FAKTOR RESIKO TERHADAP KEJADIAN DISPEPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD CIDERES KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2015 Oleh : Ade Tedi Irawan ABSTRAK Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, cepat kenyang dan sendawa. Beberapa faktor resiko terhadap kejadian dyspepsia adalah faktor diet, pola makan, psikologis, peningkatan sekresi asam lambung, penurunan fungsi motorik lambung (motalitas), Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID), infeksi helicobacter pilori (Hp) dan gaya hidup (merokok, konsumsi kopi dan alkohol). Tujuan penelitian adalah diketahuinya faktor-faktor resiko terhadap kejadian dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Penelitian menggunakan jenis deskriptif analitik kepada variabel independen faktor diet, pola makan, gaya hidup, penggunaan Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) dan variabel dependen adalah kejadian dispepsia. Penelitian dilaksanakan tanggal 18 Mei - 19 Juni 2015 kepada 96 pasien menggunakan acidental sampling Hasil penelitian didapatkan gambaran resiko tinggi terhadap kejadian dispepsia akibat faktor pola makan dan diet 51,04%, faktor gaya hidup 64,58%, faktor NSAID 56,25% dan resiko rendah terhadap kejadian dispepsia akibat faktor pola makan dan diet 48,96%, faktor gaya hidup 35,42% dan faktor NSAID 43,75%. Menindaklanjuti keadaan tersebut, maka perawat harus mampu melaksanakan pendidikan kesehatan pada pasien sesuai faktor yang paling berresiko yaitu gaya hidup pasien misalnya menbgurangi mengkonsumsi minuman kopi, teh, minuman beralkohol dan merokok selain faktor pola makan, diet dan penggunaan Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID). Kata Kunci I.
: Faktor Resiko Dispepsia
PENDAHULUAN Tujuan sistem kesehatan Indonesia adalah untuk meningkatkan kualias sumber daya manusia, kualitas hidup, usia harapan hidup, tingkat kesejahteraaan keluarga dan masyarakat, kepedulian akan pola hidup sehat (DepKes, 2012). Menurut WHO, (2002) menyatakan bahwa proporsi tingkat kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit tidak menular sebesar 60% proporsi kesakitan
sebesar 47% dan diperkirakan pada tahun 2020 proporsi kematian akan meningkat menjadi 73% dan proporsi kesakitan menjadi 60%. Untuk negara SEARO (South East Asian Regional Office) tahun 2020 diperkirakan proporsi kematian dan kesakitan yang disebabkan oleh penyakit tidak menular 50 % dan 42 % (DepKes RI, 2006)
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
1
Di Indonesia menurut hasil studi morbiditas pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) prevalensi penyakit tidak menular meningkat dari 15% pada tahun 1995 menjadi 18% pada tahun 2014. Saat ini di Indonesia sedang berlangsung transisi epidemiologi dan demografi. Hal ini ditunjukkan dengan terjadi peningkatan urbanisasi, industrialisasi dan penyakit kronis dan degradasi lingkungan dan bahaya terhadap keselamatan kerja. Menurut Pathol, (1994) diperkirakan lebih dari 30 juta penduduk di seluruh dunia mengkonsumsi NSAID setiap hari dan akan berpengaruh pada peningkatan risiko terjadi penyakit akibat efek samping obat yaitu gangguan sistem pencernaan (DepKes, 2007). Menurut Badan Litbangkes, (2001) sejalan dengan transisi tersebut terjadi perubahan gaya hidup seperti merokok, konsumsi kopi, alkohol menjadi faktor risiko terjadinya berbagai macam penyakit dispepsia dan merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek seharihari dimana diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologis (DepKes, 2007). Perubahan diet dan pola makan diduga berbagai jenis makanan dilaporkan oleh pasien sebagai hal yang mencetuskan serangan dispepsia, misalnya buah-buahan, asinan, makanan berlemak, berbumbu sangat pedas atau asam (cabe, lada, cuka) dan faktor resiko dari alkohol teh dan kopi. Tetapi pada penelitian sulit dibuktikan bahwa faktor itu berlaku untuk setiap orang (DepKes, 2007). Dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa (Suyono, 2007). Keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit lambung yang diasumsikan oleh orang awam sebagai penyakit maag atau lambung. Dispepsia merupakan keluhan umum dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum di dapatkan 15 - 30 % orang dewasa pernah mengalami hal ini. Dari data di negara barat didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7 - 41 % tapi hanya 10-
