63 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Indonesia)
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal pemerintah tingkat daerah di seluruh wilayah Indonesia dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Faktor-faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), belanja pegawai, dan jumlah penduduk. Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan metode eksperimen. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia yang memiliki data yang dibutuhkan. Jumlah total sampel yang diuji adalah 308 kabupaten/kota di Indonesia dengan metode purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAU, DAK, dan DBH berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Belanja pegawai berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Alokasi belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kata Kunci:
alokasi belanja modal, pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN
Menurut Kuncoro (2004) dalam Adi 2005, salah satu tolak ukur keberhasilan ekonomi di suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Hal ini dikuatkan oleh Samuelson dan Nordhaus (2004) dalam Arsa dan Setiawina (2015), salah satu indikator makro keberhasilan pembangunan di daerah dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu daerah dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat dalam jumlah yang banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan standar hidup (Sularso dan Restianto, 2011). Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah (Arsa dan Setiawina, 2015). PDRB atas harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi daerah (Wertianti dan Dwirandra, 2013). Rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah selama empat tahun terakhir dapat dilihat pada gambar 1.1 di bawah ini.
Gambar 1.1 Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Daerah tahun 2011 s.d. 2014
Sumber Data: Badan Pusat Statistik
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Lin dan Liu (2000) dalam Adi (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui 2 (dua) cara, yaitu menaikkan investasi modal dan melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki. Samuelson dan Nordhaus (2004) dalam Arsa dan Setiawina (2015) menyatakan bahwa faktor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, antara lain ketersediaan sumber daya manusia, sumber daya alam, pembentukan modal, dan teknologi. Todaro (1997) dalam Adi (2007) juga menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan modal. Pemerintah daerah dapat berpartisipasi dalam mempengaruhi pembentukan modal yang ada di daerahnya masingmasing. Hal tersebut dilakukan melalui penyediaan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang memadai. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan daya tariknya agar investor mau menanamkan modalnya (Adi, 2006). Penyediaan infrastruktur, sarana, dan prasarana dilakukan pemerintah daerah melalui belanja modal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat
lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal dimaksudkan untuk menambah aset tetap
pemerintah daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Gambaran rata-rata belanja modal pemerintah daerah dapat dilihat pada gambar 1.2 di bawah ini. Gambar 1.2 Proporsi Belanja APBD tahun 2011 s.d. 2015
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013 dalam Lampirannya mengamanatkan bahwa jumlah belanja modal yang dialokasikan dalam APBD Tahun Anggaran 2013 sekurang-kurangnya 29 persen dari belanja daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 memberikan arahan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanja modal sebesar 30 persen dari APBD selama tahun 2014. Namun hal tersebut belum dapat tercapai, sebagaimana pada gambar 1.2 belanja modal pemerintah daerah tidak mencapai 30%. Di saat belanja modal cenderung meningkat, pertumbuhan ekonomi ternyata cenderung menurun pada tahun 2011 sampai dengan 2014. Pada tahun 2011, belanja modal pemerintah daerah sebesar 20,89%, sedangkan pertumbuhan ekonominya 6,294%. Pada tahun 2012, belanja modal pemerintah daerah sebesar 21,11%, sedangkan pertumbuhan ekonominya 6,159%. Pada tahun 2013, belanja modal pemerintah daerah meningkat menjadi 22,77%, sedangkan pertumbuhan ekonomi ternyata mengalami penurunan menjadi 5,575%.
Pada tahun 2014, belanja modal pemerintah daerah sedikit berkurang menjadi 22,66% sedangkan pertumbuhan ekonominya juga turun menjadi 5,497%. Apabila dilihat dari perkembangannya, kemampuan belanja modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan apabila dibandingkan antara era sebelum reformasi dengan era setelah reformasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1 yang dikutip dari Kementerian PPN/Bappenas yang menggambarkan kemampuan belanja modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi 1992-1997
2005-2011
Pertumbuhan
Petumbuhan Rata-
Pertumbuhan Rata-
Petumbuhan
Rata-Rata Belanja
rata GDP
Rata Belanja Modal
Rata-rata GDP
7,8 %
23,40 %
5,8 %
Modal 7,6 %
Sumber: diolah dari data Kementerian PPN/Bappenas Alokasi belanja ditentukan oleh penerimaan yang diperoleh pemerintah daerah (Devita, Delis, dan Junaedi, 2014). Salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, dana perimbangan antara lain terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH).
Gambar 1.3 Pendapatan Daerah Tahun 2008 s.d. Tahun 2013
Sumber: diolah dari data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengalokasikan penerimaan yang dimiliki.. Hal ini sesuai dengan pendapat oates (1972) bahwa pemerintah daerah mempunyai posisi yang lebih baik dari pemerintah pusat untuk menyalurkan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh daerah. Beberapa penelitian sejenis sebelumnya berkaitan dengan belanja modal memiliki hasil yang beragam. Prastiwi, Nurlaela, dan Chomsatu (2016); Devita et al. (2014) serta Indarti dan Sugiartiana (2012) menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap belanja modal. Wandira (2013) juga menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap belanja modal, tetapi dengan arah negatif. Namun Verawaty, Merina, dan Sari (2015) serta Kusnandar dan Siswantoro (2012) mendapatkan hasil yang berbeda, yaitu DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Wandira (2013) menyatakan bahwa DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Namun, Prastiwi et al. (2016) memperoleh hasil penelitian yang berbeda, yaitu DAK dan DBH tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Verawaty et al. (2015) juga memperoleh hasil bahwa DAK dan DBH tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Begitu juga penelitian sebelumnya mengenai pertumbuhan ekonomi, hasil penelitiannya juga memiliki hasil yang beragam. Arsa dan Setiawina (2015) serta Sularso dan Restianto (2011) menyatakan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Lin dan Liu (2000) dalam Harianto dan Adi (2007) juga menyatakan bahwa pemerintah perlu untuk meningkatkan investasi modal guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Adi (2006) juga menyatakan bahwa belanja pembangunan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, hal tersebut bertentangan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti dan Pratolo (2009) menyatakan bahwa belanja pembangunan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan penelitian sejenis sebelumnya, ditemukan hasil penelitian yang tidak seragam. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi peneliti untuk mengambil bahasan mengenai alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti determinan yang mempengaruhi alokasi belanja modal pemerintah daerah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Determinan yang digunakan antara lain yaitu DAU, DAK, DBH , belanja pegawai, dan jumlah penduduk.
