ARTIKEL ASLI
Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007 (Erythroderma Patients in Dermatovenereology Department of Dr. Soetomo General Hospital in 2005–2007) Nanda Earlia, Firdausi Nurharini, Andri Catur Jatmiko, Evy Ervianti Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Latar Belakang: Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang ditandai dengan eritema dan skuama pada hampir 90% permukaan tubuh. Penyakit ini dapat berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius. Tujuan: Mengetahui karakteristik dan pemberian terapi pasien eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2007. Metode: penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mengevaluasi rekam medik pasien eritroderma meliputi data kunjungan penderita, jenis kelamin, umur, pekerjaan, domisili, anamnesis keluhan utama, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan histopatologi, penatalaksanaan, dan follow up penderita. Hasil: Jumlah penderita eritroderma 30 orang (1,2%) dari seluruh penderita rawat inap. Perbandingan laki-laki dan perempuan 1,7:1 dengan rentang usia terbanyak ≥ 65 tahun. Dermatitis seboroik sebagai penyebab terbanyak (43,3%), diikuti dengan alergi obat (26,7%), psoriasis vulgaris (3,3%), dermatitis kronis (3,3) dan pemfigus foliaseus (3,3%). Lama perawatan pada 11 pasien selama 8–14 hari (36,6%). Kesimpulan: Berdasarkan data yang diambil dari catatan medik selama 3 tahun didapatkan penyebab terbanyak adalah dermatitis seboroik. Pengobatan utama penderita eritroderma adalah kortikosteroid sistemik. Kata kunci: eritroderma, dermatitis seboroik, RSUD Dr. Soetomo Abstrack Background: Erythroderma or exfoliative dermatitis is an inflammatory cutaneous disease characterized by scale and erythema in almost 90% of body surface. This disease could be potentially serious complication. Purpose: To determine characteristic and treatment of erythroderma patients hospitalized at Department of Dermatovenereology Dr. Soetomo General Hospital Surabaya in 2005–2007. Methods: Retrospective study method was performed by evaluating medical record of erythroderma patients including sex, marriage state, occupation, chief complaint, physical examination, laboratory and histopatologic examination, the management and follow up of the patients. Result: There were 30 patients with erythroderma. Male was more frequent than female. The most frequent age group was ≥ 65 years old. The ratio between male and female cases was 1.7:1. The most common etiology was sebhorreic dermatitis (43.3%), followed by drug eruption (26.7%), psoriasis vulgaris (23.3%), chronic dermatitis (3.3%) and pemfigus foliaseus (3.3%). The duration of hospitalization ranged from 8–14 days in 11 patients (36.6%). Conclusion: Based on 3 years data in medical records, there were 30 patients with erythroderma, with sebhorreic dermatitis as the most common etiology, and most patient was treated by systemic corticosteroid. Key words: erythroderma, sebhorreic dermatitis, Dr. Soetomo General Hospital Alamat korespondensi: Nanda Earlia, e-mail: nandaearlia@yahoo. co.id
Pendahuluan Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) + derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai
90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada
Pengarang Utama 5 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)
93
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi.1,2 Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata ‘eksfoliasi’ berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata ‘dermatitis’ digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus.3 Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah ada sebelumnya (psoriasis, dermatitis atopik dan dermatosis spongiotik lainnya), reaksi hipersensitivitas obat (antiepilepsi, antihipertensi, antibiotika, calcium channel blocker, dan bahan topikal), penyakit sistemik termasuk keganasan, serta idiopatik (20%).1,4,5 Insiden eritroderma di Amerika Serikat bervariasi, antara 0,9 sampai 71,0 per 100.000 penderita rawat jalan dermatologi.1 Hasan dan Jansen (1983) memperkirakan insiden eritroderma sebesar 1–2 per 100.000 penderita. Sehgal dan Srivasta (1986) pada sebuah penelitian prospektif