FAKTOR-FAKTOR PADA PMO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU DI KOTA CIREBON Omay Rohmana1, Suhartini2, Andi Suhenda3 ABSTRAK Penyakit tuberkulosis (TB paru) merupakan masalah yang masih belum dapat dituntaskan. Data Program P2TB Kota Cirebon tahun 2011 menunjukkan, 91% (CR)/263 orang sembuh, 2.2%/7 orang meninggal, 4.5%/13 orang DO, 2.08%/6 orang gagal, ini telah mencapai indikator keberhasilan nasional, tetapi beberapa puskesmas masih berada di bawah indikator nasional, yaitu Puskesmas Perumnas Utara (Cure Rate/CR 60%), Larangan (CR 70.37%) Puskesmas Kesambi (CR 66.67%), dan Jl. Kembang (CR 75%). Hal ini menunjukkan, peran PMO masih belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pada Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru, serta variabel dominan yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru. Menggunakan desain penelitian case control, jumlah sampel minimal kasus 34 sampel, perbandingan kasus dan kontrol 1 : 2, jumlah sampel keseluruhan adalah 102 (34 kasus dan 68 kontrol), teknik pengambilan sampel random sampling. Kriteria responden: PMO penderita TB paru yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hasil penelitian menunjukkan variabel tingkat pengetahuan PMO (p= 0.013, α=0.05) dan penyuluhan (p=0.000, α=0.05) berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Penyuluhan merupakan variabel dominan yang mempengaruhi 6.018 kali kepatuhan berobat penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan PMO dan penyuluhan mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru, dengan faktor dominan adalah penyuluhan. Saran dari penelitian ini adalah meningkatkan upaya untuk meningkatkan pengetahuan PMO. Studi untuk mengetahui efektifitas asuhan keperawatan keluarga dalam membina peran PMO sangat diperlukan. Kata kunci : Pengawas Minum Obat (PMO), kepatuhan
ABSTRACT Pulmonary Tuberculosis is a problem which cannot totally be solved. Based on the data of P2TB program Cirebon 2011, 91% (CR)/263 people recovered, 4.5%/13 people DO, 2.08%/6 people failed. It has achieved standard of national success. However, some of public health center still lay under national standard point, such as Puskesmas Perumnas Utara (Cure Rate/CR 60%), Puskesmas Larangan (CR 70.37%) Puskesmas Kesambi (CR 66.67%), dan Jl. Kembang (CR 75%). It shows the rule of PMO is not maximized. The purpose of this research is to discover the correlation between the factors which are exist in taking medicine observer (Pengawas Minum Obat / PMO) towards medication compliance of pulmonary tuberculosis patients. And also, dominant variables that influence medication compliance of pulmonary tuberculosis patients. 1 2 3
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret 2014
Research methode is case control study, numbers of samples are 102 (34 case, 68 control, sampling tecnique random sampling The result of research shows that variable of PMO’s knowledge leve l(p= 0.013, α=0.05), and health education (p=0.000, α=0.05) correlated towards medication compliance of pulmonary tuberculosis patients. health education is dominant variable that 6.018 times towards medication compliance of pulmonary tuberculosis patient Eknowledge level of PMO and counselling influence compliance medicinize patient of TB paru, with dominant factor is counselling. The suggestion of this study is to increase the efforts in developing the knowledge of PMO. A study to find out the effectiveness of family nursing care in building PMO’s rule is highly needed. Keywords: Taking Medicine Observer (PMO), Compliance
PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis (TB paru) merupakan salah satu masalah yang sampai
saat
ini
masih
belum
dapat
dituntaskan.
Berdasarkan
Global
Tuberkulosis Control, data tahun 2007, prevalensi TB paru untuk semua tipe adalah 224 per 100.000 penduduk atau 565.614 per tahun dengan tingkat kematian 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang perhari (Depkes RI, 2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan, bahwa TB paru merupakan penyebab kematian nomor satu (27,8%) diantara penyebab kematian dari penyakit menular dan penyebab kematian
nomor dua (7,5%)
setelah stroke diantara penyebab kematian dari penyakit menular dan tidak menular (Depkes RI, 2008) Sejak
tahun
1995,
Indonesia
menerapkan
strategi
baru
dalam
pemberantasan TB paru. Obat yang digunakan merupakan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek (6 bulan) dan pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) digunakan untuk melengkapi strategi tersebut (Manaf,
1996
sebagaimana dikutip dalam Gitawati & Sukasediati, 2002).
