ABSTRAK “FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT TB PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR 2012” SRI SYATRIANI, ESSE PUJI PAWENRUSI, BASRI Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Makassar Program Studi Kesehatan Masyarakat Tuberkulosis adalah penyakit menular disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis). Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Data Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat pada tahun 2011 jumlah penderita TB yaitu 6.233 orang dengan BTA Positif yaitu 378 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan PMO, efek samping obat, perilaku petugas, motivasi, dan, jarak rumah dari tempat pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar tahun 2012. Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain Crosssectional Study dengan jumlah populasi 378 orang dan sampel sebanyak 191 orang yang diambil secara. Uji statistik yang digunakan adalah rumus chi square dengan tingkat kemaknaan α (0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PMO ρ(0,003), efek samping obat ρ(0,018), perilaku petugas ρ (0,018), dan, jarak rumah dari pelayanan kesehatan ρ(0,023), berhubungan dengan kepatuhan minum obat, sedangkan tidak ada hubungan motivasi dengan kepatuhan minum obat ρ(0,951). Kesimpulan bahwa ada hubungan PMO, efek samping obat, dan perilaku kesehatan dan jarak rumah dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Motivasi tidak berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Saran bagi semua penderita agar meningkatkan perilaku kepatuhan minum obat.
Kata Kunci : Kepatuhan Minum Obat, PMO, Jarak Rumah dari tempat pelayanan kesehatan, Perilaku Petugas, Motivasi, Efek Samping Obat
ABSTRACT
Introduction: Tuberculosis is a communicable disease caused Mycobacterium Tuberculosis. Adherence is the extent to which the behavior of the patient in accordance with the provisions given by health workers. Data center for Community Lung Health in 2011 showed that the number og TB patients were 6.233 people with positive AAB 378 people. Objective: This study aims to determine relation PMO, side effect, attitude, motivation, and home to health services distance to medication adherence in pulmonary tuberculosis patients in the Center for Community Lung Health in 2012. Methods: The study is analytical with Cross Sectional Study design, the population sample are 378 people and 106 people were taken by Purposive Sampling. Data were analyzed using chi square statistic test and fisher exact test with significance level α (0,05) processed using SPSS. Result: The result shows that PMO has ρ (0,003) < α (0,05), side effect has ρ (0,018) < α (0,05), attiude has ρ (0,018) < α (0,05), and home to health services distance has ρ (0,023) < α (0,05). motivation has no related ρ (0,951) > α (0,05). Conclusion: There is a relationship between PMO, side effect, attitude distance with medication adherence in pulmonary tuberculosis patients and no relationship between motivation and medication adherence. Keywords: Medication Adherence, PMO, side effect, Attitude, motivation, Home Distance
PENDAHULUAN Penyakit TBC sudah dikenal sejak dahulu kala. Penyakit TBC merupakan masalah yang besar bagi negara berkembang termasuk Indonesia, karena diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang (Laban, 2008). Data WHO, jumlah kasus Tuberkulosis (TB) pada tahun 2010 tercatat 8,8 juta dan jumlah korban meninggal 1,4 juta jiwa. Angka ini turun dibanding tahun-tahun sebelumnya, seperti pada tahun 2009 jumlah kasus baru 9,4 juta jiwa (Pramudiarja 2011, diakses 6 Februari 2012). Penyakit Tuberkulosis merupakan pembunuh sekitar 2 juta orang setiap tahunnya,1 juta diantaranya perempuan dan juga terdapat 100 ribu anak-anak. WHO menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyard manusia, sepertiga penduduk dunia ini, telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang terinfeksi tuberkulosis di dunia, dan dalam dekade mendatang tidak kurang dari 300 juta orang akan terinfeksi oleh tuberkulosis. Setiap tahunnya sekitar empat juta penderita baru tuberkulosis paru menular di dunia, ditambah lagi dengan penderita yang tidak menular. Artinya, setiap tahun di dunia ini akan ada sekitar 8 juta penderita tuberkulosis paru. (Aditama, 2006) Indonesia pada tahun 2010, jumlah kasus TB mencapai 235/100.000 penduduk, presentase kasus baru TB paru (BTA Positif) yang ditemukan 73%, dan kasus TB paru (BTA positif) yang disembuhkan 85% (Depkes RI 2002, diakses 5 Januari 2012) WHO memperkirakan pada saat ini, Indonesia merupakan negara penyumbang kasus TB terbesar ke-3 di dunia, yang setiap tahunnya diperkirakan terdapat penderita baru TB menular sebanyak 262.000 orang (44,9% dari 583.000 penderita baru TB) dan 140.000 orang diperkirakan meninggal karena penyakit TBC (Depkes Sulsel 2009, diakses 3 Januari 2012) Hasil pengumpulan data kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2008 tercatat BTA positif jumlahnya menurun yaitu 4.856, dan kab/kota yang tertinggi masih di Kota Makassar yakni sebanyak 1.302, terendah di Kabupaten Pangkep, klinis sebanyak 55, di obati sebanyak 245 dan sembuh sebanyak 191. