FERMENTABILITAS DAN DEGRADABILITAS in vitro SERTA PRODUKSI BIOMASSA MIKROBA RANSUM KOMPLIT KOMBINASI RUMPUT LAPANG, KONSENTRAT DAN SUPLEMEN KAYA NUTRIEN
SKRIPSI DIMAR SARI WAHYUNI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DIMAR SARI WAHYUNI. D24104028. 2008. Fermentabilitas dan Degradabilitas in vitro serta Produksi Biomassa Mikroba Ransum Komplit Kombinasi Rumput Lapang, Konsentrat dan Suplemen Kaya Nutrien. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. : Ir. Suharyono, MRur. Sc.
Rendahnya produktivitas ternak ruminansia di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan penyediaan hijauan pada musim kemarau. Selain itu, masalah yang dihadapi adalah kurang dan rendahnya kualitas pakan sumber protein terutama konsentrat. Harga pakan sumber protein yang mahal pun menjadi kendala bagi peternak. Pengembangan sistem pakan berbasis limbah industri agro dengan sentuhan teknologi dalam bentuk penyediaan ransum komplit dapat mendukung produktivitas ternak. Ransum komplit yang digunakan dalam penelitian ini berbahan baku rumput lapang, konsentrat dan Suplemen Kaya Nutrien (SKN); SKN diperkaya oleh protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit. Akan tetapi kombinasi yang terbaik dari ketiga bahan baku dalam ransum komplit yang akan dibuat masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengkaji penggunaan ransum komplit kombinasi rumput lapang, konsentrat dan SKN terhadap fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba secara in vitro, dan untuk mencari kombinasi terbaik antara rumput lapang, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit berdasarkan fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba. Penelitian dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) - Badan Tenaga Nuklir Nasional. Ransum komplit perlakuan yang digunakan adalah R1 (ransum kontrol = rumput lapang 70% + konsentrat 30%); R2 (rumput lapang 70% + konsentrat 25% + SKN 5%); R3 (rumput lapang 70% + konsentrat 20% + SKN 10%) dan R4 (rumput lapang 70% + konsentrat 15% + SKN 15%). Cairan rumen ternak kerbau fistula digunakan sebagai kelompok berdasarkan waktu pengambilan yang berbeda. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang dalam 4 kelompok. Peubah yang diamati adalah produk fermentabilitas (NH3 dan VFA total), degradabilitas (BK dan BO), produksi gas dan produksi biomassa mikroba. Selanjutnya data diolah dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji ortogonal kontras, kemudian untuk mendapatkan tipe kurva pendugaan yang terbaik data diolah dengan uji ortogonal polinomial. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa pemberian SKN ke dalam ransum basal berpengaruh nyata (p<0,05) meningkatkan produksi gas dan VFA total, dan sangat berpengaruh nyata (p<0,01) meningkatkan konsentrasi NH3, degradabilitas (BK dan BO) dan produksi biomassa mikroba. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah kombinasi rumput lapang 70%, konsentrat 20% dan SKN 10% merupakan imbangan optimal di dalam ransum komplit yang dapat meningkatkan produksi gas total sebesar 3,33%, konsentrasi VFA total sebesar 10,34%, konsentrasi NH3 sebesar 10,34%, produksi
36
biomassa mikroba sebesar 44,11%, DBK sebesar 16,30% dan DBO sebesar 20,11% dibandingkan ransum kontrol. Secara keseluruhan, R3 lebih optimal dalam meningkatkan fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba in vitro. Kata-kata kunci: ransum komplit, SKN, fermentabilitas, degradabilitas, produksi biomassa mikroba, in vitro
37
ABSTRACT in vitro Fermentability, Degradability and Microbial Biomass Product of Complete Ration Containing a Combination of Field Grass, Concentrate and Nutrient Rich Supplement D. S. Wahyuni., A. S. Tjakradidjaja and Suharyono Lower productivity of cattle is caused by lack of grass in dry season, lower concentrate quality, highly protein price, and nutrient deficiency. Complete ration is one of solution to that problems. A complete ration is formulated to contain field grass, concentrate and nutrient rich supplement; however, the best combination of these feeds has not been determined. Therefore, the objective of this experiment is to obtain an optimum combination between field grass, concentrate and Nutrient Rich Supplement (NRS) based on in vitro study using Hohenheim gas test. The experimental diets were: R1 (control diet = 70% field grass + 30% concentrate), R2 (70% field grass + 25% concentrate + 5% NRS), R3 (70% field grass + 20% concentrate + 10% NRS) and R4 (70% field grass + 15% concentrate + 15% NRS). A randomized block design with four treatments and four replications was carried out. Buffalo rumen fluid taken in different time and was used as block or replication. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA). Significant differences among treatments were determined by contrast orthogonal, and polynomial orthogonal test was used to determine the trend of treatment effects on variables measured. The results showed that supplementation improved significantly (p<0.05) gas production and VFA concentration. The effect of treatments were highly significant (p<0.01) on NH3 concentration, microbial biomass product, dry matter and organic matter degradability. It is concluded that combination between 70% field grass, 20% concentrate and 10% NRS in complete ration (R3) increased gas production 3.33%, VFA total 10.34%, NH3 concentration 10.34%, microbial biomass product 44.11%, dry matter degradability 16.30% and organic matter degradability 20.11%, compared with control ration. Keywords: Complete Ration, NRS, Fermentability, Degradability, Microbial Biomass Product, in vitro
38
FERMENTABILITAS DAN DEGRADABILITAS in vitro SERTA PRODUKSI BIOMASSA MIKROBA RANSUM KOMPLIT KOMBINASI RUMPUT LAPANG, KONSENTRAT DAN SUPLEMEN KAYA NUTRIEN
DIMAR SARI WAHYUNI D24104028
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
39
FERMENTABILITAS DAN DEGRADABILITAS in vitro SERTA PRODUKSI BIOMASSA MIKROBA RANSUM KOMPLIT KOMBINASI RUMPUT LAPANG, KONSENTRAT DAN SUPLEMEN KAYA NUTRIEN
Oleh DIMAR SARI WAHYUNI D24104028
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 24 April 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. NIP. 131 624 182
Ir. Suharyono, MRur. Sc. NIP. 330 001 700
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juli 1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Bambang Wahyudi dan Ibu Nuniek Guniarti. Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Bani Saleh I Bekasi pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan pertama dimulai oleh penulis pada tahun 1998 dan diselesaikan pada tahun 2001 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 12 Bekasi. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 81 Jakarta pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi Ternak (HIMASITER) periode 2004-2005 sebagai anggota divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dan periode 2006-2007 sebagai anggota biro Nutrisi dan Industri Makanan Ternak (Nutrisari). Selain itu, penulis mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ”Agriaswara”.
41
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul ”Fermentabilitas dan Degradabilitas in vitro serta Produksi Biomassa Mikroba Ransum Komplit Kombinasi Rumput Lapang, Konsentrat dan Suplemen Kaya Nutrien.” Penelitian dilakukan di Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli sampai November
2007. Persiapan dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan
dengan pengurusan perijinan dengan pihak BATAN, pencarian bahan dan alat yang akan digunakan pada penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian ransum komplit kombinasi rumput lapang, konsentrat dan suplemen kaya nutrien yang berbahan baku protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit terhadap fermentabilitas in vitro yaitu produksi VFA total dan konsentrasi NH3. Selain itu, untuk mengetahui degradabilitas bahan kering dan bahan organik serta produksi biomassa mikroba. Penelitian ini pun bertujuan untuk mencari kombinasi terbaik antara rumput lapang, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit. Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Penulis pun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, April 2008
Penulis
42
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan ................................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
4
Pakan Sumber Energi ......................................................................... Rumput Lapang ........................................................................ Molases .................................................................................... Bekatul ..................................................................................... Onggok ..................................................................................... Pakan Sumber Protein ........................................................................ Urea .......................................................................................... Ampas Tahu ............................................................................. Bungkil Kelapa ........................................................................ Ampas Kecap ........................................................................... Ransum Komplit .................................................................................. Suplemen Kaya Nutrien (SKN) ......................................................... Penggunaan Ampas Teh sebagai Protein bypass ............................... Agen Defaunasi .................................................................................. Suplementasi Mineral Zn dan Cu Organik ........................................ Kunyit ................................................................................................ Metabolisme Rumen .......................................................................... Produksi Gas ............................................................................ Volatile Fatty Acid (VFA) ....................................................... Amonia (NH3) .......................................................................... Produksi Biomassa Mikroba .................................................... Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ......................... Percobaan in vitro ....................................................................
4 4 4 5 5 6 6 7 8 9 10 12 14 15 16 18 19 19 19 21 22 23 24
METODE ......................................................................................................
25
Lokasi dan Waktu ..............................................................................
25
43
Materi ................................................................................................. Rancangan .......................................................................................... Perlakuan ................................................................................. Peubah ...................................................................................... Rancangan Percobaan ............................................................... Prosedur Pembuatan Ransum Komplit .............................................. Pembuatan Suplemen Kaya Nutrien (SKN) ............................ Pembuatan Protein bypass dan Agen Defaunasi ...................... Pembuatan Mineral Organik .................................................... Pembuatan Tepung Kunyit ...................................................... Pengujian Ransum secara in vitro ...................................................... Pengukuran Produksi Gas ........................................................ Pengukuran Konsentrasi VFA Total ........................................ Pengukuran Konsentrasi NH3 .................................................. Pengukuran Produksi Biomassa Mikroba ............................... Pengukuran Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik.
25 26 26 27 27 28 28 28 28 29 30 30 32 32 33 34
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
35
Ransum Komplit ................................................................................ Produksi Gas Total .............................................................................. Konsentrasi VFA Total ....................................................................... Konsentrasi Amonia (NH3) ................................................................. Produksi Biomassa Mikroba .............................................................. Degradabilitas Ransum Komplit ........................................................ Degradabilitas Bahan Kering (DBK) ...................................... Degradabilitas Bahan Organik (DBO) .................................... Evaluasi Penggunaan Ransum terhadap Semua Peubah yang Diamati ...............................................................................................
35 38 42 46 50 55 55 59
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
66
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
66 66
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
68
LAMPIRAN ...................................................................................................
76
63
44
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Rumput Lapang, Molases, Bekatul dan Onggok ..
5
2. Laju Degradasi Beberapa Sumber Protein dalam Fermentor yang Menggunakan Cairan Rumen Sapi .....................................................
9
3. Komposisi Kimia Urea, Ampas Tahu, Bungkil Kelapa dan Ampas Kecap ..................................................................................................
9
4. Kebutuhan Nutrisi (Energi dan Protein) untuk Beberapa Ternak Ruminansia Kecil ...............................................................................
11
5. Kebutuhan Nutrisi (Energi dan Protein) untuk Beberapa Ternak Ruminansia Besar ..............................................................................
12
6. Perbedaan Komposisi Kimia antara SKN dan SPM ............................
13
7. Komposisi Ransum Komplit ...............................................................
26
8. Hasil Uji Pengikatan Ampas Tahu dengan Cu dan Zn .......................
29
9. Komposisi Kimia Bahan-bahan Ransum Komplit ..............................
36
10. Komposisi Nutrisi Ransum Komplit Perlakuan...................................
37
11. Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) Ransum Komplit Perlakuan .
39
12. Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) pada Waktu Inkubasi yang Berbeda (jam) ......................................................................................
40
13. Konsentrasi VFA Total in vitro (mM) Ransum Komplit Perlakuan .
43
14. Konsentrasi NH3 in vitro (mM) Ransum Komplit Perlakuan ............
47
15. Produksi Biomassa Mikroba in vitro (mg) Ransum Komplit Perlakuan ...........................................................................................
51
16. Degradabilitas Bahan Kering in vitro (%) Ransum Komplit Perlakuan 55 17. Degradabilitas Bahan Organik in vitro (%) Ransum Komplit Perlakuan ............................................................................................
60
18. Pengaruh Penggunaan Ransum terhadap Semua Peubah yang Diamati ...............................................................................................
65
45
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Kimia Pembentukan Urea .....................................................
6
2. Bagan Pembuatan Ampas Tahu ..........................................................
8
3. Ikatan antara Protein dalam Ampas Tahu dengan Zn++ atau Cu++ ......
17
4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia ..........................................................................................
20
5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia .....
22
6. Rumput Lapang, Konsentrat dan SKN ...............................................
26
7. Proses Pembuatan Tepung Kunyit ......................................................
29
8. Laju Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) pada Waktu Inkubasi 0-48 jam ..............................................................................................
41
9. Konsentrasi VFA Total (mM), Konsentrasi NH3 (mM) dan Produksi Biomassa Mikroba (mg) Ransum Komplit Perlakuan ........................
53
10. Korelasi antara Level SKN (%) dengan Degradabilitas Bahan Kering (%) .....................................................................................................
58
11. Korelasi antara Level SKN (%) dengan Degradabilitas Bahan Organik (%) ..................................................................................................... 62
46
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total .............
77
2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total ........
77
3. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 ..................
77
4. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba.
78
5. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering ................................................................................................
78
6. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik ..............................................................................................
78
7. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total ...................................................................................................
79
8. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total ............................................................................................
79
9. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total ..........................................................................................
80
10. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total ..........................................................................................
80
11. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 .....................................................................................................
81
12. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 .....................................................................................................
81
13. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba .............................................................................
82
14. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba .............................................................................
82
15. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering .....................................................................................
83
16. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering ..................................................................................... 83 17. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik ...................................................................................
84
18. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik ................................................................................... 84
47
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional yang berhasil di Indonesia diindikasikan oleh adanya peningkatan kesehatan masyarakat yaitu terpenuhinya asupan nutrisi yang bergizi, sehat dan berkualitas tinggi. Peningkatan permintaan masyarakat akan sumber protein hewani tidak sejalan dengan produktivitas ternak ruminansia di Indonesia yang rendah. Hal ini yang mendorong para peternak untuk meningkatkan dan memperbaiki produktivitas ternak dan pemenuhan kebutuhan zat nutrisi ternak. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak ruminansia di Indonesia adalah keterbatasan penyediaan hijauan pada musim kemarau. Selain itu, masalah yang dihadapi peternak adalah kurang dan rendahnya kualitas pakan sumber protein terutama konsentrat komersial. Harga pakan sumber protein yang mahal pun menjadi kendala bagi peternak. Pengembangan sistem pakan berbasis sumber daya lokal yaitu hasil sisa, hasil samping dan limbah berbagai jenis tanaman merupakan sumber bahan baku pakan alternatif yang potensial, murah, berkualitas, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan berkesinambungan. Upaya peningkatan kualitas limbah industri agro diperlukan suatu teknologi sehingga dapat mendukung perkembangan produksi ternak di Indonesia yang berkelanjutan, efisien dan kompetitif. Peternakan di Indonesia masih mempunyai permasalahan nutrisi, yaitu terjadi defisien dan ketidakseimbangan gizi baik energi, protein dan mineral termasuk vitamin (Suryahadi, 2003). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan defisiensi nutrisi pada ternak adalah dengan adanya teknik manipulasi pakan melalui penyediaan ransum komplit. Ransum komplit yang digunakan dalam penelitian ini berbahan baku rumput lapang. Rumput lapang memiliki beberapa keunggulan diantaranya ketersediaannya yang melimpah, murah, mudah didapat dan sebagai pakan sumber energi. Menurut Aboenawan (1991), rumput lapang merupakan pakan yang sudah umum digunakan oleh peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia. Konsentrat dan SKN juga digunakan dalam ransum komplit ini. Menurut Suryahadi (2003), suplementasi bermanfaat dalam mengatasi masalah defisiensi, meningkatkan kapasitas mencerna pakan karena adanya perbaikan metabolisme dan kemampuan mikroba rumen. Teknik manipulasi pakan
48
yang sedang marak adalah suplementasi pakan yang berupa Urea Molases Multinutrient Block (UMMB). Suplemen berbentuk blok UMMB ini memiliki kekurangan terutama dalam ketersediaan bahan baku masih tergantung pada penggunaan molases dan bungkil kedelai, sedangkan harga kedua bahan pakan tersebut cukup tinggi sehingga harganya relatif mahal (Suharyono et al., 2005). Pada saat ini, pengkajian pembuatan Suplemen Pakan Multinutrien (SPM) telah dikembangkan oleh BATAN dengan mengurangi penggunaan kedua bahan baku pakan tersebut sehingga didapatkan harga yang relatif murah. Suplemen Kaya Nutrien (SKN) yang dibuat dalam penelitian ini merupakan pengkayaan dari SPM. Kelebihan yang dimiliki oleh SKN yaitu kandungan protein kasar yang cukup tinggi sebesar 28,09%. Selain itu, SKN mengandung mineral organik yang merupakan proses pengikatan antara ampas tahu dan mineral Zn dan Cu (anorganik). Suplementasi mineral Zn dan Cu dalam bentuk organik mampu meningkatkan penyerapan pada organ pasca rumen dibandingkan anorganik (Silalahi, 2003; Setyoningsih, 2003). Suplemen ini juga mengandung ampas kecap yang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sekitar 28-31% (NRC, 2001). Menurut Sutardi et al. (1983), ampas kecap ini memiliki laju degradasi protein yang cukup tinggi sebesar 3,58%/jam sehingga protein perlu diproteksi agar terjadi peningkatan potensi ketersediaan asam amino di dalam usus halus. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan adanya SKN ini yang mengandung ampas teh sebagai sumber asam tanin yang dapat digunakan sebagai pelindung sumber protein pakan ternak dari degradasi dalam rumen (Soebarinoto, 1986). Daun kembang sepatu sebagai agen defaunasi juga ditambahkan ke dalam SKN. Penambahan kunyit ke dalam SKN juga dilakukan sebagai antibakteri dan antioksidan lebih efektif jika digabungkan dengan Zn-organik dan Cu-organik dalam stabilitas membran ambing dan sistem imunitas tubuh sapi (Tanuwiria et al., 2006). Perumusan Masalah Kualitas nutrisi pakan sumber protein yang umum digunakan oleh peternak relatif rendah. Hal ini yang merupakan penyebab rendahnya produktivitas ternak di Indonesia. Selain itu, masalah yang dihadapi peternak adalah harga pakan sumber protein yang mahal dan keterbatasan penyediaan hijauan pada musim kemarau.
49
Pengembangan sistem pakan berbasis sumber daya lokal dengan sentuhan teknologi dalam bentuk ransum komplit ini dapat mendukung perkembangan produksi ternak di Indonesia. Kualitas dan kuantitas pakan sangat mempengaruhi proses fermentasi pakan dalam rumen. Pemberian ransum komplit yang berbahan baku rumput lapang, konsentrat dan SKN yang diperkaya oleh protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit, sebagai salah satu upaya perbaikan proses fermentasi di dalam rumen. Efek perbaikan proses fermentasi tersebut perlu dievaluasi berdasarkan fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba secara in vitro dan dari hasil ini dapat ditentukan kombinasi terbaik antara rumput lapang, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh pemberian ransum komplit kombinasi rumput lapang, konsentrat dan SKN yang berbahan baku protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit, terhadap fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba. 2. Mencari kombinasi terbaik antara rumput lapang, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit berdasarkan fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba menggunakan metoda uji gas Hohenheim.