20% yang mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 1 - 8 %. Tetapi belum ada data epidemiologi dispepsia yang pasati di Indonesia (Djojodiningrat D, 2009). Survei yang dilakukan A.F. Syam, (2007) mengemukakan bahwa dari 93 pasien yang diteliti hampir 50% mengalami dispepsia. Survei dilakukan oleh bagian Ilmu penyakit dalam FKUI pada masyarakat Jakarta pada tahun 2006 dari 1645 responden terdapat 60% responden dengan sindrom dispepsia (Judarwanto W. 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shmueily et al (2003) di Kenya menunjukkan bahwa infeksi oleh Helicobacter Pylori berhubungan dengan dispepsia sebesar 2,4 kali (CI 95 % =1.5 – 3.9 dengan p = 0.001). Risiko terjadinya dispepsia sebesar 4.1 kali pada usia ≥ 21 tahun ( CI 95 % = 1.1 – 14.9) sedangkan risiko terjadinya dispepsia pada pengetahuan yang rendah sebesar 3.3 kali (CI 95 % = 1.7 – 6.2) serta risiko terjadinya dispepsia pada jumlah keluarga > 7 orang sebesar 2.9 kali ( CI 95 % = 1.7 – 5.6) dan pada jenis kelamin perempuan sebesar 2.2 kali (CI 95 % = 1.3 -3.7) (Masyhuda, 2012). Menurut Sanjay et al, (2008) bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh Christensen et al. (2006) di Denmark menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penggunaan NSAID dengan kejadian dispepsia yaitu 2.33 kali dengan orang yang tidak mengkonsumsi NSAID (95% CI=1.72 – 3.15). Merokok adalah suatu kebiasaan mengisap rokok yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan lagi bagi orang yang mengalami kecenderungan terhadap rokok. Merokok menghambat sekresi pankreas dan menurunkan tekanan esophagus juga mengurangi kontraksi otot polos lambung sehingga mendorong pembentukan tukak lambung. Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya dispepsia non ulkus dimana risiko terjadinya dispepsia pada perokok yang merokok ≤ 10 batang/hari yaitu 2.2 kali (95 % CI=1.3 – 3.7) dibandingkan dengan yang tidak merokok) (Masyhuda, 2012). Hasil penelitian yang dilaksanakan Sani A, (2004) menyatakan di Lombok dan
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
2
Jakarta memperlihatkan 75% dan 61% pria dewasa dan kurang dari 5% wanita dewasa mempunyai kebiasaan merokok menghabiskan rokok lebih dari 20 batang per hari (Sattiyani F.Y, 2011). Menurut Vivi Juanita (2003) bahwa Departemen Kesehatan melalui bagian pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2002 Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahun mengkonsumsi 2,5 miliar batang rokok. Angka kekerapan merokok di Indonesia yaitu 60 % - 70% pada laki-laki di perkotaan dan 80% - 90% di pedesaaan (Masyhuda, 2012). Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan organik seperti tukak peptik, gastritis, batu kandungan empedu dan lainnya atau yang bersifat fungsional. Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Dispepsia tipe seperti ulkus, yang lebih dominan adalah nyeri ulu hati ; 2. Dispepsia tipe dismotilitas yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang ; 3. Dispepsia tipe non spesifik tidak ada keluhan yang dominan (Suyono, 2007). Beberapa faktor resiko terhadap kejadian dispepsia adalah faktor diet, dan pola makan, peningkatan sekresi cairan asam lambung, penurunan fungsi motorik lambung (motalitas), psikologis, obat-obatan anti inflamasi non steroid, dan faktor infeksi helicobacter pilori (Hp) (Brunner & Suddart, 2003). Keluhan dispepsia sering dikeluhkan oleh pasien dengan gangguan yang terjadi pada saluran pencernaan terutama lambung seperti rasa penuh, nyeri daerah epigastrium, anoreksia, mual kadang-kadang
