Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
AKHMAD KUNIO FADLULLAH PRATOPO Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Isu perubahan iklim merupakan isu global yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. Namun diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi dan melakukan analisis risiko perubahan iklim. Penilitian ini mengambil wilayah studi DKI Jakarta, hal ini dikarenakan Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian Indonesia sehingga dirasa perlu untuk menganalisis risiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Dalam mengindentifikasi perubahan iklim yang telah terjadi, dilakukan pendekatan Meehl dengan menganalisis parameter curah hujan dan temperatur antar dua periode yakni periode baseline (1960-1990) dan periode masakini (1991-2007). Sedangkan untuk memproyeksikan curah hujan dan temperatur dari tahun 2013 sampai 2035 menggunakan model GCM yang telah di downscaling menggunakan deltha method. Hasil keluaran proyeksi ini menujukkan kenaikan curah hujan pada bulan Januari dan penurunan pada bulan Agustus, diikuti kenaikan temperatur permukaan. Kata kunci: Deltha method, GCM, Iklim, Pendekatan Meehl
1.
Pendahuluan
Perubahan iklim dan dampaknya merupakan salah satu topik yang kini sering diperbincangkan oleh masyarakat global. Terlebih sejak IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yaitu sebuah lembaga khusus yang mengkaji perubahan iklim, didirikan oleh WMO (World Meteorological Organization) dan UNEP (United Nations Environmental Program) tahun 1988, isu perubahan iklim ini mempengaruhi berbagai macam kebijakan pembangunan di semua negara, termasuk Indonesia. Hal ini tidaklah berlebihan karena dampak dari perubahan iklim ini dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Salah satu contoh kajian yang mendukung hal ini adalah punahnya suku Maya di Amerika Tengah pada tahun 950 masehi. Kepunahan suku ini diakibatkan adanya perubahan iklim yang menyebabkan kemarau panjang, sehingga persediaan air berkurang dengan cepat (Peterson and Haug, 2005). Penyebab utama dari adanya perubahan iklim adalah naiknya temperatur permukaan rata-rata yang disebabkan oleh gas rumah kaca seperti karbondioksida, metana, dan nitrogen-oksida. Konsentrasi gas rumah kaca ini meningkat tajam seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan indsutri global seperti diperlihatkan pada Gambar 1.1.
Gambar Error! No text of specified style in document..1 Perkembangan konsentrasi gas-gas rumah kaca di dalam atmosfer selama 2000 tahun. (Sumber : IPCC, 2007) Kenaikan suhu permukaan bumi (Gambar 1.2) yang dikenal dengan global warming menyebabkan perubahan pola iklim. Perubahan pola iklim ini menyebabkan tidak menentunya kondisi iklim, dampak perubahan iklim adalah perubahan distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal serta memicu peningkatan peluang kejadian cuaca dan iklim ekstrem (Trenberth et al, 2003).
tinggi, terutama menyangkut hasil keluaran (output) model iklim global (e.g. Schneider, 2001). 2.
Data dan Metode
Untuk menganalisis perubahan iklim dari data historis serta memproyeksikan curah hujan dan temperatur di DKI Jakarta, maka diperlukan data-data historis klimatologi (data curah hujan dan temperatur). Untuk selengkapnya, data yang dibutuhkan untuk penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut: a.