Penelitian ini meneliti DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk terhadap alokasi belanja modal dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, penelitian ini ingin menguji apakah DAU, DAK, DBH, belanja, jumlah penduduk. Dan alokasi belanja modal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah ntuk menguji pengaruh DAU, DAK,
DBH,
belanja pegawai,
dan belanja modal
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori stakeholder. Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan oleh Standford Research Institute (RSI) ditahun 1963 (Freeman, 1984). Kemudian Freeman mengembangkan teori mengenai stakeholder pada tahun 1984 Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, tetapi harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (Ghazali dan chariri, 2007). Menurut Freeman (1984) stakeholder merupakan kelompok maupun individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan organisasi. Sesuai dengan teori ini, pemerintah daerah harus memperhatikan kepentingan stakeholdernya dalam mengelola kekayaan yang dimiliki, terutama masyarakat. Hal ini sejalan dengan UndangUndang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang dikuasai pemerintah harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut dapat tercermin dari aktivitas belanja pemerintah daerah yang terdapat pada APBD. Dampak dari aktivitas belanja pemerintah daerah diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari teori stakeholder, antara lain pemerintah pusat yang digambarkan dengan dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH), pegawai negeri sipil yang digambarkan dengan belanja pegawai, dan .masyarakat yang digambarkan dengan jumlah penduduk. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja aset
Modal
dimaksudkan
untuk
mendapatkan
tetap pemerintah daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap
lainnya. Menurut Halim dan Syukri (2006) ,secara
teoritis
ada
tiga
cara
untuk
memperoleh aset tetap, yaitu dengan cara membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, di dalam pemerintahan biasanya diperoleh dengan cara membeli yang umumnya dilakukan dengan proses lelang atau tender yang cukup rumit. Menurut Sularso dan Restianto (2011), belanja modal diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat langsung dinikmati masyarakat. Kelompok kedua adalah belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dinikmati langsung oleh masyarakat tetapi dapat dirasakan langsung oleh aparatur. Menurut Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2010, pengeluaran tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat kapasitas, kualitas dan volume aset yang telah dimiliki. b. Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya. Pengalokasian belanja modal didasarkan pada kebutuhan (Halim dan Syukri, 2006). Ada satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada publik berupa penyediaan sarana dan prasarana fisik dan
pelayanan
jasa
langsung
berupa
pelayanan administrasi,
pengamanan, pemberdayaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Penjelasan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur mengenai dana perimbangan yang didefinisikan sebagai dana daerah yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan tujuan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya dan juga untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antarDaerah. Dana Perimbangan ini terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menurut Solikin (2010) dalam Verawaty et al. (2015), Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar-daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil (Verawaty et al., 2015). DAU bersifat “block grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Indarti dan Sugiartiana, 2012).
Menurut PP Nomor 55 Tahun 2005, jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurangkurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen). Menurut Nuarisa (2013), Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dengan adanya pengalokasian DAK, diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal pemerintah daerah karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik (Nuarisa, 2013). Berdasarkan penjelasan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dijelaskan bahwa Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Kriteria DAK ditetapkan oleh pemerintah pusat menjadi 3 jenis yaitu, Kriteria Umum, Kriteria Khusus, dan Kriteria Teknis. Ketentuan lainnya terkait dengan DAK adalah kewajiban daerah untuk menyediakan dana pendamping DAK yang dianggarkan dalam APBD. Dana pendamping dimaksud paling sedikit 10% dari alokasi DAK. Namun, daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan untuk menyediakan Dana Pendamping DAK. Menurut Wandira (2013), Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu a. DBH pajak Dana Bagi Hasil Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. b. DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam).
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Menurut Komite Standar Akuntansi Pemerintah (2006) melalui Buletin Teknis Nomor 04, belanja pegawai adalah belanja kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberikan kepada pegawai
pemerintah, pagawai negeri sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Belanja pegawai termasuk ke dalam belanja operasi. Belanja pegawai terdiri dari pengeluaran-pengeluaran untuk gaji, tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain- lain yang berhubungan dengan pegawai. Dalam pasal 26 ayat 2 UUD 1945, dijelaskan bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal pada suatu wilayah atau daerah serta tercatat secara sah berdasarkan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut. Di Indonesia, dilakukan sensus penduduk setiap sepuluh tahun sekali untuk menghitung jumlah penduduk. Menurut Devita et al. (2014), jumlah penduduk yang besar di Indonesia dapat dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dipandang sebagai aset apabila penduduk tersebut disertai dengan kualitas, keahlian atau keterampilan sehingga dapat meningkatkan produksi nasional. Namun, jumlah penduduk yang besar juga dapat menjadi beban jika penduduknya tidak disertai dengan kualitas dan keterampilan atau keahlian yang baik sehingga tingkat produksinya rendah serta hanya menuntut pelayanan sosial. Sularso dan Restianto (2011)
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Arsa dan Setiawina, 2015). Penyajian data PDRB dapat dilakukan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (Wertianti dan Dwirandra, 2013). Beberapa teori pertumbuhan ekonomi menurut Azzumar dan Handayani (2011) adalah sebagai berikut:
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut pandangan para ahli ekonomi klasik, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, antara lain sebagai berikut; 1) Jumlah penduduk; 2) Jumlah stok barang-barang modal; 3) Luas tanah dan kekayaan alam; 4) Tingkat teknologi yang digunakan.
