sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIX, Nomor 2, Tahun 2004 : 17 - 23
ISSN 0216-1877
FENOMENA FAKTOR PENGONTROL PENYEBAB KERUGIAN PADA BUDIDAYA KARAGINOFIT DI INDONESIA Oleh Kresno Yulianto1) ABSTRACT PHENOMENON OF THE CONTROLLING FACTORS INFLUENCED ON THE LOSS DAMAGE OFCARRAGEENOPHYTE ALGAE CULTURE IN INDONESIA. Predator,
diseases, sanitation, and competitor are environmental factors which have a very important role in growth and survival rate for cultured algae. Disease such as "iceice" and epiphyte algae has veiy serious effect that can defeat the cultured algae and cause loss of production. In a steady algae cultured, this problem can be anticipated, therefore the loss of production can be hindered and or reduced. To anticipate this problem, culturist needs to understand the natural phenomenon which related to those incidences.
1996). Ekspor yang demikian besar dalam bentuk bahan mentah mengundang nelayan dan pengusaha untuk berlomba-lomba membudidayakan rumput laut. Tetapi pasokan dari hasil budidaya pada akhir-akhir ini semakin tidak menentu, bahkan dulunya sebagai sentra budidaya, beberapa tahun terakhir ini tidak dapat memproduksi lagi, contohnya di Kepulauan Seribu, Bali, Nusa Tenggara Timur, Takalar (Sulawesi Selatan) dan Morotai (Halmahera, Maluku Utara). Beberapa faktor pengontrol (faktor luar) di lapangan yang merugikan budidaya, sering kali menggagalkan/menurunkan produksi panen rumput laut, sehingga kerugian yang diderita nelayan atau pengusaha cukup besar.
PENDAHULUAN
Sejarah budidaya rumput laut di Indonesia secara ekonomi bermula pada sekitar tahun delapan puluhan di Pulau Bali yang bibitnya berasal dari Filipina. Selanjutnya, budidaya tersebut berkembang dengan pesat dan meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia, sejalan dengan permintaan rumput laut dunia yang meningkat hingga 5 - 10 % atau sekitar 43.500 ton, namun demikian Indonesia hanya dapat memasok 3000 ton, sisanya dipasok dari negara-negara lain. Sejak tahun 1990 pasokan dari Indonesia meningkat menjadi 15.000 ton per tahun dan empat tahun kemudian ekspornya mencapai 18.700 ton (SULISTIJO,
17
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
d. Infeksi akibat tertularnya bagian batang yang sehat oleh bagian batang yang terinfeksi dari satu rumpun atau berasal dari rumpun yang lain.
FAKTOR PENGONTROL a. Gangguan predator Budidaya karaginofit yang telah mapan, tidak selamanya dapat memanen rumput laut, hal ini disebabkan karena seringkali terjadi halhal yang tidak terduga. Sebagai contoh adalah datangnya juvenil/anakan ikan samandar / beronang yang jumlahnya sangat besar menyerang tanaman budidaya. Dampak dari gangguan tersebut akan menyebabkan produksi budidaya menurun, karena luka bekas gigitannya akan menyebabkan penyakit pada budidaya rumput laut. Namun demikian pada umumnya kerugian yang diakibatkan oleh predator ikan juvenil tersebut tidak terlalu besar.
DARMAYATI et. al, (2001) menyebutkan bahwa hampir seluruh contoh rumput laut yang diambil dari budidaya Kappaphycus alvarezii di Pulau Pari, baik yang sakit maupun yang sehat ditemukan bakteri kelompok vibrio dari jenis Aeromonas sp. Hal yang sama, juga ditemukan pada contoh rumput laut yang terinfeksi dari budidaya di pantai Takalar. Sulawesi Selatan ditemukan jenis Vibrio sp.. Aeromonas sp., dan Pseudomonas sp., sedangkan pada rumput laut yang sehat ditemukan Pseudomonas sp. LARGO et #/., (1995) menyebutkan bahwa dari hasil penelitian penyakit ice-ice pada budidaya rumput laut marga Kappaphycus/Eucheuma di Filipina. ditemukan bakteri kelompok vibrio dan Cytophaga-Flavobacterium dalam jumlah yang cukup melimpah. Selain dan kelompok tersebut, dalam contoh air laut juga ditemukan bakteri Aeromonas. Bakteri Pseudomonas, Alteromonas dan Aeromonas juga ditemukan pada tumbuhan yang hidup di sekitar budidayanya, misalnya dari marga Sargassum maupun Thalassia. UYENCO et al., (1981) mengemukakan, bahwa penyakit ice-ice timbul karena menurunnya substansi pelindung intraselluler pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungannya. Selanjutnya LARGO et al., (1995) menyebutkan bahwa timbulnya penyakit pada rumput laut karena adanya perubahan lingkungan, antara lain menurunnya salinitas dan intensitas cahaya. Ditambahkan oleh YULIANTO dan HATTA (1998) bahwa penyakit ice-ice yang menyerang pada budidaya Eucheuma striatum di Maluku Tenggara, terjadi pada awal musim Barat atau pada pergantian musim Timur ke musim Barat.
