FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PENDERITA JERAWAT UNTUK MELAKUKAN HIGIENE KULIT DI POLI KULIT DAN KELAMIN RS SINT CAROLUS JAKARTA PUSAT 2007 Cornelia Dede Yoshima Nekada INTISARI Latar Belakang: Jerawat merupakan masalah kesehatan yang sangat mengganggu penampilan kulit wajah. Masalah jerawat sering timbul pada seseorang yang memasuki usia remaja. Sekitar 80% dari remaja yang memasuki usia remaja mengalami jerawat. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut kelenjar minyak (sebasea) menjadi sangat aktif akibat kerja dari hormon androgen (hormon pertumbuhan). Jerawat dapat dicegah ataupun diminimalkan pertumbuhannya apabila seorang individu, dengan teratur menjaga kebersihan kulit wajahnya. Tujuan Penelitian: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita jerawat untuk teratur menjaga kebersihan kulit wajah. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan kuantitatif, metode pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah convenience sampling, dengan metode analisis data adalah chi-square. Hasil penelitian: Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir responden dengan kepatuhan untuk melakukan hygiene kulit (ρ=0,233), tidak ada hubungan antara umur responden dengan kepatuhan untuk melakukan hygiene kulit (ρ=0,452), ada hubungan antara status sosial ekonomi responden dengan kepatuhan untuk melakukan hygiene kulit (ρ=0,002), tidak ada hubungan antara motivasi responden dengan kepatuhan untuk melakukan hygiene kulit (ρ=0,498), tidak ada hubungan antara dukungan sosial responden dengan kepatuhan untuk melakukan hygiene kulit (ρ=0,498). Kesimpulan dan saran: Penelitian ini menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi seorang individu akan sangat mempengaruhi kepatuhannya untuk melakukan hygiene kulit. Saran dari penelitian ini adalah individu yang memiliki jerawat diharapkan dapat teratur menjaga kebersihan kulit wajah dan tidak sembarangan dalam menggunakan kosmetik. Sebaiknya kosmetik maupun sabun yang dibersihkan untuk membersihkan kulit wajah disesuaikan dengan jenis kulit.
PENDAHULUAN Penampilan seseorang, terutama sangat diwakili oleh keadaan kulit wajah. Namun terkadang tidak selamanya kulit wajah seseorang mulus dan terbebas dari berbagai penyakit. Penyakit yang sering muncul dan sangat mengganggu penampilan kulit wajah
salah satunya adalah jerawat. Individu yang mukanya penuh jerawat, kulitnya berlubang-lubang, bernoda coklat akibat bekas jerawat, akan sulit bersaing dengan rekannya yang berwajah cerah, meskipun ia juga mempunyai kelebihan dan ketrampilan (Dwikarya, 2006).
27
Jerawat adalah penyakit kulit yang cukup besar jumlah penderitanya. Hampir setiap orang pernah mengalami gangguan jerawat. Kligmann, seorang ahli peneliti masalah jerawat ternama di dunia, berpendapat,“ Tak ada satu orang pun di dunia yang melewati masa hidupnya tanpa sebuah jerawat di kulitnya”(Dwikarya,2006) Jerawat sering terjadi pada kaum remaja, usia 15-19 tahun pada wanita dan 17-21 tahun pada pria, hal ini dikarenakan pada masa tersebut kelenjar-kelenjar minyak (kelenjar sebasea) menjadi sangat aktif akibat kerja hormon androgen ( hormon pertumbuhan ) yang meningkat saat seseorang berada dalam masa remaja. (Dwikarya, 2006). Pada seorang gadis, jerawat dapat terjadi disaat-saat menjelang menstruasi (premenarke). Setelah masa remaja kelainan ini berangsur-angsur berkurang. Namun kadang-kadang, terutama pada wanita, jerawat dapat menetap sampai umur 30an bahkan lebih ( Wasitaatmadja dalam Djuanda, 2005 ). Pada pria umumnya jerawat lebih cepat berkurang, namun justru gejala jerawat yang berat biasanya terjadi pada pria. (Wasitaatmadja dalam Djuanda, 2005). Menurut Made Cock Wirawan dalam artikel yang ditulisnya pada website kalbefarma, pada tanggal 14 Mei 2006, ia mengemukakan bahwa 80% remaja pada usia 11-30 tahun pernah menderita jerawat. Hasil penelitian yang lain menunjukkan sebanyak 85% populasi mengalami jerawat pada usia 12-25 tahun, 15% populasi mengalami jerawat hingga usia 25 tahun. Jika tidak teratasi dengan baik, gangguan jerawat dapat menetap hingga usia 40 tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jerawat, 12 November 2006). Dari hasil data yang dicatat oleh bagian Poli Kulit dan