Data curah hujan wilayah di DKI Jakarta dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). b. Data temperatur, sebagai input dalam metode proyeksi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). c. Data GCHN (Global Historical Climatogical Network) untuk melengkapi data temperatur Gambar Error! No text of specified style in document..2 Estimasi kenaikan temperatur rata-rata dan curah hujan yang ada. global. d. Data simulasi proyeksi global GCM (Global (Sumber : IPCC, 2007) Circulation Model) dari www.ipcc-data.org. e. Data time series proyeksi GCM dari http://www-pcmdi.llnl.gov/ (Program for Banyaknya dampak negatif yang diakibatkan oleh Climate Model Diagnosis and perubahan iklim sehingga diperlukan kegiatan mitigasi Intercomparison). (dalam bentuk pengurangan gas rumah kaca) dan adaptasi (dalam bentuk strategi pembangunan yang Sedangkan untuk metode dibagi dalam tiga tahap yakni: dapat mereduksi dampak negatif perubahan iklim). Rencana mitigasi dan adaptasi ini banyak i. Analisis Kondisi Iklim Saat Ini mempertimbangkan banyak faktor karena implementasinya akan mempengaruhi perkembangan Analisis kondisi iklim saat ini di fokuskan kepada pembangunan ekonomi yang berdampak langsung kemungkinan adanya cuaca ekstrem dan peningkatan kepada masyarakat luas. curah hujan di DKI Jakarta yang menyebabkan bencana banjir pada Februari 2007. Dalam analisis ini data Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di dunia dan hitoris digunakan analisis CDF (Cumulative merupakan ibukota Indonesia dan pusat perekonomian Distribution Functions) untuk mengetahui peluang di Indonesia. Dibutuhkan suatu kajian akademik yang terjadinya curah hujan ekstrem tahun 2007 dan lebih mendasar karena penyusunan strategi adaptasi pengklasifikasian kondisi tahun basah (15% teratas) terhadap perubahan iklim haruslah berlandaskan kepada yang didefinisikan oleh kurva CDF. kajian kerentanan dan risiko secara lebih seksama. Di pihak lain, kajian kerentanan dan risiko harus ii. Analisis Kondisi Iklim Berdasarkan Data Historis didasarkan kepada hasil kajian mengenai pola dan besaran perubahan iklim pada lokasi yang spesifik, baik Analisis yang digunakan adalah metode statistik untuk pada waktu sekarang maupun yang akan datang. mencari rata-rata yang dapat digolongkan dalam metode Exploratory Data Analysis (EDA). Hasil dari analisis Proyeksi curah hujan dan temperatur ini adalah langkah EDA ini dipakai dalam pendekatan Meehl (2000), yakni awal dalam strategi adaptasi perubahan iklim. Hasil dengan membandingkan parameter statistik dasar (rerata proyeksi curah hujan dan temperatur ini diperlukan dan variansi) untuk melihat apakah ada perubahan yang dalam kegiatan adaptasi yang lain, seperti signifikan dari periode baseline dengan periode memproyeksikan neraca sumber daya air yang masakini. Periode baseline yang digunakan adalah dari membutuhkan proyeksi curah hujan dan temperatur tahun 1960-1990 sedangkan periode masakini adalah implikasi dari perubahan iklim. Analisis dan proyeksi dari tahun 1991-2007. perubahan iklim perlu dilakukan secermat mungkin karena isu ini terkait dengan aspek ketidakpastian yang
iii. Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Penggunaan data keluaran GCM untuk proyeksi iklim memerlukan suatu langkah pengolahan yang dikenal sebagai metode downscaling. Berikut adalah penjelasan secara ringkas pengerjaan downscaling keluaran model GCM: · Dalam pemilihan metode/skema downscaling perlu diperhatikan tujuan dan sasaran dari pekerjaan yang akan dilakukan. Karena hal ini terkait dengan sumberdaya, waktu dan kepakaran. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan adalah kuantitas dan kualitas data yang tersedia, baik itu data observasi maupun data keluaran GCM. Penjelasan mengenai metode downscaling ini lebih lengkap dapat dilihat di dalam Wilby (2004). · Secara umum terdapat dua metode downscaling, yaitu dynamical downscaling dan statistical downscaling. Penggunaan statistical downscaling lebih memungkinkan untuk diterapkan dengan sumberdaya yang terbatas. Aplikasi dari statistical downscaling dalam bentuk software telah tersedia (e.g., San-Martin et al., 2008). Namun kendala utama dalam penerapan metode ini adalah ketersediaan data observasi yang pada umumnya tidak lengkap untuk wilayah Indonesia. · Dalam keperluan analisis dampak dan penilaian resiko perubahan iklim dapat digunakan metode statistical downscaling yang lebih sederhana tetapi tetap berdasarkan kaidah ilmiah yang teruji. Dalam pengerjaan tugas akhir ini, metode statistical downscaling yang digunakan adalah deltha method. Asumsi dan pendekatan yang digunakan dalam metode ini untuk proyeksi perubahan iklim di DKI Jakarta adalah sebagai berikut: · Pemilihan