FANATISME LINTAS BATAS YANG FUNGSIONAL (STUDI TERHADAP KELOMPOK ULTRAS GADUNGAN MILANISTI INDONESIA) Mochamad Aby Rachman Sosiologi FISIP UI Program S1 Reguler
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai Ultras Gadungan, yang merupakan kelompok Ultras dari kelompok suporter sepakbola asing Milanisti Indonesia. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana proses kemunculan Ultras Gadungan, proses bertahannya kelompok tersebut, peran yang dimiliki dan perbandingannya dengan kelompok referensinya di Italia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan tiga informan yang memiliki latar belakang sebagai Ultras Gadungan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses terbentuknya kelompok Ultras ini diakibatkan oleh image negatif klub dan kelompok suporter lokal, serta adanya globalisasi dalam sepakbola. Hasil penelitian ini juga menjelaskan proses pembentukan kelompok Ultras ini dari lima tahap pembentukan kelompok Tuckman yaitu forming, storming, norming, performing, dan adjourning. Selain itu, hasil penelitian ini juga menjelaskan peniruan terhadap Ultras AC Milan yang merupakan kelompok referensi Ultras Gadungan, adanya eksklusifitas yang dimiliki Ultras Gadungan, dan jaringan sosial yang dibangun dengan kelompok referensi sebagai proses bertahannya Ultras Gadungan hingga saat ini. Terakhir, hasil penelitian ini juga membandingkan peran Ultras Gadungan yang berbeda maknanya dengan kelompok referensinya, Ultras AC Milan. ABSTRACT This study discusses about Ultras Gadungan, which is an Ultras Group from foreign football fans club, Milanisti Indonesia. This study will explain how Ultras Gadungan exist, the sustainability process of this group, and the comparison of role between Ultras Gadungan and Ultras AC Milan in Italy. This study used qualitative approach and used three informant with Ultras Gadungan as their background. The result of this study showed that Ultras Gadungan exist because of local club and local fans club negative image, and also globalization in football. This study is also explained the formation process of Ultras Gadungan using five stages of Tuckman’s group development (forming, storming, norming, performing, adjourning). Another thing that showed in this study is the imitation process from Ultras AC Milan as Ultras Gadungan’s reference group, the exclusivity in Ultras Gadungan, and the social network between Ultras Gadungan and Ultras AC Milan, as the sustainability process of Ultras Gadungan. Lastly, this study showed the different meaning of role in comparison between Ultras Gadungan and their reference group, Ultras AC Milan. Keywords
:
Group Development, Reference Group, Social Network, Globalisation of Football PENDAHULUAN Sepakbola merupakan olahraga dengan penonton terbanyak di dunia. Menurut mostpopularsports.net, sepakbola merupakan olahraga terpopuler berdasarkan jumlah penonton di seluruh dunia yang jumlahnya
1
mencapai 3,5 milliar penonton1. Penonton sepakbola lebih dikenal istilah suporter. Secara harafiah, suporter merupakan individu yang berpihak dan menggemari suatu tim (olahraga) tertentu. Di beberapa negara yang “kental” atmosfer sepakbolanya, suporter memiliki loyalitas dan fanatisme yang sangat tinggi terhadap tim sepakbola yang dicintai. Sepakbola telah menjadi magnet tersendiri, sehingga para suporter merelakan waktunya untuk menonton langsung tim yang mereka gemari, sekadar nonton “bareng” (bersama) lewat layar lebar di berbagai tempat dan melakukan berbagai aktivitas lain yang berhubungan dengan dukungan mereka terhadap klub yang dicintai seperti mengikuti kabar terbaru soal klub, berita transfer, dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, para suporter sepakbola kerap kali bergabung pada suatu wadah atau kelompok. Wadah atau kelompok tersebut berfungsi untuk memfasilitasi kecintaan mereka terhadap tim sepakbola yang mereka idolakan, menunjukkan eksistensi dan totalitas mereka sebagai pemain ke-12 dari tim yang mereka cintai. Wadah atau kelompok ini dikenal dengan nama kelompok suporter atau fans club. Dalam dinamisnya perkembangan sepakbola internasional, terdapat suatu keunikan dari fenomena munculnya kelompok suporter ini, yaitu kemunculan kelompok suporter tidak hanya terjadi di negara dimana suatu tim sepakbola tersebut berasal. Namun juga muncul di berbagai negara lain, tak terkecuali Indonesia. Umumnya, tim-tim sepakbola yang mempunyai reputasi besar banyak memiliki basis kelompok suporter di luar negara dimana tim sepakbola tersebut berasal. Di Indonesia, fenomena munculnya kelompok suporter ini santer terasa terutama di ibukota dan kotakota besar di Indonesia. Fenomena ini bisa dilihat melalui siaran-siaran televisi yang menyiarkan pertandingan sepakbola secara langsung dengan nonton bareng, kerap mengundang berbagai macam kelompok suporter sesuai dengan tim sepakbola yang sedang bertanding. Berdasarkan observasi penulis melalui media sosial, di Jakarta tercatat ada sekitar 20 kelompok suporter sepakbola asing yang tersebar2. Umumnya, kelompok suporter yang ada di Jakarta merupakan kelompok suporter dari tim-tim sepakbola liga populer di dunia. Perlu digarisbawahi pula bahwa jumlah kelompok suporter yang mencapai puluhan tersebut jauh melampaui jumlah kelompok suporter tim sepakbola lokal di Indonesia, khususnya di Jakarta Dari beberapa kelompok supporter sepakbola asing tersebut, salah satu kelompok supporter yang paling besar adalah Milanisti Indonesia. Ada suatu anomali dalam Milanisti Indonesia ini, karena keadaan AC Milan3 saat ini sedang meredup dan miskin prestasi, namun semakin banyak orang-orang yang menjadi anggota Milanisti Indonesia. Meredupnya prestasi AC Milan tidak mempengaruhi suporter AC Milan di Indonesia. Milanisti Indonesia, sebagai kelompok suporter resmi AC Milan untuk Indonesia justru kebanjiran anggota-anggota baru yang mendaftarkan diri untuk menjadi member Milanisti Indonesia. Hal ini mungkin menimbulkan keheranan, karena disaat AC Milan sedang redup prestasinya dan terkena skandal Calciopoli, malah banyak yang tertarik untuk menjadi member Milanisti Indonesia. Bahkan, Milanisti Indonesia mencetak rekor sebagai kelompok suporter asing dengan member terbanyak di Indonesia yang mencapai ribuan orang anggotanya, saat klub mereka berada dalam krisis ini. 1
Mostpopularsports.net juga menambahkan bahwa jumlah 3,5 milliar tersebut masih dapat meningkat setiap tahunnya berdasarkan adanya event tertentu seperti Piala Dunia, European Cup, dan lainnya. 2 Jumlah kelompok suporter klub asing ini penulis dapatkan lewat observasi penulis menggunakan media sosial dan search engine Google. Penulis mencari satu persatu kelompok suporter dari tim yang berada dalam enam liga terbesar di Eropa (Spanyol, Jerman, Inggris, Italia, Prancis, Belanda) 3 AC Milan merupakan tim sepakbola yang memiliki banyak sejarah. Cukup banyak prestasi yang ditorehkan oleh salah satu tim sepakbola tertua di Italia ini. Salah satu yang paling mentereng adalah kejayaannya di era 90-an akhir, dimana ada trio Belanda yang menjadi tulang punggungnya yaitu Marco van Basten, Ruud Guulit, dan Frank Rijkaard. Di era 2000-an, AC Milan masih mampu menjadi salah satu tim terbaik di Italia dengan menorehkan gelar 3 Piala Champions di musim 02/03 dan 06/07. Namun pada tahun 2006 akhir, AC Milan terjerat oleh kasus Calciopoli yang menyebabkan mereka terkena hukuman pemotongan 9 poin di musim berikutnya. Prestasi AC Milan meredup pasca kasus Calciopoli. AC Milan kerap berada dibawah bayang-bayang tim sekotanya yaitu Inter Milan, yang meraih kesuksesan pasca Calciopoli. Sampai saat ini AC Milan belum mampu menorehkan prestasi lainnya semenjak terkena kasus Calciopoli. Kurang lebih sudah 10 tahun AC Milan puasa gelar liga domestiknya yaitu Serie A, dan sudah lebih dari 6 tahun mereka puasa gelar piala eropa.
2
Dalam suatu kelompok suporter yang dibentuk idealnya memiliki ikatan-ikatan tertentu dengan tim sepakbola yang dicintainya. Ikatan-ikatan tersebut dapat berupa ikatan emosional secara kedaerahan/suku seperti kebanyakan kelompok suporter sepakbola di Indonesia (Persib Bandung kebanyakan didukung oleh orang berasal dari suku Sunda), ikatan agama (suporter Glasgow Celtic yang mayoritas Protestan), atau domisili (suporter Arsenal merupakan orang-orang yang tinggal di London Utara). Namun, dalam realita yang ada di Indonesia pada saat ini berbeda. Di ibukota misalnya, banyak bermunculan kelompok-kelompok suporter sepakbola asing seperti Milanisti Indonesia ini. Kelompok suporter sepakbola asing tersebut tentunya tidak memiliki ikatan-ikatan yang penulis jelaskan sebelumnya, karena sama sekali tidak memiliki hubungan dengan suku, agama, domisili, dan hal lainnya yang membuat dekat dengan tim kesayangannya. Bahkan, sampai muncul kelompok Ultras dalam kelompok suporter Milanisti Indonesia yang bernama Ultras Gadungan. Ultras berasal dari bahasa Italia yang bermakna lebih, melampaui, berlebihan, bahkan ekstrim. Dalam konteks sepakbola, Ultras merupakan kelompok suporter yang lebih (secara apapun) dari suporter biasa dalam menunjukkan dukungan mereka terhadap tim sepakbola kesayangannya. Lazimnya, fenomena Ultras muncul jika memiliki ikatan-ikatan yang telah dijelaskan sebelumnya seperti kedaerahan, agama, domisili dan lainnya. Ultras AC Milan, yang jadi acuan oleh Ultras Gadungan, dulunya merupakan kelompok suporter berbasis kelas pekerja dan domisili. Bagaimana dengan Ultras Gadungan? Ultras Gadungan tidak memiliki ikatan apa-apa dengan klub yang dicintai layaknya Ultras AC Milan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor apa sajakah yang membuat kelompok Ultras seperti Ultras Gadungan dapat terbentuk di Milanisti Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga akan menjelaskan faktor-faktor yang membuat Ultras Gadungan dapat bertahan, serta tulisan ini juga akan mengidentifikasi peran kelompok Ultras Gadungan. Pendekatan kualitiatif digunakan dalam tulisan ini agar penulis dapat mengetahui secara komprehensif bagaimana Ultras Gadungan dapat terbentuk dan bertahan. Subyek dalam penelitian ini adalah anggota dan founding father Ultras Gadungan. Ada dua teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini, pertama adalah wawancara mendalam dan kedua adalah observasi lapangan. KELOMPOK REFERENSI, TAHAP PERKEMBANGAN KELOMPOK DAN JARINGAN SOSIAL Kerangka teori pertama yang penulis gunakan adalah kelompok referensi. Menurut Hickey dan Thompson (2005), kelompok referensi merupakan kelompok yang diacu oleh orang-orang ketika mereka mengevaluasi kualitas, keadaan, perilaku, nilai dan kebiasaan mereka. Kelompok referensi merupakan sebuah konsep yang mengacu kepada kelompok dimana seorang individu atau kelompok lainnya dibandingkan. Kelompok referensi menyediakan tolak ukur dan kontras yang dibutuhkan untuk perbandingan dan evaluasi kelompok, serta karakteristik personal. Merton (1957) menjelaskan bahwa teori kelompok referensi bertujuan untuk mensistemasi penentu dan konsekuensi dari proses evaluasi dan penilaian diri yang mana individu mengambil nilai-nilai atau standar tertentu dari individu lainnya dan kelompok sebagai kerangka referensi Merton kemudian mempunyai hipotesis bawa individu-individu membandingkan diri mereka dengan kelompok referensi dari orang-orang yang menduduki peran sosial yang mereka cita-citakan. Kerangka teori kedua yang digunakan untuk menganalisa adalah tahap perkembangan kelompok. Menurut Tuckman (dalam Suzanne Janasz, Karen Dowd dan Beth Scheider, 2009) kelompok tumbuh dan berkembang melalui serangkaian tahapan, mulai dari tahap forming (pembentukan), strorming (goncangan), norming (pembentukan norma), performing (melakukan atau melaksanakan), adjourning (penangguhan). Setiap tahap memiliki karakteristik pembeda dan menyajikan tantangan khusus bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kerangka teori ketiga adalah jaringan sosial. Jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena pada dasarnya manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada; hubungan selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Setiap orang belajar dari pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan sosial yang tersedia, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada individu yang bersangkutan sehingga dalam usaha peningkatan taraf hidup juga tidak menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya (Agusyanto, 1991). 3
