FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENATALAKSANAAN PROGRAM KOLABORASI TB-HIV DI KOTA JAYAPURA
FACTORS RELATED TO THE MANAGEMENT OF COLLABORATION PROGRAM OF TB-HIV IN JAYAPURA CITY
Mahlija Lasta Siregar1, Muh. Syafar2,M. Alimin Maidin3 ¹Staf Dinas Kesehatan Provinsi Papua, ²Staf PromosiKesehatan Fakultas Kesehatan, MasyrakatUniversitas Hasanuddin, ³Staf Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyrakat Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi: Mahlija Lasta Siregar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar, 90425 Hp: 081389105967 Email:
[email protected]
Abstrak Peningkatan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) kelihatan mempengaruhi peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang berhubungan dengan penatalaksanaan program kolaborasi TB-HIV di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) Kota Jayapura. Jenis penelitian yang digunakan, yaitu mixed methods (kombinasi) dengan rancangan penelitian survei deskriptif melalui penggunaan desain eksplanatori sekuensial, yaitu metode penelitian kombinasi penggabungan penelitian kuantitatif dan kualitatif secara berurutan. Penelitian dilaksanakan di Fasyankes Kota Jayapura. Pelaksanaan program kolaborasi TB-HIV menggunakan directly observed treatment shortcourse (DOTS). Sampel penelitian sebanyak 80 responden. Analisis data yang digunakan, yaitu uji statistik chi-Square dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian berada di Fasyankes dasar, yaitu Puskesmas sebanyak 66 responden (80,5%), 11 responden (13,4%) di rumah sakit, dan 5 responden (6,1%) di Wink swasta. Tidak semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam program kolaborasi TB-HIV telah mengikuti pelatihan. Mekanisme kolaborasi TB-HIV telah terlaksana dengan temuan bahwa 50 orang (61,0%) berpendapat demikian dan memiliki hubungan signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat (p<0,05). Upaya penurunan beban TB pada ODHA telah terlaksana, yaitu sebanyak 80 orang (97,6%) berpendapat demikian dan secara statistik memiliki hubungan signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat (p<0,05). Upaya penurunan beban HIV pada pasien TB telah terlaksana juga, yaitu sebanyak 71 responden (86,6%) yang berpendapat demikian dan memiliki hubungan signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat. Kata kunci: kolaborasi TB-HIV, fasilitas pelayanan kesehatan
Abstract The increase of the epidemic of human immunodeficiency virus (HIV) seems to influence the increase in tuberculosis (TB) worldwide. The aim of the research was to analyze the factors related to the management of TB-HIV collaboration in Health Service Facility of Jayapura City.The research used Mixed Method (combination) with descriptive survey research design using sequential explanatory design, i.e. combination research method by combining respectively quantitative and qualitative research method. The research was conducted in Health Service Facility of Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) which conducted collaboration program of TB-HIV in Jayapura City. The samples consisted of 80 respondents. They were analyzed statistically using chi-square test with the significant level of p<0.05. The results of the research indicate that most of the research subjects are in basic Health Service Facility, i.e. 66 respondents (80.5%),11 respondents (13.4%) are in hospital, and 5 respondents (6.1%) are in private clinic. Not all health officers participating in collaboration program of TB-HIV have joined training. There are 50 people (61.0%) who perceive that collaboration mechanism of TB-HIV has been implemented and it has a significant relationship with Fasyankes and community (p<0.05). There are 80 people (97.6%) who perceive that the effort to decrease TB load of HIV has been implemented and statistically it has a significant relationship with Fasyanken and community (p<0.05). There are 71 people (86.6%) who perceive that the effort to decrease HIV load of TB patients has been implemented and it has a significant relationship with Fasyankes and community. Key words: collaboration of TB-HIV, Health Service Facility