disertai muntah. Nyeri epigastrium pada dispepsia termasuk pada katergori nyeri viseral dan terjadi secara kronis karena adanya rangsangan pada struktur dalam rongga perut misalnya karena adanya odema atau peradangan, peritonium viseral dipersarafi oleh sistem saraf autonom. Pasien yang merasakan nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya pasien menggunakan seluruh telapak tangan untuk menunjukan daerah yang nyeri. Pada setiap individu persepsi nyeri epigastrium berbeda-beda, karena persepsi nyeri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti etnik, kultur, proses belajar, lingkungan, kecemasan dan persepsi klien sendiri tentang nyerinya (Brunner & Suddart, 2003). Berdasarkan data 10 besar penyakit dari Rekam Medik RSUD Majalengka tahun 2014 bahwa angka kejadian dispepsia menempati urutan ke 4 yaitu 221 kejadian setelah urutan BBL Hidup, Anemia dan Stroke maka jumlahnya lebih rendah dibandingkan kejadian dispepsia di RSUD Cideres. Jumlah populasi yang banyak akan memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, sehingga peneliti akan melaksanakan penelitian di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka. Berdasarkan data yang diuraikan pada fenomena bahwa penyakit dispepsia merupakan penyakit terbanyak yang diderita pasien pada tahun 2014 dan jumlahnya meningkat 9-10 kali dibandingkan dengan frekwensi kejadian dispepsia pada tahun 2013 dan 2014, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor resiko terhadap kejadian dispepsia dan menentukan judul penelitian “Faktor Resiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015”.
Jenis dan desain penelitian adalah suatu bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian (Hidayat, 2007). Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan obyek atau peristiwa pada saat sekarang.
II. METODE PENELITIAN
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
3
III. HASIL PENELITIAN Penelitian tentang Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015 telah dilaksanakan pada tanggal 18 Mei - 19 Juni 2015 kepada 96 pasien. Pada BAB ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang faktorfaktor resiko terhadap kejadian dispepsia yang terdiri dari variabel dependen yaitu kejadian dispepsia dan variabel independen adalah faktor diet dan pola mkan, faktor
gaya hidup, faktor penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid. Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel yang menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel dan dilanjutkan dengan pembahasan masing-masing variabel. 4.1.1 Faktor Resiko Diet dan Pola Makan terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015.
Tabel 4.1. Distrinusi Frekuensi Faktor Resiko Diet dan Pola Makan terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Diet dan Pola Makan Resiko Tinggi Resiko Rendah Jumlah
Berdasarkan tabel 4.1. didapatkan gambaran bahwa faktor diet dan pola makan merupakan resiko tinggi terhadap sebagian besar pasien dispepsia yang dirawat di
Jumlah 49 47 96
% 51,04 48,96 100
Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015 4.1.2 Faktor Resiko Gaya hidup terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015.
Tabel 4.2. Distrinusi Frekuensi Faktor Resiko Gaya Hidup terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Gaya Hidup Resiko Tinggi Resiko Rendah Jumlah
Berdasarkan tabel 4.2. didapatkan gambaran bahwa faktor gaya hidup merupakan resiko tinggi terhadap sebagian besar pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015
Jumlah 62 34 96
% 64,58 35,42 100
4.1.3 Faktor Resiko Penggunaan Obat NSAID terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015.
Tabel 4.3. Distrinusi Frekuensi Faktor Resiko Penggunaan Obat NSAID terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015 Penggunaan Obat NSAID Resiko Tinggi Resiko Rendah
Jumlah 54 42
%
56,25 43,75
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
4
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.3. didapatkan gambaran bahwa faktor pengguna obat NSAID merupakan resiko tinggi terhadap
96
100
sebagian besar pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015.