b. Gangguan penyakit Penyakit pada budidaya karaginofit yang sulit ditanggulangi dan berakibat fatal adalah penyakit "ice-ice". Penyakit tersebut penularannya sangat cepat dan dalam jangka 2 mmggu, akan menyebabkan budidaya algae hancur, sehingga tidak dapat memanen. Beberapa informasi yang diperoleh dari pcngamatan pada area budidaya yang terserang penyakit ice-ice, pada umumnya hampir sebagian besar tanaman terinfeksi oleh penyakit. Hal tersebut ditandai dengan memutihnya/memudarnya warna batang (thalli), berlendir yang diselimuti oleh kotoran seperti tepung putih, serta kulit luar atau epidermisnya terkelupas. sehingga terlihat jaringan dalam/medula pada thalli. Terinfeksinya pada thalli tersebut dimulai dari bagian tertentu, antara lain (SULISTIJO, 1996; YULIANTOdanHATTA, 1998): a. Infeksi bermula dari bagian luka pada pangkal stek akibat dari pemetikan/ pemotongan. b. Infeksi dimulai dari bagian yang luka pada bekas gigitan predator ikan. c. Infeksi dimulai dari bagian yang luka karena gesekan/terlalu erat mengikat rumpun rumput laut.
18
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
c. Gangguan algae kompetitor Banyaknya algae kompetitor yang bersifat epifit merupakan salah satu faktor pengontrol yang sulit penanggulangannya, serta dampak yang ditimbulkan walaupun lambat tapi sangat fatal. Algae tersebutmenempel pada thalli rumput laut budidaya, akibatnya akan mengganggu/menghalangi dalam memperoleh makanan, tempat, dan cahaya bahkan akan mengundang kehadiran binatang yang merugikan tanaman. Dengan berkurangnya komponen yang dibutuhkan dalam proses metabolismenya, maka secara perlahan-lahan tanaman jadi kurus, lembek, pucat dan akhirnya hancur. Kasus-kasus kerugian yang disebabkan oleh algae filamen epifit tersebut hampir terjadi pada sebagian besar budidaya rumput laut karaginofit di Indonesia. Algae kompetitor ini biasanya munculnya pada awal musim kemarau (YULIANTO dan HATTA, 1998).
KERUGIAN DISEBABKAN OLEH FAKTOR PENGONTROL
Informasi tentang kerugian material yang disebabkan oleh faktor pengontrol selama ini jarang dilaporkan secara rinci, padahal setiap kegiatan budidaya karaginofit pada periode tertentu sering mengalami serangan faktor tersebut. Pada umumnya, kerugian yang fatal disebabkan oleh penyakit "ice-ice". Misalnya yang terjadi di Pulau Pari Kepulauan Seribu, dimana pada setiap tahunnya dapat memanen rata-rata 60 ton rumput laut kering dengan harga antara Rp. 169.000.000 sampai Rp. 180.000.000. Tetapi setelah tanaman budidayanya diserang oleh penyakit ice-ice dari mulai tahun 2000, 2002, bahkan sampai sekarang kegiatan budidaya tersebut hampir tidak memanen lagi (YULIANTO, 2003). Hal yang sama juga terjadi pada budidaya karaginofit di Bali tahun 2003 tidak dapat panen karena tanaman diserang oleh penyakit yang sama (komunikasi langsung dengan Pak Sumarso). Fenomena yang demikian, perlu adanya pemikiran tentang konsep pengelolaan budidaya karaginofit di Indonesia yang melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait.
d. Sanitasi lingkungan budidaya Pertumbuhan penduduk pada umumnya diikuti dengan aktivitas manusia tentunya akan berdampak pada sanitasi lingkungan hidupnya. Di kawasan pesisir buangan sampah rumah tangga, dan sampah lainya yang bermuara ke laut menyebabkan kondisi tidak bersih lagi. Oleh karena itu untuk pemilihan lokasi budidaya sebaiknya hindari kondisi perairan yang kotor. Apabila budidaya sudah berlangsung lama seperti yang terjadi di Kepulauan Seribu, sebaiknya dibuat semacam penghalang dari jaring, hal ini untuk menghindari kotoran/sampah yang menyangkut pada rakit atau pada tali tempat mengikat bibit, karena hal tersebut akan memicu melimpahnya bakteri penyebab sakitnya tanaman.
