FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEMUAN KASUS PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015
SKRIPSI
Oleh: Lina Sri Marlinawati (1111101000122)
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
September 2015
Lina Sri Marlinawati NIP. 1111101000122
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, September 2015 Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 xxi+ 188 halaman, 13 tabel, 10 gambar, 7 lampiran
ABSTRAK Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS, malaria, campak sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian dengan target cakupan penemuan kasus pneumonia balita. Pada tahun 2014, dari 25 puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan, hanya 3 puskesmas yang mampu memenuhi target penemuan kasus pneumonia balita (100%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif pendekatan mixed methods (kualitatif dan Kuantitatif) dengan desain studi kasus. Informan dalam penelitian adalah kepala puskesmas, penanggung jawab program P2 ISPA petugas MTBS serta informan ahli. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen yang dilakukan di Puskesmas Kota Tangerang Selatan yaitu puskesmas yang berhasil mencapai target penemuan kasus pneumonia balita (Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1) dan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional (Puskesmas Kranggan dan Pisangan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yaitu penyusunan rencana program, kegiatan program, pencatatan dan pelaporan, faktor petugas kesehatan (pelatihan, pengetahuan, dan lama kerja petugas), motivasi kerja, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan media cetak dan media penyuluhan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh dengan penemuan kasus pneumonia yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, tatalaksana MTBS dan kegiatan evaluasi. Simpulan, agar cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas kota Tangerang Selatan mencapai target, dapat dilakukan dengan meningkatkan pembinaan dan pelatihan kepada penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS mengenai pengetahuan pneumonia balita. Puskesmas juga
ii
perlu melakukan kegiatan penemuan kasus secara aktif dengan melakukan pelacakan kasus dan kunjungan rumah penderita pneumonia balita. Kata kunci : Pneumonia balita, Cakupan penemuan, Puskesmas Daftar Bacaan : 59 (1987-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE SCHOOL OF PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT EPIDEMIOLOGY Undergraduate Thesis, September 2015 Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122 xxi+ 188 pages, 13 tables, 10 images, 7 attahments Factors That Affecting The Discovery Of Pneumonia Cases in Toddlers At Public Health Center South Tangerang City 2015 Abstract Pneumonia is the highest cause of toddlers mortality in the world, more than any other diseases such as AIDS, malaria, and measles, so it is necessary to control with a target coverage of pneumonia cases in toddlers. In 2014, 25 public health centers in South Tangerang, only 3 health centers that were able to meet the target of the discovery pneumonia cases in toddlers (100%). This study aims to determine the factors that influence the findings pneumonia cases in toddlers in Public Health Centers South Tangerang City. This research is a descriptive epidemiological mixed methods approach (qualitative and quantitative) with a case study design. Informants in this study was the head of the clinic, person in charge of P2 ISPA program IMCI officer and expert informants. Data collected by interview, observation and document review conducted in Public Health Center South Tangerang City to reach the target of the discovery infant pneumonia cases (PHC Baktijaya and Serpong 1) and Public health centers were not successful (PHC Kranggan and Pisangan). Results showed that the factors that influence the discovery of pneumonia cases in toddlers at the public health center are programming, activities program, recording and reporting, health workers factors (training, knowledge, and working time), motivation, the head public health center’s leadership, availability of print and reach media. While the factors that do not affect the discovery of pneumonia cases are gender, education level, management of IMCI and activies evaluation. The conclusion is, in order to th coverage of pneumonia cases in toodlers at South Tangerang health center reaches the target, it can be done by improving guidance and training to the person in charge of P2 ISPA and IMCI officer on toddler pneumonia knowledge. PHC also need to conduct a finding case actively by doing cases tracking and visit the home of the toddlers who is suffering from pneumonia.. Keywords: Toddler Pneumonia, Coverage discovery, Public health centers Reading List; 59 (1987-2014) iv
v
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk Pencipta-ku. Allah SWT, yang selalu memberikan apa yang hamba-Nya butuhkan tanpa diminta.
Juga untuk kedua orangtua dan keluarga tercinta, tanpa kasih dan sayang mereka, aku takkan mampu menjadi seperti sekarang.
Serta untuk para Pejuang Toga yang terus berusaha melawan rasa kantuk dan malas dalam mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan agar lolos ketahapan kehidupan selanjutnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
(5) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (6) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyiraah; 5-6)
vii
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Lina Sri Marlinawati
Tempat, Tanggal Lahir
: Tangerang, 06 Januari 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 22 Tahun
Agama
: Islam
. HP
: 089646455576
Alamat
: Kp. Kebon Kelapa No. 19, Rt. 04/ 006, Ds. Buaranjati, Kec. Sukadiri, Kab. Tangerang, Banten
Alamat Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan : 1.
S1 Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
:2011-2015
2.
SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang
:2008-2011
3.
MTs. Daarul Muqimien Buaran Jati Tangerang
:2005-2008
4.
SD Negeri 01 Buaran Jati Tangerang
:1999-2005
5.
TK Dharma Aeni Pekayon Tangerang
:1997-1999
Riwayat Organisasi : 1.
Anggota PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia) ESA (Epidemiology Students Association) periode 2013-2014
2.
Anggota Divisi Syiar, Komisariat Dakwah FKIK periode 2012-2013
3.
Anggota di Lembaga Dakwah Kampus UIN Jakarta periode 2011- 2012
4.
Sekertaris Departemen Pendidikan Ikatan Remaja Masjid Nurul Falah periode 2009-2010
5.
Anggota Rohis SMAN 2 Kabupaten Tangerang periode 2009-2010
viii
KATA PENGANTAR
السالم عليكن ورحمة اهلل وبركاتة Alhamdulillaahi robbil „aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan ridho sehingga melancarkan proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita
di
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan”. Terdapat beberapa hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini, namun atas Rahmat-Nya bantuan berbagai pihak akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Minsarnawati Tahangnaca, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 1 dan Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi, yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan berdiskusi. Terima kasih ibu, semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu.
ix
4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing 2 skripsi yang telah
meluangkan
waktunya
untuk
memberikan
arahan
serta
bimbingannya sehingga tugas akhir ini selesai. Terima kasih ibu, semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu. 5. Kedua orang tua, Ibu Marwati dan Bapak Nurali, kasih sayang dari beliau begitu menginspirasi dan menjadi motivasi begitu berharga bagi penulis. Aldi Rojali dan Taufik Rozki yang selalu memberikan semangat kepada penulis, untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Ibu Hoirun Nisa, Ph. D selaku dosen peminatan epidemiologi, 7. dr. Sholah Imari selaku dosen peminatan epidemiologi dan informan ahli dalam penelitian ini. 8. Kepala Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan Pisangan, terima kasih sudah diberikan izin penelitian. 9. Para Informan di Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan Pisangan, terima kasih untuk waktu dan informasi yang sudah diberikan. 10. Putri Anggraeni (pipi), terima kasih untuk bantuannya dari mulai magang, pengumpulan data sampai penyusunan skripsi. Terima kasih banyak pi. 11. Putri Widyastuti (PW) dan Sukma Mardiyah, terima kasih banyak untuk koreksiannya di skripsi ini, sehingga penulis mengetahui begitu banyak kesalahan dalam penulisan 12. Teman-teman Kostn Balans, Fuji, Annisa Azhima, Risa, Ka Omi, Dani, terima kasih atas motivasi dan dukungannya selama ini.
x
13. Teman-teman Epideiologi 2011: Ila, Kiki Iis, Rini, Upit, Nayla, Lia, Desy, Fica, Dina, Denok, Safira, Anjar, Lela, Siti, Kemal, Karim, Falah, Dea
yang selalu menghibur, memberi dukungan lewat doa atau
berbagai bantuan. 14. Sarah Ajeng, terima kasih atas koreksian abstrak bahasa inggris. 15. Lusi, Uus, Syifa, Iis, Isti yang selalu menyediakan waktu untuk berbagi suka dan duka. 16. Kak Lutfi, Kak Tika, Kak Nida dan Kak Putri, terima kasih atas arahan dan sarannya. 17. Pejuang toga, teman-teman Kesmas 2011 serta semua pihak yang tidak dapatdisebutkan satu persatu. Penulis menyadari, skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik yang membangun dari Pembaca. Semoga tulisan ini bermanfaat. والسالم عليكن ورحمة اهلل وبركاتة Jakarta, September 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................v LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................. vii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1 Latar Belakang ................................................................................................1 Rumusan Masalah ..........................................................................................7 Pertanyaan Penelitian .....................................................................................8 Tujuan ............................................................................................................9 Manfaat .......................................................................................................11 Ruang Lingkup ............................................................................................12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................13 Definisi ISPA dan Pneumonia ......................................................................13 Hubungan ISPA dan Pneumonia .................................................................14 Klasifikas dan Tatalaksana Pneumonia .......................................................14 Epidemiologi Pneumonia .............................................................................15 Cakupan Penemuan Pneumonia ..................................................................16 Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita ..........................17 1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia ...........................17 2. Tujuan dan Sasaran ..........................................................................18 3. Kebijakan dan Strategi Program ......................................................21 4. Kegiatan Program P2 ISPA .............................................................24 5. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ......................................24 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cakupan Penemuan Pneumonia .........26 1. Faktor Petugas Kesehatan .................................................................29 2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang ...............................37 3. Faktor Lain .......................................................................................40 Pemantauan Wilayah Setempat ....................................................................52
xii
1. Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia ........................52 2. Peran Kader .....................................................................................53 Puskesmas ....................................................................................................53 1. Pengertian Puskesmas ......................................................................53 2. Fungsi Puskesmas ............................................................................54 3. Upaya Puskesmas ............................................................................55 Petugas Puskesmas ......................................................................................57 Kerangka Teori ............................................................................................58 BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI OPERASIONAL ...................61 A. Kerangka Pikir ......................................................................................61 B. Definisi Istilah ......................................................................................66 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................73 A. Desain Penelitian ..................................................................................73 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................73 C. Informan Penelitian ..............................................................................74 1. Informan Utama ................................................................................75 2. Informan Pendukung ........................................................................75 3. Informan Ahli ..................................................................................75 D. Instrumen Penelitian .............................................................................76 1. Kualitatif ..........................................................................................76 2. Kuantitatif ........................................................................................77 E. Data dan Sumber Data ..........................................................................77 1. Data Primer ......................................................................................77 2. Data Sekunder ..................................................................................77 F. Pengumpulan Data Penelitian ...............................................................79 1. Pengumpulan Data ...........................................................................79 2. Tahap Pengumpulan Data ................................................................81 G. Triangulasi Data ...................................................................................82 1. Sumber .............................................................................................82 2. Metode .............................................................................................82 H. Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................85 1. Kualitatif ..........................................................................................85 2. Kuantitatif ........................................................................................86 BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................87 A. Karakteristik Informan Penelitian ........................................................87 B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .....................................................88 C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan ........................................................................90
xiii
D. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas .............................................................................................93 1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita .............94 2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ..................99 3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ............................................104 4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ...............................................109 5. Faktor Petugas Kesehatan ...............................................................115 6. Motivasi Petugas .............................................................................124 7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas .................................................127 8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana ................................................129 9. Kegiatan Evaluasi ...........................................................................136 BAB VI PEMBAHASAN .........................................................................142 A. Keterbatasan Penelitian ......................................................................142 B. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas ...........................................................................................143 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. BAB VII
Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ...........143 Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ................147 Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ............................................151 Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ...............................................155 Faktor Petugas Kesehatan ...............................................................159 Motivasi Petugas .............................................................................172 Kepemimpinan Kepala Puskesmas .................................................175 Ketersediaan Sarana dan Prasarana ................................................177 Kegiatan Evaluasi ...........................................................................181 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................184 A. B.
Simpulan .........................................................................184 Saran .................................................................................189
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................193 LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2 Bulan ...................................................................................................................... 45 Tabel 2.2 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan ≤ 5 Tahun ..................................................................................................... 46 Tabel 3.1 Definisi Istilah ........................................................................................ 66 Tabel 4.1 Daftar Tempat penelitian ....................................................................... 74 Tabel 4.2 Informan Penelitian ................................................................................ 76 Tabel 4.3 Pengumpulan Data Penelitian ................................................................ 78 Tabel 4.4 Triangulasi Data Penelitian .................................................................... 83 Tabel 5.1 Karakteristik Informan ........................................................................... 88 Tabel 5.2 Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ............................................................................... 92 Tabel 5.3 Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................................................... 123 Tabel 5.4 Motivasi Kerja Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................................................... 126 Tabel 5.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 .................. 128 Tabel 5.6 Observasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana dalam Kegiatan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 ............................................................................................................ 132
xv
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Teori Perilaku Kinerja dari Gibson (1987) ........................................ 27 Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 60 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 65 Gambar 5.1 Stempel ISPA ..................................................................................... 133 Gambar 5.2 Register Harian Pneumonia ................................................................ 133 Gambar 5.3 Formulir Laporan Bulanan ................................................................. 133 Gambar 5.4 Buku Pedoman P2 ISPA .................................................................... 134 Gambar 5.5 Pedoman Tatalaksana Pneumonia/MTBS ........................................... 134 Gambar 5.6 Media Poster Pneumonia .................................................................... 134 Gambar 5.7 Lembar Balik Pneumonia Balita ....................................................... 135
xvii
DAFTAR SINGKATAN
1. AIDS
:Acquired Imuno Deficiency Syndrome
2. Binwil
:Bina Wilayah
3. BP
:Balai Pengobatan
4. Depkes
:Departemen Kesehatan
5. Dinkes
: Dinas Kesehatan
6. Form
:Formulir
7. ISPA
:Infeksi Saluran Pernapasan Akut
8. KB
:Keluarga Berencana
9. Kememkes
:Kemenkenterian Kesehatan
10. Kesling
:Kesehatan Lingkungan
11. KIA
:Kesehatan Ibu dan Anak
12. KLB
:Kejadian Luar Biasa
13. Lokbul
:Loka Karya Bulanan
14. Lokmin
:Loka Karya Mini
15. LP
:Lembaga Pemerintah
16. LS
:Lembaga Swasta
17. LSM
:Lembaga Swadaya Masyarakat
18. MTBS
:Manajemen Terpadu Balita Sakit
19. OB
:Office Boy
20. ORMAS
:Organisasi Kemsyarakatan
21. P2 ISPA
: Pengendalian Penyaki Infeksi Saluran Pernapasan Akut
xviii
22. P2PL
:Program Pengendalian Penyakit Lingkungan
23. PAUD
:Pendidikan Anak Usia Dini
24. PKM
:Pusat Kesehatan Masyarakat
25. POA
:Plan of Action
26. Posyandu
:Pos Pelayanan Terpadu
27. Promkes
:Promosi Kesehatan
28. Puskesmas
:Pusat Kesehatan Masyarakat
29. PWS
:Pemantauan Wilayah Setempat
30. Riskesdas
:Riset Kesehatan Dasar
31. SD
:Sekolah Dasar
32. SDM
:Sumber Daya Manusia
33. SK
:Surat Keputusan
34. SKM
: Sarajana Kesehatan Masyarakat
35. SMD
:Survey Mawas Diri
36. Tangsel
:Tangerang Selatan
37. TB
:Tuberkolosis
38. TDDK
:Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Ke Dalam
39. TK
:Taman Kanak-kanak
40. UKS
:Unit Kesehatan Sekolah
41. UPTD
:Unit Pelaksana Teknis Daerah
42. WHO
:World Health Organization
xix
Daftar Lampiran
Lampiran 1
Persetujuan Menjadi Informan
Lampiran 2
Pedoman Wawancara Mendalam
Lampiran 3
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Utama
Lampiran 4
Matriks
Hasil
Wawancara
Mendalam
dengan
Informan
Pendukung Lampiran 5
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Kunci
Lampiran 6
Dokumentasi Penelitian
Lampiran 7
Surat Izin Penelitian
xx
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit ISPA yang menjadi target program pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014). Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS, Malaria, Campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita / 15 detik) dari 9 juta total kematian balita. Diantara 5 kematian balita, 1 diantaranya meninggal karena pneumonia. Di negara berkembang (termasuk Indonesia), 60% kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri, sedangkan di negara maju disebabkan oleh virus. Oleh sebab itu pneumonia juga disebut pembunuh anak nomor 1 (the number one killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit terabaikan (the neglegted disease) atau terlupakan (the forgotten disease). Banyak anak meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap
1
2
masalah tersebut (UNICEF, WHO, 2009). Kurangnya perhatian tersebut disebabkan gejala pasti pneumonia anak tidak mudah diketahui sehingga diperlukan kecermatan petugas kesehatan dalam mendeteksinya. World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang kejadian pneumonia anak-balita sebesar 151,8 juta kasus pneumonia per tahun, sekitar 8,7% (13,1 juta) diantaranya pneumonia berat. Di dunia terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World Pneumonia Day, 2012). Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2013, angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 1,19%, pada kelompok bayi angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,20%. Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama dan berkontribusi tinggi terhadap angka kematian balita di Indonesia (Kemenkes, 2013). Kematian yang disebabkan pneumonia merupakan peringkat teratas kematian pasien di fasilitas kesehatan (Kemenkes, 2012).
3
Menurut Riskesdas 2013, periode prevalens pneumonia balita (Kejadian pneumonia sebulan terakhir) di Indonesia sebesar 18,5 per 1000 balita. Di provinsi Banten, periode prevalens pneumonia balita berdasarkan diagnosis/gejala berada di atas rata-rata periode prevalens nasional yaitu sebesar 18,7 per 1000 balita. Sedangkan menurut Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 diketahui bahwa penyebab kematian balita tertinggi adalah pneumonia. Dengan prevalensi pneumonia balita sebesar 42,3 per 1000 balita (Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2014). Salah satu upaya penurunan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan pneumonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita, pada tahun 2014 cakupan nasional yang telah ditetapkan Kemenkes yaitu 100%. Pada tahun 2013 cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Indonesia mencapai 23,52%, sedangkan provinsi Banten hanya mencapai 29% dari target penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan. Hal ini menyebabkan tidak ada satupun provinsi yang mencapai target tersebut. Setiap wilayah mempunyai perkiraan kasus pneumonia pada balita sebesar 10% dari jumlah balita di wilayah tersebut. Untuk menjalankan upaya tersebut, penemuan kasus dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang upaya masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara tepat dan deteksi dini oleh petugas kesehatan. Selain itu perlu dilakukan dan dioptimalkan penemuan dan tatalaksana penderita di rumah tangga
4
dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan tingkat pertama atau dasar (puskesmas pembantu dan pelayanan kesehatan di desa) dan di sarana kesehatan rujukan (rumah sakit) (Kemenkes, 2012). Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mempunyai 25 puskesmas. Pencapaian penemuan kasus pneumonia di Kota Tangerang selatan pada tahun 2014 menurun sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 44% menjadi 42,4%, pencapaian angka penemuan kasus tersebut sangat jauh dari target nasional dan hanya ada 3 puskesmas yang mempunyai angka penemuan kasus pneumonia balita di atas target nasional diantaranya Puskesmas Serpong I, Puskesmas Pondok Aren dan Puskesmas Bakti Jaya. Dengan demikian ada 22 puskesmas yang tidak mencapai target penemuan penderita pneumonia (Dinkes Tangerang Selatan, 2014). Pencapaian angka penemuan kasus terebut sangat jauh berbeda dengan penemuan kasus di Dinkes Kabupaten Tangerang pada tahun 2013,dengan angka penemuan sebesar 84,06% lebih tinggi dari Dinkes Tangerang Selatan (Dinas Kabupaten Tangerang, 2014). Padahal Kota Tangerang Selatan, dalam hal pelayanan kesehatan lebih modern dan mempunyai mobilitas yang tinggi dari pada Kabupeten Tangerang Menurut
Kementrian
Kesehatan
(2012),
rendahnya
angka
penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain: sumber pelaporan rutin terutama berasal dari puskesmas, hanya beberapa dan Kabupaten/Kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan
5
kesehatan lainnya. Deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum terlatih, kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Berdasarkan laporan magang oleh peneliti pada tahun 2015, dengan teknik pengumpulan data
menggunakan observasi, wawancara dan
analisis data, mengenai pelaksanaan program P2 ISPA tahun 2014 di Puskesmas Pamulang, salah satu puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan. Diketahui bahwa rendahnya penemuan pneumonia balita karena kegiatan P2 ISPA belum berjalan dengan baik seperti: deteksi kasus di puskesmas belum optimal, penemuan penderita secara aktif belum berjalan dengan baik, pencatatan kasus, pelacakan dan pemantauan dengan kunjungan rumah belum berjalan dengan baik, sarana dan prasarana serta sumber pelaporan rutin dari penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta yang belum terlaporkan. Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan Dharoh, dkk (2014) menunjukkan, bahwa faktor–faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita adalah motivasi (p=0,020). Sedangkan pendidikan (p=1,000), pengetahuan (p=1,000), perencanaan (p=1,000), pelaksanaan (p=0,292), dan penilaian (p=0,567) tidak ada hubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita. Sedangkan menurut penelitian lain faktor yang berpengaruh adalah: profesionalisme petugas P2 ISPA puskesmas, pelatihan program P2 ISPA dan supervisi pengelola program P2 ISPA Kabupaten/ Kota ke puskesmas
6
(Nurcik, 2000). Penelitian lainnya menemukan bahwa pengetahuan, ketersediaan sarana, pencatatan laporan kasus pneumonia, kerjasama lintas program dan pelayanan standar P2 ISPA, mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita (Irmawati, 2012). Semua penelitan tersebut hanya menggunakan pendekatan kuantitatif, sehingga perlu digali lebih mendalam dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, mengenai faktor yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita, pendekatan kualitatif dilakukan untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita yang tidak bisa diukur dengan pendekatan kuantitatif. Sehubungan
dengan
uraian
tersebut,
dengan
ini
penulis
memandang perlu untuk meneliti lebih lanjut dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods) mengenai faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di wilayah kerja masing-masing Puskesmas Kota Tangerang Selatan, penelitian ini dilakukan di puskesmas karena puskesmas sebagai sarana kesehatan terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat merupakan ujung tombak dalam mencapai pembangunan kesehatan yang optimal dan akan mencapai target nasional apabila seorang petugas mampu menjalankan program puskesmasnya dengan baik. Selain itu penelitian kualitatif dalam studi epidemiologi sekarang ini lebih kekinian terutama
7
epidemiologi sosial dan epidemiologi perencanaan kesehatan untuk dapat memecahkan masalah kesehatan di Puskemas dan masyarakat. Adapun puskesmas yang akan diteliti adalah puskesmas yang mempunyai angka penemuan kasus pneumonia yang rendah pada tahun 2014 yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas Kranggan dan puskesmas dengan penemuan pneumonia balita yang mencapai target nasional (100%) yaitu Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Bakti Jaya. Dengan tujuan dapat mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015.
B.
Rumusan Masalah Penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan masih terbilang rendah, sehingga tidak mencakup sasaran kasus yaitu balita atau 10% dari jumlah balita yang ada. Menurut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita adalah peran petugas kesehatan (tenaga terlatih, tingkat pendidikan, pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA, motivasi petugas, kepemimpinan kepala puskesmas), ketersediaan sarana kesehatan (alat dianostik, media cetak/buku cetakan terkait program P2 ISPA, bagan tatalaksana
peneumonia/MTBS)
dan
kegiatan
supervisi,
evaluasi,
pencatatan dan pelaporan, perencanaan kegiatan dan kegiatan penemuan kasus yang dilakukan serta kegiatan tatalaksana kasus. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif
8
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.
C.
Pertanyaan Peneliti 1.
Bagaimana penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014?
2.
Bagaimana
perencanaan
program
kegiatan
penemuan
kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015? 3.
Bagaimana kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
4.
Bagaimana pengaruh kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam penemuan kasus pneumonia balita
di Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2015? 5.
Bagaimana pengaruh kegiatan tatalaksana pneumonia atau MTBS dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
6.
Bagaimana pengaruh faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas, Pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang program P2 ISPA, pengetahuan petugas) dalam penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
7.
Bagaimana pengaruh faktor motivasi dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
9
8.
Bagaimana pengaruh faktor kepemimpinan kepala puskesmas dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?
9.
Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana (media cetak/buku cetakan
dan
media
penyuluhan)
dalam
penemuan
penderita
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015? 10. Bagaimana kegiatan evaluasi dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
D.
Tujuan 1.
Tujuan Umum Mengetahui
faktor
yang mempengaruhi penemuan kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. 2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 b. Mengetahui perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 c. Mengetahui kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 d. Mengetahui
kegiatan
pencatatan
dan
pelaporan
kasus
pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015
10
e. Mengetahui kegiatan tatalaksana penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 f. Mengetahui faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang program P2 ISPA, pengetahuan petugas, motivasi petugas dan kepemimpinan kepala puskesmas) dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 g. Diketahuinya faktor motivasi mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 h. Diketahuinya faktor kepemimpinan kepala Puskesmas yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 i. Mengetahui
ketersediaan sarana dan prasarana (media
cetak/buku cetakan dan media penyuluhan) dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 j. Mengetahui kegiatan evaluasi dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.
11
E. Manfaat 1.
Bagi Dinas Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau saran dan bahan pertimbangan dalam merencanakan pembuatan program penemuan kasus pneumonia balita serta menyempurnakan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Selain itu , sebagai bahan evaluasi program P2 ISPA di Dinas Kota Tangerang Selatan.
2.
Bagi Puskesmas Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau saran untuk program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas sehingga dapat meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia balita. Selain itu juga dapat dimanfaatkan oleh kepala puskesmas bagaimana cara memimpin bawahannya di puskesmas agar petugas termotivasi dalam pekerjaanya di puskesmas kinerja
3.
Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diharapkan bermanfaat sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan faktor determinan penemuan kasus pneumonia balita.
12
4.
Bagi Peneliti Lain Hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan
masukan
atau
pertimbangan bagi penelitian lainnya dalam mengembangkan penelitian serupa.
F.
Ruang Lingkup Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
faktor
yang
mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif
pendekatan mixed methods (kualitatif dan
Kuantitatif), desain studi kasus. Informan utama dalam penelitian adalah kepala puskesmas, dengan triangulasi sumber yaitu penanggung jawab program P2 ISPA di puskesmas dan petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan pada bulan JuniJuli di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 dengan memilih masing-masing
2
puskesmas
pneumonia balita yang
yang
mempunyai
penemuan
kasus
rendah yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas
Kranggan dan 2 puskesmas yang mempunyai penemuan kasus pneumonia balita yang tinggi yaitu Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Bakti Jaya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi Pneumonia Pneumonia
adalah
penyakit
infeksi
akut
yang
mengenai
jaringan paru (alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang sering menyebabkan kematian (UNICEF, WHO, 2009; Kemenkes, 2010). Penyebab p neumonia adalah infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia mengakibatkan jaringan paru mengalami peradangan. Pada kasus pneumonia, alveoli terisi nanah dan cairan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga terjadi kesulitan bernafas (Rudan, 2008). Anak
dengan
pneumonia
menyebabkan
kemampuan
paru
mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan menjadi kaku dan timbul tarikan dinding bawah ke dalam (Ni Nyoman, 2013). Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia dan sepsis. Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tidak bisa bekerja (UNICEF, WHO, 2006).
13
14
B.
Hubungan ISPA dan Pneumonia ISPA dan Pneumonia sangat erat hubungannya terutama pada Balita. ISPA yang berlanjut dapat menjadi pneumonia hal tersebut sering terjadi pada balita terutama apabila mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis (Rudan, 2008, Mardjanis, 2010). Oleh karena itu, jika balita menderita ISPA perlu mendapatkan penanganan segera, agar penyakit tidak berlanjut menjadi pneumonia.
C.
Klasifikasi pneumonia balita Program Pengendalian Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat (Kemenkes, 2012). Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada Balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin. Semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik (Setyati, 2014). Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian bawah, bunyi nafas (stridor):
15
1.
Pneumonia Batuk, demam lebih dari 380 C disertai sesak nafas. Frekuensi nafas lebih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian bawah. Pada auskultasi didapati bunyi stridor pada paru.
2.
Non Pneumonia Bila bayi dan Balita batuk, demam 380 C tidak disertai nafas cepat lebih dari 40 x / menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada bunyi stridor pada paru (Kemenkes, 2012). Program P2 ISPA mengklasifikasi kasus keadaan ke dalam 2 kelompok usia yaitu dibawah 2 bulan (Pneumonia berat dan bukan Pneumonia). Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi pneumonia berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, pneumonia dan bukan pneumonia.
D.
Epidemiologi Pneumonia Epidemologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk perbandingan sangat sedikit, terutama di negara berkembang. Pneumonia adalah penyakit umum di semua bagian dunia dan penyebab utama kematian pada masa neonatus. WHO memperkirakan bahwa 1 dari 5 kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta anak balita meninggal setiap tahun di seluruh dunia (E-jurnal, 2013). WHO juga memperkirakan bahwa sampai dengan 2 juta kematian yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dapat di cegah dengan
16
vaksin, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia sampai dewasa akhir (News Medical, 2011). World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World Pneumonia Day, 2012). Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2009 dalam “Pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus (UNICEF, WHO, 2009).
E.
Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita Cakupan penemuan pneumonia balita adalah jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja puskesmas dari estimasi jumlah balita diwilayah kerja puskesmas tersebut. (target yang ditemukan adalah 10% dari populasi balita). Adapun perhitungan rumusnya adalah sebagai berikut:
17
Angka cakupan penemuan pneumonia Balita di Indonesia pada tahun 2000, berkisar antara 20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2000-2004 adalah 86%, sedangkan pada periode 2005-2009 pencapaian target cakupan sebesar 46%-86%, Masih jauh dari target cakupan yang ditetapkan oleh Kemenkes. Tujuan khusus pengendalian pneumonia balita yaitu tercapainya cakupan penemuan pneumonia balita pada tahun 2010 sebesar 60%, tahun 2011 sebesar 70%, tahun 2012 sebesar 80%, tahun 2013 sebesar 90% dan tahun 2014 sebesar 100% (Kemenkes, 2012).
F.
Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita Program P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA, terutama pneumonia (infeksi paru akut) pada usia di bawah lima tahun. Program P2 ISPA dikembangkan dengan mengacu pada konsep menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi penanganan pada sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko perilaku dan kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal (Kemenkes, 2012). 1.
Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia Pelaksanaan program P2 ISPA ditujukan pada kelompok usia Balita, yaitu bayi (0-12 bulan) dan anak balita (1 tahun ≤ 5
18
tahun) dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit pneumonia. Pemilihan kelompok balita sebagai target populasi program didasarkan pada kenyataan bahwa angka mortalitas dan morbiditas ISPA pada kelompok umur balita masih tinggi di Indonesia. Di samping itu keberhasilan upaya program P2 ISPA dapat mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di Indonesia (Kemenkes, 2012). Dengan menitikberatkan pelaksanaan upaya pada penanggulangan penumonia maka program P2 ISPA dapat disebut sebagai program P2 ISPA untuk penanggulangan Balita (Rita, 2002). 2.
Tujuan dan Sasaran a.
Tujuan Umum Tujuan
umum
pengendalian
penyakit
ISPA
adalah
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia. b.
Tujuan Khusus 1) Pengendalian Pneumonia Balita a)
Tercapainya cakupan penemuan balita sebagai berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011:70%, tahun 2012:80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%)
b)
Menurunkan angka kematian pneumonia balita sebagai kontribusi penurunan angka kematian bayi dan balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan
19
indikator nasional angka kematian bayi (34 menjadi 23 per 1.000 kelhiran hidup). 2)
Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah. a)
Tersusunnya
dokumen
kesiapsiagaan
dan
rencana
respon
terhadap
kontijensi pandemi
influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014. b)
Tersusunnya pedoman dan petunjuk pelaksanaan penanggulangan pandemi influenza pada akhir tahun 2014.
c)
Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan
kesiapsiagaan
dan
respon
pandemi
influenza pada akhir tahun 2014. d)
Tersusunya pedoman latihan (Exercise) dalam kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada akhir tahun 2014.
3)
Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di rumah sakit dan puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014.
4)
Faktor risiko ISPA
20
Terjalinnya kerjasama/kemitraan dengan unit program atau institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya pneumonia (Kemenkes, 2012). c.
Sasaran 1)
Pengendalian Pneumonia Balita a) Balita (≥ 5 tahun)
2)
Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah. a) Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah. b) Unit-unit esensial, swasta, media massa serta lembaga swadaya masyarakat.
3)
Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun a) Kelompok umur ≥ 5 tahun di fasilitas pelayanan kesehatan.
4)
Faktor risiko ISPA a) Lintas program dan lintas sektor b) Masyarakat (Kemenkes, 2012).
21
3.
Kebijakan dan Strategi Program a.
Kebijakan Untuk mencapai program penemuan kasus pneumonia maka ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut: 1)
Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun komitmen dalam pencapain tujuan pengendalian ISPA.
2)
Pengendalian
ISPA
dilaksanakan
sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3)
Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pnemonia
Balita
sesuai
dengan
standar
disemua fasilitas pelayanan kesehatan. 4)
KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.
5)
Ketersediaan
logistik
pengendalian
ISPA
menjadi tanggung jawab pusat dan daerah. 6)
Pengendalian
ISPA
dilaksanakan
melalui
kerjasama dan jejaring dengan lintas program, lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah lintas nasional maupun internasional.
22
7)
Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan
kemampuan
sumber
daya,
pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan evaluasi
program
serta
sosialisasi
pemberdayaan masyarakat. 8)
Autopsi
verbal
dilakukan
dalam
rangka
menentukan penyebab kamatian Balita. 9)
Penyusunan rencana kontijensi kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza semua tingkat.
10)
Rencana pengendalian pneumonia disususn berbasis bukti (evidence based) (Kemenkes, 2012).
b.
Strategi Strategi pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut: 1)
Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan melaksanakan
disemua advokasi
tingkat dan
dengan sosialisasi
pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan global. 2)
Penguatan jejaring internal dan eksternal (LP/LS, profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas swasta, lembaga internasional, dan lain-lain).
23
3)
Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif.
4)
Peningkatan
mutu
pelayanan
melalui
ketersediaan tenaga terlatih dan logistik. 5)
Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia balita dan pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
6)
Pelaksanaan autopsi balita di masyarakat.
7)
Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza
melalui
penysusunan
rencana
kontijensi disemua jejaring, latihan (exercise), penguatan surveilans dan penyiapan sarana prasarana. 8)
Pencatatan
dan
pelaporan
dikembangkan
secara bertahap dengan sistem komputerisasi berbasis web. 9)
Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan berkala.
10)
Evaluasi program dilaksanakan secara berkala (Kemenkes, 2012).
24
4.
Kegiatan Program P2 ISPA Kegiatan program P2 ISPA yang harus dilakukan berdasarkan buku pedoman pengendalian ISPA adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2012): a.
Advokasi dan sosialisasi
b.
Penemuan
dan
kegiatannya
tatalaksana
antara
lain:
pneumonia penemuan
balita, penderita
pneumonia, perkiraan jumlah penderita pneumonia balita (perkiraan pneumonia balita), target penemuan penderita pneumonia dan tatalaksana Pneumonia balita
5.
c.
Ketersediaan Logistik
d.
Supervisi
e.
Pencatatan dan pelaporan
f.
Kemitraan dan jejaring
g.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
h.
Pengembangan program
i.
Autopsi verbal
j.
Monitoring dan evaluasi
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) MTBS singkatan dari Manajemen Terpadu Balita Sakit atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI dalam bahasa Inggris) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan
25
fokus kepada kesehatan anak usia 0-5 tahun (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak balita di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas, Pustu, Polindes, Poskesdes, dan lain-lain (Depkes, 2008). Kegiatan MTBS memliliki 3 komponen khas yang menguntungkan yaitu: a. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana balita sakit (petugas kesehatan non-dokter yang
telah
terlatih
MTBS
dapat memeriksa
dan
menangani pasien balita) b. Memperbaiki
sistem
kesehatan
(banyak
program
kesehatan terintegrasi didalam pendekatan MTBS) c. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan balita sakit (berdampak meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan) (Direktoran Bina Kesehatan Anak, 2009).
