FERMENTABILITAS IN VITRO HASIL SAMPING INDUSTRI KARAGENAN YANG DIPERKAYA UNSUR NITROGEN DAN FOSFOR DALAM CAIRAN RUMEN SAPI
SKRIPSI
IZHAMIL HIDAYAH C34050505
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
IZHAMIL HIDAYAH. C34050505. Fermentabilitas In Vitro Hasil Samping Industri Karagenan yang Diperkaya Unsur Nitrogen dan Fosfor dalam Cairan Rumen Sapi . Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO dan TOTO TOHARMAT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi pupuk NPK berbeda pada hasil samping industri karagenan yang difermentasikan dengan ragi tempe terhadap kandungan nutrien dan kecernaaannya secara in vitro dalam cairan rumen sapi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, serta di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dengan memfermentasikan hasil samping industri karagenan dengan bantuan ragi tempe dengan empat perlakuan penambahan pupuk NPK (0%, 5%, 10%, 15%). Perlakuan dialokasikan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Variabel yang diukur adalah kecernaaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) secara in vitro serta kadar NH3 dan VFA dari hasil samping produksi karagenan yang telah difermentasikan. Penambahan pupuk NPK pada fermentasi hasil samping industri karagenan tidak berpengaruh nyata terhadap KCBK dan KCBO, konsentrasi VFA dan NH3. Nilai KCBK yang diperoleh pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15% berturut-turut yaitu 77,38%; 77,92%; 74,04%; 75,19%. Nilai KCBO yang diperoleh pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15% secara berturut-turut yaitu 70,69%; 71,86%; 67,00%; 66,44%. Kadar NH3 pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15% berturut-turut yaitu 16,38 mM; 14,91 mM; 21,27 mM; 29,22 mM. Kadar VFA yang diperoleh pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15% berturut-turut yaitu 150,94 mM; 177,03 mM; 119,35 mM; 128,04 mM. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah perubahan kadar nutrien hasil samping produksi karagenan melalui penambahan pupuk NPK dan fermentasi dengan ragi tempe menghasilkan nilai kecernaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat kecernaan rumput serta dapat meningkatkan kandungan protein kasar. Disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut secara in vivo guna mengetahui tingkat palatabilitasnya pada ternak ruminansia.
FERMENTABILITAS IN VITRO HASIL SAMPING INDUSTRI KARAGENAN YANG DIPERKAYA UNSUR NITROGEN DAN FOSFOR DALAM CAIRAN RUMEN SAPI
SKRIPSI
Oleh : IZHAMIL HIDAYAH C34050505
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Fermentabilitas
In Vitro Hasil Samping Industri Karagenan yang Diperkaya Unsur Nitrogen dan Fosfor dalam Cairan Rumen Sapi
Nama
: Izhamil Hidayah
NRP
: C34050505
Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc) NIP. 19620528198703 2 003
(Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M. AgrSc) NIP. 19590902198303 1003
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M Phil) NIP. 19580511 1985 031002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Fermentabilitas In Vitro Hasil Samping Industri Karagenan yang Diperkaya Unsur Nitrogen dan Fosfor dalam Cairan Rumen Sapi” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Izhamil Hidayah NRP C34050505
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Saok Lawas tanggal 13 Juli 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Drs. Zainal Abidin dan Nurdesmeri. Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di SDN Mekar Jaya 27
(1995-1999), tahun
1999-2002 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SLTP Negeri 3 Depok, dan tahun 2002-2005 di SMU Negeri 1 Depok. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2005 dan memilih program studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama di IPB penulis aktif dalam kelembagaan mahasiswa, tahun 2006-2007 penulis aktif sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM), Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKM-C), staf Departemen Pengembangan Bakat Olahraga dan Seni (PBOS) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM FPIK) tahun 2006-2007, Kepala Departemen Creative and Innovative for Allah (CIA) Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKM-C) tahun 2007-2008. Selain itu penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ikhtiologi tahun 2006-2007, asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Perairan tahun 20082009, asisten Pendidikan Agama Islam tahun 2007-2008 serta asisten praktikum mata kuliah Bioteknologi Hasil Perairan tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009 Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul ” Fermentabilitas In Vitro Hasil Samping Industri Karagenan yang Diperkaya Unsur Nitrogen dan Fosfor dalam Cairan Rumen Sapi”
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Fermentabilitas In Vitro Hasil Samping Industri Karagenan yang Diperkaya Unsur Nitrogen dan Fosfor dalam Cairan Rumen sapi. Skripsi ini
merupakan syarat kelulusan pada program pendidikan sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya. 2. Ayahanda dan Ibunda serta adikku Deddy tercinta yang senantiasa memberikan dorongan dan doanya. 3. Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan pengarahan dan telah membiayai penelitian penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc, selaku dosen pembimbing kedua telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis. 5. Ibu Dra. Ella Salamah, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dab bimbingan kepada penulis. 6. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M Phil, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Pembimbing Akademik. 7. Bapak Dr. Ir. Agoes M Jacob, Dipl.Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan. 8. Teman-teman THP angkatan 42 yang telah banyak memberikan kontribusi baik pikiran, harta, dan semangat tiada akhir. 9. Teman-teman seperjuangan Febri, Jamal, Widi, Fahrul, Evi, Riska, serta Vivit yang telah memberikan kenangan tersendiri. 10. Bu Dian Angraeni, Legis dan Risma yang banyak membantu penulis bekerja di laboratorium. 11. Rekan-rekan di Laboratorium Biotekonologi Hasil Perairan.
12. Kakak-kakak kelas (THP 40 dan THP 41) dan adik-adik kelas (THP 43 dan THP 44) atas semangat dan kebersamaannya. 13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
1.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian...........................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kappaphycus alvarezzii .........................
3
2.2 Hasil Samping Produksi Karagenan ...............................................
4
2.3 Pencernaan Fermentatif dalam Rumen ...........................................
5
2.4 Konsentrasi Amonia ......................................................................
7
2.5 Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) ........................................
7
2.6 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) ..........
8
METODOLOGI ...................................................................................
10
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................
10
3.2 Alat dan Bahan ..............................................................................
10
3.3 Metode Penelitian .......................................................................... 3.3.1 Pengayaan Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan ........ 3.3.2 Analisis Proksimat (AOAC 1995) ......................................... (1) Analisis kadar air ........................................................... (2) Analisis kadar abu .......................................................... (3) Analisis kadar lemak ...................................................... (4) Analisis kadar protein .................................................... (5) Analisis kadar serat kasar (Apriyantono et al 1989)........ (6) Analisis kadar karbohidrat by difference......................... 3.3.3 Pengukuran Kecernaan Fermentatif .......................................... 3.3.4 Analisis Kandungan Amonia................................................ 3.3.5 Analisis Kandungan Volatile Fatty Acids (VFA) .................. 3.3.6 Analisis Kandungan KCBK dan KCBO ...............................
11 11 11 12 12 13 13 14 15 15 15 15 16
3.4 Rancangan Percobaan ....................................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
18
4.1 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan ..................
18
4.2 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi .........................................................................
19
2.
3.
4.
