HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DERMATOMIKOSIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN
Manuscrip
Oleh EPI MULYANI G2A209056
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2011
SURAT PERSETUJUAN
Manuscrip dengan judul
Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan dengan Kejadian Penyakit Dermatomikosis RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan
Semarang, April 2011
Pembimbing I
Ns. Siti Aisah, M.Kep, Sp.Kom
Pembimbing II
Ns. Ernawati, S.Kep
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DERMATOMIKOSIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN Epi Mulyani , Ns. Siti Aisah, M.Kep,Sp.Kom , Ns. Ernawati, S.Kep Abstrak Penyakit dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi jamur. Penyakit dermatomikosis merupakan penyakit kulit banyak dijumpai pada semua lapisan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatomikosis antara lain iklim yang panas, hygiene sebagian masyarakat yang kurang, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan dengan kejadian penyakit dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Instruman dalam penelitian ini adalah kuesioner. Analisa data menggunakan uji chi square. Proses penelitian telah dilaksanakan pada bulan oktober 2010-januari 2011 di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen dengan metode aksidental sampling, jumlah sampel 104 orang berdasarkan kriteria inklusi dan eksklus. Hasil uji kai kuadrat (chi square) antara variabel tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit dermatomikosis diperoleh p value = 0,000 < 0,05 sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen, sedangkan antara variabel pengetahuan dengan kejadian penyakit dermatomikosis diperoleh p value = 0,005 < 0,05 sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen. Petugas kesehatan terutama di poli kulit dan kelamin sebaiknya memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit dermatomikosis. Hal-hal yang dapat mencegah terjadinya dermatomikosis yaitu dengan meningkatkan perilaku hidup sehat dengan praktek hygiene personal dan memelihara lingkungan yang bersih. Kata kunci: Tingkat pendidikan, pengetahuan, dermatomikosis
Absract Dermatomikosis disease is a disease of the skin, nails, hair, and mucosa caused by fungal infection. The disease is influenced by factors that hot climate, the lack of hygiene, environmental and socio-economic dense low. The disease is often found at all levels of society. The aim of this research was to find out of the correlation between education and knowledge levels with disease incidence dermatomokosis at genital and dermatology poly in General Hospital of Kajen Pekalongan Regency. The design of this research was descriptive correlative with cross sectional approach. The research instrument was a questionnaire. Data analyzed by chi square. The study was conducted in October 2010January 2011. Samples of this research were 104 persons. The result of chi square test showed there was not relationship between level of education with incidence dermatomikosis with value 0.000 <0.05. There was relationship of knowledge with incidence dermatomikosis with value 0.005 <0.05. Health care provider should be provide health education about dermatomikosis and healthy behavior with respect to personal and environmental hygiene.
Keywords: Level of Education, Science, Dermatomikosis
Dermatomikosis cukup banyak diderita penduduk Negara tropis. Salah satunya Indonesia akan tetapi angka kejadian yang tepat belum diketahui. Iklim yang panas dan lembab mempermudah tempat penyakit jamur berkembang dengan baik (Utama, 2004). Penyakit jamur kulit atau dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang disebabkan infeksi jamur (Mawarli, 2000). Menurut Soebono dalam Utama, 2004 Data epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit kulit karena jamur superficial (Dermatomikosis superfisialis) merupakan penyakit kulit banyak dijumpai pada semua lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga karena sering bersifat kronik dan kumat-kumatan serta tidak sedikit yang resisten dengan obat anti jamur, maka penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatomikosis superfisialis adalah iklim yang panas, higiene sebagian masyarakat yang masih kurang, adanya sumber penularan disekitarnya, penggunaan obat-obat antibiotik, steroid dan sitostatika yang meningkat, adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya (Utama, 2004). Green 1980 (dalam Notoatmojo, 2007) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu : Faktor Predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan , sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misal puskesmas, obat-obatan. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku kesehatan, atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Dari teori Green dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor terjadinya penyakit dermatomikosis sebagian besar karena perilaku penderita itu sendiri. Dari faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan penderita tentang penyakit dermatomikosis meliputi pengertian, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan. Sikap dalam menjaga higiene, menjaga sanitasi lingkungan, perilaku penderita untuk memeriksakan penyakitnya akan dipermudah apabila penderita tersebut tahu apa manfaat berobat , tahu siapa dan dimana berobat penyakitnya tersebut. kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti udara yang panas, adanya sumber penularan disekitarnya, penggunaan zat kimia seperti menggunakan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang terus menerus. Tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas sebagai pusat kesehatan yang terdekat, obat-obatan. Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan apakan petugas kesehatan selalu menyarankan untuk berperilaku sehat dalam menjaga kebersihan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas lebih-lebih petugas kesehatan. Model segitiga epidemiologi menurut John Goron (dalam Subaris & Kristiawan, 2009) menggambarkan interaksi tiga komponen penyebab penyakit yaitu: Manusia (host), Penyebab/bibit penyakit (agent), dan lingkungan (environment). Penyakit dapat terjadi karena adanya ketiga komponen tersebut. Host (manusia) Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit pada manusia yaitu : Umur, jenis kelamin, bentuk anatomi tubuh, fungsi fisiologis, status kesehatan termasuk status gizi,
keadaan iminitas,
kebiasaan hidup dan kehidupan sosial,
pekerjaan.Agent (penyebab/bibit penyakit) terdiri dari biotis dan abiotis. Biotis khususnya pada penyakit menular yaitu terdiri dari lima golongan : protozoa, metazoa, bakteri, virus dan jamur. Environment (lingkungan). Lingkungan adalah agrerat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan suatu organisme. Lingkungan dapat dibagi menjadi dalam 3 bagian utama : Lingkungan biologis (fauna dan flora disekitar manusia). Bersifat biotik yaitu : mikroorganisme penyebab penyakit, reservoir penyakit infeksi (binatang atau tumbuhan), vektor pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang sebagai sumber bahan makanan, obat, dll. Lingkungan fisik bersifat abiotik yaitu : udara, keadaan tanah geografi, air, zat kimia, polusi. Lingkungan sosial adalah semua bentuk kehidupan sosial politik dan sistem organisasi serta institusi yang berlaku bagi setiap individu yang membangun masyarakat antara lain : sistem ekonomi yang berlaku, bentuk organisasi masyarakat, sistem pelayanan kesehatan, keadaan kepadatan penduduk dan kepadatan rumah, kebiasaan hidup masyarakat. Dari uraian model segitiga epidemiologi dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian penyakit dermatomikosis dipengaruhi oleh 3 komponen tersebut yaitu manusia, penyebab/bibit penyakit dan lingkungan. Manusia dalam hal ini berkaitan dengan keadaan imunitas yang menurun sehingga organisme ini memungkinkan untuk menginfeksi manusia, kebiasaan hidup yang tidak sehat. Agent penyakit jamur bersifat biotis yaitu jenis penyakit yang menular. Environment berkaitan dengan Lingkungan biologis seperti binatang yang menjadi sumber penularan. Lingkungan fisik berkaitan dengan keadaan udara yang lembab sehingga memudahkan jamur untuk berkembang dengan baik. Zat kimia (seperti penggunaan obat antibiotik, steroid, sitostatika yang tidak terkendali). Lingkungan sosial berkaitan dengan lingkungan yang padat, sanitasi, sistem ekonomi yang rendah, kebiasaan hidup masyarakat yang kurang sehat. Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoatmojo, 2007).
