MODUL KULIAH
SENYAWA AROMA DAN CITARASA (AROMA AND FLAVOR COMPOUNDS)
Nyoman Semadi Antara Made Wartini
Tropical Plant Curriculum Project Udayana University
DISCLAIMER This publication is made possible by the generous support of the American people through the United States Agency for International Development (USAID). The contents are the responsibility of Texas A&M University and Udayana University as the USAID Tropical Plant Curriculum Project partners and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government.
Daftar Isi I.
REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Pendahuluan Manfaat Rempah dan Herbal Peran Fungsional Nilai Nutrisi Nilai Antioksidan Sifat Antimikrobia Sifat Repelen terhadap Serangga Kasiat Obat-obatan Daftar Pustaka II. SENYAWA ARO MA DAN CIT ARASA DARI REMPAHREMPAH DAN HERBAL Pendahuluan Citarasa Minyak Atsiri 1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman 2. Perlakuan terhadap Bahan Baku a. Curing b. Preparasi Bahan c. Metode Separasi Minyak Atsiri d. Distilasi e. Distilasi pada minyak atsiri
1 6 7 10 11 12 13 13 14
16 16 19 22 23 23 32 33 39 40
Daftar Pustaka III. ANT IMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Pendahuluan 53 Aktivitas Antimikrobia 55 Aktivitas Antibakteri 59 Aktivitas Antijamur 62 Sifat Antimikrobia pada Makanan 63 Model Penghambatan 67 Daftar Pustaka 68
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 2
I.
REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Setelah membaca bagian dari bab ini pembaca/mahasiswa dapat mengetahui dan memahami berbagai jenis rempah-rempah dan herbal yang diproduksi di berbagai Negara. Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai kegunaan rempah-rempah dan herbal dan sifat fungsionalnya.
Pendahuluan Untuk pertumbuhan dan beraktivitas, manusia membutuhkan makanan yang merupakan kebutuhan hakiki yang harus terpenuhi. Berbagai jenis makanan berkembang di berbagai daerah dan Negara sesuai dengan potensi lokal dan kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini yang menyebabkan bahwa di dunia ini dikenal banyak jenis makanan untuk memenuhi kebutuhan kalori, nutrisi dan kepuasan manusia. Selain potensi sumber pangan lokal, keragaman jenis dan cara penyajian makanan tergantung pada budaya setempat, sehingga pengaruh budaya lokal sering menjadikan makanan mempunyai citarasa spesifik lokal. Di Indonesia, yang memiliki keragaman budaya, tercatat perkembangan berbagai jenis makanan dengan citarasa yang beragam pula. Apabila diperhatikan dengan lebih rinci, rempah-rempah dan herbal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap citarasa dan kekhasan makanan tersebut. Rempah-rempah dan herbal merupakan bahan bumbu yang sangat melekat digunakan dalam kuliner masakan di masing-masing daerah di Indonesia. Selain untuk meningkatkan
citarasa
makanan,
ternyata
rempah-rempah
dan
herbal
yang
ditambahkan dapat juga meningkatkan keawetan produk dan juga keamanan produk untuk dikonsumsi. Meningkatnya daya simpan dan keamanan produk makanan yang ditambah rempah-rempah (bumbu) ataupun herbal disebabkan oleh kemampuan rempah-rempah maupun herbal menghambat bahkan membunuh mikroba pembusuk dan pathogen yang ada dalam makanan. Berbagai jenis rempah-rempah dan herbal yang berasal dan diproduksi di berbagai Negara diperlihatkan pada Tabel 1. Potensi rempah-rempah dan herbal bukan hanya meningkatkan citarasa makanan atau minuman, namun juga dapat berfungsi untuk kesehatan. Di dalam rempah-rempah dan herbal banyak terkandung
senyawa-senyawa bioaktif
yang
berfungsi sebagai
antimikrobia, antioksidan, antidiabetes, antitumor, dan fungsi lainnya yang sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan. Untuk itu, rempah-rempah dan herbal banyak
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 3
dikembangkan untuk obat herbal karena dipercaya tidak mempunyai efek samping yang berbahaya. Tabel 1. Berbagai jenis rempah-rempah, bagian tanaman yang digunakan dan Negara asal atau produsen* Bagian Edible
Negara penghasil/asal
Trachyspermum ammi (L.) Sprague
Biji
Persia and India
Aniseed
Pimpinella anisum L.
Buah
Mexico, Netherlands, Spain
Basil
Ocimum basilicum L.
Daun
France, Hungary, USA, Serbia and Montenegro
Bay leaf
Laurus nobilis L.
Daun
Turkey, USA, Portugal
Cardamom
Elettaria cardamomum White et Mason
Buah
India, Guatemala
Large cardamom
Amomum subulatum Roxb.
Buah
India, Nepal, China
Cassia (kayu manis)
Cinnamomum cassia (L.) Presl
Batang, kulit kayu
China, Indonesia, South Vietnam
Celery
Apium graveolens L.
Fruit
France, India
Chilli
Capsicum frutescens L.
Fruit
Cinnamon (kayu manis)
Cinnamomum verum syn. C. Zeylanicum
Batang, kulit kayu
Ethiopia, India, Japan, Kenya, Mexico, Nigeria, Pakistan, Tanzania, USA Sri Lanka, India
Cengkeh
Syzygium aromaticum (L.) Merr. et Perry
Kuncup bungan
Indonesia, Malaysia, Tanzania
Ketumbar
Coriandrum sativum L.
Buah
Cumin
Cuminum cyminum L.
Buah
Argentina, India, Morocco, Romania, Spain, Serbia and Montenegro India, Iran, Lebanon
Curry leaf
Murraya koenigii Spreng
Daun
India, Burma
Dill
Anethum graveolens L.
Buah
India
Fennel (adas)
Foeniculum vulgare Mill.
Buah
Argentina, Bulgaria, Germany, Greece, India, Lebanon
Rempah/Herbal
Nama Botani
Ajowan
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 4
Tabel 1. Lanjutan… Bagian Edible
Rempah/Herbal
Nama Botani
Negara penghasil/asal
Fenugreek
Trigonella foenumgraecum L.
Buah
India
Garcinia
Garcinia cambogia
Buah
India, Sri Lanka
Bawang putih
Allium sativum L.
Bulb/clove
Argentina, India
Jahe
Zingiber officinale Rosc.
Rimpang
Mint
Mentha piperita L.
Biji
Mustard
Brassica nigra (L.) Koch
Biji
Nutmeg/Pala
Myristica fragrans Houtt.
Aril/seed Kernel
India, Jamaica, Nigeria, Sierra Leone Bulgaria, Egypt, France, Germany, Greece, Morocco, Romania, Russia, UK Canada, Denmark, Ethiopia, UK, India Grenada, Indonesia, India
Onion/Bawang
Allium cepa L.
Umbi/Bulb
Oregano
Origanum vulgare L.
Daun
Paprika
Capsicum annuum L.
Buah
Parsley
Petroselinum crispum (Mill) Nyman ex A.W. Hill
Daun
Black pepper
Piper nigrum L.
Buah
Poppy
Papaver somniferum L.
Biji
Rosemary
Rosmarinus officinalis L.
Daun, ujung tunas
Sage
Salvia officinalis L.
Daun
Albania, Serbia and Montenegro
Star anise
Illicium verum Hooker fil.
Buah
China, North Vietnam
Tamarind
Tamarindus indica L.
Buah
Indonesia, Vietnam
Turmeric
Curcuma longa L.
Rimpang
Vanilla
Vanilla planifolia Andrews
Buah/beans
China, Honduras, India, Indonesia, Jamaica Indonesia, Madagascar, Mexico, India
Argentina, Romania, India Greece, Mexico Bulgaria, Hungary, Morocco, Portugal, Spain, Serbia and Montenegro Belgium, Canada, France, Germany, Hungary Brazil, India, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Vietnam The Netherlands, Poland, Romania, Turkey, Russia France, Spain, USA, Serbia and Montenegro
* Parthasarathy et al., 2009. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 5
Manfaat Rempah dan Herbal Dari jaman dahulu rempah-rempah dan herbal mempunyai nilai sebagai ingredient dasar untuk dupa sebagai pembangkit aroma, penangkal racun, kosmetik dan obat-obatan. Tercatat bahwa nenek moyang kita banyak menggunakan herbal dan rempah-rempah sebagai bahan pengobatan berbagai macam penyakit. Sebagai contoh adalah peninggalan luhur budaya Bali, yaitu husada taru premana yang pada saat sekarang banyak dikembangkan berbagai jenis tanaman (termasuk rempah-rempah dan herbal) sebagai bahan pengobatan. Keragaman budaya Indonesia memberikan keragaman peninggalan budaya pemanfaatan herbal dan rempah-rempah. Selanjutnya, herbal dan rempah-rempah mulai banyak digunakan sebagai bahan penyedap (flavoring) untuk makanan dan minuman. Berjalan dengan waktu, herbal dan rempah-rempah bukan saja digunakan untuk meningkatkan citarasa, namun juga digunakan sebagai bahan untuk menunda atau mencegah ketengikan dan kerusakan makanan. Rempah-rempah dapat mempengaruhi aroma, warna dan rasa makanan dan kadang-kadang dapat menutupi aroma yang tidak dikehendaki. Senyawa volatil memberi aroma dan oleoresin mempengaruhi rasa makanan. Pengetahuan ini mendorong penggunaan rempahrempah di berbagai macam pengolahan makanan. Dengan demikian berdasarkan fungsinya, herbal dan rempah-rempah diklasifikasikan ke dalam bahan kuliner, kosmetik, dan farmasi. Pada jaman yang modern seperti sekarang, rempah-rempah mempunyai tempat yang luas dalam seni kuliner di seluruh dunia, dan digunakan dalam industri pangan sebagai bahan penyedap dan bumbu, dan juga sebagai bahan farmasi untuk pengobatan dan perawatan kecantikan. Herbal dan rempah-rempah bermanfaat oleh karena bahan kimia yang terkandung dalam bentuk minyak atsiri, oleoresin, oleogum dan resin, yang memberi citarasa, rasa pedas dan warna terhadap makanan yang disajikan. Dari daftar the International Organization for Standardization (ISO) tercatat 112 jenis tanaman yang dikategorikan sebagai herbal dan rempah-rempah. Diantara tanaman tersebut hanya sedikit jenis yang dibudidayakan dan dimanfaatkan secara komersial di berbagai negara, hanya sedikit dimanfaatkan namun sangat dikenal, sementara yang lainnya kurang dikenal, tumbuh sebagai tanaman liar dan belum dimanfaatkan. Herbal maupun rempah-rempah yang belum dimanfaatkan akan bernilai bukan hanya sebagai penyedap rasa, namun juga sebagai tanaman obat yang sangat penting.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 6
Peran Fungsional Rempah-rempah dan herbal dimanfaatkan daunnya (segar atau kering), batang, kulit maupun umbi (rimpang) sebagai penyedap makanan dan minuman. Selain itu bumbubumbuan herbal juga dikenal mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, anti-mikrobia dan sebagai obat-obatan. Karena potensinya tersebut, daun-daunan herbal sering digunakan sebagai garnis pada berbagai jenis makanan. Minyak atsiri yang diekstrak dari batang, daun dan bunga dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, parfum dan pengharum toilet. Minyak tersebut juga dapat digunakan sebagai penyedap berbagai jenis minuman dan sebagai bahan farmasi. Seperti yang tercatat di berbagai literatur, rempah herbal sudah digunakan sebagai bahan balsam semenjak jaman Romawi dan Mesir kuno. Sampai sekarangpun daerah Mediterania, seperti Jerman, Prancis dan juga USA merupakan produsen utama herbal berkualitas tinggi. Curly parsley, chives dan dill banyak diproduksi di Jerman. Di USA sudah banyak ditanam herbal berkualitas tinggi seperti parsley, tarragon, oregano dan basil. Mesir dan Maroko banyak memproduksi parsley, chives dan dill. Negara-negara Eropa Timur, seperti Polandia, Hungaria dan Negara bekas Yugoslavia juga memproduksi herbal, namun dengan daerah tanam yang terbatas. Penelitian-penelitian mengenai peran rempah-rempah untuk memningkatkan mutu sensoris makanan dan minuman sudah banyak dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan citarasa, aroma dan warna produk. Namun demikian, beberapa dasawarsa belakangan,
hasil-hasil
penelitian
juga
menunjukkan
adanya
pengaruh
yang
menguntungkan dari rempah-rempah dan herbal terhadap reaksi-reaksi fisiologis tubuh. Keuntungan fisiologis tersebut termasuk rangsangan terhadap pencernaan, pengaruh hipolipidemia, pengaruh antidiabetes, sifat antilitogenik, potensi antioksidan, sifat antiimflammatory, antimutagenik dan potensi antikarsinogenik (Srinivasan, 2005). Dari pengaruh yang menguntungkan tersebut, pengaruh hipolipidemia dan antioksidan dari rempah-rempah sudah memberikan implikasi kesehatan yang baik. Di antara beberapa rempah-rempah, curcumin, yang terkandung di dalam kunyit, merupakan senyawa aktif antimutagenik yang dicoba in vitro maupun in vivo (Joe et al., 2004). Demikian pula, sudah pula dicoba, secara in vitro dan in vovo, pengaruh curcumin, capsaicin dan piperine terhadap sistem drug-metabolizing enzyme di dalam hati (Suresh dan Srinivasan, 2006)
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 7
Indonesia merupakan Negara yang potensial sebagai sumber dan produsen rempahrempah
maupun
herbal.
Sejak
jaman
dahulu
masyarakat
Indonesia
sudah
memanfaatkan rempah-rempah dan herbal sebagai tanaman obat dan penyedap makanan dan minuman. Bahkan, rempah-rempah dan herbal ini pula yang menarik perhatian Negara-negara Eropah untuk datang ke Indonesia, seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris, sehingga Indonesia menjadi Negara jajahan yang potensial bagi kesejahteraan Negara Eropah. Namun demikian, sampai sekarang produk cengkeh, lada, dan panili merupakan produk potensial yang tetap diproduksi di Indonesia. Potensi tanaman herbal dan rempah-rempah lain juga diproduksi untuk keperluan pasar dalam negeri maupun ekspor. Banyak pula tanaman herbal yang masih belum dimanfaatkan atau ditanam dalam jumlah terbatas, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi besar untuk dikembangkan dan diproduksi secara luas untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor. Amerika dan Eropah merupakan pasar rempah-rempah dan herbal terbesar dunia. Oregano salah satu jenis herbal yang paling banyak dikonsumsi di USA dan Eropah, diikuti oleh basil, bay leaf, parsley, thyme dan chives. Herbal seperti mint, rosemary, savory, sage dan marjoram hanya dikonsumsi dalam jumlah terbatas yang tersebar di berbagai pasar. Konsumsi berbagai jenis herbal dipengaruhi oleh kebiasaan lokal suatu daerah mengkonsumsi makanan. Marjoram banyak dijual di Jerman, sementara sage popular di USA namun di Eropa kurang diminati. Turki merupakan Negara pengekspor bay leaf dan oregano, Mesir pengekspor terbesar basil, marjoram dan mint, dan Spanyol pengekspor terbesar herbal jenis thyme dan rosemary. Daun herbal dapat digunakan dalam bentuk segar maupun kering, atau dalam bentuk ekstrak seperti minyak dan oleoresin. Secara tradisional herbal dipasarkan dalam keadaan produk kering. Walaupun perdagangan herbal masih didominasi produk dalam bentuk kering, namun herbal dalam bentuk beku dan segar dapat ditemukan di berbagai pasar. Berbagai cara yang berbeda digunakan untuk mengeringkan herbal dan rempahrempah. Cara tradisional, seperti pengeringan dengan sinar matahari baik secara langsung maupun tidak langsung masih banyak dilakukan. Karena pengeringan secara alami di bawah matahari sering terjadi penurunan kualitas karena adanya kontaminasi selama pengeringan, maka penggunaan pengering buatan dengan menggunakan sirkulasi udara panas di dalam ruang pengering menjadi alternatif pengering yang banyak digunakan. Pengeringan beku (freeze drying) dengan vakum merupakan metode
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 8
pengeringan yang telah terbukti merupakan metode terbaik untuk mengawetkan bahan citarasa dan aroma. Pengeringan dengan matahari sering merusak klorofil daun, pengeringan buatan menghasilkan daun dengan penampilan yang lebih baik dan penerimaan pasar yang lebih baik. Sampai saat ini, rempah-rempah dan herbal organik mendapat tempat di pasaran. Konsumen terbesar dari rempah-rempah dan herbal organik adalah Amerika, Eropah dan Jepang yang juga Negara yang mengkonsumsi herbal terbanyak. Perkembangan produk organik terus meningkat dari tahun ke tahun. Konsumen lebih menyukai produk yang tidak terkontaminasi pestisida dan bahan kimia lainnya. Dengan demikian, produksi atau budidaya herbal organik sangat potensial dikembangkan untuk memperoleh harga yang baik (premium price) di pasar internasional dan memperbaiki kualitas dan penampilan produk herbal tanpa residu pestisida atau bahan kimia. Ekstrak herbal atau rempah-rempah, seperti minyak atsiri dan oleoresin, dapat diperoleh dengan menggunakan cara distilasi uap, ekstraksi karbondioksida superkritis dan ekstraksi pelarut menggunakan pelarut organik titik didih rendah (low-boiling organik solvents). Dari berbagai metode yang berbeda tersebut, ekstraksi menggunakan gas karbondioksida terkompresi atau cairan superkritis merupakan cara yang paling efektif dan sekarang ini digunakan pada skala komersial. Distilasi uap yang digunakan untuk ekstraksi masih dapat merusak komponen-komponen penting minyak atsiri karena penggunaan suhu yang tinggi, sementara penggunaan pelarut organik akan meninggalkan residu pelarut di dalam ekstrak herbal. Di dalam proses ekstraksi karbondioksida superkritis, biaya proses rendah, ekstrak akan bebas dari residu pelarut, dan tidak terjadi kerusakan komponen bioaktif yang penting. Beberapa senyawa aroma alami yang secara komersial diproduksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Senyawa aroma alami komersial* Acetaldehydea Acetoina Acetophenone Anethol Anisyl acetate Benzaldehydea Benzyl butanoatea n-Butyl estersb
Citronellyl estersb n-Decanala
2-Heptanonea n-Hexanal
4-Decanolidea 5-Decanolidea 2-Decenolactonea Dimethyl pyrazines 4-Dodecanolidea
2-(E)-Hexenal/ol 3-(Z)-Hexenol/acetateb 4-Hexanolidea 4-Hydroxy-2,5-dimethyl3(2H)-furanone Indole
5-Dodecanolidea
ß-Iononea
2-Octanone 4-Octanolidea 1-Octen-3-ola 2-Pentanonea i-Pentyl alcohola i-Pentyl estersb Phenylacetalde hydea 1-Phenylethyl acetatea
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 9
Tabel 2. Lanjutan… n-Butanola i-Butyl alcohola
Ethyl acetatea Ethyl benzoateb
Maltol Methionala
i-Butyl estersb i-Butanala
Ethyl butanoateab Ethyl 2,4-(E,Z)decadienoateb Ethyl 2methylbutanoatea Ethyl phenylacetatea Farnesol Fenchol Furfuryl thiola Geranyl acetateb n-Heptanal
Methyl anthranilatea 2-Methylbutanoic acid/estersa 3-Methylbutanala
Sclareolidea
Methyl salycilate
4-Undecalactonea
n-Nonanal/ola 2-Nonanonea Nootkatonea n-Octanal 3-Octanol
2-Undecanonea Vanillina
d-Carvone ß-Caryophyllene Cinnamic acida Cinnamic alcohola Cinnamaldehydea Cinnamyl estersb Citronellol
n-Propanola 2-Propenyl hexanoatec n-Propyl esters Raspberry ketone
*Berger, 2009; a Kemungkinan diproduksi dari proses bioteknologi; b Berasal dari ekstrak tanaman; c Tidak ditemukan di alam. Selain sebagai penambah citarasa (citarasa), herbal dan rempah-rempah juga mempunyai nilai nutrisi, antioksidan, antimikrobia, repelen serangga dan sebagai obatobatan.