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah TB paru klinis sebanyak 37.286 orang, tercatat BTA positif sebanyak 5.761 orang, diobati sebanyak 6.442 orang dan sembuh sebanyak 4.763 orang (73,94%) (Depkes Sulsel 2009, diakses 3 Januari 2012). Data dari Dinkes Kota Makassar menyebutkan, pada triwulan I JanuariMaret 2009, 627 orang, triwulan kedua April-Juni, 596 orang, dan triwulan tiga Juli-September 420 orang. Jumlah keseluruhan 1.643 orang (Menkokesra, diakses 5 Januari 2012). Data Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat pada tahun 2009 jumlah penderita TB yaitu 3.958 orang dengan BTA positif yaitu 397 orang. Pada tahun 2010 jumlah penderita TB yaitu 4.944 orang dengan BTA positif yaitu 246 orang. Sedangkan pada tahun 2011 jumlah penderita TB yaitu 6.233 orang dengan BTA positif yaitu 378 orang. Hasil penelitian Marzuki (1998) menunjukkan 52 orang (46,4%) tidak patuh berobat dan 60 orang (53,6%) patuh minum obat. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan berobat.
Berdasarkan penelitian Widagdo (2002) menunjukkan 50 orang (61,7%) patuh dalam pengobatan dan 31 orang (38,3%). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan sikap dengan kepatuhan penderita dalam pengobatan TB. Hasil penelitian Aisyah (2001) menunjukkan responden yang patuh berobat 73,0% dan tidak patuh berobat 26,1%. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna antara PMO dengan kepatuhan berobat. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rifkatussa’adah (2008) di Puskesmas Kecamatan Kemayoran menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variabel motivasi dengan perilaku minum obat secara teratur. Hasil penelitian eko (2008) tentang faktor yang berhubungan dengan peningkatan pemeriksaan ulang dahak fase lanjutan Tuberkulosis Paru menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jarak rumah ke UPK dengan peningkatan pemeriksaan ulang dahak. Melihat uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru yang mencakup pengetahuan, sikap, motivasi, Pengawas Minum Obat (PMO), dan jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional study, dimana data variabel dependen dan variabel independen diambil pada waktu yang bersamaan. Populasi pada penelitian ini adalah penderita TB Paru positif rawat jalan pada tahun 2011 yaitu 378 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara “Purposive sampling” dengan sampel 191 orang. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square dan uji fisher dengan tingkat kemaknaan α=0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik Responden di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Tahun 2012 Karakteristik n % Umur (tahun) a. 15-19 7 6,6 b. 20-24 17 16,0 c. 25-29 15 14,2 d. 30-34 9 8,5 e. 35-39 10 9,4 f. 40-44 6 5,7 g. 45-49 10 9,4 h. ≥ 50 32 30,2 Jenis Kelamin a. Laki-Laki 63 59,4 b. Perempuan 43 40,6 Pendidikan a. Tidak Sekolah 21 19,8 b. Tidak tamat SD 3 2,8 c. SD 18 17,0 d. SMP 12 11,3 e. SMA 36 34,0 f. Perguruan Tinggi 16 15,1 Pekerjaan a. Belum Bekerja 4 3,7 b. Tidak Bekerja 46 42,4 c. IRT 16 16,2 d. PNS 4 3,7 e. Buruh 10 9,4 f. Wiraswasta 23 21,7 g. Nelayan 2 1,9 h. Petani 1 0,9 106 100,0 Total Sumber : data primer Distribusi responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa yang paling tinggi terkena TB Paru yaitu umur ≥ 50 tahun sebanyak 32 responden (30.2%), sedangkan yang rendah yaitu 40-44 tahun sebanyak 6 responden (5.8%). Jenis kelamin yang paling tinggi terkena TB Paru yaitu laki-laki sebanyak 63 responden (59.4%). Pendidikan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang tertinggi terkena TB Paru yaitu SMA sebanyak 36 responden (34.0%) yang terendah terkena TB Paru yaitu Tidak Tamat SD sebanyak 3 responden (2.8%). Pekerjaan menunjukkan bahwa yang tertinggi terkena TB Paru yaitu tidak bekerja sebanyak 46 responden (43.4%) sedangkan yang terendah terkena TB Paru yaitu swasta dan petani sebanyak 1 responden (0.9%).
