ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA
OLEH : Nama : Ade Andriansa NIM : 031011009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014 i SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH : ADE ANDRIANSA NIM. 031011009
Dosen Pembimbing
Penyusun
Ria Setyawati S.H., M.H., L.LM. NIP. 196809281997021001
ADE ANDRIANSA NIM. 031011009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014
i SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Skripsi Ini Telah Diuji Dan Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Pada Hari Kamis, Tanggal 17 November 2014
Panitia Penguji Skripsi
Ketua
: Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M.
Anggota : 1. Ria Setyawati, S.H., M.H., L.LM.
............................
............................
2. Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H.
............................
3. Sinar Ayu Wulandari, S.H., M.H.
............................
ii SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa ada kendala. Ucapan terima kasih yang tiada henti penulis ucapkan kepada orang tua penulis, Rudi Suyanto dan Indraningrum, karena tanpa restu dan dukungan dari beliau-beliau skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini mulai dari sebelum penulisan hingga skripsi ini dicetak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta segenap jajaran Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
2.
Ibu Ria Setyawati, S.H., M.H., L.LM. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah menerima dan membimbing penulis dengan sabar hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.
3.
Bapak Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. selaku ketua tim penguji, serta ibu Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H., dan Sinar Ayu Wulandari, S.H., M.H. selaku anggota tim penguji yang telah berkenan menguji skripsi penulis.
4.
Bapak Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, S.H., M.H. selaku dosen wali yang telah memberikan nasihat untuk perkuliahan.
iii SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5.
Adik penulis Angga Indrayanto yang selalu mengingatkan penulis untuk terus berusaha walaupun terkadang dengan cara yang kurang menyenangkan.
6.
Kakak kelas Ilhami Ginang Pratidina, S.H. yang selalu mendukung penulis bahkan pada saat penulis menghadapi masalah serius dengan skripsi.
7.
Bapak Weleh, Ibu Weleh, dan Mbak Fatimah yang membuka dagangan di Law Cafe yang selama ini telah memberikan dukungan agar penulis segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8.
Sahabat yang tak tergantikan Denny Irfan Darmawan yang selalu menjadi teman berbagi, partner bermain, dan tuan rumah yang baik ketika penulis butuh tempat untuk menyegarkan pikiran.
9.
Chusnul, Mirzaq, Gombloh, dan seluruh Keluarga Aksel 2 Libels yang selalu memberi semangat agar tidak menyerah walau sebesar apapun masalahnya.
10. Teman-teman KB2 (Kelompok Bermain dan Belajar/Keluarga Besar ke-2) : Ade, Alan, Aldi, Ardi, Batam, Cepot, Denny, Elok, Hendy, Icha, Indro, Ivan, Jack, Jojo, Indhy, Marsa, Marsha, Mitha, Nesi, Okla, Ollak, Lisa, Syifa, Lydia, Vito, Onni, Zaitun yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis (one millions memories, ten thousand inside jokes, one hundred shared secrets). 11. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Airlangga angkatan 2010 yang memiliki motto kompak, bersama, bisa. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan
iv SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat, motivasi, inspirasi, serta ilmu bagi siapa saja yang membacanya.
v SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRAK Perjanjian yang mensyaratkan salah satu pihak untuk membeli dan/atau menggunakan barang dan/atau jasa lain diluar dari objek perjanjian itu sendiri termasuk dalam perjanjian tertutup. Perjanjian tertutup termasuk dalam perjanjian yang dilarang sebagaimana diatur dalam pasal 15(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persainga Usaha Tidak Sehat. Perjanjian tertutup memberikan dampak yang tidak baik karena mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Tindakan membatasi penjualan dan/atau distribusi barang dan/atau jasa serta melakukan tindakan diskriminasi baik harga maupun pelayanan merupakan salah satu bentuk pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yakni dalam pasal 19 huruf c dan d tentang pengusaan pasar. Tindakan penguasaan pasar ini memiliki berbagai kondisi di mana salah satunya adalah kekuatan monopoli dari pelaku usaha.
Kata Kunci :
Perjanjian Tertutup, Monopoli, Penguasaan Pasar, Tying Agreement, Praktek Diskriminasi.
vi SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ··························································································· 1 1.2 Rumusan Masalah ······················································································ 4 1.3 Metode Penelitian 1.3.1 Tipe Penelitian ·················································································· 5 1.3.2 Pendekatan Masalah ·········································································· 5 1.3.3 Sumber Bahan Hukum······································································· 6 1.3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ·················································· 8 1.3.5 Analisa Bahan Hukum······································································· 8 1.4 Pertanggungjawaban Sistematika································································· 9
vii SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II PERILAKU ANTI PERSAINGAN TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA 2.1 Kasus Posisi ·····························································································11 2.2 Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013············································································13
2.3 Pendekatan yang Digunakan Untuk Menganalisa Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013·······················14
2.4 Analisa Dugaan Pelanggaran Oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. Telkom Terkait Dengan Produk e-POS
2.4.1Perjanjian Tertutup···········································································17 2.4.2 Praktek Perilaku Monopoli ······························································26 2.4.3 Penguasaan Pasar ············································································31 BAB III ANALISA PUTUSAN KPPU TERKAIT KASUS E-POS (PUTUSAN PERKARA KPPU NOMOR 07/KPPU-I/2013) 3.1 Pendekatan yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan............... 41 3.2 Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 3.2.1 Pendekatan Ekonomi ·······································································42 3.2.2 Pendekatan Yuridis··········································································46
viii SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3.3 Pengecualian Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ····53
3.4 Alat Bukti yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 ·····················································55
3.5 Sanksi yang Dijatuhkan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 ·····················································58
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ······························································································64 4.2 Saran········································································································64 Daftar Bacaan ································································································66 LAMPIRAN Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013
ix SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Permasalahan Persaingan usaha merupakan bentuk kompetisi antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha berkompetisi dalam menjalankan berbagai usaha baik dari sisi perdagangan barang maupun jasa. Tujuan utama pelaku usaha tidak lain adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tentunya dapat dimaklumi karena semua pihak membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun keperluan lainnya. Kompetisi yang dilakukan oleh para pelaku usaha dilakukan dalam berbagai cara mulai dari bersaing dalam hal kualitas produksi, distribusi, pelayanan pada konsumen, persaingan harga, hingga bonus tertentu bagi para konsumen. Perkembangan ekonomi di dunia bergerak dengan sangat cepat dengan globalisasi sebagai motor penggeraknya. Tentunya ini juga membawa dampak dalam persaingan usaha di mana semakin luasnya peluang untuk membuka usaha dan mencari keuntungan.1 Perkembangan ini tentunya membawa dampak yang cukup positif yakni meningkatnya pilihan bagi konsumen untuk menentukan barang dan/atau jasa yang dapat mereka pilih. Konsumen diuntungkan dengan keleluasaan memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan harga yang mampu dijangkau. Konsumen juga diuntungkan dalam hal pengetahuan terhadap produk karena secara tidak langsung konsumen juga akan mencari tahu dan 1
Andi Fahmi Lubis et al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Indonesia, 2009, h. 11.
1 SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
membandingkan berbagai macam produk yang ada di pasaran dan menyeleksi mana produk terbaik dengan harga yang paling terjangkau. Dampak positif juga dirasakan oleh pelaku usaha dalam hal peningkatan inovasi, penerapan teknologi, serta penggunaan sumber daya secara efisien. Hal ini dikarenakan para pelaku usaha harus menarik konsumen agar menggunakan barang dan/atau jasa dan cara untuk menarik konsumen itu sendiri adalah dengan meningkatkan daya tarik dari segi harga, kualitas, dan pelayanan.2 Selain itu, pasar akan menjadi lebih dinamis dengan ketatnya persaingan usaha. Tidak hanya hal positif yang diberikan oleh perkembangan dunia ekonomi, melainkan juga hal negatif. Semakin ketatnya persaingan usaha maka semakin berkurang kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang didapat. Para Pengusaha harus melakukan tindakan yang dapat menarik konsumen agar usaha mereka dapat terus berjalan. Tidak jarang demi meningkatkan keuntungan para
pengusaha
melakukan
hal-hal
yang
bersifat
buruk
dengan
cara
menyingkirkan pelaku usaha pesaing, menciptakan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry), melakukan monopoli, hingga melakukan perjanjian dengan pihak lain dengan tujuan merugikan pelaku usaha lain. Hal ini tentunya akan merusak pasar, menyebabkan inefisiensi yang berdampak pada meningkatnya Dead Weight Loss3, serta merugikan konsumen.
2
Ibid, h. 2. Dead Weight Loss merupakan biaya tambahan yang dibebankan pada konsumen akibat dari inefisiensi produksi barang atau jasa. Hal ini dilakukan agar keuntungan dari pelaku usaha tetap pada target, dikutip dengan perubahan dari Henricus W. Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi Populer, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, h. 57 (e-book), diakses dari books.google.co.id. 3
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membuat aturan tentang persaingan usaha, dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut dengan UU 5/1999).4 Undang-undang ini mengatur tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan dan penyalahgunaannya, merger, pengecualian tertentu, serta hal-hal terkait tentang KPPU. Pengaturan tentang persaingan usaha tidak terbatas hanya pada Undang-undang saja. KPPU juga mengeluarkan berbagai aturan terkait dengan UU 5/1999 yang sifatnya memberikan penjelasan implementasi dari pasalpasal yang ada di dalam UU 5/1999. Hingga saat ini, cukup banyak perkara mengenai pelanggaran UU 5/1999 di mana salah satunya adalah perkara dengan Terlapor PT. Angkasa Pura II persero dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dengan terlapor pihak PT. Angkasa Pura II persero dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk., kedua terlapor tersebut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU 5/1999. Dugaan pelanggaran tersebut antara lain adalah pelanggaran Pasal 15(2) tentang perjanjian tertutup, Pasal 17(1) tentang Monopoli, dan Pasal 19 huruf c dan d tentang penguasaan pasar dalam UU 5/1999.5 Dalam putusan KPPU tersebut, PT. Angkasa Pura II terbukti telah melakukan pelanggaran Pasal 15(2) dan tidak terbukti melanggar pasal 17(1) dan 19 huruf c dan d UU 5/1999, sedangkan PT. 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817). 5 Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013, h. 13-15.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4
Telekomunikasi Indonesia sama sekali tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999. Perjanjian tertutup dalam Pasal 15(2) UU 5/1999 merupakan bentuk pelanggaran yang berbeda dengan monopoli pada pasal 17(1) UU 5/1999 dan penguasaan pasar pada pasal 19 huruf c dan d UU 5/1999. Perbedaan tersebut tentunya akan menyebabkan pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak berbeda. Pendekatan yang digunakan akan menentukan apakah benar-benar telah terjadi pelanggaran UU 5/1999. Analisa terhadap pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan apakah putusan yang diambil telah sesuai dengan kaidah dan norma hukum yang ada atau tidak menjadi dasar penulisan skripsi ini. Selain itu, penerapan sanksi yang dilakukan oleh KPPU terhadap pelaku usaha juga menjadi pembahasan dalam skripsi ini. 1.2
Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang pada bagian sebelumnya, timbul isu hukum
yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Isu hukum tersebut antara lain: a. Dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (persero) dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. dalam putusan KPPU nomor 07/KPPU-I/2013. b. Analisa pertimbangan hukum Majelis Komisi dalam putusan KPPU nomor 07/KPPU-I/2013.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1.3
5
Metode Penelitian
1.3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
yuridis
normatif
yakni
dengan
melihat,
menelaah,
dan
menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan sistem hukum yang berkaitan.6 1.3.2 Pendekatan Masalah Dalam penelitian hukum terdapat berbagai macam pendekatan. Penulisan skripsi
ini
menggunakan
pendekatan
undang-undang
(statute
aproach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah peraturan baik yang berlaku secara nasional.7 Penulisan skripsi ini menitikberatkan pada peraturan yang terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.8 Berbagai prinsip hukum dan teori hukum mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menjadi landasan dalam membangun argumentasi.
