FASILITAS KEPABEANAN : SUATU UPAYA PEMBERIAN KEMUDAHAN DAN INSENTIF FISKAL BAGI INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
oleh: Surono (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai)
Salah satu aspek dasar pembentukan Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006, adalah pemberian insentif terhadap perdagangan dan sektor industri.
Pemberian insentif tersebut diharapkan akan memberikan
manfaat pertumbuhan perekonomian nasional. Bentuk fasilitas kepabeanan yang diberikan oleh Undang-undang Kepabeanan secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1)
Fasilitas yang terkait dengan pelayanan, dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih baik dan lebih murah.
2)
Fasilitas yang terkait dengan fiskal kepabeanan, berupa pembebasan Bea Masuk,
keringanan
Bea
Masuk,
pengembalian
Bea
Masuk
dan
penangguhan Bea Masuk. Fasilitas pelayanan kepabeanan ditujukan untuk memperlancar arus barang, orang maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di bidang impor. Umumnya bentuk-bentuk fasilitas pelayanan telah diintegrasikan dalam sistem tata laksana kepabeanan. Kewenangan pemberian fasilitas pelayanan biasanya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pabean setempat. Hal ini
1
merupakan suatu perlakuan diskresi (penyimpangan) dari suatu sistem tatalaksana yang regular dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan kelancaran arus barang, orang maupun dokumen. Fasilitas fiskal kepabeanan merupakan suatu bentuk pemberian insentif yang berkaitan dengan pungutan Bea Masuk. Bentuk-bentuk perlakuan yang diberikan dapat berupa tidak dipungut Bea Masuk, pembebasan Bea Masuk, pembebasan atau keringanan Bea Masuk, penangguhan Bea Masuk serta pengembalian Bea Masuk. Fokus utama pemberian insentif fiskal antara lain adalah untuk kepentingan sektor industri dan perdangangan,
kepentingan
publik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga perlakuan yang lazim dalam tata pergaulan internasional. Artikel ini secara khusus mendeskripsikan bentuk-bentuk pemberian fasilitas kepabeanan, baik berupa fasilitas pelayanan maupun fasilitas fiskal kepabeanan.
Disamping hal tersebut, penulis juga akan mendeskripsikan
bentuk-bentuk lain perlakuan fiskal kepabeanan yang juga diterapkan oleh Pemerintah dengan mengacu kepada Undang-undang diluar Undang-undang Kepabeanan. Beberapa diantaranya adalah: ketentuan tarif preferensi dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP). Penjelasan mengenai kedua jenis perlakuan fiskal ini juga akan disampaikan dalam artikel ini.
2
Fasilitas Pelayanan Pengertian fasilitas pelayanan adalah bentuk-bentuk perlakuan khusus dalam proses penyelesaian formalitas kepabeanan dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih baik dan lebih murah. Tujuan utamanya adalah untuk
memperlancar
arus
barang,
orang
atau
dokumen.
perkembangan industri dan perdagangan secara global persaingan yang semakin tinggi.
Pesatnya
mendorong
iklim
Agar produk Indonesia mampu bersaing,
upaya-upaya efisiensi di sektor industri maupun perdagangan harus diiringi pula dengan tingkat pelayanan birokrasi yang semakin cepat dan murah. Pemerintah sadar akan hal tersebut dan terus berusaha meningkatkan pelayanan birokrasi khususnya yang berkaitan dengan formalitas kepabeanan. Materi undang-undang Kepabeanan maupun peraturan pelaksanaannya telah mengakomodasikan beberapa bentuk fasilitas pelayanan yang bertujuan memberikan insentif non fiskal. Berikut ini akan dideskripsikan secara singkat beberapa bentuk fasilitas pelayanan di bidang kepabeanan yang telah diaplikasikan dalam tata laksana kepabeanan khsususnya di bidang impor.
