Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
Proyeksi Potensi Debit Aliran Sungai Untuk Mendukung Pembangkit Listrik Tenaga MiniHidro Studi Kasus PLTMH Lubuk Gadang Sumatera Barat ADIE WIBISONO MOEIS Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Dalam kajian ini, dilakukan proyeksi debit menggunakan proyeksi curah hujan model GCM (General Circulation Model) dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2050. Model yang dipakai adalah model CSIRO mk2, ECHAM5, GFDL2.0, GFDL2.1, NCCSM, dan MRI. Data observasi yang dipakai dalam kajian ini adalah data curah hujan bulanan stasiun Lubuk Gadang dari tahun 1969 sampai dengan tahun 2012 dan data debit rata-rata bulanan Sungai batang sangir dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2003. Dalam kajian ini, model dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode baseline, periode validasi, dan periode proyeksi. Untuk menentukan model GCM yang digunakan, komposit dari periode baseline untuk masing-masing model dan observasi dikorelasikan sehingga didapatkan model terbaik. Setelah itu dilakukan metode downscalling terhadap model terbaik. Metode downscalling yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode delta dan metode koreksi bias. Lalu hasil koreksi tersebut digunakan untuk perhitungan proyeksi debit sungai menggunakan ANFIS (Adaptive Neural Fuzzy-Inference System). Kemudian dilakukan analisis debit menggunakan fungsi distribusi kumulatif untuk proyeksi debit dengan timeslice setiap 10 tahun dan dibandingkan dengan fungsi distribusi kumulatif debit pada periode baseline-nya. Dari analisis tersebut, didapatkan hasil bahwa kemungkinan kekeringan paling ekstrim berada di antara tahun 2023 sampai dengan tahun 2032. Dan semua timeslice turun terhadap debit periode baseline. Kata kunci: Mini Hidro, proyeksi, GCM, metode delta, koreksi bias, ANFIS, curah hujan, debit.
1.
produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air di semua belahan dunia. Banyak dari kejadian iklim ekstrim di Indonesia, salah satunya kekeringan, terkait dengan El-Nino Southern Oscillation (ENSO), hal ini terjadi terutama karena penurunan curah hujan yang signifikan. Dampak yang disebabkan oleh kejadian El-Nino pada tahun 1982 dan 1997 (dua kejadian El-Nino paling kuat dalam kurun waktu 25 tahun terakhir) terhadap curah hujan di Indonesia telah di dokumentasikan pada tahun 2002. Pada akhirnya ditemukan bahwa semua propinsi mengalami curah hujan musiman yang lebih rendah pada tahun tahun tersebut. Sumatera, Jawa, dan Sulawesi secara konsisten menunjukkan penurunan curah hujan musiman, khususnya pada musim kemarau. Dalam beberapa tahun terakhir ada banyak daerah yang mengalami kekeringan. hal ini berdampak langsung ke pemegang keputusan bendungan dan sektor energi. Kekeringan memiliki potensi untuk mempengaruhi kerja dari bendungan dan mengurangi produksi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang akan berdampak pada semakin tingginya biaya listrik (Choi dkk., 2011).
Pendahuluan
Energi adalah isu yang akhir-akhir ini sering dibicarakan di masyarakat. Kebutuhan energi selalu meningkat seiring berjalannya waktu. Pemenuhan kebutuhan energi ini, mayoritas masih menggunakan minyak dan batubara yang menimbulkan kontroversi dalam berbagai aspek. Salah satunya adalah polusi yang diciptakan oleh proses produksi tersebut dan polusi yang diciptakan oleh energi tersebut. Maka, sesuai dengan protokol Kyoto, dibutuhkan energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan seperti PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro). Dalam pembangunannya, energi Mini Hidro membutuhkan penelitian hidrometeorologi untuk menentukan seberapa besar potensi yang dimiliki daerah itu untuk menghasilkan energi yang cukup dalam beberapa tahun ke depan. Pengaruh perubahan iklim terutama perubahan evapotranspirasi, debit sungai, pola curah hujan temporal, dan frekuensi kejadian meteorologi ekstrim, memiliki potensi untuk mendorong perubahan yang cukup signifikan, baik positif maupun negatif, dalam
1
sungai menggunakan proyeksi curah hujan menggunakan model iklim global (GCM) dengan tiga skenario emisi yaitu B1, A1B, dan A2 untuk jangka waktu 40 tahun kedepan (2010-2050).