di India melaporkan 35 per 100.000 penderita eritroderma dirawat jalan dermatologi.6 Pada beberapa laporan kasus, didapatkan insiden pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, dengan proporsi 2:1 sampai 4:1, dan usia rata-rata 41–61 tahun.6,7,8 Angka kematian tergantung pada penyebab eritroderma. Sigurdson (1996) melaporkan dari 102 penderita eritroderma terdapat 43% kematian, 18% disebabkan langsung oleh eritroderma dan 74% tidak berhubungan dengan eritroderma.9 Pada eritroderma terjadi peningkatan epidermal turnover rate, kecepatan mitosis dan jumlah sel kulit germinatif meningkat lebih tinggi dibanding normal. Selain itu, proses pematangan dan pelepasan sel melalui epidermis menurun yang menyebabkan hilangnya sebagian besar material epidermis, yang secara klinis ditandai dengan skuama dan pengelupasan yang hebat. Patogenesis eritroderma masih menjadi perdebatan. Penelitian terbaru mengatakan bahwa hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks antara molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2, IL-8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor necrosis faktor, dan interferon-γ.3,4 Diagnosis eritroderma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi dapat membantu menentukan penyakit yang mendasarinya. Diagnosis yang akurat dari penyakit ini merupakan suatu proses yang sistematis di mana dibutuhkan pengamatan yang seksama, evaluasi serta pengetahuan 94
Vol. 21 No. 2 Agustus 2009
tentang terminologi dermatologi, morfologi serta diagnosa banding. Eritroderma secara klinis digambarkan dengan eritema luas, skuama, pruritus dan lesi primernya biasanya sulit ditentukan.1,3,4 Peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat bila diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau pada usia lanjut. Pada beberapa penderita, eritroderma dapat ditoleransi dan berada pada kondisi yang kronik. Pengobatan disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya, namun tetap memperhatikan keadaan umum, seperti keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, memperbaiki hipoalbumin dan anemia, serta pengendalian infeksi sekunder.1,5,8 Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun masalah yang ditimbulkannya cukup parah dan sering kali para dokter ahli penyakit kulit dan kelamin mengalami kesulitan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita. Tujuan penelitian meliputi tujuan umum yaitu untuk mengetahui gambaran umum penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode Januari 2005 sampai dengan Desember 2007. Tujuan khusus adalah untuk melakukan evaluasi penegakan diagnosis eritroderma dan penatalaksanaan eritroderma. Manfaat penelitian adalah mengetahui gambaran umum dan melakukan evaluasi penegakan diagnosis serta penatalaksanaan eritroderma berdasarkan catatan medik yang ada sehingga dapat dilakukan perbaikan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan eritroderma di masa mendatang. Metode Bahan Penelitian diambil dari catatan medik penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama Januari 2005 sampai dengan Desember 2007. Cara Kerja penelitian dilakukan secara retrospektif dengan melihat catatan medik penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama Januari 2005 sampai dengan Desember 2007, berdasarkan catatan medik dicatat: data dasar (jumlah penderita, distribusi umur, jenis kelamin, lama hari perawatan, frekuensi
Artikel Asli
Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007
rawat inap, cara masuk rumah sakit dan pola rujukan), anamnesis (penyebab timbulnya eritroderma, keluhan, dan lama keluhan), pemeriksaan fisik (makula eritematus, skuama, gatal, alopesia, kulit ketat dan panas, menggigil, kelainan kuku, oedema tungkai, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, ginekomasti), pemeriksaan penunjang (pemeriksaan darah, pemeriksaan urin, dan pemeriksaan histopatologi anatomi), diagnosis (saat masuk rumah sakit/MRS) dan dalam masa rawat inap), penatalaksanaan (pengobatan sistemik dan pengobatan topikal), follow up (saat keluar rumah sakit/KRS), dan komplikasi.
Pria 19 (63,3%)
Wanita 11 (36,7%)
Gambar 3. Distribusi jenis kelamin penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007.