1)
Pembongkaran atau Penimbunan di Luar Kawasan Pabean (Referensi : Pasal 10A Undang-undang Kepabeanan) Pada dasarnya pembongkaran dan penimbunan barang impor wajib
dilakukan di suatu tempat dalam Kawasan pabean. Akan tetapi apabila barang impor karena sesuatu hal, baik alasan yang menyangkut kondisi barang maupun kelayakan lokasi kawasan pabean, dapat saja seorang Kepala Kantor memberikan suatu diskresi (penyimpangan) yang mengizinkan pembongkaran dan penimbunan di luar kawasan pabean. Kebijakan ini semata-mata memang 3
karena kondisi-kondisi yang disebutkan tersebut dan bukan karena adanya privelege tertentu terhadap importir. Perlakuan khusus ini merupakan salah satu bentuk pemberian fasilitas pelayanan kepabeanan.
Dalam pelaksanaannya, fasilitas kepabeanan ini
seringkali diberikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai di daerah-daerah yang sarana dan prasarana pelabuhan dan/atau kawasan pabeannya belum lengkap. Untuk pengamanan hak-hak negara, proses pembongkaran barang impor wajib diawasi oleh petugas Bea dan Cukai serta dilakukan penyegelan terhadap barang impor yang ditimbun.
2)
Fasilitas Vooruitslag (Referensi: Pasal 37 ayat 2 Undang-undang Kepabeanan) Pengertian fasilitas vooruitslag adalah suatu bentuk perlakuan khusus
berupa pemberian izin untuk mengeluarkan terlebih dahulu barang impor yang masih terutang Bea Masuk dan PDRI dengan mempertaruhkan jaminan. Fasilitas vooruitslag diberikan kepada importir yang telah mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk, Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai, dan atas permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan mengenai pemberian fasilitas tersebut. Khusus terhadap barang impor untuk keperluan penanggulangan bencana alam dapat diberikan
persetujuan
vooruitslag
walaupun
importir
belum
mengajukan
permohonan fasilitas pembebasan dimaksud. Peraturan pelaksanaan fasilitas vooruitslag diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK160/PMK.04/2007. Pengeluaran barang impor dengan fasilitas vooruitslag dilaksanakan dengan mengajukan dokumen pelengkap
4
pabean. Bentuk jaminan yang dapat dipertaruhkan dapat berupa : jaminan tunai, jaminan bank, jaminan perusahaan asuransi (Customs Bond) dan jaminan lainnya. Jaminan yang diserahkan adalah sebesar Bea Masuk, PDRI dan/atau cukai yang terutang. Jangka waktu pemberian fasilitas vooruitslag atau batas waktu penyampaian pemberitahuan pabean (PIB) paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diserahkannya
dokumen
pelengkap
pabean.
Jangka
waktu
ini
dapat
diperpanjang oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila proses fasilitas pembebasan belum selesai juga, maka permohonan perpanjangan dapat diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya. 3)
Pelayanan Segera (Rush Handling) (Referensi : Pasal 10B ayat 2 huruf c Undang-undang Kepabeanan) Pelayanan Segera (rush handling) adalah pelayanan kepabeanan yang
diberikan atas barang impor tertentu yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawasan pabean. Pelayanan segera diberikan untuk barang yang terikat waktu (peka waktu), memerlukan penanganan
khusus
atau
barang-barang
lain
yang
sangat
diperlukan
berdasarkan pertimbangan tertentu dari Kepala Kantor. Ketentuan teknis mengenai prosedur pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan pelayanan segera, diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 148/PMK.04/2007. Adapun kategori barang yang diberikan fasilitas pelayanan segera, mencakup: -
Organ tubuh manusia, antara lain: ginjal, kornea mata, atau darah;
5
-
Jenazah dan abu jenazah;
-
Barang yang merusak lingkungan, antara lain barang yang mengandung radiasi;
-
Binatang hidup;
-
Tumbuhan hidup;
-
Surat kabar dan majalah yang peka waktu;
-
Dokumen (surat);
-
Barang lain yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera, apabila mendapat ijin dari Kepala Kantor. Untuk mendapatkan pelayanan segera atas barang yang memenuhi
kriteria, importir harus mengajukan permohonan kepada pejabat bea dan cukai yang dilampiri dengan dokumen pelengkap pabean dan jaminan, sebesar Bea Masuk dan PDRI yang wajib dilunasi. Khusus terhadap kategori barang berupa organ tubuh manusia dan jenazah,
Importir wajib memberitahukan dengan
menggunakan PIB khusus (PIBT). Terhadap barang impor dengan fasilitas pelayanan segera, wajib dilakukan pemeriksaan fisik. Importir yang mendapat fasilitas pelayanan segera wajib menyerahkan pemberitahuan pabean (PIB) dan melunasi Bea Masuk, cukai dan PDRI yang terhutang paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak barang impor dikeluarkan. Apabila kewajiban pembayaran ini tidak diselesaikan pada waktunya, maka jaminan dicairkan dan dikenakan sanksi administrasi denda sebesar 10% dari Bea Masuk yang wajib dilunasi.