Penyakit dermatomikosis sangat menarik oleh karena keluhannya tergantung pada tingkat ekonomi daripada kehidupan sipenderita. Bila penderita golongan ekonomi lemah
penyakit ini tidak dihiraukan tetapi pada penderita dengan
ekonomi menengah keatas atau yang mengutamakan penampilan maka penyakit jamur adalah suatu penyakit yang sangat bermasalah karena menggangu kenyamanan dan kesehatan umum. Anamnesa dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa pengetahuan mereka tentang penyakit jamur belum sepenuhnya mengetahui dari penyebab, pencegahan, penularan maupun komplikasi dari penyakit jamur jika tidak diobati, tidak mengetahui jika banyak berkeringat dan tidak langsung ganti pakaian, udara yang panas, lingkungan yang kurang bersih, memakai celana yang berlapis-lapis dan adanya penularan disekitarnya merupakan penyebab dari penyakit jamur, sehingga kurangnya informasi tentang kesehatan menyebabkan pasien kurang berperilaku sehat. Penyakit jamur timbul dipengaruhi juga oleh daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan organisme ini menginfeksi manusia. Pasien juga mengatakan sakit gatal sudah lama dan berobat ke puskesmas, dokter ataupun bidan tetapi tidak sembuh dan didiagnosa sebagai penyakit gatal biasa atau penyakit alergi sehingga pengobatan tidak spesifik atau kurang efektif. Berdasarkan data Rekam Medis Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen pada bulan Juli-September 2010 sebanyak 140 pasien dengan kasus dermatomikosis, yang juga menduduki urutan pertama dibanding dengan penyakit kulit lainnya. Ratarata kunjungan pasien perhari 40% dari penyakit lainnya. Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan perkembangan atau perubahan kearah yang lebih matang pada diri individu atau kelompok (Notoatmojo: 2003). Menurut Koentjoroningrat (1997) dalam Nursalam (2001) makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pengetahuan yang kurang akan menghambat
perkembangan
sikap
seseorang
terhadap
nilai-nilai
yang
diperkenalkan. Pendidikan menurut manusia untuk berbuat mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi, misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi mulai dari panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan dan kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang (over behavior). METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan desain cross sectional. Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah dilakukan uji coba sebelumnya. Analisa data menggunakan uji chi square. Jumlah sampel 104 orang dengan metode aksidental sampling. Proses penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2010-januari 2011 di poli kulit dan kelamin RSUD Kajen kabupaten pekalongan. Data dianalisis secara univariat, bivariat (chi square) HASIL Hasil penelitian dari karakteristik responden diperoleh sebagian besar responden dengan usia antara 21-40 tahun. Pekerjaan sebagian besar responden adalah wiraswasta. Jenis kelamin sebagian besar responden adalah laki-laki. Dari hasil penelitian tingkat pendidikan responden sebagian besar responden berpendidikan dasar (44,2%). Pengetahuan sebagian besar responden (57,7%) mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang mengenai penyakit dermatomikosis. Kejadian dermatomikosis sebagian responden (47,1%) menderita dermatomikosis. Hasil penelitian antara tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar responden 42 orang (91,3%) berpendidikan rendah menderita jamur. Hasil chi square diperoleh value sebesar 0,000 < 0,05, sehingga Ho ditolak, berarti ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian dermatomikosis pasien di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan (tabel 2). Untuk pengetahuan dari 60 orang yang berpengetahuan kurang terdiri dari 36 orang (60,0%) menderita dermatomikosis. diperoleh value sebesar 0,004 < 0,05, sehingga Ho ditolak, berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan (tabel 3) Tabel 1 Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian dermatomikosis
Tingkat Pendidikan Pendidikan dasar
Pendidikan menengah
Pendidikan tinggi
Total
Kejadian Dermatomikosis Tidak Ada Ada Jamur Jamur
Total
42
4
46
(91,3 %)
(8,7 %)
(100%)
0
14
14
(0%)
(100,0 %)
(100%)
7
37
44
(15,9%)
(84,1%)
(100%)
49 (46,6%)
55 (53,4%)
104 (100%)
Tabel 2 tabel silang Hubungan tingkat pendidikan dengan dermatomikosis
Tingkat Pendidikan
Pendidikan dasar
Pendidikan menengah & Pendidikan tinggi Total
Kejadian Dermatomikosis Tidak Ada Ada Jamur Jamur
Total
value
x2
0,000
61,499
Total
value
x2
0,004
8,266
42
4
46
(91,3 %)
(8,7 %)
(100%)
7
51
58
(12,1 %)
(87,9 %)
(100%)
49
55
104
(47,1%)
(52,9%)
(100%)
Tabel 3. Hubungan pengetahuan dengan dermatomikosis
Pengetahuan
Kurang
Baik
Total
Kejadian Dermatomikosis Tidak Ada Ada Jamur Jamur 36
24
60
(60,0 %)
(40,0 %)
(100%)
13
31
44
(29,5 %)
(70,5 %)
(100%)
49
55
104
(47,1%)
(52,9%)
(100%)
PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian terhadap tingkat pendidikan diketahui bahwa sebagian besar (93,2%) penderita jamur berpendidikan dasar. Sebagian responden (44,2%) berpendidikan dasar dan sebagian (42,3%) pendidikan tinggi dan sebagian kecil (14,6%) pendidikan menengah. Jadi dapat disimpulkan bahwa penderita dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu pendidikan dasar. Distribusi tingkat pendidikan responden ada 1 sel yang memiliki nilai E<5, maka dilakukan penggabungan kategori yang terdekat yaitu pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi. Uji chi square ini mempunyai kelemahan yaitu harus melakukan penggabungan kategori yang terdekat bila dalam hasil penelitian distribusi respondennya tidak merata.Hasil chi square diperoleh value sebesar 0,000 < 0,05, sehingga Ho ditolak, berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian dermatomikosis pasien yang berobat di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan.
