FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN RANSUM KOMPLIT YANG MENGANDUNG Indigofera sp. DAN LIMBAH TAUGE DENGAN RUMEN SIMULATION TECHNIQUE (RUSITEC)
SKRIPSI SITI SYAFA’AH
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN SITI SYAFA’AH. D24080280. 2012. Fermentabilitas dan Kecernaan Ransum Komplit yang Mengandung Indigofera sp. dan Limbah Tauge dengan Rumen Simulation Technique (Rusitec). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS Pembimbing Anggota : Dr.Ir.Muhammad Ridla, M.Agr Domba jonggol dan domba garut merupakan domba lokal yang telah berkembang dan beradaptasi di Indonesia. Pakan utama domba adalah hijauan yang ketersediaannya sangat bergantung pada musim. Pemberian hijauan saja belum dapat mencukupi kebutuhan nutrisi domba. Untuk itu dibutuhkankonsentrat, namunharga konsentrat relatif mahal. Bahan pakan alternatif sumber serat dan protein serta adaptif terhadap musim yaituIndigofera sp. dan limbah tauge. Indigofera sp.memiliki kandungan protein 27% dan kandungan serat kasar 21,4%, limbah tauge mengandung protein kasar 14,42%dan serat kasar 38,5%. Fermentabilitas dan kecernaan merupakan faktor penting untuk mengetahui kualitas pakan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji fermentabilitas dan kecernaan ransum komplit yang mengandung Indigofera sp dan limbah tauge dengan metode Rusitec pada domba garut dan domba jonggol. Rancangan yang digunakan dalam penelitianadalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x2dengan dua ulangan. Faktor pertama yaitu perbedaan sumber hijauan; ransum yang mengandung Indigofera sp. dan ransum yang mengandung limbah tauge dalam bentuk mash dengan susunan ransum berupa hijauan : konsentrat 30: 70. Faktor kedua yaitu pengaruh perbedaan cairan rumen bangsa domba; domba garut dan domba jonggol. Cairan rumen yang digunakan berasal dari 8 ekor domba yaitu 4 ekor domba jonggol dan 4 ekor domba garut. Bahan pakan konsentrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO3, molasses, bungkilkedelai, premix, danNaCl. Parameter yang diukur adalah konsentrasi pH rumen, VFA Parsial, konsentrasi NH3, Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK), dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan program SAS 9.1, jika terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH pakan mengandung Indigofera sp. (6,74±0,03) dan limbah tauge (6,47±0,03) tidak berbeda nyata. Konsentrasi NH3 ransum yang mengandung Indigofera sp. (42,25±8,69 mg%) lebih tinggi dari limbah tauge (31,90±0,05 mg%) (P<0,05). Namun, konsentrasi VFA Parsial pada kedua pakan tidak berbeda nyata. Kecernan bahan kering pakanmengandung Indigofera sp. (68,63±0,47 %) lebih tinggi dari ransummengandung limbah tauge (62,71±4,07) (P<0,05). Begitu juga halnya dengan Kecernaan Bahan Organik Indigofera sp. (69,72±1,59 %) lebih tinggi dari limbah tauge (63,37±2,65 %) (P<0,05). Tidak ada perbedaan terhadap konsentrasi pH, NH3, VFA Parsial, KCBK, dan KCBO pada pengaruh perbedaan cairan rumen domba jonggol dan domba garut serta interaksi antara perbedaan sumber hijauan dan sumber bangsa. Kata kunci : fermentabilitas, Indigofera sp., kecernaan, limbah tauge, Rusitec.
i
ABSTRACT RUSITECFermentability and DigestibilityComplete Ration ContainingIndigofera sp. and Bean Sprouts Waste Syafa’ah, S, Erika. B. L and M. Ridla Indigofera sp. leaves and bean sprouts waste have high protein and crude fiber content which are potential to be used as feedstuff for sheep. The aim of this research was to evaluate charasteristic fermentatif (VFA parsial and NH3 concentration) and digestibility (DM & OM digestibility) of garut sheep and jonggol sheep through improvement of feed management using Indigofera sp. and bean sprout waste by technicRUSITEC. The rations were complete feed containing 30% of Indigofera sp. and 30% of bean sprout waste. The experiment held October 2011 to March 2012, used factorial completely randomazed design (2 x 2 within 2 replications). First factor was type of ration (Indigofera sp. and bean sproute waste), second factor was rumen fluid of different breed of sheep (garut sheep and jonggol sheep). The data’s were analyzed by SAS 9.1. Significant effect of result would analyzed by Duncan Multiple Range Test. The results showed that pH and VFA partial concentration were not influenced by the ration and breed, but for the NH3 concentration, DMD, and OMD were influenced by the ration. The NH3 concentration of Indigofera sp. (42,25±8,69 mg%) was higher than bean sproute waste (31,90±0,05 mg%) (P<0,05). Whereas Indigofera’s DM (68,63 ± 0,47%) & OM (69,72 ± 1,59%) digestibility was higher than bean sproute waste (DMD (62,71 ± 4,07 %); OMD (63,37 ± 2,65%)) (P<0,05). Keywords: bean sproutewaste, digestibility, fermentation,Indigofera sp., Rusitec technique
ii
FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN RANSUM KOMPLIT YANG MENGANDUNGIndigofera sp.DAN LIMBAH TAUGE DENGAN RUMEN SIMULATION TECHNIQUE (RUSITEC)
SITI SYAFA’AH D24080280
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
iii
Judul
:Fermentabilitas dan Kecernaan Ransum Komplit yang Mengandung Indigofera sp.dan Limbah Tauge dengan Rumen Simulation Technique (RUSITEC)
Nama
: Siti Syafa’ah
NIM
: D24080280
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota
(Prof. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS) NIP: 196109161 98703 2 002
(Dr.Ir.Muhammad Ridla, M.Agr) NIP: 19631206 198903 1 003
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 10 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 April 1990 di Kudus, Jawa Tengah. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Sami’un dan Ibu Karnah. Tahun 1996 penulis mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Negri 01 Bacin Kudus dan diselesaikan tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai tahun 2002 dan diselesaikan tahun 2005 di MTs NU Banat Kudus. Penulis melanjutkan pendidikannya di MA NU Banat Kudustahun pada2005 tahun dan diselesaikan pada tahunditerima di IPB pada tahun pada dan2005 diselesaikan tahun 2008.Penulis 2008. melalui jalur Penerimaan Beasiswa Santri Berprestasi Kementrian Agama 2008 Republik Indonesia di Fakultas Peternakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Tingkat Pertama pada tahun 2008/2009 penulis aktif di Koran Kampus IPB sebagai Reporter, 2009/2010 sebagai Internal Finance Manager, tahun 2010/2011 menjabat sebagai Pimpinan HRD. Pada tahun 2008/2009 penulis aktif di DPM IPB. Tahun 2009/2010 penulis aktif di BEM Fakultas Peternakan IPB sebagai Sekretaris Departemen Sosial Lingkungan dan Kemasyarakatan (Soslingmas) dan tahun 2010/2011 menjabat sebagai Kepala Departemen Soslingmas. Penulis juga aktif di CSS MORA IPB Departemen Sosial dan Lingkungan, 2010/2011 menjabat sebagai Steering Comitte di Majalah I.Com. Penulis bersama teman satu tim pernah mendapatkan dana hibah dari DIKTI sebanyak 7 PKM (1 PKMK, 1 PKMM, 5 PKMP). Penulis menjadi finalis pada LKTI Agroindustry Fair serta mendapatkan penghargaan 104 Inovasi Indonesia Bussinese Inovation Center (BIC) sebagai peneliti utama dengan judul penelitian “Pakan Kombinasi Lumpur Sawit dan Ampas Teh Untuk Meningkatkan Kandungan Omega-3 pada Susu Kambing Perah”. Penulis juga pernah menjadi asisten pratikum Kimia, Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2010, asisten Perancangan Percobaan tahun 2011 serta asisten Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2012. Bogor, September 2012 SITI SYAFA’AH D24080280 v
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Fermentabilitas dan Kecernaan Ransum Komplit yang Mengandung Indigofera sp dan Limbah Tauge dengan Rumen Simulasi Technique (RUSITEC). Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan. Skripsi ini memberikan informasi mengenai fermentabilitas dan kecernaan ransum yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge yang dikaji dengan menggunakan tehnik RUSITECpada domba garut dan domba jonggol. Harapan dari hasil penelitian ini adalah memanfaatkan Indigofera sp. dan limbah tauge sebagai sumber hijauan berkualitas untuk ransum penggemukan.Selain itu ketersediaan hijauan tersebut melimpah, murah, mudah difermentasi dan mudah dicerna oleh domba, sehingga produktivitas domba lokal dapat ditingkatkan. Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan diaplikasikan dengan baik.
Bogor, September 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ........................................................................................................ i ABSTRACT.......................................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv RIWAYAT HIDUP ...............................................................................................v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI....................................................................................................... vii DAFTAR TABEL................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xi PENDAHULUAN .................................................................................................1 Latar Belakang ...........................................................................................1 Tujuan Penelitian .......................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3 Potensi Indigofera sp.sebagai pakan ternak Ruminansia...........................3 Potensi Limbah Tauge sebagai pakan ternak Ruminansia.........................4 RUSITEC (Rumen Simulation Technique) ............................................................6 Cairan Rumen ............................................................................................7 Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia .....................................................8 Pencernaan Fermentatif .............................................................................9 Pencernaan Hidrolisis ............................................................................ 13 MATERI DAN METODE ...................................................................................16 Lokasi dan Waktu ....................................................................................16 Materi .......................................................................................................16 Ransum Penelitian ...............................................................................................16 Metode .....................................................................................................18 Pengambilan Isi Rumen ...............................................................18 Persiapan RUSITEC ....................................................................18 Proses RUSITEC .........................................................................19 Pengukuran NH3..........................................................................20 Analisis VFA Parsial ..................................................................20 Pengukuran KCBK dan KCBO (Czerkwski Methode) ................21 Analisis Data ........................................................................................................22 HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................22 Kandungan Nutrient Ransum Penelitian..................................................23 Konsentrasi pH Cairan Rumen ................................................................24 Konsentrasi NH3 Cairan Rumen ..............................................................25 vii
Produksi VFA Cairan Rumen ..................................................................26 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) ..........................................................33 Kecernaan Bahan Organik (KCBO) ........................................................34 Pembahasan Umum .................................................................................35 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................37 Kesimpulan ..............................................................................................37 Saran ........................................................................................................37 UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................39 LAMPIRAN.........................................................................................................43
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan NutrientIndigoferasp. .............................................................. 4 2. KandunganNutrientLimbahTauge ............................................................... 6 3. KomposisiBahanRansumPenelitian .......................................................... 17 4. Kandungan NutrientRansum Penelitian .................................................... 17 5. KonsentrasipH Cairan Rumen denganTehnikRUSITEC ......................... 24 6. Produksi N-AmoniaCairan Rumen denganTehnikRUSITEC ................... 25 7. Produksi VFACairanRumen...................................................................... 28 8. Kecernaan Bahan KeringdenganTehnikRUSITEC .................................. 33 9. Kecernaan Bahan Organik dengan Tehnik RUSITEC .....................