4.3 Bahan Kering Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi .................................................
19
4.4 Perubahan Kadar Abu Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi ......................................
20
4.5 Kadar Protein Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi ......................................
21
4.6 Kadar Serat Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi ......................................
22
4.7 Kadar Lemak Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi ......................................
22
4.8 Kadar BET-N Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi ..................................................
23
4.9 Fermentabilitas Hasil Samping Produksi Karagenan ........................ 4.9.1 Degradasi Nitrogen Hasil Samping Produksi Karagenan dalam Rumen ......................................................................... 4.9.2 Konsentrasi VFA ( Volatile Fatty Acids) Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan........................................ 4.9.3 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan. ................................................ 4.9.4 Kecernaan bahan Organik (KCBO) Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan. ................................................
27
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
29
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
29
5.2 Saran .............................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
30
LAMPIRAN ..................................................................................................
33
5.
23 23 25 26
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1.
Jumlah Bakteri dan Protozoa Rumen Sapi dan Kerbau .......................
5
2.
Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan ......................
18
3.
Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi ..........................................................................................
19
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1.
Kappaphycus alvarezii .........................................................................
3
2
Diagram Alir Penelitian .......................................................................
11
3
Konsentrasi Amonia Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe ...........................................................
24
Konsentrasi VFA Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi tempe ................................................
25
Kecernaan Bahan Kering Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe ...........................................................
26
Kecernaan Bahan Organik Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi tempe.............................................................
27
4. 5. 6.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1.
Halaman
Foto Hasil Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan yang Ditambah NPK dan Ragi Tempe pada Hari Ke 1 ..................................
34
2.
Foto Alat Pengukuran Kadar VFA Cairan Fermentasi ..........................
35
3.
Foto Tabung Fermentor dalam Water Bath untuk Pengukuran KCBK/KCBO Hasil Fermentasi ...........................................................
4.
35
Foto Hasil Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan yang Ditambah NPK dan Ragi Tempe setelah 21 Hari ..................................
36
5.
Hasil Uji Statistik NH3 ........................................................................
37
6.
Hasil Uji Statistik Analisis VFA ...........................................................
38
7.
Hasil Uji Statistik KCBK .....................................................................
39
8.
Hasil Uji Statistik KCBO .....................................................................
40
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, produksi rumput laut nasional pada tahun 2005 mencapai 800 ribu ton basah. Pada tahun 2006 skala itu meningkat menjadi 1,4 juta ton basah. Pada tahun 2007 skala produksinya mengalami peningkatan menjadi 1,73 juta ton basah (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2007). Tahun 2009 produksi rumput laut nasional meningkat menjadi 2,547 juta ton basah (Kementrian Kelautan dan Perikanan 2010). Salah satu produk olahan rumput laut adalah karagenan. Hasil samping dari pengolahan rumput laut menjadi ekstrak rumput laut murni (karagenan) mencapai 71-76% (Uju 2005). Besarnya potensi dan prospek hasil samping pengolahan rumput laut masih belum diimbangi dengan pemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi tepat guna untuk memanfaatkan hasil samping tersebut. Hasil samping produksi karagenan biasanya dalam kondisi basah dan sangat rentan mengalami kebusukan bila tidak dilakukan perlakuan terhadap bahan tersebut. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengeringkan sisa pengolahan karagenan itu dengan menggunakan sinar matahari. Sapi merupakan ternak ruminansia penyedia kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Salah satu faktor penentu dalam mengupayakan pertumbuhan dan perkembangan populasi ternak sapi adalah ketersediaan pakan. Pakan merupakan komponen terbesar dari biaya yang dikeluarkan peternak yaitu sebesar 80% dari total biaya produksi (Umiyasih dan Anggraeny 2007). Ketersediaan rumput sebagai sumber utama pakan sapi semakin menurun karena adanya konversi lahan untuk kawasan pemukiman maupun sektor pembangunan yang lain. Syarat suatu bahan untuk dijadikan pakan ternak ruminansia adalah kandungan serat kasar, BET-N (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dan protein yang cukup. Rumput gajah yang biasa digunakan sebagai pakan ternak mengandung serat kasar 33,10%, BET-N 40% dan protein 9,10% (Hartadi et al. 1997). Oleh
2
karena itu perlu diupayakan perlakuan yang dapat meningkatkan komponen nutrien pakan yang terbuat dari hasil samping produksi karagenan tersebut agar mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak seperti pengkayaan unsur nitrogen dan fosfor serta melakukan proses fermentasi dengan ragi tempe 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kandungan nutrien dari hasil samping produksi karagenan. 2. Mengetahui kandungan nutrien dari hasil samping produksi karagenan setelah di fermentasi dengan ragi tempe 3. Mengetahui tingkat kecernaan hasil samping produksi karagenan yang diperkaya dengan nitrogen dan fosfor dan difermentasi dengan ragi tempe secara in vitro dalam cairan rumen sapi. .
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kappaphycus alvarezii Rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii (Gambar 1) menurut Luning (1990) diacu dalam Atmadja et al. (1996), diklasifikasikan kedalam divisi Rhodophyta, kelas Rhodophyceae, ordo Gigartinales, famili Solieriaceae, genus Eucheuma dan spesies Kappaphycus alvarezii. Kappaphycus alvarezii memiliki ciri-ciri morfologis sebagai berikut : bertalus, bulat silindris dan gepeng, berwarna merah, merah coklat, hijau kuning dan sebagainya, cabangnya berselang tidak teratur serta mempunyai benjolan-benjolan (blunt module) dan duri-duri (Boose, 1982) diacu dalam Atmadja et al. (1996).
Gambar 1 Kappaphycus alvarezii Pigmen yang terkandung dalam talus rumput laut digunakan untuk pengklasifikasiannya. Pigmen ini dapat menentukan warna talus sesuai dengan pigmen yang ada pada kelas Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat),
Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae
(alga biru).
Rumput laut dapat dijadikan sumber pangan karena umumnya mengandung karbohidrat, protein, sedikit lemak dan mineral yang sebagian besar merupakan senyawa garam. Rumput laut merupakan sumber vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan vitamin C, serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi dan iodium. Komposisi kimia rumput laut bervariasi antar individu, spesies, habitat, kematangan dan kondisi lingkungan (Anggadireja et al. 1993).
4
2.2 Hasil Samping Produksi Karagenan Salah satu komponen yang terkandung dalam hasil samping produksi karagenan adalah selulosa. Selulosa merupakan kerangka struktural semua tumbuh-tumbuhan dan merupakan bagian utama dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa
terdiri
dari
10.000
unit
glukosa
dalam
bentuk
unit-unit
anhidroglukopiranosa dengan rumus C6H10O5. Selulosa mempunyai ikatan β-1,4 glikosidik membentuk rantai polimer linear panjang dengan struktur yang seragam. Selulosa merupakan polimer karbohidrat dalam bentuk ikatan beta sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Selulosa merupakan struktur kristal yang sangat stabil. Hidrolisis dua unit glukosa yang berdekatan dan berikatan dapat melepaskan satu molekul air yang terbentuk dari gugus-gugus hidroksil pada atom karbon kesatu dan keempat. Posisi beta dari grup –OH pada C1 akan berhubungan dengan unit glukosa lain pada C1-C4 dari cincin piranosida, membentuk unit selobiosa (Almatsier 2003). Selain selulosa, komponen yang masih terdapat dalam sisa produksi karagenan adalah karagenan yang tidak terekstrak. Karagenan merupakan salah satu hidrokoloid yang berasal dari rumput laut merah. Karagenan merupakan salah satu polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa pada beberapa atom hidroksil dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik alfa 1,3 dan beta 1,4 secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil terikat gugus sulfat dengan ikatan ester (Angka dan Suhartono 2000). Berdasarkan struktur pengulangan unit polisakarida karagenan dapat dibagi atas tiga kelompok utama yaitu kappa, iota dan lambda karagenan. Secara prinsipil fraksi-fraksi karagenan ini berbeda dalam nomor dan posisi grup ester. Kappa karagenan terdiri dari ikatan 1,3-D-galaktosa 4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa. Iota karagenan terdiri dari unit-unit ulangan antara ikatan 1,3 dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-Dgalaktosa-2-sulfat. Sedangkan lambda karagenan terdiri dari unit-unit ulangan antara ikatan 1,3 dari unit D-galaktosa-2-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit Dgalaktosa-2,6-disulfat (Glicksman 1983).