Suparlan (1982) mengatakan ada beberapa hal yang merupakan ciri-ciri utama dari jaringan sosial, yaitu 1) titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan perwujudan dari orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan sebagainya. 2) Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titik-titik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi, persekutuan militer dan sebagainya. 3) Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau mikro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan. 4) Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu secara fisik), maupun dalam ruang yang didefenisikan secara sosial, ataupun dalam keduanya. 5) Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa tertentu, sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara sinkronik maupun secara diakronik, yaitu baik sebagai gejala yang statis maupun dinamis. Penulis menambahkan satu kerangka konseptual dalam penelitian ini. Kerangka konseptual ini penting karena merupakan pedoman untuk memahami awal munculnya kelompok suporter asing dan kelompok Ultras. Kerangka konseptual ini adalah globalisasi dalam konteks media terhadap sepakbola. Globalisasi media muncul karena perubahan dan perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang tanpa batas. Internet kabel, digitalisasi, ISDN, siaran langsung dari satelit, menciptakan situasi dimana banyak informasi dapat ditransfer ke seluruh dunia dalam hitungan detik (Devereux, 2007). Mengenai kaitannya dengan sepakbola, Robertson (2004) menjelaskan, sepakbola telah menjadi salah satu domain dari globalisasi, karena didalamnya terdapat proses-proses globalisasi dalam jangka panjang. Robertson menceritakan bahwa sepakbola mudah diterima oleh dunia karena kemudahan untuk memahami peraturan dan sederhananya cara bermain, kedua hal tersebut mempermudah difusi global sehingga proses globalisasi dapat berjalan. Selain itu, adanya glokalisasi sepakbola juga memudahkan penerimaan secara kultural dalam masyarakat. Sepakbola dikemas dengan sedemikian rupa menggunakan kemasan lokal agar dapat masuk dalam berbagai macam lapisan masyarakat. Siaran televisi serta telekomunikasi yang dilakukan oleh berbagai macam korporasi dan media massa juga memiliki peran besar dari globalisasi sepakbola. Satelit dan televisi tidak berbayar ini muncul untuk mendistribusikan image sepakbola secara global, sehingga dapat diketahui oleh masyarakat di seluruh dunia. Robertson, dibantu oleh ahli Sosiologi Sepakbola di Inggris, Richard Guilianotti, kemudian menyetarakan perusahan-perusahaan transnasional (TNCs) dengan klub-klub kasta tertinggi di Eropa dalam lima negara (Inggris, Spanyol, Jerman, Italia dan Prancis). Layaknya perusahan transnasional, klub-klub top Eropa tersebut melakukan kapitalisasi terhadap ‘pasar’ sepakbola. Kapitalisasi ini meliputi siaran televisi satelit dalam membangun dan memunculkan pasar, peluang-peluang menjual ‘dagangan’ mereka, dan popularitas dari pemain bintang. Klub-klub top Eropa tersebut merupakan aktor-aktor sosial memiliki berbagai macam wewenang dan mengorganisasikan sepakbola sedemikian rupa. Sepakbola membuka peluang mereka untuk membuat model-model ‘bisnis’ tertentu yang terus berevolusi sesuai dengan perkembangan pasar dan zaman, semua ini bertujuan untuk meraih keuntungan besar bagi mereka sendiri. Untuk kajian literatur, penulis membaginya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah studi kelompok suporter berbasis domisili, dan yang kedua adalah studi kelompok suporter non domisili. Dalam kelompok studi kelompok suporter berbasis domisili, penulis mengambil contoh dua studi yang mengangkat tema Jakmania. Studi Bogy (2011) menjelaskan proses Jakmanianisasi yang merupakan sebuah proses awal bagaimana Jakmania berkembangan menjadi banyak pendukungnya saat ini. Jakmania perlu disatukan dalam satu identitas tunggal, salah satu upaya untuk melakukan hal tersebut adalah mengkonstruksikan nilai-nilai keBetawian dan ke-Islaman sebagagi identitas mereka. Proses keluarnya beberapa individu yang kemudian membuat kelompok diluar Jakmania, disebut oleh Bogy sebagai pola Dejakmanianisasi. Menurutnya, pola ini menjelaskan mengenai proses keluarnya individu dari Jakmania akibat individu-individu tersebut tidak melihat representasi dirinya dalam Jakmania. Ada lima kelompok yang didirikan akibat proses Dejakmanianisasi. Kelompok-kelompok tersebut adalah Tiger Bois (TB), Orange Street Boys (OSB), Ultras Curva Nord (UCN), Jakampus, dan Jakarta Orange Movement. Bogy kemudian menamakan lima kelompok tersebut sebagai kelompok Non Jakmania. Alasan 4
penamaan ini dikarenakan karena keberadaan mereka tidak mau disamakan dengan Jakmania yang mereka anggap sebagai kampungan atau norak. Dari nama yang mereka pilih juga tidak ada yang berkaitan atau berhubungan dengan Jakmania. Selain itu, menurut Bogy nama kelompok dan gaya hidup dari lima kelompok tersebut ingin menggambarkan sisi lain dalam kehidupan kota Jakarta. Dalam konteks ini dijelaskan oleh Bogy bahwa logika mengenai kelas dan gaya hidup mempengaruhi disini. Studi Farida (2006) menambahkan dua klasifikasi baru dari kelompok suporter, yaitu kelompok penggemar sepakbola “perusak” dan “iseng-iseng”. Klasifikasi baru ini menambahkan yang sebelumnya ada menurut Ir. Lukman M Ba’sa yaitu kelompok suporter intelektual, fanatik atau loyalis dan mencari hiburan. Dalam klasifikasi kelompok suporter “iseng-iseng”, terbentuk karena persepsi bahwa kalangan perempuan masih melihat bahwa sepakbola masih merupakan ranah laki-laki dikarenakan karena klasifikasi kelompok “perusak” tersebut. Keikutsertaan perempuan dalam dunia sepakbola masih hanya sebatas meramaikan pertandingan. Studi Siti tentang Jakmania menyiratkan bahwa Jakmania merupakan kelompok suporter yang dianggap anarkis atau perusak. Dengan adanya stereotip tersebut, banyak kalangan termasuk kalangan perempuan, segan untuk berkecimpung dalam Jakmania. Kaitannya dengan studi yang dilakukan oleh penulis adalah stereotip-stereotip negatif dari klub sepakbola lokal menyebabkan keengganan kelas menengah keatas untuk berkecimpung di dalamnya. Kelas menengah dan atas tentunya tidak mau dianggap sebagai bagian dari kelompok suporter yang anarkis, kampungan, kumuh, dan sebagainya yang ditunjukkan oleh kelompok suporter lokal seperti Jakmania. Kelas menengah dan atas ini akhirnya mencari alternatif-alternatif lain untuk dijadikan sebagai panutan, identitas, dan pelepas dahaga sepakbola mereka. Kelompok suporter tim sepakbola asing seperti Milanisti Indonesia menjadi jawaban dari pencarian kelas menengah dan atas tersebut. Kelompok suporter tim sepakbola asing ini jauh dari stereotip negative seperti kelompok suporter sepakbola lokal layaknya Jakmania. Globalisasi juga berperan dalam hal ini melalui penayangan liga sepakbola asing di TV dan informasi yang berlimpah di internet yang menyebabkan bahwa tim sepakbola asing mudah untuk diakses Kedua klasifikasi baru ini muncul dalam kelompok suporter Jakmania yang menjadi subyek penelitian dari studi yang dilakukan Siti. Untuk klasifikasi pertama yaitu kelompok penggemar sepakbola “perusak”, disebabkan oleh adanya aktualisasi diri dari para anggotanya. Dengan adanya legitimasi untuk melakukan segala tindakan, tindakan-tindakan tersebut bermakna untuk menunjukkan keterikatan emosional mereka (Jakmania) terhadap sepakbola. Menurut Siti, mereka menganggap bahwa sepakbola merupakan olahraga lakilaki, sehingga segala tindakan yang identic dengan “kelaki-lakian” menjadi hal yang lumrah. Disamping faktor aktualisasi diri, faktor lainnya adalah pengakuan sosial. Pengakuan sosial penting bagi para Jakmania, karena dengan melakukan segala pengorbanan untuk menjadi anggota membuat seseorang dapat diterima oleh orang lain dalam kelompoknya yaitu Jakmania. Sedangkan, untuk kelompok studi kedua adalah studi kelompok suporter non domisili. Studi Pandu (2011) mengenai Milanisti Indonesia menjelaskan beberapa hal yang menarik. Pertama, penjelasan tentang pembentukan identitas yang dialami oleh beberapa member Milanisti Indonesia. Awalnya ia menjelaskan mengenai relokasi makna yang dialami Milanisti dengan keberadaan mailing list (milis) yang menjadi landasan awal terbentuknya Milanisti Indonesia, yang juga digunakan untuk berbagi informasi. Kemudian Pandu mengkaitkan hal tersebut dengan imagined communities dari Ben Anderson, yang menghasilkan asumsi bahwa pemanfaatan teknologi internet melalui milis Milanisti Indonesia memungkinkan para pesertanya membayangkan peserta-peserta lain sebagai bagian dari diri mereka. Kesadaran tersebut dihasilkan karena penyebaran narasi simbolik mengenai AC Milan dan praksis-praksisnya yang memperkuat kesamaan identitas tersebut. Kedua, Pandu menjelaskan mengenai identitas kekeluargaan yang coba diterapkan oleh Milanisti Indonesia karena terhambatnya pembauran antar anggota. Pandu menemukan fakta bahwa batas sosial dan kecenderungan untuk membedakan diri yang dapat dilihat dalam hubungan sosial antar anggota Milanisti Indonesia adalah hubungan anggota yang aktif dengan yang pasif. Studi kedua dalam studi kelompok suporter non domisili adalah studi Guilianotti dan Robertson (2007) mengenai suporter klub Skotlandia di Amerika yang mereka bahas pada dasarnya memiliki keterikatan emosional karena sama-sama berasal dari Skotlandia. Keduanya merupakan pakar sosiologi olahraga, khususnya sepakbola. Dalam studi ini, Guilianotti dan Robertson menggunakan konsep glokalisasi pada 5
kerangka teori mereka, dan dalam kerangka analisis mereka menginterpretasikan kelompok-kelompok imigran yang mendirikan fans club tim sepakbola lokal mereka dengan mereferensikan kepada empat kategori glokalisasi yang dikembangkan oleh agen sosial-agen sosial yang vis-à-vis dengan kedua kultur yang berbeda (kultur para imigran dan negara persinggahan mereka, Amerika): kultur ’local’ diasosiasikan dengan sepakbola Skotlandia yang membentuk kultur mereka, dan kultur ‘host’ yaitu yang mereka hadapi di Amerika. Hal yang membedakan studi ini dengan tulisan penulis berada pada subyek penelitian. Studi Guilianotti dan Robertson ini menjadikan para suporter klub sepakbola di Skotlandia yang berdomisili di Amerika Serikat sebagai subyeknya. Alasan mengapa mereka membuat kelompok suporter tim sepakbola daerahnya di negara lain pun merupakan alasan yang lazim, karena mereka memiliki ikatan emosional kedaerahan dan agama dengan kelompok suporter serta tim sepakbola yang dicintainya. Guilianotti dan Robertson tidak menjelaskan bagaimana seorang atau sekelompok orang mendirikan kelompok suporter tim sepakbola asing yang sama sekali tidak memiliki ikatan-ikatan emosional tertentu dengan mereka. Hal inilah yang berusaha penulis jelaskan dalam tulisan penulis mengenai Ultras Gadungan, yang didirikan untuk mendukung AC Milan, tim sepakbola yang berasal dari Italia. KEMUNCULAN KELOMPOK SUPORTER TIM SEPAKBOLA ASING Sebelum masuk ke dalam pembahasan dalam sub bab ini. Penulis ingin menjelaskan pola berpikir penulis yang akan menjadi pedoman untuk menjelaskan tulisan ini secara singkat. Pola tersebut adalah sebagai berikut: Globalisasi dalam konteks media terhadap Sepakbola