6
Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, h. 128. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, h. 93. 8 Ibid, h. 95. 7
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6
Pendekatan kasus (case approach) adalah pendekatan di mana ratio decidendi dalam suatu kasus tertentu akan dianalisa secara mendalam apakah dalam penegakan hukum kasus tersebut telah sesuai dengan kaidah dan norma hukum yang telah ada atau tidak.9 1.3.3 Sumber Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan baham hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.10
Dalam hal ini adalah segala
macam peraturan nasional mulai dari Undang-undang maupun peraturan terkait, diantaranya: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan UU No. 5/1999). 2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar yang Bersangkutan Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 3. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
9
Ibid, h. 119. Ibid, h. 141.
10
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 3/2011). 4. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal
47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 5/2011). 6. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat dengan Peraturan KPPU 11/2011). 7. Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN (selanjutnya disingkat dengan Permen BUMN 5/2008). 8. Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN (selanjutnya disingkat dengan Permen BUMN 15/2012).
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
Sedangkan bahan hukum primer lain yang digunakan adalah putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dengan terlapor PT. Angkasa Pura II persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II. Sedangkan bahan hukum sekunder sendiri berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.11
Dalam penulisan
skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum sekunder antara lain literatur hukum yang berupa buku-buku teks terkait dengan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jurnal-jurnal hukum, berbagai skripsi, serta artikelartikel dengan topik yang terkait dengan skripsi ini. 1.3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan yakni dengan membaca, mempelajari, dan memahami sumber hukum primer, dalam hal ini adalah peraturan perundangundangan dan peraturan terkait, dan sumber hukum sekunder, dalam hal ini adalah berbagai literatur baik buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel terkait, dan skripsi-skripsi dengan topik yang terkait, dan kemudian nantinya akan digunakan sebagai dasar analisa rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi. 1.3.5 Analisa Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul akan diseleksi dan diolah berdasarkan relevansi dengan rumusan masalah yang ada dan kemudian dijadikan 11
SKRIPSI
Ibid.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9
sebagai acuan untuk menganalisa putusan apakah telah sesuai dengan norma dan kaidah yang telah ada atau tidak. Rumusan masalah akan dijawab dengan menggunakan metode analisa kuantitatif yang berhubungan dengan aspek yuridis, yaitu suatu metode yang menjelaskan bahan hukum yang telah diperoleh dengan cara menguraikan masing-masing rumusan masalah, yang selanjutnya dianalisa dengan memberikan alasan-alasan atau bukti-bukti untuk ditarik suatu kesimpulan didasarkan pada perundang-undangan yang berlaku dan penerapannya di lapangan serta teori yang terkait dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.12 1.4
Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan skripsi ini terbagi menjadi empat bab yang dimulai dari hal-hal
yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus dengan uraian sebagai berikut : Bab pertama dalam skripsi ini berisi tentang latar belakang penulisan skripsi beserta rumusan masalah yang diangkat oleh penulis. Selain itu, bab pertama juga memuat metode penelitian dan pertanggungjawaban sistematika penulisan skripsi. Bab dua berisi tentang kasus posisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dan penjabaran konsep baik dari sisi teori maupun dari sisi UU 5/1999 tentang tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Bab ini juga menjelaskan
12
Vito Anggriawan Yudatama, Hak Ingkar Atas Janji Kawin Pada Pasangan Diluar Perkawinan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2014, h. 10.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10
pendekatan apa saja yang dapat digunakan untuk menganalisa tindakan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Bab tiga berisi tentang pendekatan yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan apakah tindakan dari PT. Angkasa Pura II Persero (Persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. telah melanggar ketentuan dalam UU 5/1999 dan kesesuaian sanksi yang dijatuhkan apabila terbukti melanggar. Bab empat berisi tentang kesimpulan dari pembahasan rumusan masalah yang telah dilakukan pada bab kedua dan bab ketiga. Bab ini juga memuat saran yang bersifat membangun untuk hal serupa di masa yang akan datang.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II PERILAKU ANTI PERSAINGAN TERKAIT PRODUK E-POS DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA 2.1 Kasus Posisi Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 diawali dengan dengan adanya kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura II Persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dengan jenis kegiatan usaha penyewaan ruangan (counter) di Bandara Soekarno-Hatta dan Terlapor I mewajibkan bagi setiap penyewa untuk membayar imbalan pembayaran sewa serta konsesi usaha.13 Terlapor I dalam melakukan kegiatan usaha tersebut telah membuat perjanjian yang pada pokoknya berisi tiga poin penting yakni terkait konsesi dan cara pembayaran konsesi, harga sewa dan jaminan sewa, serta hak, kewajiban, larangan pengalihan, sanksi, denda, tata tertib, dan hal-hal umum dalam perjanjian.14 Pada tanggal 22 Oktober 2008, Terlapor I dengan tujuan untuk meningkatkan fasilitas telekomunikasi yang ada di bandara, menandatangani Nota Kesepahaman dengan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II) tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 30 Desember 2008, Terlapor I memberikan ijin prinsip perihal kerjasama penyediaan layanan total solusi fasilitas telekomunikasi di Terminal 3 Bandara 13 14
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h.5. Ibid, h. 5-6.
11 SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
Soekarno-Hatta. Terlapor I dan Terlapor II menindaklanjuti Nota Kesepahaman sebelumnya tersebut dengan mengadakan free trial jasa e-bussiness berupa layanan “online Point of Sales” di Terminal 3 Pier 1 Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 13 Maret 2009. Terlapor II pada tanggal 16 April 2009 mengajukan proposal penawaran layanan electronic Point of Sales (selanjutnya disingkat dengan e-POS) kepada Terlapor I. Pada tanggal 21 Januari 2010, Terlapor I menyelenggarakan sosialisasi dan soft launching fasilitas e-POS. Terlapor I dan Terlapor II kemudian menandatangani Nota Kesepahaman pada 23 Februari 2010 tentang “Penyediaan Layanan Total Solusi Fasilitas Telekomunikasi pada Bandar Udara” yang dikelola oleh Terlapor I. Pada tanggal 2 Agustus 2010, Terlapor II menyampaikan proposal “Layanan Electronic Point of Sales (e-POS)” di Bandara SoekarnoHatta. Terlapor II menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba pemasangan ePOS pada tanggal 8 November 2010 di Terminal 1A dan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di mana secara prinsip menyatakan bahwa uji coba telah berjalan dengan baik dan tersambung dengan Komputer Terlapor I. Pada tanggal 19 November, Terlapor I dan Terlapor II melakukan negosiasi terkait kerjasama penyediaan layanan e-POS tersebut yang pada pokoknya menghasilkan kesepkatan terkait dengan lokasi penyediaan layanan, fasilitas layanan, resiko, jumlah investasi, dan tarif layanan e-POS. Pada tanggal 30 Maret 2011, Terlapor I dan Terlapor II menandatangani perjanjian kerjasama “Penyediaan Layanan Electronic Point of Sales (e-POS) di Bandara Soekarno Hatta.”
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
Pada tanggal 18 Juli 2011, Terlapor I mengeluarkan Edaran Tentang Kewajiban Penggunaan dan dan Biaya Fasilitas Electronic Point of Sales (e-POS), di mana para Mitra Usaha diwajibkan untuk menggunakan fasilitas e-POS sebagai alat monitoring realisasi pendapatan usaha di tiap lokasi di Bandara SoekarnoHatta dengan dikenakan biaya sebesar Rp. 1.350.000,- per unit per bulan (belum termasuk PPN) yang akan ditagihkan kepada para Mitra Usaha oleh Terlapor II. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya ketentuan dalam perjanjian sewamenyewa ruangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta baik penyewaan ruangan secara langsung dengan Terlapor I maupun melalui pihak ketiga di mana penyewa diwajibkan menggunakan layanan e-POS.15 2.2 Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 Terlapor I dalam hal ini diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU 5/1999 yakni dengan melakukan perilaku tying dan penguasaan pasar. Dua pelanggaran tersebut diatur dalam ketentuan pasal yang berbeda dan keduanya berada pada kategori pelanggaran yang berbeda. Perilaku tying diatur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 yakni tentang perjanjian tertutup. Terlapor I diduga melakukan perilaku tying karena mewajibkan para penyewa ruangan untuk menggunakan layanan e-POS. Terlapor I juga mengenakan biaya untuk penggunaan layanan e-POS sebesar Rp. 1.350.000,- di mana Rp. 250.000,- dari pembayaran tersebut merupakan bagian dari Terlapor II.
15
SKRIPSI
Ibid, h. 47-48.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
e-POS sendiri pada dasarnya lebih memberikan manfaat kepada Terlapor I karena dapat mengontrol transaksi yang dilakukan oleh Mitra Usaha dengan pengguna layanan bandara (konsumen). Disamping itu, para Mitra Usaha juga telah memiliki sistem pencatatan transaksi sendiri yang belum tentu dapat terintegrasi dengan sistem layanan e-POS. Tindakan penguasaan pasar diatur dalam pasal 19 UU 5/1999 yakni tentang penguasaan pasar. Terlapor I diduga melakukan praktek perilaku monopoli dan penguasaan pasar karena menciptakan hambatan pada pasar yang dimonopoli oleh Terlapor I. Indikasi hambatan pasar yang diciptakan selain dari perilaku tying juga dalam hal penyediaan jaringan telekomunikasi di Bandara Soekarno-Hatta yang hingga saat ini masih dikuasai oleh Terlapor II. Terlapor I diduga hanya memberikan kesempatan kepada Terlapor II untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di bandara serta tidak memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain untuk menyediakan jasa telekomunikasi di bandara. 2.3 Pendekatan yang Digunakan Untuk Menganalisa Dugaan Pelanggaran yang Terjadi Dalam Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 Terdapat dua macam pendekatan yang digunakan untuk menganalisa apakah telah terjadi pelanggaran terhadap UU 5/1999. Dua macam pendekatan tersebut adalah pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang karena dampak dari perjanjian atau kegiatan usaha
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilangkan persaingan.16 Dengan kata lain, setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu dianggap ilegal tanpa harus melalui pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.17 Ketentuan dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal biasanya menggunakan istilah
“dilarang”
tanpa
menggunakan
anak
kalimat
“...yang
dapat
mengakibatkan...”.18 Pada prinsipnya, terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per se illegal, yakni harus ditujukan pada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut dan adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang.19 Pendekatan per se illegal memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan per se illegal adalah adanya kepastian hukum terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul dan suatu perjanjian atau kegiatan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan tidak perlu lagi melakukan pembuktian lebih lanjut.20 Kekurangan dari pendekatan per se illegal adalah dalam penerapannya dilakukan secara berlebihan maka perjanjian atau kegiatan yang belum tentu merugikan juga akan termasuk dalam perjanjian atau kegiatan yang dilarang.21
16
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 73. 17 Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55. 18 Ibid, h. 55. 19 Ibid, h. 61 20 Mustafa Kama Rokan, Loc.Cit. 21 Ibid, h. 74.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.22 Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason diharuskan adanya pembuktian dan evaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan.23 Ketentuan dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason biasanya menggunakan istilah “yang dapat mengakibatkan” atau “patut diduga”, di mana hal ini menandakan perlunya penelitian lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan.24 Pendekatan rule of reason memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan sehingga dapat menerapkan suatu tindakan dengan akurat.25 Kekurangan dari pendekatan ini adalah dalam penerapannya membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian dan kegiatan yang tidak sehat dan bersifat menghambat persaingan.
