FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPADATAN TULANG PADA LANSIA AWAL DI PUSKESMAS PISANGAN TANGERANG SELATAN TAHUN 2016 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
OLEH : RIA ANDRIANI NIM : 1112104000031
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H/2016M
LEMBAR PERNYATAAN
ii
PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA Undergraduate Thesis, June
2016
Ria Andriani, NIM : 1112104000031 FACTORS RELATED TO THE BONE DENSITY IN ELDERLY IN PUSKESMA PISANGAN SOUTH TANGERANG 2016 Xviii + 84 pages, 12 tables, 2 schemes, 4 attachments ABSTRACT Background: abnormal bone density or osteoporosis and osteopenia is a disease characterized by bone mass reduction. WHO estimates that by 2050 there will be 6.3 million fractures related to osteoporosis. Prevalence of Osteoporosis in Indonesia reached 19.7%. The purpose of this study was to determine the factors associated with bone density in Puskesmas Pisangan South Tangerang Year 2016. The study design with a quantitative approach with cross sectional. The research instrument is Quantitative Ultrasound to determine bone density and questionnaires to find out the sex, menopausal status, calcium intake, physical activity, smoking, and alcohol drinking habits. Data analysis technique used was Chi-Square. Total respondents surveyed in this study were 110 respondents, that is 101 respondents with abnormal bone density and 9 respondents with normal bone density. The result showed that the variables proved to be a factor associated with bone density menopausal status only. Gender, calcium intake, physical activity, smoking and alcohol drinking habits did not prove to be a factor associated with bone density. Suggestions for further research studies that use different types of studies such as cohort or experiment.
Keywords: Bone Density, Osteoporosis, Osteopenia.
iii
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi,
Juni 2016
Ria Andriani, NIM: 1112104000031 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016 Xviii + 84 halaman, 12 tabel, 2 bagan, 4 lampiran ABSTRAK Latar belakang: Kepadatan tulang tidak normal atau osteoporosis dan osteopenia adalah penyakit yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. WHO memperkirakan pada tahun 2050 akan ada patah tulang 6,3 juta terkait dengan osteoporosis. Prevalensi Osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016. Desain penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan cros sectional. Instrumen penelitian berupa Quantitative Ultrasound untuk mengetahui kepadatan tulang dan kuesioner untuk mengetahui jenis kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan minum alkohol. Teknik analisa data yang digunakan adalah Chi-Square. Total responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah 110 responden, yaitu 101 responden dengan kepadatan tulang tidak normal dan 9 responden dengan kepadatan tulang normal. Hasil penelitian didapatkan variabel yang terbukti menjadi faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang hanya status menopause. Jenis kelamin, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan konsumsi alkohol tidak terbukti menjadi faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang. Saran penelitian untuk peneliti selanjutnya yaitu menggunakan jenis penelitian yang berbeda seperti kohort atau experiment.
Kata Kunci
: Kepadatan Tulang, Osteoporosis, Osteopenia.
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ria Andriani
Tempat, Tanggal Lahir : Sukadarma, 04 Maret 1993 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Desa Sukadarma, RT 01, RW 01, Kecamatan Jejawi, Kabupaten OKI, Palembang Sumatera Selatan.
Hp
: 081219415273
Email
:
[email protected]
Fakultas/Jurusan
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan.
Latar Belakang Pendidikan 1. 2000 – 2006
: SD Negeri 1 Jejawi Kabupaten OKI
2. 2006 – 2009
: SMP Negeri 2 Jejawi Kabupaten OKI
3. 2009 – 2012
: MAN 3 Palembang
4. 2012 – 2016
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, pencipta alam semesta, penguasa isi jagat raya, pemberi kebahagiaan serta tidak pernah berhenti memberikan limpahan taufiq, nikmat, hidayah dan karuniaNya. Shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SWA, keluarga, sahabat serta pengikut ajaran beliau hingga akhir jaman. Atas nikmat dan rahmat Allah SWT, penulis dapat menyelasaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016”. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, serta kerjasama yang luar biasa dalam proses penyusunan proposal skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta. 2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc selaku Ketua Program Studi dan Ibu Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep dan Bapak Karyadi, S.Kp.,MKep., PhD selaku dosen pembimbing skripsi yang meluangkan waktu dan dengan sabar
ix
memberikan arahan, saran, dan perbaikan serta motivasi kepada penulis selama proses penyusunan sehingga penyusun skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah. 5. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta seluruh stafnya karena telah membantu dalam perizinan dan pengambilan data dalam melakukan penelitian 6. Kepala Puskesmas Pisangan dan seluruh stafnya terima kasih banyak atas masukan, bimbingan, bantuan dan kemudahan selama penulis melakukan penelitian. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Jon dan Ibunda Juairiyah yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Tak lupa, kepada saudara-saudara tersayang Ayunda Sri Maryani dan Nuzilah, Kakanda Yudi Darmadi, dan Adinda Novita Hardiyanti dan seluruh keluarga besar yang senantiasa juga selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya kepada peneliti dalam menyelesaikan proposal skripsi ini. 8. Teruntuk teman-teman Oca, Septi, Ida, Lulu, Clara, Yuli dan seluruh temanteman PSIK 2012 yang telah membantu, memberi masukan, menghibur, dan memberi inspirasi bagi penulis selama proses perkuliahan. Tak lupa, Ayunda
x
Rosi Pratiwi yang memberikan semangat, dukungan, dan membantu peneliti untuk menyelesaikan proposal skripsi ini. 9. Teruntuk teman satu bimbingan Lulu Yunita dan Hanifah Mufidati yang telah memberikan semangat, dukungan, masukan dan saling membantu selama penulis melakukan penelitian. 10. Kepada teman seperjuangan SJD SUMSEL 2012, Eka, Prima, Rani, Bella, Beny, Deny, Lukman, Raka, dan Agus. Serta seluruh kakak-kakak dan adikadik SJD SUMSEL yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini kearah yang lebih baik. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih. Mudah-mudahan segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah AWT. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khusnya.
Ciputat,
Juni 2016
Ria Andriani
xi
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... ii ABSTRACT ............................................................................................................................ iii ABSTRAK .............................................................................................................................. iv PERNYATAAN PERSETUJUAN......................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI.......................................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ xv DAFTAR TABEL ................................................................................................................ xvi DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 A.
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
C.
Pertanyaan Penelitian .................................................................................................... 8
D.
Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 9
E.
Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 10
F.
Ruang Lingkup Penelitian........................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................... 12 A.
Tulang ......................................................................................................................... 12
B.
Proses pertumbuhan tulang ......................................................................................... 14
C.
Kepadatan tulang ........................................................................................................ 16 1.
D.
Puncak massa tulang (Peak Bone Mass) ................................................................. 16 Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang ...................................................... 19
xii
E.
Quantitative Ultrasound (QUS) .................................................................................. 30
F.
Kerangka Teori ........................................................................................................... 34
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 35 A.
Kerangka Konsep ........................................................................................................ 35
B.
Hipotesis ..................................................................................................................... 36
C.
Definisi Operasional ................................................................................................... 37
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................... 40 A.
Desain Penelitian ........................................................................................................ 40
B.
Tempat dan waktu Penelitian ...................................................................................... 40
C.
Populasi dan Sampel ................................................................................................... 41
D.
Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data.................................. 44
E.
Tahap Pengumpulan Data ........................................................................................... 48
F.
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................................... 50
G.
Pengolahan Data ......................................................................................................... 51
H.
Analisa Data ................................................................................................................ 53
I.
Etika Penelitian ........................................................................................................... 54
BAB V HASIL ....................................................................................................................... 57 A.
Gambaran Umum Tempat Penelitian .......................................................................... 57
B.
Karakteristik Responden ............................................................................................. 58
C.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 61
xiii
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................................... 65 A.
Karakteristik Responden ............................................................................................. 65
B.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang................................... 73
C.
Keterbatasan Penelitian ............................................................................................... 83
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 84 A.
Kesimpulan ................................................................................................................. 84
B.
Saran ........................................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 2.1 Kerangka Teori
34
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
35
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia
23
2.2 Nilai Kalsium Berbagai Jenis Pangan
25
3.1 Definisi Operasional
37
4.1 Cara Menghitung Skor Untuk mengkategorikan Aktivitas Fisik
46
5.1 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas
58
Pisangan Tangerang Selatan 5.2 Karakteristik Responden di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
59
5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik
60
Responden 5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden
61
di Puskesmas Pisangan 5.5 Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden
62
di Puskesmas Pisangan 5.6 Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden
63
di Puskesmas Pisangan 5.7 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden
63
di Puskesmas Pisangan 5.8 Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan
xvi
64
DAFTAR SINGKATAN
BMD : Bone Mineral Density DMT : Densitas Mineral Tulang IOF : International Osteoporosis Foundation ISCD : International Society of Clinical Densitometry QUS : Quantitative Ultrasound WHO : World Health Organitation
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent) 2. Lembar Kuesioner 3. Hasil Analisis Univariat 4. Hasil Analisis Bivariat
xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulang adalah jaringan hidup. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki konsistensi seperti karet dan berperan menentukan kekuatan tulang. tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal kalsium fosfat didalam matrik (Sherwood, 2012). Tulang merupakan bangunan yang dibentuk sebagai kerangka manusia, tempat melekatnya jaringan otot sehingga membentuk tubuh. Tanpa tulang, manusia bagaikan seonggok daging yang terkulai lemas, tidak dapat berdiri tegak, tidak dapat berjalan, berlari, atau pun mengangkat dan memindahkan barang (Purwoastuti, 2009) Densitas adalah kepadatan. Densitas tulang atau kepadatan tulang, yaitu berapa gram mineral per volume batang. Tulang yang normal itu kuat, karena mengandung protein, kolagen, dan kalsium (Tandra, 2009). Kepadatan tulang adalah massa tulang per volume tulang. Dengan definisi ini, volume diambil sebagai total volume spesimen tulang termasuk lubang tulang. Kalkulasi kepadatan tulang disebut juga “kepadatan structural” (Van, 2005). Pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum (puncak massa tulang) pada umur 25 tahun. Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita
1
2
(Wirakusumah, 2007). Menurut Tandra (2009) pada rentang usia 20-35 kepadatan tulang berada pada puncaknya dan resiko patah tulang sangat rendah. Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun. Semakin padat tulang sebelum usia tersebut, semakin kecil kemungkinan terjadi osteoporosis (Corwin, 2009). Kehilangan massa tulang sangat mungkin terjadi apabila nilai massa tulang rendah. Jika puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta menghindari konsumsi alkohol, kafein, soft drink, dan rokok. Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupun (Wirakusumah, 2007). Menurut Cosman (2009), massa tulang maksimum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang, tetapi nutrisi, olahraga, kualitas fungsi menstruasi, dan gaya hidup sehat juga ikut berperan. Jika faktor pembentukan tulang tidak maksimal yang nantinya menyebabkan berkurangnya massa tulang dan tulang menjadi rapuh barulah disadari dampak penurunan kepadatan tulang seperti tinggi badan berkurang, tibatiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah, atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk
3
(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Dampak berkurangnya kepadatan tulang akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, dan fraktur (Pudjiastuti, 2003). Osteoporosis merupakan salah satu penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak menunjukkan gejala-gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa nyeri pada tulang dan otot, terutama sering terjadi pada punggung. Berapa gejala umum osteoporosis, mulai dari patah tulang, tulang punggung yang semakin membungkuk, menurunnya tinggi badan, dan nyeri punggung (Menkes RI, 2015). World Health Organitation (WHO) memperkirakan pada pertengahan abad mendatang, jumlah patah tulang pada panggul karena gangguan kepadatan tulang (osteoporosis) akan meningkat tiga kali lipat, dari 1,7 juta pada tahun 1990 menjadi 6,3 juta pada tahun 2050 kelak. Data dari International Osteoporosis Foundation (IOF) menyebutkan bahwa seluruh dunia, satu dari tiga wanita dan satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko mengalami patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degenerative dan metabolik akan menjadi masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus terutama di negaranegara berkembang, termasuk di Indonesia. Jumlah penderita gangguan kepadatan tulang (osteoporosis) di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes, yang mematok angka 19,7 persen dari seluruh penduduk (Syam, dkk, 2014). Prevalensi osteoporosis di Indonesia berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan tahun 2006 menunjukkan hasil bahwa prevalensi osteoporosis
4
pada perempuan trennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini bisa disebabkan karena menopause dimana kadar hormon estrogen yang turun. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (53.3%), usia 50-80 tahun sebesar (22.5%). Sedangkan pada laki-laki prevalensi osteoporosis trendnya juga meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi tidak sebesar pada perempuan. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (11.9%). Penelitian Setyawati (2014) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden dewasa awal (usia 25-35 tahun) memiliki pengetahuan tentang osteoporosis dan kepadatan tulang yang kurang baik dan mengonsumsi kalsium kurang
dari
kecukupan
yang
dianjurkan.