Buruknya image klub dan kelompok suporter lokal
Muncul Ultras Gadungan
Bertahan
Peniruan kelompok referensi
Eksklusifitas Ultras Gadungan
Jaringan sosial dengan Ultras AC Milan
Globalisasi dalam konteks perkembangan media sangat mempengaruhi perkembangan sepakbola menjadi suatu olahraga universal, yang bisa dinikmati oleh orang-orang di seluruh dunia. Salah satu bentuk globalisasi dalam konteks media yang mempengaruhi sepakbola adalah lewat penyiaran pertandingan sepakbola tim-tim papan atas Eropa. Robertson (2007) sebelumnya telah menjelaskan bahwa siaran sepakbola dikapitalisasi oleh tim-tim besar sepakbola Eropa untuk mengekspansi pasar mereka ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, arus masuknya penyiaran sepakbola asing sudah mulai deras pada era awal dan pertengahan 90-an, kala itu RCTI yang memulai lebih dahulu dengan menyiarkan liga sepakbola Italia, atau 6
yang lebih dikenal sebagai Serie A. Popularitas Serie A pada waktu itu sangat tinggi, dengan AC Milan sebagai tim sepakbola yang paling banyak difavoritkan, karena momentum mereka sedang bagus-bagusnya dengan menjuarai banyak gelar domestik dan regional yang sangat bergengsi. Selain lewat siaran televisi, media cetak juga berpengaruh memperkenalkan sepakbola asing ke Indonesia. Koran Bola muncul sebagai pelopor media cetak khusus olahraga terutama sepakbola, yang kemudian diikuti oleh media-media cetak lainnya. Korankoran ini sangat memprioritaskan berita mengenai liga sepakbola top Eropa sebagai berita utama mereka. Kedua media tersebut sangat berpengaruh dalam menghadirkan sepakbola asing kepada masyarakat Indonesia hingga saat ini, terutama di Ibukota. Kedua media ini mampu mendekatkan masyarakat Indonesia dengan sepakbola asing yang sebelumnya sulit mereka gapai. Belum lagi ditambah dengan terpuruknya kompetisi sepakbola lokal, Galatama, yang kala itu terkena skandal kasus judi dan pengaturan skor besarbesaran, yang membuat masyarakat Indonesia mulai jenuh dan muak dengan sepakbola lokal. Sepakbola asing akhirnya menjadi alternatif dan tontonan utama mereka, hingga akhirnya dapat bertahan sampai saat ini. Munculnya sepakbola asing sebagai tontonan utama pecinta sepakbola Indonesia, memicu penggemarpenggemar baru untuk lahir, yang akhirnya membentuk kelompok-kelompok suporter tim sepakbola asing layaknya di negara asal tim sepakbola tersebut. Dalam sepakbola Indonesia, banyak penggemar fanatik yang mendukung tim kesayangannya dengan berbagai macam cara lewat kelompok-kelompok suporter. Kelompok-kelompok suporter lokal seperti Jakmania, Bonek, atau Viking sudah lekat dengan telinga para penggemar sepakbola Indonesia. Namun, kelompok-kelompok suporter ini kerap kali berulah jika tidak puas dengan hasil yang didapatkan oleh klub kesayangannya. Tidak jarang jika kita melihat pemberitaan media cetak maupun elektronik yang memberitakan kelompok-kelompok suporter tersebut berbuat anarkis atau melakukan tindakan-tindakan vandalisme sewaktu mereka ingin mendukung tim kesayangannya. Menurut Farida (2006), individu dalam kelompok-kelompok suporter lokal ini melakukan tindakantindakan anarkis dikarenakan proses aktualisasi diri dalam kelompok suporter mereka. Tindakan anarkis dan vandalisme merupakan pemakluman bahwa sepakbola merupakan olahraga laki-laki. Dari kasus-kasus tersebut, muncul stereotip negatif oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok suporter lokal tersebut. Salah satu bentuk stereotipnya adalah anggapan bahwa kelompok suporter lokal seperti contohnya Jakmania, merupakan representasi dari kelas bawah. Hal ini dibuktikan oleh Bogy (2011), bahwa Jakmania erat kaitannya dengan anak-anak muda SMP-SMA yang dekil, gembel, alay, atau bahkan kampungan. Tindakan mereka seperti membajak bus, mencoret-coret fasilitas lokal, dan tawuran merupakan penyebab munculnya stereotip negatif tersebut. Stereotip-stereotip negatif yang diberikan masyarakat terhadap kelompok suporter sepakbola lokal seperti Jakmania, menyebabkan kelas menengah dan atas mencari alternatif lainnya (Farida, 2006). Kelompok suporter tim sepakbola asing, yang biasanya merupakan tim-tim sepakbola di liga-liga top Eropa yang liganya disiarkan di televisi Indonesia (Spanyol, Jerman, Inggris, Italia, Prancis) menjadi alternatif dari kelas menengah dan atas ini. Ketiadaan ikatan-ikatan emosional dalam bentuk apapun seperti pada kelompok suporter tim sepakbola lokal tidak menjadi masalah bagi mereka, karena kelompok suporter tim sepakbola asing tentunya tidak memiliki stereotip negatif layaknya yang diterima oleh kelompok suporter tim sepakbola lokal. Dengan adanya stereotip negatif terhadap persepakbolaan dan kelompok suporter lokal menyebabkan masyarakat beralih perhatian kepada tayangan sepakbola asing. Liga Italia contohnya, menjadi atensi utama karena liga inilah yang terlebih dahulu disiarkan di Indonesia. AC Milan sebagai tim sepakbola yang paling sukses kala itu juga terkena imbas paling besar. Popularitas AC Milan meroket dan sedang dalam momentum yang sangat bagus di beberapa tahun terakhir. Hingga akhirnya, AC Milan menjadi pilihan alternatif para kelas menengah atas ini untuk difavoritkan, dan dibentuk kelompok suporternya. Milanisti Indonesia, lahir sebagai alternatif dari kekecewaan dan stereotip buruk kelompok suporter sepakbola lokal. PEMBENTUKAN KELOMPOK ULTRAS GADUNGAN Pembentukan Ultras Gadungan dapat dijelaskan lewat tahapan perkembangan kelompok yang dijelaskan oleh Tuckmann (dalam Suzanne Janasz, Karen Dowd dan Beth Scheider, 2009) yang mengatakan bahwa kelompok tumbuh dan berkembang melalui serangkaian tahapan, mulai dari tahap forming 7
(pembentukan), storming (goncangan), norming (pembentukan norma), performing (melakukan atau melaksanakan), adjourning (penangguhan). Tahap forming dalam Ultras Gadungan diawali saat anggota Ultras Gadungan sudah menyadari satu sama lain sebelum mereka membentuk Ultras Gadungan. Masing-masing anggota Ultras Gadungan satu sama lainnya sudah mengenali dan mengidentifikasi orang-orang mana saja yang merupakan anggota kelompok mereka sebelum berdiri secara resmi. Berikut merupakan penuturan salah satu anggota Ultras Gadungan mengenai hal ini: “Sebelum Ultras Gadungan berdiri sih sebenarnya Ultras Gadungan itu udah ada secara perorangan, masing-masing dari kita juga udah sadar satu sama lain. Pas Ultras Gadungan diresmiin baru deh kita makin menunjukkan eksistensi kita” Pernyataan informan diatas memperjelas bahwa kesadaran sebagai Ultras Gadungan bahkan sudah ada dalam individu-individu tertentu pada Milanisti Indonesia. Kesadaran mereka akan Ultras Gadungan dapat diidentifikasi oleh individu-individu tersebut melalui perilaku yang ditunjukkan mereka dalam nonton bareng sebelum Ultras Gadungan lahir. Wujud dukungan mereka ditunjukkan melalui chants yang dilakukan secara individu, karena belum lahirnya Ultras Gadungan. Dari sinilah akhirnya para individu calon penggagas Ultras Gadungan tersebut menyadari siapa-siapa saja yang mempunyai kesamaan dengan mereka, hingga akhirnya mereka sepakat untuk membentuk Ultras Gadungan. Dalam tahapan ini Ultras Gadungan juga menentukan tujuan dan kepentingan bersama yang dimiliki oleh anggota kelompok. Kedua hal ini dapat dilihat dalam fenomena Ultras Gadungan. Dalam hal tujuan, para anggota Ultras Gadungan memiliki beberapa tujuan bersama yang mereka miliki. Salah satu dari tujuan tersebut adalah mencari pride. Penulis sebelumnya sudah menjelaskan bahwa yang individu-individu yang bergabung dalam Ultras Gadungan semua mencari satu hal yang sama yaitu pride. Sebagaimana yang dituturkan oleh informan T dalam wawancara dengan penulis:“Jelaslah pride yang dicari, dengan masuk ulgad dan menjadi ulgad kita punya pride tersendiri. Kita punya pride sebagai kelompok yang lebih militan dalam ngedukung AC Milan, ga kaya suporter biasa yang dateng waktu nonton bareng” Dengan masuk kedalam Ultras Gadungan, pride bisa mereka peroleh dari orang-orang disekitar mereka baik dari intra Milanisti Indonesia ataupun orang-orang diluar Milanisti Indonesia. Eksistensi mereka pun terdongkrak drastis dengan masuknya mereka ke dalam Ultras Gadungan. Menurut penulis ada dua bentuk eksistensi yang didapatkan melalui pride tersebut. Eksistensi mereka secara individu yang serba militan dalam mendukung AC Milan mulai dan makin dikenali dalam Milanisti Indonesia dan lingkungan mereka, serta eksistensi Ultras Gadungan semakin menjadi-jadi dan semakin terkenal sebagai suatu kelompok suporter yang sangat mencintai AC Milan dalam Milanisti Indonesia. Pride ini juga yang membuat Ultras Gadungan dapat bertahan hingga sekarang. Pride sebagai Ultras menjadi daya tarik dan juga iming-iming bagi orang-orang untuk bergabung dengan Ultras Gadungan. Tanpa adanya pride, maka Ultras Gadungan kehilangan daya tariknya. Tahapan forming ini juga merupakan tahap dimana Ultras Gadungan menentukan nilai dan norma awalnya. Tagline “kalah menang pantang diam karena diam adalah pengkhianatan” merupakan nilai sekaligus norma pengontrol mereka selama baru berdiri. Ungkapan tersebut secara tegas mengatur Ultras Gadungan untuk selalu semangat dan total dalam mendukung AC Milan, tidak boleh diam sama sekali, karena diam merupakan bentuk pengkhianatan pada tim sepakbola kesayangan mereka AC Milan dan mereka akan sama saja dengan mayoritas anggota Milanisti Indonesia yang mereka ingin bedakan. Mereka percaya apabila mereka tetap mendukung AC Milan dengan memegang nilai dan norma ini, maka dapat menyemangati dan membantuk permainan AC Milan di lapangan walaupun mereka hanya bisa sampaikan dukungannya dari jauh Tahap kedua yang dijelaskan Tuckmann yaitu storming. Pada tahap ini, di antara anggota kelompok timbul beberapa perbedaan seperti arah, kepemimpinan, gaya kerja dan pendekatan, dan persepsi tentang kualitas yang diharapkan dan produk akhir (Tuckman, 2009). Tahap ini hanya relevan pada kelompok asosiasi yang memiliki struktur keanggotaan yang formal, sedangkan bagi kelompok komunal seperti Ultras Gadungan tahap ini tidak berlaku. Ini semua dikarenakan oleh tidak adanya hierarki atau struktur keanggotaan formal dalam Ultras Gadungan. Tidak ada atasan atau bawahan, tidak ada yang mengatur dan diatur, semua status dalam Ultras Gadungan adalah anggota, dan anggota saling menghormati satu sama lainnya sejauh ini. Selain itu, dari awal Ultras Gadungan berdiri hingga saat ini tidak ada goncangan yang pernah mengganggu mereka. Semua informan yang penulis wawancara tidak pernah mengatakan ada perselisihan atau gangguan. Mungkin 8
