1
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESIAPSIAGAAN PERAWAT DALAM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG KELUD KABUPATEN BLITAR Agus Khoirul Anam¹, Sri Andarini ², Kuswantoro R.P ³ ¹Program Magister Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ² Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ³Program Magister Keperawatan Gawat Darurat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ABSTRAK Kesiapsiagaan bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkahlangkah secara berdayaguna dan berhasil guna. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat bermanfaat dalam penyusunan programprogram pemerintah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan perawat memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 57 responden perawat yang berada di Puskesmas Kawasan Rawan Bencana Gunung Kelud kabupaten Blitar dan penelitian dilakukan dari April 2013 sampai Mei 2013. Hasil analisis menggunakan metode regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang
berpengaruh terhadap kesiapsiagaan perawat adalah kebijakan pemerintah (OR 0,290), sikap (OR 0,286), dan sarana prasarana anggaran dana (OR 0,274). Kata Kunci : Kesiapsiagaan, Perawat, Bencana Gunung Kelud.
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan demogafis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudra menyebabkan Indonesia mempunyai potensi bagus dalam perekonomian sekaligus rawan dengan bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana ,2012). Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki gunung api di dunia yaitu 500 gunung api yang tersebar di Indonesia dan 129 diantaranya merupakan gunung api aktif, sekitar 70 dari gunung aktif tersebut sering meletus. Berdasarkan sebaran zona resiko tinggi yang dispasialkan dalam indeks rasio bencana letusan gunung api di Indonesia maka Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah menyatakan penanggulangan bencana letusan gunung api dalam 5 tahun sejak tahun 2011 diarahkan pada wilayah rawan bencana gunung api diantaranya gunung Kelud yang berada di wilayah Blitar Jawa Timur (Badan Penanggulangan Bencana Daerah ,2007). Dampak bencana gunung Kelud meliputi daerah yang berdekatan dengan kawah gunung Kelud.Terdapat 3 kabupaten diantaranya kabupaten Blitar,Kediri dan Malang sebelah barat (Badan Penanggulangan Bencana Daerah,2007). Letusan gunung Kelud pada tahun 1919 mengakibatkan 5.190 korban jiwa dan letusan tahun 1966 dengan korban 210 jiwa. Letusan terakhir pada tahun 1990 dan pada tahun 2007 yang lalu hampir terjadi letusan kembali. Pola letusan oleh beberapa ahli dinyatakan terjadi setiap 15 tahun (Badan Penanggulangan Bencana 2
Daerah,2007). Di dalam standart kompetensi perawat bencana International Council Nurse (2007) menyatakan bahwa dampak bencana meliputi kerusakan infrastruktur meliputi air, transportasi, komunikasi,listrik, pelayanan kesehatan dan kebutuhan finansial yang meningkat. Sebenarnya Indonesia sangat berpengalaman karena sudah sering daerah-daerah yang mengalami bencana tetapi penanganan pada saat kejadian ternyata kurang baik bahkan nampak tidak siap (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization,2007 ). Pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana menyatakan bahwa penanggulangan bencana dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya mengurangi resiko bencana meliputi mengurangi resiko terjadinya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Badan Nasional Penanggulangan Bencana ,2010). Kondisi inilah yang mendorong diperlukannya upaya kesiapsiagaan yang terus menerus dilakukan agar apabila terjadi bencana maka semua lini masyarakat dan pemerintah siap dalam penanggulangan dampak bencana. Kesiapsiagaan unsur pemerintah diantaranya adalah tenaga kesehatan di daerah rawan bencana (Association of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses,2012). Perawat sebagai bagian terbesar tenaga kesehatan yang berada di daerah mempunyai peran sangat penting karena perawat sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan. Masalah utama dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana menurut penelitian yang dilakukan oleh Kija Chapman dan Paul Arbon (2008) menyatakan bahwa pengetahuan perawat masih kurang dalam manajemen bencana meliputi pengetahuan tentang kesiapsiagaan
bencana, tanggap bencana dan pemulihan setelah bencana. Perawat kurang baik dalam implementasi dan belum ada standarisasi kesiapsiagaan bencana. Menurut Chapman (2008) menyatakan bahwa 80 % perawat yang menjadi relawan bencana tidak mempunyai pengalaman dalam tanggap bencana serta 23 % perawat hanya pernah mendapatkan pendidikan kesiapsiagaan bencana dasar dan tidak ada pendidikan kelanjutannya. Penelitian yang dilakukan Fung (2008) menyatakan bahwa sebagian besar perawat ( 97% ) tidak mempunyai persiapan yang baik dalam penanganan bencana. Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 5 Maret 2013 di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Blitar dan Puskesmas kawasan rawan bencana didapatkan bahwa pelatihan khusus kesiapsiagaan bencana untuk perawat belum pernah dilakukan. Pendidikan dan pelatihan ada sebatas pelatihan Pertolongan Pertama Gawat Darurat di rumah sakit Ngudi Waluyo Wlingi dan tidak semua perawat puskesmas mengikuti pelatihan tersebut. Wawancara dengan perawat kesehatan masyarakat di daerah Semen Kecamatan Gandusari pada tanggal 5 Maret 2013 menyatakan bahwa pemerintah daerah belum pernah memberikan pelatihan khusus bagi perawat tentang kesiapsiagaan bencana. Secara lebih rinci International Council Nurse (2007) membagi kompetensi perawat disaster dalam empat klasifikasi yaitu kompetensi mitigasi (pencegahan), kompetensi preparedness (kesiapsiagaan), kompetensi respon (tanggap bencana) dan kompetensi recovery dan rehabilitasi. Menurut Godwin (2007) kesiapsiagaan bencana yang dapat di lakukan oleh perawat antara lain perawat berpartisipasi dalam mengembangkan rencana penanggulangan bencana (Community Disaster Plan), melaksanakan pengkajian resiko (Community Risk Assesment) meliputi kemungkinan terjadinya bencana, 3
dampak dan kerugian yang timbul akibat bencana, pemetaan kawasan rawan bencana, pencegahan bencana (Disaster Prevention) meliputi mencegah dan mengurangi kerusakan akibat bencana, memindahkan korban dalam pengungsian, peringatan dini bencana kepada masayarakat serta membuat dan mengembangkan sistem peringatan dini, mengikuti dan berperan aktif dalam pelatihan serta pendidikan penanggulangan bencana, melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan dan pendidikan penanggulangan bencana bagi perawat, mengembangkan data perawat yang dapat dimobilisasi untuk tanggap darurat dan melakukan triage bencana dan melakukan evaluasi semua komponen dalam penanggulangan bencana (Disaster Nursing Respon). Kemampuan dalam penanggulangan bencana harus didukung oleh pengetahuan dan sikap motivasi perawat yang selalu harus dievaluasi dan bahkan perlu adanya perubahan-perubahan karena adanya pengembangan teknologi, riset dan jenis bencana alam (International Council Nurse ,2007). Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat meliputi kemampuan kognitif, sikap (affektif) dan psikomotor (skill) dalam disaster manajemen (International Council Nurse, 2007). Pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana sangat penting dalam persiapan penanggulangan bencana. Persiapan ini tidak hanya bermanfaat bagi perawat tetapi secara keseluruhan organisasi kesehatan di daerah rawan bencana (Sylvia Back , 2011). Samantha Phang (2010) menyatakan bahwa sikap (attitude) sangat mempengaruhi perawat dalam bencana terutama sebagai penolong serta sebagai tenaga yang bekerja dalam sebuah sistem penanggulangan bencana. Selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya. Masih menurut Samantha Pang (2010) bahwa pengetahuan mampu mendukung
kompetensi perawat manajemen.
dalam
disaster
Selain hal tersebut faktor lain yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat menurut Arbon (2006) adalah kesiapan institusi kesehatan meliputi puskesmas atau rumah sakit, dukungan dalam peningkatan kompetensi perawat meliputi pelatihan-pelatihan disaster manajemen, adanya kebijakan petunjuk (guidelines) yang jelas sehingga perawat tidak disorientasi dalam penanganan bencana, pengalaman perawat dalam menangani kejadian bencana dan sarana prasarana yang tersedia dalam manajemen bencana. Menurut Bella (2011) perencanaan yang jelas oleh institusi pelayanan kesehatan, koordinasi antar instansi , dan pendidikan kompetensi yang berkelanjutan mempengaruhi kesiapsiagaan perawat disaster. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat bermanfaat dalam penyusunan programprogram pemerintah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan perawat memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Berdasarkan data di atas maka peneliti ingin mengidentifikasi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud. METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional yaitu untuk mengetahui hubungan korelatif antar faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud dan kesiapsiagaan perawat. Sampel pada penelitian ini adalah perawat di kawasan rawan bencana Gunung Kelud. Besar sampel 57 perawat di lima puskesmas yang masuk kawasan rawan bencana Gunung Kelud dengan menggunakan teknik total sampling dimana sampel 4
adalah seluruh di Puskesmas Gandusari,Puskesmas Talun, Puskesmas Garum, Puskesmas Ponggok dan Puskesmas Nglegok. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan menggunakan pertanyaan tertutup. Instrumen disusun oleh peneliti berdasarkan pengembangan dari beberapa teori yaitu untuk mengukur pengetahuan perawat tentang kesiapsiagaan bencana menggunakan modifkasi teori dari Rencana Nasional Penanggulangan Bencana BNPB dan Panduan Perencanaan Kontijensi Bencana BNPB. Instrument pengukuran sikap dan kesiapsiagaan perawat menggunakan teori Godwin (2007). Instrument untuk mengukur kebijakan pemerintah dan sarana anggaran dana menggunakan keputusan menteri kesehatan ( Kepmenkes) Republik Indonesia nomor 1635 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan tahun 2005. Instrumen ini belum pernah digunakan sebelumnya pada penelitian sehingga diperlukan uji validitas dan reliabilitas untuk mengukur keabsahan dan keandalan instrumen ketika di terapkan kepada responden.