Hasil
penelitian
selanjutnya
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian pengeroposan tulang. Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian pengeroposan tulang (Marjan, 2013). Wanita menopause yang kurang konsumsi kalsium berisiko untuk terkena osteoporosis (Heaney, 2003 dalam Marjan, 2013). Penelitian berikutnya menunjukkan hasil bahwa, Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor yang paling berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang setelah dikontrol variabel usia, asupan vitamin D, dan asupan protein. Semakin rendah IMT, maka semakin tinggi risiko gangguan kepadatan tulang (Mardiyah, 2014).
5
Penelitian Permatasari (2011) menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium. Aktivitas olahraga dengan pembebanan tidak berhubungan signifikan namun menunjukkan kecenderungan responden yang tidak berolahraga lebih banyak yang mengalami masalah kepadatan tulang dari pada yang berolahraga. Pengukuran DMT menggunakan metode Quantitative Ultrasound dengan keakuratan pengukuran sebesar 97%. Data sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2014 menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan dengan jumlah responden 44 usia 45-85 tahun yaitu, sebesar 41% responden menunjukkan hasil BMD ≤ -2,5 (osteoporosis), sebesar 59% responden menunjukkan hasil BMD < -1 (osteopenia), dan tidak ada responden yang menunjukkan hasil BMD >-1 (normal). Pada tahun 2015 hasil pemeriksaan kepadatan tulang di seluruh Puskesmas tangerang Selatan menunjukkan bahwa Puskesmas Pisangan yaitu, sebesar 95,5% responden menunjukkan hasil pemeriksaan kepadatan tulang tidak normal/mengalami pengeroposan tulang dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal. Studi Pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 23 Januari 2016 dengan wawancara pada 8 warga di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan didapatkan bahwa bahan makanan yang biasa dikonsumsi yaitu, tahu, tempe,
6
kacang panjang, ikan basah, telur, kangkung, sayur sop, dan sayur asam. 75% warga yang tidak olahraga dan 25% jarang berolahraga. 63% jarang minum susu, 37% tidak suka minum susu. Jika ada waktu luang digunakan untuk menonton tv, tidur-tiduran. Berdasarkan data-data hasil penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di wilayah Puskesmas Pisangan karena dari hasil data pemeriksaan kepadatan tulang di wilayah Tangerang Selatan tahun 2015 oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka tertinggi responden yang mengalami pengeroposan tulang adalah di Puskesmas Pisangan. Salah satu cara untuk mengurangi angka kejadian osteoporosis yaitu dengan cara mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang itu sendiri. Alasan peneliti memilih lansia awal karena pada usia saat itu proses puncak massa tulang sudah terlewati dan mulai terjadinya penurunan kepadatan tulang (Corwin, 2009). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan dengan mengukur kepadatan mineral tulang sampel menggunakan alat Quantitative Ultrasound (QUS). B. Rumusan Masalah Puncak pembentukan tulang (peak bone mass) yang optimal terutama terjadi pada masa dewasa yaitu pada rentang usia 20-35 tahun (Permatasari, 2011). Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun (Corwin, 2009). Penelitian
7
Permatasari tahun 2011 menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium. Puskesmas Pisangan merupakan salah satu puskesmas yang menunjukkan hasil tertinggi yang paling banyak mengalami kejadian pengeroposan tulang seTangerang Selatan dan Puskesmas terendah yaitu Puskesmas Paku Alam. Berdasarkan data hasil pemeriksaan kepadatan tulang oleh Dinas Kesehatan di Puskesmas Pisangan pada tahun 2015 menunjukkan hasil yaitu, sebesar 95,5% responden mengalami pengeroposan tulang/kepadatan tulang tidak normal, dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal. Dampak berkurangnya kepadatan tulang jika tidak ditangani yaitu seperti tinggi badan berkurang, tibatiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah, atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk (kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Kiranya peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, melalui beberapa aktivitas penelitian dan peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.
8
C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan? 2. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan kepadatan tulang? 3. Apakah ada hubungan status menopause dengan kepadatan tulang? 4. Apakah ada hubungan asupan kalsium dengan kepadatan tulang? 5. Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan kepadatan tulang? 6. Apakah ada hubungan perilaku merokok dengan kepadatan tulang? 7. Apakah ada hubungan kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang?
9
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Ciputat Timur Tangerang Selatan. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan b. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang c. Untuk mengidentifikasi hubungan antara status menopause dengan kepadatan tulang d. Untuk mengidentifikasi hubungan antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang e. Untuk mengidentifikasi hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang f. Untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang g. Untuk mengidentifikasi hubungan antara konsumsi alkohol kepadatan tulang
10
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menambah literature mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada pada lansia awal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat. 2. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam konteks keilmuan dan metodologi penelitian serta memberikan pengalaman yang berharga bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian. 3. Bagi Responden Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang dan mengetahui kepadatan tulang lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Ciputat Tangerang Selatan. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar, menambah informasi dan sebagai rujukan bagi peneliti lain untuk kepentingan pengembangan ilmu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal.
11
F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada warga di Posbindu Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan yang tergolong lansia awal yaitu berusia 46-55 tahun yang bertujuan
untuk
memperoleh
informasi
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kepadatan tulang pada warga tersebut. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner berisi item-item pertanyaan terkait jenis kelamin, status menopause, pemenuhan kebutuan kalsium pada sampel, aktivitas fisik, perilaku merokok dan perilaku mengkonsumsi alkohol, serta pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT) dengan menggunakan alat Quantitative Ultrasound Bone Densitometri. Populasi dalam penelitian ini adalah semua responden yang memeriksakan kepadatan tulangnya di Puskesmas Ciputat yang berusia antara 46-55 tahun (lansia awal). Penelitian ini dilakukan pada bulan April di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tulang Tulang adalah jaringan hidup. Karena merupakan jaringan ikat maka tulang terdiri dari sel dan matriks organic ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Selselt tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki sistensi seperti karet dan berperan menentukan kekuatan tensile tulang (keuletan tulang menahan patah yang ditimbulkan oleh tegangan). Tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal kalsium fosfat didalam matriks. Kristal inorganic ini memberi tulang kekuatan kompresi (kemampuan tulang mempertahankan bentuk ketika diperas atau ditekan). Jika seluruhnya terbentuk dari Kristal inorganic maka tulang akan rapuh, seperti potongan kapur. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati beton bertulang, namun tulang rapuh dan jauh lebih ringan, karena tulang memiliki campuran berupa perancah organik yang diperkeras oleh Kristal inorganik (Sherwood, 2012). Sebagai unsur pokok kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat dalam tengkorak dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tempat sel-sel darah dibentuk. Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fostaf, dan ion lain, yang
dapat
dilepaskan
atau
disimpan
12
dengan
cara
terkendali
untuk
13
mempertahankan konsentrasi ion-ion penting tersebut dalam cairan tubuh (Mescher, 2012). Tulang membentuk suatu sistem pengungkit yang melipatgandakan kekuatan yang dibangkitkan selama otot rangka berkontraksi dan mengubahnya menjadi gerakan tubuh. Jaringan bermineral ini memberi fungsi mekanis dan metabolic pada kerangka (Mescher, 2012). Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antar sel berkapur, yaitu matriks tulang, dan terdiri dari 3 macam sel tulang: 1) Osteosit , yang terdapat dalam rongga di antara lapisan matriks tulang (Mescher, 2012). Berada dalam kapsul, mempunyai benjolan banyak yang masuk ke saluran bercabang, dan menghubungkan sel dan kapsul yang lain disebut kanalikuli (Syaifuddin, 2006) 2) Osteblas, yang menyintesis unsur organic matriks (Mescher, 2012). Sel induk tulang guna mensintesis bahan organis dengan serat kolagen pada permukaan tulang, terpisah berubah menjadi osteosit kanalikuli yang terbentuk di sekeliling tonjolan tersebut (Syaifuddin, 2006). 3) Osteoklas, yang merupakan sel raksasa multinukleus yang terlibat dalam resorpsi dan remodeling jaringan tulang (Mescher, 2012).
14
B. Proses pertumbuhan tulang Penambahan ketebalan tulang dicapai melalui penambahan tulang baru di atas permukaan luar tulang yang sudah ada. Pertumbuhan ini dihasilkan oleh osteoblas di dalam peritoneum, suatu selubung jaringan ikat yang menutupi bagian luar tulang. sewaktu osteoblast aktif mengendapkan tulang baru di permukaan eksternal, sel lain di dalam tulang, osteoklas (“penghancur tulang”), melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam di dekat rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar untuk mengimbangi bertambahnya lingkar batang tulang (Sherwood, 2012) Pertambahan panjang tulang panjang dicapai melalui mekanisme yang berbeda. Tulang memanjang akibat aktivitas sel-sel tulang rawan, atau kondrosit, di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan di tepi luar lempeng di samping epifisis membelah dan memperbanyak diri, secara temporar memperlebar lempeng epifisis. Seiring dengan terbentuknya kondrosit-kondrosit baru di tepi epifisis, sel-sel tulang rawan yang sudah tua ke arah batas diafisis membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit matang secara temporer memperlebar lempeng epifisis. Penebalan sisipan lempeng tulang rawan ini mendorong epifisis tulang semakin jauh dari diafisis. Matriks yang mengelilingi tulang rawan paling tua segera mengalami kalsifikasi (Sherwood, 2012). Pembentukan tulang kembali digambarkan dengan keseimbangan fungsi osteoblast dan osteoklas. Proses ini terjadi pada tiap permukaan tulang berlanjut
15
sepanjang hidup (tiap tahun). Fungsi proses pembentukan tulang kembali yaitu untuk melindungi tulang dari efek kerusakan atau untuk menjaga kekuatan tulang (Trihapsari, 2009). Ada pendapat yang menyatakan bahwa proses pembentukan tulang kembali melindungi tulang dari efek kerusakan karena kelelahan yang terakumulasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali terjadi setelah tulang menjadi tua atau lemah atau mengalami keretakan kecil atau kerusakan mikroskopis berulang kali, yang akhirnya dapat mengurangi kekuatan tulang tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan yang rusak, osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblast) yang terbuat dari sel prekursor di sumsum tulang didatangkan ke area tersebut, mungkin juga oleh zat penarik. Osteoblast membentuk bagian tulang baru untuk menggantikan tulang yang dilarutkan oleh osteoklas (Cosman, 2009). Kekuatan tulang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tulang. kuantitas yaitu kepadatan tulang, sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang, kandungan mineral, dan mikroarsitektur tulang. Densitas mineral tulang dicapai maksimal pada usia 18 tahun dan tidak ada perbedaan jender. Stabilitas tulang ditentukan oleh arsitektur tulang dan DMT (Bazied, 2003).