Perubahan iklim adalah suatu kemungkinan karena telah terjadi di masa lalu dan akan terus terjadi di masa mendatang. Masalah yang perlu diwaspadai adalah bagaimana, kapan, di mana, dan seberapa besar perubahan iklim di masa yang akan datang. Analisis dan proyeksi perubahan iklim perlu dilakukan secermat mungkin karena isu perubahan iklim terkait dengan aspek ketidakpastian yang tinggi, terutama menyangkut hasil keluaran (output) model iklim global. Dalam penelitian tugas akhir ini, daerah kajian ada pada PLTMH Lubuk Gadang, Sumatera Barat. Pembangunan Pembangkit listriknya sudah berjalan dan penelitian mengenai potensi energi di daerah tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2008 oleh Jasclean. Sungai tempat pembangkit dibangun adalah Sungai Batang Sangir yang merupakan anak dari sungai terpanjang di Pulau Sumatera, yaitu Sungai Batang Hari. Dengan daerah tangkapan seluas 633.9 km2, Sungai Batang Sangir ini dianggap berpotensi untuk dibangun PLTMH. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa rata rata debit aliran Sungai Batang Sangir (gambar 1.1) sebesar 34,8 m3/s dengan rata rata bulanan bervariasi dari 22,3 m3/s (agustus) sampai 46,9 m3/s (Desember). Dengan desain intake PLTMH Lubuk Gadang yang membutuhkan debit sebesar 19,43 m3/s dan head 48 m, pembangkit listrik ini akan menghasilkan keluaran energi sebesar 7,4 MW atau setara 51,8 GWh per tahun. Dengan melihat kebutuhan PLTMH dan data rata-rata aliran debit sungai diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sungai Batang Sangir ini berpotensi untuk energi Mini Hidro.
2.
Data dan Metode
Ada dua kelompok data yang digunakan dalam tugas akhir ini. Yaitu data hasil model iklim global berupa curah hujan bulanan, dan data observasi di titik yang terdekat dari wilayah studi yang berupa curah hujan bulanan dan debit rata-rata bulanan Sungai Batang Sangir. Data output GCM digunakan sebagai proyeksi curah hujan dan debit untuk 40 tahun ke depan. Data tersebut didapatkan dari website http://wwwpcmdi.llnl.gov/. Ada enam model yang diambil dengan masing-masing model memakai 3 skenario emisi B2, A1B, dan A2. Model yang diambil adalah ECHAM5 dari Jerman, MRI CGCM2 dari Jepang, GFDL 2.0 dan 2.1 dari Amerika Serikat, CSIRO mark 2 dari Australia, NCCSM dari Amerika Serikat, dan MIROC 3.2 dari Jepang. Salah satu data utama yang tersedia untuk melakukan tugas akhir ini adalah data curah hujan di Pos Curah Hujan Lubuk Gadang. Data tersebut adalah satu- satunya data cuaca yang berhasil didapatkan di sekitar wilayah kajian. Data ini diukur dari penakar curah hujan yang berupa ombrometer dengan lokasi 101.40 bujur timur dan 1.50 lintang selatan. Data dimulai dari tahun 1969 sampai dengan Juni tahun 2012. Data debit sungai berupa debit rata-rata bulanan didapatkan dari sungai batang sangir sekitar 22 km di bawah site. Data dimulai dari tahun 1989 sampai tahun 2003. Dalam kajian ini, pertama-tama model iklim dibagi menjadi tiga periode disesuaikan dengan data observasi yang didapatkan yaitu, periode baseline (1969-1999), periode validasi (2000-2012), dan periode proyeksi (2013-2050). Lalu, penentuan model GCM yang digunakan dilakukan dengan cara mengkorelasikan baseline observasi dengan baseline masing-masing model GCM. Lalu diambil model GCM dengan korelasi paling baik untuk kemudian dilakukan downscalling. Untuk membuat data model GCM bisa diterima, dilakukan 2 metode downscalling pada penelitian ini, yaitu metode delta dan metode koreksi bias. Untuk mendapatkan hasil downscalling dengan metode delta pertama-tama dilakukan perhitungan nilai selisih (delta) dari tiap-tiap keluaran dengan ratarata baseline model pada bulan yang sama. Nilai proyeksi curah hujan kemudian didapatkan dari menambahkan hasil selisih (delta) tiap-tiap keluaran model dengan rata-rata baseline pengamatan. Kemudian hasil proyeksi dari tahun 2000 sampai tahun 2012 dapat dibandingkan dengan observasi sebagai validasi. Selain menggunakan metode delta, juga digunakan metode koreksi bias untuk melihat hasil