Hasil 2538 Penderita Eritroderma Penderita Rawat Inap 1036
780
722 9
14
7
30
2005
2006
2007
TOTAL
Gambar 1. Distribusi jumlah penderita eritroderma Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin (Ruang kulit laki dan wanita) RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Penderita eritroderma tercatat 30 penderita yang merupakan 1,2% dari seluruh penderita. 13 (43,2%) 10 (33,4%)
Jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 19 penderita laki-laki (63,3%) dan 11 penderita perempuan (36,7%). Tabel 1. Distribusi penyebab eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Penyebab eritroderma terbanyak adalah dermatitis seboroik sebanyak 13 penderita (23,3%) Penyebab eritroderma Obat: - Sistemik - Topikal Keganasan Dermatosis: - Psoriasis vulgaris - Dermatitis seboroik - Dermatitis kronis - Pemfigus foliaseus Tidak diketahui
2 (6,7%) Bercak merah, kulit ketat 10 (33,3%) 25–44 tahun
8 (26,7) 0 0 7 (23,3) 13 (43,4) 1 (3,3) 1 (3,3) 0
Jumlah
5 (16,6%)
15–24 tahun
Jumlah (%)
45–64 tahun
30 (100) Sisik, gatal 2 (6,7%)
> 65 tahun
Gambar 2. Distribusi kelompok umur penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Kelompok umur terbanyak pada kelompok ≥ 65 tahun sebanyak 13 penderita (43,2%)
Bercak merah, sisik, gatal 18 (60%)
Gambar 4. Distribusi keluhan penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. 95
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Vol. 21 No. 2 Agustus 2009
Keluhan utama terbanyak adalah bercak merah hampir diseluruh tubuh, sisik, gatal, dan rambut rontok pada 18 penderita (60%). 11 (36,6%) 8 (26,7%)
3 (10%)
2 (6,7%)
< 7 hari
8–14 hari
15–20 hari
21–30 hari
4 (13,37%) 2 (6,7%)
31–40 hari
41–50 hari
Gambar 5. Distribusi lama hari perawatan penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007. Kelompok hari rawatan terlama adalah 8–14 hari, yaitu sebanyak 11 penderita (36,6%). Tabel 2. Distribusi pemeriksaan fisik penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007. Pada pemeriksaan fisik, terbanyak didapatkan berupa makula eritematus + skuama + gatal + alopesia, sebanyak 18 penderita (60%) Keluhan
Jumlah (%)
– Makula eritematus+ skuama + gatal + alopesia – Makula eritematus + kulit ketat dan panas + menggigil – Makula eritematus + skuama + gatal +kelainan kuku + oedema tungkai – Limfadenopati, Hepatomegali, Splenomegali, Ginekomasti
18 (60,0)
Jumlah
30 (100)
96
10 (33,3) 2 (6,7) 0
Tabel 3. Distribusi temuan laboratorium penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Temuan laboratorium terbanyak ditemui adalah leukositosis, sebanyak 7 penderita (23,3%) Temuan laboratorium
Jumlah (%)
Leukosit > 10 × 109/L Hb <10 g/dl Albumin < 3,2 g/dl Trombosit < 150 × 109/L Natrium < 144 mEq/L Kalium < 3,8 mEq/L Eosinofil > 7% Laju endap darah > 20 mm/jam
7 (23,3) 5 (16,7) 6 (20,0) 2 (6,7) 1 (3,3) 3 (10,0) 2 (6,7) 4 (13,3)
Jumlah
30 (100)
Tabel 4. Distribusi pemeriksaan histopatologi penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Hasil pemeriksaan histopatologi terbanyak adalah dengan kesimpulan dermatitis seboroik, sebanyak 6 penderita (20%) Pemeriksaan histopatologi
Jumlah (%)
Dilakukan (hasil ada) - Drug eruption - Dermatitis seboroik - Psoriasis vulgaris - Dermatitis Kronis - Pemfigus - Tanpa kesimpulan Dilakukan (hasil tak ada) Tidak dilakukan
14 (43,3) 2 (6,7) 6 (20) 3 (10) 1 (3,3) 1 (3,3) 1 (3,3) 9 (30,0) 7 (23,3)
Jumlah
30 (100)
Artikel Asli
Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007
Kultur darah, 7, 23%
Sebanyak 2 penderita (16,7%) mendapat transfusi PRC dan 3 penderita (10%) mendapat transfusi albumin 20%.
Kultur urin, 2,7%
23 (76,7%)
Tanpa Antibiotik
Tak dilakukan, 21,70%
Gambar 6. Distribusi hasil pemeriksaan kultur penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Pemeriksaan kultur darah dilakukan pada 7 penderita (23,3%), sedangkan pada 21 penderita (70%) kultur tidak dilakukan/tanpa data. 25 (83,4%)
Eritromisin Inj. Cefotaksim
5 (16,6%) 2 (6,7%)
Gambar 9. Distribusi terapi antibiotika penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Terapi antibiotika terbanyak adalah injeksi Cefotaxim 3 × 1 g/hari pada 7 penderita (23,3%).