Bagi importir yang melanggar ketentuan
penyampaian PIB dan pelunasan pembayaran maka Fasilitas pelayanan segera tidak akan diberikan lagi, sampai dengan yang bersangkutan melunasi kewajibannya.
6
4)
Fasilitas Jalur Prioritas (Referansi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008) Pengertian fasilitas jalur prioritas adalah suatu bentuk perlakuan khusus
yaitu tidak dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen atas pemasukan barang impor dalam sistem tatalaksana impor barang. Dalam implementasinya, jalur prioritas dibedakan menjadi jalur MITA Prioritas dan jalur MITA Non Prioritas. Jalur MITA Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen. Selain itu, MITA Prioritas berhak atas fasilitas pembayaran berkala.
Jalur MITA Non Prioritas adalah
proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan kepada MITA Non Prioritas untuk pengeluaran barang impor tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal-hal tertentu yaitu : - barang ekspor yang diimpor kembali; - barang yang terkena pemeriksaan acak; atau - barang impor sementara.
5)
Fasilitas Pemberitahuan Pendahuluan (Prenotification) (Referensi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008) Pengertian fasilitas prenotification adalah pengajuan pemberitahuan Impor
Barang (PIB) sebelum pihak pengangkut menyerahkan inward manifest, dengan ketentuan:
7
- Bagi importir MITA Prioritas tanpa harus mengajukan permohonan; Dalam hal ini Importir MITA Prioritas wajib menyampaikan rekapitulasi PIB dalam bentuk softcopy kepada client coordinator, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. - Bagi importir lainnya, fasilitas prenotification dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk.
8
Fasilitas Fiskal Kepabeanan Pada dasarnya fasilitas fiskal yang dibicarakan disini adalah fasilitas yang terkait dengan penerimaan perpajakan, khususnya Bea Masuk. Fasilitas fiskal dalam konteks Undang-undang Kepabeanan mengandung pengertian sebagai bentuk-bentuk insentif perpajakan yang diberikan kepada industri, perdagangan, dan pihak-pihak tertentu. Bentuk-bentuk fasilitas fiskal kepabeanan dapat berupa: - Tidak dipungut Bea Masuk, sesuai Pasal 24 Undang-undang Kepabeanan; - Pembebasan Bea Masuk, sesuai Pasal 25 Undang-undang Kepabeanan; - Pembebasan atau Keringanan, sesuai Pasal 26 Undang-undang kepabeanan; - Pengembalian Bea Masuk, sesuai Pasal 27 Undang-undang Kepabeanan; - Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk dalam rangka Impor Sementara, sesuai pasal 10D Undang-undang Kepabeanan; - Penangguhan Bea Masuk terhadap tempat penimbunan berikat, sesuai pasal 44 Undang-undang Kepabeanan. Pada dasarnya fasilitas fiskal kepabeanan yang diberikan oleh Undangundang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan juga bentuk perlakuan yang lazim terhadap tata pergaulan internasional. Untuk kepentingan industri dan perdagangan, pemerintah memberikan insentif terhadap industri yang sedang membangun atau melakukan pengembangan. Berkaitan dengan tata pergaulan internasional, pemerintah memberikan perlakuan pembebasan terhadap barang impor yang akan digunakan oleh perwakilan negara asing atau pejabat pada Badan internasional. Demikian pula 9
terhadap barang-barang yang digunakan untuk kepentingan publik yang tidak berorientasi
pada
hal-hal
yang
bersifat
komersial,
diberikan
perlakuan
pembebasan terhadap Bea Masuk.