35
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Daun Indigoferasp. ...................................................................................... 3 2. Limbahtauge kacang hijau........................................................................... 5 3. AlatRusitec dengan 8 vessel ........................................................................ 7 4. Sintesis VFA olehmikroorganisme di rumen ............................................ 10 5. Pencernaandanmetabolismekomponen nitrogen dalamrumen .................. 13
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam NH3 denganmenggunakan SAS 9.1 .................................. 44 2. Sidik RagamVFA Total denganmenggunakan SAS 9.1 ........................... 44 3. Sidik RagamAsetat .................................................................................... 45 4. SidikRagamPropionat ................................................................................ 45 5. Sidik RagamIsobutirat ............................................................................... 45 6. Sidik RagamButirat ................................................................................... 46 7. Sidik RagamIsovalerat .............................................................................. 46 8. Sidik Ragam Valerat ................................................................................. 46 9. Sidik RagamKCBK ................................................................................... 47 10. Sidik RagamKCBO ................................................................................... 47
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan ternak potensial untuk dipelihara di Indonesia. Usaha penggemukan domba banyak diminati pengusaha dan peternak karena perputaran modal yang cepat dan pemeliharaan yang praktis. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian peternak adalah ketersediaan pakan. Kecukupan hijauan dinegara tropis seperti Indonesia sangat fluktuatif tergantung pada kondisi klimatologis dan ketersediaannya. Selain itu, pemberian rumput saja belum dapat mencukupi kebutuhan ternak secara maksimal, sehingga diperlukan konsentrat untuk meningkatkan produktivitas domba. Namun, pada umumnya harga konsentrat relatif mahal. Untuk itu diperlukan adanya pakan alternatif dengan harga yang lebih murah dan dapat mencukupi kebutuhan nutrisi ternak. Salah satu bahan pakan yang mungkin dapat dijadikan sebagai pakan alternatif sumber serat dan protein pada domba pedaging yang murah adalah Indigofera sp. dan limbah tauge. Indigofera sp.adalah salah satu leguminosa hijauan yang mempunyai kandungan protein sekitar 27% (Abdullah, 2010). Tanaman ini sangat mudah dikembangkan pada daerah tropis dengan produksi daunnya mencapai 4096 kg BK/ha dan sudah diujikan seara in vivo pada ternak puyuh dan kambing perah (Abdullah, 2010). Selain itu pakan potensial lainnya adalah limbah tauge kacang hijau. Limbah tauge yang merupakan hasil buangan dari pembuatan tauge juga mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Hasil survey Rahayu et al. (2010), dari sisi kuantitatif potensi limbah tauge yang berada di Kota Madya Bogor cukup besar yaitu sekitar 1,5 ton/hari. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa limbah ini dapat diberikan hingga 50% dalam ransum domba dengan kandungan protein kasar (PK) sebesar 13,63%.Kualitas daun Indigofera sp.yang meningkat dapat dikembangkan lebih luas lagi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ruminansia terutama domba. Begitu pula ketersediaan limbah tauge yang melimpah dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti sumber nutrisi protein pada konsentrat yang harganya semakin lama semakin meningkat. Sumber pakan hijauan alternatif Indigofera sp.dan limbah taugediharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan berprotein murah dan sebagai bahan pakan yang layak dikembangkan di masyarakat. 1
Kemampuan ternak ruminansia berbeda beda dalam hal memanfaatkan pakan. Nilai fermentabilitas dan kecernaan suatu pakan merupakan salah satu indikator yang terbaik dari nilai nutrisi. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kecernaan dan fermentabilitas pakan salah satunya adalah metode Rusitec (Rumen Simulation Technique). Dalam penelitian ini menggunakan Indigofera sp.dan limbah tauge dalam ransum domba dievaluasi nilainya dengan menggunakan metode Rusitec. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fermentabilitas dan kecernaan ransum yang mengandung Indigofera sp.dan limbah tauge melalui pengukuran produksi VFA parsial, NH3, kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan menggunakan metode Rusitec.
2
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Indigofera sp.sebagaiPakan Ternak Ruminansia Indigofera sp.adalah genus besar dari sekitar 700 jenis tanaman berbunga milik keluarga Fabaceae (Schrire, 2005). Terdapat di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, dari beberapa jenis mencapai zona di kawasan Timur Asia. Indigofera sp.memberikan peluang yang menjanjikan dalam hal pemenuhan kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan. Menurut Hassen et al., 2008 produksi bahan kering (BK) total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun. Indigofera sp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap salinitas. Tepung daun Indigofera sp.mengandung protein kasar (PK) 22,30-31,10%, NDF 18,90-50,40%, kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,80-71,70%, kandungan serat kasar sekitar 15,25%. Selain itu legum ini memiliki kandungan mineral yang cukup untuk pertumbuhan optimal ternak. Kandungan mineral yang terkandung, yaitu Ca 0,97-4,52%, P 0,19-0,33%, Mg 0,21-1,07%, Cu 9-15,30 ppm, Zn 27,20-50,20 ppm, dan Mn 137,40-281,30 ppm (Hassen et al., 2007) serta memiliki kandungan tanin sebanyak 9,35% (Ologhobo,2009).
Gambar1. Daun Indigofera sp. Sumber : Fotopenelitian, 2011
Taksonomi tanaman Indigofera sp.sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae 3
Bangsa
: Rosales
Suku
: Leguminosae
Marga
: Indigofera
Jenis
: Indigofera arrecta L. Ciri-ciri legum Indigofera sp.adalah tinggi kandungan protein dan toleran
terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat agronominya sangat diinginkan. Saat akar terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya untuk merespon curah hujan yang kurang dan ketahanan terhadap herbivora merupakan potensi yang baik sebagaicover crop (tanaman penutup tanah) untuk daerah semi- kering dan daerah kering (Hassen et al., 2006). Interval defoliasi tanaman ini yaitu 60 hari dengan intensitas defoliasi 100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari pangkal percabangan pada cabang tanaman (Suharlina, 2010). Tabel1. Kandungan NutrientIndigofera sp. Kandungan Nutrient Bahan Kering (%)
Presentase (a)
Presentase (b)
21,97
93,21
6,41
12,51
Protein Kasar (% BK)
24,17
27,88
Serat Kasar (% BK)
17,83
32,73
6,15
1,48
Beta-N (% BK)
38,65
25,39
NDF (%)
54,24
-
ADF (%)
44,69
-
Abu (% BK)
Lemak Kasar (% BK)
Keterangan: a) Kandungan nutrient Indigofera sp. sebagai pakan basal kambing boerka (Simanihuruk et al., 2009), b) Kandungan nutrient Indigofera sp. ransum penelitian, Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 2011, NDF = Neutral Dietergent Fiber, ADF = Acid Detergent Fiber.
Potensi Limbah Tauge sebagai Pakan Ternak Ruminansia Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau atau angkup tauge dan pecahan-pecahan tauge yang diperoleh pada saat pengayakan atau ketika pemisahan untuk mendapatkan tauge yang dapat dikonsumsi. Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pengrajin tauge, sehingga hal tersebut berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge dalam sehari sangat banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim 4
terutama untuk pengrajin tauge di daerah Bogor. Sebagai contoh, total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Limbah tauge dihasilkan dari kacang hijau yang mengalami perubahan fisik secara biologi dan kimia menjadi tauge, kemudian dilakukan pengayakan tauge di pasar sebelum dijual ke konsumen. Kacang hijau mempunyai kandungan protein yang tinggi dan susunan asam amino yang mirip dengan susunan asam amino kedelai. Salah satu kekurangan kacang hijau adalah adanya kandungan anti tripsin yang dapat menghambat penyerapan protein. Salah satu cara untuk mengurangi kandungan anti nutrisinya adalah dengan memberikan perlakuan pada kacang tersebut seperti perendaman, perkecambahan, dan pemanasan (Belinda, 2009).
Gambar2. Limbah taugekacang hijau Sumber : Foto Penelitian, 2011
Selama proses perkecambahan, beberapa kandungan pati diubah menjadi bagian yang lebih kecil dalam bentuk gula maltosa. Karbohidrat sebagai bahan persediaan makanan dirombak oleh enzim alfa amilase dan beta amilase yang bekerja saling mengisi. Alfa amilase mengubah pati menjadi dekstrin, sedangkan beta amilase memecah dekstrin menjadi maltosa. Molekul protein dipecah menjadi asam amino sehingga pada kecambah terjadi kenaikan konsentrasi asam amino yaitu lisin 24%, threonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7%. Lemak dihidrolisa menjadi asam lemak yang mudah dicerna. Beberapa mineral seperti Ca dan Fe yang biasa terikat erat dapat dilepaskan sehingga menjadi bentuk yang lebih bebas. Dalam setiap 100 gram tauge mengandung energi 50 kkal, kalsium 32 mg, potasium 235 mg, besi 897 mg, fosfor 75 mg, seng 960 mg, asam folat 160 mg, vitamin C 20 mg, dan vitamin B2 163 mg. Tauge mengandung nilai gizi tinggi, murah, dan mudah didapat.
5
Dalam bentuk tauge, kandungan vitaminnya lebih banyak daripada bentuk bijinya
yaitu
kacang hijau. Kadar vitamin B-nya meningkat 2,5-3 kali lipat,
sedangkan vitamin C meningkat menjadi 20 mg/100gr. Berdasarkan berat kering, kandungan protein tauge juga meningkat 119% dari kandungan awalnya. Hal ini terutama dikarenakan terjadinya sintesa protein selama proses germinasi kecambah (Winarno, 1981). Limbah tauge memiliki kandungan nutrisi, kandungan airnya 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, serat kasar 49,44%, dan kandungan TDN adalah 64,65% (Rahayu et al., 2010). Tabel 2. Kandungan Nutrient Limbah Tauge Kandungan Nutrient
Presentase (a)
Presentase (b)
Bahan Kering (%)
44,62
87,94
Abu (% BK)
7,35
3,00
Protein Kasar (% BK)
13,63
16,40
Serat Kasar (% BK)
49,44
43,78
Lemak Kasar (% BK)
1,17
0,24
Beta-N (% BK)
28,42
36,58
TDN (%)
64,65
67,80
Keterangan : (a) Kandungan nutrient limbah tauge untuk ransum penggemukan domba UP3 jonggol (Wandito, 2011), (b) Kandungan nutrient limbah tauge ransum penelitian, hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 2011, TDN = Total Digestibelity Nutrient.
RUSITEC (Rumen Simulation Technique) Rusitec merupakan model yang dirancang untuk menyamakan kondisi yang mirip di dalam rumen. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar populasi mikroba di dalam rumen tetap normal dalam jangka waktu yang lama selama pemberian treatmen (Koike et al., 2007). Prinsip metode Rusitec menurut Czerkawski & Breckenridge (1977) adalah cairan rumen harus berada dalam kondisi 39oC dengan menggunakan pemanasan wather bath. Volume tabung yang digunakan untuk proses fermentasi 1060 ml yang didalamnya terdapat dua kantong nylon berisi padatan dan pakan perlakuan yang diinkubasikan selama 48 jam. Pada tabung fermentor terdapat cairan rumen sebagai inokulum dan larutan buffer sebanyak 620 ml/hari. Menurut para ahli metode ini dikenal sebagai sistem “Continous Flow Aparatus”atau Chemostat. Alat ini juga
6
merupakan pengukur fermentasi in vitro yang biasa dipakai untuk menentukan derajat penggunaan makanan (Johnson,1966).
Gambar3. Alat Rusitec dengan 8 vessel Sumber : Foto Penelitian, 2011
Cairan rumen sebagai sumber inokulum merupakan bagian yang penting untuk penyelidikan fermentasi in vitro. Menurut Johnson (1966) para ahli menyarankan pentingnya pemberian ransum yang sama dengan substrat yang akan diselidiki daya cerna pada hewan yang dijadikan sebagai induk semang mengingat banyak perbedaan dalam jenis jenis bakteri rumen yang kebutuhannya berbeda-beda. Tetapi dalam sistem RUSITEC, hal ini tidak diperlukan karena adanya masa “prelim” beberapa hari sebelum masa pengamatan. Keasaman (pH), menurut Hungate (1966) keasaman dalam rumen berkisar antara 5,5-7,0, namun para peneliti berpendapat sekitar 6,9. Untuk memelihara kehidupan mikroba perlu keasaman mendekati netral. Dalam sistem RUSITEC pH fermentor mendekati normal karena dialirkan kedalamnya buffer McDougall sebagai saliva buatan. Pada RUSITEC di dalam rumen buatan, mikroorganisme dapat bertahan dengan memberi makan seperti ruminansia normal setiap hari dan memperhatikan kondisi fisiologis yang benar meliputi suhu, pH, dan saliva. (Dong Yet al., 1997). Cairan Rumen Cairan rumen dapat diambil dari limbah pemotongan ternak, dari tubuh ternak hidup dengan menggunakan stomach tube, atau dari ternak yang memiliki lubang fistula (Hungate, 1966). Cheng et al. (1980) menyatakan bahwa pada kondisi anaerob, asam lemak dan cairan rumen dapat dengan cepat menghancurkan plasmalema dan banyak struktur sitoplasma dari sel tanaman.