5
2.3 Pencernaan Fermentatif dalam Rumen Ternak ruminansia memiliki perut majemuk yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Rumen merupakan struktur terbesar yang tersusun dari 1/7 sampai 1/10 massa ternak. Pada bagian ini merupakan tempat berlangsungnya proses fermentasi terbesar. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan suhu 28-42 oC. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. Nilai pH dipertahankan oleh buffer karbonat dari saliva karena adanya volatile fatty acids (VFA) dan amonia. Saliva yang masuk ke dalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Selain itu saliva juga berfungsi sebagai zat pelumas dan surfaktan yang membantu proses mastikasi dan ruminasi (Arora 1995). Jumlah bakteri dan protozoa rumen pada sapi dan kerbau yang diberi pakan berserat tinggi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Bakteri dan Protozoa Rumen pada Sapi dan Kerbau Mikrobiota ( x 108 sel/ml)
Sapi
Kerbau
Bakteri selulolitik
2,58
6,86
Bakteri proteolitik
0,41
0,54
Bakteri amilolitik
8,63
11,05
Total bakteri
13,2
16,20
Protozoa ( x 105 sel/ml)
1,15
1,59
Sumber: Pradhan (1994) Rumen dihuni tidak kurang dari empat jenis mikroba yaitu: bakteri, protozoa, fungi dan virus (Preston dan Leng 1987). Bakteri pencerna pati yaitu Streptococcus
bovis,
Ruminobacter
amylophilus,
Prevotella
ruminicola,
Succinomonas amylophilis dan Selenomonas ruminantium. Sedangkan bakteri pencerna selulosa adalah Ruminococcus flavefaciens, R. albus, Fusobacterium succinogenes dan Bacteriodes fibrisolvens. Bakteri tersebut mempunyai enzim yang mampu menghancurkan karbohidrat kompleks menjadi glukosa dan VFA (Freer dan Dove 2002). Arora (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi bakteri di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh konsentrasi amonia dan VFA
6
yang merupakan sumber karbon untuk pertumbuhan dan pembentukan protein mikroba. Sutardi (1979) menyatakan bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam
rumen menyebabkan
ruminansia
dapat
mencerna
ransum
yang
mengandung serat kasar tinggi. Arora (1995) menyatakan bahwa protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati sehingga dapat mempertahankan pH. Namun protozoa menurunkan konsentrasi VFA karena protozoa memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan nutriennya termasuk vitamin B kompleks dan asam amino yang tidak mampu disintesis dalam selnya. Penghuni terbesar cairan rumen adalah bakteri yang mencapai 1010-1012 sel/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang populasinya mencapai 105-106 sel/ml cairan rumen (Hungate 1996). Fardiaz (1992) menyatakan bahwa protozoa merupakan golongan protista tinggi yang mempunyai sifat lebih menyerupai hewan daripada tanaman atau yang biasa dikenal eukariotik. Berbeda dengan bakteri yang digolongkan prokariotik dan memiliki struktur yang lebih sederhana. Perbedaan antara eukariotik dan prokariotik terletak pada inti selnya. Eukariotik mempunyai inti sel sejati yaitu suatu struktur yang dikelilingi membran inti (nukleus) dimana didalamnya terdapat kromosom. Di dalam nukleus terdapat nukleolus yang mempunyai kandungan RNA sangat tinggi, sedangkan prokariotik tidak punya inti sejati dan komponen keturunannya terdapat di dalam molekul DNA tunggal yang terletak bebas dalam sitoplasma. Pada ternak ruminansia sebagian energi pakan ada yang terbuang dalam bentuk produksi gas CH4. Gas metan terbentuk dari reaksi antara gas CO2 dengan gas H2. Fermentasi di dalam rumen yang mengarah ke sintesis propionat akan lebih menguntungkan, karena pada sintesis propionat banyak menggunakan gas hidrogen, sehingga produksi gas metan menjadi berkurang. Proses sintesis asetat dan butirat menghasilkan gas hidrogen. Gas hidrogen dan CO2 akan membentuk gas metan yang sesungguhnya tidak bermanfaat bagi ternak (Orskov 2001).
7
2.4 Konsentrasi Amonia Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora 1995). Sekitar 3,5-14 mM amonia digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Enzim proteolitik mikroba rumen akan menghidrolisis protein menjadi oligopeptida yang kemudian menjadi asam amino dan diserap melalui dinding rumen yang secara cepat mengalami deaminasi menjadi amonia, metan dan CO2 (Sutardi 1979). Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disentesis menjadi protein mikroba, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang tidak terpakai dalam rumen akan dibawa ke hati diubah menjadi urea, sebagian dikeluarkan melalui urin dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al. 2002). Konsentrasi amonia dipengaruhi oleh adanya zat anti nutrisi di dalam ransum.