PENDAHULUAN Perkembangan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia. Epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia, sementara jumlah kasus TB menempatkan Indonesia sebagai negara keempat terbanyak di dunia. Epidemi HIV di Indonesia merupakan tantangan bagi keberhasilan penanggulangan TB. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi opurtunistik (penyerta) terbanyak dan penyebab utama kematian orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2011). Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi beresiko tinggi yaitu pengguna narkotika suntik (penasun), heteroseksual, homoseksual, wanita pekerja seks (WPS) dan waria (Achmadi, 2008). Indonesia merupakan negara yang masuk dalam kategori kasus ko-infeksi TB-HIV tinggi, dengan demikian populasi ODHA sangat rentan terhadap penularan TB dan ko-infeksi TB (Achmad, 2011). Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa, pasien TB dengan status HIV yaitu sebanyak 2676 orang (1%), pasien HIV positif TB sebanyak 754 orang (28%), pasien HIV positif TB dengan terapi profilaksis cotri moxazol 137 orang (18%), pasien HIV positif TB dengan terapi Antiretroviral (ARV) 221 orang (29%) dan ODHA yang melakukan scrining TB yaitu sebanyak 22.677 orang (Kemenkes RI, 2013). Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan penderita HIV terbanyak di Indonesia. Papua berada pada epidemi HIV meluas/populasiumum. Cakupan TB-HIV di Provinsi Papua dengan total pasien TB pada tahun 2008 sampai dengan 2013 sebanyak 6.473 orang, pasien TB yang melakukan VCT sebanyak 1.611 orang, pasien Reaktif sebanyak 120 orang. Pada tahun 2013 di Kota Jayapura pasien TB yang melakukan tes HIV sebanyak 316 orang (24,1%), pasien reaktifsebanyak 237 orang dan pasien yang melakukan terapi ARV sebanyak 56 orang (3,6%). Di Provinsi Papua Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang menerapkan Program Directly Observed Treatment Shortcourse(DOTS) sebanyak 206 Puskesmas, 28 Rumah Sakit dan 14 Klinik Swasta. Di Kota Jayapura sendiri sebanyak 12 Puskesmas, 6 Rumah Sakit dan 1 Klinik yang menyediakan program DOTS (Dinkes Provinsi Papua, 2013).
Beberapa penelitian yang dapat mendukung penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan dengan hasil bahwa epidemi HIV-TB memperlihatkan dampak negatif terhadap program AIDS dan TB (Lubis, 2007). Penelitian Bramanty (2012), menyebutkan bahwa program penanggulangan tuberkulosis berbasis masyarakat yang dilakukan oleh PR TB Aisyiyah telah mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh agen pemerintah yaitu kementrian kesehatan melalui kebijakan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat. Penelitian lain juga menyebutka bahwa TB merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV dan deteksi dini infeksi TB pada pasien dengan HIV memegang peran penting dalam menurunkan angka mortalitas dan morbiditas TB-HIV (Kantimpong. et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad (2011), juga
menyebutkan bahwa perilaku mencari pengobatan diantara suspek TB di DIY relatif baik, sistem kesehatan yang menyediakan layanan DOTS di DIY tidak mampu mempertahankan kinerja yang efektif untuk mendiagnosis kasus-kasus TB. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa faktor yang berhubungan dengan penatalaksanaan kolaborasi TB-HIV di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kota Jayapura.
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Mixed Methods (kombinasi) yaitu metode penelitian yang menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode kulalitatif. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei deskriptif dengan disain sequential explanatory yaitu metode penelitian kombinasi yang menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara berurutan, dimana pada tahap pertama penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan pada tahap kedua dilakukan dengan metode kualitatif (Sugiyono, 2013). Pada penelitian ini teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, dokumentasi dan in depth interview. Instrumen penelitian menggunakan formulir wawancara, camera, buku catatan dan lain-lain. Analisis data dilakuakan dengan dua tahap. Tahapan pertama menganalisis data kuantitatif dengan menggunakan program SPSS. Tahapan kedua menganalisis data kualitatif dengan cara triagulasi. Statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah univariabel dan bivariabel. Dalam penelitian ini analisis univariabel digunakan pada variabel fasilitas pelayanan kesehatan (tenaga
kesehatan, logistik sumber dana dan masyarakat). Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel terhadap luaran. Yaitu untuk menguji variabel bebas (pelaksanaan kolaborasi TB-HIV) dengan variabel terikat (tenaga kesehatan, logistik sumber dana dan masyarakat). Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Squarepada tingkat kemaknaan p<0.05 (Dahlan, 2011).
HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan dibeberapa wilayah Puskesmas (Tanjung Ria, Imbi, Jayapura Utara, Hamadi, Elly Ulyo, Waena, Abepura, Skouw, Kotaraja, Abe Pantai, Yoka, Koya Barat), Rumah Sakit (Abepura dan Dian Haarapan) dan Klinik swasta (Muhammadyah Health Center). Pada penelitian ini analisis univariabel digunakan pada karakteristik subjek penelitian yaitu sarana (fasilitas pelayanan kesehatan), SDM (tenaga kesehatan), logistik, sumber dana dan masyarakat (pasien, PMO, LSM) sebagai pengguna Fasyankes. Berdasarkan hasil tabulasi silang mekanisme kolaborasi TB-HIV dengan Fasyakes & masyarakat didapatkan total keseluruhan sebanyak 50 orang (61.0%) yang berpendapat bahwa telah melaksanakan pembentukan mekanisme kolaborasi TB-HIV dan berdasarkan uji chi-sqauare memiliki hubungan yang signifikan dengan Fasyankes p>0.05. Hasil penelitian ini didukung dengan pernyataan beberapa subjek penelitian yaitu sebagai berikut: “Tim pokja untuk kolaborasi TB-HIV ada, dokter, petugas lab trus konselor, kapus juga..untuk SK nanti lebih jelas sama dr.Titis saja” (Perawat) “Tim ada..SK nya yang?? Kita belum bikin..kita harus ada SK dulu..SK yang dari Kepala Puskesmas,,kita sih bikin Tim yang SK khusus belum ada..uraian yah yang tahu hanya penanggung jawabnya Kapus kemudian konselor tapi secara hitam diatas putih untuk sekarang belum ada” (Dokter, Kepala Puskesmas).
Berdasarkan hasil total tabulasi silang antara menurunkan beban TB pada ODHA dengan fasyankes dan masyarakat menunjukkan bahwa sebanyak 80 orang (97.6%) yang berpendapat bahwa upaya menurunkan beban TB pada ODHA telah terlaksana dan memiliki hubungan yang signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat. Hasil ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan keluarga pasien yang sukarela mengantarkan pasien dan tidak stigma dengan pasien adapun penjelasannya sebagai berikut: “Hanya kadang saya lihat dari dia punya sakit karena bukan saya maksudnya bukan dia sendiri yang saya urus ada kakak laki-laki yang sakit sama seperti dia yang saya urus dirumah, saya lihat gejalanya saja dengan obat yang dia minum juga saya sudah tahu kalau dia punya sakit, dia tidak jelaskan kepada saya sakitnya apa. Hanya kadang dia suka bilang obat begini-begini saya bilang yang penting minum teratur,
istirahat, baik makan trus berenti. Saya bilang mungkin bisa sembuh saya bilang begitu to klo hanya saya kasi semangat saya bilang minum teratur, istirahat banyak nanti sembuh itu dia punya TB paru saya bilang” (MG_Masyarakat).
Berdasarkan hasil total tabulasi silang antara menurunkan beban HIV pada pasien TB dengan fasyankes dan masyarakat menunjukkan bahwa sebanyak 71 orang (86.6%) yang berpendapat bahwa upaya menurunkan beban HIV pada pasien TB telah terlaksana dan memiliki hubungan yang signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat. Hasil ini dikuatkan dengan hasil wawancara dengan keluarga pasien yang sukarela mengantarkan pasien dan tidak stigmadengan pasien, adapun peryataannya sebagai berikut: “Pertama gini Ada suka dukanya, pertama dukanya pas waktu kita saya kasi ke atas untuk dicek to tentang TB dan HIV, misalnya dia positif dia tidak terima, marah-marah diatas, habis marah-marah diatas turun ke bawah marah-marah lagi” (Dokter).