IV. PEMBAHASAN 1.
2.
Faktor Resiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Berdasarkan hasil penelitian pada tiga faktor resiko yaitu faktor diet dan pola makan, gaya hidup dan penggunaan obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), menunjukan faktor tersebut sebagai faktor resiko tinggi terhadap kejadian dispepsia dengan interpretasi pada sebagian besar pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015, dengan hasil 51,04% faktor pola makan dan diet, 64,58% faktor gaya hidup dan 56,25% faktor penggunaan obat-obatan Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID). Faktor gaya hidup adalah merupakan faktor resiko tertinggi terhadap kejadian dispepsia dari tiga faktor resiko yang diteliti dan selanjutnya lebih lengkap ada pada pembahasan pada masing-masing faktor resiko. Hasil penelitian sesuai dengan konsep yang diasampaikan oleh Brunner & Suddart, (2003), bahwa beberapa faktor resiko terhadap kejadian dispepsia adalah faktor diet dan pola makan, obat-obatan anti inflamasi non steroid, psikologis, peningkatan sekresi asam lambung, penurunan fungsi motorik lambung (motalitas) dan faktor infeksi helicobacter pilori (Hp) dan ditambahkan menurut Badan Litbangkes, (2001 dalam DepKes, (2007) bahwa telah terjadi transisi epidemiologi dan demografi, terjadi perubahan gaya hidup seperti merokok, konsumsi kopi, alkohol menjadi faktor resiko terjadinya gangguan gastroenterologis diantaranya dispepsia. Faktor Resiko Diet dan Pola Makan terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015
Berdasarkan tabel 4.1. didapatkan gambaran bahwa faktor diet dan pola makan merupakan resiko tinggi terhadap sebagian besar (51,04 %) dari pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015. Hasil penelitian sesuai dengan konsep bahwa salah satu resiko terjadi dyspepsia adalah faktor diet keteraturan makan, sekresi cairan lambung dan lingkungan. Cairan lambung adalah cairan iritatif yang dihasilkan oleh lambung bersifat asam bermanfaat untuk proses pencernaan dan membunuh mikroorganisme yang masuk bersama makanan. Proses mencerna makanan secara mekanikal dan kimiawi mukosa lambung mensekresi 1500 - 3000 ml gastric juice (cairan lambung) tiap hari. Komponen utamannya yaitu mucus Hydrochloric Acid(HCL), pensinogen, hormon gastrik dan air (Djojoningrat D, 2009). Pengaturan pola makan tidak benar dan kebiasaan menunda waktu makan pada saat sudah lapar menyebabkan kosongnya volume lambung berlangsung lama sehingga peningkatan asam lambung tidak digunakan untuk proses pencernaan akan mengakibatkan munculnya resiko terjadinya gangguan pencernaan yaitu kumpulan gejala nyeri epigastrium, mual, muntah, anoreksia, perasaan penuh atau cepat kenyang, sendawa sebagai sindrom dispepsia (Suyono 2007). Menurut asumsi peneliti berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor yang paling berresiko terhadap kejadian dispepsia pada faktor diet dan pola makan adalah pasien sering mengkonsumsi makanan berbumbu pedas dari cabe skor jawaban 13,88% makanan berlemak hewani 12,11% dan makanan awetan 11,35% hal ini dideskripsikan oleh hasil jawaban pada kuesioner tentang mengkonsumsi makanan
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
5
3.