Nilai Nutrisi Sebagian besar herbal dan rempah-rempah kaya dengan sumber protein, vitamin (khususnya vitamin A, C dan B) dan mineral seperti kalsium, fosfor, natrium, kalium dan besi. Buah lada merah mengandung gula-gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa, karoten, dan vitamin C (Navarro et al., 2006). Parsley kaya vitamin A dan K, sementara ketumbar (coriander) kaya dengan vitamin C dan A. Nilai nutrisi yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal tidak berpengaruh apabila bahan tersebut digunakan sebagai penyedap makanan atau minuman. Umumnya penggunaan rempah dan herbal pada makanan sebagai penyedap proporsinya kecil, sehingga sumbangan nutrisi secara keseluruhan sangat kecil. Nilai nutrisi rempah dan herbal akan memberikan sumbanyan yang nyata apabila bahan tersebut dipersiapkan untuk produk selain makanan, seperti jamu-jamuan dan produk ekstrak lainnya yang langsung dikonsumsi.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 10
Nilai Antioksidan Antioksidan dalam makanan dapat mencegah kerusakan bahan-bahan yang mudah teroksidasi. Lemak dalam makanan merupakan salah satu bahan yang mudah rusak dan mengalami ketengikan karena teroksidasi, sehingga mutu makanan menjadi turun. Antioksidan sering ditambahkan ke dalam makanan sebagai pengawet komponen lemak agar tidak terjadi kerusakan mutu. Antioksidan sintetik yang umum digunakan adalah butylated hydroxyl anisole (BHA), butylated hydroxyl toluene (BHT), propyl gallate (PG) dan tert-butyl hydroquinone (TBHQ). Karena reaksinya yang dapat berfungsi sebagai promoter penyakit kanker (carcinogenesis), maka penggunaan antioksidan sintetik mulai dihindari dan digantikan dengan antioksidan alami. Banyak herbal dan rempah-rempah diketahui sebagai sumber antioksidan alami, dan konsumsi herbal dalam makanan berkontribusi pada asupan antioksidan sehari-hari. Senyawa fenolik merupakan antioksidan utama terkandung di dalam herbal dan rempah-rempah (Gambar 1). Dari hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang linear antara kandungan fenol dan sifat antioksidan dari herbal dan rempah-rempah tersebut. Peran buah-buah, sayuran dan anggur merah untuk mencegah penyakit diperlihatkan oleh aktivitas antioksidan dari senyawa polifenol yang terkandung di dalamnya, seperti vitamin C, vitamin E, dan senyawa karotenoid (RiceEvans et al., 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa banyak senyawa polifenolik yang berasal dari tanaman mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih efektif (secara in vitro) dibandingkan dengan vitamin C atau E, sehingga dapat berkontribusi nyata untuk fungsi proteksi secara in vivo.
Gambar 1. Struktur umum senyawa flavonoid, R = H: flavon dan R=OH: flavonol. Minyak atsiri, oleoresin dan bahkan ekstrak air dari rempah-rempah mempunyai sifat antioksidan. Tanaman dari family Lamiaceae secara universal merupakan sumber
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 11
antioksidan alami yang penting. Beberapa herbal yang memiliki sifat antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyl toluene (BHT) adalah oregano, thyme, marjoram, sage, basil, fenugreek, fennel, coriander dan pimento. Kapasitas antioksidan tinggi yang diperlihatkan oleh antioksidan alami meningkatkan penggunaan jenis antioksidan tersebut dalam makanan maupun untuk kebutuhan lain.
Sifat Antimikrobia Herbal dan rempah-rempah juga dapat mempunyai sifat antimikrobia. Minyak atsirinya dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikrobia di dalam makanan dan dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif bahan tambahan makanan. Beberapa minyak atsiri dari rempah-rempah (secara individu maupun kombinasi) mempunyai aktivitas yang tinggi untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk. Dengan melakukan fraksinasi terhadap minyak atsiri tersebut dapat diperoleh senyawa dengan aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi. Senyawa yang difraksinasi maupun diisolasi dari minyak atsiri mempunyai aktivitas antimikrobia yang lebih tinggi dibandingkan minyak atsirinya. Misalnya, seperti campuran senyawa carvacrol dan thymol pada proporsi yang berbeda dapat menekan total penghambatan dari Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Penghambatan tersebut disebabkan oleh kerusakan integritas membran sel, yang selanjutnya mempengaruhi pH dan keseimbangan ion-ion organik di dalam sitoplasma (Ravindran dan Pillai, 2004). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida tidak merupakan hambatan untuk penetrasi allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya melalui bilayer lipida tidak mengakibatkan rusaknya membran. Temuan ini memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem biologis allicin dapat melakukan penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel yang berbeda dan menimbulkan efek biologis (Miron et al., 2000). Dari pengetahuan mengenai mode of action tersebut membantu ekstrak rempah-rempah dimanfaatkan dan diterapkan pada makanan. Alicin, yang merupakan senyawa aktif dari homogenate hancuran bawang putih, mempunyai berbagai aktivitas antimikrobia (Ankri dan Mirelman, 1999). Alicin murni memperlihatkan: 1) aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram-positip dan Gram-negatif termasuk strain enterotoksigenik Escherichia coli, 2) aktivitas antijamur, terutama terhadap Candida albicans, 3) aktivitas antiparasit,
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 12
termasuk parasit protozoa seperti Entamoeba histolytica dan Giardia lambia, dan 4) aktivitas antiviral.
Sifat Repelen terhadap Serangga Rempah herbal mempunyai sifat repelen atau penolakan terhadap beberapa jenis serangga. Kemampuan repelen diperlihatkan terhadap hama gudang dari biji-bijian dan kacang-kacangan. Rempah herbal juga dapat digunakan sebagai repelen nyamuk. Ekstrak sereh mempunyai kemampuan sebagai repelen beberapa serangga, seperti nyamuk, lalat dan kecoak. Minyak atsiri yang diekstrak dari daun sereh mempunyai efikasi yang lebih baik terhadap ulat bulu dibandingkan dengan minyak atsiri yang diekstrak dari cengkeh, jahe dan pala (Sumiarta dan Sudiarta, 2011), walaupun semua minyak atsiri yang dicoba dapat membunuh ulat bulu pada konsentrasi yang tinggi (10%). Minyak atsiri sereh dapur pada konsentrasi 1% dapat membunuh ulat bulu sebanyak 98%, dan pada konsentrasi 0,5% dapat membunuh ulat bulu sebanyak 90%. Minyak atsiri basil dan alkaloid piperidine yang diekstrak dari lada juga dapat digunakan sebagai repelen nyamuk.
Kasiat Obat-obatan Penggunaan obat herbal merupakan tradisi lama yang dilanjutkan sampai saat ini dalam pengobatan modern dan terus menunjukkan peningkatan apresiasi masyarakat dunia. Di Asia, pengobatan semacam ini meliputi obat tradisional Cina, obat Jepang-Cina (kampo), obat Korea-Cina, obat tradisional Indonesia (jamu), dan obat tradisional India (ayurweda). Di Eropah ditemukan fitoterapi dalam pengobatan dan di Amerika dikenal sebagai pengobatan alternatif. Gabungan pengobatan alternatif dan pengobatan konvensional disebut dengan integrative medicine. Penggunaan obat herbal banyak menarik perhatian masyarakat yang berpendidikan maupun professional kesehatan, namun masih ada hal yang membingungkan mengenai identifikasi, efikasi, dosis pengobatan, toksisitas, standarisasi dan regulasi berhubungan dengan produk herbal. Sudah banyak penelitian dalam ruang lingkup penggunaan bahan herbal sebagai pengobatan tradisional, dan juga pendekatan yang baik untuk mengembangkan obatobatan baru serta perbaikan perencanaan kesehatan (Gupta, 2010). Secara tradisional, sejak lama herbal dan rempah-rempah digunakan sebagai obat. Jamu-jamuan banyak dibuat dari ekstrak herbal maupun rempah-rempah dan beberapa bubuk rempah dapat digunakan untuk pengobatan penyakit ringan. Demikian pula TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 13
secara modern banyak dikembangkan bahan farmasi dari ekstrak herbal dan rempahrempah. Obat-obatan herbal diketahui banyak mengandung berbagai jenis antioksidan. Hasil studi herbal Cina menunjukkan kandungan senyawa flavonoid, lignin, bisbenzyl, coumarine, dan terpen (Ng et al., 2000). Senyawa flavonoid merupakan senyawa pigmen aromatik yang ditemukan dalam tanaman berwarna hijau dan termasuk senyawa chalcone, flavanone, flavone, biflavonoid, dihydroflavonole, anthrocyanidine, dan flavonole. Dilaporkan pula bahwa di Meksiko herbal banyak digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit seperti infeksi, arthritis, kelainan jantung, sakit kepala, demam, astma dan sakit datang bulan. Setelah dilakukan analisis terhadap komponen bioaktif, ternyata herbal tersebut banyak mengandung antioksidan yang berkisar antara 27 sampai 972 µmol ekivalen Trolox per gram berat kering (VanderJagt et al., 2002). Namun demikian, selain antioksidan, hasil studi juga menunjukkan bahwa senyawasenyawa yang terkandung di dalam herbal dan rempah-rempah juga berfungsi sebagai antimikrobia, antikanker, antimutagenik, antidiabetes dan lain sebagainya. Hasil studi mengenai kandungan metabolit di dalam lada atau merica menunjukkan bahwa lada atau merica merupakan ingredient yang banyak digunakan di dalam makanan yang dapat meningkatkan citarasa makanan. Selain itu, di dalam lada dan merica
terkandung
beragam metabolit yang mempunyai aktivitas antioksidan,
hypoglikemik, immunogenic, antihypertensive, antikolesterol, antiimplammatory, dan antimutagenik (Kwon et al., 2007; Menichini et al., 2009).
Daftar Pustaka Berger, R.G. 2009. Biotechnology of citarasa – the next generation. Biotechnol. Lett. 31: 1651-1659. Gupta, V.K. 2010. Comprehensive Bioactive Natural Products, Volume 3 : Efficacy, Safety and Clinical Evaluation II. Texas, USA: Global Media, p 134. Joe, B., Vijaykumar, M. dan Lokesh, B.R. 2004. Biological properties of curcumin: celluler and moleculer mechanisms of action. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 44: 97-111. Kwon, Y.I. , Apostolidis, E. and Shetty, K. (2007) Evaluation of pepper (Capsicum annuum) for management of diabetes and hypertension. Journal of Food Biochemistry 31, 370-385. Menichini, F., Tundis, R., Bonesi, M., Loizzo, M.R., Conforti, F., Statti, G., De Cindio, B., Houghton, P.J. and Menichini, F. (2009) The influence of fruit ripening on the phytochemical content and biological activity of Capsicum chinense Jacq. Cv Habanero. Food Chemistry 114, 553-560.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 14
Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M., and Weiner, L. 2000. The mode of action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30. Navarro, J. M., Flores, P., Garrido, C. dan Martinez, V. 2006. Changes in the contents of antioxidant compounds in pepper fruits at different ripening stages, as affected by salinity. Food Chem. 96: 66-73. Ng TB, Liu F, and Wang ZT. 2000. Antioxidative activity of natural products from plants. Life Sci 66:709–23. Parthasarathy, V.A., Chempakam, B. dan Zachariah, T.J. 2009. Chemistry of Spices. Biddles Ltd, King’s Lynn. UK Ravindran, P. N. and Pillai, G. S. 2004..Under-utilized herbs and spices di dalam Handbook of Herbs and Spices (Peter, K.V, Ed.). Cambridge, , GBR: Woodhead Publishing, Limited. London. Rice-Evans, C.A., Miller, N.J., dan Paganga, G. 1997. Antioxidant properties of phenolic compounds. Trends in Plant Science Reviews. 2(4): 152-159. Srinivasan, K. 2005. Role of spices beyond food citarasaing: nutraceuticals with multiple health effects. Food Rev. Int. 21: 167-188. Sumiartha, K. dan Sudiarta, P. 2011. Efficacy of some essential oil extracted from tropical plants to hairy caterpillar. Year 2011 Report of Tropical Plant Curriculum Project. Agrilife Texas A&M University – Udayana University. Suresh, D;Srinivasan, K. 2006. Influence of curcumin, capsaicin, and piperine on the rat liver drug-metabolizing enzyme system in vivo and in vitro. Canadian Journal of Physiology and Pharmacology . 84: 1259-1265 VanderJagt, T.J., R. Ghattas, D.J VanderJagt, M. Crossey, and R.H Glew. 2002. Comparison of the total antioxidant content of 30 widely used medicinal plants of New Mexico. Life Sci. 70: 1035-1040.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 15
II. SENYAWA AROMA DAN CITARASA DARI REMPAHREMPAH DAN HERBAL Bagian ini memberikan pemahaman kepada pembaca/mahasiswa mengenai jenisjenis senyawa aroma dan citarasa yang bersumber dari tanaman (herbal dan rempah-rempah). Pembaca/mahasiswa juga diberikan penjelasan mengenai karakteristik senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai aroma dan citarasa.
Pendahuluan Senyawa aroma adalah senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau. Sebuah senyawa kimia memiliki aroma atau bau ketika dua kondisi terpenuhi yaitu (1) senyawa tersebut bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian atas hidung, dan (2) perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih reseptor penciuman. Senyawa aroma dapat ditemukan dalam makanan, anggur, rempah-rempah, parfum, minyak wangi, dan minyak esensial. Disamping itu senyawa aroma memainkan peran penting dalam produksi penyedap, yang digunakan di industri jasa makanan, untuk meningkatkan rasa dan umumnya meningkatkan daya tarik produk makanan tersebut. Senyawa aroma lebih berperan dalam memberikan aroma pada produk terutama digunakan untuk pengharum ruangan, pembersih, kosmetik. Senyawa citarasa adalah senyawa yang dapat memberikan citarasa tertentu pada saat dicampur dengan bahan pangan ataupun tanpa dicampur. Senyawa citarasa biasa juga disebut senyawa flavor. Penggunaan senyawa citarasa lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan kesukaan pada produk makanan. Meskipun penggunaan senyawa aroma dan citarasa berbeda penekanannya namun sifat-sifatnya dan cara ekstraksi dari sumbernya mempunyai kesamaan.
Sumber sebagian
besar senyawa aroma dan
citarasa adalah minyak atsiri.
Citarasa Salah satu faktor yang menentukan kualitas makanan adalah kandungan senyawa citarasa. Senyawa citarasa merupakan senyawa yang menyebabkan timbulnya sensasi rasa (manis, pahit, masam, asin), trigeminal (astringent, dingin, panas) dan aroma setelah mengkonsumsi senyawa tersebut (Fisher dan Scott, 1997). Pada makanan atau minuman yang tidak atau sedikit mempunyai citarasa sering ditambahkan senyawa citarasa tertentu, untuk meningkatkan kualitas rasa dan aromanya. Senyawa citarasa TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 16
dapat berasal dari bahan sintetik ataupun bahan alami. Bahan alami dapat berupa bagian akar, batang, biji, bunga atau daun tanaman yang selanjutnya diisolasi senyawa citarasanya. Daun tanaman yang sering digunakan sebagai pemberi citarasa antara lain selasih, kemangi, jeruk purut dan salam. Definisi citarasa tergantung pada sudut pandang pendefinisinya, yaitu yang pertama, citarasa adalah persepsi biologis seperti sensasi yang dihasilkan oleh materi yang masuk ke mulut, dan yang kedua, citarasa adalah karakter/sifat bahan yang menghasilkan sensasi. Citarasa terutama dirasakan oleh reseptor aroma dalam hidung dan reseptor rasa dalam mulut (Fisher dan Scott, 1997). Senyawa citarasa merupakan senyawa atau campuran senyawa kimia yang dapat mempengaruhi indera tubuh, misalnya lidah sebagai indera pengecap. Pada dasarnya lidah hanya mampu mengecap empat jenis rasa: yaitu pahit, asam, asin dan manis. Selain itu citarasa dapat membangkitkan rasa lewat aroma yang disebarkan, lebih dari sekedar rasa pahit, asin, asam dan manis. Lewat pencitarasa atau proses pemberian aroma pada suatu produk pangan, lidah dapat mengecap rasa lain sesuai aroma yang diberikan. Semua citarasa tidak tersedia dengan sendirinya, tetapi melewati proses yang rumit, diantaranya proses distilasi. Sejalan dengan semakin canggihnya teknologi, industri citarasa kini mampu menciptakan dan menghasilkan produk yang kisarannya mulai dari 100% alami sampai 100% sintetis (AFFI, 2007a). Penggunaan produk industri citarasa hanya sedikit sekali dalam produk- produk pangan dan non pangan, meskipun demikian citarasa tersebut besar peranannya dalam menentukan kualitas hasil akhir yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mie instant, es krim dan berbagai jenis makanan, kualitasnya banyak dipengaruhi produk citarasa. Produk citarasa pada dasarnya hanya merupakan bahan baku, dan bukan produk akhir, oleh karena itu sering luput dari perhatian masyarakat. Peran produk citarasa cukup besar dalam menentukan minat beli konsumen, sehingga citarasa banyak digunakan untuk menghasilkan berbagai produk dibidang industri makanan, minuman, farmasi dan kesehatan (AFFI, 2007b). Citarasa diklasifikasikan menjadi tiga yaitu sensasi rasa (taste), trigeminal dan aroma (odour). Sensasi rasa dibagi menjadi empat yaitu asin, manis, masam dan pahit, sensasi trigeminal dideskripsikan sebagai astrigent, pedas dan dingin. Sensasi rasa dan trigeminal kebanyakan dihasilkan oleh bahan non volatil, polar dan larut dalam air, sedangkan sensasi aroma dihasilkan oleh senyawa volatil. Selain itu citarasa TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 17
diklasifikasikan berdasarkan sumbernya diantaranya citarasa buah, citarasa sayur, citarasa rempah, citarasa daging. Citarasa rempah meliputi aromatic herbs yaitu daun tanaman yang mengandung senyawa volatil (Fisher dan Scott, 1997). Industri citarasa memegang peranan penting dalam perkembangan dan kesuksesan industri makanan dan minuman. Klasifikasi citarasa yang paling umum adalah berdasarkan keaslian dari senyawanya yaitu terdiri atas natural citarasa ; natural dan artificial citarasa dan artificial citarasa. Bahan-bahan alami yang digunakan untuk formulasi citarasa adalah isolat minyak atsiri, kombinasi minyak atsiri dengan ekstrak bahan khusus tertentu, produk hasil proses yang melibatkan reaksi biologis seperti fermentasi, produk proses hidrolisis, dan produk hasil proses kimia seperti pemasakan, pemanggangan, pencoklatan dan esterifikasi. Proses untuk memproduksi dan mengisolasi senyawa tersebut memegang peranan penting dalam manufakturing citarasa (Ojha, Singh dan Traci, 1995). Industri citarasa dimulai pada akhir abad ke-19 dan meningkat selama awal abad ke-20 dengan meningkatnya riset mengenai isolasi dan identifikasi senyawa mayor dalam minyak atsiri. Sumber utama bahan baku industri citarasa adalah minyak atsiri hasil distilasi dan ekstraksi tanaman (Wright, 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa senyawa citarasa dapat berbentuk padat maupun cairan dan dibagi menjadi beberapa tipe yaitu: (1) Water-soluble liquid flavours, merupakan tipe citarasa yang paling umum. Dibuat dengan cara melarutkan senyawa citarasa dan senyawa alami dalam pelarut sederhana seperti propilenglikol, triasetin atau alkohol dengan penambahan air bila diperlukan. (2) Clear water-soluble liquid flavours, banyak digunakan untuk citarasa cola yang menginginkan produk akhir nampak jernih. (3) Oil-soluble liquid flavours, digunakan bila produk akhir adalah minyak atau lemak dan tidak mentolelir adanya air. Pelarut yang dapat digunakan adalah minyak nabati alami atau sintetis (medium-chain triglyceride), benzil benzoat trietil sitrat dan minyak atsiri seperti minyak lemon. (4) Emulsion-based flavours, seperti minyak jeruk yang sering digunakan untuk memberikan kekeruhan (cloud) pada minuman (5) Dispersed flavours, merupakan tipe umum, murah dan menyenangkan karena disajikan dalam bentuk bubuk tetapi memiliki umur simpan pendek. Bila semua TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 18
bahan berbentuk padat, penggunaannya dengan mencampur semua bahan dan dilarutkan dengan pembawa (carrier) seperti laktosa. (6) Spray-dried flavours, dihasilkan dengan membuat emulsi dalam larutan gum kemudian dikeringkan dengan metode spray drying untuk menghasilkan bubuk. Produk yang dihasilkan mempunyai citarasa yang kuat dan stabil.