hal ini bisa menjadi sebuah kritik bagi Tuckmann, karena dalam tahapan-tahapan pembentukan kelompok berdasarkan idenya, ada beberapa tahapan yang tidak berlaku jika suatu kelompok tidak memiliki hierarki. Tahap ketiga yaitu tahap norming. Tuckman menjelaskan bahwa dalam tahap ini, para anggota kelompok berusaha menetapkan dan mematuhi pola perilaku yang dapat diterima dan dalam bekerja sama mereka belajar untuk menggabungkan metode dan prosedur baru yang telah disepakati sebelumnya. Tahap ini juga merupakan tahap dimana norma awal yang sebelumnya dibuat dalam tahap norming akan dikuatkan atau diganti. Dalam Ultras Gadungan, norma yang sebelumnya dibuat sebagai landasan awal adalah berdasarkan tagline kepada mereka yaitu “kalah menang pantang diam karena diam adalah pengkhianatan.” Ultras Gadungan tetap menjadikan tagline tersebut sebagai norma yang mengatur mereka hingga saat ini. Namun, ada beberapa modifikasi-modifikasi yang dilakukan dalam perkembangan dari Ultras Gadungan hingga saat ini. Salah satu bentuknya adalah kesepakatan menjadikan Ultras AC Milan sebagai acuan mereka dapat melakukan kegiatan dan aktivitas mereka. Ultras Gadungan menganggap Ultras AC Milan sebagai sosok yang paling ideal untuk ditiru dalam mendukung AC Milan.. Oleh karena itu, Ultras Gadungan akan meniru segala macam perilaku Ultras AC Milan dari skala individu sampai kelompok, dalam mewujudkan dukungan mereka terhadap klub sepakbola kesayangannya. Secara sosiologis, Ultras Gadungan menjadikan Ultras AC Milan sebagai kelompok referensi mereka. Penjelasan bentuk-bentuk peniruan dan kelompok referensi akan dijelaskan secara komprehensif pada sub bab berikutnya. Tahapan keempat yaitu performing. Tahapan ini merupakan tahap dimana Ultras Gadungan mengeksekusi kegiatan-kegiatan yang mereka tiru dari Ultras AC Milan, sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya di tahap norming. Ultras Gadungan secara rutin melakukan kegiatan-kegiatan yang identik dengan Ultras AC Milan dan melakukan perubahan-perubahan perilaku individu dan kelompok layaknya Ultras AC Milan. Para anggota Ultras Gadungan menjadi semakin solid, karena banyaknya kegiatan yang dilaksanakan bersama dan kohesivitas kelompok semakin tinggi, serta mulai untuk melakukan regenerasi pada tahap ini. Anggota Ultras Gadungan yang lama dan baru sama-sama menjadi tulang punggung kelompok untuk melanjutkan perkembangan mereka. Tahap terakhir dalam tahapan-tahapan pembentukan kelompok yang dijelaskan oleh Tuckmann adalah tahap adjourning. Tahap ini merupakan tahap dimana suatu kelompok setelah berhasil menyelesaikan tugas atau tujuan, kelompok tersebut dapat bubar secara permanen atau beristirahat sementara. Ultras Gadungan belum memasuki tahapan ini, karena tugas dan tujuan mereka sebagai sebuah kelompok Ultras belum dan tidak akan pernah selesai. Selama masih ada AC Milan, tim sepakbola favorit mereka, dan adanya regenerasi dalam Ultras Gadungan, maka Ultras Gadungan akan terus dapat bertahan sebagai kelompok Ultras di dalam Milanisti Indonesia. PENIRUAN TERHADAP KELOMPOK REFERENSI SEBAGAI CARA BERTAHAN ULTRAS GADUNGAN Untuk mempertahankan keberlangsungan kelompoknya, Ultras Gadungan mengambil contoh Ultras AC Milan yang ada di Italia sebagai role model mereka dalam memberikan dukungannya terhadap AC Milan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pun sama dengan kebanyakan kegiatan yang dilakukan oleh Ultras AC Milan di Italia. Selain kegiatannya, Ultras Gadungan juga meniru cara berperilaku yang dilakukan secara individu maupun berkelompok. Perilaku Ultras AC Milan di Italia sana, menurut mereka merupakan perilaku yang paling ideal untuk ditiru oleh setiap suporter AC Milan. Perilaku individu Ultras AC Milan di Italia yang mereka tiru salah satunya adalah gaya berpakaian. Gaya berpakaian yang serba merah hitam, serba AC Milan dari ujung kepala sampai kaki, atau menggunakan kemeja atau parka khas hooligan Inggris merupakan gaya berpakaian yang umumnya dimiliki oleh Ultras AC Milan. Ultras Gadungan melakukan peniruan terhadap gaya berpakaian Ultras AC Milan. Dalam setiap pertemuan dan kegiatan Milanisti Indonesia, dari nonton bareng hingga acara tahunan seperti ulang tahun dan donor darah, banyak Ultras Gadungan yang berpakaian ala Ultras AC Milan. Aksesoris seperti topi berlogo AC Milan atau berwarna merah hitam di kepala, syal di leher, seragam AC Milan atau kaos anggota Milanisti Indonesia, ikat pinggang, bahkan sampai kaus kaki sudah lumrah melekat dibadan anggota-anggota Ultras Gadungan. Bahkan dari mereka ada yang menggunakan alat-alat ibadah bemotif AC Milan seperti sarung hingga sajadah. Selain dalam berpakaian, kendaraan mereka juga tidak lepas dari motif dan warna AC Milan. 9
Tidak jarang dari anggota Ultras Gadungan yang menghiasi mobil atau motornya dengan menggunakan warna merah hitam, atau melekatkan stiker-stiker berbau AC Milan dan pemain idola mereka. Mereka mengganggap ini juga merupakan totalitas dalam mendukung AC Milan, sebagaimana yang idola mereka lakukan di Italia sana. Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan diri mereka secara individu bahwa mereka adalah fans AC Milan yang tidak setengah-setengah dan total dalam mendukung AC Milan, layaknya Ultras AC Milan. Selain dalam perilaku individu, perilaku dalam berkelompok Ultras Gadungan juga melakukan peniruan terhadap Ultras AC Milan di Italia. Bentuk perilaku berkelompok biasanya dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan nonton bareng yang diadakan khusus internal Milanisti Indonesia, maupun eksternal dengan kelompok suporter lainnya. Dalam kegiatan nonton bareng internal Milanisti Indonesia, Ultras Gadungan umumnya akan melakukan tiga hal layaknya Ultras AC Milan yang ada di San Siro sewaktu AC Milan bermain. Pertama, sebelum pertandingan dimulai mereka akan membuat koreografi khas AC Milan, dengan segala banner atau spanduk-spanduk yang dicampur dengan penyalaan flare dibeberapa sudut tempat Ultras Gadungan berada. Koreografi dilakukan biasanya sambil menyanyikan lagu Inno Milan, lagu resmi AC Milan yang selalu dikumandangkan sebelum AC Milan bermain di San Siro, markas AC Milan. Konten dari spanduk dan banner yang dipertontonkan saat aksi koreografi biasanya berisi mengenai pemain tertentu yang melegenda seperti Kaka, pesan-pesan tertentu yang bernada sindirian yang ditujukkan kepada klub rival, atau pamer mengenai gelar-gelar yang sudah dimiliki AC Milan. Kedua, penggunaan chants atau dukungan berupa kata-kata yang diteriakan dalam bahasa Italia. Penggunaan chants merupakan hal yang umum dilakukan oleh Ultras AC Milan dan kelompok suporter lainnya. Chants biasanya ditujukan untuk menyemangati dan mengagungkan pemain-pemain tertentu yang namanya layak dijadikan chants. Selain itu, chants juga berguna untuk menyindir dan memaki rival, bahkan ada chants yang bernada rasisme di Italia sana. Dalam kasus Ultras Gadungan, chants yang sering dipakai adalah chants yang sering dikumandangkan oleh Ultras AC Milan di San Siro. Biasanya dikumandakan secara berbarengan ketika mereka mendengar ada chants tertentu dari tempat Ultras AC Milan di San Siro, mereka langsung akan mengumandangkan chants yang sama di tempat nonton bareng mereka. Chants yang sering dikumandangkan oleh Ultras Gadungan adalah Forza Lotta Vincerai Non ti Lascerremo Mai (Berjuang untuk menang, kami tidak akan meninggalkanmu) dan Chi Non Salta Nerrazuro (Yang tidak melompat adalah biru hitam), chants yang belakangan disebut ditujukan untuk menyindir rival sekaligus orang-orang yang tidak mendukung AC Milan sebagaimana yang mereka lakukan. Ultras Gadungan sering menyanyikan Chi Non Salta Nerrazuro juga untuk sedikit mengkritik kebanyakan anggota Milanisti Indonesia yang hanya diam saja pada saat nonton bareng. Ultras Gadungan juga melakukan penyesuaian dalam penggunaan chants ini. Penyesuaian mereka lakukan dengan cara menciptakan dan mengumandangkan chants berbahasa Indonesia yang mereka ciptakan sendiri. Chants buatan mereka berjudul sama dengan semboyan mereka yaitu “diam adalah pengkhianatan”. Chants ini dibuat untuk menegaskan eksistensi Ultras Gadungan sebagai Ultras yang kurang lebih sama dengan Ultras AC Milan. Pembuatan chants berbahasa lokal juga bertujuan agar para anggota Ultras Gadungan maupun anggota Milanisti Indonesia lainnya yang tidak fasih dan hapal berbahasa Italia dapat ikut serta dan terlibat dalam mengumandangkan chants bersama-sama. Informan SE mengatakan bahwa chants dapat diibaratkan sebagai doa-doa agar tim kesayangan mereka yang sedang bertanding bisa menang. Beliau menambahkan bahwa chants dapat mempengaruhi kemenangan AC Milan. Jika para suporter terus mengumandangkan chants tanpa henti dan terus bersemangat niscaya performa para pemain dilapangan pun ikut terpengaruhi. Untuk chants dilakukan fans yang tidak ada distadion langsung menurut informan SE juga berpengaruh, karena ia dan para anggota Ultras Gadungan lainnya percaya bahwa secara tidak langsung chants yang mereka suarakan bisa tersampaikan layaknya doa bagi para pemain AC Milan yang sedang bertanding. Hal ketiga adalah penggunaan flare dalam setiap momen nonton bareng. Flare sangat umum digunakan oleh para Ultras klub-klub Italia termasuk AC Milan. Flare merah menjadi ciri khas Ultras AC Milan di kandangnya, San Siro. Biasanya flare dinyalakan di curva sud atau curva nord, tempat setengah lingkaran yang berada disisi selatan atau utara San Siro. Ultras Gadungan juga melakukan hal yang sama seperti Ultras AC Milan, namun dalam konteks yang berbeda. Ultras Gadungan ingin menghidupkan suasana Ultras seperti di curva sud AC Milan, untuk itu mereka melakukan penyalaan flare pada saat momen-momen 10
tertentu seperti pada ditiupnya peluit babak dimulai atau pada saat yang paling umum ketika bersuka cita saat AC Milan mencetak gol. Ultras Gadungan ingin suasana yang ada di curva sud San Siro hadir juga di markas besar Milanisti Indonesia. Untuk itu mereka merasa perlu melakukan hal-hal seperti ini agar menimbulkan kedekatan yang sifatnya imajinatif. Dengan menciptakan hal-hal yang sama dengan Ultras AC Milan, mereka bisa setidaknya merasakan sedikit suasana sebenarnya di San Siro. Namun akhir-akhir ini, penggunaan flare yang dilakukan oleh Ultras Gadungan semakin sedikit. Karena mungkin agak membahayakan mengingat markas besar Milanisti Indonesia merupakan tempat tertutup yang banyak benda-benda yang mudah terbakar jika terkena percikan flare Berkaca dari temuan penulis diatas, bisa disimpulkan bahwa Ultras Gadungan banyak mengambil contoh pada Ultras AC Milan di Italia dalam kegiatannya. Mereka hampir meniru secara total apa yang dilakukan oleh Ultras AC Milan dalam mewujudkan dukungannya. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang paling mencintai dan paling total dalam mendukung AC Milan adalah Ultras AC Milan. Ultras AC Milan inilah yang selalu hadir dan setia mendukung dalam setiap pertandingan AC Milan baik dalam laga domestik maupun laga Eropa. Atas dasar inilah mengapa Ultras Gadungan menjadikan Ultras AC Milan di Italia sebagi model paling ideal yang patut dicontoh dan ditiru dalam mendukung AC Milan. Pengambilan contoh yang dilakukan Ultras Gadungan ini tidak hanya berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Ultras AC Milan, tapi juga meliputi nilai-nilai yang ada dalam kelompok, hingga ke perilaku individunya. Dalam kacamata Sosiologi, Ultras Gadungan terbentuk dan dapat bertahan karena adanya individuindividu dalam Milanisti Indonesia yang menjadikan Ultras AC Milan sebagai kelompok referensi mereka. Robert K. Merton (1957) mempunyai hipotesis bawa individu-individu membandingkan diri mereka dengan kelompok referensi dari orang-orang yang menduduki peran sosial yang mereka cita-citakan. Mengacu pada fenomena Ultras Gadungan, anggota-anggota dari Ultras Gadungan melakukan perbandingkan antara diri mereka terhadap Ultras AC Milan, sebelum mereka membentuk Ultras Gadungan. Mereka perlu tahu terlebih dahulu mengenai Ultras AC Milan, kelompok yang mereka idolakan. Mereka mempelajari apa itu Ultras melalui media-media cetak maupun elektronik untuk mengetahui seluk-beluk Ultras AC Milan, mereka juga mengevaluasi apa yang harus dilakukan oleh Ultras dan apa yang tidak boleh dilakukan dengan melihat Ultras AC Milan. Dengan mengetahui dan melakukan perbandingan dengan kelompok referensi mereka, akhirnya mereka bisa mendirikan Ultras Gadungan, sebuah kelompok suporter yang bisa dibilang sama militannya dengan Ultras AC Milan di Milanisti Indonesia. Merton (1957) juga menjelaskan bahwa kelompok referensi menyediakan tolak ukur dan kontras yang dibutuhkan untuk membandingkan dan mengevaluasi kelompok dan karakteristik personal. Ultras AC Milan sebagai kelompok referensi dari Ultras Gadungan, menyediakan berbagai macam tolak ukur yang digunakan sebagai perbandingan bagi Ultras Gadungan. Tolak ukur tersebut dalam konteks ini berupa kegiatan dan peran mereka terhadap klub AC Milan. Dalam praktiknya, Ultras AC Milan langsung berhubungan dengan klub yang dicintainya di Italia, yaitu AC Milan. Mereka dapat bebas mengekspresikan kefanatikan mereka dalam mendukung AC Milan lewat berbagai macam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Seringkali mereka juga mendapat apresiasi langsung oleh AC Milan berkat dukungan mereka yang tidak kenal berhenti. Sementara itu, Ultras Gadungan menjadikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Ultras AC Milan sebagai perbandingan bagi kegiatan yang akan mereka lakukan di Milanisti Indonesia, karena berbeda secara geografis dimana mereka berada di Indonesia, bukan Italia, menyebabkan mereka harus melakukan berbagai macam penyesuaian dan evaluasi yang perlu dilakukan agar dukungan mereka tersalurkan. Untuk itu, Ultras Gadungan melakukan peniruan-peniruan kegiatan yang dilakukan oleh Ultras AC Milan dengan melakukan berbagai macam penyesuaian berdasarkan hasil dari proses perbandingan dan evaluasi mereka terhadap kelompok referensinya. Kegiatan yang ditiru adalah yang sebagaimana dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya yaitu penggunaan chants, flare dan koreografi dalam kegiatan nonton bareng yang diselenggarakan oleh Milanisti Indonesia. Perilaku lain yang ditiru dari oleh Ultras Gadungan terhadap role-modelnya yaitu Ultras AC Milan adalah rivalitas dengan kelompok suporter klub lainnya. AC Milan memiliki rival sekota yang menjadi musuh abadi mereka yaitu Inter Milan. Ultras AC Milan di Italia ketika timnya bertanding melawan Inter Milan selalu menciptakan suasana yang terkesan mencekam bagi sang rival dan mereka selalu kreatif dalam urusan menghardik rival mereka. Tak jarang mereka menggunakan koreografi super besar dengan gambar atau tulisan 11
bernada penghinaan atau sindirian bagi Inter Milan, atau sekadar meneriakkan chants yang paling populer yang ditujukan kepada Inter yaitu Chi Non Salta Nerrazuro. Lucunya chants ini juga sering dipakai ketika AC Milan tidak berhadapan dengan Inter dalam pertandingan apapun. Ultras AC Milan juga seringkali terlibat bentrok langsung dengan Ultras Inter akibat sindiran atau kadang tanpa alasan yang jelas akibat rivalitas mereka yang sudah mendarah daging. Partai AC Milan vs Inter Milan selalu diselimuti oleh hawa panas persaingan tim di lapangan ataupun suporter masing-masing klub di tribun stadion. Dalam kasus Ultras Gadungan, kejadian seperti ini muncul dalam kegiatan nonton bareng baik dengan internal Milanisti Indonesia maupun eksternal dengan kelompok suporter lain. Jika dalam nonton bareng internal, laga melawan Inter selalu ramai dipenuhi oleh para Ultras Gadungan yang menempati sisi depan di Hanggar Futsal Pancoran, markas Milanisti Indonesia. Sebelum pertandingan dengan Inter, mereka biasanya selalu menyiapkan koreografi yang isinya bernada ejekan dan sindiran kepada Inter Milan. Koreografi ini akan dipertontonkan persis sama momennya dengan koreografi yang dilakukan oleh Ultras AC Milan di stadion. Setelah pertandingan berjalan, maka Ultras Gadungan akan mulai untuk mengeluarkan chants mereka. Saat laga melawan Inter ini, chants yang sering terdengar dari kubu Ultras Gadungan adalah Chi Non Salta Nerrazuro (Yang tidak berdiri adalah biru hitam) yang ditujukan untuk mengejek Inter Milan dan sekaligus sedikit menyindir anggota Milanisti Indonesia yang hanya diam saja saat nonton bareng. Chants tersebut penulis dengar hampir puluhan kali diulang oleh Ultras Gadungan, karena chants tersebut merupakan barang wajib bagi Ultras AC Milan dalam pertandingan melawan rival mereka, Inter Milan. Dalam konteks nonton bareng dengan internal Milanisti Indonesia ini, sindiran dan ejekan yang dilakukan oleh Ultras Gadungan murni hanya untuk Inter Milan yang mereka tonton di layar kaca. Lain halnya ketika nonton bareng eksternal dengan kelompok suporter lain. Milanisti Indonesia dalam menyelenggarakan nonton bareng tiap minggunya kadang mengajak atau diajak oleh kelompok suporter lainnya yang akan berhadapan dengan AC Milan, termasuk dengan Inter yang memiliki Inter Club Indonesia sebagai kelompok suporternya disini. Ketika nonton bareng dimulai, rivalitas yang sama antar Ultras AC Milan dan Inter Milan sering dihadirkan juga oleh Ultras Gadungan dengan kelompok suporter Inter. Chants bernada mencela satu sama lain kerap keluar dari mulut kedua belah pihak, tak jarang juga ada sedikit makian berupa kata-kata kasar dalam bahasa Indonesia seperti anjing, tahi¸dan sejenisnya. Pernah juga terjadi keributan seperti gontok-gontokan antar suporter yang umumnya dilakukan oleh Ultras AC Milan dengan Inter Milan, kejadian tersebut diceritakan oleh informan DW ketika nonton bareng dengan Inter beberapa tahun yang lalu. Kala itu ada suporter dari Inter yang memprovokasi Ultras Gadungan dan anggota Milanisti Indonesia dengan memperlihatkan pantatnya ketika Inter mencetak gol terlebih dahulu, namun kejadian lebih parah setelah itu ada anggota dari Inter yang menginjak-injak bendera Milanisti Indonesia yang membuat anakanak Ultras Gadungan memanas, hingga akhirnya ketika AC Milan berhasil menyamakan kedudukan ada anggota Ultras Gadungan yang tidak bisa menahan emosinya dengan melempar botol dan melukai anak-anak Inter Milan dan akhirnya keributan kecil pun terjadi. Lain lagi cerita dari Informan SE yang merupakan anggota Ultras Gadungan juga, beliau beranggapan kalau yang berbaju Inter ataupun Juventus yang merupakan rival AC Milan juga sebagai musuhnya. Dalam bahasanya, ia menyatakan dua jenis rival tersebut sebagai anjing. Informan SE juga sempat membuat sebuah kaus yang bertuliskan “Interisti Anjing” sebagai sindiran kepada mereka yang menyukai Inter Milan. Kaus tersebut sering dipakai oleh dirinya ketika ada turnamen antar fans club. Informan SE beralasan dari memakai kaus itulah dia bisa mengekspresikan kekesalannya terhadap Inter Milan dan antek-anteknya tanpa harus mengeluarkan ucapan makian langsung dari mulutnya. Peniruan yang dilakukan oleh Ultras Gadungan terhadap Ultras AC Milan di Italia tidak hanya sebatas peniruan secara individu dan kelompok saja, namun juga rivalitas antar kelompok suporter yang ada di Italia juga diciptakan dalam bentuk konteks lokalnya oleh Ultras Gadungan. Jika Ultras AC Milan di Italia berseteru langsung dengan Ultras AC Milan, maka dalam konteks lokalnya Ultras Gadungan menciptakan rivalitas juga dengan kelompok suporter Inter di Jakarta. Dengan adanya berbagai macam peniruan individu dan kelompok, serta penciptaan rivalitas dalam kemasan lokal seperti ini, mungkin membuat anggota-anggota Ultras Gadungan dapat semakin mendekatkan dirinya dan mengidentifikasikan identitasnya kepada role-model mereka Ultras AC Milan walaupun mereka terpaut oleh batasan jarak dan waktu antara kota Milan dengan Jakarta. 12
Merton (1957) berdasarkan dalam temuannya dalam The American Soldier, menjelaskan bahwa beberapa kesamaan dalam atribut status diantara individu dengan kelompok referensi harus dirasakan atau diimajinasikan agar perbandingan terjadi. Dengan adanya rivalitas yang ditiru berdasarkan kelompok referensi mereka, maka cukup signifikan menjadikan Ultras Gadungan sebagai sepenuhnya Ultras. Peniruan rivalitas ini dapat membuat Ultras Gadungan merasakan bagaimana aroma-aroma serta tensi-tensi tegang seperti yang dialami oleh Ultras AC Milan sebagai kelompok referensi mereka. Kesamaan status sebagai Ultras antara yang orisinil dan Gadungan, serta samanya rival yang dihadapi melekatkan Ultras Gadungan dengan kelompok referensinya membuat Ultras Gadungan kian dekat dengan Ultras AC Milan. Bukan tidak mungkin nanti ada yang mendefinisikan bahwa Ultras Gadungan merupakan Ultras AC Milan Penggunaan chants Chi Non Salta Nerrazuro, cacian dan makian saat nonton bareng terhadap Inter Milan dan hal-hal lainnya yang menyangkut soal rivalitas adalah bukti bagaimana rivalitas itu ditiru oleh Ultras Gadungan. Perilaku-perilaku semacam ini patut ditiru oleh Ultras Gadungan untuk semakin memudahkan mereka mengidentifikasikan diri dengan kelompok referensi mereka, Ultras AC Milan, yang melakukan hal yang serupa. Dengan melakukan hal yang sama, membenci hal yang sama, dan mencintai hal yang sama dapat menimbulkan kedekatan dengan kelompok referensi, atau bahkan menjadi bagian dari kelompok referensi tersebut. Dengan berbagai macam kesamaan yang telah dijelaskan, maka tujuan Ultras Gadungan sebagai pembeda dengan mayoritas anggota AC Milan dan menjadi suporter yang paling fanatik layaknya Ultras AC Milan dapat dicapai. EKSKLUSIFITAS ULTRAS GADUNGAN Munculnya Ultras Gadungan, secara tidak langsung membuat adanya perbedaan dan strata antara anggota Milanisti Indonesia non Ultras Gadungan dengan Ultras Gadungan. Perbedaan yang bisa dilihat adalah Ultras Gadungan memiliki hak-hak khusus yang tidak semua anggota Milanisti Indonesia bisa mengaksesnya. Seperti misalnya tempat duduk saat kegiatan nonton bareng, Ultras Gadungan memiliki hak untuk menempati tempat yang paling depan dan sisi kanan dari Hanggar Futsal Pancoran. Tempat ini sudah sepenuhnya diketahui oleh Ultras Gadungan dan anggota Milanisti Indonesia lainnya. Bila ada orang yang tiba-tiba menempati tempat ini dan ternyata dia bukan Ultras Gadungan maka akan ditindak langsung dan dipindahkan ke tempat belakang bersama anggota Milanisti Indonesia yang non Ultras Gadungan. Informan SE menjelaskan perbedaan tempat ini, beliau menyatakan apabila ada orang yang datang berdiri di tempat Ultras Gadungan dan dia tidak ikut bernyanyi serta tidak mendukung yang sebagaimana Ultras Gadungan lakukan maka akan ia usir ke tempat belakang yang bersama anggota lainnya yang bukan Ultras Gadungan. Informan SE menambahkan tempat nonton bareng sudah tersekat-sekat, tempat di depan ini merupakan tempat khusus bagi para Ultras Gadungan untuk bernyanyi dan mendukung AC Milan sementara yang dibelakang merupakan tempat untuk