bumbu pedas cabe, makanan berlemak hewani dan mengkonsumsi makanan yang diawetkan mendapatkan hasil skor tertinggi. Menanggulangi masalah pola makan dan diet perlu dilakukan pendidikan kesehatan sebagai saran kepada pasien dispepsia bahwa sering mengkonsumsi makanan berbumbu pedas dari cabe, makanan berlemak hewani dan makanan awetan selain kebiasaan menunda makan pada saat lapar adalah pengaturan pola makan yang tidak benar seperti bumbu cabe, merica atau lada, cuka, makanan berlemak buah-buahan asam harus dibatasi karena dapat merangsang produksi asam lambung meningkat sebagai resiko terhadap kejadian dispepsia. Faktor Resiko Gaya Hidup terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Berdasarkan tabel 4.2. didapatkan gambaran bahwa faktor gaya hidup merupakan resiko tinggi terhadap sebagian besar (64,58%) dari pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015 Hasil penelitian sesuai dengan konsep yang disampaikan oleh Herman, (2004) bahwa suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan tetapi apabila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung. Faktor yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alkohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam, pedas serta bumbu yang merangsang, misalnya cabe, jahe dan merica (Herman, 2004). Meminum kopi kini telah menjadi suatu kebiasaan. Selain dalam bentuk aslinya (biji atau bubuk), kopi pun kini dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan turunannya (misalnya bentuk permen, es cream atau minuman ringan). Kafein senyawa kimia yang dijumpai secara alami dalam biji kopi. Kafein merangsang hormon stres dan denyut jantung dan meningkatkan tekanan darah. Kafein dan asam yang terdapat dalam kopi
dapat mengiritasi permukaan lambung dan usus (Rizkiani, 2009). Minuman yang mengandung alkohol dan minuman ringan tidak mengandung alkohol, secara umum sering dikonsumsi banyak orang. Minuman bersoda merupakan air yang disertai dengan karbon dioksida yang menjadikannya sebagai air karbonasi. Secara umum minuman ringan dapat berupa cola, air berasa, air bergas, teh manis, lemonade, squash, dan fruitpunch (Firman, 2011). Minuman soda mengandung CO2 sebagai penyebab lambung tidak bisa menghasilkan enzim yang sangat penting bagi proses pencernaan. Hal ini terjadi jika mengkonsumsinya bersamaan saat makan maupun sesudah makan. Ada sedikit kandungan asam yang terdapat dalam banyak jenis makanan dan minuman, termasuk jus buah, mentega susu dan minuman ringan tetapi kandungan asam tersebut tidak cukup kuat untuk membahayakan tubuh. Asam lambung memiliki kandungan asam yang jauh lebih besar (Firman, 2011). Tubuh manusia mempunyai suhu optimum 37ºC supaya enzim pencernaan berfungsi. Suhu dari minuman soda yang dingin jauh di bawah 37ºC terkadang mendekati 0. Hal ini mengurangi keefektifan dari enzim dan memberi tekanan pada sistem pencernaan, serta mencerna lebih sedikit makanan. Bahkan makanan tersebut difermentasi. Makanan yang difermentasi menghasilkan bau, gas, sisa busuk dan racun, yang diserap oleh usus, diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Penyebaran racun ini mengakibatkan pembentukan macammacam penyakit saluran pencernaan (Firman, 2011). Hasil penelitian serupa yang dilakukan pada gejala yang lebih parah lanjutan dari dispepsia yaitu gastritis erosive yang dilakukan oleh Darya dan Wibawa tahun 2009 bahwa gangguan lambung dispepsia sampai dengan gastritis erosive sering terjadi pada laki-laki yaitu 68,8% karena perokok, minum kopi dan teh dibandingkan perempuan yaitu 31,3% (Darya & Wibawa , 2009). Menurut asumsi peneliti berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor yang paling berresiko terhadap kejadian dispepsia pada
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
6
4.