26
G.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Menurut Kemenkes (2012) Rendahnya angka cakupan penemuan kasus pneumonia Balita
disebabkan karena sumber pelapoan rutin terutama
berasal dari puskesmas, hanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. penyebablainnya yaitu program deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum terlatih, serta kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/Kota ke provinsi (Kemenkes, 2012). Cakupan penemuan penderita pneumonia di puskesmas berhubungan dengan beberapa faktor diantaranya yaitu faktor petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di puskesmas, faktor sarana penunjang kegiatan program P2 ISPA berupa ketersediaan sound timer untuk mendiagnosa pneumonia, buku pedoman pelaksana program P2 ISPA, bagan tatalaksana penderita ISPA, media untuk penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu balita yaitu berupa poster dan lembar balik (flip chart), ketersediaan obatobatan untuk penderita ISPA serta kegiatan pemantauan program P2 ISPA yaitu berupa supervisi yang dimaksud untuk memeriksa kegiatan pelaksanaan program apakah telah sesuai dengan yang telah digariskan oleh kebijaksanaan program (Dharoh, 2013). Dari penjelasan sebelumnya dijelaskan
bahwa
penemuan
pneumonia berhubungan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan atau hasil dari kinerja petugas. Menurut Stephen P. Robbins (1986) yang dikutif oleh I Gusti
27
Agung Rai (2008) bahwa kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama. Pada pihak lain Ahuya (1996) dalam kutipan yang sama, menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari suatu organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas. Dari kedua istilah tersebut terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu proses dan hasil yang dicapai. Maka berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang berhubungan dengan kinerja. Gibson (2006) menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Diagram skematis yang mempengaruhi perilaku dan kinerja seperti pada gambar berikut: Gambar 2.1 Teori perilaku dan kinerja Perilaku individu (apa yang dikerjakan) Faktor Individu 1. Kemampuan dan keterampilan - Mental - Fisik 2. Latar belakang - Keluarga - Tingkat sosial - Pengalaman 3. Demografi - Umur - Etnis - Jenis kelamin
Kinerja (hasil yang diharapkan)
Faktor organisasi 1. Sumber daya 2. Kepemimpinan 3. Imbalan 4. Struktur 5. Desain pekerjaan
(Sumber: Gibson (1987) dalam Gibson (2006))
Faktor Psikologis 1. Persepsi 2. Sikap 3. Kepribadian 4. Beban kerja 5. Motivasi
28
Teori dari Gibson tersebut menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yakni variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Variabel individu terdiri dari subvariabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi, subvariabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai hubungan tidak langsung dengan perilaku dan kinerja. Variabel psikologis terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut gibson banyak dipengaruhi keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur. Berdasarkan teori Gibson tersebut Yaslis Ilyas (2002) menyatakan dalam kinerja (teori, penilaian dan penelitian), ketiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja personal. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas. Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Tangkilisan (2005), bahwa kinerja tergantung pada ability (kemampuan pembawaan), capacity (kemampuan yang dapat dikembangkan), help (bantuan untuk terwujudnya performance), incentive (insentif material maupun non material),
29
environment
(lingkungan)
dan
evaluation
(evaluasi).
Berdasarkan
beberapa teori tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan pneumonia oleh petugas puskesmas adalah berkaitan dengan teori kinerja di atas. Menurut penelitian Nurcik (2002), dengan menggunakan teori Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu, ada hubungan yang kuat dan bermakna secara sendiri-sendiri antara, pelatihan (OR=6,26 P=0,000; 95% CI 2,20-17,87), sarana penatalaksanaan penderita ISPA (OR 3,08 ;P=0,033; 95% CI 1,09-9,67), dan supervisi lebih dari 2 kali (OR 4,80 ;p=0,001;95% CI 1,76-13,12) dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Peneliti lainnya yang menggunakan kerangka teori Gibson, menunjukkan bahwa 91,67 % puskesmas mempunyai cakupan rendah dan beban kerja (p=0,012) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara statistik yaitu, pelatihan, pengetahuan, supervisi dan kelengkapan sarana program P2 ISPA (Agusman, 2001). 1.
Faktor Petugas Kesehatan a. Jenis Kelamin Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalankan suatu program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau
30
naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas kesehatan (Mulyaningsih, 2013). Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat ahli yang menyatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dengan jenis kelamin laki-laki dalam kepuasaan kerja. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang konsisten
dalam
kemampuan
memecahkan
masalah,
keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan sosiabilitas dan kemampuan belajar (Rival dan Mulyadi, 2010). b. Pelatihan Petugas Pelatihan menurut Sihula (dalam Hasibuan, 2008) adalah suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan prosedur sistematik dan terorganisir sehingga karyawan operasional belajar pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Azwar (2002), tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan sehingga lebih percaya diri dalam menyelenggarakan tugas selanjutnya. Pelatihan
merupakan
usaha
untuk
menghilangkan
terjadinya kesenjangan (gap) antara unsur-unsur yang dimiliki
31
oleh
seorang
tenaga
kerja
dengan
unsur-unsur
yang
dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki tenaga kerja dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya (Notoatmodjo, 2003). Kementrian Kesehatan (2012) menegakan bahwa pelatihan kesehatan dilakukan melalui pelatihan teknis program dan teknis
fungsional
administrasi
secara
untuk
berjenjang
menunjang
disemua
tingkat
profesionalisme.
Dengan
demikian, dalam kaitannya dengan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan,
pelatihan berperan
penting untuk
peningkatan kualitas. Penelitian Ivantika (2001) di Bandung menyatakan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat cakupan program yang lebih tinggi dibandingakn dengan petugas yang tidak mendapat pelatihan. Berbeda dengan penelitian Sonara (2005), Pudjiastuti (2002) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan yang pernah diikuti petugas kesehatan dengan dengan cakupan yang harus dicapai, dalam hal ini cakupan penemuan pneumonia balita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selam ini pelatihan yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi tuntutan
32
program semata tanpa mempertimbangkan perencanaan proses belajar mengajar dengan matang serta asas manfaat yang diperoleh. Disamping itu adanya kendala operasional untuk menerapkan hasil penelitian tersebut di lapangan menyebabkan keterampilan yang telah diperolah petugas lama-kelamaan menjadi minimal kembali (Sonara, 2005). Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di puskesmas meliputi pelatihan tatalaksana penderita ISPA (terintegrasi dengan pelatihan MTBS) dan pelatihan manajemen program P2 ISPA (Kemenkes, 2012). c. Pendidikan Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil sehingga mereka lebih dapat berkualitas (Notoatmodjo, 2003). Dengan pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang
cerdas,
kreatif,
terampil,
disiplin,
beretos
kerja
profesional, bertanggung jawab, dan produktif. Pengembangan
dan
peningkatan
tenaga
kesehatan
dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (Kemenkes,2010) karena menurut Flippo (dalam Hasibuan 2008), pendidikan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman
atas
lingkungan
kita
secara
menyeluruh.
Lingkungan disini adalah pelayanan kesehatan yang diartikan
33
sebagai
proses
dalam
pemberian
pelayanan
kesehatan.
Pernyataan lainnya Hersey dan Blanchard (dalam Sinora, 2005) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan nonformal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan berperilaku. Namun demikian, penelitian Ivantika (2001), Sinora (2005) dan Dharoh, dkk (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan petugas dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Selain itu hasil penelitian Duhri, dkk (2013) menyebutkan bahwa petugas P2TB yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi belum tetntu memilki kinerja yang baik. d. Lama Kerja Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja dapat merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan petugas tersebut dari berbagai segi kehidupan organisasional, misalnya dikaitkan dengan produktivitas kerja (siagian, 2002). Menurut wahyudi (2006) pengalaman seorang tenaga kerja utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada umumnya, semakin lama orang bekerja maka pengalaman bekerjanya akan bertmbah luas, sehingga orang tersebut akan menjadi semakin terampil dalam melaksanakan
34
pekerjaannya. Dengan demikian, produktivitasnya diharapkan juga akan semakin tinggi. Tetapi lamanya masa kerja tersebut di satu sisi akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerjanya. Hal ini tentu saja tergantung pada kepribadian dan motivasi masing-masing individu. Pada individu yang memilki dedikasi dan etos kerja yang tinggi, maka status lama kerja justru akan meningkatkan kualitas pekerjaanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan. Penelitian
Ivantika
(2001)
menyatakan
bahwa
ada
hubungan yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Berbeda dengan penelitian Sonara (2005) tidak ada hubungan yang bermakana antara lama masa kerja petugas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. e. Pengetahuan petugas Pengatahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Proses adopsi perilaku, menurut Rogers dalam Notoatmodjo, sebelum
35
seseorang mengadopsi sesuatu, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan yaitu (Notoatmodjo, 2003): 1) Awareness
(kesadaran),
individu
menyadari
adanya
stimulus. 2) Interest (tertarik), individu mulai tertarik kepada stimulus. 3) Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbangnimbang tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada tahap ini subjek memiliki sikap yang lebih baik. 4) Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru. 5) Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan kesadarannya terhadap stimulus. Tingkatan
pengetahuan
di
dalam
domain
kognitif,
mencakup 6 tingkatan, yaitu: a) Tahu (know): Tahu dapat diperhatikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b) Memahami
(comprehension):
diartikan
sebagai
kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar.
36
c) Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponenkomponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e) Sintesis (synthesis): suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan
dan
dapat
meringkas,
dapat
menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f)
Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria tertentu (Notoatmodjo, 2007) Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki
pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan tentang kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan petugas mampu memberikan pelayanan yang baik. Menurut Wawan (2010), peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pengetahuan formal saja, tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan informal seperti mengikuti
37
pelatihan, membaca buku pedoman atau media elektronik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan (2013) bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia balita. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Duhri, dkk (2013)
yang
menyebutkan bahwa pengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja petugas P2TB. 2.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang Sarana merupakan salah satu perangkat administrasi, yaitu sesuatu
yang
dibutuhkan
untuk
melaksanakan
pekerjaan
administrasi (Azwar,2002). Sarana terdiri dari peralatan, obat dan bahan habis pakai serta dana. Sementara menurut pendapat tokoh lain sarana termasuk dalam elemen struktur yang meliputi bangunan fisik fasilitas dan peralatan. Saran dalam program P2 ISPA untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus penderita meliputi obat, alat bantu hitung, barang cetakan dan buku pedoman. a.
Ketersediaan alat diagnostik Ketersediaan sound timer sebagai alat bantu hitung nafas dalam program P2 ISPA sebenarnya sangat diperlukan karena alat tersebut digunakan untuk membantu petugas dalam mengklasifikasikan penderita ISPA dengan tepat melalui penghitungan frekuensi nafas dalam 1 menit.
38
b.
Ketersediaan Barang Cetakan Logistik media cetak yang disediakan program P2 ISPA untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi terdiri dari buku pedoman program P2 ISPA, pedoman autopsi
verbal,
buku
tatalaksana
penderita
ISPA
(terintegrasi dengan MTBS), buku pedoman ISPA untu kader , poster dan lembar balik. Penelitian Leida (dalam Sinora, 2005) menunjukkan bahwa puskesmas yang mempunyai barang cetakan mengenai ISPA berpeluang untuk lebih berkualitas dalam tatalaksana kasus dibandingkan puskesmas yang tidak tersedia barang cetakan mengenai ISPA. Hal ini sejalan dengan penelitian Sinora (2005) menyatakan bahwa, ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang cetakan pada puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan penderita penumonia di Kabupaten Cianjur. Besarnya kemungkinan adanya hubungan antara ketersediaan barang cetakan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia ini disebabkan karena barang cetakan berperan penting sebagai salah satu bahan informasi dan bahan acuan dalam tatalaksana kasus.
39
c.
Bagan Tatalaksana Bagan tatalaksana yang terpasang diruang periksa yang berisi petunjuk mengenai cara pemeriksaan terhadap penderita dengan batuk dan kesukaran bernapas pada balita, penentuan klasifikasi dan tindakan yang harus dilakukan , akan membantu petugas pada saat menangani kasus ISPA. (Rasmuson, 1988, dalam Sinora, 2005).
d.
Media penyuluhan Media komunikasi, informasi dan edukasi, salah satunya
berupa
lembar
balik
merupakan
suatu
alat
komunikasi yang efektif, yang telah dicoba terutama pada negara-negara berkembang untuk perubahan yang positif. Adapun media penyuluhan (Elektronik dan Cetak) menurut pedoman P2 ISPA adalah tersedianya DVD tatalaksana pneumonia balita, TV spot dan radio spot tentang pneumonia balita, poster, lefleat, lembar balik, kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat (Kemenkes, 2012). e.
Media Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan Pelaporan yang baik, dinilai dari data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya, oleh karena itu perlu
40
adanya media pencatatan dan pelaporan (Rajab, 2009). Adapun macam-macam media pencatatan dan pelaporan menurut
pedoman
P2
ISPA
adalah
sebagai
berikut
(Kemenkes, 2012): 1) Stempel ISPA merupakan alat bantu untuk pencacatan penderita pneumonia balita sebagai status penderita 2) Register harian pneumonia 3) Formulir laporan bulanan. 3.
Faktor Lain a.
Perencanaan Program Suatu kegiatan yang dilaksanakan di puskesmas dimulai dengan perencanaan, agar kegiatan yang dijalankan terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, adapun pengertian perencanaan adalah sebagai berikut, perencanaan menurut Drucker adalah suatu proses yang diorganisasi dan dilaksanakan
secara
sistematis
dengan
menggunakan
pengetahuan yang ada sesuai keputusan yang telah ditetapkan bersama. Keberhasilan pelaksanaan dapat dilihat dari perbandingan antara hasil yang dicapai dengan target yang telah ditetapkan (Herijulianti, dkk, 2002). Sedangkan menurut Goetz, perencanaan adalah kemampuan memilih satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan yang telah tersedia dan dipandang paling tepat
41
untuk mencapai tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan
yang
telah
ditetapkan/diputuskan
bersama
(Herijulianti, dkk, 2002). Berdasarkan penelitian Warsihayati (2002) menunjukkan bahwa pembuatan rencana kerja tahunan memberikan pengaruh terhadap cakupan kasus pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan penelitian Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan program dengan penemuan penderita pneumonia balita. Menurut Koontz dan O’Donnel dalam Sukarna (1992) dan Hasibuan (1990) menyebutkan prinsip-prinsip/asas perencanaan adalah prinsip membantu tercapainya tujuan, efisiensi dari perencanaan, pengutamaan perencanaan, prinsi pemerataan
perencanaan,
patokan
perencanaan,
kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan perencanaan, prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor, prinsip keterikatan, prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan arah, prinsip Perencanaan strategi. Berdasarkan uraian prinsip tersebut, Sukarna (1992) menyimpulkan sebagai berikut:
42
a.
Perencanaan merupakan fungsi utama dari pada manajer. Pelaksanaan pekerjaan tergantung kepada baik-buruknya suatu perencanaan.
b.
Perencanaan harus diarahkan terhadap tercapainya tujuan. Oleh karena itu apabila tujuan tidak tercapai mungkin
disebabkan
oleh
kurang
sempurnanya
perencanaan. c.
Perencanaan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan objektif dan rasional untuk mewujudkan adanya kerja sama yang efektif
d.
Perencanaan
harus
mengandung
atau
dapat
memproyeksi kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. e.
Perencanaan harus memikirkan dengan matang tentang budget, program, policy, procedure, methode dan standar, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita adalah kegiatan inti. Penemuan kasus pneumonia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian pneumonia. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif maupun pasif. Penemuan kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh Unit Pelayanan
43
Kesehatan (UPK) yang ada dengan melihat data jumlah penderita yang datang untuk berobat ke UPK tersebut (Kemenkes, 2012). Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas UPK aktif dilaksanakan oleh petugas dengan mendatangi pasien di wilayah kerja UPK berdasarkan kriteria klinis. Penderita dinyatakan positif berdasarkan gejala
klinis
kemudian
dilakukan
konfirmasi
dari
laboratorium darah dan sputum serta hasil rotgen thorax. Data dari hasil konfirmasi laboratorium rotgen dan pemeriksaan gejala klinis kemudian dikumpulkan yang kemudian dikirim untuk dilakukan analisis dan pelaporan data (Handayani, 2012). Penelitian Handayani (2012) yang dilakukan di seluruh puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa penemuan kasus yang dilakukan puskesmas di Kota Semarang adalah penemuan kasus secara pasif. Selain itu menurut penelitian lainnya yaitu penelitian, Dharoh dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus penderita pneumonia balita. Hal sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Marisa (2011) bahwa tidak
44
ada hubungan antara pelaksanaan program dengan angka bebas jentik di Kota Semarang. Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut: a. menayakan balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas. b. melakukan pemeriksaan dengan melihat Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam (TDDK) dan hitung napas. c. melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan unur <2 bulan dan 2 bulan -< 5 tahun d. melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas; pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia (Kemenkes, 2012). c.
Tatalaksana Pneumonia Balita Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia. Menurut Hasil penelitian Hidayati dan Wahyono (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan MTBS dengan kejadian pneumonia balita atau penemuan kasus pneumonia.
45
Tabel 2.1 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2 Bulan
(Sumber: Kemenkes, 2012) Setelah penderita pneumonia balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai berikut: a.
Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol, amoksilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol dan salbutamol.
b.
Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.
c.
Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat (Kemenkes, 2012).
46
Tabel 2.2 Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan ≤ 5 tahun
(Sumber: Kemenkes, 2012) d.
Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dan Pelaporan merupakan kegiatan yang harus disperhatikan oleh tenaga kesehatan (khususnya epidemiolog) dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik bagi individu, keluarga dan masyarakat. Untuk dapat melakukan kegiatan Pencatatan dan Pelaporan dengan baik, maka dibutuhkan data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya (Rajab, 2009).
47
Pengertian Pencatatan dan Pelaporan menurut Kron dan Gray, pencatatan dan pelaporan adalah mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur. Jika disimpulkan pencatatan dan pelaporan mempunyai arti sebagai berikut: a)
Suatu kegiatan mencatat dengan berbagai alat/media tentang data kesehatan yang diperlukan sehingga terwujud tulisan yang bias dibaca dan dapat dipahami isinya.
b)
Salah satu kegiatan administrasi kesehatan yang harus dikerjakan
dan
dipertanggungjawabkan
oleh
petugas
kesehatan (khususnya epidemiolog). c)
Kumpulan Informasi kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang berfungsi sebagai alat/sarana komunikasi yang penting antar petugas kesehatan (Sutomo, 2010). pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan kasus
pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan berdasarkan kategori kelompok umur untuk mempermudah pengambilan
kebijakan
dalam
rangka
pengendalian
dan
pencegahan pneumonia. Data hasil analisis kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan mingguan ke pusat, serta dilakukan umpan balik dan penyebarluasan informasi kepada publik berupa buletin, website dan laporan hasil kegiatan penemuan kasus (WHO, 2011 dalam Handayani, 2012).
48
e.
Motivasi Petugas Motivasi menurut Walgito (2002) adalah kekuatan yang terdapat dalam diri organisme
itu bertindak atau
berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Berdasarkan
pengertian
dari
beberapa
tokoh
tersebut, dapat disimpulkan pengertian motivasi yaitu suatu dorongan dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agusman (2001) mengenai cakupan penemuan pneumonia balita, menemukan bahwa faktor motivasi (p=0,040) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Selain itu hasil penelitan Sabuna (2011) dan Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa motivasi petugas (p=0,020)
mempunyai
hubungan
dengan
cakupan
penemuan penderita pneumonia balita atau tatalaksana
49
pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa motivasi kerja (p=0,02) berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas (Rosita, dkk, 2013). f.
Kepemimpinan Kepala Puskesmas Terry (dalam azwar, 2002) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau dan bersedia
bekerjasama
untuk
mencapai
tujuan
yang
diinginkan. Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong semangat kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal (Hasibuan, 2001). Pelaksanaan
kepemimpinan
cenderung
menumbuhkan
kepercayaan partisipasi, loyalitas dan internal motivasi para bawahan dengan cara persuasif. Hasil penelitian Sinora (2005), menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepemimpinan pada puseksmas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuaan penderita pneumonia balita. Sedangkan hasil penelitian Rosita, dkk (2013) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan (p=0,04) berhubungan dengan kinerja
50
tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga didukung dengan penelitian Ivantika (2001) menyebutkan bahwa
kepemimpinan
kepala
puskesmas
(p=0,034)
mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Selain itu setiap kepala puskesmas mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Adapun gaya kepemimpinan kepala puskesmas yaitu gaya kepemimpinan partisipasi,
gaya
kepemimpinan
konsultasi,
gaya
kepemimpinan instruksi dan gaya kepemimpinan delegasi. Menurut
Thoha
(2009)
gaya
kepemimpinan
konsultasi memilki esensi dimana pimpinan dan bawahan saling bergantian dalam hal pemecahan masalah. Pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan instruksi berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diputuskan secara efektif. Kepemimpinan partisipasi dalam menjalankan fungsi partisipasi, pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya.
51
Sedangkan kepemimpinan delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat atau menetapkan keputusan (Dimyati, 2014). Berdasarkan diketahui
bahwa
hasil penelitian Salam, dkk (2013) terdapat
hubungan
kepemimpinan (instruktif, konsultasi,
antara
gaya
partisipasi
dan
delegasi) dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian Parawangsyah hubungan
(2012)
antara
menyebutkan
gaya
bahwa
kepemimpinan
terdapat
berdasarkan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan disiplin kerja. g.
Evaluasi Evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh (Umar, 2002). Berdasarkan hasil penelitian penelitian
Warsihayati (2002) menunjukkan
bahwa kegiatan evaluasi di puskesmas tidak memberikan pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia balita.
52
H.
Pemantauan Wilayah Setempat Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA disuatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita. Dengan manajemen PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja sehingga kasus dengan pneumonia balita dapat ditemukan sedini mungkin untuk dapat memperoleh penanganan yang memadai (Kemenkes, 2010). 1.
Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO, Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2010). Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens ada kaitannya dengan penemuan pneumonia balita, jika kegiatan
53
surveilans sudah optimal dan dilaksanakan dengan baik maka kegiatan penemuan pneumonia dapat mencapai indikator. 2.
Peran Kader Kegiatan PWS KIA atau pelaksanaan surveilans dalam penemuan pneumonia balita, tidak lepas dari peran kader kesehatan disetiap wilayah puskesmas. Kader adalah seorang tenaga sukarela yang direkrut dari, oleh dan untuk masyarakat, yang bertugas membantu kelancaran pelayanan kesehatan (Public Health, 2014). Menurut Depkes RI (2003), berbagai peran kader, khususnya pada kegiatan Posyandu, antara lain: 1.
Melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh masyarakat.
2.
Melakukan Survey Mawas Diri (SMD) bersama petugas yang antara lain untuk melakukan kegiatan pendataan sasaran, pemetaan, serta mengenal masalah dan potensi.
3.
Melaksanakan musyawarah bersama masyarakat setempat untuk membahas hasil SMD, menyusun rencana kegiatan, pembagian tugas, dan jadwal kegiatan.
I.
Puskesmas 1.
Pengertian Puskesmas Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
54
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota (UPTD). Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia (Sulastomo, 2007). Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat (Depkes, 2004). 2.
Fungsi Puskesmas Berikut fungsi puskesmas berdasarkan lampiran Keputusan Menteri
Kesehatan
Nomor
128/Menkes/SK/II/2004
tentang
Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Depkes, 2004): a.
Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan Puskesmas memantau
selalu
penyelenggaraan
berupaya
menggerakkan
pembangunan
lintas
dan sektor
termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya,
sehingga
pembangunan kesehatan.
berwawasan
serta
mendukung
55
b.
Pusat pemberdayaan masyarakat Puskesmas selalu berupaya agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat serta berperan aktif untuk hidup lebih sehat. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi: a) Pelayanan kesehatan perorangan b) Pelayanan kesehatan masyarakat
3.
Upaya Puskesmas Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni (Depkes, 2004): a.
Upaya Kesehatan Wajib Upaya kesehatan wajib Puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah: 1)
Upaya Promosi Kesehatan
56
2)
Upaya Kesehatan Lingkungan
3)
Upaya
Kesehatan Ibu
dan Anak
serta Keluarga
Berencana
b.
4)
Upaya Perbaikan Gizi
5)
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6)
Upaya Pengobatan
Upaya Kesehatan Pengembangan Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni:
c.
1)
Upaya Kesehatan Sekolah
2)
Upaya Kesehatan Olah Raga
3)
Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
4)
Upaya Kesehatan Kerja
5)
Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
6)
Upaya Kesehatan Jiwa
7)
Upaya Kesehatan Mata
8)
Upaya Kesehatan Usia Lanjut
Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional
57
Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan masyarakat serta upaya pencatatan dan pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya pengembangan Puskesmas (Depkes, 2004). Upaya kesehatan pengembangan puskesmas dapat pula bersifat upaya inovasi, yakni upaya lain di luar upaya puskesmas tersebut di atas yang sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovasi ini adalah dalam rangka mempercepat tercapainya visi puskesmas (Depkes, 2004). J.
Petugas Puskesmas Petugas puskesmas yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan penderita penyakit adalah, dokter puskesmas, perawat, dan bidan. Dokter puskesmas yang merangkap sebagai kepala puskesmas, mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai seorang dokter dan manajer artinya tanggung jawab seorang dokter tidak hanya mengobati orang sakit saja, tetapi jauh lebih besar yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan dari masyarakat di dalam wilayah kerjanya. Perawat yang bertugas di bagian Poli umum puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan pelayanan pengobatan jalan yaitu memeriksa dan mengobati penderita penyakit menular secara pasif.
58
Bidan puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan pelayanan KIA
dan KB, salah satu diantaranya yaitu melaksanakan
pemeriksaan berkala kepada ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak di puskesmas. Untuk beberapa puskesmas yang kekurangan tenaga perawatnya, maka tenaga bidan seringkali di tempatkan di bagian poli umum puskesmas begitu pula sebaliknya. Petugas pemegang program P2 ISPA adalah petugas paramedis yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas termasuk pencatatan dan pelaporan P2 ISPA. K. Kerangka Teori Dari tinjauan kepustakaan di atas, peneliti mencoba menyusun kerangka teori penelitian yaitu faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan, dengan memodifikasi penjelasan dari Kemenkes (2012), teori kinerja dari Gibson tahun 1987, karena hasil dari kinerja yang baik dari pegawai
akan menghasilkan
kegiatan yang baik pula. Menurut Ahuya (1996) dalam I Gusti (2008), menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari suatu organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas. Menurut penelitian Nurcik (2002), dengan menggunakan teori Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu: ada hubungan yang kuat dan bermakna secara sendiri-sendiri
antara: Pelatihan (OR=6,26 P=0,000;
95% CI 2,20-17,87), sarana penatalaksanaan penderita ISPA (OR 3,08 ;P=0,033; 95% CI 1,09-9,67), dan supervisi lebih dari 2 kali (OR 4,80
59
;p=0,001;95% CI 1,76-13,12) dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Peneliti lain yang menggunakan kerangka teori Gibson, menunjukkan bahwa motivasi (p=0,012) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita (Agusman, 2001). Pembuatan rencana kerja tahunan berpengaruh terhadap penemuan kasus (Warsihayati, 2002). Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
60
Gambar 2.2 Kerangka Teori Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita Faktor Petugas Kesehatan: a. b. c. d. e.
Jenis Kelamin Pelatihan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan Petugas Lama Kerja
Faktor Sarana Kesehatan: a. Alat Diagnostik Pneumonia, b. Media cetakan c. Media Penyuluhan
Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Faktor Lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Beban Kerja Supervisi Perencanaan program kegiatan program tatalaksana pneumonia Pencatatan dan Pelaporan Motivasi petugas Kepemimpinan Kepala Puskesmas Evaluasi
Sumber: Kemenkes (2012), Gibson (1987)
61
BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
A.
Kerangka Pikir
Kerangka pikir menjelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. Subjek utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah kepala puskesmas. Untuk itu pertama-tama peneliti akan mengidentifikasi angka penemuan pneumonia balita pada tahun 2014 di setiap Puskesmas yang diteliti, selanjutnya peneliti mengidentifikasi perencanaan dan kegiatan penemuan pneumonia balita di Puskesmas. Penemuan pneumonia balita di puskesmas menurut beberapa hasil penelitian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pembuatan rencana kerja tahunan, kegaiatan penemuan kasus, tatalaksana kasus di puskesmas, faktor petugas kesehatan (tenaga terlatih, tingkat pendidikan, pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA), faktor motivasi petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, faktor sarana kesehatan (alat diagnostik Pneumonia, Buku pedoman P2 ISPA terbaru, bagan tata laksana, media penyuluhan) dan faktor lainnya (evaluasi, supervisi, pencatatan dan pelaporan) (Agusman, 2001; Nurcik, 2002, Warsihayati, 2002).
61
Dalam penelitian ini, peneliti membuat kerangka pikir penelitian dari pemikiran kerangka teori, dan disesuaikan dengan tujuan dalam penelitian. Adapun yang diteliti yaitu angka penemuan kasus pneumonia balita, perencanaan kegiatan tahunan, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita, kegiatan tatalaksana pneumonia balita, kegiatan pencatatan dan pelaporan, faktor petugas kesehatan, ketersediaan saran dan prasarana, kegiatan evaluasi. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan dilakukan secara pasif yaitu menunggu balita yang sakit berobat ke puskesmas, seharusnya kegiatan penemuan kasus pneumonia balita dilakukan secara aktif. kegiatan tatalaksana pneumonia balita dapat mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita, tatalaksana yang tidak sesuai prosedur dapat menyebabkan laporan
kasus
tidak
valid dan
reliable. sehingga
menyebabkan kesalahan pada saat kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus pneumonia balita. Faktor peran
petugas kesehatan meliputi jenis kelamin, pelatihan
petugas; Pendidikan petugas, lama memegang program P2 ISPA, pengetahuan petugas, hal ini mempengaruhi cakupan program penemuan pneumonia balita, jika tenaga kesehatan tidak terlatih dalam program P2 ISPA maka pada saat mendiagnosis balita yang sakit akan mengalami kesulitan. Tingkat pendidikan atau latar belakang pendidikan petugas kesehatan, lama memegang program P2 ISPA. Teorinya semakin lama maka semakin terampil dan tahu kondisi wilayah kerja dan bagaimana
62
upaya yang harus dilakukan untuk mencapai target cakupan penemuan pneumonia balita. Selanjutnya pneumonia
yaitu
pengetahuan
petugas
kesehatan
mengenai
seperti klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda
penderita pneumonia serta tatalaksana penderita ISPA, petugas MTBS (manajemen terpadu balita sakit) harus mengetahui hal tersebut. Faktor motivasi
petugas
dan
kepemimpinan
kepala
puskesmas
juga
mempengaruhi penemuan pneumonia balita di suatu puskesmas. Motivasi petugas dan kepemimpinan kepala puskesmas berperan penting dalam pencapaian
angka
penemuan
pneumonia
balita,
karena
semakin
termotivasi petugas kesehatan dengan program kesehatan yang dijalankan maka semakin baik program tersebut dilaksanakan begitu pula dengan kepemimpinan kepala puskesmas. Selain itu tidak cukupnya sarana dan prasarana dalam program penemuan pneumonia balita juga mempengaruhi cakupan penemuan penderita pneumonia balita, seperti media cetak/buku cetakan dan media penyuluhan sebagai sarana dan prasarana penunjang program. Selanjutnya kegiatan pencatatan dan pelaporan mempengaruhi cakupan penemuan pneumonia balita. Kegiatan evaluasi pada umumnya dilakukan sebulan sekali untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Hal ini jika evaluasi dilakukan secara rutin perbulan dan dilakukan dengan baik dan benar akan mempengaruhi cakupan penemuan penderita pneumonia. Pencatatan dan pelaporan kasus ISPA yang 63
dilakukan penanggungjawab P2 ISPA mempengaruhi jumlah cakupan penemuan pneumonia balita. Adapun beberapa faktor yang peneliti tidak teliti yaitu beban kerja, alat diagnostik dan bagan tatalaksana. Faktor beban kerja tidak diteliti karena di setiap puskesmas petugas puskesmas mempunyai beban kerja ganda karena keterbatasan sumber daya manusia sehingga bersifat homogen untuk diteliti. Alat diagnostik dan bagan tatalaksana tidak diteliti karena setiap puskesmas pasti mempunyai alat diagnostik dan bagan tatalaksana karena sarana tersebut disediakan oleh Dinas Kesehatan, sehingga bersifat homogen untuk diteliti. Kegiatan supervisi
yang
dilakukan Dinkes tidak diteliti karena kegiatan supervisi tidak dilakukan di semua puskesmas, hanya pada beberapa puskesmas, seperti puksemas yang mempunyai masalah, misalnya terjadi KLB pneumonia balita atau adanya kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia. Berikut gambaran kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
64
Gambar 3.1 Kerangka Pikir
-
-
-
Perencanaan \ penemuan pneumonia balita
-
Kegiatan penemuan pneumonia balita
-
tatalaksana pneumonia balita/MTBS
-
Kegiatan Pencatatan dan pelaporan
Faktor petugas kesehatan -
Jenis kelamin petugas Pelatihan petugas Pendidikan Petugas Lama memegang program P2 ISPA Pengetahuan petugas
-
Motivasi Petugas
-
Kepemimpinan Kepala Puskesmas
Penemuan Penderita Pneumonia Balita
Ketersediaan Sarana dan Prasarana -
Media cetak/buku cetakan Media Penyuluhan
-
Kegiatan Evaluasi
65
B. Definisi Istilah Tabel 3.1 Definisi Istilah No
1
2
Istilah
Definisi
Alat Ukur
Penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014
Tanggapan yang diberikan informan mengenai jumlah penemuan kasus pneumonia balita dalam 1 tahun (2014) dan dibandingkan dengan target penemuan kasus pada tahun tersebut.
- Pedoman wawancara - Daftar dokumen
Tanggapan informan mengenai rencana kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas
- Pedoman wawancara - Daftar dokumen
Perencanaan program kegiatan penemuan kasus pneumonia balita
Cara Pengambilan Data - Wawancara mendalam - telaah dokumen
Hasil Ukur
Informasi mengenai angka penemuan kasus pneumonia di Puskesmas
Skala Ukur
-
Sumber
-
-
- Wawancara mendalam - telaah dokumen
Informasi mengenai ketersediaan pembuatan perencanaan dan adanya dokumen
-
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas Profil Puskesmas atau laporan tahunan kinerja Puskesmas Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas
66
No
Istilah
Definisi
Alat Ukur
Cara Pengambilan Data
Hasil Ukur
Skala Ukur
perencanaan program
3
Kegiatan penemuan pneumonia balita
Bentuk implementasi dari perencanaan program PMTP guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
- Pedoman wawancara - Daftar dokumen
- Wawancara mendalam - telaah dokumen
Sumber
-
Informasi mengenai kegiatan yang telah dibuat dan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
-
-
4
tatalaksana pneumonia balita/MTB S
Tata cara yang dilakukan petugas dalam mengurus atau menangani penderita pneumonia balita di Puskesmas
- Pedoman wawancara
- Wawancara mendalam
Informasi mengenai kesesuaian pedoman tatalaksana pneumonia dengan kegiatan tatalaksana pneumonia balita yang
-
-
-
Profil Puskesmas atau laporan tahunan kinerja Puskesmas Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas Kepala Puskesmas Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas. Petugas MTBS
67
No
5
Istilah
Pencacatan dan pelaporan
Definisi
Kegiatan pencacatan dan pelaporan kasus pneumonia dengan mengikuti pola pencatatan kegiatan yang sudah ada dan alur pelaporan sesuai dengan jalur yang ada di tingkat Puskesmas sampai Dinkes. 6. Faktor Tenaga Kesehatan A Jenis Kondisi informan Kelamin secara biologis sejak penanggung lahir jawab P2 ISPA dan petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
Alat Ukur
Cara Pengambilan Data
- Pedoman wawancara - daftar observasi
- Wawancara mendalam - observasi
- pedoman wawancara
- Wawancara
Hasil Ukur
dilakukan oleh petugas kesehatan. Informasi mengenai kesesuaian alur pencatatan dan pelaporan dengan pola pencatatan yang telah ditentukan.
0. Laki-laki 1. Perempu an
Skala Ukur
-
Sumber
-
- Nominal
-
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas Petugas MTBS
68
No
B
C
D
Istilah
Pendidikan petugas pelaksana
Pelatihan petugas penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) Lama Kerja
Definisi
Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh petugas pelaksana.
Tenaga kesehatan yang pernah mengikuti Pelatihan program P2 ISPA tentang tatalaksana penderita ISPA atau pelatihan MTBS yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kota. Berapa lama petugas P2 ISPA bertanggung jawab terhadap program tersebut sampai dengan waktu di
Alat Ukur
Cara Pengambilan Data
- pedoman wawancara
- Wawancara
- Pedoman wawancara
- Pedoman wawancara
- Wawancara mendalam
- Wawancara mendalam
Hasil Ukur
Skala Ukur
D3 S1 S2 (Ibantika, 2001. Sinora, 2005) Informasi mengenai pelatihan petugas Puskesmas terkait pneumonia balita.