2. Karakteristik Variabel Penelitian
Tabel 2. Karakteristik Variabel Penelitian di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Tahun 2012 Karakteristik n % PMO a. Tidak Aktif 57 53,8 b. Aktif 49 46,2 Efek Samping a. Ada 43 40,6 b. Tidak Ada 63 59,4 Perilaku Petugas a. Kurang 24 22,6 b. Cukup 82 77,4 Motivasi a. Rendah 5 4,7 b. Tinggi 101 95,3 Jarak a. Jauh 46 43,4 b. Dekat 60 56,6 Kepatuhan Berobat a. Tidak Patuh 40 37,7 b. Patuh 66 62,3 Total 106 100.0 Sumber : data Primer Distribusi responden berdasarkan PMO menunjukkan bahwa responden lebih banyak memiliki PMO tidak aktif sebanyak 57 responden (53.8%). Responden lebih banyak tidak merasakan efek samping sebanyak 63 responden (59.4%). Perilaku petugas menunjukkan bahwa sebagian besar cukup sebanyak 82 responden (77.4%). Sebagian besar responden memiliki motivasi tinggi sebanyak 101 responden (95.3%). Jarak rumah dari tempat pelayanan kesehatan lebih banyak dekat dengan tempat pelayanan kesehatan sebanyak 60 responden (56.6%). Responden lebih banyak patuh minum obat sebanyak 66 responden (62,3%) patuh minum obat.
3. Analisis Bivariat
a. Hubungan PMO dengan Kepatuhan Minum Obat
Tabel 3 Analisis Hubungan PMO dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Tahun 2012
PMO Tidak Aktif Aktif Total Sumber : DataPrimer
Kepatuhan Minum Obat Tidak Patuh Patuh n % n % 29 50,9 28 49,1 11 22,4 38 77,6 40 37,7 66 62,3
Jumlah n 57 49 106
ρ % 100,0 100,0 100,0
0,003
Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (9,063) > X2 tabel (3,84) dan nilai ρ (0,003) < α (0,05), ini berarti ada hubungan antara PMO dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian menunjukkan ada responden yang mempunyai PMO tidak aktif (50,9%), ini dikarenakan selain PMO masih banyak faktor yang membuat penderita patuh atau tidakpatuh minum obat seperti pengetahuan, motivasi dan jarak rumah penderita. Hasil penelitian menunjukkan kebanyakan penderita memiliki Pengawas Minum Obat (PMO) tidak aktif di karenakan banyak PMO merupakan orang yang sibuk, ada juga PMO yang pada awalnya rajin mengingatkan tapi lama-kelamaan tidak pernah lagi. Sedangkan penderita yang mempunyai PMO aktif, sebagian besar PMO merupakan Ibu Rumah Tangga yang tidak bekerja, sehingga mempunyai waktu untuk selalu mengingatkan dan menemani pergi mengambil obat. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Widagdo (2002) di wilayah Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan menunjukkan bahwa hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara peran Pengawas Minum Obat dengan kepatuhan penderita mengenai pengobatan tuberculosis. Begitu pula yang dilakukan Chomisah (2001) menunjukkan ada hubungan Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru BTA positif. Banyak faktor yang berpengaruh menurut Litbang Depkes dalam pengobatan TB paru di puskesmas salah satunya yaitu ada tidaknya pengawas minum obat yang dapat mengawasi penderita minum obat seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini juga memastikan bahwa penderita betul minum obatnya dan diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO haruslah orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas kesehatan. Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Pengawas Minum Obat dengan keberhasilan pengobatan sangat penting, karena penderita selama menjalani pengobatan yang panjang kemungkinan ada rasa bosan harus setiap hari mengkonsumsi obat, sehingga dikhawatirkan terjadi putus obat atau lupa minum obat karena putus asa penyakitnya tidak sembuhsembuh. Peran PMO diharapkan dapat mencegah putus obat karena bila terjadi
untuk pengobatan selanjutnya memerlukan waktu yag lebih panjang. Terlaksananya peran PMO dengan baik yaitu untuk menjamin ketekunan, keteraturan pengobatan, menghindari putus pengobatan sebelum obat habis, mencegah ketidak sembuhan pengobatan penderita TB paru.