22
Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 55. Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 78, dikutip dari R.S. Khemani dan D.M. Shapiro, Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, Paris: OECD, 1996, h. 6. 24 Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit. 25 Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 83. 23
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan per se illegal adalah pasal 5(1) dan 6 tentang penetapan harga, pasal 15 tentang perjanjian tertutup, pasal 24 tentang persekongkolan, pasal 25 tentang posisi dominan, dan pasal 26 tentang jabatan rangkap. Pasal-pasal dalam UU 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason adalah pasal 4 tentang oligopoli, pasal 9 tentang pembagian wilayah, pasal 11 tentang kartel, pasal 12 tentang trust, pasal 13 tentang oligopsoni, pasal 17 tentang monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal 19 tentang penguasaan pasar, pasal 20 tentang predatory pricing, pasal 26 tentang jabatan rangkap, dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. 2.4 Analisa Dugaan Pelanggaran Oleh PT. Angkasa Pura II dan PT. TELKOM Terkait Dengan Produk e-POS 2.4.1 Perjanjian Tertutup Secara umum, perjanjian tertutup termasuk dalam kategori pembatasan vertikal pasar (vertical market restriction) yakni segala kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produk (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian produksi atau rangkaian usaha.26 Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada proses produksi atau jaringan distribusi pada suatu barang atau jasa.27 Perjanjian tertutup membatasi kebebasan pelaku usaha untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli 26
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 69. Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 118, dikutip dari Philip Clarke and Stephen Corones, Competition Law and Policy: Cases and Material, Oxford University Press, 2000, h. 376. 27
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18
atau, pemasok di pasar.28 Perjanjian tertutup mengkondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalur kepada pihak lain.29 Pengaturan tentang perjanjian tertutup diatur dalam pasal 15 UU 5/1999 di mana terdapat tiga ayat yang berisi tiga macam perjanjian tertutup yang berbeda. Perjanjian tertutup ini terdiri dari tiga macam perjanjian yakni exclusive dealing, tying agreement, vertical agreement on discount. Exclusive dealing merupakan bentuk perjanjian tertutup di mana pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.30 Perjanjian ini menimbulkan dampak adanya kemungkinan matinya suatu pelaku usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan menjual produknya.31 Suatu usaha produksi tidak akan dapat beroperasi tanpa adanya bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang. Selain itu, suatu usaha tidak akan dapat bertahan apabila tidak dapat menjual hasil produksinya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan untuk mengembangkan usaha. Peran distributor juga sangat penting
28
Suyud Margono, Op.Cit., h. 98. Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., h. 136. 30 Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit. 31 Ibid. 29
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
untuk menghubungkan antara produsen dengan konsumen sehingga hilangnya distributor dari mata rantai akan mempengaruhi stabilitas kegiatan usaha dari pelaku usaha tersebut. Hal ini merupakan salah satu dari bentuk hambatan masuk ke pasar. Exclusive dealing juga memiliki dampak positif yakni memberikan kepastian distribusi, jaminan akan ketersediaan bahan baku, pengurangan ongkos, dan mencegah adanya free riding.32 Exclusive distribution agreement menjamin akan ketersediaan bahan baku dan kepastian distribusi karena dengan memasok bahan baku dan mendistribusikan pada pihak tertentu mengakibatkan terjaganya stok dari bahan baku maupun produk yang didistribusikan. Perjanjian ini juga mencegah adanya permintaan bahan baku maupun pesanan barang dari pihak selain dalam perjanjian. Penghematan ongkos juga menjadi salah satu dampak positif karena dengan adanya tujuan pasti dari pengiriman bahan baku maupun distribusi maka efisiensi dari pengiriman dapat ditingkatkan. Keuntungan lainnya adalah mencegah adanya free riding di mana sebagai ilustrasi sebuah perusahaan induk melakukan iklan secara besar-besaran, namun ketika konsumen datang ke distributor kemudian melihat barang lain dan kemudian membelinya maka iklan dari perusahaan induk tersebut akan sia-sia.33 Berkurangnya persaingan akan berdampak pada naiknya harga produk yang didistribusikan sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih. Atas dasar inilah, UU 5/1999 mengatur mengenai larangan exclusive dealing dalam
32 Free Riding merupakan tindakan pelaku usaha memanfaatkan keuntungan dari promosi pelaku usaha lain tanpa memberikan konsesi kepada pelaku usaha yang dimanfaatkan, dikutip dengan perubahan dari Henricus W. Ismanthono, Op.Cit., h. 179. 33 Andi Fahmi Lubis et.al., Loc.Cit.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20
pasal 15(1).34 Perumusan pasal ini menggunakan pendekatan per se illegal sehingga ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat dikenakan pasal ini.35 Hal ini disebabkan meskipun exclusive dealing masih memiliki beberapa sisi positif, perjanjian tersebut tetap menciptakan kondisi anti persaingan. Unsur-unsur dari pasal 15(1) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian, pelaku usaha lain, pihak yang menerima, barang dan/atau jasa, memasok kembali, pihak dan/atau tempat tertentu, dan barang dan jasa lain.36 Unsur pelaku usaha adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
34
Pasal 15(1) UU 5/1999, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu,” 35 Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 119. 36 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 14-16.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun
tidak tertulis. Unsur pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang
mempunyai hubungan vertikal maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya. Unsur pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok. Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur memasok kembali sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 15(1) UU 5/1999 adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing). Unsur pihak tertentu adalah pihak lain yang membeli barang dan/atau jasa dari pihak yang menerima barang dan/atau jasa dari pemasok. Unsur tempat tertentu adalah suatu wilayah geografis di mana barang dan/atau jasa tersebut akan diperdagangkan. Tying Agreement adalah suatu perjanjian di mana pelaku usaha menjual suatu produk (tying product) dengan syarat pembeli harus membeli produk lainnya (tied product), atau setidak-tidaknya berjanji tidak akan membeli barang tersebut dari
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22
pihak lain.37 Tying agreement dapat terjadi apabila pelaku usaha melakukan perjanjian dengan pihak lain dalam level yang berbeda.38 Perjanjian ini cukup berbeda dengan perjanjian tertutup lainnya karena lebih sering melibatkan konsumen akhir.39 Tying agreement memiliki perbedaan dengan bundling, di mana dalam tying agreement produk yang diikat sebagai satu paket penjualan memiliki karakteristik sejenis atau setidak-tidaknya memiliki fungsi yang berhubungan, sebagai ilustrasi adalah sampo dan kondisioner, sedangkan bundling adalah ketika satu produk atau lebih yang diikatkan dengan barang lainnya untuk dijual sebagai satu paket penjualan merupakan produk yang independen atau dengan kata lain dapat dianggap sebagai permintaan terhadap produk yang berbeda.40 Contoh dari bundling adalah kasus United States v. Microsoft41 di mana pihak Microsoft melakukan perilaku persaingan usaha tidak sehat dengan mengikatkan web browser software milik microsoft yakni Internet Explorer (IE) pada Operating System (OS) yang dijual. Web browser Internet Explorer dapat digunakan secara gratis sedangkan untuk web browser lainnya harus diunduh terlebih dahulu. Pada pemeriksaannya, sebelum adanya kasus ini IE dijual secara terpisah dalam pack yang berbeda dengan OS windows. Penyertaan IE dalam OS windows menyebabkan harga dari OS lebih dari harga standar sehingga IE tidak bisa dikatakan gratis. Hakim dalam kasus ini memutuskan bahwa pihak Microsoft
37
Jonathan M. Jacobson, Antitrust Law Developments (sixth), American Bar Association, 2007, h. 172. 38 Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 120. 39 Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, The Foundation Press, New York, 1993, h. 273. 40 Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 121. 41 United States v. Microsoft, 253 F.3d 34.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
telah melanggar ketentuan persaingan usaha karena telah melakukan bundling IE dengan OS yang diproduksi. Tying agreement dilarang dalam UU 5/1999 karena menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Dampak yang ditimbulkan dari tying agreement antara lain adalah memperluas kekuatan monopoli, menyingkirkan pelaku usaha pesaing, membatasi pilihan konsumen, dan mengurangi pengetahuan konsumen terhadap harga produk yang sebenarnya, dan penyalahgunaan posisi dominan.42 Tying agreement akan memperkuat kekuatan monopoli dari pelaku usaha yang melakukan tying karena pelaku usaha tersebut dapat menjual produk hasil produksinya tanpa harus melakukan promosi terlebih dahulu. Hal ini berdampak pada para pelaku usaha lainnya dengan produk sejenis yang berusaha untuk masuk ke pasar menjadi lebih sulit untuk menjual produknya, dengan kata lain tying agreement menjadi salah satu hal yang menyebabkan hambatan masuk ke pasar (barrier to entry). Tying agreement juga dapat menyingkirkan pelaku usaha lainnya yang sudah ada di pasar karena dengan melakukan tying produk dari pelaku usaha lain akan secara tidak langsung berkurang penjualannya yang berdampak pada kerugian usaha. Selain itu, tying agreement juga memaksa konsumen untuk membeli produk yang mungkin tidak dikehendaki karena menjadi satu paket dengan produk yang ingin dibeli. Adanya perbedaan daya tawar (bargaining power) menyebabkan konsumen tidak bisa melakukan apa-apa selain terpaksa membeli sepaket produk tersebut. Tying agreement juga menghilangkan pengetahuan harga sebenarnya suatu produk dari konsumen.
42
SKRIPSI
Stephen F. Ross, Op.Cit., h. 277-284.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
Tying menyebabkan konsumen hanya mengetahui harga total dari paket produk yang dibeli tanpa mengetahui harga dari masing-masing produk. Ketidaktahuan konsumen akan menjadi peluang bagi pelaku usaha untuk menghasilkan profit dengan cara memainkan harga produk. Dampak yang sedemikian besar membuat pengaturan tying agreement dalam UU 5/1999 diatur dengan menggunakan pendekatan per se illegal di mana hanya dengan adanya perjanjian pelaku usaha telah dianggap telah melanggar UU 5/1999. Pasal 15(2) UU 5/1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Pendekatan per se illegal mengakibatkan pelanggaran dari tying agreement hanya memerlukan pembuktian akan adanya perjanjian tanpa harus melakukan pembuktian lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan. Unsur-unsur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian, pihak lain, dan barang dan/atau jasa yang berbeda. Pelaku usaha dalam hal ini adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur adanya perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Vertical agreement on discount merupakan perjanjian di mana harga khusus atau potongan harga akan diberikan apabila distributor atau konsumen bersedia untuk memenuhi persyaratan tertentu seperti exclusive dealing atau tying agreement. Dengan kata lain, apabila pelaku usaha atau konsumen ingin mendapatkan harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha atau konsumen harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.43 Vertical agreement on discount menimbulkan dampak yang merugikan baik dari tingkat pelaku usaha lain maupun tingkat konsumen. Kerugian yang ditimbulkan
dari
tingkat
pelaku
usaha
lain
adalah
kesulitan
untuk
mendistribusikan produk hasil produksinya pada distributor yang telah terikat perjanjian vertical agreement on discount. Kesulitan dalam pendistribusian ini akan berdampak pada perolehan profit dari pelaku usaha itu sendiri. Kerugian dari
43
SKRIPSI
Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 123.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26
tingkat konsumen adalah konsumen dipaksa untuk membeli barang yang tidak diinginkannya demi mendapatkan barang yang diinginkan dengan potongan harga tertentu. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam pasal 15(3) UU 5/1999 dengan pendekatan yang digunakan untuk menentukan terjadinya pelanggaran terhadap pasal tersebut atau tidak adalah pendekatan per se illegal. Hal ini cukup beralasan karena bagaimanapun juga tidak terdapat dampak positif dari adanya vertical agreement on discount. Unsur-unsur dari pasal ini merupakan gabungan dari pasal 15(1) dan 15(2) mengingat pengaturan dalam pasal ini terdiri dari dua poin yang tiap poinnya mewakili exclusive dealing dan tying agreement.