50
TINJAUAN PUSTAKA Pakan Sumber Energi Rumput Lapang Rumput lapang adalah pakan yang sudah umum digunakan oleh peternak sebagai pakan utama ternak ruminansia. Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah atau ladang, pegunungan, tepi jalan dan semak-semak. Rumput ini tumbuh liar sehingga memiliki mutu yang kurang baik untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Rumput lapang adalah campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Walaupun demikian, rumput lapang merupakan hijauan yang mudah didapat, murah dan pengelolaannya mudah (Wiradarya, 1989). Syarat-syarat rumput sebagai bahan makanan ternak antara lain (1) mempunyai manfaat yang tinggi sebagai bahan makanan, (2) mudah dicerna alat pencernaan dan (3) tersedia dalam keadaan yang cukup. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi ternak seperti air, lemak, bahan ekstrak tanpa-N, serat kasar, mineral (terutama phospor dan garam dapur) serta vitamin (Lubis, 1963). Kandungan nutrisi rumput lapang disajikan pada Tabel 1. Molases Molases merupakan salah satu produk sampingan dari proses pembuatan gula tebu (Somaatmadja, 1981). Molases adalah pakan sumber energi yang murah karena mengandung gula (50 %), baik dalam bentuk sukrosa (20–30%) maupun dalam bentuk gula pereduksi (10-30%). Gula-gula pereduksi tersebut sangat mudah dicerna dan dapat langsung diserap oleh darah dan digunakan untuk pembakaran untuk keperluan energi. Molases mengandung 2,5-4,5% protein kasar, sebagian dari protein tersebut merupakan protein yang dapat dicerna. Selain itu, molases sangat kaya akan mineral. Kadar abu molases antara 2,5-7% sebagai karbonat. Kadar vitamin, khususnya vitamin-vitamin yang tahan panas dan basa (CaOH2) relatif sangat tinggi di dalam molases (Winarno, 1982). Kandungan nutrisi molases lain dapat dilihat pada Tabel 1. Perry et al. (2004) menyatakan bahwa molases digunakan dalam ransum untuk sapi, domba, dan kuda dengan tujuan untuk memperbaiki palatabilitas ransum,
51
memperbaiki aktivitas mikroba rumen, mengurangi kadar kotoran, sebagai pengikat pembuatan pellet dan sumber energi. Bekatul Bekatul dapat disebut sebagai bagian luar butiran beras setelah kulit padi (sekam) dan kulit ari dihilangkan dalam proses penggilingan padi menjadi beras. Pakan bekatul sebanyak 3-8% berasal dari beras pecah kulit. Bekatul mengandung 13-17% lipida, 11-14% protein dan 45-50% karbohidrat. Kadar minyak yang berasam lemak tidak jenuh dan enzim lipolitik dalam bekatul cukup tinggi, oleh karena itu bekatul mudah sekali tengik. Bekatul memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan proteinnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 (Somaatmadja, 1981). Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Lapang, Molases, Bekatul dan Onggok Rumput Lapang1)
Molases2)
Bekatul2)
Onggok3)
Bahan Kering (%)
22,97
36,00
86,00
86,00
Protein Kasar (% BK)
10,12
5,90
14,00
1,77
Lemak Kasar (% BK)
1,22
2,00
12,40
1,48
BETN (% BK)
46,92
46,50
58,60
89,20
Serat Kasar (% BK)
31,80
37,90
6,00
6,67
Abu (% BK)
9,04
7,80
9,00
0,89
Kalsium (% BK)
0,17
0,36
0,05
0,12
Komponen
Sumber : 1) Lubis, 1992 2) Tillman et al., 1997 3) Irawan, 2002
Onggok Limbah padat atau ampas yang diperoleh dari hasil pemerasan ubi kayu dalam pengolahan pati singkong (tapioka) yang potensial untuk dijadikan sebagai pakan biasanya disebut dengan onggok. Onggok memiliki kandungan protein yang rendah, sehingga perlu ditambahkan dengan bahan makanan sumber protein atau sumber NPN. Kandungan protein onggok yang rendah menyebabkan tidak optimal penggunaannya dalam pakan ternak. Rekayasa atau sentuhan teknologi perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya (Winugroho et al., 1983). Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) merupakan kandungan tertinggi di dalam onggok yaitu
52
sebesar 89,20% sehingga onggok dinamakan sebagai sumber energi (Irawan, 2002). Komposisi onggok dapat dilihat pada Tabel 1. Pakan Sumber Protein Urea Urea adalah salah satu sumber Non Protein Nitrogen (NPN) yang berbentuk kristal putih dan bersifat mudah larut dalam air. Urea untuk makanan atau feed-grade adalah yang mengandung 45 persen N karena sudah dicampur dengan antara lain kaolin, kapur atau tepung yang akan mempermudah penanganan, misalnya dalam pencampuran dengan bahan pengisi lain bila menyusun ransum. Keuntungan penggunaan urea terutama karena harganya yang relatif murah untuk setiap unit protein ekuivalen (N x 6,25) dan sudah dikenal oleh petani. Urea dapat pula merugikan karena menyebabkan keracunan bila penggunaannya terlalu berlebihan. Konsentrasi NH3 dalam rumen yang melebihi batas 84 mg/100 ml akan mengakibatkan keracunan urea pada ternak ruminansia. Penggunaan urea sebaiknya tidak melebihi 1% dari ransum atau 5% dari biji-bijian ransum. Protein suplemen dapat mengandung 85-90% N dari urea, tetapi jika dicampur dengan bahan makanan lain dalam ransum, kontribusi ekuivalen protein kasar dari urea biasanya kurang dari 33% (Parakkasi, 1999). Struktur kimia pembentukan urea disajikan pada Gambar 1, sedangkan komposisi kimia urea dapat dilihat pada Tabel 3.
NH4 Amonium
+
CO2
Karbon Dioksida
O ║
O ║
NH4-O-C-O-NH4
H2N-C-NH2
Diamonium Karbonat
Urea
Gambar 1. Struktur Kimia Pembentukan Urea Sumber: Parakkasi, 1999
Daya tarik penggunaan NPN (urea) dalam ransum adalah untuk menyediakan ransum yang memenuhi syarat dengan biaya yang lebih murah dibanding bila menggunakan bungkil – bungkilan (atau bahan makanan lain) sebagai sumber protein. Penggunaan NPN seperti ini tidak pernah menghasilkan penampilan ternak yang lebih baik dibandingkan pemakaian bungkil-bungkilan sebagai sumber protein. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan urea terutama adalah kecepatan
53
perubahannya menjadi NH3 yang empat kali lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan penggunaan NH3 menjadi sel mikroba (Parakkasi, 1999). Penguraian urea akan terjadi selama proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri rumen melalui enzim urease yang disekresikannya menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia hasil fermentasi tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai pembentuk asam amino (protein mikroba). Proses pembentukan amonia ini berlangsung cepat sehingga dapat menyebabkan terjadinya alkalosis akibat dinding usus menyerap amonia dalam jumlah terlalu banyak (Payne, 1989). Salah satu keuntungan ruminansia mempunyai organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus adalah mampu mengubah jenis nitrogen (N) termasuk Non Protein Nitrogen (NPN) seperti urea menjadi protein bermutu tinggi. Produk fermentatif dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980). Ampas Tahu Pada proses pembuatan tahu hanya sebagian protein kedelai yang dapat dimanfaatkan, sedangkan yang sebagian lagi masih tertinggal dalam ampasnya. Ampas tahu mengandung 58% dari jumlah protein kedelai. Jika kandungan biji kedelai sebesar ± 38% maka protein ampas tahu sebesar ± 22% berdasarkan berat kering (Wiriano, 1985). Protein kasar dari ampas tahu sebesar 29,4% (Irawan, 2002) (Tabel 3). Ampas tahu masih mengandung kadar protein yang relatif tinggi. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan tahu tidak semua bagian protein kedelai dapat terekstrak, lebih-lebih jika digunakan proses penggilingan tradisional. Ampas tahu segar memiliki tekstur yang kokoh (firm) walaupun kadar airnya tinggi (± 87%). Hal ini disebabkan oleh adanya serat kasar protein yang mengikat air secara hidrofilik yang kompak. Ampas tahu dari hasil pendidihan bubur memiliki daya tahan tidak lebih dari 24 jam dalam keadaan terbuka (bebas) dan dinyatakan bahwa ampas tahu yang tidak mengalami proses pendidihan akan membusuk lebih cepat. Ampas tahu yang membusuk akan menyebabkan bau tak sedap (NH3), teksturnya menjadi lebih lembek dan berair. Ampas tahu dalam keadaan tersebut mudah menjadi sumber berbagai penyakit dan menyebabkan pencemaran udara (IMALOSITA, 1981). Proses pembuatan ampas tahu dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.
54
Ampas tahu adalah sumber protein yang mudah terdegradasi dalam rumen (Suryahadi, 1990) yang memiliki laju degradasi sebesar 9,79%/jam dan rataan kecepatan produksi N amonia nettonya sebesar 0,677 mM/jam (Sutardi et al., 1983). Hasil pengukuran laju degradasi beberapa sumber protein lainnya dalam fermentor dapat dilihat pada Tabel 2. Kedelai ↓ pencucian dan perendaman → air ↓ penirisan → air ↓ penggilingan ← air ↓ bubur kedelai ↓ pemasakan ←air dan (kadang-kadang) antibusa penyaringan ↓ ekstrak susu kedelai → ampas tahu (okara) ↓ pengendapan (koagulasi) ← koagulan ↓ pencetakan ↓ pengepresan ----- whey ↓ tahu siap jadi Gambar 2. Bagan Pembuatan Ampas Tahu Sumber: Herman, 1985
Bungkil Kelapa Bungkil kelapa adalah limbah yang dihasilkan setelah daging kelapa diekstraksi atau dikeringkan. Kandungan protein kasar bungkil kelapa berkisar 2026% (Church, 1991). Bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan nutrisi yang utama adalah protein kasar sebesar 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Komposisi nutrien mineral yang dimiliki oleh bungkil kelapa adalah 0,21% Ca, 0,65% P, 53 mg/kg Zn,
55
dan 0,46 mg/kg Cu dengan bahan kering 100% (Tillman et al., 1997). Komposisi nutrien bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Laju Degradasi Beberapa Sumber Protein dalam Fermentor yang Menggunakan Cairan Rumen Sapi Bahan Makanan
Laju Degaradasi Protein (%/jam)
Bungkil kedelai
6,53
Bungkil kelapa
1,90
Bungkil kacang tanah
5,54
Ampas kecap
3,58
Ampas tahu
9,79
Daun petai cina
8,73
Sumber : Sutardi et al., 1983
Tabel 3. Komposisi Kimia Urea, Ampas Tahu, Bungkil Kelapa dan Ampas Kecap Urea1)
Ampas Tahu2)
Bungkil Kelapa3)
Ampas Kecap4)
-
15,00
86,00
-
Protein Kasar (% BK)*)
281,25
29,40
21,60
28,62
Nitrogen (%)
45,00
-
-
-
Lemak Kasar (% BK)
-
10,20
10,20
24,36
BETN (% BK)
-
32,70
49,70
10,34
Serat Kasar (% BK)
-
22,70
12,10
8,70
Abu (% BK)
-
4,96
6,40
27,98
Komponen Bahan Kering (%)
Keterangan : *) Protein kasar (%) dihitung dengan rumus PK = Nitrogen x 6,25 (Parakkasi, 1999) Sumber : 1) Parakkasi, 1999 2) Irawan, 2002 3) Tillman et al., 1997 4) Sunarso, 1984
Ampas Kecap Ampas kecap merupakan limbah dari pembuatan kecap. Bahan baku untuk membuat kecap adalah biji kedele. Ampas kecap memiliki palatabilitas yang cukup tinggi untuk sapi perah (Suryahadi et al., 1997). Ampas kecap tidak mempunyai sifat pencahar. Pakan sumber protein ini juga memberikan protein asal makanan yang lolos perombakan dalam jumlah yang cukup untuk pencernaan pasca rumen. Meningkatnya konsumsi Rumen Undegradable Protein (RUP) akan meningkatkan
56
kecernaan dan penyerapan protein di dalam usus halus serta akan meningkatkan kemampuan asam amino untuk sekresi protein di dalam ambing (Kanjanapruthipong dan Buatong, 2002). Menurut Sunarso (1984), ampas kecap (100% BK) mengandung TDN 85,63% dan ME 3,096 Mkal/kg. Komposisi kimia nutrien ampas kecap lain dapat dilihat pada Tabel 3. Ampas kecap juga mampu menyediakan amonia dan VFA untuk mikroba rumen, dengan produksi NH3 sebesar 6,93 mM dan VFA sebesar 131,73 mM. Kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik ampas kecap adalah sebesar 32,29 dan 39,37%. Ransum Komplit Ransum adalah campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak untuk sehari semalam selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Jumlah total bahan makanan yang diberikan kepada hewan untuk jangka waktu 24 jam disebut ransum. Pakan merupakan suatu bahan-bahan yang dimakan oleh ternak, yang mengandung energi dan zat-zat gizi (atau keduanya) di dalam makanan tersebut (Tillman et al., 1997). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologi, dibentuk atau dicampur dari berbagai jenis pakan untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997). Ransum komplit berasal dari campuran ransum total yang terbentuk dengan cara menimbang dan menyatukan semua bahan-bahan pakan yang dapat menyediakan kecukupan zat makanan yang dibutuhkan oleh induk sapi perah. Setiap bagian yang dikonsumsi dapat menyediakan nutrisi (energi, protein, serat, mineral dan vitamin) yang dibutuhkan oleh induk sapi (Schroeder dan Park, 1997). Konsentrat merupakan suatu bahan makanan yang digunakan bersama bahan makanan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau makanan lengkap. Suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan (biasanya
57
dalam kuantitas yang kecil) ke dalam campuran makanan dasar untuk memenuhi kebutuhan khusus disebut aditif (Tillman et al., 1997). Sutardi (1980) menyatakan bahwa energi merupakan hasil metabolisme zat nutrisi organik yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein. Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan nutrien yang dominan dalam menyediakan sumber energi untuk tubuh, disamping menyediakan bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses pencernaan. Peranan protein dalam tubuh adalah untuk memperbaiki jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme (deaminasi) untuk energi dan sebagai enzim-enzim yang esensial bagi tubuh (Anggorodi, 1994). Kebutuhan nutrisi (energi dan protein) untuk beberapa ternak ruminansia kecil dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan untuk ternak ruminansia besar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi (Energi dan Protein) untuk Beberapa Ternak Ruminansia Kecil Kebutuhan TDN (%)
Kebutuhan PK (%)
55-56
7-8
Bunting (Bobot 30 Kg)
61
8-9
Laktasi (Bobot Badan 30 kg, Produksi susu 1 kg/hari, Kadar Lemak 4%)
73
13
Hidup Pokok (Bobot 60-80 Kg)
54
8
Bunting (Bobot 60-70 Kg)
53
7-8
Awal Laktasi (Bobot Badan 40 kg, Produksi susu 0,71-1,32 kg/hari)
66
13
Pertengahan Laktasi (Bobot Badan 40 kg, Produksi susu 0,47-0,89 kg/hari)
53
10
Akhir Laktasi (Bobot Badan 40 kg, Produksi susu 0,23-0,45 kg/hari)
53
8-9
Jenis Ternak Kambing*) Hidup Pokok (Bobot 20-40 Kg)
Domba**)
Keterangan : TDN = Total Digestible Nutrient PK = Protein Kasar Sumber : *) NRC, 1981 **) NRC, 2007
58
Tabel 5. Kebutuhan Nutrisi (Energi dan Protein) untuk Beberapa Ternak Ruminansia Besar Kebutuhan TDN (%)
Kebutuhan PK (%)
55
10
61-66
12
56
12
63-67
12-15
55-60
8,2-8,8
68-77
12-14
Jantan Muda (BB 136-364 kg, PBB 0,91,1 kg)
65-70
9-17
Jantan Dewasa (BB 590-635 kg, PBB 0,9 kg)
64
8
Hidup Pokok (Bobot 450 Kg)
45
6-7
Dara (Bobot 300 Kg)
58
8
Bunting (Trimester akhir, Bobot 400 Kg)
53
8
Laktasi (Produksi susu 4 kg/hari, Kadar Lemak 7%, Bobot 550-600 Kg)
55-56
9-10
Jenis Ternak Sapi Perah*) Pejantan Dara (Umur 6-12 Bulan) Masa Pengeringan Laktasi (Produksi Susu 7-10 Kg/hari) Sapi Pedaging**) Dara 1 tahun, Induk Muda Bunting 3 bulan terakhir (BB 364-386 kg, PBB 0,40,6 kg) Laktasi awal (PS 9 kg/hari, BB 364-454 kg, PBB 0 kg)
Kerbau Perah***)
Keterangan : TDN = Total Digestible Nutrient PK = Protein Kasar Sumber : *) NRC, 2001 **) NRC, 1984 ***) Parakkasi, 1999
Suplemen Kaya Nutrien (SKN) BATAN telah melakukan pengembangan dan modifikasi terhadap suplemen pakan sebelumnya UMMB menjadi SPM. Ketersediaan SPM ini dapat digunakan untuk mengatasi beberapa kendala seperti ketersediaan pakan lokal, harga dan bahan penyusun formula suplemen pakan UMMB. Bahan – bahan yang sulit didapat yaitu molasses, tepung tulang, dan bungkil kedelai (BATAN, 2005). SPM memiliki harga
59
yang lebih murah (Rp. 1500/kg) dibandingkan UMMB (Rp. 3000/kg) dan SKN (Rp. 1950/kg). Hal ini disebabkan oleh kandungan molases dan bungkil kedelai SPM lebih rendah dibandingkan dengan UMMB yaitu sebesar 10% dan 3%, sedangkan UMMB sebesar 29% dan 17%. SPM juga memiliki kelebihan yaitu di dalamnya terkandung imbuhan pakan yang dapat berperan dalam proses metabolisme dalam tubuh ternak. Kelebihan lainnya adalah protein bypass yang dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan proteinnya dan mineral organik sebagai penyedia mineral (Suharyono et al., 2005). Pemberian suplemen SPM di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) dapat meningkatkan kualitas susu (kadar lemak susu) sebesar 0,23% (Fharhandani, 2006) dan juga mampu meningkatkan produksi susu 4% FCM sebesar 4,157 kg/hari (Rafis, 2006). Suplemen SPM ini juga lebih meningkatkan produksi pada ternak sapi perah peranakan Fries Holland (FH) dimana produksi rata – rata susunya mencapai 14,2 l/ekor/hari dibandingkan sapi perah yang mendapat UMMB dan kontrol, yang produksi susunya masing – masing sebesar 13,7 l/ekor/hari dan 11,1 l/ekor/hari (Suharyono et al., 2005). Tabel 6. Perbedaan Komposisi Kimia antara SKN dan SPM Komposisi Kimia Kandungan Kimia Bahan
SKN
SPM
Kadar air (%)
13,25
12,67
Bahan kering (%)
86,75
87,33
Abu (% BK)
14,77
22,96
Lemak (% BK)
11,23
7,37
Protein (% BK)
28,09
18,50
Serat kasar (% BK)
15,78
16,25
BETN (% BK)
30,13
22,25
)
TDN (% BK)*
74,15
56,52
Ca (% BK)
0,20
0,14
P (% BK)
0,02
0,03
Keterangan : *) TDN dihitung dengan rumus TDN = 25,6 + 0,53 PK + 1,7 L – 0,474 SK + 0,732 BETN (Sutardi, 2003 dalam Noviana, 2004) Sumber : Hasil Analisa Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2007
60
SKN yang dibuat dalam penelitian ini merupakan teknik pengkayaan dari SPM yang telah dikembangkan oleh BATAN. SKN ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan SPM yaitu memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi sebesar 28,09%. Selain itu, SKN mengandung protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit. Perbedaan komposisi kimia antara SKN dan SPM disajikan pada Tabel 6. Penggunaan Ampas Teh sebagai Protein bypass Menurut Takeda (1994), teh secara umum terdiri dari dua varietas, yaitu Camelia sinensis varietas sinensis dan Camelia sinensis varietas assamica. Tanaman teh pada varietas sinensis memiliki karakteristik tanaman semak-semak dengan daundaun yang kecil, resisten terhadap cuaca dingin dan cocok untuk dibuat menjadi teh hijau dan teh fermentasi. Tanaman teh Camelia sinensis varietas assamica memiliki karakteristik tipe pohon yang tinggi dengan daun lebar, kurang tahan terhadap cuaca dingin dan cocok dibuat menjadi teh hitam. Bagian tanaman teh yang digunakan untuk pembuatan minuman teh yaitu bagian pucuk dan daun muda. Perbanyakan tanaman teh dilakukan dengan biji, stek, sambungan atau cangkokan (Dalimartha, 2005). Ampas teh mengandung 43,87% bahan kering, 4,76% abu, 27,42% protein kasar, 20,39% serat kasar, 3,26% lemak, 1,14% Ca, 0,25% P, tanin 1,35% dan gross energi 4994 kkal/kg, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein sekaligus sumber serat bagi ternak ruminansia. Kandungan tanin dalam makanan sebesar 0,1 % tidak bersifat sebagai racun (Istirahayu, 1993). Daun teh mempunyai zat penyamak sekitar 20-30%, variasi kadar zat penyamak tergantung dari jenis teh dan umur daun. Zat penyamak terutama tanin dapat berguna untuk melindungi deaminasi protein yang berlebihan dan juga dapat mencegah terjadinya bloat. Tanin merupakan senyawa poliphenol yang mempunyai kemampuan mengikat protein sehingga menghalangi kerja enzim protease. Tanin dalam jumlah kecil dipandang menguntungkan ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein yang berlebihan oleh mikroorganisme rumen sehingga protein asal rumen lebih banyak tersedia untuk proses pencernaan enzimatik pasca rumen (Soebarinoto, 1986).