menggunakan komputer program SPSS for Windows versi 17.0, dengan tingkat kemaknaan atau α = 0,05. Dimana H1 diterima jika nilai p value < α atau p value < 0,05 dan H0 diterima jika p value > α atau p value > 0,05. Analisis Multivariat bertujuan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud. Pada analisis multivariat ini peneliti menggunakan analisis “ regresi logistik “ dimana variabel dependent adalah variabel katagorik. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 26 April 2013 dan selesai pada tanggal 26 Mei 2013 dilaksanakan di Puskesmas yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB ) Gunung Kelud yaitu Puskesmas Gandusari,Puskesmas Talun, Puskesmas Garum, Puskesmas Ponggok dan Puskesmas Nglegok. Dalam penelitian ini didapatkan responden sebanyak 57 responden yang terdiri dari perawat di Puskesmas yang berada di kawasan rawan bencana Gunung Kelud Kabupaten Blitar.
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan variabel-variabel penelitian dengan menggunakan diskriptif statistik. Pada penelitian ini, peneliti menganalisa variabel kesiapsiagaan perawat dan faktor-faktor (pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah, sarana dan anggaran dana). Analisis bivariat pada penelitian ini adalah menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud yaitu faktor pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah, sarana dan anggaran dana terhadap kesiapsiagaan perawat yang diduga berhubungan atau berkorelasi menggunakan uji korelasi “Chi-Square ” jika memenuhi syarat dan sebagai alternatif dilakukan uji “ fisher ”. Uji bivariat bertujuan membandingkan dari masingmasing faktor, karena hipotesis yang digunakan adalah hipotesis komparatif kategorik. Uji ini dilakukan dengan 5
Gambar 1: Peta kawasan rawan bencana gunung Kelud (Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana ,2010). Tabel 1.Data Demografi Perawat di Kawasan Rawan Bencana Gunung Kelud.
Variabel Jabatan Perawat Pelaksana
n
%
57
100%
Pengalaman Pelatihan 28 24 • Belum 5 pernah • Satu Kali • Lebih satu kali Pelaksana Pelatihan • PMI • Dinkes • PPNI • Pemda & Jangkar Kelud Menjadi Team Tanggap Bencana • Belum pernah • Pernah Variabel n %
Tabel 2. Data faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud.
49.1 42.1 8.8
2 19 7 1
3.5 33.3 12.3 1.8
35 22
61.4 38.6
terbanyak adalah dinas kesehatan sebanyak 19 kali ( 33.3%).Sedangkan berdasarkan keikutsertaan responden menjadi team tanggap bencana sebanyak 35 responden ( 61.4%) belum pernah menjadi team bencana.
Pengetahuan Kurang Baik Sikap Negatif Positif Kebijakan Pemerintah Kurang Baik sarana prasarana dan anggaran dana Kurang Baik
Mean SD
Usia
57 100 32.84
MinMaks 7.77 21-50
Lama Bekerja
57 100 10.18
7.4
1-27
Dalam penelitian ini terdapat 57 responden mayoritas responden berusia 32 tahun dengan rentang usia antara 21 – 50 tahun. Lama bekerja sebagai perawat rata-rata 10 tahun dengan rentang masa kerja antara 1 -27 tahun.Untuk karakteristik pendidikan mayoritas responden berpendidikan D III Keperawatan sebanyak 44 responden ( 77.2 %).Berdasarkan pengalaman pelatihan 29 responden pernah mengikuti pelatihan tentang penangggulangan bencana ( 50.9%).Pelaksana pelatihan
n 25 32
% 43.9 56.1
29 28
50.9 49.1
21 36
36.8 63.2
40 17
70.2 29.8
Data khusus faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud yaitu kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana mayoritas kurang sebanyak 33 responden( 57.9%). Pengetahuan responden tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana mayoritas baik sebanyak 32 responden ( 56.1%). Sikap responden dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung Kelud sebagian besar negatif yaitu 29 responden ( 50,9%). Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana gunung Kelud sebagian besar baik sebanyak 36 responden ( 63.2 %). Sedangkan sarana prasarana dan anggaran sebanyak 40 responden menyatakan kurang ( 70.2%).