Minyak Atsiri Minyak atsiri atau minyak eteris (essential oil, volatil oil, etherial oil) adalah minyak mudah menguap yang diperoleh dari tanaman dan merupakan campuran dari senyawa– senyawa volatil yang dapat diperoleh dengan distilasi, pengepresan ataupun ekstraksi. Minyak atsiri mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat berbeda dengan minyak pangan (Ketaren, 1987; Boelens, 1997; Baser, 1999). Penghasil minyak atsiri berasal dari berbagai spesies tanaman yang sangat luas dan digunakan karena bernilai sebagai citarasa dalam makanan dan minuman serta parfum dalam produk industri, obat-obatan dan kosmetik. Minyak atsiri tanaman diperoleh dari tanaman beraroma yang tersebar di seluruh dunia (Simon, 1990). Dari 350.000 spesies tanaman yang ada, sekitar 17.500 (5%) spesies adalah tanaman penghasil senyawa beraroma dan sekitar 300 spesies tanaman digunakan untuk memproduksi minyak atsiri untuk industri makanan, citarasa dan parfum (Boelens, 1997). Hampir semua tanaman berbau mengandung minyak atsiri. Tergantung pada tipe tanaman, beberapa bagian tanaman dapat digunakan sebagai sumber minyak atsiri misalnya buah, biji, bunga, daun, batang, akar, kulit kayu atau kayunya. Bahan baku yang digunakan dalam pengolahan minyak atsiri dapat segar, setengah kering atau kering, untuk bunga harus dalam bentuk segar. Beberapa metode digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri dari sumbernya (Sonwa, 2000). Menurut Reineccius (1999) minyak atsiri terdiri atas campuran kompleks senyawa organik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit isopren (C5, n =1). Jika n = 2 maka hidrokarbon tersebut dikenal dengan monoterpen, jika n = 3 disebut seskuiterpen dan jika n = 4 disebut diterpen, juga dikenal triterpen (C30) dan tetraterpen (C40). Meskipun jumlahnya signifikan dalam minyak atsiri tetapi terpen hanya memiliki nilai citarasa yang kecil, bila dibandingkan dengan oxygenated derivates. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 19
(2) Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehid, keton dan ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada perbedaan citarasa diantara minyak atsiri. Contoh senyawa ini diantaranya sitronelol, geraniol, nerol, mentol, nerolidol, sitral. (3) Senyawa aromatik dengan gugus fungsi yang bervariasi (alkohol, asam, ester, aldehid, keton, fenol). (4) Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur. Senyawa ini tidak terdapat pada kebanyakan minyak atsiri, biasanya terdapat pada tanaman yang mengandung bahan albuminous diantaranya indol dan skatol. Beberapa contoh senyawa dalam minyak atsiri dari berbagai sumber tanaman disajikan pada Tabel 3 dan beberapa rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2. Golongan terpenoid merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan pada minyak atsiri. Terpenoid terbentuk oleh beberapa unit isopren yang berasal dari asetil Koenzim A (KoA) dengan reaksi biosintesis melalui jalur asam mevalonat. Dua asetil KoA membentuk asetoasetil KoA melalui reaksi Kondensasi Claisen. Asam asetoasetil KoA yang terbentuk bergabung dengan asetil KoA membentuk glutarat KoA melalui reaksi kondensasi aldol. Setelah glutarat KoA terbentuk terjadi pembentukan asam mevalonat melalui reaksi hidrolisis dan reduksi. Enzim ortofosforilase mengkatalisis pembentukan 3,5-diortopirofosfomevalonat
melalui
reaksi
fosforilasi,
kemudian
mengalami
dekarboksilasi dan defosforilasi membentuk isopentenil pirofosfat (IPP). IPP mengalami isomerisasi menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). IPP adalah unit isoprena aktif yang dapat bergabung secara kepala ke ekor (head to tail) dengan DMAPP membentuk geranil pirofosfat (GPP) yang merupakan senyawa intermediet untuk monoterpen. Proses tersebut dapat terus berlangsung dengan penambahan IPP terhadap GPP dengan katalis enzim menghasilkan farnesil pirofosfat (FDP) yang merupakan senyawa intermediet untuk seskuiterpen, begitu pula untuk pembentukan geranil-geranil pirofosfat (GGPP) yang merupa kan senyawa intermediet untuk diterpen. Reaksi biosintesis pembentukan terpenoid disajikan pada Gambar 2 (Kesselmeier dan Staudt, 1999). Terpen yang telah terbentuk dapat mengalami perubahan akibat peristiwa reduksi, oksidasi, esterifikasi dan siklisasi.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 20
Tabel 3. Komposisi minyak atsiri dari berbagai tanaman Sumber tanaman
Senyawa utama
Metode separasi
Daun salam
a. oktanal; 3,7-dimetil-1-oktena; n-dekanal; - cis-4-dekanal; patkulen; D-nerolidol; kariofilen oksida b. ß-osimena; Oktanal; Cis-4- dekenal; Nonanal; α-humulena; α-pinena
a. Distilasi air1)
a. eugenol; isokariofilen; α-kariofilen; eugenol asetat b. eugenol; eugenol asetat; kariofilen c. eugenol; kariofilen; 14 senyawa minor
a. tidak dijelaskan1)
Bunga cengkeh
eugenol; eugenol asetat; isoptaldehid
Distilasi uap5)
Daun jeruk purut
sitronelal; linalool; sitronelil-asetat; sitronelol, geraniol
Berbagai macam separasi2)6
Daun pandan wangi
2 metil pentana; 3 metil pentana; n-heksana; 2,2 dimetil pentana; metilsiklopentana;sikloheksana
Ekstraksi pelarut7)
Bunga kamboja cendana
undekana; dodekana; nonakosana; heptakosana; tetratetrakontana; transgeraniol; 2-heksil-1-dekanol; linalool thiogeraniol; 1-eikosanol
Ekstraksi pelarut 8)
Daun cengkeh
b. Distilasi uap2)
b. tidak dijelaskan3) c. Distilasi air4)
1)
Agusta (2000); 2) Wartini (2007); 3) Nurdin et al. (2001); 4) Raina et al. (2001); 5) Geun Lee dan Shibamoto (2001); 6) Wijaya (1995); 7) Saputra (2010); 8) Harland (2011).
Eugenol
Kariofilen
Gambar 2. Rumus struktur eugenol dan kariofilen (Peerzada, 1997)
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 21
Gambar 3. Reaksi biosintesis terpenoid (Kesselmeier dan Staudt, 1999) 1. Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman Minyak atsiri dibentuk dalam sitoplasma dan secara normal berbentuk butiran kecil diantara sel dan bersifat volatil dan beraroma, tidak berwarna atau agak kuning dan agak larut dalam air dan etanol (Sonwa, 2000). Guenther (1987) menyatakan bahwa minyak atsiri yang kompleks dibentuk dari hasil ekskresi atau sekresi akibat proses metabolisme tanaman. Selanjutnya dinyatakan bahwa vakuola dalam jaringan tanaman berisi butiran-butiran minyak yang sulit dibedakan dari minyak atau lemak pangan. Minyak tersebut dapat diselidiki dengan pewarnaan sudan dan asam osmat dan perbedaannya dengan minyak pangan adalah minyak atsiri lebih aktif membentuk warna dengan sudan. Sekresi minyak tampak di dalam kelompok sel yang berbeda yaitu pada kelenjar eksternal dan internal. Kelenjar eksternal merupakan sel-sel epidermis atau modifikasi dari sel epidermis, misalnya rambutrambut ekskresi. Hasil sekresi biasanya ditimbun di luar sel yang terletak diantara kutikula dan dinding sel bagian luar. Kutikula adalah kulit tipis yang membungkus produk yang dihaslkan dan mudah robek sehingga menghasilkan bau yang khas. Kelenjar internal terdapat di seluruh bagian tanaman, dibentuk oleh endapan minyak TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 22
diantara dinding sel. Bila sel pecah (schizogenous) dan diikuti oleh kerusakan sel di sekitarnya maka terjadi pembentukan kelenjar schizolysogenous, yang tumbuh membentuk saluran panjang yang dibungkus oleh lapisan tipis di bagian dalam dinding sel. Lapisan tipis tersebut mempunyai fungsi ganda yaitu memisahkan jaringan dari minyak dan membentuk minyak serta resin. Bentuk tersebut terdapat pada sel-sel epitel atau pada membran dan melalui dinding sel menuju ke bagian dalam kelenjar. Minyak atsiri dalam tanaman dikategorikan sebagai superficial oil dan subcutaneous oil. Superficial oil dapat dilepaskan dengan mudah dari tanaman dengan menggosok permukaan daun secara hati-hati dan biasa ditemukan pada tanaman dari famili Labiate, Verbenaceae dan Geraniceae. Subcutaneous oil terkandung dalam sel minyak, secretory cavities, osmophors, schizogenous, biasa ditemukan pada famili Myrtaceae,
Umbellifereae
dan
Gramineae.
Minyak
atisri
yang
tergolong
subcutaneous oil lebih sulit dilepaskan dari tanaman dibanding superficial oil dan dapat dilepaskan dari tanaman dengan merusak jaringan sel. Pada tanaman, kadang-kadang minyak atsiri terikat dengan gula dalam bentuk glikosida sehingga untuk melepaskannya perlu proses hidrolisis (Baser, 1999). 2. Perlakuan terhadap Bahan Baku Bahan baku minyak atsiri sebelum diekstrak dengan metode tertentu perlu mendapat perlakuan
pendahuluan
tergantung
dari bahannya. Perlakuan
pendahuluan
diantaranya curing dan preparasi bahan (pengecilan ukuran). a. Curing Istilah curing digunakan untuk menyatakan perlakuan terhadap bahan antara pemanenan sampai pengolahan, berhubungan dengan proses metabolisme bahan tanaman yang masih hidup. Curing juga tercakup dalam proses penundaan, penyimpanan dan pengeringan bahan yang seringkali dilakukan pada pengolahan minyak atsiri karena terbatasnya kapasitas proses pengolahan. Proses oksidasi merupakan dasar curing, yang menyebabkan perubahan fisik dan kimia pada bahan, seperti tembakau dan vanili, yang berdampak pada citarasa karena selama proses tersebut terjadi reaksi enzimatik (Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones, 1995).
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 23
Curing dibedakan menjadi empat metode yaitu air curing, sun curing, fire smoke curing, dan flue curing. Metode air curing yaitu pengolahan daun segar dengan cara mengangin-anginkan dalam ruangan yang teduh sehingga tidak terkena cahaya matahari secara langsung (Setiawan dan Trisnawati, 1993). Perubahan yang terjadi pada bahan tanaman setelah panen, akibat proses biokimia yang masih berlangsung dan dapat menghasilkan senyawa yang disukai ataupun tidak disukai (Cheetham, 2002). Perubahan yang terjadi selama curing pada beberapa bahan dijelaskan sebagai berikut: a.1. Curing pada Tembakau Pada curing daun tembakau, terjadi perubahan yang diharapkan yaitu perubahan kadar air, perubahan warna hijau menjadi kuning dan coklat, pemecahan protein menjadi asam amino, pati menjadi gula sederhana dan asam-asam organik yang berdampak pada kualitas daun tembakau kering (Abdullah dan Soedarmanto, 1986; Man dan Jones, 1995; Abubakar et al, 2003 dan Perdigon, 2006). Pada curing tembakau berlangsung aktivitas enzim malat dehidrogenase, polifenol oksidase, diaforase, asam glikolat oksidase dan glutamat dehidrogenase (Zelith and Zucker, 1958). Perubahan warna daun selama curing kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu (1) proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan oksidase (Gross, 1991) dan (2) proses hidrolisis yang melibatkan enzim klorofilase (Von Elbe and Schwartz, 1996) dan enzim magnesium deketalase (Gross, 1991). Beberapa enzim yang terlibat dalam tahapan degradasi klorofil yaitu tahap hidrolisis klorofil, pemindahan magnesium, modifikasi struktur cincin tetrapirol dan akhirnya memecah cincin makrosiklik. Selain klorofilase dan magnesium deketalase tidak ada enzim lain yang memiliki fungsi spesifik yang berkaitan dengan metabolisme klorofil. Klorofilase mengkatalisis proses hidrolisis ikatan ester antara residu 7-asam propionat pada cincin D dari sistem makrosiklik cincin dan fitol, dalam klorofil dan feofitin. Magnesium deketalase adalah enzim yang bertanggungjawab pada pemindahan ion Mg sentral. Hal ini digambarkan
dalam
bermacam
sistem
dan
menunjukkan
pemindahan
magnesium dari klorofil dan klorofilid, tidak jelas mana langkah yang pertama (Schoch dan Vielwerth, 1983 dalam Gross, 1991). Pemucatan klorofil terjadi TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 24
karena proses oksidasi yang melibatkan enzim lipoksigenase, peroksidase dan oksidase (Gross, 1991). Mekanisme yang diduga sehingga warna hijau (klorofil) berubah menjadi coklat (feofitin atau feoforbid) menurut Von Elbe and Schwartz (1996) dapat dilihat pada Gambar 3. Penurunan berat daun tembakau yang dicuring akibat kehilangan air berkisar antara 60 sampai 80 % tergantung pada kondisi curing. Sebanyak 50% protein dalam daun tembakau mengalami pemecahan selama curing menjadi asam amino selanjutnya dipecah menjadi amonia. Pati diubah menjadi dekstrin dan maltosa dan akhirnya monosakarida oleh enzim α-amilase. Sampai akhir curing, kadar pati yang tersisa sebesar 3%. Perubahan asam organik selama curing tembakau diantaranya asam sitrat dan asam malat meningkat tajam sedangkan asam oksalat relatif stabil (Abubakar, 2003). a.2. Curing pada Vanili Curing merupakan salah satu proses dalam pengolahan vanili. Pada curing vanili, terdapat 4 tahap (Gambar 4), yaitu: (1) Killing yaitu penghentian pertumbuhan dan pemecahan struktur sel dari vanila melalui reaksi enzimatik, (2) Sweating yaitu perubahan warna, pembentukan citarasa dengan pemecahan karbohidrat dan asam organik serta pembentukan ester, eter dan resin (3) Drying yaitu pengurangan kadar air sampai batas tertentu dengan jalan penguapan tanpa merusak jaringan aslinya dan (4) Conditioning yaitu tahap terjadinya reaksi kimia dan biokimia seperti esterifikasi, eterifikasi, degradasi oksidatif, menghasilkan senyawa minyak atsiri yang menambah kualitas citarasa. Perubahan citarasa dan komposisi kimia pada curing vanili disebabkan terjadinya reaksi hidrolisis, oksidasi, eterifikasi atau esterifikasi (Ranadive, 1994). Vanilin merupakan senyawa terpenting yang menyumbangkan citarasa pada vanili. Pada vanili segar senyawa aroma terdapat sebagai glukosida. Selama curing berlangsung, terjadi pelepasan aglikon sehinga glukovanilin diubah menjadi vanilin dengan adanya enzim β-glukosidase (Ranadive, 1994; Dignum et.al., 2002). Peerubahan glukovanilin menjadi vanilin disajikan pada Gambar 5.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 25
a.3. Curing pada bahan baku penghasil minyak atsiri Perubahan yang terjadi selama curing bahan penghasil minyak atsiri antara lain perubahan kadar air, perubahan jenis dan kadar senyawa citarasa. CH3
CH3
H3C
CH3
CH3
enzim H3C
CH3
H3C
CH3
CH3 H3C
CH3
CH3 CH3 HO CH3
klorofil
CH3
CH3
CH3
-Mg2+
klorofilid
CH3
CH3
CH3
CH3
H3C
-Mg2+
CH3 OH
fitol CH3
CH3
H3C
CH3
CH3
H3C
CH3
CH3
H3C
CH3
H H3C
CH3
CH3
CH3 CH3
CH3
CH3
O HO
CH3
CH3
feofitin
feoforbid
Gambar 4. Proses degradasi klorofil (Von Elbe and Schwartz,1996). O
O
C
C H
H
β - Glukosidase
OCH3 O
(Curing) OCH3 OH
Glu
Glukovanilin
Vanilin
Gambar 5. Perubahan glukovanilin menjadi vanilin selama curing (Ranadive, 1994; Dignum et al., 2002). TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 26
Penguapan air dan senyawa volátil. Penguapan air terjadi secara bertahap bersamaan dengan menguapnya senyawa yang mudah menguap termasuk senyawa citarasa. Proses penguapan air dan senyawa volatil dapat terjadi karena selama curing atau pengeringan daun, sel epitel daun mengalami retak dan pecah. Hal tersebut terbukti pada hasil pengamatan permukaan daun menggunakan scanning electron microscopy (SEM) pada daun spearmint (DiazMaroto et al., 2003) dan daun sweet basil (Yousif et al., 1999). Kehilangan minyak atsiri selama curing akibat terjadinya proses oksidasi dan resinifikasi. Pengeringan alami tanaman Lippia scaberrima Sond. pada kondisi ruang (temperatur 24 – 27 0C, kelembaban relatif 30 – 50%) menyebabkan penurunan berat rata-rata berturut-turut sebesar 47,6% dan 58,9% setelah 48, 96 jam dan konstan setelah pengeringan 144 jam (Combrink et al., 2006). Perubahan senyawa citarasa. Senyawa citarasa merupakan metabolit sekunder yang dapat mengalami transformasi ataupun degradasi yaitu modifikasi (substitusi dan hidrogenasi diantaranya epoksidasi, metilasi dan hidroksilasi), penataan ulang (rearrange-ment) dan degradasi menjadi metabolit primer (Luckner, 1984). Perubahan posisi ikatan rangkap mudah terjadi dalam minyak atsiri tanaman diantaranya terjadi pada terpen (osimen dan mirsen), aldehid (sitronelal dan sitral) dan golongan alkohol siklik (geraniol dan linalool) (Gambar 6) (Guenther, 1987). OH
isomerisasi OH
Geraniol
Linalool
Gambar 6. Reaksi isomerisasi geraniol dan linalool (Guenther,1987) Perubahan yang terjadi pada senyawa citarasa pada tanaman selama pengeringan alami ataupun curing antara lain kehilangan senyawa volatil, peningkatan senyawa tertentu yang sudah ada ataupun pembentukan senyawa baru akibat proses oksidasi, hidrolisis bentuk glikosida ataupun pelepasan senyawa akibat pecahnya dinding sel (Diaz-Maroto et al., 2002a; Diaz-Maroto et al., 2002b). Salah satu contoh adalah terjadinya pembentukan (biosintesis) senyawa oktanal (Gambar 7). Lukcner (1984) menyatakan senyawa aldehid TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 27
dibentuk dari asam lemak melalui jalur β-oksidasi. Asam lemak bebas seperti asam nonanoat mengalami degradasi menjadi suatu molekul yang mempunyai radikal hidrogen pada atom karbon posisi β dalam bentuk intermediet (I). Intermediet (I) akan membentuk asam-2-hidroperoksi nonanoat, dengan penambahan radikal OOH. Asam-2-hidroperoksi nonanoat mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi senyawa aldehid (oktanal), CO2 dan H2O. O
