Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
STUDI PEMAKSIMALAN RESAPAN AIR HUJAN MENGGUNAKAN LUBANG RESAPAN BIOPORI UNTUK MENGATASI BANJIR (Studi Kasus: Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung) REZA WIJAYA KESUMA Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Berkurangnya areal resapan air mengakibatkan aliran permukaan akibat hujan meningkat sehingga menyebabkan banjir. Banjir yang melanda wilayah Bandung Selatan adalah akibat tidak tertampungnya debit air hujan yang mengalir ke sungai yang berada di daerah tersebut. Metode F. J. Mock dengan konsep water balance, dapat digunakan untuk menghitung aliran permukaan (direct runoff). Pengaruh curah hujan yang tinggi dan hutan sebagai penyerap air dapat berdampak pada besar kecilnya aliran permukaan. Hasil simulasi debit direct runoff tersebut digunakan sebagai acuan rekomendasi jumlah lubang resapan biopori yang dapat diterapkan di daerah Dayeuh Kolot. Debit direct runoff per hari hujan maksimum di Kecamatan Dayeuh Kolot hampir mendekati 140 juta liter air hari hujan. Dengan kata lain diperlukan maksimum lubang resapan biopori sebanyak kurang lebih 159.000 lubang. Akan tetapi karena curah hujan setinggi itu jarang terjadi, maka ada rekomendasi minimum jumlah lubang resapan biopori yang didapat dari hasil rata-rata direct runoff tahun 2001-2010 yaitu 42.000 buah lubang.
Kata kunci: curah hujan, Direct runoff, Lubang resapan Biopori, Metoda Mock
1.
ditaatinya Tata Guna Lahan. Sehingga peruntukan lahan untuk konservasi tidak diubah untuk hal-hal lain yang dapat merusak keseimbangan siklus hidrologi. Disamping menyebabkan banjir, berkurangnya resapan air hujan juga mengakibatkan penurunan muka air tanah dangkal di Kecamatan Dayeuh Kolot dengan fluktuasi penurunan sebesar 3-12 meter per tahun (Hasyim, 2006). Untuk mengatasi hambatan resapan air tanah di area tertutup (impermeable) dan mengurangi direct runoff serta mengurangi percepatan penguapan air ke udara dalam jumlah yang besar, salah satu metoda sederhana yang efektif dan juga mudah untuk diterapkan yang dinamakan Lubang Resapan Biopori (Kamir, 2007). Lubang Resapan Biopori mampu meningkatkan daya resapan air tanah hingga 3 kali lebih cepat dibanding area terbuka sekalipun (Didik dan Sibarani, 2009). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan untuk mengatasi banjir di daerah Dayeuh Kolot. Banjir yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang
Pendahuluan
Proses industrialisasi, pemukiman dan perubahan fungsi lahan mengakibatkan daerah hutan sebagai zona tangkapan, serta wilayah resapan air di sekitar Bandung menjadi berkurang. Pada 10 tahun terakhir, telah terjadi penyusutan kawasan hutan, termasuk berkurangnya luas kebun campuran serta meningkatnya wilayah industri yang signifikan. Ini berarti wilayah yang tadinya hutan dan kebun telah beralih fungsi menjadi wilayah industri dan pemukiman. Berkurangnya areal resapan air mengakibatkan aliran permukaan akibat hujan meningkat sehingga menyebabkan banjir. Banjir yang melanda wilayah Bandung Selatan adalah akibat tidak tertampungnya debit air hujan yang mengalir ke sungai yang berada di daerah tersebut. Untuk menanggulangi banjir, salah satu alternatif bagi masyarakat serta Pemda Bandung adalah membuat Lubang Resapan Biopori di daerah lingkungan permukiman maupun industri dalam jumlah yang besar. Selain itu perlu penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya hutan lindung serta
1
terjadi di daerah Kecamatan Dayeuh Kolot saja. Data hujanpun penting keberadaannya dalam melihat pola curah hujan di masa yang akan datang agar kelak menjadi masukan bagi pengambil kebijakan pengelolaan tata air. 2.