Sebagai
contoh adalah
hasil
penelitian
Hakim
(2002)
yang
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan konsentrasi amonia pada pemberian 50% A. villosa dalam ransum ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan pengaruh zat antinutrisi berupa tanin dalam A. villosa yang dapat membentuk komplek dengan protein dan menyebabkan protein sulit didegradasi di dalam rumen sehingga menjadi protein bypass dan akan menurunkan konsentrasi amonia. 2.5 Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Di dalam rumen, polisakarida dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kemudian monosakarida tersebut, seperti glukosa difermentasi menjadi VFA (Volatile Fatty Acids) berupa asetat, propionat, butirat, dan gas-gas CH4 dan CO2. VFA yang terbentuk akan diserap melalui dinding rumen dan gas CH4 dan CO2 akan hilang melalui eruktasi atau sendawa (McDonal et al. 2002). Komponen VFA diserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian VFA diubah oleh hati menjadi gula darah,
8
proses ini disebut juga glukoneogenesis. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger 1982). Konsentrasi VFA tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonal et al. 2002), sedangkan
konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan optimal mikroba rumen yaitu 80-160 mM (Sutardi 1979). Konsentrasi VFA selain dipengaruhi oleh jenis ransum yang dikonsumsi, dipengaruhi juga oleh jenis ternak ruminansia tersebut. Ulya (2007) memaparkan bahwa konsentrasi VFA pada ternak sapi lebih kecil daripada ternak kerbau, kambing dan domba. 2.6 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami ransum dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan ransum menjadi butirbutir atau partikel kecil yang selanjutnya menjadi molekul yang bisa diserap dan masuk ke dalam peredaran darah. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan kualitas ransum. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan berbeda-beda dalam mendegradasi ransum,
sehingga
mengakibatkan
perbedaan
kecernaan
dalam
rumen
(Sutardi 1979). Bahan kering terdiri dari abu dan bahan organik, sedangkan bahan organik itu sendiri terdiri dari protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat. Tingkat kecernaan nutrien dari suatu pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut, dengan demikian fermentabilitas bahan kering dan bahan organik dapat dijadikan salah satu indikator untuk menentukan kualitas pakan. Nilai fermentasi bahan kering dan organik menunjukkan jumah nutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen dan ternak inangnya (Sutardi 1979). Fermentabilitas bahan organik sama seperti fermentabilitas bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar. Serat kasar termasuk komponen dari bahan organik pakan. Apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada kadar ligninnya dan aktivitas mikroba rumen. Produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan nilai kecernaan bahan organik ransum yang dikonsumsi, semakin tinggi produksi amonia dan VFA dalam rumen
9
menunjukkan
bahwa
kecernaan
bahan
organik
semakin
tinggi
pula
(Rahmawati 2001). Konsentrasi amonia dalam rumen ikut menentukan efesiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan organik pakan. Tinggi rendahya kecernaan ransum didefinisikan sebagai bagian dari ransum yang tidak diekskresikan ke dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonal et al. 2002) dan kecernaan in vitro dipengaruhi oleh jenis komponen ransum, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly 1994). Derajat keasaman atau pH cairan rumen merupakan faktor penting dalam pemanfaatan bahan organik pada sistem pencernaan ruminansia (Driwanti 1999).
10
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan. Bahan penelitian berupa hasil samping produksi karagenan diperoleh dari PT. Araminta Sidhakarya, Tangerang. Fermentasi sampel dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis kandungan nutrien yang meliputi kadar air, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan BET-N dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, serta analisis daya cerna in vitro dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan , Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldahl, tabung sokhlet, pemanas, destilator, buret, tanur. Analisis invitro terdiri dari analisis Kecernaan Bahan Kering/Organik, analisis kandungan NH3 serta analisis kandungan VFA (asam lemak mudah menguap). Alat yang digunakan dalam analisis in vitro ini adalah tabung (tube) sentrifuse polypropylene 50 ml dan tutup karet berventilasi, pompa vakum, shaker bath dengan suhu air pemanas 39-40 oC, cawan porselin, sentrifuse, tanur listrik, mikroburet 0,001 ml, erlenmeyer, seperangkat alat destilasi, pembakar Bunsen atau kompor listrik serta kertas saring whatman nomor 41. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil samping produksi karagenan. Bahan yang digunakan pada analisis kandungan nutrien adalah akuades, H2SO4, NaOH, HCl, dan pelarut heksana. Analisis in vitro menggunakan bahan-bahan, seperti H2SO4 15%, larutan McDougal dengan suhu 39 oC dengan pH 6,5-6,9, cairan rumen segar dengan suhu 39 oC, larutan pepsinHCl 0,2%, larutan HCl 0,5 N, larutan HgCl2 jenuh, larutan Na2CO3 jenuh, larutan H2SO4 0,005 N, asam borat berindikator (BB) serta vaselin.
3.3
Metode Penelitian
11
Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap yaitu pengayaan nutrient hasil samping produksi karagenan, analisis proksimat dan uji fermentabilitas secara in vitro. 3.3.1 Pengayaan Nutrien Hasil Samping Produksi Keragenan Penelitian diawali dengan melakukan pengecilan ukuran partikel bahan fermentasi hasil samping produksi karagenan. Bahan yang telah dikeringkan, digiling, ditimbang sebanyak 50 gram, diberi air panas sambil diaduk rata sampai agak basah, kemudian disterilisasi selama 15 menit diangkat dan didinginkan. Hasil samping produksi karagenan yang telah didinginkan ditambahkan NPK yang sudah dilarutkan dalam air (± 1 sendok makan) dengan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15% dari berat keringnya. Setelah itu diinokulasi campuran biakan ragi tempe sebanyak 1 gram atau 2% inokulum per gram substrat kering dan diletakkan dalam baki plastik kemudian ditutup dengan plastik, difermentasi pada suhu kamar selama 21 hari (Lampiran 1) Setelah waktu fermentasi selesai dilakukan beberapa analisis. Analisis yang dilakukan yaitu, analisis kandungan nutriennya melalui uji proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), serta analisis pengukuran kecernaan in vitro yang meliputi uji amonia, analisis VFA, KCBK serta
KCBO. Diagram alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil Samping Produksi Karagenan
Penggilingan dan Sterilasasi
Penambahan Pupuk NPK (0 %, 5%, 10%, Fermentasi 21 Hari dengan Ragi Tempe
Analisis Proksimat (air, abu, protein, serat, lemak, Karbohidrat)
Gambar 2 Diagram alir penelitian
3.3.2 Analisis Proksimat (AOAC 1995)
Uji In Vitro (amonia, VFA, KCBK, KCBO
12
Bahan yang dianalisis digiling terlebih dahulu dengan saringan 2 mm. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi uji kadar air dan uji kadar abu menggunakan metode oven, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet dan uji kadar protein mengggunakan metode kjeldahl. (1) Analisis kadar air Cawan yang digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 1000-105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dioven pada suhu 100-105 0C selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Kadar air dihitung dengan rumus: % Kadar air
Keterangan:
B-C x100 % B-A
A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g).
(2) Analisis kadar abu Cawan yang digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dibakar diatas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan didalam tanur dengan suhu 550-600 0C sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur dibuka sedikit agar oksigen masuk). Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar abu dihitung dengan rumus: % Kadar abu
Keterangan:
C-A x100 % B-A
A = Berat cawan abu porselen kosong (g) B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (g)
13
C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g). 3) Analisis kadar lemak Sampel seberat 3 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2), dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor saat destilasi, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 0C, setelah itu
labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak pada sampel % Kadar Lemak Keterangan:
W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
(4) Analisis kadar protein Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. (a) Tahap destruksi Sampel ditimbang seberat 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.