6
Tabel 3.Hasil Analisi Bivariat Variabel Pengetahuan Sikap Kebijakan Pemerintah Sarana Prasarana Anggaran Dana
untuk memprediksi probabilitas faktorfaktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat menghadapi bencana Gunung kelud yaitu :
p-value 0,014 0,024 0,007
y = konstanta + a1x1 + a2x2 + a3x3 + a4x4 y = 1.570 + -1.251(sikap) + -1.236 (kebijakan pemerintah) + -1.293 (sarana prasarana anggaran dana)
0,024
y = -0,917
Dari hasil analisis diatas yang merupakan hasil pengujian antara pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah dan sarana anggaran dana dengan kesiapsiagaan perawat dalam dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud didapatkan nilai signifikasi kurang dari alpha (5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis Ho ditolak dan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah dan sarana anggaran dana dengan kesiapsiagaan perawat dalam dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud tingkat batas kesalahan sebesar 5%.
a = nilai koefisien tiap variabel (diliat dari nilai [B]) x = nilai variabel bebas: 1) Sikap bernilai 1 jika terjadi positif, dan 0 jika negatif 2) Kebijakan Pemerintah bernilai 1 jika terjadi baik, dan 0 jika kurang dan 3) Sarana Prasarana dan Anggaran Dana bernilai1 jika terjadi baik, 0 jika kurang Setelah mendapatkan persamaan, selanjutnya nilai y akan dimasukkan ke dalam suatu model prediksi:
Tabel 4.Hasil Analisis Multivariat Variabel Sikap Kebijakan Pemerintah Sarana Prasarana Dan Anggaran Dana
p 0.050 0.076
OR 0.286 0.290
0.060
0.274
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan bencana adalah pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah dan sarana prasarana dan anggaran. Urutan kekuatan hubungan dari keempat variabel ini dapat dilihat dari nilai Odds Ratio (dilihat dari nilai Exp(B)). Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling kuat adalah kebijakan pemerintah dengan OR 0.290 disusul dengan sikap responden dengan OR 0.286.dan terakhir sarana prasarana dan anggaran dengan OR 0.274.Berdasarkan hasil analisis regresi logistik maka persamaan yang diperoleh
= 1/(1+2,7 0,917) = 0,29 Jadi prediksi perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung Kelud Kabupaten Blitar adalah 29 % dengan asumsi jika sikap, kebijakan dan sarana prasarana anggaran dana seperti hasil dalam penelitian ini. PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Penanggulangan Bencana Dengan Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menanggulangi Bencana Letusan Gunung Kelud Di Kabupaten Blitar Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana gunung Kelud 7
berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana letusan gunung Kelud di kabupaten Blitar. Bella Magnaye (2011) menyatakan dalam penelitiannya pada 250 perawat di Philipina bahwa pengetahuan harus dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk meningkatkan kompetensi perawat saat bencana terjadi. Persiapan perawat meliputi training, workshop, seminar tentang keperawatan bencana ( Disaster Nursing). Pengetahuan adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indra yang dimilikinya. Penginderaan menghasilkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan yang dibutuhkan dalam kesiapsiagaan menurut Godwin (2007) adalah membuat dan memperbarui disaster plan, pengkajian resiko lingkungan, melakukan kegiatan pencegahan bencana, program pendidikan masyarakat, program pelatihan dan simulasi bencana. Salah satu teori perilaku yaitu teori Preced-Proceed yang di kembangkan oleh Lawrence Green menekankan analisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dimana pengetahuan masuk faktor predisposisi (predisposing factor) dalam pembentukan perilaku kesiapsiagaan bencana. Pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana gunung Kelud akan mendorong perawat untuk berusaha dalam kondisi siapsiaga mengahadapi bencana gunung Kelud. International Council Nurse (2007) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat diantaranya adalah kemampuan kognitif disamping sikap (affektif) dan psikomotor (skill) dalam disaster manajemen. Pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana sangat penting dalam persiapan penanggulangan bencana. Persiapan ini tidak hanya bermanfaat bagi perawat tetapi secara
keseluruhan organisasi kesehatan di daerah rawan bencana (Sylvia Back , 2011). Selanjutnya Samantha Pang (2010) menyatakan bahwa pengetahuan mampu mendukung kompetensi perawat dalam disaster manajemen. Penelitian Stanley.JM (2005) menyataan bahwa perawat merupakan bagian terbesar sebagai pekerja di bidang kesehatan sehingga kurangnya pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana dan ilmu tentang ancaman bencana menjadi hambatan bagi perawat saat melaksanakan tindakan pertolongan kejadian bencana di Amerika Serikat. Lebih lanjut Notoatmodjo(2010) menyatakan pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, fasilitas dan sosiobudaya dan pengetahuan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Data yang didapat dari hasil survei terkait dengan pengalaman mengikut pelatihan penanggulangan bencana mayoritas perawat pernah mengikuti pelatihan tersebut sebanyak 29 perawat ( 50.9%) dan pelatihan terbanyak diselenggarakan oleh dinas kesehatan Kabupaten Blitar sebanyak 19 perawat ( 33.3% ) dan sisanya dilaksanakan oleh PMI, PPNI Kabupaten Blitar, Pemerintah daerah dan Jangkar Kelud. Pengetahuan tentang penanggulangan bencana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana sehingga diharapkan perawat mampu meningkatkan pengetahuan tentang penanggulangan bencana dengan memahami kompetensi perawat dalam disaster manajemen. Selain itu perawat dapat mengikuti pendidikan formal kekhususan tentang penanggulangan bencana atau pelatihan, workshop dan seminar tentang penanggulangan bencana. Dengan kebijakan yang tepat seharusnya pemerintah khususnya jajaran kesehatan daerah mampu mendukung dengan kebijakan yang memberikan peluang perawat untuk menambah wawasan dan kompetensinya di bisang penanggulangan
8
bencana khususnya bencana letusan gunung Kelud di kabupaten Blitar.
merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya perlu ditingkatkan.
Hubungan Sikap Perawat Tentang Penanggulangan Bencana Dengan Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menanggulangi Bencana Letusan Gunung Kelud Di Kabupaten Blitar
Sikap menunjukkan performa profesional saat bekerjasama dengan team dan anggota team kesehatan pada saat persiapan maupun saat kejadian bencana. Selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya tentang penanggulangan bencana. Peningkatan sikap perawat dalam penanggulangan bencana dilakukan dengan melibatkan langsung perawat dalam persiapan penanggulangan bencana. Diharapkan dengan melibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan bencana maka sikap perawat di harapkan menjadi lebih baik. Selain itu penanaman sikap positif terhadap penanggulangan bencana dapat dilakukan semenjak perawat berada di pendidikan sehingga sedini mungkin mereka memahami arti penting dari penanggulangan bencana serta pemahaman terhadap kompetensi disaster nursing.
Berdasar hasil analisis bahwa sikap perawat dalam penanggulangan bencana berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud. Smith,E (2007), menyatakan dalam penelitiannya bahwa sikap kemauan perawat untuk merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Bella Magnaye. (2011) menyatakan bahwa sikap dalam studinya terhadap 250 perawat sangat diperlukan dalam kesiapsiagaan terutama sikap terhadap perannya saat bencana terjadi, sikap dalam situasi kritis dan menerapkan skill manajemen dalam merawat korban bencana dengan latar belakang budaya dan situasi yang berbeda-beda. Sikap sangat penting dalam menunjukkan performa profesional saat bekerjasama dengan team dan anggota team kesehatan pada saat persiapan maupun saat kejadian bencana. Sikap perawat menurut Samantha Phang (2010) sangat mempengaruhi perawat dalam bencana terutama sebagai penolong serta sebagai tenaga yang bekerja dalam sebuah sistem penanggulangan bencana. Selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya tentang penanggulangan bencana. Smith,E (2007), menyatakan bahwa sikap kemauan perawat untuk merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Sikap perawat terhadap penanggulangan bencana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana khususnya bencana letusan gunung Kelud sehingga sikap kemauan perawat untuk
Hubungan Kebijakan Pemerintah Dengan Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menanggulangi Bencana Letusan Gunung Kelud Di Kabupaten Blitar Berdasarkan hasil analisis maka kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana letusan gunung Kelud berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud. Kebijakan dalam pelibatan team penanggulangan bencana didapatan hasil 61,4 % perawat belum pernah terlibat dalam team penanggulangan bencana gunung Kelud. Menurut Arbon (2006) dalam penelitiannya bahwa kebijakan petunjuk (guidelines) yang jelas sehingga diharapkan perawat tidak disorientasi dalam penanganan bencana. Bella (2011) menyatakan bahwa perencanaan yang jelas oleh institusi pelayanan kesehatan, koordinasi antar instansi , dan pendidikan kompetensi yang berkelanjutan 9
mempengaruhi kesiapsiagaan perawat disaster. Kebijakan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011) dalam perencanaan kontinjensi penanggulangan bencana adalah arahan/pedoman bagi sektor-sektor untuk bertindak /melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana. Kebijakan penanganan bencana bidang kesehatan maka sesuai permenkes 1653 tahun 2008 setiap kabupaten atau kota berkewajiban membentuk satuan tugas (satgas) kesehatan yang mampu mengatasi masalah kesehatan pada penanganan bencana di wilayahnya secara terpadu berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana ( Satlak PB ) . Pengorganisasian penanganan bencana bidang kesehatan di tingkat Kabupaten dan Kota adalah kepala dinas kesehatan Kabupaten atau Kota. Dalam pelaksanaan tugas di bawah koordinasi Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana ( Satlak PB ) yang diketuai Bupati atau Walikota. Kebijakan di tingkat puskesmas merujuk pada kebijakan di daerah kecamatan yang dilaksanakan oleh camat setempat meliputi membuat peta geomedik daerah rawan bencana, membuat jalur evakuasi, mengadakan pelatihan, inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi, menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (Early Warning System) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan, membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) dan mengadakan koordinasi lintas sektor. Menurut Godwin ( 2007 ) dalam kesiapsiagaan bencana perawat perlu memahami kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga dapat melaksanakan rencana tindakan darurat pada saat bencana secara menyeluruh Bella Magnaye.(2011)menyatakan bahwa Departemen Kesehatan diharapkan mampu melaksanakan persiapan pra bencana dengan melaksanakan kebijakan yang memihak pada kepentingan masyarakat di wilayah kawasan rawan