2.4.2 Praktek Perilaku Monopoli Praktek perilaku monopoli merupakan tindakan dari pelaku usaha yang memiliki kekuatan monopoli menyalahgunakan kekuatan monopolinya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu kepada pelaku usaha lainnya dan/atau konsumen yang dapat menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Unsur terpenting dari penyalahgunaan kekuatan monopoli adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan ini memiliki kekuatan monopoli karena tanpa adanya kekuatan monopoli tidak mungkin adanya penyalahgunaan kekuatan monopoli. Terdapat berbagai macam pengertian tentang monopoli. Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha (penjual) ternyata merupakan satusatunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu, dan pada pasar tersebut
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
tidak terdapat produk substitusi (pengganti).44 Pengertian monopoli menurut Black’s Law Dictionary adalah sebuah hak khusus atau keuntungan tertentu yang berada pada satu atau lebih orang atau perusahaan, termasuk hak eksklusif (atau kekuatan) untuk menjalankan bisnis tertentu atau transaksi, memproduksi artikel tertentu, atau mengontrol penjualan dari seluruh komoditas tertentu.45 Pengertian monopoli menurut UU 5/1999 terdapat dalam pasal 1 angka 1 yakni penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pengertian yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 jika dilihat secara sepintas hanya mencakup struktur pasa dengan satu pemasok atau penerima di pasar yang bersangkutan. Pengertian monopoli dalam UU 5/1999 sebenarnya lebih luas di mana dari satu sisi dapat disimpulkan dari ciri-ciri dalam definisi struktur pasar, perilaku pasar, pangsa pasar, harga pasar serta konsumen (Pasal 1 angka 11 s.d. 15).46 Selain itu, pengaturan dalam pasal 17 UU 5/1999 terkait penyalahgunaan kekuatan monopoli juga mengatur tidak hanya mencakup monopoli dalam pengertian umum tetapi juga pelaku usaha yang memiliki penguasaan terhadap pasar lebih dari 50%.47 Monopoli secara umum terbagi atas tiga macam, yakni monopoli secara alamiah, monopoli karena undang-undang, dan monopoli atas izin penggunaan 44
Andi Fahmi Lubis, Op.Cit., h. 128. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th. ed. (St. Paul –Minnesota: West Publishing Co., 1990), h. 52, terjemahan bebas dari, “Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry out on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity.” 46 Andi Fahmi Lubis, Op.Cit., h. 129. 47 Suyud Margono, Op.Cit., h. 107. 45
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28
hak kekayaan intelektual. Monopoli alamiah terjadi karena kondisi dari pasar tidak mungkin untuk dimasuki oleh pelaku usaha lain. Pelaku usaha yang memiliki kelebihan dapat bertahan sehingga secara alami memiliki kekuatan monopoli.48 Kelebihan tersebut antara lain adalah memiliki pengetahuan dan/atau kemampuan khusus yang memungkinkan proses produksi menjadi sangat efektif dan efisien, kelebihan teknologi, izin, mampu meminimalisasi biaya yang dikeluarkan, dan memiliki akses serta kontrol pada sumber daya bahan produksi, sumber daya manusia, maupun lokasi produksi. Monopoli karena undang-undang adalah kekuatan monopoli yang diberikan oleh negara melalui amanat undangundang. Monopoli karena undang-undang diberikan kepada pelaku usaha tertentu terlepas dari apakah pelaku usaha tersebut mampu melakukan produksi dengan efisiensi tinggi atau tidak. Monopoli karena undang-undang ini diberikan terkait hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, misalnya saja air, listrik, dan gas alam.49 Monopoli atas izin penggunaan hak kekayaan intelektual adalah kekuatan monopoli yang dimiliki oleh pencipta atas benda ciptaannya semisal lukisan atau buku. Monopoli pada dasarnya bukanlah suatu perbuatan yang melanggar hukum selama diperoleh dengan cara-cara yang fair.50 Hal yang dilarang adalah penyalahgunaan dari kekuatan monopoli yang dapat menimbulkan dampak persaingan usaha tidak sehat. Hal ini yang mendasari pasal yang melarang tentang monopoli dalam UU 5/1999 menggunakan pendekatan rule of reason untuk
48
Mustafa Kamal Rokhan, Op.Cit., h. 151. Ibid, h. 17. 50 Ibid, h. 127. 49
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap kegiatan monopoli yang diatur dalam UU 5/1999. Hal ini sesuai dengan monopoli pada dasarnya karena monopoli tidak selamanya menimbulkan dampak yang merugikan sehingga larangan terhadap monopoli hanya diberlakukan apabila tindakan monopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan. Kegiatan monopoli yang dilarang oleh undang-undang tercantum dalam pasal 17 UU 5/1999. Monopoli memiliki dampak positif dan juga negatif. Dampak positif dari monopoli sendiri adalah tercapainya efisiensi optimum karena pelaku usaha yang melakukan produksi atas suatu barang tersebut memiliki kemampuan yang memadai sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan meminimalisasi biaya yang digunakan untuk produksi. Hal ini akan berdampak pada harga yang ditetapkan pada produk menjadi lebih ringan. Dampak negatif dari monopoli hanya akan muncul apabila pelaku usaha yang memiliki kekuatan monopoli berusaha melakukan kegiatan yang bersifat menghilangkan persaingan baik dengan menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada maupun menghambat pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar yang bersangkutan.51 Penetapan harga yang sewenang-wenang juga merupakan dampak negatif yang mungkin timbul akibat dari monopoli. Tidak adanya pesaing membuat pelaku usaha pemegang kekuatan monopoli dapat menentukan harga sesuai dengan kehendaknya tanpa memperdulikan daya beli dari konsumen itu sendiri. Harga
51
SKRIPSI
Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 132.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30
yang terlalu tinggi menyebabkan konsumen menjadi dirugikan karena terpaksa harus membeli barang yang tidak ada penggantinya tersebut. Atas dasar inilah UU 5/1999 mengatur penyalahgunaan kekuatan monopoli dalam pasal 17 di mana segala kegiatan monopoli yang dapat menimbulkan akibat persaingan usaha tidak sehat dilarang untuk dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan rule of reason sehingga untuk mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak diperlukan adanya evaluasi lebih lanjut terhadap kondisi pasar yang bersangkutan apakah telah terdapat persaingan usaha tidak sehat akibat adanya monopoli atau tidak. Unsur-unsur suatu kondisi dapat dikatakan sebagai monopoli berdasarkan pada pasal 1 angka 1 UU 5/1999 adanya penguasaan atas produksi, dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu, serta dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Unsur penguasaan dalam hal ini merujuk pada ketentuan pasal 17 UU 5/1999 yakni pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang memiliki penguasaan pangsa pasar lebih dari 50%. Unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam hal ini adalah pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melaluiperjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur dari pasal 17 UU 5/1999 sebagaimana tercantum dalam pedoman pasal adalah pelaku usaha, penguasaan, barang dan/atau jasa, praktek monopoli,
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31
dan persaingan usaha tidak sehat.52 Unsur pelaku usaha adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yakni setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur penguasaan adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan atau mengendalikan harga barang dan/atau jasa di pasar. Unsur barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16 UU 5/1999 adalah adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Unsur Jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 17 adalah
setiap
layanan
yang
berbentuk
pekerjaan
atau
prestasi
yang
diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 2.4.3 Penguasaan Pasar (Pasal 19 UU 5/1999) Penguasaan pasar merupakan suatu kondisi di mana satu atau sekelompok pelaku usaha memiliki penguasaan terhadap pasar yang bersangkutan.53 Pada prinsipnya penguasaan pasar tidak dilarang oleh UU 5/1999 selama penguasaan
52 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 10. 53 Andi Fahmi Lubis, et.al., Op.Cit., h. 138-138.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32
pasar tersebut didapat dengan cara yang tidak melanggar hukum. UU 5/1999 melarang penguasaan pasar yang didapatkan dengan cara melanggar hukum, di mana hal ini terlihat dalam perumusan pasal 19 huruf a hingga d yang menggunakan pendekatan rule of reason. UU 5/1999 mengatur mengenai penguasaan pasar dalam tiga pasal yakni pasal 19, pasal 20, dan pasal 21. Pasal 19 UU 5/1999 yang terdiri dari empat poin memang menggunakan pendekatan rule of reason, tetapi tidak dengan pasal 20 dan 21 UU 5/1999. Perbedaan ini terlihat dari perumusan kalimat dalam pasal tersebut di mana kalimat yang digunakan adalah larangan tanpa adanya anak kalimat “...yang dapat mengakibatkan...” Perumusan ini didasari dengan jenis pelanggaran dari penguasaan pasar tersebut, di mana dalam pasal 19 UU 5/1999 pelanggaran akan terjadi apabila dampak dari kegiatan tersebut merugikan pihak lain sedangkan pada pasal 20 dan 21 UU 5/1999 yang dilarang adalah kegiatan bisnis dari pelaku usaha tersebut. Wujud penguasaan pasar yang dilarang menurut UU 5/1999 dapat berupa jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk “mematikan“ pesaingnya, melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang, dan perang harga maupun persaingan harga.54 Penguasaan pasar sebagaimana terdapat dalam pasal 19 UU 5/1999 terdiri dari empat poin, yakni kegiatan menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, kegiatan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, kegiatan 54
SKRIPSI
Ibid,h. 139.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33
membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan, dan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Ketentuan tentang larangan kegiatan menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan terdapat dalam pasal 19 huruf a UU 5/1999. Kegiatan ini berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha yang menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar yang bersangkutan (barrier to entry). Halangan masuk yang diberikan oleh pelaku usaha pada dasarnya diperbolehkan asalkan dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum seperti meningkatkan daya saing dari produk sehingga pelaku usaha lain tidak memiliki kemampuan untuk menyaingi produk tersebut. Penciptaan hambatan masuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a UU 5/1999 memberikan dampak buruk bagi pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar yang bersangkutan seperti sulitnya untuk bersaing di pasar yang bersangkutan dan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan larangan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya pada pasal 19 huruf b sudah cukup jelas untuk dimengerti. Konsep dasar ketentuan ini hampir sama dengan pasal 19 huruf a yakni selama dilakukan dengan cara yang wajar maka hal ini diperbolehkan. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini adalah kerugian yang diderita oleh pelaku usaha lain karena berkurangnya konsumen yang biasa menggunakan produk pelaku usaha tersebut.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34
Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan merupakan ketentuan dalam pasal 19 huruf c UU 5/1999 yang pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan pasal 19 huruf b UU 5/1999, di mana perbedaannya terletak pada kondisi pelaku usaha yang menjadi target kegiatan yang dilarang. Pasal 19 huruf c UU 5/1999 menjelaskan bahwa posisi pelaku usaha yang menjadi target telah ada di dalam pasar yang bersangkutan dan pelaku usaha yang melakukan kegiatan memberikan halangan-halangan berupa pembatasan peredaran maupun penjualan terhadap suatu produk misalnya adalah pembatasan pemasangan pelayanan komunikasi pada suatu tempat tertentu. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini tentu adalah munculnya kegiatan monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat karena tidak adanya pesaing lain yang mampu bersaing dalam pasar yang bersangkutan. Praktek diskriminasi merupakan kegiatan menghambat atau bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, baik diskriminasi harga maupun non harga.55 Praktek diskriminasi dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 sedikit berbeda dengan pasal 17 UU 5/1999 karena tujuan dari pelaku usaha lebih ke arah menguasai pasar yang bersangkutan, sedangkan pasal 17 lebih ke arah kepentingan pribadi dan belum tentu bertujuan untuk menguasai pasar.56 Selain itu, dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 tidak mensyaratkan adanya penguasaan dengan batas tertentu pasar yang bersangkutan seperti pada pasal 17 UU 5/1999.
55 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 9. 56 Ibid, h. 11.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35
Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya praktek diskriminasi adalah tersingkirnya pelaku usaha lain yang berada pada pasar yang sama, menciptakan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar, berpotensi menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta membatasi pilihan konsumen. Praktek diskriminasi diatur dalam pasal 19 huruf d UU 5/1999 di mana dalam pasal tersebut digunakan pendekatan rule of reason untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran atau tidak. Hal ini menandakan bahwa untuk mengetahui apakah terjadi pelanggaran atau tidak perlu dilakukan evaluasi apakah tindakan yang dilakukan menimbulkan dampak yang bersifat anti persaingan terhadap pasar yang bersangkutan atau tidak. Penentuan apakah terjadi pelanggaran terhadap pasal 19 huruf d UU 5/1999 atau tidak dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan yakni menentukan pasar yang bersangkutan,
mengidentifikasi
penguasaan
pasar,
dan
adanya
praktek
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.57 Menganalisa pasar yang bersangkutan tentunya dengan tetap mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 10 UU 5/1999 yakni pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. Pasar yang bersangkutan tidak hanya terbatas pada hubungan yang bersifat horizontal namun juga hubungan yang bersifat vertikal.