O . OH
OH
H
asam nonanoat
I
O O +
CO2
+
H2O
OH
H
O OH
oktanal
asam 2-hidroperoksi nonanoat
Gambar 7. Reaksi biosintesis oktanal (Lukcner, 1984) Pembentukan senyawa golongan alkana dan alkena dalam bahan tanaman dapat terjadi melalui reaksi dekarboksilasi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang kemungkinan melibatkan mekanisme α-oksidasi dan asam
α-hidroksi
sebagai intermediet (Luckner, 1984). Reaksi biosintesis alkana disajikan pada Gambar 8. Pelepasan maupun pengambilan gugus karboksilat pada molekul alami dengan cara pemecahan maupun pembentukan ikatan karbon-karbon dioksida sering terjadi pada metabolisme sekunder (Manitto, 1992). CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH2–COOH
CH3–(CH2)13–CH2–(CH2)13–CH3 + CO2
Asam triakontanat
nonakosana
Gambar 8. Reaksi biosintesis alkana (Lukcner, 1984) Beberapa daun yang memiliki citarasa mint dikeringkan sebelum diisolasi senyawa citarasanya. Daun tanaman lavender dan rosemary perlu dikeringkan sebelum
diisolasi
senyawa citarasanya, karena
selama
proses tersebut
terjadi reaksi kimia seperti konversi enzimatik glikosida melitosida menjadi glukosa dan asam koumarik. Pada tanaman yang lain seperti oak dan treemos, TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 28
senyawa volatilnya terbentuk setelah senyawa non volatil yang dikandungnya, diantaranya derivat dimerik benzena dihidrolisis menjadi monomernya misalnya atranorin diubah menjadi metil β-orsinil karboksilat (Boelens, 1997). Hasil penelitian Ibanez et al.(1999) menunjukkan bahwa komposisi minyak atsiri daun rosemary segar dan kering sangat berbeda. Senyawa utama minyak atsiri yang dihasilkan dari daun rosemary segar yaitu kamfor (40%), 1,8-sineol (12%), verbenon (9%), borneol (7%) dan bornil asetat (2,5%) sedangkan daun kering hanya mengandung kamfor (9%), verbenon (16%) dan borneol (21%). Hal yang menyebabkan
perbedaan
komposisi
tersebut
adalah
penge-ringan
mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel sehingga mempermudah pelepasan senyawa volatil. Komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab pada citarasa mengalami perubahan akibat pengeringan secara alami terjadi pada beberapa daun tanaman yaitu peningkatan senyawa 1,8-sineol dan limonen serta penurunan seskuiterpen pada spearmint, (Diaz-Maroto et al., 2003), peningkatan eugenol pada bay leaf (Diaz-Maroto et al., 2002a), peningkatan p-mentha-1,3,8-triena pada parsley (Diaz-Maroto et al., 2002b) dan peningkatan metilkavikol pada sweet basil (Yousif et al., 1999). Perubahan konsentrasi beberapa senyawa volatil pada pengeringan bahan tersebut disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian Combrink et al. (2006) pada pengeringan alami tanaman Lippia scaberrima Sond. selama 4 hari, menunjukkan terjadi peningkatan persentase relatif senyawa utama terpen yaitu limonen dan carvon, tetapi terjadi penurunan persentase relatif humulen dan kariofilen. Peningkatan persentase relatif limonen dan carvon disebabkan terjadinya reaksi kimia dan enzimatik selama pengeringan sehingga senyawa terpen yang semula terdapat dalam bentuk glikosida dapat dibebaskan. Penurunan persentase relatif humulen dan kariofilen selama pengeringan diakibatkan terjadinya kerusakan glandular trichomes sehingga senyawa tersebut menguap. Kerusakan glandular trichomes dapat dibuktikan dengan pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengaruh pengeringan pada pelepasan atau ketahanan senyawa volatil dalam bahan tergantung pada senyawanya dan sifat bahannya (Venskutonis, 1997). Pengeringan dapat mengakibatkan kehilangan senyawa volatil karena adanya TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 29
kerusakan dinding sel, peningkatan kadar senyawa akibat pembentukan senyawa melalui reaksi oksidasi dan hidrolisis bentuk glikosida (Huopalahti et al., 1985 in Diaz-Maroto et al, 2002b). Tabel 4. Perubahan konsentrasi senyawa volatil pada beberapa bahan akibat pengeringan alami Bahan
Senyawa
Konsentrasi (μg/g berat kering) Segar Kering
Spearminta)
α-pinen sabinen β-pinen β-mirsen 1,8 sineol + limonen cis-dihidrokarveol cis-karveol karvon trans-hidrokarvil asetat β-bourbon β-kariofilen epi- bisikloseskuipelandren α-pinen sabinen β-pinen 1,8 sineol linalool terpinen-4-ol α-terpineol borneol asetat eugenol terpinil asetat metil eugenol β-phelandren α-terpinolen miristin apiol γ-kadiden β-bisabolon
307 296 464 325 6488 1733 115 14399 430 303 543 425 338,2 448,4 269,2 2515,8 1822,6 173,2 308,7 124,6 222,5 602,5 341,2 518 117 264 810 39 5
Bay leafb)
Parsleyc)
a)
Diaz-Maroto et al. (2003); al. (2002b)
b)
Diaz-Maroto et al. (2002a);
407 364 584 361 8319 1561 58 15324 525 225 406 296 355,3 478,5 270,8 2172,2 1708,3 146,9 278,6 99,6 451,0 318,6 322,5 476 83 191 491 22 3 c)
Diaz-Maroto et
Hasil penelitian Wijaya (1995) menunjukkan perlakuan pendahuluan pada daun jeruk purut, yaitu penyimpanan irisan daun jeruk pada temperatur 26 oC selama 2, 4 dan 6 jam sebelum diekstrak, tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding bahan segarnya. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan senyawa volatil selama proses penyimpanan. Guenther (1990) menyatakan TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 30
bahwa penyimpanan daun Pimenta racemosa (Mill) selama 3 hari dalam memproduksi minyak bay di Puerto Rico bertujuan untuk meningkatkan rendemen dan mempermudah penanganan daun. a.4. Curing pada Daun Salam Penurunan berat. Penurunan berat daun salam selama proses curing terjadi karena masih berlangsungnya proses metabolisme daun antara lain respirasi dan penguapan air dan komponen volatil dari dalam daun. Penurunan berat selama 2 dan 4 hari curing berturut-turut sebesar 24,4 dan 51,70 %. Perubahan warna. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa semakin lama proses curing, intensitas warna hijau daun salam berkurang dan intensitas warna coklat bertambah (Gambar 9).
Pengukuran warna secara
obyektif yang dinyatakan sebagai nilai L* = tingkat kecerahan, b* = kecenderungan warna biru – kuning dan a* = kecenderungan warna hijau – merah menunjukkan nilai a* semakin tinggi dengan makin lamanya proses curing. Hal tersebut berkaitan dengan degradasi klorofil yang berwarna hijau menjadi pheofitin yang berwarna coklat (Gross, 1991; Lawless and Heymann, 1998). Salah satu sifat terpenting klorofil adalah kelabilannya. Klorofil sangat sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen dan degradasi kimia (Gross, 1991).
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. Warna daun salam hasil perlakuan curing (a) 0 hari (b) 2 hari (c) 4 hari Komposisi kimia dan ekstrak flavour daun salam hasil curing. Komposisi kimia daun salam hasil curing dipengaruhi oleh perlakuan curing, menunjukkan penurunan pada semua variabel (Tabel 5). Penurunan kadar pati dan gula reduksi selama curing berkaitan dengan masih berlangsungnya proses TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 31
metabolisme yang melibatkan aktivitas enzim. Enzim diastase mengubah pati menjadi dekstrin, disakarida dan akhirnya monosakarida. Monosakarida selanjutnya dalam proses respirasi dioksidasi menjadi air, karbon dioksida dan energi. Kadar total N menurun selama curing, berkaitan dengan penurunan aktivitas beberapa enzim oksidatif seperti enzim malat dehidrogenase, polifenol oksidase, diaphorase, asam glikolat oksidase dan glutamat dehidrogenase. Pada curing tembakau terjadi kehilangan 2/3 kadar total N akibat penurunan aktivitas enzim tersebut (Abubakar et al, 2003). Secara umum pada tanaman setelah dipanen terjadi penurunan nyata pada gula terlarut, baik gula reduksi maupun non reduksi akibat meningkatnya proses respirasi (Phan, 1987). Asam organik menurun selama pelayuan pada kebanyakan jaringan, terutama akibat oksidasi pada respirasi (Marten and Baardseth. 1987), sehingga terjadi penurunan total asam dan peningkatan nilai pH. Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan pada proses curing daun salam menunjukkan komposisi yang berbeda, tetapi secara organoleptik ekstrak hasil curing 2 hari dan tanpa curing menunjukkan kesukaan aroma yang sama.. Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing disajikan pada Tabel 6. Tabel 5. Komposisi kimia daun salam hasil curing Curing (hari)
Kadar pati (% bk)
0
22,98
Kadar gula reduksi (% bk) 0,15
2,78
Total asam (mek/ml NaOH) 0,26
4,67
2
17,73
0,11
2,47
0,17
4,89
4
12,33
0,06
1,98
0,06
5,28
Kadar total N (% bk)
pH
b. Preparasi Bahan Preparasi bahan dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya minyak atsiri dari bahan. Dalam tanaman, minyak atsiri terdapat dalam kelenjar minyak atau pada bulu-bulu kelenjar dan dalam proses separasi dapat dikeluarkan melalui proses difusi. Proses difusi berlangsung sangat lambat dan dapat dipercepat dengan pengecilan ukuran bahan sebelum diproses. Pengecil-an ukuran bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung pada jenis bahan, misalnya pemukulan
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 32
(biji dan buah), penggilingan (buah Umbelliferous) dan perajangan (kayu cedar) (Boelens, 1997; Sastrohamidjojo, 2004). c. Metode Separasi Minyak Atsiri Ada beberapa cara separasi minyak atsiri dan sangat menentukan jumlah dan jenis senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Metode yang biasa digunakan untuk separasi minyak atsiri antara lain distilasi air, distilasi uap-air dan distilasi uap (Sastrohamidjojo, 2004). Guenter (1987) menyatakan bahwa beberapa metode untuk memperoleh minyak atsiri adalah distilasi (dengan air, uap), ekstraksi (dengan lemak dingin = enfleurasi, dengan lemak panas = maserasi dan dengan pelarut mudah menguap). Disamping itu metode yang akhir-akhir ini dikembangkan adalah ekstraksi cairan superkritis CO2 (supercritical fluid extraction = SFE). Metode ini memerlukan investasi yang sangat besar sehingga hanya diterapkan pada bahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Ojha et al., 1995). Enfleurasi dan maserasi jarang dilakukan karena memerlukan waktu lama dan hanya cocok untuk tanaman tertentu misalnya bunga yang membentuk minyak setelah dipetik seperti melati. Selain itu, proses ini sering menghasilkan produk yang masih mengandung lemak sehingga mudah tengik. Distilasi dan ekstraksi dengan pelarut mudah menguap atau kombinasi keduanya merupakan metode yang paling umum digunakan (Guenter, 1987). Metode yang banyak digunakan dalam isolasi senyawa citarasa adalah distilasi-ekstraksi simultan (simultaneous distillation-extraction) karena mempunyai kelebihan dalam mengekstrak senyawa citarasa dibanding metode isolasi yang lain (Parliament, 1997). Tabel 6. Komposisi ekstrak citarasa daun salam hasil curing*
1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sikloheksana Toluena Cis-3-heksena-1-ol 1,2 dimetil benzena n-heksanol 1,3-dimetil benzena 2,2-dimetil pentanal 4,4-dimetil-1-heksena Oktanal
% Relative Area Lama curing (hari) 0 2 0,53 0,54 tt 0,48 0,67 tt tt 0,90 tt 1,53 tt 0,35 tt 0,21 0,27 0,20 29,60 26,85
10. 11.
Heksil asetat α- osimen
0,44 32,00
No.
Senyawa
0,30 44,09
4 2,07 0,67 tt 0,49 0,34 0,32 tt tt 32,09 tt 40,62
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 33
Tabel 6. Lanjutan. No.
Senyawa
12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
ß-osimen Dodekana Nonanal 3,4-dimetil-2,4,6-oktatriena Cis-4-dekenal Dekanal Tridekana Heksil heksanoat α-kopaena Aromadendrena α-humulen Alloaromadendrena 1-kloro-heksadekana Tidak teridentifikasi ß-kamigrena ß-selinena α-selinena Germakrena Δ-kadidena α-panasinsen Nerolidol 1-nonadekena Heksadekana Karyofilena oksida
% Relative Area Lama curing (hari) 0 2 1,70 1,59 tt 0,20 0,47 0,42 1,01 1,54 5,78 4,04 3,55 2,47 tt 0,13 0,53 0,18 3,33 2,12 0,27 0,25 4,56 2,82 0,36 0,22 0,87 0,59 tt 0,21 2,67 1,64 2,22 1,49 2,63 1,54 0,30 0,18 0,72 0,41 1,42 0,84 2,36 1,42 0,23 0,26 0,59 0,47 0,34 0,22
4 1,51 0,17 0,37 1,44 4,05 2,72 tt tt 1,91 0,18 2,29 0,13 0,51 tt 1,64 1,47 1,48 tt 0,30 0,81 1,47 tt 0,45 0,36
*Wartini et al. (2010); tt: tidak terdeteksi. Pemilihan metode separasi yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri menurut Ojha et al. (1995) didasarkan pada kevolatilan dan titik didih dari bahan beraroma, stabilitas senyawa pada temperatur tinggi, kepolaran kompo-nen volatil, konsentrasi dan distribusi senyawa volatil. Bahan beraroma bersifat volatil dan sensitif terhadap panas dan reaktif, oleh karena itu pencegahan harus dilakukan agar tidak terjadi reaksi bahan beraroma selama proses separasi. Hasil penelitian metode separasi pada bahan baku citarasa menunjukkan bahwa komposisi dan karakter ekstrak citarasa yang dihasilkan tergantung pada metode separasi dan kondisi proses yang dilakukan, diantaranya pada daun jeruk purut (Wijaya, 1995), daun dan bunga L. angustifolia Miller (Yusufoglu et al., 2004), minyak daun rosemary (Boutekedjiret, Belabbes, Bentahar, Bessière dan Rezzoug, 2004), buah X. purpurascens Lallem (Ozek et al., 2006a), buah P. turcica (Ozek et al., 2006b). TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 34
Wijaya menyatakan bahwa ada perbedaan aroma dan komposisi senyawa volatil pada ekstrak yang dihasilkan dengan metode separasi distilasi uap, distilasi air, maserasi, perkolasi dan simultan distilasi-ekstraksi. Menurut Yusufoglu et al. (2004) produk yang dihasilkan dari daun dan bunga L. angustifolia Miller dengan distilasi uap mempunyai komposisi kimia, sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan produk yang dihasilkan dengan ekstraksi pelarut petroleum eter dan hal ini menentukan penggunaan produk tersebut, apakah sebagai citarasa makanan, obat atau kosmetik. Senyawa utama pada ekstrak daun L. angustifolia Miller dengan metode distilasi uap yaitu 1,8-sineol (49,23%), kamfor (34,67%) dan isoborneol (4,60%) cocok digunakan untuk bahan stimulating dan ekspektoran. Metode ekstraksi pelarut menghasilkan
ekstrak
dengan
senyawa
utama
2,4-dimetil-7-etil-6,8-
dioksabisiklo[3.2.1]okt-3-ene (48,49%), triakontana (12,45%), dokosana (9,01%), tetrakosana (4,72%) dapat digunakan sebagai kosmetik dan pembersih. Hasil penelitian Ozek et al. (2006a) menunjukkan bahwa senyawa utama minyak buah X. purpurascens Lallem yang diperoleh dari metode hidrodistilasi (HD) dan mikrodistilasi (MD) agak mirip, yaitu sebagian besar terdiri atas monoterpen, seperti α-felandren ( 32% dan 27%), β-felandren (22,8% dan 19,8%), limonen ( 5,3% dan 4,5%), p-simen ( 3,7% dan 2,8%) dan α-pinen (3,2% dan 2%). Senyawa yang diperoleh dari metode microsteam distillation - solid phase microextraction (MSDSPME) berbeda dengan metode HD dan MD yaitu terdiri atas γ-elemen ( 5,3%), elemen ( 2,66%), geranil asetat ( 2,76%) dan spatulenol ( 1,71%) ditemukan dalam jumlah lebih tinggi. Minyak atsiri hasil separasi dengan metode HD, MD dan MSDSPME berturut-turut mengekstrak seskuiterpen sebanyak 13, 22 dan 28%. Minyak atsiri dari buah P. turcica yang diperoleh dengan metode HD mengandung senyawa utama α-humulen (11,0%), germakren (10,6%), naftalen (8,5%), terpinolen (7,9%) dan bornil asetat (6,9%). Metode MD menghasilkan minyak atsiri dengan kandungan utama p-simen (12,7%), terpinolen (11,2%), α-pinen (9,9%), naftalen (7,9%), γ-terpinen (7,3%), α-humulen (7,9%) dan germakren (6,2%). Minyak atsiri yang dihasilkan dengan metode MSD-SPME, mempunyai senyawa dominan yaitu germakren (9,2%), naftalen (8,7%), bornil asetat (8,2%), α-humulen (7,1%) dan γelemen (6,7%) (Ozek, 2006b). Minyak rosemary diisolasi dengan tiga metode yang berbeda yaitu distilasi uap, distilasi air dan controlled instantaneous decompression. Hasil analisis terhadap TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 35
minyak yang dihasilkan menunjukkan bahwa komposisi minyak yang diperoleh dari distilasi uap mempunyai proporsi monoterpen hidrokarbon (antara lain pinen, kamfen, mirsen) lebih tinggi sedangkan proporsi monoterpen teroksidasinya (antara lain terpineol, linalool, kamfor, borneol) lebih rendah dibanding distilasi air. Hal tersebut disebabkan selama proses distilasi air senyawa monoterpen tersebut mengalami perubahan kimia dengan adanya air, terutama terjadinya reaksi hidrolisis menghasilkan monoterpen teroksidasi (Boutekedjiret et al., 2004). Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi menunjukkan perbedaan komposisi seperti yang disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam. Tabel 7. Senyawa utama ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari metode distilasi uap, distilasi air, distilasi-ekstraksi simultan* Persentase relatif (% RA) No. 1 2 3 4
Senyawa
Distilasi uap
Oktanal 6,97 Cis-4-dekenal 18,74 Dekanal 3,14 cis-3-heksenil 0,66 heksanoat 5 Kariofilen 3,16 6 α-humulen 2,06 7 Nerolidol 4,09 8 Sitronelol 4,27 9 α-bisabolol 4,63 10 Farnesol 16,95 11 β-mirsen 1,17 tt 12 β-osimen *Wartini et al. (2008); tt: tidak terdeteksi.