gaya hidup adalah pasien selalu mengkonsumsi minuman kopi skor jawaban 28,52% dan teh 27,47%, hal tersebut dideskripsikan oleh hasil jawaban pada kuesioner tentang mengkonsumsi minuman kopi dan teh dengan hasil skor tertinggi selain faktor gaya hidup pada kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok. Menanggulangi masalah diatas diperlukan adanya pendidikan kesehatan sebagai saran kepada pasien dengan menjelaskan bahwa kegemaran minum kopi, teh selain kebiasaan merokok dan minuman beralkohol dapat merangsang peningkatan produksi asam lambung, menggangu kesehatan saluran pencernaan sebagai resiko terhadap kejadian dispepsia. Faktor Resiko Penggunaan Obat NSAID terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Berdasarkan tabel 4.3. didapatkan gambaran bahwa faktor penggunaan obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID) merupakan resiko tinggi terhadap sebagian besar (56,25%) dari pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015 Hasil penelitian tersebut sejalan dengan konsep disampaikan Pathol, (1994) diperkirakan lebih dari 30 juta penduduk di seluruh dunia mengkonsumsi obat NSAID setiap hari dan akan berpengaruh pada peningkatan risiko terjadi penyakit akibat efek samping obat yaitu gangguan sistem pencernaan (DepKes, 2007). Menurut Sebayang (2011, dikutip dari Hirlan, 2001), bahwa dispepsia dan gastritis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif terdiri dari asam lambung, pepsin, AINS, empedu, infeksi virus, infeksi bakteri, bahan korosif, asam dan basa kuat. Faktor defensive terdiri dari mukus, bikarbonas mukosa dan prostaglandin mikrosirkulasi. Penyakit dispepsia dan gastritis sering terjadi pada orang-orang yang stres, karena stres dapat meningkatkan produksi asam lambung, pengkonsumsi alkohol dan obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID). Gejala yang timbul pada penyakit dispepsia
dan gastritis adalah rasa tidak enak pada perut, perut kembung, sakit kepala, mual seperti gejala sindroma dispepsia apabila semakin berat maka inflamasi pada lapisan mukosa akan tampak sembab, merah, dan mudah berdarah (Ekowati, 2008). Menurut hasil studi morbiditas pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) sedang trrjadi transisi epidemiologi dan demografi. peningkatan urbanisasi, industrialisasi peningkatan penyakit kronis dan meningkatnya penduduk lanjut usia yang sakit, cacat degradasi maka penyakit yang berhubungan dengan faktor usia seperti artritis akan semakin meningkat sehingga penggunaan obat Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) meningkat. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Christensen et al. (2006) di Denmark, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan obat NSAID kejadian dispepsia 2,33 kali dengan orang tidak mengkonsumsi NSAID (95 % CI=1.72 – 3.15) (Masyhuda, 2012). Menurut Dongoes, (2000 dalam Sebayang 2011), bahwa obat NSAID anti nyeri pada sebagian orang menyebabkan ketergantungan bahkan menimbulkan penyakit misalnya pada saluran pencernaan walaupun pada beberapa orang tidak. Beberapa gangguan kesehatan pada saluran pencernaan yang timbul bisa ringan dan sembuh dengan sendirinya, tetapi bila dosis NSAID yang besar atau terpapar dalam waktu lama dapat beresiko mengakibatkan sindroma dispepsia berat, tukak lambung bahkan perporsai lambung. Menurut asumsi peneliti berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor yang paling berresiko terhadap kejadian dispepsia pada faktor penggunaan Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) adalah pasien selalu mengkonsumsi jamu anti pegal-pegal dan nyeri sendi skor jawaban 26,70% dan mengkonsumsi obat anti nyeri kepala 26,33%, hal ini dideskripsikan oleh hasil jawaban pada kuesioner tentang mengkonsumsi jamu anti pegal -pegal dan nyeri sendi dan mengkonsumsi obat anti nyeri kepala mendapatkan hasil skor tertinggi.
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
7
Menanggulangi masalah di atas perlu dilakukan pendidikan kesehatan sebagai kepada pasien dispepsia bahwa penggunaan obat-obatan anti nyeri tanpa resep dokter khususnya Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) misalnya aspirin, ibuprofen, naproxen dan lain-lain dan mengonsumsi jamu pegal-pagal atau anti nyeri harus dibatasi karena obat tersebut merupakan salah satu golongan obat kimia heterogen
yang dapat menghambat aktivitas siklooksigen, penurunan sintesis prekursor tromboksan dari asam arakhidonat yang bertugas melindungi dinding lambung sehingga dapat merangsang peningkatan produksi asam lambung mengakibatkan gangguan pada saluran pencernaan, peradangan mukosa lambung sebagai resiko terhadap kejadian dyspepsia.