16
C. Kepadatan tulang Kepadatan tulang adalah parameter yang harus diukur untuk mendiagnosis gangguan kepadatan tulang (osteoporosis). Perlu dicatat bahwa pemeriksaan kepadatan tulang untuk tujuan diagnosis sebagian besar didasarkan karena satusatunya parameter yang dapat diukur secara akurat di vivo. Kepadatan tulang adalah massa tulang per volume tulang (kg.m-1) (Mow & Huiskes, 2005). Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium (mineral tulang) pada suatu area atau volume tulang. Cara ini dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat atau lemahnya tulang seseorang (kepadatan tulang), sehingga dapat diketahui apakah seorang terkena osteoporosis atau osteopenia, dan risiko terkena fraktur (patah tulang) (Trihapsari, 2009). 1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass) Tulang tidak hanya mengalami pertumbuhan tetapi juga bertambah menjadi lebih padat pada masa anak-anak dan remaja (Wirakusumah, 2007). Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat, yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-40 tahun (Tandra, 2009). Pada umur 25 tahun, pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum (puncak massa tulang) (Wirakusumah, 2007). Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Umumnya puncak massa tulang lebih tinggi pada orang yang mempunyai rangka tubuh lebih besar dibandingkan
17
dengan orang yang memiliki rangka tubuh lebih kecil. Apabila nilai massa tulang rendah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang sangat mungkin terjadi. Jika nilai puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhih puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta menghindari konsumsi alkohol, kafein, soft drink, dan rokok (Wijayakusumah, 2007). Kurang lebih 50-80 persen puncak massa tulang ini dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga si anak muda akan menjadi lebih tinggi dan lebih besar, jika berasal dari keturunan atau orangtua yang memiliki postur tinggi dan besar. Masih ada faktor-faktor lain yang ikut memegang peran penting, antara lain kalsium, vitamin D, aktivitias fisik atau olahraga, berat badan, penyakit yang sedang diderita, atau keadaan pubertas yang datang terlambat (Tandra, 2009). Beberapa faktor lain akan memengaruhi puncak massa tulang seseorang, seperti diet, olahraga, merokok, dan minum alkohol. Begitu pula, hormon seks, amenore, atau tidak datang haid yang disebabkan oleh anoreksia nervosa atau penyakit lain juga akan menurunkan puncak massa tulang. Penggunaan pil KB atau kontrasepsi oral dengan hormon terbukti bisa meningkatkan puncak massa tulang. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah di atas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Sekitar 35 persen tulang padat dan 50
18
persen tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria akan berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tadi (Tandra, 2009). Pembagian kelompok umur oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 menyatakan bahwa kelompok lansia awal yaitu usia antara 46 sampai 55 tahun (Riauwi, 2014). Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupan (Wijayakusumah, 2007). Wanita akan kehilangan tulang lebih banyak daripada pria, karena laju penghancuran tulang meningkat akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa tulang yang sangat sedikit, sehingga sangat mudah mengalami patah tulang. Massa tulang akan berkurang setelah berusia sekitar 40 tahun. Wanita mengalami penurunan massa tulang setiap tahun sebanyak 1-5 persen, sedangkan untuk pria kurang dari 1 persen. Memang, bagi wanita, penurunan massa tulang lebih cepat dan lebih banyak. Ini disebabkan oleh estrogen dalam tubuh wanita yang makin berkurang (Tandra, 2009).
19
Perubahan massa tulang sepanjang kehidupan
Gambar 2.1 (Wijayakusumah, 2007) D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang Sebuah variasi genetik dan faktor lingkungan mepengaruhi puncak massa tulang. faktor genetik bisa memberikan (didapatkan ketika lahir dan tidak berubah, seperti jenis kelamin dan ras) bisa mencapai 75 persen dari massa tulang, dan faktor lingkungan (seperti diet dan kebiasaan latihan) sisanya, yaitu sebesar 25 persen (NIH, 2015). 1. Jenis Kelamin Puncak massa tulang cenderung lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Sebelum pubertas, laki-laki dan perempuan mendapatkan massa tulang pada nilai yang hampir sama. Setelah pubertas, laki-laki cenderung mendapatkan massa tulang yang lebih besar dari pada perempuan (NIH,
20
2015). Massa tulang wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria. Nilai massa tulang wanita umumnya hanya sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram. Karena nilai massa tulang yang rendah itulah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang sangat mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007). 2. Ras Alasannya masih belum jelas, wanita Afrika Amerika cenderung memiliki puncak massa tulang lebih besar dari pada wanita Caucasian. Perbedaan pada densitas tulang ini terlihat selama masa kanak-kanak dan masa remaja (NIH, 2015). Ras campuran Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih dari Eropa memiliki masa tulang terendah. Ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Wanita Afrika-Amerika memiliki massa tulang yang lebih padat, rangka tulang dan massa otot yang lebih besar. Antara massa tulang dan massa otot terdapat kaitan yang erat. Semakin besar otot, tekanan pada tulang semakin tinggi dan tulang semakin besar. Ditambah lagi kadar hormon estrogen ras AfrikaAmerika lebih tinggi dari ras yang lain sehingga wanita Afrika-Amerika cenderung lebih lambat menua daripada wanita kulit putih (Wirakusumah, 2007).
21
3. Status Menopause Fase menopause disebut pula sebagai periode klimakterium (climacter = tahun perubahan/pergantian tahun yang berbahaya). Menopause merupakan peristiwa fisiologis alamiah. Terjadi setelah berhentinya menstruasi selama 1 tahun. Biasanya, menstruasi mulai berkurang selama 2-5 tahun, paling sering antara umur 48-55 tahun, rata-rata pada umur 51,4 tahun (Wicaksana, 2009). Kehilangan kalsium dari jaringan tulang terjadi pada masa menopause. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat jumlah estrogen dan progesteron menurun. Hormon estrogen diproduksi wanita dari masa kanakkanak sampai dewasa. Hormon tersebut diperlukan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Rendahnya hormon estrogen dalam tubuh akan membuat tulang menjadi keropos dan mudah patah (Wijayakusumah, 2009). Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Wardhana, 2012). Hormon estrogen memiliki efek pada puncak massa tulang. Sebagai contoh, wanita yang menstruasi pertamanya di usia yang muda dan menggunakan kontrasepsi oral, yang mana berisi estrogen, sering kali
22
memiliki densitas mineral tulang yang tinggi. Sebaliknya, wanita muda yang periode menstruasinya berhenti karena berat badan rendah yang ekstrim atau latihan yang berlebihan, sebagai contoh, mungkin kehilangan yang signifikan jumlah dari densitas tulang, yang mana mungkin tidak bisa menyembuhkan walaupun setelah periode menstruasi kembali lagi (NIH, 2015). 4. Asupan Nutrisi Kalsium Kalsium (Ca) adalah elemen yang paling besar jumlahnya di dalam tubuh. Kalsium merupakan konsistuen penting skeleton dan gigi yang berjumlah kira-kira 99% dari total kalsium tubuh. Di samping itu, kalsium adalah konsistuen esensial pada sel-sel hidup dan cairan jaringan. Secara kuantitatif, partisipasi kalsium dalam pembentukan tulang adalah fungsi kalsium yang paling penting. Kalsium berinteraksi dengan fosfat membentuk kalsium fosfat. Kalsium fosfat adalah material keras dan padat yang membentuk tulang dan gigi. Tulang diketahui tidak hanya sebagai pendukung atau komponen struktural tubuh, tetapi juga sebagai jaringan yang secara fisiologis menjadi sumber kalsium untuk pemeliharaan kondisi homeostasis (Soeparno, 2011). Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Walaupun pada bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun, setelah usia 20 tahun, secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini, terdiri dari 99% kalsium yang berada di dalam jaringan keras yaitu
23
pada tulang dan gigi (Wirakusumah, 2007). Kebutuhan kalsium harus dipenuhi dari asupan makanan karena kalsium pada makanan diserap pada usus halus dengan proses transport aktif (Martin, 1985 dalam Kosnayani, 2007). Kurang lebih terdapat 1 kg kalsium dalam tulang orang dewasa. Variasi kebutuhan tubuh akan kalsium lebih bergantung pada laju perkembangan tulang ketimbang kebutuhan metabolik. Kebutuhan maksimal terjadi selama puncak masa pertumbuhan cepat pada remaja, yang mencapai 1200 mg/hari, maka asupan kalsium sangat vital pada saat itu, untuk menjamin mineralisasi tulang yang adekuat (Barasi, 2007). Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia (perorang perhari) Umur (tahun)
Laki-laki (mg)
Perempuan (mg)
16-18 tahun
1200
1200
19-29 tahun
1100
1100
30-49 tahun
1000
1000
50-64 tahun
1000
1000
65-80 tahun
1000
1000
Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013 Kalsium adalah nutrisi esensial untuk kesehatan tulang. Defisiensi kalsium pada orang muda tercatat memiliki perbedaan yang signifikan di
24
puncak massa tulang dan bisa meningkatkan resiko fraktur hip di kehidupan selanjutnya. Survei mengindikasikan bahwa wanita belasan tahun di United States memiliki lebih sedikit dari pada laki-laki belasan tahun untuk mendapatkan kecukupan kalsium (NIH, 2015). Fungsi utama kalsium adalah mengisi kepadatan (densitas tulang). Cadangan kalsium tubuh terdapat dalam tulang. Jika kekurangan kalsium tubuh akan mengambil cadangan kalsium di bank tulang. Semakin lama semakin banyak kalsium yang diambil, tulang semakin tipis, dan kemudian keropos. Asupan kalsium pada usia lanjut umumnya menurun karena kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium. Disamping itu, bertambahnya usia dapat menurunkan daya serap terhadap kalsium (Wirakusumah, 2007). Bullamore JR et al meneliti pengaruh usia pada penyerapan kalsium. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyerapan kalsium menurun setelah usia 60 tahun dan setelah usia 80 tahun terjadi malabsorpsi yang signifikan (Limawan, 2015). Densitas tulang berbeda-beda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Proses densitas tulang hanya berlangsung hingga seseorang berusia 30 tahun. (Wirakusumah, 2007). Bila makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan tulang. Makanan sumber kalsium, fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negative dari berkurangnya
25
keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan massa kalsium pada tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah, 2007). Tabel 2.2 Nilai kalsium berbagai jenis pangan (mg/100g) Jenis Pangan
Mg
Jenis Pangan
Mg
Ikan bandeng presto
1422
Oncom
96
Susu skim
123
Udang kering
1209
Ikan rebon segar
31
Udang segar
136
Keju
777
Toge
29
Daging ayam
13
Bayam
267
Daging sapi
3
Kacang ijo
125
Susu kental manis
300
Kacang panjang
163
Yogurt
120
Mujair goreng
346
Es krim
123
Telur ayam
54
Mentega
15
Telur asin
120
Susu kedelai
50
Sawi
220
Jeruk
33
Daun singkong
165
Sarden kaleng
354
Kangkung
73
Tempe kedelai
129
Kacang merah
84
Tahu
124
Kacang tanah
58
Sumber : Atmarita, 2005.
26
5. Aktivitas fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh responden sehari-hari yang meliputi olahraga, kegiatan diwaktu bekerja, serta kegiatan di waktu luang (Baecke, 1982). Wanita dan laki-laki dan dewasa muda yang latihan secara teratur mencapai lebih besar puncak massa tulang dibandingkan yang tidak melakukan latihan. Perempuan dan pria berumur 30 tahun dan lebih bisa membantu mencegah kehilangan tulang dengan latihan teratur. Aktivitas yang terbaik untuk tulang adalah latihan weight-bearing. Latihan ini melatih kekuatan yaitu dengan bekerja melawan gravitasi, seperti berjalan, hiking, jogging, naik turun tangga, bermain tennis, menari, dan latihan berat (NIH, 2015). Aktivitas olahraga dengan pembebanan (weighbearing exercise) dapat membantu pembentukan osteoblast lebih aktif. Olahraga lompat tali atau jalan kaki sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau empat kali dalam seminggu dapat meningkatkan massa panggul dan mengurangi penurunan massa tulang (Permatasari, 2011). Semakin rendah aktivitas fisik, maka densitas tulang pun beresiko menjadi lebih rendah. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik (olahraga) dapat membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat, juga meningkatkan keseimbangan metabolisme tubuh (Wirakusumah, 2007). Olahraga baik bagi tulang maupun aspek kesehatan lain. Tidak bergerak sama sekali mempercepat penurunan massa tulang, sementara olahraga menahan beban tubuh meningkatkan massa tulang. pada orang dewasa, olahraga dapat
27
memperlambat penurunan massa tulang akibat usia serta meningkatkan kesehatan secara umum, sehingga mengurangi risiko terjatuh. Olahraga membantu memperkuat tulang (Trihapsari, 2009). Wanita yang malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses osteoblasnya. Selain itu, kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan berolahraga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa (Zaviera, 2008). Menurut dr. Sadoso, olahraga mampu meningkatkan DMT atau mengurangi hilangnya jaringan tulang pada kaum muda,
pramenopause,
dan
pascamenopause.
