FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA MIKRO DAN KECIL (Studi Kasus Industri Sepatu di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor)
Oleh : ANDRI KURNIAWAN A 14104100
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA MIKRO DAN KECIL (Studi Kasus Industri Sepatu di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : ANDRI KURNIAWAN A 14104100
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi :
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil (Studi Kasus Industri Sepatu di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor)
Nama
:
Andri Kurniawan
NRP
:
A 14104100
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Anna Fariyanti MSi NIP. 131 918 115
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA YANG BERJUDUL FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA MIKRO DAN KECIL (STUDI KASUS INDUSTRI SEPATU DI DESA SUKALUYU KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR) BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN
TINGGI
ATAU
LEMBAGA
MANAPUN
Bogor, September 2008
ANDRI KURNIAWAN NRP. A 14104100
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sidoarjo pada tanggaL 21 Mei 1986 dari Ayah Arie Zainuddin dan Ibu Mamik Sulamiyah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU N 1 Sidoarjo dan pada tahun yang sama lulu seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi dan kepanitiaan, diantaranya adalah menjadi Ketua Bidang Sosial Ekonomi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Bogor periode 2006/2008 dan Ketua Sementara Aikido IPB periode 2007. Selain aktif dalam kegiatan mahasiswa, penulis juga aktif dalam kegiatan pendidikan masyarakat dengan menjadi Koordinator Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Tunas Melati Regional Darmaga sampai saat ini.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil”alamin. Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya serta tambahan ilmu yang tiada habis-habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Pendapatan Usaha Mikro dan Kecil (Studi Kasus : Industri Sepatu di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor)”, dilatarbelakangi oleh kepedulian penulis terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami tingkat perekonomian rakyat, khususnya rumah tangga miskin di pedesaan yang memiliki usaha non pertanian. Penulis berusaha melakukan yang terbaik dalam penyusunan penelitian ilmiah ini. Akan tetapi penulis juga menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang ada, terutama pengembangan kerangka pemikiran penulis, masih sangat banyak kekurangan di dalam penelitian ini. Sebagai akhir kata, penulis berharap penelitian ilmiah ini dapat memberikan gambaran mengenai kondisi tentang kondisi perekonomian rakyat dan memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya. Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir Anna Fariyanti, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan, dan bimbingan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang benar melalui penyelesaian penulisan ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi MS selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menjadi penguji dan memberikan saran dalam menyempurnakan skripsi ini. 3. Ir. Narni Farmayanti, M Sc selaku dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan masukan-masukan dalam perbaikan penulisan skripsi ini. 4. Ir. Lukman M. Baga M,Ec. yang telah menjadi pembimbing akademik selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.. 5. Manajemen Koperasi Baitul Ikhtiar, Mas Assad, Mas Imung, Mas Aziz, dan Mas Khafidz serta teman-teman account officer Desa Sukaluyu dengan diskusi hangatnya sebagai masukan dan ide-ide kreatif dalam penyusunan skripsi ini. 6. Para responden pengusaha sepatu di Desa Sukaluyu yang telah bersedia menyediakan waktu untuk wawancara dan berdialog tentang perekonomian rumah tangga dan perkembangan usahanya. 7. Kedua orang tuaku atas segala doa yang tidak pernah henti terucap serta pemberian kebebasan untuk memilih jalan hidup yang dikehendaki oleh anakanaknya. Tidak lupa kakak dan adikku yang selalu memberikan semangat
untuk menyelesaiakan skripsi ini. Semoga Allah memberikan Ridho-Nya kepada kita sekeluarga, Amien 8. Dinar Prasista Bachri atas perhatian, pengertian dan pengorbanannya di akhirakhir penyelesaian skripsi ini, sungguh penulis tak terbayangkan cara untuk membalasnya. Jazakumulloh Khairon Katsiraa. 9. Saudariku Theresia, Suci, dan Tutik pengorbanan yang kecil dapat mempermudah jalannya kehidupan. 10. Teman-teman senasib, sepenanggungan dan sewelirang-arjunoan di WISMA LAURA dan ATMA serta SAUNG IMM, you show me the truth of friendship. 11. Teman-teman senasib dalam bimbingan Ibu Anna : Sevia, Rizka, Cimey, Nia, dan Dina. Terima kasih. 12. Teman-teman di IMM : Udin, Mizan, Hafiz, Nisa, Didik, Rima, Reta, dan semuanya yang telah menambah wawasan penulis dalam diskusi-diskusi ringan dan “panasnya”. 13. Teman-teman yang tetap setia mendukung berlangsungnya PKBM Tunas Melati di Darmaga, Sumiati Sitepu, Iwan Rustiana, Widya Anjung Lestari, dan Fitri Gayatri serta Syariful Mizan, pengorbanan kalian hanya Allah yang bisa membalasnya. 14. Teman-teman AGB’41 (Krishna,et al), PMT’41, KSH’41 (Geng Istana Cinta), TEP’41(Udin dkk.), semoga persahabatan itu tidak pernah berakhir. 15. Para penulis buku-buku referensi skripsi. Penulis memiliki keinginan untuk sejajar dengan kalian dalam hal ilmu pengetahuan. 16. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
17. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xiii xv xvi
I. PENDAHULUAN…………………………………………………..……
01
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang………………………………………………. Perumusan Masalah…………………………………………. Tujuan……………………………………………………….. Manfaat Penelitian……………………………………………
01 05 08 08
II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………... 2.1 Usaha Mikro dan Kecil……………………………………….. 2.2.1 Definisi dan Karakteristik Usaha Mikro dan Kecil…. 2.2.2 Posisi Usaha Mikro dan Kecil Non Pertanian dalam Perekonomian Pedesaan…………………………….. 2.2 Penelitian Terdahulu………………………………………….
10 10 10
III. KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………….. 3.1 Kerangka Teoritis…................................................................... 3.1.1 Teori Produksi.............................................................. 3.1.3 Efisiensi Produksi........................................…...……. 3.1.4 Pendapatan Usaha........................................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional……………………………..
20 20 20 25 27 33
IV. METODE PENELITIAN………………............................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………. 4.2 Jenis dan Sumber Data……………….……………………….. 4.3 Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Responden............. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data……………………..... 4.4.1 Analisis Deskriptif.................………………………. 4.4.2 Analisis Faktor-faktor Produksi Sepatu...................... 4.4.4 Analisis Efisiensi Ekonomi..............................……... 4.4.4 Perumusan Model Faktor Pengaruh Pendapatan Usaha …………….………………………………..... 4.8 Definisi Operasional.................................................................
36 36 36 37 39 39 40 41
V. GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN…………………….. 5.1 Industri Sepatu di Desa Sukaluyu……………………………. 5.2 Karaktersitik Reponden………………………………………. 5.2.1 Demografi Responden……………………………….
48 48 51 51
12 15
42 47
5.2.2
Usaha Sepatu Responden……………………………
55
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI SEPATU………………………………………………. 6.1 Analisis Fungsi Produksi…………………………………….. 6.2 Analisis Faktor-faktor Produksi……………………………… 6.3 Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi……………...
66 68 68 75
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHA SEPATU………………………………... 7.1 Analisis Model Regresi Pendapatan Usaha............................... 7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Sepatu.
79 79 82
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 8.1 Kesimpulan…………………………………………………... 8.2 Saran…………………………………………………………..
89 89 90
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
91
LAMPIRAN………………………………………………………………
95
DAFTAR TABEL Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8
Halaman
Kontribusi UMKM terhadap PDB, Pertumbuhan Ekonomi dan Lapangan Kerja Tahun 2005 – 2007......................................................
2
Pertumbuhan Usaha Mikro dan Kecil Sektor Non Pertanian Dari Tahun 2005 – 2007.................................................................................
4
Ringkasan Penelitian Terdahulu Tentang Analisis dan Kajian Mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.......................................
19
Sebaran Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu Berdasarkan Umur pada Tahun 2008..........................................................................
51
Tingkat Pendidikan Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu Tahun 2008.............................................................................................
52
Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak dalam Tanggungan pada Tahun 2008.....................................................................................
53
Sebaran Responden yang Menjadi Anggota BAIK Berdasarkan Lama Menjadi Anggota pada Tahun 2008.......................................................
54
Sebaran Responden Anggota Berdasarkan Jumlah Pembiayaan Terakhir dari Koperasi BAIK yang Diterima pada Tahun 2008............
54
9
Sebaran Responden Anggota Berdasarkan Penggunaan Pembiayaan Terakhir dari Koperasi BAIK pada Tahun 2008....................................
54
10
Sebaran Umur Usaha Sepatu Responden di Desa Sukaluyu Tahun 2008........................................................................................................
55
11
Rata-rata Perkembangan Produksi Sepatu Responden dari Bulan Juli 2007 – Juni 2008.....................................................................................
57
Jumlah Kebutuhan Faktor dan Sarana Produksi Utama pada Usaha Sepatu Di Desa Sukaluyu Tahun 2008...................................................
59
Rata-rata Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Sepatu Kelompok Anggota dan Non anggota BAIK per Bulan pada Tahun 2008..............
62
Rata-rata Biaya Produksi Usaha Sepatu Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu pada Tahun 2008.......................................................
64
12 13 14
15
Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha Sepatu……
68
16
Rasio Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal Produksi Sepatu di Desa Sukaluyu……………………………………………… Kombinasi Optimal Penggunaan Input Produksi Sepatu………............
77 78
Hasil Pendugaan Model Regresi Linier Berganda Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan....................................................................
81
17 18
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Kurva Produk Total, Produk Rata-rata, dan Produk Marjinal…………….
22
2
Kurva Pendapatan Total, Biaya Total, Pendapatan Marginal, dan Biaya Marginal…………………………………………………………………...
31
3
Kerangka Pemikiran Operasional…………………………………………
35
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2 3 4 5
Halaman
Harga Jual, Biaya Per Kodi, Pendapatan dan Penerimaan Serta Modal Usaha Sepatu Kelompok Anggota…………………………………….
95
Harga Jual, Biaya Per Kodi, Pendapatan dan Penerimaan Serta Modal Usaha Sepatu Kelompok Non Anggota……………………………….
96
Hasil Pendugaan Pertama Faktor Produksi Sepatu Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas
97
Matriks Korelasi antara Variabel-Variabel Bebas pada Fungsi Produksi Sepatu……………………………………………………….
98
Plot Residual untuk Model Penduga Faktor-faktor Produksi Sepatu yang Telah Disempurnakan…………………………………………
99
6
Hasil Pendugaan Akhir Faktor Produksi Sepatu dengan Fungsi Produksi Cobb-Douglas......................................................................... 100
7
Tingkat Produksi Sepatu dan Faktor-faktor yang Dibutuhkan………..
8
Perhitungan Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Produski Sepatu di Desa Sukaluyu ........... 104
9
Perhitungan Penggunaan Faktor Produksi Pada Kondisi Optimal pada UKM Sepatu di Desa Sukaluyu……………...……………………….. 106
10
Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Sepatu…………………………………………………………. 108
11
Residual Plot untuk Regresi Pendapatan……………………………
12
Keuntungan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya……….......... 110
13
Gambar Aktivitas Produksi Sepatu dan Pemberdayaan Masyarakat oleh Koperasi Baitul Ikhtiar………………………………………… 112
101
109
I 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan
pembangunan adalah tingkat pengangguran yang tinggi dan rendahnya jumlah kesempatan kerja. Sampai saat ini, pertanian merupakan sektor usaha yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar. Pada tahun 2007, jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian dalam berbagai skala usaha mencapai 42 juta orang atau sekitar 45 persen dari total angkatan kerja (BPS, 2008). Namun, produktivitas yang rendah, sempitnya lahan garapan, dan terjadinya alih penggunaan lahan pertanian ke non pertanian menyebabkan penambahan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tidak efektif. Di satu sisi penduduk yang memasuki usia kerja dan yang memerlukan pekerjaan jumlahnya semakin meningkat, sedangkan di lain pihak jumlah pertumbuhan lapangan kerja menunjukkan perkembangan yang relatif kecil. Ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya tingkat pengangguran yang semakin tinggi (BPS, 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut berbagai upaya dilakukan diantaranya dengan menggalakkan sektor non pertanian. Upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk meningkatkan perkembangan usaha non pertanian diantaranya adalah melalui pengembangan kebijakan kredit, penyuluhan, dan pagelaran produk usaha non pertanian serta berbagai promosi yang disandingkan dengan program pariwisata. Upaya tersebut diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada pengusaha non pertanian, khususnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) dalam mengembangkan usahanya sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mampu mengurangi pengangguran. UMKM akhir-akhir ini menjadi fokus dan perhatian pemerintah dalam mengembangkan sektor riil pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 2007. Undang undang ini berisi tentang kebijakan pembangunan sektor riil dengan melaksanakan program percepatan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan UMKM. Kesadaran ini terbentuk atas sebuah fakta bahwa UMKM merupakan sektor usaha yang mempunyai daya tahan tangguh menghadapi goncangan ekonomi dan penyedia lapangan kerja terbesar disamping juga masih menghadapi banyak hambatan untuk berkembang (Suhariyanto, 2007). Keberadaan UMKM memberikan peran serta dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam negeri. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM mencapai 53 persen dan rata-rata 3,37 persen terhadap pertumbuhan PDB nasional. Selain itu UMKM juga memberikan peran serta terhadap penyediaan lapangan kerja hingga mencapai 98 persen dari seluruh unit usaha yang berdiri di Indonesia. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pembangunan yang nyata dan berdampak pada kesejahteraan rakyat adalah dengan membantu dan memfasilitasi UMKM agar tetap eksis dan mengembangkan skala usahanya. Tabel 1
Kontribusi UMKM terhadap PDB, Pertumbuhan Ekonomi dan Lapangan Kerja Tahun 2005 - 2007
PDB Harga Berlaku (Triliun Rp) Tahun Jumlah Persentase 2005 1.491,06 53,53 2006 1.786,22 53,49 2007 2.121,31 53,60 Sumber : BPS, 2006-2008 (Diolah)
Pertumbuhan Ekonomi (Persen) UMKM Total 3,33 5,69 3,21 5,51 3,57 6,32
Lapangan Kerja (Orang) Jumlah Persentase 47.102.744 99,98 48.929.636 99,98 49.840.489 99,99
Usaha mikro bersama-sama usaha kecil dinilai lebih dapat bertahan menghadapi goncangan ekonomi daripada usaha menengah. Indikator utamanya adalah jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam sektor usaha mikro dan kecil tidak jauh berbeda antara sebelum dan sesudah tejadinya goncangan ekonomi nasional, khususnya ketika terjadi krisis ekonomi. Lebih jauh lagi, Usaha Mikro dan Kecil (UMK) telah berperan sebagai penyangga dan katup pengaman dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Hastuti, 2003). Permasalahan yang patut disayangkan adalah keberadaan UMK yang masih di pandang sebelah mata dalam rangka pembangungan UMKM ini. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat teknologi dan kemudahan akses terhadap modal usaha dari lembaga perbankan. Menurut Wijono (2005), hambatan yang dirasakan oleh UMK dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu pasar, bantuan penyuluhan, dan akses terhadap sumber pembiayaan. Selain itu, UMK di Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian yang memiliki nilai produktivitas yang sangat rendah. Perubahan arah pembangunan dari sektor pertanian ke non pertanian masih menghadapi banyak kendala dalam hal infrastruktur dan fasilitas ekonomi yang menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan UMK, khususnya yang berada di pedesaan (Suhariyanto, 2007). Sebagian besar jumlah pengusaha mikro dan kecil berada di pedesaan yang masih sulit untuk diakses oleh perbankan karena membutuhkan biaya operasional yang tinggi (Ritchie, 2007). Selain itu, kesulitan akses modal disebabkan oleh keberadaan lembaga keuangan yang berada jauh dari wilayah pedesaan, disamping kelayakan usaha yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan lembaga keuangan. Hal ini diperparah dengan keberadaan fasilitas
umum, seperti transportasi, yang sangat terbatas di daerah pedesaan. Menurut Asmita (2008), pengusaha UMK yang berada di pedesaan diperkirakan sebesar 60 persen dari total UMK seluruhnya dengan akses terhadap lembaga keuangan yang sangat terbatas. UMK sektor non pertanian berperan dalam menyediakan alternatif lapangan pekerjaan di pedesaan karena jumlahnya terus mengalami peningkatan. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa setiap tahun, khususnya sejak tahun 2005 sampai tahun 2007, jumlah UMK yang bergerak dalam sektor non pertanian selalu mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi UMK sektor non pertanian terhadap total UMK yang ada mencapai 45,94 persen, meskipun jumlah tersebut tidak lebih besar dari 50 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa prospek pengembangan UMK masih terbuka lebar untuk mengurangi pengangguran, khususnya di daerah pedesaan. Tabel 2
Pertumbuhan Usaha Mikro dan Kecil Sektor Non Pertanian Dari Tahun 2005 - 2007
Tahun
Jumlah UMK non Pertanian 2005 20.746.994 2006 22.615.255 2007 23.565.861 Sumber : BPS, 2006-2008 (Diolah)
Proporsi Terhadap Total UMK (%) 44,13 46,32 47,39
Persentase Perubahan 2,19 1,07
UMK sektor non pertanian yang cocok dikembangkan di daerah pedesaan adalah industri pengolahan karena sektor yang berpotensi menampung tenaga kerja yang relatif besar (Wowor, 1994; Gordon and Craig, 2001). UMK non pertanian di pedesaan biasanya bersifat informal, yang artinya tidak memiliki badan hukum tetap, dan dikuasai oleh masing-masing individu dan rumahtangga. Namun yang perlu disadari bahwa untuk mendapatkan pekerjaan dalam sektor industri pengolahan mungkin saja diperlukan persyaratan adanya keterampilan
dalam bidang-bidang tertentu tergantung jenis industri yang dikembangkan yang kadangkala merupakan hambatan tersendiri bila dikaitkan dengan kapasitas sumber daya manusia di pedesaan. Menyadari hal tersebut di atas, maka, bagi masyarakat pedesaan, industri pengolahan seperti kerajinan rumahtangga merupakan suatu peluang bagi tersedianya lapangan kerja. Ini berarti bahwa peranannya bagi masyarakat pedesaan dirasakan sangat penting mengingat perubahan dalam bidang kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh pertambahan penduduk, perubahan struktur ekonomi, penguasaan lahan yang semakin sempit dan perubahan nilai dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks (Wowor, 1994). Melihat peluang yang ada dalam industri kerajinan rumahtangga, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja rumahtangga di pedesaan, maka pengembangan industri kerajinan rumahtangga dapat dijadikan alternatif dalam memecahkan masalah kesempatan kerja di pedesaan. Usaha ini dirasakan penting karena
disamping
akan
mengurangi
arus urbanisasi, diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
1.2
Perumusan Masalah Salah satu Usaha Mikro dan Kecil (UMK) non pertanian yang menjadi
tumpuan ekonomi penduduk desa adalah kerajinan sepatu, khususnya yang berada di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari. Kehidupan ekonomi masyarakat Desa Sukaluyu sangat dipengaruhi oleh perkembangan usaha sepatu ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pertumbuhan jenis usaha yang semakin terdiversifikasi ketika usaha sepatu sedang mengalami masa ramai produksi, seperti warung dan
makanan, toko bahan, serta kebutuhan rumahtangga lain. UMK ini merupakan aktivitas produktif utama dari 60 persen rumahtangga dari total rumahtangga yang ada dan menciptakan kesempatan kerja utama bagi penduduk Desa Sukaluyu (Podes Sukaluyu, 2006). Bila melihat pada mekanisme produksi yang terjadi, pada umumnya industri sepatu di Desa Sukaluyu dapat dikatakan sebatas pengrajin bukan sebagai pengusaha sepatu. Hal ini ditandai dengan kapasitas pengelola kerajinan sepatu dalam menentukan jumlah dan harga output produksinya. Kondisi ini juga dapat dijelaskan melalui mekanisme produksi yang terjadi dalam industri sepatu, khususnya sektor hilir. Pada sektor hilir, industri sepatu di Desa Sukaluyu sangat tergantung pada keberadaan toko atau grosir sepatu. Besarnya sepatu produksi per periode selalu tergantung pada besarnya permintaan atau pesanan dari toko sepatu. Hal ini berpengaruh pada besaran sepatu yang akan diproduksi oleh pengusaha. Pengusaha tidak dapat memprediksikan tingkat produksi yang akan dilakukan. Sehingga, agar kesempatan tersebut tidak hilang, ketika ada pesanan produksi dari
toko
sepatu,
pengusaha
langsung
saja
menerimanya
tanpa
mempertimbangkan kesesuaian dengan kapasitas usahanya. Penerimaan pesanan tanpa pertimbangan tersebut seringkali membuat pengusaha tidak dapat melakukan perencanaan produksi dengan lebih baik. Hal ini tentunya mempengaruhi pengelolaan proses produksi sepatu yang dilakukan oleh pengusaha. Selain berdampak pada target produksi yang sering tidak dapat tercapai, dampak yang paling merugikan pengusaha adalah penggunaan input produksi yang berlebih di akhir produksi. Namun oleh pengusaha sepatu, kondisi
kelebihan input dianggap sebagai keuntungan usaha dalam bentuk barang, sehingga oleh pengusaha keadaan ini dirasakan tidak terjadi kerugian sama sekali. Bila dilakukan pengamatan lebih dalam, produksi sepatu periode berikutnya biasanya memiliki variasi yang berbeda sehingga keberadaan kelebihan beberapa input produksi pada peridoe sebelumnya tidak dapat digunakan kembali, seperti kain dan tekson. Seringkali bahan baku tersebut dijual kembali sebagai ampas bila tidak dapat digunakan kembali. Maka dari itu, agar dapat mengelola usaha dengan baik, diperlukan sebuah analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi sepatu, sehingga penggunaan faktor-faktor tersebut dapat direncanakan sebaik mungkin untuk mencapai tingkat efisiensi yang optimal. Ketergantungan terhadap toko sepatu dalam hal pemasaran produk juga menyebabkan pengusaha tidak dapat menentukan jumlah pendapatan yang akan diterima. Hal ini terjadi karena jumlah produksi dan harga produk lebih banyak ditentukan oleh toko sepatu. Pendapatan juga menjadi tidak pasti dan seringkali pengusaha memperoleh pendapatan yang tidak sesuai dengan keinginan karena harga yang tidak dapat dikendalikan. Dengan tingginya pendapatan, pengusaha dapat memperoleh kesempatan meningkatkan usaha yang dikelolanya. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang. Hal ini berarti pengusaha sepatu secara rasional melakukan usaha untuk meningkatkan pendapatan dengan cara memaksimumkan keuntungan. Oleh karena itu diperlukan juga analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan usaha sepatu, khususnya terhadap pendapatan pengusaha.