57
SKRIPSI
Ibid, h. 18.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36
Setelah menentukan pasar yang bersangkutan, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi penguasaan pasar. Penguasaan pasar tidak hanya ditentukan dari kekuatan pelaku usaha dalam pasar yang bersangkutan namun juga ditentukan oleh faktor lainnya seperti produksi, pemasaran, pembelian, distribusi, dan akses. Selain itu, penguasaan pasar juga dapat dipengaruhi oleh undang-undang maupun regulasi pemerintah, jaringan distribusi, bantuan finansial, fasilitas penting, loyalitas dan preferensi konsumen. Dengan kata lain, penguasaan pasar terdiri dari beberapa faktor yang cukup luas dan tersebar di beberapa sisi. Langkah terakhir untuk menentukan apakah telah terjadi praktek diskriminasi atau tidak sebagaima dimaksud dalam pasal 19 huruf d adalah dengan menganalisa apakah terjadi praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. Praktek diskriminasi yang dilarang adalah perbutan yang tidak memiliki justifikasi secara sosial, ekonomi, teknis, maupun pertimbangan efisiensi lainnya.58 Diskriminasi dapat berupa diskriminasi harga maupun non-harga. Dikriminasi non-harga dapat berupa penunjukan langsung dalam suatu pekerjaan tanpa adanya alasan yang dapat diterima, menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha lain tanpa alasan yang dapat diterima, dan menetapkan persyaratan tertentu kepada pihak tertentu tanpa adanya alasan yang dapat diterima, menetapkan syarat yang berbeda terhadap pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa adanya alasan yang dapat diterima.
58
SKRIPSI
Ibid.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III ANALISA PUTUSAN KPPU TERKAIT KASUS E-POS (PUTUSAN PERKARA KPPU NOMOR 07/KPPU-I/2013) Putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 terdiri dari beberapa bagian yakni bagian irah-irah, bagian tentang identitas para pihak di mana dalam hal ini adalah para terlapor, tentang duduk perkara, pertimbangan hukum, tentang tentang amar putusan, dan bagian pengesahan putusan. Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada bagian pertimbangan hukum. Pada bagian pertimbangan hukum dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 terdapat beberapa macam pertimbangan yang berkaitan dengan penentuan ada tidaknya pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam UU 5/1999. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah tentang dugaan pelanggaran dan obyek perkara, tentang para terlapor, tentang
pasar
yang
bersangkutan,
tentang
perjanjian,
tentang
perilaku
diskriminasi, tentang pemenuhan unsur pasal 15(2), 17(1), dan 19 huruf c dan d UU 5/1999, tentang pengecualian, dan tentang denda. Pertimbangan pertama adalah pertimbangan tentang dugaan pelanggaran dan obyek. Dugaan pelanggaran terhadap PT. Angkasa Pura II persero (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor I) dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (yang selanjutnya disingkat dengan Terlapor II) telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Terlapor I diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tiga pasal dalam UU 5/1999 yakni pasal 15(2) tentang perjanjian terikat yang dalam hal ini adalah tying agreement, pasal 17(1) tentang praktek monopoli, dan pasal 19 huruf
37 SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38
d tentang penguasaan pasar. Terlapor II diduga telah melakukan pelanggaran pasal 15(2) UU 5/1999 tentang perjanjian terikat dengan Terlapor I.59 Obyek perkara dalam hal ini terbagi menjadi dua macam karena dugaan pelanggaran yang didugakan terbagi dalam hal yang berbeda. Obyek perkara yang pertama adalah perjanjian konsesi usaha dan sewa-menyewa yang dibuat oleh Terlapor I dengan penyewa dengan mensyaratkan kewajiban untuk membeli dan/atau membayar layanan e-POS yang disediakan oleh Terlapor II. Obyek perkara yang kedua adalah kegiatan monopoli dan praktek diskriminasi terhadap penyediaan layanan jasa jaringan telekomunikasi fiber optic di Bandar Udara Soekarno-Hatta.60 Pertimbangan kedua adalah pertimbangan tentang para terlapor, yakni Terlapor I dan terlapor II. Penjelasan mengenai para terlapor telah dibahas pada bab sebelumnya di mana pada intinya para terlapor merupakan badan usaha yang berbentuk badan hukum dan memiliki status sebagai BUMN.61 Pertimbangan
ketiga
adalah
pertimbangan
mengenai
pasar
yang
bersangkutan. Pertimbangan tentang pasar yang bersangkutan akan dijelaskan dalam subbab selanjutnya. Pertimbangan keempat adalah pertimbangan tentang perjanjian. Majelis Komisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 memberikan penjelasan mengenai perjanjian konsesi usaha dan sewa menyewa antara Terlapor I dengan penyewa ruang di Bandar Udara Sooekarno-Hatta dan perjanjian konsesi usaha antara Terlapor I dengan Terlapor II. Dalam pertimbangan ini, Majelis 59
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 75-76. Ibid, h. 76. 61 Ibid, h. 76-77. 60
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39
Komisi menguraikan secara detail mengenai hubungan hukum antara Terlapor I dengan penyewa ruang dan Terlapor I dengan Terlapor II. Majelis Komisi dalam pertimbangannya menitikberatkan pada pembuktian adanya perjanjian dengan unsur tying pada perjanjian konsesi usaha dan sewa-menyewa antara Terlapor I dengan penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pertimbangan ini berperan penting dalam menentukan terpenuhi atau tidak unsur dari pasal 15(2) UU 5/1999 yang didugakan kepada Terlapor I. Pertimbangan kelima adalah pertimbangan tentang perilaku diskriminasi yang diduga telah dilakukan oleh Terlapor I dengan cara menghalangi pelaku usaha lain kecuali Terlapor II untuk melakukan penanaman fiber optic di area Bandar Udara Soekarno-Hatta. Majelis Komisi dalam pertimbangan menegaskan bahwa adanya pelaku usaha lain yang melakukan penanaman jaringan fiber optic di area Bandar Udara Soekarno-Hatta yakni PT. Indosat, Tbk.62 Penjelasan lebih rinci terdapat pada bagian pembuktian pemeriksaan saksi VIII PT Indosat, Tbk. dan saksi Terlapor I Wisnu Rahardjo dan Ade Supriatna. Saksi VIII PT. Indosat, Tbk. memberikan kesaksian yang pada intinya memiliki jaringan fiber optic di area Bandar Udara Soekarno-Hatta. Saksi Terlapor I Wisnu Rahardjo dan Ade Supriatna dalam kesaksiannya menjelaskan yang pada intinya telah ada penawaran kerjasama oleh Terlapor I dalam website Terlapor I namun hingga tenggat waktu yang ditentukan tidak ada pengajuan penawaran yang masuk sehinga penawaran dari Terlapor II yang masuk terlebih dahulu diproses oleh Terlapor I. Penjelasan Majelis Komisi dalam pertimbangan ini akan menjadi dasar
62
SKRIPSI
Ibid, h. 86-87, vide h. 26-27 dan 28-29.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40
untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 19 huruf d UU 5/1999. Pertimbangan keenam adalah pertimbangan tentang pemenuhan unsur-unsur dari pasal-pasal yang diduga telah dilanggar oleh Terlapor I dan Terlapor II. Majelis Komisi dalam pertimbangan ini menguraikan empat ketentuan yang diduga telah dilanggar oleh Terlapor I dan satu ketentuan yang diduga telah dilanggar oleh Terlapor II. Unsur-unsur dalam tiga pasal yang diduga telah dilanggar diuraikan lebih lanjut dengan menganalisa fakta-fakta yang telah ada dan mengkomparasikan dengan unsur dari pasal yang diduga telah dilanggar. Pembahasan akan dilanjutkan pada subbab selanjutnya. Pertimbangan ketujuh adalah pertimbangan tentang dampak persaingan usaha. Majelis Komisi berpendapat bahwa tindakan Terlapor I mewajibkan penyewa ruang menggunakan layanan e-POS telah menimbulkan kerugian bagi para penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta.63 Pertimbangan
kedelapan
adalah
pertimbangan
tentang
pengecualian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 dan 51 UU 5/1999. Terlapor I mendalilkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor I dikecualikan berdasarkan pada Peraturan Menteri BUMN Nomor 5 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Barang dan/atau Jasa di BUMN.64 Pembahasan terkait hal ini akan dilanjutkan pada subban selanjutnya.
63 64
SKRIPSI
Ibid, h. 98. Ibid.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41
Pertimbangan kesembilan adalah tentang denda yang dibebankan kepada Terlapor I dan Terlapor II sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Pembahasan dari denda akan dilanjutkan pada subbab selanjutnya. 3.1 Pendekatan yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 Sebelum menganalisa pelanggaran yang terjadi, pendekatan yang digunakan harus dianalisa terlebih dahulu karena tidak semua ketentuan pasal dalam UU 5/1999 menggunakan pendekatan yang sama. Dalam pertimbangan putusan, Majelis Komisi menggunakan dua sisi pendekatan dalam menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap UU 5/1999, yakni pendekatan dari sisi ekonomi dan pendekatan dari sisi yuridis. Pendekatan ekonomi yang dilakukan oleh KPPU dapat berupa penentuan pasar yang bersangkutan (relevant market), penentuan kekuatan pasar berdasarkan pada pangsa pasar yang dimiliki (market power), hambatan masuk pada pasar yang bersangkutan (barrier to entry), dan strategi harga. Pendekatan hukum yang digunakan adalah pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal digunakan untuk menganalisa apakah telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999 tentang perjanjian tertutup yang dalam perkara ini adalah tying agreement. Pendekatan rule of reason digunakan untuk menganalisa apakah telah terjadi pelanggaran pasal 17(2) dan pasal 19 huruf d UU 5/1999 tentang praktek monopoli dan penguasaan pasar yang dalam perkara ini adalah perilaku diskriminatif. Pendekatan dari sisi ekonomi yang digunakan oleh Majelis Komisi
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
42
adalah pendekatan dengan menentukan apakah tindakan dari terlapor telah menimbulkan kerugian terhadap pihak lain secara ekonomi. 3.1.1 Pendekatan Ekonomi Pendekatan ekonomi dengan penentuan pasar yang bersangkutan (relevant market) berperan sangat penting dalam penentuan terjadinya pelanggaran terhadap UU 5/1999 karena pendekatan ini digunakan untuk menganalisa tingkat persaingan dalam suatu pasar yang bersangkutan.65 Definisi dari pasar yang bersangkutan dapat diketahui dengan menggunakan dua pendekatan yakni berdasarkan pada produk yang diperdagangkan dan lokasi dari produsen dan penjual. Pendekatan berdasarkan pada produk yang diperdagangkan atau biasa disebut dengan pendekatan pasar produk adalah pendekatan yang didasarkan pada ada tidaknya produk substitusi terdekat (close substitutes) atau tidak dalam pasar yang bersangkutan. Teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya pasar
produk
adalah
penggolongan
pasar
produk
berdasarkan
fungsi,
penggolongan pasar produk berdasarkan kemasan, dan penggolongan pasar produk berdasarkan harga serta kualitas barang dan jasa. Pendekatan berdasarkan lokasi dari produsen dan penjual atau biasa disebut dengan pasar geografis adalah pendekatan yang didasarkan pada hilang tidaknya konsumen dari suatu wilayah saat menaikkan harga. Majelis Komisi dalam putusan nomor 07/KPPU-I/2013 menentukan dalam perkara a quo sesuai dengan pasal 1 angka 10 UU 5/1999 terdapat dua sisi pasar yang berbeda (two-sided market) sehingga berdampak pada adanya dua pasar 65
L. Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha), Srikandi, Surabaya, 2008, h. 250.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43
bersangkutan yang berbeda.66 Pasar bersangkutan yang pertama dalam konteks hubungan antara penyedia jaringan telekomunikasi dengan Terlapor I, di mana Terlapor II sebagai penyedia jaringan telekomunikasi mengikatkan diri pada Terlapor I untuk menyediakan layanan jaringan telekomunikasi di lingkungan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pasar yang bersangkutan dalam hal ini adalah penyediaan jaringan fiber optic (FO) di wilayah Bandar Usaha Soekarno-Hatta dengan pasar produk jaringan telekomunikasi berupa fiber optic (FO) dan pasar geografis wilayah Bandar Udara Soekarno-Hatta.67 Pasar bersangkutan yang kedua dalam konteks hubungan antara Terlapor I dengan empat ratus Mitra Usaha di lingkungan Bandara Soekarno-Hatta , di mana Terlapor I melaksanakan perjanjian sewa-menyewa ruang usaha dan Konsesi usaha dengan mitra usaha yang menyewa ruang usaha (penyewa) di wilayah Bandar Udara Soekarno Hatta. Penyewa juga diwajbkan untuk membayar dan/atau menggunakan layanan e-POS. Pasar yang besangkutan dalam hal ini adalah layanan e-POS di ruang usaha yang disewakan kepada empat ratus penyewa di wilayah Bandar Udara Sokearno-Hatta dengan pasar produk layanan e-POS dan psar geografis ruang usaha yang disewakan kepada empat ratus penyewa.68 Penentuan pasar bersangkutan ini sangat penting karena berkaitan dengan terpenuhi atau tidak unsur dalam pasal dalam UU 5/1999 yang dilanggar oleh para terlapor. Uraian kasus posisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPUI/2013 menjelaskan adanya dua pasar bersangkutan yang berbeda. Hal ini terjadi 66