7
Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010-1012/ml cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat mencapai 105–106sel/ml cairan rumen, namun demikian karena ukuran tubuhnya lebih besar dari bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung lebih kurang 40% total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia Mikroba rumen dan induk semang (ternak) hidup secara simbiosis. Secara umum terdapat empat jenis mikroorganisme rumen, yaitu bakteri (1010-105 zoospora/ml, mewakili 5 jenis), dan bakteriofag (108-109/ml). Bakteri mendegradasi selulosa, hemiselulosa, pati, protein, dan sangat sedikit jumlah minyak untuk menghasilkan VFA dan protein mikroba di dalam rumen. Protozoa mencerna karbohidrat dan protein. Fungi memiliki peran dalam fermentasi rumen yaitu sebagai pencerna pakan serat karena fungi membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra, 2005). Protozoa memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri, ukuran tubuh protozoa lebih besar sehingga total biomassanya hampir sama dengan bakteri (McDonaldet al., 2002). Protozoa bersifat fagosit aktif (pemangsa/predator) terhadap bakteri rumen terutama bakteri amilolitik. Bakteri amilolitik menempel granula pati dan sifat makan protozoa yang menelan partikel-partikel pati sehingga bakteri amilolitik ikut termakan bersama granula pati (Subrata et al., 2005). Sebanyak 70% dari total bakteri metanogen bersimbiosis dengan protozoa (Jouany, 1991). Produksi H2 dari hasil fermentasi akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk diubah menjadi gas metan (CH4). Hal ini akan merugikan karena pembentukan metan merupakan proses pemborosan yang dapat mengurangi 6-10% gross energi (Jayanegara, 2008) yang seharusnya dapat dikonversi dalam pembentukan produk fermentasi. Pencernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan tersebut meliputi : (1) pencernaan mekanik, (2) pencernaan hidrolitik dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi dimulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk
8
melalui pencernaan hidrolitik, dimana zat makanan akan diuraikan menjadi molekulmolekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan (Sutardi, 1980). Hasil pencernaan fermentatif berupa Volatile Fatty Acids (VFA), NH3, dan air diserap di sebagian rumen dan sebagian lagi di abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim enzim pencernaan sama seperti yang terjadi di hewan monogastrik. Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus (Fradson, 1996). Zat makanan tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi zat-zat yang siap untuk diserap tubuh hewan (Tilman et al., 1986). Sistem pencernaan ruminansia sangat bergantung pada perkembangan populasi mikroba yang mendiami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai pencerna-pencerna serat dan sumber protein. Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk ternak tidak sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi, 1980). Pencernaan Fermentatif Proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, fermentatif oleh mikroba dalam rumen dan hidrolisis oleh enzim pencernaan ternak inang. Proses pencernaan fermentatif zat makanan dirombak oleh mikroba menjadi senyawa lain yang berbeda sifat kimianya sebagai zat intermediate. Produk dari hasil pencernaan fermentatif yaitu asam lemak terbang (VFA), NH3, sel mikroba, gas metan, CO2 dan air. Gas metan akan dikeluarkan dengan cara eruktasi dan VFA diserap melalui dinding rumen. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen (Sakinah, 2005).Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Degradasi karbohidrat di dalam rumen dilakukan dengan dua tahapan yaitu 1) karbohidrat kompleks (polisakarida : selulosa, pati dan lain-lain) dihidrolisa menjadi gula
9
sederhana (monosakarida
glukosa) oleh enzim-enzim mikroba rumen, 2)
monosakarida menjadi piruvat yang selanjutnya akan diubah menjadi produk akhir yaitu VFA (asetat, propionat dan butirat) (McDonald et al., 2002). Selulosa
Pati
Selobiosa
Maltosa Glukosa 2 ATP 2 NAD+ 2 NADH Piruvat
2 NADH
2 NAD+
CO2 Asam Laktat
CH4
Asetil Co-A
4 NADH
NADH
4 NAD
NAD + Propionat
Asetat
Butirat
Gambar4. Sintesis VFA oleh mikroorganisme di rumen Sumber : Damron (2006)
Menurut McDonald et al. (2002) proporsi molar dari VFA terdiri dari 65% asetat, 21% propionat, dan 14% butirat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi. Kecepatan produksi VFA dan sel bakteri berhubungan dengan konsumsi TDN(Arora, 1989). Karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pectin, pati, dan gula tercerna lainnya merupakan substrat utama dalam proses fermentasi. Karbohidrat ini didegradasi menjadi bentuk heksosa dan pentosa sebelum difermentasi menjadi VFA oleh piruvat (France dan Dijkstra, 2005). Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak 70-150 mM (McDonald et al., 2002) dengan titik optimumnya adalah 110 mN (Suryapratama, 1999).Menurut France dan Dijikstra (2005) konsentrasi VFA total dapat turun menjadi 30 mM atau meningkat sampai 200 mM, namun pada umumnya konsentrasi VFA berkisar antara 70-130 mM. Konsentrasi yang relatif tinggi atau rendah ini menunjukkan pola fermentasi, yang
10
terlihat jelas pada pakan hijauan tetapi kurang terlihat pada pakan konsentrat. Tinggi rendahnya konsentrasi VFA dipengaruhi oleh pakan basal, tipe karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi pakan, dan penggunaan aditif kimia. Menurut Salawu et al. (1997) faktor yang mempengaruhi konsentrasi VFA adalah kandungan serat kasar dan unsur karbon yang terdapat dalam protein. Selain itu jenis dan jumlah mikroorganisme juga mempengaruhi konsentrasi VFA. Berdasarkan penelitian Fitri (2010), produksi VFA total hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara berurutan dari gamal, kaliandra, kelor, dan lamtoro, yaitu 110,17 mM; 97,67 mM; 138,04 mM; dan 110,38 mM.Perbandingan antara asamlemak terbang yang dihasilkan tidak tetap, bergantungpada tipe makanan, pengolahan dan frekuensi pemberian makan (Soewardi,l974).Umumnya perbandingan VFA berkisar 65% asetat, 20% propionat, 10% butirat dan5% valerat (Sutardi, 1977). Ransum dari penguat akan rnenghasilkan perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalamransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat(Ranjhan, 1980). Ternak mengkonsumsi pakan yang cukup akan protein untuk memenuhi kebutuhan protein dalam tubuhnya. Protein dalam rumen mengalami proteolisis seperti halnya karbohidrat. Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia merupakan hasil metabolisme protein dan nitrogen bukan protein. Amonia dalam rumen adalah sumber nitrogen yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Amonia dalam cairan rumen merupakan produk akhir dari proteolisis yang dirombak oleh populasi bakteri rumen. Amonia juga merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein oleh populasi bakteri rumen. Pada waktu tertentu, konsentrasi amonia dalam rumen tergantung pada laju relatif pelepasan dan pembentukan kembali amonia. Amonia dalam cairan rumen dibentuk ketika asam amonia berlebihan yang dimetabolisme ke dalam intraselular oleh berbagai macam mikroorganisme. Saat amonia dalam intraselular meningkat, amonia akan dikeluarkan sebagian dimana amonia ini tersedia dan akan dimanfaatkan oleh beberapa mikroorganisme selulotik (France dan Dijkstra, 2005).Konsentrasi amonia
11
optimum dalam cairan rumen berkisar antara 85 hingga lebih dari 300mg/l (McDonald., 2002). Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Ketika kandungan protein pakan tahan degradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba, oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Konsentrasi amonia harus dalam keadaan cukup untuk menunjang sintesis protein mikroba. Kekurangan amonia akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang lambat sehingga degradasi karbohidrat melambat. Kelebihan amonia akan menyebabkan amonia terakumulasi di rumen yang kemudian akan diserap oleh darah dan dibawa ke hati untuk dikonversi menjadi urea. Beberapa urea akan dikembalikan ke saliva dan ada yang langsung diekskresikan melalui urin (McDonaldet al., 2002) (Gambar5). Menurut Sutardi (1980) kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4-12 mM yang setara dengan 5,616,8mg/100ml. McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi optimum NH3 di dalam rumen berkisar 85-300 mg/l yang setara dengan 6-21 mM. Menurut McDonald et al. (2002) kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen adalah 6 - 21 mM. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5% sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Amonia dapat dimanfaatkan oleh mikroba dan penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi yang mudah difermentasi, misalnya dedak padi. Berdasarkan penelitian Kasim (1994), rata-rata produksi amonia hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro dalam keadaan segar yaitu 3,7 mM, 6,7 mM, 1,8 mM, dan 5,9 mM.
12
RUMEN Pakan
Protein
Protein Tak Terdegradasi
Kelenjar Ludah
Non Protein N
Protein Terdegradasi
Peptida HATI Asam amino
Amonia
NH3
Urea
Protein Mikroba
Dicerna diusus halus
GINJAL
Diekskresi melalui Urin
Gambar 5. Pencernaan dan metabolisme komponen nitrogen dalam rumen Sumber : (McDonald et al., 2002).
Pencernaan Hidrolisis Sistem pencernaan adalah penghancuran bahan makanan (mekanis/enzimatis, kimia dan mikrobia) dari bentuk komplek (molekul besar) menjadi sederhana (bahan penyusun) dalam saluran cerna. Tujuan dari pencernaan itu sendiri adalah untuk mengubah bahan komplek menjadi sederhana. Proses utama dari pencernaan yaitu mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri atas mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan–gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel–sel dalam tubuh hewan. Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dari saluran pencernaan yang sangat 13
penting dalam pencernaan ruminansia. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan secara enzimatik yang enzimnya dihasilkan oleh sel–sel mikroorganisme (Tillman et al., 1991). Kecernaan merupakan presentase pakan atau zat nutrisi tertentu dalam pakan yang larut dalam saluran pencernaan sehingga dapat diserap oleh dinding sel pencernaan. Kecernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : (1) adanya enzim yang mempengaruhi lingkungan fisiologis rumen, (2) komposisi nutrien bahan pakan dan antinutrisi yang terkandung dalam pakan, dan (3) kapasitas saluran pencernaan ternak (Church, 1979). Menurut McDonald et al.(2002), kecernaan pakan dapat didefinisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melaui feses dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan dengan memberikan sejumlah pakan tertentu kepada ternak dan menghitung jumlah feses yang dikeluarkan oleh ternak. Pengukuran kecernaan sebaiknya dilakukan dengan lebih dari satu ternak. Selain itu, kecernaan pakan juga dapat dihitung cepat dilaboratorium yaitu dengan menggunakan cairan rumen. Kecernaan dapat dibedakan menjadi kecernaan bahan kering dan bahan organik. Faktor faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan level pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Berdasarkan penelitian Kasim (1994) kecernaan bahan kering hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro dalam bentuk segar, yaitu 37,70%, 39,70%, 32,10%, dan 43,80%. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai pakan (McDonald et al., 2002). Semakin tinggi bahan organik yang dikonsumsi akan menghasilkan nilai kecernaan bahan organik yang semakin tinggi pula (Resdiani, 2010). Sebagian besar komponen bahan kering terdiri dari bahan organik sehingga faktor faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya Koefisien Kecernaan Bahan Organik (KCBO) ransum. Semakin tinggi KCBK maka semakin tinggi pula peluang nutrien yang dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan bahan
14
organik menggambarkan senyawa protein, karbohidrat, lemak yang dapat dicerna oleh ternak (Menke et al., 1986).Berdasarkan penelitian Kasim (1994) kecernaan bahan organik hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro dalam bentuk segar, yaitu 38,30%, 40,30%, 32,30%, dan 42,60%.