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaankolaborasi TB-HIV telah berjalan sesuai dengan dengan tata laksana program kolaborasi TB-HIV dan mempunyai hubungan yang signifikan tenaga kesehatan, logistik, sumber dana dan masyarakat yang ada di FasilitasPelayananKesehatan Kota Jayapura. Kolaborasi
TB-HIV
di
tingkat
Fasyankes
bertujuan
untuk
menjamin
kesinambungan pelayanan dam perawatan pasien yang berkualitas, yang pada akhirnya akan mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat infeksi ganda dan masalah resistensi obat (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme kolaborasi program TB-HIV telah terlaksana dan memiliki hubungan yang signifikan dengan tenaga kesehatan, logistik, sumber dana dan mastarakat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kota Jayapura. Hasil wawancara dari beberapa subjek penelitan menjelaskan bahwa komponen dalam membentuk mekanisme kolaborasi telah terlaksana sesuai dengan tata laksana klinis koinfeksi TB-HIV. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori implementasi, yaitu implementasi merupakan aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Peneliti lain mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan yaitu
perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi anatara tujuan dan tindakan untuk mencapainya memerlukan jaringan pelaksanaan, birokrasi yang efektif. Hasil penelitian ini juga dikuatkan dengan berbagai studi penelitian yang menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk salah satu dari 57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan, baik jumlahnya yg kurang maupun distribusinya (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian memaparkan bahwa telah terlaksana upaya menurunkan beban TB pada ODHA di Fasyankes dan memiliki hubungan yang signifikan dengan Fasyankes dan mastarakat. Hasil wawancara dari beberapa subjek penelitan menjelaskan bahwa komponen dalam menurunkan beban TB pada ODHA telah terlaksana sesuai dengan tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Pemaparan keluarga pasien dan pasien juga menyebutkan bahwa mereka melakukan pemeriksaan karena kemauan sendiri dan telah sadar bahwa mereka membutuhkan pelayanan kesehatan sebagai tempat untuk melakukan pengobatan dan dikeluarga sudah tidak ada stigma terhadap keluarga yang mengidap TB ataupun HIV. Sehingga dapat dijelaskan bahwa masyarakat dalam hal ini pasien dan keluarga pasien sangat berperan aktif dalam hal pengobatan yang dilakukan di fasilitas pelayana kesehatan, serta sangat mendukung program kolaborasi TB-HIV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari (2012), di BP4 Yogyakarta yaitu ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB Paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup seseorang. Hasil ini pun sejalan dengan harapan pemerintah yang menyetakan bahwa masyarakat baik mreka yang sakit maupun orang yang terkena dampak TB maupun HIV bukan hanya sebagai objek namun mereka dapat juga berperan dalam mengendalikan perkembangan TB di masyarakat. Masyarakat merupakan informan yang tepat yang dapat menyampaikan pesan tentang TB maupun HIV karena mereka mempunyai pengalaman nyata (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terlaksana upaya menurunkan beban HIV pada pasien TB di Fasyankes dan memiliki hubungan yang
signifikan dengan Fasyankes dan masyarakat. Hasil wawancara dari beberapa subjek penelitan menjelaskan bahwa komponen dalam menurunkan beban HIV pada pasien TB telah terlaksana sesuai dengan tata laksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Pada hasil tabulasi silang ini dapat disimpulkan bahwa Fasyankes dan masyarakat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap menurunkan beban HIV pada pasien TB. Ketersediaan sarana dan prasarana menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), merupakan faktor pemungkin (enabling factor) yaitu memugkinkan keinginan terlaksana, mencakup sumber daya yang perlu untuk melakukan perilaku sehat. Sumber daya itu antara lain meliputi ketersediaan sarana dan prasarana, ketercapaian berbagai sumber daya, ketersediaan obat, kebijakan pemerintah dan adanya peraturan. Penelitian lain juga berpendapat bahwa untuk mendapatkan layanan yang bermutu hanya bisa dilakukan dengan pengembangan pusat pelayanan kesehatan tersebut (Iriawan, 2010). Hasil ini sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bappenas (2010), yaitu pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai investigasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender. Penelitian lain berpendapat bahwa masih terdapat banyak miskonsepsi tentang HIV di kalangan petugas kesehatan dan pasien TB. Hambatan utama yang dirasakan oleh pasien TB antara lain: beban tambahan untuk mengunjungi layanan VCT dan kekhawatiran tentang hasil tes. Meskipun stigma menjadi perhatian utama pada petugas kesehatan, akan tetapi hal ini tidak terlalu diperhatikan dalam sikap pasien terhadap VCT. Hambatan utama yang dirasakan oleh petugas kesehatan adalah hambatan komunikasi, kekhawatiran bisa menyinggung perasaan pasien, stigmasisasi dan tambahan beban kerja (Ahmad, 2011).