Distilasi air
Distilasiekstraksi simultan
14,01 24,44 2,86 0,34
11,31 28,43 6,49 1,44
2,56 2,34 20,27 16,65 4,54 1,89 tt tt
5,92 9,20 1,44 1,39 2,74 0,93 Tt 9,04
Ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan sebagian besar terdiri atas senyawa alkanal terutama cis-4-dekenal yaitu senyawa yang mempunyai aroma jeruk (Weast et al., 1985), dan golongan terpen. Senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan dapat digolongkan menjadi golongan senyawa yang secara umum memberi kontribusi terhadap citarasa ekstrak yaitu terpen dan non terpen. Golongan terpen terdiri atas monoterpen hidrokarbon (β-osimen, β-mirsen), monoterpen teroksidasi (sitronelol, tujil alkohol), seskuiterpen hidrokarbon (isokariofilen, trans-kariofilen, α-humulen, aromadendren, βTPC Project Udayana University – Texas A&M University - 36
kamigren, α-kopaen, farnesen), seskuiterpen teroksidasi (nerolidol, Δ-kadinol, βbisabolol, farnesol). Senyawa non terpen terdiri atas aldehid (oktanal, dekanal, cis-4dekenal), ester (cis-3-heksenil heksanoat, 5,10-asam undekadienoat). Tabel 8. Penggolongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air dan distilasiekstraksi simultan* Golongan senyawa Monoterpen hidrokarbon Monoterpen teroksidasi Total monoterpen Seskuiterpen hidrokarbon Seskuiterpen teroksidasi Total seskuiterpen Aldehid *Wartini et al. (2008)
Persentase relatif (% RA) Distilasi uap Distilasi air Simultan 1,17 1,14 9,04 5,44 18,31 1,39 6,61 19,45 10,43 11,55 5,53 19,99 25,19 26,7 5,11 36,74 32,23 25,1 28,85 41,31 46,23
Komparasi senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam. Hasil uji kesukaan terhadap ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap, distilasi air dan distilasi-ekstraksi simultan ditentukan oleh senyawa yang menyusun ekstrak tersebut. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi disajikan pada Gambar 10 dan 11. Ekstrak citarasa dengan tingkat kesukaan paling tinggi ditunjukkan dengan kandungan monoterpen hidrokarbon dan aldehid yang tinggi (Gambar 10), sedangkan senyawa seskuiterpen hidrokarbon dan monoterpen teroksidasi tidak banyak mempengaruhi kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap ekstrak citarasa daun salam hasil distilasi-ekstraksi simultan paling tinggi dibanding ekstrak citarasa yang dihasilkan dari metode separasi yang lain karena adanya β-osimen dalam ekstrak citarasa tersebut (Gambar 11). Senyawa β-osimen termasuk monoterpen, banyak ditemukan pada sweet basil oil, mempunyai aroma seperti jeruk, lemon, nanas dan sering digunakan sebagai citarasa dan
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 37
golongan senyawa penyusun / sifat organoleptik
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Distilasi uap
Disilasi air Metode separasi
Simultan
Monoterpen hidrokarbon (%RA)
Monoterpen teroksidasi (%RA)
Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)
Seskuiterpen hidrokarbon (%RA)
Aldehid (% RA) Kesukaan aroma
Gambar 10. Persentase relatif golongan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam dan sifat organoleptik ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi
senyawa penyusun / sifat organoleptik
30 25 20 15 10 5 0 Distilasi uap
Disilasi air
Simultan
Metode separasi
Oktanal (%RA)
cis-4-dekenal (%RA)
Dekanal (%RA)
cis-3-heksenil heksanoat (%RA)
Kariofilen (%RA)
α-humulen (%RA)
Nerolidol (%RA)
Sitronelol (%RA)
α-bisabolol (%RA)
Farnesol (%RA)
β-mirsen (%RA)
β-osimen (%RA)
Kesukaan aroma
Gambar 11. Persentase relatif senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa daun salam yang dihasilkan dari beberapa metode separasi
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 38
parfum. Senyawa osimen sering ditemukan sebagai campuran bentuk α-osimen dan β-osimen, bersifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (Lewis, 1992; Weast dan Lide, 1989). Disamping itu persentase relatif cis-4-dekenal yang tinggi juga meningkatkan kesukaan panelis. d. Distilasi Distilasi dapat didefinisikan sebagai metode separasi yang didasarkan pada perbedaan komposisi antara campuran cairan dan uap yang terbentuk. Perbedaan komposisi menyebabkan perbedaan tekanan uap efektif atau volatilitas senyawa dalam cairan (Sastrohamidjojo, 2004; Fair, 1987). Guenther (1987) dan Ojha (1995) menyatakan distilasi adalah pemisahan senyawa-senyawa suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Distilasi dapat dilakukan jika titik didih senyawa-senyawa dalam campuran memiliki perbedaan yang berarti (Sattler dan Feindt, 1995).
Titik didih adalah
temperatur pada saat cairan berubah menjadi uap pada tekanan atmosfer atau temperatur pada saat tekanan uap dari cairan tersebut sama dengan tekanan gas atau uap yang berada di sekitarnya. Dua macam distilasi yang dikenal dalam industri minyak atsiri yaitu distilasi dengan uap dan distilasi dengan air. Selama proses distilasi kemungkinan terjadi dekomposisi senyawa linalil asetat seperti yang terjadi pada distilasi daun lavender (Reverchon dan Porta, 1995). Distilasi uap dan distilasi air sampai saat ini masih merupakan proses yang paling penting untuk mendapatkan minyak atsiri dari tanaman (Sonwa, 2000). Pada dasarnya ada dua sistem distilasi (Sastrohamidjojo, 2004; Guenther, 1987) yaitu: 1. Distilasi suatu campuran yang berwujud cairan yang tidak saling mencampur, sehingga membentuk dua fasa atau dua lapisan. Keadaan ini terjadi pada pemisahan minyak atsiri dan air. Distilasi dengan uap air sering disebut hidrodistilasi, dilakukan dengan memanaskan bahan tanaman penghasil minyak atsiri dengan air atau uap air. 2. Distilasi suatu cairan yang tercampur sempurna sehingga hanya membentuk satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri menjadi beberapa senyawanya disebut fraksinasi, bertujuan untuk memurnikan dan memisahkan fraksi-fraksi minyak atsiri tanpa menggunakan uap air. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 39
e. Distilasi pada minyak atsiri Sistem campuran air dan minyak atsiri membentuk cairan dua fasa. Pada temperatur tertentu molekul-molekul cairan tersebut mempunyai energi tertentu dan bergerak bebas secara tetap dengan kecepatan tertentu. Bila temperatur molekul naik dengan cara dipanaskan maka tenaga gerak molekul akan bertambah. Molekul-molekul selama bergerak akan saling bertumbukan. Di lapisan permukaan molekul-molekul memiliki tendensi bergerak meninggalkan permukaan cairan masuk ke ruang di atas cairan (molekul cairan berubah menjadi molekul uap). Molekul-molekul dalam keadaan uap memiliki tenaga gerak lebih besar dibandingkan dalam keadaan cair. Molekul-molekul uap selama bergerak juga saling bertumbukan dan kemungkinan arah geraknya menuju kembali ke permukaan cairan. Pada suatu saat banyaknya molekul yang lepas dari permukaan menjadi uap dan kembali ke fasa cairnya akan sama jumlahnya (disebut pengembunan) sehingga tercapai keseimbangan dinamik. Tekanan yang dihasilkan oleh uap pada distilasi minyak atsiri, merupakan hasil dari benturan secara terus menerus antara molekul uap yang bergerak cepat pada dinding pembatas uap tersebut. Besarnya tekanan yang terjadi sama dengan jumlah tekanan yang ditimbulkan oleh satu molekul dikalikan dengan jumlah molekul yang membentur dinding persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dan tergantung pada konsentrasi molekul atau konsentrasi uapnya. Pada distilasi minyak atsiri dengan dengan sistem uap air atau air mendidih (hydrodistillation), tekanan dalam ruang uap akan tetap konstan, karena uap berhubungan dengan atmosfer atau ditentukan oleh alat kontrol yang dapat menaikkan dan menurunkan tekanan. Jika minyak atsiri yang tidak larut dalam air dimasukkan dalam alat distilasi bersamasama dengan air maka tekanan dalam ruang uap lebih besar dari 1 atmosfer. Karena ruang uap berhubungan dengan udara luar (atmosfer), maka tekanan akan turun kembali mencapai tekanan atmosfer. Keadaan ini dapat berlangsung jika temperatur turun secara otomatis. Jika temperatur cairan diturunkan, kecenderungan molekul cairan menjadi fase uap juga menurun, sehingga konsentrasi molekul uap juga berkurang, akibatnya tekanan uap juga turun. Temperatur akan turun sampai pada keadaan tekanan total yang disebabkan oleh uap campuran sama dengan tekanan pada saat operasi (tekanan atmosfer). Dengan demikian titik didih dari setiap cairan dua fase akan selalu lebih rendah dari titik didih masing-masing cairan murni pada tekanan yang sama. Salah satu contoh adalah air dan benzena masingTPC Project Udayana University – Texas A&M University - 40
masing mempunyai titik didih 100 0C dan 80 0C, merupakan dua macam cairan yang tidak saling mencampur. Jika campuran kedua cairan tersebut dididihkan pada tekanan atmosfer, uap akan dihasilkan secara konstan pada temperatur
690 C
selama kedua cairan tersebut masih ada dalam campuran. Jika salah satu dari kedua cairan tersebut habis menguap maka temperatur akan naik mencapai titik didih senyawa yang masih ada. Keadaan ini berlaku untuk semua senyawa yang mudah menguap, dengan syarat senyawa tersebut tidak larut atau sedikit larut dalam air dan tidak bereaksi dengan air. Uap pada cairan dua fase terdiri dari dua macam molekul dan berada dalam kesetimbangan. Jumlah tekanan uap campuran sama dengan jumlah tekanan dari masing-masing molekul uap. Tekanan yang dihasilkan oleh uap murni pada temperatur yang sama merupakan tekanan uap dari senyawa murni, sedang jumlah tekanan uap dari campuran cairan sama dengan jumlah tekanan uap parsial. Tekanan uap parsial adalah tekanan uap dari masing-masing senyawa dalam campuran uap. Untuk setiap sistem cairan dua fase, tekanan uap parsial sama dengan tekanan uap masing-masing senyawa. Komposisi uap yang terbentuk dari dua macam campuran cairan, tergantung pada tekanan uap parsial dari senyawa murni. Kalau senyawa A mempunyai tekanan uap tinggi sedangkan B rendah, maka campuran uap sebagian besar akan terdiri dari senyawa A. Perbandingan berat senyawa A dan B merupakan perbandingan antara tekanan uap A dan B dikalikan dengan perbandingan berat molekul A dan B. Peristiwa mendidih terjadi hanya jika jumlah tekanan parsial yang dihasilkan oleh senyawa, sama dengan tekanan dalam ruang uap, oleh karena itu cairan heterogen (dua fase) akan mendidih atau menguap pada suatu temperatur pada jumlah tekanan uap sama, dibawah titik didih dari senyawa bertitik didih paling rendah. Distilasi bahan tanaman memiliki hubungan erat dengan proses difusi, terutama dengan peristiwa osmosis. Pertukaran uap dalam jaringan tanaman segar didasarkan pada sifat permeabilitasnya dalam keadaan segar. Von Rechenberg dalam Guenther (1987) menggambarkan proses hidrodifusi pada distilasi bahan tanaman sebagai berikut : pada temperatur air mendidih, sebagian minyak atsiri larut dalam air yang terdapat dalam kelenjar. Campuran air dan minyak atsiri berdifusi keluar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran sampai ke permukaan bahan selanjutnya menguap. Untuk mengganti minyak yang menguap tersebut, TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 41
sejumlah minyak masuk ke dalam larutan dan menembus membran sel bersamaan dengan masuknya air. Proses tersebut berlangsung terus sampai seluruh zat menguap didifusikan dari dalam kelenjar minyak dan diuapkan bersama uap air panas. Kecepatan menguapnya minyak atsiri dalam proses hidrodistilasi bahan tidak dipengaruhi oleh sifat mudah menguapnya senyawa dalam minyak, tetapi lebih banyak ditentukan oleh derajat kelarutannya dalam air. e.1. Distilasi air Pada distilasi air bahan kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa dilakukan yaitu dengan panas langsung, mantel pemanas, pipa uap melingkar tertutup atau dengan pipa uap berlingkar terbuka (Guenter, 1987). Distilasi air paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997). Dalam proses distilasi, bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak atsiri kemudian dikondensasikan. Pada proses distilasi air akan diperoleh senyawa yang larut dalam air dan bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan berlangsung dengan baik, tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa hasil distilasi serta senyawasenyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan efisiensi proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua sampai tiga jam (Sonwa, 2000). Distilasi air (hydrodisllation) paling banyak digunakan untuk mengisolasi minyak dari bunga (mawar, melati). Berat air yang digunakan sama dengan berat bahan yang didistilasi dan minyak yang diperoleh kurang dari 0,1% (Boelens, 1997). Skema proses distilasi dengan air disajikan pada Gambar 12. Dalam proses ini bahan tanaman dan air diletakkan bersama-sama di dalam bejana A, selanjutnya campuran tersebut dipanaskan. Campuran uap dari air dan minyak atsiri dikondensasikan dalam trap B dan dilewatkan pada lapisan hexana yang melarutkan minyak, sedangkan air kondensasi kembali ke bejana A. Pada proses distilasi air akan diperoleh senyawa yang larut dalam air dan bertitik didih rendah, proses difusi uap air ke dalam bahan berlangsung dengan baik, TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 42
tetapi memiliki kelemahan yaitu terjadinya hidrolisis dan dekomposisi senyawa hasil distilasi serta senyawa-senyawa bertitik didih tinggi tidak terekstrak dan efisiensi proses rendah. Proses distilasi ini biasanya kontinyu dalam waktu dua sampai tiga jam (Sonwa, 2000).
Gambar 12. Skema proses distilasi dengan air (Sonwa, 2000) e.2. Distilasi uap Distilasi uap merupakan proses untuk memisahkan dan memurnikan senyawasenyawa organik yang mudah menguap. Pada prinsipnya proses tersebut menguapkan substansi dengan melewatkan uap melalui campuran senyawa dan air. Distilasi uap terjadi pada temperatur dibawah titik didih air, bahkan pada beberapa kasus jauh dibawah titik didih senyawa organik. Hal ini memberikan kemungkinan untuk melakukan pemurnian senyawa bertitik didih tinggi dengan distilasi temperatur rendah terutama untuk senyawa
yang
mengalami
dekomposisi apabila didistilasi pada tekanan atmosfer. Hal ini juga penting dalam pemisahan senyawa organik yang diinginkan (Furniss et al., 1978). Distilasi uap mempunyai kelebihan yaitu efisiensi proses lebih tinggi, temperatur proses terkontrol di bawah atau sama dengan uap sehingga hidrolisis dan dekomposisi senyawa lebih terkendali. Proses distilasi dengan uap, menggunakan bejana penyulingan yang diisi bahan tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak menguap TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 43
bersama air. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke koil kemudian didinginkan dengan air pendingin sehingga uap dikondensasikan. Campuran air kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi atau jika perlu minyak dibebaskan dari air dengan penambahan sodium sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester dan senyawa lainnya di dalam minyak, menjaga aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000). Skema proses distilasi dengan uap disajikan pada Gambar 13. Proses penyulingan dengan uap terdiri dari bejana penyulingan yang mengandung bahan tanaman. Uap mengalir melalui bagian bawah tanaman dan minyak menguap. Campuran uap air dan minyak yang bergerak ke coil selalu didinginkan dengan air mengalir sehingga uap dikondensasikan. Campuran air kondensasi dan minyak atsiri dikumpulkan dan dan dipisahkan dengan dekantasi dan kadang-kadang dengan sentrifugasi. Jika perlu minyak dibebaskan dari air yang terlarut dan tersuspensi dengan penambahan sodium sulfat anhidrat. Hal ini untuk mencegah hidrolisis ester dan komponen lainnya di dalam minyak, menjaga aroma dan sifat-sifatnya (Sonwa, 2000).
Gambar 13. Skema penyulingan dengan uap (Sonwa, 2000).
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 44
e.3. Ekstraksi pelarut Ekstraksi
merupakan
pemisahan
senyawa
tertentu
dari
campuran
menggunakan pelarut. Berbeda dengan proses separasi yang lain, ekstraksi menghasilkan senyawa tidak murni, karena setelah proses tersebut senyawa yang diinginkan masih tercampur dengan pelarut, beberapa jenis lilin, albumin dan zat warna, sehingga diperlukan proses pemisahan dan pemurnian senyawa misalnya rektifikasi. Ekstraksi sering dilakukan pada industri citarasa, dapat dalam bentuk padat-cair atau cair-cair. Selama isolasi senyawa beraroma, bahan alami diperlakukan dengan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan citarasa yang diinginkan dalam jumlah optimal (Furniss et al., 1978; Ojha et al., 1995).
Selanjutnya
dinyatakan
bahwa
ekstraksi
secara
umum
dapat
digolongkan menjadi dua yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi padat-cair. Pada ekstraksi cair-cair, senyawa yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang berupa cairan, sedangkan ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan senyawa
dari
campurannya
yang
berupa
padatan.
Semakin
banyak
pengulangan dalam ekstraksi, maka semakin besar jumlah senyawa yang terekstrak dari campurannya atau efektivitas ekstraksi semakin tinggi, mengikuti persamaan berikut (Vogel, 1978): DxV Xn = Xo (
DxVxv
)n
Keterangan: Xn = berat zat terlarut yang diperoleh (g) Xo = berat zat terlarut yang diekstrak (g) D = perbandingan distribusi kedua fase V = volume larutan (mL) v = volume pelarut (mL) Cara
ekstraksi
senyawa
padat-cair
dengan
prosedur
klasik
adalah
menggunakan ekstraksi kontinyu dengan alat ekstraktor Soxhlet menggunakan pelarut yang berbeda-beda, misalnya eter, petroleum eter dan kloroform. Cara kerja dengan ekstraksi pelarut menguap cukup sederhana yaitu bahan dimasukkan ke dalam ketel ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin, dan zat warna (Guenther, 1987). Ekstrak yang diperoleh disaring dengan penyaringan TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 45
vakum,
lalu
dipekatkan dengan
rotary evaporator vakum yang akan
memekatkan larutan tanpa terjadi percikan pada temperatur antara 30 sampai 40oC. Saat ini, monoterpen dan seskuiterpen diisolasi dari jaringan tanaman dengan ekstraksi memakai eter, eter minyak bumi atau aseton (Harborne, 1987). Cara lain yang dapat dilakukan adalah maserasi, yaitu menggunakan lemak panas, dengan temperatur mencapai 80oC dan jaringan tanaman yang dimaserasi dicelupkan ke dalamnya. Penggunaan lemak panas
dapat
digantikan dengan pelarut organik yang volatil. Penekanan utama metode ini adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan jaringan yang diekstrasi (Guenther, 1987). Cara kerja ekstraksi dengan pelarut mudah menguap cukup sederhana yaitu bahan dimasukkan ke dalam ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin dan zat warna. Larutan selanjutnya dipekatkan dan pelarut diuapkan (Guenther, 1987). Minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut mudah menguap biasanya berwarna gelap karena mengandung pigmen alamiah yang tidak dapat menguap, tetapi proses ini mempunyai keunggulan yaitu untuk bahan-bahan tertentu mempunyai bau yang mirip dengan bau tanaman aslinya. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan secara batch atau kontinyu. Proses batch cenderung kurang efisien dibanding proses kontinyu. Contoh proses ekstraksi kontinyu pada bahan padat adalah dengan ekstraktor Soxhlet sedangkan proses batch adalah maserasi yaitu merendam bahan dalam pelarut selama waktu tertentu (Furniss et al., 1980). Untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi digunakan panas, contoh di laboratorium adalah ekstraksi dengan Soxhlet (Ojha et al., 1995). Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi kriteria sebagai berikut: melarutkan semua zat pemberi citarasa, titik didih cukup rendah sehingga mudah diuapkan, tidak larut dalam air dan bersifat inert. Pelarut yang memiliki sifat paling mendekati kriteria di atas adalah petroleum eter, dengan titik didih 30-70 oC, sifat stabil, mudah menguap, selektif dalam melarutkan zat. Petroleum eter terdiri dari beberapa fraksi hidrokarbon seperti pentana, heptana, heksana dan sebagainya (Furniss et al., 1980). TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 46
Produk yang dihasilkan dari proses ekstraksi dengan pelarut, mengandung zat pewangi alamiah, sejumlah kecil lililin, albumin, pigmen dan dikenal dengan nama concrete. Concrete mempunyai konsistensi padat dan hanya sebagian yang larut dalam alkohol. Concrete dapat diproses lebih lanjut menjadi absolute, dengan cara memisahkan fraksi lilin yang tidak larut dalam alkohol, kemudian dilakukan
penyaringan
dan
penguapan
alkohol.
