Laporan Penelitian PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara)
Oleh: Dr. Timbul Sinaga, S.E., MSA Rimbun C. D. Sidabutar, S.E., M.Si (Dosen Program Studi Akuntansi FE UHN)
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2013 1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh PAD, DAU, dan PDRB terhadap Belanja Modal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dan untuk menguji hipotesis digunakan regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PAD, DAU memiliki pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap Belanja Modal tetapi PDRB tidak memiliki pengaruh secara parsial terhadap Belanja Modal. Kemudian PAD, DAU, dan PDRB secara simultan memiliki pengaruh secara simultan dan signifikan terhadap belanja Belanja Modal. Kata kunci: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan PDRB Belanja Modal.
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pelayanan public. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU No. 22/1999 dan UU No. 23/2004 melibatkan dua pihak eksekutif dan legislative, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Eksekutif sebagai pelaksana opresionalisasi daerah berkewajiban membuat daraft/rancangan APBD, yang hanya bisa diimplementasikan kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses ratifikasi anggaran. (Darwanto dan Yustikasari, 2007) Otonomi daerah berlaku di Indonesia berlaku UU 23/1999 (direvisi menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi Pemerintahan daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001: Halim & Abdullah, 2006). Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implicit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislative dan publik. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan public. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU
3
32/2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislative,masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Adapun eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah berkewajiban membuat draft/rancangan APBD, yang hanya bisa diimpelemtasikan kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses ratifikasi anggaran. Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislative tentang Kebijakan UMUM APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan Umum APBD dan Priorotas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislative untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislative untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Lingkup anggaran menjadi relevan dan penting di lingkunagn pemerinta h daerah. Hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah, sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, DPRD akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran. Bentuk pengawasan ini sesuai dengan agency theory yang mana pemerintah daerah sebagai agen dan DPRD sebagai principal. Hal ini me nyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.
4
Anggaran sector public pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan
output
pengalokasian
sumberdaya.
Adapun
pengalokasian
sumberdaya ,merupakan permasalahan asar dalam penganggaran sector publik (Key 1940 dalam Fozzard, 2001. Keterbatasan sumberdaya sebagai pangkal utama dalam pengalokasian anggaran sector public dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori tentang teknik dan prinsip seperti yang dikenal dalam public expenditure management (Fozzard, 2001). Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakink uat, khususnya pada daerahdaerah yang mengalami kapasitas fiscal rendah (Halim, 2001). Pergeseran kompisisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan kepercayaan public. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk asset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan public, karena asset tetap yang dimiliki sebagai akibat belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan public oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah asset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas public. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan public, pemerintah daerah seharusnya mengubah kompisisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak untuk belanja rutin yang relative kurang produktif . saragih (2003)
5
mengatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, missal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pedapat tersebut, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan public. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengalikasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Pada dasarnya penelitian ini mereplikasi penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) tetapi dengan objek dan alat analisis yang berbeda. Jadi dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara). 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: 1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara parsial berpengaruh teerhadap Belanja Modal? 2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal? 3. Apakah Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh secara parsial terhadap Belanja Modal?
6
4. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pertumbuhan Ekonomi secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Modal? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk member bukti empiris pada: 1. Pengaruh pendapatan asli daerah (PAD) secara parsial terhadap anggaran belanja modal. 2. Pengaruh dana alokasi umum (DAU) secara parsial terhadap anggaran belanja modal. 3. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi secara parsial terhadap anggaran belanja modal. 4. Pengaruh PAD dan DAU secara simultan terhadap belanja modal
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran khususnya pada ilmu akuntansi pemerintahan. 2. Dapat dijadikan sebagai pembenaran ilmiah menyangkut penelitian yang berhubungan dengan pengaruh PAD, DAU dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap belanja modal.
7
3. Bagi peneliti, sebagai masukan secara mendalam mengenai pengaruh PAD,DAU dan Petumbuhan Ekonomi terhadap belanja modal di instansi pemerintahan serta sebagai referensi bagi rekan-rekan peneliti berikutnya yang ingin mendalami topik yang sama. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Bagi pemerintah, memberikan tambahan informasi dalam memahami pengaruh PAD, DAU dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap belanja modal di instansi pemerintah. 2. Bagi akademisi, sebagai acuan atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya berkenaan dengan pengaruh PAD, DAU dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap belanja modal di instansi pemerintah.
8
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan dalam Penganggaran Sektor Publik Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) di antara dua pihak, yaitu principal dan agen, dimana principal memberi wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama principal (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam teori keagenan terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan principal, sehingga mungkin saja pihak agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan principal. Scoot (2000) dalam Bangun (2009) menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan cabang dari game theory
yang mempelajari suatu model kontraktual yang
mendorong agen untuk bertindak bagi principal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan principal. Prinsipal mendelegasikan tanggung jawab atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun principal diatur dalam kontak kerja atas persetujuan bersama. Dalam kenyataannya, wewenang yang diberikan principal kepada agen sering mendatangkan masalah karena tujuan principal berbenturan dengan tujuan pribadi agen. Dengan kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya sendiri dan mengorbankan kepentingan principal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan informasi yang dimiliki oleh keduanya, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi (aymentric
9
information). Mursalim (2005) dalam Bangun(2009) menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak dimiliki agen dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan
sesuai
dengan
keinginan
dan
kepentingan
untuk
memaksimalkan utilitynya . Sedangkan bagi principal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memilki sedikit informasi yang ada. Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislative, eksekutif adalah agen dan legislative adalah principal (Halim dan Abdullah, 2006). Seperti dikemukakan sebelumnya antara principal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang timbul di antara ekskutif dan legislative juga merupakan masalah keagenan. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislative, legislatur adalah principal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislative untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan disini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan diterima atau ditolak. Dalam hubungan keagenan antara legislative dan public (voters), legislative adalah agen dan public adalah principal (Halim dan Abdullah 2006). Ketika
legislative
kemudian
terlibat
dalam
pembuatan
keputusan
atas
pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi principal atau pemilihnya, pada kenyataannya legislative sebagai agen bagi public tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan public.