61
Agen Defaunasi Jumlah protozoa di dalam rumen pada kondisi normal sekitar 106 sel/ml cairan rumen. Hal tersebut dipengaruhi oleh ransum dan meliputi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Protozoa tidak mampu secara langsung menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen. Sumber nitrogen untuk pertumbuhan protozoa selain berasal dari protein pakan juga berasal dari bakteri rumen yang dimangsanya. Sebesar 50 % dari nitrogen yang dikonsumsi protozoa tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan asam-asam amino. Biomassa protozoa dalam rumen bervariasi, tergantung jenis ransum yang dimakan ternak induk semang (Erwanto, 1995). Keberadaan protozoa tidak penting di dalam sistem rumen. Hal ini dikarenakan bahwa usaha mengkultur bakteri rumen dalam medium tanpa keberadaan protozoa ternyata dapat berhasil baik. Kehadiran protozoa bahkan cenderung merugikan, karena protozoa dapat memangsa bakteri yang mengakibatkan populasi bakteri rumen (mikroba rumen yang utama) menjadi tertekan. Keadaan seperti itu akan lebih serius pada ternak yang mendapat ransum rendah kadar gula dan pati sehingga protozoa tidak memperoleh makanan yang layak baginya. Makanan protozoa adalah karbohidrat yang mudah larut dan difermentasi sehingga mengakibatkan protozoa banyak yang memangsa bakteri untuk kelangsungan hidupnya (Erwanto, 1995). Leng et al. (1984) menyatakan bahwa sebagian besar biomassa protozoa tidak tersedia untuk pencernaan di usus halus dikarenakan protozoa cenderung retained (tertahan) di dalam rumen. Sebagian kecil saja protozoa yang mengalir ke organ pasca rumen. Komposisi asam amino dan kecernaan sel protozoa lebih baik dibandingkan sel bakteri, namun kelebihan ini hanya sedikit kontribusinya untuk ternak induk semang dikarenakan aliran protozoa dari rumen sangat kecil. Sumbangan atau andil biomassa protozoa rumen bagi nutrisi ternak induk semang pada kenyataannya tidak begitu besar. Agen defaunasi sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan populasi protozoa dalam rumen, misalnya minyak kelapa atau daun kembang sepatu. Defaunasi merupakan pengurangan jumlah populasi protozoa secara menyeluruh maupun sebagian (partial) dengan tujuan mengoptimalkan tingkat
62
kecernaan serat kasar pakan. Defaunasi dilakukan karena kehadiran protozoa dalam rumen cenderung merugikan, hal ini terjadi karena protozoa mempunyai sifat predator bagi mikroba rumen lain terutama bakteri dan jamur (Prihandono, 2001). Hibiscus rosa-sinensis (daun kembang sepatu) memiliki kandungan saponin yang cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan keluarnya lendir bila daun tersebut diremas (Jalaludin, 1994). Komposisi kimia daun kembang sapatu yang bervariasi terdiri dari 87,23% bahan kering, 23,03% protein kasar, 2,28% lemak kasar, 28,73% serat kasar, 6,24% abu dan 39,72% Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) (Despal, 1993). Suplementasi Mineral Zn dan Cu Organik Kebutuhan ternak ruminansia akan Zn yaitu 40-50 mg/kg BK ransum. Menurut McDowell (1992), defisien Zn pada ternak terjadi apabila kandungan Zn dalam ransum kurang dari 40 mg/kg BK ransum, namun toksik bilamana Zn yang terkandung dalam ransum lebih dari 1000 mg/kg BK (NRC, 2001). Zn merupakan mineral mikro yang berperan dalam fungsi berbagai enzim dan proses metabolisme yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi dan sintesis protein, sintesis asam nukleat, transpor CO2 dan reaksi lainnya (Linder, 1992). Defisiensi Zn dapat mernyebabkan parakeratosis jaringan usus yang akibatnya sama dengan defisiensi asam lemak, dan juga mengganggu peran Zn dalam metabolisme mikroorganisme rumen. Parakeratosis terjadi akibat terganggunya peranan Zn dalam metabolisme mikroorganisme rumen, mengingat kandungan Zn mikroba rumen cukup hingga 130-220 mg/kg (Hungate, 1966). Kandungan normal Cu pakan pada padang rumput berkisar antara 4-8 mg/kg BK. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan kebutuhan Cu pada ternak ruminansia yaitu 10 mg/kg. Batas maksimum Cu untuk pakan sapi perah adalah 100 mg/kg (NRC, 2001). Mineral Cu merupakan komponen penting dalam beberapa metaloenzim, diantaranya cytochrome oxidase, lysil oxidase, superoxidase dismutase dan ceruloplasmin (McDonald et al., 2002). Mineral Cu juga berperan dalam metabolisme besi dan pendewasaan sel eritrosit, respirasi sel, perkembangan jaringan konektif, system kekebalan dan metabolisme lemak (McDowell, 1992). Defisiensi Cu dapat menghambat pertumbuhan, anemia, kelainan tulang, pigmentasi rambut dan wool dan gangguan pencernaan (McDonald et al., 2002).
63
Pemberian suplementasi gabungan antara Cu dan Zn organik memiliki pengaruh yang lebih baik dibandingkan pemberian dalam bentuk tunggal (Tanuwiria, 2004). Suplementasi mineral organik dapat memproteksi asam amino atau protein dari degradasi rumen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penyedia mineral dan asam amino di pasca rumen (Rahman, 2004). Sumber protein berupa ampas tahu direndam dalam aquades selama 24 jam sehingga gugus karboksil dari protein ampas tahu mengion dan dapat mengikat Zn++ dan Cu++ sehingga kedua mineral tersebut menjadi bentuk organik. Protein ampas tahu telah mengalami pemanasan pada saat proses pembuatan tahu sehingga terdenaturasi. Protein yang telah terdenaturasi memiliki kelarutan yang rendah. Hal ini menyebabkan jumlah mineral yang diikat lebih rendah, tetapi kemungkinan untuk tidak didegradasi dalam rumen lebih besar. Protein ampas tahu memiliki gugus karboksil dan gugus amino yang dapat berikatan dengan mineral (Chaerani, 2004). Ikatan antara protein dalam ampas tahu dengan Zn++ atau Cu++ dapat dilihat pada Gambar 3. COOH3N+
C
Zn ++/Cu++ H
COOH
R
C
H3N+
R
Gambar 3. Ikatan Antara Protein dalam Ampas Tahu dengan Zn++ atau Cu++ Sumber: Chaerani, 2004
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyoningsih (2003) dan Silalahi (2003) adalah membandingkan penggunaan Cu dan Zn organik dengan Cu dan Zn anorganik terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum perah. Berdasarkan percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa efek suplementasi Cu organik cenderung mempengaruhi aktivitas mikroba dalam merombak karbohidrat, protein atau lemak pakan sehingga mampu meningkatkan produksi VFA total dan produksi NH3 dibandingkan Cu anorganik, sedangkan suplementasi Zn organik lebih tinggi efeknya dibandingkan Zn anorganik terhadap kecernaan in vitro.
64
Kunyit Kunyit merupakan tanaman obat dan bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu kurkum dan bahasa Yunani karkom. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang berumur musiman, tumbuh berumpun-rumpun, tingginya 50-150 cm, berbatang semu terdiri dari kumpulan kelopak atau pelepah daun yang berpautan (Darwis et al., 1991). Kunyit dikenal sebagai Curcuma longga Linn, karena nama tersebut sudah dipakai untuk jenis-jenis rempah-rempah lainnya, maka tahun 1918 diganti menjadi Curcuma domestica oleh Valantin. Kunyit termasuk ke dalam kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan biji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup), kelas Monocotyledonae (biji berkeping satu), ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, species Curcuma domestica VALET (Purseglove et al., 1981). Kurkumin merupakan komponen utama dalam pigmen kunyit. Rumus molekulnya adalah C21H20O6 yang ditemukan oleh Silber dan Ciamician pada tahun 1897, yang kemudian disebut sebagai diferuloil metana oleh Molibedzka dan kawankawan pada tahun 1910 (Purseglove et al., 1981). Kunyit memiliki kandungan kimia yang bervariasi antara lain kadar air 6%, protein 8%, karbohidrat 63%, serat kasar 7%, bahan mineral 6,8%, minyak nabati 3%, kurkumin 3% dan bahan non volátil 9% (Natarajan dan Lewis, 1980). Zat antimikroba yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan antara lain memiliki aktivitas antimikroba yang cukup luas, tidak bersifat racun terhadap makhluk lainnya, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa dan aroma makanan, aktivitasnya tidak menurun dengan adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur yang resisten, serta sebaiknya membunuh daripada menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1978). Tanuwiria (2006) menyatakan bahwa suplemen yang terdiri atas campuran Zn-organik, Cu-organik dan tepung kunyit mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk asam dalam susu. Kunyit sebagai antibakteri dan antioksidan lebih efektif jika digabungkan dengan Zn-organik dan Cu-organik dalam stabilitas membran ambing dan sistem imunitas tubuh sapi. Zn organik berperan dalam pertahanan dari luar yaitu mengurangi kemungkinan masuknya bakteri melalui ambing, sedangkan
65
Cu-organik berfungsi dalam pertahanan dari dalam yaitu meningkatkan imunitas tubuh sapi sehingga resisten terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Metabolisme Rumen Bahan makanan yang masuk ke dalam alat pencernaan akan mengalami perubahan fisik dan kimia. Proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis (mulut), pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif di dalam rumen (Sutardi, 1980). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2 dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1989). Produksi Gas Pada ternak ruminansia sebagian energi pakan ada yang terbuang dalam bentuk produksi gas metan (CH4). Gas metan terbentuk dari reaksi antara gas CO2 dan gas H2. Fermentasi dalam rumen yang mengarah ke sintesis propionat akan lebih menguntungkan, karena pada sintesis propionat banyak menggunakan gas hidrogen sehingga produksi gas metan menjadi berkurang. Pada proses sintesis asetat dan butirat banyak dihasilkan gas hidrogen. Gas hidrogen dengan CO2 akan membentuk gas metan yang sesungguhnya tidak bermanfaat bagi ternak induk semang (Ørskov dan Ryle, 1990). Jenis pakan yang berbeda akan menunjukkan jumlah produksi gas yang berbeda pada selang waktu fermentasi yang sama (Menke et al., 1979). Volatile Fatty Acid (VFA) Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap, yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana dan fermentasi gula sederhana menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2 dan CH4 (McDonald et al., 2002). Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa Volatile Fatty Acid (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionate, dan butirat dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 65 % asetat, 20 % propionate, dan 5 % valerat (Gambar 4). Konsentrasi VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi yaitu antara 2001500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi, sedangkan kisaran produk VFA cairan rumen yang mendukung
66
pertumbuhan mikroba yaitu 80 sampai 160 mM (Sutardi, 1980). VFA yang terserap selain dipakai sebagai sumber energi, juga dipakai sebagai bahan pembentuk glikogen di hati, lemak, karbohidrat dan hasil-hasil yang dibutuhkan ternak (Anggorodi, 1994). Pati
Selulosa Selubiosa
Maltosa
Glukosa-1-phosphat
Glukosa
Isomaltosa
Glukosa-6-phosphat Pektin
Asam Uronat
Hemiselulosa
Pentosa
Pentosan
Sukrosa Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-diphosphat Asam Piruvat
Format CO2
H2
Metan
Asetil CoA Malonil CoA
Laktat Oksaloasetat
Asetoasetil Laktil CoA CoA
Asetil phosphat ß-Hidroksibutiril Akrilil CoA CoA Krotonil CoA Propionil CoA Butiril CoA Asetat
Metilmalonil CoA
Malat
Fumarat
Suksinat
Suksinil CoA
Butirat Propionat
Gambar 4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al., 2002
67
VFA kemudian diserap melalui dinding rumen melalui penonjolanpenonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sekitar 75 % dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen masuk ke darah, sekitar 20 % diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5 % diserap di usus halus (McDonald et al., 2002). VFA yang terbentuk dan diserap melalui dinding rumen merupakan sumber energi utama yang merupakan salah satu ciri khas dari ruminansia, dan dapat menyumbang 55-60% dari kebutuhan energi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999; Ranjhan, 1977). Amonia (NH3) Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia (Gambar 5). Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80 %, atau 30-40 % untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu, tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi kadar NH3. Pengukuran NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan penggunaanya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM atau setara dengan 5,6-16,8 mg/100 ml (Sutardi, 1980). Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang
68
akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Pakan Protein
Non-protein N Kelenjar Saliva
Sulit Didegradasi
Mudah Non-protein N Didegradasi Enzim protease Peptida Enzim peptidase
Hati
Deaminasi
Asam Amino
Amonia
NH3
urea
Rumen Protein Mikroba Ginjal Dicerna di Usus Halus
Diekskresikan (urine)
Gambar 5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al., 2002
Produksi Biomassa Mikroba Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerob mempunyai temperatur 38-42oC dan pH dipertahankan pada kisaran 6,8 (Arora, 1989). Mikroba dalam rumen umumnya terdapat pada tiga lokasi yaitu: menempel pada dinding rumen, menempel pada partikel pakan dan bergerak bebas dalam cairan rumen. Mikroba yang terdapat dalam rumen beraneka ragam dan dalam jumlah besar (Preston dan Leng, 1987). Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010-1012 sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen, namun demikian karena ukuran tubuhnya
69
lebih besar daripada bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Faktor yang mempengaruhi populasi mikroba rumen secara umum ditentukan oleh tipe makanan yang dikonsumsi ternak (Arora, 1989). Pola pertumbuhan bakteri dan protozoa dipengaruhi oleh pola fermentasi yang ditunjukkan oleh proporsi molar VFA dan pH rumen (Hungate, 1966). Perkembangan populasi mikroba rumen terutama bakteri rumen akan dibatasi oleh kadar amonia, karena sangat diperlukan oleh bakteri sebagai sumber N untuk membangun selnya dan sifat predasi dari protozoa. Kecukupan ketersediaan amonia sebagai sumber N dan VFA yang merupakan sumber bahan baku utama yang dibutuhkan untuk proses sintesis protein mikroba yang berguna bagi induk semang (Preston dan Leng, 1987). Protein mikroba merupakan sumber protein yang utama bagi ternak ruminansia. Produksi protein mikroba dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan karbohidrat mudah dicerna dalam rumen seperti tetes, pati, glukosa, fruktosa dan sukrosa (Hungate, 1966). Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa
penghalusan
bahan makanan menjadi butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu, pada ruminansia, pakan juga mengalami perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah secara fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat makanan asalnya. Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1980). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, alamnya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan yaitu pakan, ternak dan lingkungan. Perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan dan cara pemberian), jenis, jumlah dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak merupakan faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan. Umur ternak,
70
kemampuan mikroba rumen mencerna pakan, jenis hewan sampai variasi hewan turut menentukan nilai kecernaan. Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan adalah derajat keasaman (pH), suhu dan udara baik itu secara aerob atau anaerob (Anggorodi, 1994). Percobaan in vitro Menurut Hungate (1966), metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. pH retikulo-rumen biasanya berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi dengan rasio pemberian konsentrat. Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga mendekati sistem in vivo (Arora, 1989). Kecernaan pakan pada ruminan dapat diukur secara akurat di laboratorium dengan menggunakan metode two stage in vitro dengan cara menginkubasikan sample selama 48 jam dengan larutan buffer cairan rumen dalam tabung dengan kondisi anaerob. Pada periode kedua, bakteri dimatikan dengan penambahan asam hidroklorit (HCl) pada pH 2, lalu diberi larutan pepsin HCl dan diinkubasi selama 48 jam. Periode kedua ini terjadi di dalam organ pasca rumen (abomasum). Residu bahan yang tidak larut disaring, kemudian dikeringkan dan dipanaskan hingga substrat tersebut dapat dipergunakan untuk mengukur kecernaan bahan organik (McDonald et al., 2002). Metode pengukuran gas (gas test) digunakan untuk mengevaluasi nilai nutrisi pakan dan kecernaan bahan organik serta energi metabolis yang terkandung dalam pakan. Metode ini menggunakan syringe yang mengutamakan produk fermentasi. Metode gas in vitro ini lebih efisien dibandingkan dengan metode in sacco dalam mengevaluasi efek zat anti nutrisi. Metode pengukuran gas tidak memerlukan peralatan yang rumit atau ternak yang terlalu banyak, membantu dalam pemilihan pakan yang berkualitas tidak hanya berdasarkan kecernaan bahan kering, tetapi sintesis mikroba juga. Hasil dari metode ini didapatkan berdasarkan produksi CO2 dan CH4 yang berasal dari proses fermentasi pakan dalam cairan rumen (Menke et al., 1979).
71
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) - Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli sampai November 2007. Materi Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat gas production test, syringe Hohenheim berskala 100 ml, termos berskala 2 liter, kasa, gelas ukur, blender, dispenser kapasitas 50 ml, thermostat, freezer, cawan Conway, tabung sentrifus, hot plate magnetic stirrer, penangas air, tabung gas berisi CO2, pompa vakum, pipet, gegep, buret, labu Erlenmeyer, inkubator, seperangkat alat destilasi, cawan porselin, timbangan digital, sendok, pengaduk, eksikator, oven 105oC, autoclave, sentrifus, water bath, beaker glass, tanur 550-600oC dan crucible glass. Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk ransum komplit adalah rumput lapang, konsentrat dan SKN. SKN mengandung bahan-bahan meliputi molases, onggok, bekatul, ampas kecap, bungkil kelapa, ampas tahu, tepung tulang, kapur, urea, mineral mix, garam dapur (NaCl) dan kunyit. Protein bypass dan agen defaunasi yang terkandung di dalam SKN terdiri dari bahan-bahan yaitu ampas teh dan daun kembang sepatu. Pembuatan mineral organik SKN menggunakan bahan-bahan berupa ampas tahu, ZnCl2, dan CuCl2. Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu cairan rumen kerbau, larutan HCO3 buffer, larutan NaCl 20%, K2CO3, asam Borat (H3BO3) berindikator (merah metal/MR dan hijau bromo kresol/BCG), larutan HCl 0,01037 N, vaselin, larutan H2SO4 15%, larutan NaOH 0,1 N, Indikator phenolphthalein, aquadest, aseton, larutan Neutral Detergent Solution (NDS) dan larutan NaCl fisiologis.
72
Ransum Penelitian Ransum komplit mengandung bahan baku pakan dengan komposisi tertentu. Komposisi ransum komplit disajikan pada Tabel 7. Bahan-bahan tersebut terdiri dari rumput lapang, konsentrat dan SKN yang mengandung bahan-bahan molases, onggok, bekatul, ampas kecap, bungkil kelapa, ampas tahu, ampas teh, daun kembang sepatu, tepung tulang, kapur, urea, mineral mix, garam dapur (NaCl), ZnCl2, CuCl2 dan kunyit. Tabel 7. Komposisi Ransum Komplit Jumlah bahan % (g as fed/100 g campuran)
Jenis bahan
R1
R2
R3
R4
Rumput lapang
70
70
70
70
Konsentrat
30
25
20
15
SKN
-
5
10
15
Total
100
100
100
100
a
b
c
Gambar 6. a) Rumput Lapang, b) Konsentrat dan c) SKN Rancangan Perlakuan Adapun ransum komplit perlakuan yang digunakan adalah: R1 : Rumput lapang 70% + konsentrat 30% R2 : Rumput lapang 70% + konsentrat 25% + SKN 5% R3 : Rumput lapang 70% + konsentrat 20% + SKN 10% R4 : Rumput lapang 70% + konsentrat 15% + SKN 15%
73
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Produksi gas yang diukur dengan teknik Produksi Gas/ Hohenheim Gas Test 2. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) yang diukur dengan menggunakan teknik Destilasi Uap 3. Konsentrasi amonia (NH3) yang diukur dengan menggunakan metode Mikrodifusi Conway 4. Produksi biomassa mikroba 5. Degradabilitas bahan kering dan bahan organik Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang dalam 4 kelompok atau blok. Cairan rumen ternak kerbau fistula digunakan sebagai ulangan atau kelompok yang dikelompokkan berdasarkan waktu pengambilan yang berbeda. Adapun Model matematik rancangan percobaan sebagai berikut : Yij = μ + τi + βj + εij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dalam kelompok ke-j
μ
= Nilai tengah populasi
τi
= Pengaruh dari perlakuan ke-i
βj
= Pengaruh dari kelompok ke-j
εij
= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j Data pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati diuji dengan analisis
ragam (ANOVA). Jika memberikan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji ortogonal kontras. Untuk mengetahui pola dari pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati, data diolah dengan uji ortogonal polinomial (Steel dan Torrie, 1991). Prosedur Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu pembuatan ransum komplit dan pengujian ransum secara in vitro.