anggota non Ultras Gadungan, bila ada orang yang mau ikut di depan boleh-boleh saja asalkan ia tidak hanya berdiri diam saja, ia harus melakukan apa yang Ultras Gadungan lakukan, tapi apabila tidak maka seperti kejadian diatas akan langsung ditindak tegas berupa pengusiran oleh Ultras Gadungan. Eksklusifitas lainnya yang dimiliki oleh Ultras Gadungan adalah hak untuk menghadiri pertemuan mingguan Ultras Gadungan yang bernama riunione. Pertemuan mingguan ini dikhususkan hanya bagi Ultras Gadungan saja, namun Ultras Gadungan membebaskan kedatangan anggota-anggota Milanisti Indonesia yang berminat untuk menjadi Ultras Gadungan. Pertemuan ini biasanya membahas mengenai perencanaan koreografi yang akan ditampilkan sewaktu nonton bareng, bertukar pikiran serta pengetahuan seputar chants serta hal-hal yang berbau AC Milan, dan kegiatan yang paling wajib yaitu mengajari anggota Ultras Gadungan yang baru bagaimana menjadi Ultras Gadungan, serta hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh Ultras Gadungan. Biasanya hal yang diajarkan seputar chants wajib yang harus dinyanyikan pada momen-momen tertentu, seorang anggota Ultras Gadungan diwajibkan menyanyikan chants karena ini semua merupakan bentuk eksistensi mereka dan perwujudan dari militansi, fanatisme, dan loyalitas mereka terhadap AC Milan, serta juga perwujudan dari semboyan mereka yang anti diam karena diam adalah pengkhianatan. Dari dua hal diatas, dapat diambil benang merah bahwa dengan adanya Ultras Gadungan secara laten disadari menimbulkan strata dalam Milanisti Indonesia antara Ultras Gadungan dengan yang bukan Ultras Gadungan. Ultras Gadungan diasumsikan sebagai strata yang lebih tinggi karena memiliki berbagai macam eksklusifitas seperti contoh posisi duduk terdepan saat nonton bareng dan hak untuk mengikuti riunione, 13
sementara yang bukan Ultras Gadungan tidak bisa mengakses hak-hak eksklusif tersebut karena mereka berada pada strata dibawah Ultras Gadungan. Walaupun strata ini ditampik oleh Informan TM dengan menjelaskan bahwa ini semua bukan strata, hanya Ultras Gadungan yang berusaha menunjukkan totalitas dan militansi mereka saja sehingga terkesan menimbulkan strata dengan anggota lainnya, namun tetap saja secara laten disadari oleh semua anggota Milanisti Indonesia lainnya terutama yang non Ultras Gadungan. Strata antara Ultras Gadungan dengan anggota lain yang non Ultras Gadungan ini paling terlihat dalam kegiatan nonton bareng yang diselenggarakan oleh internal Milanisti Indonesia. Adanya eksklusifitas dalam Ultas Gadungan merupakan hal yang membuat Ultras Gadungan bertahan hingga saat ini. Dengan adanya pride yang didapat dan keuntungan seperti tempat duduk yang terpisah, serta bentuk keuntungan lainnya. Membuat Ultras Gadungan kian dilirik oleh anggota Milanisti Indonesia lainnya. Faktor pride terutama yang menjadi alasan banyak orang untuk bergabung dengan Ultras Gadungan. Hampir setiap bulan, ada saja orang-orang baru yang ingin bergabung dalam Ultras Gadungan. Biasanya, orang-orang baru ini datang pada saat riunione atau pertemuan mingguan yang dilakukan oleh Ultras Gadungan. Orangorang ini didik untuk menjadi Ultras Gadungan dengan mempelajari hal-hal apa yang dilakukan oleh kelompok referensi mereka, Ultras AC Milan. Dengan pola seperti ini yang terus berulang setiap bulan, menyebabkan jumlah anggota Ultras Gadungan semakin banyak dan eksistensi mereka dalam Milanisti Indonesia sebagai kelompok eksklusif dalam Ultras Gadungan terjaga. Regenerasi pun terlihat dari sebelumnya “angkatan” informan T, hingga kini wajahwajah baru yang menghiasi tempat Ultras Gadungan dalam setiap kegiatan nonton bareng. Dengan cara inilah Ultras Gadungan dapat bertahan dan berkembang hingga saat ini. Adanya regenerasi dan anggota baru, yang biasanya ingin mendapatkan pride dari bergabung dengan Ultras Gadungan, membuat kelompok suporter ini dapat bertahan dan eksis hingga saat ini. JARINGAN SOSIAL ANTARA ULTRAS GADUNGAN DENGAN KELOMPOK REFERENSINYA Seiring dengan perkembangannya, jumlah Ultras Gadungan setiap minggu semakin bertambah jumlahnya. Tidak hanya pada Milanisti Indonesia pusat saja, virus Ultras Gadungan juga merebak ke sezione lainnya di berbagai penjuru kota. Tentunya cabang-cabang Ultras Gadungan tersebut didirikan berdasarkan persetujuan para founding father Ultras Gadungan yang berada di sezione pusat (Jakarta). Selain memperluas keanggotannya, Ultras Gadungan juga menjalin hubungan dengan Ultras AC Milan di Italia, yang merupakan panutan mereka. Jalinan hubungan ini awalnya dibangun melalui individu-individu Ultras Gadungan yang ikut tur San Siro, markas besar AC Milan, yang diadakan oleh Milanisti Indonesia tiap tahunnya. Informan T merupakan anggota Ultras Gadungan yang selalu mengikuti tur San Siro karena beliau merupakan Humas Internasional Milanisti Indonesia. Dalam kunjungannya ke tempat paling sakral bagi fans AC Milan tersebut, informan T kemudian berkenalan dengan para anggota-anggota Ultras AC Milan. Informan T bercerita bahwa respon mereka terhadap adanya Ultras Gadungan cukup antusias, mereka tidak menyangka bahwa muncul juga Ultras-Ultras tiruan Ultras AC Milan. Para anggota Ultras AC Milan ini bersedia membantu dan memberikan informasi mengenai Ultras kepada informan T. Komunikasi mulai terjalin secara cukup intensif, informan T menambahkan bahwa Ultras AC Milan cukup rutin bercerita melalui email tentang aktivitas mereka disana, tidak jarang juga mereka mengirimkan video-video koreografi dan aksiaksi yang dijalankan oleh mereka. Sejak saat itu, dalam setiap kunjungannya ke San Siro, informan T selalu menyempatkan bertemu para Ultras AC Milan untuk sekadar silaturahmi. Dari sinilah hubungan antara Ultras Gadungan dan idola mereka, Ultras AC Milan terbangun. Interaksi yang terjadi antara Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan, telah membangun sebuah jaringan sosial. Menurut Suparlan (1982), Jaringan sosial adalah sebagai suatu pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang, paling sedikit terdiri atas tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan sosial tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial. Definisi jaringan sosial tersebut kiranya cukup relevan dengan konteks hubungan antara Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan. Hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara kedua belah pihak membangun jaringan sosial yang berasaskan kecintaan atas klub sepakbola yang sama yaitu AC Milan. Walaupun dibedakan oleh 14
ruang dan waktu, namun hubungan sosial antara Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan tetap bisa dijalin. Bentuk hubungan sosial disini adalah interaksi keduanya dengan menggunakan email, interaksi tatap muka juga terjalin namun dalam intensitas yang lebih sedikit dan bergantung dengan tur San Siro yang diadakan oleh Milanisti Indonesia. Suparlan juga menambahkan bahwa jaringan sosial mempunyai ciri-ciri yaitu titik, garis, ciri-ciri struktur, konteks (ruang), dan aspek temporer. Suatu hubungan sosial yang dapat dikategorikan sebagai jaringan sosial apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Dalam konteks jaringan sosial yang dibangun oleh Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan, ciri pertama adalah kedua belah pihak itu sendiri. Titik-titik dalam ciri jaringan sosial merupakan perlambangan dari aktor-aktor yang ada sebuah jaringan sosial. Titik-titik tersebut berhubungan satu sama lainnya oleh garis-garis tertentu, atau dalam konteks ini yaitu Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan yang saling berhubungan. Ciri yang kedua adalah garis. Garis-garis ini menurut Suparlan merupakan penghubung atau pengikat antara titik-titik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antar organisasi, persekutuan militer dan sebagainya. Dalam konteks jaringan sosial yang terbentuk oleh Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan, garisgaris ini dapat berupa kesamaan kegemaran yang berupa klub sepakbola favorit yaitu AC Milan. AC Milan-lah yang menghubungkan antara Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan, dan AC Milan pula yang menjadi basis dari jaringan sosial ini. Tanpa AC Milan maka hilanglah esensi dari kedua kelompok tersebut, dan jaringan sosial ini juga tidak bisa terbentuk. Selain itu, hubungan pertemanan juga dapat dijadikan sebagai garis dalam jaringan sosial ini. Hubungan pertemanan yang berawal dari pertemanan yang dijalin oleh informan T dengan para Ultras AC Milan dalam kunjungan ke San Siro, merupakan penghubung antara kedua titik yang menjadi aktor dalam jaringan sosial ini, yaitu Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan. Tetapi, hubungan pertemanan ini juga berdasarkan pada kegemaran kedua belah pihak terhadap AC Milan. Seperti yang penulis katakan sebelumnya, jika tidak ada AC Milan, mustahil terbentuk jaringan sosial antara keduanya. Ketiga, adalah ciri-ciri struktur. Suparlan menjelaskan bahwa pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau makro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan. Berdasarkan jaringan sosial yang dibentuk oleh Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan, hanya ada dua titik yang dihubungkan oleh satu atau dua garis. Dua titik merupakan aktornya yaitu Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan, sedangkan dua garis merupakan kesamaan kegemaran atas AC Milan dan hubungan pertemanan. Karena tidak terlalu banyak titik-titik yang terlibat dan juga garis-garis yang menghubungkan antara titik-titik tersebut, maka penulis kategorikan jaringan sosial ini berdasarkan yang dijelaskan oleh Suparlan, sebagai jaringan sosial tingkat mikro. Walaupun terjadi hubungan antar negara disini yang merupakan gejala dari jaringan sosial makro, namun hanya sedikitnya titik dan garis tersebut menyebabkan jaringan sosial ini hanya dalam tingkat mikro. Ciri yang keempat adalah konteks (ruang). Suparlan menjelaskan bahwa setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (fisik) dan juga dalam ruang yang didefinisikan secara sosial. Jaringan sosial yang dibentuk oleh Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan jelas bisa dilihat terwujud secara empiris karena kedua belah pihak sebelumnya telah menjalin interaksi secara tatap muka. Mereka bertemu untuk menjalin silaturahmi walaupun tidak terlalu rutin, yang diwakilkan oleh informan T dan beberapa anggota Ultras AC Milan. Sedangkan dalam konteks ruang sosial, adanya kegemaran yang sama atas AC Milan menjadi sebuah titik temu bagi para aktor dalam Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan dalam suatu ruang sosial. Ciri terakhir yaitu aspek temporer. Suparlan menggambarkan bahwa suatu jaringan sosial dapat dilihat secara sinkronik atau diakronik, maksudnya adalah dapat dilihat sebagai gejala yang statis maupun dinamis. Jaringan sosial Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan menurut penulis merupakan jaringan sosial yang statis. Penulis beralasan demikian karena jaringan sosial ini tidak akan membesar skalanya karena sifatnya yang tertutup, tidak ada penambahan dan pengurangan aktor yang terlibat karena jaringan sosial ini didasarkan atas kesamaan klub yang dicintai. Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan sebagai kedua aktor disini pun tidak memiliki keinginan untuk memperbesar jaringan sosial ini. Sumber daya yang ditransfer oleh kedua pihak dalam jaringan sosial inipun terbatas. Ultras AC Milan hanya mengirimkan video-video mereka dan semacamnya, yang nantinya akan menjadi bekal untuk ditiru dalam kegiatan-kegiatan Ultras Gadungan. 15