Kelamin RS Sint Carolus sejak tanggal 27 Oktober 2003 sampai dengan 9 Februari 2007, pasien yang berobat dengan diagnosa jerawat adalah sekitar 1.435 pasien. Apabila masalah jerawat tidak segera diatasi, maka selain dapat meninggalkan luka bekas jerawat di wajah, dapat pula menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu dampak psikologis. Diantaranya adalah rasa kurang percaya diri, menjadi enggan untuk bersosialisasi, sehingga dapat menjadi penghalang untuk berprestasi. (Tejaatmadja, 2006) Pengobatan jerawat dilakukan lebih ditujukan untuk mengontrol jerawat, membuat penampilan lebih baik, dan menghindari terjadinya luka parut akibat peradangan. Peradangan dapat terjadi apabila seseorang senang memegang dan memencet-mencet jerawatnya. (Dwikarya, 2006). Untuk itulah diperlukan adanya support sistem bagi penderita jerawat, yang senantiasa berperan untuk memberi dukungan dalam proses penyembuhan bagi penderita jerawat. Support sistem meliputi memberikan informasi yang cukup pada penderita mengenai penyebab penyakit, pencegahan, dan cara maupun lama pengobatannya, serta prognosisnya. Hal ini penting agar penderita tidak underestimate atau overestimate terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan sehingga membuatnya putus asa dan kecewa. (Wasitaatmadja dalam Djuanda, 2005) Menjaga kebersihan kulit wajah dengan teratur merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk mencegah timbulnya jerawat serta mencegah bertambah parahnya jerawat yang sudah ada. (Dwikarya, 2006). Higiene kulit dilakukan dengan cara membersihkan
28
permukaan kulit dari kotoran dan jasad renik yang mempunyai peran pada etiopatogenesis jerawat, serta menggunakan kosmetika secukupnya baik banyaknya maupun lamanya. (Wasitaatmadja dalam Djuanda, 2005)
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan kuantitatif. Hubungan yang dicari adalah faktor pendidikan, umur, sosial-ekonomi, motivasi, dan dukungan sosial dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan higiene kulit. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita jerawat yang sedang menjalani perawatan di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat, selama bulan 30 Maret sampai dengan 30 Mei 2007. Pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah convinience sampling berdasarkan kriteria sample yang telah ditentukan. Jumlah sampel minimum pada penelitian ini adalah 61 responden. Dengan kriteria sampel: Penderita jerawat yang sedang menjalani perawatan di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta, penderita jerawat yang pernah mendapat pengobatan khusus oleh dokter kulit, usia 15-30 tahun, bersedia menjadi responden, dengan mengisi surat peryataan kesediaan responden. Dapat membaca, menulis dan berbahasa Indonesia. Analisa data dalam penelitian ini meliputi analisa univariat dan analisa bivariat. Analisa univariat digunakan untuk melihat frekuensi dan presentase dari variabel yang diteliti. Analisa bivariat penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelatif dengan pendekatan kuantitatif, untuk mengetahui hubungan antara masingmasing variabel independen dengan
variabel dependen dan sesuai dengan skala ukur yang telah diuraikan pada definisi operasional, maka uji statistik yang digunakan adalah Chi Square, dengan menggunakan tingkat kemaknaan (α) 5 % = 0,05, jika hasil hitung (ρ) < 0,05 berarti gagal tolak hipotesa alternatif (Ha), hal ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel dependen. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisa Univariat Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik Pada Penderita Jerawat di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Rincian Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Umur 15-20 tahun 21-30 tahun Tingkat Pendidikan SMA PT Status Sosial Ekonomi Kurang Cukup Motivasi Kurang Baik Dukungan Sosial Kurang Baik Total