15
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian inidilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Maret 2012 di kandang percobaan laboratorium Ternak Ruminansia Kecil Kandang B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk proses pengambilan isi rumen sedangkan untuk analisis dilakukan di BATAN (Balai Tenaga Nuklir Nasional) Jakarta, laboratorium Nutrisi Ternak Daging Kerja dan Olahraga, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Waktu penelitian diperkirakan selama 6 bulan. Materi Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isi rumen, ransum berbasis Indigofera sp., ransum limbah tauge, gas CO2, aquades 40oC, saliva buatan, nylon, Na2CO3, 0,01 M H2SO4, dan larutan volatile acid standar mix (VSA) 0,5 mikroliter LB 15952 (46975-1). Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termos, tali, gelas platik dengan ukuran 2L, alat RUSITEC, tabung gas CO2, baskom, sarung tangan, penjepit, cawan conway, titrasi, pipet, tabung film, gas bag, botol penampung effluent, timbangan, oven 60oC, oven 105oC, tanur, loyang, benang jahit, sentrifuge, injektor, detector, tabung gas pembawa, cawan porselen, eksikator, dan GC Simatzu DC 8A. Ransum Penelitian Ransum perlakuan terdiri dari Indigofera sp., limbah tauge, onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO3, molases, bungkil kedelai, premix, dan NaCl.Daun Indigofera sp.dan limbah tauge dijemur dan dicampur dengan bahan pakan lainnya dalam bentuk pelet. Kemudian pelet ditumbuk halus menjadi mash untuk proses Rusitec. Ransum disusun dengan imbangan hijauan dan konsentrat 30:70 dengan kandungan PK 16% dan TDN 72% untuk domba penggemukan (NRC, 2007).
16
Tabel 3. Komposisi Bahan Ransum Penelitian Bahan Pakan (%)
Perlakuan R1
R2
Indigofera sp.
30
0
Limbah tauge
0
30
Onggok
12
10
Jagung
10
10
Bungkil kelapa
32
32
Bungkil kedelai
8
10
Molases
5
5
CaCO3
2,5
2,5
NaCl
0,3
0,3
Premix
0,2
0,2
Jumlah
100
100
Keterangan : R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2 = ransum yang mengandung limbah tauge
Tabel 6. Kandungan Nutrient Ransum Penelitian Komposisi Nutrient
Ransum R1
R2
87,32
87,65
Abu (%BK)
9,43
7,43
Protein Kasar a(%BK)
20,76
19,00
Serat Kasara (%BK)
17,62
27,96
Lemak Kasara (%BK)
3,60
4,23
Beta-N a(%BK)
48,60
41,37
Ca a(%)
1,75
1,39
P (%)
0,26
0,23
TDNc (%)
73,82
72,22
NDFb (%)
44,80
38,35
ADFb (%)
29,20
30,09
Bahan Keringa (%) a
a
Keterangan : (a) Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2011). (b) Hasil analisis Laboratorium Penelitian Antar Universitas, IPB (2012). (c) Hasil perhitungan menurut Sutardi (1980), TDN : Total Digestibility Nutrient, NDF : Neutral Detergent Fiber, ADF : Acid Detergent Fiber.
17
Metode 1) Pengambilan isi rumen Pengambilan rumen dilakukan di kandang B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Rumen domba diambil dari rumen domba garut dan domba jonggol yang dipelihara selama 3 bulan pada kandang individu untuk diambil isi rumennya yang akan digunakan sebagai sumber mikroorganisme pada RUSITEC.
Pada
masa
hidupnya
domba
diberi
pakan
yang
mengandungIndigofera sp. dan limbah tauge. Pengambilan isi rumen dilakukan dengan cara memotong domba kemudian bagian perut domba dibuka. Bagian fundus dan pangkal esofagus diikat dengan menggunakan tali. Hal ini untuk meminimalisir terkontaminasinya isi rumen dengan gas O2.Isi rumen dipisahkan dengan saluran pencernaan kemudian segera ditampung kedalam gelas plastik ukur dengan ukuran 2 liter dan dibaca volume rumennya. Isi rumen dari gelas ukur tersebut dimasukkan ke dalam termos panas. Sebelum termos digunakan, termos diisi air yang bersuhu 40oC selama satu jam. Hal ini digunakan agar dinding dalam termos sesuai dengan suhu isi rumen. Aquades di dalam termos dibuang dan cairan rumen dimasukkan ke dalam termos. Selanjutnya isi rumen tersebut di bawa ke BATAN untuk dianalisis Rusitec. 2) Persiapan RUSITEC Tutup termos dibuka kemudian isi rumen tersebut disaring dengan kain kasa berlapis 4 untuk dipindahkan pada gelas ukur plastik. Selama penyaringan sampai rumen digunakan untuk starter Rusitec dilakukan dibawah aliran gas CO2 agar tetap dalam kondisi anaerob. Cairan yang berada di gelas ukur plastik ditakar sebanyak 400 ml untuk diletakkan pada masing-masing vessel yang memiliki kapasitas 800 ml. Selain itu vessel yang terdapat cairan rumen sebanyak 400 ml dicampur dengan 400 ml saliva buatan. Padatan isi rumen yang terdapat pada kertas saring ditimbang kurang lebih 75 gram kemudian dimasukkan ke dalam nylon dan diikat dengan menggunakan benang jahit. Sebelum digunakan kantong nylon dilakukan pengeringan pada suhu 55oC. Sebanyak 20 gram ransum yang mengandung Indigofera sp. atau 20 gram
18
limbah tauge dimasukkan ke dalam kantong nylon dan diikat dengan benang jahit. Pemberian pakan dilakukan sesuai dengan pakan yang dikonsumsi oleh domba ketika hidup. Padatan dan pakan yang telah terbungkus dengan kantong nylon dimasukkan ke dalam feed container. Feed container dimasukkan ke dalam vessel yang telah diberikan kode sebelumnya. Vessel dimasukkan kedalam wather bath yang bersuhu sekitar 380C-420C. Terdapat 2 selang pada vessel, satu selang dihubungkan pada botol penampung effluent, dan selang lainnya dihubungkan dengangas bag. Selang yang menghubungkan vessel dengan saliva buatan dipasang. Kemudian aliran saliva buatan dinyalakan dan alat Rusitec dinyalakan. 3) Proses RUSITEC Sebanyak 8 vessel yang berisi masing-masing cairan rumen yang sesuai dengan perlakuan penelitian. Vessel A dan vessel E berisi cairan rumen domba garut yang diberi pakan berbasis Indigofera sp. Vessel B dan vessel F berisi cairan rumen domba jonggol yang diberi pakan berbasis limbah tauge. Vessel C dan vessel G berisi cairan rumen domba jonggol yang diberi pakan berbasis Indigofera sp. Vessel D dan vessel H diisi dengan cairan rumen domba garut yang diberi pakan limbah tauge. Proses running RUSITEC dilakukan selama 24 jam. Kemudian setelah 24 jam dilakukan penggantian pakan baru dan pengambilan pakan yang terdapat dalam vessel. Penggantian pakan dilakukan dengan cara aliran saliva buatan dimatikan terlebih dahulu kemudian saluran RUSITEC dimatikan. Selama RUSITEC dimatikan wather bath tidak dimatikan. Gas bag dilepas dari selang dan segera ditutup. Botol yang berisi efluent dilepas dari selang dan segera ditutup dengan menggunakan plastik film. Produksi efluent dicatat untuk selanjutnya digunakan analisis NH3. Kemudian selang saliva buatan di lepas dan vessel dikeluarkan dari wather bath dipindah dalam wadah yang berisi air hangat supaya kondisi thermal tetap stabil. Feed container dilepas padatan yang posisinya diatas diambil, dan dicuci dengan menggunakan saliva buatan dan diperas. Padatan tersebut akan dianalisis kecernaan bahan kering dan bahan organiknya. Cairan hasil perasan tersebut dimasukkan kembali kedalam vessel. Pakan baru diambil untuk 19
diletakkan di bawah pakan lama, kemudian vessel ditutup. Dalam pengerjaan penggantian pakan cairan rumen yang berada di dalam vessel harus dialiri gas CO2 agar tetap dalam kondisi anaerob. Vessel ditutup dan dimasukkan ke dalam wather bath dan proses RUSITEC berlanjut. 4) Analisis NH3 Efluent dari inkubasi 24 jam yang berasal dari tabung dianalisis NH3 dengan cara menggunakan cawan conway. Bibir cawan conway dan tutup diolesi dengan vaselin, effluent yang berasal dari proses fermentasi diambil 1.0 ml kemudian ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan conway. Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1.0 ml ditempatkan pada salah satu ujung cawan conway bersebelahan dengan supernatant. Larutan asam borat berindikator sebanyak 1.0 ml ditempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan conway. Cawan conway yang sudah diolesi vaselin ditutup rapat hingga kedap udara, larutan Na2CO3 dicampur dengan effluent hingga merata dengan cara menggoyang–goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam suhu kamar dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Hasil titrasi dicatat.
N-NH3 (mM) = ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 g sampel x BK sampel
5) Analisis VFA Parsial (Gas Chromatografi) Sebanyak10 mlsampelefluentdisentrifugasiselama 10menit. Hal tersebut untuk memisahkan supernatan dari padatan. Larutan standar yaitu 4% 2-metil valericdalamasam
format(w/w)
sebanyak
250ml
dicampurdengan
5mlsupernatanmenggunakanvortex.Sekitar 1,5mlcampuran tersebut dimasukkan kedalam tabung effendorf dan disentrifugasi pada15000gram (Biofuge A, Hereause Sepatech) selama 10menit. Sebanyak 1,4µlsampeldisentrifugasi yang telah disuntikkankeGCmenggunakansyringe10µl. Adapun larutan standar yang
20
digunakan untuk mengukur VFA parsial adalah larutan volatile acid standar mix (VSA) sebanyak 0,5 mikroliter VFA parsial dideteksi dengan menggunakangascromatograph(GC-14B, Simadzu
DC
8A)
dilengkapidengan
tempat
pengemas
(10%
carbowax20MTPASP1000dengan 1% H3PO4padacromosorbWAW80/100) dan nyala detektorionisasi terhubung kecromatro-integrator. H2dengan tekanangas 120kPa
seperti
gas
perantara.
Suhu
oven
sekitar
170oC,
sedangkansuhukolomdetektor, dan injectormasing-masing 140oC, 230oC, dan 230oC.Sampel yang telah di sentrifuge disuntikkan sebanyak 0,5 Mliter dengan menggunakan syringe kedalam injektor. data ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Garis kurva yang terbentuk diukursetelah minimal 1,565 menituntuk C2(asetat), 2,24untuk C3(propionat), 2,832untukIC4(iso-butirat), 3,42untuknC4(butirat),
4,575untukIC5(iso-valerat),
5,855untukNc5(valerat).
Rumus yang digunakan dalam perhitungan VFA parsial adalah : area sampel C2= x pengenceran x konsentrasi standard (10 Mmol) area standard
6) Pengukuran KCBK dan KCBO(Czerkawski & Breckenridge Methode) Kantong nylon dimasukkan kedalam oven 55oC untuk mendapatkan bobot konstan. Kantong nylon diisi sampel pakan sebanyak 20 gram kemudian ditali dengan menggunakan benang jahit. Kantong nylon yang berisi sample pakan kemudian diinkubasi selama 48 jam. Setelah diinkubasi kantong nylon dicuci dengan saliva mengalir dan diperas kemudian dioven 55oC dengan menggunakan loyang sampai berat konstan dan ditimbang. Sample dimasukkan kedalam cawan porselin yang bersuhu oven 105oC selama 24 jam. Cawan porselin yang berisi sampel dimasukkan kedalam eksikator sekitar 10 menit. Bobot kehilangan kadar air dicatat. Cawan porselin beserta sampel dimasukkan ke dalam tanur yang bersuhu 450-600oC untuk menghitung bahan organik.