Dari uraian tersebut, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi sepatu di Desa Sukaluyu?
2.
Bagaimana tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha sepatu di Desa Sukaluyu?
3.
Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha sepatu di Desa Sukaluyu?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi sepatu di Desa Sukaluyu.
2.
Menganalisis dan mendeskrispsikan tingkat efisiensi penggunaan faktorfaktor produksi pada usaha sepatu di Desa Sukaluyu.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha sepatu di Desa Sukaluyu.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan kepada
seluruh pihak, yaitu: 1.
Bagi penulis diharapkan dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh serta sebagai proses belajar yang terus menerus untuk memperoleh ilmu yang lebih bermanfaat.
2.
Bagi Pemerintah, baik lokal maupun pusat, dapat menjadi pemahaman mengenai kondisi industri sepatu di Desa Sukaluyu dan bermanfaat sebagai alat dalam pemberdayaan UMK.
3.
Dapat menjadi bahan pertimbangan dan analisis bagi penelitian selanjutnya yang berminat pada cara pengentasan kemiskinan yang memberdayakan.
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usaha Mikro dan Kecil
2.1.1
Definisi dan Karakteristik Usaha Mikro dan Kecil Dalam Undang Undang No 20 Tahun 2008 dijelaskan tentang pengertian
Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat berusaha, serta memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 Juta. Sedangkan usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan anak perusahaan atau bukan anak cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar, yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta memiliki hasil penjualan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 milyar. Disamping itu, Badan Pusat Statistik (2004) mengkategorikan usaha mikro berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. Industri kerajinan rumahtangga adalah perusahaan atau usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1 sampai 4 orang, sedangkan industri kecil mempekerjakan 5 sampai 19 orang. Selain itu terdapat pengertian lain yang diberikan oleh Hastuti (2003), yaitu: usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja serta kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas.
Pada umumnya, Usaha Mikro dan Kecil memiliki modal yang sangat kecil atau bahkan tidak memiliki modal sama sekali (Khandker, 1998). Meskipun demikian, sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang penting bagi penduduk di desa, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah sebagai pendukung sektor pertanian, bahkan UMK menjadi sumber utama pendapatan rumahtangga di beberapa rumahtangga pedesaan. UMK merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor UMK amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UMK cukup fleksibel dan mudah beradaptasi dengan fluktuasi perekonomian serta perubahan permintaan dan selera pasar. Selain itu, UMK juga memiliki tingkat diversifikasi usaha dengan jumlah yang sangat besar. Pada umumnya, UMK di Indonesia banyak yang bergerak ke arah sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, jasa, dan manufaktur. Secara umum, jumlah Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia mencapai 49 juta atau sekitar 99 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. Sektor UMK diperkirakan menyumbang PDB Indonesia hingga 38 persen dan berperan dalam pertumbuhan rata-rata PDB 2,3 persen dari tahun 2005 sampai 2007 (BPS, 2008). Usaha mikro, bersama-sama dengan usaha kecil, juga mampu bertahan menghadapi goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Indikatornya antara lain, serapan tenaga kerja antara kurun waktu sebelum krisis dan ketika krisis berlangsung tidak banyak berubah, dan pengaruh negatif dari krisis terhadap pertumbuhan jumlah usaha mikro dan kecil adalah
lebih rendah dibanding pada usaha menengah dan besar. Lebih jauh lagi, usaha mikro dan usaha kecil telah berperan sebagai buffer dan katup pengaman (savety valve) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan alternatif lapangan pekerjaan bagi para pekerja sektor formal yang terkena dampak krisis. Menurut Sinaga (2002), Industri kecil dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan aspek pengolahan dan teknologi yang digunakan, yaitu : 1) Kelompok industri kecil tradisional yang memiliki ciri-ciri penggunaan teknologi yang sederhana berlandaskan dukungan unit pelayanan teknis dan mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lain secara regional. Pengelolaannya bersifat sektoral dan masih dalam batas pembinaan administratif pemerintah; 2) Kelompok industri kerajinan menggunakan teknologi tepat guna tingkat madya dan sederhana, merupakan perpaduan industri kecil yang menerapkan proses modern dengan keterampilan nasional. Ciri yang amat spesifik adalah mengembangkan misi pelestarian budaya bangsa yang erat kaitannya dengan seni budaya bangsa; 3) Kelompok industri kecil modern menggunakan teknologi madya hingga modern dengan skala produksi terbatas, didasarkan atas dukungan penelitian dan pengembangan di bidang teknik. Penggunaannya lebih bersifat lintas sektoral dan menggunakan peralatan atau mesin produksi khusus. 2.1.2
Posisi Usaha Mikro dan Kecil Non Pertanian dalam Perekonomian Pedesaan Di daerah pedesaan, sektor pertanian sudah tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan rumahtangga penduduk desa (Suhariyanto, 2007; Gordon and Craig, 2001). Kadangkala urbanisasi merupakan suatu cara penduduk desa dalam memperoleh pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan disamping pendapatan usahatani. Namun akhir-akhir ini telah disadari bahwa urbanisasi sama saja
mengalihkan permasalahan sosial dan lingkungan dari desa ke kota (Gordon and Craig, 2001). Salah satu cara dalam penyediaan lapangan pekerjaan di pedesaan adalah dengan mengembangkan usaha non pertanian (Gordon and Craig, 2001; Suhariyanto, 2007; Tjandrawinata, 2007). Beberapa studi menunjukkan bahwa usaha non pertanian dapat membantu mengurangi kemiskinan di desa dan sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga penduduk desa. Gordon and Craig (2001) menekankan bahwa opini dan paradigma terhadap peran usaha non petanian telah berubah serta menjadi lebih dinamis serta menjadi begitu penting dalam perekonomian. Selain itu mereka menunjukkan bahwa proporsi pendapatan usaha non pertanian dalam rumahtangga di desa dapat mencapai 22 persen sampai 93 persen. Menurut Suhariyanto (2007), jumlah pekerja usaha non pertanian menurun sebesar 0,07 persen sejak tahun 1998 sampai 2006. Kegiatan non pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan pada tahun 1998 adalah perdagangan, hotel, dan rumah makan sebesar 12,91 persen, diikuti oleh usaha industri sebesar 9,02 persen, jasa kemasyarakatan 7,6 persen, bangunan 3,36 persen dan pengangkutan sebesar 3,3 persen. Pada tahun 2006, kelima sektor tersebut masih merupakan sektor-sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan, namun selama 10 tahun tersebut telah terjadi pergeseranpergeseran pekerjaan yang cukup berarti. Diversifikasi mata pencaharian di pedesaan dikendalikan dan dipengaruhi oleh dua sebab atau mekanisme yang berbeda, yaitu Distress-Push dan DemandPull. (Gordon and Craig, 2001; Reardon et al, 2006). Mekanisme Distress-Push
menekankan kepada penyebab penduduk desa mencari pekerjaan pada sektor non pertanian dengan sektor pertanian sebagai pendapatan utama rumahtangganya. Faktor Distress-Push dapat dikatakan sebagai cara untuk membebaskan dari kemiskinan yang selama ini dialami oleh penduduk desa yang tergantung pada pertanian subsisten. Di sisi lain, mekanisme Demand-Pull memfokuskan perhatian pada kemampuan penduduk dalam menangkap dan memanfaatkan kesempatan ekonomi yang baru. Faktor Demand-pull dihubungkan dengan terjadinya peningkatan pendapatan dan aset rumahtangga secara terus berkelanjutan. Pengkategorian tersebut cenderung memudahkan namun cukup bermanfaat dalam mengetahui bahwa keterlibatan penduduk desa dalam aktivitas non pertanian dipengaruhi oleh berbagai keadaan dan akan berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh. Keputusan rumahtangga pedesaan pada aktivitas atau usaha non pertanian dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu insentif atau manfaat yang akan diterima dan kapasitas rumahtangga (Reardon, 2006). Gordon and Craig (2001) menyatakan bahwa sebaiknya pengambil kebijakan tidak mengabaikan aktivitas non pertanian dengan skala pengembalian yang kecil karena aktivitas tersebut begitu penting dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan penduduk desa. Secara lebih lengkap Gordon and Craig menegaskan bahwa : ”Beberapa kesempatan kerja menjadi begitu penting bila dipandang dari perspektif kesejahteraan yang didasarkan bahwa : pendapatan yang berasal dari lapangan pekerjaan non pertanian bemanfaat dalam mengurangi ketidaksamarataan secara menyeluruh; dimana terdapat periode pengangguran musiman dalam pertanian, rumahtangga dapat mengambil manfaat dari usaha non pertanian dengan skala pengembalian yang kecil sekalipun; dan untuk kelompokkelompok tertentu yang tidak dapat berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja pertanian, pendapatan aktivitas non pertanian memberikan manfaat dalam keamanan ekonomi mereka”.
Usaha non pertanian dinilai sangat efektif dalam mengurangi kemskinan di desa. Manfaat dan dampak keberadaan usaha non pertanian dalam perekonomian, khususnya pedesaaan, dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh penduduk (Gordon and Craig, 2001). Secara langsung, manfaat tersebut antara lain : 1) Menyerap kelebihan tenaga kerja di pedesaan; 2) Mendukung rumahtangga pertanian menghadapi resiko ekonomi; 3) Menciptakan aktivitas produktif lain sebagai pengganti atau penopang pendapatan pertanian; 4) menciptakan pendapatan selama masa pertanian pada musim tunggu; 5) menyediakan cadangan untuk bertahan dalam menghadapi kegagalan pertanian, sedangkan manfaat secara tidak langsung terdiri atas : 1) Meningkatkan kapasitas ekonomi rumahtangga miskin dalam mengatasi masalah kredit dan hambatan resiko pada inovasi pertanian; 2) Mempekerjakan tenaga kerja tidak tetap sehingga mengurangi tenaga kerja pertanian dan meningkatkan pendapatan pertanian per pekerja.
2.2
Penelitian Tedahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan atau
masukan untuk melengkapi penulisan skripsi ini. Penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan adalah skripsi dan jurnal serta laporan lapangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dalam hal tema, pokok bahasan maupun metodologi yang digunakan. Beberapa hasil penelitian tersebut juga digunakan sebagai bagian dari faktor analisis dalam penelitian ini. Penelitian Suhariyanto (2007) berkaitan dengan usaha non pertanian skala mikro dan kecil di pedesaan. Penelitian ini menjelaskan bahwa peran usaha non
pertanian dalam perekonomian pedesaan sangatlah tinggi mengingat usaha pertanian sudah tidak menguntungkan lagi yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas, semakin sempitnya luas lahan yang digunakan, dan kurangnya modal pertanian. Usaha non pertanian yang dapat dikembangkan di pedesaan, menurut Suhariyanto, adalah perdagangan dan industri pengolahan, meskipun selama periode 1998-2006 kemampuan usaha non pertanian dalam menyerap tenaga kerja tidak banyak berarti. Hal ini disebabkan usaha tersebut masih berskala mikro dan kecil yang lemah dalam manajemen, modal, dan keterampilan serta usaha yang masih dilakukan di tempat yang tidak permanen. Menurut Selometa (1998), faktor-faktor yang berpengauh positif terhadap pendapatan non usahatani adalah curahan tenaga kerja, pendidikan, dan tanggungan keluarga, sedangkan faktor umur dapat berpengaruh positif atau negatif. Penelitian yang bertujuan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan usaha kecil dan menengah diperoleh dalam Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM (2006). Metode penelitian dilakukan dengan metode statistik sederhana yang didasarkan pada kondisi dan perkembangan usaha terkini. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa faktor-faktor, baik internal maupun eksternal, yang berpengaruh terhadap usaha kecil dan menengah adalah pengadaan bahan baku, peningkatan skill tenaga kerja, stabilitas harga aset, jumlah produksi dan lama usaha. Penelitaian lain yang mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha kecil dan menengah dengan obyek penelitian yang berbeda dilakukan oleh Sipayung (2007). Penelitian ini mengkaji peran Perum Pegadaian bila
dikomparasikan
dengan
Bank
Perkreditan
Rakyat
(BPR)
dalam
mengembangkan usaha kecil dan menengah disamping untuk mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan usaha adalah investasi, pengalaman berusaha, tenaga kerja yang digunakan, besar pinjaman, dan jumlah pengeluaran pada taraf α = 0,05. Penelitian dengan tujuan yang sama namun dengan metode Cobb-Douglas dan obyek penelitian usahatani dilakukan oleh Sahara, dkk (2004). Penelitian ini mendapatkan bahwa luas areal dan harga pupuk berpengaruh terhadap pendapatan usahatani kakao, sedangkan harga pestisida dan upah tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap pendapatan usahatani kakao. Persulessy (1998) memberikan perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pengusaha dan pekerja pada industri sepatu. Pendapatan dari dalam industri rumahtangga pengusaha dipengaruhi secara nyata oleh biaya total produksi, sedangkan pendapatan dari dalam industri rumahtangga pekerja dipengaruhi secara nyata oleh umur, upah pekerja, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja. Disamping
itu,
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Wijono
(2005)
memfokuskan pada kajian peran lembaga pembiayaan pada Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Kajian yang dilakukan oleh Wijono menyimpulkan bahwa peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam memutus rantai kemiskinan dapat dilakukan dengan memperluas akses UMK dalam mendapatkan akses permodalan, baik lembaga keuangan formal maupun LKM. Meskipun LKM tidak dapat memberikan nilai permodalan sebesar lembaga keuangan formal, namun LKM mampu memberikan berbagai jenis atau bentuk pembiayaan bagi UMK
sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UMK belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan. Dari beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan pada penelitian ini, terdapat beberapa perbedaan dan persamaan dalam penelitian terdahulu yang telah disampaikan. Perbedaan utama terdapat pada obyek penelitian ini yang mengkaji pada usaha mikro dan kecil yang berada di daerah pedesaan, yang biasanya memiliki situasi-situasi khusus yang berbeda dalam pengembangan usahanya. Selain itu faktor-faktor yang dikaji juga merupakan faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap pendapatan usaha sepatu karena faktor-faktor yang dikaji berhubungan dengan biaya produksi. Sedangkan persamaan dengan beberapa penelitian tersebut adalah pada penggunaan metode analisis data yang menggunakan analisis deskriptif dan fungsi regresi linier berganda dan fungsi Cobb-Douglas.
III 3.1
Kerangka Teoritis
3.1.1
Teori Produksi
KERANGKA PEMIKIRAN
Produksi adalah kegiatan untuk menghasilkan suatu output dengan berbagai kombinasi input dan teknologi terbaik yang tersedia (Nicholson, 1999). Selain itu, menurut Koutsoyiannis (1977), metode produksi adalah proses atau aktivitas yang mengkombinasikan faktor input yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output, yang biasanya satu komoditas dihasilkan dari berbagai macam kombinasi input dengan berfokus hanya pada metode yang efisien. Seorang pengusaha yang rasional akan memilih metode produksi yang paling efisien dalam memproduksi output. Input merupakan sumber daya yang dimanfaatkan dan biasa disebut sebagai faktor produksi. Faktor produksi menurut Lipsey (1995) dibagi menjadi tiga unsur, yaitu tanah, modal serta tenaga kerja. Hubungan antara input dan output ini dapat diformulasikan secara matematis oleh sebuah fungsi produksi. Fungsi produksi memiliki pengertian hubungan mekanis yang menghubungkan faktor input dan output. Fungsi produksi menggambarkan suatu hukum yang dikenal dengan istilah hukum proporsi, yaitu transformasi faktor input menjadi produk pada periode tertentu. Fungsi produksi merepresentasikan teknologi perusahaan dalam suatu industri. Fungsi produksi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Q = ƒ (Xi) Q
= output
Xi
= input ke-i
Dimana seluruh variabel input tersebut diukur dalam periode waktu.
Fungsi produksi dapat juga digambarkan dalam bentuk kurva dua dimensi. Bentuk kurva fungsi produksi memiliki karakteristik yang dapat dikenal. Hal ini dipengaruhi oleh sifat dari tambahan output yang dihasilkan sebagai akibat dari tambahan input, atau lebih dikenal sebagai produk marjinal. Hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (Law of Deminishing Return) menyebabkan bentuk kurva produksi yang memiliki tiga perubahan produk marjinal. Kurva fungsi produksi dapat dilihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa pada saat kurva produksi total naik, kurva produksi rata-rata dan kurva produksi marjinal bisa naik dan juga bisa turun. Ketika kurva produksi total mencapai titik balik, kurva produksi marjinal mencapai maksimum. Titik dimana kurva mencapai maksimum merupakan titik mulai menurunnya produksi marjinal (point of diminishing marjinal productivity). Pada waktu produksi total mencapai maksimum maka produksi marjinal sama dengan nol. Sedangkan produksi rata-rata mencapai maksimum ketika kurva produksi total menyinggung garis lurus yang ditarik melalui titik (0,0). Titik dimana produksi rata-rata maksimum merupakan titik mulai menurunnya produksi rata-rata (point of diminishing average productivity). Kurva produksi rata-rata bergerak naik selama kurva produksi marjinal berada di atas kurva produksi ratarata. Kurva produksi marjinal akan memotong kurva produksi rata-rata ketika produksi rata-rata mencapai maksimum. Saat kurva produksi rata-rata menurun, kurva produksi marjinal akan selalu berada dibawah kurva produksi rata-rata.
Output η=0 η=1
I
II
η>1
III
0<η<1
Produk Total (PT)
η<0 Input
Output
Produk Rata – Rata (PR) Input Produk marjinal (PM) Gambar 1 Kurva Produk Total, Produk Rata – Rata dan Produk Marjinal Menurut Doll dan Frank (1986), suatu fungsi produksi dapat dibedakan menjadi tiga daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dari faktor produksi. Elastisitas produksi adalah persentase perubahan produk yang dihasilkan sebagai
akibat dari persentase perubahan faktor produksi yang digunakan. Persamaan matematis dari elastisitas produksi adalah sebagai berikut : %δQ Elastisitas
=
δQ/Q =
%δ Xi
δQ =
δXi/Xi
. δ Xi
Xi Q
PM = PR Dari Gambar 1 dapat dilihat ketiga daerah tersebut yaitu elastisitas yang lebih besar dari satu (η > 1), elastisitas diantara nol dan satu (0<η<1), dan elastisitas lebih kecil dari nol (η < 0). Daerah I mempunyai nilai elastisitas produksi lebih besar dari satu (Increasing Return to Scale). Kondisi ini dicapai saat kurva produksi marjinal berada diatas kurva produksi rata – rata yang berarti bahwa setiap kenaikan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan kenaikan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum masih belum tercapai karena produksi masih bisa diperbesar dengan cara pemakaian faktor produksi yang lebih banyak. Pada daerah I disebut daerah irrasional. Daerah II yang mempunyai nilai elastisitas produksi antara nol dan satu (Decreasing Return to Scale) yang berarti setiap kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol. Pada keadaan ini perusahaan bisa untung dan rugi. Sehingga perusahaan harus memilih atau menetapkan tingkat produksi yang tepat agar mencapai keuntungan maksimum. Oleh karena itu daerah II disebut sebagai daerah rasional. Sedangkan nilai elastisitas produksinya sama dengan satu terjadi saat produksi rata–rata maksimum (PM=PR). Dimana kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan kenaikan produksi sebesar satu persen. Kondisi ini
disebut sebagai (Constant Return to Scale). Elastisitas produksi yang nilainya sama dengan nol dicapai saat produksi total mencapai maksimum atau saat produksi marjinal sama dengan nol. Daerah III yang mempunyai nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Kondisi ini dicapai saat produksi total menurun atau saat produksi marjinalnya negatif. Pada daerah ini kenaikan satu persen faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah ini disebut juga daerah irrasional. Perusahaan mencari keuntungan dengan cara memproduksi dan menjual berbagai komoditi (Lipsey, 1995). Unsur-unsur tertentu seperti bahan baku, modal dan tenaga kerja dimasukkan pada satu sisinya, dan pada sisi yang lain dihasilkan suatu produk. Bahan baku dan jasa yang digunakan dalam proses produksi disebut input dan produk yang dihasilkan disebut output. Salah satu cara untuk melihat proses itu adalah dengan melihat input yang dikombinasikan untuk menghasilkan output. Cara lain yang setara adalah pengorbanan atas faktor-faktor input untuk memperoleh output. Berbagai macam input yang digunakan dalam proses produksi suatu produk pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat kelas besar : 1) Unsur-unsur yang merupakan input bagi suatu proses produksi tetapi juga merupakan output dari proses produksi yang lain; 2) Unsur-unsur yang tersedia secara alami; 3) Unsur-unsur yang langsung disediakan oleh rumah tangga seperti tenaga kerja; dan 4) Unsur-unsur yang dilakukan oleh mesin yang digunakan untuk membuat suatu produk.