Frekuensi
Persentase
25 37
40.33 % 59.7 %
19 43
30.6 % 69.4 %
34 28
54.8 % 45.2 %
35 27
56.5 % 43.5 %
29 33
46.8 % 53.2 %
29 33 70
46.8 % 53.2 % 100 %
2. Analisa Bivariat Tabel 2. Hubungan Karakteristik Responden dengan Kepatuhan Melakukan Hygiene Kulit Penderita Jerawat di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta
29
Pendidi kan terakhir SMA PT Umur (Tahun) 15-20 21-30 Status Sosial Ekono mi Kurang Cukup Motivasi Kurang Baik
Tidak Patuh
Patuh
Σ % 16 47.1 9 32.1 Tidak Patuh Σ % 9 47.4 16 37.2 Tidak Patuh
Σ 18 19
Σ % 20 57.1 5 18.5 Tidak Patuh Σ % 13 44.8 12 36.4
Σ 15 22
% 52.9 67.9
Patuh Σ 10 27
% 52.6 62.8
Patuh
% 42.9 81.5
Patuh Σ 16 21
% 55.2 63.6
Total Σ 34 28
% 100 100
Total Σ 19 43
% 100 100
Total
Σ 35 27
% 100 100
Total Σ 29 33
% 100 100
Nilai ρ
dimiliki oleh responden, diharapkan dapat menjadi faktor predisposisi untuk teratur menjaga kebersihan kulit wajah. Menurut Suwarno (1992), pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita ataupun harapan tertentu. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa sebagian responden yang menjalani perawatan wajah di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus, memiliki pendidikan terakhir adalah SMA sebanyak 54,8% dan Perguruan Tinggi sebanyak 45,2%. Dari hasil uji statistik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pendidikan terakhir responden dengan kepatuhannya untuk melakukan higiene kulit, ternyata di dapatkan bahwa nilai keterkaitan (ρ) antara pendidikan terakhir dan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan higiene kulit adalah sebesar 0,233. Nilai ini melebihi nilai alpha (0,05), yang berarti tidak ada hubungan antara pendidikan yang dimiliki responden dengan kepatuhan untuk melakukan higiene kulit. Dari hasil penelitian ternyata ada 52,9% yang memiliki pendidikan terakhir SMA dan patuh untuk melakukan higiene kulit, sedangkan yang memiliki pendidikan terakhir Perguruan Tinggi, ada 67,9% yang patuh untuk melakukan higiene kulit. Sedangkan responden dengan pendidikan terakhir SMA yang tidak patuh untuk melakukan higiene kulit adalah sebanyak 47,1%, dan responden dengan pendidikan terakhir Perguruan Tinggi yang tidak patuh adalah sebanyak 32,1%. Hasil ini mempunyai makna bahwa, baik responden yang memiliki pendidikan terakhir SMA maupun Perguruan Tinggi, keduanya sama-sama lebih banyak yang patuh, ini menunjukkan bahwa pendidikan terakhir
0.233 Nilai ρ 0.452 Nilai ρ
0.002 Nilai ρ 0.498
Dilihat dari umur responden yang menjalani perawatan wajah di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus, ternyata sebagian besar responden berumur 21-30 tahun, sebanyak 69,4 %. Pada responden yang berumur 21-30 tahun, merupakan responden dengan kategori usia dewasa muda, pada usia tersebut seorang individu telah disibukan dengan kegiatan di luar rumah dan urusan pekerjaan yang menumpuk sehingga dapat menjadi stressor bagi individu. Stres inilah yang akan memicu kegiatan kelenjar sebasea pada wajah sehingga dapat menimbulkan jerawat. (Dwikarya, 2006). Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan selama penelitian di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus, responden yang menjalani perawatan wajah, sebagian besar memiliki pendidikan terakhir SMA sebanyak 54,8% dan yang memiliki pendidikan terakhir Perguruan Tinggi sebanyak 45,2%. L. Green (1980) dalam Soekidjo (2003), mengatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi dalam perubahan prilaku seseorang. Dengan latar belakang pendidikan yang 30