21
BK sampel – BK residu x 100 BK sampel
KCBK =
KCBO =
BO sampel – BO residu x 100 BO sampel
Keterangan : KCBK = Koefisien Cerna Bahan Kering (%) KCBO = Koefisien Cerna Bahan Organik (%) Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x2 dengan 2 ulangan dengan faktor pertama adalahjenis ransum (Indigofera sp. dan limbah tauge), faktor kedua yaitu bangsa domba lokal (UP3 Jonggol dan Garut). Model yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ɛij Keterangan: Yijk
: nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ke-j
µ
: nilai tengah
Ai
: pengaruh perlakuan bangsa domba (UP3 Jonggol dan Garut) ke-i
Bj
: pengaruh perlakuan jenis ransum (berbasis Indigofera sp.. dan limbah tauge) ke-j
(AB)ij
: interaksi antara bangsa dan jenis ransum
ɛij
: pengaruh galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance)
untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur diuji menggunakan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Penelitian ini menggunakan ransum perlakuan yang terdiri dari Indigofera sp., limbah tauge, onggok, jagung, bungkil kelapa, CaCO3, molases, bungkil kedelai, premix, dan NaCl. Bahan-bahan tersebut dicampur dan dibentuk mashdengan perbandingan hijauan dan konsentrat yaitu 30:70. Sumber hijauan yang digunakan adalah Indigofera sp. dan limbah tauge. Legum Indigofera sp. didapat dari UP3 Jonggol sedangkan limbah tauge didapat dari Pasar Bogor. Limbah tauge dapat digolongkan sebagai hijauan karena mengandung serat kasar yang tinggi mencapai 49,44% (Rahayu et al., 2010). Terdapat perbedaan kandungan nutrient pada ransum yang mengandung Indigofera sp., dan limbah tauge. Ransum yang mengandung Indigofera sp., memiliki kandungan protein kasar lebih besar dari pada limbah tauge yaitu 20,76% . Hal ini dikarenakan sumber hijauan limbah tauge memiliki protein yang lebih rendah dibanding dengan leguminosa Indigofera sp. Leguminosa mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, karena simbiosis yang terjadi antara mikroorganisme tanah yaitu Rhizobium sp. pada bintil akar membuat leguminosa mampu memfiksasi nitrogen dari udara (Fondevila et al., 2002). Kandungan serat kasar Indigofera sp. 17,62% lebih kecil dari limbah tauge, namun NDF Indigofera sp. lebih tinggi dari limbah tauge dan ADF limbah tauge lebih besar dari Indigofera sp.Hal tersebut menandakan bahwa serat kasar Indigofera sp. lebih mudah dicerna dari limbah tauge. Serat kasar dapat mempengaruhi kecernaan pakan. Semakin tinggi kandungan serat kasar, kecernaan pakan akan semakin menurun. Kandungan lemak pada ransum penelitian tidak berbeda antara Indigofera sp. dan limbah tauge. Imbangan Ca dan P ransum yang mengandung Indigofera sp. yaitu 3:1 sedangkan imbangan pada ransum yang mengandung limbah tauge yaitu 2:1. Imbangan Ca dan P pada ransum non ruminansia adalah antara 1:1 hingga 2:1, sedangkan ternak ruminansia dapat lebih toleran dengan imbangan yang lebih tinggi. Keberadaan
Ca
yang
tinggi
dapat
menimbulkan
gangguan,
yaitu
dapat
mengakibatkan defisiensi pada beberapa mineral seperti Mg, Fe, Mn, dan Cu (Tillman et al., 1989).
23
Kandungan TDN ransum penelitian relatif sama umumnya berkisar antara 72,22-73,82 %. Kandungan TDN ransum ini sudah memenuhi kebutuhan ransum ternak kambing dan domba yaitu 54-56% (NRC, 2007). KonsentrasipH Cairan Rumen Fermentasi pakan di dalam rumen akan mempengaruhi nilai pH, yaitu semakin tinggi aktivitas fermentasi makan nilai pH akan semakin turun. Faktor lain yang mempengaruhi nilai pH cairan rumen adalah produksi saliva. Saliva yang diproduksi domba bersifat alkalis dan berperan sebagai buffer untuk menjaga keseimbangan pH rumen. Sekresi saliva dipengaruhi oleh bentuk fisik pakan, kandungan bahan kering, volume cairan isi perut dan stimulasi psikologis .Nilai pH cairan rumen merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap kondisi rumen, baik dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun dalam menghasilkan produk produknya yang berupa VFA dan N-NH3 (McDonald et al., 2002). Pengukuran pH rumen penting dilakukan, terutama pada ternak yang mengkonsumsi ransum dengan tingkat konsentrat yang tinggi. Hal pengukuran pH cairan rumen pada penelitian ini menujukkan bahwa ransum yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap pH cairan rumen. Begitu juga dengan bangsa dan interaksi ransum-bangsa tidak nyata pengaruhnya terhadap pH cairan rumen. Tabel 5. Konsentrasi pH Cairan Rumen dengan Teknik Rusitec Bangsa D1 D2 Rataan Keterangan :
Ransum R1 6,77 ± 0,02 6,71 ± 0,04 6,71 ± 0,03
R2 6,76 ± 0,04 6,18 ± 0,03 6,47 ± 0,03
Rataan 6,77 ± 0,03 6,44 ± 0,04
Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa kisaran pH cairan rumen antara 6,18 sampai 6,77. Secara umum, pH cairan rumen yang dicapai pada penelitian ini berada pada kondisi yang cukup optimal untuk berlangsungnya proses metabolisme di dalam rumen. Menurut Orksov (1982) mengatakan bahwa agar terjadi perombakan bahan
24
makanan diperlukan pH rumen 6-7. Bila kondisi pH tersebut kurang dari enam, proteolisis dan deaminasi akan terhambat, karena tertekannya pertumbuhan bakteri rumen, begitu juga pembentukan amonia akan terhambat. Nilai pH merupakan faktor penting yang menunjukkan keadaan dan fungsi yang normal dari rumen. Nilai pH dapat menggambarkan populasi mikroba dan produk fermentasi serta fungsi fisiologi pada rumen terutama pergerakan dan fungsi penyerapan (Istiqomah et al., 2011). Konsentrasi NH3Cairan Rumen Kadar amoniak dalam cairan rumenmerupakan petunjuk adanya proses degradasi(perombakan) protein yang masuk dalam rumen danproses sintesis protein oleh mikroba rumen. Proteinyang masuk ke dalam rumen, sebagian akan mengalamiperombakan oleh enzim proteolitik yang dikandung oleh mikroba rumen. (McDonald, 2002). Untuk mengetahui efisiensi penggunaan nitrogen pada ruminansia, pengukuran konsentrasi amonia perlu dilakukan (Wohlt, 1976). Produksi NH3 pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Produksi NH3Cairan Rumen dengan Tehnik RUSITEC Bangsa D1 D2 Rataan
R1 (mM) 10,67± 0,56 8,11± 2,42 9,38a ± 1,93
Ransum R2 (mM) 7,10 ± 0,02 7,06 ± 0,21 7,09b ± 0,12
Rataan 8,88 ± 2,08 7,59 ± 1,43
Keterangan : a, b) Superskrip yang tidak sama dalam satu baris berarti berbeda nyata (P<0,05).Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.
Ransum yang berbasisIndigofera sp. lebih banyak memproduksi NH3 dari pada limbah tauge (P<0,05). Hal ini dikarenakan kandungan protein ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih besar dari kandungan protein limbah tauge. Konsentrasi amonia pakan yang mengadung limbah tauge lebih rendah dari Indigofera sp.Hal ini dikarenakan kandungan protein ransum yang mengandung limbah tauge lebih rendah dari Indigofera sp. Selain itu, protein limbah tauge diduga tidak mudah didegradasi oleh mikroba rumen dibandingkan dengan Indigofera sp.Hal tersebut didukung adanya kandungan serat kasar ransum yang mengandung limbah tauge lebih tinggi dari Indigofera sp.Makkar et al. (1998) melaporkan bahwa
25
protein yang sulit terdegradasi dapat disebabkan oleh banyaknya kandungan serat kasar yang tidak dapat dicerna. Perbedaan cairan rumen domba garut dan domba jonggol tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rataan konsentrasi amonia, walaupun cairan rumen domba garut lebih tinggi menghasilkan amonia dibandingkan cairan rumen domba jonggol. Hal ini menunjukkan tidak adanya perbedaan aktivitas fermentasi mikrobadomba garut dan domba jonggol dalam mendegradasi protein sehingga bakteri rumen kedua ternak tersebut memiliki kemampuan yang sama dalam mendegradasi protein. Konsentrasi amonia sangat berhubungan dengan jumlah populasi mikroba rumen, khususnya bakteri proteolitik (Bach et al., 2005). Konsentrasi amonia normal untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah 4-12 mM. Konsentrasi amonia dalam penelitian ini umumnya tinggi berkisar antara 7,0610,07 mM yang sangat membantu dalam pembentukan protein mikroba rumen. (Sutardi, 1980). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi amonia yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah dapat dimanfaatkan optimal oleh mikroba rumen untuk mensintesis protein mikroba yang akan diserap di organ pasca rumen. Tingginya konsentrasi disebabkan oleh tidak adanya penyerapan amonia oleh dinding rumen, Nrecycling, pembuangan melalui urin dan terjadi lisis mikroba yang dapat menambah jumlah amonia dalam fermentor sehingga amonia terakumulasi (Afriyanti, 2008) Produksi VFA Cairan Rumen Karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan gula tercerna lainnya merupakan substrat utama dalam proses fermentasi. Karbohidrat ini difermentasi menjadi bentuk heksosa dan pentosa yang kemudian dikonversi menjadi piruvat, selanjutnya piruvat dirubah menjadi VFA (Dijkstra, 2005). VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia melalui proses glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA (khususnya propionat) ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982). VFA umumnya terdiri dari asetat, propionat dan butirat, akan tetapi juga terdiri dari valerat, caproat, isobutirat, isovalerat, 2-metilbutirat dalam jumlah sedikit serta beberapa jenis asam lainnya yang diproduksi di rumen sebagai hasil akhir fermentasi mikroba (France dan Dijkstra, 2005). 26
Produksi VFA total yang dihasilkan dalam penelitian ini menujukkan bahwa ransum yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi VFA total, begitu juga dengan pengaruh bangsa dan interaksi keduanya. Produksi VFA cairan rumen selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 8. Pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi VFA total menunjukkan bahwa reaksi yang ditimbulkan rumen terhadap pakan Indigofera sp. dan limbah tauge tersebut hampir sama, karena menurut McDonald et al. (2002) volume VFA yang terdapat dalam rumino-retikulum menunjukkan aktivitas mikroba rumen. Bahan makanan yang mudah difermentasi akan meningkatkan aktivitas mikroba, sehingga volume VFA yang dihasilkan meningkat. Produksi VFA total yang dihasilkan berkisar antara 108-143 mM, nilai tersebut masih berada di atas kisaran konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh mikroba rumen dalam kondisi normal yaitu 80–160 mM (Sutardi, 1980). Jika dilihat VFA total ransum penelitian hampir mendekati optimum. Kondisi ini disebabkan oleh sumber karbohidrat mudah tercerna yang terdapat dalam ransum penelitian juga menyumbang kadar energi pakan Indigofera sp. dan limbah tauge. Bahan organik yang mudah terfermentasi dalam ransum penelitian seperti molases dan onggok akan memenuhi kebutuhan mikroba secara cepat setelah pemberian pakan (Dixon, 1986). Produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, sifat karbohidrat, laju makanan meninggalkan rumen, frekuensi pemberian makan, dan aktivitas mikroba dalam mencerna pakan (Sutardi, 1980). VFA Total terbesar pada penelitian ini dicapai oleh cairan rumen domba garut yang diberi pakan Indigofera sp.yaitu 143,764 mM. Peningkatan konsentrasi VFA total mencerminkan peningkatan sumber protein dan karbohidrat yang mudah tercerna (bahan organik) di dalam ransum yang mengandung Indigofera sp. yang dapat difermentasi oleh mikroba rumen. Hal ini sejalan dengan dengan hasil penelitian yang diperoleh Blummelet al. (1993), yaitu peningkatan karbohidrat mudah terdegradasi meningkatkan bahan kering tercerna. Bahan kering tercerna akan diubah oleh mikroba rumen menjadi VFA dan protein mikroba dengan meningkatnya pertumbuhan. Penambahan sumber protein tidak dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen tanpa diimbangi penambahan sumber karbohidrat mudah terdegradasi.