Gambar 1.1. Variasi debit bulanan antara komposit 1990-2005 dengan data 2008 (Sumber: AECOM, 2010) Pada penelitian sebelumnya, proyeksi potensi debit masih belum dilakukan Untuk memenuhi pemasok listrik dalam jangka waktu 30 tahun kedepan, diperlukan perhitungan proyeksi debit. Karena dalam jangka waktu sepanjang 30 tahun perubahan iklim cukup memberikan dampak pada curah hujan dan debit aliran sungai, maka dalam penelitian ini, akan dilakukan proyeksi debit aliran
2
Dari enam model GCM curah hujan yang diambil, korelasi antara komposit baseline model dan komposit baseline observasi menunjukkan bahwa ada dua model yang memberikan hasil paling baik (tabel 3.1), yaitu CSIRO mk2 dan MRI. Dalam penelitian ini, dilakukan 2 metode downscalling, yaitu metode delta dan metode koreksi bias dengan menggunakan persamaan gamma. Didapatkan bahwa dari hasil downscalling, korelasi dari periode validasi menunjukkan bahwa skenario A2 menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan A1B dan B1.
yang lebih baik untuk dipakai sebagai hasil proyeksi. Pertama, data model di transformasi dan dicocokkan ke dalam dua parameter distribusi gamma (persamaan 1), ; ,
=
..........................(1)
Ґ
Lalu distribusi kumulatif (persamaan 2) baseline data model tersebut di petakan ke distribusi kumulatif baseline data observasi historis (persamaan 3). ; ,
= ;
, |
Tabel 3.1. Hasil korelasi baseline 6 model GCM yang dipakai terhadap baseline observasi. Korelasi terbaik diperlihatkan oleh model CSIRO dan MRI.
..................................(2) ⇒
!" ;
, |
.....(3)
Kedua parameter gamma (α dan β) untuk setiap distribusi gamma ditentukan menggunakan estimasi kemiripan maksimum. Dan proyeksi curah hujan yang telah dikoreksi dapat dihitung menggunakan invers dari persamaan (3) yaitu: #
=
{
!" ;
, |
!"
Metode downscalling sangat perlu dilakukan untuk memperbaiki data keluaran GCM, melihat dua keluaran terbaik model global ini saja (Gambar 3.1) masih sangat bias.
}......................(4)
Setelah model berhasil di-downscalling, untuk membandingkan dan melihat hasil terbaiknya dilakukan uji model terhadap data observasi di data pada periode baseline. Digunakan korelasi dan RMSE untuk melihat kemampuan model tersebut serta dilihat juga secara kualitatif bentuk plot grafiknya. Dan Untuk menghitung debit dari curah hujan, digunakan data inputan berupa curah hujan model dan output berupa debit sungai dengan rentang waktu 13 tahun. Ada 4 arsitektur ANFIS yaitu ANFIS 1 input (2 aturan), ANFIS 2 input (4 aturan), ANFIS 3 input (8 aturan), dan ANFIS 4 input (16 aturan). Pertama, dilakukan penentuan input apa saja yang mau dimasukkan (bulan, curah hujan, curah hujan 1 bulan sebelum, curah hujan 2 bulan sebelum, curah hujan 3 bulan sebelum, dan curah hujan 6 bulan sebelum) dengan output berupa debit rata-rata. Setelah itu dilakukan persiapan data untuk membentuk matriks input output yang kemudian akan di hitung oleh Fuzzy Inference System tersebut. Dalam rentang data yang dikalkulasikan, data dibagi menjadi dua, yaitu data training dan data cheking. Pada penelitian ini, data checking hanya dipakai 1 tahun. Setelah matriks data sudah siap, ANFIS dijalankan dengan terlebih dahulu menentukan jumlah epoch (percobaan) dan member function-nya (fungsi keanggotaan). Lalu setelah berhasil dijalankan, dicari hasil terbaik menggunakan korelasi dan error. Setelah didapatkan hasil terbaik, struktur FIS tersebut dipakai kembali untuk menghitung debit proyeksi. 3.