10
Hubungan keagenan dalam penyusunan anggaran daerah di Indonesia, kesepakatan antara eksekutif dan legislative tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja merupakan bentuk kontrak, yang menjadi alat bagi legislative untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. 2.1.2
Anggaran Sektor Publik Dalam Mardiasmo, 2010, dinyatakan bahwa anggaran sector public berisi
rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana
anggaran
sector
public
merupakan
suatu
dokumen
yang
menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi meliputi informasi mengenai penpapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan dating. Setiap Anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan dating. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran sector public merupakan suatu rencana financial yang menyatakan: 1. Berapa biaya atas rencana-rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja); dan 2. Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut. 2.1.2.1 Fungsi Anggaran Sektor Publik
11
Anggaran sector public mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (1) alat perencanaan, (2) alat pengendalian, (3) alat kebijakan fiscal, (4) alat politik, (5) alat koordinasi dan komunikasi, (6) alat penilaian kinerja, (7) alat motivasi, dan (8) alat menciptakan ruang public (Mardiasmo,2010) 1. Anggaran sebagai alat perencanaan Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk: a. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan, b. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternative sumber pembiayaannya, c. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun, dan d. Menentukan indicator kinerja dan tingkat pencapaian strategi. 2. Anggaran sebagai alat pengendalian Anggaran sebagai instrument pengendalian digunakan untuk menghindari adanya overspending, underspending dan salah sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas. Anggaran merupakan alat untuk memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau egiatan pemerintah. Sebagai alat pengendalian majerial, anggaran sector public digunakan untuk meyakinkan bahwa pemerintah mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu, anggaran digunakan
12
untuk member informasi dan meyakinkan legislative bahwa pemerintah bekerja secara efisien, tanpa ada korupsi dan pemborosan. 3. Anggaran sebagai alat Kebijakan fiscal Anggaran sebagai alat kebijakan fiscal pemerintah digunakan untuk menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran sector public dapat diketahui arah kebijakan fiscal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan
ekonomi
masyarakat
sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi. 4. Anggaran sebagai alat politik Anggaran dapat digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sector public, anggaran merupakan dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislative atas penggunaan dana public untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat politik. Oleh karena itu, pembuatan anggaran public membutuhkan political skill, coalition building, keahlian berorganisasi, dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan public oleh manajer public. Manajer public harus sadar sepenuhnya bahwa kegagalan dalam melaksanakan
anggaran
yang telah
disetujui
dapat
menjatuhkan
kepemimpinannya, atau paling tidak menurunkan kredibilitas pemerintah. 5. Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi
13
Setiap unit kerja pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran sector public merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan. Anggaran public yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu, anggaran public juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam lingkungan eksekutif. Anggaran harus dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan. 6. Anggaran sebagai alat penilaian kinerja Anggaran merupakan wujud komitmen dari eksekutif kepada legislative. Kinerja ekseskutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer public dinilai berdasarkan berapa yang berhasil dicapai dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. 7. Anggaran sebagai alat motivasi Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan staffnya agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Agar dapat memotivasi pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but achievable. Maksudnya adalah target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun jangan juga terlalu rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai.
14
8. Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang public Anggaran public tidak boleh diabaikan oleh cabinet, birokrat, dan DPR/DPRD. Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, dan berbagai organisasi kemasyarakatan harus terlibat dalam proses penganggaran public.
Kelompok
mempengaruhi Kelompok
lain
mempercayakan
masyarakat
anggaran dari
yang
pemerintah
masyrakat
aspirasinya
terorganisir untuk
yang
melalui
kepentingan
kurang proses
akan
mencoba mereka.
terorganisir politik
yang
akan ada.
Pengangguran, tuna wisma dan kelompok lain yang tak terorganisir akan dengan mudah dan tidak berdaya mengikuti tindakan pemerintah. Jika tidak ada alat untuk menyampaikan suara mereka, maka mereka akan mengambil tindakan dengan jalan lain seperti dengan tindakan massa, melakukan boikot, vandalism, dan sebagainya. 2.1.2.2 Jenis-jenis Anggaran Sektor Publik Anggaran sector public dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Anggaran Operasional Anggaran oprasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan dalam anggaran opersional adalah belanja rutin. Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah asset kekayaan bagi pemerintah. Disebut rutin karena sifat pengeluaran tersebut berulang-ulang ada setiap tahun. Secara umum, pengeluaran yang masuk kategori anggaran
15
opersional antara lain belanja administrasi umum dan blanja operasi dan pemeliharaan. 2. Anggaran Modal/Investasi Anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Pengeluaran modal yang besar biasanya dilakukan dengan menggunakan pinjaman. Belanja modal/investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan pemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk operasional dan pemeliharaannya. 2.1.2.3 Prinsip-prinsip Anggaran Sektor Publik Prinsip-prinsip anggaran sector public meliputi: a. Otorisasi oleh Legislatif Anggaran public harus mendapatkan otorisasi dari legislative terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut. b. Komprehensif Anggaran harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, adanya dan non-budgetair pada dasarnya menyalahi prinsip anggaran yang bersifat komprrehensif. c. Keutuhan anggaran Semua penerimaan dan belanja harus terhimpun dlam dana umum. d. Nondiscretionary Appropriation
16
Jumlah yang disetujui oleh dewan legislative harus termanfaatkan secara ekonomis, efisien, dan efektif. e. Periodik Anggaran merupakan suatu proses yang periodic, dapat bersifat tahunan maupun multi-tahunan. f. Akurat Estimasi anggaran hendaknya tidak memasukkan cadangan yang tersembunyi yang dapat dijadikan sebagai kantong-kantong pemborosan dan
inefisiensi
anggaran
serta
dapat
mengakibatkan
munculnya