dan pemakaian ouput GCM berdasarkan kajian literatur mengenai pengujian output GCM di daerah tropis. Menurut Annamalai et al. (2006) terdapat empat model yang baik dalam mensimulasikan ENSO-Monsoon yaitu: (1) ECHAM5 (Jerman), (2) MRI (Jepang), (3) GFDL2.0 (Amerika Serikat) dan (4) GFDL2.1 (Amerika Serikat). Selain data GCM tersebut terdapat data yang GCM yang berhasil didapatkan yakni CSIRO Mk2 (Australia). Model-model tersebut menyediakan data proyeksi iklim (temperatur dan curah hujan) dari tahun 2001-2100. · Rata-rata (ensemble) dari keluaran model global memberikan hasil yang lebih baik daripada masing-masing model (Reichler, 2008). Maka dalam proyeksi perubahan iklim di DKI Jakarta menggunakan data rata-rata ensemble tetapi berdasarkan kecocokan
pola komposit antara rata-rata ensemble dengan observasi untuk periode baseline (1960-1990). Setelah didapatkan kombinasi keluaran model yang terbaik maka dihitung selisih antara nilai proyeksi dengan rata-rata baseline perdata pada bulan yang sama. Nilai proyeksi curah hujan dan temperatur diperoleh dari menambahkan selisih tiap-tiap model dengan ratarata baseline pengamatan. Selanjutnya dilakukan validasi hasil proyeksi curah hujan dan temperatur dengan data observasi periode 2001-2007. Hal ini dilakukan untuk memvalidasi hasil keluaran downscaling GCM apakah dapat meperlihatkan pola curah hujan dan temperatur di wilayah Jakarta serta dapat digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2035. Gambar 2.1 menujukkan diagram alir dalam meproyeksikan curah hujan dan temperatur.
Gambar 2.1 Diagram alir proyeksi curah hujan (KLH, 2008) Analisis proyeksi dilakukan secara transient experiment dan time slice. Analisis transient experiment lebih ditujukkan untuk memahami variasi temporal suatu parameter iklim dalam periode tertentu untuk kejadian ekstrem. Sedangkan analisis time slice digunakan untuk mengetahui pola iklim rata-rata pada suatu periode tanpa terlalu melihat variasi temporal secara detil. Untuk analisis transient experiment dilakukan terhadap data proyeksi tahunan dari tahun 2013 hingga tahun 2020 untuk melihat variansi curah hujan dari tahun ke tahun untuk langkah adaptasi jangka pendek terhadap curah hujan ekstrem, karena daerah Jakarta sering terjadi curah hujan ekstrem yang menyebabkan bencana banjir. Analisis time slice sendiri dilakukan terhadap data proyeksi dari tahun 2020 hingga tahun 2035. Sehingga analisis time slice ini dilakukan untuk melihat trend lima tahunan dari periode 2020-2025, periode 2025-2030 dan periode 2030-2035.Analisis ini digunakan untuk langkah adaptasi 5 tahunan.
3. Pembahasan 3.1 Analisis Kondisi Iklim Saat Ini Analisis kondisi iklim saat ini untuk mengklarifikasikan keberadaan curah hujan ekstrem awal bulan Februari 2007 yang menyebabkan bencana banjir (BAPPENAS, 2007). Idealnya untuk menganalisis curah hujan ekstrem ini diperlukan data curah hujan harian Februari dari periode 1960 hingga 2007 namun karena tidak tersedianya data curah hujan harian khususnya untuk periode 1960 hingga 1990, maka analisis dilakukan terhadap curah hujan bulanan bulan Februari periode 1960 hingga 2007. Curah hujan ekstrem terjadi di seluruh wilayah Jakarta, curah hujan wilayah Jakarta bulan Februari periode 1960-2007 adalah sebesar 354 mm meningkat menjadi sebesar 678 mm pada tahun 2007. Untuk melihat peluang (probabilitas) terjadinya curah hujan ekstrem pada tahun 2007 maka dilakukan analisis CDF (Cumulative Distribution Functions) terhadap data curah hujan bulanan bulan Februari. Dapat dilihat pada Gambar 4.5 bahwa peluang terjadinya curah hujan ekstrem pada tahun 2007 sebesar 678 mm/bulan selama periode 1960-2007 adalah 2.63%. Jika dilihat pada peluang terjadinya maka curah hujan ekstrem ini sangat jarang terjadi, namun jika terjadi maka dampaknya akan sangat terasa bagi seluruh sektor di semua wilayah Jakarta seperti tahun 2007. Dilakukan analisis lebih lanjut terhadap pola curah hujan bulanan bulan Februari periode 1960-2007. Analisis ini berdasarkan klasifikasi kondisi tahun basah (15% teratas) yang didefinisikan oleh kurfa CDF. Dari Gambar 3.1 diperoleh batas minimal curah hujan bulanan untuk kondisi tahun basah sebesar 493 mm. Terjadi kenaikan kondisi tahun basah dari periode baseline (1960-1990) ke periode masakini (1991-2007). Pada periode baseline (1960-1990) terjadi dua kali kondisi tahun basah yaitu pada tahun 1971 dan 1977. Sedangkan pada periode masakini (1991-2007) terjadi lima kali kondisi basah yaitu pada tahun 1996, 2002, 2004, 2006 dan 2007. Berdasarkan analisis ini, maka terjadi bahaya peningkatan curah hujan pada bulan Februari yang semakin tinggi yang ditunjukkan dengan peningkatan kodisi basah dari periode baseline ke periode masakini.