Menurut Notoatmojo (2003) seseorang dapat dikatakan
belajar apabila di dalam dirinya terjadi perubahan, dan tidak dapat mengerjakan menjadi dapat mengerjakan. Dengan adanya pendidikan kesehatan masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik karena pendidikan kesehatan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat.Perubahan ini bukan hasil proses belajar, karena proses kematangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar tersebut mempunyai ciri-ciri ;(1) Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok atau masyarakat yang sedang belajar, baik actual maupun potensial ; (2) Hasil belajar adalah bahwa perubahan tersebut didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relative lama; (3) Perubahan itu terjadi karena usaha dan disadari, bukan karena kebetulan (Notoatmojo, 2003) Tingkat pendidikan yang tinggi akan membantu responden dalam mengolah
sumber informasi,
mudah memperoleh informasi dan menyerap informasi yang diterima menjadi suatu pengetahuan tentang penyakit dermatomikosis sehingga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya dermatomikosis. Hasil penelitian ini sesuai dengan
Koentjoroningrat (1997) dalam Nursalam (2001) yang menyatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pengetahuan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang diperkenalkan. Pendidikan menuntun manusia untuk berbuat mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi, misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah membuat
masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hasil uji statistik diketahui tidak ada sel dengan nilai ekspektasi <5, maka digunakan continuity correction dengan p = 0,004 < 0,05 sehingga Ho ditolak, berarti
ada
hubungan
dermatomikosis di Poli Pekalongan.Hasil
antara Kulit
penelitian
pengetahuan
dengan
dan Kelamin RSUD terhadap
pengetahuan
kejadian
penyakit
Kajen Kabupaten tentang
penyakit
dermatomikosis diperoleh dari 60 orang yang berpengetahuan kurang terdiri dari 36 orang (60,0%) menderita dermatomikosis dan 24 orang (40,0%) tidak menderita dermatomikosis. Dapat disimpulkan bahwa penderita dermatomikosis berpengetahuan kurang.Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa (Notoatmojo,2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan Green (1980) yang menyatakan bahwa faktor-faktor terjadinya penyakit dermatomikosis sebagian besar karena perilaku penderita itu sendiri. Dari faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan penderita tentang penyakit dermatomikosis meliputi pengertian, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, komplikasi. Sikap dalam menjaga higiene, menjaga sanitasi lingkungan, perilaku penderita untuk memeriksakan penyakitnya akan dipermudah apabila penderita tersebut tahu apa manfaat berobat yaitu agar sembuh dan mencegah terjadinya komplikasi dari penyakit dermatomikosis , tahu siapa dan dimana berobat
penyakitnya tersebut. kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. Tingkat pengetahuan seseorang tidak selalu berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan. Orang yang memiliki anggapan benar belum tentu akan berperilaku benar, hal ini terjadi pada intelektual kognitif (Notoatmojo, 2002). Responden yang berpengetahuan baik dan menderita dermatomikosis kemungkinan disebabkan oleh perilaku mereka yang mengetahui dan paham tentang penyebab, cara pencegahan penyakit dermatomikosis tetapi tidak mengaplikasikan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari seperti tidak menjaga kebersihan diri (mandi yang bersih, tidak langsung ganti pakaian jika berkeringat berlebihan) dan menjaga lingkungan yang sehat . Keterbatasan dalam penelitian ini dihadapkan pada responden yang sebagian besar berpendidikan dasar, sehingga peneliti harus menjelaskan maksud dari pertanyaan dalam kuesioner. Penelitian ini juga membutuhkan pemeriksaan terhadap kondisi kulit responden, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan membutuhkan sinerja yang bagus antara peneliti dengan petugas laboratorium. Penelitian ini hanya mencangkup pada variabel tingkat pendidikan dan pengetahuan
pada variabel perilaku tidak diteliti sedangkan pengetahuan
mempengaruhi perilaku seseorang dan perilaku juga sangat mempengaruhi terjadinya penyakit dematomikosis. PENUTUP Hasil penelitian yang dilakukan pada Tingkat pendidikan responden sebagian besar
adalah pendidikan dasar.