Jika semua input ini dilacak-balik pada sumbernya, semua proses produksi dapat dilihat sebagai jenis dari tiga jenis input, yang disebut faktor-faktor produksi. Para ahli ekonomi menyebut semua hal yang diberikan oleh alam, seperti tanah dan bahan baku, disebut sebagai tanah. Kemudian semua upaya fisik dan pemikiran yang diberikan oleh manusia disebut sebagai jasa tenaga kerja dan semua mesin dan alat-alat produksi lainnya dikelompokkan sebagai modal, yang memiliki definisi alat bantu untuk proses produksi selanjutnya dan memiliki jenis modal tetap dan modal kerja, atau biasa disebut sebagai modal uang. 3.1.2
Efisiensi Produksi Doll and Frank (1986) menerangkan bahwa untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya dalam menjalankan usaha, pengusaha harus memenuhi dua syarat, yaitu syarat keharusan dan kecukupan. Kondisi keharusan (necessary condition) merupakan hubungan fisik antara faktor produksi dengan produk yang dihasilkan dan sekaligus menggambarkan efisiensi produksi secara teknis yaitu ketika nilai elastisitas produksi antara nol sampai dengan satu ( 0 ≤ Ep ≤ 1 ). Sedangkan kondisi kecukupan (sufficient condition) menunjukkan tingkat efisiensi ekonomis. Tingkat efisiensi ekonomis berguna untuk membantu pengusaha atau manajer menentukan kebijakan penggunaan input yang sesuai dengan tujuan perusahaan memaksimumkan keuntungan. Kondisi kecukupan (sufficient condition) dapat tercapai ketika NPMxi sama dengan BKMxi. Untuk memperoleh keuntungan harus mengurangi penerimaan total dengan biaya total yang digunakan, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
π = Pq . ƒ(Xi) – ( Σ Pxi . Xi + BTT ) Dimana : π
= keuntungan
ƒ(Xi) = output Xi
= input ke-i
Pq
= harga output
Pxi
= harga input ke-i
BTT
= biaya Tetap Total
Jika diasumsikan bahwa perusahaan tidak memiliki kendala internal maka keuntungan maksimum dapat tercapai ketika diferensial atau turunan pertama dari fungsi di atas terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol, dengan asumsi bahwa harga output atau P tidak berubah besarnya dengan output (Q) yang dijual dan Pxi juga tidak berubah besarnya dengan jumlah Xi yang dipakai. Sehingga untuk mencapai keuntungan maksimum syarat yang harus dipenuhi adalah : π = Pq . ƒ( xi) - ( Σ Pxi . Xi + BTT ) dπ = dxi Dimana : d ƒ(xi)
Pq . dƒ(xi) dxi
Pxi
adalah produk marjinal (PM)
dxi Sehingga : Pq . PMxi – Pxi = 0 atau P . PM xi = Pxi Sementara Pq . PMxi = Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Pxi = Biaya Korbanan Marjinal (BKM), sehingga NPMxi = BKMxi. Untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi, keuntungan maskimum dapat dicapai ketika : NPM x1 BKM x1
=
NPM x2 BKM x2
= ........... =
NPM xn BKM xn
Dalam aplikasi dapat dijumpai rasio antara NPMxi dengan BKMxi nilainya tidak sama dengan satu. Jika nilai rasio tersebut lebih kecil dari satu (<1), berarti penggunaan suatu faktor produksi telah melampaui batas optimal atau belum efisien secara ekonomi. Sehingga penggunaan faktor tersebut harus dikurangi. Dan jika nilai rasio NPMxi terhadap BKMxi lebih besar dari 1 (>1), berarti penggunaan faktor produksi dapat ditingkatkan agar mencapai kondisi efisien. 3.1.3
Pendapatan Usaha Perusahaan diasumsikan memiliki tujuan untuk memaksimalkan laba yang
diperoleh. Perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan mengambil keputusan secara marjinal (Nicholson, 1999). Pengusaha tersebut akan menyesuaikan variabel-variabel yang dapat dikontrol sehingga memungkinkan untuk memperoleh laba yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pada laba incremental, atau laba marjinal (tambahan), yang diperoleh dari penambahan produksi satu unit output. Selama laba marjinal ini positif, perusahaan boleh memproduksi lebih banyak output, dan lebih banyak menggunakan input. Akan tetapi jika laba marjinal tersebut sudah mencapai nilai nol, sebaiknya perusahaan tidak meningkatkan produksinya lagi, sebab peningkatan produksi ini tidak akan membawa keuntungan pada perusahaan. Pada kasus perusahaan dengan keputusan satu jenis produk yang akan diproduksi, permasalahan yang akan dihadapi perusahaan yang berkaitan dengan maksimisasi keuntungan akan dihadapkan pada dua pilihan tujuan, yaitu maksimisasi profit yang dihadapkan dengan batasan biaya dan tingkat output tertentu. Pada kasus maksimisasi profit dengan batasan biaya, tindakan yag dapat
dilakukan oleh produsen adalah dengan mengoptimalkan jumlah produk yang dihasilkan dengan tingkat harga produk dan biaya produksi diasumsikan tetap. Sedangkan kasus maksimisasi profit dengan batasan output dapat dilakukan dengan meminimalkan biaya karena output dan tingkat harga produk yang dihasilkan tidak berubah (Koutsoyiannis, 1977). Perusahaan akan menjual barang pada berbagai tingkat output. Dari penjualan
ini
perusahaan
memperoleh
penerimaan.
Sedangkan
dalam
menghasilkan barang tersebut, dibutuhkan biaya yang jumlahnya tergantung dari jumlah barang yang diproduksi. Perbedaan antara nilai penerimaan total dengan biaya produksi disebut sebagai laba. Secara matematis hubungan ini dapat dituliskan sebagai berikut : π (Q) = Pq . Q – C (Q) π = R (Q) – C (Q) Dimana : π
= Profit / Laba
Pq
= Harga Produk
R
= Revenue atau pendapatan
C
= Cost atau Biaya
Q
= Jumlah output yang diproduksi
Kondisi syarat pertama untuk memilih nilai Q yang memberikan laba yang paling maksimum adalah apabila turunan pertama fungsi profit tersebut sama dengan nol, yaitu : dπ
dR = π’ (Q) =
dQ
dC -
dQ
=0 dQ
Sehingga, dari persamaan tersebut dapat diperoleh : dR
dC =
dQ
atau dapat diubah menjadi MR = MC dQ
Untuk menjamin bahwa laba yang diperoleh telah mencapai maksimum diperlukan kondisi syarat kedua, yaitu bahwa : d2π dQ2 Q = Q*
d π’ (Q) = dQ
Q = Q*
yang artinya laba marjinal pasti menurun pada level output yang optimum. Untuk Q < Q* maka dπ /dQ = π’(Q) > 0, sedang untuk Q > Q* maka dπ /dQ = π’(Q) < 0, jika kedua kondisi tersebut dipenuhi, baru dapat menjamin bahwa laba yang diterima berada pada titik maksimum. Hubungan dari kedua persyaratan tersebut dapat digambarkan dalam diagram dua dimensi, yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 memperlihatkan fungsi-fungsi biaya dan penerimaan (C dan R). Jika kita hanya memproduksi sedikit output, biaya yang harus dikeluarkan, yaitu C(Q), lebih besar dari penerimaan R(Q). Makin banyak barang diproduksi, jarak antara biaya dengan penerimaan makin kecil dn jika terus ditambah, perusahaan akan memperoleh laba yang positif , sebab R(Q) > C(Q). Laba yang maskimum dicapai pada titik Q = Q*. Pada saat ini π’(Q) = dR/dQ – dC/dQ = 0. Bila produksi ditambah setelah titik Q*, laba yang akan diterima akan menurun, sebab biaya yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan 1 unit output tambahan lebih besar dari penerimaan penjualan 1 unit ekstra tersebut. Konsep tersebut memaksimalkan dengan cara mengubah-ubah output yang akan diproduksi. Untuk mmperoleh laba maskimum juga dapat digunakan pendekatan dari segi input. Menurut pendekatan ini, faktor input harus ditingkatkan penggunaannya sepanjang penambahan ini memberikan peneriman yang lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
membeli kombinasi input tersebut. Penambahan input terus dilakukan hingga ke suatu titik ketika kontribusi marjinal input tersebut terhadap laba sama dengan nol. Hal ini dapat dilakukan dengan mensubtitusikan fungsi produksi pada konsep laba, yaitu : π (Q) = R(Q) – C(Q) π [ƒ(Xi)] = R[ ƒ(Xi)] – C[ƒ(Xi)] Dimana : π [f (Xi)] : Keuntungan tambahan dari penambahan output R[f (Xi)]
: Penerimaan tambahan dari penambahan output
C[f (Xi)]
: Biaya tambahan dari penambahan output
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa laba, penerimaan, dan biaya semuanya tergantung pada tingkat input yang digunakan. Kondisi yang dibutuhkan untuk memperoleh laba yang maksimum berubah menjadi : dπ
dR =
dXi
dC -
dXi
dR = 0 atau
dXi
dC =
dXi
dXi
Sehingga dapat diartikan bahwa penggunaan masing-masing input harus ditambahkan ke dalam proses produksi hingga batas biaya ekstra untuk 1 unit tambahan input seimbang dengan penerimaan yang dihasilkan. Dalam hal ini dapat dirumuskan dalam persamaan matematisnya, ∑ Δ Px i . Xi = ΔPq . Q ∑ Px i . ΔXi = Pq . ΔQ Dimana, Px
: Harga input, biaya ekstra tambahan input
Pq : Harga produk, penerimaan tambahan.
C,R
C (Q) R (Q)
MC
Q Q* MR
dR π’(Q) =
dC =
Q
Q
π(Q) = R(Q) – C(Q) Gambar 2
Kurva Pendapatan Total, Biaya Total, Pendapatan Marjinal, dan Biaya Marjinal
Namun pada kenyataannya perusahaan sering menghadapi kendala dalam mencapai tujuannya. Salah satunya faktor keterbatasan modal, yang merupakan salah satu kendala internal yang sering dihadapi perusahaan. Maka kondisi tersebut dapat disajikan dalam fungsi berikut (Nicholson, 1999) : Co = Σ Xi . Pxi Dimana : Co
= Kendala biaya
Pxi
= Harga faktor produksi ke-i
Xi i
= Faktor produksi ke-i = 1,2,3,…,n
Karena terdapat keterbatasan modal, maka untuk mencapai keuntungan maksimum digunakan Teknik Optimasi Klasik (Classical optimization technique). Dengan menggunakan fungsi Langrangean, maka perusahaan akan memperoleh pendapatan sebesar : L = Pq . Q + λ (Co - Σ X i . Pxi ) Dimana : L
= Pendapatan perusahaan
Pq
= Harga output
Q
= Jumlah output
λ
= Multiplier Langrangean
Xi
= Faktor produksi ke-i
Pxi
= Harga faktor produksi ke-i
I
= 1,2,3,….,n
Untuk mencapai keuntungan maksimum, turunan pertama dari persamaan di atas terhadap variabel x dan multiplier Langrangean (λ) harus sama dengan nol. δL
δQ = P.
δ Xi δQ δ λ
δ Xi
- λ Pxi = 0
= Co - Σ Xi . Pxi = 0
Dari penurunan fungsi Langrangean tersebut pada akhirnya akan dihasilkan suatu persamaan atau fungsi penawaran dan permintaan akan output dan input yang keduannya dipengaruhi oleh harga input dan output. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : X = ƒ(Py,Px) Y = ƒ (Py, Px) Dan dari fungsi tersebut dapat dihasilkan fungsi keuntungan, yaitu : π = ƒ (Py,Px)
Dimana : X
: Permintaan input
Px
: Harga input
Y
: Penawaran ouput
Py
: Harga ouput
π
: Keuntungan
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Usaha non pertanian peranannya dalam perekonomian mulai diperhatikan
ketika usaha pertanian dinilai telah tidak mampu untuk menopang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung sektor non pertanian, khususnya yang berada di pedesaan. Selain faktor keberadaan mayoritas penduduk Indonesia berada di pedesaan, sumber ekonomi utama penduduk di pedesaan adalah mengandalkan pertanian. Usaha sektor non pertanian yang cocok dikembangkan di daerah pedesaan adalah industri pengolahan karena berpotensi menampung tenaga kerja yang relatif besar. Usaha non pertenian yang berada di pedesaan biasanya besifat mikro dan kecil. Pengembangan usaha mikro dan kecil non pertanian masih mengalami beberapa hambatan, yaitu masalah modal, pasar, dan penyuluhan. Selain itu masalah pengembangan usaha sektor non pertanian di pedesaan adalah kapasitas sumber daya menusia. Salah satu industri pengolahan yang berada di pedesaan adalah kerajinan sepatu yang terdapat di Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari, Bogor. Industri ini merupakan sumber ekonomi utama penduduk desa. Keberadaannya sangat dibutuhkan karena mayoritas penduduk desa hidup dari usaha dan bekerja pada kerajinan sepatu. Bila dilihat pada mekanisme produksi, industri sepatu di Desa Sukaluyu pada umumnya dapat dikatakan sebagai pengrajin sepatu daripada seorang pengusaha. Hal ini dapat ditinjau dari aspek hilir industri.
Aspek hilir berpengaruh terhadap tingkat produksi sepatu yang tidak pasti. Hal ini mempengaruhi kapasitas pengusaha untuk merencanakan produksi usahanya. Selain berdampak pada tidak tepat waktu produksi, dampak yang paling merugikan adalah penggunaan faktor produksi yang berlebih. Maka dari itu untuk dapat mengelola produksi dengan baik, perlu dikaji faktor-faktor produksi sepatu. Faktor-faktor yang dikaji antara lain mesin jahit, kain, lem putih dan kuning, tekson ukuran kurang dan lebih dari satu, lateks, sol sepatu, tamsin serta tenaga kerja. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor produksi utama yang harus ada dalam proses produksi. Selain itu, keberadaan Koperasi Baitul Ikhtiar bermanfaat dalam menambah modal bagi pengusaha juga dimasukkan pada analisis tersebut. Maka dari itu faktor tersebut diduga berpengaruh positif terhadap produksi sepatu. Selain produksi yang tidak menentu, pengaruh lain akibat dari ketergantungan terhadap sektor hilir adalah pendapatan yang tidak pasti. Sehingga pengusaha sepatu tidak dapat mengelola pendapatannya. Peningkatan pendapatan dapat dilakukan dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang berdasarkan pada harga input yang akan mempengaruhi tingginya biaya produksi. Hal ini berarti pengusaha secara rasional melakukan usaha untuk memaksimumkan keuntungan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan usaha sepatu, khususnya terhadap pendapatan usaha.
Koperasi Baitul Ikhtiar
Faktor-faktor produksi : 1. Mesin Jahit 2. Kain 3. Lem putih 4. Lem kuning 5. Texon<1 dan >1 6. Latex 7. Sol Sepatu 8. Tamsin 9. Tenaga Kerja
Industri Sepatu di Desa Sukaluyu
Produksi dan Efisiensi
Gambar 3
Pendapatan atau Keuntungan Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kerangka Pemikiran Operasional
Harga Jual Harga Kain Harga Lem putih Harga Lem kuning Harga Tekson < 1 Harga Tekson > 1 Harga Lateks Upah Tenaga Kerja
IV 4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada industri sepatu
di Desa Sukaluyu, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Pemilihan desa ini dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan Desa Sukaluyu merupakan desa dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi serta pendidikan dan tingkat pendapatan terendah dibandingkan desa lainnya di kecamatan Tamansari berdasarkan tingkat perekonomian penduduk, fasilitas umum yang tersedia dan catatan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang keuangan mikro. Pengambilan wilayah dengan tingkat perekonomian terendah didasarkan bahwa pada umumnya keberadaan penduduk yang terbelakang berada di daerah-daerah tersebut. Keterbelakangan dapat diartikan sebagai kualitas penduduk sebagai faktor produksi dan efisiensi tenaga kerja yang rendah serta pengetahuan ekonomi yang terbatas (Meier and Baldwin, 1965). Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama lima bulan, dari bulan April sampai Agustus 2008. Dalam periode ini dilakukan kegiatan penilaian dan pemilihan lokasi penelitian, pembuatan proposal, pengumpulan dan pengolahan data serta analisisnya. Pengumpulan data ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2008. Kemudian pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus.
4.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data primer dan
sekunder yang diambil selama beberapa periode waktu tertentu. Data primer
diperoleh langsung melalui kuesioner dari rumahtangga pengusaha sepatu yang terdiri atas anggota dan non anggota Koperasi Baitul Ikhtiar, sedangkan untuk data sekunder didapatkan dari internet, BPS, perpustakaan, Koperasi Baitul Ikhtiar dan departemen-departemen terkait yang berkaitan dengan topik penelitian. Kuesioner yang disebarkan kepada responden berisikan pertanyaan tertutup dan terbuka karena selain memuat pertanyaan dengan alternatif jawaban yang telah disediakan juga berisi tentang deskripsi pandangan responden mengenai keadaan rumahtangga dan usaha yang dialaminya. Jawaban pertanyaan kuesioner dari responden diperoleh melalui wawancara langsung dan mendalam dengan kepala rumahtangga dan dibantu dengan data yang diperoleh dari keluarga lain, seperti istri atau anak. Paket kuesioner yang ditujukan untuk rumahtangga pengusaha sepatu terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama memuat tentang identitas responden dan keluarga dalam satu rumahtangga, kedua berisi tentang informasi usaha mandiri yang dimiliki dalam satu rumahtangga. Informasi ini meliputi rincian data pengeluaran input dan operasional, jumlah produksi dan omzet setiap periodenya. Kuesioner bagian berikutnya terdiri atas perkembangan usaha dan pendapatan rumahtangga.
4.3
Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Responden Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengambilan data
dilakukan dengan studi literatur, wawancara mendalam dan kuesioner. Sedangkan sumber data berasal dari rumahtangga yang memiliki usaha sepatu yang menjadi anggota dan non anggota Koperasi Baitul Ikhtiar diperoleh secara cross-sectional.
Pertama untuk membedakan antara rumahtangga anggota dan non anggota Koperasi BAIK digunakan teknik pengambilan sampel stratified sampling yang bertujuan untuk mengelompokkan responden pada strata yang homogen. Setelah didapatkan pengelompokkan tersebut, pemilihan responden dilakukan secara convenience sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara nyaman yang dilakukan dengan memilih responden dengan bebas sesuai dengan kehendak perisetnya (Jogiyanto, 2008) dengan terlebih dahulu merumuskan kriteria-kriteria yang digunakan sebagai acuan penarikan sampel. Acuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Rumahtangga yang pendapatan utama rumahtangganya adalah dari usaha mandiri mikro sepatu. 2. Sudah menjalankan usaha sepatu minimal selama dua tahun 3. Khusus untuk rumahtangga yang menjadi anggota Koperasi Baitul Ikhtiar, acuan responden adalah rumahtangga anggota yang sudah bergabung dalam program minimal 3 tahun serta pembiayaan terakhir yang diterimanya ditujukan untuk kepentingan usaha. Pada anggota koperasi, meskipun diperoleh sampling frame, penggunaan metode convenience sampling didasarkan bahwa tidak semua anggota yang sesuai dengan kriteria bersedia untuk menjadi responden. Sedangkan pada rumahtangga pengusaha sepatu non anggota Koperasi BAIK, selain tidak diperoleh sampling frame sebagai acuan penarikan sampel, tidak semua calon responden non anggota bersedia diwawancarai. Selain itu, untuk mempermudah memperoleh keberadaan atau tempat pengusaha sepatu tinggal, metode pemilihan responden non anggota koperasi dibantu dengan teknik snowballing.
Adapun jumlah respoden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 60 sampel, 30 sampel merupakan anggota dan 30 sampel berikutnya merupakan responden non anggota Koperasi BAIK. Alasan dari pengambilan jumlah sampel ini berdasakan Nazir (2003) bahwa secara empiris jumlah sampel adalah 30 responden agar terdistribusi normal. Selain itu minimal jumlah sampel dalam metode survei adalah 30 responden (Nelson, 1996).
4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan
menggunakan metode survei, yaitu pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan pengusaha menggunakan daftar pertanyaan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas serte regresi linier berganda. Pengolahan data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan bantuan Microsoft Excell 2003 dan Minitab Release 14.13. 4.4.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode deksriptif ini menurut Umar (2003), bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Selain itu juga untuk menjawab pertanyaan yang menyangkut sesuatu pada saat
berlangsungnya
proses
riset.
Analisis
deskriptif
digunakan
untuk
menganalisis data yang bersifat kualitatif dan mengetahui karakteristik setiap
variabel dalam sampel. Dalam hal ini, analisis deskriptif menggunakan tabulasi dan pengelompokkan jawaban yang sama serta deskripsi mengenai permasalahan yang diangkat. 4.4.2
Analisis Faktor-faktor Produksi Usaha Sepatu Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sepatu
akan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi CobbDouglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan, (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan, (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian, kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti persamaan berikut ini. bi bn u b1 b2 Y = a X1 X2 .. . Xi ... Xn e bi u = a π Xi e Dimana : Y
= f (X1 X2 X3 X4)
Y
= Peubah Tak bebas
Xn, X2...Xn
= Peubah Bebas
b1, b2..bn
= Elastisitas produksi
u
= Kesalahan (disturbance term)
e
= Logaritma Natural, e = 2,718 Fungsi produksi yang digunakan untuk menduga faktor produksi yang
berpengaruh dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas yang ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural (double log). Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap hasil produksi sepatu adalah jumlah mesin jahit, kain, lem putih dan kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari satu dan lebih
dari satu, sol, tamsin, tenaga kerja, serta modal kerja. Namun, dalam penelitian ini, sol dan tamsin dihilangkan dalam variabel independen karena hubungan yang tetap dan pasti terhadap tingkat produksi. Variabel Y merupakan hasil produksi sepatu per bulan. Maka dari itu pada penelitian ini, fungsi produksi yang dipakai ditulis sebagai berikut : Ln Y =
b0 + b1 ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 + b4 ln X4 + b5 ln X5 + b6 ln X6 + b7 ln X7 + b8 ln X8 + b9 ln D1 + u
Dimana : Y
= produksi sepatu
X4
= lem kuning
b0
= konstanta
X5
= lateks
b1- b8 = parameter variabel
X6
= tekson < 1
X1
= mesin jahit
X7
= tekson > 1
X2
= kain
X8
= tenaga Kerja
X3
= lem putih
u
= galat
D1
= 2 = anggota dan 1 = non anggota Adapun hipotesis yang diajukan terhadap masing-masing faktor produksi
adalah seluruh faktor produksi berpengaruh positif terhadap tingkat produksi sepatu. Hal ini didasarkan bahwa faktor-faktor tersebut merupakan kebutuhan utama dalam produksi sepatu. 4.4.3
Analisis Efisiensi Ekonomi Efisiensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai suatu
penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan penerimaan yang sebesar-besarnya. Keadaan ini dapat terjadi jika Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM), atau dengan kata lain rasio antar NPM dan BKM sama dengan satu. Tapi dalam kenyataan nilai rasio ini tidak selalu sama dengan satu. Adapun yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
¾ Nila rasio NPM dan BKM lebih besar dari satu (NPM/BKM >1), ini artinya penggunaan input belum efisien, input perlu ditambah untuk mencapai optimum. ¾ Nilai rasio NPM dan BKM lebih kecil dari satu (NPM/BKM <1), ini artinya penggunaan input tidak efisien, input perlu dikurangi untuk menjadi efisien. 4.4.4
Perumusan Model Faktor Pengaruh Pendapatan Usaha Penelitian ini dalam menganalisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh
terhadap besarnya tingkat pendapatan atau keuntungan usaha sepatu dilakukan melalui pendekatan fungsi regresi linier berganda. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat keuntungan usaha adalah harga dari output dan input produksi, yaitu terdiri dari harga sepatu, kain, lem putih dan kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari dan lebih dari satu, upah tenaga kerja serta variabel dummy keanggotaan pada Koperasi BAIK. Namun, pada penelitian ini, variabel harga lem kuning dan upah tenaga kerja tidak dimasukkan dalam faktor penduga. Hal ini disebabkan karena penggunaan lem kuning pada saat penelitian kurang dibutuhkan pada produksi sepatu. Sehingga perubahan harga lem kuning diperkirakan tidak akan berpengaruh pada tingkat keuntungan usaha. Sedangkan pada kasus upah tenaga kerja, penentuan besaran upah tenaga kerja menjadi tidak jelas ketika sering terjadi penambahan jumlah tenaga kerja di pertengahan produksi dengan nilai upah yang kadang berbeda dari pekerja sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan prediksi terhadap perubahan biaya tenaga kerja sulit untuk ditentukan. Maka dari itu, secara matematis, model yang diduga dapat dituliskan sebagai berikut :
π =
b0 + b1 Pq + b2 Px1 + b3 Px2 + b4 Px3 + b5 Px4 + b6 Px5 + b7 D1 + u
Dimana : π
= keuntungan usaha
Px1
= harga kain
b0
= konstanta
Px2
= harga lem putih
bi
= Parameter variabel
Px3
= harga latex
Pq
= harga sepatu
Px4
= harga tekson kurang dari satu
u
= galat
Px5
= harga tekson lebih dari satu
D1
= dummy : 2 = anggota dan 1 = non anggota Adapun hipotesis yang diajukan terhadap faktor penduga adalah variabel
harga output berpengaruh positif, sedangkan faktor harga input diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat produksi sepatu. Hal ini didasarkan bahwa faktor harga dapat meningkatkan jumlah keuntungan, sedangkan faktor input memerlukan korbanan agar dapat memperolehnya. Asumsi dalam pendugaan fungsi dasar dengan menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) adalah sebagai berikut (Gujarati, 1999) : a. E (ui) = 0 untuk setiap i, nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ℮i tergantung pada variabel bebas Xi tertentu adalah nol. b. Var (ui ) = σ2 untuk setiap i, (asumsi homoskedastisitas), artinya varians ui untuk setiap variabel bebas Xi (Varians bersyarat untuk ui ) adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan σ2. c. Cov (ui , Xi ) = 0, artinya gangguan ui dan variabel yang menjelaskan Xi tidak berkorelasi. d. Tidak ada multikolinieritas yang berarti, yaitu tidak teradapat hubungan linier yang pasti antara variabel yang menjelaskan. Apabila asumsi di atas dapat dipenuhi, maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE = Best
Linier Unbiased Estimation). Setelah melakukan pengestimasian model, langkah selanjutnya yaitu pengujian model. Model diuji mulai dari tingkat kelayakan sampai pada pelanggaran asumsi tersebut di atas. 1.