underestimate pendapatan dan overestimate pengeluaran. g. Jelas Anggaran hendaknya sederhana, dapat dipahami masyarakat, dan tidak membingungkan. h. Diketahui public Anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas. 2.1.2.4 Prinsip-prinsip Pokok dalam Siklus Anggaran Sektor Publik Prinsip-prinsip pokok siklus anggaran sector public pada dasarnya tidak berbeda antar sector swasta dan sector public (Henley atal., 1990). Siklus anggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas: 1. Tahap Persiapan Anggaran Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dassar taksiran pendapatan yang tersedia. Tderkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran
17
pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran. Di Indonesia, ditingkat daerah berdasarkan Peraturan Pemerinto. 108/2000 pemerintah daerah diisyaratkan untuk membuat dokumen perencanaan daerah yang terdiri atas PROPEDA (RENSTRADA), diupayakan tidak menyimpang dari PROPENAS dan RENSTRA yang dibuat pemerintah pusat. 2. Tahap Ratifikasi Anggaran Tahap ini merupakan tahhap yang ,elibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesmanship, da coalition building yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini karena dalam tahap ini eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaanpertanyaan dan banthan-bantahan dari pihak legislative. 3. Tahap Pelaksanaan Anggaran Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer public addalah dimilikinya system (informasi) akuntansi dan system pengendalian manajemen. Manajer public dalam hal ini bertanggung jawab untuk menciptakan system akuntansi yang memadai
18
dan handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang baik meliputi pula dibuatnya system pengendalian intern yang memadai. 4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran Tahap ini adalah tahap terakhir dalam siklus anggaran. TAhap persiapan, ratifikasi, dan pelaksanaan anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahhap pelaksanaan telah didukung dengansistem akuntansi dan system pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap pelaporan dan evaluasi tidak akan menemui banyak masalah. 2.1.3
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam APBD tergambar semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang masuk yang didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kurun waktu satu tahun. APBD juga merupakan instrument dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti APBD menjadi dasar
19
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan berarti bahwa APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun bersangkutan, sedangkan fungsi pengawasan terlihat dari digunakannya APBD sebagai standar dalam penilaian penyelenggaraan pemerintahan daerah. Anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pemborosan sumber daya, meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian, serta harus memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal ini merupakan tuntutan dari fungsi alokasi dan fungsi distribusi APBD. Tujuan utama proses perumusan anggaran adalah menerjemahkan perencanaan ekonomi pemerintah, yang terdiri dari perencanaan input dan output dalam satuan keuangan. Oleh karena itu, proses perumusan anggaran harus dapat menggali dan mengendalikan sumber-sumber dana public. Proses pembuatan satu tahun anggaran tersebut dikenal dengan penganggaran. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil perumusan strategi dan perencanaan strategic yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. APBD terdiri dari, (1) Anggaran pendapatan, yang terdiri atas (a) Pendapatan Asli daerah, (b) Dana Perimbangan, dan (c) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibbah atau dana darurat, (2) Anggaran belanja, dan (3) Pembiayaan.
20
2.1.4 Prinsip Penyusunan APBD Dalam Sonny Sumarsono (2010), dinyatakan bahwa prinsip penyusunan APBD sebagai berikut: 1. Partisipasi Masyarakat Bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat sehingga masyarakat
dapat
mengetahui
hak
dan
kewajibannya
dalam
pelaksanaan APBD. 2. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada jenis/objek belanja serta korelasi besarnya anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. 3. Disiplin Anggaran a. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batasan tertinggi pengeluaran belanja; b. Penganggaran pengelauran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang tidak tersedia atau tidak mencukupi kredit anggaran dalam APBD/Perubahan APBD;
21
c. Semua penerimaan dan pengeluaran dalam satu tahun yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Daerah. 4. Keadilan Anggaran Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Pungutan Daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan. Pemerintah Daerah dapat melakukan diskriminasi tarif secara tradisional
dan
dalam
mengalokasikan
belanja
daerah
harus
mempertimbangkan keadilan dan pemerataan sehingga dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. 5. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan penignkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan: a. Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indicator kinerja yang ingin dicapai. b. Penetapan prioritas kegiatan dan perhitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. 6. Taat Asas APBD sebagai kebiajakan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah di dalam penyusunannya harus tidak boleh bertentangan
22
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan peraturan daerah lainnya. 2.1.5 Pendapatan Asli Daerah Yang dimaksud dengan Pendapatan Daerah sesuia Undan-Undang No. 33/2004 pasal 1 adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sesuai dengan Undang-Undang no. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat da Daerah pasal 6 bahwa sumber pendapatan asali daerah adalah sebagai berikut: a. Pendapatan Asli Daerah yang sah: 1. Hasil Pajak Daerah 2. Hasil Retribusi Daerah 3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan lainnya yang dipisahkan 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah b. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari: 1. Sumbangan dari Pemerintah 2. Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan 3. Pendpatan lain-lain yang sah Peningkatan pendapatandaerah dapat dilaksanakan melalui langkahlangkah sebagai berikut:
23
a. Intensifikasi, melalui upaya:
Pendapatan dan peremajaan objek dan subjek pajak dan retribusi daerah.
Mempelajari kembali pajak daerah yang dipangkas guna mencari kemungkinan untuk dialihkan menjadi retribusi.
Mengintensifkan retribusi daerah yang ada.
Memperbaiki sarana dan prasarana pungutan yang belum memadai.
b. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi) Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut harus ditekankan agar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sebab pada dasarnya tujuan meningkatkan pendapatan daerah melalui upaya ekstensifikasi adalah untuk meningkatkan kegiatan ekonom masyarakat.
Dengan
demikian,
upaya
ekstensifikasi
lebih
diarahkan kepada upaya untuk mempertahankan potensi daerah sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. c. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat Peningkatan pelayanan kepada masyarakat ini merupakan unsure yang penting bahwa paradigm yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalahbahwa pembayaran pajak dan retribusi sudah merupakan hak daripada kewajiban masyarakat terhadap Negara, untuk itu perlu dikaji kembali pengertian wujud layanan yang bagaimana yang dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat.