Tanpa kortikosteroid
3 (10%) 5 (16,7%)
Metilprednisolon
22 (73,3%)
Deksametason
3 (10%)
NaCl 0,9%
1 (3,3%)
1 (3,3%)
Dekstrose 5% NaCl + Dekstrose
Tanpa infus
Gambar 7. Distribusi terapi infus penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Sebanyak 5 penderita eritroderma (16,7%) mendapat terapi infus, dan 25 penderita (83,4%) tidak diinfus. 25 (83,4%)
2 (6,7%) PRC
3 (10%)
Albumin 20%
Tanpa infus
Gambar 8. Distribusi transfusi penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007.
Gambar 10. Distribusi terapi kortikosteroid penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Terapi kortikosteroid terbanyak adalah deksametason oral, pada 27 penderita (90%).
23 (76,6%)
Tanpa antipiretik Eukinin Parasetamol
2 (6,7%) 5 (76,6%)
Gambar 11. Distribusi terapi antipiretik penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD ����� Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007. Terapi antipiretik terbanyak adalah parasetamol 3 × 1 tabet/hari, pada 5 penderita (16,6%).
97
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Vol. 21 No. 2 Agustus 2009
0
Meninggal < 48 jam
24 (80%)
Meb. Napadisilat
1 (3,3%)
Belum sembuh
8 (26,7%)
Mulai sembuh
0
Cacat
4 (13,3%)
CTM
1 (3,3%)
Meninggal > 48 jam
2 (6,7%)
Tanpa Antihistamin
21 (70%)
Sembuh
Gambar 12. Distribusi terapi antipruritus pada penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007.
Gambar 15. Distribusi status penyakit penderita eritroderma saat KRS di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007.
Terapi antipruritus terbanyak adalah memhidrolin napadisilat pada 24 penderita (80%).
Status penyakit penderita saat KRS, terbanyak adalah dalam keadaan sembuh, yaitu 21 penderita (66,7%).
29 (96,7%) 18 (60%)
21 (70%)
5 (16,7%) Tx Topikal
Oleumcoccos
Hidrocortison/ Globenicol
3 (10%) Urea 10%
1 (3,3%) Tanpa Tx
4 (13,3%)
6 (20%) 1 (3,3%)
Gangguan elektrolit
Hipoalbuminemia
Sepsis
1 (3,3%) Gagal Nafas (ARDS)
Tanpa kompikasi
Gambar 13. Distribusi terapi topikal penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007.
Gambar 16. Distribusi komplikasi penderita eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005– 2007.
Terapi topikal terbanyak adalah oleumcoccos, pada 21 penderita (70,0%).
Komplikasi penderita eritroderma terbanyak ditemukan adalah hipoalbuminemia, pada 6 penderita (20%).
1 (3,3%)
Tanpa data Jelek sekali
0
Jelek
0
Lemah Cukup Baik
Pembahasan 1 (3,3%) 7 (23,4%) 21 (70%)
Gambar 14. Distribusi status penampilan penderita eritroderma saat KRS di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2005–2007. Status penampilan penderita saat KRS yang terbanyak adalah dalam keadaan baik sebanyak 21 penderita (70%).