27
Tabel 7. Produksi VFA Cairan Rumen dengan Menggunakan Tehnik RUSITEC Ransum Parameter VFA Total
Asetat
Propionat
C2/C3
Butirat
Isobutirat
Valerat
Bangsa
R2 (mM)
D1
143,76 ± 52,40
112,62 ± 3,67
128,19 ± 35,25
D2
139,46 ± 12,41
108,90 ± 8,31
124,18 ± 19,63
Rataan
141,61 ± 31,19
110,76 ± 5,66
D1
50,83 ± 21,38
41,82 ± 11,99
46,32 ± 15,08
D2
47,28 ± 3,76
37,92 ± 2,96
42,60 ± 6,06
Rataan
42,25 ± 8,96
31,90 ± 0,55
D1
36,66 ± 6,91
33,88 ± 1,32
35,27 ± 4,36
D2
41,50 ± 5,35
36,07 ± 14,36
38,79 ± 9,38
Rataan
39,08 ± 5,77
34,98 ± 8,42
D1
1,38 ± 0,91
1,23 ± 0,08
1,31 ± 0,45
D2
1,14 ± 0,70
1,05 ± 0,21
1,08 ± 0,64
Rataan
1,08 ± 0,55
0,91 ± 0,06
D1
9,60 ± 4,65
9,10 ± 3,22
9,35 ± 3,28
D2
9,65 ± 2,80
5,55 ± 1,79
7,60 ± 3,04
Rataan
9,62 ± 3,13
7,32 ± 2,95
D1
29,48 ± 12,04
14,22 ± 4,96
21,85 ± 11,58
D2
23,80 ± 8,79
18,33 ± 6,15
21,06 ± 6,95
Rataan
26,64 ± 9,21
16,28 ± 5,14
7,94 ± 3,53
6,78 ± 1,42
7,36 ± 2,29
5,14 ± 0,54
6,33 ± 1,44
D1 D2
Isovalerat
Rataan
R1(mM)
7,53 ± 0,50
Rataan
7,74 ± 2,07
5,96 ± 1,29
D1
9,22 ± 3,86
6,79 ± 2,61
9,22 ± 3,86
D2
9,68 ± 3,21
5,87 ± 1,61
6,79 ± 2,61
Rataan
9,68 ± 3,21
5,87 ± 1,61
Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan Dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.
28
Jika dihubungkan dengan komposisi zat makanan (Tabel 4), ransum Indigofera sp. mengandung kalsium yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah tauge. Kalsium dan fosfor ini sangat dibutuhkan mikroba rumen untuk menjamin pertumbuhannya. Durand dan Kawashima (1980) mengatakan bahwa untuk pertumbuhan mikroba rumen dan berlangsungnya proses fermentasi secara baik dibutuhkan suplai mineral yang cukup, termasuk dalam hal ini kalsium dan fosfor. Dengan lebih tingginya kandungan kalsium dan fosfor pada ransum Indigofera sp., menyebabkan aktivitas mikroba lebih baik, sehingga memungkinkan menghasilkan VFA yang lebih tinggi. Kandungan NDF yang menggambarkan serat kasar yang dapat dicerna pada ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dari pada limbah tauge diduga dapat meningkatkan kandungan substrat serat sehingga mampu menstimulasi peningkatan bakteri selulolitik. Kandungan Beta-N pada ransum yang mengandung Indigofera sp. dapat digunakan untuk menstimulasi peningkatan populasi bakteri amilolitik sehingga mampu meningkatkan degradasi amilosa. Kandungan tanin yang terdapat pada Indigofera sp. dapat menurunkan populasi protozoa yang berkontribusi terhadap peningkatan bakteri rumen terutama amilolitik. Bakteri amilolitik biasanya menempel pada granula pati dan ketika protozoa menelan partikel partikel pati maka bakteri amilolitik ikut tertelan bersama granula pati (Subrata et al., 2005). Efek penurunan protozoa ini mampu mengoptimalkan proses fermentasi yang dapat meningkatkan produksi VFA total sehingga penyediaan energi untuk ternak meningkat. Produksi VFA total ransum yang mengandung limbah tauge lebih rendah dariIndigofera sp. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan serat kasar pada limbah tauge. Serat kasar yang cukup tinggi tersebut kemungkinan banyak mengandung dinding sel dan liginin sehingga bagian isi sel sedikit sekali yang difermentasi oleh mikroba rumen dan konsentrasi VFA total menjadi lebih rendah (Selly, 1994). Konsentrasi VFA cairan rumen domba garut tidak berbeda nyata dengan cairan rumen domba jonggol. Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroba rumen domba garut dan domba jonggol memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi VFA, walaupun VFA cairan rumen domba garut lebih tinggi dari domba jonggol.
29
Hal ini sejalan dengan pernyataan Mendozaet al. (1993) bahwa populasi protozoa yang tinggi akan mendegradasi pati dalam jumlah yang sedikit sehingga akan menghasilkan VFA yang rendah. Produksi VFA total juga sangat berhubungan dengan mikroba rumen, khususnya bakteri selulolitik dan amilolitik (Church, 1979). Asam Asetat Produksi asam asetat yang dihasilkan dalam penelitian ini secara statistik tidak dipengaruhi oleh perlakuan ransum dan perlakuan bangsa begitu juga dengan interaksi keduanya. Produksi asam asetat terbesar yaitu domba garut yang mendapat pakan Indigofera sp. Hal ini dikarenakan domba garut lebih efisien dalam mencerna serat kasar pakan, dan Indigofera sp. merupakan pakan yang mudah dicerna serat kasarnya. McDonaldet al.(2002) mengatakan bahwa besarnya asam asetat yang dihasilkan dipengaruhi oleh kadar serat kasar ransum yang dikonsumsi ternak. Kandungan serat kasar ransum Indigofera sp. lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan serat kasar limbah tauge, namun asam asetat yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan ransum Indigofera sp. memproduksi asam asetat lebih banyak dari pada limbah tauge. Hal ini disebabkan serat kasar limbah tauge tidak mudah dicerna oleh ruminansia. Hal tersebut dapat dilihat dari kandungan NDF (Tabel 4) pakan Indigofera sp. lebih besar dari limbah tauge, sehingga Indigofera sp. dapat dimanfaatkan dengan baik oleh domba garut. Asam Propionat Asam propionat tergolong asam glukogenik, sebab di dalam hati asam tersebut diubah menjadi glukosa. Secara umum glukosa berguna sebagai sumber energi utama bagi organ-organ tubuh, antara lain: otak, syaraf, kelenjar susu dan janin. Menurut Brockman (1993) kurang lebih 50% glukosa pada ternak ruminansia berasal dari asam propionat. Asam propionat yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak dipegaruhi oleh perlakuan ransum dan jenis bangsa domba. Asam propionat tertinggi terdapat pada domba jonggol yang diberi ransum berbasis Indigofera sp. yaitu sebesar 38,087 mM. Semakin tinggi kandungan karbohidrat mudah dicerna maka kandungan propionat juga akan semakin tinggi. Hal ini didukung oleh pH rumen pada domba jonggol yang diberi pakan Indigofera sp. lebih rendah dari perlakuan yang diberikan. pH yang semakin rendah menunjukkan bahan makanan
30
didalam rumen mudah difermentasi oleh mikroba. Hal ini menunjukkan pakan Indigofera sp. mudah difermentasi oleh domba jonggol sehingga lebih efisien untuk program penggemukan. Peningkatan propionat sangat penting untuk domba pedaging karena merupakan sumber energi. Propionat yang terserap dapat menyuplai 30% (atau lebih) glukosa untuk ruminansia (Parakkasi, 1999). Imbangan Asetat dan Propionat Nisbah C2/C3 di dalam rumen dapat memberikan indikasi tentang pemanfaatan hasil fermentasi tersebut lebih ke arah penggemukan dibandingkan ke arah pembentukan susu (Arora,1989). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa nisbah terkecil terdapat pada domba jonggol. Hal ini mengindikasikan bahwa domba jonggol lebih cocok digunakan untuk domba penggemukan dibandingkan dengan domba garut. Asam Butirat Produksi asam butirat pada penelitian ini tidak nyata dipengaruhi perlakuan. Produksi asam butirat tertinggi dihasilkan oleh domba jonggol yang mendapat ransum Indigofera sp.Produksi asam butirat tertinggi dihasilkan oleh ransum Indigofera sp. yaitu sebesar 9,629 mM. Menurut McDonald et al.(2002) asam butirat dapat dibentuk didalam rumen dari asam asetat atau dari gabungan yang membangkitkan aktivitas acetil coenzim A seperti asam piruvat dan glutamat. Selanjutnya dikatakan bahwa asam lemak rantai panjang dan asam lemak bercabang oleh sel-sel mikroba rumen akan merangsang pembentukan butirat. McDonald et al. (2002) pada umumnya perbandingan proporsi molar VFA domba yang mendapat ransum hijauan dibanding konsentrat 70:30 sekitar 65% asetat (C2),20% propionat (C3), 10% butirat (C4) dan 5% valerat (C5). Proporsi VFA dalam cairan rumenbervariasi tergantung dari macam ransum dan waktu setelah makan. Hasil analisis proporsi molar VFA pada penelitian ini adalah 38,2% asetat, 35,7% propionat, 19,1% butirat dan 7% valerat. Ransum yang mengandung proporsi konsentrat lebih banyak dari hijauan akan rnenghasilkan perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalamransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat(Ranjhan, 1980).
31
Pengaruh perlakuan dapat meningkatkan proporsi propionat dan butirat, namun menurunkan proporsi asetat. Secara biokimia propionat dibentuk dari glukosa, xilosa dan laktat melalui dua cara yaitu jalur reduksi langsung dan jalur asam dikarboksilat melalui interaksi mikroorganisme rumen. Peningkatan proporsi propionat dapat disebabkan oleh pergeseran penggunaanH2 hasil fermentasi untuk produksi
propionat akibat rendahnya aktifitas bakteri pembentuk metan (CH4).
Sedangkan penurunan proporsi asetat disebabkan karena piruvat lebih banyak dikonversi menjadi Acetyl Coenzym A yang merupakan prekusor pembentukan butirat, sehingga proporsi butirat meningkat. VFA Parsial Lainnya Menurut McDonald et al. (2002) dari proses fermentasi akan dihasilkan pula isobutirat, valerat, dan isovalerat walaupun dalam jumlah kecil. Seperti asam-asam VFA lain yang telah disebutkan sebelumnya, produksi asam isobutirat, valerat, dan isovalerat tertinggi pada penelitian ini adalah domba garut yang diberikan ransum Indigofera sp.Asam isobutirat, isovalerat, valerat tidak berbeda nyata terhadap pengaruh perlakuan. Produksi isobutirat, dan isovalerat meningkat seiring dengan meningkatnya produksi NH3. Konsentrasi isobutirat yang tinggi dalam cairan rumen dapat dimanfaatkan sebagai sumber kerangka karbon untuk pembentukan sintesis protein mikroba. Hungate (1966) mengatakan bahwa asam amino valin di dalam rumen akan difermentasikan menjadi isovalerat. Hal ini tergantung dari aktivitas rumen, sedangkan aktivitas mikroba rumen tersebut dipengaruhi oleh ransum yang dikonsumsi. Dengan semakin tingginya asam amino valin dan leusin dalam ransum, maka produksi asam isobutirat dan isovalerat cenderung meningkat. Jumlah VFA yang terbentuksangat dipengaruhi oleh kecernaan serta ransum yang difermentasi(Baldwin,1995). Proporsi asam asetat, asam propionat dan asam butirat dipengaruhi oleh macam pakan (Orksov dan Rycle, 1990). Penjelasan lebih lanjut oleh Ranjhan (1980), konsentrasi VFA dalam rumen akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah macam karbohidrat, gerak laju pakan meninggalkan rumen dan kandungan karbohidrat struktural (selulosa dan hemiselulosa). Owen dan Zim (1988) menyatakan bahwa konsentrasi VFA di dalam rumen, juga sangat ditentukan oleh pH rumen dan macam pakan yang dikonsumsi.