24
2.1.5.1 Pajak Daerah Berdasarkan Undang-Undang no. 34/2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah yangselanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pembangunan daerah. Seperti halnya pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai peranan ganda yaitu: 1. Sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary) 2. Sebagai alat pengukur (regulatory) Jenisa Pajak Daerah menurut Undang-Undang No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP No. 65/2001 tentang Pajak Daerah: a. Pajak Provinsi, antara lain: 1. Pajak kendaraan bermotor, antara lain:
Kendaraan bermotor bukan umum
Kendaraan bermotor umum
Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
2. Pajak kendaraan di atas air 3. Bea balik nama kendaraan bermotor, antara lain: Penyerahan pertama
Kendaraan bermotor bukan umum
25
Kendaraan bermotor umum
Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
Penyerahan kedua
Kendaraan bermotor bukan umum
Kendaraan bermotor umum
Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
Penyerahan karena wasiat, antara lain:
Kendaraan bermotor bukan umum
Kendaraan bermotor umum
Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
4. Bea balik nama kendaraan di atas air, antara lain:
Penyerahan pertama
Penyerahan kedua
Penyerahan karena wasiat
5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan b. Pajak Kabupaten/Kota 1. Pajak hotel, maksimum 10% 2. Pajak restoran, maksimum 10% 3. Pajak hiburan, maksimum 35% 4. Pajak reklame, maksimum 25%
26
5. Pajak penerangan jalan, maksimum 10% 6. Pajak pengambilan bahan galian golongan C, maksimum 20% 7. Pajak parker, maksimum 20% 2.1.5.2 Retribusi Daerah Disamping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah retribusi daera. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Menurut undang-undng No. 18/1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi daerah adalah punngutan daerah sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh PEMDA oleh kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi dalam hal retribusi daerah adalah balas jasa langsung. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan tertentu memang melewati jalan dimana retribusi jalan itu dipungut, retribusi pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si pembayar retribusi. Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan public di daerahnya. Berikut ini objek atau jenis retribusi daerah menurut Undang-Undang No.34/2000: 1. Retribusi Jasa Umum
27
Adapun yang termasuk dalam jasa pelayanan umum antara lain: a. Pelayanan kesehatan b. Pelayanan kebersihan dan persampahan c. Penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penuduk (KTP) dan Akte Catatan Sipil d. Pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat e. Pelayanan parker di tepi jalan umum f. Pelayanan pasar g. Pelayanan air bersih h. Pengujian kendaraan bermotor i. Pemeriksaan alat pemadam kebakaran j. Penggantian biaya cetak peta yang dibuat Pemerintah Daerah k. Pengujian kapal perikanan 2. Retribusi jasa Usaha Adapun yang termasuk dalam jasa usaha antara lain: a. Pemakaian kekayaan daerah b. Pasar grosir dan atau pertokoan c. Pelayanan terminal d. Pelayanan tempat khusus parker e. Pelayanan tempat penitipan anak f. Penginapan/villa g. Penyedotan kakus h. Rumah potong hewan
28
i. Tempat penyandaran kapal j. Tempat rekreasi dan olah raga k. Penyebrangan di atas air l. Pengelolaan air limbah m. Penjualan usaha produksi daerah 3. Retribusi Perizinan Tertentu Perizinan tertentu yang retribusinya dipungut antara lain: a. Izin peruntukan penggunaan tanah b. Izin mendirikan bangunan c. Izin gangguan d. Izin trayek e. Izin pengambilan hasil hutan 2.1.5.3 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang Dipisahkan Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak daerah dan retribusi daerah adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. Selain itu, BUMD merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Jenis pendapatan yang termasuk hasil-hasil pengelolaan kakayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. 2.1.5.4 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
29
Hasil usaha daerah lain dan sah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak termasuk katergori pajak, retribusi dan perusahaan daerah (BUMD). Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro. 2.1.6 Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk
mendanai
kebutuhan
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi. DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerh untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dasar hukum DAU ada dua yaitu UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan PP No. 55/2005 tentang Dana Perimbangan. DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. 2.1.6.1 Tahapan Penghitungan DAU 1. Tahapan Akademis
30
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia. 2. Tahapan Administratif Dengan tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk di dalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemuktahiran data yang akan digunakan. 3. Tahapan Teknis Merupakan tahap pembautan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.
4. Tahapan Politis Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU. 2.1.7 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi regional dan mempunyai implikasi kebijakan yang cukup
31
luas. Menurut Sadono Sukirno (2007), pertumbuhan ekonomi sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan dalam produk domestik regional bruto (PDRB), tanpa memandang apakah kenaikan ini lebih kecil atau lebih besar daripada tingkat pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan wujud perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman laju pertumbuhan dari berbagai sektor ekonomi yang menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Boediono (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita. Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan Produk Domestik Regional Daerah/PDRB (Saragih, 2003 ; Kuncoro, 2004). 2.1.8 Belanja Modal Menurut PP No.24/2005, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi mamfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Menurut Permendagri No.13/2006, belanja modal adalah belanja yang digunakan untuk
32
pengeluaran
yang
dilakukan
dalam
rangka
pembelian/pengadaan
atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai masa mamfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. 2.1.8.1 Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengukuran, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2.1.8.2 Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud siap pakai. 2.1.8.3 Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
33
2.1.8.4 Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/ peningkatan pembangunan /pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan,
irigasi dan jaringan yang menambah
kapasitas sampai jalan, irigasi dan jaringan dalam kondisi siap pakai. 2.1.8.5 Belanja Modal Aset Tetap Lainnya Belanja aset tetap lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untukpengadaan/penambahan/penggantian/peningkatanpembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap aset tetap lainnya yang tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan, irigasi dan jaringan. Termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah. 2.1.9 Belanja Modal dalam Anggaran Belanja Dalam UU No.32/2004 dinyatakan bahwa pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asa otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Hal ini berarti bbelanja daerah diprioritaskan
untuk
melindungi
dan
meningkatkan
kualitas
kehidupan
masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan
34
kesehatan, fasilitas social dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan jaminan social dengan mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal meruapakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan public oleh pemerintahan daerah. Untuk menambah asset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas public. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan asset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan public yang memberikan dampak jangka panjang secara financial (Syukri Abdullah, Abdul halim ; 2006). Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan asset tetap pemerintah daerah yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan asset tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh asset tetap tersebut yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan asset tetap lain dan membeli.