Uji Statistik Ujian secara parsial ditujukan untuk mengetahui pengaruh nyata peubah
bebas yang terdapat dalam model terhadap peubah tidak bebas. Uji-t digunakan untuk menguji secara statistik pengaruh nyata dari masing-masing parameter bebas (X) yang dipakai secara terpisah terhadap parameter tidak bebas (Y), pengujian secara statistik sebagai berikut (Gujarati, 1999) : Hipotesa :
H0 : bn = 0 H0 : bn ≠ 0
Uji statistik t : bn* - bn t-hitung =
bn* - 0 -
S (bn) t-tabel = tα/2 (n-k) Dimana :
bn* =
S (bn)
S (bn)
n
: Jumlah sampel
Kriteria uji :
k
: Jumlah koefisien regresi dugaan
t-hitung > tα/2 (n-k), tolak H0
bn*
: Nilai koefisien regresi dugaan
t-hitung < tα/2 (n-k), terima H0
S (bn) : Simpangan baku koefisien dugaan Jika nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel maka parameter bebas yang diuji berpengaruh nyata terhada parameter tidak bebas. Sebaliknya jika nilai t-hitung lebih kecil dari t-tabel maka parameter bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas. Alternatif cara pembacaan hasil output dapat dilakukan dengan melihat ρ-value, dimana : 1) Jika ρ-value < α, maka tolak H0, artinya parameter bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas.
2) Jika ρ-value > α, maka terima H0, artinya parameter bebas yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas. Pengujian
parameter
secara
serentak
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan uji F, yaitu hipotesis yang digunakan : Hipotesis :
H0 : b1 = b2 =........= bn = 0 H1 : b1 ≠ b2 ≠........≠ bn ≠ 0
Uji Statisitik : R2 / k-1 F-hitung
:
F-tabel
: Fα (k-1, n-k)
Kriteria uji : F-hitung > Fα (k-1, n-k), maka tolak H0 F-hitung < Fα (k-1, n-k), maka terima H0
(1-R2) / (n-k)
Jika nilai F-hitung lebih besar dari F-tabel maka model penduga signifikan atau layak untuk menduga parameter dalam fungsi produksi. Sebaliknya jika nilai F-hitung lebh kecil dari F-tabel maka model penduga signifikan atau layak untuk menduga parameter dalam fungsi produksi. Perhitungan kebaikan suatu model berdasarkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) yang digunakan untuk melihat seberapa besar keragaman yang dapat diterangkan oleh parameter bebas terhadap parameter tidak bebas. Menurut Gujarati (1999), koefisien determinasi (R2) dirumuskan sebagai berikut: R2 = 1 -
SSE
SSR =
SST Dimana: SST
: Jumlah Kuadrat Total
SSR
: Jumlah kuadrat regresi
SSE
: Jumlah kuadrat error /galat
SST
2.
Uji Asumsi
a)
Multikolinieritas Ada atau tidaknya masalah multikolineritas dilihat dari nilai Value
Inflation Faktors (VIF) yang diperoleh. jika nilai VIF lebih besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Selain itu, Matriks Korelasi dapat digunakan untuk mengetahui Multikolineritas. Menurut Nurrofiq (2005), ukuran korelasi dijelaskan sebagai berikut : •
< 0.20 (baik plus maupun minus) menunjukkan tidak adanya hubungan.
•
0.20 - < 0.40 (baik plus maupun minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang rendah.
•
0.40 - < 0.70 (baik plus maupun minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang substansial.
•
0.70 – 1.00 (baik plus maupun minus) menunjukkan adanya tingkat hubungan yang tinggi.
b)
Heteroskedastisitas Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedatisitas
(ragam error yang sama). Untuk dapat membuktikan kesamaan varians (homosekedatisitas), secara visual dapat dilakukan dengan cara melihat penyebaran nilai-nilai residual terhadap nilai-nilai prediksi. Jika penyebarannya tidak membentuk suatu pola yang sistematis seperti linier atau kuadratik, maka keadaan homoskedatisitas terpenuhi.
4.5
Definisi Operasional
1. Usaha Mikro dan Kecil adalah usaha non-pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) yang mempekerjakan paling banyak 19 pekerja, termasuk pemilik dan anggota keluarga, memiliki hasil penjualan paling banyak Rp2,5 Milyar per tahun, dan mempunyai aset di luar tanah dan bangunan paling banyak Rp 500 juta. 2. Faktor produksi adalah bahan baku yang digunakan dalam proses produksi yang terdiri atas tiga jenis input, yaitu tanah yang meliputi pemberian alam, tanah, dan bahan baku, tenaga kerja yang teridiri atas upaya fisik dan pemikiran manusia, serta modal yang didefinisikan sebagai alat bantu untuk proses produksi (Lipsey, 1995). Faktor produksi dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku, tenaga kerja dan modal berupa alat bantu utama yaitu mesin jahit dan modal kerja berupa kebutuhan uang tunai setiap bulan.. 3. Pendapatan usaha sepatu adalah penghasilan yang diperoleh dari penjualan produk sepatu dikurangi dengan biaya produksi yang diusahakan dalam jangka waktu tertentu. 4. Harga input adalah jumlah korbanan dalam bentuk uang yang harus dikeluarkan pengusaha untuk memperoleh satu unit input produksi. 5. Koperasi Baitul Ikhtiar adalah lembaga keuangan mikro model Grameen yang beroperasi di Desa Sukaluyu Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor. 6. Anggota BAIK adalah pengusaha sepatu yang istrinya bergabung dalam Koperasi BAIK selama tiga tahun dan pendapatan utama rumahtangganya berasal dari usaha sepatu.
V. 5.1
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
Industri Sepatu di Desa Sukaluyu Industri sepatu merupakan kerajinan atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
yang paling berkembang di Desa Sukaluyu. Industri ini tidak hanya memproduksi sepatu, tapi juga memproduksi sandal sesuai dengan pesanan yang didapatkan. Namun pada umumnya, produk sepatu atau sandal ini memiliki model khusus untuk perempuan. Hingga kini, jumlah rumah tangga yang memiliki kerajinan sepatu mencapai 60% dari total rumah tangga di desa tersebut dengan nilai produksi total mencapai 4000 - 6000 kodi (1 kodi sama dengan 20 pasang) per minggu. Persaingan dari industri ini tidak terlalu ketat, meskipun terdapat persaingan untuk mendapatkan tenaga kerja pada musim-musim tertentu. Kepemilikan pada industri ini biasanya dikuasai oleh masing-masing kepala keluarga dan jarang yang dikuasai oleh dua rumah tangga. Hal ini dilakukan atas dasar kepraktisan dan fleksibilitas. Industri sepatu ini belum memiliki struktur organisasi dan deskripsi kerja yang teratur atau terspesialisasi. Pembagian tugas hanya pada jenis proses pembuatan yang dilaksanakan tanpa tahu siapa melakukan apa. Sistem produksi usaha sepatu terbagi menjadi beberapa tahapan dan fungsi kerja dengan upah tertentu. Upah pekerja tidak memiliki standar tertentu, tergantung penawaran yang diberikan oleh masing-masing manajer usaha. Upah yang ditawarkan disesuaikan dengan kapasitas yang akan diproduksi, model sepatu yang akan dibikin, dan penilaian manajer terhadap calon pekerja tersebut. Bahkan kadang kala tingkat upah menjadi persaingan dalam memperebutkan tenaga kerja pada musim-musim ramai produksi. Pekerja industri sepatu bukan
merupakan pegawai tetap, akan tetapi cenderung seperti pegawai kontrak. Ketika musim produksi ramai, pekerja ini tidak hanya didatangkan dari kecamatan Tamansari, bahkan sampai daerah di luar Bogor seperti Serang dan Pendeglang. Istilah yang biasa digunakan dalam menyebut pekerja adalah tukang atas, tukang bawah dan bagian dalam. Tukang atas merupakan pekerja yang bertugas untuk membuat dan menyelesaikan bagian atas produk, seperti menjahit dan menempel bahan. Upah yang diberikan pada tukang atas berkisar antara Rp 20.000 – Rp 40.000 per kodinya tergantung pada tingkat kesulitan pembikinan produk dengan model tertentu dan jenis produk yang akan diproduksi, yaitu sandal atau sepatu. Sedangkan pekerja bawah bertugas menyelesaikan pembuatan sepatu tersebut. Dengan tingkat kesulitan yang lebih dari tukang atas, tukang bawah memperoleh upah Rp 45.000 – Rp 75.000. Pekerja bagian dalam bertugas menyelesaikan produk seperti menempel bahan dalam sepatu dan pengepakan. Pada umumnya untuk mengurangi biaya produksi, kerabat dan anggota keluarga inti dipekerjakan sebagai pengganti pekerja luar. Upah bagian dalam yang diberikan berkisar Rp 5.000 – Rp 7.000 tiap kodinya, sedangkan pekerja istri tidak mendapatkan upah sama sekali dari keikutsertaan dalam pekerjaan. Sistem pemasaran dari industri sepatu ini juga belum memiliki mekanisme teratur yang dapat mempengaruhi rutinnya produksi sepatu. Pemasaran output produksi biasanya merupakan suatu order dari toko atau grosir sepatu setelah manajer usaha menawarkan model sepatu atau sandalnya serta negosiasi harga dan jumlah produksi telah disepakati. Penjualannya tidak berupa per pasang, akan tetapi dalam bentuk per kodi dan minimal 3-5 kodi. Konsep pemasaran yang dilakukan adalah berdasarkan kepercayaan dan hubungan kepercayaan antara toko
atau grossir dengan pengrajin sepatu dapat bertahan sampai bertahun-tahun tergantung pada kelancaran mekanisme produksi. Dalam hal ini, mekanisme produksi memiliki pengertian cara barang dan jasa bergerak dari produsen ke konsumen (Soekartawi, 2002). Pada kasus mekanisme produksi yang pertama, bengkel sepatu menggunakan modal sendiri dalam setiap proses produksinya. Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bengkel sepatu dengan mekanisme produksi dengan modal sendiri, yaitu : 1) Manajer sepatu bebas menentukan pemasaran yang akan dituju; dan 2) Bahan yang didapatkan sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki. Meskipun demikian, kelemahan utama dari penggunaan modal ini adalah kecenderungan akumulasi aset usaha yang lambat karena jumlah modal yang dimiliki pengusaha sepatu di desa ini sangat kecil. Selain mekanisme produksi tersebut, terdapat kasus yang lain dari mekanisme produksi dan merupakan model yang paling umum terjadi di Desa Sukaluyu. Pada kasus ini, industri sepatu menggunakan modal dari grosir dalam bentuk Giro atau Bon putih. Giro merupakan alat pembayaran yang memiliki nilai ekstrinsik sesuai dengan besarnya kesepakatan antara grosir dan bengkel sepatu, sedangkan bon putih merupakan kuitansi kosong yang akan diisi oleh toko bahan dan biasanya hanya dapat dibelanjakan pada toko-toko tertentu. Dalam hal ini terdapat kemungkinan kerjasama antara toko bahan dan grosir sepatu, yang secara tidak langsung membatasi gerak pengusaha sepatu dalam memilih toko bahan yang lebih murah.
5.2
Karakteristik Responden
5.2.1
Demografi Responden
a. Umur Responden Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa karakteristik pengusaha sepatu di Desa Sukaluyu, sebagian besar atau 38,3 persen berusia antara 30 sampai 39 tahun, 26,7 persen berusia antara 20-29 tahun dan 35 persen berusia di atas 40 tahun seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Umur 20–29 30–39 40–49 50–60 Total
Sebaran Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu Berdasarkan Umur pada Tahun 2008 Non anggota Jumlah Persentase 6 20 16 53,3 7 23,4 1 3,3 30 100
Jumlah
Anggota Persentase 10 33,4 7 23,3 7 23,3 6 20 30 100
Umur pengusaha sepatu yang cenderung masih di bawah 40 tahun menunjukkan bahwa prospek pengembangan usaha sepatu yang sangat besar. Hal ini didasarkan pada kapasitas pengusaha untuk memajukan usaha karena masih memiliki tenaga dan pikiran yang masih bersemangat dan selalu termotivasi. b. Tingkat Pendidikan Keberadaan pengusaha UMK seperti di Desa Sukaluyu dari sisi pendidikan dan keterampilan masih belum menggembirakan. Ditinjau dari sisi pendidikan, pada umumnya sebagian besar mereka (55 %) berpendidikan SD. Masih sangat banyak diantara pengusaha UMK di Indonesia yang berpendidikan SD. Fakta menunjukkan masih rendahnya kualitas sumber daya UMK khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran. Disamping itu adalah rendahnya tingkat kompetensi kewirausahaan.
Rendahnya tingkat pendidikan para pengusaha mikro dan kecil tersebut ternyata tidak diimbangi dengan upaya-upaya peningkatan kemampuan baik melalui pelatihan, pendidikan, maupun studi banding secara terprogram. Pada umumnya pengusaha mikro dan kecil di Desa Sukaluyu lebih fokus pada pengalaman dalam menjalankan usaha. Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan masih belum merupakan prioritas. Rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan dari para pengusaha mikro dan kecil memberi berbagai dampak, diantaranya : 1) Kemampuan inovasi; 2) Lemah dalam manajemen usaha; 3) Rendahnya produktivitas dan efisiensi usaha; dan 4) Lemahnya kemampuan mengakses modal usaha; 5) Lemah dalam pengembangan pasar; serta 6) Lemah dalam posisi tawar dengan stakeholder. Tabel 5
Tingkat Pendidikan Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu Tahun 2008
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD/MTs Tamat SD Tidak Tamat SMP/MI Tamat SMP Tidak Tamat SMA Tamat SMA Perguruan Tinggi Total
Anggota Jumlah Persentase 0 0 9 30 19 63,34 0 0 1 3,33 1 3,33 0 0 0 0 30 100
Non anggota Jumlah Persentase 0 0 5 16,67 14 46,67 1 3,33 6 20 1 3,33 3 10 0 0 30 100
c. Jumlah Anak dalam Tanggungan Berdasarkan jumlah tanggungan anak, responden anggota dan non anggota sebagian besar memiliki jumlah tanggungan dua anak. Pada anggota, 60 persen responden memiliki anak sampai dengan dua orang, sedangkan pada kelompok non anggota responden dengan dua orang anak mencapai 56,6 persen. Sedangkan pada kelompok non anggota jumlah responden dengan jumlah anak lebih dari dua lebih banyak daripada kelompok anggota. Beberapa hal yang
menyebabkan perbedaan ini adalah kesadaran terhadap penggunaan dan perencanaan Keluarga Berencana (KB). Menurut penggerak posyandu di Desa Sukaluyu, penggunaan KB pada anggota BAIK cukup tinggi. Hal ini didasarkan bahwa ketua posyandu sendiri merupakan anggota BAIK dan sering melakukan sosialisasi di desa dan kelompoknya. Sedangkan pada kelompok Non anggota, responden jarang mengikuti kegiatan posyandu yang diadakan oleh desa. Dari 30 responden didapatkan hanya 7 orang saja yang mengikuti kegiatan posyandu sedangkan pada kelompok anggota mencapai 21 orang. Tabel 6
Sebaran Responden Berdasarkan Tanggungan Tahun 2008
Tanggungan 0 1 2 3 4 5 6 Total
Jumlah
Anggota Persentase 0 0 7 23,3 11 36,7 4 13,3 5 16,7 2 6,7 1 3,3 30 100
Jumlah
Anak
dalam
Non anggota Jumlah Persentase 1 3,3 4 13,3 12 40 4 13,4 6 20 1 3,3 2 6,7 30 100
d. Anggota Koperasi BAIK Pada anggota BAIK, lama menjadi anggota bervariasi meskipun di Desa Sukaluyu merupakan daerah pertama program dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah anggota terus mengalami perubahan, baik pertumbuhan maupun pengurangan. Anggota BAIK yang menjadi responden 33 persen telah menjadi anggota selama 3-4 tahun dan pada umumnya telah menerima pinjaman sebanyak tiga kali. Kemudian 46,7 persen menjadi anggota selama 5-6 tahun, 16,7 persen selama 7-8 tahun dan hanya 3,3 persen yang berumur 9 tahun dalam status keanggotaannya.
Tabel 7
Sebaran Responden yang Menjadi Anggota Koperasi BAIK Berdasarkan Lama Menjadi Anggota Tahun 2008 Umur 3-4 Tahun 5-6 Tahun 7-8 Tahun 9 Tahun
Jumlah
Persentase 10 14 5 1 30
Total
33,3 46,7 16,7 3,3 100
Selama menjadi anggota BAIK, responden telah menerima pinjaman ratarata satu tahun sebanyak satu kali pembiayaan. Oleh karena itu, responden yang telah menjadi anggota selama lima tahun rata-rata telah menerima pinjaman sebanyak lima kali. Pembiayaan yang dinamis belum tentu diterima oleh anggota. Maka dari itu belum tentu responden yang telah lama menjadi anggota akan menerima pembiayaan yang lebih besar. Tabel 8
Sebaran Responden Anggota Berdasarkan Jumlah Pembiayaan Terakhir dari Koperasi BAIK yang Diterima pada Tahun 2008
Jumlah 300.000 – 499.999 500.000 – 799.999 800.000 – 999.999 1.000.000 – 2.000.000 Total
Jumlah
Persentase 4 6 9 11 30
13,3 20 30 36,7 100
Bila dilihat dari besarnya pinjaman pada Tabel 8, 11 responden anggota menerima pembiayaan sebesar Rp 1 Juta sampai Rp 2 juta, 9 orang menerima pembiayaan sebesar Rp 800.000 – Rp 899.999, dan 6 orang sebesar Rp 500.000 – Rp 799.999, serta 4 orang sebesar Rp 300.000 – Rp 499.999. Seluruh pembiayaan yang diterima, merupakan plafon untuk tujuan usaha mandiri. Namun tidak semua penggunaan pembiayaan ini ditujukan untuk modal usaha sepatu sepenuhnya. Tabel 9
Sebaran Responden Anggota Berdasarkan Penggunaan Pembiayaan Terakhir dari Koperasi BAIK pada Tahun 2008
Penggunaan 100 persen Usaha Usaha Sepatu dan lain-lain Tidak untuk usaha sepatu Total
Jumlah 1 23 6
Persentase 3,3 76,67 20 30
100
Pada Tabel 9, dari 30 responden, hanya satu orang yang menggunakan untuk kepentingan usaha utama, yaitu usaha sepatu. Sedangkan yang lainnya untuk kepentingan usaha lain, bayar hutang, kebutuhan konsumsi rumah tangga, rekening rumah, kreditan, kepentingan sekolah dan jajan anak serta dialihkan sepenuhnya untuk kepentingan pembangunan rumah karena modal sudah mencukupi untuk memproduksi sepatu. 5.2.2
Usaha Sepatu Responden
a. Pengalaman Usaha Berdasarkan umur usaha, rumah tangga pengusaha sepatu telah mendirikan usahanya sejak 2 sampai 26 tahun yang lalu. Diantaranya 50 persen telah beroperasi sejak 2 sampai 6 tahun yang lalu, dan 28,34 persen berusia 7-11 tahun dan sisanya (21,66 persen) lebih dari 12 tahun. Tabel 10 Sebaran Umur Usaha Sepatu Responden di Desa Sukaluyu Tahun 2008 Umur (tahun) 2-6 7-11 12-16 17-21 22-26 Total
Jumlah
Persentase 30 17 5 5 3 60
50 28,34 8,33 8,33 5 100
Meskipun industri sepatu di Desa Sukaluyu sudah beroperasi sejak tahun 70-an, namun masih saja terdapat usaha yang baru saja tumbuh dan berkembang. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika usaha sepatu sangat tinggi. Dinamika tersebut berkaitan dengan banyaknya muncul pengusaha baru. Para pengusaha baru tersebut 90 persen diantaranya pernah bekerja sebagai pekerja sepatu dan kemudian membuka usaha mandiri.