Gambar 3.1 Grafik Cummulative Distribution Function (CDF) curah hujan bulanan bulan Februari periode 1960-2007. 3.2 Analisis Kondisi Iklim Dari Data Historis Seperti telah dijelaskan sebelumnya, untuk dapat mengidentifikasi adanya perubahan iklim, kita perlu membandingkan parameter statistik data iklim (curah hujan dan temperatur) untuk dua periode iklim yang berbeda yaitu periode baseline dengan periode masakini. Gambar 3.2 memperlihatkan grafik komposit rata-rata curah hujan bulanan untuk periode baseline 1960-1990 dengan periode masakini 1991-2007. Dari gambar ini dapat terlihat jelas adanya perubahan pola curah hujan pada bulan basah dan bulan kering. Jika dibandingkan dengan baseline, curah hujan di bulan Januari, Desember (musim penghujan) serta di bulan Agustus, September (musim kering) cenderung berkurang. Sedangkan di bulan-bulan Oktober, November (musim transisi) dan bulan Februari (musim penghujan) cenderung naik. Perlu diperhatikan juga adanya kenaikan variansi yang cukup besar untuk curah hujan di bulan-bulan Februari, Oktober dan November.
Gambar 3.2 Grafik komposit rata-rata bulanan curah hujan berdasarkan data observasi untuk periode baseline 1960-1990 (merah) dan masakini 1991-2007 (biru). Garis vertical (error-bar) menunjukkan standar deviasi.
Selain perubahan curah hujan, dari Gambar 3.3 terlihat pula adanya peningkatan temperatur rata-rata pada hampir setiap bulan. Perubahan maksimum berkisar 0.60C terdapat pada bulan Januari. Adanya peningkatan standar deviasi untuk setiap bulan juga dapat terlihat. Meskipun data pengamatan dengan jelas mempelihatkan kenaikan temperatur permukaan data-data wilayah Jakarta, sulit untuk mengatakan apakah perubahan iklim ini dapat dikaitkan dengan pemanasan global. Untuk penyusunan rencana adaptasi, pengungkapan perubahan iklim yang sedang terjadi lebih penting daripada hal yang menyebabkan perubahan iklim.