Indikator keberhasilan strategi ini adalah angka konversi minimal 80% yaitu prosentasi penderita baru TB paru dengan BTA positif menjadi BTA negatif setelah menjalani pengobatan masa intensif, angka kesembuhan (cure rate) minimal 85% yaitu prosentasi penderita TB paru baru dengan BTA positif yang sembuh setelah masa pengobatan
diantara penderita TB paru baru yang
tercatat, angka gagal tidak boleh lebih dari 4%, dan angka default/drop out tidak boleh lebih dari 10% yang
tinggi
karena akan menghasilkan proporsi kasus retreatment
dimasa yang
akan
datang
karena
ketidakefektifan
dalam
pengendalian tuberkulosis (Depkes RI, 2010). Selain itu, ketidakefektifan juga
932
Faktor-Faktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kota Cirebon Omay Rohmana, Suhartini, Andi Suhenda
dapat meningkatkan
resiko terjadinya resistensi kuman mycobacterium
tuberkulosis terhadap OAT (Aditama, 2006) Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2TB) Dinas Kesehatan Kota Cirebon priode Januari – Desember 2011, melaporkan, bahwa terdapat 289 orang penderita TB paru dengan BTA + yang tersebar di 21 puskesmas Kota Cirebon. Data menunjukkan, bahwa 91% (CR) / 263 orang berhasil sembuh, 2.2% / 7 orang meninggal dunia, 4.5% / 13 orang drop out/pindah, dan 2.08% / 6 orang gagal. Secara umum dengan melihat indikator keberhasilan nasional, maka pencapaian program pemberantasan TB paru paru
di Kota Cirebon
tersebut masih melampaui indikator nasional, tetapi bila dilihat secara khusus per puskesmas, maka ada beberapa puskesmas yang masih berada di bawah indikator nasional, yaitu
Puskesmas Perumnas Utara (Cure Rate/CR 60%),
Larangan (CR 70.37%) Puskesmas Kesambi (CR 66.67%), dan Jl. Kembang (CR 75%). Hal ini menunjukkan, bahwa strategi DOTS pada puskesmas tersebut masih belum optimal. Strategi DOTS menekankan kepada adanya pengawas minum obat (PMO) untuk setiap penderita TB paru dengan harapan dapat menjamin keteraturan minum obat setiap penderita TB paru selama masa pengobatan (WHO, 1999 sebagaimana dikutip dalam Mukhsin, Mahendradhata, Ahmad, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa strategi DOTS dengan pendekatan PMO membuahkan hasil yang cukup efektif dalam upaya pengobatan. TB paru. Gitawati dan Sukasediati, (2002) melakukan penelitian studi kasus hasil pengobatan tuberkulosis paru di 10 puskesmas di DKI Jakarta, antara tahun 1996 – 1999 dan menunjukkan, bahwa hasil pengobatan tahun 1996 – 1997 tanpa menerapkan pendekatan DOTS terhadap kasus – kasus di puskesmas masih belum sesuai dengan indikator program pemberantasan TB paru (angka konversi 67,7%, drop out 20,4%, angka kesembuhan 75,4%, tetapi pada penderita TB paru dengan pengobatan dan menggunakan pendekatan DOTS ( tahun 1998 – 1999) menunjukkan hasil yang berbeda (angka konversi 95,0%, angka drop out 8,3%, angka kesembuhan 85,0%) relatif lebih baik dan lebih mendekati indikator yang diharapkan. William, dkk. (1984 – 1994) sebagaimana dikutip dalam Permatasari (2005) mengungkapkan, bahwa pengobatan yang diawasi secara langsung menjadi relatif lebih sukses dalam pengelolaan populasi penderita yang sulit. Hasil penelitian lain, Mukhsin, dkk.,
933
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret 2014
(2006) mengungkapkan, bahwa salah satu faktor yang menentukan keteraturan pengobatan penderita TB paru adalah PMO Pengawasan PMO dalam menjamin kepatuhan berobat penderita TB paru merupakan prilaku (Kozier, 1997; Rowe, 2005). Prilaku PMO tersebut dipengaruhi oleh adanya faktor internal dan ekternal. Menurut Skiner sebagaimana