b. Sumber Modal Usaha Pada umumnya, sumber modal utama dari usaha sepatu di Desa Sukaluyu berasal dari giro. Sumber modal ini tidak sulit untuk mendapatkannya dan sifatnya merupakan kepercayaan dari grosir kepada pengusaha sepatu. Namun tidak menutup kemungkinan pengusaha sepatu mendapatkan sumber modal dari berbagai sumber atau dari berbagai kombinasi sumber agar terkumpul jumlah yang cukup untuk keperluan usaha. Sumber modal kombinasi pada kelompok anggota lebih variatif daripada kelompok non anggota. Pada kelompok non anggota, secara individual sumber modal paling utama berasal dari uang pribadi yang mencapai 26,67 persen dan diikuti oleh sumber modal giro yang mencapai 23,33
persen. Sumber yang paling besar adalah
kombinasi dari modal sendiri dan giro yang mencapai 36,67 persen. Selebihnya adalah berasal dari bank, rentenir, suplier, dan anggota keluarga. Sedangkan pada kelompok anggota, sumber modal utama adalah dari kombinasi giro dan pembiayaan BAIK yang mencapai 33,33 persen. Sumber modal pada kelompok anggota lebih banyak berupa kombinasi, dan terutama bersumber dari Koperasi BAIK. Kombinasi tersebut meliputi pembiayaan BAIK, pribadi, giro, dan bahkan berupa kerjasama dengan sesama keluarga. c. Perkembangan Produksi Sepatu dalam Satu Tahun Terakhir Industri sepatu memiliki periode fluktuasi atau siklus usaha tertentu yang sifatnya relatif tetap. Fluktuasi ini berkaitan dengan musim produksi sepatu. Terdapat musim sepi dan musim ramai, bahkan pada tahun 2008 ini semakin banyak musim libur yang dialami hampir secara merata oleh pengusaha sepatu di Desa Sukaluyu. Faktor makroekonomi menjadi penyebabnya, seperti kenaikan
bahan bakar minyak, kebutuhan bahan pokok, dan masuknya sepatu impor cina ke Indonesia. Dalam satu tahun, musim ramai produksi biasa terjadi pada akhir bulan jumadil akhir, rajab, beroah dan romadhon (kalender hijriah atau islam). Pada bulan-bulan ini, tingkat produksi tidak terbatas dan tergantung kapasitas usaha dalam memproduksi sepatu. Pada waktu-waktu tersebut tingkat penerimaan dapat meningkat sampai 200–300 persen dibandingkan bulan-bulan biasa. Pertumbuhan ini dapat dilihat pada tingkat pertumbuhan produksi dibandingkan pada bulanbulan biasa. Fluktuasi ini juga dialami oleh para responden penelitian ini. Pada masa penelitian, yaitu bulan juni sampai juli, terdapat beberapa pengusaha yang baru saja memulai kembali usaha sepatunya. Dari hasil survei didapatkan bahwa perkembangan usaha tersebut mengalami penurunan yang cukp signifikan. Perkembangan produksi sepatu dari bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Rata-rata Perkembangan Produksi Sepatu Responden dari Bulan Juli 2007 – Juni 2008 Bulan Juli – Okt 2007 Nov 2007 – Feb 2008 Mar – Juni 2008
Anggota Jumlah Perbulan
Non anggota Jumlah Perbulan
Gabungan Jumlah Perbulan
420,67
105,2
427,7
107
424,2
106,1
189,8
47,5
204,67
51,2
197,23
49,3
159,93
40
196,8
49,2
178,37
44,6
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa produksi selama satu tahun terus mengalami penurunan. Pada bulan Juli sampai Oktober 2007 merupakan bulanbulan menjelang lebaran sehingga produksi berlebih. Pada umumnya, setelah hari lebaran, produksi bisa sangat menurun dan hal ini dapat dilihat pada jumlah
produksi empat bulan berikutnya. Jumlah produksi bulan November 2007 sampai Februari 2008 menurun hingga setengah dari produksi sebelumnya. Pada masa ini dan masa selanjutnya hingga mendekati masa lebaran lagi, produksi dapat dikatakan pada masa-masa bertahan bagi pengusaha. Ada pengusaha yang tetap berproduksi dan ada yang libur sama sekali dan akan tumbuh lagi pada masa lebaran tahun berikutnya. Model sepatu yang diproduksi tergantung pada pesanan dari pihak grosir sepatu. Tidak setiap produksi itu memiliki variasi dan model yang sama. Namun kecenderungan utama responden yang didapat adalah produksi sepatu jenis balet yang memiliki harga tidak lebih dari Rp 350.000. Meskipun demikian, dari 60 responden terdapat beberapa pengusaha yang memproduksi sepatu jenis fantovel dengan harga yang berkisar Rp 400.000 – Rp 600.000. Namun tidak banyak responden yang memproduksi jenis sepatu fantovel karena harga yang begitu mahal tentu membutuhkan ongkos produksi yang tidak sedikit. d. Penggunaan Sarana Produksi Pembuatan sepatu membutuhkan banyak bahan baku. Bahan baku tersebut bervariasi tergantung pada model sepatu yang akan diproduksi. Namun ada beberapa bahan baku yang merupakan komponen utama sepatu. Bahan baku tersebut antara lain kain, lem putih dan kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari satu maupun lebih dari satu, sol sepatu, tamsin, serta ditambah faktor produksi mesin jahit dan tenaga kerja. Variabel-variabel ini dibutuhkan dengan jumlah yang berbeda-beda tergantung pada jumlah produksi maupun model sepatu. Daftar bahan baku yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 12.
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kain dan tenaga kerja merupakan bahan baku yang membutuhkan biaya terbesar dibandingkan material yang lain. Ratarata kebutuhan kain pada produksi sepatu per kodi mencapai 1,8 meter. Nilai per meter kain pun dapat berbeda tergantung pada jenis model yang akan diproduksi. Pengusaha sepatu membutuhkan kain rata-rata sebesar 119 meter dengan nilai mencapai Rp 3.571.200 untuk memproduksi sepatu sebanyak 66,65 kodi sebulan. Tabel 12 Jumlah Kebutuhan Faktor dan Sarana Produksi Utama pada Usaha Sepatu Di Desa Sukaluyu Tahun 2008 Jenis Faktor Produksi Mesin Jahit Kain Lem Putih Lem Kuning Latex Texon < 1 Texon > 1 Sol Sepatu Tamsin TK
Satuan
Jumlah
Buah Meter Liter Liter Liter Lembar Lembar Kodi Dus Orang
2,67 119,04 89,21 106,77 75,54 82,76 117,12 66,65 13,33 7,08
Harga / satuan (Rupiah) 250.000 30.000 14.000 12.000 18.000 6.000 10.000 25.000 22.000 615.827,74
Nilai Total (Rupiah) 667.500 3.571.200 1.248.940 1.281.240 1.359.720 496.560 1.171.200 1.666.250 293,260 4.360.060,4
Lem sebagai perekat, kebutuhannya ditentukan oleh jenis model sepatu. Untuk produksi sepatu model balet, kebutuhan utamanya adalah lem putih sebagai perekat, sedangkan jenis sepatu fantovel lebih banyak membutuhkan lem kuning. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa penggunaan lem kuning ternyata lebih besar daripada lem putih. Hal ini dapat diduga awal bahwa lem kuning mengalami masalah efisiensi sehingga mengurangi pendapatan usaha sepatu. Penggunaan lem putih sebaiknya ditingkatkan sebagai cara untuk mengurangi penggunaan lem kuning. Pada penggunaan tekson, tidak ada spesifikasi khusus bahwa jenis sepatu tertentu sebaiknya menggunakan tekson ukuran tertentu. Hal ini tergantung pada preferensi pengusaha berdasarkan kualitas sepatunya. Namun sepatu balet pada
umumnya menggunakan tekson ukuran kurang dari satu. Hal ini hanya ditujukan untuk mengurangi biaya produksi saja. Dari Tabel 12 didapatkan bahwa penggunaan tekson ukuran lebih dari satu lebih banyak daripada tekson ukuran kurang dari satu. Dari data ini ada dugaan bahwa penggunaan tekson ukuran lebih dari satu mengalami kelebihan. Namun hal ini tidak mejadi ukuran keefisiensian penggunaan tekson. Penggunaan sol sepatu dan tamsin jumlahnya sesuai dengan besar sepatu yang akan diproduksi. Sol biasanya dibeli dari toko bahan. Bahan baku terakhir adalah tamsin. Tamsin merupakan besi yang fungsinya untuk memperkuat atau sebagai rangka sepatu bagian bawah. Tamsin dijual dalam bentuk dus dan satu dus berisi sebanyak 5 kodi tamsin atau sama dengan 100 buah tamsin. e. Pendapatan dan Tingkat Profitabilitas Usaha Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan terhadap biaya yang dikeluarkan. penerimaan yang diterima oleh pengusaha sepatu merupakan jumlah penjualan sepatu yang diproduksi dikalikan dengan harga jual sepatu. Satuan yang paling umum digunakan industri sepatu di Desa Sukaluyu adalah per kodi. Setiap satuan memiliki harga yang berbeda-beda tergantung model yang diproduksi. Pendapatan pengusaha sepatu responden dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Pendapatan yang diterima oleh pengusaha sepatu dibedakan menjadi dua bagian. Pertama disebut pendapatan atas biaya produksi, yaitu pendapatan yang telah dikurangi dengan biaya-biaya produksi, baik biaya produksi langsung maupun biaya produksi tidak langsung. Biaya produksi langsung merupakan biaya yang dikeluarkan langsung oleh pengusaha dalam memulai produksi, antara biaya
bahan baku kain, lem, sol, tekson, tamsin, kardus, lateks, dan lain-lain. biaya produksi tidak langsung yaitu biaya transportasi. Pendapatan kedua disebut pendapatan atas total biaya, yaitu pendapatan yang telah dikurangi oleh biaya produksi dan biaya yang diperhitungkan. Biaya yang diperhitungkan yaitu biaya tenaga kerja keluarga yang tidak mendapatkan upah, biaya penyusutan, biaya potongan atas giro, dan biaya konsumsi pekerja yang sifatnya sukarela dan biasanya disediakan oleh pengusaha. Pendapatan pengusaha sepatu per bulan dan pendapatan atas biaya atau R/C dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, pendapatan kelompok non anggota lebih besar dibandingkan pendapatan kelompok anggota, baik untuk pendapatan kotor, pendapatan atas biaya produksi maupun pendapatan atas total biaya. Pendapatan kotor yang diperoleh kelompok Non anggota sebesar Rp 24.615.500 per bulan, sedangkan pendapatan kelompok anggota mencapai Rp 20.333.000. Pendapatan atas biaya produksi usaha sepatu pada kelompok anggota sebesar Rp 2.822.375 dan kelompok non anggota mencapai Rp 3.413.451 per bulan. Kemudian pendapatan atas biaya total kelompok anggota sebesar Rp 1.252.175 sedangkan kelompok non anggota senilai Rp 1.479.351. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh pengusaha sepatu kelompok anggota Baitul Ikhtiar lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok non anggota. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab perbedaan besarnya pendapatan antara pengusaha sepatu anggota dan non anggota adalah besarnya output atau tingkat produksi per bulannya, disamping jenis atau model sepatu yang mempengaruhi harga sepatu. Meskipun demikian, nilai rasio R/C untuk usaha sepatu kelompok anggota dan non anggota memiliki nilai yang berbeda. Pengusaha sepatu yang menjadi
responden seluruhnya memperoleh keuntungan setiap output yang dijual. Sehingga nilai rasio R/Cnya memiliki nilai lebih dari satu. Nilai rasio R/C pengusaha kelompok anggota lebih besar dari pada non anggota, baik itu rasio atas biaya produksi maupun total biaya. Perbedaan nilai rasio R/C atas biaya produksi antara anggota dan Non anggota mencapai 0,0002 atau perbandingan nilainya 1,1612 : 1,1610. Sedangkan pada nilai rasio R/C atas total biaya antara anggota dan non anggota selisihnya mencapai 0,0017 atau perbandigan nilainya 1,0656 : 1,0639. Tabel 13 Rata-rata Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Sepatu Kelompok Anggota dan Non anggota BAIK per Bulan pada Tahun 2008 No
Uraian
I
PENDAPATAN Pendapatan Kotor Pendapatan Atas Biaya Produksi Pendapatan Atas Total Biaya RASIO R/C Rasio R/C Atas Biaya Produksi Rasio R/C Atas Total Biaya
II
Anggota BAIK Nilai (Rp) 20.333.000 2.822.375 1.252.175
Non anggota BAIK Nilai (Rp) 24.615.500 3.413.451 1.479.351
Gabungan
1,1612 1,0656
1,1610 1,0639
1,1729 1,0746
Nilai (Rp) 22.474.250 3.313.646 1.561.996
Nilai rasio tersebut memberikan indikasi bahwa berdasarkan pada rasio pendapatan atas biaya produksi, kelompok anggota lebih efisien dibandingkan kelompok non anggota. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa usaha sepatu kelompok anggota lebih menguntungkan daripada usaha kelompok non anggota. Bila responden usaha anggota dan non anggota Koperasi Baitul Ikhtiar dianalisis menjadi satu, maka pendapatan secara keseluruhan akan lebih rendah dari pada non anggota dan akan lebih tinggi pada kelompok anggota. Bila dihitung tingkat profitabilitas usaha, atau rasio pendapatan-biaya, nilainya lebih tinggi daripada kedua kelompok. Namun nilai tersebut tidak terlalu jauh daripada nilai rasio kedua kelompok. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa tingkat keuntungan usaha sepatu di Desa Sukaluyu tidak terlalu menguntungkan bila
dilihat dari rasio R/C yang hanya sebesar 1,07. Hal ini berarti bahwa setiap Rp 1 yang dikeluarkan untuk biaya produksi, hanya akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1,07. Biaya yang digunakan pada proses produksi terdiri atas biaya produksi dan biaya yang diperhitungkan. Biaya produksi terdiri dari biaya sarana produksi yang meliputi pembelian kain, lem putih dan kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari dan lebih dari satu, tamsin, sol, tenaga kerja, variasi atau hiasan, minyak tanah, dan kardus serta biaya produksi tidak langsung yang meliputi biaya transportasi. Sedangkan biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja keluarga, dalam hal ini istri sebagai pekerja bagian dalam, penyusutan, konsumsi pekerja yang sifatnya suka rela, dan biaya potongan giro sebagai bantuan modal dari grosir. Struktur biaya dalam produksi sepatu kelompok anggota dan non anggota dapat dilihat pada Tabel 14. Total biaya yang digunakan dalam proses produksi usaha sepatu kelompok anggota sebesar Rp 19.080.825 per bulan, sedangkan biaya produksi yang menjadi pengeluaran pasti adalah sebesar Rp 17.510.625. Total biaya tersebut digunakan untuk biaya produksi dan biaya yang diperhitungkan dengan persentase pemakaian yang berbeda-beda. Bila dihitung rata-rata per kodi, besar total biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp 297.209. Di sisi lain, biaya yang digunakan pada produksi sepatu kelompok non anggota mempunyai total biaya sebesar Rp 23.136.149 dengan biaya produksi sebesar Rp 21.202.049 dan total biaya per kodi mencapai Rp 334.821 yang lebih besar daripada total biaya per kodi dari usaha anggota. Nilai rata-rata ini dapat
menjadi indikasi kedua bahwa usaha sepatu anggota lebih efisien dibandingkan usaha sepatu non anggota. Bila responden pengusaha sepatu dianalisis secara menyeluruh didapatkan bahwa nilai total biaya usaha berbeda diantara total biaya anggota dan non anggota Koperasi BAIK. Pembentukan nilai total biaya banyak dipengaruhi oleh besarnya tingkat produksi yang berdampak pada penggunaan input dan biayanya, disamping harga masing-masing input tersebut. Tabel 14
Rata-rata Biaya Produksi Usaha Sepatu Responden Pengusaha Sepatu di Desa Sukaluyu pada Tahun 2008 URAIAN
Jumlah Produksi (kodi) 1.1 Biaya Produksi A. Biaya Produksi Langsung a. Kain (meter) b. Lem Putih (liter) c. Lem Kuning (liter) d. Lateks (liter) e. Tekson < 1 (Lembar) f. Tekson > 1 (lembar) g. Tamsin (dus) h. Sol (kodi) i. Tenaga Kerja (jiwa / bulan) j. Variasi k. Minyak Tanah (liter) l. Kardus (kodi) m. Faktor Produksi Lain Jumlah Biaya Produksi Langsung B. Biaya Produksi Tidak Langsung a. Transportasi Jumlah Biaya Tidak Langsung Jumlah Biaya Produksi 1.2 Biaya yang Diperhitungkan A. Tenaga Kerja Keluarga B. Penyusutan C. Biaya Potongan Giro D. Biaya Konsumsi Pekerja Jumlah Biaya yang Diperhitungkan TOTAL BIAYA TOTAL BIAYA/KODI
Non anggota 69,1
BIAYA PRODUKSI Anggota Gabungan 64,2 66,65
4.145.960 1.172.080 1.341.360 1.459.800 487.680 1.285.300 308.000 2.073.000 4.871.552 1.466.067 103.650 898.300 1.382.000 21.116.689
3.019.380 1.325.800 1.221.000 1.259.460 505.380 1.057.200 286.000 1.605.000 3.881.605 1.263.300 96.300 834.600 963.000 17.550.285
3.571.200 1.248.940 1.281.240 1.359.720 496.560 1.171.200 308.000 1.666.250 4.360.060 1.364.684 99.975 866.450 1.166.250 18,960,653.90
207.300 207.300 21.202.049
192.600 192.600 17.510.625
199.950 199.950 19,160,603.90
414.600 200.000 562.500 757.000 1.934.100 23.136.149 334.821,259
385.200 150.000 375.000 660.000 1.570.200 19.080.825 297.209,1122
399.900 175.000 468.750 708.000 1,751,650.00 20.912.253,90 313.762,2491
Untuk memproduksi sepatu 66,65 kodi per bulan, atau sekitar 16 kodi per minggu, biaya yang dibutuhkan oleh pengusaha sepatu sebesar Rp 20 juta. Biaya produksi yang benar-benar dikeluarkan oleh pengusaha sebesar Rp 19 juta dan biaya rata-rata untuk memproduksi satu kodi sepatu diperlukan biaya total sebesar Rp 313.000. Sedangkan biaya konsumsi, penyusutan, potongan giro, dan tenaga kerja keluarga, khususnya istri, tidak pernah dikeluarkan secara langsung oleh pengusaha dari modal kerja yang diperoleh. Biaya konsumsi biasanya diperoleh dari simpanan rumah tangga sendiri, sedangkan penyusutan dan tenaga kerja keluarga tidak pernah dihitung sebagai pengeluaran produksi. Biaya tidak langsung yang terakhir adalah potongan giro. Potongan giro dilakukan secara langsung oleh toko bahan dari nilai giro yang digunakan pengusaha sepatu untuk membeli bahan baku. Potongan giro biasanya ditetapkan secara sepihak oleh pemilik toko bahan baku, sehingga dari total nilai giro yang diperoleh, pengusaha sepatu tidak pernah mendapatkan modal kerja giro secara utuh.
VI.