32
Kecernaan Bahan Kering (KCBK) Kecernaan bahan kering merupakan suatu tolak ukur untuk menentukan kualitas pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering, maka semakin tinggi pula zat-zat makanan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering ransum berbasis Indigofera sp.lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum berbasis limbah tauge (P<0,05). Lebih tingginya Indigofera sp. dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi VFA pada ransum yang mengandung Indigofera sp. begitu juga halnya dengan konsentrasi amonia yang lebih tinggi. Kandungan serat kasar limbah tauge yang lebih tinggi dari pada Indigofera sp. juga dapat menyebabkan kecernaan bahan keringnya lebih rendah. Tingginya serat kasar pada ransum dapat menyebabkan mikroba rumen tidak dapat mendegradasi pakan secara maksimal (McDonald et al., 2002). Serat kasar biasanya kaya akan lignin dan selulosa (Sutardi, 1980). Kandungan lignin pada pakan tersebut dapat mengakibatkan pakan menjadi sukar larut sehingga jumlah pakan yang didegradasi pun menjadi sedikit (Selly, 2004). Tabel 8. Rataan Kecernaan Bahan Kering dengan Tehnik RUSITEC Bangsa D1 D2 Rataan
Ransum R1 (%) 68,53 ± 0,21 68,73 ± 0,77 68,63a ± 0,47
R2 (%) 63,09 ± 5,72 62,42 ± 4,08 62,71b ± 4,07
Rataan 65,81 ± 4,56 65,57 ± 4,36
Keterangan : a, b) Superskrip yang tidak sama dalam satu baris berarti berbeda nyata (P<0,05).Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.
Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda (Sutardi, 1980). Indigofera sp. merupakan jenis leguminosa yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dari limbah tauge. Perlakuan terhadap dua bangsa tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering begitu juga interaksi keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba rumen domba garut dan domba jonggol memiliki karakteristik yang sama dalam mendegradasi pakan. Nilai kecernaan bahan kering ransum yang mengandung 30% Indigofera sp. dan limbah
33
tauge dapat dikatakan tinggi yaitu sekitar 62-68%. Hal ini dikarenakan adanya karbohidrat yang mudah didegradasi yang terkandung dalam ransum penelitian seperti molases. Sari (1989) menyatakan bahwa penambahan molases pada ransum mengakibatkan mikroorganisme rumen mampu merombak serat kasar menjadi lebih cepat dicerna. Selain itu, penambahan molases akan meningkatkan daya cerna karena molases merupakan sumber karbohidrat mudah larut dan banyak energi yang tersedia yang mampu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan cepat. Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan maka semakin banyak zat gizi yang diserap tubuh. Nilai suatu pakan dipengauhi oleh zat gizi yang diserap tubuh (Silalahi, 2003). Bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tingginya bahan organik yang dikonsumsi akan menghasilkan nilai degradasi bahan organik yang semakin tinggi. Degradasi bahan organik diukur karena komponen dari bahan organik sangat dibutuhkan untuk hidup pokok dan produksi (Rahmawati, 2001). Hasil analisis ragam menujukkan kecernaan bahan organik ransum yang mengandung Indigofera sp. sebanyak 30% lebih tinggi dari ransum yang mengandung limbah tauge. Hal ini dikarenakan kecernaan bahan kering dari Indigofera sp. juga lebih tinggi dari bahan organik. Bahan organik merupakan bagian daribahan kering, sehingga apabila bahan kering meningkatakan meningkatkan bahan organik, begitu jugasebaliknya. Oleh karena itu, hal tersebut juga akanberlaku pada nilai kecernaannya, apabila KCBKmeningkat tentu KCBO juga akan meningkat. Sutardi (2001) menyatakan bahwa peningkatan KCBK ransumsejalan dengan meningkatnya KCBO ransum, karenasebagian besar komponen BK terdiri atas BO. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggirendahnya KCBK akan mempengaruhi juga tinggirendahnya KCBO ransum.
34
Tabel 9. Kecernaan Bahan Organik dengan Tehnik RUSITEC Bangsa D1 D2 Rataan
R1 (%) 69,20 ± 2,50 70,23 ± 0,51 69,72a ± 1,59
Ransum R2 (%) 63,78 ± 3,90 62,95 ± 2,28 63,37b ± 2,65
Rataan 66,49 ± 4,12 66,59 ± 4,41
Keterangan : a, b) Superskrip yang tidak sama dalam satu baris berarti berbeda nyata (P<0,05).Hasil analisis Laboratorium Biokimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (2012), R1 = ransum yang mengandung Indigofera sp., R2= ransum yang mengandung limbah tauge, D1= domba garut, D2 = domba yang berdomisili di jonggol.
Tingginya kandungan energi (TDN =73,82%) dan protein (PK= 16,23% BK) di dalam ransum yang mengandung Indigofera sp. menyebabkan tingginya aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi ransum sehingga dihasilkan degradabilitas bahan organik yang tinggi pula. Lebih rendahnya kecernaan bahan organik pada limbah tauge dibandingkan dengan Indigofera sp. disebabkan karena kandungan serat kasar dan ADF limbah tauge lebih tinggi dari Indigofera sp.Serat kasar yang tinggi dapat mempengaruhi proses pencernaan dimana serat yang mempunyai kecernaan yang rendah akan sulit untuk dicerna sehingga mempengaruhi ketersediaan nutrien untuk ternak (Fharhandani, 2006). Adapun faktor yang mempengaruhi kecernaan itu sendiri, yaitu komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas nutrisi pakan Indigofera sp. lebih bagus dari pakan yang berbasis limbah tauge. Ketersediaan bahan kering dan bahan organik tercerna ini dapat dijadikan sebagai indikator pemenuhan kebutuhan nutrisi pada ternak ruminansia. Pembahasan Umum Kandungan nutrisi ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dari pada limbah tauge karena nutrisi daun Indigofera sp. lebih tinggi dari limbah tauge. Protein ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih mudah difermentasi dari pada ransum yang mengandung limbah tauge. Hal ini diperlihatkan pada produksi NH3 ransum yang mengandung Indigofera sp.(9,38 mM) lebih tinggi dari limbah tauge (7,09 mM). Namun, karbohidrat kedua ransum memiliki kemampuan yang sama
35
yaitu mudah difermentasi di dalam rumen. Hal tersebut ditunjukkan pada konsentrasi VFA parsial yang tidak berbeda nyata. Propionat domba jonggol memiliki konsentrasi tertinggi (41,50 mM). Hal ini dapat diartikan bahwa domba jonggol lebih dapat menggunakan propionat sebagai sumber glukosa untuk program penggemukan. Nisbah C2/C3 domba jonggol merupakan nisbah terkecil (1,08) diantara perlakuan. Semakin kecil nisbah maka semakin tinggi efisiensi pakan yang digunakan untuk pembentukan daging atau untuk penggemukan. Kandungan isobutirat yang tinggi dalam cairan rumen dapat dimanfaatkan sebagai sumber kerangka karbon untuk pembentukan sintesis protein mikroba. Konsentrasi NH3 dan VFA parsial yang tinggi pada ransum yang mengandung Indigofera sp. menyebabkan kecernaan bahan kering dan bahan organiknya lebih tinggi dari ransum yang mengandung limbah tauge. Kecernaan baik ransum yang mengandung Indigofera sp dan limbah tauge menunjukkan angka yang optimum. Dapat disimpulkan bahwa ransum dengan imbangan hijauan : konsentrat 30 :70 dapat efisien digunakan untuk domba penggemukan dengan sumber hijauan Indigofera sp. dan limbah tauge.
36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Fermentabilitas pakan ransum yang mengandung Indigofera sp. lebih tinggi dari pada ransum yang mengandung limbah tauge. Konsentrasi NH3 ransum yang mengandung Indigofera sp. nyata lebih tinggi dari limbah tauge. Konsentrasi VFA Parsial pada Indigofera sp.tidak nyata pada ransum yang mengandung limbah tauge. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum yang mengandungIndigofera sp.lebih tinggi dari pada ransum yang mengandung limbah tauge. Tidak ada perbedaan yang siginifikan terhadap pengaruh perbedaan bangsa domba garut maupun domba jonggol dan interaksi kedua perlakuan terhadap fermentabilitas dan kecernaan. Saran Analisis aktivitas enzim dan populasi mikroba rumen pakan yang mengandung Indigofera sp. dan limbah tauge perlu dilakukan terhadap domba garut dan domba yang hidup di Jonggol. Perlu dilakukan analisis kecernaan dan fermentabilitas pakan kombinasi limbah tauge dan Indigofera sp. untuk melihat pengaruh kombinasi protein dan serat kasar keduanya. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai fermentabilitas dan kecernaan berbagai bangsa domba terhadap pengaruh perlakuan pakan. Diperlukan adanya penyusunan ransum isoprotein dan isoenergi agar adil dalam membandingkan dua hijauan.
37
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, kasih sayang, dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepadaDr. Ir. M. Ridla, M.Agr selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Erika B Laconi, MSselaku pembimbing utama skripsi atas masukan dan pelajarannya selama penulisan, terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS, Ir. Lidy Herawati, MS., Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt, M.Sc, Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., M.Sc, Iwan Prihantoro, S.Pt, M.Si, dan Ir. Komariah, M.Si atas masukannya dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang teramat besar kepada Bapak, Ibu, Kakak, Keponakan atas segala kasih sayang, dukungan, motivasi, dan doa yang diberikan selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dian dan Bapak Naryanto atas bantuannya selama di Laboratorium. Bapak Krisna (Pasca) selaku teman satu penelitian atas masukan selama penelitian berlangsung. Teman teman sepenelitian Proyek Unggulan Fakultas, Devide, Rido, Hisar, Ira, Tari atas kerjasamanya dalam penelitian. Penghuni 116, Yuni, Hilda, Euis serta teman-teman edelweiseuis, lusi, mbak ii, mega, mba ulfa, okta atas dukungan dan keceriaan selama penulisan. Terimakasih kepada Rizky Yuniharto yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya dalam penyelesaian tugas akhir. Keluarga BEM Fakultas Peternakan IPB, Keluarga Besar Koran Kampus IPB (Masjaw, Kak Dina, Kak Agus, Farid, Nana, Doni, dan Erma), Keluarga Besar CSS Mora IPB serta keluargaku KKB MK (Fuka, Marisa, Hesti, Resma, Zuhdan, Riska, Arini, dan Fatma) terima kasih atas kebersamaannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Genetic 45 rekan asisten mikrobiologi dan asisten perancangan percobaan dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak atas bantuan selama tugas akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2012 Penulis
38
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, L., Suharlina, &Tarigan, A. 2010. Herbage production and quality of shrub Indigofera treated by different concentration of foliar fertilizer. Med. Pet. 33: 169-175. Afriyanti, M. 2008. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum yang diberi curcin bungkil niji jakar pagar (Jatropha curcas L.) pada ternak sapi dan kerbau. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arora, S.P. 1989. Pencernaan mikroba pada hewan ruminansia. Penerjemah : R. Muwarni. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bach , A., S. Calsamiglia, &M. D. Stern. 2005. Nitrogen metabolism in the rumen. J. Dairy Science 88:9-21. Belinda. 2009. Evaluasi mutu cookies campuran tepung kacang hijau dan beras sebagai pangan tambahan bagi ibu hamil. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Blummel, M. Orksov, &E. R. 1993. Comparasion of in vitro gas production and nylon bag degradability raughages in prediction of feed intake in cattle. J. Anim. Feed Sci. And Technol. 40 : 109-229. Church, D. C. 1979. Digestive fisiology and nutrition of ruminant. 2nd Printing. Metropolitan Printing Co., Oregon. Czerkawski J.W. &Breckenridge G. 1977. Design and development of a long technique (Rusitec). In: Br. J. Nutr., 38. p. 371-384 Czerwkwaski, J. W. 1986. An introduction to rumen studies. The Hannah Research Institute Ayr, Scotland. Dinas Peternakan Jawa barat. 2000. Standarisasi domba garut. Bandung. http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/standarisasi%2domba%20garut.p df. [01 Desember 2011] Dixon, R. M. 1986. Maximazing the rate of fibre digestion in the rumen. In: Proceedings of The Seventh Annual Wprkshop of The Australian-Asian Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residues. Durand, M. &R. Kawashima. 1980. Influence of mineral in rumen microbial digestion. In: Butler, G. W. and Bailey, R. W. (Editors) Chemistry and Biochemistry of Herbage. Academic Press, London. 529-563. Dong Y, Bae H. D., McAllister T. A., Mathison G. W., &Cheng K. J., 1997. Lipid induced depressionof methane production and digestibility in the artificial rumen system (RUSITEC). Can. J. Anim. Sci. 77: 269–278. Fharhandani, N. 2006. Pengaruh pemberian urea molases multinutrien blok dan suplemen pakan multinutrient terhadap kualitas susu sapi perah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanain Bogor, Bogor.