dikutip
dalam
Notoatmodjo (2003)
faktor
internal
adalah
karakteristik orang yang bersangkutan seperti tingkat kecerdasan, jenis kelamin, umur, dan sebagainya (tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis PMO, hubungan dengan penderita TB paru) dan faktor eksternal adalah lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya (tingkat pengetahuan, sikap, pengalaman PMO, penyuluhan, masalah, dan pelatihan yang pernah diikuti PMO). Keberadaan PMO sangat menunjang terhadap keberhasilan pengobatan TB paru, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun ekternal yang ada pada PMO, sehingga PMO dapat menjamin kepatuhan berobat penderita TB paru. Petugas kesehatan termasuk didalamnya adalah perawat kesehatan masyarakat sangat berperan dalam mensupervisi dan memberikan penyuluhan secara terus menerus terhadap PMO (Allender, 2001, Depkes RI, 2002). METODE PENELITIAN Penelitian hubungan antara faktor-faktor yang ada pada PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB paru menggunakan rancangan penelitian case control study, yaitu suatu penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif (Notoatmodjo, 2005). Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah PMO seluruh penderita TB paru yang sudah terdiagnosa BTA + maupun BTA -, dan mendapatkan terapi OAT di 6 puskesmas
Kota Cirebon. Jumlah sampel
penelitian kasus adalah 34 ditentukan dengan menggunakan rumus n = (p0.q0 + p1.q1)( Z1
- α/ 2+
Z1-ß )2 / (p1 - p0) 2, dengan nilai p0=0,68 dan p1=0,316 (
berdasarkan penelitian Widagdo, 2003), niali Z1 - α/ 2 dengan α : 0,05 = 1,96, dan Z1-ß dengan ß : 0,10 = 1,28. Besar sampel kasus dan kontrol ditentukan dengan
934
Faktor-Faktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kota Cirebon Omay Rohmana, Suhartini, Andi Suhenda
perbandingan 1 : 2 (Burman, 1997,
Budiarto, 2004), sehingga sampel
keseluruhan adalah 102 (34 kasus dan 68 kontrol). Proses pengumpulan data diawali dengan melakukan identifikasi penderita TB paru tidak patuh dan patuh berobat berdasarkan data TB 01 yang ada di puskesmas, kemudian menyusunnya ke dalam daftar penderita TB paru berdasarkan kriteria kepatuhan dan alamat penderira TB paru, lalu dilakukan random untuk menentukan sampel, dan selanjutnya dilakukan kunjungan rumah untuk memperoleh data melalui wawancara dan angket. Analisis data pada penelitian ini, yaitu analisis bivariat dengan teknik chi kuadrat, dan analisis multivariat dengan teknik regresi logistik ganda HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Karakteristik PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Tabel 1. Analisis Bivariat Hubungan Karakteristik PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Variabel
95%CI
Value
df
p
Sig
Umur
1.700
2
0.427
0.618
0.523
0.712
Jenis kelamin
0.103
1
0.748
0.855
0.328
2.228
Pendidikan
1.452
5
0.919
0.931
0.882
0.980
Pekerjaan
7.010
6
0.320
0.363
0.269
0.456
Jenis PMO
1.164
3
0.762
0.794
0.716
0.873
Hub.dengan penderita
6.789
1
0.341
0.373
0.279
0.466
Lower
upper
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dilihat, bahwa semua variabel karakteristik PMO memiliki nilai p lebih dari 0.05, oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel karakteristik PMO (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jenis PMO, dan hubungan dengan penderita TB paru) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Hubungan Pengalaman PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Tabel 2. Analisis Bivariat Hubungan Pengalaman PMO dengan KepatuhanBerobat Penderita TB Paru
935