b. Hubungan Efek Samping dengan Kepatuhan Minum Obat Tabel 4 Analisis Hubungan Efek Samping dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Tahun 2012 Efek Samping
Kepatuhan Minum Obat Tidak Patuh Patuh n % n % 22 51,2 21 48,8
Ada Tidak 18 Ada Total 40 Sumber : Data Primer
Jumlah
ρ
n 43
% 100,0
28,6
45
71,4
63
100,0
37,7
66
62,3
106
100,0
0,018
Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (5,551) < X2 tabel (3,84) dan nilai ρ (0,018) > α (0,05), ini berarti ada hubungan antara efek samping dengan kepatuhan minum obat. Hasil menunjukkan ada responden yang memiliki efek samping dan tidak patuh minum obat (51,2%) dan tidak memiliki efek samping tidak patuh minum obat (28,6%). Sebagian besar penderita menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping, menanyakan gejala efek samping pada waktu penderita mengambil obat(Nuraini,2003 dalam Soeparman,1994). Hal ini juga dimaksudkan agar bila terjadi efek samping obat, penderita dapat segera memberitahukan kepada petugas kesehatan untuk segera ditindaklanjuti dan bagi penderita yang tidak mempunyai efek samping obat agar mempertahankan keteraturan berobatnya sehingga penderita tidak putus dalam menjalankan pengobatannya. Semakin penderita memiliki banyak keluhan, semakin tidak teratur penderita untuk berobat. Gejala efek samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau awal pengobatan bahwa obat yang harus diminum penderita jumlahnya banyak sehingga membuat penderita malas untuk minum obat Adanya efek samping obat memberikan risiko lebih besar untuk keteraturan penderita TB paru dalam meminum obat. (Erawatyningsih, 2009). Hasil penelitian diperoleh bahwa ada hubungan antara efek samping obat dengan keteraturan berobat penderita TB Paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak responden yang tidak mempunyai efek samping obat artinya adanya efek samping OAT merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan
dalam pengobatan TB Paru. Hal ini mulai berkurang dengan adanya penyuluhan terhadap penderita sebelumnya, sehingga walaupun ada efek samping obat seperti kencing berwarna merah, mual, gatal2 dan sebagainya tetapi penderita telah mengetahui lebih dahulu tentang adanya efek samping obat tersebut dan tidak cemas apabila pada saat pengobatan terjadi efek samping obat itu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukhsin (2006) yang dilakukan di Kota Jambi, yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara efek samping obat dengan keteraturan berobat penderita TB Paru. Hasil uji statistik dengan Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara efek samping obat dengan tingkat keteraturan. Hasil uji statistik ini memberikan gambaran tentang keteraturan minum obat pada penderita TBC paru di Kota Jambi, yakni responden telah minum obat anti tuberkulosis. Akibat negatif yang timbul terhadap minum obat ialah adanya efek samping obat. Efek samping obat akan berdampak negatif bagi penderita menjadi tidak teratur. c. Hubungan Perilaku Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat Tabel 5 Analisis Hubungan Perilaku Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Tahun 2012
Perilaku Petugas Kurang Cukup Total Sumber : Data Primer
Kepatuhan Minum Obat Tidak Patuh Patuh n % n % 14 58,3 10 41,7 26 31,7 56 68,3 40 37,7 66 62,3
ρ
Jumlah n 24 82 106
% 100,0 100,0 100,0
0,018
Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (5,602) > X2 tabel (3,84) dan nilai ρ (0,018) < α (0,05), ini berarti ada hubungan antara perilaku petugas dengan kepatuhan minum obat Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan cukup yaitu 82 responden,pada responden yang tidak patuh minum obat sebanyak 26 orang (31,7%) dan yang patuh minum obat 56 orang (68,3%). Sedangkan dari 24 responden yang menjawab perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan kurang, responden yang tidak patuh minum obat sebanyak 14 orang (58,3%) dan patuh minum obat sebanyak 10 orang (41,7%) Dari hasil uji Chi-Square diperoleh nilai X2 hitung (0,056) > X2 tabel (3,84) dan nilai ρ= 0,812 > α (0,05) artinya tidak ada hubungan antara perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan dengan keteraturan berobat penderita TB Paru. Sikap petugas tidak mempengaruhi keteraturan penderita untuk berobat karena sikap dan perilaku petugas kesehatan sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan pengobatan pada penderita, karena petugas telah mengikuti pelatihan teknis program dan penanggulangan penyakit TB Paru tersebut tidak sesuai
dengan penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kualitas pelayanan petugas kesehatan dengan keteraturan penderita TB Paru untuk datang berobat, semakin baik kualitas pelayanan petugas maka keteraturan penderita TB Paru untuk datang berobat semakin tinggi (Erawatyningsih, 2009). Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan dengan keteraturan berobat penderita TB Paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyaknya responden yang menjawab perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar cukup. Hal ini berarti kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas terhadap penderita tidak mempengaruhi keteraturan berobat pada penderita TB Paru. Ini disebabkan karena petugas kesehatan memberikan perhatian khusus serta informasi yang jelas.Petugas juga memberikan pelayanan yang baik seperti ramah dan sopan terhadap penderita pada saat pelayanan, sehingga terciptanya hubungan yang baik dengan setiap penderita TB Paru yang datang ke tempat pelayanan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erawatyningsih (2005) yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Dompu Barat yang menyatakan bahwa dari hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan dengan keteraturan berobat pada penderita TB Paru. Gambaran kesalahan penderita mengapa tidak datang berobat dikarenakan aspek kesalahan petugas kesehatan (dokter/perawat) yang gagal meyakinkan penderita untuk berobat secara teratur sampai tuntas. d. Hubungan Motivasi dengan kepatuhan minum obat Tabel 5 Analisis Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Tahun 2012
Motivasi Rendah Tinggi Total Sumber : Data Primer
Kepatuhan Minum Obat Tidak Patuh Patuh n % N % 2 40,0 3 60,0 38 37,6 63 62,4 40 37,7 66 62,3
ρ
Jumlah n 5 101 106
% 100,0 100,0 100,0
0,915
Hasil analisis statistik diperoleh nilai ρ (0,915) < α (0,05), ini berarti tidak ada hubungan antara motivasi dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian menunjukkan responden memiliki motivasi rendah tapi patuh minum obat (60,0%), dan motivasi rendah tapi tidak patuh minum obat (40,0%). Sedangkan mereka yang memiliki motivasi tinggi tapi tidak patuh minum obat (37,6%), dan motivasi tinggi dan patuh minum obat (62,4%). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rifkatussa’adah (2008) di Puskesmas Kecamatan Kemayoran menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variabel motivasi dengan perilaku minum obat secara teratur dengan nilai p=0,000.