Absolute
mempunyai
kenampakan lebih jernih dibanding concrete (Guenther, 1987). Yusufoglu et al. (2004), mengekstrak daun dan bunga tanaman L. angustifolia Miller menggunakan petroleum eter pada temperatur 40-60oC selama 2 jam dalam ekstraktor Soxhlet. Concrete yang dihasilkan berupa padatan berwarna hijau gelap untuk bunga dan kuning gelap untuk daun. Selanjutnya concrete direflux dengan alkohol absolut selama 2 jam, didiamkan selama 2 hari dan disaring. Filtrat dievaporasi dan dihasilkan absolut yang berupa cairan kental berwarna hijau jika dihasilkan dari bunga dan kuning dari daun. Skema proses ekstraksi dengan pelarut disajikan pada Gambar 14.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 47
Gambar 14. Skema proses ekstraksi dengan pelarut (Anon., 2004d) e.4. Distilasi-ekstraksi simultan Salah satu teknik yang populer untuk mengisolasi senyawa citarasa adalah distilasi-ekstraksi simultan yang pertama kali diperkenalkan oleh Likens Nickerson. Keuntungan dari teknik tersebut adalah proses pemisahan senyawa volatil dan mengkonsentrasikannya dilakukan dalam satu operasi, volume pelarut yang diperlukan sedikit, senyawa yang diambil lebih banyak dan sistem bisa dilakukan pada tekanan yang dikurangi (Parliament, 1997). Skema proses distilasi-ekstraksi simultan disajikan pada Gambar 15. Prinsip proses distilasi-ekstraksi simultan adalah sebagai berikut: sampel dipanaskan dalam labu distilasi bersama-sama dengan air, demikian juga pelarut mudah menguap diipanaskan dalam labu pelarut. Uap yang dihasilkan dari sampel diekstrak dengan uap pelarut di dalam kondensor dan membentuk dua lapisan. Lapisan atas yaitu fraksi pelarut yang mengandung senyawa TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 48
citarasa selanjutnya mengalir ke labu pelarut sedangkan lapisan bawah yaitu fraksi air kembali ke labu sampel. Pelarut yang mengandung senyawa citarasa kemudian dihilangkan pelarutnya (Barcarolo et al., 1996). Metode distilasiekstraksi simultan banyak digunakan untuk mengekstrak senyawa citarasa (senyawa volatil) karena memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode yang lain (Choi, 2004; Diaz-Maroto, 2002; Pino and Marbut, 2001).
Gambar 15. Skema proses distilasi-ekstraksi simultan (Barcarolo et al., 1996)
Daftar Pustaka Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1986. Budidaya Tembakau. C.V. Yasaguna, Jakarta. h. 115 – 117. AFFI. 2007a. Apa itu citarasa dan fragran. http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f 241da. 21 Pebruari 2007. AFFI. 2007b. Produk Industri Citarasa dan Fragran. http://www.affi.or.id/related2_id.php?PHPSESSID=afcca2821a296753ad92baf0b3f 241da. 21 Pebruari 2007.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 49
Barcaloro, R., C. Tutta and P. Casson. 1996. Aroma Compounds in Handbook of Food Analysis Vol.1. L.M.L.Nollet (Ed.). Marcell Dekker, Inc., New York, Basel. p. 1021 1022. Baser, K.H.C. 1999. Essential oil extraction from natural product by conventional methods. TBAM-ICS/UNIDO Training Course on Quality Improvement of Essential oil. 15 – 19 November 1999. Eskisehir, Turkey. Boelens, M.H. 1997. Production, Chemistry and Sensory Properties of Natural Isolates in Flavours and Fragrances. K.A.D. Swift. The Royal Society of Chemistry. p. 77 79. Boutekedjiret, C., R Belabbes, F. Bentahar, J-M Bessière, S. A. Rezzoug. 2004. Isolation of rosemary oils by different processes. Journal of Essential Oil Research : JEOR. 16 . (3) : 195 -199. Cheetham, P.S.J. 2002. Plant-derived Natural Sources of Flavours in Food Citarasa Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press. CRC Press. U.S.A. and Canada. p. 118. Combrink. S, A.A. Bosman, B.M. Botha, Wilma du Plooy, R.I. McCrindle and E. Retief. 2006. Effect of post-harvest drying on the essential oil and glandular trichomes of Lippia scaberrima Sond. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (special edition): 80 - 84. Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002a. Effect of drying method on the volatil in bay leaf (Laurus nobilis L.). J.Agric. Food Chem. 50: 4520 - 4524. Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello and M.D. Cabezudo. 2002b. Effect of different drying methods on the volatil components of parsley (Petroselinum crispum L.). Eur Food Res Technol. 215 : 227 - 230. Diaz-Maroto, M.C., M.S. Perez-Coello, M.A.G. Vinaz and M.D. Cabezudo. 2003. Influence of drying on the flavour quality of spearmint (Mentha spicata L.) J.Agric. Food Chem. 51: 1265 - 1269. Dignum, M.J.W., J. Kerler and R. Verpoorte. 2003. Vanilla curing under laboratory conditions. Food Chem. 79: 165-171. Fair, J.R., 1987. Distillation in Hand Book of Separation Process Technology. R.W.Rousseau (Ed.), John Wiley & Sons, New York. p. 1010. Furniss, B.S., A.J. Hannaford, V. Rogers, P.W.G. Smith and A.R. Tatchell. 1980. Vogels Textbook of Practical Organik Chemistry (Fourth Ed.) The English Language Book Society and Longman. p. 100 -136. Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold, New York. p. 3 - 13 Guenther, E. 1987. The Essential Oils. Penerjemah S. Ketaren. Minyak Atsiri (Jilid I). UIPress, Jakarta. h. 20 - 33, 99 - 129. Kesselmeier J. and M. Staudt. 1999. Biogenic volatil organik compounds (VOC): An overview on emission, physiology and ecology. Journal of Atmospheric Chemistry. 33:23–88, http://www.naha.org/articles/biogenesis%20of%20essential%20oils.html. 23 Juni 2006. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 50
Lawless and Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food. Champman and Hall, New York. p. 430. Luckner, M. 1984. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants, and Animals (2nd Ed). Springer-Verlag Berlin, Heidenberg, New York,Tokyo. p. 64, 150 - 156. Man, C.M and A.A. Jones. 1995. Shelf Life Evaluation of Food. Champman and Hall. New York. Marten,M. and P. Baardseth. 1987. Sensory Quality in Postharvest Physiology of Vegetables. J. Weichmann (Ed.) Marcel Dekker Inc., New York and Basel. p. 427 454. Ojha, N.D., H.K. Singh and P. Traci. 1995. Separation Processes in Citarasa Manufacturing in Bioseparation Processes in Food. R.K. Singh and S.S.H.Rizvi (Ed.). Ift Basic Symposium Series, New York, Basel Hongkong. p. 417 - 426. Ozek G., Ozek, T., K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu. 2006a. Comparison of essential oil of Xanthogalum purpurascens Lallem obtained via different isolation techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. Vol. 18 (2): 181 - 184. Ozek, G., T Ozek, K. H. C. Baser, A. Duran, M. Sagiroglu and H. Duman. 2006b. Comparison of the essential oils of Prangos turcica fruits obtained by different iIsolation.Techniques. Journal of Essential Oil Research : JEOR. 2006. 18 (5) : 511 - 514. Parliament, T.H. 1997. Solvent Extraction and Distillation Techniques in Techniques for Analyzing Food Aroma. R. Marsili (Ed.). Marcel Dekker, Inc., New York, Basel. p. 13 - 17. Peerzada, N. 1997. Chemical composition of the essential oil of Hyptis suaveolens. Molecules (2): 165 - 168 Perdigon, M.I. 2006. Curing and Fermentation of Tobacco Leaves. http://www.guerrillero.co.cu/sitiotabaco/curacion/generalidades_a_inglesh.html. 25 Mei 2006. Pino, J.A. and R. Marbut. 2001. Volatil citarasa constituents of Acerola (Mapighia emarginata DC.). J.Agric. Food Chem. (49): 5880 - 5882. Ranadive, A.S., 1994. Vanilla Cultivation, Curing, Chemistry, Technology and Commercial Products in Spices, Herbs, and Edible Fungi. Elsivier Science Inc., Netherlands. p. 532 - 533. Reverchon, E and G.D. Porta, 1995. Supercritical CO2 extraction and fractionation of lavender essential oil and waxes. J. Agric. Food Chem. 43 : 1654 - 1658. Sastrohamidjojo. 2004. Kimia Minyak Atsiri, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. h. 7 - 12. Sattler, K. and H.J. Feindt. 1995. Thermal Separation Processes, Principles and Design. VCH, Weinheim, New York, Base, Cabridge, Tokyo. Setiawan, A. dan Y. Trisnawati. 1993, Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Tembakau. Penebar Swadaya, Jakarta. Simon, J.E. 1990. Essential oil and Culinary herbs in Advances in New Crops. J. Janick and J.E. Simon (Ed.). Timber Press, Portland, OR. http://www.tropical seeds.com/techforum/veg herbs/ess.Oils cull herbs. 4 Maret 2004. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 51
Sonwa, M.M. 2000. Isolation and structure elucidation of essential oil constituents (comparativenstudy of the oils of Cyperus alopecuroides, Cyperus papyrus, and Cyperus rotundus). Dissertation, Departement of Organik Chemistry, Fakulty of Chemistry, University of Hamburg, Hamburg. Diakses 30 Maret 2004. Von Elbe J. H. and S. J. Schwartz. 1996. Colorants in Food Chemistry (Third Ed.). O.R. Fennema. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel, Hongkong, p. 651 - 722. Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, R. Retnowati dan Yunianta. 2007. Pengaruh proses curing terhadap komposisi daun salam (Eugenia polyantha Wight.), profil komponen dan tingkat kesukaan ekstrak citarasa hasil distilasi- ekstraksi simultan.. Jurnal Teknologi Pertanian 8 (1) : 10 - 18 Wartini, N.M., Hariyono, T. Susanta, Yunianta dan R. Retnowati. 2008. Tingkat kesukaan dan senyawa penyusun ekstrak citarasa daun salam (Eugenia polyantha Wight.) dari beberapa metode separasi. Agrotekno 14 (2) : 56 - 60. Wartini, N.M., P.T. Ina dan G.P. Ganda Putra. 2010. Perbedaan kandungan senyawa volatil daun salam (Eugenia polyantha Wight.) pada beberapa proses curing. AGRITECH 30 (4) : 238-243. Weast, R. C. and D. R. Lide. 1989. CRC Handbook of Chemistry and Physics. CRC Press. Inc, Boca Raton. Florida. p. 130. Wijaya, H. 1995. Oriental natural citarasa: liquid and spary dried of “jeruk purut” (Citrus hystrix DC) leaves in Food Citarasa : Generation, Analysis and Process Influence. G. Charalambous (Ed.) p. .Elsevier, Amsterdam, New York, Tokyo. Wright, J. 2002. Creating and Formulating Citarasas in Food Citarasa Technology. A.J. Taylor (Ed.). Sheffield Academic Press, CRC Press, U.S.A. and Canada. p. 1 - 26. Yousif, A.N., C.H. Scaman, T.D. Durance and B. Girard. 1999. Citarasa volatils and physical of vacuum-microwave and air-dried sweet basil (Ocimum basilicum L.). J.Agric. Food Chem. 47: 4777 - 4781. Yusufoglu, A., H. Celik and F.G. Kirbaslar. Utilization of Lavandula angustifolia Miller extract as natural repellents, pharmaceutical and industrial auxiliaries. J.Serb. Chem. Soc .69 (1): 1 - 7. Zelith, J. and M. Zucker. 1958. Changes in oxidative enzyme activity during the curing of connecticut shade tobacco. Plant Physio. March : 33 (2): 151 -155.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 52
III. ANTIMIKROBIA DARI REMPAH-REMPAH DAN HERBAL Pada bagian ini pembaca/mahasiswa diberikan pemahaman mengenai senyawa aroma dan citarasa yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal. Lebih rinci dibahas mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa tersebut. Hambatan yang ada ketika ekstrak rempah-rempah dan herbal diaplikasikan langsung di dalam makanan juga dibahas dalam bagian ini baik sebagai penambah citarasa maupun fungsinya sebagai antimikrobia. Dengan demikian, setelah membaca bagian ini pembaca/mahasiswa diharapkan memahami sifat antimikrobia dari senyawa aktif yang terkandung dalam rempah-rempah dan herbal.
Pendahuluan Sejak jaman nenek moyang kita, herbal dan rempah-rempah digunakan pada makanan bukan untuk bahan pengawet, namun sebagai penyedap karena sifat aroma dan citarasanya (citarasa). Walaupun sebagian besar minyak atsiri yang berasal dari herbal dan rempah-rempah mempunyai sifat antimikrobia. Kemampuan bahan aktif yang terkandung di dalam rempah-rempah dan herbal menghambat mikroba tergantung pada jenis senyawa dan konsentrasinya. Semakin tinggi konsentrasi, maka kemampuan antimikrobia dari senyawa aktif tersebut semakin tinggi. Senyawa anti microbial tersebut dapat
menghambat
mikroba
pathogen
maupun
pembusuk,
sehingga
dengan
kemampuan tersebut rempah-rempah dan herbal dapat berfungsi sebagai pengawet makanan. Senyawa antimikrobia yang diproduksi oleh tanaman dapat secara alami terkandung di dalam tanaman dan dapat pula diproduksi sebagai respon gangguan dari luar. Gangguan dari luar dapat berupa luka secara fisik sehingga memberikan kesempatan enzim bertemu dengan substratnya dan senyawa antimikrobia (fitoaleksin) yang diproduksi akibat invasi mikrobiologis. Senyawa antimikrobia yang diekstrak dari makanan termasuk ke dalam Generally Recognized As Safe (GRAS) karena bersifat alami dan sudah lama digunakan dalam makanan. Penggunaan ekstrak herbal/rempah-rempah dalam makanan sebagai pengawet masih sangat terbatas karena fungsinya sebagai komponen citarasa. Sebagai komponen citarasa, ekstrak rempah-rempah yang digunakan hanya pada konsentrasi TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 53
yang rendah, dengan demikian apabila digunakan sebagai pengawet maka dosis penggunaannya akan melebihi tingkat penerimaan secara organoleptik. Masalah ini kemungkinan akan dapat ditanggulangi apabila pertanyaan-pertanyaan berikut dapat terjawab:
Apakah pengaruh penghambatan minyak atsiri (campuran dari banyak senyawa) ditentukan oleh satu atau beberapa senyawa?
Apakah minyak atsiri memberikan aktivitas yang sinergi?
Berapa minimum inhibitory concentration (MIC) dari senyawa kimia minyak atsiri?
Bagaimana substansi antimikrobia apakah dipengaruhi oleh kondisi campuran yang homogeny (cairan atau semi-solid) atau heterogen (emulsi, campuran padatan dan semi padat) dari struktur bahan pangan?
Dapatkah efikasi dipacu dengan metode pengawetan tradisional (penggaraman, pemanasan, pengasaman) dan modern (kemasan vakum, pengemasan atmosfir termodifikasi)?
Untuk memahami lebih dalam mengenai sifat antimikrobia dari senyawa-senyawa yang terkandung di dalam herbal ataupun rempah-rempah dibutuhkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun perkembangan literatur mengenai subjek tersebut sangat kurang. Keterbatasan metodologi untuk mengevaluasi aktivitas antimikrobia secara in vitro telah menunjukkan hasil yang kontradiktif. Selain itu, sedikit studi yang sudah dilakukan mengenai sifat antimikrobia langsung pada makanan, dan diperlukan studi aplikasi minyak atsiri pada bahan makanan. Beberapa studi yang dapat dilakukan adalah dengan mencampur, mengimersi, enkapsulasi, penyemprotan pada permukaan, mengevaporasi senyawa-senyawa aktif dari minyak atsiri pada kemasan aktif yang merupakan metode menjanjikan hasil yang baik. Metode tersebut belum banyak diteliti berkaitan dengan penggunaan langsung minyak atsiri pada cara pengawetan. Hasil percobaan dilaboratorium berkenaan dengan senyawa antimikrobia yang terkandung dalam rempah-rempah atau herbal dengan menggunakan kultur media menunjukkan hasil yang positif. Namun demikian, ketika senyawa tersebut diaplikasikan di dalam makanan, menunjukkan hasil yang kontradiktif. Makanan merupakan media kompleks yang dapat mempengaruhi kemampuan aktivitas antimirkobial dari senyawa aktif rempah-rempah maupun herbal. Peningkatan konsentrasi merupakan salah satu TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 54
cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas antimikrobia tersebut di dalam makanan. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan konsentrasi akan mempengaruhi sifat organoleptik makanan. Optimasi penggunaan rempah-rempah dan herbal di dalam makanan perlu dilakukan apabila senyawa aktif tersebut dibutuhkan sebagai bahan pengawet selain untuk citarasa makanan. Sebagai contoh, penambahan 1% bubuk bawang putih ke dalam mayonnaise dapat menurunkan (10 kali lipat) jumlah S. enterica serovar Enteritidis yang hidup (Leuscnher dan Zamparini, 2002). Selain itu, mengkombinasikan dengan cara pengawetan lain juga dapat dilakukan untuk meningkatkan efikasi antimikrobia dari senyawa aktif dalam rempah-rempah dan herbal.