Variabel
Value
Lama jd PMO Jml yg diawasi Jml yg sukses
5.453 0.996 2.946
df 2 2 2
p
Sig
0.065 0.608 0.229
0.039 0.686 0.245
95%CI Lower upper 0.002 0.077 0.596 0.776 0.162 0.329
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret 2014
Berdasarkan tabel 2. dapat dilihat bahwa nilai p semua variabel pengalaman PMO lebih besar dari 0.05, sehingga dapat simpulkan, bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel pengalaman PMO (lamanya menjadi PMO, jumlah penderita yang diawasi, dan jumlah penderita yang sukses sembuh) dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Tabel 3. Analisis Bivariat Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Variabel
Value
df
p
Sig
pengetahuan sikap
8.747 1.035
2 1
0.013 0.309
0.020 0.500
Lowr 0.000 0.130
95%CI Upper 0.047 1.933
Berdasarkan tabel 3 di atas, nilai p variabel tingkat pengetahuan adalah 0.013 lebih kecil dari 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Hubungan Penyuluhan dan Pelatihan yang Pernah Diikuti PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Tabel 4. Analisis Bivariat Hubungan antara Penyluhan dan Pelatihan yang Pernah Diikuti PMO dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Variabel
p
Sig
95%CI
Value
df
Lower
upper
Penyuluhan
29.935
2 0.000 0.000 0.000
0.029
Pelatihan
0.850
1 0.357 0.643 0.251
1.649
Berdasarkan tabel 4. di atas dapat dilihat, bahwa nilai p penyuluhan (0.000) lebih kecil dari 0.05, sehingga dapat disimpulkan, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel penyluhan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru. Penentuan Model Analisis Multivariat Variabel bebas sebagai model pengujian adalah variabel yang telah diuji analisis bivariat dan memiliki nilai p < 0.25.
936
Faktor-Faktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kota Cirebon Omay Rohmana, Suhartini, Andi Suhenda
Tabel 5. Penentuan Model Variabel
Score
df
Lama jadi pmo Jml penderita sukses sembuh Tingkat pengetahuan PMO Penyuluhan
3.046 1.802 7.212 23.624
1 1 1 1
Sig. 0.81 0.179 0.007 .000
Berdasarkan tabel 5. di atas dapat dilihat, bahwa variabel tingkat pengetahuan PMO dan penyuluhan memiliki nilai sig. < 0.05, sehingga variabel tersebut memenuhi syarat untuk mengikuti proses pengujian berikutnya.
Variabel Bebas Dominan yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru Untuk dapat menentukan variabel bebas mana yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru, maka dapat melihat nilai odd ratio (OR) atau nilai Eks(B) pada hasil variabel in the equation Tabel 6. Nilai OR untuk Penyuluhan Variabel pengetahuan Penyuluhan
B
SE 0.312 1.795
Variabel Bebas Tingkat Pengetahuan dan Wald
0.328 0.902 0.503 12.720
df
Sig.
1 0.342 1 0.000
Exp(B) 1.366 6.018
95% C.I. Lower
Upper
0.718 2.245
2.600 16.138
Berdasarkan tabel 6. di atas, dapat dilihat bahwa nilai exp(B) variabel penyuluhan (6.018) paling tinggi di antara model yang diujikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel penyuluhan
merupakan variabel yang paling
dominan mempengaruhi 6.018 kali kepatuhan berobat penderita TB paru. Disamping itu, dengan melihat nilai exp (B),
rumus persamaan
regresinya dapat ditentukan, yaitu Y = 6.018X1 + 1.366X2. Persamaan tersebut menunjukkan, bahwa dalam penelitian ini, kepatuhan berobat penderita TB paru dipengeruhi oleh 6.018 kali penyuluhan dan 1.366 kali tingkat pengetahuan PMO. PEMBAHASAN Penelitian Chomisah (2001), responden yang tidak ada penyuluhan oleh petugas kesehatan berpeluang 2,381 kali untuk tidak patuh berobat. Hasil penelitian Fahruda, Supardi, Buiningsih (2002) menyatakan, bahwa penyuluhan mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru berobat. Penyuluhan dapat