Gambar 3.1. Grafik model curah hujan GCM dengan observasi Lubuk Gadang.
Setelah didapatkan model curah hujan terbaik, dilakukan downscalling dengan metode delta dengan cara memindah anomali data model terhadap baselinenya ke dalam baseline data observasi.
Hasil dan Pembahasan
3
Gambar 3.2. Hasil downscalling curah hujan lubuk gadang dengan observasinya menggunakan metode delta.
Gambar 3.3. Hasil downscalling curah hujan Lubuk Gadang dengan observasinya menggunakan metode bias correction.
Metode ini dilakukan untuk 3 skenario emisi yaitu skenario A2,B1, dan A1B. Gambar 3.2. di atas merupakan hasil plot curah hujan antara model GCM yang sudah melalui proses downscalling dengan metode delta dengan observasi pada tahun 2000 sampai tahun 2012 (periode validasi). Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa metode ini tidak dapat mendekati variansi data observasi. Secara kuantitatif, korelasi yang dihasilkan kedua model adalah 54% untuk MRI dan 50% untuk CSIRO. Dengan nilai RMSE 146,19 dan 150,26 yang berarti masih sangat besar. Maka diharapkan ada metode lain yang dapat lebih baik untuk mendekati sebaran datanya. Melihat downscalling metode delta yang tidak berhasil mendekati variansi data curah hujan Lubuk Gadang, maka dilakukan metode koreksi bias dengan cara mencocokkan kuantil-kuantil baseline data model terhadap kuantil-kuantil data observasi menggunakan fungsi distribusi gamma, yang kemudian pendekatan kuantil-kuantil tersebut diaplikasikan ke data model untuk periode validasi dan periode proyeksi. Perhitungan koreksi bias ini dilakukan untuk semua skenario yang diambil yaitu A2,B1, dan A1B. Dan hasil korelasi terbaik ditunjukkan oleh skenario A2 (Tabel 3.2).
Dilihat dari sebaran datanya (gambar 3.4), model GCM yang sebelumnya underestimate, berhasil dikoreksi dengan baik melalui metode ini. Grafik CDF menunjukkan bahwa model CSIRO lebih baik dalam mendekati observasi, namun ketika dibandingkan lagi dengan proyeksinya, model CSIRO memiliki korelasi yang lebih buruk dibandingkan dengan model MRI. Metode koreksi bias ini lebih baik dalam mendekati persebaran data observasi (gambar 3.5), dapat dilihat dari grafik CDF bahwa nilai ekstrim, baik ekstrim bawah maupun ekstrim atas, lebih terlihat dengan metode koreksi bias.
Gambar 3.4. Plot CDF antara observasi (biru), model sebelum dikoreksi bias (hijau), dan model setelah dikoreksi bias (merah) untuk model MRI (kiri) dan CSIRO (kanan)
Tabel 3.2. Hasil korelasi model GCM curah hujan yang telah di-downscalling dengan metode delta dan metode koreksi bias untuk 3 skenario emisi yaitu A2, A1B, dan B1.
Nilai korelasi yang dihasilkan oleh model MRI sebesar 56% dan CSIRO sebesar 32%. Nilai korelasi MRI menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan metode delta sedangkan nilai korelasi CSIRO menurun secara signifikan. Gambar 3.3 menunjukkan bahwa metode ini sudah berhasil mendekati variansi dari sebaran data observasi.
Gambar
4
3.5.
Plot CDF model curah hujan hasil downscalling menggunakan metode delta (merah dan hijau) dan menggunakan metode koreksi bias (biru dan biru muda)
Dampak perubahan iklim menunjukkan bahwa ada kemungkinan kekeringan yang sangat ekstrim diantara tahun 2023 sampai dengan tahun 2032 yang terlihat dari hasil fungsi distribusi kumulatif 10 tahunan debit rata-rata bulanan Sungai Batang Sangir dengan model iklim global (GCM). Perhitungan proyeksi debit aliran Sungai Batang Sangir menunjukkan bahwa semua ekstrim bawah debit rata-rata bulanan dengan timeslice 10 tahunan menunjukkan penurunan terhadap debit rata-rata periode baseline. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa perubahan iklim menyebabkan penurunan debit ekstrim bawah untuk periode proyeksi yaitu dari tahun 2013 sampai tahun 2050.
