Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
UKHUWAH DI TENGAH ASHABIYYAH FIRQATIYYAH (FANATISME KELOMPOK) Oleh: Aang Kunaepi, S.Ag., M.Ag*
MUQADDIMAH: MEMOTRET UKHUWAH Dalam konteks Indonesia, ukhuwah merupakan hal yang patut diperhatikan. Indonesia memiliki keragaman budaya, agama, suku dan ras yang kalau tidak dibina dengan rasa persaudaraan akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Indonesia akan menjadi bangsa yang bercerai-berai apabila potensi kerukunan diabaikan atau disikapi dengan sentimen golongan. Indonesia merupakan negara plural yang meniscayakan adanya eksistensi golongan-golongan tertentu dalam sistem tata kemasyarakatannya. Di samping dalam konteks keindonesiaan, ukhuwah juga ada dalam konteks ke-islaman. Dalam Islam kata ukhuwah sudah populer didengar. Tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam tubuh golongan-golongan pun termasuk dalam Islam, terdapat perbedaan masing-masing. Oleh karena itu, perbedaan dalam skala makro maupun mikro adalah keniscayaan. Demikian juga dalam perbedaan terdapat persamaan. Dengan konteks seperti itu, maka hal yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya. Penyikapan tersebut tentu harus dengan kaca mata (paradigma) positif agar menghasilkan sesuatu yang positif pula. Sekelompok orang yang fanatik terhadap golongannya, cenderung tidak menerima pendapat golongan lain. Sifatnya menjadi eksklusif. Apabila sifatnya sudah eksklusif, maka mereka tidak mampu menerima masukan dari orang lain. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, golongan tersebut bersifat sombong (takabbur) dan merasa diri paling benar. Apabila sudah bersifat takabbur dan merasa diri paling benar, maka sama saja apakah ia diperingatkan atau tidak, ia akan tetap pada pendirian yang ia yakini. Seperti halnya kekafiran. Kafir dalam bahasanya merupakan penutup. Oleh karena ia menutup diri dari kebenaran, maka ia tidak mendapatkan kebenaran. Fanatisme golongan akan meniadakan persatuan. Padahal, umat Islam merupakan umat yang bersatu. Umat Islam disatukan dalam kalimat tauhid, syahadat. Orang yang telah bersyahadat
1 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
atas Allâh subhanahu wata'ala sebagai tuhannya dan Muhammad shallallah 'alaihi wasallam sebagai utusan Allâh, maka darahnya haram dan kehormatannya harus dijaga. Apabila ada yang menyakiti orang muslim maka senyatanya ia menyakiti Rasûlullâh. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya bagaikan satu jasad. Apabila organ tubuh lain ada yang sakit, maka organ tubuh yang lainnya merasakan sakit. Oleh karena itu, perbedaan dalam masalah furû’iyyah bukan merupakan hal prinsip yang tidak perlu dibesar-besarkan apalagi fatanis. Namun demikian, sudah sepatutnya ukhuwah islamiyah diikat dengan al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Apabila semua golongan dalam Islam sudah memahami dan berpegang teguh pada keduanya dengan semestinya, maka tidak ada pertentangan. Adanya pertentangan hanyalah karena perbedaan dalam penafsiran. Untuk memahami perbedaan penafsiran, maka perlu diadakan langkah dialogis dan musyawarah. Kedua langkah tersebut tidak akan terwujud bila tidak ada ukhuwah (solidaritas) dan keterbukaan. Oleh karena itu, ukhuwah merupakan hal urgen agar keterbukaan dan saling pengertian di antara golongan dapat terwujud. Dari segi bahasa ukhuwah diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Boleh jadi perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.[1] Dalam al-Qur’ân kata akh (saudara) yang membentuk kata ukhuwah disebutkan sebanyak 52 kali dengan maksud yang berbeda-beda. Sebagai contoh; pertama, saudara kandung atau saudara seketurunan (QS al-Nisâ’ [4]: 23). Kedua, saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga (QS Thâhâ [20]: 20-30). Ketiga, saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama (QS alA’râf [7]: 65). Keempat, saudara se-masyarakat, walaupun berselisih faham (QS Shâd [38]: 23) dan juga seperti dalam hadits unshur akhâka dzâliman au madzlûman (tolonglah saudaramu baik ia aniaya maupun teraniaya). Kelima, persaudaraan seagama (QS al-Hujurât [49]: 13)[2]. Dari pembagian tersebut, paling tidak al-Qur’ân memperkenalkan empat ukhuwah kepada umat manusia. Pertama, ukhuwah ubûdiyyah, makhluk seketundukan yang ibadah kepada Allah. Kedua, ukhuwah insâniyyah (basyariyyah) dalam arti bahwa manusia berasal dari seorang ayah dan ibu. Ketiga, ukhuwah wathâniyyah wa al-nasb yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Keempat, ukhuwwah fî dîn al-Islâm, persaudaraan antar sesama Muslim.