Aktivitas Antimikrobia Aktivitas antimikrobia dari persenyawaan yang diekstrak dari tanaman terhadap berbagai jenis mikroorganisme, yang diuji invitro dan secara individual, terdokumentasi dengan baik di berbagai literatur. Namun demikian, hasil yang dilaporkan dari berbagai studi sulit untuk dibandingkan secara langsung. Minyak atsiri yang diekstrak dari rempah-rempah dan herbal merupakan gabungan dari banyak senyawa. Senyawa tunggal belum tentu memperlihatkan aktivitas yang lebih tinggi. Sering terjadi sinergisme dari kombinasi senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri memberikan aktivitas antimikrobia yang tinggi. Juga tidak selalu jelas kelihatan apakah metode yang digunakan ditujukan untuk mengukur bakteriostatik atau bakterisidal atau kombinasi keduanya. Asai antimikrobia yang digambarkan dalam literatur meliputi pengukuran dari:
Radius atau diameter daerah penghambatan dari pertumbuhan bakteri disekitar cakram kertas (paper disk) yang diisi dengan (atau lubang/well yang diisi) senyawa antimikrobia pada media agar (Gambar 16);
penghambatan pertumbuhan bacteria pada medium agar dengan senyawa antimikrobia yang terdifusi ke dalam agar;
konsentrasi penghambatan minimum (MIC) dari senyawa antimikrobia dalam media cair;
perubahan optical density (OD) atau kekeruhan di dalam cairan media pertumbuhan yang mengandung senyawa antimikrobia.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 55
Gambar 16. Aktivitas penghambatan senyawa antimikrobia dengan metode difusi menggunakan paper disk. Tabel 9. Senyawa antimikrobia yang terkandung secara alami di dalam tanaman Apigenin-7-glucose, aureptan Benzoic acid, berbamine, berberine, borneol Caffeine, caffeic acid, 3-o-caffeylquinic acid, 4-o-caffeylquinic acid, 5-o-caffeylquinic acid, camphene camphor, carnosol, carnosic acid, carvacrol*, caryophelene, catechin, 1,8 cineole, cinnamaldehyde, cinnamic acid, citral, chlorogenic acid, chicorin, columbamine, coumarine, p-coumaric acid, o-coumaric, p-cymene, cynarine Dihydrocaffeic acid, dimethyloleuropein Esculin, eugenol Ferulic acid Gallic acid, geraniol, gingerols, Humulone, hydroxytyrosol, 4-hydroxybenzoic acid, 4-hydroxycinnamic acid Isovanillic, isoborneol Linalool, lupulone, luteoline-5-glucoside, ligustroside, S-limonene Myricetin, 3-methoxybenzoic acid, menthol, menthofurane Oleuropein Paradols, protocatechuic acid, o-pyrocatechic, a-pinene, b-pinene, pulegone Quercetin Rutin, resocrylic Salicylaldehyde, sesamol, shogoals, syringic acid, sinapic Tannins, thymol, tyrosol, 3,4,5-trimethoxybenzoic acid, 3,4,5-thihydroxyphenylacetic acid Verbascoside, vanillin, vanillic acid Banyaknya metode yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas antimikrobia suatu bahan merupakan pilihan yang ditawarkan kepada peneliti. Namun demikian, masingmasing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan yang perlu diperhatikan tergantung dari jenis komponen aktif dan target mikroba yang dihambat. Tiga faktor utama dapat mempengaruhi hasil dari metode yang digunakan untuk penentuan aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri tanaman, yaitu: (i) komposisi tanaman yang diuji (jenis tanaman, lokasi geografis dan waktu/musim), (ii) jenis mikroorganisme (strain, TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 56
kondisi pertumbuhan, ukuran inokulum, dll.), dan (iii) metode yang digunakan untuk menumbuhkan dan menghitung jumlah bakteri yang bertahan hidup (Sibel, 2003). Banyak studi yang didasarkan pada assessmen subjektif terhadap penghambatan pertumbuhan, seperti metode disc diffusion atau metode cepat seperti dengan melihat optical density (turbidimetri) tanpa memperhitungkan keterbatasan yang melekat pada metode tersebut. Pada metode yang menggunakan cakram kertas (paper disc), daerah penghambatan tergantung pada kemampuan minyak atsiri berdifusi secara merata ke dalam agar dan juga melepaskan senyawa volatil dari minyak. Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil adalah keterlibatan banyak komponen aktif. Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil analisis adalah keterlibatan berbagai senyawa (multiple active components) yang terkandung di dalam ekstrak herbal atau rempah-rempah. Senyawasenyawa tersebut pada konsentrasi yang rendah dapat berinteraksi secara antagonis maupun sinergis. Perbedaan aktivitas antimikrobia dari minyak atsiri dari bahan pangan yang kompleks dibandingkan dengan aktivitas apabila dicoba sendiri di laboratorium dapat disebabkan oleh pemisahan komponen aktif antara fase minyak dan air di dalam bahan pangan. Metode analisis menggunakan turbidimetri merupakan metode yang cepat, tidak merusak, murah serta mudah dilakukan namun mempunyai sensitifitas yang rendah. Pada metode turbidimetri semua sel terdeteksi baik yang hidup maupun sel yang mati dan hanya terdeteksi pada bagian atas (tersuspensi), sehingga memerlukan kalibrasi yang mengkorelasikan kekeruhan dengan sel hidup yang ditumbuhkan pada medium agar.(Dalgaard and Koutsoumanis, 2001). Perubahan absorbansi yang jelas terjadi apabila populasi mikrobia mencapai 106 – 107 cfu/ml, dan juga dipengaruhi oleh ukuran mikrobia yang berbeda pada setiap fase pertumbuhan. Kondisi fisiologis sel (sakit atau sehat) dan hasil oksidasi dari minyak atsiri dapat juga mempengaruhi absorbansi media pertumbuhan yang terukur. Tidak seperti teknik hitungan cawan, metode yang didasarkan pada penghambatan pertumbuhan (impedimetri) dapat digunakan untuk memantau metabolisme mikrobia yang sesungguhnya. Teknik ini bergantung pada penggunaan medium yang memberikan perubahan pertumbuhan yang terdeteksi. Seperti pada teknik turbidometri, kalibrasi data pertumbuhan dengan hitungan cawan sangat diperlukan. Walaupun memerlukan waktu dan tenaga yang lebih, metode tradisional dengan menentukan jumlah mikroba yang hidup (viable) dengan hitungan cawan masih merupakan metode standard terbaik dalam penentuan aktivitas
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 57
antimikrobia. MIC diukur dengan seri pengenceran dalam media cair diikuti dengan penentuan pertumbuhan dengan membaca absorbansi maupun hitungan cawan. Tabel 10. Beberapa contoh mikroorganisme yang sensitif terhadap aktivitas antimikrobia ekstrak minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah* Bacteri Gram-positive
Bacteri Gram-negative
Kapang/Khamir
Arthobacter sp., Bacillus sp. B. subtilis, B. cereus, B. megaterium, Brevibacterium ammoniagenes, Brev. linens, Brochothrix thermosphacta, Clostridium botulinum, Cl. perfrigenes, Cl. sporogenes, Corynebacterium sp., Enterococcus feacalis, Lactobacillus sp., Lb. plantarum, Lb. minor, Leuconostoc sp., Leuc. cremoris, Listeria monocytogenes, L. inocua Micrococcus sp., M. luteus M. roseus, Pediococcus spp., Photobacterium phosphoreum, Propionibacterium acnes Sarcina spp. Staphylococcus spp., Staph. aureus, Staph. epidermidis, Streptococcus faecalis, Acetobacter spp. Acinetobacter sp., A. calcoaceticus
Aeromonas hydrophila, Alcaligenes sp., A.faecalis, Campylobacter jejuni, Citrobacter sp., C. freundii, Edwardsiella sp., Enterobacter sp., E. aerogenes, Escherichia coli E. coli O157:H7, Erwinia carotovora, Flavobacterium sp., Fl. suaveolens, Klebsiella sp., K. pneumonia, Moraxella sp., Neisseria sp., N. sicca, Mycobacterium smegmatis Pseudomonas spp. P. aeruginosa, P. fluorescens, P. fragi, P. clavigerum Proteus spp. Pr. vulgaris Salmonella spp. Sal. enteritidis, Sal. senftenberg, Sal. typhimurium, Serratia sp. S. marcecens, Vibrio sp., V. parahaemolyticus, Yersinia enterocolitica
Aspergillus niger, Asp. Parasiticus, Asp. flavus Asp. Ochraceus, Candida albicans, Candida tropicalis, Dekkera bruxellensis, Fusarium oxysporum, F. culmorum, Mucor sp., Pichia anomala, Penicillium sp., Pen. chrysogenum, Pen. patulum, Pen. roquefortii, Pen. citrinum, Rhizopus sp., Saccharomyces cerevisiae, Trichophyton mentagrophytes, Torulopsis holmii, Pityrosporum ovale,
*Sibel (2003). Hampir semua minyak atsiri dari herbal dan rempah-rempah menghambat pertumbuhan mikrobia termasuk produksi toksinnya. Pengaruh antimikrobia bergantung pada konsentrasi dan semakin tinggi konsentrasi maka sifat bakterisidalnya juga semakin tinggi. Bakteri Gram-positip, Gram-negatip, khamir dan kapang semuanya dihambat dengan kisaran yang luas dari minyak atsiri. Aktivitas antimikrobia dari senyawa yang TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 58
terkandung di dalam minyak atsiri dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam pengujian, suhu inkubasi dan ukuran inokulum (Ayers et al., 1998; Brul and Coote, 1999). Allicin, yang merupakan salah satu senyawa aktif yang terdapat di dalam hancuran bawang putih segar, mempunyai beragam aktivitas antimikrobia. Allicin dalam bentuk senyawa murni memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negative termasuk E. coli dari strain multidrug-resistent enterotoxigenic; antifungal khususnya terhadap Candida albicans; antiparasit, termasuk parasit protozoa seperti Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia; dan aktivitas antiviral (Angkri dan Mirelman, 1999)
Gambar 17. Peran alliinase dalam perubahan alliin menjadi allicin.
Aktivitas Antibakteri Aktivitas antibakteri dari minyak atsiri yang diekstrak dari herbal dan rempah-rempah sudah dikenal sejak lama. Sekarang ini, banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan aktivitas senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam minyak atsiri yang diekstrak dari berbagai jenis herbal dan rempah-rempah. Herba maupun rempahrempah sering digunakan sebagai bahan bumbu untuk penyedap makanan. Selain itu, karena potensi bioaktifnya, herbal dan rempah-rempah banyak juga digunakan sebagai bahan obat-obatan (pharmaceutical) dan berfungsi sebagai bahan pengawet makanan karena sifat antibakterinya. Hampir semua herbal dan rempah-rempah mempunyai senyawa aktif yang berfungsi sebagai antimikrobia, namun beberapa ekstrak herbal dan rempah-rempah mempunyai sifat khusus sebagai antibakteri. Tanaman ara (Carpobrotus edulis) sering digunakan sebagai obat penyakit infeksi seperti sinusitis, diarrhea, infantile eczema, dan tuberculosis. Ekstrak daunnya juga sering digunakan untuk mengobati infeksi mulut dan radang tenggorokkan. Ekstrak kasar metanolik dari tanaman ara mempunyai aktivitas TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 59
antibakteri terhadap bakteri Moraxella catharralis pada konsentrasi 50 mg ml-1, namun ekstrak etanoliknya tidak terdeteksi mempunyai aktivitas (van der Watt dan Pretorius, 2001). Senyawa terdeteksi yang terkandung di dalam tanaman ara adalah senyawa flavonoid (rutin, neohesperidin, hyperoside, cactichin dan ferulic acid) yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap M. catharalis (Gram negative) dan dua bakteri Gram positive (Staphylococcus epidermidis dan Staph. aureus) Di Afrika ekstrak kulit kayu dan daun marula (Sclerocarya birrea) juga digunakan sebagai bahan pengobatan untuk penyakit yang berhubungan dengan bakteri. Ekstrak bagian dalam kulit kayu mempunyai potensi antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian luar kulit kayu maupun dari daun marula. Semua bakteri yang dicoba, Staph. aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli and Enterococcus faecalis, pada MIC 0,15 sampai 3,0 mg.ml-1 (Eloff, 2001). Rempah-rempah dan herbal sering digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan citarasa makanan dan memperbaiki warna makanan, sehingga makanan mempunyai nilai kuliner yang spesifik sesuai dengan asal dari makanan tersebut. Beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa komponen yang terkandung di dalam herbal dan rempah-rempah memperlihatkan sifat antibakteri yang dapat meningkatkan keamanan makanan yang dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan terhadap minyak atsiri yang diekstrak dari origanum, thymbra and satureja memperlihatkan kemampuan untuk menghambat bakteri. Rempah-rempah ini biasa digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan citarasa makanan di Turki (Baydar et al., 2004). Rempah-rempah lain yang sering digunakan di dalam ingredient makanan adalah bawang putih, mustard, cengkeh dan jahe. Keempat rempah tersebut sudah diteliti dapat menghambat bakteri di dalam sistem makanan yang disimulasikan. Cengkeh mempunyai aktivitas antibakteri yang paling tinggi diikuti bahan bawang putih, sedangkan mustard dan jahe memperlihatkan aktivitas antibakteri yang lebih kecil di dalam model sistem makanan (Leuschner dan Zamparini, 2002). Bawang putih memperlihatkan aktivitas antibakteri dengan sifat sensori yang baik dari mayonnaise. Bawang putih (pada konsentrasi 1%) dapat menurunkan bakteri hidup (Salmonella enterica serovar Enteritidis) di dalam mayonnaise sebesar 1 siklus log. Penelitian lain menunjukkan bahwa empat minyak atsiri
(kayu
manis,
cengkeh,
pimento
dan
rosemerry)
memperlihatkan
efek
penghambatan yang kuat terhadap bakteri pembusuk daging (Quattara et al., 1997). Aktivitas antibakteri tersebut berhubungan dengan adanya bahan-bahan yang mudah menguap dalam minyak atsiri. Cinnamon (kayu manis) dan cengkeh mengandung TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 60
cinamaldehida dan eugenol pada konsentrasi berturut-turut 65-75% dan 93-95% dari total kandungan senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap efek antibakteril. Prasad dan Seenayya (2000) menyatakan bahwa cengkeh memberikan hambatan paling baik terhadap bakteri halofilik dan pada konsentrasi 0,1% memberikan penghambatan
sempurna,
sehingga
minyak
cengkeh
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk ikan yang diasinkan. Helicobacter pylori merupakan jenis bakteri yang tergolong dalam bakteri Gram negative, berbentuk batang bengkok yang sering dihubungkan dengan penyakit kronis pencernaan dan gastroduodenal ulcer disease, serta perannya dalam kanker saluran pencernaan. Banyak penelitian dilakukan untuk dapat menghilangkan/membasmi kuman ini di dalam saluran pencernaan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan ekstrak bawang putih (Cellini et al., 1996). Penelitian pengaruh ekstrak bawang putih dilakukan terhadap 16 isolat klinis dan 3 strain referensi H. pylori. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat menghambat semua strain H. pylori pada konsentrasi antara 2 – 5 mg ml-1, dan konsentrasi ekstrak bawang putih yang dibutuhkan untuk menghambat 90% (MIC90) dari isolate adalah 5 mg ml-1. Ekstrak bawang putih segar memberikan penghambatan 2 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak bawang putih yang direbus. Tirranen et al. (2001) dalam penelitiannya memperlihatkan hasil pengamatan yang menarik, yaitu emisi senyawa volatil tanaman bawang putih muda secara meyakinkan menstimulasi pertumbuhan S. aureus, B. brevis, Haphnia alvei, dan sedikit menghambat pertumbuhan E. coli dan B. cereus. Bawang putih muda maupun tua sedikit menghambat Nocardia sp. Namun demikian, bawang putih yang sudah tua (umur 50 hari) mempunyai aktivitas antimikrobia dengan kisaran luas menghambat bakteri Gram negative dan Gram positif pembentuk spora dan dalam bentuk cocci. Rempah-rempah dan herbal telah memperlihatkan mempunyai nilai obat-obatan, terutama sebagai antimikrobia. Dari semua jenis tanaman, ternyata bawang putih dan cengkeh memperlihatkan aktivita antimikrobia yang tinggi (Arora dan Kaur, 1999). Pengaruh bakterisidal dari ekstrak bawang putih sangat nyata terjadi setelah 1 jam dan membunuh 93% Staphylococcus epidermidis dan Salmonella typhi tercapai dalam waktu 3 jam. Dari potensi antibakteri yang dimiliki herbal dan rempah-rempah, maka produk ini banyak digunakan untuk meningkatkan daya awet makanan dan juga untuk pengobatan TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 61
terhadap penyakit-penyakit infeksi. Peninggalan budaya nenek moyang di berbagai daerah di Indonesia ternyata sangat kaya akan pengetahuan pengobatan herbal. Kekayaan ini perlu untuk diungkapkan secara ilmiah dan dilakukan penelitian mendalam untuk pengembangan teknologi yang tepat sehingga potensi hayati ini dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain untuk pengobatan, bahan rempah-rempah dan herbal dapat dikembangkan sebagai bahan pengawet alami selain meningkatkan citarasa, aroma dan warna makanan.
Aktivitas Antijamur Selain mempunyai aktivitas antibakteri, beberapa rempah-rempah dan herbal juga mempunyai aktivitas antijamur. Sifat antifungal yang dimilikinya sering dimanfaatkan sebagai pengawet makanan maupun obat untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi oleh jamur. Penggunaan rempah atau herbal sebagai antijamur di dalam makanan sangat menguntungkan dan dapat sebagai pengganti fungisida sintetis. Penelitian sifat antijamur ekstrak rempah dan herbal banyak dilakukan untuk memperoleh bahan alami (GRAS) yang digunakan untuk makanan maupun obatobatan. Ekstrak bawang putih, selain mempunyai aktivitas antibakteri, juga mempunyai aktivitas antijamur (Arora dan Kaur, 1999; Yin dan Tsao, 1999). Tiga spesies Aspergillus (A. niger, A. flavus dan A. fumigatus) dapat dihambat oleh ekstrak bawang putih, dan penghambatannya meningkat apabila dikombinasikan dengan penambahan asam asetat (Yin dan Tsao, 1999). Ketiga spesies Aspergillus tersebut banyak berperan dalam proses kerusakan pangan maupun pakan.. Aspergillus flavus dapat menghasilkan mikotoksin di dalam makanan, sehingga penggunaan antijamur pada makanan sangat diperlukan untuk menghindari tumbuhnya jamur dan terbentuknya toksin. Ekstrak bawang putih juga dapat membunuh khamir secara total dalam waktu inkubasi 1 jam. Penghambatan
ini
lebih
cepat
dibandingkan
dengan
ekstrak
cengkeh
yang
membutuhkan waktu 5 jam untuk membunuh khamir secara total (Arora dan Kaur, 1999). Ekstrak bawang putih memperlihatkan aktivitas anti-candidal yang lebih tinggi dibandingkan dengan nystatin. Wang dan Ng (2001) menemukan allivin (jenis protein) yang disolasi dari bawang putih mempunyai aktivitas antijamur. Minyak yang diekstrak dari kunyit dapat menghambat isolate dermatophyta, kapang patogenik dan khamir, namun curcumin tidak memperlihatkan aktivitas penghambatan terhadap
isolate
jamur
tersebut
kecuali
khamir
(Aplsarlyakul
et
al.,
1995).