Jaringan sosial yang dibentuk oleh Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan sudah memenuhi kelima ciri jaringan sosial oleh Suparlan. Walaupun skalanya kecil karena titik dan garis yang menghubungkan tidak terlalu banyak. Namun, hubungan sosial antara Ultras Gadungan dan Ultras AC Milan masih sangat relevan untuk digolongkan sebagai jaringan sosial. Dari proses interaksi dalam jaringan sosial inilah, Ultras Gadungan mendapatkan berbagai macam manfaat seperti pengetahuan seputar Ultras AC Milan dan kegiatan mereka, yang nantinya akan ditiru oleh Ultras Gadungan. Dengan adanya jaringan ini menimbulkan suatu keistimewaan tersendiri bagi Ultras Gadungan. Jaringan sosial ini membuat Ultras Gadungan semakin eksklusif dalam Milanisti Indonesia. Karena dengan diakuinya eksistensi Ultras Gadungan dan dilegitimasi oleh Ultras AC Milan melalui komunikasi yang dibangun lewat jaringan sosial antara Ultras AC Milan dan Ultras Gadungan membuat posisi Ultras Gadungan semakin kokoh dan ajeg dalam Milanisti Indonesia sebagai kelompok Ultras. Pengakuan secara eksternal dari Ultras AC Milan tersebut mempertegas eksistensi Ultras Gadungan dalam Milanisti Indonesia. Jaringan sosial juga memiliki andil dalam keberlangsungan dan kebertahanan Ultras Gadungan sebagai kelompok Ultras dalam Milanisti Indonesia. Dengan adanya pengakuan eksternal dari Ultras AC Milan dan internal dalam Milanisti Indonesia serta anggotanya, membuat eksistensi Ultras Gadungan terjaga karena diakuinya keberadaan mereka baik secara internal dan eksternal. Berbeda dengan Ultras Gadungan, Milanisti Indonesia juga memiliki jaringan yang dibangun dengan manajemen AC Milan di Italia. Jaringan ini pertama kali dibangun dan dijalin saat Milanisti Indonesia mendapat legitimasi menjadi kelompok suporter resmi AC Milan di Indonesia. Komunikasi yang dibangun biasanya seputar merchandising dan pemberitahuan info rutin seputar AC Milan, contohnya seperti info kunjungan Milan Glorie dan legenda-legenda AC Milan. Jaringan yang dibangun ini menurut penulis tidak dapat dikategorikan sebagai jaringan sosial, karena jaringan ini hanya berada dalam tataran formal saja. Selain itu, komunikasi yang dibangun antara Milanisti Indonesia dengan manajemen AC Milan tidak intensif layaknya Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan. PERAN YANG BERBEDA MAKNA DENGAN KELOMPOK REFERENSI Ultras Gadungan merupakan individu-individu anggota Milanisti Indonesia yang cukup aktif dalam berorganisasi di Milanisti Indonesia. Anggota-anggota Ultras Gadungan memiliki ikatan yang cukup kuat dengan pengurus Milanisti Indonesia, dikarenakan kebanyakan dari anggota Ultras Gadungan juga menjabat sebagai pengurus Milanisti Indonesia. Dalam setiap kegiatan Milanisti Indonesia, Ultras Gadungan selalu berpartisipasi membantu untuk kelancaran jalannya kegiatan yang dilakukan oleh Milanisti Indonesia. Karena kedekatan inilah, Ultras Gadungan dapat dikatakan sebagai pasukan garda terdepan yang bisa diandalkan Milanisti Indonesia dalam menjalankan kegiatannya. Sebagai contohnya, setahun yang lalu ada event Milan Glorie. Milan Glorie merupakan kumpulan legenda-legenda AC Milan yang bermain sebagai tim yang diundang untuk bermain dengan timnas Indonesia. Dalam pelaksanaan event Milan Glorie ini, yang dipercaya menjadi pengurus-pengurus untuk menjalankan event banyak diberikan kepada anggota-anggota Ultras Gadungan seperti Informan SE dan TM. Ultras Gadungan juga dipercaya untuk mengawal kedatangan Milan Glorie sewaktu baru sampai di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Ultras Gadungan dipercaya karena mereka dapat memobilisasi massa dalam jumlah yang besar sebagaimana yang mereka lakukan di Hanggar, dengan kemampuan memobilisasi massa ini maka penyambutan Milan Glorie di Bandara pun berlangsung dengan tertib. Saat memobilisasi massa, Informan SE sebagai salah satu wakil Ultras Gadungan bercerita bahwa sebagai mobilisator massa Milanisti Indonesia kala itu, Ultras Gadungan tidak harus membuang jauh egonya demi ketertiban umum. Informan SE tidak menampik bahwa ia juga ingin mendapatkan tanda tangan dari para Milan Glorie tersebut, tapi mengingat tanggung jawab yang diberikan kepada Ultras Gadungan untuk memobilisasi massa dengan tertib maka keinginan tersebut harus diredam agar tidak terjadi kerusuhan. Dalam pertandingan Milan Glorie melawan timnas Indonesia, Ultras Gadungan juga diberikan kepercayaan untuk memimpin keseluruan anggota Milanisti Indonesia dan fans Milan yang hadir di Gelora Bung Karno pada waktu itu. Perwakilan-perwakilan Ultras Gadungan dijadikan sebagai capo atau sebutan sebagai pemimpin suporter. Mereka yang ditugaskan sebagai capo harus bisa memobilisasi massa yang 16
jumlahnya puluhan ribu pada waktu itu, dan ternyata mereka berhasil mengatur para Milanisti yang sedemikian banyaknya. Mereka yang menjadi capo di Gelora Bung Karno bercerita bahwa tugasnya memimpin suporter dapat disamakan layaknya mereka memimpin Ultras Gadungan di Hanggar, namun perbedaannya hanya jumlah pengikutnya yang jauh lebih banyak. Aksi yang dilakukan pun cukup sama dengan aksi yang sering mereka lakukan di Hanggar, yaitu seperti menyanyikan chants berbahasa Italia yang khas dengan AC Milan, menyalakan flare, dan membuat koreografi raksasa yang berisikan pujian terhadap tim dan pemain kesayangan mereka. Ultras Gadungan memimpin satu stadion untuk menciptakan suasana layaknya San Siro, kandang AC Milan, dan mereka berhasil mendapat pengakuan tersebut dari mulut para penggawa Milan Glorie lewat konferensi pers setelah pertandingan. Dalam kegiatan lain yang lebih umum untuk intra Milanisti Indonesia seperti donor darah atau bakti sosial. Ultras Gadungan merupakan orang-orang pertama yang diminta oleh Milanisti Indonesia untuk hadir membantu kelancaran acaranya. Alasan penunjukkan Ultras Gadungan sebagai orang-orang pertama yang diminta bantuannya adalah karena Ultras Gadungan merupakan orang-orang yang dapat dipercaya, aktif dalam Milanisti Indonesia, dan kenal dengan dengan pengurusnya karena sebagian Ultras Gadungan adalah pengurus aktif. Kinerja mereka tidak perlu diragukan lagi dalam kegiatan Milanisti Indonesia, informan SE menambahkan bahwa Ultras Gadungan merupakan orang-orang yang berdedikasi tinggi yang sangat mencintai Milanisti Indonesia, Ultras Gadungan rela datang terlebih dahulu dan pulang lebih lama dari anggota lainnya dalam setiap kegiatan yang dijalankan oleh Milanisti Indonesia. Peran lain Ultras Gadungan dalam Milanisti Indonesia adalah Ultras Gadungan merupakan pengajar dan dianggap orang-orang yang serba tahu tentang AC Milan, sehingga jika ada yang bertanya atau sekadar ingin tahun mengenai AC Milan dan pengetahuannya di Milanisti Indonesia maka Ultras Gadungan adalah orang yang tepat untuk mengajarkannya. Ultras dalam pengertiannya adalah lebih dari biasa, atau lebih dari segalanya, dalam konteks ini termasuk pengetahuan mereka mengenai AC Mlan. Tak jarang jika ada yang ingin bertanya secara langsung atau melalui fasilitas mailing list yang dimiliki Milanisti Indonesia, orang-orang yang menjawab adalah anggota-anggota Ultras Gadungan seperti informan TM. Informan TM merupakan orang yang sering men-share hal-hal yang identik dengan AC Milan dan Ultrasnya. Setiap minggu secara rutin ia menjawab beberapa pertanyaan seputar AC Milan dan sharing mengenai hal-hal yang dilakukan oleh Ultras AC Milan di Italia. Ultras Gadungan juga memiliki peran sebagai penghubung dengan Ultras AC Milan. Dengan adanya jaringan sosial yang terbangun diantara Ultras Gadungan yang diwakili oleh beberapa anggotanya seperti informan T, dengan Ultras Gadungan sebagai kelompok referensi mereka, membuat jalinan komunikasi terus berjalan. Ultras Gadungan sebagai perwakilan dari Milanisti Indonesia dapat tetap stay in touch dan mendapatkan perkembangan-perkembangan terbaru seputar AC Milan lewat jaringan sosial yang dibangun dengan Ultras AC Milan. Namun, peran-peran tersebut sangatlah berbeda dengan peran kelompok referensi mereka, Ultras AC Milan. Sebagai kelompok yang mengacu pada kelompok referensi, idealnya Ultras Gadungan dapat memiliki peran-peran layaknya Ultras AC Milan yang memiliki peran vital dan signifikan terhadap AC Milan, tetapi kenyataannya tidak. Secara garis besar, Ultras AC Milan memiliki peran langsung dalam memberikan aspirasinya kepada manajemen klub mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh AC Milan. Ultras AC Milan di Italia juga memiliki peran untuk mengintervensi atau memprotes keputusan manajemen klub yang dianggap merugikan, atau sekedar memprotes ketika tim kesayangannya bermain sangat buruk atau klub tidak mendatangkan pemain-pemain terbaik dalam bursa transfer pemain. Ultras AC Milan dalam protes transfer tersebut kebanyakan beralasan bahwa sebagai tim elite, sudah menjadi prestise dan tradisi bagi AC Milan untuk mendatangkan pemain bintang. Sebagaimana contoh kasus pada pertengahan Februari lalu, dimana para Ultras beramai-ramai memblokade bus AC Milan untuk memprotes performa para pemain yang tidak maksimal. AC Milan sedang terpuruk di papan tengah klasemen dan para Ultras tidak puas dengan hal tersebut, mereka melakukan blokade agar mereka bisa menyampaikan protes mereka terhadap klub yang mereka cintai. Proses blokade tersebut pun berhasil, para Ultras AC Milan berhasil untuk membujuk, menyampaikan aspirasi dan memberikan kritik mereka kepada beberapa pemain 17
yang kala itu secara sukarela turun untuk berbicara langsung dengan Ultras dan mencari penyelesaian masalah bersama dengan mereka. Berdasarkan data tersebut, Ultras AC Milan memiliki peran yang sangat vital dalam mengawasi tim sepakbola yang mereka cintai, namun bagaimana dengan Ultras Gadungan? Ultras Gadungan tidak memiliki relasi langsung dengan AC Milan layaknya Ultras AC Milan di Italia karena letak geografis yang jauh berbeda. Ultras Gadungan juga tidak memiliki hak berbicara dan intervensi kebijakan klub layaknya Ultras AC Milan. Kedua hal ini cukup menjadi pembeda yang membuktikan betapa berbedanya peran Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan di Italia. Ultras AC Milan di Italia merupakan wujud dari Ultras yang sebenarnya karena memiliki peran vital terhadap tim yang dicintainya, sementara Ultras Gadungan hanyalah ultras buatan yang diciptakan semirip mungkin dengan Ultras AC Milan di Indonesia tetapi tidak memiliki peran-peran penting terhadap AC Milan layaknya Ultras AC Milan. Walaupun Ultras Gadungan hampir meniru segalanya yang dilakukan oleh Ultras AC Milan sebagai kelompok referensinya, tetapi makna yang dihasilkan berbeda karena Ultras Gadungan kehilangan esensi sebenarnya dalam menjadi Ultras sebagaimana Ultras AC Milan, yaitu memiliki peran langsung terhadap klub yang dicintai. Ultras Gadungan bisa saja memperoleh eksistensi dan pengakuan dari berbagai macam pihak sebagai Ultras, namun hilangnya fungsi yang paling esensial sebagai Ultras menyebabkan peniruan-peniruan yang dilakukan Ultras Gadungan terhadap kelompok referensinya seakan tidak bermakna, dan malah bisa dianggap sebagai ikut-ikutan Ultras AC Milan saja. Segala macam peniruan tersebut tidak memiliki signifikansi dengan AC Milan