937
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret 2014
dilakukan melalui kegiatan pemberian informasi/penyuluhan. Penelitian Senewe (1997) menyatakan, bahwa pemberian informasi/penyuluhan kepada penderita TB berpengaruh 4.19 kali untuk patuh/teratur berobat. Hal tersebut menunjukkan, bahwa penyuluhan sangat penting dalam proses pengobatan TB paru. Manaf (1995) mengatakan bahwa perlu untuk melengkapi penderita dengan informasiinformasi/penyuluhan kesehatan yang cukup jelas mengenai penyakitnya yang dapat disembuhkan serta memberikan semangat agar dapat memenuhi seluruh jadwal pengobatan. Untuk keberhasilan pengobatan/keteraturan minum obat, maka penyuluhan kesehatan itu sangat penting. Hasil-hasil
penelitian
tersebut
memperkuat
fakta,
bahwa
betapa
pentingnya meningkatkan penyuluhan oleh petugas kesehatan terhadap penderita TB paru, PMO, maupun keluarganya. Sujudi (1996) dan Abednego (1997) mengemukakan, bahwa untuk pemberantasan tuberkulosis paru, peran penyuluhan oleh tenaga kesehatan kepada setiap penderita/keluarga yang berobat sangat penting agar terjadi keteraturan berobat yang optimal. Hal yang sama diungkapkan oleh Manaf (1995), dalam pengobatan tuberkulosis perlu melengkapi penderita dengan informasi-informasi atau penyuluhan kesehatan yang cukup jelas mengenai penyakitnya yang dapat disembuhkan serta memberikan semangat agar dapat memenuhi seluruh jadwal pengobatan. Tingkat pengetahuan merupakan variabel kedua yang mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru berobat. Sejalan dengan hasil penelitian Zuliani (2001), bahwa tingkat pengetahuan PMO secara bersama-sama dengan peran PMO mempengaruhi 0.305
tingkat kepatuhan penderita TB paru berobat (p
0.003 < 0.05). Penelitian Hidayat (2000) tingkat pengetahuan 3.4634 kali mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita TB paru.
Hal ini dapat diartikan,
bahwa bila tingkat pengetahuan PMO baik, maka PMO dapat mempengaruhi prilaku penderita TB paru untuk patuh berobat. PMO dengan tingkat pengetahuan yang baik dapat memberikan informasi dan arahan-arahan yang benar tentang proses pengobatan. Pada dasarnya kepatuhan merupakan prilaku sejauhmana
mengikuti
ketentuan sesuai yang diberikan (Sacket, 1985) Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang tentang masalah tersebut. Berbekal pengetahuan yang diberikan oleh PMO, maka diharapkan
938
Faktor-Faktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kota Cirebon Omay Rohmana, Suhartini, Andi Suhenda
penderita TB paru akan berprilaku patuh mengikuti proses pengobatan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Rogers dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan, bahwa prilaku yang didasari oleh pengetahuan, sikap yang positif, dan kesadran akan bersifat langgeng. Keperawatan sebagai bagian dari system pelayanan kesehatan yang ada di
masyarakat,
memiliki
peranan
yang
sangat
penting
dalam
rangka
meningkatkan pengetahuan PMO. Hal ini sangat sesuai dengan peran perawat kesehatan masyarakat sebagai pendidik, dimana perawat dapat mengkaji kebutuhan, mengembangkan rencana, memberikan pendidikan kesehatan kepada PMO, dan mengevaluasi dampak dari pendidikan kesehatan tersebut (Helvie, 1998, Allender 2001). SIMPULAN Pemberian penyuluhan kepada meningkatkan pengetahuan PMO,
PMO sangat penting dalam rangka sehingga peran seorang PMO dalam
mengawasi kepatuhan berobat penderita TB paru menjadi lebih optimal.