Putusan Perkara KPPU, OpCit., h. 81. Ibid. 68 Ibid, h. 82. 67
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44
karena tiga pasal yang diduga telah dilanggar oleh para terlapor tidak dapat terjadi dalam satu hubungan yang sama. Pasar bersangkutan penyediaan jaringan fiber optic (FO) di wilayah Bandar Udara Soekarno-Hatta akan menjadi relevan jika ditempatkan dalam hubungan antara Terlapor I sebagai pengelola Bandara Soekarno-Hatta dengan Terlapor II sebagai penyedia layanan jaringan telekomunikasi. Pendekatan ekonomi selanjutnya adalah pendekatan berdasarkan pada kekuatan pasar (market power) di mana dasar yang digunakan adalah pangsa pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha. Penentuan pangsa pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha dapat dilihat dengan cara mengukur penjualan baik dalam jumlah penghasilan (rupiah) atau dalam jumlah (unit) serta penjualan dari waktu yang telah lampau, dan kapasitas produksi dari pelaku usaha tersebut.69 Majelis Komisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 tidak menyertakan pendekatan ekonomi berdasarkan kekuatan pasar (market power). Pada dasarnya, pendekatan ekonomi ini perlu disertakan untuk mengetahui seberapa besar kekuatan pasar dari para terlapor mengingat pasal yang didugakan kepada para terlapor mensyaratkan adanya ketentuan kekuatan pasar diatas 50% yakni pasal 17(1) dan pasal 19 huruf c UU 5/1999. Tidak disertakannya pendekatan ini didasarkan pada urutan pemenuhan unsur dalam pasal 17(1) dan pasal 19 huruf c di mana unsur yang harus dipenuhi terlebih dahulu adalah unsur pasar yang bersangkutan yang dalam pertimbangan putusan tidak terpenuhi.70
69 70
SKRIPSI
L. Budi Kagramanto, Op.Cit., h. 253. Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 94-96.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
45
Pendekatan ekonomi dari sisi hambatan masuk pada pasar yang bersangkutan (barrier to entry) adalah pendekatan pendekatan dari tindakan pelaku usaha menghalangi pelaku usaha lainnya untuk masuk ke dalam pasar yang bersangkutan yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pendekatan ini juga cukup penting untuk disertakan dalam pertimbangan hukum putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 karena menjadi salah satu unsur yang harus dipenuhi dari pasal yang diduga telah dilanggar oleh Terlapor I yakni pasal 19 huruf d UU 5/1999. Majelis Komisi dalam pertimbangan hukum putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 tidak menyertakan pendekatan ekonomi ini. Hal ini didasari dengan alasan bahwa dalam Bandar Udara Soekarno-Hatta terdapat penyedia jasa layanan telekomunikasi fiber optic selain dari Terlapor II.71 Pendekatan ekonomi dari sisi strategi harga adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengamati proses pembentukan harga pasar, apa pertimbangan dan strategi apa yang digunakan oleh pelaku usaha.72 Strategi harga yang sering digunakan oleh pelaku usaha antara lain adalah penetapan harga yang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, menyerap surplus dari konsumen, strategi harga untuk biaya serta struktur permintaan khusus, strategi pada persaingan harga yang ketat, harga acak, dan penetapan harga lain yang antikompetitif. Majelis Komisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 tidak menyertakan pendekatan ekonomi ini karena obyek perkara dalam perkara ini tidak melibatkan adanya permasalahan harga.
71 72
SKRIPSI
Ibid, h. 85-86. L. Budi Kagramanto, Op.Cit., h. 257.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
46
Pendekatan ekonomi yang telah diterapkan oleh Majelis Komisi dalam putusan ini hanya sebagian dari pendekatan ekonomi yang telah ada sehingga analisa mengenai dampak kerugian yang ditimbulkan menjadi kurang akurat. Pendekatan ekonomi yang digunakan akan lebih baik apabila lebih dari satu pendekatan saja karena dengan adanya beberapa pendekatan ekonomi, kerugian yang ditimbulkan dapat dikalkulasi dengan baik dan penghitungan sanksi denda yang dijatuhkan juga akan lebih akurat. 3.1.2 Pendekatan Yuridis Pendekatan per se illegal sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya digunakan untuk pelanggaran dalam perilaku bisnis karena apabila unsur dari suatu pasal terpenuhi maka tidak diperlukan adanya pemeriksaan lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran pasal tersebut. Perumusan pasal 15 UU 5/1999 menggunakan tipe pendekatan per se illegal dan Majelis Komisi dalam perkara nomor 07/KPPU-I/2013 juga menggunakan pendekatan yang sama dalam menganalisa ada tidaknya pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999. Hal ini dapat dicermati dalam pertimbangan hukum Majelis Komisi dalam bagian pemenuhan unsur pasal 15(2) UU 5/1999di mana Majelis Komisi hanya membuktikan apakah unsur-unsur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 telah terpenuhi atau tidak tanpa melakukan pembuktian lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran pasal tersebut.73 Pertimbangan tentang pemenuhan unsur-unsur dalam pasal 15(2) UU 5/1999 diuraikan secara detail oleh Majelis Komisi. Unsur-unsur yang harus dipenuhi
73
SKRIPSI
Ibid, h. 87-94.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
47
dalam pasal 15(2) UU 5/1999 adalah pelaku usaha, adanya perjanjian dengan pihak lain, barang dan/atau jasa, pihak yang menerima barang/dan atau jasa tertentu, dan barang dan/atau jasa yang berbeda. Unsur pelaku usaha dalam pertimbangan ini dengan berdasar pada pasal 1 angka 5 UU 5/1999 dijelaskan oleh Majelis Komisi di mana para pihak yang terlibat dalam pelanggaran pasal 15(2) UU 5/1999 yakni Terlapor I. Sebagaimana telah terurai dalam pertimbangan hukum dan pemeriksaan alat bukti, Terlapor I membuat perjanjian yang mengandung unsur tying yang ditujukan bagi penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang dalam hal ini juga pelaku usaha.74 Terlapor II terlibat hanya dalam hal penarikan keuntungan atas penggunaan layanan e-POS dan tidak terlibat secara langsung dalam hubungan hukum perjanjian yang mengandung unsur tying tersebut. Terlapor II hanya terlibat sebagi pihak ketiga dalam perjanjian. Unsur perjanjian dengan pihak lain dalam pertimbangan tidak diuraikan secara mendetail karena hubungan hukum yang terjadi antara Terlapor I, Terlapor II, dan pihak penyewa ruang telah dijelaskan dalam bagian putusan sebelum pertimbangan hukum yang pada intinya menyatakan bahwa hubungan hukum antara Terlapor I dengan Terlapor II adalah perjanjian konsesi75 usaha penyediaan layanan e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan hubungan hukum antara Terlapor I dengan penyewa ruang adalah perjanjian konsesi usaha dan sewamenyewa ruang di Bandar Udara di mana perjanjian ini mengandung unsur
74
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 47-48 dan h. 89-91. Perjanjian Konsesi merupakan perjanjian yang sifatnya memberikan ijin kepada pihak lain untuk mengadakan suatu usaha dengan bekerja sama di mana keuntungan yang didapat nantinya akan dibagi sesuai dengan prosentase yang telah disepakati. 75
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
48
tying.76 Perjanjian yang dimaksud dalam pemenuhan unsur pasal 15(2) UU 5/1999 adalah perjanjian yang mengandung unsur tying dengan kata lain adalah perjanjian antara Terlapor I dengan penyewa ruang sehingga Terlapor II tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Adanya perjanjian yang mengandung unsur tying menjadi dasar bagi Majelis Komisi untuk memutuskan unsur adanya perjanjian dengan pihak lain dalam pasal 15(2) UU 5/1999 terpenuhi.77 Unsur barang dan/atau jasa yang dalam hal ini adalah jasa penyewaan ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta (tying product) oleh Terlapor I kepada penyewa ruang tanpa perlu diuraikan lebih lanjut telah terlihat jelas terpenuhi. Jasa penyewaan ruang sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 17 tentang jasa sehingga dapat dikategorikan sebagai jasa menurut UU 5/1999.78 Unsur pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu dalam perjanjian ini adalah pihak yang menjadi penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sesuai dengan pemeriksaan alat bukti dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 bahwa terdapat lebih dari satu penyewa ruang menandakan adanya penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta sehingga Majelis Komisi memutuskan bahwa unsur pihak yang menerima jasa tertentu terpenuhi.79 Unsur barang dan/atau jasa lain diuraikan dalam pertimbangan hukum secara singkat dengan mengaitkan pada perjanjian antara Terlapor I dengan penyewa ruang di mana adanya kewajiban untuk membeli dan/atau menggunakan layanan e-POS apabila menyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Majelis Komisi
76
Ibid, h. 26-27. Ibid, h. 91-92. 78 Ibid, h. 92. 79 Ibid, h. 92-93. 77
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
49
menjelaskan bahwa sesuai dengan fakta persidangan yang ada layanan e-POS diwajibkan bagi seluruh penyewa ruang dan ruang dapat digunakan tanpa harus menggunakan layanan e-POS sehingga layanan e–POS merupakan tied porduct. Setelah terpenuhinya kelima unsur dari pasal 15(2) UU 5/1999, Majelis Komisi tidak melakukan pemeriksaan mengenai dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran pasal 15(2) UU 5/1999. Hal ini menandakan pendekatan yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam menentukan adanya pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999 adalah pendekatan per se illegal. Keputusan Majelis Komisi menyatakan bahwa Terlapor I cukup tepat karena berdasarkan pada buktibukti persidangan sebagaimana dicantumkan dalam bagian duduk perkara dalam putusan Terlapor I memang membuat perjanjian yang bersifat mengikat terhadap para penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pendekatan rule of reason sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya digunakan pada kegiatan atau perjanjian yang menimbulkan dampak persaingan usaha tidak sehat atau dengan kata lain kegiatan atau perjanjian yang dilakukan tidak dianggap melanggar apabila tidak menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Perumusan pasal 17 UU 5/1999 menggunakan tipe pendekatan rule of reason di mana dapat terlihat dari perumusan kata-kata yang tertuang dalam pasal tersebut, termasuk pasal 17(1) UU 5/1999. Majelis Komisi dalam pertimbangan hukum menguraikan unsur-unsur dari pasal 17(1) UU 5/1999 untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap pasal tersebut. Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah pelaku usaha, penguasaan, barang dan/atau jasa, praktek monopoli, dan persaingan usaha tidak
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
50
sehat. Berdasarkan pada pasal 1 angka 5 tentang pengertian pelaku usaha, Terlapor I telah memenuhi kriteria sebagai pelaku usaha sehingga unsur pelaku usaha dalam pasal 17(1) UU 5/1999 telah terpenuhi.80 Unsur penguasaan barang menurut Majelis Komisi tidak terpenuhi karena berdasarkan fakta persidangan yang ada Terlapor I tidak terbukti menjalankan usaha dalam pasar yang bersangkutan di mana dalam hal ini adalah pengadaan jaringan fiber optic. Pertimbangan Majelis Komisi sesuai dengan uraian fakta persidangan yang ada karena permasalahan antara tying agreement dan kegiatan monopoli dan penguasaan pasar memiliki pasar bersangkutan yang berbeda. Pasar yang bersangkutan dalam obyek perkara tying agreement adalah ruang yang disewakan oleh Terlapor I kepada para penyewa sedangkan pasar yang bersangkutan dalam obyek perkara kegiatan monopoli dan penguasaan pasar adalah penyediaan jasa layanan telekomunikasi fiber optic. Uraian dalam kasus posisi menjelaskan bahwa Terlapor I menjalankan usaha jasa pengelolaan Bandar Udara Soekarno-Hatta dan bukan penyediaan jasa layanan Telekomunikasi. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam suatu pasal akan mengakibatkan pasal yang didugakan tidak terbukti karena rumusan pasal 17 merupakan rumusan pasal yang utuh.81 Atas dasar itulah Majelis Komisi tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap unsur-unsur lainnya. Pendekatan yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam putusan perkara nomor 07/KPPU-I/2013 tidak dapat