2.2
Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian
Table 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti/Tahun
Hasil
Pengaruh Pertumbuhan Darwanto dan DAU, PAD dan Petumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU Yulia Yustikasari Ekonomi berpengaruh terhadap terhadap Pengalokasian (2007) Belanja Modal Belanja Modal
35
Hubungan PAD dan DAU dengan Belanja Modal di Ikin Jawa Barat (2007)
Solikin PAD dan DAU memiliki hubungan yang kuat positif dengan Belanja Modal
Hubungan DAU, Belanja Modal, PAD dan David Harianto DAU berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita dan Priyo Hari Belanja Modal, PAD Adi (2007) berpengaruh terhadap pendapatan per kapita Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU Nugroho Suranto Pertumbuhan Ekonomi, PAD terhadap Pengalokasian Putro (2009) tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal (Studi Anggaran Belanja modal, DAU Kasus pada berpengaruh terhadap Kabupaten/Kota di Prov. Anggaran Belanja Modal, Jawa Tengah) Pertumbuhan Ekonomi, PAD, dan DAU secara bersama-sama berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal
2.3 Kerangka Pemikiran 2.3.1 Hubungan antara Pendaptan Asli Daerah dengan Belanja Modal Dalam konteks PAD dapat dilihat terjadinya teori keagenan, Pemerintah sebagai agen bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai prinsipal karena masyarakat telah memberikan sebagian uangnya kepada pemerintah daerah melalui pajak, retribusi daerah, dan lain-lain untuk dikelola demi kepentingan masyarakat. Belanja modal yang bersumber dari PAD juga harus dikelola dan dipertanggungjawabkan untuk memberikan pelayanan public yang baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi belanja modal, yaitu dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai yang dibiayai dari belanja modal yang dianggarkan setiap tahunnya.
36
Peningkatan PAD diharapkan akan memberikan efek yang signifikan terhadap pengalokasian belanja modal oleh pemerintah. Peningkatan belanja modal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan public dan pada gilirannya mampu meningkatkan partisipasi public terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002 dalam Nugroho, 2007). Hal ini juga didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) yang menunjukkan bahwa PAD berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal. Tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugroho Suratno Putro (2007) yang menunjukkan bahwa PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal karena PAD lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan biaya langsung lainnya daripada membiayai belanja modal. 2.3.2 Hubungan antara Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal Menurut teori keagenan, hubungan kontraktual antara masyarakat sebagai prinsipal dan pemerintah sebagai agen dalam konteks DAU dapat dilihat dari bagaimana tanggung jawab pemerintah memberikan pelayanan public yang baik kepada masyarakat melalui alokasi belanja modal. DAU juga merupakan sumber pembiayaan untuk belanja modal, sama halnya dengan PAD. Perbedaan dari kedua sumber pembiayaan untuk belanja modal ini adalah PAD berasal dari uang masyarakat sedangkan DAU berasal dari transfer Pemerintah Pusat ke daerah dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam ranka pelaksanaan desentralisasi. 2.3.3 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal
37
Pertumbuhan ekonomi merupakan angka yang menunjukkan kenaikan kegiatan perekonomian suatu daerah setiap tahunnya. Tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat adalah memberikan pelayanan public yang baik kepada masyarakat melalui anggaran belanja modal. Melalui belanja modal disediakan sarana dan prasarana atau insfrastruktur yang memadai sehingga dapat mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) dinyatakan bahwa
DAU berpengaruh secara signifikan
terhadap belanja modal. Hal ini juga didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugroho Suratno Putro (2009). 2.4
Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran yang telah
diuraikan di atas maka dapt dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara parsial berpengaruh tehadap Belanja Modal. 2. Dana Alokasi Umum (DAU) secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal. 3. Pertumbuhan Ekonomi secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal. 4. Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pertumbuhan Ekonomi secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Modal.
38
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Objek Penelitian Objek penelitian adalah pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum
(DAU), pertumbuhan ekonomi dan belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Data sekunder berupa data yang diambil dari Laporan Hasil pemeriksaan badan pemeriksa keuangan (BPK) untuk tahun anggaran 20062009 untuk data PAD dan DAU. Sedangkan data Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan oleh PDRB per Kapita dari Badan Pusat Statistik (BPS).
3.2
Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan ini jika ditinjau dari sasaran yang ingin dicapai
termasuk dalam tipe deskriptif-analitis. Disebut deskriptif-analitis karena menurut Sri Sularso ( 2004) analisis deskriptif dimaksudkan untuk memahami karakteristik objek yang diteliti atau menyusun profil perusahaan objek tersebut dalam rangka membantu membuat keputusan-keputusan sederhana. Selanjutnya Nur Indriantoro dan Supomo (2002) menyatakan bahwa statistik deskriptif pada dasarnya merupakan
proses
transformasi
data
sehingga
mudah
dipahami
dan
diinterprestasikan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Mudrajad Kuncoro (2003) yang menyatakan bahwa analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengambarkan dan menyajikan secara ringkas informasi dan sejumlah besar data yang digunakan untuk menemukan ide-ide baru mengenai hubungan antar 39
variabel yang kemudian dapat diuji lebih mendalam melalui penelitian eksploratif. Data-data yang terkumpul diubah kedalam suatu bentuk yang dapat menyediakan informasi untuk menggambarkan serangkaian fakta dalam suatu keadaan yang meliputi frekuensi, tendensi, trend, untuk kemudian disajikan dalam bentuk distribusi, tabel, maupun grafik. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis verifikatif dengan bantuan alat regresi berganda yang dilakukan untuk melihat pengaruh pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.