Ada 4 parameter yang mempengaruhi debit, yaitu curah hujan, tutupan lahan, jenis tanah, dan debit itu sendiri. Penelitian ini mengasumsikan bahwa tidak ada perubahan tata guna lahan dan data temperatur serta jenis tanah tidak berhasil didapatkan sehingga hanya didapatkan data curah hujan di pos Lubuk Gadang. Karena adanya keterbatasan data, secara tidak langsung hanya curah hujan yang mempengaruhi debit di daerah kajian ini. Maka, untuk mencari persamaan yang menghubungkan curah hujan dan debit, digunakan ANFIS. Hasil terbaik yang dapat diberikan ANFIS terhadap perhitungan debit memiliki korelasi sebesar 69% dengan memakai ANFIS satu input dengan input curah hujan dan output debit sungai.
REFERENSI AECOM. (2010). Lubuk Gadang Mini Hydropower Project: Peer Review of Feasibility Study & Concept Design. South Solok: AECOM. Blackshear, B., Crocker, T., Drucker, E., Filoon, J., Knelman, J., & Skiles, M. (2011). Hydropower Vulnerability and Climate Change: A Framework for Modeling the Future of Global Hydroelectric Resource. Middlebury College Environmental Studies Senior Seminar.
Gambar 3.6. Hasil perhitungan debit sungai korelasi terbaik dengan menggunakan ANFIS.
Choi, T., Keith, L., Hocking, E., Friedman, K., & Matheu, E. (2011). DAMS and Energy Sectors Independency Study. Tennesy: U.S Department of Energy.
Jika dilihat dari grafik di atas (Gambar 3.6) terlihat bahwa nilai ekstrim belum dapat didekati oleh ANFIS, maka dibutuhkan koreksi bias untuk mengurangi biasnya.
GTZ. (2007). Kajian Risiko dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat: Analisis dan Proyeksi Curah Hujan dan Temperatur. GTZ. Jang, J., Sun, C., & Mizutani, E. (1997). Neuro-Fuzzy and Solf Computing. A computational Approach to learning and machine Intelligence. USA: Prentice Hall International, Inc. MoE. (2007). Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change, and Their Implication. Jakarta: Ministry of Environment. Nakicenovic, N., Davidson, O., Davis, G., Grubler, A., Kram, T., Rovere, E. L., et al. (2000). Emission Scenarios. Intergovermental Panel on Climate Change. Poch, L., Conzelmann, G., & Veselka, T. (2009). An analysis of the Effect of Drought Condition on Electric Power Generation in the Western United States. Utah: Argonne National Laboratory.
Gambar 3.7. Plot CDF per 10 tahun dimulai dari Januari tahun 2013.
Ramirez, J., & Jarvis, A. (2010). Downscaling Global Circulation Model Outputs: The Delta Method Decision and Policy Analysis Working Paper No. 1. Agricultura Eco-Eficiente para Reducir la Pobreza.
Dari grafik fungsi distribusi kumulatif di atas (gambar 3.7) dapat dilihat bahwa nilai ekstrim bawah yang paling kecil adalah pada data 2 yang berarti dari tahun 2023 sampai tahun 2032. 4.
Ruminta. (2001). Pendugaan Curah Hujan di Wilayah Sumatera Dengan Menggunakan Anfis. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Kesimpulan
Berdasarkan pengerjaan penelitian ini ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu sebagai berikut:
Sharma, D., Gupta, A., & Babel, M. (2007). Spatial disaggregation of bias-corrected GCM Precipitation for Improved Hydrologic Simulation: Ping River
5
Basin, Thailand. Hydrology and Earth System Science Discussions. Tayfur, G., & Singh, V. P. (2006). ANN and Fuzzy Logic Models for Simulating Event-Based Rainfall-Runoff. Journal of Hydraulic Engineering.
6