KESIMPULAN DAN SARAN Ada hubungan faktor ketersediaan Sumber Daya Manusia (tenaga kesehatan) terlatih TB-HIV, logistik dan dana, serta masyarakat dalam penatalaksanaan kolaborasi TB-
HIV dengan mekanisme kolaborasi TB-HIV, menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada pasien TB. Penatalaksanaan program kolaborasi TB-HIV telah terlaksana di fasilitas pelayanan kesehatan di Kota Jayapura, dan mempunyai hubungan yang signifikan (p<0.05) dengan tenaga kesehatan, logistik dan sumber dana. Ada hubungan faktor keterlibatan masyarakat dalam penatalaksanaan kolaborasi TB-HIV dalam mekanisme kolaborasi TB-HIV, menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada pasien TB dan masyarakat mempunyai hubungan yang signifikan (p<0.05) terhadap tatalaksana ko-infeksi TB-HIV di Kota Jayapura. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan bagi pemerintah Kota Jayapura, sebagai instansi yang menjembatani
antara
penyediaan
dan
pengembangan
layanan
kesehatan
perlu
meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan terlatih, menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan logistik, dan menyediakan sumber dana yang memadai. Selain itu pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat secara khusus dengan penyakit TB-HIV.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U. F. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta, Penerbit UI Press. Ahmad, R. A. (2011). Improving Tuberculosis Case Finding in Indonesia. Rotterdam, Universitas Medisch Centrum. Bappenas. (2010). Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Kesehatan Yang Berkualitas. Jakarta, Bappenas. Bramanty, O. C. (2012). Evaluasi Pelaksanaan Program Penanggulangan Tuberkulosis Berbasis Komunitas Yang Dilakukan oleh Principal Recipienta Aisyiyah. Ilmu Administrasi. Jakarta, Universitas Indonesia. Dahlan, S. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta, Penerbit Salemba Medika. Dinkes Provinsi Papua. (2013). Laporan P2PL. Jayapura, P2PL Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Iriawan, F. (2010). Analisis Kebutuhan Pengembangan Pelayanan Kesehatan Jiwa di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat "Kalawa Atei" Proponsi Kalimantan Tengah. Fakultas Kedokteran. Yogyakarta, Gadjah Mada. Kantipong, P., et al. (2012). Causes of mortality among tuberculosis and HIV co-infected patients in Chiang Rai, Northern Thailand. HIV AIDS (Auckl) 4: 159-168. Kemenkes RI. (2011). Laporan Tahunan HIV & AIDS. Jakarta, Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. (2011). Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Jakarta, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kemenkes RI. (2013). Petunjuk Teknis Pembinaan dan Penyuluhan Kampanye Pencegahan HIV-AIDS Aku Bangga Aku Tahu. Jakarta, Kementrian Kesehatan RI. Lubis, R. (2007). Ko-Infeksi HIV/AIDS dan TB. Universitas Sumatera Utara: 76-81. Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta, Rineka Cipta. Ratnasari, N. Y. (2012). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta Unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 8. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung, Alfabeta.