1. Simpulan Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Beberapa faktor resiko terhadap kejadian dispepsia adalah faktor diet, pola makan, obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSAID), psikologis, peningkatan sekresi asam lambung, penurunan fungsi motorik lambung (motalitas) dan faktor infeksi helicobacter pilori (Hp), gaya hidup (merokok, konsumsi kopi dan alcohol). Berdasarkan hasil penelitian pada tiga faktor resiko yaitu faktor diet dan pola makan, gaya hidup dan penggunaan obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), menunjukan faktor tersebut sebagai faktor resiko tinggi terhadap kejadian dispepsia dengan interpretasi pada sebagian besar pasien dispepsia yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2015, dengan hasil 51,04% faktor pola makan dan diet, 64,58% faktor gaya hidup dan 56,25% faktor penggunaan obat-obatan Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID). 2. Saran a. Perawat Hasil penelitian dapat dijadikan oleh perawat sebagai sumber ilmu pengetahuan,
perawat harus mampu melakukan pendidikan kesehatan pada pasien sesuai factor-faktor resiko yang dialaminya misalnya pendidikan kesehatan tentang pola makan, diet, gaya hidup sehat dan penggunaan obat Non Steroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID) harus sesui resep dokter. b. Rumah Sakit Rumah Sakit dapat meningkatkan program promosi kesehtan tentang penyakit tertentu kepada pasien misalnya tentang penyakit dispepsia untuk meningkatkan pengetahuan dengan menyediakan alat gambar-gambar promosi kesehatan, laflet dan lain-lain dengan harapan pasien dapat menentukan keputusan untuk mencari pengobatan dan obat yang sesuai dan aman menurut kesehatan. c. Peneliti Selanjutnya Diharapkan dalam melakukan penelitian selanjutnya tentang faktor lain sebagai resiko terjadinya penyakit dispepsia selain faktor pola makan, diet, gaya hidup dan penggunaan obat NSAID, misalnya penelitian tentang faktor resiko dari psikologis, infeksi Helicobacter Pylori (Hp), persepsi viseral lambung, fungsi motorik lambung (motalitas) dan sekresi cairan asam lambung.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
8
DAFTAR PUSTAKA Ahmad R & K. St. Pamoentjak. 2004. Kamus Kedokteran. Jakarta. Djambatan.
At : http://www.depkes.go.id/downloads /publikasi/Peta%20 Kesehatan%202007.pdf. (diakses 27 Februari 2015 pukul 21.13).
Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi. Jakarta. Rineka Cipta. Annisa,
______, 2006. Operational Study An Integrated Com-Munity-Based Intervention Program On Common Risk Factors Of Major Non-Communicable Diseases In Depok-Indonesia. Jakarta. Balitbangkes DepKes RI.
2009. Skripsi ; Hubungan Ketidakteraturan Makan Dengan Sindroma Dispepsia Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan. At : http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/14275/1/10E00003.pdf (diakses 25 Juni 2015 pukul 21.45).
Ekowati, P. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Gastritis di Bangsal Melati RSUD Seragen. At ; http://etd.eprints.ums.ac.id/2939/1/J 200050 077.pdf (diakses 26 Juni 2015 pukul 22.00).
Brunner dan Suddart. 2003. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta. EGC.
Firman, 2011. Analisa Minuman Bersoda. At ; http://www.gedoor.com/wpcontent/uploads/2011/10/analisis.pd f (diakses 25 Juni 2015 pukul 22.15).
Biasco G, Paganelli GM, Vaira D, Holton J, Di Febo G, Brillanti S, et all. 2003. Serum Pepsinogen I And II Concentrations And IGG Antibody To Helicobacter Pylori In Dyspeptic Patients. J Clin Pathol.