39
Fitri, A. 2010. Kajian in vitro dan in sacco fermentasi hijauan tropis dan campurannya pada media cairan rumen domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fondevila, M., J. C. M. Nogueir-Filho, & A. Barrious-Urdaneta. 2002. In vitro microbial fermentation and protein utilization of tropical legumes grown during the dry season. Anim. Feed sci. And Tech. 95:1-14. France, J. & Djikstra, L. 2005. Quantitive Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. 2nd Edition. CABI Publishing, London. Hassen, A., Rethman N. F. G., van Niekerk W. A., &Tjelele T. J. 2007. Influance of seaseon/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five Indigofera accession. J. Anim. Sci. 136:312-322. Hassen, A., N. F. G. Rethman, W. A. Z. Apostolides, &van Niekerk. 2006. Forage production and potential nutritive value of 24 shrubby Indigofera accessions under field conditions in south africa. J. Tropical Grassland. 42:96-103. Hungate, R. E. 1966. The Ruminant and It’s Microbes. Academic Press. New York. Istiqomah, L. H. Herdian, A. Febrisantosa, & D. Putra. 2011. Waru leaf as saponin source on in vitro ruminal fermentation characteristic. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 36: 43-49. Johnsohn. R. P. 1996. Tehcnique prosedure for in vitro and in vivo rumen studies. J. Anim. Sci. 25: 855. Kasim, N. 1994. Evaluasi nutrisi tiga spesies daun leguminosa pohon tropis : in vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Koike, S., Yabuki, H. &Kobayashi, Y. 2007. Validation and application of real-time PCR assays for representative rumen bacteria. Anim. Sci. J. 78: 135–144. Makkar, H. P. S., A. O. Adebridigde, & K. Becker. 1998. Comparative evaluation of non-toxic and toxic varietas of Jatropha curas for chemical compotition, digestibility and toxic factors. Food Chemistry 62(2) : 207-215. McDonald, P. R., A. Edwards, J. F. D. Greenhalg & C. A. Morgan. 2002. Animal nutritoin 6th edition. John Willey Inc., New York. Mendoza, G. D., R. A. Britton & R. A. Stock. 1993. Influence of ruminal protozoa on site and extent of starch digestion and ruminal fermentation. J. Anim. Sci. 71:1572-1578. National Research Council. 2007. Nutrient requirement of small ruminant sheep, goats, cervids, and new world camelids. Animal Nutrition Series. The National Academy Press, Washington D.C. Owens, F. N. & R. Zinn. 1988. Protein metabolism of ruminan animals. In: D. C. Church (ed), The ruminant animal degestive physiology and nutrition. A. Reston Book Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Orksov. 1982. Protein nutrition in ruminant. Academic Press, London. P19 - 42 40
Orksov, E.R. &M. Rycle. 1990. Energi nutrition ruminant. Elsivier Applied Science, London. Ologhobo, A.D. 2009. Mineral and antinutritionalcontents of forage legumes consumed inNigeria. http://www.fao.org/Wairdocs/ILRI/htm [2 Juli 2011]. Parakkasi, 1999. Ilmu zat makanan dan makanan ternak rumianan. Universitas Indonesia-Press, Jakarta. Rahayu, S., D. S. Wandito, & W. W. Ifafah,. 2010. Survei potemsi limbah tauge di Kota Madya Bogor. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmawati, I. A. G. W. D. 2001. Evaluasi in vitro kombinasi lamtoro merah (Acacia villosa) dan gamal (Gliricidia maculata) untuk meningkatkan kualitas pakan pada ternak domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ranjhan, S.K. 1980. Animal nutrition In: The tropics. Vika Publ, House, New Delhi. Resdiani, N. 2010. Kajian invitro fermentabilitas dan kecernaan Brachiaria humidicola yang diintroduksikan dengan beberapa leguminosa di UP3 Jonggol. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, R. 1989. Pengaruh Berbagai level urea molases blok terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kerbau (Bubalus bubalis). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salawu, M.B., T. Acamovic, C. S. Stewart, F.D. DeB, Hovell, & I. McKay. 1997. Assesment of the nutritive value of Calliandra calothyrsus: in sacco degradation and in vitro gas production in yhe presence of Quebracho tannins with or without Browse Plus. J. Anim. Feed Sci. 69:219-232. Schrire, B. D., 2005. Tribe Indigofereae. In : Marquiafa vela, F. S., M. D. Seabra Ferreirab, S. P. Teixeiraa. Novel reports of glands in Neotropical species of Indogofera L. (Leguminose, Papilionoideae). J. Flora. 204: 189-197. Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dengan amoniasi dan inokulan digesta rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silalahi, R. E. 2003. Uji fermentabilitas dan kecernaan in vitro suplemen Zn anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simanihuruk, K., &Sirait J. 2009. Pemanfaatan Leguminosa Pohon Indigofera sp.sebagai pakan basal kambing boerkafase pertumbuhan. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Soewardi, B. 1974. Gizi ruminansia. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultaspeternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
41
Subrata, A., L. M. Yusianti, & A. Agus. 2005. Pemanfaatan tannin ampas teh terhadap efek defaunasi, parameter fermentasi rumen dan sintesis protein mikroba secara in vitro. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatil bercabang dan kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutardi, T. 1977. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikrobarumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding Seminar dan Penunjang Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan ilmu nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tilman, H., Hartadi, S. Reksohadiprodjo, Prawirokusumo, & Lebdosoekojo. 1986. Ilmu dan makanan ternak dasar. Cetakan ke-3. Penerbit Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UniversitasGadjah Mada Press, Yogyakarta. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S.Lebdosukojo. 1989. Ilmu makanan ternak dasar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. UGM Press, Yogyakarta. Tillman D.A., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo,S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekotjo. 1998. Ilmu makanan ternak dasar. Cetakanke-5. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Wandito, Diny S. 2011. Performa dan morfometrik domba ekor gemuk dengan pemberian pakan konsentrat dan limbah tauge pada taraf pemberian yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G. 1981. Kimia pangan dan gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wohlt, J. B., J. H. Clarj & F. S. Balaisdell. 1976. Effect of sampling location, time and methode on concentration of ammonia nitrogen in rumen fluid. J. Dairy Sci. 554.
42
LAMPIRAN
43
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam NH3 dengan menggunakan SAS 9.1 Source
Df
Sum Of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
347,47
115,82
4,24
0,09
Eror
4
109,25
27,31
Corrected Total
7
456,73
Source
Df
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
F1
1
67,8
67,8
2,48
0,19
F2
1
214,48
214,48
7,85
0,04
F1*F2
1
65,19
65,19
2,39
0,19
Uji Duncan Alpha
0,05
Error Degrees Of Freedom
4
Error Mean Square
27,31
Duncan Grouping
Mean
N
F2
A
42,26
4
Indigofera sp.
B
31,9
4
Limbah Tauge
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam VFA Total Source
Df
Sum Of Squares
Mean Square
Model
3
1935,76
645,25
Eror
4
2982,9
745,72
Corrected Total
7
4918,67
Source
Df
Type I SS
Mean Square
F Value Pr > F 0,87
0,52
F Value Pr > F
F1
1
32,08
32,08
0,04
0,84
F2
1
1903,51
1903,51
2,55
0,18
F1*F2
1
0,16
0,16
0
0,98
44
Lampiran 3. Hasil Sidik ragam Asetat Source
Df
Sum Of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
196,31
65,43
0,42
0,74
Eror
4
624,22
165,05
Corrected Total
7
820,53 Mean Square
F Value
Pr > F
Source
Df
Type I SS
F1
1
27,73
27,73
0,18
0,69
F2
1
168,52
168,52
1,08
0,35
F1*F2
1
0,06
0,06
0
0,98
Lampiran 4. Hasil Sidik ragam Propionat Source
Df
Sum Of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
61,94
20,64
0,29
0,83
Eror
4
284,52
71,13
Corrected Total
7
346,46 Mean Square
F Value
Pr > F
Source
Df
Type I SS
F1
1
24,7
24,7
0,35
0,58
F2
1
33,71
33,71
0,47
0,52
F1*F2
1
3,53
3,53
0,05
0,83
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam Isobutirat Source
Df
Sum Of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
263,84
87,94
1,23
0,4
Eror
4
284,89
71,22
Corrected Total
7
548,74 Mean Square
F Value
Pr > F
Source
Df
Type I SS
F1
1
1,23
1,23
0,02
0,9
F2
1
214,74
214,74
3,02
0,15
F1*F2
1
47,86
47,86
0,67
0,45
45
Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam Butirat Source
Df
Sum Of Squares Mean Square
F Value
Pr > F
0,72
0,59
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
23,2
7,73
Eror
4
43,17
10,79
Corrected Total
7
66,38
Source
Df
Type I SS
F1
1
6,15
6,15
0,57
0,49
F2
1
10,59
10,59
0,98
0,37
F1*F2
1
6,46
6,46
0,6
0,48
Lampiran 7. Hasil Sidik ragam Isovalerat Source
Df
Sum Of Squares Mean Square
F Value
Pr > F
0,79
0,55
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
20,59
6,86
Eror
4
34,69
8,67
Corrected Total
7
55,28
Source
Df
Type I SS
F1
1
0,1
0,1
0,01
0,91
F2
1
19,54
19,54
2,25
0,2
F1*F2
1
0,94
0,94
0,11
0,75
Mean Square
F Value
Pr > F
0,81
0,55
Mean Square
F Value
Pr > F
Lampiran 8. Hasil Sidik ragam Valerat Source
Df Sum Of Squares
Model
3
9,16
3,05
Eror
4
15,06
3,76
Corrected Total
7
24,22
Source
Df Type I SS
F1
1
2,1
2,1
0,56
0,49
F2
1
6,31
6,31
1,68
0,26
F1*F2
1
0,74
0,74
0,2
0,67
46
Lampiran 9. Hasil Sidik ragam KCBK Source
Df
Model
3
Eror Corrected Total Source
Mean Square
F Value
Pr > F
69,48
23,16
1,85
0,27
4
50,1
12,52
7
119,59 Mean Square
F Value
Pr > F
Df
Sum Of Squares
Type I SS
F1
1
0,11
0,11
0,01
0,92
F2
1
68,99
68,99
5,51
0,03
F1*F2
1
0,37
0,37
0,03
0,87
Uji Duncan Untuk Respon KCBK alpha
0,05
Error Degrees of Freedom
4
Error Mean Square
12,52
Duncan Grouping
Mean
N
F2
A
68,63
4
Indigofera sp..
B
62,76
4
Limbah Tauge
Lampiran 10. Hasil Sidik Ragam KCBO Source
Df
Model
3
82,4
27,46
Eror
4
27,06
6,7
Corrected Total
7
109,46
Source
Sum Of Squares Mean Square
Mean Square
F Value
Pr > F
4,06
0,1
F Value
Pr > F
Df
Type I SS
F1
1
0,02
0,02
0
0,95
F2
1
80,65
80,65
11,92
0,02
F1*F2
1
1,72
1,72
0,26
0,63
47
Uji Duncan Pada F2 Alpha
0,05
error degrees of Freedom
4
Error Mean Square
6,76
Number Of Means
2
Critical Range Duncan Grouping
5,107 Mean
N
F2
A
69,72
4
Indigofera sp..
B
63,37
4
Limbah Tauge
48