Adanya motivasi responden terhadap perilaku minum obat teratur, maka responden akan semakin meningkatkan perilaku minum obat teratur. Dengan adanya motivasi yang positif bisa mengarah pada suatu perilaku yang positif pula. Sesuai dengan teori motivasi menyatakan bahwa motivasi merupakan akibat dari interaksi individu dengan situasi yang berhubungan dengan tujuan yang di harapkan. Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Didalam diri seseorang terdapat kebutuhan atau keinginan terhadap objek diluar seseorang tersebut, kemudian bagaimana seseorang tersebut menghubungkan antara kebutuhan dengan situasi diluar objek dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dimaksud. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007) bahwa motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut. Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi penderita yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur e. Hubungan Jarak Rumah dari Tempat Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Tabel 6 Analisis Hubungan Jarak Rumah dari Tempat Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat padaPenderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Makassar Tahun 2012 Kepatuhan Minum Obat Jarak Tidak Patuh Patuh n % n % Jauh 23 50,0 23 50,0 Dekat 17 28,4 43 71,7 Total 40 37,7 66 62,3 Sumber : Data Primer
Jumlah n 46 60 106
ρ % 100,0 100,0 100,0
0,023
Hasil analisis statistik diperoleh nilai X2 hitung (5,202) > X2 tabel (3,84) dan nilai ρ (0,023) < α (0,05), ini berarti ada hubungan antara jarak dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian menunjukkan responden jarak rumah dari tempat pelayanan yang jauh tapi patuh minum obat (76,5%) seperti dari Daya, Maros, Gowa, Malino, Sungguminasa, Sudiang, Cendrawasih, Antang, Tentara Pelajar dan Limbung. Dari hasil wawancara, mengapa mereka berobat ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat padahal tiap kecamatan mempunyai puskesmas, mereka menjawab pelayanan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat sangat baik, tempatnya nyaman dan mudah dicapai walaupun menggunakan angkutan
umum. Selain alasan yang diberikan penderita, mungkin mereka lebih memilih berobat ke tempat yang jauh dari rumah dikarenakan mereka malu terhadap penyakit yang dideritanya dan takut di kucilkan di lingkungannya, sehingga tidak mau masyarakat di sekitarnya tahu. Sedangkan jarak rumah dari pelayanan kesehatan yang dekat tapi tidak patuh minum obat (40,8%), dikarenakan kurangnya perhatian dari keluarga, apabila waktu pengambilan obat tidak ada yang menemani sehingga mereka terkadang malas untuk pergi mengambil obat jika jadwalnya tiba. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nazahar (1996) di poli paru Rumah Sakit Persahabatan menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak dengan perilaku kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru dengan nilai ρ=0,014. Teori dalam Azwar (2000) menyatakan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih rendah sehingga jarak antara rumah dengan tempat pelayanan kesehatan memepengaruhi perilaku mereka, syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dicapai oleh masyarakat. Kemudahan dalam menjangkau pelayanan merupakan salah satu faktor penting upaya peningkatan usaha kesehatan masyarakat. Jauhnya jarak rumah dengan sarana kesehatan dan sulitnya sarana transportasi untuk ukuran masyarakat desa merupakan salah satu faktor penting yang menghambat dalam menjangkau pelayanan kesehatan.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Dan setelah melakukan pengolahan dan analisis data dengan analisis statistik, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. PMO berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. 2. Efek samping obat berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. 3. Jarak rumah berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. 4. Perilaku petugas berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. 5. Motivasi tidak berhubungan dengan kepatuhan minum obat penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. B. Saran 1. Bagi Pengawas Minum Obat baik keluarga maupun petugas kesehatan harus lebih aktif mengawasi penderita dalam minum obat. 2. Bagi penderita yang mempunyai efek samping obat TB Paru agar petugas dalam memberikan informasi tentang pengobatan TB paru lebih dapat menjelaskan kepada penderita tentang adanya efek samping obat yang diminum tersebut.
3. Bagi penderita yang jarak rumah dari tempat pelayanan kesehatan, baik yang dekat maupun yang jauh agar tidak malas untuk pergi mengambil obat. 4. Bagi penderita yang mengatakan bahwa perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan cukup baik agar mempertahankan keteraturan berobatnya dan yang mengatakan bahwa perilaku petugas dalam pelayanan kesehatan kurang, agar petugas dalam memberikan pelayanan pengobatan akan lebih baik bila mengetahui tingkat pendidikan penderita TB paru. 5. Bagi penderita agar meningkatkan motivasi dalam menjalani pengobatan sesuai dengan aturan yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Tuberkulosis, Rokok dan Perempuan. Jakarta : Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia ____________________. 2006. Tuberkulosis Paru Masalah dan Penanggulangannya. Jakarta : UI Press Aisyah. 