Berbagai
penelitian
menunjukkan, puncak massa tulang anak-anak sampai dewasa yang aktif berolahraga lebih tinggi daripada yang jarang berolahraga (Zaviera, 2008) 6. lifestyle Behaviors a) Perilaku Merokok Merokok bisa berhubungan dengan rendahnya densitas tulang di masa remaja ataupun perilaku yang tidak sehat lainnya, seperti minum alkohol dan kebiasaan duduk yang terus menerus.
Fakta buruk efek
negative dari merokok pada puncak massa tulang, dan perokok tua akan menambahkan risiko untuk kehilangan massa tulang dan fraktur (NIH, 2015). Pada wanita perokok ada kecenderungan kadar estrogen dalam tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki masa menopause lima tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok. Kecepatan
28
kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita perokok. Asap rokok dapat menghambat kerja ovarium dalam memproduksi hormon estrogen. Disamping itu, nikotin juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap dan menggunakan kalsium (Wirakusumah, 2007). Penelitian menunjukkan bahwa merokok mempercepat kehilangan tulang serta turut andil atas berkurangnya kemampuan penyerapan kalsium (Trihapsari, 2009). Perokok sangat rentan terkena DMT tidak normal karena zat nikotin yang terdapat didalamnya dapat mempercepat penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunansusunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping
itu,
rokok
juga
menimbulkan
hipertensi,
PJK,
dan
tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila darah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin dapat menyebabkan rendahnya DMT baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek rokok pada tulang mulai terasa setelah usia 35 tahun, karena proses pembentukan tulang pada umur tersebut mulai terhenti (Trihapsari, 2009). b) Kebiasaan Konsumsi Alkohol Efek mengkonsumsi alkohol untuk puncak massa tulang masih belum jelas. Efek alkohol pada tulang telah dipelajari secara lebih
29
ekstensif pada orang dewasa, dan hasilnya mengindikasikan bahwa mengkonsumsi tinggi alkohol berhubungan dengan densitas tulang yang rendah. Para ahli mengasumsikan bahwa mengkonsumsi alkohol secara tinggi di masa muda memberikan efek yang merugikan untuk kesehatan skeletal (NIH, 2015). Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung yang terjadi beberapa saat setelah minum-minuman beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol akan menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah (Wirakusumah, 2007). Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Agustin, 2009).
30
E. Quantitative Ultrasound (QUS) Densitas adalah kepadatan. Pemeriksaan kepadatan mineral tulang adalah untuk mengetahui adanya penurunan densitas tulang. Penentuan densitas tulang bisa dengan densitometry, computed tomography (CT), atau ultrasound (US) (Tandra, 2009). Normalnya, setiap tulang mempunyai kepadatan tulang yang berbeda. Untuk menyesuaikan standar pelaporan hasil dari tempat dan teknologi yang berbeda, ukuran kepadatan tulang biasanya dinyatakan sebagai nilai-T dan nilai-Z (Cosman, 2009). Nilai-T dihitung dari hasil pengukuran kepadatan tulang seseorang, variasi hasil pengukuran kepadatan tulang, dan kepadatan tulang rata-rata dari populasi referensi normal kelompok usia muda dengan massa tulang maksimum (Cosman, 2009). Ada sedikit perbedaan antarprodusen alat pengukur kepadatan tulang dalam hal penentuan usia populasi referensi yang digunakan untuk menentukan nilai T, tetapi biasanya antara 20 dan 35 tahun. Pada rentang usia ini kepadatan tulang berada pada puncaknya dan risiko patah tulang karena pengeroposan tulang sangat rendah. Hasilnya dinyatakan dalam nilai standar deviasi (SD) di atas atau di bawah rata-rata hasil pengukuran untuk anak muda normal (Cosman, 2009). Hasil Nilai-T bisa plus atau minus. Bila hasil nol, artinya densitas tulang sama dengan orang muda normal. Bila plus, artinya tulang lebih padat daripada orang muda. Bila minus, densitas tulang lebih rendah daripada orang muda normal (Tandra, 2009).
31
Nilai-Z berdeda dengan Nilai-T, Nilai-Z membandingkan BMD seseorang dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan berat badan yang sama. Hasil yang negative berarti tulang Anda keropos, sedangkan hasil yang positif menyatakan tulang Anda lebih kecil memiliki risiko patah tulang dibandingkan dengan rata-rata orang lain (Tandra, 2009). Secara umum, tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%. Namun, terdapat perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi, densitas tulang pada tempat tertentu merupakan predictor utama fraktur pada tempat tersebut (Trihapsari, 2009). Ultrasound adalah jenis gelombang suara dengan frekuensi melebihi kisaran pendengaran normal manusia (>20kHz). Frekuensi yang digunakan di QUS biasanya terletak di antara 200 kHz dan 1,5 MHz. Suara yang dihasilkan oleh pemeriksaan piezoelectric yang unik adalah pemancaran dan pelintasan longitudinal atau horizontal melalui tulang yang akan diperiksa. Biasanya ada dua pemeriksaan pada perangkat QUS : emisi dan alat penerima. Segmen tulang yang akan diperiksa akan ditempatkan di antara alat pemeriksaan ini dan gelombang ultrasound yang dipancarkan dari alat emisi melalui tulang akan dirasakan oleh alat penerima (Chin, 2013). Ultrasound mengukur kecepatan suara, saat sinar ini bergerak menembus tulang dan jaringan lunak diatasnya, dan pengurangan kuat sinyal, atau jumlah gelombang suara yang hilang saat bergerak menembus bagian tubuh yang diukur. Teknik ini tidak membuat orang terpapar radiasi karena
32
menggunakan suara bukanya sinar X, dan tidak membutuhkan ahli radiologi untuk melakukan prosedurnya (Cosman, 2009). Cara kerja QUS menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band) dan kekuatan (stiffinss). Keuntungannya adalah mudah dibawa ke mana-mana, tetapi kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokasi osteoporosis secara tepat (Wirakusumah, 2007). Alat ini biasanya mengukur tulang di kalkaneus (tumit), tetapi juga bisa mengukur lengan bawah dan tulang kering (Cosman, 2009). Pengukuran DMT dengan gelombang ultrasonik yaitu metode QUS biasa digunakan untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus) dan jari (±1 menit). Cara ini tidak menggunakan radiasi dan dapat memberikan informasi mengenai massa tulang dan menilai organisasi struktur tulang (Trihapsari, 2009). Menurut International Society of Clinical Densitometry (ISCD), kalkaneus QUS adalah satu-satunya yang diakui untuk pengukuran QUS sebagai penentu status kesehatan tulang karena lebih banyak penelitian telah dilakukan pada kalkaneus dibandingkan dengan segmen tulang yang lainnya. Selain itu, kalkaneus terdiri dari 95% tulang trabecular dan memiliki dua permukaan lateral yang memfasilitasi pergerakan ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound muncul sebagai alat skrining yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam deteksi dini osteoporosis. Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah
33
pencegahan yang harus diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis selanjutnya (Chin, 2013). Kriteria World Health Organization (WHO) untuk menentukan berat ringannya keropos tulang, memberlakukan kriteria yang sudah diterima oleh seluruh dunia. Bila T-Score sama dengan atau lebih rendah dari -2,5 dinamakan osteoporosis. Bila T-Score di bawah -1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang yang rendah. T-Score di antara -1 sampai +1 dikatakan Bone Mineral Density (BMD) yang normal. Orang dengan T-Score di bawah -2,5 yang disertai dengan fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis yang berat (severe or established osteoporosis) (Tandra, 2009).
34
F. Kerangka Teori
JENIS KELAMIN
FAKTOR GENETIK
RAS
STATUS MENOPAUSE KEPADATAN TULANG
FAKTOR LINGKUNGAN
NUTRISI (ASUPAN KALSIUM)
AKTIVITAS FISIK
LIFESTYLE BEHAVIOR -
MEROKOK
-
KONSUMSI ALKOHOL
(Modifikasi NIH, 2015, Cosman, 2009 & Wirakusumah, 2007)
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti membuat suatu kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut : Variabel Independent
Variabel Dependent
1. Jenis Kelamin 2. Status menopause 3. Nutrisi Kepadatan tulang
4. Aktivitas fisik 5. Perilaku Merokok 6. Konsumsi alkohol
35
36
B. Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia awal akhir di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 2. Ada hubungan antara status menopuase dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 3. Ada hubungan antara asupan kalsium dengan kedapatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 4. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 5. Ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 6. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan
37
C. Definisi Operasional Variabel
Definisi
Kepadatan
Pemeriksaan kepadatan mineral Tulang
pada Quantitative
tulang
tulang untuk mengetahui adanya bagian
tumit Ultrasound (QUS)
penurunan Ukuran
Cara Ukur
densitas kepadatan
Alat Ukur
tulang. diletakkan di atas tulang alat
dinyatakan sebagai Nilai-T.
Hasil Ukur
Skala
1. Normal = Nilai-T - Ordinal 1 sampai +1 2. Tidak normal :
pengukur a. Osteopenia
kepadatan tulang
=
Nilai-T < -1,0 b. Osteoporosis
=
Nilai-T ≤ -2,5 (Tandra, 2009). Jenis
Tanda fisik yang teridentifikasi Kuesioner
Kelamin
pada
responden
dan
dibawa
Kuesioner
1) Perempuan 2) Laki-laki
Nominal
38
sejak dilahirkan. Status
Saat seorang wanita berhenti Kuesioner
menopause
mendapat haid selama 1 tahun
Kuesioner
1. Sudah menopause
Nominal
2. Belum menopause
terakhir Asupan
Perilaku
Nutrisi
mengkonsumsi
(kalsium)
makanan/minuman mengandung
responden Wawancara
Food yang
kalsium
dalam
1. Cukup ≥ 100%
Kuesioner Frequency
Questiionnaire (FFQ)
Ordinal
AKG 2. Kurang < 100% AKG
waktu 1 tahun terakhir. (Menkes RI, 2013)
Aktivitas
Kegiatan
yang
dilakukan Kuesioner
fisik
responden
sehari-hari
yang
Kuesioner aktivitas
Kategori : fisik
1. Aktivitas ringan :
Ordinal
39
meliputi
olahraga,
kegiatan
diwaktu bekerja, serta kegiatan di waktu luang.
