tidak disukai yang terdapat pada susu segar sebelum difermentasi (Law, 1981).
Diasetil Diasetil mempunyai peranan pada aroma susu fermentasi. Keberadaan diasetil ini akan memberikan aroma “harum” pada susu fermentasi. Senyawa diasetil tidak terdeteksi pada susu segar dan akan menunjukkan eksistensinya ketika
Tabel 4. Uji Penelis untuk Deteksi Intensitas Aroma “Prengus” Yogurt Susu Kambing Macam Uji
Aroma “Prengus”
Waktu Inkubasi 0
2
4
6
3,50a
3,25a
3,25a
3,00b
Skor 1 : Tidak beraroma “Prengus”. Skor 2 : Agak beraroma “Prengus”. Skor 3 : beraroma “Prengus”. Skor 4 : Sangat beraroma “Prengus”. ab Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata.
Fermentation as an Alternative to Eliminate Presence of Goaty Flavor (Albaarri)
235
Konsentrasi etanol pada penelitian Fuadi (1991) mencapai 3,47 ppm pada waktu inkubasi selama 24 jam. Ulberth menyatakan bahwa etanol dapat diproduksi oleh susu fermentasi hingga mencapai 20 ppm dan pada saat konsentrasi etanol mencapai 20 ppm, aroma khas susu sudah tidak terdeteksi. Fuadi (1991) menjelaskan bahwa aroma asli susu sapi juga tidak terdeteksi pada level etanol 18,10 ppm dalam susu fermentasi yang terbuat dari susu sapi. Aroma “prengus” pada akhir penelitian masih terdeteksi (lihat Tabel 5). Hal ini salah satunya disebabkan karena konsentrasi etanol pada penelitian masih berada dibawah pencapaian optimal (yaitu 3,00 ppm) sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Ulberth (1991) dan Al-Baarri (2001) bahwa perbedaan hasil antar para peneliti mungkin terjadi karena penggunaan starter yang berbeda dan perbedaan aktivitas sinergis mikroorganisme, serta jenis susu yang berbeda. Disamping itu, kandungan lemak susu kambing yang relatif tinggi yang dapat berpengaruh pada perkembangan bakteri asam laktat pembentuk yogurt pada susu kambing (Al-Baarri, 1998). Produksi gas dari fermentasi susu kambing adalah cenderung tidak linier. Hal ini kesetimbangan senyawa volatil di dalam produk berlangsung demikian cepat. Selain itu konsentrasi senyawa volatil dapat berubah setiap saat (Murti 1993). Pengaruh keasaman juga dapat mempengaruhi kemunculan senyawa volatil. Derajat keasaman lebih dari 0,42 akan mengganggu kestabilan senyawa volatil (Tamime dan Robinson, 1989).
konsentrasi 13,05; 3,34; dan 3,00 ppm pada masa inkubasi jam. Keseluruhan konsentrasi ini masih berada dibawah level pencapaian optimal senyawa volatil yang mampu menghilangkan aroma “prengus” sebagaimana pada peneliti lain yang meneliti aroma khas susu sapi dan susu kedelai.
KESIMPULAN
Fontecha, J., Diaz, V., Fraga, M.J. 1998. Triglyceride analysis by gas chromatography ini assesment of authenticity of goat milk fat. Journal of the American Oil Chemists’ Society
Hasil analisis senyawa volatil menunjukkan adanya kemunculan senyawa asetaldehid, diasetil dan etanol pada fermentasi susu kambing menjadi yogurt. Kemunculan senyawa volatil ini merupakan langkah yang penting dalam rangka menghilangkan aroma “prengus” pada susu kambing. Aroma “prengus” ini adalah aroma yang tidak disukai dari susu kambing yang tidak bisa hilang karena pemanasan dan pasteurisasi. Konsentrasi asetaldehid, diasetil, dan etanol pada penelitian masing-masing mencapai
236
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baarri, A.N. 1998. Evaluasi Komposisi Kimia Susu Kambing Segar Yang Difortifikasi Bakteri Asam Laktat Dengan Kehadiran Ekstrak Susu Kedelai. Skripsi Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Al-Baarri, A.N. 2001. Deteksi Karbohidrat Produk Susu Dengan Kromatografi Cair Bertekanan Tinggi. Tesis Sarjana S-2, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Arn, H. dan T.E. Acree. 1998. Flavornet: a database of aroma compounds base on odor potency in natural products. Dalam Food Flavors: Formation, Analysis and Packaging Influences, E.T. Contis, C.-T. Ho, C.J. Mussinan, T.H. Parliament, F. Shahidi, dan A.M. Spanier (Eds.). Elseiver, Tokyo. Ashari, I.K., Sutarna, E., Juarini dan D.P. Priyanto. 2000. Potensi Susu Kambing dan Masalah Pengembangannya. Buletin Peternakan, Edisi Tambahan, Yogyakarta.