1)
Tidak Dipungut Bea Masuk Sesuai dengan ketentuan pasal 24 undang-undang Kepabeanan diatur
bahwa barang yang dimasukkan ke Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk. pertimbangan
perlakuan
tidak
dipungut
Bea
Masuk
pada
Dasar
hakekatnya
mempertimbangkan asas-asas pemungutan pajak. Pada dasarnya asas pemungutan Bea Masuk di Indonesia menerapkan asas domisili. Pengertiannya bahwa pemungutan Bea Masuk
dikenakan
terhadap subyek yang berdomisili di Indonesia atau obyek yang dikonsumsi di dalam wilayah pabean Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, maka terhadap barang yang diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar daerah pabean, maka dari sisi subyek maupun obyek tidak memenuhi asas domisili tersebut.
2)
Pembebasan Bea Masuk Pasal 25 Undang-undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal
berupa pembebasan Bea Masuk terhadap barang impor yang digunakan untuk keperluan tertentu. Antara lain sebagai bentuk tata krama dalam pergaulan internasional berupa pembebasan terhadap barang impor yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing dan pejabat pada Badan Internasional. Disamping itu, pembebasan Bea Masuk diberikan pula terhadap barang-barang yang digunakan untuk kepentingan publik yang bersifat nonkomersial, kemajuan
10
pendidikan dan ilmu pengetahuan, sosial kemanusiaan, pertahanan dan keamanan, serta kesehatan. Sifat
pembebasan
Kepabeanan
adalah
yang
diatur
pembebasan
dalam
mutlak.
pasal
25
Pengertiannya
undang-undang bahwa
bentuk
pembebasan atau peniadaan terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran Bea Masuk yang diberikan pemerintah bersifat permanen. Dengan kata lain, selama pos tarif dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) memberikan pembebananan tarif Bea Masuk diatas 0% (nol persen) terhadap barang impor dengan fasilitas pembebasan, maka terhadap barang impor tersebut secara permanen tidak akan dikenakan pungutan Bea Masuk. Untuk mendapatkan skema pembebasan Bea Masuk tersebut, para pihak yang berhak menerima pembebasan
wajib
memenuhi
persyaratan-persyaratan
yang
ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mungkin dalam pikiran anda timbul pertanyaan, “bagaimana kalau barang yang diberikan pembebasan sesuai pasal 25, dalam BTBMI tarif Bea Masuknya sudah 0%, apakah pembebasan Bea Masuk tersebut masih relevan ?” Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditegaskan bahwa apabila pembebanan tarif dalam BTBMI sudah 0% maka secara tidak langsung telah berlaku pembebasan mutlak (absolute) tanpa syarat apapun. Pengertiannya bahwa importir dalam hal ini tidak perlu mengajukan permohonan fasilitas pembebasan sesuai Pasal 25 undang-undang Kepabeanan. Contoh kasus seperti ini terjadi pada barang berupa buku-buku yang digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan.
11
3)
Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk Pasal 26 Undang-Undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal
berupa pembebasan atau keringanan Bea Masuk terhadap barang impor yang digunakan untuk keperluan tertentu. Fokus pemberian fasilitas ini terutama ditujukan terhadap sektor industri dan perdagangan. Antara lain pembangunan dan pengembangan sektor indsutri baik dalama skema penananaman modal maupun swasta murni. Disamping itu, fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk diberikan sebagai insentif sektor pertanian, pencegahan pencemaran lingkungan, keperluan olah raga, kepentingan publik yang dikelola pemerintah, proyek pembangunan yang dibiayai hibah, serta sektor industri yang berorientasi ekspor.
Sifat
pembebasan
yang
diatur
dalam
pasal
26
Undang-undang
Kepabeanan adalah pembebasan yang bersifat relatif. Pengertiannya bahwa bentuk fasilitas yang diberikan dapat berupa pembebasan atau hanya berupa keringanan Bea Masuk saja, dan hal ini bersifat tentative (sementara), tergantung kepada kebijakan yang akan diterapkan pemerintah pada kondisi-kondisi tertentu. Contoh: - perlakuan fasilitas terhadap pembangunan atau pengembangan industri berdasar Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 135/KMK.04/2002 adalah berupa keringanan Bea Masuk. (tarif akhir Bea Masuk menjadi 5%). - sejak
berlakunya
176/PMK.04/2009,
Peraturan perlakuan
Menteri fasilitas
Keuangan terhadap
(PMK)
pembangunan
nomor atau
pengembangan industri adalah berupa pembebasan Bea Masuk.