74
A. Pembuatan Ransum Komplit Semua bahan-bahan ransum komplit (rumput lapang, konsentrat dan SKN) dicampur sampai homogen. Pencampuran dimulai dari bahan yang memiliki persentase terkecil sampai dengan bahan yang memiliki persentase terbesar. Pembuatan ransum komplit terdiri atas beberapa langkah yaitu : 1. Pembuatan Suplemen Kaya Nutrien Bahan-bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan SKN diantaranya molases, onggok, bekatul, ampas kecap, bungkil kelapa, tepung tulang, kapur, urea, mineral mix, garam dapur (NaCl), ampas teh, daun kembang sepatu, ampas tahu, ZnCl2, CuCl2 dan kunyit. Pembuatan dimulai dengan tahap penghalusan bahan seperti kapur, urea dan garam. Bahan yang sudah halus dicampur, dimulai dari bahan yang mempunyai persentase terkecil (mineral mikro dan makro serta imbuhan pakan) sampai dengan bahan yang mempunyai persentase terbesar. Setelah bahan-bahan tersebut homogen, molases ditambahkan ke dalam campuran dan dicampur aduk hingga tidak ada gumpalan. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Plastik yang digunakan harus kuat dan ditutup rapat supaya udara tidak masuk kedalamnya (Rafis, 2006). 2. Pembuatan Protein bypass dan Agen Defaunasi Teknik perlindungan protein dibuat dengan cara mencampurkan ampas teh kering dan daun kembang sepatu kering dengan perbandingan 1 : 1 (Setiani, 2004). 3. Pembuatan Mineral Organik Bahan yang digunakan dalam pembuatan mineral organik adalah ampas tahu sebagai pengikat Zn dan Cu, karena ampas ini berasal dari pengolahan secara fermentasi sehingga memiliki kelarutan yang cukup tinggi dan mampu mengikat mineral lebih banyak serta dapat memproteksi asam amino atau protein dari degradasi rumen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penyedia mineral dan asam amino di pasca rumen. Proses pembuatan awalnya dengan pengeringan ampas tahu di bawah sinar matahari selama ± 2 hari. Ampas tahu yang telah kering digiling sampai halus. Pencampuran mineral dengan ampas dilakukan di dalam drum plastik yang telah
75
berisi aquades, dengan perbandingan ampas tahu dengan aquades 1 : 6. Untuk pertama–tama sebanyak 0,4 gram CuCl2 dicampurkan dengan 200 g ampas tahu. Setelah itu campuran diaduk hingga homogen dan larut dalam air. Campuran ini kemudian ditutup dan didiamkan di dalam drum tertutup selama 24 jam. Setelah 24 jam, campuran tersebut disaring dan diambil endapannya lalu dikeringkan dengan panas matahari, sedangkan cairannya dibuang. Pembuatan Zn organik sama dengan pembuatan Cu organik, tetapi ZnCl2 yang digunakan sebanyak 11,2 gram dan ampas tahu sebanyak 800 g (Rahman, 2004). Tabel 8 memperlihatkan hasil uji pengikatan ampas tahu dengan Cu dan Zn. Tabel 8. Hasil Uji Pengikatan Ampas Tahu dengan Cu dan Zn Bahan
Zn (mg/kg)
Cu (mg/kg)
51
5
Ampas tahu + ZnCl2
7059
−
Ampas tahu + CuCl2
−
807
7008
802
Ampas tahu
Total yang terikat dalam ampas tahu Sumber : Hasil Analisa Balai Penelitian Tanah, 2008
4. Pembuatan Tepung Kunyit Proses pembuatan awalnya dengan pencucian dan pengirisan. Setelah itu, kunyit dikeringkan, digiling dan diayak sehingga menjadi tepung kunyit (Gambar 7). Kunyit segar Pencucian dan Pengirisan Pengeringan dengan sinar matahari ( ± 2 hari) Pengeringan dengan oven (60o C, 20 jam) Penggilingan Pengayakan Tepung Kunyit Gambar 7. Proses Pembuatan Tepung Kunyit Sumber: Damayanti, 2005
76
Pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan kotoran atau tanah yang menempel pada rimpang kunyit. Pengirisan dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan ketika penjemuran. B. Pengujian Ransum secara in vitro Pengujian ransum secara in vitro meliputi pengukuran terhadap produksi gas, konsentrasi VFA total, konsentrasi NH3, produksi biomassa mikroba, degradabilitas bahan kering dan bahan organik (DBK dan DBO). 1. Pengukuran Produksi Gas Metode pengukuran produksi gas yang digunakan adalah Hohenheim Gas Test (Menke et al., 1979; Menke dan Steingass, 1988). Prosedur ini dimulai dengan penimbangan sampel sebanyak 0,375 gram. Sebelumnya, sampel dikeringkan pada suhu 600C dan dihaluskan dengan saringan berukuran 1 mesh. Setelah ditimbang, sampel dimasukkan ke dalam syringe Hohenheim dengan kapasitas 100 ml. Larutan dan media dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun larutan-larutan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Larutan Mikromineral Larutan mikromineral ini merupakan campuran bahan-bahan kerjanya 13, 2 gram CaCl2.2 H2O, 10 gram MnCl2.4 H2O, 1 gram CoCl2.6 H2O, 8 gram FeCl3.6 H2O, dan aquadest sehingga menjadi 100 ml larutan. b. Larutan Buffer Rumen Larutan buffer rumen ini merupakan campuran bahan-bahan yang terdiri atas 4 gram NH4HCO3, 35 gram NaHCO3, dan aquadest sehingga menjadi 1000 ml larutan. c. Larutan Makromineral Larutan makromineral ini merupakan campuran bahan-bahan berikut 5,7 gram Na2HPO4 anhydrous, 6,2 gram KH2PO4 anhydrous, 0,6 gram MgSO4. 7 H2O, dan aquadest hingga menjadi 1000 ml larutan. d. Larutan Resazurin 0,1 % (b/v) Larutan resazurin ini dibuat dengan melarutkan 0,1 g resazurin dan aquadest hingga menjadi 100 ml larutan.
77
e. Larutan Pereduksi Larutan pereduksi ini merupakan campuran antara bahan-bahan berikut 3,7 ml NaOH 1 N, 580 mg Na2S.9H2O dan 60 ml aquadest. Persiapan media dilakukan dengan mencampurkan 752,26 ml air destilasi, 0,16 ml larutan mikromineral (a), 501,5 ml larutan buffer rumen (b), 250,76 ml larutan makromineral (c) dan 0,68 ml larutan resazurin (d). Media dipersiapkan sehari sebelum pengambilan cairan rumen, dibiarkan di dalam labu Erlenmeyer besar dan ditutup rapat dengan kertas film agar tetap dalam kondisi anaerob (dialiri gas CO2 selama 5 menit). Campuran media dan 453,42 ml cairan rumen (suhu 39°C) tersebut diaduk dengan magnetic stirrer bersamaan dengan dialirinya gas CO2 selama 5 menit, lalu ditambah larutan pereduksi sebanyak 41,22 ml (e). Medium telah mengalami perubahan warna dari biru menjadi merah muda dan akhirnya tidak berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa proses reduksi terjadi secara sempurna. Sebanyak 30 ml cairan rumen dan campuran media diinjeksikan ke dalam setiap syringe Hohenheim yang telah berisi 0,375 gram sampel didalamnya melalui selang silikon dengan dispenser yang telah diatur volumenya. Sebelum dimasukkan ke dalam syringe, piston terlebih dahulu dilumuri dengan vaselin. Hal ini dilakukan agar gas tidak bocor keluar. Gelembung gas yang terdapat di dalam syringe dikeluarkan, lalu selang silikon ditutup dengan klem, posisi piston dibaca dan dicatat pada jam ke nol (0). Proses inkubasi kemudian dilakukan dan produksi gas yang dihasilkan diamati pada selang waktu inkubasi 0, 3, 6, 9, 12, 24 dan 48 jam pada suhu 39oC dalam water bath incubator. Sampel yang diinkubasi masing-masing duplo. Jika posisi piston di atas 60 ml, nilai ini dicatat lalu klem dibuka dan piston dikembalikan pada posisi 30 ml, kemudian jumlah gas sebelumnya dicatat. Pembacaan dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi perubahan suhu. Produksi gas dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : PG (ml/200 mg BK 48 jam) =
(V48 – V0 – Gb0) x 200 B
Keterangan : PG = produksi gas V48 = volume gas (ml) 48 jam V0 = volume gas (ml) awal inkubasi
78
Gb0 = produksi gas rata-rata blanko pada inkubasi 48 jam B
= berat sampel uji dalam mg BK 2. Pengukuran Konsentrasi VFA Total Analisis VFA dilakukan dengan teknik Destilasi Uap (Steam Destilation).
Supernatan yang telah terpisah dari residu yang terdapat dalam tabung sentrifus diambil sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi 1 ml H2SO4 15% sebagai pengawet. Sebanyak 2 ml larutan tersebut diambil dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin. Destilat yang terbentuk ditampung sampai mencapai volume 100 ml di dalam labu Erlenmeyer. Indikator phenolphthalein ditambahkan sebanyak 2 – 3 tetes, kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai warna titrat berubah menjadi merah jambu. Produksi VFA total dapat dihitung dengan rumus : VFA total (mmol/100 ml) = ml titran x N NaOH x (a+b) x 100 c a Keterangan : a
= volume supernatan sample (5 ml) dalam tabung
b
= volume H2SO4 15% (1 ml) dalam tabung
c
= volume larutan sample (a+b) yang dalam tabung destilasi (2 ml)
N = Normalitas NaOH (0,1 N) VFA Total (mM)
=
ml titran x N NaOH x 100 x 10 x Fp ml sample
Keterangan : N
= Normalitas NaOH (0,1 N)
Fp
= Faktor Pengenceran (6/5)
3.
Pengukuran Konsentrasi NH3 Analisis NH3 dilakukan dengan metode Mikrodifusi Conway. Supernatan
yang telah terpisah dari residu yang terdapat dalam tabung sentrifus diambil sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi 5 ml NaCl 20% sebagai pengawet. Sebanyak 1 ml larutan tersebut diambil dan ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway yang bibir dan tutupnya terlebih dahulu diolesi dengan vaselin. Larutan K2CO3 sebanyak 1 ml ditempatkan pada salah satu ujung
79
alur cawan lain yang bersebelahan dengan supernatan (kedua bahan tersebut tidak boleh bercampur sebelum cawan ditutup rapat). Larutan asam borat berindikator merah metil dan hijau bromo kresol sebanyak 1 ml pada pH 5,5 dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway yang bibir dan tutupnya sudah diolesi vaselin ditutup rapat hingga kedap udara, larutan K2CO3 dicampurkan dengan supernatan hingga merata dengan cara menggoyang-goyangkannya dan memiringkannya. Cawan Conway lalu dibiarkan selama 2-3 jam pada suhu kamar. Setelah 2-3 jam, tutup cawan dibuka, asam borat dititrasi dengan HCl 0,01037 N, sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah – merahan. Konsentrasi NH3 diukur dengan rumus : Konsentrasi NH3 (mg%) = ml titran x N HCl x BM NH3 x Keterangan : a
(a+b) 100 x c a
= volume supernatan sample (5 ml) dalam tabung
b
= volume NaCl 20% (5 ml) dalam tabung
c
= volume larutan sample (a+b) di dalam cawan Conway (1 ml)
N
= Normalitas HCl (0,01037 N)
BM = Bobot Molekul NH3 (17,0304) Konsentrasi NH3 (mM) = ml titran x N HCl x BM NH3 x 100 x 10 x Fp ml sample x 14 Keterangan : N
= Normalitas HCl (0,01037 N)
BM = Bobot Molekul NH3 (17,0304) Fp
= Faktor Pengenceran (10/5)
4. Pengukuran Produksi Biomassa Mikroba Sampel residu produksi gas setelah inkubasi selama 48 jam dipindahkan ke dalam tabung sentrifus, kemudian disentrifus dengan kecepatan 12.500 rpm selama 20 menit. Residu kemudian dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 4-5 jam dan yang ditimbang adalah residu kecernaan semu (apparent degraded substrate). Sampel residu produksi gas setelah inkubasi selama 48 jam dimasukkan ke dalam beaker glass lalu ditambahkan larutan Neutral Detergent Solution (NDS). Residu ini selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan dilanjutkan refluks selama 1 jam sampai warna coklat tua. Hasil refluks disaring dengan gelas crucible, kemudian residu yang diperoleh dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 4-5 jam dan yang
80
ditimbang adalah residu kecernaan sebenarnya (truly degraded substrate). Biomassa mikroba yaitu substrat terdegradasi semu (apparent degraded substrate) dikurangi dengan substrat terdegradasi sebenarnya (truly degraded substrate) (Blummel et al., 1997). Biomassa mikroba = B – A Keterangan : A = Substrat terdegradasi sebenarnya (truly degraded substrate) B = Substrat terdegradasi semu (apparent degraded substrate) 5. Pengukuran Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik Setelah fermentasi 48 jam, fermentasi mikroba rumen dihentikan. Syringe Hohenheim diletakkan di atas air dingin atau es untuk menghentikan aktifitas mikroba, lalu secara bergantian isi syringe dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambah larutan Neutral Detergent Solution (NDS). Beaker glass selanjutnya dipanaskan sampai mendidih dan dilanjutkan refluks selama 1 jam sampai warna coklat tua. Hasil refluks disaring dengan gelas crucible dan dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 24 jam. Residu kecernaan sebenarnya ditimbang dan dimasukkan ke oven 105oC untuk mendapatkan residu bahan kering (BK). Selanjutnya residu bahan kering dimasukkan ke tanur 550-600oC untuk mendapatkan abu, dan bahan yang hilang selama di tanur adalah residu bahan organik (BO residu). Hal yang sama juga dilakukan pada blanko. Blanko merupakan residu asal fermentasi tanpa contoh bahan makanan (sampel). Bahan asal adalah media dan cairan rumen yang mendapat perlakuan sama lalu difermentasi untuk diambil residunya (Blummel et al., 1997). Degradabilitas bahan kering (DBK) dan degradabilitas bahan organik (DBO) dihitung dengan rumus : DBK (%) = BK Sampel (g) – BK Residu Akhir (g) – BK Blanko (g) x 100% BK sampel (g) DBO (%) = BO Sampel (g) – BO Residu Akhir (g) – BO Blanko (g) x 100% BO sampel (g) Keterangan : BK = Bahan kering BO = Bahan organik
81
HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Komplit Analisa proksimat bahan makanan yang digunakan dalam penyusunan ransum komplit disajikan dalam Tabel 9, sedangkan komposisi nutrisi ransum komplit dapat dilihat pada Tabel 10. Semua bahan pakan yang digunakan di dalam ransum komplit ini, merupakan limbah industri agro yang belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga penggunaannya dapat menjadi pakan alternatif yang menguntungkan. Penanganan akan lebih mudah karena umumnya limbah tersebut terpusat pada suatu daerah dengan jumlah yang banyak sehingga memudahkan peternak untuk mendapatkan pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak. Ransum komplit yang dibuat dalam penelitian ini diharapkan dapat mengatasi rendahnya produksi hijauan pada musim kemarau. Ransum komplit ini berbahan baku rumput lapang dengan kandungan serat kasar yang tinggi (33,47% BK) dan protein kasar yang relatif rendah (7,90% BK). Kandungan protein kasar rumput lapang yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Lubis (1992) yaitu sebesar 10,12% BK. Hal ini diduga karena umur pemotongan atau panen yang berbeda. Kandungan zat-zat makanan yang terdapat dalam rumput akan menurun dengan meningkatnya umur tanaman tersebut. Rumput tua memiliki kandungan zat makanan yang lebih rendah dibandingkan rumput muda sehingga daya cerna dan kandungan proteinnya rendah (Morrison, 1961). Hal tersebut yang menyebabkan kualitasnya menjadi rendah. Rumput lapang yang digunakan sebaiknya pada kondisi umur muda. Peningkatan kualitas nutrisi rumput lapang sebaiknya dilakukan baik melalui perlakuan fisik, kimiawi ataupun melalui perlakuan suplementasi dengan bahan makanan lainnya yang diduga mampu meningkatkan daya guna rumput lapang sebagai pakan ternak (Wiradarya, 1989), sehingga ransum komplit perlu ditambahkan dengan pakan penguat seperti konsentrat dan SKN. Pemberian konsentrat komersial saja kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak, karena kandungan proteinnya juga relatif lebih rendah (8,54% BK) jika dibandingkan dengan kandungan protein konsentrat peternak di KUNAK sebesar 11,75% BK (Fharhandani, 2006). Hal tersebut yang menyebabkan kandungan protein ransum
82
komplit perlakuan setelah ditambah SKN juga menjadi lebih rendah (8,09-11,02% BK) jika dibandingkan dengan kandungan protein ransum peternak di KUNAK setelah ditambah SPM (10,42-13,91% BK) dan UMMB (10,29-13,80% BK) (Rafis, 2006). Tabel 9. Komposisi Kimia Bahan-bahan Ransum Komplit Komposisi Kimia Kandungan Kimia Bahan
Rumput Lapang
Konsentrat
SKN
Kadar Air (%)
7,99
8,78
13,25
Bahan Kering (%)
92,01
91,22
86,75
Abu (% BK)
7,80
17,47
14,77
Lemak Kasar (% BK)
6,38
8,44
11,23
Protein Kasar (% BK)
7,90
8,54
28,09
Serat Kasar (% BK)
33,47
14,17
15,78
BETN (% BK)
44,45
51,38
30,13
TDN (% BK)*)
57,31
75,37
74,15
Ca (% BK)
0,26
0,31
0,20
P (% BK)
0,11
0,12
0,02
Keterangan : *) TDN dihitung dengan rumus TDN = 25,6 + 0,53 PK + 1,7 LK – 0,474 SK + 0,732 BETN (Sutardi, 2003 dalam Noviana, 2004) BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen TDN = Total Digestible Nutrient PK = Protein Kasar SK = Serat Kasar LK = Lemak Kasar Sumber : Hasil Analisa Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2007
SKN dibuat untuk mensubstitusi dan mengkoreksi zat-zat makanan konsentrat komersial yang ketersediaannya kurang di dalam ransum sehingga diharapkan mampu meningkatkan keuntungan bagi peternak melalui peningkatan produktivitas ternak. Hal ini dikarenakan SKN merupakan sumber protein, energi dan mineral yang memiliki keserasian dan keseimbangan gizi baik jumlah protein (28,09% BK) dan energi TDN (74,15% BK) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Penggunaan SKN dalam ransum komplit perlakuan ternyata dapat meningkatkan kandungan protein ransum. Hal ini disebabkan adanya protein kasar yang terkandung dalam SKN (28,09%) lebih tinggi dibandingkan dengan protein kasar yang terkandung dalam konsentrat (8,54%). Sumber-sumber protein yang digunakan dalam SKN meliputi ampas kecap, bungkil kelapa, ampas tahu, urea,
83
ampas teh dan daun kembang sepatu. Selain itu, SKN ini mengandung protein bypass, agen defaunasi, mineral organik dan kunyit yang diharapkan berperan dalam meningkatkan fermentabilitas dan degradabilitas in vitro ransum komplit. Menurut Chaerani
(2004),
penggunaan
ransum suplemen
sebanyak
1
kg/ekor/hari
menghasilkan kandungan protein kasar ransum peternak (12,2% BK) dan TDN (63,5% BK) lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein kasar ransum kontrol (33% hijauan : 67% konsentrat) sebesar 11,8% BK dan TDN sebesar 62% BK. Tabel 10. Komposisi Nutrisi Ransum Komplit Perlakuan Komposisi Kimia
Kandungan Kimia Bahan R1
R2
R3
R4
Rekomendasi NRC*)
Kadar Air (%)
8,23
8,45
8,67
8,90
-
Bahan Kering (%)
91,77 91,55 91,33
91,10
-
Abu (% BK)
10,70 10,57 10,43
10,30
-
Lemak Kasar (% BK)
7,00
7,14
7,28
7,42
3
Protein Kasar (% BK)
8,09
9,07
10,05
11,02
12-15
Serat Kasar (% BK)
27,68 27,76 27,84
27,92
17
BETN (% BK)
46,53 45,47 44,40
43,34
-
TDN (% BK)**)
62,72 62,66 62,60
62,54
67
Ca (% BK)
0,28
0,27
0,26
0,26
0,53
P (% BK)
0,11
0,11
0,10
0,10
0,34
Keterangan : *) Standar untuk sapi perah dengan bobot badan ± 450 kg dengan produksi susu ± 15 kg/ekor/hari (NRC, 2001) **) TDN dihitung dengan rumus TDN = 25,6 + 0,53 PK + 1,7 LK – 0,474 SK + 0,732 BETN (Sutardi, 2003 dalam Noviana, 2004) BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen TDN = Total Digestible Nutrient PK = Protein Kasar SK = Serat Kasar LK = Lemak Kasar R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN Sumber : Hasil Analisa Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2007
Ransum komplit kontrol pada penelitian ini mengandung rumput lapang (70%) dan konsentrat (30%). Kombinasi kedua bahan pakan tersebut memiliki kandungan zat makanan dengan protein kasar sebesar 8,09% BK, serat kasar sebesar 27,68% BK dan TDN 62,72% BK. Komposisi nutrisi yang dihasilkan oleh ransum kontrol tersebut ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi sapi
84
perah yaitu PK sebesar 12-15% BK dan TDN sebesar 67% BK (NRC, 2001). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Kandungan zat makanan ransum perlakuan ini juga lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan zat makanan ransum yang diberikan oleh peternak di KUNAK (PK = 9,77% BK, SK = 41,31% BK dan TDN = 69,98% BK) dengan rasio 60% rumput : 20% konsentrat : 20% ampas tahu (Rafis, 2006). Upaya untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan memperbaiki kembali rasio antara hijauan, konsentrat dan SKN. Peningkatan level SKN diharapkan dapat memperbaiki komposisi nutrisi ransum komplit sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi sapi perah. Ransum komplit ini dapat direkomendasikan untuk diberikan ke beberapa ternak ruminansia lain karena komposisi nutrisi ransum komplit perlakuan ini sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak dengan kondisi fisiologis tertentu, yaitu kambing (hidup pokok dan induk bunting), domba (hidup pokok, induk bunting, pertengahan laktasi dan akhir laktasi), sapi pedaging (dara, induk muda bunting, laktasi awal dan pejantan muda dan dewasa), kerbau perah (hidup pokok, dara, induk bunting dan laktasi) dan sapi perah (pejantan) (NRC, 1981; NRC, 1984; NRC, 2001; NRC, 2007; Parakkasi, 1999). Kebutuhan nutrisi untuk beberapa ternak ruminansia tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Produksi Gas Total Metode produksi gas in vitro dapat digunakan untuk mengukur dan memprediksi nilai kecernaan bahan pakan, pengaruh bahan pakan terhadap fermentasi di dalam rumen dan pengaruh bahan pakan terhadap pertumbuhan mikroba rumen (Kurniawati, 2007). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak terbang (VFA) terutama asam asetat, propionat dan butirat serta gas metan (CH4) dan CO2 (McDonald et al., 2002). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan SKN ke dalam ransum komplit berpengaruh nyata (p<0,05) meningkatkan rata-rata produksi gas pada inkubasi 48 jam. Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras, rataan produksi gas total perlakuan R3 dan R4 (28,54 dan 28,77 ml/200 mg BK) lebih tinggi dan berbeda (p<0,05) dibandingkan rataan produksi gas total R1 dan R2 (27,62 dan 28,04 ml/200 mg BK). Walaupun demikian, produksi gas total R1 tidak berbeda dengan produksi
85
gas total dari perlakuan R2, demikian pula antara produksi gas total ransum R3 dengan produksi gas total ransum R4 (Tabel 11). Perlakuan R3 dan R4 memiliki kandungan bahan organik (energi dan protein) yang lebih tinggi dibandingkan R1 dan R2 sehingga berpotensi dalam memproduksi gas yang lebih tinggi, dan dapat diduga ransum tersebut berpotensi juga sebagai ransum yang mudah didegradasi. Produksi gas untuk setiap ransum komplit perlakuan semakin meningkat seiring dengan penambahan SKN. Ransum komplit dengan penambahan SKN tertinggi (R4 = Rumput Lapang 70% + Konsentrat 15% + SKN 15%) menghasilkan produksi gas yang tertinggi yaitu sebesar 28,77 ± 1,63 ml/200 mg BK sampel. Hal ini disebabkan oleh kandungan zat nutrisi ransum komplit R4 memiliki ketersediaan dan keseimbangan jumlah protein (11,02% BK) dan energi (TDN = 62,54% BK) sehingga dapat secara langsung merangsang peningkatan populasi mikroba yang akan mendegradasi dan memfermentasi zat nutrisi ransum komplit baik untuk kebutuhan ternak maupun sintesis tubuh mikroba sendiri serta memproduksi gas yang semakin meningkat. Menurut Firsoni (2005), gas merupakan gambaran banyaknya bahan organik yang dapat dicerna di dalam rumen. Produksi gas total yang dihasilkan berasal dari pakan yang difermentasi dan gas ini menjadi terakumulasi di dalam syringe diduga akibat tidak adanya penyerapan dalam sistem in vitro. Rataan produksi gas untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) Ransum Komplit Perlakuan Perlakuan
Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
24,66
29,34
27,57
28,91
27,62 ± 2,11a
R2
25,72
29,87
27,61
28,95
28,04 ± 1,80a
R3
26,65
30,55
27,96
29,02
28,54 ± 1,65b
R4
26,91
30,74
28,15
29,29
28,77 ± 1,63b
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Hasil uji ortogonal polinomial menjelaskan bahwa hubungan taraf penggunaan SKN dalam ransum dengan produksi gas total mengikuti persamaan
86
linier Y = 0,0792x + 27,6490, nilai R2 = 0,9805, dengan Y adalah produksi gas total dan X adalah persentase penambahan SKN. Hal ini berarti bahwa setiap penambahan level SKN ke dalam ransum komplit sebesar 1% akan meningkatkan produksi gas total sebesar 0,0792 ml/200 mg BK. Analisis korelasi menunjukkan bahwa peningkatan level SKN dan produksi gas total mempunyai hubungan yang sangat erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi dan berbanding lurus. Produksi gas ransum komplit semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Pada waktu inkubasi 3 jam mulai terlihat pengaruh penambahan SKN terhadap peningkatan produksi gas yang dihasilkan. Hal ini terlihat pada Tabel 12, bahwa pada masing-masing lama waktu inkubasi 3 dan 6 jam terjadi peningkatan produksi gas secara signifikan (p<0,05). Waktu ini merupakan waktu optimal dalam menghasilkan produksi gas yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh waktu setelah pemberian pakan sehingga masih terdapat banyak zat makanan yang dapat didegradasi oleh mikroba rumen dan dapat diubah menjadi gas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh Firsoni (2005), yaitu penambahan UMB kelor dan glirisidia terhadap peningkatan produksi gas berpengaruh nyata (p<0,05) pada masing-masing lama waktu inkubasi 2, 4, 8 dan 12 jam. Tabel 12. Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) pada Waktu Inkubasi yang Berbeda (jam) Perlakuan
Lama Inkubasi (jam) 3
6
9
12
24
48
R1
3,55±0,78a
6,54±0,93a
9,82±1,67
12,44±1,72
20,18±2,15a
27,62±2,11a
R2
3,82±0,87a
6,84±1,05b
10,11±1,48
12,80±1,59
20,42±2,03a
28,04±1,80a
R3
3,91±0,77b
6,76±1,07a
9,89±1,54
12,60±1,52
20,57±2,24b
28,54±1,65b
R4
4,06±0,55b 7,22±0,88c 10,11±1,22 12,80±1,17 21,02±1,81b 28,77±1,63b Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Peningkatan produksi gas ransum komplit perlakuan yang dihasilkan untuk setiap waktu inkubasi cenderung stabil. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Produksi gas setelah inkubasi 3 dan 6 jam meningkat, tetapi tidak sebesar
87
peningkatan produksi gas inkubasi 3 dan 6 jam. Pola produksi gas secara kumulatif meningkat hingga mencapai waktu inkubasi 48 jam. Produksi gas untuk waktu 24 jam terlihat tetap meningkat dan waktu inkubasi 48 jam mengalami sedikit penurunan (Gambar 8). Kondisi ini pun diduga bahwa pada waktu inkubasi 24 jam tersebut masih terdapat sumber karbohidrat mudah tercerna (Readily Available Carbohydrate) dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi gas yaitu molasses, pati dan urea (sumber NPN) yang terkandung di dalam SKN. Hal ini sesuai dengan pendapat Kurniawati (2007), yaitu peningkatan jumlah karbohidrat mudah terdegradasi sangat mempengaruhi (p<0,01) produksi gas selama 24 jam. Menurut Winugroho et al. (1997), puncak produksi gas diperoleh pada 24 jam pertama, selanjutnya mengalami penurunan hingga saat 96 jam dan akhirnya mencapai titik nol. Hal semacam ini akan terjadi untuk semua jenis pakan oleh karena semakin lama suatu jenis pakan dalam rumen semakin berkurang sumber protein dari pakan yang dapat diubah menjadi NH3 untuk dimanfaatkan oleh mikroorganisme.
