Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
Penggunaan Model WRF-Fire Untuk Analisa Sebaran Api Kebakaran Hutan (Studi Kasus Kalimantan Tengah) NASMI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Kebakaran hutan merupakan faktor utama penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Untuk mengelola pencegahan perluasan dari dampak penjalaran kebakaran hutan diperlukan model yang dapat memprediksi sebaran api dari kebakaran hutan. Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat prilaku dari sebaran api kebakaran hutan yaitu WRF-Fire. Penilitian ini dilakukan untuk melihat sebaran api kebakaran hutan Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah pada 3 Oktober 2006. Konfigurasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu domain 1 dengan resolusi 1km x 1km dan domain 2 200m x 200m. Sedangkan untuk inputan data meteorologi digunakan data Global Forecast System (GFS) dari National Center for Environment Protection (NCEP), data topografi dari Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan data tutupan lahan Global Land Cover 2000. Hasil model WRF-Fire menunjukkan sebaran api kebakaran hutan Kalimantan Tengah pada 3 Oktober 2006 cenderung menjalar ke arah barat laut pada 6 jam pertama dan ke arah utara pada 6 jam berikutnya. Namun jika dibandingkan dengan data bekas kebakaran hutan hasil olahan citra satelit Terra/Aqua MODIS adanya perbedaan luasan lahan yang terbakar hasil model WRF-Fire dengan data lapangan. Hal ini terjadi karena kecepatan angin hasil model lebih besar dibandingkan dengan data observasi serta penggunaan fuel properties yang perlu dikaji lagi untuk wilayah Indonesia. Walaupun model WRF-Fire sudah baik dalam memodelkan sebaran api kebakaran hutan. Namun diperlukan waktu yang lama untuk menghasilkan hasil model dengan resource komputer yang ada. Sehingga model WRF-Fire masih belum baik jika digunakan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan. Kata kunci : kebakaran hutan, sebaran api, WRF-Fire.
1.
keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Oleh karena itu tools yang baik untuk memodelkan prilaku dari kebakaran hutan sangatlah penting untuk mengelola dalam pencegahan kebakaran, perencanaan pengontrolan kebakaran untuk mengurangi perluasan dari dampak kebakaran itu sendiri serta untuk membantu dalam menaksir kerugian bahaya kebakaran. Untuk memodelkan sebaran api dari kebakaran kita dapat menggunakan model prediksi cuaca, salah satunya yaitu WRF-Fire atau yang dikenal dengan SFIRE. WRF-Fire merupakan kombinasi model Weather Research Forecasting (WRF) dengan ARW dynamical core (Skamarock, et al., 2008 dalam Mandel, Beezley, & Kochanski, 2011) dengan model sebaran api semi-empiris. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan prediksi yang lebih cepat mengenai sebaran api dari kebakaran hutan. Di Indonesia sendiri masih belum adanya penelitian yang membahas akan penggunaan model WRF-Fire untuk simulasi sebaran api kebakaran hutan. Pada penilitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh Dobrinkova (2010) model WRF-Fire digunakan sebagai test case untuk kebakaran di area Harmanli, Bulagaria pada tanggal 14 Agustus 2009. Selain itu juga digunakan oleh Peace dan Mills (2012),
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis yang memiliki hutan yang luas. Hampir disetiap pulau di Indonesia memiliki hutan yang memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan. Hutan adalah suatu tempat dari ekosistem dan habitat-habitat bagi hewan, tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Banjir, tanah longsor, erosi, dan bencana alam lainnya merupakan dampak kecil atas kerusakan hutan. Selain faktor diatas, kasus kebakaran menjadi faktor utama dari penyebab kerusakan hutan di Indonesia. Dari tahun ke tahun kasus kebakaran di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan hasil pantauan hotspot Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan tercatat pada tahun lalu terdapat 20.850 titik kebakaran hutan di Indonesia hanya dalam kurun waktu 9 bulan ( Januari - September 2012). Angka ini mengalami peningkatan sebesar 26,7% dari tahun lalu yang mencapai 16.450 titik dalam kurun waktu yang sama. Dan total luas hutan yang terbakar mencapai 2.000 hektar. Total 92% kebakaran terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Dan 8% terjadi di Jawa dan Bali. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar pengaruhnya terhadap kehidupan jutaan orang dan menyebabkan kerusakan besar setiap tahunnya mencakup kerusakan ekologis, menurunnya
1
GFS 3 cycle 00.00 pada tanggal 3 Oktober 2006 sebagai inputan data meteorologi. Sebelum menjalankan model WRF-Fire harus dilakukan konfigurasi terlebih dahulu diantaranya downscaling dan parameterisasi. Karena keterbatasan dalam resource cluster yang dimiliki maka downscaling yang dilakukan sebanyak 2 kali yaitu dengan resolusi domain pertama sebesar 1 km dan domain kedua sebesar 200 m.