- Ordinal
Informasi mengenai lama kerja petugas Puskesmas
-
0. 1. 2.
Sumber
-
-
-
-
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas Petugas MTBS Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas Petugas MTBS
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA
69
No
E
7
8
Istilah
Pengetahua n petugas
Motivasi Petugas
Kepemimpi nan Kepala Puskesmas
Definisi
wawancara Pengetahuan tentang klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita pneumonia serta tatalaksana penderita ISPA .
Alat Ukur
Cara Pengambilan Data
- Kuesioner
- Wawancara (dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaanke mudian di skor, jika benar =1 dan salah =0)
0.
- Wawancara
0.
Dorongan kerja yang timbul pada diri tenaga pelaksana tekhnis program P2 ISPA untuk berperilaku dalam pencapaian hasil kerja yang baik.
- Kuesioner
Kemampuan kepala Puskesmas dalam memimpin dan memberikan
- Kuesioner
- Wawancara
Hasil Ukur
1.
Pengetahua n buruk Bila skor < 80 Pengetahua n baik bila skor ≥ 80
Skala Ukur
- Ordinal
Motivasi - Ordinal buruk : bila skor < dari 40 1. Motivasi baik: bila skor 40-50. (Dharoh, dkk, 2013) 0. Kurang, bila - Ordinal skor < 80 1. Cukup,bila skor ≥ 80
Sumber
-
-
-
-
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA 70
No
Istilah
Definisi
Alat Ukur
Cara Pengambilan Data
dukungan terhadap pelaksana program P2 ISPA dalam tatalaksana penderita pneumonia.
9. Ketersediaan sarana dan prasarana A Media Ketersediaan buku ceatak/ buku pedoman P2 ISPA, cetakan stempel ISPA, Buku pencatatan dan pelaporan, pedoman MTBS, Pedoman autopsi verbal. B Media Tersedianya media Penyuluhan penyuluhan untuk kegiatan promosi kesehatan kepada ibu balita.
Hasil Ukur
Skala Ukur
(Nurcik, 2002)
- Pedoman wawancara - daftar observasi
- Wawancara mendalam - observasi
- Pedoman wawancara - daftar observasi
- Wawancara mendalam - Observasi
Informasi mengenai kesesuaian antara sarana dan prasarana penunjang program pneumonia yang sudah ditentukan Kemenkes dengan ketersedian sarana tersebut di Puskesmas
-
Sumber
-
petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA
-
-
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA
71
No
10
Istilah
Evaluasi
Definisi
Kegiatan evaluasi yang diadakan Puskesmas setiap sebulan sekali atau rapat bulanan untuk membahas program upaya kesehatan.
Alat Ukur
- Pedoman wawancara
Cara Pengambilan Data - Wawancara mendalam
Hasil Ukur
Informasi mengenai kegiatan evaluasi yang dilakukan di Puskesmas
Skala Ukur
-
Sumber
-
Kepala Puskesmas Penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesmas
72
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A.
Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah epidemiologi deskriptif pendekatan kualitatif dan kuantitaif dengan desain studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses dan memperoleh pengertian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan situasi dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas (Moleong, 2009; Emzir, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. Dengan memilih 2 Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional penemuan kasus pneumonia balita dan 2 puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional penemuan kasus tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeneralisasi penyebab masalah penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
B.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di puskesmas yang ada di wilayah dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan, dengan spesifikasi puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu puskesmas yang mencapai target penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan Kemenkes pada tahun 2014, dan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional 73
74
yaitu puskesmas yang tidak mencapai target penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan Kemenkes pada tahun 2014. Adapun nama Puskesmas yang diteliti dalam penelitian ini adalah Puskesmas Pisangan, Puskesmas Kranggan (Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional) dan Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Bakti Jaya (Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional). Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 2 bulan dimulai sejak bulan Juni hingga Juli 2015. Tabel 4.1 Daftar Tempat Penelitian Perkiraan Penderita Pneumonia Balita Penemuan Kasus Jenis Tahun 2014 *(10% Pneumonia Balita No. Puskemas Puskesmas dari jumlah balita Tahun 2014 di Puskesmas dalam satu tahun) 1 Pisangan 687 1 2 Kranggan 1 Bakti Kelurahan 3 259 291 Jaya Serpong 4 310 545 1 (Sumber: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2014) C. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah Kepala puskesmas. Pemilihan informan ini disesuaikan dengan prinsip penelitian kualitatif yaitu kesesuaian (Appropriateness) dan kecukupan (Adequacy) Kesesuain dalam penelitian ini ialah informan dipilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki informan yang berkaitan dengan topik penelitian. Prinsip kecukupan adalah informasi yang didapatkan harus bervariasi dan
74
75
memenuhi kriteria atau kategori yang berkaitan dengan penelitian (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini ada beberapa kategori informan penelitian yang harus terpenuhi agar informasi didapatkan bervariasi yaitu: 1.
Informan Utama Informan utama adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, dalam penelitian ini informan utama yang diplih untuk wawancara mendalam adalah kepala Puskesmas yang bersedia menyepakati informed consent.
2.
Informan Pendukung Informan pendukung dalam penelitian ini adalah staf penanggung jawab program P2 ISPA di Puskesma dan petugas kesehatan yang melakukan tatalaksana pneumonia balita atau petugas MTBS Puskesmas. Hal ini dapat memberikan telaah secara mendalam mengenai pelaksanaan penemuan pneumonia balita di Puskesmas.
3.
Informan Ahli Informan ahli yaitu para ahli yang sangat memahami dan dapat memberikan penjelasan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian dan tidak dibatasi dengan wilayah tempat tinggal, misalnya: akdemisi, budayawan, tokoh masyarakat dan lain-lain (Sugiyono, 2013). Informan ahli dalam penelitian ini adalah informan yang mengerti mengenai program penemuan kasus
75
76
pneumoni balita, yang tidak ada keterkaitan dengan tempat penelitian.
No.
1.
Tabel 4.2 Informan Penelitian Jabatan Jumlah Informan
Kategori Informan Informan Utama
Kepala Puskesmas
Puskesmas/Instansi -
4
Informan Pendukung
2.
3.
Penanggung jawab P2 ISPA di puskesmas Petugas MTBS
Informan Ahli
Purna Bakti P2PL Kemenkes
-
4
1 1
Puskesmas Pisangan Puskesmas Kranggan Puskesmas Bakti Jaya Puskesmas Serpong 1
P2PL Kemenkes
D. Instrumen Penelitian 1.
Kualitatif Pada penelitian kualitatif, peneliti memiliki kedudukan khusus, yaitu sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, serta hasil penelitiannya (Moleong, 2010). Kedudkan peneliti tersebut menjadikan peneliti sebagai key instrument atau instrumen kunci yang mengumpulkan data berdasarkan kriteria-kriteria yang dipahami (Sugiyono, 2009). Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang tergolong dalam bagian wawancara mendalam
untuk
mewawancarai
informan
terkait
masalah
penemuan kasus pneumonia balita. Instrumen penelitian lainnya
76
77
dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara, observasi dan daftar dokumen. Selain itu, peneliti juga menggunakan alat bantu berupa alat tulis, kamera, dan perekam suara agar dapat memperkuat akurasi data. 2.
Kuantitatif Penemuan pneumonia balita di puskesmas diperoleh dari data sekunder, tujuannya untuk mengklarifikasi data rekap ISPA yang diperoleh dari dinas kesehatan. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner mengenai pengetahuan, motivasi petugas dan petugas MTBS dan kepemimpinan kepala Puskesmas.
E. Data dan Sumber Data 1.
Data Primer Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan
instrumen
berupa
kuesioner
dan
pedoman
wawancara mengenai faktor yang mempengaruhi penemuan penderita pneumonia balita, setelah itu dilakukan juga observasi untuk domain sarana dan prasarana pendukung penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. 2.
Data Sekunder Data Sekunder didapat dari laporan program P2 ISPA di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014. Data Sekunder
77
78
ditelaah untuk mengetahui Puskesmas di Kota Tangerang Selatan yang mempunyai penemuan kasus pneumonia balita yang rendah dan tinggi, pada tahun 2014. Data sekunder selanjutnya yaitu profil Puskesmas dan laporan tahunan kinerja Puskesmas terkait pelaksanaan penemuan pneumonia balita. Tabel 4.3 Pengumpulan Data Penelitian
No . 1.
Data
Sumber Data Primer Sekunder Observa Telaah Wawancara si Dokumen
Penemuan pneumonia balita √
-
√
- Perencanaan kegiatan penemuan pneumonia balita - Kegiatan penemuan 2 pneumonia balita - Tatalaksana pneumonia balita - Pencatatan dan pelaporan Faktor petugas Kesehatan 3 - Jenis kelamin petugas - Pelatihan petugas - Pendidikan Petugas - Lama memegang program P2 ISPA - Pengetahuan petugas 4 - Motivasi petugas
√
-
√
√
-
-
√
-
-
5
- Kepemimpinan kepala Puskesmas ketersedian sarana kesehatan 6 - Media penyuluhan - Media cetak/buku cetakan
√
-
-
√
-
-
√
-
-
Pedoman Wawancara dan Daftar Dokumen Pedoman Wawancara dan Daftar Dokumen
Pedoman Wawancara dan Kuesioner
Kuesioner
√
√
-
Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi
√
-
-
Pedoman Wawancara
7 - kegiatan evaluasi
Instrumen
78
79
F. Pengumpulan data Penelitian 1.
Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada tahap penelitian kualitatif dan kuantitaif menggunakan teknik wawancara, wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. a.
Wawancara da Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini ada beberapa faktor yang diteliti dengan menggunakan kuesioner seperti pengetahuan petugas, motivasi petugas dan kepemimpinan kepala Puskesmas. Wawancara mendalam dilakukan dengan penggalian secara mendalam terhadap satu topik dengan pertanyaan terbuka menurut perspektif informan. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu berupa pertanyaanpertanyaan tertulis dengan pedoman untuk wawancara mendalam, buku catatan dan perekam suara untuk merekam wawancara. Selain menggunakan alat perekam, selama wawancara. Peneliti
juga
menuliskan
membuat
keadaan
catatan
atau
situasi
yang bertujuan saat
untuk
berlangsungnya
wawancara dan semua respon yang diperlihatkan oleh partisipan berupa respon non verbal. Hal ini dimaksudkan untuk membantu peneliti agar dapat merencanakan pertanyaan
79
80
baru berikutnya serta membantu untuk mencari pokok-pokok penting
dalam
wawancara,
sehingga
hal
ini
dapat
mempermudah analisis. Peneliti memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada informan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, peneliti
juga
berusaha
mendorong
partisipan
agar
mengungkapkan berbagai hal ditanyakan berkenaan dengan persepsi informan tentang cakupan penemuan pneumonia balita di Puskesmas. Prosuder ini berlaku pada semua informan.
Melalui
wawancara
ini
diharapkan
terdapat
informasi dan ide dari informan yang dapat digunakan peneliti untuk membangun makna dalam setiap topik (Moleong, 2010). b.
Observasi Observasi dilakukan sebagai bahan konfirmasi terhadap setiap pertanyaan informan dalam melaksanakan upaya penemuan pneumonia balita di Puskesmas. Adapun daftar observasi adalah media cetak/buku cetakan dan media penyuluhan guna mendukung berjalanya upaya penemuan pneumonia balita.
c.
Telaah Dokumen Dokumen yang diamati dalam penelitian ini adalah dokumen resmi. Seperti profil Puskesmas dan laporan tahunan
80
81
kinerja Puskesmas. Dokumen ini dapat memberikan petunjuk mengenai cakupan penemuan pneumonia balita di Puskesmas. 2.
Tahap Pengumpulan Data Sebelum penelitian dilakukan, peneliti mengurus perizinan pengumpulan data di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Surat izin diserahkan kepada kepala Dinas Kesehatan dan kemudian di diteruskan kepada kepala seksi program P2 ISPA untuk mendapatkan data penemuan penderita pneumonia balita, kemudian dipilih 2 Puskesmas yang mempunyai
penemuan
pneumonia balita terendah dan 2 Puskesmas yang mempunyai penemuan pneumonia balita tertinggi. Selanjutnya surat tersebut ditindak lanjuti untuk perizinan kegiatan penelitian faktor yang mempengaruhi penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas. Setelah izin diberikan peneliti melakukan wawancara dan wawancara mendalam dengan informan yang telah ditentukan yaitu kepala Puskesmas. Setelah itu peneliti melakukan triangulasi sumber dengan mewawancarai infroman pendukung yaitu; penanggung jawab P2 ISPA dan petugas tatalaksana pneumonia balita atau petugas MTBS di Puskesmas. Selanjutnya hasil wawancara dan observasi dianalisis dan disajikan dalam bentuk narasi.
81
82
G. Triangulasi Data Triangulasi data yang dilakukan peneliti adalah dengan cara menilai validitas penelitian, maka dilakukan triangulasi diantaranya: 1.
Sumber Dilakukan dengan cara cross check data dengan fakta dari sumber lainnya yang terkait untuk menggali topik yang sama. Seperti melakukan wawancara mendalam kepada penanggung jawab P2 ISPA dan petugas tatalaksana pneumonia balita atau petugas MTBS di Puskesmas.
2.
Metode Dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dalam melakukan pengumpulan data diantaranya wawancara mendalam, observasi dan telaah data sekunder berupa dokumen-dokumen terkait penemuan penderita pneumonia balita.
82
Tabel 4.3 Triangulasi Data Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Triangulasi
Informasi
Wawancar a Mendalam
Telaah Dokume n
Obs erva si
Kepala Puskesmas
Penanggung Jawab P2 ISPA di Puskesmas
Petugas MTBS di Puskesmas
1
Penemuan pneumonia balita
√
√
-
√
√
-
2
√
√
-
√
√
-
√
-
-
√
√
-
√
-
-
4
Perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita Kegiatan penemuan pneumonia balita Tatalaksana pneumonia balita Pencatatan dan Pelaporan
√
-
√
√ √
√ √
√ -
5
Faktor petugas kesehatan √
-
-
√
√
√
-
-
√
√
√
-
-
√
√
-
-
√
No
2 3
-
Jenis kelamin petugas Pelatihan petugas
-
Pendidikan Petugas
-
Lama Kerja
√ √
√
√
√
√
83
Teknik Pengumpulan Data No
Wawancar a Mendalam Ketersediaan saran dan prasarana -
8 9
Telaah Dokume n
Obs erva si
√
-
√
√
-
√
√
-
-
Informasi
Media cetak/buku cetakan Media penyuluhan
Evaluasi
Triangulasi Kepala Puskesmas
√ √ √
Penanggung Jawab P2 ISPA di Puskesmas √
Petugas MTBS di Puskesmas
-
√
-
√
-
84
85
H. Pengolahan dan Analisis Data 1.
Data Kualitatif Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Mengumpulkan semua data yang diperoleh dari seluruh informan melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. b. Hasil wawancara mendalam dicatat kembali, berdasarkan rekaman yang diperoleh pada saat wawancara mendalam dalam bentuk tulisan (transkip). c. selanjutnya dilakukan analisis data dan interpertasi data secara kualitatif dan membandingkannya dengan teori yang ada. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Menurut Holsti (1969) dalam Moleong (2009), analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk menarik kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristikkarakteristik khusus suatu pesan objektif dan sistematik. Sesuai dengan penjelasan teknik analisis data kualitatif yaitu analisis isi, semua data yang sudah diperoleh selanjutnya dinarasikan dan disusun kedalam transkrip untuk kemudian dibuat matriksnya. Data yang telah disusun kemudian diidentifikasi faktor mana yang menjadi penyebab masalah dalam penemuan penderita pneumonia balita. Seluruh data yang diperoleh disajikan dalam
85
86
bentuk
narasi,
tersebut
dilengkapi
kemudian
dengan
dibandingkan
matriks. Hasil penelitian dengan
teori
dari
hasil
kepustakaan untuk menjelaskan dan melihat apakah terdapat perbedaan hasil penelitian dengan teori. 2.
Data Kuantitatif Pengolahan data dalam data kuantitatif yaitu dengan memberi kode, memeriksa kuesioner, memberi kode ulang, skoring dan mengolah data. Adapun analisis data yang digunakan pada pendekatan kuantitatif secara univariat dengan menggunakan hasil skor dari variabel pengetahuan, pendidikan, motivasi dan kepemimpinan kepala Puskesmas.
86
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Informan Informan pada penelitian ini terdiri dari informan utama yaitu kepala Puskesmas dan informan pendukung yaitu penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Dalam penelitian ini peneliti memilih 4 Puskesmas yang diteliti dengan membandingkan 2 Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dan 2 Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional pada tahun 2014. Adapun Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional adalah Puskesmas Baktijaya dan Puskesmas Serpong 1, sedangkan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Pisangan dan Puskesmas Kranggan. Selain itu peneliti juga mewawancarai informan ahli untuk memberikan penjelasan mengenai permasalahan dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang selatan. Berikut data informan pada penelitian ini yang disajikan dalam bentuk tabel:
87
88
Tabel 5.1 Karakteristik Informan
Kode Informan Infroman 1
Jenis Kelamin Laki-laki
Infroman 2
Perempuan
Infroman 3
Laki-laki
Infroman 4
Perempuan
Infroman 5
Perempuan
Usia (tahun) 51 56 52 43
Lama Bekerja 5 bulan 5 bulan 4 tahun 5 bulan 4 tahun
D3 Kebidanan
28 tahun
D3 Kebidanan
1 tahun
D3 Kebidanan D3 Kebidanan S1 Kedokteran D3 Kebidanan
40 Infroman 6
Perempuan 54
Infroman 7
Perempuan
Infroman 8
Perempuan
Infroman 9
Perempuan
Infroman10
Perempuan
28
1 tahun
24 39 26
Pendidikan Terakhir SI Ked. Gigi SI Ked. Gigi SI Ked. Gigi SKM
5 bulan 2 tahun
Infroman 11 Laki-laki 61
S2 Epidemiolog i
Jabatan/Pekerjaan Kepala PKM Bakti jaya Kepala PKM Serpong 1 Kepala PKM Pisangan Kepala PKM Kranggan Penanggung jawab P2 ISPA dan Petugas MTBS Bakti Jaya Penanggung jawab P2 ISPA dan Petugas MTBS Serpong 1 Penanggung jawab P2 ISPA Pisangan Penanggung jawab P2 ISPA Kranggan Petugas MTBS PKM Pisangan Petugas MTBS PKM Kranggan Informan Ahli/Purna Bakti P2PL Kemenkes
Sumber: Form Identitas Informan, 2015 B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 tahun 2008, tentang pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Hal ini
89
dilakukan dengan tujuan salah satunya untuk meningkatkan pelayananan dalam bidang kesehatan. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106'38' - 106'47’ Bujur Timur dan 06'13'30' 06'22'30' Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang b. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok d. Sebelah
barat
berbatasan
dengan
Kabupaten
Tangerang
(Tangerangselatan.go.id, 2014) Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas terdiri dari 18 Puskesmas perawatan dan 7 Puskesmas non perawatan, 25 Puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Pamulang, Benda Baru, Pondok Benda, Serpong 2, Bakti Jaya, Rawa Buntu, Paku Alama, Pondok Kacang Timur, Pondok Pucung, Pondok Ranji, Pondok Betung, Rengas, Pisangan, Pondok Jagung, Jurang Mangu, Serpong 1, Serpong 2, Situ Gintung, Kranggan, Setu, Ciputat Timur, Ciputat, Kampung Sawah, Pondok Aren, Jombang dan Parigi (Dinas Kota Tangerang Selatan, 2013).
90
C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dapat dilihat dari cakupan penemuan kasusnya. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk memantau dan menilai pelaksanaan program. Salah satu indikator utama yang digunakan yaitu cakupan penemuan kasus pneumonia. Dalam penelitain ini yang dimaksud cakupan penemuan pneumonia adalah jumlah kasus yang berhasil ditemukan dan dilakukan tindakan tatalaksana penderita. Angka cakupan penemuan kasus pneumonia didapatkan dari hasil pembagian antara jumlah kasus pneumonia yang ditemukan disuatu wilayah kerja Puskesmas selama tahun 2014 dengan jumlah estimasi kasus pneumonia balita di Wilaya kerja Puskesmas tersebut. Adapun cakupan nasional yang ditetapkan Kemenkes pada tahun 2014 sebesar 100%. Berikut ini adalah grafik mengenai cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan selama tahun 2012-2014.
91
Grafik 5.1 Penemuan Kasus Pneumonia di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 120% 100%
100% 90%
Presentase
80%
80%
60%
Pencapaian di Tangsel 44%
40% 20%
42.40%
Target Nasional
14.75%
0% 2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Dinkes Kota Tangerang Selatan (2012,2013,2014) Berdasarkan grafiks tersebut dapat diketahui bahwa penemuan kasus pneumonia selama tahun 2012-2014 belum dapat mencapai target yang ditetapkan Kemenkes. Pada tahun 2012 penemuan pneumonia balita di Tangsel masih terbilang rendah yaitu 14,75% sedangkan target penemuan secara nasional sebesar 80%. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan, akan tetapi masih jauh dari target yang ditetapkan Kemenkes yaitu sebesar 90% dan pada tahun 2014 menjadi 100%. Rendahnya angka penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan, disebabkan karena pencatatan dan pelaporan kasus di Puskesmas. Berikut ini adalah tabel mengenai cakupan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014.
92
Tabel 5.2 Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari-Desember 2014 Cakupan Jumlah Perkiraan penemuan No. Puskesmas Penderita Penderita pneumonia Pneumonia balita (%) 1 Pamulang 1.614 1.197 74,1 2 Pondok Benda 396 268 67,6 3 Benda Baru 1.122 174 15,5 4 Ciputat 587 61 10,4 5 Situ Gintung 328 102 31 6 Jombang 522 203 38,8 7 Kampung Sawah 665 43 6,4 8 Ciputat Timur 688 71 10,3 9 Pondok Ranji 317 100 31,5 10 Pisangan 687 1 0,14 11 Rengas 263 248 94,2 12 Pondok Jagung 613 90 14,6 13 Paku Alam 771 564 73 14 Pondok Aren 434 957 220 15 Pondok Pucung 299 127 42,4 16 Pondok Betung 817 165 20,2 17 Jurang Mangu 890 172 19,3 18 Parigi 286 29 10,1 19 Pndk. Kacang 69,2 20 21 22 23 24 25
Timur Serpong I Serpong II Rawa Buntu Setu Kranggan Bakti Jaya
591 310 387 805 217 249 259
409 545 63 16 86 1 291
Dinkes Tangsel 14118 5983 Sumber: Laporan P2 ISPA Dinkes Tangerang Selatan, 2014
175,8 16,3 2 39,6 0,4 112 42,2
Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa cakupan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan sebesar 42,2%, hal ini menunjukkan bahwa cakupan penemuan kasus pneumonia masih rendah. Angka tersebut
masih
jauh dari cakupan penemuan kasus
pneumonia balita yang ditetapkan Kemenkes
yaitu 100%, dari 25
93
Puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan hanya 3 Puskesmas yang sudah mencapai target yaitu Puskesmas Pondok Aren, Puskesmas Serpong 1, dan Puskesmas Bakti Jaya. Sedangkan Puskesmas dengan cakupan penemuan kasus pneumonia < 1% yaitu Puskesmas Kranggan dan Puskesmas Pisangan, dengan penemuan kasus dalam
satu tahun
hanya ditemukan 1 penderita pneumonia balita di Puskesmas tersebut. Dalam penelitian ini, Puskesmas diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kelompok Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dan kelompok Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Adapun kelompok Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penelitian ini yaitu Puskesmas Bakti Jaya dan Serpong 1. Sedangkan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Pisangan dan Puskesmas Kranggan. D. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang menunjukkan antara Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dan tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita, faktor tersebut meliputi pembuatan perencanaan program, kegiatan program penemuan kasus pneumonia, pelatihan petugas, pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA, motivasi petugas, kepemimpinan kepala Puskesmas, ketersediaan sarana kesehatan (media cetak/buku cetakan terkait program P2 ISPA, bagan tatalaksana peneumonia/MTBS). Berikut ini adalah uraian
94
hasil penelitian analisis faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan. 1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita Kegiatan penemuan kasus pneumonia balita yang dilaksanakan di puskesmas dimulai dengan perencanaan program terlebih dahulu, agar kegiatan yang dilakukan terarah dan sesuai pencapaian program yang diinginkan. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui informasi mengenai
perencanaan program di Puskesmas, maka peneliti
melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Adapun pertanyaan yang ditanyakan meliputi, ada tidaknya perencanaan program, kapan perencanaan program
dibuat dan siapa saja yang terlibat dalam perencanaan
program tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan pada saat penelitian diketahui bahwa, semua Puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita, tetapi Puskesmas tersebut tidak mempunyai bukti telah melakukan perencanaan program tersebut.
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional pada
umumnya membuat perencanaan program tahun 2014 pada akhir tahun 2013. Hal tersebut dibenarkan oleh informan 5 dan 6, adapun hasil wawancaranya adalah sebagai berikut.
95
Informan 1
“dilakukan dong. awal januari, januari, februari lah” “kan kemarin saya juga baru, dari sini kan februari pertengahan. Sebelumnya tuh januari, februari, maret, Cuma itu harus ada profil Puskesmasnya baru dibuat perencanaan” Informan 2
“ya rata-rata sih hampir sama dengan di Puskesmas lain, misalnya pendataan kemudian temuan-temuan di Posyandu pertemuan di dalam gedung,tapi apa yang dilakukan disini saya enggak tahu persis terutama tahun 2014, karena ibu baru masuk Februari 12-13” Informan 5
“POA itu” “ POA itu dibuat sebelum akhir tahun, Desember-november lah” Informan 6
“iya ada, bulan Desember biasnya diakhir tahun” “ iya buatnya dibantu sama dokter yang mimpinnya, kerja sama kesling, iya” Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, dibuat oleh penanggung jawab program tersebut. Dalam perencanaannya penanggung jawab program bekerjasama dengan petugas kesehatan lingkungan (kesling), promosi kesehatan (promkes), petugas MTBS dan dokter umum di Puskesmas. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan kepala Puskesmas dan penanggung jawab P2 ISPA, untuk mendukung informasi tersebut. Informan 1 “yang buat perencanaan penanggung jawab P2 ISPA” Informan 2 “Semuanya terlibat, terutama yang megang program mbak”
96
Informan 5 “oh iya kita namanya masing-masing program itu pasti bekerja sama dengan promkes, kalau berhubungan dengan pneumonia bisa promkes bisa kesling, MTBS bisa juga dengan apa namanya binwil-binwil” Informan 6 “ iya buatnya dibantu sama dokter yang mimpinnya, kerja sama kesling, iya”
Perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita, juga dibuat di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Menurut
informasi yang diperoleh dari informan 7 dan 8, selaku
penanggung jawab P2 ISPA, diketahui bahwa pembuatan perencanaan di Puskesmas tahun 2014 dilakukan pada awal tahun 2014. Berikut ini adalah pernyataan yang disampaikan oleh beberapa informan untuk mendukung informasi tersebut. Informan 3 “dibuat Dibuat, oh kita ada sistem laporan, semua program sama dibuat, ada laporan mingguan bulanan tahunan di rangkum dalam satu laporan” “perencanaan setahun sebelumnya, em, awal bulan ya” Informan 4 “disini pasti ada perencanaan. Tapi jujur disini saya baru 5 bulan, kalau rencana program sih setiap bulan. kalau cakupan pencapaian target MTBS sih saya targetkan minamal 1-5 MTBS”
Informan 7 “ada, biasanya bulan Desember atau Januari lah” Informan 8 “Ada buat 1 tahun, pas awal tahun”
97
“bulan, paling bulan Januari-februari, yaa desember akhir lah, Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak berbeda jauh dengan
Puskesmas
yang
berhasil
mencapai
target
nasional.
Perencanaan tersebut dibuat oleh penanggung jawab program P2 ISPA. Berdasarkan informasi dari informan 7 dan 8, diketahui bahwa dalam perencanaannya
penanggung jawab program bekerjasama
dengan petugas kesehatan lingkungan (kesling), dokter umum di Puskesmas dan kader posyandu. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung informasi tersebut. Informan 3 “yang buat bidan Septi, penanggung jawab pneumonia untuk anak ya”, “program itu misalnya ada kaitan dengan posyandu dengan bina wilayah bidan-bidan, kalau lintas program em lintas sektoral itu bisa dengan BP-BP swasta atau klinik-klinik untuk meminta laporan” Informan 4 “MTBS belum berjalan maksimal, dan petugasnya pun belum pernah ikut pelatihan MTBS.tapi saya coba terapkan, kalau yang buat perencanaan yang megang programnya, melibatkan seluruhnya. Terutama dokter. Ya dokter, soalnya yang menentukan diagnosa itu kan dokter. Tidak ada lagi bidan atau perawat yang memeriksa” Informan 7 “yang buat saya sendiri” Informan 8 “yang buat perencanaannya saya sendiri, jadi kan kayak perencanaan untuk satu tahun kedepan kan, kerjasama sama sama kesling pasti sama kader sama dokter di Puskesmas itu aja”
98
Informasi yang diperoleh dari informan, mengenai perencanaan program di Puskesmas, sesuai dengan pendapat informan ahli bahwa, suatu organisasi dalam hal ini Puskesmas, harus membuat perencanaan program jika akan melakukan kegiatan untuk mencapai target program. Sebelum prencanaan program dibuat, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat peta masalah kemudian mengidentifikasi masalah tersebut di wilayah Puskesmas. Selain itu, Puskesmas juga harus membuat rencana atau agenda dalam periode bulanan dah harian. Informasi ini didukung dengan hasil wawancara berikut ini: Informan 11
“em, jadi organisasi mau melaksanakan kegiatan suka atau tidak dia harus menyusun rencana kerja untuk mencapai targetnya, berarti di jelas punya target punya peta masalah yang menjadi apa namanya upaya yang mau dicari sesuai dengan targetnya kemudian dia mengidentifikasi masalahnya, Puskesmas itu punya jeda lima tahun dan dia bedah dalam lima tahun agendanya mau berapa, kemudian dia bedah lagi dalam peroide bulanan, pengalaman kita di Puskesmas, kita harus punya rencana harian lebih opreasional misalnya tempat itu ada sepuluh, sepuluh itu kira-kira gimana mulai diharian” Rencana program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Baktijaya, Serpong 1, Pisangan dan Kranggan, bekerjasama atau melibatkan semua staf Puskesmas dalam penyusunan rencana tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh informan ahli, bahwa dalam pembuatan perencanaan program harus melibatkan semua staf Puskesmas terutama kepala Puskesmas. Berikut ini adalah
99
pernyataan yang disampaikan oleh informan ahli mengenai hal tersebut. Informan 11 “untuk pneumonia itu, mau tak mau harus ada kontribusi dari semua staf, terutama kepala Puskesmas harus menggabungkan pneumonia sendiri, imunisasi sama ibu dan anak, terutama lingkungan, apa lagi dalam upaya penemuan program pneumonia menginginkan penemuan pneumonia dan peran kader semakin dekat kan gitu, apa lagi petugas” Berdasarkan informasi-informasi tersebut dapat diketahui bahwa, semua Puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014, akan tetapi waktu penyusunananya berbeda-beda. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, membuat perencanaan program tersebut pada akhir tahun 2013 dengan melibatkan penanggung jawab program, petugas kesling, promkes dan petugas MTBS serta dokter umum. Sedangkan Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional, penyusunan rencananya dilakukan pada awal tahun 2014, adapun petugas yang terlibat yaitu petugas kesling, dokter umum dan kader posyandu. Hal ini sesuai dengan pendapat informan ahli bahwa, perencanaan dalam suatu organisasi harus dibuat untuk mencapai target program dengan melibatkan semua staf Puskesmas. 2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita
Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita, di setiap Puskesmas berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi wilayah
100
tersebut. Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita, kegiatan penemuan kasus merupakan kegiatan inti dan dapat dilakukan di Puskesmas (secara pasif) ataupun di Posyandu atau masyarakat (secara aktif). Dalam penelitian informasi tersebut dapat diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam kepada kepala Puskesmas dengan dikonfirmasi kembali melalui pernyataan penanggung jawab P2 ISPA, baru kemudian dapat ditarik kesimpulan mengenai hal tersebut. Menurut informasi yang didapat pada saat penelitian, diketahui bahwa kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan secara aktif dan pasif. Penemuan secara aktif dilakukan dengan mencari penderita pneumonia balita di Posyandu dan di masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaanya Puskesmas bekerja sama dengan kader dan Binwil. Sedangkan penemuan secara pasif di lakukan dengan menunggu pasien datang ke Puskesmas tersebut. Tidak hanya itu, Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional juga melakukan pelacakan jika ada kasus pneumonia atau kematian bayi akibat pneumonia. Berikut ini adalah hasil wawancara kepala Puskesmas dan penanngung jawab P2 ISPA yang mendukung informasi tersebut. Informan 1 “ya paling ya kalau kegiatan pneumonia sama MTBS, pelaksanaan pelayanan MTBS di sini, “iya, di posyandu juga. Kan di posyandu juga terus yaudah jadi gitu kalo pelaksanaan pelayanan MTBS di sini kan, iya aktif kalau
101
itu kan di posyandu ya diperiksa terus kalau misalnya pneumonia udah disuruh kesini kalau enggak sibuk” Informan 2 “Saya tidak tahu persis kalau disini, ya tapinya pasti pelaksanaan penyuluhan di posyandu pemeriksaan balita, iya bagusnya ya aktif dan pasif, tapi sepertinya pasif saja”
Informan 5 “kalau pneumonia itu programnya 1 pelacakan kalau ada kasus pneumonia, atau kematian bayi akibat pneumonia pelacakannya ya, mungkin dalam setahun itu bisa tergantung kasus, kalau saya di perencanaanya kan ada targetnya itu 2 kali, dilihat dari banyaknya kasus aja itu baru kunjungan bayi yang meninggal dalam setahun karena kasus pneumonia baik bayi ataupun balita itu kunjungannya tapi kalau misalnya planing buat bulanan nya mungkin kita sambil posyandu bisa juga menanyakan ke kader atau kita juga sama binwil bisa mencari bayi dengan napas cepat kita bisa bilang pneumonia kan, setiap haripun bahkan setiap bulan pun kita di balai pengobatan di Puskesmas itu di poli itu kan tiap hari ada yang berobat di poli anak kan kalau misalnyan bayi dengan napas cepat bisa kita ambil data dari situ , tapi kalau untuk POA nya sendiri bersamaan dengan posyandu atau binwil kita bisa kadang ada bayi atau balita dengan napas cepat itu disebut juga dengan pneumonia” Informan 6 “selama ini sih itu pasif, tapi dicari juga neng di posyandu” Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, diketahui bahwa kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di Puskemas yang tidak berhasil mencapai target nasional, hanya melakukan penemuan kasus di Puskesmas dan di klinik-klinik swasta. Sehingga dapat dikatakan penemuan kasus di Puskesmas tersebut dilakukan secara pasif. Menurut pengakuan informan di Puskemas
102
tersebut tidak ditemukan kasus pneumonia balita hanya 1 balita yang tercatatat menderita pneumonia balita di tahun 2014. Informan 3 “ke klinik-klinik mencari sasaran bisa juga dengan kunjungan rumah, tergantung kasus, kalau ada kasus ya pernah, pernah terkadang kalau jemput bola kita ke klinik-klinik swasta” Informan 4 “strateginya ya kita di posyandu, penyuluhan perorangan, penyuluhan perkelompok ibu-ibu di posyandu. Pokonya setiap ada anak yang batuk pilek, demam pokoknya jangan dianggap enteng. Kita kan disini cakupan TB juga masih rendah ya, ada batuk lebih dari 2 minggu ya itu harus segera periksa dahak. Penyuluhan motivasi perorangna, di luar dan dalam gedung ya itu tetap dilakukan.” Informan 7 “kalau kita, kita ke klinik-klinik, wilayah kerja Pisangan itu kita nyari pasien jadi kita bikin formnya sepuluh penyakit terbesar salah satunya untuk pneumonia karena kalau untuk di Puskesmas kita kurang dari target kita jadi kita ke klinik-klinik yang ada di wilayah kerja pisangan kita nyari nanti kan disitu di dapatkan jumlah penderita yang ditemukan tapi ini lebih ke anak-anak ya kita kalau dewasa enggak, cuma sampai lima tahun” Informan 8 “paling penyuluhannya aja, di Posyandu-posyandu, paling kita nunggu pasien saja” Kegiatan program penemuan kasus di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, sesuai dengan pendapat informan ahli bahwa, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita harus dilaksanakan secara kombinasi yaitu aktif (pencaraian di masyarakat seperti di Posyandu) dan pasif (menunggu pasien yang datang ke Puskesmas),
103
dengan membuka pelayanan sebanyak mungkin. Adapun informasi tersebut dapat didukung dari hasil wawancara berikut:
Informan 11 “sebenarnya gini kita punya istilah aktif sama pasif, seharusnya kan akyif sama pasif itu berjalan barengan upaya paling penting adalah aktif menjadi tonggak penemuan kasus tapi makna dari aktif tiba-tiba menjadi penting ketika apa penyebarluasan informasi ketika orang sakit tertentu harus datang ke pelayanan menjadikan yang pasif itu tiba-tiba jadi aktif mendorong orang untuk datang ke pelayanan yang menjadi pasif ketika saya mendektkan pelayanan saja ke masyarakat melalui Puskesmas keliling, melalu pos kesehatan desa dan banyak pos kesehatan desa di Puskesmas ini semakin banyak frekuensinya berarti semakin dekat dengan masyarakat, kombinasi pun yang disebut aktif itu bisa jadi membuka pelayanan sebanyak mungkin” Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional melakukan kegiatan penemuan kasus secara aktif maupun pasif untuk mencapai target penemuan kasus pneumonia balita, sedangkan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional hanya melakukan penemuan kasus secara pasif dan mereka hanya melakukan penyuluhan saja di Posyandu. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas
yang
berhasil
mencapai
target
nasional
dalam
penjelasannya lebih detail dari pada Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Menurut informan ahli target tersebut dapat dicapai dengan membuka pelayanan sebanyak mungkin atau dengan melakukan kegiatan penemuan kasus di masyarakat (secara aktif) dan di Puskesmas (secara pasif).