14
(b) Tahap destilasi Tahap destilasi terdiri dari 2 pengujian, yaitu persiapan dan sampel. Tahap persiapan dilakukan dengan membuka kran air kemudian dilakukan pengecekan alkali dan air dalam tanki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya. Tombol power ditekan pada kjeltech system yang dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan tungku beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan dan tabung kjeltech dan erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltech system. Tahap sampel dilakukan dengan meletakkan tabung yang berisi hasil didestruksi ke dalam kjeltech system beserta erlenmeyer yang diberi asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml. (c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi pink. Perhitungan kadar protein pada sampel: % Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko)x 0,1 N HCl x 14 x 100% mg sampel % Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi (5) Analisis kadar serat kasar ( Apriyantono et al.1989) Sebanyak 2 g contoh bebas air dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Campuran tersebut dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105o C dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dilakukan hidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N, air panas dan terakhir menggunakan aseton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105o C selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat kasar ditentukan dengan rumus:
15
Kadar serat kasar (%) = a – b x 100% c Keterangan: a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g) (6) Analisis kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar karbohidrat(%) = 100%- (% kadar air + % kadar abu + % kadar lemak + % kadar protein + % kadar serat kasar) 3.3.3 Pengukuran Kecernaan Fermentatif Kecernaan in vitro dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Sebanyak 1 g sampel perlakuan, 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan rumen dimasukkan kedalam tabung fermentor sambil dialiri gas CO2 selama 30 detik dan ditutup dengan menggunakan karet berventilasi. Tabung fermentor tersebut dimasukkan ke dalam water bath shaker dengan suhu 39oC dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah 48 jam waktu inkubasi, tabung fermentor diambil dan ditambahkan 0,2 ml HgCl2 untuk mematikan mikroba rumen sehingga proses fermentasi terhenti. Campuran dalam tabung fermentor disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisa VFA dan NH3. 3.3.4 Analisis Konsentrasi Amonia Analisis amonia dilakukan dengan metode mikrodifusi cawan conway (University of Wisconsin 1966). Bibir cawan conway dan tutupnya
diolesi
dengan vaselin. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan dan sisi yang lain ditempatkan 1ml larutan Na2CO3.jenuh (kedua bahan tidak boleh bercampur sebelum tutup cawan ditutup rapat). Sebanyak 1 ml asam borat berindikator merah metil dan hijau bromo kresol pada pH 5,5 dipipet dan dimasukkan ke cawan kecil yang terletak di tengah cawan conway. Cawan conway ditutup rapat dengan permukaan (tutup) cawan, kemudian digerakkan hingga supernatan dan Na2CO3 jenuh tercampur rata dan dibiarkan selama 24 jam
16
pada suhu kamar. Setelah 24 jam, tutup cawan dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah-merahan. Konsentrasi amonia dapat dihitung dengan rumus : Konsentrasi amonia (mM) = ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 Berat ransum x % BK Ransum
3.3.5 Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Analisis VFA dilakukan dengan teknik destilasi uap (steam destilation) (University of Wisconsin 1966). Rangkaian alat pengujian konsentrasi VFA dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi di dalam pendingin. Destilat ditampung di dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sehingga volumenya mencapai 250-300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator Phenolptalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari warna merah jambu menjadi bening. Konsentrasi VFA dapat dihitung dengan rumus : Konsentrasi VFA (mM) =
(a-b) x N HCl x 1000/5 ml Berat ransum x % BK Ransum
Keterangan : a= volume titran blanko (ml) b= volume titran sampel (ml) 3.3.6 Analisis Kandungan KCBK dan KCBO Endapan yang diperoleh dari tahapan pencernaan fermentatif, selanjutnya ditambah dengan 50 ml larutan pepsin HCl 0,2%. Inkubasi dilanjutkan hingga 48 jam pada suhu air water bath 39OC.
Setelah selesai masa inkubasi, sisa
pencernaan disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 41 dengan dibantu menggunakan pompa vakum. Kertas saring sebelumnya telah diketahui kadar airnya. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven 105oC selama 24 jam untuk mengetahui bahan kering residu dan
17
diabukan dalam tanur 600 oC selama 6 jam untuk menghitung bahan organiknya. Gambar alat pengujian KCBK dan KCBO dapat dilihat pada Lampiran 3. Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) dapat dihitung dengan rumus : KCBK (%) = BK sampel(g) – [BK residu(g) – BK blanko(g)]
x 100%
BK sampel(g) KCBO (%) = BO sampel(g) – [BO residu(g) – BO blanko(g)]
x100%
BO sampel(g) 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan penambahan pupuk NPK dengan berbagai taraf konsentrasi ( 0%, 5%, 10%, 15%). Variabel yang diamati adalah konsentrasi amonia (NH3), konsentrasi VFA, kecernaan bahan kering serta kecernaan bahan organik. Data dari pengujian fermentabilitas hasil samping produksi karagenan dalam cairan rumen sapi dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Model linear untuk rancangan acak lengkap yang digunakan adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya 2002): Yij = µ + τi + εij i: faktor (i= 1,2,3,4) j: ulangan (j= 1,2) keterangan: Yij
= respon percobaan karena pengaruh faktor penambahan pupuk NPK pada faktor ke i dan ulangan ke j
µ
= rataan umum
τi
= pengaruh faktor penambahan pupuk NPK pada taraf i
εij
= galat percobaan karena faktor penambahan NPK pada taraf ke i dan ulangan ke j .
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan Komposisi nutrien hasil samping produksi karagenan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Komposisi nutrien menunjukkan bahwa bahan tersebut mengandung nutrien yang berkualitas baik untuk ternak ruminansia dan setara dengan rumput-rumputan bahkan ditinjau dari segi kadar seratnya lebih baik dari rumput lapang bahkan rumput gajah yang umum digunakan untuk ternak sapi dan domba. Hasil samping produksi karagenan mengandung lemak dan protein yang rendah. Namun lemak yang masih tersisa dalam bahan tersebut dapat menyumbangkan komponen lemak esensial yang biasanya tinggi pada produk perikanan dan laut lainnya. Hasil samping produksi karagenan mengandung bahan ektrak tanpa nitrogen (BET-N) yang tinggi yang merupakan karbohidrat non struktural dan mudah difermentasi dalam rumen dan mudah dicerna dalam usus halus. Kadar abu yang tinggi pada bahan tersebut diperkirakan dapat menyumbangkan mineral esensial untuk ternak. Komposisi nutrien bahan menunjukkan bahwa bahan tersebut layak digunakan sebagai pakan ruminansia. Tabel 2 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan No
Komposisi Kimia
Kadar % Bahan Segar
1. Air 11,59 2. Lemak 3,09 3. Protein 0,88 4. Serat kasar 19,54 5. Abu 22,17 6. BET-N 42,73 Keterangan: BET-N = bahan ektraks tanpa nitrogen.
Kadar % Bahan Kering 0 3,50 1,00 22,10 25,08 48,33
19
4.2 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi Komposisi nutrien hasil fermentasi hasil samping produksi karagenan dengan menggunakan campuran ragi tempe ditunjukkan dalam Tabel 3. Fermentasi bahan hingga 21 hari mengubah kadar komponen nutrien dan penampakan fisik bahan tersebut (Lampiran 4). Hasil menunjukkan bahwa pengayaan nitrogen dan fosfor melalui penambahan pupuk NPK dan fermentasi meningkatkan kadar abu dan protein tapi menurunkan kadar serat bahan hasil fermentasi. Tabel 3 Komposisi Nutrien Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi No Konsentrasi Bahan Abu Protein Serat Lemak BET-N NPK (%) Kering Kasar Kasar Kasar Kadar % Bahan Segar 1 0 93,10 21,10 4,40 18,26 0,19 49,15 2 5 91,90 25,26 8,40 9,89 0,15 48,20 3 10 84,58 25,53 12,22 9,24 0,13 37,46 4 15 83,43 27,58 16,18 2,33 0,09 37,25 Kadar % Bahan Kering 1 0 100 22,66 4,73 19,61 0,20 52,79 2 5 100 27,49 9,14 10,76 0,16 52,45 3 10 100 30,18 14,45 10,92 0,15 44,29 4 15 100 33,06 19,39 2,79 0,11 44,65 100 15,40 9,10 33,10 2,24 40,00 5 Rumput gajah *
6
Rumput lapang *
100
12,70
11,48
46,72
1,23
28,69
* Hartadi et al. 1997 Peningkatan protein diduga karena penambahan unsur nitrogen kedalam bahan. Namun dalam hal ini tidak dapat dipastikan berapa bagian dari nitrogen tersebut yang dikonversi menjadi protein murni sebagai produk atau bagian sel ragi. Informasi penurunan kadar serat kasar bahan yang diuji menggambarkan bahwa ragi tempe tumbuh dan mampu mencerna komponen serat bahan. Hal ini sejalan dengan penurunan kadar serat .