80 81
SKRIPSI
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 94-95. Ibid, h. 95.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
51
ditentukan secara jelas karena dalam putusan a quo kegiatan Terlapor I tidak memenuhi beberapa unsur dari pasal 17(1) UU 5/1999.82 Hal yang tidak jauh berbeda juga terdapat dalam penentuan ada tidaknya pelanggaran terhadap pasal 19 huruf c dan d UU 5/1999 oleh Majelis Komisi. Pada dasarnya perumusan pasal 19 UU 5/1999 menggunakan pendekatan rule of reason. Hal ini terlihat dari kalimat pasal 19 UU 5/1999 yang menggunakan anak kalimat “...yang dapat mengakibatkan...”, di mana anak kalimat ini merupakan ciri dari pendekatan rule of reason. Dugaan pelanggaran pasal 19 huruf c UU 5/1999 dalam hal ini adalah memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang bersangkutan diuraikan oleh Majelis Komisi dalam pertimbangan pemenuhan unsur pasal 19 huruf c. Unsur- unsur dalam pasal 19 huruf c UU 5/1999 adalah pelaku usaha, membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan, dan menimbulkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Terlapor I dalam hal ini telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU 5/1999 sehingga unsur pelaku usaha telah terpenuhi. Unsur membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan menurut Majelis Komisi tidak terpenuhi karena pasar yang bersangkutan dalam pelanggaran yang diduga terjadi adalah pengadaan jaringan fiber optic sementara Terlapor I sama sekali tidak menjalankan usaha di bidang pengadaan jaringan fiber optic.83 Tidak terpenuhinya salah satu unsur menjadi dasar bagi Majelis Komisi untuk tidak 82 83
SKRIPSI
Ibid, h. 94-95. Ibid, h. 96.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
52
melanjutkan pemeriksaan karena pasal 19 huruf c merupakan rumusan pasal yang utuh. Dugaan pelanggaran pasal 19 huruf d UU 5/1999 yakni perilaku diskriminasi terhadap pelaku usaha lainnya pada dasarnya hampir sama dengan pasal 19 huruf c UU 5/1999. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Komisi menyatakan bahwa tidak terpenuhinya salah satu unsur dari pasal 19 huruf d UU 5/1999 yakni unsur satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain yang mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.84 Majelis Komisi memutuskan hal ini berdasarkan pada pertimbangan hukum sebelumnya di mana Terlapor I telah memberikan kesempatan bagi penyedia jasa layanan jaringan telekomunikasi untuk bekerjasama dengan Terlapor I. Tidak terpenuhinya salah satu unsur akan berdampak pada tidak terjadinya pelanggaran terhadap pasal 19 huruf d UU 5/1999 karena pasal tersebut merupakan rumusan pasal yang utuh. Majelis Komisi dalam pertimbangan hukum putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 menyatakan bahwa Terlapor I tidak memeuhi beberapa unsur dalam pasal 19 huruf c dan d sehingga jenis pendekatan yang digunakan tidak tampak secara jelas. Pendekatan rule of reason memiliki perbedaan dengan pendekatan per se illegal dalam hal pembuktian adanya pelanggaran yang dilakukan, di mana selain terpenuhinya unsur-unsur dari pasal yang dilanggar juga harus adanya analisa ekonomi terkait dampak kerugian terhadap pelaku usaha lain. Tidak terpenuhinya unsur-unsur dari suatu pasal tentu akan menghentikan
84
SKRIPSI
Ibid, h. 97.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
53
pemeriksaan lebih lanjut terkait dampak dari sisi ekonomi sehingga pendekatan yang digunakan oleh Majelis Komisi tidak terlihat jelas antara per se illegal atau rule of reason. Pendekatan hukum yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam putusan ini telah sesuai dengan pendekatan hukum yang digunakan dalam UU 5/1999 walaupun dalam pendekatan hukum rule of reason tidak begitu nampak karena adanya unsur yang tidak terpenuhi dalam pembuktian pasal 17(1) dan pasal 19 huruf c dan d UU 5/1999. 3.2
Pengecualian Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat UU 5/1999 memberikan ruang pengecualian bagi perjanjian dan kegiatan
tertentu yang memenuhi unsur-unsur dalam pasal pelanggaran UU 5/1999. Pengecualian tersebut terdapat dalam dua pasal yakni pasal 50 dan pasal 51 UU 5/1999. Pasal 50 UU 5/1999 memberikan pengecualian yang sifatnya lebih luas karena tidak dibatasi untuk pelaku usaha tertentu, berbeda halnya dengan pasal 51 UU 5/1999 yang khusus mengatur mengenai pengecualian bagi BUMN atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Pengecualian dalam pasal 50 UU 5/1999 terdiri dari sembilan poin, yakni: a. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba uran perundang-undangan yang berlaku; c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
54
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Sedangkan untuk pengecualian dalam pasal 51 UU 5/1999 dikhususkan pada pengelolaan barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang penting bagi negara dapat diserahkan kepada BUMN atau lembaga yang ditunjuk pemerintah dan dikelola secara monopoli. Terlapor I dalam putusan perkara nomor 07/KPPU-I/2013 mendalilkan bahwa tindakan penunjukan langsung Terlapor II sebagai penyedia jasa layanan ePOS termasuk ke dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf a yakni perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan. Terlapor I berpendapat bahwa peraturan menteri BUMN merupakan peraturan yang lebih khusus sehingga berdasarkan pada asas lex specialis derogat legi generali Terlapor I melakukan sinergi dalam bentuk kerjasama untuk pengadaan layanan e-POS.85 Peraturan Menteri BUMN Nomor 5 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun
85
SKRIPSI
Ibid, h. 91.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
55
2012 Tentang Pengadaan Barang dan/atau Jasa di BUMN mensyaratkan hanya adanya satu penyedia barang dan/atau jasa.86 Majelis Komisi berpendapat bahwa sinergi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengecualikan keberlakuan UU 5/1999 karena BUMN pada dasarnya memiliki posisi yang sama dengan swasta sehingga dalam sinergi proses formal tetap diperlukan agar BUMN dapat bersaing secara adil dengan swasta.87 Pendapat Majelis Komisi cukup tepat karena dasar alasan yang digunakan sesuai dengan pengecualian yang telah dicantumkan dalam UU 5/1999. 3.3 Alat Bukti yang Digunakan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 UU 5/1999 telah menentukan apa saja yang dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan. Pasal 42 UU 5/1999 menyebutkan alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam persidangan, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Beberapa alat bukti tersebut terbagi menjadi dua jenis yakni direct evidence dan indirect evidence.88 Semua alat bukti tersebut termasuk ke dalam direct evidence kecuali alat bukti petunjuk yang masuk ke dalam indirect evidence. Alat bukti pertama adalah keterangan saksi, di mana pengertian dari saksi tidak dijelaskan dalam UU 5/1999. Pengertian dari saksi ini kemudian merujuk pada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 86
Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri BUMN Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Badan Usaha Milik Negara, ps. 9(3). 87 Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 99. 88 Andi Fahmi Lubis et.al., Op.Cit., h. 329.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
56
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara yakni dalam pasal 1 angka 14. Pengertian saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Pembahasan keterangan saksi dalam peraturan KPPU 1/2010 masih sangat terbatas sehingga dalam pembahasan lebih lanjut mengenai keterangan saksi merujuk padahukum acara pidana dan hukum acara perdata yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan HIR.89 Alat bukti kedua adalah alat bukti keterangan ahli, di mana yang dimaksud dengan ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran dan memberikan pendapat guna kepentingan pemeriksaan.90 Berbeda dengan saksi yang menyampaikan apa yang secara langsung diketahui, ahli dalam hal ini menyampaikan pendapat tentang apa yang diminta oleh Majelis Komisi dalam persidangan sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.91 Keterangan ahli dalam hal ini bersifat tentatif, di mana perlu tidaknya untuk menyertakan keterangan ahli sebagai pertimbangan dalam putusan menjadi kewenangan dari Majelis Komisi.92 Alat bukti ketiga adalah surat dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam peraturan KPPU 1/2010 yakni akta autentik maupun akta di bawah tangan, surat keputusan atau surat ketetapan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang, data yang memuat kegiatan usaha terlapor, dan surat yang memiliki keterkaitan
89
I Made Sarjana, Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha, Disertasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 2012, h. 193. 90 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang tata Cara Penanganan Perkara, ps. 1 angka 15. 91 Ibid, ps. 56(2). 92 I Made Sarjana, Op.Cit., h. 198.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57
dengan perkara.93 Kedudukan alat bukti surat dalam hukum acara persaingan usaha sama dengan hukum acara perdata karena aktivitas pelaku usaha merupakan aktivitas bisnis yang bersifat keperdataan.94 Alat bukti keempat adalah petunjuk yang termasuk kedalam indirect evidence. UU 5/1999 dan peraturan KPPU 1/2010 mengatur mengenai pengertian maupun penjelasan bagaimana cara penggunaan dari alat bukti tersebut. Pasal 188(2) KUHAP menjelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Selain dari ketiga hal tersebut, alat bukti petunjuk dalam perkara persaingan usaha dapat memanfaatkan analisis ekonomi.95 Analisis ekonomi memiliki peranan penting apabila alat bukti langsung belum cukup kuat untuk memperkuat putusan yang akan dijatuhkan oleh KPPU. Analisis ekonomi digunakan oleh KPPU dalam menerapkan pendekatan rule of reason. Analisis ekonomi berfungsi untuk mengetahui apakah telah terjadi kerugian dari aktivitas pelaku usaha yang dilaporkan. Alat bukti kelima adalah keterangan pelaku usaha dalam hal ini adalah keterangan pelaku usaha terlapor. Keterangan pelaku usaha terlapor memiliki lingkup yang lebih luas karena mencakup pengakuan dan penolakan terlapor serta penjelasan segala hal yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran.96 Dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013, alat bukti yang digunakan oleh majelis komisi antara lain adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, serta keterangan pelaku usaha terlapor. 93
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang tata Cara Penanganan Perkara, ps. 76(1). 94 I Made Sarjana, Op.Cit., h. 203. 95 Ibid, h. 206. 96 Ibid, h. 208.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58
Petunjuk dalam hal ini didapat dari pemeriksaan fakta-fakta hukum yang ada serta perilaku para terlapor yang mengisyaratkan adanya perilaku anti persaingan.97 Majelis Komisi telah melakukan pemeriksaan dengan maksimal dengan memanfaatkan setiap alat bukti yang diperkenankan dalam UU 5/1999 sehingga semua fakta hukum yang ada dapat terungkap dengan jelas. 3.4 Sanksi yang Dijatuhkan Oleh Majelis Komisi Dalam Putusan Perkara KPPU Nomor 07/KPPU-I/2013 Majelis Komisi dalam amar putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda kepada Terlapor I dan Terlapor II. Terlapor I telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap pasal 15(2) UU 5/1999 sedangkan Terlapor II sama sekali tidak terbukti melakukan pelanggaran, namun karena Terlapor II juga melakukan kegiatan secara aktif dengan melakukan penarikan konsesi dari hasil perjanjian yang mengandung unsur tying maka Terlapor II juga dikenakan sanksi denda layaknya Terlapor I.98 Ketentuan mengenai sanksi administratif terdapat dalam pasal 47 UU 5/1999. Sanksi administratif berdasarkan pasal 47(2) UU 5/1999 memiliki berbagai macam bentuk yakni pembatalan perjanjian, penghentian integrasi vertikal, perintah penghentian kegiatan usaha, perintah penghentian penyalahgunaan posisi dominan, penetapan pembatalan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham, penetapan pembayaran ganti rugi, dan/atau pengenaan denda. Sanksi