104
3. Tatalaksana Pneumonia Balita/ MTBS Kegiatan yang terpenting dalam penemuan kasus pneumonia balita adalah tatalaksana kasusnya atau saat ini lebih dikenal dengan MTBS. Melalui
MTBS tersebut dapat diketahui seorang balita menderita
pneumonia
atau
tidak.
Oleh
karena
kegiatan
tatalaksana
pneumonia/MTBS adalah ujung tombak dari penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas. Berikut ini adalah hasil penelitian, mengenai tatalaksana pneumonia balita/MTBS yang dilakukan di Puskesmas. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, diketahui bahwa semua Puskesmas melakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita. Kegiatan tersebut di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan di MTBS dengan penatalaksananya adalah dokter yang dibantu dengan perawat atau bidan. Akan tetapi, jika dokter tersebut tidak ada maka penatalaksananya adalah perawat atau bidan yang sudah mendapatkan pelatihan atau mengetahui tatalaksana pneumonia balita. Selain itu tatalaksana pneumonia balita juga dilakukan di Posyandu untuk mencapai cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi tersebut. Informan 1
105
“ya dokter sama bidan atau perawat yang membantunya, balita sakit kan, iya biasanya kalau pemeriksaan petugas yang sudah paham atau sudah dilatih sebentar kalau petugas belum dilatih kan lama ya meriksanya, kalau dia enggak begitu lama meriksanya” Informan 2 “MTBS itu saya mengerti MTBS itu seharusnya ada, saya ngerti dan itu sangat patuh bagaimana kita lebih detail dalam temuan iya kan” “iya petugas di bagian anak, seharusnya dia berdekatan juga dengan gizi makanya ruangan gizi saya taro berdekatan dengan anak” “kita kekurangan tenaga disini,saya rasa tidak selalu dokter tapi kadang-kadang” Informan 5 “kan didalam MTBS itu kan ada standarnya, ada bayi/balita yang di MTBS itu kan semua kita tanyain dia sudah kategori bahaya atau tidak. Terus ada optionnya juga mengenai anak ada batuk / sukar bernapas atau tidak. Kalau memang sukar bernapas, kan kita hitung napasnya ddalam satu menit ada berapa napasnya, sudah berapa lama iya kan jadi kita bisa lihat disitu dia sebenarnya sakit apa. Kita bisa liat apa batuk, apa diare, apa demam, campak atau malaria, disitu ada tu optionnya di MTBS itu apa gangguan telinga,imunisasi, kurang gizi cacing, apa pneumonia kan ada semua. tapi Kalau pneumonia paling kita disini optionnya apakah anak batuk atau sukar bernapas. Nah jadikan nanti kita hitung napasnya. dari situ Ketauan dia pneumoni atau tidak gitu” “Dokter umum yang periksa, kalau memang dia kesulitan bernapas misalnya baru pneumonia ringan saja biasanya di kasih obat untuk meredakan batuk, bahkan kalau misalnya itu pun antibiotik yang sesuai dengan gejalanya dia, iya terus lanjut lagi”
Informan 6 “ya dua-duanya kadang dokter atau bidan, seharusnya emang dokter ya tapi enggak selalu ada dokter di Puskesmas kadangkadang kan ada dinas malam nya pagi-pagi libur, yang pasti dijelaskan menurut prosedur gitu”
106
“kan pasien datang harus ditanya, datang suruh duduk lalau ditimbang duduk ditanya kenapa kan pasti dia jawabkan sakit batuk apa sesak atau panas dan batuk nah diperiksa dilihat kan, dilihat apakah ada napas cepat kalau kita lihat memang ada napas cepat otomatis harus dihitung napasnya iya kan, kita kan target juga sehari minimal 3 ya menemukan penderita pneumonia, minimal 3 kalau lagi banyak mah banyak, kalau sekarang menurun, dulu banyak banget ada 4 , karna mereka datangnya dari luar wilayah mungkin kalau dari penduduk serpongnya sendiri dia banyaknya kan ke dokter karena udah pada apa namanya, bukan SDM nya ya, mungkin golongannya udah menengah ke atas ya jadi dia banyaknya ke dokter praktek yang swasta gitu ya jadi penduduknya yang ada di serpong sendiri itu enggak banyak yang berobat kesini padahal mungkin ada pneumonia yang enggak bisa ditemukan yang enggak datang ya itulah jadi kita dilihatnya di posyandu kita pasti kalau di posyandu kan balita yang ditimbang pas ditanya kenapa anaknya enggak datang atau kenapa enggak disuntik kan , anak demam sakit atau apa pasti sama bidannya diperiksa, saya sebagai petugasnya sering mensosialisasikan tentang penyakit ISPA untuk penjaringan pneumonia kan, yang pneumonia itu seperti apa gejalanya tandatandanya dan seperti apa gitu kalau misalnya yang bukan pneumonia seperti apa gitu kan mereka, minimalnya kan sudah tahu yang ke posyandu pasti dilihat, oh iniada napas cepat ini pneumonia, nah itu yang apa kata neng tadi aktif ya”
Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa informan yaitu kepala Puskesmas, penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS. Diketahui bahwa, Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia, juga melakukan tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas dengan menggunakan pedoman MTBS. Sedangkan untuk penatalaksananya adalah dokter yang dibantu oleh perawat atau bidan. Akan tetapi, sebagaimana yang telah dijelaskan di Puskesmas tersebut hanya ada satu kasus dalam
107
setahun. Adapun informasi tersebut didukung dengan hasil wawancara berikut ini : Informan 3 “tatalaksananya dari MTBS, dokter umum yang melakukannya” ”selama ini sesuai aja, kalau banyak pasien kan tatalaksana itu cukup rumit ya”
Informan 4 “Kalau dari MTBS ini ya lebih diketahui ya deteksi dininya . karena kan kadang ada batuk yang buka pneumoni, ya pokoknya banyak lah. Saya kan juga pernah ini lah MTBS, seperti itu” “oleh dokter” “ya dari anamnesis ,terus diagnosa. Misalnya kan batuk. Nah batuk kan ada klasifikasinya seperti batuk bukan pneumoni. Jadi ya itu, berdasarkan anamnesis dan klasifikasi itu” Informan 7 “iya MTBS kan hanya penyakit-penyakit tertentu saja yang kita masukan ke MTBS misalnya kayak ada pasien demam diare yaudah kita masukin ke form” “kebetulan kalau disini yang meriksa dokter” “kalau pneumonia beratkan harus di rujuk ya kan disini kita tindakannya udah batuk pilek ada sesak napas itu kita uab aja” Informan 8 “Paling diperiksa sama dokter, nanti kan ada kasus pneumonia diagnosanya sama dokter , jadi kita tahunya dari dokter” “iya dokter” “paling ditanya batuknya dari kapan?terus udah berobat kemana, nanti kan kita lihat ada inian apa sih penarikan dinding pernapasannya” Informan 9 “di MTBS, sebelum masuk ke penyakitnya kan ada tuh didalam form nya MTBS apa coba,tahu penyakit berat atau tidak gimana caranya, sebelum kita melakukan MTBS syarat mutlaknya adalah apa, tahu kan?hehe”
108
“nomor satu kalau MTBS itu pneumonia dibawah lima tahun ya” “terus untuk MTBS sendiri nomor satu yang paling banyak itu kan batuk pilek kan, yang nomor satu ini kalau ada penyakit beratnya enggak bisa diwawancara di MTBS karena harus dirujuk segera, kalau yang kedua ada batuk misalnya apa yang ditanya” “berapa hari dilihat lagi batuknya dihitungnya pas sudah dihitung, dihitung sama kita pakai apa, alatnya?” “sound timer, pas sudah di hitung, lanjut yang berikutnya apa lagi, tahu enggak kalau yang pneumonia” Infroman 10 “kalau tatalaksananya ya sesuai prosedur saja, konsultasi sama dokter kita punya ini apa namanya” “pedoman dari MTBS” “Dokter dibantu sama asisten bisa bidan atau perawat, tapi biasanya dokter” Sedangkan menurut pendapat informan ahli dalam penemuan kasus pneumonia balita boleh siapa saja yang melakukan asalkan dalam penatalaksanaanya diserahkan kepada yang berwenang. Adapun pernyataanya adalah sebagai berikut: Infroman 11 “sebetulnya urusan yang menemukan pneumonia adalah semuanya termasuk kader, yang jadi perdebatan kan menentukan ini sesak napas sering itu semuanya kan berstandar pada itu pada waktu mengobati menetapkan diagnosa nya menurut saya kewenangan tidak selalu bidan sama perawat boleh petugas kesehatan lingkungan walaupun petugas kesehatan lingkungan bisa menemukan penderita pneumonia dan diserahkan kepada yang berwenang dalam pelanatalaksanaanya”
Berdasarkan
informasi
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa,
kegiatan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS di Puskesmas dilakukan di semua Puskesmas dengan penatalaksananya adalah dokter
109
umum. Akan tetapi, jika dokternya tidak ada, tatalaksana tersebut diserahkan kepada bidan atau perawat yang sudah memahami pneumonia. Pernyataan yang disampaikan informan 6 dan 7 (puskemas yang berhasil mencapai target nasional) penjelasannya sangat detail dan jelas berbeda dengan pernyataan dari petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Menurut informan ahli penemuan kasus pneumonia balita dapat dilakukan oleh siapa saja asalkan pada saat
penatalaksanaannya diserahkan kepada yang
berwenang yaitu dokter atau petugas yang sudah terlatih dalam tatalaksana pneumonia balita atau MTBS. 4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan pencatatan dalam penemuan kasus pneumonia balita harus dilakukan secara rutin, untuk memantau jumlah kasus pneumonia balita di Puskesmas dan melakukan kunjungan rumah penderita pneumonia. Kegiatan pencatatan dan pelaporan sebaiknya dilakukan oleh penanggung jawab program tersebut, hal ini dilakukan untuk mengetahui pencapaian target program yang telah dibuat. Dalam penelitian ini, dilakukan wawancara mendalam dan observasi media pencatatan dan pelaporan (lihat gambar 5.2 dan gambar 5.3) untuk mendukung informasi yang didapatkan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala Puskesmas dan penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil mencapai
110
target nasional, diketahui bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan dilakukan oleh penanggung jawab P2 ISPA. Pencatatan dilakukan setelah jam pelayanan secara rutin, hal ini dapat diketahui dari register P2 ISPA pada saat observasi. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan kepala Puskesmas dan penangung jawab P2 ISPA
yang
mendukung informasi tersebut. Informan 1 “iya yang melakukannya penanggung jawab program, kan nanti ada di LB3, dicatat setelah pelayanan” Informan 2 “ iya petugasnya” “ dilaksanakannya pastinya sesudah dong, sesudah selesai pasien pelayanan lalu pencatatan register, iya setelah pelayanan. Saya berharap setiap hari harus sudah dilakukan, ada tidaknya form MTBS pneumonia harus di lakukan di register anak selesai hari itu juga di bagian umum juga gitu, Cuma kadang terkendala kalau petugas anaknya ada rapat diganti sama orang lain, kadangkadang itu yang sedikit hambatan” Informan 5 “disini kan pencatatanya ada pneumonia ada form sendiri,misalnya kita periksa terus kalo kita curiga pneumonia ya sudah kita masukin aja ada registernya” “iya setiap hari” Informan 6 “setiap hari, di register” “register ISPA ada yang bukan ISPA ada harus dicatat kalau yang khusus pneumonia ada lagi dibukunya”
Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional tidak hanya mencatat dari kasus yang datang ke Puskesmas, tetapi juga mencatat
111
dari laporan klinik swasta yang ada di wilayah kerja Puskesmas tersebut. Tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas menggunakan formulir MTBS, sedangkan di klinik swasta tidak menggunakan formulir tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung informasi tersebut. Informan 1 “ iya ada laporan kasus , dari klinik swasta pencatatannya dilakukan sama penangung jawab P2 ISPA tapi kadang mereka saling bantu”
Informan 2 “sebetulnya harus ada tapi biasanya temuan di klinik swasta di laporin jarang paling ada ISPA pneumonia ringan, tapi itupun mereka ngerjainnya tanpa MTBS” Informan 5 “dari klinik swasta itu tiap bulannya itu dia yang kasus pneumonia sejauh ini kita paling dari bidan-bidan prakter, mantri kaya perawat balai pengobatan ya ada sih” Informan 6 “ada kalau lagi ada, pasti kalau swasta harus kaya jemput bola aja, kalau yang orangnya ini apa” Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1, dilakukan setiap bulan, jika laporannya sudah lengkap. Pelaporan kasus tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, adapun formulir pelaporannya sudah disediakan. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut.
112
Informan 1 “kalau laporan ke dinkes setiap bulan" Informan 2 “saya berharap kalau laporan bulanan sudah lengkap ya dilaporkan ke Dinkes” Informan 5 “iya nanti data kasus tersebut, baru dilaporkan ke dinke, sesuai dengan ketentuan Dinkes” Informan 6 “itu mah pasti neng, kan dinkes juga puya target penemuan kasus, jadi Puskesmas harus lapor setiap bulannya” Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita, menurut informasi yang didapat, diketahui bahwa di wilayah kerjanya tidak terdapat kasus pneumonia balita sehingga targetnya tidak tercapai. Dengan demikian, petugas hanya melakukan kegiatan pencatatan penyakit ISPA saja, adapun kegiatan pencatatan dilakukan di Puskesmas oleh penanggung jawab programnya tetapi ada juga dokter yang melakukannya. Adapun informasi tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini: Informan 3 “yang biasanya dokternya” “iya, tapi ada juga tuh petugas P2 ISPA nya bantu” “em rutin-rutin, biasanya setelah jam pelayanan” Informan 4 “ada di laporan W2. Kita setiap hari senin, yang mencatat laporannya penanggung jawab program”
113
Informan 7 “setiap bulan dari tanggal 25 ketemu tanggal 25 itu kita salin” Informan 8 “habis pelayanan paling kita ngerekap, ada di register ISPA nya” “Ada paling itu juga ISPA dewasa, ISPA yang sudah dewasa yang ringan juga. Paling bukan pneumonia. kalau disini kan pneumonia jarang, bukan jarang bahkan enggak ada pneumonia kan” Tidak berbeda jauh dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, Puskesmas yang tidak mencapai target nasional juga memperoleh laporan dari klinik swasta mengenai kasus pneumonia. Pelaporan dari klinik swasta sudah ditentukan oleh kebijakan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, bahwa klinik swasta yang di Wilayah kerja Puskesmas harus melaporkan kunjungan pasiennya ke Puskesmas tersebut. Sejauh ini, kegiatan tersebut belum maksimal, sehingga belum ada kasus pneumonia yang dilaporkan oleh klinik swasta ke Puskesmas Pisangan dan Kranggan. Berikut ini adalah hasil wawancara yang mendukung informasi tersebut. Informan 3 “kebanyakan kita sih yang jemput bola ya. iya kadang klinik swasta ini langsung ke dinas enggak melalui kita dipikirnya kita minta ke dinas padahal kita sendiri harus mencari gitu” Informan 4 “hmmm kalo klinik swasta paling dari BPS. Tapi disini mah enggak maksimal ya” Informan 7 “iya nerima laporan dari klinikswasta, tapi paling ISPA dewas, jarang yang pneumonia, malah enggak ada”
114
Informan 8 “dilaksanakan juga” Kegiatan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, dilakukan setiap bulan. Prosedurnya dimulai dari
register anak lalu dipindahkan ke register
ISPA baru kemudian dilaporkan ke Dinkes. Kasus pneumonia di Puskesmas ini tidak ditemukan, sehingga hanya kasus ISPA saja yang dilaporkan ke Dinkes setiap bulannya, Berikut ini adalah hasil wawancara dengan informan yang mendukung informasi tersebut Informan 3 “pelaporan ke Dinkes pasti ada, karena itu sudah tugas Puskesmas” Informan 4 “ya.. kita punya register tersendiri dan itu dilakukan setiap hari ispa, diare, dan itu dilakukan setiap hari terus petugasnya melaporkan ke dinas kesehtan seminggu sekali setiap hari senin. Via email” Informan 7 “ada, di register anak itu kita pindahin lagi ke register ISPA baru kita laporin ke dinas” Informan 8 “iya disini setiap bulan” Menurut informan ahli kegiatan pencatatan dan pelaporan di Puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali. Sehingga beban kerja penanggung jawab program tidak banyak, selain itu, untuk pelaporan dari klinik swasta hanya bersifat sukarela saja. Adapun informasi dari informan dapat dilihat dari hasil wawancara berikut ini:
115
Informan 11 “enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksapaksa yang bisa adalah meminta kesukarelaan” “nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah kemaren kita menyelasiakan pencatatan dan pelaporan diPuskesmas yang peacatatan seperti itu aku minta hilang karena di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh nah jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak” Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan di lakukan di Puskesmas. Akan tetapi untuk Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 8 kasus pneumonia tidak ditemukan di Puskesmas tersebut dan tidak ada pelaporan dari klinik swasta, sehingga kasus pneumonia balita di Puskesmas tersebut tidak ada. Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 5 dan 6 mengakui bahwa, Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1 menerima laporan dari klinik swasta jika ada kasus pneumonia balita. Sedangkan menurut Informan ahli kegiatan pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat sukarela. 5. Faktor Petugas Kesehatan Petugas kesehatan dalam penemuan kasus pneumonia balita berperan penting, karena sebagian besar kegiatan tersebut dilaksanakan oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Adapun faktor petugas kesehatan yang diteliti yaitu jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan petugas, lama kerja dan pengetahuan petugas. Dalam
116
penelitian ini, untuk mengetahui informasi tersebut, maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan kuesioner. Berikut ini adalah penjelasan mengenai faktor petugas kesehatan. 1. Jenis Kelamin Petugas Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tabel 5.1, jenis kelamin petugas penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS semua petugas adalah perempuan. Sedangkan untuk kepala Puskesmasnya yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sehingga tidak ditemukan adanya perbedaan terkait faktor jenis kelamin petugas dalam penemuan kasus pneumonia, baik Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional maupun Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang disampaikan informan ahli bahwa, antara perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan tugas ada perbedaannya. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalakan suatu program program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita. Berikut ini adalah pernyataan informan ahli mengenai hal tersebut: Informan 11 “saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau laki-laki lebih intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita lebih teliti kepada perempuan”
117
2. Pelatihan Petugas Pada dasarnya pelatihan petugas Puskesmas dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahaman,
sehinga
petugas
mempunyai keterampilan yang baik dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, jika petugas tidak terlatih, akan kesulitan pada saat tatalaksana pneumonia terutama untuk mengetahui adanya TTDK (Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam). Sedangkan petugas yang sudah dilatih akan terbiasa dalam menangani kasus pneumonia. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui apakah penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS sudah terlatih atau tidak, maka peneliti melakukan wawancara mendalam, dengan menanyakan apakah petugas sudah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita atau MTBS. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan diketahui bahwa, salah satu petugas di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
dalam
penemuan
kasus
pneumonia
sudah
pernah
mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan 6,
petugas
sudah
mengikuti
pelatihan
beberapa
kali
yang
diselanggarakan dinas kesehatan. Oleh karena itu, penemuan kasus di Puskesmas tersebut dapat mencapai target cakupan
yang sudah
ditetapkan secara nasional. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan, yang mendukung informasi tersebut.
118
Informan 1 “kalau petugas yang di MTBS ya dilatih jadi enggak semua, ini baru bu leny itu aja sih” “dinas provinsi kalau disini khusus bu Leny saja kan enggak semua, ya sudah siapa yang dilatih ngajarin temannya, kalau yang dilatih bu Leny setahu saya harusnya juga melatih staf yang lain” Informan 2 “seharusnya sudah” “ setahu saya dia senior dan harusnya sudah” Informan 5 “kalau saya belum, nah itu dokter lia itu dulunya pernah megang program ISPA diare di situ gintung untuk pelatihan khususnya sepertinya sudah ada Bu euis dulu dia itu sudah pernah dilatih” “dari dinas , namun masih kabupaten soalnya posisinya itu bu euis dulunya yang megang program ISPA diare, yang baru td itu bu euis kayaknya dia itu sudah pernah mengikuti pelatihan kalau yang dokter lia itu kayaknya belum tapi dia sudah megang ISPA diare itu” Informan 6 “sering” “ya itu itu aja kayak gitu, penatalaksanaan ISPA dan Diare itu aja paling ya intinya ya apa namanya cara pemeriksaanya gimana itu itu aja sih saya juga bosen itu itu aja” Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia, petugas P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas tersebut, salah satunya ada petugas yang sudah mendapatkan pelatihan. Sedangkan, Puskesmas yang tidak berhasil mencapai
target
nasional,
sebagian
besar
petugasnya
belum
mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Hanya terdapat satu petugas MTBS yaitu dokter yang pernah mendapatkan pelatihan di Puskesmas sebelumnya, dan baru 5 bulan bekerja di Puskesmas
119
Pisangan. Adapun informasi mengenai hal tersebut, dapat terlihat dari hasil wawancara berikut: Informan 3 “kalau pelatihan belum, pelatihan kan enggak gampang ya nanti kalau dinas mengadakan pelatihan lagi gantian” Informan 4 “hemm saya kira di sini petugasnya banyak yang belum di latih MTBS ya” “belum, disini belum ada yang terlatih. Tapi mereka udah punya modul-modulnya .kan klasifikasinya sudah ada” Informan 7 “belum ada” “belum ada untuk P2 ISPA, kita belum ada” Informan 8 “Blm pernah, belum ada” “ya enggak tahu, mungkin dari Dinkesnya” Informan 9 “pernah dulu perwakilan dari Puskesmas Jombang” “itu kan pedoman dari Kemenkes” “pedoman MTBS, semuanya ada ya dari Kemenkes aja sih” Informan 10 “belum ada sejauh ini, belum ada jadi hanya buku pedoman MTBS” “belum” “dari dinasnya kayaknya belum mengadakan pelatihan itu” Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas sudah mendapatkan pelatihan atau setidaknya memahami sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita, yaitu dengan melakukan pelatihan kecil di Puskesmas pada saat loka karya mini. Sehingga tidak diperlu
120
dana yang besar untuk mengadakan pelatihan tersebut. Berikut pernyataan mengenai pentingnya pelatihan petugas. Informan 11 “iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita gitu” “emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini pengalaman saya menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia dibahas di loka karya jadi petugas ISPA menjelaskan bagaimana pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap bulan sebetulnya pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan khusus” Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa, banyak petugas yang belum mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita bahkan penanggung jawab program P2 ISPA dan petugas MTBS belum pernah dilatih terutama di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Sama halnya dengan kepala Puskesmas, semua kepala Puskesmas belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pelatihan petugas dapat dilakukan pada saat loka karya mini dengan berbagi pengalaman dari petugas yang sudah pernah mendapatkan pelatihan. 3. Pendidikan Petugas Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa pendidikan penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS semuanya adalah D3 Kebidanan dan terdapat satu dokter umum sebagai petugas MTBS. Sedangkan, pendidikan kepala Puskesmas sebagian besar adalah S1 kedokteran
121
gigi dan hanya satu saja,
yang berpendidikan SI Kesehatan
Masyarakat. Berdasarkan pengamatan peneliti, pada saat wawancara dengan informan. Diketahui bahwa, kepala Puskesmas dengan latar belakang pendidikan SKM lebih memahami penyakit pneumonia secara menyuluruh dan lebih terbuka dalam menyampaikan pendapat pada saat wawancara, dibandingkan dengan kepala Puskesmas dengan latar belakang pendidikan bukan SKM. Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan seperti D3 Kebidanan, Sedangkan, kepala Puskesmas seharusnya SI Kesehatan Masyarakat. Selain itu, pada saat ini orang bekerja bukan karena pendidikan terakhirnya tetapi karena golongan atau pangkatnya. penjelasan tersebut terlihat dalam pernyataan informan ahli berikut ini:
Informan 11 “sekarang ini kita ruwet itu problematika negara, saya enggak tahu kalian nanti kerjanya dimana yang jelas kejadian dilapangan itu kita sering kali memberi tugas kepada orang yang sebetulnya bukan profesinya gitu yang paling banyak di jawa barat termasuk di banten itu petugas kesling jadi sopir ambulan, apapun sebabnya itu terjadi gitu, terus orang yang dilatih ISPA enggak tahu di pindah kemana itu menjadi persoalan gitu, apa lagi sekarang ketika menduduki jabatan apa jabatan di Puskesmas jadi eselon, kepala Puskesmas eselon berapa? dengan kepala stafnya satu itu dan itu jabatan daerah itu enggak lihat kamu siapa gitu pokoknya kamu golongannya sekian pangkat kamu sekian memenuhi tingkat jabatan seperti ini kamu saya pindahkan kemana gitu, makanya perawat banyak yang jadi staf, termasuk dari tempat lain masuk ke Puskesmas tiba-tiba jadi kepala Puskesmas karena golongannya” 4. Lama Kerja
122
Pengalaman seorang petugas Puskesmas utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Dalam penelitian ini untuk mengetahui lama kerjanya petugas disuatu Puskesmas, maka peneliti melakukan wawancara mendalam. Berdasarkan tabel 5.2, lama kerja kepala Puskesmas di Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1 dan Keranggan baru berjalan 5 bulan, karena ada pergantian kepala Puskesmas dan petugas lainnya yang dilakukan oleh dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan pada Februari 2015. Akan
tetapi,
sebelumnya kepala Puskesmas sudah bekerja lama
menjadi kepala Puskesmas di Puskesmas sebelumnya. Selain itu, berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa, lama kerja penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, mempunyai waktu lama kerja yang lama, seperti informan 6 sudah 28 tahun bekerja sebagai penanggung jawab P2 ISPA.
Sedangkan, lama kerja petugas Puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional berkisar antara 1-2 tahun di Puskesmas tersebut. Menurut informan ahli lama kerja petugas mempengaruhi pencapaian program di Puskesmas. Adapun pernyataan informan ahli, tergambar dalam hasil wawancara berikut ini : Informan 11 “ya pengalaman saya kerja orang bekerja itu dikasih sama butuh waktu minimal enam bulan, kalau dia kerja kurang dari enam bulan itu tidak bagus kecuali beberapa orang yang mempunyai kemampuan berbeda rata-rata enam bulan tapi kalau dia sudah bekerja empat tahun perlu ada perubahan kalau enggak motivasi sama inovasinya hilang apalagi akalu sudah dua periode jabatan
123
kecuali beberapa orang ya kita membangun motivasinya tetap ada" 5. Pengetahuan Petugas Pengetahuan petugas dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat dibutuhkan terutama pada saat pemeriksaan pasien atau deteksi dini di masyarakat. pengetahuan petugas mengenai pneumonia meliputi, klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita pneumonia serta tatalaksana kasus pneumonia balita. Dalam penelitian ini, untuk menilai pengetahuan petugas, maka peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner pengetahuan yang berpedoman pada peanggulangan P2 ISPA. Adapun hasil pengetahun petugas tersebut, dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 5.3 Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Puskesmas
Pisangan Keranggan Bakti Jaya Serpong 1
Pengetahuan Petugas P2 ISPA MTBS Buruk Buruk
P2 ISPA dan MTBS
Baik Buruk Baik Baik
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa pengetahuan petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tergolong buruk. Berdasarkan pengamatan pada saat wawancara, penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan. Hal ini terjadi karena di
124
puskesma tersebut, petugasnya belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pengetahuan yang dimilki petugas, dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat penting, terutama untuk membangun motivasi petugas. Adapun pernyatan informan yang mendukung informasi tersebut, dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini. Infroman 11 “iya pengetahuan akan membangun motivasi” 6. Motivasi Petugas Motivasi petugas dalam bekerja dapat mempengaruhi pencapaian target program, dengan adanya motivasi kerja yang dimiliki kepala Puskesmas, penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, akan dapat memberikan semangat kerja kepada petugas Puskesmas. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui motivasi kepala Puskesmas, maka peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan tersebut. Sedangkan, untuk penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, motivasi
petugas
juga
dapat
dilihat
dari
kuesioner
dengan
menggunakan skala likert 1 samapai 5. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, diketahui bahwa, semua kepala Puskesmas mempunyai motivasi untuk menjadikan Puskesmas yang dipimpinnya menjadi lebih baik. Selain itu, menurut informan 2, motivasinya yaitu lebih menekankan disiplin kerja kepada petugas Puskesmas. Adapun pernyataan, mengenai
125
informasi tersebut dapat digambarkan dari hasil wawancara berikut ini: Informan 1 “dari sekarang saya harus menyiapkan impian saya Puskesmas bakti jaya menjadi Puskesmas Kecamatan jangka lima tahun kan begitu, kalau di Puskesmas Setu kan non perawatan Puskesmasnya kecil kan, kalau Setu kan enggak mungkin karena enggak ada perawatan, kalau Puskesmas keranggan kan dipojok sana” Informan 2 “yang jelas lebih baik dong” “ yang jelas saya tahap pertama yang dilakukan sebagai pimpinan yang baru saya berusaha untuk semua staf disiplin yang baik , bekerja dengan baik. semua tugas akan dikerjakan dengan baik kalau dia bekerja dengan baik tidak sekadar intruksi kamu kerjakan MTBS, Yang kedua dapat memahami tugas tenaga kesehatan tugas pokoknya, meskipun kan kadang kala MTBS adapetugas yang mengerjakan tapi saya berharap dari petugas yang sudah di latih dapat mentrasferkan ilmunya bagaimana caramelaksanakan MTBS harus seperti itu dengan demikian semua dia pahami termasuk pencatatan pelaporannya jadi siapa yang bertugas, karena SDM yang ada di Puskesmas sering kali double job, pekerjaan kita tumpang tindih , kalau pasien kan enggak mungkin tidak tiap hari enggak bisa kita cegah” Informan 3 “motivasi saya senyum sapa sabar mengutamakan pelayanan menggalakan pelayanan promotif preventif” Informan 4 “motivasinya saya ingin Puskesmas ini lebih baik ya. Puskesmas ini kan sebagai pelayanan yang kita hadapi kan manusia. Jadi saya selalu mengatakan keseluruh staf mengutamakan ke disiplinan. Artinya jika meeka disiplin insha Allah kerjanya juga akan baik. Mereka butuh kesolid an, butuh kerja sama, keterbukaan. Alhamdulillah disini 5 buln, evaluasi triwulan pertama kita memiliki kinerja yang tepat. Berartikan kita bukan apa-apa tanpa temen-temen. Jadi memang saya selalu memotivasi mereka untuk bekerjalah untuk hati, karena kalau bekerja tidak
126
dengan hati itu sulit. Pasien datang, periksa, pulang. Jadi saya selalu menanamkan kepada temen-temen anggaplah Puskesmas ini sebagai rumah kedua. Jadi ada rasa memiliki, rasa tanggung jawab. Anggaplah semua pasien yang datang kesini keluarga kita. Jadi misal keluarga kita datang ke Puskesmas, petugasnya asalasalan, tdak menyampaikan maksud dengan baik, apa rasanya? Sebagai contoh, tempat tidur rawat inap tidak bersih, saya tanya ke temen-temen. Mau gak tidur disitu? Mereka jawab gak mau bu. Ya pasien sama gak mau. Jadi Alhamdulillah OB pun bekerja dengan baik. Jadi pukesmas di tangerang selatan ini sudah ada” Selain itu, untuk melihat motivasi penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, dapat dilihat dari penjelasan tabel berikut ini
Tabel 5.4 Motivasi Kerja Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Puskesmas
Pisangan Keranggan Bakti Jaya Serpong 1
Motivasi Kerja P2 ISPA MTBS Baik Buruk
P2 ISPA dan MTBS
Buruk Buruk Baik Baik
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui bahwa, motivasi yang dimilki petugas Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, motivasi kerjanya tergolong buruk. Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, petugasnya mempunyai motivasi yang tergolong baik dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas. Sedangkan, menurut informasi dari informan ahli, semua petugas memilki motivasi kerja yang dinilai dari kinerja petugas tersebut. Jika kinerja baik maka motivasi petugasnya pun akan baik. Adapun pernyataan informan ahli,
127
yang mendukung informasi tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini.: Informan 11 “semua orang kan memiliki motivasi, tapi pada era sekarang ini orang yang bekerja akan diukur pada apa itu dia harus melaporkan kinerjanya kan dia sekarang dibayar lebih, saya bekerja di Puskesmas gitu kalau kamu bekerja segini mendapatkan angka segini, kalau ukur kinerja itu maka kamu dibayar bonus tambahan sekian , sekarang semuanya seperti itu karena menteri penertiban aparatur negara memformulasikan pegawai negeri dibayar sesuai dengan kinerjanya” 7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas Kepemimpinan
kepala
Puskesmas
pada
dasarnya
dapat
mempengaruhi kinerja petugas atau bawahannya. Kepemimpinan yang baik yang dimilki kepala Puskesmas, akan mempengaruhi pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita yang baik pula. Dalam penelitian ini, untuk mengatahui kepemimpinan kepala Puskesmas, dapat diketahui berdasarkan kuesioner yang telah diisi dalam wawancara mendalam oleh kepala Puskesmas, penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS.
Adapun hasil penelitian tersebut dapat
diketahui dari penjelasan tabel berikut ini.