b. Teori Adam Smith Adam Smith membedakan pertumbuhan ekonomi menjadi dua aspek utama, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. c. Teori Harrod-Domar Teori ini mengembangkan analisis keynes dengan dengan memasukan masalah-masalah ekonomi jangka panjang, serta berusaha menunjukan syarat yang dibutuhkan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (steady growth). d. Teori Solow-Swan Teori pertumbuhan Solow-Swan menggunakan pendekatan fungsi produksi yang telah dikembangkan oleh Charles Cobb dan Paul Douglass yang dikenal dengan sebutan fungsi produksi Cobb-Douglass. DAU bersifat “block grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Oleh karena itu, sangat dimungkinkan untuk meningkatkan alokasi belanja modal. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Prastiwi et al. (2016), Devita et al. (2014), serta Indarti dan Sugiartina (2012) yang menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap belanja modal. Wandira (2013) juga menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap belanja modal, tetapi dengan arah negatif. Namun, hal ini bertentangan dengan penelitian Verawaty et al. (2014) serta Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menyatakan DAU tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Inkonsistensi hasil penelitian tersebut merupakan alasan peneliti menjadikan DAU sebagai salah satu variabel independen. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1 (H1) : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap belanja modal.
Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik (Nuarisa, 2013). Secara teoritis, semakin banyak DAK yang dimiliki, semakin banyak juga alokasi untuk belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel DAK terhadap belanja modal. Namun hal tersebut bertentangan dengan penelitian Prastiwi et al. (2016) dan Verawaty et al. (2015) yang menyatakan DAK tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Inkonsistensi hasil penelitian tersebut merupakan alasan peneliti menjadikan DAK sebagai salah satu variabel independen. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 2 (H2) : Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap belanja modal. Menurut Wandira (2013), secara teoritis Pemerintah Daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika DBH yang dimiliki semakin besar pula, begitupun sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika DBH yang dimiliki juga semakin kecil. Menurut Wandira (2013), DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Prastiwi et al. (2016) dan Verawaty et al. (2015) yang menemukan bukti empiris bahwa DBH tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Inkonsistensi hasil penelitian tersebut merupakan alasan peneliti menjadikan DBH sebagai salah satu variabel independen. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 3 (H3) : Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap belanja modal. Pengalokasian belanja pegawai yang besar dalam APBD tentunya juga akan berpengaruh pada pengalokasian belanja modal. Menurut Putri (2013) dalam penelitian Prastiwi et al. (2016), dikatakan bahwa kenaikan belanja pegawai akan memicu penurunan pada belanja modal. Prastiwi et al. (2016) juga menemukan bukti empiris melalui penelitiannya bahwa belanja pegawai berpengaruh negatif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 4 (H4) : Belanja pegawai berpengaruh negatif terhadap belanja modal. Jumlah penduduk mencerminkan kebutuhan akan infrastruktur suatu daerah. Daerah yang memiliki luas wilayah yang lebih besar tidak selalu memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak. Pengambilan variabel ini didasarkan pada penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa beberapa variabel yang menggambarkan kebutuhan dalam
penyediaan layanan publik salah satunya adalah jumlah penduduk. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 5 (H5) : Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja modal. Todaro (1997) dalam Adi (2007) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah akumulasi modal. Belanja modal merupakan cara pemerintah daerah dalam menyediakan sarana, prasarana, dan infrastruktur suatu daerah. Oleh karena itu, peningkatan belanja modal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian Arsa dan Setiawina (2015) serta Sularso dan Restianto (2011) yang menyatakan bahwa belanja modal memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil yang sama juga diperoleh Adi (2006) yang menyatakan belanja pembangunan memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap PAD maupun pertumbuhan ekonomi. Priambodo (2014) menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti dan Pratolo (2008) yang menyatakan bahwa belanja pembangunan tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Inkonsistensi hasil penelitian tersebut merupakan alasan peneliti meneliti pengaruh alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian di atas, kami merumuskan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 6 (H6) : Alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. III. METODE PENELITIAN 3.1
Desain Penelitian . Pengujian hipotesis dilakukan dengan model regresi linear berganda dan sederhana
dengan aplikasi statistik SPSS versi 20 sebagai alat bantu pengolahan data statistik. 3.2
Populasi dan Sampel Sekaran dan Bougie (2013:240) menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan grup
orang, kejadian, atau hal tertentu yang menarik minat peneliti untuk menginvestigasi hal tersebut. Sampel adalah bagian dari populasi. Dengan mempelajari sampel yang dipilih, peneliti seharusnya mampu menarik kesimpulan yang dapat mewakili populasi. Pengambilan sampel dari penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu mengambil sampel berdasarkan karakteristik/kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah kabupaten/kota yang telah menyusun laporan keuangan tahun 2010 s.d. 2013 dan telah diperiksa/diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 2. Pemerintah kabupaten/kota yang menyediakan data penelitian secara lengkap untuk seluruh variabel independen dan variabel dependen.
Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintah kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan 2014. Indonesia terdiri dari terdiri dari 411 kabupaten dan 97 kota. Kerangka sampel dalam penelitian ini berupa daftar unit yang ada dalam populasi yaitu sebanyak 508. Terdapat 140 kabupaten/kota yang tidak memiliki data lengkap dan 10 kabupaten/kota yang tidak memiliki DAU dan/atau DAK, data ini dikeluarkan dari populasi. Jadi, jumlah pemerintah kabupaten/kota yang dijadikan sampel penelitian adalah 358. Ukuran sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan tabel yang dibuat oleh Krejcie dan Morgan. Berdasarkan tabel tersebut, jumlah sampel minimal yang representatif untuk populasi yang berjumlah 508 adalah 219 sampel. Tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95%. Jadi, sampel akhir yang berjumlah 358 dapat dikatakan sudah representatif. 3.3
Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data utama
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2010 s.d. 2013 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Data yang diperoleh dari LKPD tersebut antara lain DAU (X1), DAK (X2), DBH (X3), dan belanja pegawai (X4). Jumlah penduduk (X5) dan pertumbuhan ekonomi (Y2) diperoleh dari alamat resmi Badan Pusat Statistik www.bps.go.id. Alokasi belanja modal pemerintah daerah (Y1) diperoleh dari website Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan www.djpk.kemenkeu.go.id. 3.4
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel adalah sesuatu yang bisa membedakan dan memberikan variasi pada nilai
(Sekaran dan Bougie, 2013:68). 3.4.1 Variabel Dependen 3.4.1.1 Alokasi belanja modal Salah satu variabel dependen dalam penelitian ini adalah alokasi belanja modal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Alokasi belanja modal diperoleh dari nilai anggaran belanja modal yang disajikan dalam APBD pada tahun berikutnya (t+1).
3.4.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) digunakan sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Arsa dan Setiawina, 2015). PDRB yang didasarkan pada harga konstan digunakan untuk melihat tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Wertianti dan Dwirandra, 2013). Menurut Kuncoro (2004) dalam Adi (2006) serta Sularso dan Restianto (2011), pertumbuhan ekonomi dihitung dengan rumus: G=
x 100%
G
: Pertumbuhan Ekonomi
PDRBt
: Produk Domestik Regional Bruto Tahun Bersangkutan
PDRBt-1 : Produk Domestik Regional Bruto Tahun Sebelumnya 3.4.2 Variabel Independen Variabel
independen
dalam
penelitian
ini
adalah dana alokasi umum (DAU),
dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil DBH), belanja pegawai, dan jumlah penduduk. Penjelasan tentang variabel independen diuraikan sebagai berikut:
3.4.2.1 Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Variabel DAU diperoleh dari nilai realisasi DAU yang disajikan dalam LKPD tahun yang bersangkutan (t). 3.4.2.2 Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 Tahun 2004). Variabel DAK diperoleh dari nilai realisasi DAK yang disajikan dalam LKPD tahun yang bersangkutan (t).
3.4.2.3 Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Variabel DBH diperoleh dari nilai realisasi DBH pajak dan DBH bukan pajak yang disajikan dalam LKPD tahun yang bersangkutan (t). 3.4.2.4 Belanja Pegawai Menurut Komite Standar Akuntansi Pemerintah (2006) melalui Buletin Teknis Nomor 04, belanja pegawai adalah belanja kompensasi baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberikan kepada pegawai
pemerintah, pagawai negeri sipil (PNS), dan pegawai yang dipekerjakan yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Variabel belanja pegawai diperoleh dari nilai realisasi belanja pegawai yang disajikan dalam LKPD tahun yang bersangkutan (t). 3.4.2.5 Jumlah Penduduk Sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa jumlah penduduk merupakan salah satu variabel yang menggambarkan kebutuhan dalam penyediaan layanan publik di setiap daerah. 3.5
Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah
sumber data penelitian yang mengacu pada informasi yang dikumpulkan dari sumber yang telah ada yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (Sekaran dan Bougie, 2013:116). Data laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2010 s.d. 2013 diperoleh dari pusat informasi dan komunikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari laporan keuangan tersebut diperoleh data DAU (X1), DAK (X2), DBH (X3), dan belanja pegawai (X4) APBD diperoleh dari alamat resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan www.djpk.kemenkeu.go.id. Dari APBD tersebut diperoleh data mengenai alokasi belanja modal pemerintah daerah (Y1). Data mengenai jumlah penduduk (X5) dan pertumbuhan ekonomi (Y2) diperoleh dari web resmi Badan Pusat Statistik www.bps.go.id .
3.6
Model Penelitian
Model yang digunakan adalah model umum persamaan regresi berganda dan sederhana yang pengolahan datanya menggunakan alat bantu statistik software SPSS Versi 20. Persamaan pertama: Log ABM = α + β1 Log DAU + β 2 Log DAK + β 3 Log DBH + β 4 Log BP + β 5 Log JP + ε
Persamaan kedua: Log G = α + β1 log ABM + ε
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pengujian statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai data yang digunakan dalam penelitian. Analisis ini memberikan informasi berupa nilai ratarata, maksimum, minimum dan standar deviasi pada sejumlah variabel yang diteliti. Statistsik deskriptif pada masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 4.2 Hasil Statistik Deskriptif
N Dana Alokasi
Maximum
Mean
43.654,18 1.032.567,53
Std. Deviation
435.507,589
172.067,194
61,016 115.550,690
47.910,349
20.104,576
Dana Bagi Hasil*
1.232 3.137,199 825.919,370
78.692,068
102.863,759
Belanja Pegawai*
1.232
388.880,574
20.5691,531
Jumlah Penduduk
1.232
Umum* Dana Alokasi Khusus*
Alokasi Belanja Modal* Pertumbuhan Ekonomi (%) *dalam jutaan
1.232
Minimum
1.232
1.232
1.232
0
2
24.569,57 1.066.033,37 9
6
12.961
1.556.711
379.417,846
336.273,570
649.155,880
184.300,375
89.951,007
,211
,05799
,0399
20.434,09 6 -,547