Metodologi
2.1. Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah wilayah Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung Jawa Barat (lihat pada Gambar 2.1). Stasiun hujan yang digunakan adalah stasiun yang tersebar di beberapa titik di Kabupaten Bandung, seperti Padalarang, Cemara, Soreang dan Cileunyi. Banjir yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah banjir yang diakibatkan oleh curah hujan yang terjadi di daerah Kecamatan Dayeuh Kolot saja.
Gambar 2.2. Tata Guna Lahan Kecamatan Dayeuh Kolot tahun 2007
Data geologi yang dibutuhkan dalam studi ini adalah data tipe tanah, hal ini penting dikarenakan tanah mempunyai pengaruh terhadap siklus hidrologi, dimana dengan tipe tanah nantinya yang menentukan persentase porositas pada batuan endapan.
Gambar 2.1. Daerah Kajian Penelitian
2.2. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, data curah hujan selama sepuluh tahun (2001-2010) di 4 titik yang tersebar di Kabupaten Bandung. Letak posisi keempat Stasiun Pencatat Curah Hujan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Gambar 2.3 Peta jenis tanah di Kecamatan Dayeuh Kolot
Peta jenis tanah pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa pada daerah Dayeuh Kolot terdapat sebaran batuan endapan berjenis aluvial. Menurut Hardjowigeno (1992), jenis tanah aluvial merupakan jenis tanah yang termasuk ke dalam ordo Entisol.
Tabel 2.1. Daftar Stasiun Curah Hujan beserta koordinat (sumber : BMKG Cemara Bandung)
Stasiun Cemara Soreang Padalarang Cileunyi
Lintang -6.88 -7.02 -6.84 -6.94
Bujur 107.59 107.53 107.48 107.73
2.3. Metode Dalam pengerjaan tugas akhir ini dimulai dengan mengumpulkan data curah hujan, temperatur, kelembaban udara dan kecepatan angin pada rentang tahun 2001-2010 di sekitar kawasan Bandung. Ditambah juga dengan data jenis tanah dan tutupan lahan di daerah kajian. Dalam menghitung direct runoff di daerah kajian dapat menggunakan metoda F.J Mock. Metoda Mock adalah suatu metoda yang digunakan untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance. Keberadaan air yang dimaksud pada
Data temperatur, kelembaban udara dan kecepatan angin selama sepuluh tahun (2001-2010) di satu titik yaitu stasiun Cemara Bandung. Data tutupan lahan (landcover) yang merupakan tutupan biofisis di permukaan bumi. Data tutupan lahan ini diperlukan untuk menentukan koefisien porositas pada perhitungan neraca air menggunakan metoda F.J Mock (lihat pada Gambar 2.2).
2
metoda Mock adalah besarnya debit suatu daerah aliran sungai. Pada prinsipnya metoda Mock memperhitungakan volume air yang masuk, air yang keluar, dan volume tersimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk dihitung berdasarkan hujan, volume keluar adalah infiltrasi, perkolasi, dan evapotranspirasi. Untuk menentukan jumlah lubang resapan biopori di daerah kajian, perlu adanya perhitungan debit direct runoff per hari hujan yang terjadi di daerah tersebut. Selain itu diperlukan juga daya resap biopori per hari hujan yang didapat melalui cara laju resapan rata-rata biopori pada jenis tanah tertentu dikalikan dengan estimasi jam hujan per hari hujan(6 jam). Waktu 6 jam didapat dari karakteristik rata-rata durasi waktu turun hujan di bulan hujan dan juga dimaksudkan agar aliran direct runoff tidak terlalu lama menggenang. Menurut Rasmita (2010) laju resapan air menggunakan biopori juga dipengaruhi juga oleh perbedaan jenis tanah di masing-masing daerah (lihat pada Tabel 2).