128
Tabel 5.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Puskesmas
Pisangan Keranggan Bakti Jaya Serpong 1
Kepemimpinan kepala Puskesmas Kepala P2 ISPA MTBS Puskesmas Tidak Baik Baik Tidak Baik Baik
Tidak Baik Baik
P2 ISPA dan MTBS
TidakBaik Tidak Baik Baik Tidak Baik
Berdasarkan tabel 5.5, diketahui bahwa, kepemimpinan kepala Puskesmas menurut penilaian petugasnya masih tergolong tidak baik, terutama Puskesmas Serpong 1 Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, Puskesmas Pisangan dan Kranggan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Hal ini terjadi karena, kepala Puskesmas di Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Kranggan, baru 5 bulan menjabat sebagai kepala Puskesmas. Pada saat peneliti mengobservasi informan penelitian dengan melihat gaya bicara, sikap, kemudian peneliti mengasosiasikan bahwa kepemimpinan kepala puskesma bakti jaya dan Puskesmas Kranggan, memiliki kepemipinan yang baik, berdasarkan observasi tersebut. Selain itu, sebagaian besar kepala Puskesmas terbuka dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di Puskesmas. Akan tetapi, belum ada kepala Puskesmas yang meberikan penghargaan kepada petugas sebagai prestasi kerjanya di Puskesmas. Sedangkan menurut informan ahli kepemimpinan yang dimilki kepala Puskesmas
129
adalah kepemimpinan dalam manajemen dan epidemiologi. Adapun penjelasan informan ahli tergambar dalam pernyataan berikut ini: Informan 11 “yang jelas tuntutan kita itu kepada kepala Puskesmas yang mempunyai kemampuan manajemen sama epidemiologi, epidemiologi nanti masuknya kepada pasiennya karena bayak teman-teman kita kepala Puskesmas orientasinya klinik jadi enggak tahu medan pertempuran jadi kalau ada pasien di periksa secara klinik, enggak begitu jeli mereka kasusnya berapa itu mengakibatkan dia sendiri enggak punya orientasi public health, kalau itu bias Puskesmas walaupun nanti petugasnya lihai-lihai”
8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Ketersediaan sarana dan prasarana sebagai penunjang dalam kegiatan pneumonia balita di Puskesmas sangat penting, tanpa adanya sarana dan prasaran suatu program tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini ketersediaan sarana dan prasarana di Puskesmas, dapat diketahui melalui wawancara mendalam dan observasi. Adapun sarana dan prasarana yang diteliti dalam penelitian ini adalah media cetak dan media penyuluhan dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi yang sudah dilakukan. Diketahui bahwa, pernyataan informan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana tidak sesuai dengan hasil observasi di Puskesmas. Semua Puskesmas mengatakan, mempunyai semua media cetak dan media penyuluhan yang ditanyakan. Sedangkan, berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa, Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
130
mempunyai buku pedoman P2 ISPA, stempel ISPA dan lembar balik. Akan tetapi sarana tersebut tidak dimiliki oleh Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Adapun informasi tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini. Informan 1 “disana itu kan ada meja tuh nah ada buku-buku gede iya itu poster-poster itu nanti dari petugas promkes dan di distribusikan ke posyandu sekolah-sekolah” Informan 2 “setahu saya ada dari Diinkes” “ itu saya kumpulin karena saya enggak mau kehilangan ini masuk ke data saya tapi saya enggak ragu-ragu untuk mendistribusikannya mulai dari TK, PAUD, posyandu termasuk swasta sekolah kita distribusikan apabila mencukupi sesuai dengan tujuan kita jadi saya tidak asal bagi pada saat yang berkaitan dengan UKS tidak sekedar ISPA kalau di UKS kan enggak ada karena anak-anaknya sudah besar-besar di Posyandu ISPA kita berikan kecacingan di taro di SD, jadi saya mendistribusikan itu pun disesuaikan dengan kebutuhan” Informan 5 “Lembar balik, leaflet-leafletnya, ada beberapa tapi enggak banyak. jadi kita melakukan penyuluhan lembar baliknya. tapi lembar balik ada melakukan penyuluhan ada lembar balik kita kenalkan ada sound timer, buat menghitung napas cepat” “Ada, pedoman P2 ISPA tapi masih yang lama ya” Informan 6 “ada, yang diare juga ada pada dimana kali, kadang-kadang ada yang pinjam, lemarinya belum diberesin waktu itu dipinjam siapa gitu pas rapat ada yang pinjam enggak dikembaliin, kayak gini kan pedomannya ada juga yang ini kan kayak pengendalian diare” “ada tapi kemana tahu ya, dilemari coba nanti masih ada enggak dilemari”
131
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, diketahui bahwa ketersediaan media cetak dan media penyuluhan, tersedia di Puskesmas yaitu pedoman P2 ISPA, bagan tatalaksana MTBS, lembar balik dan brosur-brosur mengenai pneumonia. Akan tetapi pada saat diminta, untuk menujukkan media tersebut, petugas Puskesmas tidak dapat menujukkan media tersebut kepada peneliti. Adapun informasi tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini: Informan 3 “kita bisa pake in fokus bisa laptop bisa pake buku,” “media, seperti apa brosur-brosur yang dibagikan ke posyandu mengenai balita sakit atau apa kenali tanda-tandanya harus segera mungkin ke pelayanan kesehatan” Informan 4 “ada, coba nanti tanyakan lagi ke petugas ya, dibawah sepertinya diruang poli anak” Informan 7 “em, pedomannya ada sih , tatalaksananya juga ada, MTBS juga kita punya bagannya ada di ruang anak” Informan 8 “Ada . apa namanya Lembar balik” “iya tentang pneumonia” “leaflet juga ada di MTBS kalau enggak ada papan yang diruang BP disitu yang BP dewasa ada tuh alur-alur nya alur-alur pneumonia” “Ada kayaknya Pedoman P2 ISPA, kalau mau lihat nanti di ruang BP” Selain itu, peeneliti juga melakukan observasi di Puskesmas khususnya di bagian poli anak pada saat penelitian. Adapun hasil observasi ketersediaan sarana dan prasarana yaitu media cetak dan media penyuluhan dapat dilihat dari tabel observasi berikut ini:
132
No.
1 2
3
4
5
6
1
2 3
4
5 6
Tabel 5.6 Observasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana dalam Kegiatan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 Subjek yang di Puskesmas Observasi Serpong Bakti Pisangan Keranggan 1 Jaya Media cetakan Stempel ISPA (lihat √ gambar 5.1) Register harian √ √ √ √ pneumonia (lihat gambar 5.2) Formulir laporan √ √ √ √ bulanan (lihat gambar 5.3) Pedoman √ Pengendalian ISPA (lihat gambar 5.4) Pedoman tatalaksana √ √ √ √ pneumonia/MTBS (lihat gambar 5.5) Pedoman Autopsi Verbal Media Penyuluhan Poster mengenai √ √ pneumonia balita (lihat gambar 5.6) Lefleat mengenai pneumonia balita lembar balik √ mengenai pneumonia balita (lihat gambar 5.7) Kit Advokasi dan Kit pemberdayaan Masyrakat Dvd tatalakasana pneumonia balita TV spot dan radio spot tentang pneumonia Balita
√
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
133
Gambar 5.1 Stempel ISPA
Gambar 5.2 Register Harian Pneumonia
Gambar 5.3 Formulir Laporan Bulanan
134
Gambar 5.4 Buku Pedoman P2 ISPA
Gambar 5.5 PedomanTatalaksana Pneumonia/MTBS
Gambar 5.6 Media Poster Pneumonia
135
Gambar 5.7 Lembar Balik Pneumonia Balita
Berdasarkan tabel observasi tersebut dapat diketahui bahwa, hanya ada satu puskesmas yaitu Puskesmas serpong 1 yang mempunyai stempel ISPA (lihat gambar 5.1) dan buku pedoman pengendalian ISPA (lihat gambar 5.4). Sedangkan untuk media penyuluhan yaitu media lembar balik mengenai pneumonia balita (lihat gambar 5.7) yang ada, hanya Puskesmas Baktijaya saja. Menurut informan ahli ketersedian sarana dan prasarana diadakan oleh dinas kesehatan sehingga semua Puskesmas masing-masing mempunyai sarana dan prasarana penunjang program penemuan kasus pneumonia balita. adapun pernyataan yang disampaikan informan ahli mengenai ketersediaan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut: Infroman 11 “saya enggak tahu tapi urusan pengadaan ada dinas kesehatan walaupun sebetulnya Puskesmas boleh melakukan pengadaan di undang-undangnya kan gitu tetapi untuk melakukan pengadaan
136
tenaga yang mengadakan pengadaan harus ada itu di SK kan sama bupati nah tapi kalau di Puskesmas enggak ada , boleh melakukan pengadaan sendiri tetapi namanya penyuluhan kan butuh di copy itu yang dilakukan temang-teman Puskesmas di copy atau kreasi mungkin dianggarkan dengan dana yang tidak begitu banyak gitu, kalau kreatif masyarakat juga” “iya, kecuali kalau dia yang kreatif yang membuat posternya lalu dikirimkan ke kabupaten bisa” Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
informan dan hasil
observasi pada saat penelitian, ketersediaan sarana dan prsarana masih sangat minim. Hal ini dikarenakan adanya pergantian petugas atau belum terkodinirnya sarana dan prasarana dari satu orang petugas. Menurut informan ahli seharusnya Puskesmas melakukan pelaporan sarana-prasarana tersebut dan perlu adanya petugas yang bertanggung jawab dalam pengadaan dan pengelolaan sarana dan prsarana tersebut di Puskesmas. 9. Kegiatan Evaluasi Berdasarkan informasi yang diperoleh dari beberapa informan, diketahui bahwa kegiatan evaluasi di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan setiap bulan. Jika masalah itu darurat, maka diadakan staff meeting mendadak. Kegiatan evaluasi di puskesmas tersebut melibatkan semua petugas puskesmas mulai dari office boy (OB) sampai petugas medis. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi tersebut:
137
Informan 1 “tiap bulan ada lokmin lokbul” “kadang enggak nentu juga tergantung keadaanya, tapi pastinya tiap bulan, terlibat dari mulai OB, kalau kita kan ada staf meeting”” Informan 2 “untuk waktunya tidak selalu, tapi paling tidak minimal sebulan sekali, kalau misalnya sangat urgent saya janjian hari ini bisa besok tapi minimal satu kali, setiap kali kita rapat, misalnya masukan dari staf-staf, apa yang mereka harapkan dari temantemannya apa yang diharapkan nanti jatuhnya akan prioritas lagi mana yang akan di tindak lanjuti, tapi hampir setiap bulan programnya berjalan dengan rutin jadi tidak ada bulan ini program ISPA bulan depan enggak, enggak mungkin ya jadi tetap berjalan”
Informan 5 “Bisa dadakan namanya staf meeting, kalau bulanan lokbul”
Informan 6 “iya perbulan, semua petugas terlibat tapi kalau kebagian, waktunya kadang-kadang kan yang diomongin rapat banyak neng enggak satu masalah aja kan” Kegiatan evaluasi di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilalukan setiap bulan dengan membicarakan pencapaian program, kendala atau hambatan dalam pelaksanaan kegiatan program dan membahas kebijakan di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Selain itu, tidak semua program Puskesmas dibahas dalam rapat evaluasi, karena keterbatasan waktu yang dimiliki petugas Puskesmas. Dalam kegiatan rapat evaluasi, sesama petugas atau penangung jawab
138
program saling bertukar pendapat mengenai masing-masing program yang sedang petugas jalankan. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi tersebut. Informan 1 “dalam evaluasi yang dibicarakan ya pencapaian program atau hambatan kendala atau membahas kebijakan di tangsel itu disampaikan perencanaan yang dilakukan di tangsel. Kebijakan dinas, nah itu semua dilakukan. di masyarakat ada kendala apa engga. Ya gitu lah. Kegiatan rutin kan” Informan 2 “ya ngebahas program, mungkin ngebahas semua program dalam 1 hari enggak mungkin, hari ini apa yang menjadi kemasalahan utama satu itu, apakah bulan ini lagi trend apa, ada kejadian apa kita bahas ada persoalan apa kita cermati pada bulan ini lalu kita bicarakan, untuk di evaluasi di bulan depan biasnya kita dengan kader-kader kesehatan biasanya kita lokmin, loka karya mini, ketemuan UKS ketemuan kader ya kemudian kalau di dalam gedung ya kita dengan staf” Informan 5 “Apa kendalanya, bagaimana penangannya, kita juga sharing supaya pencapaian kasusnya tercapai sama kaya yang lainnya. jadi kita juga sharing sama-program yang lain bagaimana program kita tercapai gitu lho jadi kerjasamanya sama kesling lah sama promkes, semua petugas terlibat” Informan 6 “Bicarakan kendala apa, upaya bagaiamana. gitu-gitu semua dibicarakan programnya” Kegaiatan evaluasi yang dilakukan Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak jauh berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, yaitu kegiatan evaluasi dilakukan setiap bulan, seperti loka karya mini atau loka karya bulanan. Hal ini
139
terjadi, karena rapat evaluasi dilakukan oleh semua Puskesmas dengan kebijakan dari Dinkes, adapun informasi tersebut dapat terlihat dalam pernyataan berikut ini:
Informan 3 “adanya lokmin saya lokbul tiap bulan atau ada juga mingguan bisa” Informan 4 “evaluasi program kita lokakarya bulanan kita laksanankan seluruhnya” Informan 7 “kemaren baru kita evaluasi program jadi cakupannya dilihat tapi kita lokbul akhir bulan juga terus ngasih tahu” “ya akhir bulan lah kalau evaluasi mah tiap akhir bulan” Informan 8 “Evaluasi nanti kita kan laporan perbulan, evaluasinya perbulan nanti kita lihat ada juga triwulan, tahunan”
Pembicaraan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, hampir sama dengan kegiatan evaluasi di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Adapun yang dibahas yaitu semua program Puskesmas diantaranya petugas menyampaiakan hasil program selama satu bulan, cakupan, targetnya tercapai atau tidak, permasalahnnya apa, dan jika ada permasalahan apa kendalanya serta dicarikan solusinya dalam evaluasi tersebut. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan beberapa informan yang mendukung informasi tersebut.
140
Informan 3 “kalau kita semua program dijadiin satu aja, karena keterbatasan waktu mereka juga pada sibuk megang program” “kita semua program di evaluasi enggak hanya pneumonia, dalam satu kegiatan perencanaan kedepan apa sudah mencapai sasaran apa yang akan dilaksanakan tahun depannya makanya kita evaluasi program, jadi kita ada namanya loka karya bulanan terus da yang mingguan” “ya salah satunya kita disitu bicara program-program” Informan 4 “Itu menyampaikan hasil program, cakupan, targetnya berapa, capaiannya berapa, permasalahnnya apa, kalo ada permasalahan apa kendalanya. Kemudian pada saat lokbul temen-temen juga menyampaikan hasil rapat apa yang mereka dapat dari hasil rapat itu yang dikasih tau ke kita” Informan 7 “pencapaian program, apa masalah atau hambantannya, banyak lah mbak yang dibicarakan dalam rapat mah”
Informan 8 “Pencapaian target programnya, sasaran nya kan kita lihat dari jumlah penduduk, jadi kan kita dapat target dari dinas berapa persen sudah mencapai atau belum , tapi enggak apa-apa sih kalau enggak kecapai juga, kalau mau kecapai bantuin mbak nyarinya bantuin susah” Menurut informan ahli kegiatan evaluasi di Puskesmas dilakukan untuk mengetahui pencapaian program dan membangun motivasi yang dilakukan setiap bulan. Adapun informasi yang disampaikan informan ahli adalah sebagai berikut: Informan 11 “Puskesmas itu, kalau evaluasi kan setahun Puskesmas harus melakukan monitoring itu monitoring itu artinya gini melakukan evaluasi sampai bulan ini saya sudah mencapai berapa banyak,
141
kemudian mengidentifikasi daerah-daerah mana yang sebetulnya perlu diperhatikan atau pneumonia yang perlu menjadi perhatian salah satunya tadi kebalik, jumlah yang kasusnya banyak berarti sudah sukses yang tidak ada kasusnya berarti tidak sukses berarti yang dikunjungi malah yang enggak banyak kasusnya dengan melakukan evaluasi banyak faktor bisa kematian kondisi lingkungan itu menjadi bahan monitoring” “iya kan melakukan evaluasi bulanan untuk membangun motivasi menginatkan teman-teman, kalau ada berita segini suapay menjadi perhatian” Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kegiatan evaluasi di setiap Puskesmas dilakukan setiap bulan dalam kegiatan lokmin dan lokbul.
Setiap Puskesmas dalam kegiatan evaluasi
melibatkan semua staf dengan membahas pencapaian program. Akan tetapi, tidak semua program dibahas dalam kegiatan evaluasi tersebut. Menurut informan ahli kegiatan
evaluasi juga berfungsi sebagai
pembangun motivasi petugas dalam bekerja.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian 1.
keterbatasan waktu informan ketika wawancara, sehingga peneliti melakukan wawancara secara berulang pada waktu yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan informasi yang diberikan oleh informan ada perbedaan antara yang pertama dan kedua. Oleh karena itu peneliti menarik simpulan berdasarkan pengamatan dan informasi yang diperoleh pertama kali.
2.
Informan yang terdiri dari kepala puskesmas dan staf, namun pada tahun 2015 ini tepatnya pada bulan Februari terjadi pergantian pimpinan dan staf di Puskesmas Serpong 1, Baktijaya, Kranggan dan Pisangan. Sehingga ada beberapa informasi yang tidak rinci atau tidak jelas yang disampaikan informan tersebut, namun keterbatasan ini dapat diminimalisir dengan adanya triangulasi sumber.
3.
Semua puskesmas tidak memiliki dokumen terkait perencanaan program penemuan pneumonia, sehingga tidak ada bukti fisik yang bisa disajikan pada penelitian ini. Tetapi dengan adanya triangulasi metode dan sumber keterbatasan ini dapat diatasi.
142
143
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas, yang merupakan variabel penelitian adalah perencanaan program, kegiatan program, tatalaksana pneumonia balita/MTBS, pencatatan dan pelaporan, motivasi petugas, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan sarana dan prasarana serta kegiatan evaluasi. Selain itu, dari segi faktor petugas kesehatan yaitu jenis kelamin, status pelatihan, tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan tentang konsep pneumonia balita. Berikut ini adalah pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita Perencanaan program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan/diputuskan bersama (Herijulianti, dkk, 2002). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa perencanaan program sangat penting untuk dilakukan. Perencanaan program penemuan pneumonia balita adalah bagian dari program P2 ISPA di puskesmas. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa puskesmas yang berhasil dan tidak berhasil mencapai target nasional menyusun perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014. Akan tetapi waktu penyusunan rencana program di kedua puskesmas tersebut berbeda. Gambaran perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan
144
hasil penelitian, diketahui bahwa pembuatan perencanaan program tahun 2014 dilakukan pada akhir tahun 2013, tepatnya pada bulan Desember. Puskesmas juga membuat perencanaan program dalam bentuk POA (plan of action) setiap program kegiatan yang akan dilaksanakan di puskesmas tersebut yang dibuat oleh penanggung jawab program. Selain itu, kewajiban membuat POA ini merupakan intruksi dari dinas kesehatan.. Perencanaan program yang dibuat oleh puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, adalah hasil kerjasama antar beberapa petugas puskesmas yaitu Promkes, Kesling, MTBS, dokter dan Binwil. Hal ini dilakukan karena antara satu program dengan program lainnya saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama untuk mencapai tujuan program tersebut khususnya dalam pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita. Untuk melakukan triangluasi metode pada penelitian ini, peneliti memverifikasi dokumen perencanaan program kepada informan, sebagai bukti telah membuat perencanaan tersebut. Namun, dalam kenyataanya tidak ditemukan dokumen tersebut, alasannya informan lupa menyimpan POA yang telah dibuat. Informan mengakui bahwa POA tersebut dipakai secara berulang setiap tahunnya jadi hanya mengganti tanggal dan waktu pelaksanaan saja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembuatan perencanaan program tahun 2014 di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan pada
145
akhir tahun 2013, dan bekerjasama dengan Promkes, Kesling, MTBS, dokter dan Binwil. Gambaran perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pembuatan perencanaan program di Puskesmas dilakukan pada awal tahun 2014, tepatnya bulan Januari dan Februari. Adapun petugas yang membuatnya adalah penanggung jawab program. Sehingga terkesan belum siap untuk melakukan pelaksanaan program. Tidak berbeda dengan puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, dalam perencanaan program petugas P2 ISPA di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional bekerjasama dengan petugas puskesmas yaitu binwil, dokter dan petugas kesling dalam perencanaa program tersebut. Selain itu,
salah satu puskesmas
melakukan lintas program atau lintas sektoral dengan balai pengobatan swasta atau klinik swasta, untuk meminta laporan kasus pneumonia balita. Namun kasus pneumonia di puskesmas tersebut tidak mencapai target, bahkan dalam satu tahun hanya satu penderita pneumonia yang di temukan di wilayah kerja puskesmas tersebut. Sama halnya dengan puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, untuk triangulasi metode mengenai perencanaan yang telah dibuat, tidak ditemukan bentuk fisik, karena informan tidak memberikan
bukti
perencanaan
tersebut.
Beberapa
informan
146
memberikan penjelasan, bahwa dokumen tersebut ada di penanggung jawab program yang lama dan sudah tidak bekerja. Sehingga dalam penelitian ini, tidak dapat disajikan dokumen tersebut. Sebagaimana yang telah dijelaskan, agar program penemuan kasus pneumonia balita mencapai target nasional maka harus menyusun perencanaan program yang dilakukan pada akhir tahun, sehingga kegiatan tersebut dapat dimulai pada awal tahun. Selain itu juga harus bekerjasama dengan
petugas puskesmas yaitu Promkes, Kesling,
MTBS, dokter dan Binwil. Hasil penelitian dengan pendekatan kuantitaif, yang dilakukan Warsihayati (2002) menunjukkan bahwa pembuatan rencana kerja tahunan memberikan pengaruh terhadap cakupan kasus pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan penelitian Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan program dengan penemuan penderita pneumonia balita. Hal ini terjadi, karena perencanaan dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan Dinas Kesehatan, perencanaan tidak digunakan sebagai acuan pelaksanaan kegiatan. Tidak berbeda dengan pendapat informan ahli, bahwa perencanaan dalam suatu organisasi harus dibuat untuk mencapai program dengan melibatkan semua staf puskesmas. Menurut Hasibuan (1990) menyebutkan
prinsip-prinsip/asas
perencanaan
adalah
prinsip
membantu tercapainya tujuan, efisiensi dari perencanaan, pengutamaan perencanaan, prinsip pemerataan perencanaan, patokan perencanaan,
147
kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan perencanaan, prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor, prinsip keterikatan, prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan arah, prinsip perencanaan strategi. Sedangkan dalam penelitian ini tidak dapat diketahui kebenaran
puskesmas
mana
saja
yang
menggunakan
prinsip
perencanaan tersebut dalam penyusunan perencanaan program. Hal ini disebabkan, karena tidak adanya dokumen perencanaan dalam penelitian ini. Sehingga secara objektif tidak dapat dinilai. Dengan demikian diharapkan semua penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas dapat membuat perencanaan program sesuai dengan prinsip perencanaan dan dapat merealisasikan perencanaan tersebut dengan baik. Selain itu, Dinas Kesehatan sebaiknya mewajibkan penanggung
jawab
program
di
puskesmas
untuk
menyusun
perencanaan program, serta bekerjasama dengan petugas Puskesmas lainnya.
perlu
adanya
penyimpanan
dokumentasi
penyusunan
perencanaan program. 2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita Standar dari Kemenkes (2012) mengenai kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas dapat dilakukan dengan penemuan kasus pneumonia secara aktif maupun pasif. Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas puskesmas dengan mendatangi pasien atau mencari kasus di masyarakat melalui deteksi dini. Sedangkan penemuan kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh wilayah kerja
148
puskesmas yang ada, dengan melihat data jumlah penderita yang datang, untuk berobat ke puskesmas tersebut. Kegiatan tersebut berpengaruh terhadap pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas. Gambaran kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita, di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa puskesmas melakukan kegiatan tersebut secara aktif dan pasif untuk mencapai target cakupan. Kegiatan secara pasif dilakukan di puskesmas terutama dibagian MTBS untuk tatalaksana pneumonia balita dan selanjutnya petugas melakukan pendataan kasus tersebut. Sedangkan kegiatan secara aktif dilakukan di Posyandu dengan memeriksa pasien, jika ditemukan penderita pneumonia, maka segera dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan penanganan dan pengobatan segera. Selain itu, kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu pelacakan kasus pneumonia, kegiatan ini dilakukan jika ada kematian bayi akibat pneumonia. Kegiatan selanjutnya yaitu pencarian kasus di Posyandu yang bekerjasama dengan kader dan binwil, melakukan deteksi dini pada
bayi, jika ada napas cepat, maka bayi tersebut menderita
pneumonia. Di puskesmas ini, juga dilakukan kunjungan kerumah untuk penderita pneumonia, jika dalam 2 hari tidak melakukan
149
kunjungan ulang ke puskesmas, maka petugas yang melakukan kunjungan tersebut, untuk melihat kondisi balita di rumah. Pada saat wawancara dilakukan di puskesmas tersebut, berdasarkan hasil observasi, ditemukan penderita pneumonia balita yang sedang diperiksa di Poli anak/MTBS. Hal ini menunjukkan, adanya kebenaran bahwa puskesmas tersebut melakukan kegiatan program penemuan kasus tersebut. Selain itu, di puskesmas tersebut juga, setiap bulannya ditemukan kasus pneumonia balita. Dapat disimpulkan bahwa puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, melakukan kegiatan secara aktif dan pasif dalam kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita. Gambaran kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa kegiatan tersebut hanya dilakukan secara pasif yaitu dengan menunggu pasien datang ke puskesmas, dan hanya melakukan penyuluhan saja di Posyandu, tanpa melakukan deteksi dini atau pencarian kasus pneumonia balita di masyarakat. Selain itu, untuk mencapai target penemuan kasus pneumonia, petugas puskesmas meminta laporan dari kilinik swasta yang ada di wilayah kerja puskesmas tersebut, jika ada kasus pneumonia balita. Informan juga mengakui, bahwa tidak ditemukan kasus pneumonia, tetapi kasus ISPA yang paling banyak ditemukan di puskesmas tersebut. Akibatnya puskesmas kesulitan untuk mencapai target. Hal
150
ini mungkin terjadi, karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan petugas
mengenai
pneumonia
balita,
sehingga
mempengaruhi
penemuan kasus. Kegiatan deteksi dini secara aktif perlu dilakukan oleh puskesmas, agar penemuan kasus pneumonia balita dapat mencapai target cakupan. Deteksi dini juga sangat penting untuk mengetahui kondisi balita lebih awal, sebelum menderita pneumonia yang lebih berat dan harus dirujuk ke dokter, kegiatan ini dapat dilakukan di Puskesmas ataupun di masyarakat dengan bantuan kader dan Binwil. Adapun cara melakukan deteksi dini pneumonia balita adalah dengan menanyakan balita yang batuk atau kesukaran bernapas, selanjutnya dilihat apakah ada TTDK atau tidak, kemudian penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur dan yang terakhir yaitu mengklasifikasikan balita apakah pneumonia berat, pneumonia atau batuk bukan pneumonia (Kemenkes, 2012). Deteksi dini dapat dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih ataupun mengetahui dan memahamai konsep pneumonia balita. Oleh karena itu, agar puskesmas berhasil mencapai target nasional dalam pencapain target penemuan kasus pneumonia balita, maka perlu dilakukan kegiatan program penemuan kasus secara aktif dan pasif, serta perlu adanya kegiatan deteksi dini aktif. Menurut Kemenkes (2012), menyatakan bahwa kegiatan penemuan kasus pneumonia balita adalah kegiatan inti dalam program P2 ISPA. Penemuan kasus
151
pneumonia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian pneumonia. Sehingga kegiatan inilah yang menjadi ujung tombak dari pencapaian target program tersebut. Penelitain yang dilakukan Handayani (2012) di Puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa penemuan kasus yang dilakukan Puskesmas tersebut adalah penemuan kasus secara pasif hal ini menyebabkan hanya 10% Puskesmas yang mencapai target nasional. Berbeda dengan hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus penderita pneumonia balita. Hal yang sama, juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Marisa (2011) bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan angka bebas jentik di Kota Semarang. Sedangkan menurut pendapat informan ahli untuk mencapai target nasional dapat dilakukan dengan membuka pelayanan sebanyak mungkin atau kombinasi dari kegiatan penemuan secara aktif dan pasif. Dengan demikian, untuk puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, diharapkan dapat melakukan penemuan kasus secara aktif dan pasif. 3. Tatalaksana Pneumonia Balita/ MTBS Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam penanggulangan pneumonia balita didasarkan pada aturan tatalaksana pneumonia yang diterbitkan WHO tahun 1988, dan telah mengalami adaptasi sesuai
152
kondisi Indonesia (Kemenkes, 2012). Pada saat ini tatalaksana pneumonia balita berpedoman pada MTBS di puskesmas. Sehingga semua puskesmas wajib melakukan MTBS, dengan adanya MTBS di puskesmas penyakit pneumonia yang diderita balita dapat diketahui dan segera diatangani oleh petugas yang bewenang. Gambaran tatalaksana pneumonia balita atau MTBS di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa puskesmas tersebut melakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS. Kegiatan tersebut, menurut informan sudah dilaksanakan sesuai dengan standar atau pedoman MTBS. Pemeriksaan MTBS pada balita yang pertama kali dilakukan adalah menanyakan kepada orangtua balita, apakah ada batuk, sukar bernapas atau tidak, jika ada dilakukan penghitungan napas dalam satu menit. Hasil dari pemeriksaan itulah petugas dapat menyimpulkan balita tersebut menderita pneumonia atau tidak. Kegiatan tatalaksana pneumonia balita/MTBS di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilakukan oleh dokter umum yang bertugas di poli anak dan dibantu oleh dokter atau perawat. Jika dokter umum
tidak
melakukan
pelayanan
di
poli
tersebut,
maka
penatalaksananya adalah bidan atau perawat yang terlatih atau setidaknya sudah memahami prosedur tatalakasana pneumonia. Sehingga tidak ada kesalahan pada saat tatalaksana dan penanganan kasus tersebut.
153
Puskesmas menargetkan,
yang
berhasil
mencapai
target
nasional
juga
dalam sehari penderita pneumonia yang ditemukan
harus 3 sampai 4 balita, yang ditatalaksana di MTBS. Tidak hanya di puskesmas, tatalaksana tersebut juga dilakukan di Posyandu untuk penjaringan pneumonia balita.
Hal ini, dilakukan agar penemuan
kasus pneumonia balita dapat mencapai target nasional. Gambaran tatalaksana pneumonia balita di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tatalaksana tersebut dilakukan, jika ada kasus pneumonia. Namun, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, kasus pneumonia di puskesmas tersebut tidak ditemukan. Hal ini terjadi, karena tidak adanya petugas terlatih mengenai penyakit pneumonia, informasi tersebut disampaikan oleh salah satu kepala puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, dilakukan oleh dokter umum dan dibantu oleh bidan atau perawat. Jika dokter tersebut tidak melakukan pelayanan di puskesmas, maka yang melakukan tatalaksana tersebut adalah bidan dan perawat. Namun, bidan atau perawat di puskesmas tersebut, belum pernah mendapatkan pelatihan atau belum memahami secara detail mengenai pneumonia balita. Akibatnya dalam kegiatan tersebut tidak ditemukan kasus pneumonia balita.
154
Dengan demikian, dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan dalam hal kegiatan tatalaksana pneumonia balita antara puskesmas yang berhasil tidak berhasil mencapai target nasional. Karena semua puskesmas melakukan kegiatan tatalaksana atau MTBS. Perbedaanya terdapat pada petugas penatalaksana, untuk puskesmas yang berhasil mencapai target nasional ada beberapa petugas yang sudah mendapatkan
pelatihan
dan
memahami
mengenai
pneumonia.
Sedangkan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, petugasnya belum pernah mendapatkan pelatihan menganai hal tersebut. Hasil penelitian kualitatif ini, menyatakan bahwa puskesmas yang berhasil mencapai target nasional mempunyai tenaga terlatih lebih banyak, sehingga pada saat pelayanan MTBS, kasus yang ditemukan dapat mencapai target nasional. Sama halnya dengan penelitian kuantitatif yang dilakukan Hidayati dan Wahyono (2011), diketahui bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan MTBS dengan kejadian pneumonia balita atau penemuan kasus. Hal ini terjadi karena sebagaian besar langkah atau tahapan dari proses pemeriksaan hingga pengobatan berdasarkan pelayanan MTBS khususnya pneumonia dilaksanakan sepenuhnya oleh petugas yang berwenang atau terlatih. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari informan ahli. Menurut informan ahli pada saat penatalaksanaan pneumonia balita. seharusnya diserahkan kepada yang berwenang yaitu dokter dan
155
petugas yang sudah terlatih dalam tatalaksana pneumonia balita atau MTBS. Sedangkan, untuk penemuan kasus pneumonia balita boleh dilakukan oleh siapa saja yang sudah mendapatkan pengetahuan mengenai pneumonia balita. Dengan demikian untuk petugas Puskesmas diharapkan dapat melaksanakan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan Kemenkes, guna untuk menemukan kasus pneumonia balita sedini mungkin di Puskesmas. 4. Pencatatan dan Pelaporan Definisi pencatatan dan pelaporan menurut Kron dan Gray, adalah mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur (Sutomo, 2010). Pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan kasus pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan berdasarkan kategori kelompok umur. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan pencegahan pneumonia (Kemenkes, 2012). Kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam penelitian ini adalah kegiatan pencatatan yang dilakukan oleh P2 ISPA, baik data dari puskesmas maupun klinik swasta. Berikut ini adalah pembahasan mengenai kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
156
diketahui bahwa Puskesmas tersebut melakukan kegiatan pencatatan kasus pneumonia secara rutin, setelah jam pelayanan. Kasus tersebut dicatatat di formulir register pneumonia yang sudah disediakan oleh Dinkes. Adapun kegiatan pencatatan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kasus pneumoni dan untuk mengetahui pasien yang tidak melakukan kunjungan ulang ke puskesmas selama 2 hari setelah berobat. Puskesmas tersebut juga memperoleh laporan kasus pneumonia dari klinik-klinik swasta, praktek bidan dan balai pengobatan, jika ditemukan kasus pneumonia di wilayah kerja puskesmas. Namu laporan kasus dari klinik tersebut, tidak dicatatat berdasarkan MTBS. Hal tersebut dilaporkan
ke puskesmas setiap bulan, dan biasanya
puskesmas yang menjemput data kasus tersebut atau dikenal dengan istilah jemput bola. Kegiatan pelaporan kasus pneumonia di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilaksanakan setiap bulan. Dengan mengikuti alur pelaporan yang sudah ditentukan oleh Dinkes. Format pelaporan yang harus diisi oleh petugas puskesmas antara lain adalah usia, alamat dan klasifikasi pneumonia. Laporan tersebut harus dikerjakan oleh penanggung jawab program, agar Dinkes mengetahui penemuan kasus pneumonia disetiap puskesmas. Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
157
diketahui bahwa puskesmas tersebut telah melakukan pencatatan dan pelaporan. Namun, kasus pneumonia tidak ditemukan di puskesmas tersebut. Hal ini mungkin terjadi, karena petugas di puskesmas tersebut belum mendapatkan pelatihan dan kurang memahami mengenai tatalaksana pneumonia. Sehingga di puskesmas tersebut tidak ada catatan kasus pneumonia. Alur pelaporan kasus pneumonia di puskesmas yang tidak berhasil hampir sama dengan puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Perbedaanya puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tidak ditemukan kasus pneumonia, sehingga laporan kasus pneumonia setiap bulannya nol dan hanya terdapat 1 kasus saja di tahun 2014. Dengan adanya hal ini, seharusnya penannggung jawab P2 ISPA di Dinkes melakukan supervisi ke puskesmas tersebut. Selain itu, puskesmas tersebut tidak menerima laporan dari klinik swasta mengenai kasus pneumonia, meskipun puskesmas melakukan kegiatan pencarian kasus ke klinik-klinik swasta. Seharusnya petugas dari Dinkes melakukan pembinaan atau pemantauan untuk mengetahui hambatan apa saja yang ada di puskesmas tersebut. Sehingga pencapaian target penemuan kasus tidak tercapai. Dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional sulit menemukan kasus pneumonia balita dan tidak adanya pelaporan dari klinik swasta.
158
Pencatatan dan pelaporan adalah bagian dari kegiatan surveilans di puskesmas.