Sumber: data sekunder yang diolah dengan SPSS Versi 20 Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa jumlah observasi dalam penelitian (N) sebanyak 1.232 yang terdiri dari 308 pemerintah kabupaten/kota selama empat tahun. Variabel dana alokasi umum memiliki nilai rata-rata sebesar Rp435.507,589 juta. Nilai realisasi dana alokasi umum tertinggi adalah Rp1.032.567,532 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Subang pada tahun 2013. Nilai realisasi dana alokasi umum terendah adalah Rp43.654,180 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Enrekang pada tahun 2013. Nilai standar deviasi realisasi dana alokasi umum adalah Rp172.067,194 juta. Variabel dana alokasi khusus memiliki nilai rata-rata sebesar Rp47.910,349 juta. Nilai realisasi dana alokasi khusus tertinggi adalah Rp115.550,690 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2012. Nilai realisasi dana alokasi khusus terendah adalah Rp61,017 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2010. Nilai standar deviasi realisasi dana alokasi khusus adalah Rp20.104,576 juta. Variabel dana bagi hasil memiliki nilai rata-rata sebesar Rp78.692,068 juta. Nilai realisasi dana bagi hasil tertinggi adalah Rp825.919,370 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013. Nilai realisasi dana bagi hasil terendah adalah Rp3.137,199 juta yang diperoleh oleh Pemerintah Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2013. Nilai standar deviasi realisasi dana bagi hasil adalah Rp102.863,759 juta. Variabel belanja pegawai memiliki nilai rata-rata sebesar Rp388.880,574 juta. Nilai realisasi belanja pegawai tertinggi adalah Rp1.066.033,376 juta yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Subang pada tahun 2013. Nilai realisasi belanja pegawai terendah adalah Rp24.569,579 juta yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tambrauw pada tahun 2010. Nilai standar deviasi realisasi belanja pegawai adalah Rp20.5691,531 juta. Variabel jumlah penduduk memiliki nilai rata-rata sebesar 379.417,846 jiwa. Jumlah penduduk tertinggi adalah 1.556.711 jiwa yang berada di Kabupaten Pasuruan pada tahun 2013. Jumlah penduduk terendah adalah 12.961 jiwa yang berada di Kabupaten Tambrauw pada tahun 2010. Nilai standar deviasi jumlah penduduk adalah 336.273,570 jiwa. Variabel alokasi belanja modal memiliki nilai rata-rata sebesar Rp184.300,375 juta. Nilai alokasi belanja modal tertinggi adalah Rp649.155,880 juta yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013. Nilai alokasi belanja modal terendah adalah Rp20.434,096 juta yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi pada tahun 2011. Nilai standar deviasi alokasi belanja modal adalah Rp89.951,007 juta.
Variabel pertumbuhan ekonomi memiliki nilai rata-rata sebesar 5,799%. Pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah 21,1% yang terjadi di Kabupaten Morowali pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi terendah terjdi di Kabupaten Buton pada tahun 2013 sebesar -54,7%. Tanda minus ini menunjukkan jika ada penurunan ekonomi pada Kabupaten Buton pada tahun 2010 dikarenakan adanya pemekaran daerah Kabupaten Buton Utara Nilai standar deviasi pertumbuhan ekonomi adalah 3,99%. Uji asumsi klasik dilakukan untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghazali, 2005). Pada penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan uji nonparamametrik One Sample Kolmogorov-Smirnov. Tingkat signifikasinsi yang digunakan adalah 5%. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) Awal One-Sample Kolmogorov-Smirnov
Model 1
Model 2
N
1.232
1.232
Kolmogorov-Smirnov Z
3,205
8,185
,000
,000
Test
Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS Versi 20
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas terlihat bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk kedua model regresi lebih kecil dari tingkat signifikansi penelitian (0,000> 0,05). Hal ini berarti H0 ditolak yang menandakan bahwa data yang digunakan pada kedua model regresi memiliki nilai residual yang tidak terdistribusi secara normal. Untuk mengatasi masalah nilai residual yang tidak terdistribusi secara normal, dilakukan langkah transformasi data variabel-variabel penelitian ke dalam bentuk logaritma. Hasil pengujian data setelah dilakukan transformasi adalah sebagai berikut: Tabel 4.4
Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) Setelah Transformasi Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov
Model 1
Model 2
1.232
1.232
Kolmogorov-Smirnov Z
,982
1,014
Asymp. Sig. (2-tailed)
,290
, 255
Test N
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS Versi 20 Berdasarkan Tabel 4.4 di atas terlihat bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk kedua model regresi lebih besar dari tingkat signifikansi penelitian. Model 1 memiliki nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,290, sedangkan model 2 memiliki nilai Asymp. Sig.(2-tailed) sebesar 0,255. Hal ini berarti H0 diterima yang menandakan bahwa data yang digunakan pada kedua model regresi memiliki nilai residual yang terdistribusi secara normal. Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas atau independen (Ghozali, 2005). Pada penelitian ini, uji multikolonieritas dilakukan dengan menggunakan nilai tollerance dan varian inflation factor (VIF). Jika nilai VIF kurang dari 10 dan nilai tollernce di atas 0,1, disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala multikolinieritas. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini. Tabel 4.5 Hasil Uji Multikolinieritas Model 1 Collinearity Statistics Variabel Independen
Simpulan Toleranc
VIF
e Log_DAU
,208
4,817 Non multikolinieritas
Log_DAK
,703
1,423 Non multikolinieritas
Log_DBH
,854
1,171 Non multikolinieritas
Log_Belanja Pegawai
,110
9,108 Non multikolinieritas
Log_Jumlah
,208
Penduduk
4,810
Non multikolinieritas
a. Dependent Variable: Log_Alokasi Belanja Modal Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS Versi 20.0 Berdasarkan tabel 4.5, dapat dilihat bahwa nilai tollerance lebih dari 0,1 untuk semua variabel independen. Selain itu, nilai VIF juga tidak ada yang melebihi 10 untuk semua variabel
independen.