Jumlah lubang resapan biopori tersebut pula harus sesuai dengan kaidah yang berlaku. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisa Curah Hujan Dari keempat stasiun pencatat curah hujan (lihat Tabel 2.2), kemudian dibuat sebaran curah hujan wilayah di daerah kajian menggunakan metode polygon thiessen yang dibuat menggunakan software GIS. Output model sebaran curah hujan wilayah di Kecamatan Dayeuh Kolot dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Tabel 2.2. Laju resapan biopori
Ordo tanah
Laju resapan biopori (liter/jam) 147,32 104,56 25,03
Entisol Inseptisol Ultisol
Gambar 3.1. Curah Hujan Wilayah di Kecamatan Dayeuh Kolot
Dari hasil output tampilan curah hujan wilayah (lihat Gambar 3.1), daerah Kecamatan Dayeuh Kolot terbagi oleh dua wilayah hujan: • Wilayah 1 yang dominan dipengaruhi oleh curah hujan stasiun Cemara, dengan luas daerah 10,32 km². • Wilayah 2 yang dominan dipengaruhi oleh curah hujan stasiun Soreang, dengan luas daerah 8,72 km². Ditinjau dari wilayah kajian, maka hanya stasiun curah hujan Cemara dan Soreang saja yang akan dipakai dalam pengolahan data selanjutnya.
Maka didapat daya resap biopori per hari hujan pada tanah entisol = 147,32(liter/jam) X 6 jam = 884 liter/ hari Dari hasil perhitungan direct runoff dan daya resap biopori per hari hujan di atas, lalu dilanjutkan dengan perhitungan jumlah lubang resapan biopori sebagai berikut:
Jumlah LRB = dimana: Jumlah LRB biopori
=
/ /
Rekomendasi jumlah lubang resapan
3
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Curah Hujan Februari
350 300 250 200 150 100 50 0
Rata-rata Curah Hujan Bulanan Cemara 2001-2010
Januari
Curah Hujan (mm)
3.1.1. Analisa Curah Hujan Cemara
Bulan Gambar 3.1. Pola Curah Hujan Bulanan Cemara Tahun 2001-2010 Untuk pola curah hujan bulanan di daerah Cemara (lihat Gambar 3.1) menunjukkan pola curah hujan monsoon yang berbentuk “V” dengan curah hujan maksimum berada pada bulan
Desember-Januari-Februari (DJF) dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Pada bulan Maret yang memiliki curah hujan bulanan lebih dari 200 mm, menandakan bahwa wilayah 1 juga dipengaruhi oleh pola ekuatorial.
3.1.2. Analisa Curah Hujan Soreang
Rata-rata Curah Hujan Bulanan Soreang 2001-2010 Curah Hujan (mm)
300 250 200 150 100 Curah Hujan
50 Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
0
Bulan Gambar 3.2. Pola Curah Hujan Bulanan Soreang Tahun 2001-2010 Untuk pola curah hujan bulanan di daerah Soreang (lihat Gambar 3.2) menunjukkan pola curah hujan monsoon yang berbentuk “V” dengan curah hujan maksimum berada pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Pada bulan Maret yang memiliki curah hujan bulanan lebih dari 200 mm, menandakan bahwa wilayah 1 juga dipengaruhi oleh pola ekuatorial.
3.2. Direct Runoff Banjir di suatu daerah merupakan ciri-ciri bahwa di daerah tersebut memiliki direct runoff yang besar pada bulan hujannya. Direct runoff yang terlalu besar diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi dan semakin berkurangnya areal resapan di daerah tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengetahui jumlah lubang resapan biopori yang dibutuhkan di
4
suatu daerah, maka pertama-tama harus diketahui dahulu besar direct runoff di daerah tersebut.
3.2.1. Direct Runoff Bulanan Wilayah 1 dan Wilayah 2 Dari hasil perhitungan menggunakan metode Mock, maka didapat output direct runoff Kecamatan Dayeuh Kolot yang sudah dibagi menjadi 2 wilayah hujan.