yang dimiliki oleh penderita jerawat tidak memberi banyak pengaruh untuk patuh melakukan higiene kulit atau tidak. Menurut Suwarno (1992), pendidikan adalah suatu bimbingan ke arah suatu cita-cita atau harapan tertentu. Namun tidak semua orang dengan pendidikan terakhir tinggi dapat melakukan perubahan perilaku terkait kesehatan secara baik, semua ini masih dipengaruhi oleh berat ringannya suatu penyakit yang diderita. (Niven, 2007). Jerawat dipandang sebagai penyakit yang ringan dan tidak akan membahayakan nyawa secara langsung, sehingga bagi sebagian orang, penyakit ini tidak perlu membutuhkan konsentrasi penuh terkait cara penyembuhannya. Sesuai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap responden jerawat yang menjalani perawatan wajah di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus, ternyata menghasilkan nilai ρ sebesar 0,452. Angka ini menunjukkan nilai > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara variabel independent dalam hal ini umur responden dengan variabel dependen yaitu kepatuhan untuk melakukan higiene kulit. Pada responden dengan umur1520 tahun, sebanyak 47,4% tidak patuh untuk melakukan higiene kulit dan yang patuh untuk melakukan higiene kulit sebanyak 52,6%. Sedangkan pada responden dengan umur 21-30 tahun, sebanyak 37,2% tidak patuh untuk melakukan higiene kulit dan yang patuh untuk melakukan higiene kulit sebanyak 62,8%. Dari angka ini terlihat bahwa baik responden dengan usia 15-20 tahun, maupun responden dengan usia 21-30 tahun, keduanya sama-sama lebih banyak yang patuh untuk melakukan higiene kulit.
Jerawat akan timbul pada umur sekitar 15-19 tahun pada wanita dan 1721 tahun pada pria, hal ini dikarenakan pada masa tersebut kelenjar-kelenjar minyak (kelenjar sebasea) menjadi sangat aktif akibat kerja hormon androgen (hormon pertumbuhan) yang meningkat saat seseorang berada dalam masa remaja. Namun kadang-kadang, terutama pada wanita, jerawat dapat menetap sampai umur 30-an bahkan lebih ( Wasitaatmadja dalam Djuanda, 2005 ). Menurut Wasitaatmadja dalam Djuanda (2005) setiap orang yang menginjak usia remaja pasti akan tumbuh jerawat, parah atau tidaknya jerawat yang timbul sangat tergantung dengan sistem hormon dalam tubuh seseorang dan juga aktivitasnya yang dapat merangsang kerja kelenjar minyak. Wasitaatmadja dalam Djuanda (2005), juga mengatakan jerawat akan sembuh dengan sendirinya apabila tidak terkontaminasi dengan kuman dari luar, misalnya dengan perilaku memencet jerawat. Penelitian ini memberikan hasil bahwa ternyata ada 57,1% responden yang memiliki status sosial ekonomi kurang, tidak patuh untuk melakukan higiene kulit, sedangkan yang patuh sebanyak 42,9%. Pada responden dengan status sosial ekonomi cukup terdapat 18,5% yang tidak patuh untuk melakukan higiene kulit, sedangkan yang patuh sebanyak 81,5%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai keterkaitan (ρ) antara status sosial ekonomi dan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan higiene kulit yaitu 0,002. Angka ini lebih kecil dari nilai alpha (0,05), yang berarti ada hubungan bermakna antara status sosial ekonomi yang dimiliki penderita jerawat dengan
31
kepatuhan untuk melakukan higiene kulit. Menurut Dwikarya (2006) dan Wasitaatmadja dalam Djuanda (2005), mengemukakan bahwa untuk mengobati jerawat dibutuhkan serangkaian terapi yang harus dilakukan secara berkesinambungan, mulai dari konseling predisposisi yang dilakukan dengan dokter untuk menentukan penyebab jerawat dan terapi yang cocok, sampai dengan pemberian antibiotik, obat topikal bahkan bedah kulit. Semua hal tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar. Menurut Teori Abraham Maslow, bahwa manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan dasar dalam hidupnya, dan tingkat tersebut harus dilewati secara berurutan. Apabila kebutuhan paling dasar manusia tersebut belum terpenuhi, maka kebutuhan yang lainpun