12
4)
Pengembalian Bea Masuk Pasal 27 undang-undang Kepabeanan memberikan bentuk fasilitas fiskal
berupa pengembalian Bea Masuk atas bea-bea yang telah dibayar sebelumnya oleh importir. Dalam hal ini undang-undang kepabeanan telah memberikan batasan terhadap kategori barang atau subyek mana yang dapat menerima pengembalian Bea Masuk. Berdasar ketentuan pasal 27 tersebut, pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah dibayar atas: -
kelebihan pembayaran Bea Masuk yang timbul akibat penetapann tarif dan nilai pabeana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;
-
impor barang yang mendapat fasilitas pembebasan dan/atau keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;
-
impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;
-
impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar Bea Masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau
-
kelebihan pembayaran Bea Masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.
13
5)
Fasilitas Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas Barang Impor Sementara (Referensi : Pasal 10D Undang-undang Kepabeanan) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada
waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. Terhadap barang impor sementara dapat diberikan pembebasan Bea Masuk atau keringanan Bea Masuk. Ketentuan operasional yang mengatur impor sementara adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 140/PMK.04/2007 tentang Impor Sementara . Kategori barang impor sementara yang mendapat pembebasan Bea Masuk diatur dalam Pasal 3 ayat 2 PMK tersebut, yang meliputi: -
barang untuk keperluan pameran yang dipamerkan di tempat lain dari tempat penyelenggaraan pameran berikat;
-
barang untuk keperluan seminar atau kegiatan semacam itu;
-
barang untuk keperluan peragaan atau demonstrasi;
-
barang untuk keperluan tenaga ahli;
-
barang untuk keperluan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan;
-
barang yang diimpor untuk keperluan perlombaan dibidang olahraga;
-
kemasan yang digunakan untuk pengangkutan barang impor atau ekspor secara berulang-ulang;
-
barang keperluan contoh atau model;
-
kendaraan atau sarana pengangkut yang digunakan sendiri oleh wisatawan manca negara;
14
-
kendaraan atau sarana pengangkut yang masuk melalui lintas batas dan penggunaannya tidak bersifat regular;
-
barang untuk diperbaiki, direkondisi, diuji, dan dikalibrasi;
-
binatang hidup untuk keperluan pertunjukan umum, olahraga, perlombaan, pelatihan, pejantan, dan penanggulangan gangguan keamanan;
-
peralatan khusus yang digunakan untuk penanggulangan bencana alam, kebakaran, dan gangguan keamanan;
-
kapal niaga yang diimpor oleh perusahaan pelayaran niaga nasional;
-
pesawat dan mesin pesawat yang diimpor oleh perusahaan penerbangan nasional;
-
barang yang dibawa oleh penumpang dan akan dibawa kembali ke luar negeri; dan/atau
-
barang pendukung proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dari luar negeri. Pemberian keringanan Bea Masuk diperlakukan terhadap barang impor
berupa mesin dan peralatan untuk kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur. Atas kegiatan impor sementara terhadap barang tersebut, importir akan dikenakan pungutan berupa : -
Bea Masuk sebesar 2% untuk setiap bulan atau bagian dari bulan dari jumlah Bea Masuk yang seharusnya dipungut;
-
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn.BM) secara penuh (100%). Akan tetapi, kewajiban membayar PPN atau PPn.BM tidak berlaku, apabila importir mendapatkan skema fasilitas perpajakan berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku;
15
Selain kewajiban membayar Bea Masuk, PPN dan PPn BM, Importir diwajibkan mempertaruhkan jaminan sebesar selisih antara Bea Masuk yang seharusnya dibayar dengan yang telah dibayar ditambah dengan Pajak Penghasilan Pasal 22. 6)
Fasilitas Penangguhan Bea Masuk terhadap Tempat Penimbunan Berikat (Referansi: pasal 44, Undang-undang Kepabeanan) Bentuk insentif yang diterima oleh pihak yang menyelenggarakan Tempat
Penimbunan Berikat (TPB) berupa penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut pajak-pajak dalam rangka impor maupun pajak-pajak dalam negeri. Fasilitas tempat penimbunan berikat merupakan bentuk fasilitas yang bersifat institusional terhadap subyek pajak. Pengertiannya bahwa
perlakuan insentif perpajakan
melekat terhadap institusi atau subyek pajak tertentu dan bukan terhadap obyek pajaknya.