[3] Dari penjelasan tersebut, nampak bahwa ukhuwah merupakan jalinan hubungan yang menitikberatkan adanya persamaan baik keturunan, kebangsaan, agama maupun kemanusiaan. Dengan demikian, setelah kita memotret arti ukhuwah, kita mampu mengenali satu sama lain. Hal ini penting untuk diketahui karena sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa kata ukhuwah awalnya berasal dari kata “memperhatikan”. Kata ini mengindikasikan bahwa dalam rangka membina hubungan (ukhuwah), kita perlu memperhatikan aspek kebangsaan, keagamaan, keturunan, dan kemanusiaan. Keempat hal tersebut dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk membentuk solidaritas yang kuat.
2 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
SISI NEGATIF DAN POSITIF ASHABIYAH Seperti yang telah disebutkan di atas, ukhuwah dalam arti umum dapat terbentuk karena empat macam persamaan baik keturunan, kebangsaan, agama maupun kemanusiaan. Dengan kata lain, ukuwah dapat terjalin karena persamaan keturunan. Sebagai contoh keturunan Nabi Adam, keturunan Bani Israil atau keturunan keluarga tertentu. Ukhuwah juga terbentuk karena suatu kebangsaan, misalnya Indonesia. Ukhuwah juga dapat terbentuk karena ukhuwah keagamaan, misalnya tali persaudaraan karena persamaan agama, misal Muslim-Muslim, Kristen-Kristen atau agama lain. Di samping itu, ukhuwah juga terwujud karena ada rasa kemanusiaan. Bila keempat potensi tersebut dapat dikelola dengan baik, maka akan melahirkan sebuah kekuatan. Namun apabila potensi tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka akan terjadi perpecahan. Perpecahan dapat terjadi bila potensi “persaudaraan” tidak dibina dengan baik. Sama halnya dengan ukhuwah yang terjadi di kalangan umat muslim. Umat muslim dapat menjadi umat yang kuat bila mampu mengelola persaudaraan sesama (ukhuwah islamiyah) dengan baik. Namun, potensi “persaudaraan” pun dapat menjadi petaka bila potensi persaudaraan dihinggapi dengan virus-virus yang dapat menghancurkan persaudaraan. Di antara virus yang dapat menghancurkan persaudaraan adalah firqâtiyyah dan ‘ashabiyyah (fanatisme golongan). Kata ‘ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya dzalim maupun tidak, dari siapapun yang menyerang mereka. Menurutnya, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka dzalim[4]. Sementara itu, dalam tataran yang lebih luas secara sosial, banyak hadits yang melarang kaum Muslim untuk menyerukan perpecahan atas dasar ‘ashabiyah. Di antaranya sabda Nabi berikut:
?????? ?????? ???? ????? ????? ??????????? ???????? ?????? ???? ??????? ????? ??????????? ???????? ?????? ???? ????? ????? ??????????? “Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyah, tidak termasuk golong kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah, dan tidak termasuk golongan kami orang yang mati di atas dasar ‘ashabiyah” (HR Abû Dawud). Meskipun demikian, tidak selamanya ‘ashabiyyah bersifat negatif. Dikutip oleh Jhon L Esposito[5], Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah-nya menyebutkan bahwa ‘ashabiyyah dibagi dua, negatif dan positif. Ibnu Khaldun membagi istilah ‘ashabiyah menjadi dua macam pengertian. Pertama, ‘ashabiyyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (selfinterest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong
3 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban Islam dan dunias. Kedua, ‘ashabiyyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki dalam Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama. ‘Ashabiyyah yang bersifat negatif inilah yang harus dihindari umat muslim dalam berislam. Sifat negatif ‘ashabiyyah semacam ini akan memecah belah keutuhan umat Islam.