Produksi Gas Total (ml/200 mg BK)
40
30 R1 R2
20
R3 R4
10
0 0
3
6
9
12
15 18 21 24 27 30 33 36
39 42 45 48
Lama Inkubasi (jam)
Gambar 8. Laju Produksi Gas in vitro (ml/200 mg BK) pada Waktu Inkubasi 0-48 jam
88
Menurut Dewi (2007), kemungkinan bakteri selulolitiklah yang mampu bertahan hidup setelah 24 jam inkubasi, karena fase pertumbuhan bakteri ini lebih lambat dibandingkan dengan bakteri amilolitik dan proteolitik. Pakan sumber energi yang tersisa pada waktu inkubasi 24 jam dan 48 jam masih dapat didegradasi oleh bakteri selulolitik sehingga produksi gas tetap berlanjut walaupun laju produksi gasnya mengalami penurunan. Ransum komplit mengandung 70% rumput lapang dan beberapa pakan sumber energi lain yang mudah tercerna (molases, bekatul dan onggok). Semakin meningkatnya penambahan SKN ke dalam ransum komplit menunjukkan bahwa semakin meningkatnya pula pakan sumber energi mudah tercerna di dalam ransum komplit perlakuan sehingga juga dapat meningkatkan kandungan energi dan protein ransum komplit. Hal ini terlihat bahwa ransum perlakuan R4 menghasilkan produksi gas tertinggi. Tingginya produksi gas yang dihasilkan oleh ransum komplit perlakuan dapat menunjukkan adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan (rumen). Menurut Suharyono et al. (1982), pemanfaatan pati/gula/selulosa/urea dalam ransum menyebabkan produksi protein mikroba sangat efisien. Banyaknya mikroba rumen yang terbentuk pun dapat meningkatkan aktivitasnya dalam mendegradasi pakan dan menghasilkan produksi gas yang tetap tinggi. Penambahan kunyit ke dalam ransum komplit sangat berperan dalam peningkatan kualitas susu sapi. Kunyit berperan sebagai bakteriostatik yang dapat membuat bakteri menjadi inaktif. Pemberian suplemen mineral organik dan kunyit mampu memperbaiki mastitis pada sapi perah (Tanuwiria, 2006). Kunyit juga diduga sebagai bahan dapat menurunkan laju degradasi bahan dan memproteksi bahan organik dari degradasi. Hal ini dapat bernilai positif jika bahan organik dicerna di organ pasca rumen (Hasanah, 2007). Konsentrasi VFA Total Proses degradasi karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana dan pemecahan gula sederhana menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2 dan CH4 (McDonald et al., 2002). VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen (Hungate, 1966).
89
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa taraf pemberian SKN ke dalam ransum perlakuan mempengaruhi konsentrasi VFA total (p<0,05). Selanjutnya hasil uji ortogonal kontras memperlihatkan terjadinya perbedaan yang nyata antara perlakuan R1 dan R3 dengan perlakuan R2 dan R4 (p<0,05) dalam VFA (Tabel 13). Meskipun demikian, VFA dari ransum R1 tidak berbeda dengan VFA dari ransum R3, demikian pula antara VFA ransum R2 dengan VFA ransum R4. Walaupun demikian, R4 tetap menghasilkan VFA total lebih tinggi dibandingkan dengan R2, karena R4 mengandung banyak sumber karbohidrat dan protein mudah terdegradasi. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi VFA yang dihasilkan R4 (77,35 mM) lebih tinggi dibandingkan R2 (72,55 mM). Tabel 13. Konsentrasi VFA Total in vitro (mM) Ransum Komplit Perlakuan Perlakuan
Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
54,26
68,71
69,99
66,97
64,98 ± 7,25a
R2
71,40
71,83
79,99
66,97
72,55 ± 5,43b
R3
68,54
73,39
68,33
76,54
71,70 ± 3,98a
R4
68,54
84,32
79,99
76,54
77,35 ± 6,68b
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Konsentrasi VFA total yang dihasilkan lebih tinggi (72,55 mM) untuk ransum komplit perlakuan R2 dibandingkan dengan VFA total (64,98 mM) yang dihasilkan oleh ransum kontrol R1. Hal ini berarti penambahan SKN mampu meningkatkan konsentrasi VFA total. Walaupun dalam setiap ransum komplit memiliki komposisi rumput lapang yang sama (70%), sumber karbohidrat (energi) yang berasal dari karbohidrat mudah tercerna akan semakin meningkat untuk setiap penambahan level SKN. Kondisi ini disebabkan oleh sumber karbohidrat mudah tercerna yang terdapat dalam SKN juga menyumbang kadar energi untuk ransum komplit sehingga semakin tinggi level penambahan SKN akan meningkatkan kandungan energi di dalam ransum komplit perlakuan. Bahan organik yang mudah terfermentasi (Readily Available Carbohydrate) yang terkandung dalam SKN seperti molases dan pati. Pakan yang mengandung gula dan pati yang mudah terfermentasi (molases dan
90
onggok) akan memenuhi kebutuhan mikroba secara cepat setelah pemberian pakan (Dixon, 1986). Rataan konsentrasi VFA total untuk ransum perlakuan R3 (71,70 mM) menurun sebesar 0,85 mM dari rataan konsentrasi VFA total ransum perlakuan R2 (72,55 mM). Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya (Sakinah, 2005). Hal ini pun dapat dilihat pada Tabel 13. Perlakuan R3 dapat menurunkan konsentrasi VFA total (71,70 mM) dan meningkatkan degradabilitas bahan kering sebesar 49,45% (Tabel 16) serta bahan organik sebesar 46,88% (Tabel 17), dikarenakan VFA tersebut telah digunakan untuk pembentukan tubuh mikroba. Menurut Sutardi (1980), konsentrasi VFA total dalam rumen berkurang karena digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dan diserap oleh dinding rumen. Akan tetapi, penelitian ini dilakukan secara in vitro sehingga VFA tidak mungkin untuk diserap oleh dinding rumen. Aktivitas mikroba yang bervariasi dalam mencerna diduga juga dapat mempengaruhi VFA yang terbentuk. Selain itu, nilai VFA total yang lebih rendah pada R3 ini dapat disebabkan adanya pencampuran pakan dalam ransum yang kurang homogen. Konsentrasi VFA tertinggi dihasilkan oleh ransum komplit perlakuan R4 dengan penambahan level SKN tertinggi (15%), yaitu sebesar 77,35 mM. Hal ini berarti bahwa kombinasi rumput lapang 70%, konsentrat 15% dan SKN 15% merupakan kombinasi optimal dalam memproduksi VFA tinggi. Tingginya VFA yang dihasilkan menggambarkan tingginya pula fermentabilitas pakan yang terjadi di dalam rumen. Peningkatan (akumulasi) produksi VFA total disebabkan tidak adanya pengeluaran VFA melalui penyerapan dalam sistem in vitro dan VFA hanya dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Silalahi, 2003). Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan peningkatan sumber protein dan karbohidrat yang mudah tercerna (bahan organik) di dalam ransum komplit perlakuan R4 yang dapat difermentasi oleh mikroba rumen. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh Blummel et al. (1993), yaitu peningkatan karbohidrat mudah terdegradasi meningkatkan bahan kering tercerna. Bahan kering tercerna akan diubah oleh mikroba rumen menjadi VFA dan protein mikroba dengan meningkatnya pertumbuhan. Penambahan sumber
91
protein tidak dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen tanpa diimbangi penambahan sumber karbohidrat mudah terdegradasi. Rataan konsentrasi VFA total yang dihasilkan oleh bakteri rumen pada ransum komplit yang ditambahkan dengan SKN berkisar antara 64,98-77,35 mM. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Konsentrasi tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kisaran optimum untuk berlangsungnya sintesis protein mikroba yaitu sebesar 80-160 mM (Sutardi, 1980). Kondisi ini diduga karena karbohidrat mudah terfermentasi (molases dan pati) yang terkandung di dalam SKN rendah walaupun kandungan serat kasar ransum komplit cukup tinggi (27,92% BK). Serat kasar yang cukup tinggi tersebut kemungkinan banyak mengandung dinding sel dan lignin sehingga bagian isi sel sedikit sekali yang difermentasi oleh mikroba rumen dan konsentrasi VFA total menjadi rendah (Selly, 1994). Lamanya waktu inkubasi 48 jam juga dapat mempengaruhi konsentrasi VFA yang dihasilkan. Menurut Danirih (2004), suplementasi Feed Block Supplement (FBS) ke dalam ransum dapat memproduksi VFA total optimum sebesar 126,25-144,77 mM pada waktu inkubasi 2-4 jam. Proses metabolisme karbohidrat akan menghasilkan konsentrasi VFA yang cukup tinggi pada awal inkubasi, namun pada saat pengambilan sampel konsentrasi VFA sudah berkurang karena telah digunakan oleh mikroba rumen untuk membentuk protein mikroba (Rahmawati, 2001). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan produksi biomassa mikroba (Tabel 15). Selain itu, menurut Setiani (2002) dan Putri (2006), konsentrasi VFA rendah adalah banyaknya energi (VFA sebagai kerangka karbon) yang terpakai pada setiap mol amonia yang digunakan untuk sintesis protein mikroba dalam kondisi in vitro. Hasil uji ortogonal polinomial memperlihatkan bahwa korelasi positif antara produksi VFA total (mM) dan level SKN (%), nilai R2 = 0,8452 serta persamaan linier Y = 0,7250x + 66,2070, dengan Y adalah konsentrasi VFA total dan X adalah persentase penambahan SKN. Analisis korelasi menunjukkan bahwa peningkatan level SKN dan konsentrasi VFA total mempunyai hubungan yang erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi dan berbanding lurus. Semakin meningkatnya penambahan SKN ke dalam ransum komplit berarti mineral organik yang dikandung juga semakin banyak. Suplementasi mineral Zn organik dapat membantu meningkatkan fermentabilitas pakan. Semakin banyak
92
jumlah sel bakteri selulolitik dalam cairan rumen maka konsentrasi VFA total semakin tinggi (Silalahi, 2003). Penambahan ampas teh dan daun kembang sepatu ke dalam SKN juga dapat meningkatkan produksi VFA total. Hal ini didukung oleh pernyataan Setiani (2002), fermentasi karbohidrat dari kombinasi 50% ampas teh dan 50% kembang sepatu merupakan kombinasi optimal untuk menghasilkan produksi VFA tinggi. Hal ini diduga karena terjadinya degradasi sempurna fraksi-fraksi yang mudah difermentasi dari daun kembang sepatu dan ampas teh. Penambahan agen defaunasi, mineral organik dan protein bypass (ampas teh) sebenarnya bernilai positif jika digunakan untuk pencernaan di organ pasca rumen (usus halus) pada ternak ruminansia. Konsentrasi Amonia (NH3) Amonia digunakan oleh mikroba rumen terutama bakteri untuk mensintesis protein selnya. Amonia dihasilkan oleh protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Enzim proteolitik dihasilkan oleh bakteri menjadi peptida dan asam-asam amino. Selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi dan menghasilkan amonia. Amonia merupakan sumber nitrogen yang utama dan penting untuk sintesis protein mikroba. Sekitar 82% spesies mikroba mampu menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen (Sutardi, 1980). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian SKN ke dalam ransum perlakuan sangat berpengaruh (p<0,01) meningkatkan konsentrasi NH3. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Komposisi dan kualitas ransum (sumber nitrogen dan level N dalam ransum) diduga menjadi penyebab konsentrasi NH3 berbeda diantara perlakuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh Putri (2006), yaitu penggunaan SPM dan UMMB sebagai suplemen ransum peternak KUNAK secara in vitro mempengaruhi konsentrasi NH3 yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras, perlakuan R1 dan R2 berbeda (p<0,01) dalam konsentrasi NH3 (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa ransum komplit R2 lebih tinggi dalam menghasilkan NH3 daripada ransum komplit kontrol R1, karena R2 mengandung sumber protein mudah terdegradasi lebih banyak dibandingkan R1. Kondisi tersebut juga berarti bahwa bakteri rumen mendapatkan cukup sumber protein yang berbeda kualitasnya untuk didegradasi sehingga
93
menghasilkan konsentrasi NH3 yang sangat berbeda nilainya. Hasil penelitian Wohlt et al. (1976) menjelaskan bahwa pengukuran NH3 in vitro dapat digunakan untuk menduga degradasi protein dan penggunaannya oleh mikroba. Konsentrasi NH3 perlakuan R3 dan R4 berbeda (p<0,01) dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2; perbedaan konsentrasi amonia juga terjadi antara R3 dan R4 (p<0,05). Hal ini berarti kuantitas N/protein ransum perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi dalam memproduksi NH3 dibandingkan R1 dan R2. Walaupun demikian, perlakuan R4 tetap menghasilkan NH3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R3. Kondisi ini terjadi karena ransum komplit perlakuan R4 banyak mengandung sumber protein SKN yang mudah didegradasi (urea, ampas tahu dan ampas kecap). Setiap penambahan SKN ke dalam ransum komplit sampai level tertinggi maka kadar protein kasarnya pun semakin meningkat (8,09-11,02% BK), sehingga konsentrasi NH3 yang dihasilkan juga semakin meningkat. Ransum komplit perlakuan R4 mampu meningkatkan pasokan amonia dan kemudian dapat merangsang mikroba rumen untuk memanfaatkannya. Tabel 14. Konsentrasi NH3 in vitro (mM) Ransum Komplit Perlakuan Perlakuan
Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
20,00
20,77
20,77
20,46
20,50 ± 0,36A
R2
21,29
22,31
21,80
20,74
21,53 ± 0,67B
R3
21,54
23,59
22,31
23,02
22,62 ± 0,89Ca
R4
22,82
24,49
23,34
23,30
23,49 ± 0,71Cb
Keterangan : Nilai dengan superskrip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) dan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Peningkatan konsentrasi amonia akibat adanya peningkatan level SKN dalam ransum komplit (Tabel 14) dikarenakan adanya kandungan urea yang semakin tinggi. Mikroba rumen cenderung merombak protein untuk menjamin ketersediaan NH3 dan menghasilkan NH3, CO2 dan VFA. Urea akan cepat dirombak oleh enzim urease di dalam rumen. Urease merupakan salah satu enzim mikroba dalam rumen yang memecah urea saliva atau urea makanan menjadi amonia dan CO2 (Arora, 1989).