98
Selama periode 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2007 didapatkan 30 penderita eritroderma yang dirawat di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin atau merupakan 1,2% dari jumlah pasien yang dirawat di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo (Gambar 1). Di Amerika Serikat insiden eritroderma sekitar 1% dari seluruh penderita rawat inap di bagian dermatologi, pada penelitian ini insidennya sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 1,2%.4,8 Menurut umur, kelompok usia terbanyak adalah > 65 tahun (43,2%) (Gambar 2), sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan insiden tersering pada kelompok usia dekade 6.3 Pada penelitian ini insiden pada pria lebih
Artikel Asli
Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007
besar dengan rasio 1,7:1 (Gambar 3), hal ini sesuai dengan berbagai kepustakaan yang menyebutkan eritroderma lebih sering ditemukan pada pria sebesar 2–3 kali atau 2–4 kali dibanding wanita.1,3 Pada penelitian ini, penyebab eritroderma terbanyak adalah dermatitis seboroik yaitu sebanyak 13 penderita (43,3%) (Tabel 1). Penelitian sebelumnya di Surabaya oleh Sawitri tahun 1992–1995 menyatakan penyebab tersering adalah dermatitis kronis (22%)10 sedangkan Jasmin, tahun 2001–2004 didapatkan penyebab eritrodermi terbanyak adalah dermatitis seboroik sebanyak 39 penderita (57,4%).11 Berdasarkan Fitzpatrick, eritroderma dibagi menjadi 4 kelompok yaitu sebagian besar kasus didahului oleh perluasan penyakit kulit (spongiotic dermatitis 20–24%, atopik 9%, dermatitis kontak 6%, dermatitis seboroik 4%, dermatitis aktinik kronis 3%, dan psoriasis 23%), reaksi hipersensitivitas obat (15%), keganasan (Cutaneous T-Cell Lymphoma/CTCL - 16%) dan idiopatik (20%).1 Rook dan Wilkinson (1998) pada tabel klasifikasi menyebutkan penyebab tersering adalah tipe eksema dan variasinya (40%), psoriasis (25%), pemfigus foliaseus (0,5%), obat (10%), kelainan herediter (1%), CTCL dan leukemia (15%) dan idiopatik 8%.3 Kepustakaan ini lebih sesuai dengan hasil penelitian, dengan penyebab tersering adalah dermatitis seboroik (43,4%).3 Perbedaan etiologi dapat terjadi karena: (1) jumlah sampel berbeda; (2) eritroderma akut agak sulit untuk menentukan penyakit dasarnya, dan banyak kemiripan pada beberapa penyakit kulit, memungkinkan kesalahan dapat terjadi. Pada sebagian penderita eritroderma didapatkan data mengenai keluhan bercak merah hampir di seluruh tubuh dengan sisik, gatal, dan rambut rontok, yaitu sebanyak 18 penderita (60%). Sebagian penderita eritroderma yaitu sebanyak 13 penderita (43,3%) memiliki lama keluhan > 1 bulan (gambar 4). Berdasarkan lama perawatan (gambar 5) didapatkan jumlah penderita terbanyak pada kelompok 8–14 hari yaitu sebesar 11 penderita (36,6%). Lama hari perawatan dapat bervariasi, hal ini mungkin dipengaruhi oleh: (1) penderita memilih rawat jalan setelah terjadi perbaikan klinis dan kondisi umum, karena alasan penyakit yang kronis, biaya atau faktor sosial lain; (2) pulang paksa, karena memilih rumah sakit lain atau cara pengobatan lain. Pemeriksaan fisik, didapatkan lesi makula eri tematus+skuama+alopesia sebanyak 18 penderita (60%), demam (>38° C) dan kadang-kadang menggigil sebanyak 10 penderita (33,3%), dan 2 penderita (6,7%) dengan kelainan kuku dan oedema tungkai, sedangkan limpadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan
ginekomasti tidak ditemukan (Tabel 2). Sebanyak 10 penderita (33,3%) mengalami kenaikan suhu tubuh lebih dari 38° C, angka ini lebih besar dari penelitian yang diperoleh Sawitri yaitu sebanyak 10%. Peningkatan suhu tubuh sering kali didapatkan pada kasus alergi obat serta psoriasis vulgaris yang meluas setelah penggunaan obat tertentu (penisilin, klorokuin). 10 Kelainan kuku berupa pitting nail, subungual hiperkeratosis, serta dystrophic nail didapatkan pada 2 penderita (6,7%). Hasil ini lebih kecil dibandingkan kepustakaan yang menyatakan bahwa sekitar 25% penderita mengalami kerontokan rambut dan kelainan kuku.1 Pada pemeriksaan laboratorium (Tabel 3), ditemukan penurunan kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl pada 5 penderita (16,7%). Dalam kepustakaan dinyatakan bahwa 70% kasus ditemukan adanya anemia.1,3 Sebanyak 7 penderita (23,3%) menunjukkan leukosit >10×10 9 /L. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa leukositosis didapatkan sekitar 41%.1,3 Peningkatan laju endap darah lebih dari 20 mm/ jam didapatkan pada 4 penderita (13,3%), kepustakaan menyebutkan peningkatan laju endap darah pada penderita eritroderma sekitar 36%.1,4 Kadar albumin yang menurun ditemukan pada 6 penderita (20%), kepustakaan menyatakan bahwa sekitar 34% penderita eritroderma menunjukkan hipoalbuminemia.1,6 Pada penelitian ini juga didapatkan 3 penderita (10%) dengan hipokalemia, trombositopenia ditemukan pada 2 penderita (6,7%), dan 1 penderita (3,3%) dengan hiponatremia. Dehidrasi dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit serum menjadi abnormal.1 Eosinofil pada darah tepi didapatkan pada 2 penderita (6,7%), sesuai dengan penelitian Sawitri di Surabaya,10 namun angka ini jauh lebih kecil dari yang disebutkan di kepustakaan yaitu 35%. Eosinofilia tidak termasuk temuan laboratorium yang spesifik, meskipun adanya peningkatan jumlah eosinofil menunjukkan kemungkinan Hodgkin’s lymphoma ataupun Drug eruption. 1,3 Hasil pemeriksaan biopsi terbanyak adalah dermatitis seboroik yaitu 6 penderita (20%), 3 penderita (10%) dengan kesimpulan dermatitis seboroik, 2 penderita (6,7%) menunjukkan gambaran drug eruption, gambaran dermatitis kronis dan pemfigus masing-masing ditemukan pada 1 penderita (3,3%) (Tabel 4). Gambaran histopatologi biasanya 50–70% hanya menunjukkan proses keradangan non spesifik sub akut atau kronis dan hanya 10–20% memberikan gambaran yang sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya eritroderma.12 Gambaran histopatologi tergantung dari keparahan 99
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
dan lamanya proses penyakit terjadi. Secara umum, pada kasus awal pemeriksaan histopatologi ditemukan spongiosis, akantosis, rete redge yang memanjang, hiperkeratosis, infiltrasi sel radang non spesifik, kadang-kadang terdapat epidermis yang menipis. Temuan ini sering mengaburkan gambaran histologik dari penyakit yang mendasarinya.1 Pemeriksaan kultur darah dilakukan pada 7 penderita (23,3%), sedangkan pada 21 penderita (70%) kultur tidak dilakukan/tanpa data (Gambar 6). Pada penelitian ini kultur hanya dilakukan pada penderita dengan leukositosis, dan antibiotika diberikan sesuai hasil kultur. Kultur bakteri dari kulit penderita tidak dilakukan, dan antibiotika diberikan berdasarkan penyebab infeksi sekunder tersering pada kulit. Kepustakaan menyatakan bahwa pemeriksaan kultur pada kulit bertujuan untuk menyingkirkan infeksi sekunder yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, dan kultur darah untuk menyingkirkan sepsis.14 Penderita eritroderma, yang mendapatkan terapi infus adalah 5 penderita (16,7%) (Gambar 7). Transfusi diberikan pada 5 penderita (16,6%) (Gambar 8). Penderita yang mendapatkan terapi antibiotika sistemik adalah 7 penderita (23,3%), (Gambar 9). Kortikosteroid diberikan pada 27 penderita (90%), yaitu terdiri dari deksametason pada 22 penderita (73,3%) (Gambar 10). Sebanyak 7 penderita (23,3%) diberikan antipiretik (Gambar 11). Antihistamin diberikan pada 28 penderita (93,3%) (Gambar 12). Penderita eritroderma disarankan rawat inap agar dapat diperiksa lebih teliti untuk menegakkan diagnosis, terapi intensif dan pengawasan ketat terhadap kelainan yang terjadi, serta menegakkan diagnosis kerja, karena beberapa penyakit dapat menjadi penyebab sehingga sulit untuk menentukan penyebab yang pasti. Terapi eritroderma diberikan berdasarkan penyebab atau penyakit yang mendasarinya, dengan memperhatikan juga keadaan umum dan memperbaiki gangguan metabolit yang timbul. Secara umum penatalaksanaan eritroderma adalah mempertahankan kelembaban kulit, menghindari menggaruk pada kulit dan menghindari faktor pencetus. Monitor ketat intake cairan, karena pasien dapat mengalami dehidrasi atau gagal jantung, serta monitor suhu tubuh untuk menghindari pasien jatuh dalam kondisi hipotermi. Hentikan pemberian obat yang tidak perlu. Pemberian steroid sistemik sebaiknya dihindari sebisa mungkin, karena efek dari retensi cairan, timbulnya sekunder infeksi, diabetes, dan lain-lain, tetapi pada kasus berat dan menetap dapat dipertimbangkan untuk diberikan. 100
Vol. 21 No. 2 Agustus 2009
Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa penggunaan steroid sistemik maupun steroid topikal poten pada psoriatic erythroderma dapat mencetuskan terbentuknya pustul, untuk itu dapat dipertimbangkan penggunaan metotreksat dosis rendah, acitretin, ataupun siklosporin. Pada penderita eritroderma dengan penyakit dasar psoriasis tidak diberikan terapi deksametason, dapat dipertimbangkan pemberian metotreksat. Antibiotika sistemik dapat diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi sekunder. Antihistamin dapat juga diberikan untuk mengurangi pruritus dan memberi efek sedasi, sehingga pasien dapat tidur nyenyak di malam hari dan mengurangi ekskoriasi akibat garukan. Proses penyakit menyebabkan peningkatan basal metabolisme rate tubuh dan katabolisme protein, sehingga kondisi malnutrisi dapat memperburuk keadaan klinis, terutama pada penderita dengan hipoalbumin dan usia tua.15,16,17,18 Penderita eritroderma yang mendapatkan terapi topikal adalah 29 penderita (96,7%), terbanyak diberikan oleum coccos yaitu 21 penderita (70,0%) (Gambar 13). Berdasarkan kepustakaan, inflamasi pada kulit harus segera diterapi misalnya dengan menggunakan cream pelembab/emolien ataupun steroid topikal dengan potensi rendah.1,13,14,18 Status penampilan penderita pada saat keluar rumah sakit (KRS) sebagian besar dalam golongan baik yaitu sebanyak 21 penderita (70%) (Gambar 14), sembuh (klinis), yaitu sebanyak 20 penderita (66,7%) dan 1 penderita (3,3%) dinyatakan meninggal > 48 jam karena komplikasi gagal nafas (Gambar 15). Penderita yang belum sembuh kemungkinan disebabkan ketidakseragaman dalam pemberian dosis dan lamanya terapi, kurang patuhnya penderita dalam pengobatan, penyakit yang mendasari, dan status imun penderita. Secara umum, prognosis baik pada pasien yang disebabkan oleh reaksi obat, setelah obat penyebab dihindari dan penderita diberikan edukasi. Penderita dengan eritroderma idiopatik prognosisnya buruk, sering kambuh atau kronis dengan gejala komplikasi pemakaian steroid jangka panjang. Pada penderita dengan keganasan tergantung pada proses yang terjadi dan komplikasinya.8,19,20 Sebanyak 18 penderita eritroderma (60%) tidak mengalami komplikasi (Gambar 16). Eritroderma merupakan penyakit yang serius dan dapat berakibat fatal bila tidak segera diterapi. Angka kematian pada penderita eritroderma berkisar 18–64%. Sekitar 18–20% kematian disebabkan faktor yang tidak ada
Artikel Asli
Penderita Eritroderma di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2005–2007
hubungan dengan eritroderma. Gangguan metabolik dapat menyebabkan hipotermia, dekompensasi kordis, kegagalan sirkulasi perifer, dan tromboflebitis. Gagal jantung, infeksi saluran nafas (pneumonia) dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), serta sepsis merupakan penyebab kematian tersering.3 Diperlukan pemahaman yang sama dalam pengisian rekam medis sehingga diperoleh data yang lengkap dan akurat misalnya: sedapat mungkin status penderita rawat inap termasuk data dasar (identitas, pekerjaan, dan status pendidikan penderita) diisi lengkap. Pencarian penyakit dasar harus dilakukan dengan lebih terperinci, seperti melalui anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, histopatologik atau penunjang lain jika diperlukan. Pada saat penderita keluar rumah sakit diharapkan menyebutkan dugaan penyebab yang paling mungkin di resume dan hasil pemeriksaan histopatologi yang belum selesai saat penderita pulang, sebaiknya tetap dicantumkan di dalam status. Bila tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi menyebutkan alasan yang jelas, termasuk keterangan mengenai penolakan penderita. Pemberian obat-obatan baik sistemik/topikal perlu diperjelas indikasinya, dan perlu dilakukan evaluasi mengenai kekambuhan dan kesembuhan eritroderma, serta dicantumkan dengan jelas dalam catatan medik. kepustakaan 1. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Book Co; 2008. p. 225–32. 2. Juanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Dalam: Juanda A, Juanda S, Hamzah M, editor. Ilmu �������������������� Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h. 197–200. 3. Burton JL, Holden CA. Eczema, Lichenification and Prurigo. ��������������������������������� In: Champion RH, Burton JL, Burn DA, Breathnach, editors. Rook, Wilkinson, Ebling. Textbook of Dermatology. 6th ed. Oxford: Blackwell, scientific publication; 1998. p. 673–7. 4. Gibson LE, Perry HO. Papulosquamous Eruption and Exfoliative Dermatitis. In: Moschella, Hurley, editors. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1992. p. 607–46. 5. Guliz Karakayll, Grant Beckham, MD, Ida Orengo, MD, et al. Exfoliative ������������������������������������������ Dermatitis. Am Fam Phys 1999; 59: 1–12. 6. Hasan T, Jansen CT: Erythroderma: a follow-up of fifty cases. J Am Acad Dermatol 1983; 8: 836–840.