TOLERANSI UNTUK KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA Persoalan kerukunan antar umat beragama merupakan hal yang tidak akan ada habisnya. Selama manusia ada di muka bumi, kerukunan akan senantiasa didamba, namun kerukunan tersebut kadang tercerabut sehingga menimbulkan perpecahan dan disharmonisasi. Ada kelompok yang mengklaim dirinya lebih baik sembari menyalahkan bahkan mengolok-olok kelompok lain. Hal ini menimbulkan keretakan hubungan di kalangan umat beragama. Sehingga, tidak heran apabila pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan. Beberapa kasus disharmoni antar kelompok telah mewarnai kehidupan peradaban dunia. Bila kita menengok masa lalu, akan kita jumpai kasus Bosnia, umat Ortodoks, Katolik dan Islam saling bunuh. Di Sudan, umat Kristen dan Islam saling angkat senjata. Itulah sekelumit sejarah yang diharapkan tidak terjadi lagi di masa mendatang karena umat manusia telah memahami bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan yang harus disikapi dengan arif. Kenyataan yang terjadi di masa sekarang adalah terkotak-kotaknya potensi kerukunan pada masing-masing kelompok. Padahal, bila kita memahami perbedaan secara bijaksana, kita akan mampu menjaga harmoni dan ukhuwah. Ahmad Wahib menyatakan bahwa pluralitas merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak hanya sampai titik itu, potensi keberagamaan merupakan potensi kerukunan yang bisa dipersatukan sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika. [6] Menjadi kenyataan tak terbantahkan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang plural, jamak dan bermacam-macam. Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa melimpah ruah baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan berbagai karakteristiknya. Semua merupakan sebuah modal. Andai modal ini dikelola dengan baik, maka akan menjadi sebuah kekuatan yang besar. Sama halnya dengan proyek kerukunan antar umat beragama, Indonesia merupakan negara multi religion. Ada enam agama yang diakui secara resmi oleh negara. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang mengharuskan adanya kerukunan. Namun kerukunan ini akan tidak mudah untuk diraih apabila tidak ada proyeksi untuk toleransi. Dengan demikian, toleransi merupakan hal yang tidak boleh tidak ada. Toleransi merupakan sikap saling menghormati karena berbeda keyakinan agama. Dalam konteks Islam dengan Islam, maka hal yang patut
4 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
dijunjung tinggi adalah prinsip musyawarah dan ukhuwah islamiyah.