SARAN Meningkatkan
peran
perawat
Perkesmas
(Perawatan
Kesehatan
Masyarakat) dalam hal pengetahuan, pembinaan dan pengawasan PMO serta perlu dirancang model pelatihan dan pendidikan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y. (2006). XDR-TB. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol. 3 No. 2. Diunduh 28 Maret, 2011, dari http : // www . tbindonesia . or.id / pdf / Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf Allender, J.A. & Spradley, B.W. (2001). Community Health Nursing: Concept and Practice. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkuns Budiarto, E. (2004). Metodologi Penelitian Kedokteran : suatu Pengantar. Jakarta : EGC Burman, et al. (1997). Noncompliance with directly observed therapy for tuberculosis. Epidemiology and effect on the outcome of treatment. Chest 111(5): 1168-73 Departemen Kesehatan RI. (2002) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-1, edisi II. Jakarta : Depkes RI. Departemen Kesehatan RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 23 Agustus, 2010, dari http //www.litbang.depkes.go.id/Simnas4/Day_1/Pokokpokok%20hasil%20riskesdas.pdf
939
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 1 Maret 2014
Departemen Kesehatan RI. (2010). Situasi Epidemiologi Tb Indonesia. Diunduh 24 April, 2011, dari http://tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2010.pdf Dinas Kesehatan Kota Cirebon (2011). Laporan Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2TB) Dinas Kesehatan Kota Cirebon Priode Januari – Desember 2010. Makalah tidak dipublikasikan Fahruda, A., Supardi, S.,Buiningsih, N. (2002). Pemberian makanan tambahan sebagai upaya peningkatan keberhasilan pengobatan penderita TB Paru di Kota Madia Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Berita Kedokteran Masyarakat. XVIII(3) : 123-9 Gitawati, R. & Sukasediati, N. (2002). Studi Kasus Jasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999. Cermin Dunia Kedokteran No. 137. Diunduh 24 April, 2011 dari http : // www . kalbe. co.id /files /cdk / files / cdk_137_tuberkulosis.pdf Helvie, C. (1998). Advance Practice Nursing In The Community. New Delhi : Sage publication Hidajat, J. (2001). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan Berobat Penderita TB Paru BTA Positif Di Kabupaten Pontianak Tahun 1999-2000. Tesis. Depok : FKM-UI. Diunduh tanggal 22-6-2011 dari http://eprints.lib.ui.ac.id/6398/1/71416-T2755-Faktor-faktor%20yang-TOC.pdf Chomisah, E. (2001). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru BTA + di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin Di Palembang Tahun 1998-2000. Tesis Program Pascasarjana FKM UI. Diunduh tangal 22/6/2011 dari http: // eprints.lib.ui.ac.id / 5924 / 1 / 70849–Faktor faktor%20yangFull%20text%20%28T%201239%29.pdf Kozier, B. Erb,G. & Blais, K. (1997). Profesional Nursing Practice Concept and Perspective. California : Addison Wesley Longman. Manaf, A. (1992). Manajemen Penanganan dan Penggunaan Obat Tuberkulosis Program Depkes RI. Buku Pulmonologi Klinik Bagian Pulmonologi. FKUI Jakarta Mukhsin, K., Mahendradhata, Y., Ahmad, R.A. (2006). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keteraturan Minum Obat pada Penderita TBC Paru yang Mengalami Konversi di Kota Jambi. Diunduh 01 Mei, 2011, dari http://lrc-kmpk.ugm.ac.id/id/UPPDF/_working/no.11_Mukhsin_11_06.pdf Notoatmodjo, S. (2003) Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta ---------. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta. Permatasari, A. (2005). Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Diunduh 24 April, 2011, dari http://repository.usu.ac.id Rowe, et al. (2005). Adherence to TB Preventive Therapy for HIV-Positive Patients in Rural South Africa: Implications for Antiretroviral Delivery in Resource-poor Setting. International Journal Tuberculosis Lung Diseases 9 (3): 263-9 Sacket, DL, Haynes, R.B., Tuewel, P. (1985). Clinical Epidemiology, A Basic Science for Clinical Medicine : Compliance. Boston : Brown and Co.
940
Faktor-Faktor Pada Pmo Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kota Cirebon Omay Rohmana, Suhartini, Andi Suhenda
Senewe, F.P. (1997). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keteraturan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Se-kotif Depok Jawa Barat Tahun 1997. Tesis. Depok : Program pascasarjanan FKM-UI Sujudi. (1996). Pengarahan Menteri Kesehatan RI Pada Kongres PPTI. Jakarta Widagdo, W. (2003). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita mengenai pengobatan tuberkulosis dalam konteks keperawatan komunitas di Wilayah Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan tahun 2002. Tesis. Jakarta : FIK UI. Tidak dipublikasikan Zuliani, I. (2009). Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Peran Pengawas Menelan Oabt Terhadap
941