akan sulit terpenuhi. Untuk melakukan perawatan kulit wajah, sangat membutuhkan biaya besar, dan kebutuhan untuk menjaga kebersihan kulit wajah ini bukanlah merupakan kebutuhan yang bersifat mendasar bagi manusia. Apabila kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan belum terpenuhi dalam diri invidu tersebut, maka usaha untuk menjaga kebersihan kulit wajahpun akan sangat menjadi pertimbangan. Karena untuk membeli sabun mukapun, harus disesuaikan dengan jenis kulit wajah dari individu terkait, dan hal tersebut membutuhkan biaya, sehingga bagi penderita jerawat yang memiliki status sosial ekonomi kurang akan menghadapi kesulitan untuk patuh menjaga kebersihan kulit wajah. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Pender (1987), bahwa keadaan ekonomi seseorang akan sangat mempengaruhi sikapnya dalam
mengambil resiko saat menjalani pengobatan. Menurut Aktus dalam Handoko (1992), mengemukakan bahwa tindakan atau tingkah laku yang tampak tidak selalu dapat dijadikan dasar penilaian untuk mengukur pribadi seseorang. Hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi sendiri bukan merupakan suatu kekuatan yang netral, atau kekuatan yang kebal terhadap pengaruh faktor-faktor lain, misalnya pengalaman masa lampau, taraf intelegensi, kemampuan fisik, situasi lingkungan, cita-cita hidup dan sebagainya. ( Handoko, 1992) Dari hasil penelitian ini ternyata responden yang memiliki motivasi baik dan patuh untuk melakukan higiene kulit sebanyak 63,6%, sedangkan responden yang memiliki motivasi kurang dan patuh untuk melakukan higiene kulit sebanyak 55,2%. Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa ternyata angka keterkaitan antara motivasi yang dimiliki responden dengan kepatuhan untuk melakukan higiene kulit memiliki nilai (ρ) sebesar 0,498. Angka ini melebihi nilai alpha (0,05), yang berarti tidak ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan untuk melakukan higiene kulit. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mackie & Worth (1989) dalam Niven (2000), mengatakan pentingnya keyakinan pada perubahan sikap, jika seseorang sudah memikirkan argumen balasan, maka pesan yang disampaikan akan sulit untuk mengubah sikapnya. Sehingga terkadang seseorang dapat melakukan hal sebaliknya dari yang diperintahkan ( Worchel & Brehm, 1971). Seorang penderita jerawat yang telah memiliki asumsi dalam dirinya
32
bahwa untuk mendapatkan kulit wajah bersih tanpa jerawat, tidak cukup dengan hanya menjaga kebersihan kulit wajah, melainkan juga membutuhkan perawatan dan pengobatan untuk merangsang pertumbuhan sel kulit baru, maka ia akan perilakunya akan lebih terfokus krimkrim obat wajah. Sehingga motivasi untuk mencegah jerawat dengan melakukan higiene kulit turun dan hanya patuh dalam menjalani pengobatan jerawat saja. Kondisi inilah yang mengakibatkan jerawat timbul lagi, setelah seseorang selesai melakukan pengobatan. Karena kulit yang halus setelah pengobatan tidak disertai lagi dengan tindakan menjaga kebersihan kulit wajah. Menurut WHO dalam Soekidjo (2003), sikap atau perilaku seseorang akan diikuti atau tidak diikuti, terkait suatu tindakan, akan sangat bergantung pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa responden yang mendapat dukungan sosial kurang dan tidak patuh untuk melakukan higiene kulit adalah sebanyak 44,8%, sedangkan yang patuh ada sebanyak 55,2%. Pada responden dengan dukungan sosial baik namun tidak patuh untuk melakukan higiene kulit, terdapat 36,4%, sedangkan responden yang patuh sebanyak 63,6%. Dari responden yang mendapat dukungan kurang maupun baik, keduanya memiliki jumlah presentasi yang lebih banyak terdapat pada responden yang patuh. Dari hasil uji satistik didapatkan angka keterkaitan (ρ) antara dukungan sosial yang dimiliki penderita jerawat dengan kepatuhan melakukan higiene kulit yaitu 0,498. Nilai ini melebihi dari nilai alpha yaitu 0,05, yang berarti tidak ada hubungan antara dukungan sosial dengan
kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan higiene kulit wajah. Menurut Snyder & Rothbart (1971) dalam Niven (2000), bahwa jika komunikator memiliki kesamaan dengan penerima pesan, maka komunikator tersebut mempunyai kemampuan persuasif untuk meyakinkan penerima pesan. Begitu pula dengan penderita jerawat, ia akan lebih yakin melakukan nasehat dari orang yang sama-sama memiliki pengalaman berjerawat di bandingkan dengan orang yang tidak pernah berjerawat sebelumnya. Menurut Hennigan dkk (1982) dalam Niven (2000), bahwa kemampuan seorang dalam hal mempengaruhi orang lain untuk menaati nasehat kesehatan, sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keahlian yang dimiliki orang tersebut. Begitu pula dengan seorang penderita jerawat, ia akan lebih patuh pada orangorang yang memiliki kapasitas tersendiri mengatasi masalah jerawat seperti dokter kulit maupun klinisi kecantikan. Menurut Dwikarya (2006) dan Wasitaatmadja dalam Djuanda (2005), bahwa selain menjaga kebersihan kulit wajah dengan teratur, juga dibutuhkan serangkaian pengobatan teratur untuk merangsang pengelupasan kulit dan membentuk kulit baru yang lebih bersih. Maka nasehat dari keluarga maupun teman untuk rajin menjaga kebersihan kulit wajah, sesungguhnya tidak terlalu memberi pengaruh bagi penderita jerawat, karena untuk menyembuhkan jerawat dibutuhkan pula pengobatan. KESIMPULAN a. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan hygiene kulit di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat.
33
b. Tidak ada hubungan antara umur dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan hygiene kulit di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat. c. Ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan hygiene kulit di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat. d. Tidak ada hubungan antara motivasi yang dimiliki responden dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan hygiene kulit di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat. e. Tidak ada hubungan antara dukungan sosial yang dimiliki responden dengan kepatuhan penderita jerawat untuk melakukan hygiene kulit di Poli Kulit dan Kelamin RS Sint Carolus Jakarta Pusat DAFTAR PUSTAKA 1. Arikunto, S. (2002), Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Ed ke 5. Jakarta : Rineka Cipta 2. Dempsey, P. A & Dempsey, A. D. (2002), Riset keperawatan : buku ajar & latihan. Ed ke 4, Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC 3. Djuanda, A. (2005), Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed ke 4. Jakarta : FK-UI 4. Dwikarya, M. (2006), Cara tuntas membasmi jerawat. Jakarta : Kawan Pustaka
5. _________. (2006), Merawat kulit & wajah. Jakarta : Kawan Pustaka 6. Friedman, M. M. (1998), Keperawatan keluarga teori dan praktek. Cetakan I, Jakarta : EGC 7. Handoko, M. (2006), Motivasi : daya penggerak tingkah laku. Yogyakarta : Kanisius 8. Machfoedz, Ircham, (2005) Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan Kebidanan, ed.1. Yogyakarta: Fitramaya 9. Niven, N. (2000), Psikologi Kesehatan : pengantar untuk perawat & pengantar kesehatan yang lain. Ed ke 2, Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC 10. Nursalam. (2003), Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan : pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. Ed. ke 1. Jakarta : Salemba Medika 11. Smet, B. (1994), Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo 12. Soekidjo, N. (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Cetakan pertama. Jakarta : PT. Rineka Cipta 13. _________. (2005), Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta 14. Soetjiningsih. (2004), Tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. Ed ke 1. Jakarta : Sagung Seto 15. Uyanto, S, S. (2006), Pedoman Analisa Data dengan SPSS. Yogyakarta : Graha Ilmu
34