250.00 200.00 150.00 100.00
Direct Runoff
50.00 Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
0.00 Januari 2001
Direct Runoff (mm)
Direct Runoff Bulanan Wilayah 1
Periode Tahun
Direct Runoff Bulanan Wilayah 2
250.00 200.00 150.00 100.00 50.00
Direct… Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
0.00 Januari 2001
Direct Runoff (mm)
Gambar 3.3. Pola Direct Runoff Wilayah 1, Tahun 2001-2010
Periode Tahun Gambar 3.4. Pola Direct Runoff Wilayah 2, Tahun 2001-2010 Direct runoff bulanan untuk wilayah 1 dan wilayah 2 (pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.4) terlihat memang terjadi pada bulan-bulan basah yang menandakan bahwa monsoon sangat berpengaruh di daerah tersebut. Direct runoff yang tiap tahun makin meningkat menunjukkan bahwa curah hujan wilayah 1 dan wilayah 2 yang memiliki trend naik memang berpengaruh terhadap direct runoff di daerah tersebut. Direct runoff yang
meningkat juga disebabkan oleh daerah resapan semakin berkurang karena tutupan lahan di daerah tersebut yang semakin meningkat pula. 3.3. Rekomendasi Jumlah Lubang Resapan Biopori di Wilayah 1 dan Wilayah 2 Menghitung jumlah lubang resapan biopori yang merupakan tujuan dari penelitian ini dapat
5
dilakukan dengan cara menghitung dahulu debit direct runoff per hari hujan di tiap wilayah. Setelah itu debit direct runoff tersebut dibagi dengan daya resap rata-rata biopori per hari.
3.3.1. Rekomendasi Jumlah Lubang Resapan Biopori yang Diperlukan Berdasarkan Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 1
90000000 80000000 70000000 60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
Debit Direct Runoff Januari 2001
Debit (liter)
Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 1
Periode Tahun
Gambar 3.5. Pola Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 1, Tahun 2001-2010
Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
Jumlah Biopori
Januari 2001
Jumlah Biopori (Lubang)
Jumlah Biopori yang Dianjurkan di Wilayah 1 100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
Periode Tahun Gambar 3.6. Rekomendasi Jumlah Lubang Resapan Biopori Wilayah 1, Tahun 2001-2010 Berdasarkan hasil output direct runoff per hari hujan di wilayah 1, maka dapat dilihat debit direct runoff maksimum di wilayah 1 (lihat Gambar 3.5) hampir mendekati 80 juta liter air. Dengan kata lain diperlukan maksimum lubang resapan biopori sebanyak kurang lebih 89.000 lubang (lihat Gambar 3.6). Akan tetapi karena curah hujan setinggi itu jarang terjadi, maka ada rekomendasi minimum jumlah lubang resapan biopori yang didapat dari
rata-rata debit direct runoff per hari hujan sebesar 27,5 juta liter air yaitu 31.125 buah lubang resapan biopori.
3.3.2. Rekomendasi Jumlah Lubang Resapan Biopori yang Diperlukan Berdasarkan Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 2
6
Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 2 70000000
Debit (liter)
60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 Debit Direct Runoff
10000000 Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
Januari 2001
0
Periode Tahun Gambar 3.7. Pola Debit Direct Runoff per Hari Hujan Wilayah 2, Tahun 2001-2010
Januari 2010
Januari 2009
Januari 2008
Januari 2007
Januari 2006
Januari 2005
Januari 2004
Januari 2003
Januari 2002
Jumlah Biopori
Januari 2001
Jumlah Biopori (Lubang)
Jumlah Biopori yang Dianjurkan di Wilayah 2 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
Periode Tahun
Gambar 3.8. Rekomendasi Jumlah Lubang Resapan Biopori Wilayah 2, Tahun 2001-2010 Berdasarkan hasil output direct runoff per hari hujan di wilayah 2, maka dapat dilihat debit direct runoff maksimum di wilayah 2 (lihat Gambar 3.7) hampir mendekati 60 juta liter air. Dengan kata lain diperlukan maksimum lubang resapan biopori sebanyak kurang lebih 70.000 lubang (lihat Gambar 3.8). Akan tetapi karena curah hujan setinggi itu jarang terjadi, maka ada rekomendasi minimum jumlah lubang resapan biopori yang didapat dari
rata-rata debit direct runoff per hari hujan sebesar 22,9 juta liter air yaitu 26012 buah lubang resapan biopori. 4.