94
Kadar amonia 5 mg N/100 ml atau 3,57 mM telah cukup untuk memenuhi kebutuhan mikroba rumen (Satter and Slyter, 1974). Konsentrasi NH3 cairan rumen yang menunjang pertumbuhan mikroorganisme rumen adalah 4-12 mM dan konsentrasi NH3 optimum adalah 8 mM (Sutardi, 1980). Rataan konsentrasi NH3 menunjukkan amonia hasil degradasi oleh bakteri rumen dari setiap ransum perlakuan berkisar antara 20,50-23,49 mM. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Menurut Danirih (2004), suplementasi Feed Block Supplement (FBS) ke dalam ransum dapat menghasilkan konsentrasi amonia optimum sebesar 10,26-10,45 mM pada waktu inkubasi 2-3 jam. Kadar NH3 yang dihasilkan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan kisaran normal NH3 cairan rumen, tetapi masih berada dalam kisaran normal konsentrasi amonia yang tidak menyebabkan keracunan. Hal ini terjadi karena pengukuran konsentrasi NH3 yang dilakukan pada waktu inkubasi 48 jam. Amonia yang dihasilkan pada waktu inkubasi tersebut, berasal dari pengaruh NH3 yang dihasilkan dari larutan buffer dan produksi NH3 dari pakan protein yang tidak diserap dalam sistem in vitro sehingga terjadi akumulasi NH3 cairan rumen di dalam syringe yang menyebabkan tingginya kandungan NH3 yang diukur (Firsoni, 2005). Konsentrasi NH3 yang tinggi diduga karena proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu, akumulasi NH3 yang tinggi juga dapat terjadi akibat beberapa mikroba mengalami lisis atau perombakan protein bakteri yang satu oleh yang lain (Dewi, 2007). Ransum komplit yang dibuat dalam penelitian ini mengandung Suplemen Kaya Nutrien (SKN) yang merupakan sumber zat-zat makanan (energi, protein dan mineral) yang sebagian besar mudah terdegradasi. Sumber protein yang terdapat dalam SKN meliputi ampas kecap, bungkil kelapa, ampas tahu, urea, ampas teh dan daun kembang sepatu. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa kandungan protein kasar untuk SKN tinggi (28,09% BK). Selain itu, ampas tahu merupakan salah satu sumber protein yang tidak tahan terhadap degradasi yang terjadi di dalam rumen selain urea, daun kacang dan daun singkong (Sigit, 1983). Ampas tahu memiliki laju degradasi sebesar 9,79%/jam dan rataan kecepatan produksi N amonia nettonya sebesar 0,677 mM/jam sedangkan ampas kecap memiliki laju degradasi sebesar
95
3,58%/jam (Sutardi et al., 1983), sehingga konsentrasi amonia yang dihasilkan dalam penelitian ini tinggi. Berdasarkan hasil uji ortogonal polinomial, hubungan taraf penggunaan SKN dalam ransum dengan konsentrasi NH3 mengikuti persamaan linier Y = 0,2008x + 20,5290, nilai R2 = 0,9981,
dengan Y adalah konsentrasi NH3 dan X adalah
persentase penambahan SKN. Setiap penambahan 1% SKN akan meningkatkan konsentrasi NH3 sebesar 0,2008 mM. Hal ini berati bahwa semakin meningkatnya kadar N ataupun protein kasar dalam ransum komplit perlakuan maka semakin meningkatkan pula konsentrasi NH3. Analisis korelasi menunjukkan bahwa peningkatan level SKN dan konsentrasi NH3 mempunyai hubungan yang sangat erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi dan berbanding lurus. Ransum yang disuplementasi mineral Zn berpengaruh terhadap konsentrasi amonia yang dihasilkan. Mineral Zn yang disuplementasi ke dalam ransum merupakan kofaktor berbagai sistem enzim yang berperan dalam proses metabolisme protein, termasuk sintesa NH3 dalam cairan rumen. Konsentrasi amonia pada ransum yang disuplementasi mineral Zn organik lebih tinggi daripada ransum yang disuplementasi mineral Zn anorganik (Silalahi, 2003), sedangkan mineral Cu diperlukan oleh mikroba rumen untuk kelangsungan hidupnya (Setyoningsih, 2003). Hal ini sesuai dengan penelitian ini bahwa dengan adanya penambahan mineral organik (Zn dan Cu yang diikat oleh protein ampas tahu) ke dalam SKN diduga dapat meningkatkan konsentrasi amonia ransum komplit perlakuan. Hal ini didukung oleh pernyataan Sunarso (1984), yaitu ampas tahu dan ampas kecap memiliki indeks degradasi yang tinggi sehingga cukup berpotensi dalam menyediakan amonia untuk mikroba rumen. Penambahan ampas teh dan daun kembang sepatu ke dalam ransum komplit perlakuan diduga dapat meningkatkan konsentrasi amonia. Hal ini diakibatkan oleh penggunaan ampas teh dalam ransum komplit yang relatif rendah sehingga kadar tanin pun jumlahnya sedikit dan tidak bersifat racun. Akan tetapi, kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2002), yaitu pemakaian ampas teh yang semakin tinggi dapat menghasilkan amonia yang rendah. Hal ini dikarenakan komposisi ampas teh dalam ransum penelitiannya sebesar 50% sehingga kadar tanin pun jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah tanin ampas teh yang terdapat
96
dalam SKN. Berdasarkan penelitannya, perlakuan 100% ampas teh menghasilkan amonia yang terendah (15,4 mM). Kandungan tanin dalam ransum perlakuan lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan sumber protein yang mudah terdegradasi dalam ransum sehingga kurang mampu berfungsi sebagai protein bypass. Kandungan tanin dalam pakan sampai level 4% memiliki efek yang menguntungkan pada pencernaan pasca rumen ternak ruminansia (Barry, 1986). Penambahan ampas teh lebih baik jika digunakan untuk pencernaan pasca rumen/bypass karena tanin yang terkandung dalam ampas teh dapat mengikat protein agar tidak didegradasi terlalu banyak oleh mikroba di dalam rumen sehingga protein mikroba dapat lolos ke usus halus sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan ternak. Menurut Setiani (2002), penambahan daun kembang sepatu sangat nyata (p<0,01) dalam meningkatkan konsentrasi amonia. Perlakuan dengan 100% daun kembang sepatu dan 0% ampas teh menghasilkan amonia tertinggi (24,2 mM). Ini menunjukkan bahwa protein kembang sepatu lebih mudah dihidrolisis menjadi asam amino daripada protein ampas teh. Despal (1993) juga menyatakan bahwa protein kembang sepatu tingkat degradasinya cukup tinggi. Produksi Biomassa Mikroba Menurut Firsoni (2005), produksi biomassa mikroba merupakan gambaran tingkat fermentasi bahan pakan di dalam rumen, semakin tinggi aktivitas fermentasi maka produksi mikroba juga tinggi. Bahan pakan yang tercerna selama proses fermentasi di dalam rumen akan diubah menjadi produk utama yaitu VFA yang merupakan sumber energi ternak dan biomassa mikroba yang merupakan sumber protein bagi ternak (Blummel et al., 1993). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa taraf pemberian SKN ke dalam ransum perlakuan sangat berpengaruh nyata (p<0,01) meningkatkan produksi biomassa mikroba. Komposisi, mutu ransum komplit perlakuan (sumber energi dan protein) dan hasil fermentabilitas (amonia dan VFA) yang berbeda diduga menjadi penyebab perbedaan biomassa mikroba rumen diantara perlakuan. Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras, terdapat perbedaan (p<0,01) antara perlakuan R1 dan R2 dalam produksi biomassa mikroba (Tabel 15). Hal ini menunjukkan kualitas ransum komplit kontrol R1 dengan ransum perlakuan R2
97
berbeda (p<0,01) dalam memproduksi biomassa mikroba. Ini berarti bahwa ransum perlakuan R1 memiliki potensi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan R2 dalam menghasilkan protein mikroba. Produksi biomassa terendah dihasilkan oleh ransum perlakuan R1 yaitu sebesar 70,78 mg. Hal ini terjadi karena sumber N dan sumber kerangka karbon yang terdapat dalam ransum perlakuan R1 diduga rendah, terlihat bahwa ransum perlakuan R1 tidak ditambah dengan SKN. Hal ini berarti produksi amonia dan VFA kurang mencukupi kebutuhan bagi sintesis protein mikroba yang maksimal. Perlakuan R3 dan R4 juga berbeda (p<0,01) dalam produksi biomassa mikroba dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R2. Kandungan protein dan energi yang lebih tinggi untuk perlakuan R3 (PK = 10,05% BK dan TDN = 62,60% BK) dan R4 (PK = 11,02% BK dan TDN = 62,54% BK), dengan fermentabilitas (VFA) untuk R3 (71,70 mM) dan R4 (77,35 mM), degradabilitas yang juga tinggi untuk R3 (DBK = 49,45% dan DBO = 46,88%) dan R4 (DBK = 43,24% dan DBO = 40,81%) sehingga dapat menghasilkan biomassa mikroba yang lebih tinggi juga untuk R3 (102,00 mg) dan R4 (103,83 mg) dibandingkan perlakuan R1 dan R2. Tabel 15.
Perlakuan
Produksi Biomassa Mikroba in vitro (mg) Ransum Komplit Perlakuan Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
58,55
95,05
70,20
59,30
70,78 ± 17,04A
R2
76,95
119,05
85,25
80,20
90,36 ± 19,43B
R3
86,20
119,25
105,75
96,80
102,00 ± 14,00C
R4
90,10
119,30
106,70
99,20
103,83 ± 12,35C
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Produksi biomassa mikroba yang memiliki nilai tertinggi terdapat pada ransum perlakuan R4 (rumput lapang 70% + konsentrat 15% + SKN 15%) sebesar 103,83 mg. Hal ini berarti pada kombinasi pakan dalam ransum perlakuan tersebut paling optimal dalam menghasilkan biomassa mikroba tertinggi, diduga karena kandungan SKN tertinggi diantara ransum perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan
98
hasil penelitian yang diperoleh Allen (1996), strategi suplementasi sebaiknya dapat memaksimalkan produksi protein mikroba di dalam rumen yang bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas ternak. Produksi protein mikroba sangat tergantung pada substrat yang tersedia untuk mikroba berupa bahan organik mudah terfermentasi dan terdegradasi. Selain itu, sumber karbohidrat (molases dan pati) dan sumber NPN (urea) mudah terdegradasi akan semakin meningkat dengan bertambahnya level SKN pada setiap ransum perlakuan yang berimplikasi juga pada biomassa mikroba rumen yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh pernyataan Thu dan Uden (1994), pemberian urea sebagai sumber non protein nitrogen ditambah dengan pemberian sumber energi yang cepat terdegradasi akan meningkatkan jumlah populasi mikroba dalam rumen dan akan meningkatkan pencernaan fermentatif oleh mikroorganisme rumen. Menurut Dixon (1986), urea yang cepat terhidrolisa menjadi amonia di dalam rumen akan menyediakan substrat N dalam jumlah yang tinggi. Pada ransum perlakuan R4 terjadi penurunan degradabilitas bahan kering menjadi 43,24%, sedangkan produksi biomassa mikroba rumen dan konsentrasi VFA meningkat (Tabel 13, 15 dan 16). Hal ini dikarenakan serat kasar yang terkandung di dalam ransum komplit perlakuan R4 tinggi (27,92% BK) maka komponen dinding sel yang sukar dicerna seperti lignin juga semakin bertambah (Selly, 1994). Aktivitas mikroba menjadi lambat dalam mendegradasi serat kasar ransum tersebut sehingga degradabilitas R4 menurun. Sumber serat kasar yang terkandung di dalam ransum komplit yaitu rumput lapang dan ampas teh. Produksi biomassa mikroba rumen dan konsentrasi VFA yang semakin meningkat disebabkan oleh sumber karbohidrat mudah terdegradasi lainnya (molases, onggok dan bekatul) dan sumber protein (urea) yang terdapat di dalam ransum komplit. Rataan produksi biomassa mikroba rumen menunjukkan banyaknya mikroba yang dapat menfermentasi dan mendegradasi ransum komplit perlakuan sehingga hasil fermentasi dan degradasi pakan tersebut akan digunakan untuk membentuk tubuh mikroba rumen itu sendiri. Adapun kisaran produksi biomassa mikroba yang dihasilkan dari setiap ransum perlakuan antara 70,78-103,83 mg (Tabel 15). Menurut Sutardi (1980), kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM. Konsentrasi amonia yang dihasilkan dalam penelitian ini sekitar 20,50-23,49 mM (Tabel 14). Hal ini diduga
99
bahwa produksi biomassa mikroba yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Sutardi. Protein kasar maupun sumber NPN yang mudah tercerna dalam ransum perlakuan yang tinggi akan langsung didegradasi oleh mikroba rumen secara cepat dan menghasilkan NH3 yang tinggi pula. Peningkatan konsentrasi VFA juga dapat disebabkan adanya peningkatan kandungan protein dalam ransum komplit. Menurut Sutardi (1980), jumlah konsentrasi VFA yang dihasilkan memiliki peran ganda yaitu sebagai sumber energi utama bagi ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein mikroba. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa kandungan protein kasar yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan dan sintesis tubuh mikroba rumen. Amonia yang didegradasi ini selain untuk dirinya sendiri juga sebagai sumber protein untuk pertumbuhan ternak. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang diperoleh Kurniawati (2007), yaitu penambahan karbohidrat mudah terdegradasi dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang berimplikasi terhadap produktivitas ternak. Hal tersebut dapat dilihat hubungannya secara deskriptif dan kuantitatif. Data kuantitatif dengan superskrip huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) dan superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Gambar 9).
120 100 80
Produksi VFA Total (mM) Konsentrasi NH3 (mM) Produksi Biomassa Mikroba (mg)
60 40 20 0
0
5
10
15
Level SKN (%) Gambar 9. Konsentrasi VFA Total (mM), Konsentrasi NH3 (mM) dan Produksi Biomassa Mikroba (mg) Ransum Komplit Perlakuan
100
Ada korelasi positif antara produksi biomassa mikroba (mg) dan level SKN (%), nilai R2 = 0,8859 serta persamaan linier Y = 2,2158x + 75,1220, dengan Y adalah produksi biomassa mikroba dan X adalah persentase penambahan SKN. Setiap penambahan 1% SKN akan meningkatkan produksi biomassa mikroba sebesar 2,2158 mg. Analisis korelasi menunjukkan bahwa peningkatan level SKN dan produksi biomassa mikroba mempunyai hubungan yang erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi dan berbanding lurus. Semakin tinggi level SKN maka semakin tinggi pula penambahan agen defaunasi ke dalam ransum komplit yang diduga dapat meningkatkan produksi biomassa mikroba rumen. Hal ini juga berarti bahwa penambahan agen defaunasi ke dalam ransum komplit juga meningkatkan produksi biomassa mikroba rumen. Agen defaunasi dapat mengurangi populasi protozoa sehingga populasi mikroba di dalam produk biomassa mikroba untuk setiap perlakuan diduga didominasi oleh bakteri rumen yang lebih banyak proporsinya daripada protozoa. Hal ini dibuktikan bahwa perlakuan juga sangat mempengaruhi (p<0,01) konsentrasi amonia (Tabel 14). Hasil konsentrasi amonia yang tinggi pun kemungkinan banyak digunakan untuk mensintesis tubuh mikroba. Penambahan agen defaunasi juga dapat membantu dalam meningkatkan produksi biomassa mikroba rumen. Amonia merupakan kriteria yang penting bagi pertumbuhan mikroba dan proses pencernaan dalam rumen oleh karena sekitar 50-80% N dalam tubuh mikroba adalah berasal dari amonia (Satter dan Slyter, 1974). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Danirih (2004), suplementasi Feed Block Supplement (FBS) yang mengandung daun kembang sepatu ke dalam ransum peternak dapat menghasilkan populasi protozoa lebih rendah (7,9 x 103 sel/ml) jika dibandingkan dengan ransum peternak kontrol (11 x 103 sel/ml). Keuntungan penggunaan agen defaunasi (daun kembang sepatu) dalam SKN yaitu diduga dapat mengurangi jumlah populasi protozoa yang meningkat akibat sumber pati (bekatul, onggok dan molases) yang ditambahkan ke dalam SKN. Populasi protozoa yang berkurang akan menyebabkan bakteri rumen banyak mendapatkan pakan untuk didegradasi maupun untuk pertumbuhan bakteri rumen itu sendiri tanpa adanya saingan dari predator (pemangsa) yaitu protozoa.
101
Degradabilitas Ransum Komplit Degradabilitas Bahan Kering (DBK) Degradabilitas bahan kering dan bahan organik dapat dijadikan salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan dan nilainya menunjukkan seberapa besar zat makanan dalam pakan dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi, 1980). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian SKN ke dalam ransum perlakuan sangat mempengaruhi (p<0,01) degradabilitas bahan kering. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh Firsoni (2005), yaitu suplementasi UMB kelor atau UMB glirisidia mempengaruhi (p<0,05) kecernaan bahan kering dan bahan organik setelah 48 jam waktu inkubasi. Hasil uji ortogonal kontras menunjukkan adanya perbedaan (p<0,01) antara perlakuan R2 dan R3 dalam DBK jika dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R4. Ransum perlakuan R2 dan R3 lebih baik sebagai ransum yang mudah didegradasi jika R2 dan R3 banyak mengandung sumber karbohidrat dan protein mudah terdegradasi. Ini dapat dibutikan dengan hasil degradabilitas R2 dan R3 yang lebih tinggi dibandingkan ransum perlakuan R1 dan R4 (Tabel 16). Walaupun uji statistik menyatakan bahwa nilai degradabilitas bahan kering R1 dan R4 dianggap sama, R4 lebih mampu didegradasi oleh mikroba rumen yang terlihat dengan nilai DBK yang lebih tinggi (43,24%). Tabel 16.
Perlakuan
Degradabilitas Bahan Kering in vitro (%) Ransum Komplit Perlakuan Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
40,62
44,05
43,36
42,04
42,52 ± 1,51A
R2
43,81
49,19
47,21
48,84
47,27 ± 2,46B
R3
49,09
48,34
49,96
50,42
49,45 ± 0,92B
R4
40,99
43,96
39,07
48,94
43,24 ± 4,30A
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
102
Berdasarkan Tabel 16 dan Gambar 10 dapat dilihat bahwa degradabilitas bahan kering meningkat sampai level penambahan SKN 10% yaitu sebesar 49,45%, kemudian menurun menjadi 43,24% pada level SKN tertinggi (15%). Walaupun komposisi hijauan yang diberikan tetap untuk setiap ransum komplit perlakuan, penambahan SKN juga dapat menambah kandungan serat kasar. SKN mengandung sumber serat yang berasal dari hijauan seperti ampas teh, dan sumber karbohidrat yang mudah terdegradasi. Degradabilitas bahan kering terendah terdapat pada ransum komplit perlakuan kontrol R1 (42,52%). Ransum komplit tanpa adanya penambahan SKN berarti kandungan zat makanannya rendah sehingga mikroba rumen kurang mendapatkan sumber karbohidrat atau serat untuk didegradasi. SKN mengandung sumber serat yang berasal dari hijauan seperti ampas-ampasan dan daun-daunan selain sumber karbohidrat yang mudah didegradasi. Untuk pencernaan karbohidrat dimulai dari fraksi yang mudah larut seperti glukosa, silosa, pati kemudian selulosa (Arora, 1989). Ransum komplit perlakuan R3 (rumput lapang 70% + konsentrat 20% + SKN 10%) merupakan ransum yang optimal untuk menghasilkan degradabilitas bahan kering tertinggi yaitu sebesar 49,45% (Tabel 16 dan Gambar 10). Ransum komplit (R3) ini mengandung SKN yang cukup tinggi walaupun tidak setinggi R4, dan terbukti dapat meningkatkan degradabilitas dibandingkan dengan ransum kontrol. Kandungan SKN yang tinggi berarti SKN tersebut memiliki kandungan sumber karbohidrat yang mudah difermentasi dan protein yang mudah terdegradasi seperti molases, pati dan urea dalam SKN sehingga ketersediaan kedua komponen ini dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen. Adanya karbohidrat yang mudah terdegradasi seperti molases diduga dapat meningkatkan degradabilitas bahan kering. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang diperoleh Putri (2006), yaitu penambahan suplemen UMMB dapat meningkatkan kecernaan di dalam rumen yang disebabkan adanya karbohidrat yang mudah larut seperti molases dan urea. Sari (1989) menyatakan bahwa penambahan molases pada ransum mengakibatkan mikroorganisme rumen mampu merombak serat kasar pada dinding sel sehingga serat kasar menjadi lebih cepat dicerna. Selain itu, penambahan molases akan meningkatkan daya cerna karena molases merupakan
103
sumber karbohidrat mudah larut dan banyak energi yang tersedia yang mampu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan cepat. Sumber protein yang terdapat di dalam SKN (ampas kecap, ampas tahu, urea, daun kembang sepatu) juga dapat mempengaruhi dalam peningkatan degradabilitas bahan kering. Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1980). Suplemen Pakan Multinutrien (SPM) bertujuan menyediakan bahan pakan yang mudah didegradasi untuk pembentukan protein mikroba dan sebagai protein bypass bagi induk semang (Putri, 2006). Taraf penambahan SKN yang tertinggi (15%) menurunkan DBK yaitu sebesar 43,24% (Tabel 16 dan Gambar 10). Kondisi ini terjadi pada ransum perlakuan R4. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, aktivitas mikroba rumen menjadi lambat yang disebabkan oleh kandungan serat kasar tinggi (27,92% BK) di dalam ransum komplit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Purwantari (2008) (data yang belum dipublikasikan) yaitu penggunaan SKN 20% menghasilkan DBK yang lebih rendah (58,04%) jika dibandingkan dengan penggunaan SKN 10% (DBK = 59,50%). Hal ini diduga oleh adanya dinding sel yang mengandung ikatan lignin yang mengikat selulosa sehingga sulit dirombak oleh mikroba rumen. Serat kasar biasanya kaya akan lignin dan selulosa (Sutardi, 1980). Kandungan lignin pada pakan tersebut dapat mengakibatkan pakan menjadi sukar larut sehingga jumlah pakan yang didegradasi pun menjadi sedikit. Kandungan lignin dalam ransum komplit perlakuan diduga juga tinggi karena dapat memperlambat aktivitas mikroba rumen sehingga degradabilitas menjadi menurun (Selly, 1994). Menurut Putri (2006), penambahan hijauan sampai level yang tertinggi (53%) pada ransum basal peternak KUNAK secara in vitro dapat menurunkan kecernaan bahan kering 33,24% menjadi 30,59%. Kandungan serat kasar sangat berpengaruh pada nilai kecernaan, semakin tinggi kandungan serat kasar maka kecernaan akan semakin rendah, karena pencernaan serat sangat tergantung pada kemampuan mikroba rumen (McDonald et al., 2002). Bahan makanan yang mengandung serat kasar yang tinggi akan menurunkan nilai kecernaan zat-zat makanan lainnya karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak energi. Sumber protein bypass yang terdapat di dalam SKN yaitu ampas teh dan bungkil kelapa diduga menyebabkan
104
degradabilitasnya menjadi lebih rendah (Lubis, 1963). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh Putri (2006), yaitu kandungan zat anti nutrisi dan adanya proses pemanasan yang dapat menyebabkan degradabilitasnya di dalam rumen menjadi lebih rendah. Penurunan degradabilitas bahan kering dan bahan organik tersebut selain disebabkan oleh kandungan lignin, juga diduga oleh adanya tanin di dalam ransum komplit. Menurut Makkar (1995), level tanin yang rendah dapat berpotensi dalam peningkatan fermentasi rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Tanin dapat memperlambat laju degradasi pakan dan menurunkan ketersediaan nutrien, akan tetapi zat makanan yang tersedia tersebut dapat memberikan proporsi yang lebih banyak untuk sintesis protein mikroba dibandingkan untuk pembentukan VFA. Gambar 10 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuadratik antara level SKN (%) dengan degradabilitas bahan kering (%), nilai R2 = 0,9480 serta persamaan regresi Y = -0,1096x2 + 1,7308x + 42,2260, dengan Y adalah degradabilitas bahan kering dan X adalah persentase penambahan SKN.