Secara prinsip barang-barang impor yang ditimbun di dalam TPB
masih terutang Bea Masuk dan apabila dikeluarkan dari TPB selain untuk diekspor maka wajib dipungut Bea Masuk dan PDRI. Pada prinsipnya tujuan pengadaan Tempat Penimbunan Berikat adalah untuk memberikan insentif berupa penangguhan pembayaran Bea Masuk, atas kegiatan menyimpan, menimbun, memamerkan, menjual, mengemas dan mengolah barang yang berasal dari impor di dalam tempat penimbunan berikat. Pelaksanaannya, TPB dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Kawasan Berikat, Gudang Berikat, Entrepot Tujuan Pameran, Toko Bebas Bea, Tempat Pelelangan Berikat dan Tempat Daur Ulang Berikat.
16
Perlakuan
Tarif
Preferensi
dan
Bea
Masuk
Ditanggung
Pemerintah Alternatif pemberian insentif fiskal bagi sektor industri dan perdagangan di luar konteks fasilitas fiskal kepabeanan yang diatur oleh Undang-undang Kepabeanan, adalah perlakuan tarif preferensi dan Bea Masuk ditanggung Pemerintah. Perlakuan tarif preferensi didasarkan atas kerjasama perdagangan internasional yang memberikan keringanan terhadap tarif Bea Masuk,
baik
secara bilateral maupun multilateral. Dengan adanya kesepakatan tarif preferensi maka terhadap barang impor yang masuk dari suatu negara anggota akan diperlakukan tarif impor sesuai perjanjian tarif preferensi. Perlakuan BMDTP erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang mengalokasikan anggaran dalam rangka menanggung beban Bea Masuk dan PDRI atas impor barang dan bahan oleh sektor industri tertentu yang mendapat insentif BMDTP. 1)
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Konsep pemberian BMDTP adalah pemberian insentif fiskal bagi sektor
industri dan perdagangan dalam rangka memenuhi penyediaan barang dan/atau jasa untuk kepentingan umum dan peningkatan daya saing industri tertentu di dalam negeri. Perlakuan pemberian insentif fiskal bagi sektor industri dan perdagangan dalam bentuk BMDTP, mulai diberikan oleh pemerintah sejak tahun 2008. Referensi aturan pemberian BMDTP ini mengacu kepada Undang-undang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang setiap tahun disusun oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap tahun berdasarkan UU APBN, pemerintah mengalokasikan pagu anggaran dalam jumlah tertentu untuk membiayai importasi yang dilakukan oleh 17
industri sektor tertentu yang memenuhi kriteria BMDTP sesuai dengan kebijakan pengembangan industri nasional. Dengan kata lain, skema pemberian insentif fiskal BMDTP hanya berlaku selama masa tahun anggaran (APBN) berjalan, yaitu periode 1 Januari sampai 31 Desember. Kriteria sektor industri tertentu yang dapat menerima BMDTP adalah: - memenuhi penyediaan barang dan atau/jasa untuk kepentingan umum, dikonsumsi
oleh
masyarakat
luas
dan/atau
melindungi
kepentingan
konsumen; - meningkatkan daya saing; - meningkatkan penyerapan tenaga kerja; - meningkatkan pendapatan negara; Disamping kriteria sektor industri tersebut, barang dan bahan yang diimpor juga harus memenuhi kriteria : - barang dan bahan belum diproduksi di dalam negeri; - barang dan bahan sudah dapat diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; - barang dan bahan sudah dapat diproduksi di dalam negeri, namun jumlahnay belum mencukupi kebutuhan di dalam negeri Beberapa sektor industri yang pernah mendapatkan skema BMDTP pada tahun 2010 yang lalu, antara lain: -
industri pembuatan tinta khusus (toner) (sesuai PMK 205/PMK.011/2010);
-
industri pembuatan sorbitol (sesuai PMK 42/PMK.011/2010);
-
industri pembuatan karpet (sesuai PMK 55/PMK.011/2010);
-
industri
pembuatan
peralatan
telekomunikasi
(sesuai
PMK
54/PMK.011/2010);
18
-
industri pembuatan Bagian Tertentu Alat Besar Dan/Atau Perakitan Alat Besar Oleh Industri Alat Besar (sesuai PMK 53/PMK.011/2010);
-
industri
pembuatan
alat
tulis
berupa
ballpoint
(sesuai
PMK
52/PMK.011/2010); -
industri pembuatan komponen elektronika (sesuai PMK 51/PMK.011/2010);
-
industri pembuatan kemasan infus (sesuai PMK 50/PMK.011/2010);
-
industri pembuatan kabel serat optik (sesuai PMK 49/PMK.011/2010);
-
industri pembuatan kawat ban/steel cord (sesuai PMK 48/PMK.011/2010).