Sebagian besar
responden mempunyai
pengetahuan yang kurang tentang dermatomikosis. Penderita dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen. Penderita dermatomikosis mempunyai tingkat pendidikan rendah. Berdasarkan pengetahuan tentang dermatomikosis penderita dermatomikosis mempunyai pengetahuan kurang. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan. Ada hubungan antara pengetahuan dengan
kejadian dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan. Petugas kesehatan dalam melakukan pemeriksaan fisik sebaiknya juga disertai dengan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit jamur supaya pengobatan spesifik sehingga meningkatkan mutu pelayanan RSUD kajen dan pemeriksaan laboratorium mikroskopik KOH diharapkan dapat dijadikan sebagai standar operasional pelayanan di Poli Kulit dan Kelamin khususnya, selain itu untuk lebih mensosialisasikan pencegahan dan bahaya dari penyakit dermatomikosis untuk menumbuhkan masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Sebaiknya petugas kesehatan juga memberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit dermatomikosis dengan memberikan leaflet yang meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab, gambaran klinik, pencegahan, pengobatan dan komplikasi dari penyakit dermatomikosis jika tidak diobati atau membuka konsultasi bagi pasien. Pendikan kesehatan merupakan bagian dari kesehatan masyarakat dan berfungsi sebagai sarana dan media. Pasien juga diajarkan perilaku hidup sehat untuk mencegah timbulnya penyakit tersebut. Bagi pasien yang berpendidikan tinggi diberikan leaflet dan konsultasi, sedangkan bagi pasien yang berpendidikan dasar dan menengah perlu diberikan demonstrasi cara menjaga kebersihan diri dan membekali leaflet untuk dibawa pulang. Masyarakat sebaiknya meningkatkan pengetahuan tentang dermatomikosis dengan cara memanfaatkan sumber informasi seperti meminta informasi dari petugas kesehatan secara langsung, leaflet, media massa, media elektronik dan memelihara, meningkatkan perilaku hidup yang sehat dengan praktek personal hygiene dan menjaga lingkungan yang bersih sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit dermatomikosis. Mengingat hasil penelitian ini sangat bermakna terhadap perubahan perilaku pencegahan terjadinya dermatomikosis pada penderita dermatomikosis, sehingga peneliti menyarankan bagi penderita dermatomikosis sebaiknya memelihara dan meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan yang sehat sehingga dapat
mencegah terjadinya dermatomikosis dengan cara meminta informasi langsung dengan petugas kesehatan, media elektronik juga media massa. Epi Mulyani: Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes Universitas Muhammadiyah Semarang. Ns. Siti Aisah, M.Kep, Sp.Kom.: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. Ns. Ernawati, S.Kep.: Staf Dosen Jurusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang
KEPUSTAKAAN Andrianto,P. (2005). Kapita selekta dermato – venerologi. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran. Amir,S.N. (2005). 18p. http :// www.usu.ac.id / files / pidato / ppgb / penyakit dermatomikosis. Diunduh tanggal 20 Agustus 2010. Green,L.W. (1991). Health promotion planning an educational and environment approach. United States of America. Hidayat,A.A.A. (2007). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. Harahap,M. (2000). Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Penerbit FKUI Notoatmojo,S. (2002). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Notoatmojo,S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : PT Asdi Mahasatya. Subaris,H.K. & Kristiawan,H.B. (2009). Intisari epidemiologi. Jogjakarta : Mitra Cendikia Press. Utama,H. ( 2004 ). Dermatomikosis superfisialis. Jakarta : Penerbit FKUI.