Jakarta, maka dapat dikatakan bahwa bahaya perubahan iklim saat ini adalah penurunan curah hujan pada bulan Januari dan peningkatan curah hujan bulan Februari.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.3 Grafik komposit temperatur berdasarkan data observasi untuk periode baseline 1960-1990 (merah) dan 1991-2007 (biru). Garis vertikal (errorbar) menunjukkan standar deviasi. Untuk dapat lebih memahami aspek bahaya perubahan iklim yang tengah berlangsung saat ini, dilakukan analisis lebih lanjut terhadap data pengamatan curah hujan dengan cara mengklasifikasikan kondisi kering, normal dan basah. Klasifikasi dilakukan berdasarkan nilai fungsi distribusi peluang empirik (empirical distribution function atau CDF). Gambar 3.4 memperlihatkan pola curah hujan berdasarkan klasifikasi untuk data tahunan. Ini berarti masingmasing komposit tahun-tahun kering (15% terbawah), normal (antara 15-85%), dan basah (15% teratas) yang didefinisikan oleh kurva CDF. Dapat dilihat bahwa kondisi periode baseline (19601990) tidak banyak berbeda dengan kondisi rata-rata seluruh tahun (1960-2007). Namun demikian, jika dilihat periode 1991-2007, maka perbedaan pola curah hujan yang sangat terlihat pada bulan-bulan Januari dan Februari. Terjadi kenaikan curah hujan dari bulan Januari ke bulan Februari pada tahun basah dan tahun kering, hal ini perlu diwaspadai karena curah hujan bulan Februari kondisi normal periode baseline sekitar 300 mm dan tidak terlalu jauh berbeda pada tahun basah yaitu sekitar 310 mm. Sedangkan pada periode masakini curah hujan bulan Februari pada kondisi normal meningkat menjadi 350 mm, bahkan pada kondisi basah curah hujan dapat mencapai 410 mm. Berdasarkan analisis data curah hujan yang diamati di wilayah
Gambar 3.4 Grafik (a) Cumulative Distribution Function (CDF) curah hujan tahunan wilayah Jakarta periode 1960-2007. Garisputus-putus merah menunjukkan batas pengelompokkan 15% ke bawah (kering) dan 85% ke atas (bawah), (b) pola curah hujan tahunan komposit tahun kering, normal, basah periode 1960-2007, (c) sama dengan (b) tetapi untuk periode 1960-1990, (d) sama dengan (b) tetapi untuk periode 1991-2007. Berdasarkan pendeketan Meehl yang pernah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk daerah Lombok pada tahun 2008 dan menggunakan indikator curah hujan dan temperatur, maka dapat dikatakan bahwa di wilayah Jakarta telah terjadi perubahan iklim.
3.3 Analisis Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur Dalam proyeksi iklim untuk wilayah Jakarta, terlebih dahulu menseleksi keluaran model GCM (Global Circulaton Model) yang cocok dengan komposit curah hujan maupun temperatur selama periode baseline observasi di wilayah Jakarta. Dalam hal ini model yang digunakan hanya lima, kelimanya adalah: (1) ECHAM5,
(2) GFDL2.0, (3) GFDL2.1, (4) MRI dan (5) CSIRO Mk.2. Gambar 3.5 memberikan ilustrasi mengenai kecocokan kualitatif antara model dengan pengamatan observasi baseline. Untuk curah hujan, kecocokan komposit paling baik didapatkan dari rata-rata model CSIRO, GFDCL CM2.0 dan GFDLCM2.1 dengan nilai korelasi (R) 0.97. Sedangkan untuk temperatur, ensemble GFDLCM2.1 dengan CSIRO memberikan pola kecocokan yang paling baik dengan nilai korelasi 0.86. Perlu diperhatikan bahwa kecocokan nilai kuantitatif tidak terlalu penting, karena nilai proyeksi yang akan diambil adalah selisih (deltha) terhadap baseline yang nantinya akan ditambahkan kepada nilai rata-rata baseline pengamatan.
(a) AVERAGE 2,3,5 AVERAGE 1-5 BASELINE
500 CH (mm)
400
Scenarios) B1, A1B, dan A2 yang masing-masing mewakili skenario emisi rendah (550 pm pada 2100), sedang (750 ppm pada 2100), dan tinggi (tidak mencapai stabilisasi). Dari Gambar 3.6 dapat terlihat bahwa hasil proyeksi dapat menggambarkan pola umum variasi curah hujan namun kurang akurat dalam mensimulasikan variabilitas nilai ekstrem seperti bulan Februari tahun 2002 dan 2007. Koefisien korelasi (R) antara keluaran model GCM dengan data observasi tahun 2001-2007 bernilai antara 0.64 hingga 0.68. Hasil korelasi ini terbilang cukup baik untuk proyeksi curah hujan, karena dalam penilitian lain yang dilakukan oleh Aksornsing dan Srinilta untuk proyeksi curah hujan di Thailand (2011), korelasi antara data proyeksi dengan data observasi berkisar antara 0.59 hingga 0.68. Begitupun yang dilakukan oleh Avia di Jakarta, nilai korelasi antara proyeksi curah hujan dengan data observasi sebesar 0.68.