(Baecke
< 5,6
Questionnaire) Kuesioner
2. Aktivitas sedang : ini
terdiri dari 17 item pertanyaan
5,6-7,9 3. Aktivitas berat : >7,9 (Baecke, 1982)
Perilaku
Perilaku
merokok
adalah Kuesioner
Merokok
merokok secara aktif selama
Kuesioner
1) Ya
Nominal
2) Tidak
minimal 1 tahun. Konsumsi
Konsumsi
alkohol
Alkohol
penggunaan alkohol lebih dari 750 mL per minggu.
adalah Kuesioner
Kuesioner
1) Ya 2) Tidak
Nominal
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Penelitian cross sectional merupakan penelitian non eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu. Variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Pengertian pada saat yang sama disini bukan berarti pada satu saat observasi dilakukan pada semua subjek untuk semua variabel, tetapi tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja, dan faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau status waktu diobservasi (Sumantri, 2011). Desain tersebut dipilih oleh peneliti dengan pertimbangan waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, relative murah namun tetap dapat menjelaskan variabel yang diteliti. B. Tempat dan waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di 3 Posbindu di naungan wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016. Daerah tersebut dipilih karena belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang berkaitan dengan asupan kalsium,
40
41
status menopause, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol pada lansia awal di Puskesmas Pisangan. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 11 sampai 22 April 2016. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berusia lansia awal yang datang ke Posbindu untuk memeriksakan kepadatan tulang di wilayah kerja Puskesmas Pisangan. 2. Sampel Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi setelah sekelompok individu yang merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/ pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian dilakukan pada sampel yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma, 2011). Sampel penelitian ini adalah masyarakat wilayah Pisangan Ciputat yang melakukan pengecekan kepadatan tulang di Posbindu naungan Puskesmas Pisangan menggunakan alat Quantitative Ultrasound. Teknik pengambilan sampel ini menggunakan
42
teknik Purpossive Sampling dimana sampel yang diambil berdasarkan kriteria yang memenuhi inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan peneliti, yaitu: a. Kriteria Inklusi 1) Kesadaran baik 2) Usia antara 46-55 tahun (lansia awal) 3) Mampu berkomunikasi dengan baik 4) Pasien yang memeriksakan diri di Posbindu naungan Puskesmas Pisangan 5) Bersedia menjadi responden Besar sampel/ teknik sampel Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus pengujian hipotesa beda dua proporsi kelompok independen, yaitu :
Keterangan : N
= besar sampel yang diharapkan
43
Z1-α/2
= Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada uji dua sisi, derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5% sehingga nilai Z = 1,96
Z1-β
= Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β, kekuatan uji yang digunaan adalah 95% yaitu dengan nilai Z = 1,64
P P1
= (P1+P2)/2 = Proporsi asupan kalsium (kurang) dengan DMT tidak normal, sebesar 58,4% (Trihapsari, 2009)
P2
= Proporsi asupan kalsium (cukup) dengan DMT tidak normal, sebesar 19% (Trihapsari, 2009)
n = 49,5 = 50 Karena menggunakan rumus uji beda proporsi. Maka hasil dikali dua : 50 X 2 = 100 Untuk menghindari terjadinya sampel yang drop out dan sebagai cadangan maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel dalam penelitian ini adalah : 100 + 10 = 110 responden.
44
D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data a. Pengambilan data kepadatan tulang Pengukuran densitas mineral tulang peneliti bekerja sama dengan pihak Diabetasol untuk melakukan peminjaan alat pengukuran kepadatan tulang yang nantinya alat tersebut akan dibawa ke posbindu naungan Puskesmas Pisangan. Proses pengukuran densitas mineral tulang dilakukan kepada seluruh pengunjung posbindu yang datang
yang
termasuk dalam kriteria inklusi. Pada saat perizinan alat peneliti hanya menghubungi petugas yang bertanggung jawab dengan alat tersebut. Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan oleh petugas dari Deabetasol itu sendiri. Pengukuran kepadatan mineral tulang dengan metode Quantitative Ultrasound (QUS) dengan keakuratan 97%. Pengukuran ini dilakukan pada tulang kalkaneus (tumit) sebelah kanan responden selama kurang lebih 1 menit. Nilai T-score >-1 menunjukkan DMT normal, nilai T-score <-1 menunjukkan osteopenia, dan nilai T-score ≤-2,5 menunjukkan osteoporosis. b. Sumber Data Data yang diambil, berasal dari data primer terdiri dari : 1) Data jenis kelamin, status menopause, kebiasaan merokok, dan minum-minuman beralkohol diperoleh dari jawaban kuesioner.
45
2) Data asupan nutrisi konsumsi Kalsium diperoleh dengan melakukan pengisian formulir Food Frequence Questionnaire Method (FFQ). 3) Data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian kuesioner Baecke. Pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh pihakpihak terkait seperti, para pegawai di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, pegawai posbindu, dan para kader. Penelitian ini juga dibantu oleh pihak Deabetasol dalam melakukan pemeriksaan kepadatan tulang, serta para teman-teman dari peneliti juga ikut berperan dalam pengumpulan data tersebut. 2. Instrumen Pengumpulan Data Berikut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian: a. Quantitative Ultrasound Quantitative Ultrasound digunakan untuk mengukur kepadatan tulang responden selama kurang lebih 1 menit. b. Food Frequence Questionnaire Method (FFQ) Food Frequency Questionnaire Methode (FFQ) adalah metode dietary assessment dalam konteks individual level yang mencatat frekuensi makan individu terhadap suatu bahan makanan (<100) dalam kurun waktu tertentu (hari, minggu, bulan, dan tahun) (Rahmawati, 2010).
46
c. Baecke Questionnaire Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007). pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Baecke et al. (1982) yang terbagi atas tiga subbagian, yaitu aktivitas olahrga, aktivitas saat bekerja, dan aktivitas saat waktu luang. Tabel 4.1 Cara menghitung skor untuk mengkategorikan aktivitas fisik No
Aktivitas fisik
1
Indeks Waktu Kerja (IWK) Pertanyaan no A1 s/d A8 dikategorikan menjadi 1. Pekerjaan Ringan : supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT 2. Sedang : buruh pabrik, tukang kayu 3. Berat : buruh bangunan, pedagang keliling dan petani Kemudian diberi skor 1-5 dan dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IWK = {no.A1+(6 – no.A2)+no.A3+A4+A5+A6+A7+A8} : 8
2
Indeks Waktu Olahraga (IWO) Pertanyaan dari no.B1 s/d B5. Kategori untuk no.B1 yaitu 1. Ya 2. Tidak (responden yang tidak olahraga diberi skor 0) Untuk no.B2 terdiri dari jenis olahraga (intensitas), waktu, dan proporsi.
47
Intensitas : 1. Tingkat ringan (golf, bowling, memancing) = 0,76 2. Tingkat sedang (bulutangkis, sepeda, senam, renang, jogging) = 1,26 3. Tingkat berat (basket, sepakbola) = 1,76 Waktu : 1. <1 jam/ minggu = 0,5 2. 1-2 jam/mminggu = 1,5 3. 2-3 jam/minggu = 2,5 4. 3-4 jam/minggu = 3,5 5. >4 jam/minggu = 4,5 Proporsi : 1. <1 bulan/tahun = 0,04 2. 1-2 bulan/tahun = 0,17 3. 2-3 bulan/tahun = 0,42 4. 3-4 bulan/tahun = 0,67 5. >4 bulan/tahun = 0,92 Kemudian dihitung dengan rumus :
intensitas x waktu x proporsi)
No.B3-B5 dinilai dengan skor 1-5 yang dikategorikan menjadi 5, antara lain : 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering Selanjutnya dihitung dengan rumus : IWO = (B2 + B3 + B4 + B5) : 4 3
Indeks Waktu Luang (IWL) Terdiri dari pertanyaan no.C1 s/d C4 Untuk no.C1 s/d C3 diberi skor 1-5, yaitu :
48
1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering Dan untuk kategori no.C4 yaitu : 1. <5 menit 2. 5-15 menit 3. 16-30 menit 4. 31-45 menit 5. >45 menit Kemudian dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IWL = {(6-no.C1)+no.C2+no.C3+no.C4} : 4 Dari hasil perhitungan masing-masing indeks, kemudian dihitung aktivitas fisik dengan rumus IWK + IWO + IWL, selanjutnya dikategorikan menjadi 3, yaitu : 1. Aktivitas ringan : < 5,6 2. Aktivitas sedang : 5,6 – 7,9 3. Aktivitas berat : >7,9
E. Tahap Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan bulan April tahun 2016. Data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: 1. Setelah tema penelitian disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti membuat surat perizinan kepada dinas kesehatan Tangerang Selatan untuk mengambil
49
data hasil pemeriksaan kepadatan tulang pada tahun 2015 di wilayah Tangerang selatan untuk menentukan tempat penelitian yang akan dilakukan. 2. Setelah menentukan tempat penelitian yaitu di Puskesmas Pisangan peneliti membuat surat perizinan kepada kepala Puskesmas Pisangan untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. 3. Peneliti bekerja sama dengan pihak Deabetasol untuk melakukan peminjaman alat pengecekan kepadatan tulang. 4. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan kepadatan tulang (DMT) dibantu oleh pihak Deabetasol di Posbindu wilayah cakupan Puskesmas Pisangan dengan alat Quantitative Ultrasound Bone Density. 5. Setelah dilakukan pengukuran DMT peneliti dibantu oleh teman-teman menyebarkan kuesioner untuk penilaian serta memberikan lembar inform consent dan memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner. 6. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengecekan apakah data yang terkumpul sudah lengkap atau belum. Setelah lengkap, data diberi kode pada masing-masing pernyataan untuk mempermudah saat analisis data. 7. Setelah data dianalisis selanjutnya menyimpulkan hasil data yang telah didapat.
50
F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian 1. Hasil Uji Validitas Validitas menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sebuah instrument dikatakan valid jika instrument itu mampu mengukur apa-apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Hasil uji validitas kuesioner Baecke untuk aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007). Kuesioner perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol dilakukan uji keterbacaan. Perhitungan dilakukan dengan rumus korelasi Pearson Product Moment yang rumusnya adalah :
Keterangan : r = Koefisien korelasi n = Jumlah responden X = Skor tiap item pertanyaan Y = Skor total (Pratisto, 2005). 2. Hasil Uji Reliabilitas Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur reliabilitas data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Reliabilitas instrument adalah
51
adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Teknik pengujian pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach (α), dalam uji reliabilitas r hasil adalah alpha. Hasil uji reliabilitas untuk kuesioner aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007). G. Pengolahan Data Dalam melakukan analisa, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantarannya (Hidayat, 2008). 1. Editing Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau
dikumpulkan.
Editing
dapat
dilakukan
pada
tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang dilakukan dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan, relevansi, dan konsistensi jawaban. Peneliti memeriksa kelengkapan data dengan cara memastikan bahwa jumlah kuesioner yang terkumpul sudah memenuhi jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap pertanyaan dalam kuesioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan
52
konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang bertentangan dengan data lain. 2. Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel. Kepadatan tulang diberi kode 1=normal, 2=osteopenia, dan 3=osteoporosis; jenis kelamin diberi kode 1=perempuan, 2=laki-laki; status menopause diberi kode 1=belum menopause, 2=sudah menopause; asupan kalsium diberi kode 1=cukup, 2=kurang; aktivitas fisik diberi kode 0=ringan, 1=sedang, dan 2=berat; perilaku merokok diberi kode 0=tidak merokok, 1=merokok; dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol diberi kode 0=tidak mengkonsumsi alkohol, 1=mengkonsumsi alkohol. Kegiatan ini dilakukan apabila semua kuesioner sudah diedit atau disunting. 3. Entry Data Entry Data merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam master table atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana. Program untuk analisis data : SPSS. Data yang dimasukkan berupa kepadatan tulang, jenis kelamin, status menopause, asupan nutrisi kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan merokok.
53
4. Processing Data Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga data sudah dikoding, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisis. Proses pengolahan data dilakukan dengan cara memindahkan data dari kuesioner ke paket program komputer pengolahan data statistik. 5. Cleaning data Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah dientry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat meng-entry data ke komputer. Hal ini dilakukan ketika semua data dan variabel
sudah dimasukkan ke dalam SPSS. Sebelum dilakukan analisis,
peneliti mengecek kembali pengkodean yang sudah di cantumkan dalam variabel tersebut apakah sesuai atau tidak. Ditemukan hasil tidak ada missing data dan tidak ada kesalahan input. H. Analisa Data 1. Analisa Univariat Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel dependen dan independen. Variabel independen diantaranya faktor jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas fisik, dan gaya hidup (perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol). Sedangkan variabel dependen yaitu kepadatan tulang.