2001. Hubungan persepsi, Pengetahuan TB Paru, dan PMO dengn Kepatuhan Berobat Pasien TB Paru. (www.lontar.ui.ac.id, diakses 6 Maret 2012) Anonim. 2007. Penyakit Tuberkulosis (TBC). (www.infopenyakit.com, diakses 2 Februari, 2012) Attubani. 20011. Motivasi. (http://riwayat.wordpress.com, diakses 5 Januari 2012) Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat. 2011. Makassar Badan POM RI.2006. InfoPom vol 7 no 5. (http://perpustakaan.pom.go.id, diakses 2 Februari 2012) Chomisah Elyu. 2001. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru BTA Positif di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehamad Hoesin Palembang Tahun 1198-2000. (http://lontar.ui.ac.id, diakses 29 Juli 2012). Daud Izhak. 2000. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita TB Paru Pasien Rawat Jalan di Poliklinik Paru RSUD DR.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi. (http://lontar.ui.ac.id, diakses 29 Juli 2012). Dinkes SulSel. 2009. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan 2008. (online). (http://dinkes-sulsel.go.id, diakses 3 Januari 2012) Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. (online). (dinkes-sulsel.go.id, diakses 3 Januari 2012) ________. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. (online). (http://www.tbindonesia.or.id, diakses 3 Januari 2012) ________. 2011. Strategi nasional Pengendalian TB di Indonesia tahun 20102014. (online). (www.pppl.depkes.go.id, diakses 5 Januari 2012) Erawatyningsih Erni, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. (http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 29 Juli 2012). Esse Puji, dkk. 2011. Pedoman Penulisan Skripsi Edisi 8. Makassar : STIK Makassar FSIK-FK UNHAS. 2011. Modul pembelajaran Penanggulangan Tuberkulosis Oleh Perawat. Makassar Hidayat, Aziz Alimul. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknis Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Hudoyo, Ahmad. 2008. Tuberkulosis Mudah Diobati. Jakarta : Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia. Hutapea, Tahan P. 2009. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis. (http://jurnalrespirologi.org, di akses 28 Januari 2012)
Laban, Yohannes Y. 2008. TBC penyakit dan Cara Penanggulangannya. Yogyakarta : Kanisius Marzuki. 1998. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Dalam Wilayah Kabupaten Aceh Besar. (http://www.digilib.ui.ac.id, diakses 29 Juli 2012). Menkokesra. Di Makassar Terdapat 1.643 Penderita TB. (http://oldkesra. menkokesra.go.id, diakses 5 Januari 2012) Misnadiarly. 2006. Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstra Paru. Jakarta : Populer Obor Nazahar Ramonasari. 1996. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosisi Paru di Poli Paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. (http://www.digilib.ui.ac.id, diakses 29 Juli 2012). Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat & Profisional Kesehatan Lain. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta __________________. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta __________________. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. (http://www.klikpdpi.com, diakses 3 Februari 2012) _____________________________. 2010. Buku Saku PPTI. (www.ppti.info, diakse 6 Februari 2012) Pramudiarja. 2011. WHO: Untuk Pertama Kalinya, Jumlah Kasus TBC di Dunia Turun. (http://www.detikhealth.com, diakses 6 Februari 2012) Rifqatussa’adah. 2008. Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Minum Obat Secara Teratur Pada penderita Tuberkulosis (TB) Paru Dewasa. (http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 5 maret 2012) Ruswanto Bambang. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan dan Luar Rumah Di Kabupaten Pekalongan. Tesis di terbitkan. (http/repository.usu.ac.id, di akses 5 Maret 2012). Saputra Eko, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Peningkatan Pemeriksaan Ulang Dahak Fase Lanjutan Tuberkulosis Paru. (http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 6 Maret 2012) Sibuea, Herdin, dkk. 1992. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Rineka Cipta Stop TB Partnership. 2010. Epidemiologi TBC di Indonesia. (http://www.tbindonesia.or.id, diakses 3 Februari 2012) _____________________. 2004. Survei prevalensi Tuberkulosis Tahun 2004. (www.tbindonesia.or.id, diakses 2 Februari 2012)
Susanto, Agus. 2007. Penyakit yang Ditularkan Melalui Hewan Sekitar. Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka. Sutjiono Danny. 2005. Modul Pelatihan dan Pendampingan Pengelolaan Ekonomi Rumah Tangga. (http://www.p2kp.org, diakses 6 Januari 2012) Sutarji. 2006. Beberapa Faktor Yang Berkaitan Dengan Kepatuhan Penderita Tuberkulosis Paru Untuk Minum Obat Anti Tuberkulosis Pada Pengobatan Tahap Intensif Di Puskesmas Salomerto Wonosobo. (online). (http://eprints.undip.ac.id, diakses 26 Juni 2012). Widagdo Wahyu. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penderita Mengenai Pengobatan Tuberkulosis Dalam Konteks Keperawatan Komunitas. Di Wilayah Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Jakarta selatan. (http://www.digilib.ui.ac.id, diakses 29 Juli 2012). Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT TB PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR 2012
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK) MAKASSAR