Oleh
karena
itu,
dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
terjadi
multikolinieritas. Menurut Ghozali (2005), Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Model 2 hanya memiliki satu variabel independen, yaitu alokasi belanja modal. Oleh karena itu, tidak dilakukan uji multikolinieritas pada model 2. Uji autrokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode (t) dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t – 1) (Ghozali, 2005). Jika ada korelasi dalam model regresi maka disebut autokorelasi. Regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi (Ghozali, 2005). Dalam penelitian ini, pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan run test. Uji run merupakan bagian dari statistik nonparametrik yang digunakan untuk mengetahui apakah antar nilai residual terdapat korelasi yang tinggi. Hasil dari uji ini menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,154 untuk model 1 dan 0,098 untuk model 2. Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 0,05. Karena nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk kedua model lebih besar dari tingkat signifikansi, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada kedua model regresi. Uji heterokesdastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2005). Jika varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang tidak terjadi heteroskedastisitas. Pada penelitian ini, heterokesdastisitas dilakukan dengan uji glejser. Model regresi tidak terdapat heterokesdastisitas jika nilainya meleebihi tingkat signifikansi. Tingkat
signifikansi yang digunakan adalah 5%. Hasil uji heterokesdastisitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas sig. untuk masing-masing variabel independen lebih besar dari tingkat signifikansi penelitian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokesdastisitas pada model regresi 1. Hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas sig. alokasi belanja modal sebesar 0,207. Nilai sig. tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi penelitian (0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokesdastisitas pada model regresi 2. Koefisien determinasi (R square) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model variabel dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2005). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan nilai adjusted R square sebagai ukuran untuk menilai model regresi. Semakin besar nilai adjusted R square, semakin besar pula kemungkinan variabel independen dapat menjelaskan variabel dependennya. Penelitian ini berarti bahwa variabel independen yang terdiri dari DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk dapat menjelaskan variabel dependen yaitu alokasi belanja modal sebesar 50,6%. Sisa persentase sebesar 49,4% dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Uji statistik F dilakukan untuk menentukan kelayakan model regresi untuk digunakan dalam analisis hipotesis. Kriteria yang digunakan dalam pengujian ini adalah probability value (ρ-value). Jika ρ-value (F- Statistik) dalam hasil pengujian lebih kecil dari 0,05 maka dapat dinyatakan model layak untuk digunakan sebagai model regresi dalam penelitian. Hasil uji statistik F menunjukkan bahwa nilai F hitung pada model regresi 1 sebesar 252,984 dengan signifikansi sebesar 0,000 dan model regresi 2 memiliki nilai F hitung sebesar 4,311 dengan signifikansi sebesar 0,038. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 untuk kedua model regresi, dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan dalam penelitian ini layak dan variabel independen yang terdiri dari DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen yaitu alokasi belanja modal serta alokasi belanja modal juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada tingkat keyakinan 95% .
4.1.3.3 Uji Parsial (Uji-t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2005). Pengujian secara parsial ini menggunakan uji-t. Apabila hasil uji menunjukkan nilai masing-masing variabel independen di bawah tingkat signifikansi 5 persen, hal ini berarti variabel independen memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Hasil uji-t menunjukkan bahwa nilai sig. untuk semua variabel independen pada model regresi 1 melalui tabel 4.13. Dari kelima variabel independen, hanya variabel jumlah penduduk yang memiliki nilai sig. (0,282) yang lebih besar dari tingkat signifikansi (0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa DAU, DAK, dan DBH berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Belanja pegawai berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Hasil uji statistik di atas menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut:
ABM = 1,046 + 0,846 Log DAU + 0,055 Log DAK + 0,328 Log DBH – 0,453 Log BP + 0,024 Log JP Konstanta sebesar 1,046 memiliki arti bahwa jika nilai DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk tetap, alokasi belanja modal akan naik sebesar 1,046. Nilai koefisien regresi DAU sebesar 0,846 memiliki arti bahwa jika DAU naik sebesar satu satuan, alokasi belanja modal akan naik sebesar 0,846 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan. Nilai koefisien regresi DAK sebesar 0,055 memiliki arti bahwa jika DAK naik sebesar satu satuan, alokasi belanja modal akan naik sebesar 0,055 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan. Nilai koefisien regresi DBH sebesar 0,328 memiliki arti bahwa jika DBH naik sebesar satu satuan, alokasi belanja modal akan naik sebesar 0,328 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan. Nilai koefisien regresi belanja pegawai sebesar -0,453 memiliki arti bahwa jika belanja pegawai naik sebesar satu satuan, maka alokasi belanja modal akan turun sebesar 0,453 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan. Nilai koefisien regresi jumlah penduduk adalah 0, 024. Karena variabel jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal, jumlah penduduk positif (naik) atau negatif (turun) tidak mempengaruhi alokasi belanja modal. Tabel 4.6 Hasil Uji t
Model Regresi 2 Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Variabel Independen B
Std. Error
(Constant)
-1,083
,068
Log_ABM
-,027
,013
T
Sig.
Beta
-,059
-15,967
,000
-2,076
,038
a. Dependent Variable: Log_Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Hasil Pengolahan Data SPSS Versi 20 Kita dapat melihat nilai sig. alokasi belanja modal pada model regresi 2 yaitu sebesar 0,038. Karena nilai sig. variabel alokasi belanja modal lebih rendah dari tingkat signifikansi (0,05), dapat dikatakan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil uji statistik di atas menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut: PE = -1,083 - 0,027 Log ABM Konstanta sebesar -1,083 memiliki arti bahwa jika alokasi belanja modal tetap, maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 1,083. Nilai koefisien regresi alokasi belanja modal sebesar -0,027 memiliki arti bahwa jika alokasi belanja modal naik sebesar satu satuan, pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,027.
4.3
Pembahasan
4.3.1 Pengaruh dana alokasi umum (DAU) terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah Hipotesis pertama yang diajukan adalah DAU berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel DAU memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar 0,846 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi DAU lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa DAU berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Nilai Unstandarized Beta Coefficient DAU sebesar 0,846 menandakan bahwa pengaruh DAU terhadap alokasi belanja modal adalah positif atau berbanding lurus. Hasil ini sejalan dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian.