Berdasarkan turunan dari
persamaan tersebut, terlihat bahwa degradabilitas bahan kering maksimum akan terjadi pada level penambahan SKN 7,90%. Analisis korelasi menunjukkan bahwa level SKN (%) dan degradabilitas bahan kering (%) mempunyai hubungan yang
Degradabilitas Bahan Kering (%)
sangat erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi. 50 48 46 44 42 40 0
5
10
15
Level SKN (%)
Gambar 10. Korelasi antara Level SKN (%) dengan Degradabilitas Bahan Kering (%)
105
Penambahan agen defaunasi ke dalam ransum komplit kemungkinan dapat meningkatkan degradabilitas bahan kering. Hal ini berarti level penambahan agen defaunasi (daun kembang sepatu sebanyak 50%) ke dalam setiap SKN yang terkandung di dalam ransum komplit perlakuan sangat optimal dalam meningkatkan degradabilitas bahan kering. Penambahan agen defaunasi 50% ke dalam SKN sudah dapat mencapai DBK sebesar 49,45%, walaupun penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2002) menghasilkan kecernaan bahan kering yang tertinggi pada level kembang sepatu 100%. Sejalan dengan meningkatnya level kembang sepatu juga terjadi peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat kembang sepatu yang mudah difermentasi dan adanya saponin (Despal, 1993). Berdasarkan hasil penelitian Jalaludin (1994), defaunasi dapat meningkatkan kecernaan bahan kering karena berkurangnya populasi protozoa di dalam rumen sehingga tidak terjadi penurunan populasi bakteri dan bakteri lebih banyak mencerna pakan di dalam rumen. Jumlah protozoa cairan rumen sapi yang mendapat ransum tanpa agen defaunasi yaitu 1,39 ± 0,3 x 104/ml dan jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan ransum yang disertai agen defaunasi (daun kembang sepatu) sebesar 6,3 ± 0,5 x 103/ml. Penambahan mineral Zn dan Cu organik ke dalam ransum komplit diduga juga dapat meningkatkan degradabilitas bahan kering. Semakin tinggi level penambahan SKN ke dalam ransum komplit maka semakin tinggi pula penambahan Zn dan Cu organik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silalahi (2003), yaitu ransum yang diberi mineral Zn meningkatkan kecernaan daripada ransum kontrol. Suplementasi Zn organik lebih tinggi daripada suplemen Zn anorganik terhadap nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik. Menurut Setyoningsih (2003), kecernaan ransum yang diberi mineral Cu organik lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol. Degradabilitas Bahan Organik (DBO) Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan maka semakin banyak zat gizi yang diserap tubuh. Nilai kecernaan suatu pakan dapat dilihat dari sumber bahan yang digunakan (Silalahi, 2003). Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tingginya bahan organik yang dikonsumsi akan menghasilkan nilai degradasi bahan
106
organik yang semakin tinggi. Degradasi bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan ternak untuk hidup pokok dan produksi (Rahmawati, 2001). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf pemberian SKN ke dalam ransum perlakuan sangat mempengaruhi degradabilitas bahan organik (DBO; p<0,01). Selanjutnya hasil uji ortogonal kontras memperlihatkan terjadinya perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan R1 dan R4 dengan perlakuan R2 dan R3 (p<0,01) dalam DBO (Tabel 17). Meskipun demikian, DBO dari ransum R1 tidak berbeda dengan DBO dari ransum R4, demikian pula antara DBO ransum R2 dengan DBO ransum R3. Komposisi, mutu ransum komplit perlakuan dan aktivitas mikroba rumen dalam mencerna zat-zat makanan yang dikonsumsi diduga menjadi penyebab perbedaan degradabilitas bahan organik diantara perlakuan. Tabel 17 menunjukkan degradabilitas bahan organik meningkat sampai ransum komplit perlakuan R3 yaitu sebesar 46,88%, kemudian degradabilitas menurun menjadi 40,81% pada R4. Degradabilitas bahan organik terendah terdapat pada ransum komplit perlakuan kontrol R1 (39,03%). Tabel 17.
Perlakuan
Degradabilitas Bahan Organik in vitro (%) Ransum Komplit Perlakuan Ulangan
Rataan ± SD
1
2
3
4
R1
36,30
39,41
42,01
38,41
39,03 ± 2,37A
R2
40,45
46,79
46,07
47,92
45,31 ± 3,33B
R3
46,51
44,26
48,47
48,28
46,88 ± 1,96B
R4
37,99
41,69
37,33
46,23
40,81 ± 4,09A
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01). R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN
Ransum komplit perlakuan R3 dengan level penambahan SKN 10% merupakan ransum yang optimal untuk menghasilkan degradabilitas bahan organik tertinggi yaitu sebesar 46,88%. Penggunaan SKN dalam ransum komplit akan meningkatkan nilai degradabilitas bahan organik karena dalam SKN mengandung pati dan protein tinggi. Tingginya kandungan energi (TDN = 62,60% BK) dan
107
protein (PK = 10,05% BK) di dalam ransum perlakuan R3 menyebabkan tingginya pula aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi ransum sehingga dihasilkan degradabilitas bahan organik yang tinggi pula. Pada ransum perlakuan R4 terjadi penurunan degradabilitas bahan organik menjadi 40,81%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwantari (2008) (data yang belum dipublikasikan) yaitu penggunaan SKN 20% menghasilkan DBO yang lebih rendah (54,94%) jika dibandingkan dengan penggunaan SKN 10% (DBO = 58,27%). Kondisi ini terjadi karena tingginya kandungan serat kasar (27,92% BK) pada R4 seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Serat kasar yang tinggi juga dapat mempengaruhi proses pencernaan dimana serat yang mempunyai kecernaan yang rendah akan sulit untuk dicerna sehingga mempengaruhi konsumsi pakan dan ketersediaan nutrien untuk ternak (Fharhandani, 2006). Kadar lignin dan tanin yang semakin meningkat dengan meningkatnya penggunaan ampas teh pun diduga berperan dalam menurunkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Kandungan lignin yang terdapat di dalam ransum dapat mengganggu kecernaan pakan dimana selulosa yang tersedia dapat berikatan dengan lignin membentuk lignoselulosa. Selulosa dalam bentuk ini sulit dibebaskan dan didegradasi sehingga akan mempengaruhi kecernaan bahan kering (Agni, 2005). Kandungan lignin dan tanin yang tinggi akan menghambat proses pencernaan. Lignin dapat membentuk ikatan hidrogen yang membatasi aktivitas enzim selulase sehingga menurunkan kecernaan bahan kering ransum (Arora, 1989). Gambar 11 menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuadratik antara level SKN (%) dengan degradabilitas bahan organik (%), nilai R2 = 0,9894 serta persamaan regresi Y = -0,1234x2 + 1,9892x + 38,8870, dengan Y adalah degradabilitas bahan organik dan X adalah persentase penambahan SKN. Berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa degradabilitas bahan organik maksimum akan terjadi pada level penambahan SKN 8,06%. Analisis korelasi menunjukkan bahwa level SKN (%) dan degradabilitas bahan kering (%) mempunyai hubungan yang sangat erat. Hal tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang tinggi.
108
Degradabilitas Bahan Organik (%)
48 46 44 42 40 38 0
5
10
15
Level SKN (%)
Gambar 11. Korelasi antara Level SKN (%) dengan Degradabilitas Bahan Organik (%) Semakin bertambahnya level SKN ke dalam ransum komplit maka penambahan agen defaunasi juga semakin meningkat di dalam SKN. Agen defaunasi (daun kembang sepatu) yang ditambahkan ke dalam ransum komplit dapat meningkatkan degradabilitas bahan organik. Hal ini berarti level penambahan agen defaunasi (daun kembang sepatu sebanyak 50%) ke dalam SKN optimal dalam meningkatkan degradabilitas bahan organik. Penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2002) menghasilkan kecernaan bahan organik yang tertinggi pada level kembang sepatu 100%. Penambahan mineral Zn dan Cu organik ke dalam ransum komplit juga diduga dapat terjadi peningkatan degradabilitas bahan organik. Hal ini berarti penambahan mineral organik juga optimal dalam mempengaruhi degradabilitas bahan organik. Degradabilitas bahan organik cenderung semakin meningkat setiap penambahan mineral organik ke dalam SKN. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silalahi (2003), suplemen Zn organik memberikan respon yang positif terhadap nilai kecernaan ransum dan masih mencukupi kebutuhan mikroba rumen dalam proses sintesis protein sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan aktivitas bakteri rumen. Ransum yang diberi mineral Cu organik juga dapat meningkatkan kecernaan bahan organik daripada ransum kontrol (Setyoningsih, 2002).
109
Evaluasi Penggunaan Ransum terhadap Semua Peubah yang Diamati Berdasarkan uji ortogonal kontras, tabulasi rataan ransum komplit perlakuan untuk produksi gas, konsentrasi VFA, konsentrasi NH3, produksi biomassa mikroba, degradabilitas bahan kering dan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 18. Ransum terbaik diperoleh dengan menjumlahkan hasil scoring pada setiap peubah. Ransum yang optimal dan terbaik adalah ransum komplit perlakuan yang memiliki total nilai urutan tertinggi. Hasil tabulasi (Tabel 18) menunjukkan bahwa ransum komplit yang memiliki ranking tertinggi (1) adalah R3 (70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN) dan R4 (70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN), diikuti oleh R2 (70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN), dan ranking yang terendah (3) adalah R1 (70% rumput lapang + 30% konsentrat). Ransum komplit R4 memiliki nilai fermentabilitas yang lebih tinggi dibandingkan ransum komplit R3, akan tetapi nilai degradabilitas R4 lebih rendah dibandingkan nilai degradabilitas R3. Nilai fermentabilitas yang tinggi pada R4 dikarenakan enzim yang dihasilkan oleh bakteri cenderung proteolitik dan amilolitik sehingga bakteri dapat memanfaatkan nutrien yang mudah difermentasi. Selain itu, adanya peningkatan (akumulasi) bahan pakan dalam ransum komplit yang mudah difermentasi dari awal inkubasi sampai akhir inkubasi (48 jam). Nilai degradabilitas yang rendah pada R4 diduga bahwa enzim selulolitik yang dihasilkan oleh bakteri cenderung diikat oleh zat anti nutrisi (lignin dan tanin) yang terdapat dalam ransum R4. Lignin dapat membatasi aktivitas enzim selulase sehingga menurunkan kecernaan ransum (Arora, 1989; Agni, 2005). Pada awal inkubasi, kandungan nutrien R4 diduga lebih cepat didegradasi dan difermentasi dibandingkan kandungan nutrien R3. Hal ini dikarenakan ransum R4 memiliki sumber karbohidrat dan protein mudah difermentasi dan didegradasi lebih banyak daripada ransum R3. Pada proses pencernaan diawali dengan fraksi yang mudah larut (Arora, 1989), akan tetapi komponen makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan akan tersisa pada akhir inkubasi (48 jam). Ransum R4 memiliki kandungan serat kasar (27,92%) yang lebih tinggi dibandingkan R3 (27,84%), sehingga komponen serat R4 yang tersisa pun diduga lebih banyak dibandingkan komponen serat R3. Hal ini diduga juga memperlambat aktivitas mikroba rumen dan degradabilitas R4 menjadi
110
menurun. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan memperbaiki kualitas hijauan dan konsentrat. Selain itu, rasio antara rumput lapang, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit perlu diperbaiki dengan mengurangi komposisi rumput lapang dan meningkatkan komposisi SKN agar degradabilitasnya dapat lebih tinggi lagi. Perlakuan R4 dapat meningkatkan produksi gas sebesar 4,16%, konsentrasi VFA sebesar 19,04%, konsentrasi NH3 sebesar 14,59%, produksi biomassa mikroba sebesar 46,69%, DBK sebesar 1,69% dan DBO sebesar 4,56% dibandingkan ransum kontrol. Persentase peningkatan nilai fermentabilitas R4 lebih tinggi dibandingkan persentase peningkatan nilai fermentabilitas R3, akan tetapi persentase peningkatan nilai degradabilitas R4 lebih rendah dibandingkan persentase peningkatan nilai degradabilitas R3. Berdasarkan hasil uji ortogonal kontras, nilai degradabilitas (DBK dan DBO) dari ransum R1 (kontrol) tidak berbeda dengan DBO dari ransum R4 (Tabel 18). Ransum komplit R3 memiliki nilai fermentabilitas dan degradabilitas yang tinggi. Perlakuan R3 dapat meningkatkan produksi gas sebesar 3,33%, konsentrasi VFA sebesar 10,34%, konsentrasi NH3 sebesar 10,34%, produksi biomassa mikroba sebesar 44,11%, DBK sebesar 16,30% dan DBO sebesar 20,11% dibandingkan ransum kontrol. Perlakuan R3 dengan kandungan SKN yang tinggi berarti SKN tersebut memiliki kandungan sumber karbohidrat yang mudah difermentasi dan protein yang mudah terdegradasi yang banyak sehingga ketersediaan kedua komponen ini dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen. Walaupun perlakuan R3 dan R4 memiliki total nilai urutan (13) dan ranking yang sama (1) (Tabel 18), perlakuan R3 yang lebih berpotensi sebagai ransum yang mudah difermentasi dan didegradasi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini pun dapat dilihat dari persentase peningkatan nilai degradabilitas (BK dan BO) R3 yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan R4. Nilai fermentabilitas R3 juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Perlakuan R3 (kandungan SKN 10%) cenderung lebih efisien dibandingkan dengan perlakuan R4 (kandungan SKN 15%). Perlakuan R3 hanya menggunakan SKN (10%) yang lebih sedikit dibandingkan perlakuan R4 (SKN 15%), akan tetapi sudah mampu menghasilkan nilai produk fermentabilitas, degradabilitas dan biomassa mikroba yang tinggi. Hal ini diharapkan dapat menguntungkan bagi peternak melalui peningkatan produktivitas ternak.
111
Tabel 18. Pengaruh Penggunaan Ransum terhadap Semua Peubah yang Diamati Peubah dan Nilai Urutan Perlakuan1)
Produksi Gas (ml/200 mg BK)2)
Konsentrasi VFA (mM)2)
Konsentrasi NH3 (mM)2)
Produksi Biomassa Mikroba (mg)2)
DBK (%)2)
DBO (%)2)
Score (Total Nilai Urutan)3)
Urutan Ranking4)
R1
27,62 ± 2,11a (1)
64,98 ± 7,25a (1)
20,50 ± 0,36A (1)
70,78 ± 17,04A (1)
42,52 ± 1,51A (1)
39,03 ± 2,37A (1)
6
3
R2
28,04 ± 1,80a (1)
72,55 ± 5,43b (2)
21,53 ± 0,67B (2)
90,36 ± 19,43B (2)
47,27 ± 2,46B (2)
45,31 ± 3,33B (2)
11
2
R3
28,54 ± 1,65b (2)
71,70 ± 3,98a (1)
22,62 ± 0,89Ca (3)
102,00 ± 14,00C (3)
49,45 ± 0,92B (2)
46,88 ± 1,96B (2)
13
1
R4
28,77 ± 1,63b (2)
77,35 ± 6,68b (2)
23,49 ± 0,71Cb (4)
103,83 ± 12,35C (3)
43,24 ± 4,30A (1)
40,81 ± 4,09A (1)
13
1
Keterangan : 1) R1 = Ransum kontrol (70% rumput lapang + 30% konsentrat), R2 = 70% rumput lapang + 25% konsentrat + 5% SKN, R3 = 70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN, R4 = 70% rumput lapang + 15% konsentrat + 15% SKN 2) Nilai dengan superskrip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) dan superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). Nilai dengan superskrip terendah mendapatkan angka 1 sebagai angka terendah, dan nilai dengan superskrip tertinggi mendapatkan angka n sebagai angka tertinggi 3) Score merupakan total nilai urutan untuk semua peubah yang diamati. Total nilai urutan yang tertinggi memiliki ranking tertinggi, sedangkan total nilai urutan yang terendah memiliki ranking terendah 4) 1 = Ranking tertinggi 3 = Ranking terendah
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Peningkatan level Suplemen Kaya Nutrien (SKN) ke dalam ransum komplit dapat meningkatkan konsentrasi NH3, produksi biomassa mikroba, degradabilitas (BK dan BO), dan dapat mempengaruhi produksi gas total pada lama inkubasi 48 jam serta konsentrasi VFA total. Kombinasi rumput lapang 70%, konsentrat 20% dan SKN 10% merupakan kombinasi optimal di dalam ransum komplit berdasarkan hasil fermentabilitas, degradabilitas dan produksi biomassa mikroba in vitro. Secara keseluruhan, perlakuan R3 (70% rumput lapang + 20% konsentrat + 10% SKN) lebih optimal dalam meningkatkan produksi gas total sebesar 3,33%, konsentrasi VFA total sebesar 10,34%, konsentrasi NH3 sebesar 10,34%, produksi biomassa mikroba sebesar 44,11%, DBK sebesar 16,30% dan DBO sebesar 20,11% dibandingkan ransum kontrol. Saran Kualitas nutrisi hijauan dan konsentrat di dalam ransum komplit perlu ditingkatkan. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan rasio terbaik antara hijauan, konsentrat dan SKN di dalam ransum komplit sehingga dapat memperbaiki kadar protein kasar dan energi (TDN) ransum komplit yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi sapi perah di lapang (PK = 12-15% BK dan TDN = 67% BK). Penambahan jumlah penggunaan SKN perlu dilakukan agar dapat memperbaiki fermentabilitas dan degradabilitas in vitro serta produksi biomassa mikroba ransum komplit. Penelitian lanjutan secara in vivo juga perlu diujikan.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta inayahNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. sebagai dosen pembimbing utama dan Ir. Suharyono, MRur. Sc. sebagai dosen pembimbing anggota atas segala bimbingannya selama penelitian hingga penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Nuraeni Sigit, MS. sebagai dosen pembimbing akademik terima kasih banyak atas dorongan dan bimbinganya kepada penulis selama menempuh kuliah di IPB. Kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA. sebagai dosen penguji seminar, Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie M, DEA. sebagai dosen penguji tugas akhir atas saran dan kritik dalam perbaikan skripsi ini, serta kepada segenap civitas akademika Fakultas Peternakan IPB atas sumbangsih ilmu dan bantuan yang tak ternilai kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para teknisi dan peneliti Kelompok Nutrisi Ternak, Bidang Pertanian, PATIR, BATAN yang telah membantu Penulis untuk melakukan penelitian di Laboratorium. Teman satu tim penelitian (Dhika, Mitra, Nia dan Joko) terima kasih atas kerjasama, pengertian dan kebersamaannya. Terimakasih kepada seluruh teman-teman INMT khususnya INMT’41, Kenia, Anggi, Zee, Wayan, Aan, teman-teman kenex, feedlot dan teman-teman Nutrisi 41 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan, persahabatan dan semangatnya kita selama ini. Teman-teman di Kost Tri Regina terima kasih atas semangatnya. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamya penulis sampaikan kepada Ayahanda Bambang Wahyudi dan Ibunda Nuniek Guniarti tercinta, adikku Guntur Yudha Hindarto, teman terdekatku Arie Wibowo Nugroho serta keluarga besar di Bekasi atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian dan dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, April 2008 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total digestible nutrient (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agni. 2005. Pemberian berbagai tingkat ampas teh (Camellia sinensis) terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan protein dan retensi nitrogen domba lokal jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Allen, M. S. 1996. Relationship between forage quality and dairy cattle production. J. Anim. Feed Sci. and Technol. 59 : 51-60. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Balai Penelitian Tanah. 2008. Hasil Analisa Mineral Organik. Bogor. Barry, T. N., T. R. Manley and S. J. Duncan. 1986. The role of condensed tannins in the nutritional value of Lotus pedunculatus sheep. 4. Site of carbohydrate and protein digestion as influenced by dietary reactive tannin concentrations. Brit. J. Nutr. 55 : 123-137. BATAN. 2005. Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB). Batan. http://www. Infonuklir.com/Tips/atomos_ummb.htm. [27 Juni 2007]. Blummel, M. and Ørskov, E. R. 1993. Comparison of in vitro gas production and nylon bag degradability roughages in prediction of feed intake in cattle. J. Anim. Feed Sci. and Technol. 40 : 109-229. Blummel, M., H. Steingass and K. Becker. 1997. The relation between in vitro gas production, in vitro microbial mass yield and 15N incorporation and its implications for the prediction of voluntary feed intake of roughage. Brit. J. Nutr. 77 : 911-921. Chaerani, L. 2004. Pemberian ransum suplemen yang mengandung ikatan ampas tahu dengan seng dan tembaga untuk meningkatkan produksi susu sapi perah di Pangalengan. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Church, D. C. 1991. Livestock Feed and Feeding. 3rd Ed. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Dalimartha, S. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Puspa Swara, Jakarta.