bencana. Persiapan dilaksanakan dengan mengadakan program – program yang bersifat berkelanjutan dengan tujuan – tujuan yang jelas sesuai dengan kompetensi perawat disaster sehingga perawat siap dengan berbagai macam jenis bencana yang akan terjadi. Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan nomor 1653 maka dalam memberikan pelayanan kesehatan pada penanganan koran bencana alam telah disusun pedoman kebijakan penanganan bencana dengan melibatkan unsur terkait. Dengan pedoman kebijakan ini di harapkan penanganan bencana pada masa yang akan datang bisa dilaksanakan lebih baik, lebih cepat dan teat di semua tingkat jajaran kesehatan secara terpadu. Selanjutnya pedoaman kebijakan ini bertujuan agar semua unit jajaran kesehatan dapat memahami dan melaksanakan peran dan fungsi masingmasing. Kebijakan lainnya yaitu BNPB telah memberikan arahan Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) adalah perencanaan lima tahunan di tingkat nasional yang memuat programprogram dan kegiatan penanggulangan bencana yang direncanakan oleh pemerintah untuk mengurangi risiko bencana di seluruh Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana sehingga pemerintah perlu menyusunan programprogram pemerintah yang berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan perawat harus terlibat aktif dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Pemerintah membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satuan Tugas. Perawat dimasukkan dalam tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satgas. Pemerintah mengadakan koordinasi lintas sektor dengan bidang terkait dalam penanggulangan bencana gunung Kelud. Selain itu Pemerintah perlu menginventarisasi sumber daya perawat sesuai dengan potensi bahaya yang
10
mungkin terjadi akibat bencana letusan gunung Kelud. Hubungan Antara Sarana Prasarana, Anggaran Dana Dengan Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menanggulangi Bencana Letusan Gunung Kelud Di Kabupaten Blitar Dari hasil analisis diatas maka hubungan antara sarana prasarana, anggaran dana dengan kesiapsiagaan perawat dalam dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud. Landesman (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu issue penting dalam kesiapsiagaan bencana adalah faktor donasi atau anggaran dana disamping kebutuhan sukarelawan bencana Kebijakan pemerintah dalam penanganan bencana bidang kesehatan sesuai dengan keputusan menteri kesehatan 1653 tahun 2008 yaitu dalam penanganan bencana di bidang kesehatan tidak dibentuk sarana dan prasarana khusus tetapi mengggunakan sarana dan prasarana yang telah ada hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan memberdayakan sumber daya pemerintah kabupaten serta masyarakat dan unsur swasta sesuai peraturan yang berlaku.. Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan (kepmenkes) no 1653 tahun 2005 menyatakan bahwa anggaran untuk penanganan bencana pada dasarnya menggunakan dana dan anggaran bencana yang dialokasikan masingmasing Kabupaten / Kota sesuai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Penanganan tersebut meliputi sebelum, saat dan pasca bencana. Dalam hal kekurangan dapat mengusulkan secara berjenjang dari tingkat kabupaten /kota, provinsi dan pemerintah pusat. Penggunaan dana harus dilakukan evalusi dan monitoring secara berkala. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2013 Tanggap Darurat Bencana untuk Antisipasi, Perlindungan Masyarakat, serta Penanganan Pra, Saat dan Paska Bencana sebesar Rp. 4 Triliun dengan
alokasi Dana Cadangan Penanggulangan Bencana Alam dialokasikan sebagai langkah antisipasi untuk melindungi masyarakat terhadap berbagai dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam. Selanjutnya prioritas penggunaan dana adalah pada tahap pra-bencana dalam rangka meningkatkan pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tahap penanganan tanggap darurat pascabencana serta tahap pemulihan pascabencana melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Sarana prasarana dan anggaran dana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana Gunung Kelud. Hal ini menunjukkan bahwa perawat harus memahami sarana dan prasarana yang tersedia khususnya dalam menghadapai bencana. Faktor Faktor Yang Paling Mempengaruhi Kesiapsiagaan Perawat Dalam Menanggulangi Bencana Letusan Gunung Kelud Di Kabupaten Blitar Dari hasil analisis didapatkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan bencana adalah pengetahuan, sikap, kebijakan pemerintah serta sarana prasarana dan anggaran. Urutan kekuatan hubungan dari keempat variabel ini dapat dilihat dari nilai Odds Ratio (dilihat dari nilai Exp(B)). Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling kuat adalah kebijakan pemerintah dengan OR 0.290 disusul dengan sikap perawat dengan OR 0.286 dan terakhir sarana prasarana dan anggaran dana dengan OR 0.274. Departemen Kesehatan diharapkan mampu melaksanakan persiapan pra bencana dengan melaksanakan kebijakan – kebijakan yang memihak pada kepentingan masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana. Persiapan dilaksanakan dengan mengadakan program – program yang bersifat berkelanjutan dengan tujuan – tujuan yang 11
jelas sesuai dengan kompetensi perawat disaster sehingga perawat siap dengan berbagai macam jenis bencana yang akan terjadi. Implikasi Keperawatan Implikasi Teoritis Untuk meningkatkan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana diperlukan 3 faktor yaitu predisposisi, pemungkin dan pendorong yang meliputi pengetahuan, sikap perawat terhadap kesiapsiagaan bencana, sarana prasarana anggaran dana dan kebijakan pemerintah. Implikai Praktis Dari analisis didapatkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi dalam kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung Kelud adalah kebijakan pemerintah sehingga di harapkan pemerintah khususnya wilayah kecamatan melaksanakan kebijakan – kebijakan yang memihak pada kepentingan masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana. Persiapan dilaksanakan dengan mengadakan program – program yang bersifat berkelanjutan dengan tujuan – tujuan yang jelas sesuai dengan kompetensi perawat disaster sehingga perawat siap dengan berbagai macam jenis bencana yang akan terjadi.
mengungkapkan kondisi sesungguhnya secara menyeluruh.Sebagai tambahan penelitian ini merupakan study kuantitatif sehingga study kualitatif diperlukan dalam penelitian selanjutnya untuk mengeksplorasi lebih dalam kesiapsiagaan perawat dan faktor yang mempengaruhinya sesuai dengan perspektif dan pendapatnya.Sumber referensi Disaster Nursing khususnya untuk bencana letusan gunung api di Indonesia masih jarang bahkan belum ada sehingga mengurangi keluasan bahasan dalam penelitian ini. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana letusan Gunung Kelud di Kabupaten Blitar sebagian besar kurang.Adanya hubungan pengetahuan dan sikap perawat tentang penanggulangan bencana dengan kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana letusan Gunung Kelud di Kabupaten Blitar.Adanya hubungan kebijakan pemerintah, sarana prasarana, anggaran dana dengan kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana letusan Gunung Kelud di Kabupaten Blitar.Faktor yang paling mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana letusan Gunung Kelud di Kabupaten Blitar adalah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana.
Keterbatasan Dalam penelitian ini keterbatasan penelitian yaitu keterbatasan jumlah responden karena jumlah perawat dalam Kawasan Rawan Bencana Gunung Kelud di kabupaten Blitar sebanyak 60 perawat sehingga perlu di tambah dengan perawat di kawasan rawan bencana gunung Kelud di Kabupaten Kediri dan kabupaten Malang sebelah barat sehingga merepresentasikan seluruh perawat di daerah kawasan rawan bencana gunung Kelud.Kuesener dalam penelitian ini menggunakan pertanyaan tertutup sehingga responden tidak bisa
Saran Pemerintah diharapkan dapat memberikan informasi yang berkesinambungan tentang kebijakan dan anggaran kepada perawat serta melakukan peningkatkan pengetahuan dan sikap perawat terhadap penanggulangan bencana secara berkelanjutan dengan mengadakan pelatihan, seminar, workshop dan program – program yang bersifat berkelanjutan dengan tujuan yang jelas sesuai dengan kompetensi perawat disaster sehingga perawat siap dengan berbagai macam jenis bencana yang akan 12
terjadi khususnya bencana Gunung berapi.Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah perawat di kawasan rawan bencana gunung Kelud di Kabupaten Kediri dan kabupaten Malang sebelah barat sehingga merepresentasikan seluruh perawat di daerah kawasan rawan bencana gunung Kelud.Diperlukan penelitian tentang skill perawat dalam kesiapsiagaan bencana gunung Kelud. Penelitian ini merupakan study kuantitatif sehingga study kualitatif diperlukan dalam penelitian selanjutnya untuk mengeksplorasi lebih dalam kesiapsiagaan perawat dan faktor yang mempengaruhinya sesuai dengan perspektif dan pendapatnya.