20
4.3 Bahan Kering Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Pengaruh penambahan NPK terhadap kadar bahan kering hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3. Penurunan kadar bahan kering hasil fermentasi sejalan dengan penambahan pupuk NPK. Semakin tinggi jumlah pupuk NPK yang ditambahkan kadar bahan kering hasil samping produksi karagenan semakin turun. Peningkatan kadar air atau penurunan kadar bahan kering dapat disebabkan karena kapang memanfaatkan bahan organik untuk keperluan pertumbuhan dan pembentukan massa sel kapang yang pada akhirnya menghasilkan karbondioksida, air, dan energi. Air yang dihasilkan akan menguap, dan sisanya akan tertinggal di dalam biomassa, didukung oleh kadar air yang terkandung di dalam sel kapang itu sendiri sebesar 80% (Suhartono 1989). Sehingga semakin besar penambahan NPK, biomassa yang dihasilkan akan semakin menyusut dan kadar air yang dihasilkan akan semakin besar. 4.4 Perubahan Kadar Abu Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Hasil penelitian pengaruh penambahan NPK terhadap kadar abu hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3. Peningkatan kadar abu terjadi sejalan dengan penambahan NPK. Kenaikan abu atau bahan inorganik diperkirakan terkait dengan penggunaan bahan organik oleh ragi tempe selama fermentasi sehingga kadar abu relatif menjadi meningkat terhadap total bahan kering. Kadar abu dari hasil samping produksi karagenan tanpa perlakuan fermentasi (22,17%), lebih rendah dari kadar abu hasil samping produksi karagenan yang meningkat dengan semakin bertambahnya konsentrasi NPK. Hal ini karena semakin bertambahnya konsentrasi NPK, maka semakin banyak sisa NPK yang tidak dimanfaatkan kapang. Kadar abu dari rumput gajah umur 45-56 hari adalah 15,4% ( Hartadi et al. 1997).
21
4.5 Kadar Protein Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Hasil penelitian pengaruh penambahan NPK terhadap kadar protein kasar hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3. Terdapat peningkatan kadar protein kasar akibat penambahan NPK. Kadar protein kasar dengan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15%, berturut-turut adalah 4,4%; 8,4%; 12,22%; 16,18%. Bila dibandingkan dengan kandungan protein kasar rumput gajah umur 45-56 hari yang hanya sebesar 9,1% (Hartadi et al. 1997), kadar protein dari sisa pengolahan setelah fermentasi lebih tinggi. Kadar protein kasar tertinggi dimiliki oleh hasil samping produksi karagenan dengan perlakuan penambahan NPK sebesar 15% yaitu sebesar 16,18%. Hal ini jauh berbeda dengan kandungan protein kasar tanpa perlakuan fermentasi yaitu sebesar 0,88%. Kebutuhan nutrisi protein kasar yang diperlukan oleh sapi perah dengan bobot badan 454 kg pada tahap awal laktasi 15 kg susu adalah 16,6% (NRC 2001). Peningkatan kadar protein kasar hasil samping produksi karagenan sejalan dengan semakin besarnya konsentrasi NPK, karena sisa N dalam NPK yang tidak digunakan oleh kapang terukur dengan menggunakan metode kjeldahl. Disamping itu diduga karena biomassa sumber protein seperti sel mikroba yang dihasilkan semakin banyak. Kenaikan kadar protein kasar diakibatkan karena adanya penambahan protein yang disumbangkan oleh tubuh mikroba itu sendiri akibat pertumbuhannya. Wang et al. (1979) diacu dalam Hardjo et al. (1989) menyatakan bahwa selama proses fermentasi berlangsung, kadar protein media mengalami peningkatan. Peningkatan ini disebabkan karena adanya kenaikan jumlah massa sel kapang. Peningkatan kadar protein sejalan dengan menurunnya kadar pati dari sisa pengolahan. Hal ini menggambarkan kemampuan mikroba memanfaatkan sumber pati untuk sintesa protein cukup tinggi. Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein dipengaruhi oleh proses yang berlangsung dalam fermentasi, kondisi pertumbuhan dan jenis mikroba serta jenis substrat.
22
4.6 Kadar Serat Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Hasil penelitian pengaruh penambahan NPK terhadap kadar serat kasar hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3 yang menunjukkan adanya penurunan kadar serat kasar akibat penambahan NPK serta memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan kandungan serat kasar sisa pengolahan rumput laut tanpa fermentasi yaitu sebesar 19,54%. Kadar serat kasar dengan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15%, berturut-turut adalah 18,26%; 9,89%; 9,24%; 2,33%. Penurunan kadar serat kasar terjadi karena serat dari hasil samping produksi karagenan telah dicerna oleh kapang untuk pertumbuhannya. Ragi tempe merupakan inolulum campuran yang terdiri dari beberapa mikroba terutama kapang antara lain dari genus Rhizopus dan spesies yang sering ditemukan adalah R. oryzae, R. oligosporus, R. arrhizus (Rahman 1992). Menurut Rokhmani (2005) kapang spesies Rhizopus oryzae menghasilkan enzim selulase yang dapat mencerna selulosa. Semakin besar konsentrasi NPK yang ditambahkan pada kapang untuk proses fermentasi akan memberikan pengaruh positif terhadap unsur hara untuk pertumbuhan kapang. Bila dibandingkan dengan rumput lapang yang memiliki kadar serat kasar sebesar 24,28 % ( NRC 2001),dan rumput gajah umur 45-56 hari sebesar 33,1% ( Hartadi et al. 1997) kandungan serat kasar dari produk fermentasi hasil samping produksi karagenan tergolong lebih rendah. 4.7
Kadar Lemak Kasar Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Hasil penelitian pengaruh penambahan NPK terhadap kadar lemak kasar
hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3 yang menunjukkan adanya penurunan kadar lemak kasar akibat penambahan NPK dan lebih kecil dari kandungan lemak kasar tanpa perlakuan fermentasi yaitu sebesar 3,09%. Kadar lemak kasar dengan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15%, berturut-turut adalah 0,19%; 0,15%; 0,13%, 0,09%. Penurunan ini terjadi karena lemak kasar dari hasil samping produksi karagenan telah dicerna oleh kapang untuk pertumbuhannya. Semakin besar konsentrasi NPK yang ditambahkan pada media pertumbuhan kapang, semakin banyak nutrien yang
23
digunakan untuk proses fermentasi. Kadar lemak kasar hasil fermentasi hasil samping produksi karagenan sangat rendah dan dalam pencampuran sisa pengolahan karagenan dengan bahan lain sebagai pakan ternak, memerlukan sumber lemak lain sebagai suplemen lemak untuk ternak yang bersangkutan. Kadar lemak kasar yang dimiliki oleh rumput gajah menurut Hartadi et al. (1997) adalah sebesar 2,24%. 4.8 Kadar BET-N Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Hasil penelitian pengaruh penambahan NPK terhadap kadar BET-N hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi hari ke-21 disajikan pada Tabel 3 yang menunjukkan adanya penurunan kadar BET-N akibat penambahan NPK. Kadar BET-N dengan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15%, berturut-turut adalah 49,15%; 48,2%; 37,46%; 37,25% . Kandungan BET-N rumput gajah adalah 40,0% (Hartadi et al. 1997). Hal ini menggambarkan bahwa ragi tempe cukup efektif memanfaatkan komponen BET-N untuk pertumbuhannya. 4.9 Fermentabilitas in vitro Hasil Samping Produksi Karagenan Fermentabilitas in vitro hasil samping produksi karagenan setelah fermentasi dalam rumen sapi diukur dengan beberapa pengujian yaitu pengukuran konsentrasi amonia, konsentrasi VFA, KCBK dan KCBO. 4.9.1 Degradasi Nitrogen Hasil Samping Produksi Karagenan dalam Rumen Amonia dihasilkan dan digunakan oleh mikroba rumen terutama bakteri untuk mensintesis protein selnya. Amonia dihasilkan dari protein yang terdegradasi oleh enzim proteolitik. Enzim preteolitik dihasilkan oleh bakteri menjadi peptida dan asam-asam amino. Selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi dan manghasilkan amonia. Amonia merupakan sumber nitrogen yang utama dan penting untuk sintesis protein mikroba. Sekitar 82% spesies mikroba mampu menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen (Sutardi 1980). Kadar NH3 hasil samping produksi karagenan fermentasi dapat dilihat pada Gambar 3.