Kesimpulan Secara umum, direct runoff di daerah kajian cukup besar ketika musim penghujan. Ini dikarenakan tutupan lahan di daerah kajian cukup luas karena daerah
7
tersebut merupakan daerah pemukiman penduduk padat dan industri. Debit direct runoff maksimum di wilayah 1 adalah 80 juta liter air. Diperlukan maksimum lubang resapan biopori sebanyak kurang lebih 89.000 lubang. Sedangkan untuk rata-rata debit direct runoff per hari hujan sebesar 27,5 juta liter air yaitu 31.125 buah lubang resapan biopori. Debit direct runoff maksimum di wilayah 2 adalah 60 juta liter air. Diperlukan maksimum lubang resapan biopori sebanyak kurang lebih 70.000 lubang. Sedangkan untuk rata-rata debit direct runoff per hari hujan sebesar 22,9 juta liter air yaitu 26012 buah lubang resapan biopori. Secara keseluruhan, daerah Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung membutuhkan minimum 42.000 lubang resapan biopori dan maksimum 159.000 lubang resapan biopori.
Linsley R.K., Kohler, M.A., and Paulhus, J.L.H., 1982, Hydrology for Engineers, McGrawHills. New York, USA. Lubis, Atika, Msc., 1995, Pola Infiltrasi Air Hujan Serta Implikasinya Terhadap Konservasi Lahan, Simposium Nasional PSDA, ITBBandung. Maidment, DR., (ed) 1989, Handbook of Hydrology, McGraw-Hill, New York, USA. Rahmat, Arif, 1995, Studi Water Balance Dengan Metode F.J. Mock Untuk Prediksi Penambahan Air Tanah (Studi Kasus Daerah Ciledug), GM-ITB, Bandung. Shaw, Elizabeth, 1994, Hidrology in Practice, Taylor & Francis, England. Sibarani, R.T., dan Bambang, D.S., MT., 2009, Penelitian Biopori Untuk Menentukan Laju Resapan Air Berdasarkan Variasi Umur dan Jenis Sampah, Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP, ITS-Surabaya. Soemartono, C.D., 1999, Hidrologi Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta.
REFERENSI Hanifah, Annie dan Endarwin, 2011, Analisis Intensitas Curah Hujan Wilayah Bandung Pada Awal 2010, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 12 Nomor 2, September 2011.
Soewarno, 1991, Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri), Nova, Bandung.
Brata, K.R. dan Nelistya, Anne, 2008. Lubang Resapan Biopori, Bogor.
Taufik, Ahmad, 2010, Groundwater Resources Conservation in Bandung Basin by Redevelop Dry Well into Recharge Well, Research Centre of Water Resource.
Brata, K.R., 2007, Teknik Pembuatan Lubang Resapan Biopori Untuk Konservasi Tanah dan Air Serta Penanggulangan Sampah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, John Wiley & Sons, California. Tukidi, 2010, Karakter Curah Hujan di Indonesia, Jurnal Geografi, 7(2), 136-145. Viessman, W., Lewis, G.L., and Knapp, J.W., 1989, Introduction to Hydrology, Harper Collins Pub, New York, USA.
Chow, V.T., Maidment, DR., and Mays, L.W., 1988, Applied Hydrology, McGraw-Hills, New York, USA. Doorenbos J. and Kassam A.H., 1979, Yield Respons to Water, FAO, Rome. Ginting, Rasmita, 2010, Laju Resapan Air Pada Berbagai Jenis Tanah Dan Berat Jerami Dengan Menerapkan Teknologi Biopori Di Kecamatan Medan Amplas, Universitas Sumatera Utara-Medan. Hutasoit, L.M., 2009, Kondisi Permukaan Air Tanah dengan dan Tanpa Peresapan Buatan di Daerah Bandung: Hasil simulasi Numerik, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 4 no 3 hal 177188, ITB-Bandung.
8