54
2. Analisa Bivariat Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel dependen (kepadatan tulang) dengan variabel independen (jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas fisik, dan gaya hidup : perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol). Teknik analisa yang digunakan adalah analisa Chi-Square dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti hasil perhitungan statistic bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. I. Etika Penelitian Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian mengingat peneliti keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika peneliti harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian (Hidayat, 2008). Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian ini mencakup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh
55
peneliti bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2012). Dalam melakukan penelitian menekankan masalah etika penelitian yang meliputi: 1. Lembar Persetujuan (informed consent) Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud, tujuan penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus menandatangai lembar persetujuan.
Jika
responden
tidak
bersedia,
maka
peneliti
harus
menghormatinya. 2. Tanpa Nama (Anonimity) Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunakaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan. 3. Kerahasiaan (Confidentiality) Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.
56
Etika penenlitian bertujuan untuk menjamin kerahasiaan identitas responden, melindungi dan menghormati hak responden dengan mengajukan surat pernyataan persetujuan (Informed consent). Sebelum menandatangani persetujuan, peneliti menjelaskan judul penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan menjelaskan kepada responden bahwa peneliti tidak akan membahayakan responden. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan apabila telah selesai maka data tersebut akan dimusnahkan.
BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian 1. Lokasi Puskesmas Pisangan adalah puskesmas yang ada di kecamatan Ciputat Timur, yang terletak di sebelah tenggara Tangerang, dengan luas wilayah : 797 Ha, dengan sebagian besar tanah darat dan sisanya rawa. 2. Program Puskesmas Adapun program yang terdapat di Puskesmas Pisangan yaitu program wajib puskesmas, program kesehatan pengembangan, dan program pengembangan pilihan. a. Program Wajib Puskesmas meliputi : Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu, Kesehatan Anak, Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi Masyarakat, dan Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit. b. Program Kesehatan Pengembangan meliputi : Program Lansia, Program Remaja, dan Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) c.
Program Pengembangan Pilihan meliputi : Program Pelayanan Kesehatan Mata, dan Program Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Gigi dan Mulut.
3. Program Kesehatan Usia Lanjut/Lansia Tujuan : Meningkatkan pelayanan kesehatan usia lanjut. Sasaran : Meningkatnya derajat kesehatan lansia agar tetap aktif dan produktif.
57
58
Kegiatan : a. Melaksanakan posbindu di 2 kelurahan b. Penilaian dan pembinaan posbindu c. Pelayanan lansia di puskesmas Sarana tenaga kesehatan yang terdapat di Puskesmas Pisangan meliputi, 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 1 ahli gizi, 3 perawat, 6 bidan, 3 perawat gigi, 1 tata usaha, dan 3 petugas administrasi. B. Karakteristik Responden Hasil analisis dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel karakteristik individu yang ada secara deskriptif dengan menggunakan distribusi frekuensi dan proporsi. Analisis Univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel penelitian yang meliputi: karakteristik responden yang terdiri dari kepadatan tulang, jenis kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, dan gaya hidup (perilaku merokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol). 1. Kepadatan Tulang
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Kepadatan Tulang Normal Tidak Normal Osteopenia Osteoporosis
Total
Frekuensi (n) 9 101
Persentase (%) 8.2 91.8
57 44
51.8 40
110
100
59
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan hasil bahwa dari 110 responden yang memiliki kepadatan tulang tidak normal lebih banyak yaitu 101 orang (91.8%) dibandingkan responden yang memiliki kepadatan tulang normal (8.2%). Responden yang memiliki kepadatan tulang tidak normal lebih banyak terjadi pada osteopenia yaitu sebesar (51.8%). Tabel 5.2 Karakteristik Responden Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Variabel Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Status Menopause Sudah Menopause Belum Menopause Asupan Kalsium Kurang Cukup Aktivitas Fisik Ringan Sedang Berat Kebiasaan Merokok Tidak Merokok Merokok Konsumsi Alkohol Tidak Mengkonsumsi Alkohol Mengkonsumsi Alkohol TOTAL
Frekuensi (n)
Persentase (%)
98 12
89.1 10.9
55 43
56.1 43.9
86 24
78.2 21.8
2 51 57
1.8 46.4 51.8
100 10
90.9 9.1
110 110
100 100
Berdasarkan tabel 5.1 tentang karakteristik responden, digambarkan bahwa sebagian besar respondennya adalah ; perempuan (89.1%); sudah menopause (56.1%); kurangnya asupan kalsium (78.2%); aktivitas fisik berat (51.8%); dan tidak merokok (90.9%). Sedangkan semua responden dalam penelitian ini tidak ada yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol (100%).
60
2. Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik Responden Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik Responden
Variabel Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total Status Menopause Sudah Belum Total Asupan Kalsium Kurang Cukup Total Aktivitas Fisik Ringan Sedang Berat Total Kebiasaan Merokok Tidak Merokok Merokok Total Konsumsi Alkohol Tidak Mengkonsumsi Mengkonsumsi Total
Kepadatan Tulang Tidak Normal Normal Osteopenia Osteoporosis n % n % n %
Total n
%
9 0 9
9.2 0 8.2
50 7 57
51 58.3 51.8
39 5 44
39.8 41.7 40
98 12 110
100 100 100
2 7 9
3.6 16.3 9.2
24 26 50
43.6 60.5 51
29 10 39
52.7 23.3 39.8
55 43 98
100 100 100
5 4 9
5.8 16.7 8.2
46 11 57
53.5 45.8 51.8
35 9 44
40.7 37.5 40
86 24 110
100 100 100
0 4 5 9
0 7.8 8.8 8.2
2 27 28 57
100 52.9 49.1 51.8
0 20 24 44
0 39.2 42.1 40
2 51 57 110
100 100 100 100
9 0 9
9 0 8.2
52 5 57
52 50 51.8
39 5 44
39 50 40
100 10 110
100 100 100
9 9
8.2 8.2
57
51.8 51.8
44 44
40 40
110 110
100 100
57
Tabel 5.3 menjelaskan tentang distribusi frekuensi kepadatan tulang berdasarkan demografi responden, digambarkan bahwa kepadatan tulang yang tidak normal pada perempuan dan laki-laki lebih banyak osteopenia yaitu, perempuan (51%), dan laki-laki (58.3%); responden yang sudah menopause lebih banyak mengalami osteoporosis (52.7%). Sedangkan wanita yang belum
61
menopause lebih banyak mengalami osteopenia (60.5%); responden yang memiliki asupan kalsium kurang dan asupan kalsium cukup lebih banyak mengalami osteopenia yaitu masing-masing (53.5%) dan (45.8%); responden dengan aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat lebih banyak mengalami osteopenia yaitu masing-masing (100%), (52.9%), dan (49.1%); responden yang tidak merokok lebih banyak (52%) mengalami osteopenia. Sedangkan responden yang merokok dengan kepadatan tulang tidak normal osteopenia dan osteoporosis memiliki persentase yang sama yaitu masing-masing (50%); dan responden yang tidak mengkonsumsi alkohol lebih banyak mengalami osteopenia (51.8%). C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Dalam penelitian ini untuk variabel kebiasaan mengkonsumsi alkohol tidak ditemukan responden yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol sehingga data yang didapatkan homogen. Oleh karena itu data yang diolah tidak dapat dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol dengan kepadatan tulang. 1. Jenis Kelamin Tabel 5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan Kepadatan Tulang Total Normal Tidak normal Jenis Kelamin Pvalue n % n % n % Perempuan 9 9.2 89 90.8 98 100 0.273 Laki-laki 0 0 12 100 12 100 Total 9 8.2 101 91.8 110 100
62
Hasil analisis pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa kepadatan tulang yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden laki-laki (100%) dibandingkan dengan responden perempuan (90.8%) walaupun persentase hasilnya tidak terlalu berbeda. Hasil uji statistic didapatkan nilai p = 0.273, hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel jenis kelamin dengan variabel kepadatan tulang. 2. Status Menopause Tabel 5.5 Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan Status Menopause Sudah Belum Total
Kepadatan Tulang Normal Tidak normal n % n % 2 22.2 53 59.6 7 77.8 36 40.4 9 100 89 100
Total n 55 43 98
% 56.1 43.9 100
OR (95% CI)
0.194 (0.03-0.98)
Pvalue 0.032
Hasil analisis pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa kepadatan tulang yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang sudah mengalami menopause (59.6%) dibandingkan dengan yang belum menopause (40.4%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.032, hal tersebut menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara variabel status menopause dengan
kepadatan tulang. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=0,194, artinya perempuan yang sudah menopause mempunayi peluang 0,194 kali untuk memiliki kepadatan tulang tidak normal dibandingkan dengan perempuan yang belum menopause.
63
3. Asupan Kalsium Tabel 5.6 Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan
Asupan Kalsium Kurang Cukup Total
Kepadatan Tulang Normal Tidak normal n % n % 5 55.6 81 80.2 4 44.4 20 19.8 9 100 101 100
Total n 86 24 110
% 78.2 21.8 100
Pvalue 0.086
Hasil analisis pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa kepadatan tulang yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki asupan kalsium kurang (80.2%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan kalsium cukup (19.8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.086, hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. 4. Aktivitas Fisik Tabel 5.7 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan Kepadatan Tulang Total Normal Tidak normal Aktivitas Fisik Pvalue n % n % n % Ringan 0 0 2 100 2 100 Sedang 4 7.8 47 92.2 51 100 0.899 Berat 5 8.8 52 91.2 57 100 Total 9 8.2 101 91.8 110 100 Hasil analisis pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa kepadatan tulang tidak normal persentase terbesar terjadi pada responden yang memiliki aktivitas fisik ringan (100%) dibandingkan dengan responden yang memiliki
64
aktivitas fisik sedang (92.2%) dan aktivitas fisik berat (91.2%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.899, hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel aktivitas fisik dengan variabel kepadatan tulang. 5. Perilaku Merokok Tabel 5.8 Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas Pisangan Perilaku Merokok Tidak Merokok Merokok Total
Kepadatan Tulang Normal Tidak normal n % n % 9 9 91 91 0 0 10 100 9 8.2 101 91.8
Total n 100 10 110
% 100 100 100
Pvalue 0.322
Hasil analisis pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa kepadatan tulang yang tidak normal lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki perilaku merokok (100%) dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki perilaku merokok (91%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.322, hal tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel perilaku merokok dengan variabel kepadatan tulang.
BAB VI PEMBAHASAN Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang karakteristik responden, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. Pada akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan dari penelitian ini. A. Karakteristik Responden 1. Kepadatan Tulang Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium pada suatu area atau volume tulang. cara ini dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat/lemahnya kepadatan tulang seseorang. Jadi, dapat diketahui apakah seorang terkena osteopenia, osteoporosis, atau risiko fraktur (Hindu, 2003). Berdasarkan hasil analisis univariat yang diperoleh dari 110 responden didapatkan sebagian besar responden dikategorikan memiliki kepadatan tulang tidak normal yaitu sebanyak 101 responden (91.8%) dan kondisi tersebut didominasi oleh responden yang menderita osteopenia (51.8%), dibandingkan dengan yang mengalami osteoporosis (40%), sedangkan 9 responden (8.2%) dikategorikan memiliki kepadatan tulang normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustin (2009), menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami kepadatan tulang tidak normal
65
66
yaitu sebesar (67.8%), responden yang mengalami osteopenia (54.8%), dan responden yang mengalami osteoporosis sebesar (13%). Dalam kondisi osteopenia, mulai terjadi penurunan DMT dan terjadi pengeroposan (kerapuhan) tulang. Tingginya prevalensi ini sejalan dengan tingginya prevalensi osteopenia di Indonesia yang mencapai 41,7% (Tsania dalam Trihapsari, 2009). Prevalensi osteopenia yang tinggi dalam penelitian ini dapat menjadi sebuah prediksi meningkatnya prevalensi osteoporosis di area penelitian pada waktu yang akan datang. Menurut
Wijayakusumah
(2007)
Kehilangan
massa
tulang
berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupan. Penelitian ini dilakukan pada responden lansia awal yaitu usia antara 45-55 tahun. Rentang tersebut merupakan zona resiko terjadinya pengeroposan tulang perlahan dan pengeroposan tulang cepat. Oleh sebab itu, pada usia tersebut terjadi penurunan kepadatan tulang yang ditandai dengan pengeroposan tulang. Prevalensi kepadatan tulang tidak normal dalam penelitian ini cukup tinggi. Sehingga ini menjadi masalah yang cukup serius. Pengukuran
kepadatan
tulang
menggunakan
alat
quantitative
ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound muncul sebagai alat skrining yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam deteksi dini osteoporosis. Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah pencegahan yang harus
67
diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis selanjutnya (Chin, 2013). 2. Jenis Kelamin Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini yaitu 110 responden. Berdasarkan analisis univariat didapatkan sebagian besar responden yaitu berjenis kelamin perempuan berjumlah 98 responden (89.1%), sedangkan responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 12 responden (10.9%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Juniati (2012) yang menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak (75%) dibandingkan responden laki-laki (25%). Hal ini dikarenakan lebih banyak responden perempuan yang memeriksakan kepadatan tulangnya dan juga yang aktif mengikuti kegiatan posbindu
Puskesmas
Pisangan
dibandingkan
responden
laki-laki.
Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada jam kerja sehingga responden laki-laki yang memeriksaan kepadatan tulang lebih sedikit. Kebanyakan responden perempuan memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sehingga lebih banyak memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan posbindu.
68
3. Status Menopause Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah mengalami menopause yaitu sebanyak 55 responden (56.2%) sedangkan responden yang belum menopause yaitu sebesar 43 responden (43.9%). Penelitian Juniati (2012) juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitiannya sudah mengalami menopause yaitu sebesar (66.5%), sedangkan responden yang belum menopause sebesar (33.3%). Sebagian besar responden yang terlibat dalam penelitian tersebut yaitu pada usia >43 tahun (68.8%). Menurut Spencer & Brown (2007), menyatakan bahwa usia wanita memasuki menopause adalah 51 tahun. Sebagian besar wanita mulai mengalami gejala menopause pada usia 40-an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun. Kebanyakan mengalami gejala kurang dari 5 tahun dan sekitar 25% lebih dari 5 tahun. Namun bila diambil rata-ratanya, umumnya seorang wanita akan mengalami menopause sektiar usia 45-50 tahun (Rostiana, 2009). Mappiane (1983) menuturkan bahwa masa menopause merupakan masa peralihan yaitu dari masa produktif menuju masa berkurangnya produktivitas seorang perempuan (Syarifah, 2014). Masa menopause mulai terjadi yaitu pada wanita dengan rentang usia sekitar 45-50 tahun. Hal ini sejalan dengan karakteristik usia responden dalam
69
penelitian ini yaitu lansia awal yang berusia 46 sampai 55 tahun dimana pada usia tersebut wanita sudah memasuki masa menopause. 4. Asupan Kalsium Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asupan kalsium responden kebanyakan kurang yaitu sebanyak 86 responden (78.2%). Sedangkan asupan kalsium cukup yaitu sebanyak 24 responden (21,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Trihapsari tahun 2009 sejalan dengan penelitian ini yaitu dapat diketahui bahwa lebih banyak responden yang kurang mengkonsumsi kalsium (67.9%), dibandingkan dengan yang cukup mengkonsumsi kalsium (32.1%). Penelitian ini sejalan dengan teori Permatasari (2011) yang menyatakan bahwa asupan kalsium harian orang Indonesia berdasarkan laporan dari Institusi of Medicine, US (1997) hanya memenuhi 25-30% dari kebutuhan kalsium per harinya. Rata-rata asupan kalsium orang Indonesia sebesar 289 mg kalsium per hari. Sedangkan pada populasi Indonesia Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk kalsium baik bagi laki-laki maupun perempuan usia 19-64 tahun adalah sebesar 800 mg. Kalsium yang adekuat (sekitar 1000 mg) akan memberikan manfaat positif pada sistem rangka baik untuk memaksimalkan peak bone mass (puncak massa tulang) yang terjadi pada usia 20-35 tahun (Permatasari, 2011). Salah satu mineral utama yang sangat berkontribusi terhadap pembentukan tulang adalah kalsium. Lebih dari 99% kalsium terdapat dalam
70
jaringan keras yaitu tulang dan gigi. Sektiar 91% volume tulang orang dewasa dibentuk sekitar akhir usia remaja atau masa dewasa awal. Pada masa remaja penyerapan kalsium dari konsumsi makanan dapat mencapai 75% lalu menurun hingga 20-40% begitu menginjak usia dewasa. Namun asupan kalsium harian orang Indonesia masih banyak yang belum mencukupi jumlah kalsium yang dibutuhkan untuk memelihara tulang maupun tubuh (Permatasari, 2011). 5. Aktivitas Fisik Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik berat, yaitu sebesar 57 responden (51.8%), aktivitas fisik sedang sebanyak 51 responden (46.8%), sedangkan aktivitas fisik rendah yaitu sebanyak 2 responden (1.8%). Hasil nilai aktivitas fisik ini diperoleh dari perhitungan skor aktivitas fisik yaitu waktu bekerja, waktu olahraga, dan waktu luang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustin (2009) yang menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki aktivitas fisik sedang yaitu sebanyak 84 orang (73%), responden yang beraktivitas fisik berat sebanyak 14 orang (15.7%), sedangkan responden yang memiliki aktivitas fisik ringan sebanyak 13 orang (11.3%). Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor
71
risiko indepeden untuk penyakit kronis dan secara keselurahan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2013 dalam Paramitha, 2014). Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energy (Widiantini, 2014). 6. Perilaku Merokok Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 100 responden (90.9%), dan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 10 orang (9.1%). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Juniati (2012) yang menunjukkan bahwa 13 dari 16 responden tidak memiliki kebiasaan merokok (81.2%), dan 3 responden memiliki kebiasaan merokok (18.8%). Menurut Compston (2002), wanita perokok beresiko lebih tinggi mengalami kepadatan tulang tidak normal dibandingkan yang tidak merokok karena wanita perokok mengalami menopause lebih awal dan mempunyai kadar estrogen lebih rendah daripada bukan perokok. Lane (2003) memaparkan bahwa merokok dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen. Rendahnya kadar estrogen ini memiliki pengaruh terhadap kurangnya aktivitas osteoblast dalam formasi tulang, sehingga dapat menyebabkan rendahnya kepadatan tulang.
72
Perokok mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih besar dibandingkan bukan perokok. Pada wanita perokok ada kecendererungan kadar estrogen dalam tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki masa menopause lima tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok. Kecepatan kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita perokok. Nikotin juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap dan menggunakan kalsium (Supari, 2008). Rendahnya nilai perilaku merokok pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena kesadaran akan bahaya merokok pada responden cukup tinggi. Persepsi responden yang menganggap bahwa merokok pada wanita merupakan suatu kebiasaan yang buruk. 7. Konsumsi Alkohol Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang ada dalam penelitian ini tidak ada yang memiliki kebiasaan minum alkohol yaitu sebanyak 110 responden (100%). Jadi untuk variabel konsumsi alkohol respondennya sudah homogen. Oleh karena itu data tidak dapat dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol dengan kepadatan tulang. Bila jumlah konsumsi alkohol terlalu banyak (lebih dari 2 gelas sehari) dapat merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada
73
dinding lambung yang terjadi beberapa saat setalah minum-minuman beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol akan menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah (Wirakusumah, 2009). Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Agustin, 2009). B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang 1. Jenis Kelamin Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,273. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang. Pada tabel 5.1 diketahui bahwa responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 98 orang (89.1%) dibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 12 orang (10.9%). Selain itu juga dalam penelitian ini ternyata kejadian kepadatan tulang tidak normal terjadi lebih banyak dialami laki-laki (100%) daripada perempuan (90.8%). Sehingga lebih beresiko mengalami kepadatan tulang tidak normal.
74
Penelitian ini sejalan dengan hasil penenlitian Agustin (2009) yang memperoleh nilai uji statistic dengan uji chi-square dengan nilai p=0.118, sehingga tidak terdapat adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia. Pada kasus persentase laki-laki yang mengalami kepadatan tulang tidak normal lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (Agustin, 2009). Jumlah responden perempuan (84 orang) lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (31 orang). Penelitian tersebut didukung dengan adanya pernyataan Nuhonni (2000) yang mengatakan terjadinya osteoporosis pada laki-laki disebabkan oleh usia yang sudah lanjut karena
berhubungan
dengan
massa
tulang
yang
rendah.
Menurut
Wijayakusumah (2009) massa tulang menurun mulai usia sekitar 40 tahun, baik pada pria maupun wanita. Pengurangan massa tulang ini akan berlangsung terus sepanjang sisa hidup. Berbeda dengan hasil penelitian Permatasari (2011), yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang tidak normal. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi mengalami osteoporosis dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 12,083 kali. Massa tulang perempuan umumnya 4 kali lebih kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan lakilaki memiliki peak bone mass lebih tinggi dari perempuan. Sementara perempuan juga mengalami penurunan massa tulang lebih cepat dibandingkan laki-laki terutama berkaitan dengan kadar estrogen pada perempuan (Permatasari, 2011). Menurut Purwoastuti, massa tulang pada wanita lebih cepat berkurang daripada laki-laki. Karena pada wanita mengalami
75
menopause, sehingga terjadi penurunan hormon estrogen yang menyebabkan aktivitas sel osteoblast menurun sedangkan osteoklas meningkat (Purwoastuti, 2008). Persamaan penelitian ini dengan penelitian Agustin (2009) yaitu samasama jumlah responden perempuan memiliki proporsi yang jauh berbeda dibandingkan dengan responden laki-laki. Perbedaanya dengan penelitian Permatasari (2011) jumlah responden perempuan dan laki-laki proporsinya hampir sama yaitu 91 dan 79. Jumlah responden perempuan dan laki-laki yang tidak proporsional ini sehingga dapat mempengaruhi pengolahan uji statistiknya. 2. Status Menopause Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-square diperoleh nilai p=0,032. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status menopause dengan kepadatan tulang. Dalam penelitian ini responden yang sudah mengalami menopause mengalami kepadatan tulang tidak normal sebesar (59,6%) sedangkan perempuan yang belum menopause mengalami kepadatan tulang tidak normal sebesar (40,4%). Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa saat menopause terjadi penurunan estrogen yang akan menyebabkan hormone parathyroid (PTH) dan penyerapan vitamin D berkurang sehingga pembentukan tulang (osteoblast) pun akan terhambat dan kadar mineral akan berkurang. Jika kadar mineral tulang terus menerus berkurang, maka akan terjadilah osteoporosis (Purwoastuti, 2008 dalam Juniati, 2012).
76
Hormon estrogen menghasilkan hormon kalsitonin yang berfungsi untuk melindungi tulang dari pengeroposan. Jumlah hormon estrogen akan menurun ketika seorang wanita memasuki masa menopause. Bagaimanapun, wanita kehilangan masa aktif lebih cepat daripada pria dengan hormon testosteronnya (Tjahjadi, 2009). Vitamin D memegang peranan penting dalam penyerapan kalsium. Vitamin ini bekerjasama dengan hormon paratiroid untuk membantu penyerapan kalsium di dalam darah dan ginjal. Hormon paratiroid (PTH) termasuk salah satu hormon yang sering digunakan sebagai bentuk terapi dalam osteoporosis. Fungsi hormon ini adalah untuk menjaga kadar kalsium dengan meningkatkan kadarnya di dalam darah. Hormon ini mengambil kalsium dari tulang untuk memberikannya pada darah. Dalam usus melalui ginjal, hormon ini meningkatkan aktivitas vitamin D sehingga usus mampu menyerap kalsium. PTH adalah salah satu hormon yang mengatur kalsium di dalam tubuh. Sehingga, ketika hormon ini terus menurun maka akan menyebabkan terjadinya osteoporosis (Tjahjadi, 2009). Penelitian ini sejalan dengan hasil penenlitian Juniati (2012) yang memperoleh nilai uji statistic dengan uji chi-square dengan nilai p=0.018 (p<0,05) yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara status menopause dengan kepadatan tulang. Penelitian Trihapsari (2009) juga menunjukkan adanya perbedaan proporsi kepadatan tulang yang tidak normal antara responden yang sudah menopause dengan responden yang belum
77
menopause atau terdapat hubungan yang bermakna antara status menopause dengan kepadatan tulang (nilai p=0.012). Perempuan yang sudah menopause mempunyai risiko osteoporosis sebesar 5,6 kali dibandingkan dengan yang belum menopause. Tulang akan menyusut terutama pada saat menopause akibat produksi hormon estrogen menurun drastis. Pada wanita, selama 5-8 tahun pertama pasca menopause, kepadatan tulang akan berkurang 40-50% dari massa tulangnya. Sementara pada laki-laki setelah usia 50 tahun, hanya berkurang 1% per tahun (Prihatini, 2010). 3. Asupan Kalsium Hasil uji statistic dengan menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,086. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. Dalam penelitian ini diketahui kepadatan tulang tidak normal lebih sering terjadi pada responden yang kurang mengkonsumsi asupan kalsium (80.2%), dibandingkan dengan responden yang cukup mengkonsumsi asupan kalsium (19.8%) walaupun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dani (2015) yang menemukan tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dani (2015) frekuensi asupan kalsium kurang yaitu sebesar 77.8% dan asupan kalsium yang cukup sebesar 22.2%.