(a)
(b)
300
200 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 BULAN
(b) 28.5
(c)
28
TEMP (c)
27.5 27 26.5 26 25.5
ENSEMBLE 3-5 baseline GFDLCM2.1
25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan Gambar 3.5 Perbandingan pola komposit curah hujan bulanan (kiri) dan temperatur (kanan) untuk ensemble keluaran GCM dan observasi. Nomor mewakili nama model seperti dijelaskan di dalam teks. Sebagai validasi, perbandingan hasil proyeksi curah hujan dan temperatur di wilayah Jakarta untuk tahun 2001-2007 dengan data pengamatan disajikan dalam Gambar 3.6 dan Gambar 3.7. Dalam hal ini, proyeksi iklim dilakukan dengan mengambil tiga skenario emisi global berdasarkan SRES (Special Report on Emissions
Gambar 3.6 Time series perbandingan antara hasil proyeksi curah hujan dan observasi untuk ketiga skenario IPCC: (a) curah hujan bulanan SRES B1, (b) curah hujan SRES A2, (c) curah hujan bulanan SRES A1B, Gambar 3.7 memperlihatkan validasi temperatur observasi dengan model proyeksi, secara umum ketiga skenario yang digunakan dapat menggambarkan pola umum variasi temperatur. Nilai korelasi (R) antara
ketiga skenario (B1, A1B dan A2) berkisar antara 0.620.71. Hasil ini cukup baik untuk pendekatan model proyeksi temperatur. Hal yang sama pernah dilakukan dilakukan oleh Aksornsing dan Srinilta di Thailand (2011), korelasi antara proyeksi temperatur dengan data observasi berkisar antara 0.6 hingga 0.84. Sedangkan berdasarkan Patrick White et al dari Aqua Climate, nilai korelasi (R) antara nilai proyeksi temperatur dengan data observasi berkisar 0.64 hingga 0.8.
(a)
(b)
Gambar 3.8 time series curah hujan bulanan bulan Januari di wilayah Jakarta periode baseline (19601990), periode masakini (1991-2007), proyeksi curah hujan untuk tahun 2013 sampai 2020 dan rata-rata proyeksi tahun 2020-2025, proyeksi tahun 2025-2030, dan proyeksi tahun 2030-2035. Terjadi penurunan curah hujan bulanan dari periode baseline (1960-1990) ke periode masakini (1991-2007). Curah hujan bulanan periode baseline sebesar 435 mm turun menjadi 354 mm di periode masakini. Kemudian naik kembali pada proyeksi curah hujan bulanan tahun 2013 menjadi 496 mm. Dengan besar curah hujan ini, maka tahun 2013 termasuk tahun basah sehingga memungkinkan terjadinya bencana banjir pada tahun 2013. Berdasarkan hasil proyeksi maka terdapat tahun-tahun yang kemungkinan terjadi bencana banjir yaitu pada tahun 2013 dan 2018. Dapat dilihat pada gambar 3.8 untuk analisis time slice, terjadi kenaikan pada pola trend lima tahunan dari trend tahun 2020-2025 ke tahun 2025-2030 dan mencapai puncaknya pada tahun 2030-2035.
Curah Hujan Jakarta (c)
600 500 400 300 200 100
CH Bulanan Januari Jakarta
0
Gambar 3.7 Time series perbandingan antara hasil proyeksi temperatur dan observasi untuk ketiga skenario IPCC: (a) curah hujan bulanan SRES A2, (b) curah hujan SRES A1B, (c) curah hujan bulanan SRES B1, dan (d) grafik nilai korelasi ketiga skenario dengan observasi.
Gambar 3.8 Time series curah hujan bulanan bulan Januari di wilayah Jakarta.
Maka dari beberapa penilitian tersebut maka model ini dapat digunakan untuk proyeksi kedepannya. Dengan demikian, skenario IPCC yang paling cocok dengan pola curah hujan di Jakarta adalah skenario A1B (emisi sedang) dengan tingkat kepercayaan 68%. Dan skenario yang paling cocok untuk proyeksi temperatur adalah skenario B1 (emisi sedang) dengan tingkat kepercayaan 71%.