Surveilens
adalah
suatu
kegiatan
sistematis
berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2010). Selain itu, kegiatan surveilans dapat dilaksanakan secara aktif dan pasif. Surveilans
pasif
adalah
kegiatan
yang
mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasi data yang berasal dari puskesmas yaitu dengan menunggu pasien datang ke Puskesmas. Sedangkan kegiatan surveilans aktif datanya diperoleh dari penemuan kasus di masyarakat seperti deteksi kasus di Posyandu. Dalam penelitian ini, baik puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional, keduanya belum melaksanakan kegiatan surveilans, akan tetapi hanya melakukan bagian pencatatan dan pelaporan. Sehingga bukti berbasis data belum ada, padahal dari hasil kegiatan surveilans dapat dimanfaatkan untuk membuat perencanaan program selanjutnya yang berdasarkan evidence base. Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Ningrum (2006), diketahui bahwa petugas yang terlambat dalam melakukan pencatatan dan pelaporan kasus, akan menjadi salah satu faktor penyumbang ketidakberhasilan program di puskesmas. Sedangkan
159
menurut informan ahli kegiatan pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat sukarela. Dengan demikian, sebaiknya puskesmas melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan dengan memanfaatkan waktu secara efektif dan efesien. Selain itu, perlu dilaksanakan surveilans berbasis puskesmas, baik secara pasif maupun aktif, sehingga kegiatan surveilans di puskesmas tidak hanya pencatatan dan pelaporan saja. Untuk Dinkes perlu diadakannya kegiatan supervisi atau pembinaan di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional 5. Faktor Petugas Kesehatan Dalam penelitian ini faktor petugas kesehatan, yang diteliti yaitu jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan petugas, lama memegang program dan pengetahuan petugas. Faktor petugas diteliti, karena semua kegiatan dilakukan oleh petugas puskesmas. Berikut ini adalah pembahasan mengenai faktor petugas kesehatan. a. Jenis Kelamin Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Adapun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan jenis kelamin petugas adalah
kondisi informan secara
biologis sejak lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalankan suatu program. Sedangkan
160
seorang perempuan memilki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita.. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin petugas antara puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional. Semua penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS adalah perempuan. Sedangkan untuk kepala puskesmasnya yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa perempuan memiliki sifat keibuan pada saat memeriksa balita terutama pada saat tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini, didukung dengan hasil penelitian Mulyaningsih (2013) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas kesehatan. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang konsisten dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan sosiabilitas dan kemampuan belajar (Rival dan Mulyadi, 2010). Hal ini berbeda dengan pendapat yang disampaikan informan ahli bahwa antara perempuan
dan
laki-laki
dalam
melaksanakan
tugas
ada
perbedaannya yaitu laki-laki lebih intens, sedangkan perempuan lebih teliti dalam merawat balita, terutama dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas.
161
b. Pelatihan Petugas Pelatihan petugas menurut Sihula (dalam Hasibuan, 2008) adalah suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan prosedur
sistematik
dan
terorganisir,
sehingga
karyawan
operasional mempunyai pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Pelatihan petugas sangat penting untuk dilakukan terutama dalam hal tatalaksana pneumonia. Selain itu, Kemenkes (2012) menegaskan bahwa pelatihan kesehatan dilakukan melalui pelatihan teknis program dan teknis fungsional secara berjenjang disemua tingkat administrasi untuk menunjang profesionalisme. Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di Puskesmas meliputi pelatihan tatalaksana penderita pneumonia (terintegrasi dengan pelatihan MTBS) dan pelatihan manajemen program P2 ISPA. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penangung jawab P2 ISPA dan MTBS di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, sudah pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita yang dilaksanakan oleh Dinkes. Selain itu, beberapa petugas di puskesmas tersebut, juga sudah pernah mendapatkan pelatihan. Pada saat wawancara, informasi yang diberikan informan tersebut sangat detail dan jelas, berbeda dengan jawaban petugas yang belumterlatih. Namun, kepala Puskesmas belum pernah mengikuti pelatihan mengenai pneumonia. Kepala
162
puskesmas, hanya sekadar memahami dari penjelasan petugas yang sudah terlatih dan membaca buku mengenai penyakit tersebut. Dengan adanya tenaga terlatih di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, maka kegiatan penemuan kasus di puskesmas tersebut, dapat berjalan dengan baik, terutama kegiatan secara pasif yang dilakukan di MTBS atau poli anak. Sehingga puskesmas tersebut dapat mencapai target nasional yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, secara kualitatif pelatihan petugas berpengaruh terhadap penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas. Penelitian ini
didukunga dengan hasil penelitian
kuantitaif, oleh Adnan (2013) diketahui
bahwa pelatihan
berkontribusi paling dominan terhadap keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia. Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak mempunyai tenaga terlatih, terutama penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS mengakui bahwa belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia. Hanya ada satu petugas MTBS yaitu dokter umum yang pernah dilatih, akan tetapi petugas tersebut baru 5 bulan menjadi
petugas
MTBS.
Sebelumnya
petugas
tersebut
mendapatkan pelatihan dari dinas kesehatan, ketika bekerja di puskesmas yang dulu.
163
Petugas yang tidak terlatih, di puskesmas tersebut didukung oleh pendapat kepala Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, bahwa petugasnya, masih banyak yang belum mendapatkan pelatihan, sehingga kesulitan dalam pelaksanaan penemuan
kasus
pneumonia
balita.
tidak
hanya
cakupan
pneumonia yang tidak tercapai cakupan program lainnya seperti cakupan penemuan kasus TB juga tidak tercapai. Hal tersebut disampaikan oleh kepala puskesmas pada saat wawancara. Tidak terlatihnya petugas di puskesmas tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya
mutasi pegawai di
puskesmas, sehingga susunan pegawai di puskesmas relatif baru dan petugas terlatih tidak lagi di puskesmas tersebut. Selain itu, pelatihan yang diadakan dinas kesehatan juga bersifat berkala. Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian kuantitatif yang dilakukan Ivantika (2001) di Bandung menyatakan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat cakupan program yang lebih tinggi dibandingakn dengan petugas yang tidak mendapat pelatihan. Sama halnya dengan penelitian Nurcik (2002) mengenai hubungan profesionalisme petugas P2 ISPA dengan cakupan penemuan kasus pneumonia balita, diketahui bahwa pelatihan petugas (OR=6,26 P=0,000; 95% CI 2,20-17,87)
164
mempunyai hubungan yang kuat dan bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Menurut pendapat informan ahli, bahwa seharusnya petugas puskesmas sudah mendapatkan pelatihan atau setidaknya memahami sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita yaitu dengan melakukan pelatihan kecil di puskesmas pada saat loka karya mini. Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan petugas di dinas kesehatan dan puskesmas, guna menambah pengetahuan dan pemahaman petugas puskesmas mengenai pneumonia balita. c. Pendidikan Petugas Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil, sehingga mereka lebih dapat berkualitas (Notoatmodjo, 2003). Dengan adanya pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja profesional, bertanggung jawab dan produktif. Menurut Kemenkes (2010), bahwa pengembangan dan peningkatan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pendidikan petugas adalah pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh petugas pelaksana. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pendidikan penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai terget nasional yaitu D3 Kebidanan.
165
Sama halnya dengan petugas MTBS di puskesmas tersebut. Hanya 1 puskesmas saja yaitu puskesmas yang tidak berhasil mencapai terget nasional, dengan pendidikan terakihr petugas MTBSnya adalah SI Kedokteran. Namun demikian, tidak ditemukan adanya perbedaan pendidikan petugas antara puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pendidikan terakhir kepala Puskesmas di Puskesmas Baktijaya, Serpong 1 dan Pisangan adalah S1 kedokteran gigi. Sedangkan pendidikan terakhir kepala Puskesmas di Kranggan adalah SI Kesehatan Masyarakat. Pada saat wawancara, berdasarkan hasil pengamatan informasi yang diberikan kepala Puskesmas dengan latar belakang pendidikan SKM, lebih memahami penyakit pneumonia
secara
menyuluruh
dan
lebih
terbuka
dalam
menyampaikan pendapat dibandingkan kepala puskesmas yang bukan SKM. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Handayani (2012), bahwa
pendidikan petugas P2 ISPA dan MTBS di
Puskesmas yaitu D3 Kebidanan, D3 Keperawatan dan D3 Kesehatan lingkungan. Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian Ivantika (2001), Sinora (2005) dan Dharoh, dkk (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
166
pendidikan
petugas
dengan
cakupan
penemuan
penderita
pneumonia. Selain itu, hasil penelitian Duhri, dkk (2013) menyebutkan bahwa petugas P2TB yang memiliki jenjang pendidikan yant tinggi belum tentu memilki kinerja yang baik. Sama halnya dengan penelitian Adnan (2013), menyatakan bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Flippo (dalam Hasibuan
2008),
bahwa
pendidikan
berhubungan
dengan
peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh. Sama halnya dengan pendapat Hersey dan Blanchard (dalam Sinora, 2005) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan non-formal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan berperilaku. Sedangkan menurut pendapat informan ahli yaitu pada saat ini orang bekerja bukan karena pendidikan terakhirnya, tetapi karena golongan dan pangkatnya. Oleh karena itu dalam perekrutan petugas kesehatan di Puskesmas latar belakang pendidikan kesehatan sangat penting untuk diutamakan dalam perekrutan tersebut. d. Lama Kerja petugas Menurut Wahyudi (2006) pengalaman seorang tenaga kerja untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Lama kerja seseorang
167
dalam organisasi perlu diketahui karena lama kerja dapat merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan petugas tersebut dari berbagai segi kehidupan organisasional, misalnya dikaitkan dengan produktivitas kerja (Siagian, 2002). Pada umumnya, semakin lama orang bekerja maka pengalaman bekerjanya akan bertambah luas, sehingga orang tersebut kan menjadi semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaanya. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan lama kerja petugas adalah berapa lama penangung jawab P2 ISPA memegang program tersebut sampai dengan waktu diwawancara. Berdasarkan hasil penelitian, gambaran lama kerja petugas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, diketahui bahwa
penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS
di
Puskesmas tersebut sudah 28 tahun bekerja sebagai petugas tersebut. Petugas juga sudah mengikuti
pelatihan pneumonia
berkali-kali yang diadakan Dinkes Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, pengalaman kerja petugas inilah yang menyebabkan kegiatan penemuan kasus pneumonia di Puskesmas tersebut berhasil mencapai target nasional. Selain itu, lama kerja kepala puskesmas di pusekesmas tersebut baru berjalan 5 bulan. Hal ini disebabkan adanya pergantian pimpinan dan staf puskesmas yang dilakukan Dinkes pada bulan Februari 2015. Namun, kepala puskesmas tersebut
168
sudah mempunyai pengalaman sebagai kepala puskesmas di puskesmas sebelumnya. Pada dasarnya sistem yang dijalankan disetiap puskesmas adalah sama terutama puskesmas dalam satu Kota, yang berbeda hanyalah petugas dan wilayah kerjanya serta prioritas penyakit yang ditangani puskesmas. Gambaran lama kerja petugas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa penangung jawab P2 ISPA baru berjalan 1 tahun, menurut informasi dari informan bahwa petugas sebelumnya sudah pindah ke puskesmas lain. Sehingga informan belum terlalu memahami mengenai pneumonia balita. Sedangakan untuk petugas MTBS di puskesmas tersebut, baru bertugas 5 bulan. Sebelumnya petugas tersebut sudah menjadi petugas MTBS di puskesmas lain, hal ini dapat terlihat dari informasi yang diberikan informan mengenai tatalaksana pneumonia balita yang begitu detail. Lama kerja kepala puskesmas di puskesmas tersebut baru bertugas 5 bulan, hal ini disebabkan karena adanya mutasi pegawai yang dilakukan Dinkes Kota Tangerang Selatan pada bulan Februari 2015. Akan tetapi, kepala puskesmas tersebut sudah mempunyai pengalaman sebagai kepala puskesmas di puskesmas sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa lama kerja petugas di puskesmas tersebut relatif baru.
169
Hasil Penelitian ini sesuai dengan pendapat Gibson (1987), menyatakan bahwa lama kerja memberikan pengaruh kepada prestasi kerja. Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Setiadi (2001). ditemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan kinerja bidan dalam penemuan kasus ISPA. Penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Ivantika (2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan informan ahli yang menyatakan bahwa lama kerja petugas mempengaruhi pencapaian program di puskesmas. Dengan demikian, diharapakan petugas yang sudah lama bekerja di puskesmas dapat memberikan pengalamannya kepada petugas baru, dalam hal menjalankan program
puskesmas,
terutama
program
penemuan
kasus
pneumonia balita. Sehingga semua puskesmas dapat mencapai tujuan program. e. Pengetahuan Petugas Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007) seseorang dikatakan mencapai tingkat pengetahuan yang baik apabila mampu menyebutkan, menguraikan, mendifinisikan, menyatakan dan sebagainya dipelajari.
serta menjelaskan secara benar obyek yang telah Dalam
penelitian
ini
yang
dimaksud
dengan
170
penegatahuan petugas adalah pengetahuan mengenai klasifikasi pneumonia, gejala dan tanda-tanda penderita pneumonia serta tatalaksana penderita pneumonia. Pengetahuan petugas ditunjukkan kepada penangung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS. Gambaran pengetahuan petugas puskesmas yang berhasil mencapai
target
nasional,
diketahui
bahwa
pengetahuan
penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS sudah tergolong baik. Hal ini, disebabkan karena petugas tersebut sudah bekerja lama dan pernah mengikuti pelatihan mengenai pneumonia. Sehingga pengetahuan petugas terkait penemuan kasus pneumonia balita juga lebih baik. Selain itu, semua pertanyaan yang peneliti ajukan terjawab semua dengan benar oleh petugas tersebut. Kepala puskesmas dalam penelitian ini tidak ditanyakan pengetahuan mengenai hal tersebut, karena kepala puskesmas tidak melakukan pelayanan pengobatan di puskesmas. Gambaran pengetahuan petugas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional masih tergolong buruk, ketika mengisi pertanyaan pengetahuan yang diajukan peneliti, masih banyak jawaban yang salah, hanya satu petugas MTBS di puskesmas tersebut berpengetahuan baik, karena di puskesmas sebelumnya petugas tersebut pernah menjadi petugas MTBS. Petugas mempunyai pengetahuan buruk dikarenakan petugas tersebut belum pernah mengikuti pelatihan dan lama kerja sebagai
171
petugas tersebut masih realtif baru. Sehingga pengalaman yang dimilki petugas tersebut masih kurang. Dengan demikian, terdapat perbedaan pengetahuan petugas di puskesmas yang berhasil dengan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional,
petugasnya
mempunyai
pengetahuan
yang
baik.
Sedangkan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional mempunyai pengetahuan yang buruk mengenai pneumonia balita. Pengetahuan seseorang akan membentuk tindakan dalam suatu kinerja. Namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah. Menurut Wawan (2010), peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pengetahuan formal saja, tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan informal seperti mengikuti pelatihan, membaca buku pedoman atau media elektronik. Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan tentang kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan petugas mampu memberikan pelayanan yang baik (Kemenkes, 2012). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan (2013) bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia balita. Penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Duhri, dkk (2013)
yang menyebutkan bahwa
172
pengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja petugas P2TB. Hal tersebut didukung dengan pernyataan informan ahli, bahwa pengetahuan yang dimilki petugas dalam penemuan kasus pneumonia balita sangat penting diantaranya untuk membangun motivasi petugas. Oleh karena itu petugas puskesmas disarankan dapat mengetahui dan memahami pneumonia balita. Hal tersebut dapat diperoleh dari kegiatan pelatihan, sharing dengan petugas lain atau membaca buku pedoman P2 ISPA serta membaca media elektronik terkait penemuan kasus pneumonia balita. 6. Motivasi Petugas Menurut pendapat Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Wagito (2002) motivasi adalah kekuatan yang terdapat dalam diri organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Adapun yang dimaksud dengan motivasi petugas dalam penelitian ini adalah dorongan kerja yang timbul pada diri informan untuk berperilaku dalam pencapaian hasil kerja yang baik. Gambaran motivasi petugas
di puskesmas yang berhasil
mencapai target nasional, dapat diketahui bahwa motivasi petugasnya tergolong baik. Hal ini dapat diketahui berdasarkan jawaban
173
penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS, ketika mengisi kuesioner motivasi dengan menggunakan sakal likert 1-5. Motivasi yang dimiliki petugas puskesmas tersebut sesuai dengan pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita. Dengan adanya motivasi yang baik akan mendorong petugas untuk bekerja menjadi lebih baik terutama dalam pencapaian tujuan program. Selain itu motivasi kepala puskesmas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu ingin menjadikan Puskesmas yang dipimpinnya sebagai puskesmas kecamatan untuk lima tahun mendatang. Dalam hal ini puskesmas tersebut lebih menekankan pelayanan kepada pasien. Selain itu juga kepala puskesmas mempunyai motivasi ingin menjadi lebih baik terutama dalam pelayanan kepada pasien dan lebih menekankan disiplin kerja para petugas Puskesmas. Sehingga tugas yang dikerjakan dapat selesai dengan baik dan cepat. Gambaran motivasi petugas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, diketahui bahwa motivasi yang dimilki penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS masih tergolong buruk, hanya satu petugas saja yang mempunyai motivasi baik di puskesmas tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena kuranngnya motivasi
yang
diberikan
pimpinan
kepada
bawahan
dalam
melaksanakan penemuan kasus pneumonia balita. Karena motivasi
174
yang dimiliki petugas buruk, maka target penemuan kasus di puskesmas tersebut tidak tercapai. Selain itu, motivasi yang dimiliki kepala puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, diketahui bahwa kepala puskesmas lebih mengutamakan pelayanana dengan senyum, sapa dan sabar serta menggalakkan pelayanan promotif dan pereventif. Selain itu, kepala puskesmas juga lebih menekankan disiplin kerja kepada para petugasnya dan mengajarkan kepada petugas untuk bekerja dengan hati dan mengnganggap pasien sebagai keluarga. Tidak hanya itu, kepala puskesmas juga meminta kepada petugasnya, untuk mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap puskesmas. Pada umumnya motivasi untuk mencapai target penemuan kasus pneumonia balita, yang dimilki informan sangat tinggi. Namun dalam prakteknya sering kali tidak sesuai dengan motivasi yang dimilki. Menurut Notoatmodjo (2003), motivasi akan mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Agusman (2001) mengenai cakupan penemuan pneumonia balita, menemukan bahwa faktor motivasi (p=0,040) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Selain itu hasil penelitan Sabuna (2011) dan Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa motivasi petugas (p=0,020) mempunyai hubungan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita atau
175
tatalaksana pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa motivasi kerja (p=0,02) berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas (Rosita, dkk, 2013). Menurut informan ahli semua petugas memiliki motivasi kerja yang dinilai dari kinerja petugas tersebut. Dengan demikian, diharapkan kepala puskesmas dapat memotivasi atau memberikan semangat kepada petugas dalam bekerja, dengan adanya motivasi dari kepala puskesmas tersebut, Akan mendorong seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan dengan baik. 7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau dan bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Terry dalam azwar, 2002). Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong semangat kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal (Hasibuan, 2001). kepemimpinan
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kepala
puskesmas
adalah
kemampuan
kepala
puskesmas dalam memimpin dan memberikan dukungan terhadap pelaksanaan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas. Gambaran kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan pengakuan informan pendukung, kepemimpinan kepala puskesmas sudah tergolong baik,
176
terutama dalam hal keterbukaan dalam pengambilan keputusan yang selalu melibatkan staf. informasi tersebut diperoleh berdasarkan jawaban informan pendukung pada saat menjawab kuesioner penelitian. Sedangkan berdasarkan penilaian kepala puskesmasnya sendiri, kepemimpinan yang dimilikinya sudah tergolong baik. Gambaran kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan informasi dari informan pendukung, kepemimpinan kepala puskesmas masih tergolong tidak baik, hal ini sesuai dengan pengakuan atau jawaban dari kepala puskesmas, terutama dalam hal penyampaian pendapat dan penghargaan yang diberikan pimpinanan kepada petugas yang berprestasi. Dengan demikian, puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dengan kepemipinan kepala Puskesmas tergolong baik. Hasil penelitian ini, di dukung dengan hasil penelitian Rosita, dkk (2013) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan (p=0,04) berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga di dukung dengan penelitian Ivantika (2001) menyebutkan bahwa kepemimpinan kepala puskesmas (p=0,034) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Adapun macam-macam gaya kepemimpinan kepala puskesmas yaitu gaya kepemimpinan partisipasi, konsultasi, instruksi delegasi.
177
Gaya kepemimpinan partisipasi adalah gaya kepemimpinan yang paling sering digunakan kepala Puskesmas dalam pemecahan masalah. Sedangkan gaya kepemimpinan intruksi paling sering digunakan dalam hal pengambilan keputusan (Thoha, 2009). Dalam penelitian ini, gaya kepemimpinan yang dimiliki kepala puskesmas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu gaya kepemimpinan partisipasi dan intruksi, dengan adanya gaya kepemimpinan tersebut petugas merasa lebih dihargai, sehingga dapat memotivasi dan memberikan semangat kepada petugas dalam pelaksanaan kegiatan program di puskesmas. Hasil penelitian Salam, dkk (2013) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan (intruksi, konsultasu, partisipasi dan delegasi) dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian Parawangsyah (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan berdasarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan disiplin kerja. Sedangkan menurut informan ahli kepemimpinan
yang
harus
dimilki
kepala
puskesmas
adalah
kepemimpinan dalam manajemen dan epidemiologi untuk dapat memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam pelaksanaan program di puskesmas. 8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Sarana adalah salah satu perangkat administrasi, yaitu sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksnakan pekerjaan administrasi (Azwar,2002).
178
Sarana dan prasarana sangat penting dalam kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita. Sarana tersebut yang diteliti yaitu media cetak dan media penyuluhan terkait program penemuan pneumonia di puskesmas, yang dinilai berdasarkan observasi peneliti. Adapun media cetak meliputi
stempel ISPA, register harian
pneumonia, formulir laporan bulanan, buku pedoman pengendalian ISPA, pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS, pedoman autopsi verbal. Sedangkan media penyuluhannya meliputi poster, lefleat pneumonia balita, lembar balik, kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat, dvd tatalakasana, tv spot dan radio spot terkait pneumonia balita. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal tersebut. Gambaran media cetak di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonoa balita, berdasarkan hasil observasi, puskesmas tersebut, mempunyai stempel ISPA, register harian pneumonia, formulir laporan bulanan, buku pedoman pengendalian
ISPA,
pedoman
tatalaksana
pneumonia/MTBS.
Puskesmas yang mempunyai stempel ISPA dan buku pedoman pengendalian ISPA hanya puskesmas Serpong 1, dengan adanya stempel ISPA dapat memudahkan pencatatan yang dilakukan petugas. Sedangkan, untuk buku pedoman autopsi verbal, informan tidak dapat menunjukkan buku tersebut, dikarenakan buku tesebut di simpan oleh Binwil, untuk menginvestigasi kasus jika ditemukan balita meninggal di wilayah kerja puskesmas.
179
Selain itu, media penyuluhan yang ada di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu poster dan lembar balik mengenai pneumonia balita. Puskesmas yang mempunyai lembar balik pneumonia balita hanya Puskesmas Baktijaya saja. Selebihnya lembar balik tersebut tidak ada di puskesmas. Media penyuluhan lainnya seperti kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat, dvd tatalakasana, tv spot dan radio spot terkait pneumonia balita, tidak ditemukan di puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional, padahal media penyuluhan tersebut disarankan oleh Kemenkes harus ada di Puskesmas dan pengadaanya oleh Dinkes. Hal ini, mungkin terjadi karena pengelolaan media penyuluhan dipegang oleh petugas lain, akan tetapi peneliti hanya mewawancarai kepala Puskesmas, penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS. Gambaran media cetak dan media penyuluhan di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonoa balita, berdasarkan hasil observasi Puskesmas tersebut, mempunyai register harian pneumonia, formulir laporan bulanan, pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS yang terpasang di dinding. Selain itu, untuk media penyuluhannya hanya mempunyai poster pneumonia balita. Sedangkan media lainnya sepeti stempel ISPA, buku pedoman P2 ISPA dan lembar balik pneumonia balita tidak dimiliki oleh puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, padahal
180
media tersebut diadakan oleh Dinkes. Hal ini mungkin terjadi, karena adanya pergantian petugas atau penanggung jawab program, akan tetapi terkait media cetak dan media penyuluhan tidak dipindah tangankan ke petugas yang baru. Sehingga media tersebut di puskesmas tidak dapat digunakan untuk program selanjutnya. Menurut informan ahli ketersedian sarana dan prasarana diadakan oleh dinas kesehatan sehingga semua puskesmas masing-masing mempunyai sarana dan prasarana penunjang program penemuan kasus pneumonia balita. Akan tetapi, pada kenyataannya media cetak dan media penyuluhan yang dimiliki Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, tidak dimiliki oleh Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita. Media tersebut yaitu buku pedoman P2 ISPA, Stempel ISPA dan lembar balik pneumonia balita. Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yaitu penelitian Warsihayati (2002), Nurcik (2002) dan Sinora (2005) menyatakan bahwa, ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang cetakan pada Puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan penderita penumonia di Kabupaten Cianjur. Selain itu penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Hidayati dan Wahyono (2011)
menunjukkan
adanya hubungan yang bermakana antara sarana dan prasarana pendukung MTBS dengan kejadian pneumonia.
181
Dengan demikian. seharusnya setiap petugas puskesmas yang mengalami pergantian penanngung jawab program, memindah tangankan media cetak dan media penyuluhan terkait program tersebut kepada penanggung jawab program yang baru, serta adanya pencatatan mengenai ketersediaan sarana tersebut dan jika tidak ada segera melaporkannya ke Dinkes. Selain itu, sebaiknya Dinkes mengadakan evaluasi dengan Puskesmas mengenai pengadaan sarana dan prasarana penunjang program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas. 9. Kegiatan Evaluasi Kegiatan evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi mengenai sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah tercapai, bagaimana perbedaan pencapaian yang dilakukan dengan suatu standar tertentu, untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh (Umar, 2002). Kegiatan evaluasi pada dasarnya wajib dilakukan oleh suatu organisasi, dalam hal ini misalnya puskesmas,
adapun waktu
kegiatannya dilaksanakan
berbeda-beda sesuai dengan kebijakan di puskesmas tersebut, tapi pada umunya dilakukan setiap bulan. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kegiatan evaluasi yang dilakukan di puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional. Gambaran kegiatan evaluasi di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, dilakukan setiap bulan dalam kegiatan loka karya mini
182
(Lokmin)atau loka karya bulanan (Lokbul). Akan tetapi, jika ada masalah yang darurat maka kegiatan tersebut bisa dilakukan lebih dulu dari jadwal yang sudah ditentukan, dengan intruksi dari kepala puskesmas. Dalam kegiatan tersebut, semua petugas puskesmas terlibat mulai dari office boy (OB). Hal ini dilakukan agar semua staf mengetahui sejauh mana
pencapaian program yang dilakukan di
puskesmas. Kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, dalam kegiatannya membahas pencapaian program, hambatan atau kendala selama menjalankan program dan membahas kebijakan di Dinkes terkait program puskesmas. Namun tidak semua program dibahas dalam kegiatan evaluasi tersebut, karena keterbatasan waktu yang dimiliki petugas, dan untuk program puskesmas selanjutnya, akan dibahas di evaluasi mendatang. Selain itu, petugas puskesmas juga melakukan sharing dengan sesama petugas, agar pencapaian atau tujuan program tercapai. Sehingga setiap program
dapat
bekerjasama
dalam
melaksanakan
kegiatan
programnya, seperti program penemuan kasus pneumonia balita dapat bekerjasama dengan kesling dan promkes. Gambaran kegiatan evaluasi di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita, dilakukan setiap bulan, seperti Lokmin dan Lokbul, karena kegiatan tersebut sudah ditetapkan oleh Dinkes, sehingga semua puskesmas
183
melakukan kegiatan tersebut. Adapun yang dibahas dalam evaluasi yaitu pencapaian hasil program, permasalahan atau kendala yang dihadapi, seperti tidak ditemukannya kasus pneumonia balita di puskesmas tersebut. Dengan demikian, kegiatan evaluasi di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak berbeda dengan puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, kerena puskesmas melakukan evaluasi sesuai dengan kebijakan dari Dinkes. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Warsihayati (2002) menunjukkan
bahwa
kegiatan
evaluasi
di
puskesmas
tidak
memberikan pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia balita. Hal ini terjadi karena semua puskesmas setiap bulannya melakukan evaluasi program untuk melihat sejauh mana tujuan dari program dapat tercapai. Menurut informan ahli kegiatan evaluasi juga berfungsi sebagai pembangun motivasi petugas dalam bekerja, sehingga kegiatan evaluasi harus selalu dilakukan oleh puskesmas. Dengan demikian, seharusnya setiap program melakukan kegiatan evaluasi, karena pada saat evaluasi yang dilakukan setiap bulan tidak semua program puskesmas dibahas.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1
Puskesmas yang Berhasil Mencapai Target Nasional dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Penyusunan rencana program penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014 di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dibuat pada akhir tahun 2013. Sehingga perencanaannya dibuat lebih awal, sebelum pelaksanaan program. b. Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional yaitu dilakukan dengan kunjungan rumah atau pelacakan kasus pneumonia di masyarakat dan melakukan pelayanan medis di puskesmas. Sehingga penemuan kasus pneumonia balita dapat mencapai target. c. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, melakukan pencatatan dan pelaporan yang merangkum dari semua pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas tersebut. Sehingga kasus yang ditemukan lebih banyak. d. Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, mempunyai tenaga terlatih, sehingga Puskesmas tersebut
184
185
dapat menemukan kasus pneumonia di Puskesmas dan di masyarakat melalui kegiatan tatalaksana dan pelacakan kasus. e. Penanggung jawab P2 ISPA di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional sudah bekerja selama 28 tahun. Sehingga mempunyai pengalaman dan wawasan yang luas dalam menjalankan program tersebut. f. Pengetahuan penanggung jawab P2 ISPA di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dalam penemuan kasus pneumonia balita
sudah tergolong baik, dengan
adanya pengetahuan yang baik mengenai
penyakit
pneumonia, dapat memudahkan petugas dalam kegiatan penemuan kasus tersebut. g. Motivasi yang dimilki petugas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, sudah tergolong baik, dengan adanya motivasi tersebut dapat memberikan semangat dan dorongan kepada petugas dalam melaksanakan kegiatan penemuan kasus pneumonia. h. Kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, berdasarkan penilaian petugasnya
sudah
tergolong
baik,
terutama
dalam
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang
186
selalu melibatkan staf, sehingga staf merasa dihargai dalam kegiatan tersebut . i. Ketersediaan media cetak dan media penyuluhan di puskesmas
yang berhasil mencapai target
nasional,
berdasarkan observasi puskesmas tersebut mempunyai stempel ISPA, register harian pneumonia, formulir laporan bulanan,
buku pedoman pengendalian ISPA, pedoman
tatalaksana pneumonia/MTBS, poster dan lembar balik, dengan
adanya
media
tersebut
dapat
menunjang
pelaksanaan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas, sehingga target penemuan dapat tercapai. 2
Puskesmas yang Tidak Berhasil Mencapai Target Nasional dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Penyusunan rencana program penemuan kasus pneumonia balita tahun 2014 di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional dibuat pada awal tahun 2014. Sehingga perencanaannya dibuat pada saat awal tahun pelaksanaan program. b. Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional hanya melakukan pelayanan medis di puskesmas dan penyuluhan di Posyandu, sehingga penemuan kasus pneumonia tidak mencapai target.
187
c. Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, tidak mendapatkan laporan kasus dari klinik swasta yang ada di wilayah kerja puskesmas. d. Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, belum mempunyai tenaga terlatih, sehingga petugas belum mengetahui dan memahami pneumonia balita secara menyeluruh. e. Penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional baru bekerja 1-2 tahun, sehingga masih relatif baru dan belum mempunyai pengalaman dan wawasan yang luas dalam menjalankan program tersebut. f. Pengetahuan penanggung jawab P2 ISPA di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tergolong buruk, petugas belum
masih
memahami konsep
pneumonia balita. g. Motivasi yang dimilki petugas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional masih tergolong buruk, motivasi mempengaruhi petugas dalam bekerja. h. Kepemimpinan kepala puskesmas di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan penilaian petugasnya masih tergolong tidak baik. khususnya dalam hal pengambilan keputusan.
188
i. Ketersediaan media cetak dan media penyuluhan di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan
observasi
puskesmas
tersebut
tidak
mempunyai stempel ISPA, buku pedoman pengendalian ISPA, lembar balik pneumonia, padahal media ini dimiliki oleh puskesmas yang berhasil mencapai target. 3
Puskesmas yang Berhasil dan yang Tidak Berhasil Mencapai Target Nasional dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Keduanya tidak menunjukkan adanya bukti penyusunan perencanaan program (POA) tahun 2014. Sehingga secara objektif dari segi perencanaan program tidak dapat dinilai. b. Keduanya, melakukan tatalaksana pneumonia atau MTBS dengan penatalaksananya adalah dokter, tetapi jika dokter tidak ada tatalaksana tersebut dilakukan oleh bidan atau perawat. c. Keduanya
belum
menjalankan
surveilans
berbasis
puskesmas. d. Penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS di puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target adalah perempuan. e. Pendidikan terakhir penanggung jawab P2 ISPA dan MTBS di Puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai target nasional adalah D3 Kebidanan.
189
f. Keduanya, melakukan kegiatan evaluasi setiap bulan pada saat kegiatan loka karya mini dan loka karya bulanan, akan tetapi tidak semua program dibahas dalam kegiatan evaluasi tersebut karena keterbatasan waktu yang dimilki petugas.
B. Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan a.
Sebaiknya Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mewajibkan penangung jawab P2 ISPA di puskesmas untuk melakukan perencanaan setiap tahunnya dan merealisasikan perencanaan tersebut.
b.
Melaksanakan kegiatan surveilans pasif dan aktif berbasis Puskesmas di Kota Tangerang Selatan, agar dapat membuat perencanaan yang evidence base.
c.
Menggerakkan kader kesehatan di setiap Puskesmas, sehingga kegiatan deteksi dini di masyarakat dapat dilaksanakan.
d.
Disarankan untuk meningkatkan pembinaan dan pelatihan kepada
penanngung
jawab
P2
ISPA
mengenai
pengetahuan dasar tentang pneumonia balita, sehingga tenaga kesehatan di Puskesmas mengetahui konsep dasar pneumonia balita.
190
e.
Menjalin kerjasama dengan sektor lain dan melakukan advokasi ke pemangku kebijakan dalam penemuan kasus pneumonia balita, seperti bekerjasama dengan
BLHD,
Badan Pemberdayaan Perempuan. 2. Bagi Puskesmas a.
Sebaiknya perlu melaksanakan penemuan kasus secara aktif dan menggerakkan kader di tiap wilayah agar cakupan penemuan kasus dapat meningkat.
b.
Melaksanakan kegiatan surveilans berbasis Puskesmas secara komprehensip, agar perencanaan dan evaluasi yang dibuat berdasarkan evidence base.
c.
Melakukan kegiatan deteksi dini atau penjaringan kasus pneumonia balita di masyarakat dan bekerjasama dengan kader, sehingga penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas dapat mencapai target nasional.
d.
Menjalin kerjasama dengan sektor lain dalam hal penemuan kasus pneumonia balita, seperti bekerjasama dengan kelurahan, kecamatan, LSM.
e.
Selain itu perlu diadakan
sharing atau berbagi
pengalaman dengan petugas lain dalam menjalankan program puskesmas, sehingga kegiatan penemuan kasus pneumonia balita
dapat dilaksanakan secara bersama-
sama dengan semua petugas puskesmas.
191
f.
Serta
disarankan
memberikan
penghargaan
berupa
predikat petugas terbaik setiap bulan atau setiap tahun sekali, untuk meningkatkan motivasi petugas dalam pekejaanya. 3. Bagi Institusi Pendidikan Untuk institusi pendidikan hendaknya menjalin kerjasama dengan pihak puskesmas di Kota Tangerang Selatan terutama dalam hal penemuan kasus pneumonia balita di masyarakat dengan melakukan deteksi dini di masyarakat, terutama di puskesmas yang cakupan penemuan kasusnya sedikit. 4. Bagi peneliti lain Bagi
peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan kajian yang mendalam mengenai faktorfaktor lain yang mungkin berpengaruh namun belum diteliti dalam penelitian ini seperti penemuan kasus dimasyarakat dan diharapakan
peneliti
selanjutnya
dapat
meneliti
puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan.
semua
192
DAFTAR PUSTAKA Adnan, Dewi Sartika. 2013. Evaluasi pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan dalam Tatalaksana Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Aceh Besar. Tesis Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Agusman, 2001. Faktor-faktorkan yang berhubungan dengan cakupan penemuan oenderita pneumonia pada Puskesmas di Kota Palembang tahun 2000. Tesis FKM UI, depok. Azwar azrul, 2002, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut. Jakarta: Departemen Kesehatan. ____________________. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan. __________. 2008, Modul MTBS Revisi tahun 2008. Derani M, Pope D, Mascarenchas, Smith KR, Weber M, Nigel B. 2008. Indoor air polution from unprocessed solid fuel use and pneumonia risk in children aged under five years; a systematic review and meta analysis. Bull WHO: 86:390-398. Dharoh, Ana dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Cakupan Penemuan Penderita Pneumonia Pada Balita Di Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat UDINUS: Semarang. Dimyati, Hamdan. 2014. Model Kepemimpinan Keputusan. Bandung; Pustaka Setia.
dan Sistem Pengambilan
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2014. Data Program P2 ISPA (Cakupan Penemuan Pneumonia Balita), Direktorat Bina Kesehatan Anak, Depkes, 2009. Salah satu materi yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak, , Manajemen Terpadu Balita Sakit. Diakses pada tanggal 9-April-2015. Dari http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/3274
Duhri,dkk . 2013. Kinerja petugas Puskesmas dalam penemuan penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Wajo. Jurnal FKM UNHAS. Makassar. Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.