model WRF-Fire yang digunakan untuk mensimulasikan kebakaran hutan di Pulau Kangaroo, Australia Desember 2007. Dalam tugas akhir ini model WRF-Fire akan digunakan untuk melihat sebaran api kebakaran hutan yang terjadi di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah pada 3 Oktober 2006. Sehingga dari tugas akhir ini diharapakan model WRF-Fire dapat diterapkan di Indonesia sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan yang nantinya dapat digunakan sebagai pengontrolan kebakaran hutan di Indonesia. 2.
Data dan Metodologi Penelitian
Dalam tugas akhir ini digunakan empat jenis data yaitu data Global Forecast System (GFS) sebagai inputan data atmospheric, data Global Land Cover 2000 sebgai inputan data fuel category, data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) sebagai inputan data ketinggian dan sebagai data verifikasi digunakan data observasi stasiun meteorologi Palangkaraya serta data bekas kebakaran olahan citra satelit Terra/Aqua MODIS yang sudah dilakukan oleh LAPAN. Metodologi dalam penelitian ini terdiri dari dua langkah yaitu prediksi sebaran api kebakaran hutan dan verifikasi hasil model. Gambar 2-1. Domain daerah kajian. Angka 1 menunjukkan domain 1 dengan resolusi 1km x 1km. Angka 2 menunjukkan domain 2 dengan resolusi 200 m x 200 m.
2.1. Prediksi Sebaran Api Berikut adalah langkah-langkah untuk menjalankan model WRF-Fire. Diantaranya terdiri dari :
Sedangkan penentuan parameterisasi model yang digunakan dalam menjalankan model WRF-Fire yaitu parameterisasi microphysics, cumulus dan planetary boundary layer. Skema parameterisasi yang digunakan adalah skema parameterisasi default dari WRF-Fire dalam penelitian ini bukan untuk melihat pengaruh atau sensitivitas parameterisasi WRF-Fire terhadap hasil prediksi. Skema parameterisasi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2-1.
2.1.1. Konversi data Sebelum digunakan sebagai data inputan dalam menjalankan model WRF-Fire. Data Global Land Cover 2000 dan data SRTM perlu dilakukan konversi dari geotiff menjadi format geogrid karena data yang tersedia masih dalam format geotiff. Terdapat dua cara untuk melakukan konversi data yaitu pertama melakukan instalasi WPS yang support akan data geotiff dan yang kedua melakukan konversi data langsung menjadi format geogrid dengan menggunakan converter convert_geotiff.x. Penjelasan lebih lanjut mengenai konversi data dapat dilihat di http://www.openwfm.org/wiki/How_to_convert_data_ for_Geogrid. pada tugas akhir ini menggunakan metode yang kedua.
Tabel 2-1. Konfigurasi parameterisasi model WRF-Fire Jenis Parameterisasi Nama Parameterisasi Kumulus Skema New Kain-Fritsch Mikrofisis Skema Purdue Lin Planetary Boundary Layer Skema MRF
2.2. Verifikasi 2.1.2. Menentukan Lokasi Kajian Untuk dapat melakukan simulasi sebaran api kebakaran hutan diperlukan informasi mengenai koordinat lokasi kejadian. Dalam hal ini diperlukan perkiraan koordinat awal (fire ignition start) terjadinya kebakaran.