Damayanti, D. 2005. Pengaruh penambahan kunyit (Curcuma domestica, Val) atau temulawak (Curcuma xanthorhiza, Roxb) dalam ransum terhadap presentase karkas dan potongan karmas komersial broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Danirih. 2004. Evaluasi nutrisi dua macam Feed Block Supplement (FBS) berdasarkan metabolisme dan populasi mikroba rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Darwis, S. N., A. B. D. Madjo Indo dan S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat dan Famili Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Despal, 1993. Evaluasi nutrisi daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis LINN) menggunakan teknik in sacco dan in vitro dengan pembanding beberapa legum pohon. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dewi, G. S. 2007. Evaluasi in vitro mikroba rumen berbagai ternak ruminansia terhadap pemakaian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dixon, R. M. 1986. Maximazing the rate of fibre digestion in the rumen. Dalam: Proceedings of The Seventh Annual Workshop of The Australian-Asian Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Ed. The Ensminger Publishing California, USA. Erwanto. 1995. Uji banding gamal dan angsana sebagai sumber protein, daun kembang sepatu dan minyak kelapa sebagai agensia defaunasi dan suplementasi, analog hidroksi methionin dan amonium sulfat dalam ransum pertumbuhan sapi perah. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fharhandani, N. 2006. Pengaruh pemberian urea molases multinutrien blok dan suplemen pakan multinutrien terhadap kualitas susu sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firsoni. 2005. Manfaat tepung daun kelor (Moringa oleifera, Lam.) dan glirisidia (Gliricidia sepium, Jacq.) sebagai sumber protein dalam Urea Molases Blok (UMB) terhadap metabolisme pakan secara in vitro dan produksi susu sapi perah. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya, Malang. Frazier, W. C. and D. C Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc-Graw Hill Publishing Company Ltd., New Delhi. Hasanah, P. 2007. Kandungan nutrisi, fermentabilitas dan kecernaan in vitro bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terdetoksifikasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Herman, A. S. 1985. Prinsip-prinsip dasar pembuatan dan pengawasan tahu. Laporan up grading tenaga pembina industri kecil pengolahan tahu. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. Hungate, R. E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, New York. IMALOSITA. 1981. Pemanfaatan limbah industri hasil pertanian. Laporan Seminar Akademik. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irawan, B. 2002. Suplemen Zn dan Cu organik pada ransum berbasis agroindustri untuk pemacu pertumbuhan domba. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Istirahayu, D. N. 1993. Pengaruh penggunaan ampas teh sosro dalam ransum terhadap persentase, giblet, limpa, dan lemak abdominal broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jalaludin. 1994. Uji banding gamal dan angsana sebagai sumber protein, daun kembang sepatu dan minyak kelapa sebagai agen defaunasi dan suplementasi analog hidroksi metionin dan amonium sulfat dalam ransum pertumbuhan sapi perah jantan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kanjanapruthipong, J. and N. Buatong. 2002. Effects of rumen undegradable protein and minerals proteinate on early lactation performance and ovarian functions of dairy cows in the tropics. Asian Aus. J. Anim Sci. 15 : 806-811. Kurniawati, A. 2007. Teknik produksi gas in vitro untuk evaluasi pakan ternak : volume produksi gas dan kecernaan bahan pakan. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 3 (1) : 40-51. Leng, R. A. and J. V. Nolan. 1984. Nitrogen metabolism in the rumen. J. Dairy. Sci. 67 : 1072-1089. Dalam: P. N. Hobson 1988. The Rumen Microbial Ecosystem. Elsevier Applied Science, London and New York. Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Alih bahasa. A. Parakkasi. UI Press, Jakarta. Lubis, D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan Kedua. PT Pembangunan, Jakarta. Lubis, M. H. 1992. Laju degradasi bahan kering dan bahan organik Setaria splendida, rumput lapang, alang-alang (Imperata cylindrica) dengan teknik in situ. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Makkar, H. P. S., M. Blummel and K. Becker. 1995. In vitro effects and interactions of tannins and saponins and fate of tannins in rumen. J. Sci. Food Agric. 69 : 481-493.
McDonald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. Sixth Edition. Ashford Colour Press, Gosport. McDowell, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press. Inc., Publisher, San Fransisco. Menke, K. H. and W. Close. 1979. Selected Topics in Animal Nutrition. University Hohenheim, Germany. Menke, K. H. and Steingass. 1988. Hohenheim gas test. Dalam: Krishnamoorthy, U. and A. V. H. Fellow. 2001. RCA Training Workshop on in vitro Techniques for Feed Evaluation. Department of Livestock Production Management Veterinary College. University of Agricultural Sciences Hebbal, India. Morrison, F. B. 1961. Feed and Feeding. Abredged. 9th Ed., The Morrison Publishing Co, Ithaca, New York. Natarajan, C. P. and Y. S. Lewis. 1980. Technology of Ginger and Tumeric. Proceedings of the National Seminar on Ginger and Tumeric. Central Plantation Crops Research Institute. Kerala, India. National Research Council. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora, Dairy, and Meat Goats in Temperate and Tropical Countries. National Academy Press, Washington D. C. National Research Council. 1984. Nutrient Requirement of Beef Cattle (8th ed.). National Academy Press, Washington D. C. National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. National Academy Press, Washington D. C. National Research Council. 2007. Nutrient Requirement of Small Ruminants Sheep, Goats, Cervids, and New World Camelids. Animal Nutrition Series. The National Academy Press, Washington D. C. Noviana, N. 2004. Suplementasi ransum yang mengandung ikatan ampas kecap dengan tembaga dan seng untuk produksi susu sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ørskov, E. R. and Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elsevier Applied Science, London. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta. Payne, J. M. 1989. Metabolic and Nutritional Disease of Cattle. Blackwell Scientific Publications. Perry, T. W., A. E. Cullison and R. S. Lowrey. 2004. Feeds and Feeding. Sixth Edition. Upper Saddle Rive, New Jersey.
Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resource in The Tropic. Penambul Book. Armidale. Prihandono, R. 2001. Pengaruh suplementasi probiotik bioplus, lisinat Zn dan minyak ikan lemuru terhadap tingkat penggunaan pakan dan produk fermentasi rumen domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green and S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Vol.2. Longman, London. Purwantari, T. 2008. Fermentabilitas in vitro serta produksi biomassa mikroba ransum komplit yang mengandung jerami sorgum, konsentrat, SPM dan SKN. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. [data yang belum dipublikasikan]. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. 2007. Hasil Analisa Rumput Lapang, Konsentrat dan Suplemen Kaya Nutrien. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putri, H. A. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum yang diberi urea molases multinutrien blok atau suplemen pakan multinutrien. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rafis, H. N. 2006. Pengaruh pemberian urea molases multinutrien blok atau suplemen pakan multinutrien dalam ransum terhadap produksi susu sapi perah laktasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, A. 2004. Suplementasi ransum yang mengandung ikatan ampas tahu dan ampas bir dengan Zn dan Cu terhadap produksi susu sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmawati, I. G. A. W. D. 2001. Evaluasi in vitro kombinasi lamtoro merah (Acacia villosa) dan gamal (Gliricidia maculata) untuk meningkatkan kualitas pakan pada ternak domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranjhan, S. K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practices in India. Vikas Publishing House PVT. Ltd. New Delhi, Bombay, Bangalore Calcutta Kampar. p. 68-87. Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3, dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, R. 1989. Pengaruh berbagai level urea molases blok terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kerbau (Bubalus bubalis). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Satter, L. D. and L. L. Slyter. 1974. Effect of Ammonia Concentration in Rumen Microbial Protein Production in vitro. Br. J. Nutr., 35 : 199. Schroeder, J. W and C. S. Park. 1997. Using a total mixed ration for dairy cows. North Dakota State University (NDSU). http://www.ext.nodax.edu/ extpubs/ ansci/dairy/as769w.htm. [15 Juli 2007]. Selly. 1994. Peningkatan kualiatas pakan serat bermutu rendah dan amoniasi dan inokulan digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiani. 2002. Evaluasi in vitro kombinasi ampas teh (Camelia sinensis) dengan daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) sebagai pakan domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setyoningsih, Y. 2003. Efek suplementasi mineral Cu anorganik dan Cu organik terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sigit, N. A. 1983. Penilaian protein bahan makanan berdasarkan ketahanan degradasinya oleh mikroba rumen. Tesis. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silalahi, R. E. 2003. Uji fermentabilitas dan kecernaan in vitro suplemen Zn anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soebarinoto. 1986. Evaluasi beberapa hijauan leguminosa pohon sebagai sumber protein untuk hewan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Somaatmadja, D. A. T. 1981. Pemanfaatan limbah industri pertanian. Dalam: Laporan Seminar akademik Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian di Bogor 17 Desember 1981. Imalosita, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Edisi Kelima. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suharyono, Z. Abidin, C. Hendratno, N. Yates dan R. Bahaudin. 1982. Pengaruh penambahan kombinasi sera onggok dengan urea terhadap perubahan metabolisme rumen kerbau yang diberi rumput sebagai makanan basal. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Dalam: Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Suharyono, E. M. Parmanto dan E. Effendi. 2005. Suplemen Pakan Multinutrien (SPM). Media Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir. Pusat Pemasyarakatan IPTEK Nuklir dan Kerja Sama, BATAN, Jakarta.
Sunarso. 1984. Mutu protein limbah agro-industri ditinjau dari kinetika perombakannya oleh mikroba rumen dan poteinsinya dalam menyediakan protein bagi pencernaan pasca rumen. Tesis. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryahadi, 1990. Analisis ketersediaan mineral pakan sebagai landasan penanggulangan defisiensi mineral pada ternak. Laporan Penelitian PAU. Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryahadi, Nahrowi, I. G. Permana, L. Abdullah dan Hadiyanto. 1997. Pengelolaan Pakan Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Gabungan Koperasi Susu Indonesia dan CCA Kanada, Bogor. Suryahadi, B. Bakrie, Amrullah, B. V. Lotulong dan R. Laside. 2003. Kajian Teknik Suplementasi Terpadu untuk Meningkatkan Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah di DKI Jakarta. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T., N. A. Sigit, dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi mutu protein bahan makanan ruminansia berdasarkan parameter metabolismenya oleh mikroba rumen. Laporan Penelitian Direktorat Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Takeda. 1994. Differences in caffein and tannin contens between tea cultivars and application to tea breeding. JARQ 28 : 117-123. Tanuwiria, U. H. 2004. Suplemen seng dan tembaga organik, dan kompleks kalsiumminyak ikan lemuru dalam ransum berbasis agroindustri untuk pemacu pertumbuhan dan produksi susu pada sapi perah. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tanuwiria, U. H., E. Harlia, D. S. Tasripin, N. R. Manikam dan P. Indraswari. 2006. Pengaruh suplemen Zn-organik, Cu-organik dan tepung kunyit dalam ransum terhadap daya tahan dan jumlah bakteri susu sapi perah FH. Universitas Padjadjaran. Thu, N. V. and P. Uden. 1994. Effect of urea molasses cake supplementation of swamp buffaloes feed rice straw of grasses on rumen environment, feed degradation and intake. Asian-Austr J. Anim. Sci. 14 (15) : 631-639. Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo dan H. Hartadi. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Winarno, F.G. 1982. Kelapa Kopyor, Molases dan Sendawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winugroho M., C. Hendratno dan T. D. Chaniago. 1983. Pengaruh suplemen dengan berbagai rasio hydrogen-karbohidrat pada konsumsi jerami padi dan sintesa protein mikroba ruminansia besar. Bulletin BPT Ciawi, Bogor. Winugroho, M., S. Hardjosoewignyo, T. R. Wiradaryadan dan A. Ella. 1997. Pengukuran produksi gas dari hasil proses fermentasi beberapa jenis leguminose pakan. Prosiding Seminar Nasional II INMT. Wiradarya, T. R. 1989. Peningkatan Produktivitas Ternak Domba melalui Perbaikan Efisiensi Nutrisi Rumput Lapang. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiriano, H. 1985. Pemanfaatan Ampas Tahu Menjadi Berbagai Jenis Makanan. Balai Besar Litbang Industri Hasil Pertanian, Bogor. Wohlt, J. B., J. H. Clarj and F. S. Balaisdell. 1976. Effect of sampling location, time and methode on concentration of ammonia nitrogen in rumen fluid. J. Dairy Sci. 554.
LAMPIRAN
Lampiran 1. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
3,1952
1,0651
6,4583*)
Kelompok
3
37,8311
12,6104
Galat
9
1,4842
0,1649
Total
15
42,5106
Keterangan:
F0,05
F0,01
3,8625 6,9919
76,4652**) 3,8625 6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
3,1091
1,0364
4,2949*)
3,8625 6,9919
Kelompok
3
2,1038
0,7013
2,9062
3,8625 6,9919
Galat
9
2,1717
0,2413
Total
15
7,3845
Keterangan:
F0,05
F0,01
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Lampiran 3. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 Sumber Keragaman
db
JK
KT
Perlakuan
3
39,5940
13,1980
Kelompok
3
7,7160
2,5720
Galat
9
3,3133
0,3681
Total
15
50,6233
Keterangan:
F hit
F0,05
F0,01
35,8500**) 3,8625 6,9919 6,9863*)
3,8625 6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 4.
ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba
Sumber Keragaman
db
JK
KT
Perlakuan
3
2770,9742
923,6581
40,5860**) 3,8625 6,9919
Kelompok
3
2844,0042
948,0014
41,6556**) 3,8625 6,9919
Galat
9
204,8227
22,7581
Total
15
5819,8011
Keterangan:
F hit
F0,05
F0,01
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 5.
ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
130,6894
43,5631
8,2172**)
3,8625 6,9919
Kelompok
3
35,3709
11,7903
2,2240
3,8625 6,9919
Galat
9
47,7132
5,3015
Total
15
213,7735
Keterangan:
F0,05
F0,01
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 6.
ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
163,5616
54,5205
7,8570**)
3,8625 6,9919
Kelompok
3
49,3218
16,4406
2,3693
3,8625 6,9919
Galat
9
62,4517
6,9391
Total
15
275,3351
Keterangan:
F0,05
F0,01
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 7.
Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
3,1952
1,0651
6,4583*)
3,8625
6,9919
R1, R2 vs R3, R4
1
2,7422
2,7422
R1 vs R2
1
0,3489
0,3489
2,1158
5,1174 10,5614
R3 vs R4
0,1042
0,1042
0,6315
5,1174 10,5614
Kelompok
1 3
37,8311
12,6104
Galat
9
1,4842
0,1649
Total
15
42,5106
Keterangan:
16,6276**) 5,1174 10,5614
76,4652**) 3,8625
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 8.
Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
3,1952
1,0651
6,4583*)
F0,05
F0,01
3,8625
6,9919
Linier
1
3,1328
3,1328
18,9963**
5,1174 10,5614
Kuadratik
1
0,0359
0,0359
0,2177
5,1174 10,5614
Kubik
0,0265
0,0265
0,1608
5,1174 10,5614
Kelompok
1 3
37,8311
12,6104
Galat
9
1,4842
0,1649
Total
15
42,5106
Keterangan:
)
76,4652**) 3,8625
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 9. Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
3,1091
1,0364
4,2949*)
3,8625
6,9919
R1, R3 vs R2, R4
1
1,7460
1,7460
7,2357*)
5,1174 10,5614
R1 vs R3
1
0,9022
0,9022
3,7388
5,1174 10,5614
R2 vs R4
1
0,4609
0,4609
1,9103
5,1174 10,5614
Kelompok
3
2,1038
0,7013
2,9062
3,8625
Galat
9
2,1717
0,2413
Total
15
7,3845
Keterangan:
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Lampiran 10. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi VFA Total Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
3,1091
1,0364
4,2949*)
3,8625
6,9919
Linier
1
2,6278
2,6278
Kuadratik
1
0,0367
0,0367
0,1521
5,1174 10,5614
Kubik
1
0,4446
0,4446
1,8426
5,1174 10,5614
Kelompok
3
2,1038
0,7013
2,9062
3,8625
Galat
9
2,1717
0,2413
Total
15
7,3845
Keterangan:
10,8902**) 5,1174 10,5614
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 11.
Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3
Sumber Keragaman
db
JK
KT
Perlakuan
3
39,5940
R1, R2 vs R3, R4
1
R1 vs R2
F0,05
F0,01
13,1980
35,8500**) 3,8625
6,9919
32,4292
32,4292
88,0880**) 5,1174 10,5614
1
4,1810
4,1810
11,3568**) 5,1174 10,5614
R3 vs R4
1
2,9839
2,9839
8,1052*)
5,1174 10,5614
Kelompok
3
7,7160
2,5720
6,9863*)
3,8625
Galat
9
3,3133
0,3681
Total
15
50,6233
Keterangan:
F hit
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 12.
Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
3
39,5940
13,1980
35,8500**)
F0,05
F0,01
3,8625
6,9919
Linier
1
39,5177
39,5177
107,3428**
5,1174 10,5614
Kuadratik
1
0,0504
0,0504
0,1368
5,1174 10,5614
Kubik
1
0,0259
0,0259
0,0704
5,1174 10,5614
Kelompok
3
7,7160
2,5720
6,9863*)
Galat
9
3,3133
0,3681
Total
15
50,6233
Keterangan:
)
3,8625
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda*) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 13.
Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba
Sumber Keragaman
db
JK
KT
Perlakuan
3
2770,9742
923,6581
R1, R2 vs R3, R4
1
1996,9727 1996,9727 87,7479**) 5,1174 10,5614
R1 vs R2
1
767,3403
767,3403
R3 vs R4
1
6,6613
6,6613
Kelompok
3
2844,0042
948,0014
Galat
9
204,8227
22,7581
Total
15
5819,8011
Keterangan:
F hit
F0,05
F0,01
40,5860**) 3,8625
6,9919
33,7173**) 5,1174 10,5614 0,2927
5,1174 10,5614
41,6556**) 3,8625
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 14. Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Biomassa Mikroba Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
2770,9742
923,6581
40,5860**)
3,8625
6,9919
Linier
1
2454,7740 2454,7740 107,8639**) 5,1174 10,5614
Kuadratik
1
315,5064
315,5064
13,8635**)
5,1174 10,5614
Kubik
1
0,6938
0,6938
0,0305
5,1174 10,5614
Kelompok
3
2844,0042
948,0014
41,6556**)
Galat
9
204,8227
22,7581
Total
15
5819,8011
Keterangan:
3,8625
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 15.
Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
130,6894
43,5631
8,2172**)
3,8625
6,9919
R1, R4 vs R2, R3
1
120,1120
120,1120 22,6564**) 5,1174
10,5614
R1 vs R4
1
1,0378
1,0378
0,1958
5,1174
10,5614
R2 vs R3
1
9,5396
9,5396
1,7994
5,1174
10,5614
Kelompok
3
35,3709
11,7903
2,2240
3,8625
6,9919
Galat
9
47,7132
5,3015
Total
15
213,7735
Keterangan:
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 16.
Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Kering
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
130,6894
43,5631
8,2172**)
3,8625
6,9919
Linier
1
3,7759
3,7759
0,7122
5,1174 10,5614
Kuadratik
1
120,1120
120,1120
22,6564**)
5,1174 10,5614
Kubik
1
6,8015
6,8015
1,2830
5,1174 10,5614
Kelompok
3
35,3709
11,7903
2,2240
3,8625
Galat
9
47,7132
5,3015
Total
15
213,7735
Keterangan:
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 17.
Uji Ortogonal Kontras Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
163,5616
54,5205
7,8570**)
3,8625
6,9919
R1, R4 vs R2, R3
1
152,3027
152,3027 21,9485**) 5,1174 10,5614
R1 vs R4
1
6,3112
6,3112
0,9095
5,1174 10,5614
R2 vs R3
1
4,9477
4,9477
0,7130
5,1174 10,5614
Kelompok
3
49,3218
16,4406
2,3693
3,8625
Galat
9
62,4517
6,9391
Total
15
275,3351
Keterangan:
6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 18.
Uji Ortogonal Polinomial Pengaruh Perlakuan terhadap Degradabilitas Bahan Organik
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F hit
F0,05
F0,01
Perlakuan
3
163,5616
54,5205
7,8570**)
3,8625
6,9919
Linier
1
9,5277
9,5277
1,3730
Kuadratik
1
152,3027
Kubik
1
1,7312
1,7312
0,2495
5,1174 10,5614
Kelompok
3
49,3218
16,4406
2,3693
3,8625
Galat
9
62,4517
6,9391
Total
15
275,3351
Keterangan:
5,1174 10,5614
152,3027 21,9485**) 5,1174 10,5614 6,9919
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) F0,01 Tanda**) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)