2)
Perlakuan Tarif Preferensi Kebijakan penetapan tarif Bea Masuk yang berlaku umum atau Most
Favoured Nations (MFN) dilaksanakan dengan memperhatikan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Non Agriculture Market Access, Agriculture). Implementasi Tarif Bea Masuk atas barang impor yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tersebut tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI). Secara umum dalam ketentuan pasal 12 Undang-undang Kepabeanan diatur bahwa terhadap barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk. Pengecualian terhadap batasan tarif Bea Masuk normal dapat dilakukan terhadap barang-barang sebagai berikut : - Barang impor hasil pertanian tertentu; - Barang impor yang termasuk dalam daftar eksklusif schedule XXI – Indonesia, Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan;
19
- Barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional (preferential tariff); - Barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. Berdasarkan referensi aturan yang dijelaskan dimuka tentunya anda dapat menyimpulkan bahwa kebijakan perlakuan tarif preferensi oleh Pemerintah pada hakekatnya merupakan konsekuensi adanya kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan adanya perlakuan tarif preferensi maka kedua belah pihak, baik negara importir maupun eksportir dapat mengambil keuntungan yang optimal. Sebagai contoh, perlakuan tarif AFTA (ASEAN Fre Trade Area) maka terhadap barang impor yang masuk dari sesama anggota ASEAN akan diberlakukan tarif preferensi (Skema tarif CEPT). Bentuk-bentuk kerjasama internasional yang melibatkan Indonesia dengan negara-negara
lainnya,
baik
secara
bilateral
maupun
multilateral
dan
menimbulkan konsekuensi pemberlakuan tarif preferensi adalah sebagai berikut: - ASEAN Free Trade Area (AFTA) yaitu kerjasama perdagangan antara negara-negara anggota ASEAN. Kesepakatan tarif prefrensi AFTA tertuang dalam skema Common Efectif Preferential Tariff (CEPT). Kerjasama AFTA melibatkan 10 negara ASEAN, yaitu: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura, Thailand Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Perjanjian AFTA menargetkan bahwa pada tahun 2010 akan menghapuskan semua Bea Masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand. Sedangkan untuk Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam baru akan dihapuskan pada tahun 2015.
20
- Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), yaitu kerjasama ekonomi antara pemerintah Indonesia dengan Japan yang sepakati pada tanggal 20 Agustus 2007. - ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yaitu kerjasama kerjasama ekonomi dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas ASEAN-China. Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negaranegara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat China dilakukan di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2004. - ASEN-Korea Free Trde Area (AKFTA) yaitu kerjasama ekonomi dan pendirian suatu
kawasan
perdagangan
bebas antara
ASEAN-Korea.