Hasil keluaran ouput WRF-Fire selanjutnya dilakukan verifikasi yaitu verifikasi data medan angin keluaran model WRF-Fire dan verifikasi sebaran api kebakaran hutan. Verifkasi medan angin dilakukan dengan melihat korelasi dan menghitung RMSE data kecepatan angin keluaran WRF-Fire dengan data observasi dari Stasiun Meteorologi Palangkaraya, Kalimantan Tengah serta membandingkan arah angin dari kedua data dengan melakukan plot windrose. Sedangkan verifikasi sebaran api dilakukan dengan melakukan overlay sebaran api hasil model WRF-Fire dengan data bekas kebakaran hasil olahan citra satelit
2.1.3. Menjalankan Model WRF-Fire Melakukan simulasi dengan model WRF-Fire memiliki kemiripan dengan model WRF yaitu WRF Processing System (WPS) dan WRF-Var. Dalam penelitian ini model WRF-Fire menggunakan data
2
Terra/Aqua MODIS yang sudah dilakukan oleh Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). 3.
prediksi pada waktu tesebut kemungkinan penyebab analisa secara kuantitatif hasil prediksi terhadap data observasi menjadi kurang baik.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Verifikasi Medan Angin Parameter meteorologi yang penting dalam menentukan sebaran api dari kebakaran hutan yaitu medan angin. Angin menentukan arah dan menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya api (Suratmo, 1985 dalam Adinugroho). Sehingga perlunya verifikasi medan angin keluaran model WRF-Fire terlebih dahulu untuk melihat seberapa baik hasil keluaran model. Verifikasi hasil prediksi kecepatan angin dari WRF-Fire akan dilakukan dengan perhitungan korelasi dan RMSE dari data observasi. Sedangkan untuk arah angin akan digunakan analisa kualitatif plot windrose dari kedua data.
Gambar 3-2. Perbandingan kecepatan angin hasil keluaran model WRF-Fire dengan kecepatan angin hasil observasi dari stasiun Meteorologi Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 3 Oktober 2006.
Selanjutnya dilakukan verifikasi arah angin hasil prediksi dengan data observasi dengan menggunakan plot windrose untuk melihat arah angin dari kedua data. Karena arah angin merupakan faktor penting meteorologi yang mempengaruhi arah sebaran api dari kebakaran hutan.
Gambar 3-1. Diagram hasil perhitungan koefisien korelasi dan RMSE data medan angin model WRF-Fire dengan data observasi pada tanggal 3 Oktober 2006.
Pada gambar 3-1 menunjukkan hasil perhitungan korelasi dan RMSE di daerah kajian. Dapat dilihat bahwa secara kuantitatif angin hasil prediksi model WRF-Fire kurang baik jika dibandingkan dengan data observasi. Di mana nilai korelasi dari kedua data yang sangat kecil yaitu berkisar -0.2. Rendahnya nilai koefisien korelasi ini disebakan karena data observasi yang digunakan berada jauh dari titik awal kebakaran. Hal ini dikarenakan tidak adanya stasiun meteorologi yang ada di sekitar wilayah kajian. Analisis selanjutnya untuk melihat sudah baik atau tidaknya angin hasil prediksi maka dilakukan analisis secara kualitatif. Dalam hal ini melihat perbandingan grafik hasil prediksi dengan data observasi selama 12 jam. Dari Gambar 3-2 terlihat bahwa prediksi kecepatan angin hasil model WRFFire menunjukkan hasil over estimasi pada jam 7-12 dan under estimate pada jam 3-6. Terdapat perbedaan fasa pada jam-jam tertentu yaitu pada jam 7 dan 8. Di mana pada jam tersebut data observasi menunjukkan tidak adanya angin pada daerah kajian sedangkan hasil prediksi menunjukkan adanya angin dengan kisaran kecepatan 3 m/s dan 7 m/s. Sehingga perbedaan hasil
Gambar 3-3a. windrose model WRF-Fire
Gambar 3-3b. windrose data observasi 3
Perbandingan kedua gambar pada Gambar 3-3 menunjukkan bahwa arah angin hasil prediksi model WRF-Fire memiliki kemiripan dengan arah angin observasi. Di mana kedua data tersebut menunjukkan bahwa pada saat simulasi dilakukan yaitu tanggal 3 Oktober 2006 arah angin menuju ke barat laut dan utara. Secara keseluruhan dari analisis kualitatif dan kuantitatif medan angin hasil prediksi dengan data observasi dapat disimpulkan bahwa arah angin hasil keluaran WRF-Fire sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Di mana terdapat kesamaan fasa arah angin dari kedua data. Namun data kecepatan angin masih menunjukkan hasil yang belum baik. Di mana kecepatan angin hasil model WRF-Fire menghasilkan data kecepatan angin yang belum sefasa dengan data observasi. Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa medan angin hasil prediksi model WRF-Fire yang sudah cukup mempresentasikan keadaan sebenarnya yaitu arah angin hasil prediksi model WRF-Fire pada tanggal 3 Oktober 2006 sedangkan kecepatan angin masih menunjukkan hasil yang belum baik.