DAU bersifat “block grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Semakin banyak DAU yang diperoleh pemerintah daerah, semakin banyak sumber penerimaan yang dimiliki. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan untuk meningkatkan alokasi belanja modal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prastiwi et al. (2016). Prastiwi et al. (2016) menyatakan bahwa DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Selain itu, penelitian Devita et al. (2016) serta Indarti dan Sugiartina (2012) yang menyatakan DAU berpengaruh terhadap belanja modal juga sesuai dengan hasil penelitian ini. 4.3.2 Pengaruh dana alokasi khusus (DAK) terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah Hipotesis kedua yang diajukan adalah DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel DAK memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar 0,055 dengan nilai signifikansi sebesar 0,003. Karena nilai signifikansi DAK lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa DAK berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Nilai Unstandarized Beta Coefficient DAK sebesar 0,055 menandakan bahwa pengaruh DAK terhadap alokasi belanja modal adalah positif atau berbanding lurus. Hasil ini sejalan dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian. DAK merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah yang diperoleh dari pemerintah pusat. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik (Nuarisa, 2013). Oleh karena itu, semakin banyak DAK yang diterima, sangat dimungkinkan bagi pemda untuk meningkatkan alokasi belanja modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013). Wandira (2013) menyatakan bahwa DAK berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Selain itu, hasil penelitian ini juga selajan dengan penelitian Putri (2013) yang menyatakan bahwa DAK berpengaruh positif terhadap belanja modal. 4.3.3 Pengaruh dana bagi hasil (DBH) terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah
Hipotesis ketiga yang diajukan adalah DBH berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel DBH memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar 0,328 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi DBH lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa DBH berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Nilai Unstandarized Beta Coefficient DBH sebesar 0,328 menandakan bahwa pengaruh DBH terhadap alokasi belanja modal adalah positif atau berbanding lurus. Hasil ini sejalan dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Salah satu dana transfer tersebut adalah dana bagi hasil. Penerimaan yang semakin besar, memungkinkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanja modal yang besar pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) yang menunjukkan bahwa DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal. 4.3.4 Pengaruh belanja pegawai terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah Hipotesis keempat yang diajukan adalah belanja pegawai berpengaruh negatif terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel belanja pegawai memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar -0,453 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi belanja pegawai lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa belanja pegawai berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Nilai Unstandarized Beta Coefficient belanja pegawai sebesar -0,453 menandakan bahwa pengaruh belanja pegawai terhadap alokasi belanja modal adalah negatif atau berbanding terbalik. Hasil ini sejalan dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Berdasarkan PSAP No. 02, belanja pemerintah diklasifikasikan menjadi belanja operasi, belanja modal, dan belanja lain-lain/tidak terduga, dan transfer. Kenaikan salah satu jenis belanja, dapat mengurangi alokasi untuk belanja yang lainnya termasuk belanja modal (Prastiwi et al., 2016). Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013). Putri menyatakan bahwa belanja pegawai berpengaruh negatif terhadap belanja modal. Selain itu, hasil penelitian ini juga selajan dengan penelitian Prastiwi et al. (2016) yang menyatakan bahwa belanja pegawai berpengaruh negatif terhadap belanja modal.
4.3.5 Pengaruh jumlah penduduk terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah Hipotesis kelima yang diajukan adalah jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar 0,024 dengan nilai signifikansi sebesar 0,282. Karena nilai signifikansi jumlah penduduk
lebih besar
dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis kelima yang menyatakan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal ditolak. Jumlah penduduk di suatu daerah dapat merepresentasikan kebutuhan sarana dan prasarana di suatu daerah. Namun dalam mengalokasikan belanja modalnya, terdapat banyak pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain prioritas tujuan yang ingin dicapai kepala daerah, kemampuan keuangan daerah, dan lain lain. Variabel jumlah penduduk belum menjadi pertimbangan utama pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja modalnya. 4.3.6 Pengaruh alokasi belanja modal pemda terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Hipotesis keenam yang diajukan adalah alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa variabel alokasi belanja modal memiliki Unstandarized Beta Coefficient sebesar -0,027 dengan nilai signifikansi sebesar 0,038. Karena nilai signifikansi alokasi belanja modal lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi (0,05), dapat disimpulkan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai Unstandarized Beta Coefficient belanja pegawai sebesar -0,027 menandakan bahwa pengaruh alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif atau berbanding terbalik. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Priambodo (2014). Priambodo (2014) menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Priambodo (2006), belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dikarenakan kebijakan anggaran yang dialokasikan untuk belanja modal masih jauh dari alokasi pengeluaran untuk belanja pegawai sehingga belum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Belanja modal merupakan cara pemerintah daerah dalam menyediakan sarana, prasarana, dan infrastruktur suatu daerah. Dengan adanya fasilitas yang memadai, diharapkan
dapat menjadi daya tarik bagi para investor untuk menanamkan modalnya sehingga roda perekonomian di daerah dapat berjalan dengan baik.
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengalisis faktor-faktor yaitu dana alokasi
umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), belanja pegawai, dan jumlah penduduk terhadap alokasi belanja modal dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uji variabel di atas diperoleh hasil sebagai berikut: 1.
DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah.
2.
DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah.
3.
DBH berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah.
4.
Belanja pegawai berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah.
5.
Jumlah penduduk berpengaruh positif tidak signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah daerah.
6.
Variabel DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk secara bersamasama berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.
7.
Alokasi belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
5.2
Keterbatasan Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian dilakukan pada semester kedua tahun 2016, akan tetapi data pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah tahun 2011 sampai dengan 2014 karena data pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota tahun 2015 masih dalam tahap kompilasi
2.