Kerangka
kesepakatan kerjasama ekonomi menyeluruh antara Pemerintah negaranegara anggota ASEAN dan Republik Korea dilakukan pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2006. - ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yaitu kerjasama ekonomi dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas antara ASEAN-India. Kerangka kesepakatan kerjasama ekonomi menyeluruh antara Pemerintah negaranegara anggota ASEAN dan Republik India dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Persyaratan utama yang harus dilengkapi oleh para importir yang ingin mendapatkan skema tarif preferensial adalah kewajiban melampirkan sertifikat keterangan asal barang (SKA) atau lazim disebut sebagai certificate of origin (COO). SKA diterbitkan pada saat barang diekspor atau segera setelah tanggal
21
pengapalan, dan berlaku selama 1 (satu) tahun. Dalam hal terdapat alasan khusus yang menyebabkan SKA tidak dapat diterbitkan pada saat pengapalan atau 3 (tiga) hari setelahnya, maka atas permintaan ekspotir atau agen yang ditunjuknya SKA dapat diterbitkan dan berlaku mundur selama satu tahun sejak tanggal pengapalan dan pada SKA diberi cap “ISSUED RETROACTIVELY”. Tabel 1 Daftar SKA Tarif Preferensi
SKEMA
Jenis SKA
Jumlah
CEPT
Form D
JI-EPA
Form
3 lembar :
IJ-EPA
Lembar-1
Ukuran
Peruntukan Lembar
asli
eksportir kepada Importir untuk
AK-FTA
Form AK
dikirim
BC
negara
pengimpor (asli/original) Lembar-2
untuk
instansi
Lembar-2 (duplicate) penerbit Lembar-3 (triplicate
Form E
AI-FTA
Form AI
negara
pengekspor. ISO A4
AC-FTA
di
Lembar-3 untuk eksportir. Lembar asli dan Lembar-3
4 lembar :
dikirim
Eksportir
kepada
Importir untuk BC negara Lembar-1 pengimpor. (asli/original) Lembar-2
untuk
instansi
Lembar- 2 (duplicate) penerbit
di
negara
Lembar- 3 (triplicate)
pengekspor.
Lembar-4
Lembar-4 untuk eksportir.
(quadruplicate)
22
Simpulan Fasilitas kepabeanan pada hakekatnya merupakan suatu bentuk insentif kepada masyarakat usaha, baik dalam bentuk fiskal maupun non fiskal yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan pemerintah. Fasilitas pelayanan kepabeanan ditujukan untuk memperlancar arus barang, orang maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di bidang impor. barang, orang maupun dokumen. Fasilitas fiskal kepabeanan utamanya ditujukan untuk memberikan insentif fiskal yang bersifat meringankan beban para pelaku usaha. Fokus utama pemberian insentif fiskal antara lain adalah untuk kepentingan sektor industri dan perdangangan, kepentingan publik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga perlakuan yang lazim dalam tata pergaulan internasional. Yang termasuk kriteria fasilitas pelayanan, antara lain: izin membongkar di luar kawasan pabean, vooruitslag, rush handling, jalur mita prioritas, pre notification, dan lain-lain. Karakteristik dari fasilitas pelayanan biasanya sudah terintegrasi di dalam sistem tata laksana kepabeanan baik impor maupun ekspor. Secara umum kewenangan pemberian izin atas fasilitas non fiskal ini telah diserahkan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai setempat walaupun masih ada beberapa kewenangan perizinan yang masih dilaksanakan oleh Direktur Jenderal cq. Direktur teknis terkait. Yang termasuk kriteria fasilitas fiskal kepabeanan, antara lain: tidak dipungut Bea Masuk, pembebasan Bea Masuk, pembebasan atau keringanan Bea Masuk, pengembalian Bea Masuk, penangguhan Bea Masuk, pembebasan atau keringanan Bea Masuk atas impor sementara, perlakuan tarif preferensi Bea
23
Masuk dan Bea Masuk ditanggung pemerintah. Dari beberapa kriteria fasilitas fiskal kepabeanan tersebut, perlakuan tarif preferensi mengacu kepada keterikatan Indonesia dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas baik secara bilateral maupun multilateral. Fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah merujuk kepada Undang-undang APBN yang setiap tahun disusun oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
24
Sumber Bacaan: Barang Impor Untuk Dipakai Dengan Menggunakan Jaminan (Vooruitslag). Barang Impor Untuk Dipakai Dengan Pelayanan Segera. Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK140/PMK.04/2007 tentang Impor Sementara. Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK148/PMK.04/2007 tentang Pengeluaran. Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK160/PMK.04/2007 tentang Pengeluaran. Surono dan Jafar, Mohamad. (2009). Fasilitas Kepabeanan. Jakarta: LPPK Widya Bakti. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007.
25