Gambar 3-4b. Sebaran api pada 6 jam berikutnya
Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa adanya pengaruh angin yang besar dalam sebaran api pada kebakaran hutan di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah. Dimana arah angin keluaran model WRF-Fire yang terjadi pada saat kebakaran menunjukkan pola yang sama dengan arah sebaran api yaitu arah barat laut dan utara. Pada Gambar 3-3 terlihat bahwa pada 6 jam pertama arah angin menuju ke arah barat laut sedangkan pada 6 jam berikutnya arah angin dominan menuju ke arah utara walaupun pada gambar terlihat adanya angin dengan skala kecil menuju kearah selatan. Tetapi angin dominan tetap menuju kearah utara.
3.2. Hasil Simulasi WRF-Fire 3.2.1. Sebaran Api Kebakran Hutan Hasil model WRF-Fire berupa sebaran api kebakaran hutan dan luasan lahan yang terbakar (burn area). Dari hasil simulasi sebaran api kebakaran hutan dengan menggunakan model WRF-Fire terdapat dua arah sebaran api yang menyebar, yaitu pada 6 jam pertama api cenderung menyebar ke arah barat laut dan setelah 6 jam pertama tepatnya pada 6 jam selanjutnya api cenderung menyebar ke arah utara. Sebaran api pada kebakaran hutan dapat dilihat pada Gambar 3-4.
3.2.2. Luasan Lahan yan Terbakar Selanjutnya Sebaran api hasil keluaran model dibandingkan dengan data bekas kebakaran hutan hasil olahan citra satelit penginderaan jauh Terra/Aqua MODIS pada tanggal Oktober 2006 – November 2006. Dari Gambar 3-5 terlihat bahwa wilayah sebaran api hasil keluaran model menunjukkan hasil yang over estimate jika dibandingkan dengan data bekas kebakaran. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan over estimasi mengenai penjalaran kebakran hutan hasil model WRF-Fire, diantaranya : • Faktor kecepatan angin, dari hasil analisis kecepatan angin yang sudah dijelaskan diatas menunjukkan bahwa kecepatan angin hasil model WRF-Fire menghasilkan data yang kurang baik sehingga hal ini berpengaruh dengan kecepatan penjalaran kebakaran. Dari Gambar 3-2 mengenai perbandingan data kecepatan angin model WRF-Fire dengan data observasi menunjukkan bahwa hasil model WRF-Fire cenderung over estimasi dibandingkan dengan data observasi pada jam ke-6 hingga jam ke-12. Di mana tiupan angin yang lebih besar akan memperbesar kecepatan perambatan kebakaran. • Belum adanya kajian yang membahas mengenai fuel properties yang cocok di gunakan untuk wilayah Indonesia. Di mana perbedaan nilai
Gambar 3-4a. Sebaran api pada 6 jam pertama
4
untuk masing-masing fuel properties akan mempengaruhi kecepatan penjalaran kebakaran. • Tidak adanya informasi mengenai lamanya kebakaran yang terjadi di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah.
hutan. Dari grafik menunjukkan bahwa pada jam 2-5 terjadinya penurunan pada kecepatan angin dimana perubahan luas kebakaran juga kecil, begitu pula pada jam 6-8 terjadi peningkatan kecepatan angin di mana perubahan luas kebakaran juga mengalami peningkatan. Dari perbandingan kecepatan angin dan perubahan luasan kebakaran hutan menunjukkan bahwa angin memiliki korelasi postif dengan luas kebakaran. Di mana kecepatan perkembangan api akan meningkat seiring semakin besarnya tiupan angin.
Gambar 3-7a. Kecepatan angin 3 Oktober 2006
Gambar 3-5. Overlay luasan kebakran hasil model WRFFire tanggal 3 Oktober 2006 dengan data lapangan LAPAN.
Dari hasil sebaran api kebakaran hutan model WRF-Fire selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi luasan lahan yang terbakar. Perhitungan estimasi dilakukan dengan menjumlahkan semua grid yang terdapat pada fire area. Dimana hasil perhitungan tersebut sudah terdapat dalam log file dari model WRF-Fire.