3.2.1 Operasionalisasi Variabel 3.2.1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan asli daerah adalah penerimaan dari sumber-sumber daerah sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah dengan peraturan perundangundangan yang berlaku yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah (HPD), Retribusi Daerah (RD), Pendapatan Laba perusahaan Daerah (PLPD) dan Lain-lain Pendapatan yang Sah (LPS), yang dirumuskan dengan: PAD = HPD+RD+PLPD+LPS 3.2.1.2 Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum merupakan salah satu transfer pemeerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
40
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi maupun kabupaten/kota dapat dinyatakan sebagai berikut: DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar, dimana; Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal 3.2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output per kapita yang terus menerus dalam jangka panjang dan merupakan salah satu indicator keberhasilan pembangunan, makin tinggi pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti dengan makin tingginya kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi diproksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, yang dihitung dengan rumus : Pertumbuhan Ekonomi = (PDRBt – PDRBt-1)/ (PDRBt-1) X 100%
3.2.1.4 Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran untuk memperoleh asset tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Indicator variable ini diukur dengan: Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan + Belanja Aset Lainnya
3.2.2 Populasi dan Target Populasi Penelitian
41
Populasi penelitian adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009:115). Yang
dijadikan
populasi
dalam
penelitian
ini
adalah
seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang tidak hasil pemekaran (20052009) yang berjumlah 25 kabupaten/kota sehingga metode analisis data yang digunakan adalah metode sensus. Tabel 3.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Daftar Target Populasi Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. .14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kabupaten/Kota Kota Medan Kota Binjai Kota Pematang Siantar Kota Tebing Tinggi Kota Sibolga Kota Padang Sidempuan Kota Tanjung Balai Kabupaten Tapanuli Utara Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan Kabupaten Nias Kabupaten Langkat Kabupaten Karo Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Simalungun Kabupaten Asahan Kabupaten Labuhan Batu Kabupaten Dairi Kabupaten Toba Samosir
42
20. Kabupaten Mandailing Natal 21. Kabupaten Serdang Bedagai 22. Kabupaten Samosir 23. Kabupaten Humbang Hasundutan 24. Kabupaten Pakphak Bharat 25. Kabupaten Nias Selatan Sumber: http://www.sumutprov.go.id
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menurut Sekaran (2006: 66) meliputi : wawancara (interview) melalui tatap muka, telepon, bantuan komputer, dan media elektronik; kuisioner (questionnaire) yang diserahkan secara pribadi, melalui email; observasi (observation); dan beragam teknik motivasional. Penelitian ini menggunakan salah satu metode pengumpulan data yaitu dengan metode pengumpulan data sekunder (observasi), yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kabupatenn/kota di provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2006-2009. Pemilihan data untuk tahun anggaran tersebut dengan pertimbangan saat tersebut merupakan tahun-tahun awal PP No.24/2005 efektif berlaku dan merupakan tahun-tahun awal diberlakukannya Permendagri No.13/2006. Data tersebut merupakan kombinasi dari data runtut waktu (time-series), yaitu data yang secara kronologis disusun menurut waktu pada suatu variabel
43
tertentu dan secara silang tempat (cross-section) yang dikumpulkan pada suatu titik waktu yang disebut dengan pooling data (Mudrajad Kuncoro, 2003:125-127). 3.2.4 Uji Asumsi Klasik Pengujian regresi linier berganda dapat dilakukan setelah model dari penelitian memenuhi syarat-syarat yaitu lolos asumsi klasik : data harus terdistribusi normal, tidak mengandung multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Berikut ini dijabarkan uji asumsi klasik: 1. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah terdistribusi secara normal. Untuk menguji normalitas data digunakan analisis grafik, yaitu dengan menganalisis grafik normal probability plot. Data dikatakan normal jjika data atau titik-titik tersebar di sekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti garis diagonal. 2. Uji Multikolinieritas Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dlam model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel independen. Model regresi yang baik adalah jika tidak terjadi korelasi antar variable independen. Uji ini dideteksi dengan melihat niali tolerance-nya di atas 0,1 dan nilai variance inflation factor (VIF) tidak lebih besar dari 10. 3. Uji Autokorelasi
44
Uji ini dilakukan dengan menghitung nilai Durbin Watson (Dw) dengan membandingkan nilai Dw terhadap dU dad D. Setelah menghitung nilai d statistic selanjutnya dengan nilai d dari table dengan tingkat signifikansi 5%. 4. Uji Heteroskedastisitas Uji ini bertujuan untuk melihat penyebaran data. Uji ini dapat dilakukan dengan melihat gambar plot antara nilai prediksi variable independen (ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Model regresi yang baik adalah yang tidak terdapat heteroskedastisitas. Apabila dalam grafik tidak ada pola tertentu yang teratur dan data tersebar secara acak di atas dan di bawah 0 pada sumbu Y, maka diidentifikasikan tidak terdapat heteroskedastisitas.
3.2.5 Model Analisis Penelitian Model analisis penelitian adalah analisis regresi , baik regresi berganda yaitu untuk melihat pengaruh secara simultan dan regresi sederhana untuk melihat pengaruh secara parsial, tetapi sebelumnya ahrus dilakukan analisis statistic deskriptif, uji normalitas data dan uji asumsi klasik. Hubungan antar variable dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: Y=α + β1PAD + β2DAU+β3PDRB + e
Dimana:
Y
= Belanja Modal (BM)
α
= Konstanta
45
β
= Intersep
PAD = Pendapatan ali daerah DAU = Dana alokasi umum PDRB = Produk Domestik Regional Bruto e
= error
Model analisis regresi berguna untuk mengestimasi parameter-parameter regresi untuk membantu menjawab hipotesis penelitian. Perhitungan estimasi parameter regresi dan uji-uji statistic yang digunakan dalam penelitian ini didukung dengan program SPSS 17 for windows.