sebagai klub yang mereka cintai, berbeda dengan kelompok referensi mereka yang punya andil langsung terhadap klub yang dicintainya. Dari kasus ini, terlihat bahwa sangat signifikan perbedaan antara kelompok pengacu (Ultras Gadungan) dengan kelompok yang diacu (Ultras AC Milan), ketiadaan peran-peran signifikan terhadap AC Milan yang dialami Ultras Gadungan menyebabkan makna Ultras Gadungan sebagai kelompok Ultras berbeda dengan makna Ultras AC Milan. Terjadi pergeseran besar makna Ultras dalam Ultras Gadungan, sehingga patut dipertanyakan apakah Ultras Gadungan dapat disebut Ultras layaknya Ultras AC Milan. KESIMPULAN DAN SARAN Kemunculan kelompok suporter tim sepakbola asing di Indonesia dilatarbelakangi dominannya stereotip-stereotip negatif pada kelompok suporter sepakbola lokal, dan determinasi media global yang menghadirkan entitas klub yang jauh di eropa seolah dekat dengan para pendukungnya di Indonesia. Stereotip semacam kampungan, alay, norak, dan semacamnya sangat lekat dengan kelompok suporter sepakbola lokal. Dengan adanya stereotip-stereotip buruk ini, kelompok suporter sepakbola lokal dianggap sebagai representasi kelas bawah. Hal ini menyebabkan kelas menengah dan atas kemudian mencari alternatif-alternatif lain. Globalisasi sepakbola mempengaruhi pilihan-pilihan alternatif kelas menengah atas ini. Maraknya pertandingan sepakbola yang disiarkan televisi, pemberitaan sepakbola lewat internet dan media sosial lainnya, serta ekspansi tim sepakbola asing ke pasar asia, melekatkan dan mendekatkan masyarakat terhadap sepakbola asing, terutama sepakbola Italia yang lebih dahulu masuk. AC Milan yang saat itu paling berjaya mendapat imbas paling besar dari proses globalisasi ini. Popularitas AC Milan meroket dan banyak difavoritkan penikmat sepakbola di tanah air. Hingga akhirnya kelompok suporter Milanisti Indonesia dibentuk. Milanisti Indonesia merupakan contoh pilihan alternatif kelas menengah atas sebagai obat kekecewaan atas buruknya kelompok suporter sepakbola lokal. Namun, tidak hanya kelompok suporter tim sepakbola asing saja seperti Milanisti Indonesia yang bermunculan, bahkan muncul kelompok yang mengatasnamakan Ultras. Dalam Milanisti Indonesia ada kelompok Ultras yang bernama Ultras Gadungan. Proses pembentukan Ultras Gadungan dapat dilihat melalui lima tahap yang dijelaskan Tuckmann (2009) yaitu tahap forming, storming, norming, performing, adjourning. Dalam tahap forming, kepentingan bersama Ultras Gadungan ditentukan, yaitu ingin menunjukkan bahwa Ultras Gadungan merupakan kelompok yang lebih fanatik, militan, dan loyal dalam mendukung AC Milan seperti Ultras AC Milan yang ada di Italia. Hal-hal tersebut diwujudkan melalui perilaku-perilaku para anggota Ultras Gadungan saat mendukung AC Milan dalam acara nonton bareng. Selain kepentingan, dalam tahap ini juga menentukan tujuan Ultras Gadungan. Tujuan yang ingin dicapai dari terbentuknya Ultras Gadungan adalah ingin mendapatkan pride atau kebanggaan. Pride ini berupa pengakuan bahwa seorang 18
individu adalah Ultras dari orang lain baik secara internal Milanisti Indonesia ataupun eksternal. Pride bisa didapatkan saat Ultras Gadungan melakukan aksinya dalam kegiatan nonton bareng. Dengan dilihatnya mereka sedang beraksi dan menggebu-gebu dalam mendukung AC Milan oleh orang lain menyebabkan identitas mereka diakui sebagai Ultras serta mempertegas eksistensi Ultras Gadungan dalam Milanisti Indonesia. Tahap ini juga menentukan nilai dan norma awal sebagai landasan Ultras Gadungan berprilaku. Ultras Gadungan menjadikan tagline mereka yang berbunyi “kalah menang pantang diam karena diam adalah pengkhianatan” sebagai nilai dan norma awal mereka. Tahap storming, tidak relevan dengan Ultras Gadungan karena Ultras Gadungan bukan merupakan kelompok formal yang memiliki struktur keanggotaan yang jelas. Tahap norming, merupakan tahap dimana Ultras Gadungan menguatkan norma mereka. Dalam tahap ini Ultras Gadungan menyepakati untuk melakukan peniruan terhadap Ultras AC Milan, karena anggapan Ultras AC Milan sebagai kelompok yang paling ideal dalam memberikan dukungannya kepada AC Milan. Tahap performing, merupakan tahap dimana Ultras Gadungan mulai untuk mengeksekusi kegiatan-kegiatan yang mereka tiru dari Ultras AC Milan. Ultras Gadungan juga mulai berprilaku layaknya Ultras AC Milan secara individu dan kelompok. Tahap terakhir yaitu adjourning, merupakan tahap yang belum dilalui oleh AC Milan. Dalam proses bertahannya, Ultras Gadungan melakukan peniruan terhadap kelompok referensi mereka yaitu Ultras AC Milan. Dengan melakukan peniruan, evaluasi tujuan, serta penyesuaian terhadap apa yang dilakukan oleh Ultras AC Milan, membuat eksistensi Ultras Gadungan terjaga dalam Milanisti Indonesia. Peniruan yang dilakukan Ultras Gadungan berupa penggunaan koreografi, chants, flare, hingga banner raksasa layaknya yang dilakukan Ultras Gadungan di San Siro. Hal sakral seperti rivalitas pun ditiru oleh Ultras Gadungan. Kesemua peniruan ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang sama dengan San Siro, dengan adanya kesamaan tersebut mendekatkan Ultras Gadungan terhadap Ultras AC Milan dan tim sepakbola yang mereka cintai yaitu AC Milan. Eksklusifitas yang dimiliki Ultras Gadungan juga termasuk proses bertahannya mereka. Ultras Gadungan memiliki hak-hak eksklusif seperti tempat duduk paling depan dan kegiatan mingguan khusus Ultras Gadungan yang dinamakan ruinione. Hak eksklusif tersebut menimbulkan strata antara Ultras Gadungan dan non Ultras Gadunga, dengan menempatkan Ultras Gadungan sebagai strata yang lebih tinggi karena aksesnya terhadap hak-hak eksklusif tersebut. Selain itu, Ultras Gadungan juga memiliki pride. Dengan adanya pride yang dimiliki dari bergabung dengan Ultras Gadungan menyebabkan banyak orang yang tertarik untuk masuk dan bertambah anggota Ultras Gadungan, sehingga proses regenerasi pun dapat terjadi. Jaringan sosial juga mempengaruhi proses bertahannya Ultras Gadungan ini. Jaringan sosial yang dibangun antara Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan membuat eksistensi mereka diakui secara eksternal oleh kelompok referensi mereka. Secara internal dalam Milanisti Indonesia, dengan adanya jaringan sosial ini juga semakin mempertegas identitas Ultras Gadungan sebagai kelompok Ultras dimata anggota Milanisti Indonesia non Ultras Gadungan. Jaringan sosial ini juga berfungsi sebagai sarana komunikasi dan sharing seputar AC Milan antara Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan di Italia. Dalam soal peran, Ultras AC Milan memiliki peran yang sangat vital dan signifikan terhadap tim sepakbola yang didukungnya yaitu AC Milan. Ultras AC Milan memiliki peran langsung dalam memberikan aspirasinya kepada manajemen klub mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh AC Milan. Ultras AC Milan di Italia juga memiliki peran untuk mengintervensi atau memprotes keputusan manajemen klub yang dianggap merugikan, atau sekedar memprotes ketika tim kesayangannya bermain sangat buruk atau klub tidak mendatangkan pemain-pemain terbaik dalam bursa transfer pemain. Sedangkan, Ultras Gadungan tidak memiliki relasi langsung dengan AC Milan layaknya Ultras AC Milan di Italia karena letak geografis yang jauh berbeda. Ultras Gadungan juga tidak memiliki hak berbicara dan intervensi kebijakan klub layaknya Ultras AC Milan. Dari kasus ini, terlihat bahwa sangat signifikan perbedaan antara kelompok pengacu (Ultras Gadungan) dengan kelompok yang diacu (Ultras AC Milan), ketiadaan peran-peran signifikan terhadap AC Milan yang dialami Ultras Gadungan menyebabkan makna Ultras Gadungan sebagai kelompok Ultras berbeda dengan makna Ultras AC Milan. Terjadi pergeseran makna Ultras dalam Ultras Gadungan, sehingga patut dipertanyakan apakah Ultras Gadungan dapat disebut Ultras layaknya Ultras AC Milan. 19
Untuk itulah penulis merumuskan beberapa saran dibawah ini sebagai penutup dari tulisan ini. Pertama, komunikasi yang lebih dalam perlu dilakukan oleh Ultras Gadungan dengan Ultras AC Milan dan ditambah dengan manajemen AC Milan lewat jaringan sosial yang sudah ada agar Ultras Gadungan dapat memberikan peran yang jauh lebih signifikan terhadap AC Milan. Perlu diperbaikinya sistem kepengurusan kelompok suporter sepakbola lokal agar sepakbola lokal dapat digemari kalangan menengah keatas. Stereotip-stereotip negatif perlu dihilangkan, agar kelompok suporter sepakbola lokal dapat menjadi pilihan yang layak bersaing dengan kelompok suporter sepakbola asing. Diperlukan wadah dan kelompok yang bersifat konstruktif dan fungsional, untuk memfasilitasi individu-individu yang membutuhkan pengakuan dan identitas dari masyarakat. Perhatian lebih harus diberikan PSSI kepada kelompok suporter sepakbola asing seperti Milanisti Indonesia. Karena, PSSI dapat memanfaatkan jaringan sosial yang ada dalam kelompok suporter sepakbola asing untuk belajar serta merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tim sepakbola asing. DAFTAR PUSTAKA. Devereux, Eoin. (2007). Understanding the Media. London: SAGE Publication Inc. Guilianotti, Richard. (1999). Football: a Sociology of the Global Game. London: Polity Press Hyman, Herbert H. (1942). The Psychology of Status. Archives of Psychology No. 269. Kelley, Harold H. (1952). Two Functions of Reference Groups. New York: Holt. Merton, Robert K. (1957). Continuities in the Theory of Reference Groups and Social Structure. Ill: Free Press. Merton, Robert K. (1968). Social Theory and Social Structure. New York: New York Free Press Merton, Robert K.; and Kitt, Alice S. (1950). Contributions to the Theory of Reference Group Behavior. Ill: Free Press. Thompson, William & Hickey, Joseph. (2005). Society in Focus. Boston: Allyn and Bacon Turner, Ralph H. (1955). Reference Groups of Future Oriented Men. Social Forces 34. Turner, Ralph H. (1956). Role-taking, Role Standpoint, and Reference-group Behavior. American Journal of Sociology Ritzer, George. (2007). Globalization of Nothing. London: SAGE Publication Inc. Robertson, Roland. (1991). The Globalization Paradigm: Thinking Globally. Greenwich: JAI Press. Suparlan, Parsudi. (1982). Jaringan Sosial. Jakarta: Ikatan Kekerabatan Antropologi Fakultas Sastra UI. Suzanne C, Janasz; Dowd, Karen O. & Schneider, Beth Z. (2009). Interpersonal Skills in Organizations. Third Edition. McGraw-Hill International Edition Co., New York. Jurnal Guilianotti, Richard. (2007). Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America. London: SAGE Publication Inc. Skripsi / Tesis Adianto, Bogy. (2011). Gue Anak Jakarta Kembang Metropolitan. Depok: Universitas Indonesia. Wicaksana, Pandu. (2011). Reteritorialisasi Kelompok Penggemar Sepakbola: Suatu Kajian Tentang Reproduksi Identitas terhadap Milanisti Indonesia di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia. Farida, Siti Asiyatul (2006). Pengaruh Persepsi dan Intensitas Sosial Kelompok Referensi Mengenai The Jakmania dan Persija terhadap Tingkat Keterikatan pada Norma The Jakmania. Depok: Universitas Indonesia. Agusyanto, Ruddy. (1996). Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi. Kasus PAM Jaya, DKI Jakarta. Depok: Program Pascasarjana FISIP UI. Internet www.mostpopularsports.net diakses pada tanggal 2 Januari 2013, Pukul 21.30. sito.milanisti.or.id diakses pada tanggal 6 Februari, Pukul 22.00. www.acmilan.it diaksed pada tanggal 8 Februari, Pukul 17.00
20