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 62
Dermatomycosis merupakan penyakit kulit umum di berbagai Negara yang disebabkan oleh infeksi jamur. Jamur yang menginfeksi umumnya dari jenis jamur keratinofilik yang disebut dermatophyta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aplsarlyakul et al. (1995) ditemukan bahwa minyak kunyit dapat menghambat pertumbuhan dermatophyta. MIC terhadap Microsporum gypseum adalah pada pengenceran 1:80, sedangkan MIC terhadap Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichophyton rubrum berturut-turut pada pengenceran 1:60-1:320, 1:40-1:160, dan 1:40-1:160. Selanjutnya,
konsentrasi
penghambatan
minimum
terhadap
kapang
patogen
(pathogenic moulds) terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Konsentrasi penghambatan minimal (MIC) minyak kunyit dan ekstrak kasar kunyit terhadap empat kapang patogen*
Kapang Patogenik
MIC (µg.ml-1)
Strains Minyak
Ekstrak kasar
Exophiala jeanselmei
MMC 17
459.6
> 10.000
Sporothrix schenckii
MMC 38
114.9
> 10.000
Fonsecaea pedrosoi
MMC 42
459.6
> 10.000
Scedosporium apiospermum
MMC 70
114.9
>10.000
* Aplsarlyakul et al. (1995) Sifat Antimikrobia pada Makanan Perkembangan teknologi pengawetan untuk memperpanjang masa simpan produk pangan sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan industri pangan dan penyediaan pangan sepanjang tahun. Sistem pengawetan seperti pemanasan, pendinginan, dan penambahan bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan dan menurunkan berkembangnya mikroba pathogen yang beresiko menyebabkan penyakit. Namun demikian, konsumen sudah mulai menghindari penggunaan bahanbahan pengawet sintetis sebagai antimikrobia dan menghendaki makanan yang bebas bahan kimia. Kondisi ini memberikan peluang penggunaan bahan antimikrobia alami oleh industri pangan untuk memperpanjang masa simpan, seperti dalam bentuk enzim (laktoperoksidase,
laktoferin,
avidin,
lysozym),
antimikrobia
yang
diproduksi
menggunakan kultur mikroba (nisin dan jenis bakteriosin lainnya), dan yang bersumber dari tanaman (rempah-rempah dan herbal berupa ekstrak, minyak atsiri ataupun komponen yang diisolasi dari rempah-rempah atau herbal). TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 63
Relatif masih sedikit penelitian yang mengarah pada penggunaan ekstrak rempah dan herbal sebagai antimikrobia (pengawet) dalam model makanan atau makanan yang sebenarnya. Kemampuan antimikrobia minyak esensial in-vitro sering lebih besar dibandingkan in-situ di dalam makanan (Davidson, 1997). Sebagai contoh: minyak atsiri dari mint (Mentha piperita) terlihat menghambat pertumbuhan dari Salmonella enteritidis dan Listeria monocytogenes dalam media kultur selama 2 hari pada suhu 30oC. Namun, pengaruh ekstrak minyak atsiri dari mint pada makanan sangat beragam tergantung pada jenis makanan dan kondisi makanan seperti pH, emulsi, suhu dan komposisi makanan. Pertumbuhan E. coli, Salmonella spp., L. monocytogenes dan Staph. aureus terhambat oleh minyak atsiri ekstrak dari oregano di dalam kultur cair. Ketika minyak atsiri tersebut dicoba pada makanan (salad, taramasalata, dan mayonnaise), aktivitas antimikrobia minyak atsiri tersebut tergantung pada faktor lingkungan seperti pH, suhu dan jenis minyak yang digunakan. Demikian pula, konsentrasi minyak atsiri sangat berpengaruh terhadap aktivitas antimikrobianya. Semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri yang diaplikasikan, maka semakin tinggi pula aktivitas antimikrobia minyak atsiri tersebut. Tabel 11. Beberapa contoh minyak atsiri yang umum digunakan untuk pengawetan makanan dan bahan aktifnya* Herbal/rempahrempah
Senyawa Aktif
Herbal/rempahrempah
Semua rrempah
Eugenol Methyl eugenol
Mint
Jinten
Carvone
Bawang
Kayu Manis
Cinnamaldehyde Eugenol Eugenol Eugenol acetate d-linalool d-α-pinene β-pinene
Oregano
Cengkeh Ketumbar
Merica/Lada Rosemary
Kunir
Cuminaldehyde
Sage
Bawang Putih
Diallyl disulfide Diallyl trisulfide allyl Propyl disulfide
Thyme
Senyawa Aktif α-, β-pinene limonene 1,8-cineole d-n-propyl disulfide methyl-n-propyl disulfide Thymol Carvacrol Monoterpenes Borneol 1,8-cineole Camphor Bornyl acetate Thujone 1,8-cineol Borneol Thymol Carvacrol Menthol Menthone
*Sibel, 2003. TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 64
Tabel 12. Penggunaan minyak atsiri dalam makanan Jenis Makanan
Mikroorganisme
Minyak atsiri
Susu (segar, skim)
Staph. aureus, Salmonella enteritidis, P. fragi
Mastic gum
L. monocytogenes Sal. Enteritidis Sal. typhimurium dan Sal. enteritidis Staph. Aureus P. fragi, L. monocytogenes Lactic acid bacteria, Br. thermosphacta, Enterobacteriaceae, Yeasts & indigenous flora
Clove, cinnamon, thyme Oregano, clove, basil, sage
L. monocytogenes, Salmonella enteritidis, Indigenous flora, Br. thermosphacta, E. coli
Mint
Salmonella enteritidis, Staph. aureus, Photobacterium phosphoreum
Oregano, Basil, bay, cinnamon, clove, lemongrass, marjoram, oregano, sage, thyme
Staph. aureus, Salmonella enteritidis, P. fragi L. monocytogenes, Sh. Putrefaciens, Br. thermosphacta, E. coli Indigenous flora, Salmonella enteritidis and typhimurium Staph. aureus, P. fragi
Carob Mint, oregano, basil, sage
Produk susu: soft cheese, mozzarella Daging segar: potong atau giling
Produk daging: Pate Sosis Ikan: Gilt-head bream Cod fillets, salmon Salad dan dressing: Tuna, kentang, terung, taramasalata, mayonnaise, tzatziki Saus
Banyak penelitian yang juga dilakukan untuk memanfaatkan senyawa antimikrobia alami rempah-rempah dan herbal sebagai bahan pengawet bahan pangan segar seperti: sayuran, ikan dan daging. Potensi senyawa antimikrobia dari ekstrak rempah-rempah maupun herbal dapat dijadikan rujukan untuk menggunakannya sebagai bahan pengawet alami. Pengawet alami tersebut dapat digunakan untuk menghambat mikroba pembusuk maupun mikroba pathogen. Sebagai contoh, L. monocytogenes dan Salmonella typhimurium dihambat pertumbuhannya di dalam daging yang berturut-turut diberi perlakuan dengan minyak atsiri cengkeh dan oregano (Tsigarida et al., 2000; TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 65
Skandamis et al., 2002a). S. typhimurium bertahan hidup di dalam daging yang tidak diberi perlakuan, sementara yang ditambahkan minyak atsiri oregano pada konsentrasi 0,8% jumlah bakteri yang hidup menurun 1 – 2 log cfu/g. Pada tingkat konsentrasi yang sama minyak oregano dapat menurunkan jumlah L. monocytogenes sebesar 2– 3 log cfu/g dalam daging. Penurunan pertumbuhan Aeromonas hydrophila juga dilaporkan di dalam daging babi tanpa curing yang dimasak dengan perlakuan penambahan minyak cengkeh atau ketumbar dan dikemas vakum atau tanpa vakum yang disimpan pada suhu 2o dan 10oC. Pengaruh letal dari kedua jenis minyak ini lebih tinggi pada kondisi kemasan vakum dibandingkan dengan kondisi yang aerob (Stecchini et al., 1998). Adanya oksigen di dalam kemasan mempengaruhi efikasi antimikrobia minyak atsiri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas antimikrobia minyak oregano terhadap Staph. aureus dan Salmonella enteritidis dipacu ketika organism tersebut diinkubasi pada kondisi mikroaerobik atau anaerobic. Pada kondisi oksigen yang rendah, perubahan sifat oksidatif minyak atsiri juga rendah. Selain itu, minyak oregano lebih efektif aktivitasnya pada kondisi vakum dan pada kondisi atmosfer 40% CO2:30%O2:30%N2 apabila film impermeable digunakan dibandingkan dengan inkubasi aerobic atau dikemas dalam kemasan yang permeable terhadap O2 (Tsigarida et al., 2000; Skandamis et al., 2002). Minyak oregano mempunyai aktivitas sebagai bakteriostatik dan bakteriosidal pada ikan segar (Sparus aurata) yang diinokulasi Staph. aureus and Salmonella enteritidis dan disimpan pada kondisi MAP (40% CO2 , 30% O2 dan 30% N2 ) atau kondisi aerob (udara) pada suhu 1ºC. Pertumbuhan mikroba pembusuk seperti Shewanella putrefaciens dan Photobacterium phosphereum juga dihambat pada ikan yang diperlakukan dengan minyak oregano (Tassou et al., 1996). Penurunan yang sama juga dilaporkan untuk minyak atsiri yang diperlakukan pada daging dan ikan (Skandamis and Nychas, 2001). Semua studi di atas memperlihatkan bahwa
aktivitas
antimikrobia
yang
didemonstrasikan
in
vitro
tidak
semua
memperlihatkan indikasi yang baik pada pengawetan pangan. Senyawa aktif dari minyak atsiri sering terikat dengan komponen makanan (seperti protein, lemak, gulagula, dll.). Oleh karena itu, hanya proporsi minyak atsiri yang bebas dari dosis total yang berperan sebagai aktivitas antimikrobia. Faktor ekstrinsik seperti suhu juga membatasi aktivitas antimikrobia minyak atsiri (Davidson, 1997). Selain itu, distribusi pada fase yang berbeda (solid/liquid) di dalam makanan dan ketidakhomogenan pH dan air dapat juga berperan terhadap efikasinya. Interaksi antara komponen yang berbeda di dalam makanan dapat membuat perubahan pH pada produk akhir dan juga pada konsentrasi TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 66
yang berbeda dari antimikrobia pada fase yang berbeda. Kapasitas penyangga lokal dari ingredient makanan menentukan pH pada daerah yang spesifik dari makanan yang kompleks. Karena distribusi mikroorganisme di dalam makanan tidak homogen, maka aktivitas antimikrobia juga tergantung pada densitas mikroba pada struktur makanan dan pada keberadaan sumber karbon yang ditentukan oleh kemampuan berdifusi. Ekologi mikroba dari bahan pangan, kapasitas penyangga (buffer), pH dan struktur makanan spesifik semuanya harus diperhitungkan dalam menentukan aktivitas antimikrobia dari senyawa bioaktif. Pertumbuhan bakteri di dalam cairan akan tersebar/tersuspensi, berbeda kontras dengan pertumbuhan koloni yang terpisah pada matriks yang padat (Wilson et al., 2002). Kasus lain yang bias terjadi adalah sel diimmobilisasi dan dilokalisasi dalam jumlah banyak di dalam matriks makanan. Uji lainnya telah memperlihatkan bahwa atribut fisiologis pertumbuhan bakteri di dalam model matriks makanan secara nyata berbeda dengan pertumbuhan sel secara bebas di dalam media kultur cair (Skandamis et al., 2000; Wilson et al., 2002). Perbedaanperbedaan ini dapat dihitung dengan: (i) densitas populasi per se, (ii) difusivitas dan keberadaan nutrisi utama, (iii) adanya oksigen, dan (iv) akumulasi produk akhir (Stecchini et al., 1993; Skandamis et al., 2000). Sementara difusivitas nutrient dengan berat molekul rendah seperti glukosa dapat hampir sama seperti dalam cairan dan matriks gel, dimana agen antimikrobia dapat sangat berbeda dan dapat secara kuat mempengaruhi efikasinya di dalam matriks padat (Diaz et al., 1993; Stecchini et al., 1998). Bahan berminyak di dalam emulsi membentuk tetesan dengan diameter 10-18”m (Wilson et al., 2002). Difusi tetesan tersebut dipengaruhi oleh densitas, viskositas, dan karakteristik yang berhubungan dengan struktur medium. Dengan demikian, mobilitas yang lebih tinggi dari tetesan minyak atsiri di dalam media cair dapat merupakan faktor yang sangat penting memacu penghambatan bakteri target.
Model Penghambatan Secara umum, mode of action minyak atsiri adalah ketergantungan terhadap konsentrasinya. Pada konsentrasi rendah menghambat kerja enzim yang berhubungan dengan produksi energi sementara konsentrasi yang lebih tinggi dapat mempresipitasi protein. Namun demikian, tidak pasti apakah kerusakan membran secara jumlah berhubungan dengan jumlah senyawa aktif antimikrobia terekspos terhadap sel, atau pengaruhnya kerusakan kecil membran dilanjutkan dengan kerusakan sel. Carvacrol, komponen aktif dari banyak minyak atsiri, dapat menyebabkan sitoplasma dan membran TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 67
luar sel tidak stabil dan dapat berperan sebagai ‘penukar proton’ yang menghasilkan penurunan gradient pH sepanjang membran sitoplasma (Ultee et al., 1999). Rusaknya ‘proton motive force’ dan berkurangnya pool ATP akhirnya akan mengarah pada kematian sel. Seperti pada kerja bahan pengawet umumnya, minyak atsiri akan menyebabkan kebocoran ion, ATP, asam nukleat dan asam amino. Tidak seperti antibiotika, minyak atsiri dapat mencapai periplasma bakteri Gram-negatif melalui protein porin dari membran luar. Permeabilitas membran sel tergantung pada komposisinya dan hidropobisitas komponen yang melewatinya (Helander et al., 1998). Suhu rendah menurunkan kelarutan minyak atsiri dan menghambat penetrasi ke dalam membran. Gugus aldehida yang sangat reaktif dari senyawa antimikrobia tanaman (seperti citral, salicyldehyde) membentuk basa Schiff’s dengan protein membran sehingga mencegah biosintesis dinding sel. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa allicin dapat dengan mudah masuk ke dalam sitoplasma sel darah merah. Bilayer lipida tidak merupakan hambatan untuk penetrasi allicin ke dalam sitoplasma dan difusinya melalui
bilayer
lipida
tidak
mengakibatkan
rusaknya
membran.
Temuan
ini
memunculkan kemungkinan bahwa di dalam sistem biologis allicin dapat melakukan penetrasi secara cepat ke dalam bagian-bagian sel yang berbeda dan menimbulkan efek biologis (Miron et al., 2000). Dari ulasan hasil-hasil penelitian dan kajian di atas dapat dirangkum bahwa komponen aktif yang terkandung dalam minyak atsiri hasil ekstraksi dari rempah-rempah dan herbal mempunyai aktivitas antimikrobia. Secara umum juga dapat dinyatakan bahwa bakteri Gram-positif lebih sensitive terhadap senyawa antimiktobia yang terkandung dalam rempah-rempah dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. Untuk itu, ekstrak rempah-rempah dan herbal dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan alami dan dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan (herbal medicine).
Daftar Pustaka Ankri, S. dan Mirelman, D. 1999. Antimikrobia properties of allicin from garlic. Microbes and Infection. 2: 125−129. Aplsarlyakul, A., Vanittanakom, N., and Buddhasukh, D. 1995. Antifungal activity of turmeric oil extracted from Curcuma longa (Zingiberaceae). Journal of Ethnopharmacology. 49: 163-169. Arora, D.S. and Kaur, J. 1999. Antimikrobia activity of spices. International Journal of Antimikrobia Agents. 12: 257–262. Ayres, H.M., Payne, D.N., Furr, J.R. dan Russell, A.D. 1998. Use of the Malthus-AT system to assess the efficacy of permeabilizing agents on the activity of TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 68
antibacterial agents against Pseudomonas aeruginosa. Letters in Applied Microbiology. 26: 422. Baydar, H., Sagdic, O., Ozkan, G. dan Karadogan, T. 2004. Antibacterial activity and composition of essential oils from Origanum, Thymbra and Satureja species with commercial importance in Turkey. Food Control 15: 169–172 Brul, S. dan Coote, P.1999. Preservative agents in foods. Mode of action and microbial resistance mechanisms. International Journal of Food Microbiology. 50: 1– 17. Cellini, L., Di Campli, E., Masulli, M., Di Bartolomeo, S. dan Allocati, N. 1996. Inhibition of Helicobacter pylori by garlic extract ( Allium sativum). FEMS Immunology and Medical Microbiology. 13: 273-277. Dalgaard, P. dan Koutsoumanis, K. 2001. Comparison of maximum specific growth rates and lag times estimated from absorbance and viable count data by different mathematical models. Journal of Microbiological Methods. 43: 183-196. Davidson, P.M. (1997) Chemical Preservatives and Natural antimikrobia compounds. In Food Microbiology Fundamentals and Frontiers, Doyle, M.P., Beuchat, L.R., Montville, T.J. (eds): 520– 556, NY: ASM Press. Diaz, G., Wolf, W., Kostaropoulos, A.E. and Spiess, W.E.L. 1993. Diffusion of lowmolecular weight compounds in food model system. Journal of Food Processing and Preservation. 17: 437– 454. Eloff, J.N. 2001. Antibacterial activity of Marula (Sclerocarya birrea (A. rich.) Hochst. subsp. caffra (Sond.) Kokwaro) (Anacardiaceae) bark and leaves. Journal of Ethnopharmacology. 76: 305–308 Helander-Alakomi, H.L., Latva-Kala, K., Mattila-Sandholm, T., Pol, I., Smid, E.J., Wright, I.K., dan Von, A. 1998. Characterization of the action of selected essential oil components on Gram negative bacteria. Journal of Agricultural Chemistry. 46: 3590– 3595. Leuschner, R.G.K. dan Zamparini, J. 2002. Effects of spices on growth and survival of Escherichia coli 0157 and Salmonella enterica serovar Enteritidis in broth model systems and mayonnaise. Food Control 13: 399–404. Miron, T., Rabinkov, A., Mirelman, D., Wilchek, M. dan Weiner, L. 2000. The mode of action of allicin: its ready permeability through phospholipid membrans may contribute to its biological activity. Biochimica et Biophysica Acta. 1463: 20-30. Prasad, M.M. dan Seenayya, G. 2000. Efect of spices on the growth of red halophilic cocci isolated from salt cured fish and solar salt. Food Research International. 33: 793-798. Quattara, B., Simard, R.E., Holley, R.A., Piette, G.J.P. dan Bégin, A. 1997. Antibacterial activitiy of selected fatty acids and essential oils against six meat spoilage organisms. Int. J. Food Microbiol. 37: 155-162. Sibel, R. (Editor). 2003. Natural Antimikrobias for the Minimal Processing of Foods. Cambridge, GBR: Woodhead Publishing, Limited. Hal: 177. Skandamis, P. dan Nychas, G-J,E. 2001. Effect of oregano essential oil on microbiological and physicochemical attributes of mince meat stored in air and modified atmospheres Journal of Applied Microbiology. 91: 1011– 1022.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 69
Skandamis, P., Tsigarida, E. dan Nychas, G.-J.E. 2002. The effect of oregano essential oil on survival/death of Salmonella typhimurium in meat stored at 5ºC under aerobic, vp/map conditions. Food Microbiology. 19: 97– 103. Stecchini, M.L., Del Torre, M., Sarais, I., Saro, O., Messina, M. and Maltini, E. 1998. Influence of structural properties and kinetic constraints on Bacillus cereus growth. Applied and Environmental Microbiology. 64: 1075– 1078. Tassou, C.C., Drosinos, E.H. and Nychas, G.-J.E. 1996. Inhibition of the resident microbial flora and pathogen inocula on cold fresh fillets in olive oil, oregano and lemon juice under modified atmosphere or air. Journal of Food Protection. 59: 31– 34. Tirranen, L.S., Borodina, E.V., Ushakova, S.A., Rygalov, V. YE., and Gitelson, J.I. 2001. Effect of volatil metabolites of dill, radish and garlic on growth of bacteria. Acta Astronautica. 49(2): 105–108. Tsigarida, E., Skandamis, P. dan Nychas, G.-J.E. 2000. Behaviour of Listeria monocytogenes and autochthonous flora on meat stored under aerobic, vacuum and modified atmosphere packaging conditions with or without the presence of oregano essential oil at 5ºC. Journal of Applied Microbiology. 89: 901– 909. Ultee, A., Kets, E.P.W. dan Smid, E.J. 1999. Mechanisms of action of carvacrol on the food-borne pathogen Bacillus cereus. Applied and Environmental Microbiology. 65: 4606– 4610. van der Watt, E. dan Pretorius, J.C. 2001. Purification and identification of active antibacterial components in Carpobrotus edulis L. Journal of Ethnopharmacology. 76: 87–91. Yin, M.C. and Tsa, S.M. 1999. Inhibitory effect of seven Allium plants upon three Aspergillus species. Int. J. Food Microbiol. 49: 49-56. Wilson, P.D.G., Brocklehurst, T.F., Arino, D., Thuault, M., Jakobsen, M., Lange, J.W.T., Farkas, J., Van, J.W.T., Wimpenny, J.F. dan Impe. 2002. Modelling microbial growth in structured foods: towards a unified approach. International Journal of Food Microbiology. 75: 273– 289.
TPC Project Udayana University – Texas A&M University - 70