Fuadi, H. 1999. Deteksi Senyawa Volatil Pada Susu Sapi Dengan Fortifikasi Bakteri Asam Laktat. Skripsi Sarjana Peternakan, Fakulltas Peternakan Universitas Gadjah Mada Harding, F. 1999. Milk from sheep and goats. Dalam: Milk Quality, F. Harding (Ed.), A Chapman &
J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(4) Dec 2003
Hall Food Science Book, Aspen Publishers, Maryland. Hashim, L dan H. Chaveron. 1998. Comparison study of UHT milk aroma. Dalam Food Flavors: Formation, Analysis and Packaging Influences, E.T. Contis, C.-T. Ho, C.J. Mussinan, T.H. Parliament, F. Shahidi, dan A.M. Spanier (Eds.). Elseiver, Tokyo. Hui,Y.H. 1993. Principles and Properties. Vol. I.VCH Publ. Inc.USA. Johnsons, E.L. dan Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Penerbit ITB. Bandung. Legowo, A.M., Soepardie dan A.W. Sri. 2002a. Pengaruh Variasi Suhu Dan Waktu Pemanasan Terhadap Sifat Kimiawi dan Organoleptik Susu Kambing. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Undip. (Dalam preparasi untuk publikasi). Law, B.A. 1981. The Formation Aroma and Flavour Compounds in Fermented Dairy Products. Dairy Sci. Abstracts. Vol. 43 No. 3. Legowo, A.M., Soepardie, Nurwantoro, Sugiarto, dan N. Martutiningsih. 2002b. Pengaruh Pemberian Jus Buah Terhadap Komposisi Kimiawi, Sifat Fisik Dan Sifat Organoleptik Susu Kambing Pasteurisasi. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Undip. (Dalam preparasi untuk publikasi). Manheim, Boehringer. 1984. Methods Of Enzimatic Food Analysis. Boehringer Publication. Jerman. Manjunath, N., Joseph A.M., Srinivasan, R.A. 1983. Comparative Biochemical Performance of Yogurt. Egyptian Journal of Dairy Sci vol 11 page 111-119. Marsili, R.T. dan N. Miller. 1998. Determination of the cause of off-flavors in milk by dynamic headspace GC/MS and multivariate data analysis. Dalam Food Flavors: Formation, Analysis and Packaging Influences, E.T.
Contis, C.-T. Ho, C.J. Mussinan, T.H. Parliament, F. Shahidi, dan A.M. Spanier (Eds.). Elseiver, Tokyo. Monnet, C., P. Schmitt dan C. Divies. 1994. Method for assayingVolatile Compounds by Headspace Gas Chromatography and Application to Growing Starter Cultures. J. of Dairy Sci. Vol 77 No. 7. Mulyanto, R.D., Dr. dipl. CN dan Bernadinus T Wahyu W. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu Kambing. PT. AgroMedia Pustaka, Jakarta Muti, T.W. 1993. Growth Sensory and Biochemical Effects of Fermented Soymilk Using Lactid Acid Bacteria and Bifidobacteria, as Compared to Those of Fermented Cowmilk. These S-3. Universite De Caen. Perancis. Nirmala. 2002. Susu kambing kini makin dicari. Majalah Nirmala, April. p: 58-61. Rysstad, G dan R. K. Abrahamsen. 1987. Formation of Volatile Aroma Compounds and Carbondioxyde in Yogurt Starter Grown in Cow’s Milk and Goat Milk. J. Dairy Res. 54:257-266. Sinduredjo, S. 1996. Pedoman Pemeliharaan Kambing Perah. Balai Pustaka, Jakarta. Soeparno. 1992. Prinsip Kimia dan Teknologi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Wawasan. 2001. Permintaan pasar meningkat, susu kambing perlu digenjot. Harian Wawasan, Selasa 24 Juli. p: 6. Wijaya, C.H., H. Raharja, dan A. Apriyantono. 1997. Identifikasi dan Karakterisasi Potent Odorant Mangga Kweni. Bul. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol. VIII, No. 2, p:
Fermentation as an Alternative to Eliminate Presence of Goaty Flavor (Albaarri)
237
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1996. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: S.G. Darmadja). Ulberth, F. 1991. Food Composition : Headspace Gas Chromatographic Estimation of Some Yogurt
238
Volatiles. J. Assoc. Off. Anal. Chem. Vol. 74 No. 4. Monnet, C., P. Schmitt, dan C. Divies. 1997. Gas Chromatography Method. J. Dairy Sci. Vol 7 No. 77.
J.Indon.Trop.Anim.Agric.28(4) Dec 2003