193
E-Jurnal. 2013. Epidemiologi Pneumonia. Diakses pada 25-Mei-2015. Dari: http://www.e-jurnal.com/2013/09/epidemiologi-penumonia.html Gibson, dkk. 1987. Perilaku, Struktur,Proses Edisi Kelima, Jilid 1, Ahli Bahasa Djakarsih, Jakarta: Erlangga. Handayani, Resti Paramita. 2012. Gambaran Kegiatan Penemuan Kasus Pneumonia Pada Balita pSe-Kota Semarang. Tahun 2011. Jurnal Kesehatan masyarakat UNDIP. 1 (2) ; 423-434. Hasibuan. M. S. P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Hidayati, A’laa Nurul dan Wahyono, Bambang. 2011. Pelayanan Puskesmas Berbasis Manajemen Terpadu Balita Sakit Dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kemas. 7 (1): 35-40. Ilyas, Yaslil. 2002. Kinerja Teori penilaian dan penelitian . Pusat kajian ekonomi kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyrakat UI. Itma Annah,Rasdi Nawi, Jumriani Ansar. 2012. Faktor Kejadian Pneumonia Anak Umur 6-59 Bulan di RSUD Salawengan Maros. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. Ivantika, Elvira. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan pednerita pneumonia pada Puskesmas di Kabupaten Bandung tahun 2000, Tesis FKM UI. Depok. Kartasamita, 2010, Pneumonia Pembunuh Balita, Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 3, Kemenkes RI, Jakarta. Kemenkes RI. 2010. Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Jakarta: Kemenkes RI ___________. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Jakarta: Dirjen Bina Kesmas Direktorak Bina Kesehatan Ibu. ___________. 2012. Pedoman Pengendalian ISPA. Jakarta: Kemenkes RI. ___________.2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta: Dirjen P2PL. ___________. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999. Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Tentang
194
Kristie, Sinora. 2005. Gambaran Cakupan penemuan penderita pneumonia berdasarkan karaketristik kualifikasi petugas dan sarana logistik pada Puskesmas pelaksana MTBS di kabupetan Cianjur tahun 2004. Tesis FKM UI. Depok Mangkunegara AP. 2009. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Rafika Aditama. Mardjanis. 2010, Pengendalian Pneumonia Anak Balita Dalam Rangka Pencapaian MDG4, Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 3, Kemenkes RI, Jakarta. Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mulyaningsih. 2013. Peningkatan kinerja Perawat Dalam Penerapan MPKP Dengan Supervisi Oleh Kepala Ruang di RSUD Surakarta. Jurnal Gaster. Volume 10, No. 1. News Medical, 2011. Epidemiologi Pneumonia. Diakses pada 25-Mei-2015. Dari http://www.news-medical.net/health/Pneumonia-Epidemiology%28Indonesian%29.aspx : Ni Nyoman Kristina, dkk. 2013. Mengenal Penyakit Pneumonia (Ispa). Diakses pada 15-02-2015. dari http://www.diskes.baliprov.go.id/id/MENGENALPENYAKIT-PNEUMONIA--ISPANotoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. __________________. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. _________________.2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Nurcik, Matdani. 2002. Hubungan Profesionalisme Petugas P2 ISPA Puskesmas dengan Cakupan Penemuan Penderita Pneumonia Balita di Propinsi Sumatera Selatan tahun 2000. Tesis Magister Pasca Sarjana Program Studi Epidemiologi UI. Depok. Parawangsyah, Ann, dkk. 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap Disiplin Tenaga Kerja Kesehatan di Puskesmas Batua kota Makassar, Jurnal FKM UNHAS. Public Health. 2014. Pengertian, Syarat dan Peran Kader Posyandu. Diakses pada 26-Mei-2015. Dari : http://www.indonesianpublichealth.com/2014/05/kader-posyandu-2.html
195
Pudjiastuti, Wiwiek, 2002. Analisis kepatuhan petugas puskesmas terhadap MTBS di Puskesmas DKI Jakarta tahun 2001, Tesis FKM UI. Jakarta. Rai, I Gusti Agung. 2008. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat. Rajab, W., 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. , pp.165171. EGC. Jakarta. Rival, V., Mulyadi, D. 2010. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rosita, dkk, 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Motivasi dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Cempaka Kabupaten Pinrang. Jurnal STIKES Nani Hasnuddin Makassar.Volume 2 (4). Rudan, Igor et al. 2008. Epidemiologi dan Etiology of Chilhood Pneumonia. Buletin of the world Health Organization. Salam, Jumhur, dkk. 2013. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Wara Selatan Kota Palopo. Jurnal AKK. Vol 2 No. 2. Sabuna, Apris. Hubungan antara pengetahuan dan motivasi perwata dengan tatalaksana pneumonia balita di Puskesmas Kabupaten timor tengah selatan NTT. Thesis. UNDIP. Setyati, Amalia. 2014. Pneumonia: The Forgotten Killers Of Children. Diakses pada 15 Januari 2015 dari : http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/716-pneumonia-theforgotten-killers-of-children Sulastomo. . 2007. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka. Sutomo, A.H. & Machfoedz, I., Suriani & Rosmadewi, 2010. Epidemiologi Kebidanan. , pp.175-180. Fitramaya. Yogyakarta. Tangerangselatankota.go.id. 2014. Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan. Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo. Umar, Husein. 2002. Evaluasi Kinerja Perusahaan.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. UNICEF, WHO. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer Of Children _____________. 2009. Global Action Plan For Prevention and Control Of Pneumonia (GAPP).
196
Warsihayati D, Rita. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada Puskesmas di Kabupaten Bekasi tahun 2001. Tesis FKM UI. Depok. Wawan, dkk, 2010. Teori dan Pengukuran pengetahuan, Sikap dan perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. World Pneumonia Day. 2012. Fight Pneumonia, A save Child. Global Coalition Againts Child Pneumonia.
LAMPIRAN 1
FORM INFORM CONCERN Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015
Bapak/Ibu/Sdr yang saya hormati, Saya Lina Sri Marlinawati, mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, saat ini saya sedang melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015”. Pertama izinkan saya mengucapkan terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Sdr untuk menjadi informan dan memberikan keterangan secara luas, bebas, mendalam, benar, dan jujur. Hasil infromasi dan keterangan yang diberikan nanti akan digunakan sebagai masukan untuk program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Peneliti memohon izin untuk merekam pembicaraan selama proses wawancara berlangsung dan peneliti menjamin kerahasian isi informasi yang diberikan dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Demikian atas segala perhatian dan bantuan Bapak/Ibu/Sdr saya ucapkan terima kasih telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Hormat Saya,
Lina Sri Marlinawati
LAMPIRAN 2 PEDOMAN WAWANCARA
Tata cara wawancara: 1. Mengucapkan salam 2. Memperkenalkan diri 3. Menanyakan kesediaan menjadi informan (dan mendatangani menanyakan nama informan) 4. Menanyakan nama informan 5. Meminta izin untuk merekam pembicaraan selama wawancara berlagsung 6. Memberikan pertanyaan pemanasan (sudah berapa lama bekerja, bagaimana kabar hari ini) 7. Memberikan pertanyaan inti 8. Menutup sesi wawancara 9. Mengucapkan terima kasih 10. Memberikan souvenir 11. selesai
FORM IDENTITAS INFORMAN
Kode Informan
:
Nama Informan
:
Jenis Kelamin
:
Umur
:
Pendidikan
:
Jabatan/Pekerjaan
:
Lama Kerja
:
Hari/Tanggal Wawancara
:
(.........)*
Dengan ini saya bersedia menjadi informan untuk penelitian mengenai “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Penderita Pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015”
Tangerang Selatan,..... Juni 2015
(.....................................................)
*) diisi peneliti
Pertanyaan untuk Kepala Puskesmas (Informan Utama) 1. perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita a. Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita? b. Jika tidak ada perencanaan, kenapa tidak dibuatkan perencanaan? c. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan rencana tahunan terkait penemuan kasus pneumonia balita? 2. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita a. Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas? b. Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas? c. kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas yang bapak pimpin, apakah penemuan secara aktif atau pasif? kenapa demikian? Selain di puskesmas kegiatan penemuan pneumonia dilakukan dimana saja? Dalam bentuk seperti apa? 3. Tatalaksana Pneumonua balita/MTBS a. Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita, jika ada siapa yang melakukan hal tersebut? b. Menurut saudara apakah petugas melakukan tatalaksana sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS? Apakah saudara dapat menyebutkan apa saja yang petugas lakukan pada saat tatalaksana pneumonia balita? 4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan a. Apakah petugas puskesmas melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dan di klinik swasta? b. siapa yang melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan mengenai pneumonia balita di Puskesmas? c. apakah kegiatan tersebut dilakukan secara rutin? d. apakah ada pelaporan dari fasilitas kesehatan swasta mengenai kasus pneumonia balita? e. Apakah ada pelaporan ke Dinkes mengenai kasus pneumonia? 5. Faktor petugas Kesehatan d. Apakah petugas P2 ISPA di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, sudah pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana pneumonia/MTBS)? 6. Motivasi Petugas a. Apa motivasi atau upaya Bapak untuk memajukan puskesmas bapak menjadi lebih baik, terutama dalam pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita?
7. Ketersediaan Sarana dan Prasarana a. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, tersedia media cetak dan media penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita? b. jika ada apakah media cetak atau buku cetakan digunakan dalam kegiatan puskesmas? c. jika tidak tersedia, kenapa tidak tersedia, apakh tidak ada anggaran dalam pemenuhan media cetak tersebut? d. Apakah di Puskesmas saudara tersedia media penyuluhan dalam bentuk apa ( apakah Poster, Lefleat, lembar balik, Kit Advokasi dan Kit pemberdayaan Masyrakat atau dvd tatalakasana pneumonia balita, TV spot dan radio spot tentang pneumonia Balita)? e. jika ada apakah media penyukuhan tersebut digunakan dalam kegiatan puskesmas? f. jika tidak tersedia, kenapa tidak tersedia, apakh tidak ada anggaran dalam pemenuhan media penyuluhan? 8. Kegiatan evaluasi a. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, dilakukan kegiatan evaluasi, siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut? b. Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas? 9. Kepemimpinan Kepala Puskesmas No
Pertanyaan
1
Apakah ada sanksi/peringatan bagi petugas pelaksna yang lalai bertugas a. Tidak b. Ada
2
Apakah ada pertemuan formal/rapat rutin untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program di puskesmas a. Tidak b. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3
Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program a. Tidak ada b. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4
Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah saudara bersikap terbuka dalam menerima saran di bawahan ... a. tidak b. ya
Diisi oleh peneliti
No
Pertanyaan
5
Apakah sudara pernah memberikan penghargaan/reward kepada petugas puskesmas yang dinilai baik dalam melaksanakan tugas a. tidak pernah b. pernah dalam bentuk... sebutkan
6
Apakah saudara selalu mengingatkan petugas pelaksana untuk selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan standar program, a. tidak b. iya
7
Apakah saudara memberikan bimbigan dalam tatalaksana kasus ISPA seseuai dengan program a. .tidak b. iya
8
Apakah saudara mengevaluasi secara berkala pelaksanaan program P2 ISPA a. tidak b. iya
Diisi oleh peneliti
Pertanyaan untuk Staf Penanggung Jawab P2 ISPA (Informan Pendukung) No Pertanyaan Perencanaan kegiatan penemuan pneumonia balita 1 Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita? 2 Siapa saja petugas yang dilibatkan, dalam pembuatan perencanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas? Kegiatan Program Penemuan Pneumonia Balita 1 Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas? 2 Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas? Tatalaksana Pneumonia Balita 1 Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita, jika iya siapa yang melakukan hal tersebut? 2 Apakah Ibu dapat menjelaskan dengan rinci mengenai tatalaksana pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS? Faktor Tenaga Kesehatan : Pelatihan 1 Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana a. pneumonia/MTBS) yang diselenggrakan Dinkes? Ketersediaan Sarana dan Prasarana :Media Cetak/ Buku Cetakan dan media penyuluhan
Apakah di Puskesmas yang tempat Ibu bekerja, tersedia media cetak dan media penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita? Kegiatan pencatatan dan pelaporan 1 Apakah Ibu melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dan laporan dari klinik swasta? 2 Apakah ada pelaporan dari Puskesmas ke Dinkes mengenai kasus pneumonia? Kegiatan evaluasi 1 Apakah di Puskesmas tempat Ibu bekerja, dilakukan kegiatan evaluasi, siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut? 2 Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas? 1
Pertanyaan Untuk Petugas MTBS (Informan pendukung)
No Pertanyaan Tatalaksana Pneumonia Balita 1 Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita, jika iya siapa yang melakukan hal tersebut? 2 Apakah Ibu dapat menjelaskan dengan rinci mengenai tatalaksana pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS? Faktor Tenaga Kesehatan : Pelatihan 1 Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana a. pneumonia/MTBS) yang diselenggrakan Dinkes?
Pertanyaan Untuk Infroman Ahli 1. Perencanaan Penemuan Pneumonia Balita a. Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan perencanaan dalam suatu program puskesmas? b. Kapan seharusnya perencanaan program dibuat puskesmas? c. Siapa saja yang seharusnya terlibat dalam pembuatan perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita? 2. Kegiatan Penemuan Pneumonia Balita a. Menurut Bapak, kegaiatan penemuan kasus secara pasif atau aktif kah yang lebih meningkatan penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas? 3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS a.
Menurut Bapak, jika di Puskesmas dilakukan tatalaksana pneumonia balita, siapa yang seharusnya melakukan tatalaksana tersebut?
4. Kegiatan Pencatatan Dan Pelaporan a.
Menurut Bapak, apakah seharusnya ada pelaporan mengenai kasus pneumonia dari klinik swasta atau praktek dokter?
b. Menurut Bapak, pencatatan dan pelaporan
yang seperti apa yang
harus dilakukan puskesmas dalam meningkatkan angka penemuan kasus pneumonia balita? kapan sebaiknya kegiatan pencatatan kasus dilakukan?
5. Faktor petugas Kesehatan a. Menurut Bapak, Apakah ada perbedaan antara petugas laki-laki dengan petugas perempuan dalam menjalankan tugas, terutama dalam pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita? b. Menurut Bapak, apakah petugas puskesmas yang melakukan kegiatan penemuan kasus pneumonia, harus mendapatkan pelatihan mengenai hal tersebut? c. Pelatihan yang seperti apa yang seharusnya diberikan kepada petugas kesehatan, dalam hal penemuan kasus pneumonia balita, apakah puskesmas harus mengadakan pelatihan tersebut? d. Menurut bapak, pendidkan terakhir apa yang seharusnya dimiliki oleh petugas kesehattan, seperti kepala Puskesmas, penangung jawab program dan petugas MTBS? e. Menurut Bapak, apakah lama kerja petugas puskesmas mempengaruhi kinerjanya? f. Menurut Bapak, apakah pengetahuan petugas berpengaruh dalam pencapaian penemuan kasus pneumonia balita? 6. Motivasi Petugas a. Menurut Bapak, apakah motivasi petugas di puskesmas dapat mempengaruhi pencapaian penemuan kasus pneumonia balita di puskesmaa?
7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas a. Menurut Bapak, kepemimpinan seperti apa yang seharusnya dimilki oleh kepala puskesmas sebagai pimpinan? 8. Ketersediaan Sarana Dan Prasarana a.
Menurut Bapak, apakah ketersediaan media penyuluhan dan media cetak sebagai penunjang program penemuan kasus pneumonia balita, disetiap puskesmas harus ada? apakah media penyuluhan diadakan oleh pemerintah atau kebijakan masing-masing puskesmas?
b.
Apakah puskesmas boleh melakukan pengadaan seperti poster atau media penyuluhan lainnya
9. Kegiatan Evaluasi a. Menurut Bapak, kegiatan evalusi seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh puskesmas ? Berapa kali seharusnya puskesmas mengadakan kegiatan tersebut ? b. Pada saat kegiatan evaluasi, apakah petugas puskesmas harus hadir semua dalam kegiatan tersebut?
Pedoman Observasi No.
Subjek yang di Observasi
1 2 3 4
Stempel ISPA Register harian pneumonia Formulir laporan bulanan Pedoman Pengendalian ISPA Pedoman tatalaksana pneumonia/MTBS
5
6 1 2 3 4 5 6
Ada
Tidak ada Buku cetakan
Jumlah tersedia
Pedoman Autopsi Verbal Media Penyuluhan Poster mengenai pneumonia balita Lefleat mengenai pneumonia balita lembar mengenai balik pneumonia balita Kit Advokasi dan Kit pemberdayaan Masyrakat Dvd tatalakasana pneumonia balita TV spot dan radio spot tentang pneumonia Balita Daftar Dokumen Dokumen
Profil Puskesmas 2014 Laporan tahunan Kinerja Puskesmas 2014
Jumlah balita
Penderita Cakupan pneumonia penemuan balita pneumonia balita
Kuesioner Pengetahuan No.
Pertanyaan
1
Penyakit apa yang diprioritaskan dalam program P2 ISPA ? a. Semua jenis penyakit ISPA termasuk radang telinga dan tenggorokan b. Pneumonia c. Khusus penyakit ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi d. Khusus penyakit infeksi saluran pernafasan atas
2
Bagaimana klasifikasi pneumonia pada bayi usia kurang dari 2 bulan menurut program P2 ISPA a. Bukan pneumonia, pneumonia b. Bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat c. Bukan pneumonia, pneumonia sedang,pneumonia d. Bukan pneumonia, pneumonia sedang , pneumonia berat
3
Aldi berumur 1 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas dia batuk pilek dengan demam ringan dan tidak ada tanda-tanda lainnya. Apa klasifikasi anda? a. Pneumonia b. Peneumonia berat c. Bukan pneumonia
4
Anak berumur 8 bulan, dia sangat ngantuk dan sukar dibangunkan serta ada nafas cepat 56 kali per menit disertai dengan tarikan dinding dada ke dalam, apa klasifikasi anda? a. Pneumonia b. Pneumonia berat c. Bukan pneumonia
5
Batasan nafas cepat sesui umur adalah a. Umur bayi 2 bulan ≤ 1 tahun adalah 60 kali per menit atau lebih b. Umur bayi < 2 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih c. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih d. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 50 kali per menit atau lebih
6
Kepada siapa seharusnya tablet antibiotika diberikan? a. Semua pasien ISPA dengan keluhan batukpilek b. Semua pasien ISPA dengan demam dan batuk c. Kepada pasien pneumonia saja d. Kepada pasien pneumonia berat dengan kesadaran menurun
7
Antibiotika apa yang disarankan dalam tatalaksana pneumonia? a. Kotrimokszol b. Tetrasiklin c. Ampicilin d. Trisulfa Untuk “berapa lama” antibiotika tersebut diberikan kepada penderita pneumonia a. 2 hari b. 3 hari
8
Diisi Oleh peneliti
No.
Pertanyaan
c. d.
Diisi Oleh peneliti
4 hari 5 hari
9
Alat bantu apa yang dipakai untuk menghitung nafas? a. Sound timer b. Arloji c. Jam dinding d. Tak ada alat bantu
10
Pada tahap pernafasan yang mana dapat anda temukan tarikan dinding dada ke dalam? a. Menarik nafas b. Mengeluarkan nafas
No.
Pertanyaan
1
Program pemberantasan penyakit ISPA memberikan prioritas pada pemeberantasan penyakit: e. Semua jenis penyakit ISPA termasuk radang telinga dan tenggorokan f. Pneumonia g. Khusus penyakit ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi h. Khusus penyakit infeksi saluran pernafasan atas
2
Bagaimana klasifikasi pneumonia pada bayi usia kurang dari 2 bulan menurut program P2 ISPA e. Bukan pneumonia, pneumonia f. Bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat g. Bukan pneumonia, pneumonia sedang,pneumonia h. Bukan pneumonia, pneumonia sedang , pneumonia berat
3
Aldi berumur 1 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas dia batuk pilek dengan demam ringan dan tidak ada tanda-tanda lainnya. Apa klasifikasi anda? d. Pneumonia e. Peneumonia berat f. Bukan pneumonia
4
Anak berumur 8 bulan, dia sangat ngantuk dan sukar dibangunkan serta ada nafas cepat 56 kali per menit disertai dengan tarikan dinding dada ke dalam, apa klasifikasi anda? d. Pneumonia e. Pneumonia berat f. Bukan pneumonia
5
Batasan nafas cepat sesui umur adalah e. Umur bayi 2 bulan ≤ 1 tahun adalah 60 kali per menit atau lebih f. Umur bayi < 2 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih g. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih h. Umur anak 1 tahun ≤5 tahun adalah 50 kali per menit atau lebih
Diisi Oleh peneliti
No.
Pertanyaan
6
Apa yang dilakukan terhadap penderita pneumonia a. Semua di rujuk ke rumah sakit untuk dirawat b. Harus mendapat antibiotika parental (suntikan) c. Pada penderita pneumonia bisa berobat jalan dengan mendapatkan antibiotika per oral
7
Kasus dibawah ini merupakan “pneumonia berat “ bagi bayi yang harus dirawat a. Anak usia 1 tahun, batuk pilek,suhu 39 derajat celcius b. Bayi usia 1 bulan, demam , ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam c. Bayi usia 3 bulan, batuk tanpa tarikan dinding dda bagian bawah d. Anak usia 1 tahun,batuk, frekuensi nafas 37 kali per menit
8
Kepada siapa seharusnya tablet antibiotika diberikan? e. Semua pasien ISPA dengan keluhan batukpilek f. Semua pasien ISPA dengan demam dan batuk g. Kepada pasien pneumonia saja h. Kepada pasien pneumonia berat dengan kesadaran menurun
9
Antibiotika apa yang disarankan dalam tatalaksana pneumonia? e. Kotrimokszol f. Tetrasiklin g. Ampicilin h. Trisulfa Untuk “berapa lama” antibiotika tersebut diberikan kepada penderita pneumonia e. 2 hari f. 3 hari g. 4 hari h. 5 hari
10
11
Alat bantu apa yang dipakai untuk menghitung nafas? e. Sound timer f. Arloji g. Jam dinding h. Tak ada alat bantu
12
Pada tahap pernafasan yang mana dapat anda temukan tarikan dinding dada ke dalam? c. Menarik nafas d. Mengeluarkan nafas
13
Umar bayi berusia 9 bulan, dibawa ibunya ke puskesmas dengan keluhan batuk sudah 3 hari, menetek seperti biasa, suhu badan 36,5 derajat celcius. Frekuensi ernafasannya 45 kali per menit dan tidak terlihat adanya tarikan dindingh dada bagian bwah . umar tergolong penderita? a. Pneumonia berat b. ISPA ringan c. Pneumonia d. Batuk pilek biasa
Diisi Oleh peneliti
No.
14
15
Pertanyaan
e. Pengobatan untuk umar adalah a. Beri kotrimoksazol b. Perwatan dirumah tanpa antibiotika c. Beri injeksi kloramphenicol d. Rawat inap dirumah sakit. Berikut ini adalah tindakan yang akan saudara lakukan pada bayi usia 6 minggu dengan pneumonia berat kecuali a. Beri perawatan dirumah b. Selimuti bayi agar tetap hangat c. Berikan dosis pertama antibiotika d. Segera rujuk ke rumah sakit
(Sumber; Buku pedoman P2 ISPA)
Diisi Oleh peneliti
Kuesioner Kepemimpinan Kepala Puskesmas (untuk Peanggung jawab P2 ISPA dan Petugas P2 ISPA) No
Pertanyaan
1
Apakah kepala puskesmas memberikan sanksi/peringatan bagi petugas pelaksana yang lalai bertugas a. Tidak b. Ada
2
Apakah kepala puskesmas mengadakan pertemuan formal/rapat rutin untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program di puskesmas a. Tidak b. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3
Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program a. Tidak ada b. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4
Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah kepala puskesmas bersikap terbuka dalam menerima saran di bawahan ... a. tidak b. ya
5
Apakah kepala puskesmas pernah memberikan penghargaan/reward keada petugas puskesmas yang dinilai baik dalam melaksanakan tugas a. tidak pernah b. pernah dalam bentuk... sebutkan
6
Apakah kepala puskesmas selalu mengingatkan petugas pelaksana untuk selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan standar program, a. tidak b. iya
7
Apakah kepala Puskesmas memberikan bimbigan dalam tatalaksana kasus pneumonia seseuai dengan program a. .tidak b. iya
8
Apakah kepala puskesmas mengevaluasi secara berkala pelaksanaan program P2 ISPA a. tidak b. iya
Diisi oleh peneliti
No
Pertanyaan
1
Apakah ada sanksi/peringatan bagi petugas pelaksna yang lalai bertugas c. Tidak d. Ada
2
Apakah ada pertemuan formal/rapat rutin untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program di puskesmas c. Tidak d. Ada, dalam setahun... kali sebutkan
3
Apakah di puskesmas tersedia sarana dalam penyampaian keluhan dari petugas puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program c. Tidak ada d. Ada dalam bentuk ... sebutkan
4
Didalam pengambilan suatu keputusan, apakah pimpinan saudara bersikap terbuka dalam menerima saran di bawahan ... c. tidak d. ya
5
Apakah pimpinan sudara pernah memberikan penghargaan/reward keada petugas puskesmas yang dinilai baik dalam melaksanakan tugas c. tidak pernah d. pernah dalam bentuk... sebutkan
6
Apakah pimpinan saudara selalu mengingatkan petugas pelaksana untuk selalu melaksanakan tatalaksana kasus ISPA sesuai dengan standar program, c. tidak d. iya
7
Apakah pimpinan saudara memberikan bimbigan dalam tatalaksana kasus ISPA seseuai dengan program c. .tidak d. iya
8
Apakah pimpinan saudara mengevaluasi secara berkala pelaksanaan program P2 ISPA c. tidak d. iya
Diisi oleh peneliti
Pertanyaan Motivasi Petugas Penanggung Jawab P2 ISPA dan Petugas MTBS Keterangan 1=Sangat tidak setuju 2= tidak setuju 3=kurang setuju 4=setuju 5=sangat setuju Alternatif Jawaban No
Pernyataaan
1
Bekerja pada instansi ini membuat saya berguna di dalam kehidupan bermasyarakat Pemberian penghargaan bagi petugas yang berprestasi akan memberikan motivasi kerja pada petugas Saya merasa bahwa dengan bekerja di perusahaan ini. kebutuhan perumahan yang wajar sudah dapat terpenuhi Atasan saya selalu memberikan pujian apabila saya menjalankan tugas pekerjaan dengan hasil memuaskan Bekerja di instansi ini, dapat menjamin kehidupan saya di hari tua Saya merasa senang karena petugas kesehatan dan petugas lainnya bisa menerima saya sebagai partner yang baik Saya selalu dilibatkan dalam pertemuan atau rapat dalam mengambil keputusan dalam kegiatan puskesmas Saya mersa senang bila pengabdian saya, selam bekerja di Puskesmas ini diakui oleh kepala Puskesmas Puskesmas memberikan kesempatan bagi petugas untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk lebih maju
2
3
4
5
6
7
8
9
Sangat tidak Setuju
Tidak Kurang Setuju setuju
setuju
Sangat Setuju
10
Saya merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas yang diberikan Alternatif Jawaban
No
Pernyataaan
1
Bekerja pada instansi ini membuat saya berguna di dalam kehidupan bermasyarakat Pemberian penghargaan bagi petugas yang berprestasi akan memberikan motivasi kerja pada petugas Saya merasa bahwa dengan bekerja di perusahaan ini. kebutuhan perumahan yang wajar sudah dapat terpenuhi Atasan saya selalu memberikan pujian apabila saya menjalankan tugas pekerjaan dengan hasil memuaskan Bekerja di instansi ini, dapat menjamin kehidupan saya di hari tua Saya merasa senang karena petugas kesehatan dan petugas lainnya bisa menerima saya sebagai partner yang baik Saya selalu dilibatkan dalam pertemuan atau rapat dalam mengambil keputusan dalam kegiatan puskesmas Saya mersa senang bila pengabdian saya, selam bekerja di Puskesmas ini diakui oleh kepala Puskesmas Puskesmas memberikan kesempatan bagi petugas untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk lebih maju Saya merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sangat tidak Setuju
Tidak Kurang Setuju setuju
setuju
Sangat Setuju
LAMPIRAN 3
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Utama (Informan 1 s/d 4) No.
1
Pertanyaan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita?
“dilakukan dong. awal januari, januari, februari lah,” “kan kemarin saya juga baru, dari sini kan februari pertengahan. “Sebelumnya tuh januari, februari, maret, Cuma itu harus ada profil puskesmasnya baru dibuat perencanaan”
“ya rata-rata sih hampir sama dengan di Puskesmas lain, misalnya pendataan kemudian temuan-temuan di Posyandu pertemuan di dalam gedung,tapi apa yang dilakukan disini saya enggak tahu persis terutama tahun 2014, karena ibu baru masuk Februari 12-13”
“Dibuat, oh kita ada sistem laporan, semua program sama dibuat, ada laporan mingguan bulanan tahunan di rangkum dalam satu laporan” “perencanaan setahun sebelumnya, ehmm, awal bulan ya”
“disini pasti ada perencanaan. Tapi jujur disini saya baru 5 bulan, kalau rencana program sih setiap bulan, kalau cakupan pencapaian target MTBS sih saya targetkan minamal 1-5 MTBS”
“yang buat perencanaan “Semuanya terlibat, terutama penanggung jawab P2 ISPA, yang megang program mbak” kan nanti ngumpulin semua tuh, setiap pemegang program baru dibuat”
“yang buat bidan Septi, penanggung jawab pneumonia untuk anak ya”, “program itu misalnya ada kaitan dengan posyandu dengan bina wilayah bidan-bidan, kalau lintas program
“MTBS belum berjalan maksimal, dan petugasnya pun belum pernah ikut pelatihan MTBS.tapi saya coba terapkan, kalau yang buat perencanaan yang megang programnya, melibatkan seluruhnya.
b. Siapa saja petugas yang dilibatkan, dalam pembuatan perencanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas?
No.
2
Pertanyaan
Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus pneumonia balita “iya, di Puskesmas?
Informan 1
“ya paling ya kalau kegiatan pneumonia sama MTBS, pelaksanaan pelayanan MTBS di sini, “iya di posyandu juga. Kan di posyandu juga terus yaudah jadi gitu kalo pelaksanaan pelayanan MTBS di sini kan, iya aktif kalau itu kan di posyandu ya diperiksa terus kalau misalnya pneumonia udah disuruh kesini kalau enggak sibuk”
Informan 2
“Saya tidak tahu persis kalau disini, ya tapinya pasti pelaksanaan penyuluhan di posyandu pemeriksaan balita, iya bagusnya ya aktif dan pasif, tapi sepertinya pasif saja”
Informan 3
Informan 4
ehmm lintas sektoral itu bisa dengan BP-BP swasta atau klinik-klinik untuk meminta laporan”
Terutama dokter. Ya dokter, soalnya yang menentukan diagnosa itu kan dokter. Tidak ada lagi bidan atau perawat yang memeriksa”
“ke klinik-klinik mencari sasaran bisa juga dengan kunjungan rumah, tergantung kasus, kalau ada kasus ya pernah, pernah terkadang kalau jemput bola kita ke klinikklinik swasta”
“strateginya ya kita di posyandu, penyuluhan perorangan, penyuluhan perkelompok ibu-ibu di posyandu. Pokonya setiap ada anak yang batuk pilek, demam pokoknya jangan dianggap enteng. Kita kan disini cakupan TB juga masih rendah ya, ada batuk lebih dari 2 minggu ya itu harus segera periksa dahak. Penyuluhan motivasi perorangna, di luar dan dalam gedung ya itu tetap
No.
Pertanyaan b. Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas?
3
Tatalaksana Pneumonia Balita b. Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita, jika ada siapa yang melakukan hal tersebut?
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
dilakukan” “sebagai fasilitator untuk “Kalau dari MTBS ini ya penemuan kasus itu sangat lebih diketahui ya deteksi penting sekali” dininya . karena kan kadang ada batuk yang buka pneumoni, ya pokoknya banyak lah. Saya kan juga pernah ini lah MTBS, seperti itu”
“iya jadi dalam pemeriksaan balita, dari situ bisa diketahui penyakitnya apa, iya, jadi begini kan ini puskesmas baru sebelum tangsel jadi Kota dulu kan Kabupaten Puskesmas ini belum ada, dulu saya kan di pondok jagung, jadi petugasnya perlu dilatih MTBS jadi yang belum dilatih berapa gitu”
“Ya iya ada, MTBS yang meriksa balita pas sakit., MTBS penemuan pneumonia balita, pneumonia balita bisa diketahui melalui pelaksanaan MTBS nya”
“ya dokter sama bidan atau perawat yang membantunya, balita sakit kan, iya biasanya kalau pemeriksaan petugas yang sudah paham atau sudah dilatih sebentar kalau petugas belum dilatih kan lama ya meriksanya, kalau dia enggak begitu lama meriksanya”
“MTBS itu saya mengerti MTBS “tatalaksananya dari “Kalau dari MTBS ini ya itu seharusnya ada, saya ngerti MTBS, dokter umum yang lebih diketahui ya deteksi dan itu sangat patuh bagaimana melakukannya” dininya . karena kan kadang kita lebih detail dalam temuan ada batuk yang buka iya kan, jadi gimana saya pneumoni, ya pokoknya sarankan kamu ke pak Budi, banyak lah. Saya kan juga tadi kamu lihat enggak tadi ada pernah ini lah MTBS, MTBS, laporan MTBS itu seperti itu” enggak perlu lima, tiga orang “oleh dokter”
No.
Pertanyaan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
juga enggak apa-apa”
4
c. Menurut bapak/ibu apakah petugas melakukan tatalaksana pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS? Kegiatan pencatatan dan pelaporan a. Apakah petugas puskesmas melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan penemuan kasus
“iya sudah sesuai, tapi spertinya tidak semua petugas menggunakan alat hitung napas, karena itu harus dilatih dulu jadi susah kalau petugas yang belum dilatih menggunakan alat hitung napas itu”
“iya petugas di bagian anak, seharusnya dia berdekatan juga dengan gizi makanya ruangan gizi saya taro berdekatan dengan anak” “kita kekurangan tenaga disini,saya rasa tidak selalu dokter tapi kadang-kadang”
”selama ini sesuai aja, kalau banyak pasien kan tatalaksana itu cukup rumit ya. kalau sudah dilatih mereka melaksanakannya sesuai dengan prosedur ya kan ada SOP nya disitu”
“belum sesuai karena tadi mereka masih banyak yang belum dilatih paling pake modul-modul saja”
“iya yang melakukannya penanggung jawab program, kan nanti ada di LB3” “iya ada laporan juga dari klinik swasta, pencatatannya dilakukan sama penangung jawab P2 ISPA tapi kadang
“sebetulnya harus ada tapi biasanya temuan di klinik swasta di laporin jarang paling ada ISPA pneumonia ringan, tapi itupun mereka ngerjainnya tanpa MTBS, iya petugasnya” “pastinya sesudah dong,
“yang biasanya dokternya yang melakukan pencatatan” “iya, tapi ada juga tuh petugas P2 ISPA nya bantu,” “ehmm rutinrutin” “biasanya setelah jam
“ada di laporan W2. Kita setiap hari senin, iya penanggung jawab program” “hmmm kalo klinik swasta paling dari BPS. Tapi disini mah enggak maksimal ya, “
No.