3.2.6 Pengujian Hipotesis Uji hipotesis, untuk pengaruh secara parsial dengan Uji t dan untuk pengaruh simultan dengan Uji F, yaitu menguji signifikan atau tidak nilai koefisien regresi (estimate) masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen dengan membandingkan besarnya taraf signifikansi (sig) penelitian dengan taraf signifikansi sebesar 0,05. Kriterianya sebagai berikut: Jika sig penelitian < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima Jika sig penelitian > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak
46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Gambaran Umum Objek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemerintah kabupaten/kota di
provinsi Sumatera Utara yang bukan daerah/kota pemekaran pada periode amatan (2007-2009) dengan target populasi sebanyak 25
kabupaten/kota. Objek
penelitian adalah realisasi belanja modal, belanja pemeliharaan, dan nilai asset tetap pada kabupaten/kota provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk tahun anggaran 2007-2009 dan PDRB 2007-2009 yang diperoleh dari BPS Sumatera Utara.
4.2
Uji Asumsi Klasik
4.2.1 Uji Normalitas Untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah terdistribusi normal digunakan analisis grafik, yaitu dengan menganalisis grafik normal probability plot. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada gambar 4.1.
47
Gambar 4.1 Hasil Uji Normalitas
Pada grafik normal probability plot titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti garis diagonal, maka data telah memenuhi asumsi normal atau mengikuti garis normalitas.
4.2.2 Uji Multikolinieritas Untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi
antarvariabel independen, dideteksi dengan melihat niali tolerance-nya di atas 0,1
48
dan nilai variance inflation factor (VIF) tidak lebih besar dari 10. Hasil uji multikolinieritas dapat dilihat pada table 4.1 Tabel 4.1 Hasil Uji Multikolinieritas
Coefficients
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
1(Constant)
Std. Error
6.850E10
2.321E10
Pendapatan Asli Daerah
.303
.127
Dana Alokasi Umum
.235 -3513.753
PDRB
a
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
2.951
.004
.311
2.378
.020
.316
3.163
.039
.609
6.049
.000
.535
1.870
3014.927
-.126
-1.165
.248
.465
2.150
a. Dependent Variable: Belanja Modal
Dari table 4.1 dapat dilihat nilai tolerancenya sebesar 0,316, 0,535, 0, 456>0,1 dan nilai variance inflation factor (VIF) sebesar 3,163, 1,870, 2,150 < 10, maka dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi tidak ditemukan adanya korelasi antarvariabel independen.
4.2.3 Uji Heteroskedastisitas Untuk melihat penyebaran data dilakukan dengan melihat gambar plot antara nilai prediksi variable independen (ZPRED) dengan residualnya (SRESID). Hasil Uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada gambar 4.2.
49
Gambar 4.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa distribusi data tidak teratur dan tidak membentuk pola tertentu serta sebarannya di atas dan di bawah angka nol sumbu Y,
maka
dapat
disimpulkan
pada
model
regresi
ini
tidak
terjadi
heteroskedastisitas.
4.3
Uji Hipotesis
4.3.1 Uji t (Uji Parsial) Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variable independen secara parsial terhadap variable dependen dengan mengasumsikan variable lain adalah konstan. 50
Hipotesis: Ho: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan PDRB secara parsial tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal H1: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan PDRB secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Modal Hasil uji hipotesis (uji t) dapat dilihat pada table 4.2. Tabel 4.2 Hasil Uji Hipotesis secara Parsial (Uji t) Coefficients
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
1(Constant)
Std. Error
6.850E10
2.321E10
Pendapatan Asli Daerah
.303
.127
Dana Alokasi Umum
.235 -3513.753
PDRB
a
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
2.951
.004
.311
2.378
.020
.316
3.163
.039
.609
6.049
.000
.535
1.870
3014.927
-.126
-1.165
.248
.465
2.150
a. Dependent Variable: Belanja Modal
Dari table 4.2 dapat dilihat bahwa beta pada variable PAD 0,311 (positif) dengan sig penelitian sebesar 0,037 dan beta pada variable DAU 0,609(positif) dengan sig penelitian sebesar 0,000 sedangkan pada variable PDRB beta -0,126 dengan sig penelitian -1,165, maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya, baik PAD atau DAU secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, jika PAD atau DAU naik maka Belanja Modal juga akan naik tetapi berbeda dengan PDRB, PDRB tidak memiliki pengaruh terhadap Belanja Modal.
51
Hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Darwanto dan Yulia dan Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa DAU, PAD dan PDRB secara parsial berpengaruh pada belanja modal, karena dari hasil penelitian dapat dilihat yang memiliki pengaruh secara parsial terhadap belanja modal hanyalah PAD dan DAU. Tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugroho Suratno Putro (2007) yang menunjukkan bahwa PAD tidak berpengaruh terhadap belanja modal karena PAD lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja pegawai dan biaya langsung lainnya daripada membiayai belanja modal.
4.3.2 Uji F (Uji Simultan) Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variable independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variable dependen dengan mengasumsikan variable lain adalah konstan. Hipotesis: Ho: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan PDRB secara simultan tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal H1: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan PDRB secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Modal Hasil uji F dapat dilihat pada table 4.3.
52
Tabel 4.3 Hasil Uji Hipotesis secara Simultan (Uji F)
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2.067E23
3
6.889E22
Residual
1.295E23
71
1.823E21
Total
3.361E23
74
F 37.782
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), PDRB, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah b. Dependent Variable: Belanja Modal
Dari table 4.3 dapat dilihat bahwa sig penelitian sebesar 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, PAD, DAU dan PDRB
secara simultan
memiliki pengaruh signifikan terhadap Belanja
Modal, jika PAD, DAU dan PDRB naik secara bersama-sama maka Belanja Modal juga akan naik. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) yang menyatakan bahwa PAD dan DAU secara simultan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
4.3.3 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variable dependen yang diukur
53
dalam persentase. Nilai R2 yang besar menunjukkan bahwa kemampuan variable independen dalam menjelaskan variable dependen sangat baik. Hasil uji koefisien determinasi dapat dilihat pada table 4.4 Tabel 4.4 Hasil Uji Koefisien Determinasi
b
Model Summary
Model 1
R .784
R Square a
.615
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .599
Durbin-Watson
4.27006E10
1.927
a. Predictors: (Constant), PDRB, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah b. Dependent Variable: Belanja Modal
Dari table 4.4 dapat dilihat bahwa besar
R2 adalah 0,615. Hal ini
menunjukkan bahwa korelasi atau hubungan Belanja Modal dengan PAD, DAU dan PDRB sebagai variable independennya adalah 61,5%. Hal ini berarti bahwa 61,5% variasi atau perubahan Belanja Modal dapat dijelaskan PAD, DAU dan PDRB sedangkan 38,5% sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain yang tidak diteliti.