PUSTAKA Anne M Jorgensen, Glenn J. Mendoza, Joy L Henderson.(2010). Emergency Prearedness and Disaster Response Core Competency Set for Perinatal and Neonatal Nurses. AWHONN , 450-467. Ardia Putra, Wongchan, Khomapak.(2011). Review: Public Health Nurses' Roles and Competencies in Disaster Management. Nurse Media Journal Of Nursing , 1-14. Arbon Paul,Chapman. (2008). Are Nurses Ready? Disaster Preparedness In The Acute Setting. AENJ , 135-144. AWHONN. (2012). The role of the nurse in emergency preparedness. Washington DC , 322-324. Bella Magnaye. (2011). The role , Preparedness And Management Of Nurses During Disaster. Intenational Scientific Research Journal , 269294. BNPB. (2007). Penataan Ruang Kawasan Gunung Api. BNPB.(2010).Rencana Nasional Penanggulangan Bencana. BNPB. (2011). Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana. Jakarta.
BPBD.(2007).Penanganan Daerah Rawan Bencana Gunung Kelud Kabupaten Blitar Boyle.C.(2006). Public health emergencies:Nurses recommendationn for effective actions.AAOHN Journal, 54, 347353. Catharine J Goodhue, Rita V Burke. 2010. Disaster Olympix: A Unique Nursing Emergency Preparedness Exercise. Journal of Trauma NUrsing , 5-10. Fung . 2008.Disaster preparedness among Hongkong Nurses.Journal of Advance Nursing , 62,698-703. Godwinn .(2007). Disaster Nursing emergency Preparedness,Springer Publising Company, 4-19. Hassmiller, S. B.(2010). Public Health Nursing and the Disaster Management Cycle. New Jersey: STANHOPE. Huahua Yin, Haiyan He, Paul Arbon.(2011). A Survey Of The Practice Of Nurses' Skills In Wenchuan Earthquake Disaster Sites: Implication For Disaser Nursing. Journal Of Anvanced Nursing , 2231-2237. ICN, (2009).ICN Framework of Disaster Nursing Competencies, WHO Western Pacific Region. Jakeway.(2008).The rule of public health nursing in emergency preparedness and response:A position paper the association of state and territorial directors of nursing.Public Health Nursing, 25, 353-361. Landesman,L.Y (2001),Public health management of disasterr.The practice guide.Washington,DC.American Public Health Association. Moabi, R. M. (2008). Knowledge, Attitude and Practices of Health Care Workers Regarding Disaster Preparedness. University of the Witwatersrand, Faculty of Health Science, Johanesburg.2. Moabi, R. M.(2008). Knowledge, Attitude and Practices of Health Care Workers Regarding Disaster Preparedness. University of the 13
Witwatersrand, Faculty of Health Science, Johanesburg. Notoatmodjo S.(2010). Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta Polivka,B.J.2008. Public Health Nursing competencies for public health surge events.Public Health Nursing, 25, 159-165. R Tabari Khomeiran,ZP.Yekta. (2006). Professional Competence: Factors Described By Nurses As Influencing Their Development. International Council of Nurses , 66-71. Kepmenkes 1653 tahun (2005). Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan . Kemenkes. Samantha Phang, Sunshine SS Chan.(2010). Develompent and Evaluation of an Undergraduate Training Course Nurse Disaster Competency. Nursing Scholarship , 405-413. Suhardjo, D.(2011). Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana Dalam Mengurangi Resiko Bencana. 2. Susan Orlando, Denise Danna.(2010). Perinatal considerations in the Hospital Disaster Management Process. AWHONN , 468-479. Sugeng Triutomo, B.Wisnu Widjaja,R.Sugiharto.(2011). Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana(edisi 2). Jakarta: BNPB. Stanley.JM (2005), Disaster competency development and integration in nursing education, Nursing linics of North America ,40(3),453-467. Smith,E (2007),Emergency healthcare workers wilingness to work during emergencies and disasters, Australian Journal of Emergency Medicine,22(2),21-24 Thelma Gambhoa, Hellen Hoop.(2012). Building Capacity for Cummunity Disaster Preparedness. Journal Of enviromental health , 24-29. WHO. (2007). Risk reduction and emergency preparedness. Yin, H.(2011). Optima Qualifications, Staffing And Scope Of Practice For First Responder Nurses In Disaster. JCN , 264-271.
14