6.1
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI SEPATU
Analisis Fungsi Produksi Fungsi produksi yang digunakan untuk memperoleh model pendugaan
faktor produksi produksi adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam produksi sepatu meliputi bahan baku utama yang harus tersedia dalam setiap proses produksi serta dinilai sering mengalami pemborosan dalam penggunaannya. Faktor poduksi tersebut meliputi mesin jahit, kain, lem puith, lem kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari satu (Tx < 1) dan tekson ukuran lebih dari satu (Tx > 1), tenaga kerja, serta dummy anggota dan non anggota Koperasi BAIK. Tujuan pendugaan model fungsi produksi dengan menggunakan faktor produksi utama adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memiliki pengaruh terhadap produksi sepatu serta memperoleh tingkat efisiensi penggunaannya dalam memproduksi sepatu. Pengujian terhadap ketepatan model fungsi produksi dengan melihat koefisien determinasi (R-Sq), FHitung, dan P-value dari masing-masing parameter. Hasil pendugaan pertama menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan sembilan faktor produksi didapatkan bahwa model penduga mengalami gejala multikolinieritas. Hasil pendugaan fungsi Cobb-Douglas terhadap sembilan faktor produksi dapat dilihat pada Lampiran 3. Untuk mendapatkan fungsi penduga faktor produksi terbaik, maka dilakukan penghapusan beberapa faktor. Dengan dikeluarkannya beberapa faktor produksi dari fungsi Cobb-Douglas tidak berarti faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi sepatu. Akan tetapi pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dari keragaan
produksi sepatu. Penghilangan faktor yang diduga saling berkorelasi satu sama lain didasarkan pada analisis matriks korelasi pearson yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil matriks korelasi pearson tersebut, didapatkan bahwa variabel yang dikeluarkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas adalah faktor produksi lem kuning dan tekson ukuran lebih dari satu (Tx>1). Hasil pendugaan fungsi produksi yang telah disempurnakan yang terdapat pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa asumsi tidak adanya multikolinieritas pada fungsi produksi telah terpenuhi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai VIF yang tidak lebih dari 10. Selain itu, untuk uji asumsi homoskedastisitas digunakan pendekatan grafik, yaitu plot antara residual dengan fitted value yang tidak menunjukkan pola sistematis tertentu. Dari Lampiran 5 dapat dilihat gambar plot antara residual dengan fitted value dari hasil model pendugaan faktor-faktor produksi dengan tujuh variabel yang tidak menunjukkan suatu pola yang sistematis. Maka dari itu, uji asumsi dari model pendugaan faktor-faktor produksi telah dapat dipenuhi. Adapun hasil pendugaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi sepatu dapat dilihat pada Tabel 15 dan secara lebih lengkap pada Lampiran 6. Untuk melihat tingkat kelayakan (goodness of fit) suatu model, pertama-tama dengan melihat nilai dari koefisien determinasi (R2) dan probabilitas dari F-test. Nilai dari koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 96,2 persen, yang berarti bahwa 96,2 persen fungsi produksi sepatu dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model. Sedangkan nilai probabilitas F-Statistik yang lebih kecil dari alpha (α = 0,05) memberikan kesimpulan tolak H0, yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel
bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas atau secara bersama-sama faktor-faktor produksi dapat menjelaskan tingkat produksi sepatu. Selanjutnya berdasarkan uji parsial variabel, didapatkan bahwa faktor produksi kain, lem putih, lateks dan tekson ukuran kurang dari satu berpengaruh nyata terhadap variabel tingkat produksi pada taraf nyata α = 0.05, sedangkan faktor produksi yang lain seperti mesin jahit, tenaga kerja, dan dummy anggota Koperasi BAIK tidak berpengaruh nyata pada produksi sepatu. Tabel 15 Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha Sepatu Variabel Konstanta Ln Mesin Jahit Ln Kain Ln Lem Putih Ln Lateks Ln Tekson < 1 Ln Tenaga Kerja Ln Dummy R-square Prob F-Stat
Koefisien - 0,1544 0,00200 0,35801* 0,13339* 0,29446* 0,15841* 0,04626 - 0,02644 96,2 0,000
VIF 1,8 9,2 4,6 7,7 4,7 5,5 1,2
* Berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
6.2
Analisis Faktor-faktor Produksi Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi secara
umum meliputi sembilan variabel, yaitu mesin jahit, kain, lem putih dan kuning, lateks, tekson ukuran kurang dari dan lebih dari satu, tenaga kerja, serta dummy anggota Koperasi BAIK. Selain itu juga dianalisis faktor produksi mesin jahit, sebagai representasi modal, dan tenaga kerja. Dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas nilai koefisien regresi merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai yang dihasilkan dari regresi berganda untuk model fungsi produksi mempunyai nilai positif dan negatif. Nilai negatif koefisien regresi pada variabel bebas tidak
mempengaruhi kebaikan dugaan fungsi produksi Cobb-Douglas selama variabel tersebut tidak berpengaruh secara nyata pada taraf yang dikehendaki dalam uji parsial. Faktor-faktor yang mempunyai nilai positif memberikan pengaruh yang berbanding lurus dengan hasil produksi, sedangkan faktor-faktor yang bernilai negatif menunjukkan hubungan yang berkebalikan dengan hasil produksi. Dari hasil pendugaan fungsi produksi didapatkan bahwa terdapat perbedaan faktor-faktor produksi yang diduga awal berpengaruh terhadap hasil produksi dengan model fungsi produksi yang diperoleh. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh adalah mesin jahit, kain, lem putih, lateks, tekson ukuran kurang dari satu, tenaga kerja, dan variabel dummy. Dengan dikeluarkannya beberapa faktor produksi seperti lem kuning dan tekson ukuran lebih dari satu dari fungsi Cobb-Dougls tidak berarti variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi sepatu. Akan tetapi pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan model terbaik dari keragaan produksi sepatu. Dari hasil fungsi produksi tersebut dapat diperoleh nilai return to scale dari usaha sepatu yang telah dijalankan. Berdasarkan Tabel 14 didapatkan bahwa jumlah nilai elastisitas atau koefisien regresi faktor-faktor produksi sebesar 0,96609. Angka ini menunjukkan elastisitas produksi dari faktor-faktor produksi yang membentuknya. Berdasarkan nilai tersebut, berarti fungsi produksi berada di daerah II (Decreasing return to scale). Hal ini berarti bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama sebesar satu persen, maka akan meningkatkan produksi sepatu sebesar 0,96609 persen. Sehingga pengusaha sepatu perlu untuk menyesuaikan kembali jumlah input yang digunakan agar mencapai tingkat optimal, atau mencapai constant return to scale.
a. Mesin Jahit Mesin jahit memiliki pengaruh positif terhadap produksi sepatu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,002 yang berati bahwa peningkatan jumlah penggunaan mesin jahit sebesar satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,002 persen. Mesin jahit sangat dibutuhkan dalam proses produksi. Peralatan utama produsen sepatu adalah mesin jahit tersebut karena untuk mempercepat proses produksi keberadaannya sangat diperlukan. Penggunaan mesin jahit tergantung pada besaran sepatu yang akan diproduksi. Semakin besar jumlah sepatu yang akan diproduksi, kebutuhan mesin jahit juga bertambah. Kebutuhan mesin jahit biasanya juga disesuaikan dengan jumlah pekerja bagian atas. Meskipun demikian, kebutuhan mesin jahit tidak selamanya berpengaruh terhadap jumlah produksinya. Kondisi ini dapat terjadi pada pengusaha yang dapat mengelola usahanya dengan baik. Untuk mempercepat produksi, kebutuhan mesin jahit biasanya dilakukan dengan melakukan pembagian kerja yang cukup baik, yaitu dengan membagi pekerjaan bagian atas, pekerjaan yang membutuhkan penggunaan mesin jahit, antara pagi dan sore bahkan sampai malam hari. Sehingga, mesin jahit yang sedikit dapat tetap memproduksi sepatu dengan jumlah yang besar. Oleh karena itu, mesin jahit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi sepatu selama pengusaha dapat mengoptimalkan penggunaannya dengan melakukan variasi-variasi pembagian dan pengaturan kerja. b. Kain Kain memiliki pengaruh yang positif terhadap produksi sepatu, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,35801. Nilai ini menunjukkan
bahwa peningkatan penggunaan kain sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi sepatu sebesar 0,35 persen. Kain merupakan komponen utama dalam pembuatan sepatu karena perbedaan utama jenis atau model sepatu yang akan diproduksi lebih banyak ditentukan oleh jenis kain yang digunakan. Pada umumnya penggunaan kain ini berkisar 1,5 sampai 2 meter per kodi. Kebutuhan kain akan meningkat ketika jumlah produksi ditingkatkan. Penggunaan kain yang meningkat dapat memberikan indikasi bahwa tingkat produksi juga sedang menalami pertumbuhan. Ketiadaan faktor produksi kain sama saja menghambat proses produksi usaha sepatu. Maka dari itu variabel kain berpengaruh secara nyata terhadap produksi sepatu. c. Lem Putih Lem putih berpengaruh secara positif terhadap produksi sepatu, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,13339. Peningkatan lem putih sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi sepatu sebesar 0,13339 persen. Terdapat dua jenis lem dalam proses produksi sepatu, yaitu lem kuning dan lem putih yang masing-masing memiliki fungsi masing-masing. Lem putih dan lem kuning penggunaannya tidak substitusional, melainkan saling melengkapi. Namun, setiap model tidak selalu membutuhkan jumlah kedua lem yang sama besar. Kebutuhan lem tersebut dipengaruhi oleh jenis atau model sepatu yang akan diproduksi. Lem putih lebih banyak dibutuhkan untuk sepatu model balet. Kebutuhan responden terhadap lem putih cukup tinggi kerena pada umumnya pengusaha tersebut memproduksi sepatu jenis balet. Semakin tinggi penggunaan lem putih,
hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi sepatu juga sedang mengalami peningkatan. Maka dari itu, dari uji statistik dapat dibuktikan bahwa lem putih berpengaruh nyata pada produksi sepatu pada taraf α = 5 persen. d. Lateks Lateks berpengaruh secara positif terhadap produksi sepatu dengan nilai elastisitas 0,29446. Hal ini berarti bahwa kenaikan lateks sebesar satu persen akan meningkatkan produksi sepatu sebesar 0,29446 persen. Kebutuhan lateks yang harus ada pada setiap produksi sepatu menjadikan keberadaannya sangat dibutuhkan, tidak tergantung model dan jenis sepatu yang akan diproduksi. Hal ini juga dibuktikan dalam uji statistik yang secara siginifikan berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen. dengan nilai p-vaue sebesar 0,000. e. Tekson < 1 Tekson ukuran kurang dari satu berpengaruh secara positif terhadap produksi sepatu dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,15841, yang berarti bahwa peningkatan sebesar satu persen tekson akan meningkatkan produksi sebesar 0,15841 persen. Tekson merupakan faktor produksi yang digunakan sebagai alas sepatu agar nyaman dalam penggunaannya. Terdapat dua jenis tekson pada produksi sepatu, yaitu tekson ukuran kurang dari dan lebih dari satu, yang dalam penelitian ini peneliti simbolkan dengan tekson<1 atau tekson >1. Masingmasing jenis tekson memiliki kegunaan yang sama, namun disesuaikan dengan jenis atau model sepatu yang akan diproduksi. Sepatu balet, yang merupakan jenis sepatu yang banyak diproduksi oleh responden, sangat membutuhkan tekson<1. Peningkatan penggunaan tekson<1 menunjukkan bahwa produksi sepatu balet juga sedang mengalami pertumbuhan
karena tanpa ada tekson sepatu menjadi tidak nyaman untuk digunakan. Maka dari itu tekson<1 berpengaruh secara nyata terhadap produksi sepatu. Selain karena untuk menjaga ketebalan sepatu, juga disebabkan harga yang relatif murah dibandingkan tekson ukuran lebih dari satu. Maka dari itu kebutuhan tekson akan meningkat seiring dengan peningkatan produksi sepatu. f. Tenaga Kerja Penggunaan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produksi sepatu dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,04626, yang berarti bahwa penambahan jumlah tenaga kerja satu persen akan meningkatkan poduksi sepatu sebesar 0,0426 persen. Tenaga kerja merupakan komponen yang penting dalam proses produksi karena kerajinan sepatu di Desa Sukaluyu merupakan usaha yang padat karya. Meskipun demikian, jumlah tenaga kerja yang lebih besar tidak menjamin produksi juga akan meningkat karena sistem produksi sepatu masih memberikan kebebasan kepada pekerja untuk menentukan tingkat produksi yang akan dihasilkan. Hal ini dapat terjadi ketika pengelolaan tenaga kerja tidak dilakukan untuk mencapai target produksi dengan waktu tertentu. Meskipun pekerja merupakan pegawai, pengusaha tidak memiliki wewenang yang besar terhadap pekerja karena pada umumnya pekerja merupakan tetangga atau saudara sendiri, sehingga manajerial usaha tidak berjalan secara efektif. Selama ini pembagian kerja ditentukan oleh pekerja sendiri, yang berarti bahwa terjadi ketidakjelasan tugas dan peran masing-masing. Selain itu, dalam usaha sepatu terdapat jargon bahwa pekerja yang ingin mendapatkan pendapatan yang lebih besar sebaiknya lebih bekerja keras, sehingga rata-rata produktivitas per pekerja relatif tidak sama per periodenya, misalnya per hari. Oleh karena itu,
jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi sepatu selama sistem produksinya tidak memberikan kepastian kerja dan target produksi per pekerja. Di samping itu, tenaga kerja merupakan faktor produksi yang membutuhkan biaya besar. Produktivitas tambahan tenaga kerja juga tergantung pada kapasitas pekerja yang dipekerjakan. Kapasitas tersebut lebih ditentukan oleh pengalaman pekerja. Pada umumnya pekerja yang telah berpengalaman memiliki upah yang mahal dan cenderung membuka usaha sepatu sendiri, sehingga para pekerja sepatu umumnya merupakan tenaga kerja muda yang belum lama memiliki pengalaman sebagai pengrajin sepatu. Maka dari itu tingkat produktivitasnya cenderung kecil dan bisa negatif. g. Dummy Anggota dan Non anggota Koperasi BAIK Menjadi anggota tidak berarti dapat meningkatkan produksi sepatu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai koefsien regresi sebesar –0,02644, yang berarti bahwa produksi anggota koperasi memiliki tingkat produksi yang lebih rendah sebesar 0,02644 persen dibandingkan bukan anggota koperasi. Hal ini dapat memberikan indikasi awal bahwa rata-rata responden anggota memiliki skala usaha sepatu yang lebih rendah daripada bukan aggota.. Namun dugaan ini tidak sepenuhnya benar bila dilihat dari rata-rata tingkat produksi sepatu yang tidak jauh berbeda, yaitu antara 64 kodi perbulan untuk anggota dan 69 kodi untuk bukan anggota. Selain itu dalam uji-t two paired tingkat produksi tidak mengalami perbedaan jumlah produksi perbulan. Maka dari itu, koefisien dummy tidak memiliki pengaruh nyata terhadap produksi sepatu.
Besar kecilnya tingkat produksi tidak dipengaruhi oleh keikutsertaan menjadi Koperasi BAIK. Salah satu faktor diduga menjadi determinan rendahnya produksi sepatu anggota Koperasi BAIK adalah masalah arus kas usaha. Menurut pengelola Koperasi BAIK, anggota koperasi yang memiliki usaha sepatu memiliki tingkat usaha yang relatif lebih rendah daripada non anggota sehingga mengalami arus kas yang lebih tidak lancar dibanding bukan anggota dan membutuhkan koperasi untuk mendukung keuangan dan arus kasnya.
6.3
Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Efisiensi ekonomi dari penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha
sepatu dapat dilihat dari hasil perbandingan Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM). Proses produksi secara ekonomi dikatakan efisien jika dalam dalam proses produksi tersebut terdapat perbandingan NPM dan BKM sama dengan satu untuk semua faktor produksi yang digunakan. Pada kondisi yang demikianlah dikatakan bahwa penggunaan faktor produksi pada suatu usaha dalam kondisi optimal. Jika nilai perbandingan antara NPM terhadap BKM memiliki nilai lebih dari satu, hal ini disebabkan karena penggunaan faktor produksi yang kurang efisien dan untuk mencapai nilai optimal penggunaan faktor tersebut harus ditambahkan. Sedangkan bila nilai rasio NPM-BKM kurang dari satu, faktor harus dikurangkan karena penggunaannya dalam produksi terlalu berlebihan. Hal ini juga menjadi perhatian utama dalam analisis efisiensi ekonomi penggunaan faktor produksi pada industri sepatu di Desa Sukaluyu.
Penggunaan faktor-faktor produksi tidak dapat diberikan suatu standar tertentu dalam memproduksi sepatu karena kebutuhan faktor produksi lebih dipengaruhi oleh variasi atau model sepatu yang diproduksi. Variasi sepatu pada masing-masing pengusaha biasanya berbeda-beda tergantung inovasi yang dilakukan pengusaha dan pesanan yang diterima. Namun, dari berbagai macam variasi model sepatu, produk sepatu pada Iudustri sepatu di Desa Sukaluyu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu sepatu balet dan fantovel. Biasanya suatu usaha sepatu tidak memiliki jadwal yang spesifik mengenai jadwal jenis sepatu yang akan diproduksi. Sehingga generalisasi terhadap tingkat efisiensi usaha tidak dapat ditentukan secara tepat karena pengusaha dapat memproduksi sepatu dengan berbagai macam jenis dalam satu kali masa produksi. Maka dari itu, hasil dalam perumusan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi bukan merupakan patokan utama tingkat efisiensi utama dalam proses produksi. Tingkat efisiensi ekonomi dari penggunaan faktor produksi pada industri sepatu di Desa Sukaluyu dapat dilihat pada Tabel 16 dengan rata-rata tingkat produksi mencapai 66,65 kodi perbulan dan rata-rata harga produk sebesar Rp 331.083. Secara lengkap tingkat produksi serta kebutuhan faktor-faktor produksi dapat dilihat pada Lampiran 7. Pada Tabel 16, penggunaan faktor-faktor produksi usaha sepatu pengusaha sepatu di Desa Sukaluyu per bulan belum mencapai kondisi optimal karena nilai perbandingan NPM/BKM tidak sama dengan satu. Perhitungan nilai NPM dan rasio NPM terhadap BKM secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Faktor produksi kain, lem putih, lateks dan tekson<1 memiliki nilai perbandingan
NPM/BKM lebih besar dari satu, sedangkan mesin jahit dan tenaga kerja memiliki nilai NPM/BKM lebih kecil dari satu. Berdasarkan rasio tersebut, faktor produksi kain, lem putih, lateks dan tekson<1 harus ditingkatkan pemakaiannya sedangkan tenaga kerja jumlah penggunaannya harus dikurangi untuk mencapai hasil yang optimum. Secara umum penggunaan faktor-faktor produksi tersebut masih rendah karena keterbatasan modal dan pasar untuk meningkatkan produksi serta untuk menghemat biaya produksi. Tabel 16 Rasio Nilai Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal Produksi Usaha Sepatu di Desa Sukaluyu Faktor Produksi Mesin Jahit Kain Lem Putih Lateks Tekson < 1 Tenaga Kerja
Satuan Buah Meter Liter Liter Liter Jiwa
Rata-rata Faktor Produksi 2,67 119,04 89,21 75,54 82,76 7,08
NPM
BKM
NPM/BKM
16.529,35 66.365,03 32.994,89 86.017,41 42.237,59 144.181,46
250.000 30.000 14.000 18.000 6.000 615.828
0,066 2,212 2,357 4,779 7.039 0,234
Agar rasio NPM-BKM sama dengan satu, maka pada penggunaan mesin jahit sebaiknya tidak seluruh kepemilikan dipergunakan dalam proses produksi cukup satu buah mesin jahit untuk tingkat produksi yang saat ini. Kemudian, pemakaian kain yang optimal adalah dinaikkan menjadi 263,34 meter, lem putih menjadi 210,25 liter, lateks menjadi 360,99 liter, dan tekson<1 menjadi 582,6 lembar, sedangkan jumlah tenaga kerja yang optimal cukup dipekerjakan 1,66 jiwa dalam satu kali proses produksi. Perhitungan nilai optimal secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9 dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17. Dengan produksi sebesar 66,65 kodi perbulan, penggunaan mesin jahit sebaiknya dikurangi untuk mencapai biaya optimal dan meningkatkan pendapatan pengusaha. Meskipun demikian, kepemilikan mesin jahit tidak harus dikurangi
agar dapat mencapai optimal. Mesin jahit digunakan secara berlebihan karena pembagian kerja yang tidak jelas pada pegawai sehingga seluruh mesin jahit yang dimiliki digunakan untuk mempercepat kerja tukang atas. Maka dari itu juga perlu mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang akan dipekerjakan. Ketika jadwal teratur dan target setiap pekerja ditentukan secara jelas, maka tingkat efisiensi pekerja akan lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen usaha dalam menjalankan rencananya. Tabel 17 Kombinasi Optimal Penggunaan Input Produksi Sepatu Faktor Produksi Mesin Jahit Kain Lem Putih Lateks Tekson < 1 Tenaga Kerja
Rata-rata Faktor Produksi 2,67 119,04 89,21 75,54 82,76 7,08
NPM
BKM
NPM/BKM
16.529,35 66.365,03 32.994,89 86.017,41 42.237,59 144.181,46
250.000 30.000 14.000 18.000 6.000 615.828
1 1 1 1 1 1
Penggunaan Input Optimal 0,18 263,34 210.25 360,99 582,60 1,66
Penggunaan sarana produksi seperti kain, lem putih, lateks dan tekson<1 mengalami peningkatan yang cukup besar untuk mencapai kondisi optimal. Hal ini dapat dilihat pada akhir produksi yang menyisakan bahan baku seperti kain dalam jumlah yang cukup besar. Penamabahan bahan baku kain, lem putih, lateks dan tekson < 1 secara bersama-sama dilakukan sebagai cara memanfaatkan bahan baku yang sisa untuk memproduksi sepatu secara menguntungkan.
VII
7.1
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHA SEPATU Analisis Model Regresi Pendapatan Usaha Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha,
penelitian ini menggunakan model regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Model tersebut dipilih atas dasar kepraktisan tetapi tidak mengurangi kehandalan metode. Selain itu, penulis meyakini bahwa data yang dianalisis mengikuti model linier dan model ini dapat menjelaskan tentang keadaan yang tejadi di tempat penelitian. Untuk menentukan model yang terbaik sebelum menerima model, dilakukan pengujian terlebih dahulu dengan pertimbangan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha sepatu di Desa Sukaluyu. Faktorfaktor yang diduga mempengaruhi pendapatan usaha sepatu (π) yaitu, harga jual sepatu (Py), harga kain (Px1), lem putih (Px3), tekson kurang dari dan lebih satu (Px4 dan Px5), dan lateks (Px6), serta keikutsertaan menjadi anggota yang merupakan variabel dummy (D1). Adapun hasil pendugaan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha dapat dilihat pada Tabel 18 dan secara lebih lengkap pada Lampiran 10. Untuk melihat tingkat kelayakan atau kebaikan suai suatu model, pertama-tama dengan melihat nilai dari koefisien determinasi (R2) dan probabilitas dari f-test. Nilai dari koefisien determinasi menunjukkan bahwa 15,9 persen tingkat pendapatan usaha sepatu dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
yang terdapat dalam model, sedangkan 84,1 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tergabung dalam variabel error. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel pendapatan, perlu dilakukan pengujian terhadap nilai Prob (F-Statistic). Nilai Prob (F-Statistic) yang lebih kecil dari alpha (α =0,3) memberikan kesimpulan tolak H0 yang berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Selanjutnya berdasarkan uji parsial variabel, didapatkan bahwa variabel harga jual sepatu dan lem putih berpengaruh nyata pada pendapatan usaha pada taraf 20 persen, sedangkan harga tekson kurang dari dan lebih dari satu berpengaruh nyata pada taraf 30 persen. Tabel 18 Hasil Pendugaan Model Regresi Linier Berganda Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Variabel
Koefisien
Konstanta Harga jual sepatu Harga kain Harga lem putih Harga lateks Harga tekson<1 Harga tekson > 1 Dummy R-square
107.683 0,01526** - 0,05795 - 1,4083** - 0,7583 - 3,233* - 2,401* 895 15,9
VIF 1,8 1,6 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 Prob (F-Stat)
Є = dy . x dx y 0,1496 - 0,0558 - 0,6 - 0,38 - 0,603 - 0,7365 0,0397 0,224
** Berpengaruh pada taraf 20 persen * Berpengaruh pada taraf 30 persen Setelah melihat nilai dari koefisien determinasi, F-test, dan T-test, langkah selanjutnya dalam melihat kelayakan suatu model adalah dengan melakukan uji asumsi. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah dalam model terdapat pelanggaran asumsi atau tidak.
Pertama yaitu pengujian multikolinieritas untuk memastikan tidak ada hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai dari Value Inflation Factor (VIF). Apabila nilai VIF ini lebih dari 10 berarti pada model terdapat masalah multikolinieritas. Nilai VIF yang diperoleh pada Tabel 18 berkisar antara 1,1 sampai 1,8 yang berarti bahwa pendugaan model yang diperoleh tidak menunjukkan masalah multikolinieritas. Pengujian kedua yaitu mengenai heteroskedastisitas untuk memastikan varian tiap unsur gangguan adalah konstan, tidak bergantung pada nilai yang dipilih dalam variabel yang menjelaskan. Pendeteksian dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu melihat penyebaran nilai residual yang tidak membentuk suatu pola tertentu, sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi homoskedastisitas dapat dipenuhi. Gambar pada Lampiran 11 memperlihatkan bahwa plot antara residual dengan fitted value menunjukkan tidak adanya pola yang sistematis, sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat heteroskedastisitas dalam persamaan regresi yang diperoleh. Untuk mempermudah mengukur atau menilai pengaruh perubahan variabel bebas terhadap variabel tak bebas, nilai koefisien regresi, yang merupakan nilai gradien, perlu ditransformasikan menjadi bentuk nilai elastisitas. Hal ini dianggap lebih dapat menjelaskan hubungan antara variabel independen dan dependen. Nilai elastisitas masing-masing variabel yang membentuk faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dapat dilihat pada Tabel 18.