Untuk proyeksi skenario terbaik untuk curah hujan dan temperatur berdasarkan validasi data dari tahun 2001 hingga 2007 adalah skenario A1B (skenario dengan emisi 750 ppm pada tahun 2100). Skenario A1B dipilih karena memiliki nilai korelasi (R) yang cukup baik untuk kedua parameter meteorologi yang dipakai yaitu curah hujan dan temperatur. Untuk nilai korelasi (R) untuk curah hujan sebesar 0.68 dan untuk temperatur 0.69. Setelah didapat skenario terbaik maka dianalisis proyeksi curah hujan dan temperatur mendatang di wilayah Jakarta.
Setelah divalidasi dengan data observasi dari tahun 2001 hingga tahun 2007, proyeksi model dilanjutkan untuk tahun 2013 hingga 2035. Dilakukan analisis Transient Experiment dan Time Slice. Dapat dilihat dari
Untuk melihat pola curah hujan tahunan maka dianalisis terhadap puncak bulan basah yaitu bulan Januari dan
pada puncak bulan basah dan makin kering pada puncak bulan kering) dan meningkatnya temperatur permukaan wilayah Jakarta.
Temperatur Rata-Rata 30 29.5
Temp (C)
puncak bulan kering yaitu bulan Agustus. Terjadi peningkatan curah hujan pada bulan Januari seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.9 terjadi kenaikan trend curah hujan dari tahun 2010 sampai 2035 dengan mengikuti persamaan y=2.028x - 3640. Namun hal yang berbeda terjadi di bulan Agustus (puncak musim kering). Dapat dilihat pada Gambar 3.10, terjadi trend penurunan pola curah hujan dari tahun 2010 sampai tahun 2035 dengan mengikuti persamaan y = -0.8586x + 1783.
Curah Hujan Bulan Januari
28.5 Temperatur Rata-Rata Skenario B1
28
500
CH 2030an A1B
200 100
2034
2030
2026
2022
2018
300
2014
27.5
400
2010
CH (mm)
600
29
Tahun Gambar 3.11 Time series temperatur permukaan ratarata tahunan di wilayah Jakarta dari tahun 2010-2035.
2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 2031 2034
0 Tahun Gambar 3.9 Time series curah hujan bulan Januari di wilayah Jakarta dari tahun 2010-2035.
Curah Hujan Bulan Agustus
CH (mm)
150 CH 2030an A1B
100 50
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan proyeksi curah hujan dan temperatur di wilayah Jakarta diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terjadi perubahan pola curah hujan dan temperatur dari periode baseline (1960-1990) ke periode masakini (1991-2007). 2.
Perubahan paling signifikan adalah menurunnya curah hujan bulan Januari dan meningkatnya curah hujan pada bulan Februari.
3.
Terjadi peningkatan temperatur permukkan dari periode baseline (1960-1990) ke periode masakini (1991-2007).
4.
Berdasarkan pendekatan Meehl (2000) yakni dengan membandingkan parameter statistika dasar (rata-rata dan variansi) terhadap periode baseline dan periode masakini, maka Jakarta telah mengalami perubahan iklim.
5.
Peluang terjadinya curah hujan ekstrem pada Februari 2007 sebesar 2.63%. Meskipun jarang terjadi namun jika terjadi makan berdampak pada seluruh aspek di wilayah Jakarta.
6.
Terjadi peningkatan kondisi basah dari periode baseline ke periode masakini.
7.
Skenario terbaik untuk proyeksi curah hujan dan temperatur berdasarkan hasil validasi dari
2010 2013 2016 2019 2022 2025 2028 2031 2034
0
4.
Tahun
Gambar 3.10 Time series curah hujan bulan Agustus di wilayah Jakarta dari tahun 2010-2035. Sedangkan untuk proyeksi temperatur kedepannya, dilakukan analisis temperatur rata-rata tahunan dari tahun 2010 sampai tahun 2035. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.11 dibawah, trend temperatur permukaan rata-rata tahunan mengalami kenaikan mengikuti persamaan y = 0.0137x + 1.161. Maka potensi bahaya perubahan iklim yang akan terjadi dilihat dari trend pada puncak bulan basah, bulan kering dan temperatur permukaan adalah makin fluktuatifnya curah hujan di wilayah Jakarta (makin besar curah hujan
tahun 2001-2007, adalah skenario A1B (emisi sedang, 750 ppm pada 2100). 8.