Pertanyaan
Informan 1
pneumonia balita mereka saling bantu” di Puskesmas dan di klinik swasta?
b. Apakah ada “kalau laporan pelaporan ke setiap bulan” Dinkes mengenai kasus pneumonia?
ke
Informan 2
Informan 3
sesudah selesai pasien pelayanan lalu pencatatan register, iya setelah pelayanan, sudah ada enggak tadi ? saya berharap setiap hari harus sudah dilakukan, ada tidaknya form MTBS pneumonia harus di lakukan di register anak selesai hari itu juga di bagian umum juga gitu, Cuma kadang terkendala kalau petugas anaknya ada rapat diganti sama orang lain, kadang-kadang itu yang sedikit hambatan”
pelayanan” “kebanyakan kita sih yang jemput bola ya. iya kadang klinik swasta ini langsung ke dinas enggak melalui kita dipikirnya kita minta ke dinas padahal kita sendiri harus mencari gitu”
Informan 4
dinkes “saya berharap kalau laporan “pelaporan ke Dinkes pasti “ya.. kita punya register bulanan sudah lengkap ya ada, karena itu sudah tersendiri dan itu dilakukan dilaporkan ke Dinkes” tugas puskesmas” setiap hari ispa, diare, dan itu dilakukan setiap hari terus petugasnya melaporkan ke dinas kesehtan seminggu sekali setiap hari senin. Via email
No. 5
6
Pertanyaan Faktor petugas (Pelatihan Petugas) a. Apakah petugas P2 ISPA di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, sudah pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana pneumonia/MTB S)? Motivasi a. Apa motivasi atau upaya Bapak untuk memajukan puskesmas bapak menjadi lebih baik, terutama dalam pencapaian target penemuan kasus pneumonia balita?
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
“kalau petugas yang di MTBS “seharusnya sudah” “perawat atau dokter” “hemm saya kira di sini ya dilatih jadi enggak semua, “ setahu saya dia senior dan “kalau pelatihan belum, petugasnya banyak yang ini baru bu leny itu aja sih” harusnya sudah” pelatihan kan enggak belum di latih MTBS ya” “dinas provinsi kalau disini gampang ya nanti kalau “belum, disini beum ada khusus bu Leny saja kan dinas mengadakan yang terlatih. Tapi mereka enggak semua, ya sudah siapa pelatihan lagi gantian” udah punya modulyang dilatih ngajarin modulnya .kan temannya, kalau yang dilatih klasifikasinya sudah ada” bu Leny setahu saya harusnya juga melatih staf yang lain”
“dari sekarang saya harus menyiapkan impian saya puskesmas bakti jaya menjadi Puskesmas Kecamatan jangka lima tahun kan begitu, kalau di Puskesmas Setu kan non perawatan puskesmasnya kecil kan, kalau Setu kan enggak mungkin karena enggak ada perawatan, kalau Puskesmas
“yang jelas lebih baik dong” “ yang jelas saya tahap pertama yang dilakukan sebagai pimpinan yang baru saya berusaha untuk semua staf disiplin yang baik , bekerja dengan baik. semua tugas akan dikerjakan dengan baik kalau dia bekerja dengan baik tidak sekadar intruksi kamu kerjakan
“motivasi saya senyum sapa sabar mengutamakan pelayanan menggalakan pelayanan promotif preventif”
“motivasinya saya ingin puskesmas ini lebih baik ya. Puskesmas ini kan sebagai pelayanan yang kita hadapi kan manusia. Jadi saya selalu mengatakan keseluruh staf mengutamakan ke disiplinan. Artinya jika meeka disiplin insha Allah
No.
Pertanyaan
Informan 1 keranggan kan dipojok sana”
Informan 2 MTBS, Yang kedua dapat memahami tugas tenaga kesehatan tugas pokoknya, meskipun kan kadang kala MTBS adapetugas yang mengerjakan tapi saya berharap dari petugas yang sudah di latih dapat mentrasferkan ilmunya bagaimana caramelaksanakan MTBS harus seperti itu dengan demikian semua dia pahami termasuk pencatatan pelaporannya jadi siapa yang bertugas, karena SDM yang ada di puskesmas sering kali double job, pekerjaan kita tumpang tindih , kalau pasien kan enggak mungkin tidak tiap hari enggak bisa kita cegah”
Informan 3
Informan 4 kerjanya juga akan baik. Mereka butuh kesolid an, butuh kerja sama, keterbukaan. Alhamdulillah disini 5 buln, evaluasi triwulan pertama kita memiliki kinerja yang tepat. Berartikan kita bukan apaapa tanpa temen-temen. Jadi memang saya selalu memotivasi mereka untuk bekerjalah untuk hati, karena kalau bekerja tidak dengan hati itu sulit. Pasien datang, periksa, pulang. Jadi saya selalu menanamkan kepada tementemen anggaplah puskesmas ini sebagai rumah kedua. Jadi ada rasa memiliki, rasa tanggung jawab. Anggaplah semua pasien yang datang kesini keluarga kita. Jadi
No.
Pertanyaan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4 misal keluarga kita datang ke puskesmas, petugasnya asal-asalan, tdak menyampaikan maksud dengan baik, apa rasanya? Sebagai contoh, tempat tidur rawat inap tidak bersih, saya tanya ke tementemen. Mau gak tidur disitu? Mereka jawab gak mau bu. Ya pasien sama gak mau. Jadi Alhamdulillah OB pun bekerja dengan baik. Jadi pukesmas di tangerang selatan ini sudah ada”
7
Ketersediaan Sarana dan Prasarana penunjang a. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, tersedia
“disana itu kan ada meja tuh nah ada buku-buku gede iya itu poster-poster itu nanti dari petugas promkes dan di
“setahu saya ada dari Diinkes” “itu saya kumpulin karena saya enggak mau kehilangan ini masuk ke data saya tapi saya
“kita bisa pake in fokus “ada, coba nanti tanyakan bisa laptop bisa pake lagi ke petugas ya, dibawah buku,” sepertinya diruang poli “media, seperti apa anak”
No.
Pertanyaan
Informan 1
media cetak dan distribusikan ke media sekolah-sekolah” penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita?
8
Kegiatan Evaluasi c. Apakah di Puskesmas yang Bapak/Ibu pimpin, dilakukan
Informan 2 posyandu enggak ragu-ragu untuk mendistribusikannya mulai dari TK, PAUD, posyandu termasuk swasta sekolah kita distribusikan apabila mencukupi sesuai dengan tujuan kita jadi saya tidak asal bagi pada saat yang berkaitan dengan UKS tidak sekedar ISPA kalau di UKS kan enggak ada karena anak-anaknya sudah besarbesar di Posyandu ISPA kita berikan kecacingan di taro di SD, jadi saya mendistribusikan itu pun disesuaikan dengan kebutuhan
“tiap bulan ada lokmin lokbul” “kadang enggak nentu juga tergantung keadaanya, tapi pastinya tiap bulan” “ terlibat dari mulai OB, kalau
“untuk waktunya tidak selalu, tapi paling tidak minimal sebulan sekali, kalau misalnya sangat urgent saya janjian hari ini bisa besok tapi minimal satu
Informan 3
Informan 4
brosur-brosur yang dibagikan ke posyandu mengenai balita sakit atau apa kenali tanda-tandanya harus segera mungkin ke pelayanan kesehatan”
“waktu mereka juga pada “evaluasi program kita sibuk megang program” lokakarya bulanan kita adanya lokmin saya lokbul laksanankan seluruhnya” tiap bulan atau ada juga mingguan bisa”
No.
Pertanyaan
Informan 1
kegiatan evaluasi, kita kan ada staf meeting” siapa saja yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut?
d. Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas?
“dalam evaluasi yang dibicarakan ya pencapaian program atau hambatan kendala atau membahas kebijakan di tangsel itu disampaikan perencanaan yang dilakukan di tangsel. Kebijakan dinas, nah itu semua dilakukan. di masyarakat ada kendala apa engga. Ya gitu
Informan 2
Informan 3
kali, setiap kali kita rapat, misalnya masukan dari staf-staf, apa yang mereka harapkan dari teman-temannya apa yang diharapkan nanti jatuhnya akan prioritas lagi mana yang akan di tindak lanjuti, tapi hampir setiap bulan programnya berjalan dengan rutin jadi tidak ada bulan ini program ISPA bulan depan enggak, enggak mungkin ya jadi tetap berjalan”
“kalau kita semua program dijadiin satu aja, karena keterbatasan
“ya ngebahas program, mungkin ngebahas semua program dalam 1 hari enggak mungkin, hari ini apa yang menjadi kemasalahan utama satu itu, apakah bulan ini lagi trend apa, ada kejadian apa kita bahas ada persoalan apa kita cermati pada bulan ini lalu kita bicarakan, untuk di evaluasi di
“kita semua program di evaluasi enggak hanya pneumonia, dalam satu kegiatan perencanaan kedepan apa sudah mencapai sasaran apa yang akan dilaksanakan tahun depannya makanya kita evaluasi program, jadi kita ada namanya loka karya bulanan terus da yang mingguan” “ya salah satunya kita disitu bicara programprogram”
Informan 4
“Itu menyampaikan hasil program, cakupan, targetnya berapa, capaiannya berapa, permasalahnnya apa, kalo ada permasalahan apa kendalanya. Kemudian pada saat lokbul temen-temen juga menyampaikan hasil rapat apa yang mereka
No.
Pertanyaan
Informan 1 lah. Kegiatan rutin kan”
Informan 2 bulan depan biasnya kita dengan kader-kader kesehatan biasanya kita lokmin, loka karya mini, ketemuan UKS ketemuan kader ya kemudian kalau di dalam gedung ya kita dengan staf”
Informan 3
Informan 4 dapat dari hasil rapat itu yang dikasih tau ke kita”
LAMPIRAN 4
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Pendukung (Informan 5 s/d 10) No
1
Pertanyaan Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Apakah setiap tahun puskesmas membuat perencanaan program penemuan kasus pneumonia balita? b. Siapa saja petugas yang dilibatkan, dalam pembuatan perencanaan penemuan kasus
Informan 5
Informan 6
Informan 7
“POA itu” “iya ada, bulan “ada, biasanya “ POA itu dibuat Desember biasnya bulan Desember sebelum akhir tahun, diakhir tahun” atau Januari lah” Desember-november lah” “tapi lupa POA nya dimana, ya,,nanti saya cari dulu”
“oh iya kita namanya masing-masing program itu pasti bekerja sama dengan promkes, kalau berhubungan dengan pneumonia bisa promkes bisa kesling,
Informan 8
Informan 9
Informan 10
-
-
“Ada buat 1 tahun, Pas awal tahun” “bulan, paling bulan Januari-februari, yaa desember akhir lah,
“ iya buatnya dibantu “yang buat saya “yang buat sama dokter yang sendiri” perencanaannya mimpinnya, kerja saya sendiri, jadi sama kesling, iya” kan kayak perencanaan untuk satu tahun kedepan kan, kerjasama sama sama kesling pasti
No
2
Pertanyaan pneumonia balita di Puskesmas? Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita a. Kegiatan apa saja yang termasuk dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas?
Informan 5 MTBS bisa juga dengan apa namanya binwil-binwil”
Informan 6
“kalau pneumonia itu “selama ini sih itu programnya 1 pasif, tapi dicari juga pelacakan kalau ada neng di posyandu” kasus pneumonia, atau kematian bayi akibat pneumonia pelacakannya ya, mungkin dalam setahun itu bisa tergantung kasus, kalau saya di perencanaanya kan ada targetnya itu 2 kali, dilihat dari banyaknya kasus aja itu baru kunjungan bayi yang meninggal
Informan 7
Informan 8 sama kader sama dokter di puskesmas itu aja”
“kalau kita, kita ke klinik-klinik, wilayah kerja Pisangan itu kita nyari pasien jadi kita bikin formnya sepuluh penyakit terbesar salah satunya untuk pneumonia karena kalau untuk di puskesmas kita kurang dari target kita jadi kita ke klinik-klinik yang ada di wilayah kerja pisangan kita
“paling penyuluhannya aja, di Posyanduposyandu, paling kita nunggu pasien saja”
Informan 9
Informan 10
-
-
No
Pertanyaan
Informan 5 dalam setahun karena kasus pneumonia baik bayi ataupun balita itu kunjungannya tapi kalau misalnya planing buat bulanan nya mungkin kita sambil posyandu bisa juga menanyakan ke kader atau kita juga sama binwil bisa mencari bayi dengan napas cepat kita bisa bilang pneumonia kan, setiap haripun bahkan setiap bulan pun kita di balai pengobatan di puskesmas itu di poli itu kan tiap hari ada yang berobat di poli anak kan kalau misalnyan bayi
Informan 6
Informan 7 nyari nanti kan disitu di dapatkan jumlah penderita yang ditemukan tapi ini lebih ke anak-anak ya kita kalau dewasa enggak, Cuma sampai lima tahun”
Informan 8
Informan 9
Informan 10
No
Pertanyaan
Informan 5 dengan napas cepat bisa kita ambil data dari situ , tapi kalau untuk POA nya sendiri bersamaan dengan posyandu atau binwil kita bisa kadang ada bayi atau balita dengan napas cepat itu disebut juga dengan pneumonia”
b. Apakah ada kerjasama dengan MTBS dalam program penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas?
“iya ada, dari MTBS itu kan dapat diketahui penyakitnya apa”
Informan 6
Informan 7
“pasti lah neng, kalau “iya kerjasama MTBS nya buruk atau sama MTBS” petugasnya belum terlatih, susah menentukan kasus di MTBS”
Informan 8
“di Puskesmas dengan MTBS, di posyandu dengan kader”
Informan 9
Informan 10
No
3
Pertanyaan Tatalaksana Pneumonia Balita a. Apakah di Puskesmas dilakukan kegiatan tatalaksana pneumonia balita, jika iya siapa yang melakukan hal tersebut?
b. Apakah Ibu dapat menjelaskan dengan rinci mengenai
Informan 5
Informan 6
Informan 7
Informan 8
Informan 9
Informan 10
“Dokter umum yang periksa, kalau memang dia kesulitan bernapas misalnya baru pneumonia ringan saja biasanya di kasih obat untuk meredakan batuk, bahakan kalau misalnya itu pun antibiotik yang sesuai dengan gejalanya dia, iya terus lanjut lagi”
“ya dua-duanya kadang dokter atau bidan, seharusnya emang dokter ya tapi enggak selalu ada dokter di puskesmas kadang-kadang kan ada dinas malam nya pagi-pagi libur, yang pasti dijelaskan menurut prosedur gitu” “iya pasti itu mah neng dari dinas kesehatan”
“iya MTBS kan hanya penyakitpenyakit tertentu saja yang kita masukan ke MTBS misalnya kayak ada pasien demam diare yaudah kita masukin ke form” “kebetulan kalau disini yang meriksa dokter”
“Paling diperiksa sama dokter, nanti kan ada kasus pneumonia diagnosanya sama dokter , jadi kita tahunya dari dokter” “iya dokter”
“kan didalam MTBS itu Kan ada standarnya, ada bayi/balita yang di MTBS itu kan semua
“kan pasien datang harus ditanya, datang suruh duduk lalau ditimbang duduk ditanya kenapa kan
“kalau pneumonia beratkan harus di rujuk ya kan disini kita tindakannya udah batuk pilek
“paling ditanya batuknya dari kapan?terus udah berobat kemana, nanti kan kita lihat
“di MTBS, sebelum masuk ke penyakitnya kan ada tuh didalam form nya MTBS apa coba,tahu penyakit berat atau tidak gimana caranya, sebelum kita melakukan MTBS syarat mutlaknya adalah apa, tahu kan?hehe” “nomor satu kalau MTBS itu pneumonia dibawah lima tahun ya” “terus untuk MTBS sendiri
“kalau tatalaksananya ya sesuai prosedur saja, konsultasi sama dokter kita punya ini apa namanya” “pedoman dari MTBS” “Dokter dibantu sama asisten bisa bidan atau perawat, tapi biasanya dokter”
No
Pertanyaan tatalaksana pneumonia balita sesuai dengan pedoman tatalaksana pneumonia balita/MTBS?
Informan 5 kita tanyain dia sudah kategori bahaya atau tidak. terus ada Optionnya juga mengenai anak ada batuk / sukar bernapas atau tidak. Kalau memang sukar bernapas, kan kita hitung napasnya ddalam satu menit ada berapa napasnya, sudah berapa lama iya kan jadi kita bisa lihat disitu dia sebenarnya sakit apa . Kita bisa liat apa batuk, apa diare, apa demam, campak atau malaria, disitu ada tu optionnya di MTBS itu apa gangguan
Informan 6 Informan 7 Informan 8 pasti dia jawabkan ada sesak napas itu ada inian apa sih sakit batuk apa sesak kita uab aja” penarikan dinding atau panas dan batuk pernapasannya” nah diperiksa dilihat kan, dilihat apakah ada napas cepat kalau kita lihat memang ada napas cepat otomatis harus dihitung napasnya iya kan, kita kan target juga sehari minimal 3 ya menemukan penderita pneumonia, minimal 3 kalau lagi banyak mah banyak, kalau sekarang menurun, dulu banyak banget ada 4 , karna mereka datangnya dari luar wilayah mungkin kalau dari penduduk serpongnya sendiri
Informan 9 nomor satu yang paling banyak itu kan batuk pilek kan, yang nomor satu ini kalau ada penyakit beratnya enggak bisa diwawancara di MTBS karena harus dirujuk segera, kalau yang kedua ada batuk misalnya apa yang ditanya” “berapa hari dilihat lagi batuknya dihitungnya pas sudah dihitung, dihitung sama kita pakai apa, alatnya?”
Informan 10
No
Pertanyaan
Informan 5 telinga,imunisasi, kurang gizi cacing, apa pneumonia kan ada semua. tapi Kalau pneumonia paling kita disini optionnya apakah anak batuk atau sukar bernapas. Nah jadikan nanti kita hitung napasnya. dari situ Ketauan dia pneumoni atau tidak gitu”
Informan 6 dia banyaknya kan ke dokter karena udah pada apa namanya, bukan SDM nya ya, mungkin golongannya udah menengah ke atas ya jadi dia banyaknya ke dokter praktek yang swasta gitu ya jadi penduduknya yang ada di serpong sendiri itu enggak banyak yang berobat kesini padahal mungkin ada pneumonia yang enggak bisa ditemukan yang enggak datang ya itulah jadi kita dilihatnya di posyandu kita pasti kalau di posyandu kan
Informan 7
Informan 8
Informan 9 “sound timer, pas sudah di hitung, lanjut yang berikutnya apa lagi, tahu enggak kalau yang pneumonia”
Informan 10
No
Pertanyaan
Informan 5
Informan 6 balita yang ditimbang pas ditanya kenapa anaknya enggak datang atau kenapa enggak disuntik kan , anak demam sakit atau apa pasti sama bidannya diperiksa, saya sebagai petugasnya sering mensosialisasikan tentang penyakit ISPA untuk penjaringan pneumonia kan, yang pneumonia itu seperti apa gejalanya tandatandanya dan seperti apa gitu kalau misalnya yang bukan pneumonia seperti apa gitu kan mereka, minimalnya kan sudah tahu yang ke
Informan 7
Informan 8
Informan 9
Informan 10
No
4
Pertanyaan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan a. Apakah Ibu melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas dan laporan dari klinik swasta?
Informan 5
Informan 6 posyandu pasti dilihat, owh iniada napas cepat ini pneumonia, nah itu yang apa kata neng tadi aktif ya”
Informan 7
Informan 8
“disini kan pencatatanya ada pneumonia ada form sendiri,misalnya kita periksa terus kalo kita curiga pneumonia ya sudah kita masukin aja ada registernya” “iya setiap hari” “dari klinik swasta itu tiap bulannya itu dia yang kasus pneumonia sejauh ini kita paling dari
“setiap hari, di register” “register ISPA ada yang bukan ISPA ada harus dicatat kalau yang khusus pneumonia ada lagi dibukunya” “ada kalau lagi ada, pasti kalau swasta harus kaya jemput bola aja, kalau yang orangnya ini apa”
“ada, di register anak itu kita pindahin lagi ke register ISPA baru kita laporin ke Dinas”
“habis pelayanan paling kita ngerekap, ada di register ISPA nya” “Ada paling itu juga ISPA dewasa, ISPA yang sudah dewasa yang ringan juga. Paling bukan pneumonia. kalau disini kan pneumonia jarang , bukan jarang bahkan enggak ada
Informan 9
Informan 10
-
-
No
5
Pertanyaan
b. Apakah ada pelaporan dari Puskesmas ke Dinkes mengenai kasus pneumonia? Faktor petugas (Pelatihan Petugas) a. Apakah Ibu pernah mengikuti pelatihan P2 ISPA (tatalaksana a. pneumonia/MT BS) yang
Informan 5 bidan-bidan prakter, mantri kaya perawat balai pengobatan ya ada sih”
Informan 6
Informan 7
Informan 8 pneumonia kan”
Informan 9
“iya nanti data kasus “itu mah pasti neng, tersebut, baru kan dinkes juga puya dilaporkan ke dinkes” target penemuan kasus, jadi puskesmas harus lapor setiap bulannya”
“setiap bulan dari “dilaksanakan juga” tanggal 25 ketemu “iya disini setiap tanggal 25 itu kita bulan” salin”
“kalau saya belum, nah itu dokter lia itu dulunya pernah megang program ISPA diare di situ gintung untuk pelatihan khususnya sepertinya sudah ada
“belum ada” “Blm pernah, belum “pernah dulu “belum ada untuk ada” perwakilan dari P2 ISPA, kita “ya enggak tahu, Puskesmas belum ada” mungkin dari Jombang” Dinkesnya‟ “itu kan pedoman dari Kemenkes” “pedoman MTBS, semuanya ada ya
“sering” “ya itu itu aja kayak gitu, penatalaksanaan ISPA dan Diare itu aja paling ya intinya ya apa namanya cara pemeriksaanya gimana itu itu aja sih
Informan 10
“belum ada sejauh ini, belum ada jadi hanya buku pedoman MTBS” “belum” “dari dinasnya
No
6
Pertanyaan diselenggrakan Dinkes?
Ketersediaan Sarana dan Prasarana penunjang a. Apakah Puskesmas
Informan 5 Informan 6 Bu euis dulu dia itu saya juga bosen itu itu sudah pernah dilatih” aja” “dari dinas , namun masih kabupaten soalnya posisinya itu bu euis dulunya yang megang program ISPA diare, yang baru td itu bu euis kayaknya dia itu sudah pernah mengikuti pelatihan kalau yang dokter lia itu kayaknya belum tapi dia sudah megang ISPA diare itu”
Informan 7
Informan 8
Informan 9 Informan 10 dari Kemenkes kayaknya aja sih” belum mengadakan pelatihan itu”
di “Lembar balik, “ada, yang diare juga “ehmm, leaflet-leafletnya, ada ada pada dimana kali, pedomannya
“Ada . apa namanya ada Lembar balik”
-
No
7
Pertanyaan yang tempat Ibu bekerja, tersedia media cetak dan media penyuluhan terkait penemuan kasus pneumonia balita?
Kegiatan Evaluasi a. Apakah di Puskesmas tempat Ibu bekerja, dilakukan kegiatan
Informan 5 beberapa tp gak banyak. jadi kita melakukan penyuluhan lembar baliknya. tapi lembar balik ada melakukan penyuluhan ada lembar balik kita kenalkan ada sound timer, buat menghitung napas cepat” “Ada, pedoman P2 ISPA tapi masih yang lama ya”
Informan 6 kadang-kadang ada yang pinjam, lemarinya belum diberesin waktu itu dipinjam siapa gitu pas rapat ada yang pinjam enggak dikembaliin, kayak gini kan pedomannya ada juga yang ini kan kayak pengendalian diare” “ada tapi kemana tahu ya, dilemari coba nanti masih ada enggak dilemari”
“Bisa dadakan “iya perbulan” namanya staf meeting, “semua petugas kalau bulanan lokbul. terlibat” Bicarakan kendala apa, upaya bagaiamana. gitu-gitu
Informan 7 sih , tatalaksananya juga ada, MTBS juga kita punya bagannya ada di ruang anak”
“kemaren baru kita evaluasi program jadi cakupannya dilihat tapi kita lokbul akhir bulan juga terus ngasih
Informan 8 “iya tentang pneumonia” “leaflet juga ada di MTBS kalau enggak ada papan yang diruang BP disitu yang BP dewasa ada tuh alur-alur nya alur-alur pneumonia” “Ada kayaknya Pedoman P2 ISPA, kalau mau lihat nanti di ruang BP”
“Evaluasi nanti kita kan laporan perbulan, evaluasinya perbulan nanti kita lihat ada juga
Informan 9
Informan 10
-
-
No
Pertanyaan Informan 5 evaluasi, siapa semua dibicarakan saja yang programnya” dilibatkan dalam kegiatan tersebut? b. Apa saja yang dibicarakan dalam kegiatan evaluasi di Puskesmas?
“Apa kendalanya, bagaimana penangannya, kita juga sharing supaya pencapaian kasusnya tercapai sama kaya yang lainnya. jadi kita juga sharing samaprogram yang lain bagaimana program kita tercapai gitu lho jadi kerjasamanya sama kesling lah sama promkes, semua petugas terlibat”
Informan 6
“program pasti itu mah kalau kebagian ya waktunya kadangkadang kan yang diomongin rapat banyak neng enggak satu masalah aja kan”
Informan 7 Informan 8 tahu” triwulan, tahunan” “ya akhir bulan lah kalau evaluasi mah tiap akhir bulan” “pencapaian program, apa masalah atau hambantannya, banyak lah mbak yang dibicarakan dalam rapat mah”
“Pencapaian target programnya , sasaran nya kan kita lihat dari jumlah penduduk, jadi kan kita dapat target dari dinas berapa persen sudah mencapai atau belum , tapi enggak apa-apa sih kalau enggak kecapai juga, kalau mau kecapai bantuin mbak nyarinya bantuin susah”
Informan 9
Informan 10
LAMPIRAN 5
Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Ahli (Informan 11) No
1
2
Pertanyaan Informan 11 Perencanaan Program penemuan kasus pneumonia balita d. Menurut Bapak, apa yang dimaksud “ehm, jadi organisasi mau melaksanakan kegiatan suka atau tidak dia harus dengan perencanaan dalam suatu menyusun rencana kerja untuk mencapai targetnya, berarti di jelas punya target program puskesmas? punya peta masalah yang menjadi apa namanya upaya yang mau dicari sesuai dengan targetnya kemudian dia mengidentifikasi masalahnya, e. Kapan seharusnya perencanaan “puskesmas itu punya jeda lima tahun dan dia bedah dalam lima tahun agendanya program dibuat puskesmas? mau berapa, kemudian dia bedah lagi dalam peroide bulanan, pengalaman kita di Puskesmas, kita harus punya rencana harian lebih opreasional misalnya tempat itu ada sepuluh, sepuluh itu kira-kira gimana mulai diharian” f. Siapa saja yang seharusnya terlibat dalam pembuatan perencanaan “untuk pneumonia itu, mau tak mau harus ada kontribusi dari semua staf, program penemuan kasus pneumonia terutama kepala Puskesmas harus menggabungkan pneumonia sendiri, imunisasi balita? sama ibu dan anak, terutama lingkungan, apa lagi dalam upaya penemuan program pneumonia menginginkan penemuan pneumonia dan peran kader semakin dekat kan gitu, apa lagi petugas” Kegiatan program penemuan kasus pneumonia balita a. Menurut Bapak, kegaiatan “sebenarnya gini kita punya istilah aktif sama pasif, seharusnya kan akyif sama penemuan kasus secara pasif atau pasif itu berjalan barengan upaya paling penting adalah aktif menjadi tonggak
3
4
aktif kah yang lebih meningkatan penemuan kasus tapi makna dari aktif tiba-tiba menjadi penting ketika apa penemuan kasus pneumonia balita di penyebarluasan informasi ketika orang sakit tertentu harus datang ke pelayanan puskesmas? menjadikan yang pasif itu tiba-tiba jadi aktif mendorong orang untuk datang ke pelayanan yang menjadi pasif ketika saya mendektkan pelayanan saja ke masyarakat melalui puskesmas keliling, melalu pos kesehatan desa dan banyak pos kesehatan desa di puskesmas ini semakin banyak frekuensinya berarti semakin dekat dengan masyarakat, kombinasi pun yang disebut aktif itu bisa jadi membuka pelayanan sebanyak mungkin” Kegiatan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS di Puskesmas a. Menurut Bapak, jika di Puskesmas “sebetulnya urusan yang menemukan pneumonia adalah semuanya termasuk dilakukan tatalaksana pneumonia kader, yang jadi perdebatan kan menentukan ini sesak napas sering itu semuanya balita, siapa yang seharusnya kan berstandar pada itu pada waktu mengobati menetapkan diagnosa nya menurut melakukan tatalaksana tersebut? saya kewenangan tidak selalu bidan sama perawat boleh petugas kesehatan lingkungan walaupun petugas kesehatan lingkungan bisa menemukan penderita pneumonia dan diserahkan kepada yang berwenang dalam pelanatalaksanaanya” Kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus pneumonia balita c. Menurut Bapak, apakah seharusnya “enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksa-paksa yang bisa ada pelaporan mengenai kasus adalah meminta kesukarelaan” pneumonia dari klinik swasta atau praktek dokter? d. Menurut Bapak, pencatatan dan “nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah kemaren kita pelaporan yang seperti apa yang menyelasiakan pencatatan dan pelaporan dipuskesmas yang pencatatan seperti itu
harus dilakukan puskesmas dalam meningkatkan angka penemuan kasus pneumonia balita? kapan sebaiknya kegiatan pencatatan kasus dilakukan?
5
aku minta hilang karena di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh nah jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak. jadi kan gini loket mencatat, saya datang ke puskesmas identitas saya dicatat misalnya pak sholah mau kemana saya ke poli umum, ya sudah ke poli umum, kemudian di poli umum dicatat saya dapat pelayanan, begitu tapi jangan menandai nanti yang ISPA ada register sendiri, TB karena dia diobati, diare , nanti kebayakan catatan”
Faktor petugas kesehatan a. Jenis kelamin a) Menurut Bapak, Apakah ada “saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau laki-laki lebih perbedaan antara petugas laki-laki intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita lebih teliti kepada perempuan” dengan petugas perempuan dalam menjalankan tugas, terutama dalam pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita? b. Pelatihan petugas g. Menurut Bapak, apakah petugas “iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas mana penemuan puskesmas yang melakukan kasus pneumonia balita gitu” kegiatan penemuan kasus pneumonia, harus mendapatkan pelatihan mengenai hal tersebut? h. Pelatihan yang seperti apa yang seharusnya diberikan kepada
petugas kesehatan, dalam hal penemuan kasus pneumonia balita, apakah puskesmas harus mengadakan pelatihan tersebut?
c. Pendidikan petugas a) Menurut bapak, pendidkan terakhir apa yang seharusnya dimiliki oleh petugas kesehattan, seperti kepala Puskesmas, penangung jawab program dan petugas MTBS?
“emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini pengalaman saya menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia dibahas di loka karya jadi petugas ISPA menjelaskan bagaimana pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap bulan sebetulnya pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan khusus”
“sekarang ini kita ruwet itu problematika negara, saya enggak tahu kalian nanti kerjanya dimana yang jelas kejadian dilapangan itu kita sering kali memberi tugas kepada orang yang sebetulnya bukan profesinya gitu yang paling banyak di jawa barat termasuk di banten itu petugas kesling jadi sopir ambulan, apapun sebabnya itu terjadi gitu, terus orang yang dilatih ISPA enggak tahu di pindah kemana itu menjadi persoalan gitu, apa lagi sekarang ketika menduduki jabatan apa jabatan di puskesmas jadi eselon, kepala puskesmas eselon berapa? dengan kepala stafnya satu itu dan itu jabatan daerah itu enggak lihat kamu siapa gitu pokoknya kamu golongannya sekian pangkat kamu sekian memenuhi tingkat jabatan seperti ini kamu saya pindahkan kemana gitu, makanya perawat banyak yang jadi staf, termasuk dari tempat lain masuk ke puskesmas tiba-tiba jadi kepala puskesmas karena golongannya” “ya pengalaman saya kerja orang bekerja itu dikasih sama butuh waktu minimal d. Lama Kerja petugas a) Menurut Bapak, apakah lama enam bulan, kalau dia kerja kurang dari enam bulan itu tidak bagus kecuali kerja petugas puskesmas beberapa orang yang mempunyai kemampuan berbeda rata-rata enam bulan tapi mempengaruhi kinerjanya? kalau dia sudah bekerja empat tahun perlu ada perubahan kalau enggak motivasi sama inovasinya hilang apalagi akalu sudah dua periode jabatan kecuali beberapa
orang ya kita membangun motivasinya tetap ada"
6
7
e. Pengetahuan petugas a) Menurut Bapak, apakah pengetahuan petugas berpengaruh dalam pencapaian penemuan kasus pneumonia balita? Motivasi petugas b. Menurut Bapak, apakah motivasi petugas di puskesmas dapat mempengaruhi pencapaian penemuan kasus pneumonia balita di puskesmaa?
Kepemimpinan kepala puskesmas b. Menurut Bapak, kepemimpinan seperti apa yang seharusnya dimilki oleh kepala puskesmas sebagai pimpinan?
“iya pengetahuan akan membangun motivasi”
“semua orang kan memiliki motivasi, tapi pada era sekarang ini orang yang bekerja akan diukur pada apa itu dia harus melaporkan kinerjanya kan dia sekarang dibayar lebih, saya bekerja di puskesmas gitu kalau kamu bekerja segini mendapatkan angka segini, kalau ukur kinerja itu maka kamu dibayar bonus tambahan sekian , sekarang semuanya seperti itu karena menteri penertiban aparatur negara memformulasikan pegawai negeri dibayar sesuai dengan kinerjanya”
“yang jelas tuntutan kita itu kepada kepala puskesmas yang mempunyai kemampuan manajemen sama epidemiologi, epidemiologi nanti masuknya kepada pasiennya karena bayak teman-teman kita kepala puskesmas orientasinya klinik jadi enggak tahu medan pertempuran jadi kalau ada pasien di periksa secara klinik, enggak begitu jeli mereka kasusnya berapa itu mengakibatkan dia sendiri enggak punya orientasi public health, kalau itu bias puskesmas walaupun nanti petugasnya lihai-lihai”
8
9
Ketersediaan sarana dan prsarana c. Menurut Bapak, apakah ketersediaan media penyuluhan dan media cetak sebagai penunjang program penemuan kasus pneumonia balita, disetiap puskesmas harus ada? apakah media penyuluhan diadakan oleh pemerintah atau kebijakan masing-masing puskesmas? d. Apakah puskesmas boleh melakukan pengadaan seperti poster atau media penyuluhan lainnya? Kegiatan evaluasi c. Menurut Bapak, kegiatan evalusi seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh puskesmas ? Berapa kali seharusnya puskesmas mengadakan kegiatan tersebut ?
d.
“saya enggak tahu tapi urusan pengadaan ada dinas kesehatan walaupun sebetulnya puskesmas boleh melakukan pengadaan di undang-undangnya kan gitu tetapi untuk melakukan pengadaan tenaga yang mengadakan pengadaan harus ada itu di SK kan sama bupati nah tapi kalau di puskesmas enggak ada , boleh melakukan pengadaan sendiri tetapi namanya penyuluhan kan butuh di copy itu yang dilakukan temang-teman puskesmas di copy atau kreasi mungkin dianggarkan dengan dana yang tidak begitu banyak gitu, kalau kreatif masyarakat juga” “iya, kecuali kalau dia yang kreatif yang membuat posternya lalu dikirimkan ke kabupaten bisa”
“puskesmas itu, kalau evaluasi kan setahun puskesmas harus melakukan monitoring itu monitoring itu artinya gini melakukan evaluasi sampai bulan ini saya sudah mencapai berapa banyak, kemudian mengidentifikasi daerah-daerah mana yang sebetulnya perlu diperhatikan atau pneumonia yang perlu menjadi perhatian salah satunya tadi kebalik, jumlah yang kasusnya banyak berarti sudah sukses yang tidak ada kasusnya berarti tidak sukses berarti yang dikunjungi malah yang enggak banyak kasusnya dengan melakukan evaluasi banyak faktor bisa Pada saat kegiatan evaluasi, apakah kematian kondisi lingkungan itu menjadi bahan monitoring” petugas puskesmas harus hadir “iya kan melakukan evaluasi bulanan untuk membangun motivasi menginatkan semua dalam kegiatan tersebut? teman-teman, kalau ada berita segini suapay menjadi perhatian”
Gambar Ruangan Poli Anak
Gambar Laporan Kasus
Gambar Soundtimer
Gambar Pada Saat Wawancara
Gambar pada Saat MTBS
Gambar Formulir MTBS
Gambar Tatalaksana Pneumonia
Sumber: Kemenkes (2012), Gibson (1987)