MENYIASATI FENOMENA FAKTOR PENGONTROL
Berdasarkan dari pengalaman budidaya karaginofit di lapangan, maka perlu diperhatikan berbagai langkah-langkah antara lain sebagai berikut (YULIANTO, 2003): a. Hindari kegiatan budidaya rumput laut sekitar satu sampai dua minggu menjelang musim kemarau (musim dimana penyakit mulai muncul setelah algae filamen blomming) dan istirahat selama 1-2 bulan waktunya dimanfaatkan untuk membersihkan tali atau rakit, setelah itu bam menanam.
19
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
b. Waktu tanam yang ideal adalah pada akhir musim hujan. c. Penyegaran bibit diupayakan dari luar daerah. d. Hindari penggunaan bibit lokal, setelah budidaya memanen tiga kali berturut-turut. e. Perhatikan kondisi lingkungan lokasi budidaya (salinitas, predator, arus kecerahan/kebersihan, unsur hara, dan bebas dari ombak yang besar). f. Waktu menanam rumput laut yang baik adalah sekitar pergantian musim hujan ke musim kemarau. g. Dalam jangka panjang perlu adanya penelitian bibit unggul secara biomolekuler. Hal ini dilakukan untuk memperoleh tanaman yang cepat tumbuh, habitusnya besar, mutu fikokoloidnya baik dan tahan terhadap goncangan lingkungan maupun penyakit.
KESIMPULAN
Faktor pengontrol atau faktor luar yang berupa predator, penyakit, algae epifit dan pencemar merupakan faktor yang merugikan budidaya rumput laut karaginofit. Penyakit yang berupa "ice-ice" merupakan faktor yang paling merugikan dibanding dengan faktor lainnya. Timbulnya faktor pengontrol di daerah tropis seperti di Indonesia disebabkan karena adanya pergantian musim dari musim Barat ke musim Timur atau sebaliknya. Untuk menghindari kerugian pada budidaya rumput laut oleh faktor tersebut maka perlu adanya penyegaran bibit, budidaya pada musim yang tepat.
20
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
21
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
22 Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SULISTIJO (1996). Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Dalam : (ATMADJA, W.S.; A. KADI, SULISTIJO dan RACHMANIAR eds.), Pengenalan Jenis-jenis Rumput laut di Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI Jakarta: 120-150.
DAFTAR PUSTAKA
DARMAYATI, Y., HATMANTI, A., N. F ARID A dan SURAHMAN 2001. Studi hama dan penyakit. Dalam: Laporan akhir Penelitian Pengembangan Bibit Unggul Rumput laut, Pengelolaan Kualitas Air serta Hama dan Penyakitnya. Proyek Penelitian, Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya laut Dalam. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jakarta.: 19 -25. LARGO, B.D., K. FUKAMI, andT. NISHIJIMA 1995. Occasional pathogenic bacteria promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus alvarezii and Euchewna denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology, 7 : 545 - 554.
UYENCO, F.R., L.S. SANIELandG.S. JACINCO 1981. The ice-ice problem in seaweed farming. International Seaweed Symposium Xth: 625-630. YULIANTO, K. dan M. HATTA 1998. Pengaruh beberapa faktor pengontrol terhadap keberhasilan budidaya Kappaphycus striatum (Schmitz) Doty (Rhodophyta) di Perairan Tual, Maluku Tenggara. Perairan Maluku dan Sekitarnya, Vol. 10:13-21. YULIANTO, K. 2003. Pengamatan penyakit "ice-ice' dan alga kompetitor fenomena penyebab kegagalan panen budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii (C) Agardh) di Pulau Pari, Kepulauan Seribu tahun 2000 dan 2001. Makalah Seminar Nasional RIPTEK Kelautan Nasional. Jakarta, 30-31 Juli: 7 hal.
McHUGH, D.J. 1987. Production and Utilization of Product from Commercial Seaweeds. Food and Agriculture Organization of the Unites Nations. Rome: 89 pp.
23
Oseana, Volume XXIX no. 2, 2004