Hidayat A. A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, Jakarta, Salemba Medika.
Djojodiningrat Dharmika. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th. ed. Jakarta ; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Herman, B. 2004. Fisiologi Pencernaan Untuk Kedokteran. Padang : Andalas University Press.
DepKes RI, 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. At : http://www.depkes.go.id (diakses 06 Maret 2015 pukul 21.00).
Harahap, Y. 2009. Skripsi ; Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 2007. At http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/146 81/1/10E00274.pdf (diakses 25 Juni 2015 pukul 22.45). Iping, S. 2004. Metode Makan Kualitatif Cara Nutakhir Untuk Langsing dan Sehat. Puspa Suara. Jakarta.
Darya I Wayan, I Dewa Nyoman Wibawa J. 2009. Penyakit Dalam, Volume 10 98 Nomor 2 dan Penderita Dyspepsia ; Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar 2005.
______, 2007. Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Ditjen PP & PL Depkes RI, 2007.
Judarwanto W. 2009. Koran Indonesia Sehat Network Information Education Network. All Rights Reserved : Sakit
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
9
Maag atau Dispepsia Merupakan Penyakit Menahun Yang Membandel. At : http://koranindonesiasehat. wordpress.com/ (diakses 28 Februari 2015 pukul 21.15).
Soeparman dan Sarwono Waspadji. 2004. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Sattiyani Fitri Y. 2011. Skripsi ; Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian Hipertensi Di Klinik M.H. Thamrin Kalideres Jakarta. At : http://library. esaunggul.ac.id/opac/files/S0000047 99.pdf (diakses 04 Maret 2015 pukul 22.15).
Masyhuda, 2012. Tesis : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia Di RSUD Pandan Arang Kabupaten Boyolali. At : http://etd .ugm.ac.id/index.php? (diakses 06 Maret 2015 pukul 21.13). Mulia, A. (2010). Pengetahuan Gizi, Pola Makan Dan Status Gizi Mahasiswa Pendidikan Tekhnologi Kimia Industri (PTKI) Medan. At ; http:// repository.usu.ac.id/bitstream/12345 6789/20338/4/Chapter%20II.pdf (diakses 25 Juni 2015 pukul 21.55).
Suyono. 2007. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
Soehardi, S. (2004). Memelihara Kesehatan Jasmani Melalui Makanan. Bandung : ITB.
Notoatmodjo, S. 2006. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Suerbaum S, Michetti P. 2003. Helicobacter pylori infection. N Engl J Med
______, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta, Rineka Cipta.
Sebayang, N. 2011. Skripsi : Gambaran Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan Gastritis Mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. At ; http://library.usu.ac.id/download/fk/ psikiatri-citra.pdf (diakses 26 Juni 2015 pukul 23.00)
Naito Y, Ito I, Watanabe T, Suzuki H, 2005. Biomarkers In Patients With Gastric Inflammation : A Systematic Review Digestion. Potter
dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 1, edisi 4. Jakarta. EGC.
STIKes YPIB, 2015. Pedoman Penyusunan dan Penulisan Skripsi Program Sarjana Keperawatan STIKes YPIB Majalengka 2015
Rizkiani, I. 2009. Pengaruh Pemberian Kopi Dosis Bertingkat Peroral Selama 30 Hari Terhadap Gambaran Histologi Lambung Tikus Wister. At ; http:// eprints.undip.ac.id/14232/1/Inne_Riz kiani.pdf (diakses 25 Juni 2015 pukul 23.00).
Widyatomo S. 2010 Karya Tulis : Karakteristik Fisik Kopi Pasca Pengukusan Dalam Reactor Kolom Tunggal. At : http://www.iccri.net/index.php? (diakses 28 Februari 2015 pukul 22.25).
RSUD Cideres, 2012, Rekam Medik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Jurnal Keperawatan dan Kesehatan MEDISINA AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 2 Juli 2015
10