24
Gambar 3 Konsentrasi Amonia Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa kandungan NH3 hasil samping produksi karagenan dengan perlakuan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10%, 15%, berturut-turut adalah 16,38 mM; 14,91 mM; 21,27 mM; 29,02 mM. Peningkatan konsentrasi amonia terjadi akibat adanya peningkatan konsentrasi NPK sehingga kandungan nitrogen yang semakin tinggi akan memacu degradasi unsur nitrogen tersebut. Mikroba rumen cenderung merombak protein untuk menjamin ketersediaan NH3 dan menghasilkan NH3, CO2 dan VFA. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al. 2002). Penggunaan hasil samping produksi karagenan dapat menunjang kondisi ketersedian NH3 dalam rumen yang optimum untuk mendukung pertumbuhan mikroba. sehingga masih sangat sesuai dengan kebutuhan sapi. Konsentrasi amonia tertinggi dihasilkan oleh sisa pengolahan dengan penambahan pupuk NPK 15% yaitu sebesar 29,02 mM dan konsentrasi terendah adalah sisa pengolahan dengan penambahan NPK 5% yaitu sebesar 14,91 mM. Hasil uji ragam (ANOVA α= 0,05) dengan rancangan acak lengkap menunjukkan bahwa penambahan pupuk NPK memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi NH3 pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 5).
25
4.9.2 Konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acids) Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan Proses degradasi karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana dan pemecahan gula sederhana menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2 dan CH4 (McDonald et.al 2002). VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen (Hungate 1996). Konsentrasi VFA fermentasi hasil samping produksi karagenan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Konsentrasi VFA Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe Gambar 4 menunjukkan bahwa konsentrasi VFA dari hasil samping produksi karagenan dengan perlakuan konsentrasi NPK 0%, 5%, 10% dan 15% berturut-turut adalah 150,94 mM; 177,03 mM; 119,35 mM dan 128,04 mM. Konsentrasi
VFA
tergantung
(McDonal et al. 2002), sedangkan
pada
jenis
ransum
yang
dikonsumsi
konsentrasi VFA yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan optimal pertumbuhan mikroba rumen yaitu 80-160 mM (Sutardi 1979). Konsentrasi VFA yang tinggi pada penelitian ini disebabkan oleh tidak adanya pengeluaran VFA melalui penyerapan dalam sistem in vitro dan VFA hanya dimanfaatkan oleh mikroba cairan rumen (Silalahi 2003).
26
Hasil uji ragam (ANOVA α= 0,05) dengan rancangan acak lengkap menunjukkan bahwa penambahan pupuk NPK memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi VFA pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 6). 4.9.3 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan salah satu indikator kualitas pakan dan nilainya menunjukkan porsi nutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen dan ternak (Sutardi 1980). Kadar KCBK fermentasi hasil samping produksi karagenan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kecernaan Bahan Kering Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai kecernaan bahan kering hasil samping produksi karagenan yang ditambah NPK pada level 0%, 5%, 10% dan 15% berturut-turut adalah 77,38%; 77,92%; 74,04%; 75,19%. Nilai kecernaan bahan kering dari hasil samping produksi karagenan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kecernaan rumput lapang yang hanya berkisar antara 42-49% (Wahyuni 2008) sehingga hasil samping produksi karagenan ini memiliki tingkat kecernaan yang tinggi dan dapat mendukung pertumbuhan optimum mikroba rumen.
27
Hasil uji ragam (ANOVA α= 0,05) dengan rancangan acak lengkap menunjukkan bahwa penambahan pupuk NPK memberikan pengaruh
tidak
berbeda nyata terhadap konsentrasi KCBK pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 7). 4.9.4 Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Penambahan NPK dan Fermentasi Kecernaan bahan organik juga merupakan salah satu indikasi porsi nutrien dalam pakan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen (Sutardi 1980). Kadar KCBO fermentasi hasil samping produksi karagenan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Kecernaan Bahan Organik Hasil Samping Produksi Karagenan Setelah Fermentasi dengan Ragi Tempe Gambar 6 menunjukkan nilai kecernaan bahan kering bahan dari hasil samping produksi karagenan yang ditambah NPK 0%,
5%, 10% dan 15%
berturut-turut adalah 70,70%; 71,86%; 67,00%; dan 66,44% %. Nilai kecernaan bahan kering dari hasil samping produksi karagenan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kecernaan bahan organik rumput lapang yang hanya berkisar antara 39-46% (Wahyuni 2008) sehingga hasil samping produksi karagenan ini memIliki tingkat kecernaan yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan kecukupan nutrien pada ternak ruminan yang mengkonsumsinya. Nilai kecernaan bahan organik sisa pengolahan karagenan
28
semakin menurun dengan semakin meningkatnya pupuk NPK yang ditambahkan pada bahan. Hal ini diduga terkait dengan semakin menurunnya komponen bahan organik yang mudah dicerna akibat telah digunakannya komponen tersebut untuk pertumbuhan ragi tempe selama fermentasi apabila kandungan serat kasar yang sulit dicerna semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada mikroba rumen (Rahmawati 2001). Hasil uji ragam (ANOVA α= 0,05) dengan rancangan acak lengkap menunjukkan bahwa penambahan pupuk NPK memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi KCBO pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 8).