7.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Sepatu Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha meliputi faktor
yang berpengaruh dalam pembentukan keuntungan usaha. Faktor-faktor tersebut terdiri atas harga jual dan harga input produksi sepatu dalam satu periode tertentu, yaitu harga kain, lem putih, lateks, tekson kurang dari dan lebih dari satu, serta dummy menjadi anggota Koperasi BAIK. Dalam model fungsi regresi linier berganda, nilai koefisien regresi merupakan nilai gradien dari masing-masing variabel tersebut. Nilai tersebut dapat berupa nilai positif atau negatif. Nilai positif berarti variabel independen berpengaruh meningkatkan variabel dependen ketika variabel tesebut juga meningkat, sedangkan nilai negatif berhubunga saling berlawanan antara variabel bebas dan tak bebas. Pemberian tafsiran atas koefisien regresi akan lebih jelas bila ditransformasikan dalam bentuk elastisitas. Elastisitas dapat memperjelas perubahan faktor dependen akibat perubahan faktor independen. a. Harga jual sepatu Bersama-sama dengan tingkat produksi, harga produk juga merupakan variabel pembentuk pendapatan usaha. Maka dari itu, dari hasil analisis diperoleh bahwa harga jual berpengaruh secara positif terhadap pendapatan usaha, yang ditunjukkan melalui koefisien regresi sebesar 0,01526. Semakin tinggi harga jual produk, maka akan semakin besar pula pendapatan yang akan diterima. Besarnya peningkatan pendapatan atau keuntungan mencapai 0,1496 persen setiap peningkatan harga sebesar 1 persen. Pada umumnya, sepatu dengan jenis yang sama memiliki harga yang relatif sama. Selisih harganya tidak terlalu besar antara sepatu yang dihasilkan
satu pengusaha dengan pengusaha yang lain dalam satu jenis sepatu. Namun, selisih antara satu jenis dengan jenis yang lain dapat mencapai dua kali lipat. Maka dari itu, rata-rata pengusaha yang menjual sepatu jenis fantovel, sepatu dengan harga yang lebih mahal dibandingkan jenis balet, memiliki kondisi skala perekonomian usaha dan rumahtangga yang lebih baik. Oleh karena itu, harga jual tersebut berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan usaha. Meskipun demikian, harga produk, seperti halnya besaran produksi, tidak dapat ditentukan oleh pengusaha sepatu secara mandiri. Harga jual lebih banyak ditentukan oleh toko sepatu. Pengusaha tidak memiliki kontrol terhadap harga produknya, sehingga laba yang diperoleh juga tidak dapat ditentukan. Maka dari itu, hal ini menjadi alasan kecilnya rasio R/C responden pengusaha sepatu di Desa Sukaluyu, yaitu sebesar 1,07 yang berarti bahwa setiap Rp 1 juta biaya yang dikeluarkan, hanya akan mendapatkan hasil sebesar Rp 70.000. b. Harga Kain Harga kain berpengaruh negatif terhadap keuntungan usaha, yang diindikasikan pada nilai koefisien regresi sebesar –0,05795. Harga kain berpengaruh menurunkan keuntungan sebesar 0,0558 persen setiap peningkatan harga kain sebesar satu persen. Namun harga kain ini tidak berpengaruh nyata terhadap keuntungan sepatu pada taraf 30 persen. Pengaruh negatif harga kain terhadap keuntungan usaha sudah diduga sejak awal. Kain ini merupakan input yang memerlukan biaya terbesar kedua setelah tenaga kerja. Semakin meningkat harga kain tentu akan meningkatkan pula proporsi biaya kain terhadap biaya produksi.
Harga yang meningkat pada kain dapat disebabkan pada kelangkaan keberadaannya di pasar. Kebutuhan kain yang besar ini menimbulkan persoalan tersendiri ketika kebutuhannya besar namun tidak dapat dipenuhi dengan cepat. Meskipun kondisi ini jarang terjadi, namun kejadian sekali saja sangat merugikan pengusaha dalam mengalokasikan modalnya karena biasanya dapat menunda waktu produksi usaha. Salah satu cara dalam mengatasi kelangkaan ini biasanya pengusaha sepatu menggunakan jenis dan motif kain yang lain yang tentunya telah dinegosiasikan ulang dengan pengusaha outlet sepatu. Sehingga, meskipun harga kain meningkat, pengusaha dapat memilih dan menegosiasikan ulang orderan sepatunya. Hal ini yang diduga menyebabkan harga kain tidak berpengaruh nyata terhadap keuntungan usaha. c. Harga lem putih Dalam pembahasan sebelumnya, lem putih berpengaruh secara positif terhadap produksi sepatu. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan lem putih terhadap produksi sepatu. Ketergantungan produksi sepatu terhadap lem putih ini berpengaruh pada keuntungan usaha ketika harga input tersebut berubah. Dugaan ini dibuktikan dengan koefisien regresi lem putih dalam menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keuntungan usaha yang bernilai negatif, yaitu sebesar –1,4083, atau dapat diartikan bahwa setiap kenaikan harga lem putih sebesar satu persen akan berdampak pada penurunan keuntungan usaha sebesar 0,6 persen. Lem putih lebih banyak dibutuhkan untuk sepatu model balet. Kebutuhan responden terhadap lem putih cukup tinggi kerena pada umumnya pengusaha tersebut memproduksi sepatu jenis balet. Semakin tinggi penggunaan lem putih,
hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat produksi sepatu juga sedang mengalami peningkatan. Maka dari itu, dari uji statistik dapat dibuktikan bahwa lem putih berpengaruh nyata pada produksi sepatu pada taraf α = 20 persen. d. Harga lateks Kebutuhan lateks yang harus ada pada setiap produksi sepatu menjadikan keberadaannya sangat dibutuhkan, tidak tergantung model dan jenis sepatu yang akan diproduksi. Hal ini juga dibuktikan bahwa lateks berpengaruh secara nyata pada tingkat produksi sepatu. Maka dari itu, perubahan harga lateks tentunya akan berdampak pada keuntungan usaha karena pengusaha membutuhkan modal lebih untuk menghasilkan tingkat produksi yang sama. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar –0,7583 dan dampak peningkatan harga lateks sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan keuntungan sebesar 0,38 persen. Penggunaan lateks tidak dapat ditukarkan dengan input lain karena kekhususan dari faktor produksi tersebut. Maka dari itu kebutuhan lateks sangat dibutuhkan dalam produksi sepatu. Meskipun demikian, kualitas lateks juga menentukan harganya. Biasanya, penggunaan lateks dengan kualitas tertentu akan disesuaikan dengan jenis sepatu yang akan diproduksi. Sehingga harga lateks tidak berpengaruh terhadap keuntungan usaha. Harga lateks lebih tinggi dapat diartikan bahwa harga sepatu yang diproduksi juga lebih mahal, meskipun hal ini tidak selalu terjadi pada pengusaha sepatu. e. Harga tekson Tekson merupakan faktor produksi yang digunakan sebagai alas sepatu agar nyaman dalam penggunaannya. Terdapat dua jenis tekson pada produksi
sepatu, yaitu tekson ukuran kurang dari dan lebih dari satu, yang dalam penelitian ini peneliti simbolkan dengan tekson<1 atau tekson >1. Masing-masing jenis tekson memiliki kegunaan yang sama, namun disesuaikan dengan jenis atau model sepatu yang akan diproduksi. Penggunaan tekson ini dapat saling dipertukarkan, sehingga apabila harga salah satu jenis tekson meningkat akan menyebabkan peningkatan penggunaan tekson jenis ukuran yang lain. Namun permasalahannya adalah ketika harga salah satu tekson naik, jenis tekson yang lain juga mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan bahwa dengan peningkatan harga tekson dapat mengurangi keuntungan usaha karena pengusaha tidak dapat memilih tekson dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat ditunjukkan pada nilai koefisien regresi masingmasing variabel tersebut. Pada tekson kurang dari satu, nilai koefisien regresi variabel tersebut sebesar -3,233, sedangkan pada variabel tekson ukuran lebih dari satu sebesar -2,401. Perubahan harga tekson tersebut mempengaruhi jumlah produksi. Pada tekson ukuran kurang dari satu, perubahan harga yang meningkat sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan pada keuntungan usaha sebesar 0,603 persen, sedangkan pada tekson ukuran lebih dari satu menyebabkan penurunan keuntungan sebesar 0,7365. Pada kasus usaha sepatu responden pada penelitian ini, penggunaan jenis tekson yang berpengaruh terhadap produksi sepatu adalah tekson ukuran kurang dari satu karena ukuran tersebut sesuai dengan jenis sepatu yang diproduksi. Oleh karena itu, tekson ukuran kurang dari satu memiliki pengaruh yang cukup besar
dibandingkan tekson ukuran lebih dari satu yang ditunjukkan dengan nilai koefisien yang lebih kecil. f. Dummy Anggota Koperasi Baitul Ikhtiar Dari bab sebelumnya didapatkan bahwa menjadi anggota berdampak pada produksi sepatu yang lebih rendah. Namun pada analisis pendapatan, menjadi anggota berpengaruh positif terhadap pendapatan usaha sepatu yang ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi sebesar 895. Pengaruh menjadi anggota terhadap peningkatan pendapatan adalah positif, yaitu sebesar 0,0397 persen lebih tinggi dibandingkan pengusaha yang bukan anggota. Menjadi anggota tidak menyebabkan perbaikan dalam produksi karena, sekali lagi bahwa, produksi tidak ditentukan oleh besarnya modal yang dimiliki oleh pengusaha, namun dipengaruhi oleh pesanan dari grosir sepatu dan mekanisme produksi yang berlaku pada industri sepatu. Selain itu, menjadi anggota berpengaruh positif terhadap pendapatan disebabkan anggota memiliki lebih banyak uang tunai, dalam bentuk tabungan, sebagai modal usaha relatif terhadap non anggota. Modal ini dapat digunakan sebagai cadangan untuk tetap berproduksi meskipun tidak ada pesanan dari toko sepatu dan menjualnya dalam bentuk eceran yang tidak biasa dilakukan oleh pengusaha sepatu. Hal ini dapat dikaji lebih jauh dengan melihat tingkat profitabilitas usaha sepatu anggota yang lebih tinggi daripada non anggota. Pada bab sebelumnya didapatkan bahwa nilai R/C atas total biaya produksi pada anggota sebesar 1,0656 dibandingkan nilai R/C non anggota sebesar 1,0639. Nilai ini menunjukkan bahwa menjadi anggota dalam berusaha sepatu lebih menguntungkan daripada tidak menjadi anggota.
Meskipun terdapat perbedaan nilai R/C tersebut, hal yang perlu diperhatikan bahwa nilai perbedaan rasio tersebut begitu kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan secara signifkan antara pendapatan anggota dan non anggota. Beberapa hal yang menjadi sebab dari kondisi ini adalah pengusaha tidak memanfaatkan seluruh pembiayaan untuk tujuan usaha sepatu, yang diduga dapat meningkatkan rasio tersebut. Uji statistik juga menunjukkan bahwa menjadi anggota tidak berpengaruh nyata pada taraf α = 30 persen.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap produksi sepatu dan tingkat efisiensi penggunaannya serta analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha pada industri mikro dan kecil sepatu di Desa Sukaluyu, maka dapat diambil kesimpulan sebaga berikut: 1. Faktor-faktor produksi kain, lem putih, lateks, dan tekson ukuran kurang dari satu berpengaruh secara nyata terhadap produksi sepatu pada taraf alpha (α) 5 persen, sedangkan mesin jahit dan tenaga kerja serta dummy anggota koperasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi sepatu. 2. Tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada industri sepatu di Desa Sukaluyu tergolong rendah. Faktor produksi yang penggunaannya perlu ditambah adalah kain, lem putih, lateks, tekson ukuran kurang dari satu. Sedangkan faktor tenaga kerja dan mesin jahit penggunaannya perlu dikurangi. 3. Faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha secara nyata pada taraf alpha (α) 20 persen adalah harga jual sepatu dan lem putih, sedangkan harga tekson kurang dari dan lebih dari satu berpengaruh nyata pada taraf 30 persen. Faktor-faktor lain, seperti harga kain dan lateks serta variabel dummy tidak berpengaruh nyata pada pendapatan usaha.
8.2
Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan pada industri sepatu di Desa
Sukaluyu, dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Sebaiknya pengusaha mulai membuat perencanaan kerja secara jelas, yang meliputi target produksi dan pendapatan yang akan dicapai setiap periode tertentu, khususnya per bulan. Perencanaan kerja akan membantu pengusaha dalam mengelola proses usaha sepatu, baik dalam pembagian kerja dan pemasaran produk. 2. Diperlukan intervensi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dalam memberikan fasilitasi pendanaan permodalan bagi industri sepatu di Kecamatan Tamansari pada umumnya. Hal ini didasarkan bahwa pengusaha sepatu tidak dapat mengontrol harga jual dari output mereka, disamping ketidakefisienan
usaha
salah
satunya
disebabkan
karena
pengusaha
mendapatkan harga yang lebih mahal dengan modal yang sudah ada sekarang. Selain itu bantuan penyuluhan dalam hal proses produksi dan informasi pemasaran juga sangat dibutuhkan oleh pengusaha sepatu. 3. Pada penelitian lanjutan diharapkan untuk lebih membedakan variasi-variasi dari model sepatu yang mempengaruhi tingkat perbedaan harga jual sepatu dan harga input produksi.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2006. Kajian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Usaha UKM di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 1 tahun 1-2006. Asmita, Budi. 2008. Peran LKMS dalam Pengentasan Kemiskinan. Disampaiakan dalam Seminar Peran Microfinance : Optimalisasi UMKM di Indonesia. STEI TAZKIA 29 April 2008. Bogor Basri, Faisal H. 2003. Dinamika UKM di Antara Gemuruh Retorika Politik dan Mitos. Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Denpasar. BPS. 2008. Perkembangan Indikator Makro UKM Tahun 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Doll, J.P. dan O. Frank. 1986. Production Economis. John Willey & Son Inc. New York Goodland, Andrew, et al. 1999. Rural Finance. Natural Resource Institute : Universty of Granweech. United Kingdom. Gordon, Ann & Craig, Catherine. 2001. Rural Non Farm Activities and Poverty Alleviation in Sub Saharan Africa. National Resource Institute. The University of Greenwich. United Kingdom Gujarati, D & S. Zain. 1999. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta. Harahap, Sri Hastuti. 1998. Curahan Kerja, Pendapatan, dan Pengeluaran Rumah Tangga Sektor Informal Pedagang Kaki Lima di Tiga Pasar Kodya Bogor. Skripsi Sarjana. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hartini, Titik. 2004. Upaya Pemberdayaan Perempuan Usaha Kecil. Analisis Pendamping Perempuan Usaha Kecil. www.asppuk.co.id (diakses tanggal 20 april 2008, pada pukul 21.00 WIB) Hastuti, dkk. 2003. Buku I : Peta Upaya Penguatan usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat Tahun 1997-2003. SMERU. Jakarta
__________. 2003. Buku II Upaya Penguatan Usaha Mikro dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan (Sukabumi, Bantul, Kebumen, Padang, Surabaya, Makasar). SMERU. Jakarta HM, Jogiyanto. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Penerbit Andi. Yogyakarta Inserra, Anne. 1996. A Review of Approaches for Measurement of Microenterprise and household income. Management Systems Intermational. Washington DC. Khandker, Shahidur R. 1998. Fighting Poverty with Microcredit : Experiencing in Bangladesh. Oxford University Press. New York. Kohler, Heinz. 2002. Statistic for Business and Economics : Minitab Enhanced. Thomson Learning. USA Koutsoyiannis, A. 1977. Modern Economics. The Macmillan Press ltd. London and Bassingstoke Lipsey, R.G. et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara. Jakarta Meier, G.M. & R.E. Baldwin. 1965. Pembangunan Ekonomi Jilid II. Bhratara. Jakarta Mustofa, Rohmat. 2008. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tahu. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosia Ekonomi Pertanian, Fakultas Petanian, Institut Pertanian Bogor. Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nelson, Candace. 1996. Learning From Clients. Assessment Tools for Microfinance Practitioners. The SEEP Network. New York. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro : Prinsip Pengembangannya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Dasar
dan
Peramu. 2007. Pendayagunaan Dana Zakat Infaq Shadaqah (Zis) : Solusi Jitu Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Studi kasus Pengembangan Program Ikhtiar oleh Baytul Maal Bogor). Peramu. Bogor.
______. 2006. Laporan Tahunan Program Unit Pelayanan Keuangan (UPK) IKhtiar. Peramu. Bogor. ______. 2007. Laporan Tahunan Program Unit Pelayanan Keuangan (UPK) IKhtiar. Peramu. Bogor. Pemerintahan Desa Sukaluyu. 2006. Potensi Desa Sukaluyu. Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Prasetya, Tunggal Widyanti. 2007. Analisis Ekonomi Rumah Tangga Pengusaha Industri Kecil Tahu Kuning di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Reardon, Thomas, et al. 2006. Household Income Diversification into Rural Non farm Activities. John Hopkins University Pers, Baltimore. Ritchie, Anne. 2007. Community-based Finacial Organization: A Solution to Access in Remote Rural Areas?. World Bank. Washington, DC. Sahara, Dewi, dkk. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keuntungan Usahatani Kakao di Sulawesi Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara. Gorontalo. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Graafindo Persada. Jakarta. Suhariyanto, K. 2007. Kinerja dan Perspektif Kegiatan Non Pertaniandalam Ekonomi Pedesaan. Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Bogor. Sinaga, Resmawati. 2002. Ekonomi Rumah Tangga Pekerja Industri Kecil Tapioka di Tankolot dan Bubulak Desa Ciluar Kota Bogor. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sipayung, Melinda. 2005. Ringkasan Peran Perum Pegadaian dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Nasabah Melalui Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di Kota Medan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Tjandrawinata, Elvira. 2007. UKM Mampu Menyerap Tenaga Pasar. www.google.co.id Diakses tanggal 21 Juni 2008.
Umar, H. 2003. Metode Riset dan Perilaku Konsumen Jasa. Ghalia Indonesia. Jakarta Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wijono, Wiloejo Wirjo. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Wowor, Sophie. 1994. Alokasi Waktu dan Pendapatan Rumah Tangga Industri Kerajinan Gerabah di Pedesaan : Studi Kasus di Desa Pulutan Kecamatan Remboken Sulawesi Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampiran 1 Harga Jual, Biaya Per Kodi, Pendapatan dan Penerimaan Serta Modal Usaha Sepatu Kelompok Anggota
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Output/bulan (Kodi) 67 102 120 61 65 18 83 65 53 37 140 110 125 44 27 54 31 47 87 32 24 60 42 47 57 48
Harga perkodi (Rp) 280,000 380,000 350,000 350,000 410,000 340,000 325,000 180,000 200,000 280,000 410,000 240,000 345,000 310,000 280,000 300,000 280,000 400,000 330,000 270,000 300,000 350,000 200,000 260,000 350,000 280,000
Biaya perkodi (Rp) 252,000 343,000 313,000 312,500 376,000 305,000 293,000 137,000 168,000 243,000 345,000 215,000 319,000 278,000 239,000 267,000 244,000 365,000 303,000 237,000 262,000 316,000 156,000 237,000 316,000 244,000
Pendapatan Kotor/kodi (Rp) 28,000 37,000 37,000 37,500 34,000 35,000 32,000 43,000 32,000 37,000 65,000 25,000 26,000 32,000 41,000 33,000 36,000 35,000 27,000 33,000 38,000 34,000 44,000 23,000 34,000 36,000
Penerimaan Sepatu (Rp) 1,876,000 3,774,000 4,440,000 2,287,500 2,210,000 630,000 2,656,000 2,795,000 1,696,000 1,369,000 9,100,000 2,750,000 3,250,000 1,408,000 1,107,000 1,782,000 1,116,000 1,645,000 2,349,000 1,056,000 912,000 2,040,000 1,848,000 1,081,000 1,938,000 1,728,000
Pendapatan Sisa/ampas (Rp) 30,150 45,900 54,000 27,450 29,250 8,100 37,350 29,250 23,850 16,650 63,000 49,500 56,250 19,800 12,150 24,300 13,950 21,150 39,150 14,400 10,800 27,000 18,900 21,150 25,650 21,600
Total Pendapatan (Rp) 1,906,150 3,819,900 4,494,000 2,314,950 2,239,250 638,100 2,693,350 2,824,250 1,719,850 1,385,650 9,163,000 2,799,500 3,306,250 1,427,800 1,119,150 1,806,300 1,129,950 1,666,150 2,388,150 1,070,400 922,800 2,067,000 1,866,900 1,102,150 1,963,650 1,749,600
Modal Kerja (Rp) 17,500,000 35,500,000 38,000,000 19,500,000 24,500,000 6,000,000 25,000,000 9,500,000 9,500,000 9,300,000 48,750,000 24,000,000 40,000,000 13,000,000 7,000,000 14,750,000 8,000,000 18,000,000 27,000,000 8,000,000 6,750,000 19,000,000 7,250,000 12,000,000 18,500,000 12,000,000
75 100 70 35 1926 64,2
290,000 300,000 340,000 280,000 9.210.000 307.000
260,000 265,000 310,000 250,000 8.170.000 272.350
30,000 35,000 30,000 30,000 1.039.500 34.650
2,250,000 3,500,000 2,100,000 1,050,000 609.990.000 20.333.000
33,750 45,000 31,500 15,750 866.700 28.890
2,283,750 3,545,000 2,131,500 1,065,750 68.610.200 2.287.007
20,250,000 27,000,000 22,000,000 9,300,000 556,850,000 18.561.666.7
95
27 28 29 30 ∑ µ
Lampiran 2 Harga Jual, Biaya Per Kodi, Pendapatan dan Penerimaan Serta Modal Usaha Sepatu Kelompok Non Anggota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Output/bulan (Kodi) 62 95 30 60 50 80 55 85 63 70 40 25 154 70 74 60 93 55 67 73 57 94 43 62 27 130 25 24
Harga perkodi (Rp) 350,000 370,000 360,000 360,000 340,000 360,000 360,000 350,000 400,000 330,000 360,000 380,000 390,000 300,000 400,000 300,000 300,000 500,000 700,000 310,000 340,000 280,000 300,000 340,000 275,000 325,000 320,000 280,000
Biaya perkodi (Rp) 320,000 335,000 322,500 321,000 302,000 323,000 324,000 317,000 371,000 294,000 323,000 343,000 358,000 262,000 363,000 275,000 273,000 462,000 662,500 274,000 307,500 249,000 264,000 312,000 244,000 294,000 286,000 258,000
Pendapatan Kotor/kodi (Rp) 30,000 35,000 37,500 39,000 38,000 37,000 36,000 33,000 29,000 36,000 37,000 37,000 32,000 38,000 37,000 25,000 27,000 38,000 37,500 36,000 32,500 31,000 36,000 28,000 31,000 31,000 34,000 22,000
Penerimaan Sepatu (Rp) 1,860,000 3,325,000 1,125,000 2,340,000 1,900,000 2,960,000 1,980,000 2,805,000 1,827,000 2,520,000 1,480,000 925,000 4,928,000 2,660,000 2,738,000 1,500,000 2,511,000 2,090,000 2,512,500 2,628,000 1,852,500 2,914,000 1,548,000 1,736,000 837,000 4,030,000 850,000 528,000
Pendapatan Sisa/ampas (Rp) 27,900 42,750 13,500 27,000 22,500 36,000 24,750 38,250 28,350 31,500 18,000 11,250 69,300 31,500 33,300 27,000 41,850 24,750 30,150 32,850 25,650 42,300 19,350 27,900 12,150 58,500 11,250 10,800
Total Pendapatan (Rp) 1,887,900 3,367,750 1,138,500 2,367,000 1,922,500 2,996,000 2,004,750 2,843,250 1,855,350 2,551,500 1,498,000 936,250 4,997,300 2,691,500 2,771,300 1,527,000 2,552,850 2,114,750 2,542,650 2,660,850 1,878,150 2,956,300 1,567,350 1,763,900 849,150 4,088,500 861,250 538,800
Modal Kerja (Rp) 21,000,000 32,500,000 9,750,000 19,750,000 15,350,000 26,000,000 17,250,000 27,000,000 23,750,000 20,750,000 13,000,000 9,000,000 56,000,000 18,000,000 25,000,000 17,000,000 26,500,000 25,000,000 44,500,000 21,000,000 18,000,000 24,000,000 11,750,000 20,000,000 6,500,000 39,000,000 7,250,000 6,500,000
29 30 ∑ µ
50 200 2073 69,1
340,000 335,000 10.655.000 355.167
312,000 298,000 9.649.500 321.650
28,000 37,000 1.005.500 33.517
1,400,000 7,400,000 738.465.000 24.615.500
22,500 90,000 932.850 31.095
1,422,500 7,490,000 70.642.950 2.354.762
16,000,000 60,000,000 677.100.000 22.570.000
96
Lampiran 3.