54
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan Simpulan dari hasil pengolahan dan analisis data adalah sebagai berikut: 1. Kenaikan jumlah PAD atau DAU mempunyai pengaruh secara parsial terhadap belanja modal, namun pengaruh kenaikan DAU jauh lebih besar terhadap Belanja Modal daripada pengaruh kenaikan PAD. Hal ini sesuai dengan Holtz Eakin at al (dalam Haryanto dan Hari Adi, 2005) yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan erat antara transfer dana dari pusat dengan belanja modal. 2. PAD dan DAU secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hal ini sesuai dengan penelitian Daryanto dan Yulia Yustikasari (2007), yang menyatakan PAD dan DAU memiliki pengaruh positiF signifikan terhadap belanja modal. Dengan kata lain semakin tinggi PAD dan DAU maka pemerintah daerah akan lebih leluasa membuat pengeluaran melalui alokasi Belanja Modal. 3. PAD, DAU dan PDRB memiliki pengaruh yang sangat besar, hal ini digambarkan besar R2 yang sebesar 0,615 . Artinya perubahan Belanja Modal dipengaruhi PAD dan DAU sebesar 61,5% sisanya 3853% dipengaruhi factor-faktor lain yang tidak diteliti.
5.2
Saran
55
1. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya memasukkan faktor-faktor selain PAD, DAU dan PDRB yang dapat mempengaruhi belanja modal. 2. Bagi pemerintah daerah perlu lebih menggali lagi potensi sumbersumber PAD masing-masing daerah supaya lebih mampu melakukan pengeluaran demi kepentingan publik tanpa memiliki ketergantungan yang sangat besar kepada pemerintah pusat.
56
DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim. 2004. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat. Abdullah. 2007. Hubungan Belanja Modal dengan Belanja Pemeliharaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia Periode 2003-2004. Tesis. Sekolah Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. http://lib.feb.ugm.ac.id Badan Pusat Statistik. 2008. PDRB Sumatera Utara Dalam Angka 2003-2007 Menurut Kabupaten/Kota Medan: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2011. PDRB Sumatera Utara Dalam Angka 2006-2009 Menurut Kabupaten/Kota Medan: Badan Pusat Statistik. Bland, Robert dan Samuel Nunn. 1992. The Impact of Capital Spending on Municipal Operating Budgets. Public Budgeting and Finance (Summer) Vol. 12 Issue 2, 32-47. http://www3.interscience.wiley.com Daftar Nama Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. http://www.sumutprov.go.id Darwanto, Yulia Yustikasari. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. Akses Download: 25 Juli 2012. 20.00 WIB. David Harianto, Priyo Hari Adi. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per kapita. Simposium Nasional Akuntansi IX.Padang. Akses Download: 10 Mei 2012. 19.00 WIB Deddi Nordiawan, dkk. 2008. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba Empat, Cetakan Ketiga. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Modul Akuntansi Pemerintah Daerah: Akuntansi di Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics, 4th Edition, New York, McGraw Hill. Imam Ghozali. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Undip. Indra Bastian. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Kamenskey, John M. 1984. Budgeting for State and Local Infrasrtucture: Developing a Strategy. Public Budgeting and Finance (Autum), 3-17. http://www3.interscience.wiley.com Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. http://www.medan.bpk.go.id
57
Mudrajad Kuncoro. 2003. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi: Bagaimana Meneliti & Menulis Tesis?, Jakarta : Erlangga. --------------------------. 2007. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta: STIM YKPN, Edisi Ketiga. Mursyidi. 2009. Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, Cetakan Pertama. Nur Indriantoro & Bambang Supomo, 2002. Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi & Manajemen, Yogyakarta : BPFE. Pagano, Michael. 1984. Notes on Capital Budgeting. Public Budgeting and Finance 4 (Autum), 31-40. http://www3.interscience.wiley.com Patten, Denis M dan Jacob R. Wambsganss. 1991. Accounting for Fixed Asset in a Nonprofit Environment: A Recomendation. The Government Accountants Journal Vol. 40, Issue 3, 44-48. http://www.proquest.com Republik Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun2003 tentang Keuangan Negara. --------------------------, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. --------------------------, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. --------------------------, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. --------------------------, Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. --------------------------, Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro. 2008. Cara Menggunakan dan Memakai analisis Jalur (Path Analysis). Bandung: Alfabeta. Cetakan 2. R. Gunawan Sudarmanto. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Edisi Pertama. Sadono Sukirno. 2007. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Kencana. Edisi Kedua, Cetakan Kedua. Sekaran, Uma. 2006. Research Method For Business: Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Terjemahan Kwan Men Yon, Jakarta: Salemba Empat, Buku 2, Edisi 4. Singgih Santoso. 2003. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sri Sularso. 2004. Metode Penelitian Akuntansi : Sebuah Pendekatan Replikasi. Yogyakarta : BPFE UGM. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, Cetakan ke-13. Sujoko Efferin, dkk. 2008. Metode Penelitian Akuntansi: Mengungkap Fenomena dengan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Jogyakarta: Graha Ilmu. Syaiful. Pengertian dan Perlakuan Akuntansi Belanja barang dan Belanja Modal dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. http://www.ksap.org/Riset&Artikel/ (01/08/10)
58
Syukriy Abdullah. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Aset Daerah. http://www.swamanndiri.wordpress.com (28/06/10) Thomassen, Henry. 1990. Capital Budgeting for A State. Public Budgeting and Finance 10 (Winter), 72-86.
59