Terjadi fluktuasi curah hujan (makin basah pada bulan basah dan makin kering pada bulan kering) serta peningkatan temperatur permukaan pada tahun-tahun mendatang. REFRENSI
Aksornsing, P., 2011: Statistical Downscaling for Rainfall and Temperatur Prediction in Thailand. Hong Kong. Bappenas. 2007: Laporan Perkiraan Kerusakan dan Kerugian Pasca Banjir Awal Februari 2007 Jabodetabek. Jakarta. Emissions Scenarios, I. 2000: A Special Report of Working Group III of The IPCC. Cambridge U.K.: Cambridge University Press. IPCC, 2001: Emission Scenarios: Special Report On Emissions Scenarios. Cambridge: Cambridge University Press. IPCC, 2000: Emissions Scenarios, A Special Report of Working Group III of The IPCC. Cambridge: Cambridge University Press. KLH, 2008: Analisis dan proyeksi curah hujan dan temperatur di Pulua Lombok. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. LAPAN, 2002: Perubahan Iklim Basis Ilmiah dan Dampaknya. Bandung: LAPAN. Mahmud, 2000: Skenario Perubahan Iklim Indonesia. Pelangi, 2004: Bumi Makin Panas Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi Indonesia. Susandi, A., 2006: Climate Change in Jakarta: Its Historical Study for Projection. Semarang: HAGI. Tjasyono, B. 1999: Klimatologi Umum. Bandung: Penerbit ITB. Trenberth, K. 2006: Estimates of the Global Water Budgets and Its Annual Cycle Using Observation and Model Data. Journal of Hydrometeorology . Trenberth, K. 2003: The Changing Character of Precipitation . Meteor.soc. Braak, C., 1929 : On The Climate of and Meteorological Research in The Netherlands Indies, Since in the Netherlands East Indies, Kon. Ak. Wet., I.C.O. Committee, pp. 50-64 (in Science and Scientists in the Netherlands Indies, ed. Pieter Honig and Frans Verdoorn, New York, 1945), diakses dari http://www.knaw.nl/CFdata/indonesia/honig_verdoorn_ contents.cfm , 8 April 2009. Broek, 1944 : Diversity and Unity in Southeast Asia, Geographical Review 34:175-195 (in Science and Scientists in the Netherlands Indies, ed. Pieter Honig
and Frans Verdoorn, New York, 1945), diakses dari http://www.knaw.nl/CFdata/indonesia/honig_verdoorn_ contents.cfm, 8 April 2009. IPCC-Task Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA), 2007 : General Guidelines on The Use of Scenario Data for Climate Impact and Adaptation Assessement, Version 2, pp. 66 Meehl, G.A., F. Zwiers, J. Evans, T. Knutson, L. Mearns, and P. Whetton, 2000 : Trends in extreme weather and climate events : Issues related to modeling extremes in projections of future clmate change, Bull. Amer. Met. Soc., 81(3), 413-416 Peterson, L., and G. Haug, 2005 : Climate and the Collapse of Maya Civilization : A series of multiyear droughts helped to doom an ancient culture, Sigma Xi, The Scientific Research Society, diaskses tanggal 25 Februari 2009 dari situs http://www.americanscientist.org/issues/num2/2005/4/cl imate-and-the-collapse-of-maya-civilization/1 San-Martin, D., A.S. Cofino, S. Herrera, and J.M. Gutierez, 2008 : The ENSEMBLES Statistical Downscaling Portal An End-to-End Tool for Regional Impact Studies, Preprint submitted to Environmental Modelling and & Software (1 July 2008). Schneider, S., 2002 : Can we estimate the likelihood of climatic changes at 2100?, Climatic Change, 52, 441-451 Wilby, R.L., S. Charles, L.O. Mearns, P. Whetton, E. Zorito, B. Timbal, 2004 : Guidelines for use of climate scenarios developed from statistical downscaling methods, IPCC Task Group on Data and Scenario Support for Impacts and Climate Analysis (TGCIA), (http://ipcc-ddc.cru.uea.ac.uk/ guidelines/StatDown_Guide.pdf) Wilks, D. S., 1995: Statistical Methods in the Atmospheric Sciences. Academic Press, 467 pp.