97 98
SKRIPSI
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 55-58. Putusan Perkara KPPU, Op.Cit., h. 89.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
59
administratif berupa pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf a UU 5/1999 adalah pembatalan perjanjian yang melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15, dan pasal 16 UU 5/1999. Sanksi administratif pengehentian integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf b adalah penghentian integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU 5/1999. Penghentian integrasi vertikal dapat berupa membatalkan perjanjian yang telah dibuat, mengalihkan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksi.99 Sanksi administratif perintah penghentian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf c UU 5/1999 adalah perintah penghentian kegiatan usaha yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha dan/atau merugikan masyarakat sesuai dengan UU 5/1999. Kegiatan yang menimbulkan praktek monopoli dalam hal ini adalah kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4(1), pasal 9, pasal 11 sampai dengan pasal 13, pasal 16 sampai dengan pasal 20, pasal 26 huruf c, dan pasal 28 (1) dan pasal 28 (2).100 Sanksi administratif perintah penghentian penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf d adalah perintah penghentian penggunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 hingga 29 UU 5/1999. Sanksi administratif penetapan pembatalan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf e
99 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 5. 100 Ibid, h. 6.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60
adalah penetapan pembatalan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham pada pasal 28 UU 5/1999. Sanksi administratif penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf f UU 5/1999 adalah ganti rugi aktual (actual damages) yakni ganti rugi yang disesuaikan dengan kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dalam nilai rupiah.101 KPPU menggunakan prinsip-prinsip dalam hukum perdata terkait dengan sanksi administratif ganti rugi sehingga pelaku usaha yang hendak meminta ganti rugi atas kerugian yang disebabkan pelaku usaha lain harus membuktikan secara aktual kerugian yang benar-benar diderita dari pelanggaran yang terjadi. KPPU bertugas untuk melakukan validasi dari perhitungan yang dibuat oleh pelaku usaha tersebut. Sanksi administratif pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 47(2) huruf g UU 5/1999 adalah pengenaan terhadap pelaku usaha yang melanggar dengan batasan paling rendah satu milyar rupiah dan paling tinggi dua puluh miliar rupiah. Terdapat dua langkah yang ditempuh oleh KPPU dalam menentukan besaran denda yang akan dibebankan pada pelanggar, yakni menentukan nilai dasar besaran kemudian penyesuaian dengan menambah atau mengurangi dari nilai dasar tersebut. Penentuan nilai dasar denda dilakukan dengan melakukan perhitungan terhadap nilai penjualan. Faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan dalam perhitungan adalah skala perusahaan, jenis
101
SKRIPSI
Ibid, h. 7.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61
pelanggaran, gabungan pangsa pasar dari para terlapor, cakupan wilayah geografis pelanggaran, dan telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran.102 KPPU akan melakukan penyesuaian besaran denda setelah nilai dasar denda didapatkan dari hasil perhitungan. Penyesuaian yang dilakukan dapat berupa penambahan atau pengurangan denda. Aspek yang mempengaruhi penambahan nilai denda adalah adanya pengulangan terhadap pelanggaran dan tindakan tidak kooperatif dalam pemeriksaan. Selain itu, penambahan juga dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang melanggar UU 5/1999. Aspek yang mempengaruhi pengurangan nilai denda adalah segera menghentikan pelangaran yang dilakukan dan melapor kepada KPPU, membuktikan bahwa keterlibatan pelaku usaha tidak disengaja dan minimal, kooperatif dalam proses pemeriksaan, serta kemampuan pelaku usaha untuk membayar denda. Perhitungan akhir yang digunakan oleh KPPU dalam pembebanan denda adalah jumlah akhir dari besaran denda tidak boleh melebihi dua puluh lima milyar rupiah dan tidak boleh melebihi 10% dari total turnover103 dari tahun berjalan dari terlapor.104 Apabila 10% turnover melebihi nilai dua puluh lima milyar rupiah maka denda yang dikenakan pada pelaku usaha pelanggar adalah dua puluh lima milyar rupiah. Jika nilai 10% turnover lebih kecil atau sama dengan dua puluh lima milyar rupiah maka denda yang dikenakan sebesar 10%
102
Ibid, h.9. Turnover atau yang lebih dikenal dengan omzet adalah nilai transaksi yang terjadi dalam hitungan waktu tertentu di mana dalam hal ini adalah nilai transaksi pengadaan layanan e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta. 104 Ibid, h. 10. 103
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
62
turnover tersebut. Nilai akhir denda dibawah satu milyar demi keadilan dapat diganti dengan sanksi administratif yang lain. Terlapor I dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 telah mengalihkan pembiayaan investasi layanan e-POS kepada penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan mengambil keuntungan sebesar Rp. 250.000,/unit/bulan atas layanan e-POS tersebut.105 Hal ini menimbulkan kerugian bagi penyewa ruang karena pada dasarnya layanan e-POS merupakan kebutuhan mendesak dari Terlapor I dan bukan penyewa ruang. Total biaya yang dibebankan kepada empat ratus penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang menggunakan layanan e-POS adalah sebesar Rp. 1.350.000,-/bulan dengan perincian Rp. 1.050.000,- untuk biaya investasi layanan e-POS dan Rp. 300.000,untuk keuntungan yang didapat oleh para terlapor (Terlapor I mendapat bagian Rp. 250.000,- dan Terlapor II mendapat bagian Rp. 50.000,-).106 Terlapor I mewajibkan penggunaan layanan e-POS bagi para penyewa ruang di Bandar Udara Soekarno-Hatta sejak tanggal 18 Juli 2011 hingga putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 dikeluarkan sehingga total kerugian yang ditimbulkan adalah sebesar Rp. 11.340.000.000,- dari hasil perhitungan biaya layanan e-POS per bulan selama 21 bulan dikali jumlah penyewa ruang yang menggunakan layanan e-POS di mana Terlapor I mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.100.000.000,- dan Terlapor II mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 420.000.000,- dalam kurun waktu tersebut.
105 106
SKRIPSI
Putusan Perkara KPPU, Op.Cit.,h. 55 Ibid, h. 54.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63
Majelis Komisi dalam putusan perkara nomor 07/KPPU-I/2013 menetapkan besaran denda yang dibebankan pada Terlapor I sebesar Rp. 3.402.000.000,- dan Terlapor II sebesar Rp. 2.109.240.000,-.107 Perhitungan ini didasarkan pada nilai pendapatan eksesif (profit sharing) masing-masing Terlapor I dan Terlapor II dengan tambahan bagi Terlapor II sebesar 10% dari pendapatan yang tidak dibagi dalam pengenaan e-POS kepada para penyewa di Bandar Udara SoekarnoHatta.108 Nominal dari sanksi denda yang dijatuhkan oleh Majelis Komisi pada dasarnyua sesuai dengan cara perhitungan yang telah ditetapkan oleh peraturan KPPU dan tidak menyalahi ketentuan yang ada yakni minimal satu milyar rupiah dan maksimal dua puluh lima milyar rupiah meskipun denda yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian yang telah ditimbulkan.
107 108
SKRIPSI
Ibid, h. 102-103. Ibid, h. 101-102.
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan a. Dugaan pelanggaran ketentuan dalam UU 5/1999 yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II Persero (persero) dan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 terdiri dari dua jenis pelanggaran yang berbeda yakni perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang di mana masing-masing pelanggaran memiliki beberapa unsur yang harus dipenuhi sebelum dinyatakan telah melanggar ketentuan tersebut. b. Majelis Komisi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 telah menerapkan UU 5/1999 maupun peraturan lainnya yang terkait dengan perkara yang diputus secara maksimal. Kekurangan yang terdapat dalam putusan tersebut hanya pada kurangnya pendekatan ekonomi yang digunakan sehingga analisa dampak kerugian yang ditimbulkan kurang dapat dihitung dengan akurat. Sanksi administratif berupa denda juga telah melalui perhitungan yang sesuai dengan ketentuan yang telah ada walaupun tetap terasa ringan pada akhirnya. 4.2 Saran a. KPPU perlu menambahkan pendekatan dari sisi ekonomi dalam putusan perkara KPPU nomor 07/KPPU-I/2013 tidak hanya mengenai pasar yang bersangkutan (relevant market) tetapi juga mengenai kekuatan pasar (market
64 SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
65
power) dan hambatan masuk (barrier to entry) agar dampak kerugian yang diduga telah terjadi dapat diketahui secara jelas. b. KPPU perlu membentuk biro khusus yang menangani masalah analisa ekonomi agar dalam perkara yang akan datang kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku usaha pelanggar dapat dihitung secara akurat karena kerugian yang ditimbulkan dari persaingan usaha tidak sehat berpotensi memberikan dampak cukup besar terhadap pihak-pihak tertentu dan publik.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR BACAAN BUKU Anwar, Yesmil dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, 2008. Dunne, Patrick et.al., Retailing, Cengage Learning, 2013. Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009. Hylton, Keith N., Antitrust Law: Economic Theory and Common Law Evolution, Cambridge University Press, Cambridge, 2003. Ismanthono, Henricus W., Kamus Istilah Ekonomi Populer, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006. Jacobson, Jonathan M., Antitrust Law Developments (sixth), American Bar Association, 2007. Kagramanto, L. Budi, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha, Srikandi, Surabaya, 2008. Lubis, Andi Fahmi et.al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Indonesia, 2009. Margono, Suyud, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Ross, Stephen F., Principles of Antitrust Law, The Foundation Press, New York, 1993. Rokan, Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha, Rajawali Pers, Jakarta, 2012. Stelzer, Irwin M., Selected Antitrust Cases: Landmark Decision, Irwin, Ilinois, 1986. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. DISERTASI Sarjana, I Made, Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Persaingan Usaha, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2012.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PUTUSAN Putusan Perkara Nomor 07/KPPU-I/2013 tentang Dugaan Pelanggaran Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Terkait Penyediaan Jaringan Telekomunikasi dan Implementasi e-POS di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang Dilakukan oleh PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang tata Cara Penanganan. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar yang Bersangkutan Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf d (Praktek Diskriminasi) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Peraturan Menteri BUMN Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/MBU/2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMN. WEBSITE http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53eb8b6298328/menakar-kekuatancircumstantial-evidence-di-persaingan-usaha, diakses pada tanggal 9 November 2014. http://www.kppu.go.id/id/putusan, diakses pada tanggal 9 November 2014. http://www.kppu.go.id/id/peraturan/peraturan-kppu, diakses November 2014.
pada tanggal 9
Sulaiman, Afin, Sanksi Jika Terjadi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Pengadaan Barang dan Jasa, www.hukumonline.com, 31 Oktober 2014, diakses pada tanggal 9 November 2014. --------------------, Apakah Setiap Perjanjian Eksklusif Termasuk Pelanggaran Persaingan Usaha?, www.hukumonline.com, 12 September 2014, diakes pada tanggal 9 November 2014. Diana, Persaingan Usaha dalam Industri Bioskop, Kusumasari, www.hukumonline.com, 18 Maret 2011, diakses pada tanggal 9 November 2014. Yusran, Rantya, Pentingnya Prinsip “Per Se” dan “Rule of Reason” di UU Persaingan Usaha, www.hukumonline.com, 10 Maret 2010, diakses pada tanggal 9 November 2014.
SKRIPSI
DUGAAN PRAKTEK MONOPOLI ...
ADE ANDRIANSA