30
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil samping dari produksi karagenan memiliki kandungan BET-N dan serat kasar yang cukup tinggi yaitu 42,73% dan 19,54% namun memiliki kandungan protein yang rendah. Fermentasi yang dilakukan dengan ragi tempe meningkatkan kandungan
protein kasar hingga 16,18% dengan penambahan
pupuk NPK 15%. Konsentrasi NH3 dari hasil samping produksi karagenan yang ditambahkan NPK dan difermentasi dengan ragi tempe berkisar antara 14-21 mM. Konsentrasi VFA dari hasil samping dari produksi karagenan yang telah ditambahkan NPK dan difermentasi dengan ragi tempe berkisar antara 119-177 mM. Nilai kecernaan bahan kering sisa hasil samping produksi karagenan yang ditambah NPK dan difermentasi ragi tempe berkisar antara 74-77%. Nilai kecernaan bahan organik hasil samping dari produksi karagenan yang ditambah NPK dan difermentasi ragi tempe berkisar antara 66-70%. Nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sisa pengolahan karagenan lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik rumput lapang yang hanya berkisar berturut-turut antara 42-49% dan 39-46% sehingga sisa pengolahan karagenan memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi. 5.2 Saran Hasil samping produksi karagenan dapat digunakan sebagai pakan sumber serat pada sapi tanpa pengolahan terlebih dahulu serta disarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut secara in vivo guna mengetahui tingkat palatabilitas pada ternak sapi.
30
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc. Almatsier. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Anggadireja JA, Zatnika W, Syatmiko SI, Moor. 1993. Tekonologi Produk Perikanan dalam Industri Farmasi Di dalam: Potensi dan Pemanfaatan Makro Alga laut; Makalah Stadium General Teknologi dan Alternatif Produk Perikanan dalam Industri Farmasi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari N, Sedarnawati, Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Penelaah: Deddy Muchtadi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Arora. 1995. Pencernaan Mikroba pada Hewan Ruminansia. R. Muwarni ,penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. Jakarta: LIPI. Driwanti. 1999. Pengaruh tingkat pemberian pakan, protein pakan dan waktu pemberian suplemen energi terhadap karakteristik cairan rumen domba lokal [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Freer M, Dove. 2002. Sheep Nutrition. Canberra: CABI and CSIRO Publishing. Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloids. Vol. III. Boca Raton, Florida: CRC Press. Hakim RS. 2002. Evaluasi in vitro respon mikroba rumen ternak ruminansia terhadap penambahan DABA (2,4-diaminobutyric acid) dan lamtoro merah (Acacia villosa) dalam ransum [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hardjo S, Indrasti NS, Bantacut T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat pendidikan Tinggi, Bogor: PAU-Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hartadi HS, Reksohadiprodjo, Tillman AD. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
31
Hungate, RE. 1996. The Rumen and Its Microbes. New York: Academic Press. Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2007. Analisa Data Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Rumput laut dapat diolah menjadi 500 produk. http://www.dkp.go.id/index.php/nd/news/2102/rumput-lautdapat-diolah-jadi-500-produk [2 Februari 2010] Lehninger A. 1982. Biochemistry 2nd ed. New York: Work Publ.Inc. Matjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perencanaan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor: IPB Press Mc Donald PR, Edward JFD, Greenhalg, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. Sixth Edition. Gosport: Ashford Colour Press. National Research Council. 2001. Nutrient Requirements for Dairy Cattle. Washington DC: Natl. Acad. Sci. Orskov ER. 2001. The Feeding of Ruminants Principles and Practise. Second edition. United kingdom: Chalcombe Publication. Pradhan K. 1994. Rumen ecosystem in relation to cattle and buffalo nutrition. In: Wanapat, M. and K. Somniart (Editor). Proc. First Asian Buffalo Association Congress Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resource in The Tropic. Armidale: Penambul Books. Rahmawati IGAWD. 2001. Evaluasi in vitro kombinasi lamtoro merah (Acacia villosa) dan gamal (Gliricidia maculata) untuk meningkatkan kualitas pakan pada ternak domba [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Rahman A. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Rokhmani SIW. 2005. Peningkatan Gizi Bahan Pakan dari Limbah Pertanian Melalui Fermentasi. Di dalam: Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci; Bogor: Balai Penelitian Ternak. Hlm 66-74. Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dengan amoniasi dan inokulan digesta rumen [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
32
Silalahi RE. 2003. Uji fermentabilitas dan kecernaan in vitro suplemen Zn anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Di dalam: Proceeding Seminar dan Penunjang Peternakan. Bogor: Lembaga Penelitian Peternakan. Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tilley JMA dan RA Terry. 1963. A two stage technique for the in-vitro digestion of forage crops. J. British Grassland Soc. 18: 104-111. Uju. 2005. Kajian proses pemurnian dan pengkonsentrasian karagenan dengan membran mikrofiltrasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ulya A. 2007. Kajian in vitro mikroba rumen berbagai ternak ruminansia dalam proses fermentasi bungkil biji jarak pagar (Jatropa curcas L. ) [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Umiyasih dan Anggraeny. 2007. Petunjuk Teknis Ransum Seimbang, Strategi Pakan Pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor: Departemen Pertanian. [University of Wisconsin]. 1966. General Laboratory Procedure. Madison: Departmen of Animal Sci. University of Wisconsin. Wahyuni SD. 2008. Fermentabilitas dan degradabilitas in vitro serta produksi biomassa mikroba ransum komplit kombinasi rumput lapang, konsentrat dan suplemen kaya nutrient [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
33
LAMPIRAN
34
Lampiran 1. Foto Hasil Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan yang Ditambah NPK dan Ragi Tempe pada Hari ke 1
NPK 0 %
NPK 10%
NPK 5%
NPK 15%
35
Lampiran 2. Foto Alat Pengukuran Kadar VFA Cairan Fermentasi
Lampiran 3. Foto Tabung Fermentor dalam water bath untuk Pengukuran KCBK/KCBO Hasil Fermentasi
36
Lampiran 4. Foto Hasil Fermentasi Hasil Samping Produksi Karagenan yang Ditambah NPK dan Ragi Tempe setelah 21 hari
NPK 0%
NPK 15 %
NPK 5 %
NPK 10%
37
Lampiran 5 Hasil Uji Statistik NH3
ANOVA NH3
Perlakuan Galat/error Total
Jumlah Kuadrat 363,915 359,810 723,725
Derajat Bebas 3 8 11
Nilai Tengah Kuadrat 121,305 44,976
F hitung 2,697
F tabel (0,05) 4,07
38
Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Analisis VFA ANOVA VFA
Perlakuan Galat/error Total
Jumlah Kuadrat 4803,321 41833,061 46636,38
Derajat Bebas 3 8 11
Nilai Tengah Kuadrat 1601,107 5229,133
F hitung 0,306
F tabel (0,05) 4,07
39
Lampiran 7 Hasil Uji Statistik KCBK
ANOVA KCBK
Perlakuan Galat/error Total
Jumlah Kuadrat 30,080 221,799 251,879
Derajat Bebas 3 8 11
Nilai Tengah Kuadrat 10,027 27,725
F hitung 0,362
F tabel (0,05) 4,07
40
Lampiran 8 Hasil Uji Statistik KCBO ANOVA KCBO
Perlakuan Galat/error Total
Jumlah Kuadrat 64,758 360,240 424,998
Derajat Bebas 3 8 11
Nilai Tengah Kuadrat 21,586 45,030
F hitung 0,479
F tabel (0,05) 4,07