Tabel 1 Tabulasi Silang Mekanisme Kolaborasi TB-HIV dengan Fasyankes & Masyarakat di Kota Jayapura Tahun 2014
Fasyankes
Logistik 1. Logistik TB Ada Tidak Ada 2. Logistik HIV Ada Tidak Ada Dana 1. APBD Provinsi 2. APBD Kab/Kota 3. APBN & APBD Provinsi 4. APBD Provinsi & APBD Kab/Kota 5. APBD Kab/Kota & Bantuan Luar Negeri SDM Fasyankes 1. Dokter 2. Perawat 3. Laboran 4. Konselor 5. Administrasi 6. Apoteker Masyarakat TOTAL
Membentuk Mekanisme Kolaborasi TB HIV Tidak Terlaksana Terlaksana n % n %
P
48 2
60.8 66.7
31 1
39.2 33.3
0.837
48 2
64.0 28.6
27 5
36.0 71.4
0.066
14 23 4
73.7 51.1 100
5 22 0
26.3 48.9 0
7
100
0
0
6
85.7
1
14.3
13 3 13 12 5 2 2 50
81.3 50.0 65.0 70.6 62.5 100.0 15.4 61.0
3 3 7 5 3 0 11 32
18.8 50.0 35.0 29.4 37.5 0.0 84.6 39.0
Keterangan : N: Jumlah %: persentase P: hasil uji chi-square (signifikan apabila <0.05)
0.004
0.011
Tabel 2 Tabulasi Silang Menurunkan Beban TB pada ODHA dengan Fasyankes & Mayarakat di Kota Jayapura Tahun 2014
Fasyankes
Logistik 1. Logistik TB Ada Tidak Ada 2. Logistik HIV Ada Tidak Ada Dana 1. APBD Provinsi 2. APBD Kab/Kota 3. APBN & APBD Provinsi 4. APBD Provinsi & APBD Kab/Kota 5. APBD Kab/Kota & Bantuan Luar Negeri SDM Fasyankes 1. Dokter 2. Perawat 3. Laboran 4. Konselor 5. Administrasi 6. Apoteker Masyarakat TOTAL
Menurunkan Beban TB pada ODHA Tidak Terlaksana Terlaksana
p
n
%
n
%
78 2
98.7 66.7
1 1
1.3 33.3
0.000
74 6
98.7 85.7
1 1
14.3 1.4
0.034
18 44 4
94.7 97.8 100.0
1 1 0
5.3 2.2 0.0
7
100.0
0
0.0
7
100.0
0
0.0
16 6 20 17 8 2 11
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 84.6
0 0 0 0 0 0 2
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.4
80
97.6
2
2.4
Keterangan : N: Jumlah %: persentase P: hasil uji chi-square (signifikan apabila <0.05)
0.895
0.020
Tabel 3 Tabulasi Silang Menurunkan Beban HIV Pada Pasien TB dengan Fasyankes & Masyarakat di Kota Jayapura Tahun 2014 Fasyankes
Logistik 1. Logistik TB Ada Tidak Ada 2. Logistik HIV Ada Tidak Ada Dana 1. APBD Provinsi 2. APBD Kab/Kota 3. APBN & APBD Provinsi 4. APBD Provinsi & APBD Kab/Kota 5. APBD Kab/Kota & Bantuan Luar Negeri SDM Fasyankes 1. Dokter 2. Perawat 3. Laboran 4. Konselor 5. Administrasi 6. Apoteker Masyarakat Total
Menurunkan Beban HIV pada pasien TB Terlaksana Tidak Terlaksana n % n %
P
70 1
88.6 33.3
9 2
11.4 66.7
0.006
65 6
86.7 85.7
10 1
13.3 14.3
0.044
17 37 3 7
89.5 82.2 75 100
2 8 1 0
10.5 17.8 25 0
7
100
0
0
15 6 18 18 7 2 7 71
93.8 100.0 90.0 94.1 87.5 100.0 53.8 86.6
1 0 2 1 1 0 6 11
6.3 0.0 10.0 5.9 12.5 0 46.2 13.4
Keterangan : N: Jumlah %: persentase P: hasil uji chi-square (signifikan apabila <0.05)
0.047
0.020