UKHUWAH ISLAMIYAH UNTUK PERSATUAN UMAT Umat Islam sudah selayaknya menyadari dengan sebenar-benarnya bahwa dalam Islam memelihara ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap Muslim. Oleh karena itu, tidak peduli atau bahkan merusak hubungan ukhuwah islamiyah adalah perbuatan dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk kewajiban-kewajiban yang lain. Kewajiban memelihara ukhuwah islamiyah ini didasarkan pada sejumlah nash al-Qur’ân maupun al-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allâh yang artinya: ”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujurât [49]: 10). Dari ayat di atas tersurat bahwa siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara, karena dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak dari beberapa hal penting, yakni: Pertama, digunakannya kata ikhwah daripada kata ikhwân yang merupakan jamak dari kata akhun (saudara). Kata ikhwah dan ikhwân dalam pemakaiannya bisa saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwân untuk menunjuk kawan atau sahabat[7]. Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa ukhuwah kaum Muslim itu lebih kuat daripada persahabatan atau perkawanan biasa. Kedua, ayat ini diawali dengan kata innamâ. Meski secara bahasa, kata innamâ tidak selalu bermakna hasyr (pembatasan), kata tersebut dalam ayat ini memberi makna hasyr. Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir[8]. Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah islamiyah lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuwah islamiyah tidak terputus karena perbedaan nasab[9]. Bahkan persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan (aqidah) Islam[10]. Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia hanya memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh mewarisi hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum Muslim. Sebaliknya, jika saudaranya yang kafir itu meninggal, ia tidak boleh mewarisi harta saudaranya itu[11]. Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak dan saudara mereka (QS al-Taubah [9]: 23). Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian dan
5 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk mencari solusinya pada hukum Allâh dan RasulNya[12]. Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling sedikit terjadinya persengketaan. Jika dua orang saja yang bersengketa sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari dua orang[13]. Digunakannya kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna, bahwa sengketa atau pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari tubuh kaum Muslim. Mereka tetap disebut saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut dua kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhâf-kannya kata akhaway dengan kum (kalian, pihak yang diperintah) lebih menegaskan kewajiban ishlâh (mendamaikan) itu sekaligus menunjukkan takhshîsh (pengkhususan) atasnya[14]. Artinya, segala sengketa di antara sesama Mukmin adalah persoalan internal umat Islam, dan harus mereka selesaikan sendiri. Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thâ’ifatâni min al-Mu‘minîna iqtatalû (jika ada dua golongan dari kaum Mukmin berperang). Kata thâ’ifatâni (dua golongan) dapat membuka celah kesalahan persepsi, seolah ishlâh hanya diperintahkan jika dua kelompok berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak sampai berperang (iqtatalû) seperti hanya saling mencaci dan memaki, dan tidak menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlâh. Karena itu, firman Allâh I bayna akhawaykum itu menutup celah salah persepsi itu. Jadi, meski yang bersengketa hanya dua orang Muslim dan masih dalam taraf yang paling ringan, ishlâh harus segera dilaksanakan[15]. Selanjutnya Allâh I berfirman: wattaqû Allâh la‘allakum turhamûn (dan bertakwalah kalian kepada Allâh supaya kalian mendapat rahmat). Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh dan semua perkara. Dalam melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat dengan kebenaran dan keadilan; tidak berbuat dzalim dan tidak condong pada salah satu pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan oleh Islam[16]. Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Allâh, yakni ber-tahkîm pada syariah. Dengan begitu, mereka akan mendapat rahmat-Nya. Disamping itu, Allâh memerintah kepada umat Islam untuk berpegang teguh pada tali agama Allâh. Sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran [3] ayat 103. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhmusuhan, Maka Allâh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allâh, orangorang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS Ali Imran [3]: 103). Imam Ibnu Katsir[17] menyatakan bahwa tali Allâh (habl Allâh) adalah al-Qur’ân yang diturunkan dari langit ke bumi. Siapapun yang berpegang teguh pada al-Qur’ân berarti ia berjalan di atas jalan lurus. Ayat tersebut merupakan perintah Allah I kepada mereka untuk