Hasil Pendugaan Pertama Faktor Produksi Sepatu Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Regression Analysis: Ln Prod versus Ln MJ, Ln Kain, ... The regression equation is Ln Prod = - 0.229 + 0.0037 Ln MJ + 0.133 Ln Kain + 0.254 Ln LP + 0.119 Ln LK + 0.176 Ln Lx + 0.152 Ln Tx<1 + 0.165 Ln Tx>1 - 0.0436 Ln TK - 0.0165 Ln D1 Predictor Constant Ln MJ Ln Kain Ln LP Ln LK Ln Lx Ln Tx<1 Ln Tx>1 Ln TK Ln D1
Coef -0.2294 0.00372 0.13278 0.25447 0.11876 0.17567 0.15159 0.16466 -0.04363 -0.01647
S = 0.0844542
SE Coef 0.1217 0.03278 0.07323 0.05176 0.05372 0.05805 0.04265 0.05798 0.06916 0.03565
R-Sq = 97.7%
T -1.88 0.11 1.81 4.92 2.21 3.03 3.55 2.84 -0.63 -0.46
P 0.065 0.910 0.076 0.000 0.032 0.004 0.001 0.007 0.531 0.646
VIF 2.0 13.3 5.6 11.8 9.0 4.7 12.4 6.4 1.3
R-Sq(adj) = 97.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Ln MJ Ln Kain Ln LP Ln LK Ln Lx Ln Tx<1 Ln Tx>1 Ln TK Ln D1
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 9 50 59
SS 15.0518 0.3566 15.4084
MS 1.6724 0.0071
F 234.48
P 0.000
SE Fit 0.0428 0.0335
Residual 0.2151 -0.1647
Seq SS 2.6465 11.4582 0.2895 0.3713 0.1293 0.0884 0.0645 0.0026 0.0015
Unusual Observations Obs 1 4
Ln MJ 1.10 0.00
Ln Prod 4.2047 4.1109
Fit 3.9895 4.2755
St Resid 2.95R -2.12R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.53028
Lampiran 4. Matriks Korelasi antara Variabel-Variabel Bebas pada Fungsi Produksi Sepatu Correlations: Ln MJ, Ln Kain, Ln LP, Ln LK, Ln Lx, Ln Tx<1, Ln Tx>1, Ln TK, ... Ln MJ 0.382 0.003
Ln Kain
Ln LP
0.316 0.014
0.773 0.000
Ln LK
0.434 0.001
0.895 0.000
0.580 0.000
Ln Lx
0.413 0.001
0.920 0.000
0.690 0.000
0.897 0.000
Ln Tx<1
0.355 0.005
0.786 0.000
0.863 0.000
0.654 0.000
0.741 0.000
Ln Tx>1
0.394 0.002
0.880 0.000
0.540 0.000
0.937 0.000
0.886 0.000
0.620 0.000
Ln TK
0.615 0.000
0.831 0.000
0.666 0.000
0.800 0.000
0.838 0.000
0.688 0.000
0.827 0.000
Ln D1
-0.284 0.028
-0.056 0.670
0.110 0.404
-0.122 0.351
-0.124 0.345
0.055 0.678
-0.203 0.119
Ln Kain
Ln LP
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Ln LK
Ln Lx
Ln Tx<1
Ln Tx>1
Ln TK
-0.208 0.110
Lampiran 5
Plot Residual untuk Model Penduga Faktor-faktor Produksi Sepatu yang Telah Disempurnakan Residual Plots for Ln Prod
Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99.9
0.3 0.2
90
Residual
Percent
99
50 10
-0.30
-0.15
0.00 Residual
0.15
0.30
3.0
Histogram of the Residuals
4.0 4.5 Fitted Value
5.0
Residuals Versus the Order of the Data 0.2
9
Residual
Frequency
3.5
0.3
12
6 3 0
0.0 -0.1
1 0.1
0.1
0.1 0.0 -0.1
-0.1
0.0
0.1 Residual
0.2
0.3
1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
Lampiran 6
Hasil Pendugaan Akhir Faktor Produksi Sepatu dengan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Regression Analysis: Ln Prod versus Ln MJ, Ln Kain, ... The regression equation is Ln Prod = - 0.154 + 0.0020 Ln MJ + 0.358 Ln Kain + 0.133 Ln LP + 0.294 Ln Lx + 0.158 Ln Tx<1 + 0.0463 Ln TK 0.0264 Ln D1 Predictor Constant Ln MJ Ln Kain Ln LP Ln Lx Ln Tx<1 Ln TK Ln D1
Coef -0.1544 0.00200 0.35801 0.13339 0.29446 0.15841 0.04626 -0.02644
S = 0.105699
SE Coef 0.1428 0.03897 0.07644 0.05878 0.06722 0.05335 0.08022 0.04356
R-Sq = 96.2%
T -1.08 0.05 4.68 2.27 4.38 2.97 0.58 -0.61
P 0.285 0.959 0.000 0.027 0.000 0.005 0.567 0.546
VIF 1.8 9.2 4.6 7.7 4.7 5.5 1.2
R-Sq(adj) = 95.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source Ln MJ Ln Kain Ln LP Ln Lx Ln Tx<1 Ln TK Ln D1
DF 1 1 1 1 1 1 1
DF 7 52 59
SS 14.8274 0.5810 15.4084
MS 2.1182 0.0112
F 189.60
P 0.000
SE Fit 0.0509
Residual 0.2884
Seq SS 2.6465 11.4582 0.2895 0.3284 0.0956 0.0051 0.0041
Unusual Observations Obs 1
Ln MJ 1.10
Ln Prod 4.2047
Fit 3.9162
St Resid 3.11R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1.65281
Lampiran 7
Tingkat Produksi Sepatu dan Faktor-faktor yang Dibutuhkan
NO
Produksi (Kodi / Bulan)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
67 102 120 61 65 18 83 65 53 37 140 110 125 44 27 54 31 47 87 32 24 60 42 47 57 48 75
Mesin Jahit
Kain (meter) 3 4 6 1 2 3 2 1 1 1 2 4 5 1 1 2 1 1 3 1 2 2 4 3 3 3 3
100.5 204 240 122 130 27 124.5 97.5 106 55.5 280 165 187.5 88 27 108 62 117.5 130.5 48 48 120 84 94 85.5 72 150
Lem Putih (Liter)
Lem Kuning (liter)
134 102 120 122 84.5 18 124.5 130 106 37 182 220 125 44 54 81 62 47 87 64 36 90 84 94 57 96 150
67 204 240 91.5 130 36 166 65 42.4 37 280 110 250 88 27 81 15.5 117.5 174 32 36 120 33.6 47 114 48 75
Latex (liter) 33.5 153 120 61 85 27 83 65 53 37 182 110 162.5 44 27 54 31 71 87 32 24 60 42 47 57 72 75
Texon < 1 (Lembar) 67 51 120 91.5 84.5 18 66.4 97.5 79.5 48.1 182 165 187.5 44 35.1 108 40.3 23.5 87 64 36 90 63 94 85.5 96 112.5
Texon > 1 (Lembar) 67 204 276 122 130 36 190.9 45.5 42.4 66.6 280 88 187.5 88 21.6 54 46.5 117.5 174 48 36 120 33.6 47 114 48 112.5
TK (Orang/Bulan)
Dummy
6 13 15 6 8 3 6 5 4 5 10 6 11 3 3 5 5 5 10 4 3 7 5 6 6 7 9
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
28 29 30
Produksi (Kodi / Bulan) 100 70 35
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
62 95 30 60 50 80 55 85 63 70 40 25 154 70 74 60 93 55 67 73 57 94 43 62 27 130
NO
Mesin Jahit 3 3 2
Kain (meter) 200 140 70
Lem Putih (Liter) 150 70 70
Lem Kuning (liter) 150 140 35
Latex (liter) 100 70 35
Texon < 1 (Lembar) 150 70 70
Texon > 1 (Lembar) 200 140 35
TK (Orang/Bulan) 11 6 5
3 2 4 3 3 3 2 3 2 3 2 2 6 5 4 2 3 2 4 2 4 3 2 2 2 3
93 190 60 120 75 160 110 170 126 140 72 50 231 105 148 90 139.5 110 134 146 102.6 141 64.5 124 40.5 260
93 95 45 90 50 80 55 85 63 105 52 50 231 140 74 60 93 55 67 109.5 74.1 94 86 62 54 130
93 190 45 90 75 160 110 170 126 105 60 25 231 91 148 90 139.5 110 134 109.5 85.5 94 43 93 27 260
62 95 45 90 50 80 55 127.5 81.9 70 60 25 154 70 96.2 60 93 82.5 100.5 73 85.5 94 43 80.6 21.6 169
93 142.5 30 60 75 80 55 85 63 70 40 37.5 277.2 126 74 60 93 55 67 94.9 57 122.2 55.9 62 27 130
124 190 60 120 100 160 110 170 126 140 80 25 231 91 148 108 167.4 110 134 109.5 114 169.2 64.5 124 27 260
7 9 5 8 6 7 6 8 6 9 6 4 14 10 8 7 9 7 11 7 8 6 4 6 4 14
Dummy 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
NO 57 58 59 60
Produksi (Kodi / Bulan) 25 24 50 200
Mesin Jahit 4 2 2 3
Kain (meter) 45 36 75 300
Lem Putih (Liter) 45 24 50 200
Lem Kuning (liter) 50 24 75 300
Latex (liter) 20 24 65 260
Texon < 1 (Lembar) 25 31.2 50 200
Texon > 1 (Lembar) 50 43.2 100 400
TK (Orang/Bulan) 6 4 6 15
Dummy 1 1 1 1
Lampiran 8
Perhitungan Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Produski Sepatu di Desa Sukaluyu.
1. Mesin Jahit X rata-rata b1 Y NPM
= = = =
NPM/BKM 2. Kain X rata-rata b2 Y NPM
= = = =
NPM/BKM 3. Lem Putih X rata-rata b3 Y NPM
= = = =
NPM/BKM 4. Lateks X rata-rata b3 Y NPM
NPM/BKM
2,67 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,002 Px = Rp 250.000/buah 66,65 b1 . Py. Y X = 0,002 x 331.083 . 66,65 2,67 = 16.529,35 = 0,0661174 119,04 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,35801 Px = Rp 30.000/meter 66,65 b2 . Py. Y X = 0,35801 . 331.083 . 66,65 119,04 = 66.365,0269 = 2,21216756 89,21 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,13339 Px = Rp 14.000/liter 66,65 b3 . Py. Y X = 0,13339 x 331.083 x 66,65 89,21 = 32.994,8963 = 2,35677
= = = =
75,54 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,29446 Px = Rp 18.000/liter 66,65 b4 . Py. Y X = 0,29446 x 331.083 x 66,65 75,54 = 86.017,4102 = 4,77874
5. Tekson < 1 X rata-rata b5 Y NPM
= = = =
NPM/BKM 6. Tenaga Kerja X rata-rata b6 Y NPM
= = = =
NPM/BKM
82,76 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,15841 Px = Rp 6.000,66,65 b5 . Py. Y X = 0,15841 x 331.083 x 66,65 82,76 = 42.237,59168 = 7.03959 7,08 Py rata-rata = Rp 331.083/kodi 0,04626 Px = Rp 615.828,66,65 b1 . Py. Y X = 0,04626 x 331.083 x 66,65 7,08 = 144.181,45579 = 0,2341261
Lampiran 9
Perhitungan Penggunaan Faktor Produksi Pada Kondisi Optimal pada UKM Sepatu di Desa Sukaluyu.
1. Mesin Jahit NPM Y NPM 250.000 X (Kain) X (Kain) 2. Kain NPM Y NPM 30.000 X (Kain) X (Kain) 3. Lem Putih NPM Y NPM 14.000 X (Kain) X (Kain) 4. Lateks NPM Y NPM 18.000 X (Kain) X (Kain)
= BKM Px = 66,65 Py = b1 . Py. Y X = 0,002 x 331.083 x 66,65 X = 44133,3639/ 250.000 = 0,1765 buah
= RP 250.000/buah = Rp 331.083/kodi
= BKM Px = RP 30.000/meter = 66,65 Py = Rp 331.083/kodi = b2 . Py. Y X = 0,35801 x 331.083 x 66,65 X = 7.900.092,8049/ 30.000 = 263,3364 meter = BKM Px = RP 14.000/liter = 66,65 Py = Rp 331.083/kodi = b3 . Py. Y X = 0,13339 x 331.083 x 66,65 X = 2.943.474 / 14.000 = 210.2481 liter = BKM Px = RP 18.000/meter = 66,65 Py = Rp 331.083/kodi = b4 . Py. Y X = 0,29446 x 331.083 x 66,65 X = 6.497.755,1669 / 18.000 = 360,986 liter
5. Tekson<1 NPM Y NPM 6.000 X (Kain) X (Kain) 6. Tenaga Kerja NPM Y NPM 651.828 X (Kain) X (Kain)
= BKM Px = RP 6.000/meter = 66,65 = b5 . Py. Y Py = Rp 331.083/kodi X = 0,15841 x 331.083 x 66,65 X = 3.495.583,088 / 6.000 = 582,597 l,embar = BKM Px = RP 615.828/bulan = 66,65 Py = Rp 331.083/kodi = b6 . Py. Y X = 0,04626 x 331.083 x 66,65 X = 1.020.804,707 / 615.828 = 1,6576 Orang
Lampiran 10
Hasil Pendugaan Faktor-faktor Pendapatan Usaha Sepatu
yang
Mempengaruhi
Regression Analysis: Keuntungan versus Harga Jual, P Kain, ... The regression equation is Keuntungan = 107683 + 0.0153 Harga Jual - 0.0579 P Kain - 1.41 P Lem Ptuih - 0.758 P Lateks - 3.23 P Tx<1 - 2.40 P Tx>1 + 895 Dummy
Predictor Constant Harga Jual P Kain P Lem Ptuih P Lateks P Tx<1 P Tx>1 Dummy
Coef 107683 0.01526 -0.05795 -1.4083 -0.7583 -3.233 -2.401 895
S = 4770.76
SE Coef 32774 0.01135 0.09558 0.7865 0.8457 2.495 2.042 1319
R-Sq = 15.9%
T 3.29 1.34 -0.61 -1.79 -0.90 -1.30 -1.18 0.68
P 0.002 0.185 0.547 0.079 0.374 0.201 0.245 0.500
VIF 1.8 1.6 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1
R-Sq(adj) = 4.6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source Harga Jual P Kain P Lem Ptuih P Lateks P Tx<1 P Tx>1 Dummy
DF 1 1 1 1 1 1 1
DF 7 52 59
SS 223721195 1183528805 1407250000
MS 31960171 22760169
F 1.40
P 0.224
Seq SS 42079273 11243867 50483182 12236280 64331458 32853840 10493296
Unusual Observations Obs 19 28 38 53
Harga Jual 700000 280000 180000 200000
Keuntungan 37500 22000 43000 44000
Fit 39095 32070 32503 32345
SE Fit 3394 1280 2139 1696
Residual -1595 -10070 10497 11655
St Resid -0.48 X -2.19R 2.46R 2.61R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Residual Plots for Keuntungan
Lampiran 11
Residual Plot untuk Regresi Pendapatan Residual Plots for Keuntungan
Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99
10000
90
5000
Residual
Percent
99.9
50 10 1 0.1
-10000 -10000
0 Residual
10000
30000
Histogram of the Residuals
34000 36000 Fitted Value
38000
10000
12
Residual
Frequency
32000
Residuals Versus the Order of the Data
16
8 4 0
0 -5000
5000 0 -5000 -10000
-10000
-5000
0 5000 Residual
10000
1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Observation Order
Lampiran 12 Keuntungan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya No
P Kain (Rp/m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
35000 40000 33000 36000 30000 40000 32000 30000 41000 28000 30000 37000 40000 18000 35000 38000 33000 40000 65000 26000 28000 22000 30000 25000 33000 24000 45000 35000 50000 40000 38000 40000 42000 35000 40000 28000 37000 34000 35000 23000 33000 35000 22000
P Lem putih (Rp/ltr) 15000 13500 14000 16000 14500 14500 15500 13700 14300 15500 14700 15000 16000 13300 14000 14000 14000 15000 14000 13500 14500 14000 14700 14000 13500 16000 13300 14000 14600 13500 14600 14000 15000 14000 14000 15300 14700 14000 14000 13500 13300 15500 17000
P Lateks (Rp/ltr)
PTx<1 (Rp/lbr)
P Tx>1 (Rp/lbr)
Harga Jual
π
D1
17000 17500 18000 16000 16000 17000 18000 16500 16500 18000 17500 16500 17000 18000 18000 17000 18000 16500 17500 17500 16500 18000 15000 17500 16500 15500 18000 17000 16500 17500 16000 18000 18000 18000 18000 16500 17000 18000 17000 17500 16000 16500 17500
6300 6500 6400 6000 6500 6200 6400 6300 6700 6400 6300 6000 6100 6000 6200 7000 6000 6500 6000 6000 6300 6700 6500 6000 6400 6000 6000 6400 6700 6000 6300 6300 6000 6700 6400 6500 6000 6300 6700 6700 6000 6500 6000
11000 11200 10300 10400 10500 10200 10000 11000 11000 10000 10000 10400 10300 10000 10300 10700 10300 10000 10000 10700 10700 10300 10000 10000 10300 10000 10500 10600 10400 10000 10300 10700 10400 11000 10000 10600 10500 10000 10700 10300 10300 10000 10400
350000 370000 360000 360000 340000 360000 360000 350000 400000 330000 360000 380000 390000 300000 400000 300000 300000 500000 700000 310000 340000 280000 300000 340000 275000 325000 320000 280000 340000 335000 280000 380000 350000 350000 410000 340000 325000 180000 200000 280000 410000 240000 345000
30000 35000 37500 39000 38000 37000 36000 33000 29000 36000 37000 37000 32000 38000 37000 25000 27000 38000 37500 36000 32500 31000 36000 28000 31000 31000 34000 22000 28000 37000 28000 37000 37000 37500 34000 35000 32000 43000 32000 37000 45000 25000 26000
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
No
P Kain (Rp/m)
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
20000 22000 33000 24000 34000 32000 24000 40000 34000 20000 23000 35000 24000 32000 30000 24000 18000
P Lem putih (Rp/ltr) 16000 13500 14000 14500 14000 15500 14500 13700 13000 15300 14000 13700 14000 14300 14300 14000 13500
Σ µ
1950000 32500
862800 14380
P Lateks (Rp/ltr)
PTx<1 (Rp/lbr)
P Tx>1 (Rp/lbr)
Harga Jual
π
D1
16500 17500 16500 17000 16000 17500 18000 17000 17500 16000 18000 17500 16000 18000 17500 17500 17000
6000 6400 6400 6200 6000 6400 6700 6000 6000 6300 6700 6000 6600 6000 6000 6500 6300
10600 10000 10700 10500 10000 10400 10200 10000 10400 10400 10500 10600 10000 10000 10200 10400 10000
310000 280000 300000 280000 400000 330000 270000 300000 350000 200000 260000 350000 280000 290000 300000 340000 280000
32000 41000 33000 36000 35000 27000 33000 38000 34000 44000 23000 34000 36000 30000 35000 30000 30000
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1027000 17116.7
377700 6295
621200 10353
19865000 331083.33
2025000 33750
1,5
Lampiran 13
Gambar Aktivitas Produksi Sepatu Masyarakat oleh Koperasi Baitul Ikhtiar
dan
Pemberdayaan