7. Sehgal VN, Srivastava G. Exfoliative dermatitis: A prospective study of 80 patients. Dermatologica 1986; 173: 278–284. 8. Umar HS, Kelly PA. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis). July 24, 2007 Available from: URL: http://www.emedicine.com/EMERG/topic142. htm 9. Sigurdsson V, Toonstra J, Hazemans-Boer M, Van Vloten WA. Erythroderma. ��������������������������������������� A clinical and follow-up study of 102 patients with special emphasis on survival. J Am Acad dermatol. 1996; 35(1): 53–7. 10. Sawitri, SS. Pohan. Eritroderma (Penelitian Retrospektif Januari 1992–Desember 1995 di Ruang Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya). ������ BIPKK 1997; 9: 55–61. 11. Jasmin, Listiawan Y. Eritroderma di Instalasi Rawat Inap RSU dr. Soetomo, ������������������������������������� Surabaya Periode Tahun 2001– 2004. Studi Retrospektif. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin 2007; 19(1): 26–31. 12. Widodo MW, Sukanto H, Barakbah J. Eritroderma di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya Periode Tahun 1998–2001. Studi Retrospektif. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 1993; 5(1): 168–75. 13. Leenutaphong V. Erythroderma in Thai patients. J Med Assoc Thai 82: 743: 1999. 14. Thomas B. Fitzpatrick, Richard AJ, Klaus W, Dick S. Erythroderma and Rashes in the Acutly ill Patient. Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology, Common & Serious Disease. 45 th ed. New ���������� York; McGraw-Hill, 2005. 15. John W. Petrozzi, MD, John Barton, MD, Robert E. Cott, MD. Papulosquamous Lesions. In: Edward E Bondi, MD, Brian V. Jegasothy, MD, Gerald S. Lazarus, MD, edito RSU Dermatology. Diagnosis and Therapy. 1st ed. Philadelphia: Prentice-Hall; 1991. p. 9–49. 16. Arnold HR, Odam RB, James WD. Exfoliation Dermatitis. Andrew Disease of the Skin. 9 th ed. Philadelphia: WB Saunder RSU Co, 1999. 17. John C Hall. Exfoliative Dermatitis. Sauer’s Manual of Skin Disease. 8th ed. ���������������������������������� Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2000. 18. John Berth-Jones. Erythroderma. In: Mark Lebwohl, Warren RH, John Berth Jones, Ian Coulson, editor RSU. Treatment of Skin Disease, Comprehensive therapeutic strategies. London: Mosby International Limited; 2002. p. 205–8. 19. Maryam Akhyani, Zahra S Ghodsi, Siavash T, H. Dabbaghian. Research article: Erythroderma: A clinical study of 97 cases. BMJ Dermatology 2005; 5:5. Available from: URL: hhtp://www.biomedcentral. com/1471-5945/5/5. Accessed on July 2008 20. Mlika B, Mourad, Mokni. Reseasrvh article: Erythroderma in adult: a case report of 80 cases. Int J of Derm 2005; 44(9): 731–5.
101