Gambar 3-7b. Perubahan luasan kebakaran
3.4. Analisis Waktu Runnig Model Kecepatan waktu running sangatlah diperlukan karena dengan model yang dapat menghasilkan hasil lebih cepat dapat digunakan sebagai prediksi. Adapun spesifikasi dari komputer yang digunakan dalam penilitian ini dapat dilihat pada Tabel 3-1 Tabel 3-1. Spesifikasi sumber komputer
Spesifikasi Operating System Processor Model Total CPU Total Core per CPU RAM
Gambar 3-6. Estimasi perhitungan luasan lahan yang terbakar.
3.3. Pengaruh Angin terhadap Luas Kebakaran
Linux OpenSUSE 11.7 Intel(R) Xeon(R) CPU E5606 @ 2.13GHz 2 4 8183804 kB
Sumber : (Putri, 2012 dalam tugas akhirnya yang berjudul Pengaruh Inisialisasi Pada Simulasi Cam3 Studi Kasus Monsun Break Januari 2007)
Gambar 3-7 menunjukkan perbandingan plot kecepatan angin dengan perubahan luas kebakaran
5
Untuk menjalankan model WRF-Fire dalam analisa sebaran api kebakaran hutan selama 12 jam diperlukan waktu sekitar 10080 menit (168 jam). Sehingga dengan melihat waktu running yang lama dan diperlukannya spesifikasi komputer yang bagus untuk menghasilkan suatu prediksi. Sehingga untuk saat ini model WRF-Fire belum cukup baik dijadikan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan. 4.
J, M., J.D, B., & A.K, K. (2010). http://www.openwfm.org. Dipetik 2013, dari http://www.openwfm.org/wiki/Coupled_WRF_and_S FIRE_model_user%27s_guide. Mandel, J., Beezley, J. D., & Kochanski, A. K. (2011). Coupled armosphere-wildland fire modeling with WRF-Fire.
Kesimpulan Putri, N. S. (2012). Pengaruh Inisialisasi pada Simulasi CAM3 Studi Kasus Monsun Break Januari 2007. Bandung: Program Studi Meteorologi - Institut Teknologi Bandung.
Berdasarkan hasil simulasi sebaran api kebakaran hutan dengan menggunakan model WRFFire di Taman Nasional Sabangau, Kalimantan Tengah diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Putro, H. E. (2009). Simulasi Penyebaran Asap Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Model Kualitas Udara Community Mesoscale Air Quality (CMAQ). Bandung: Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung.
a) WRF-Fire dapat digunakan untuk simulasi sebaran api keabakaran hutan. Namun, hasil model yang dihasilkan dari penelitian ini masih belum baik karena penggunaan konfigurasi domain 1 dengan resolusi 1 km x 1 km yang dapat mempengaruhi hasil model menjadi kurang baik.
Suwarsono, Roswintiarti, O., & Noviar, H. (Desember 2008). Analisis daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006 menggunakan data satelit penginderaan jauh Terra/Aqua MODIS. Bandung: Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia ke-17 (PIT MAPIN XVII).
b) Karena keterbatasan resource komputer yang dimiliki model WRF-Fire belum bisa digunakan sebagai prediksi sebaran api kebakaran hutan karena memerlukan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan hasil prediksi.
c) Berdasarkan simulasi yang dilakukan sebaran api dengan model WRF-Fire menunjukkan bahwa sebaran api pada kebakaran hutan di Taman Nasional Sabangau 3 Oktober 2006 cenderung ke arah barat laut.
REFRENSI Adinugroho, W. C. Bagaimana Kebakaran Hutan Terjadi? Anderson, H. E. (1982). Aids to Determining Fuel Models For Estimating Fire Behavior. Coen, J. L., Cameron, M., Michalakes, J., Patton, E. G., Riggan, P. J., & Yedinak, K. M. (2012). WRFFire: Coupled Weather–Wildland Fire Modeling with the Weather Research. Applied meteorology and climatology , 16-38. Coen, J. (2011). WRF Users' Tutorial. Coen, J., & Clark, T. (2010). WRF-Fire User’s Guide. Dobrinkova, N., & Jordanov, G. (2010). WRF-Fire wildfire modeling in the test area of Harmanli,. VI International Conference on Forest Fire Research. Bulagaria.
6