Beberapa data dari laporan keuangan pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat diperoleh.
3.
Penelitian ini menggunakan data jumlah penduduk yang berasal dari alamat resmi Badan Pusat Statistik dimana jumlah penduduk tahun 2011 sampai dengan 2014 merupakan angka proyeksi.
4.
Penelitian ini tidak menganalisis pengaruh tidak langsung variabel DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi.
5.
Penggunaan studi penelitian di seluruh Pemerintah Daerah Indonesia menimbulkan keheterogenan data yang diperoleh. Hal ini dimungkinkan karena ada perbedaan nilai yang cukup signifikan antara pulau Jawa yang merupakan pulau dengan jumlah penduduknya yang padat dan pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan wilayahwilayah di luar Pulau Jawa.
5.3
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan yang dikemukakan di atas, penulis
memberikan saran sebagai berikut:. 1.
Peneliti yang akan datang diharapkan dapat memperoleh data secara lengkap melalui berbagai sumber yang terpercaya dan tidak hanya bergantung dari website resmi pemerintah, seperti meminta data yang dibutuhkan pada instansi terkait melalui surat izin penelitian.
2.
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data yang paling mutakhir dengan rentang waktu pengamatan yang lebih panjang.
3.
Penelitian selanjutnya dapat menganalisis pengaruh tidak langsung variabel DAU, DAK, DBH, belanja pegawai, dan jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., dan A. Halim. 2006. Studi Atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Volume 2: Nomor 2. Arsa, I. K., dan N. D. Setiawina. 2015. Pengaruh Kinerja Keuangan Pada Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Bali Tahun 2006 s.d. 2013. Jurnal Buletin Studi Ekonomi. Volume 20: Nomor 2. Universitas Udayana. Bali. Adi, P. H. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten dan Kota Se Jawa Bali). Jurnal Studi Pembangunan KRITIS. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. ____________. 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota Se Jawa Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. ____________. 2007. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota Se Jawa Bali). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik. Volume 8: Nomor 1. Azzumar, M. R., dan H. R. Handayani. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan,
Investasi
Swasta,
Tenaga
Kerja
Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Era Desentralisasi Fiskal Tahun 2005-2009 (Studi Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah). Universitas Diponegoro: Thesis. Devita, Andri; A. Delis; dan Junaidi. 2014. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Jumlah Penduduk terhadap Belanja Daerah
66
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah. Volume 2: Nomor 2. Universitas Jambi. Freeman. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman. Fitriyanti, dan Pratolo. 2008. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Pembangunan Terhadap Rasio Kemandirian dan Pertumbuhan Ekonomi. Proceeding Konferensi Penelitian Keuangan Sektor Publik. Jakarta. Gamkhar, S., dan W. E. Oates. 1996. Asymetries in response to increase And decrease in intergovernmental grants: Some empirical findings. National Tax Journal 49. Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Mulivariate dengan Program IBM SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, dan Chariri. 2007. Teori Akuntansi. Semarang: Badan Penerbit Undip. Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometrika Dasar : Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Harianto, D., dan P. H. Adi. 2007. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Simposisum Nasional Akuntansi X. Makassar. Indarti, I., dan Sugiartiana. 2012. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal di Kota Semarang Periode Tahun 2005-2009. Jurnal Ilmiah Ekonomi. Volume 7: Nomor 2. Kementerian PPN/Bappenas. 2013. Arti Penting Sinergi Perencanaan Dan Penganggaran. Medan. Komite Standar Akuntansi Pemerintah. 2006. Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah. Buletin Teknis Nomor 04. ________________. 2010. Akuntansi Aset Teteap. Buletin Teknis Nomor 09. Kusnandar, dan Dodik Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Seminar Nasional Akuntansi XV. Legrenzi, G., dan Costas Milas. 2001. Non-linier and asymetrics adjustment in the local revenue – expenditure models: some evidence from the Italian municipalities. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi. Nuarisa, Sheila Ardhian. 2013. Pengaruh PAD, DAU, dan DAK Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Jurnal Analisis Akuntansi. Volume 2: Nomor 1. Oates, W. E. 1972. Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Prastiwi, Ayu; S. Nurlaela; dan Y. Chomsatu. 2016. Pengaruh PAD, Dana Perimbangan, dan Belanja Pegawai terhadap Belanja Modal Pemerintah Kota Surakarta. Seminar Nasioanal IENACO. Putri, Sandyakaning Jiwatami Ridwan. 2013. Pengaruh Kemandirian Daerah, Dana Perimbangan, dan Belanja Pegawai terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah. Skripsi: Universitas Indonesia. Priambodo, Agung. 2014. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Modal, dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2012. Jurnal Analisis Pengembangan Ekonomi. Volume 3: Nomor 3. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2013. Jakarta. ________________. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014. Jakarta. ________________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33. Jakarta. ________________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 26 (2). Jakarta. ________________.
Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2004
tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. ________________. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014. Jakarta. ________________. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Jakarta.
Sekaran, U., dan Roger Bougie. 2013. Research Methods for Business. Sixth Edition. John Wiley and Sons Inc. Sularso, H., dan Y. E. Restianto. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Media Riset Akuntansi Volume 1: Nomor 2. Taiwo, M., dan Taiwo Abayomi. 2011. Goverment Expenditure and Economic Development. European Journal of Business and Management 3(9). Verawaty; C. I. Merina; dan M. Sari. 2015. Determinan Pengalokasian Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi: Medan. Wandira, Arbie Gugus. 2013. Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhdap Pengalokasian Belanja Modal. Jurnal Analisis Akuntansi. Volume 2: Nomor 1. Wertianti, I. G. A. G., dan A. A. N. B. Dwirandra. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi pada Belanja Modal`dengan PAD dan DAU sebagai Variabel Moderasi. E-Jurnal Akuntansi. Universitas Udayana.