6 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
berpegang pada al-jamâ‘ah dan melarang mereka dari tafarruq (bercerai-berai). Dari sini terang sekali, bahwa keterceraiberaian tersebut disebabkan tidak dijadikannya Islam sebagai pegangan dalam mengatur kehidupan. Oleh karena itu, dalam konteks internal umat islam, maka yang menjadi pegangan dalam berislam adalah al-Qur’ân. Apabila semua masyarakat muslim telah menjadikan al-Qur’ân dengan pemahaman yang utuh (holistik) maka akan timbul tali persaudaraan yang kuat. Kekuatan itu muncul karena persamaan landasan, persamaan ideologi dan persamaan dalam akidah islamiyah. IKHTITÂM Bangsa Indonesia merupakan masyarakat plural, terdapat berbagai macam ras, suku, agama dan etnis. Dalam golongan-golongan pun tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan. Dalam kehidupan masyarakat yang seperti itu, keharmonisan harus tetap terjaga. Dengan keharmonisan, ukhuwah secara umum maupun ukhuwah islamiyah akan tetap terjaga. Salah satu yang menguatkan ukhuwah adalah menghormati perbedaan (toleran), tidak memaksakan kehendak, tidak fanatik terhadap golongan secara membabi-buta, apalagi mengkafirkan golongan lain yang sesama muslim. Ukhuwah islamiyah di tengah perbedaan dan pluralitas perlu disikapi dengan arif dan bijaksana. Ukhuwah islamiyah harus bersandar pada nilai yang satu yakni nilai-nilai keislaman. Bila semuanya berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman, maka semuanya memiliki nilai yang sama. Dengan kesamaan tersebut, muslim akan kuat, sekata dalam kekuatan. Landasan dan pegangan yang di jadikan pedoman untuk bersatu adalah tali Allâh (Islam).[] MARÂJI’ Al-Alusî, Rûh al-Ma’ânî, XIII/303. Andalusî, Abû Hayyan al-. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1993 M. VIII/111. Halbi, Samin al-. Al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Maknûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1994 M. 6/170. Al-Qasîmî. Mahâsin at-Ta’wîl. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1997 M. VIII/529 Al-Qurthubî. Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1993 M. VIII/212 Râzi, Fakhr al-Dîn al-. Mafâtîh al-Ghayb (al-Tafsîr al-Kabîr). Beirut: Dar al-Fikr. 1993 M Râzi, Fakhr al-Dîn al-. Mafâtîh al-Ghayb. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. 1990 M. XIV/11 Râzi, Fakhr al-Dîn al-. . Mukhtâr ash-Shihâh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1992 M
7 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Al-Shâbunî. Shafwah al-Tafâsir. Beirut: Dâr al-Fikr. 1996 M. III/217 Zuhayli, Wahbah al-.. Tafsîr al-Munîr, Beirut: Dâr al-Fikr. 1991 M. 25/239. Effendi, Djohan. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. 2003 M Esposito, Jhon L. (ed). Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I. Bandung: Penerbit Mizan. 2001 M Ibnu Mukarram, Ibnu Mandhur Muhammad. Lisan al-'Arab. Beirut: Dâr Ihyâ' Al-Turâts Al-'Arabi. 1408 H. Katsir, Ibnu. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1999 M. Vol. 8. Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’ân. Bandung: Penerbit Mizan. 2007 M.
* Staf Pengajar di Universitas Negeri Semarang
[1] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hlm. 639.
[2] Ibid. hlm. 642.
[3] Ibid.
[4] Ibnu Mandhur Muhammad bin Mukarram, Lisan Al-'Arab, (Beirut: Dâr Ihya' Al-Turats
8 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Al-'Arabi, 1408 H), hlm 606.
[5] Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), Jilid I, hlm. 198.
[6] Djohan Effendi, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 160.
[7] Abû Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), VIII/111; Samin al-Halbi, Al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Maknûn, (Beirut: Dâr al-Kutub alIlmiyyah, 1994), 6/170; Al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), hlm. 29
[8] Al-Shabuni, Shafwah at-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), III/217; Al-Razi, Mafâtîh alGhayb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), XIV/11; Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr 1991), XXV/239.
[9] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), VIII/212
[10]Al-Shabuni, Shafwah at-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), III, hlm. 217.
9 / 10
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[11] Al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), XIV, hlm. 111.
[12] Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), VIII/529
[13] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XIII/303; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, VIII/111.
[14] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî , XIII/303.
[15] Al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XIV/111.
[16] Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XXV/239.
[17] Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, I/477.
10 / 10 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)