78
Sejalan
juga
dengan
hasil
penelitian
Agustin
(2009)
yang
menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang. Persentase responden dengan asupan kalsium yang kurang mengalami kepadatan tulang tidak normal hampir sama dengan responden yang memiliki asupan kalsium cukup. Hasil uji statistik dengan Chi-Square menunjukkan nilai p=1.000 (Agustin, 2009). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna p>0,05. Kesamaan yang digunakan pada penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama menggunakan kuesioner FFQ untuk mengetahui asupan kalisum responden. Asupan kalsium yang kurang 6 kali berisiko memiliki massa tulang tidak normal dibandingkan asupan kalsium yang cukup. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Selain itu kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Dani, 2015). Tidak semua kalsium yang dimakan terserap dengan sempurna, karena kalsium juga dapat hilang atau terbuang melalui kulit, urin, dan tinja. Jika kalsium tubuh kurang, maka tubuh akan mengeluarkan hormon paratiroid (PTH) yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, terutama tulang, sehingga terjadi penurunan kepadatan tulang yang ditandai dengan pengeroposan tulang (Zaviera, 2008). Menurut Tandra (2009) mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh yaitu kalsium kebutuhan kalsium ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Karena pada usia lebih dari 30 tahun, massa tulang akan
79
mulai berkurang. Terutama pada wanita, akan mengalami menopause yang mengakibatkan kehilangan massa tulang sebesar 15%. Sehingga diperlukan asupan kalsium yang cukup (Heaney, 2005). Menurut Gopalan, sebaiknya konsumsi kalsium yang cukup sudah dimulai sejak usia remaja, karena pada masa remaja kalsium yang diserap dapat disimpan dalam tubuh sampai lansia, sehingga dapat mencegah timbulnya osteoporosis (Gopalan, 1994 dalam Agustin, 2009). 4. Aktivitas Fisik Berdasarkan analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik ChiSquare didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang dengan nilai p=0,899. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustin (2009) yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia dengan hasil uji statistic Chi-Sguare dapat diketahui nilai p=0,088. Kesamaan antara kedua penelitian ini adalah sama-sama menggunakan kuesioner baecke yaitu mencakup 3 aktivitas fisik (waktu bekerja, waktu olahrga, dan waktu luang) untuk mengkategorikan aktivitas fisik responden. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniati (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan kepadatan tulang yaitu dengan nilai p=0,008. Perbedaan dengan yang dilakukan oleh peneliti terletak pada pengkategorian aktivitas fisik yaitu dibagi menjadi dua, beresiko dan kurang beresiko terhadap kejadian osteoporosis dengan hasil responden
80
yang memiliki aktivitas fisik beresiko lebih besar (56.2%) mengalami kejadian osteoporosis. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan teori Compston (2002) yang menyatakan bahwa seseorang yang jarang melakukan aktivitas fisik akan mengakibatkan turunnya massa tulang dan dengan bertambahnya usia terutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi lemah, sehingga akan berpeluang untuk timbulnya patah tulang. Peluang terjadinya patah tulang 2 kali lebih besar pada wanita usia lanjut yang jarang melakukan aktivitas fisik (berdiri < 5 jam) daripada yang sering melakukan aktivitas fisik (Lane, 2003). Menurut teori mereka yang malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa (Juniati, 2012). Aktivitas yang dilakukan setiap orang berbeda-beda. Dengan aktivitas fisik, berarti otot tubuh bergerak dan menghasilkan energy (Agustin, 2009). Olahraga yang baik untuk dilakukan, misalnya saja jalan, aerobic, jogging, renang, dan bersepeda. Akan tetapi jika melakukan aktivitas fisik secara berlebih justru akan mengurangii massa tulang (Nuhonni, 2000). Menurut Baecke, aktivitas fisik dibagi menjadi 3, yaitu waktu bekerja, waktu olahraga, dan waktu luang (Baecke, dalam Kamso, 2000).
81
5. Perilaku Merokok Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-square diperoleh nilai p=0,322 (p> 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kepadatan tulang. Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebagian responden tidak merokok (90.9%) dan hanya (9.1%) responden yang merokok. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena kebiasaan merokok memang jarang terjadi pada perempuan, kemungkinan karena meningkatnya kesadaran akan bahaya merokok dan pandangan negative tentang perilaku merokok sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak yang tidak merokok. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniati (2012) yang menemukan tidak ada hubungan antara merokok dengan kepadatan tulang dengan nilai p=0.518. Persentase responden yang merokok dan osteoporosis sebesar 6.2%, dan responden yang tidak merokok dan osteoporosis sebesar 56.2%. Menurut Juniati (2012) bukan hanya dari merokok atau tidaknya penderita sehingga menyebabkan kepadatan tulang tidak normal tapi faktor-faktor lain juga dapat menjadi penyebabnya seperti status menopause, asupan nutrisi kalisum, konsumsi alkohol dan aktivitas fisik. Rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang
82
sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Jika darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35 tahun, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti (Juniati, 2012). Hormon estrogen dalam tubuh akan menurun dan akan mudah kehilangan masa tulang (BMD rendah/terjadi osteoporosis) jika seseorang merokok, sehingga lebih besar untuk mengalami fraktur tulang (Hughes, 2006). Dengan kebiasaan merokok sejak dini pada wanita akan lebih awal untuk mengalami menopause, sehingga kadar estrogen akan lebih cepat menurun dan lebih berisiko untuk mengalami osteoporosis (Compston, 2002). Jumlah responden yang tidak proporsional antara yang memiliki kebiasaan merokok dan yang tidak memiliki perilaku merokok juga dapat mempengaruhi pengolahan data statistiknya.
83
C. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini, keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dapat terjadinya bias dalam pengisian form FFQ, karena responden yang diwawancarai berusia ≥45 tahun dan dibutuhkan daya ingat responden untuk mengingat pola konsumsi makanan responden dalam jangka waktu tertentu. Sehingga diperlukan waktu yang lama, kesabaran dan ketenangan saat mewawancarai responden 2. Adanya keterbatasan saat melakukan wawancara responden, karena kurangnya pewawancara dan responden yang datang secara bersamaan cukup banyak, sehingga pewawancara merasa lelah dan tidak dapat istirahat. 3. Jenis penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional sehingga data yang diperoleh tidak bisa digeneralisasikan. 4. Houthrone effect ; subjek penelitian mengetahui bahwa dirinya sedang diteliti sehingga dapat mempengaruhi jawaban responden.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Gambaran kepadatan tulang lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, yaitu sebanyak 9 orang (8.2%) memiliki kepadatan tulang normal, dan 101 orang (91.8%) memiliki kepadatan tulang tidak normal dengan 57 orang (51.8%) mengalami osteopenia, dan 44 orang (40%) mengalami osteoporosis. 2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 3. Ada hubungan antara status menopause dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 4. Tidak ada hubungan antara asupan kalsium dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 5. Tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 6. Tidak ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan. 7. Data
yang didapatkan
untuk
variabel
kebiasaan konsumsi
alkohol
menunjukkan bahwa semua responden dalam penelitian tidak ada yang
84
85
memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol sehingga respondennya homogen. Oleh karena itu data yang diolah tidak dapat dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi alkohol dengan kepadatan tulang. B. Saran 1. Bagi Responden Saran bagi responden agar meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan tulang dan melakukan pengecakan kepadatan tulang secara rutin. 2. Bagi Puskesmas Pisangan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk promosi kesehatan yang dapat dilaksanakan di Puskesmas Pisangan mengenai cara mempertahankan kepadatan tulang dengan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang yang dapat dimodifikasi. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan jenis penelitian yang berbeda seperti kohort, ataupun experiment serta dengan jumlah sampel yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA Agustin, Ratih P. Hubungan Status Gizi, Gaya Hidup dan Kebiasaan Konsumsi Kalsium dan Vitamin D pada Warga Usia ≥45 tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara Tahun 2009 [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 2009. Atmarita. Daftar Konsumsi Bahan Makanan. Jakarta : Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2005. Azkiyati, Ade maya. Hubungan Perilaku Merokok dengan Harga Diri Remaja Lakilaki yang Merokok di SMK Putra Bangsa. [Skripsi]. Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2010 Baecke, JAH & Burema, Jan &Frijters, Jan ER. A Short Questionnaire for the Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. The American Journal of Clininal Nutrition. 1989. Download From ajcn.nutrition.org by guest on January 14, 2016. Barasi, Mary E. At a Glance Ilmi Gizi. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2007 Bazied, Ali. Menopause dan andropause. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2003 Chin, Kok-Yong, Ima-Nirwana, Soelaiman. Calcaneal Quantitative Ultrasound as a Determinant of Bone Health Status: What Properties of Bone Does It Reflect?. International Journal of Medical Sciences. 2013 Compston, Juliet. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter Pada Osteoporosis. Jakarta : Dian Rakyat. 2002 Corwin, Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC. 2009 Cosman, Felicia. Osteoporosis : Panduaan Lengkap Agar Tulang Anda Tetap Sehat. Yogjakarta : Bentang Pustaka. 2009 Dani, Nurul Rama & Damayanti, Didit, & Jus’at, Idrus. Department of Nutrition Faculty of Health Science Esa Unggul University. Hubungan Aktivitas FIsik, Asupan Kalsium, Fosfor Serta Kebiasaan Minum Susu Dengan Massa Tulang Peserta Senam Di Jakarta Barat. 2015 Dharma, Kelana Kusuma. Metodologi Penelitian Keperawatan : Pedoman Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Info Media. 2011. Fatmah. Gizi Usia Lanjut. Jakarta : Erlangga. 2010
Haber, Geri Lobiondo-Wood & Judith. Nursing Research : Methods and Critical Appraisal for Evidence-Based Practioce. Philadhelphia : Mosby Elseiver. 2006 Heaney, Robert P. Prevention Nutrition The Comprehensicec Guide For Health Professionals Third Edition. Humana Press. Totowa, New Jersey. 2005. Hidayat, A. Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. 2008 Hughes, Bess Dawson. Osteoporosis Dalam Buku Modern Nutrition In Health and Disease Tenth Edition. Lippincott Williams and Wilkins. 2006. Ikhwan, Muhammad. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Merokok pada Paisen Hipertensi di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013 Juniati & Surnianti & Basri, Muhammad. Poltekkes Kesehatan Kemenkes Makassar. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Osteoporosis Yang Dirawat Di RS Islam Faisal Dan RSUPDR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Volume 1 nomor 4. 2014. Kementeria Kesehatan RI. Data & Kondisi Penyakit Osteoporosis di Indonesia. Infodatin Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Kosnayani, AI Sri. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks Massa Tubuh dan Kepadatan Tulang pada Wanita Pascammenopause. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. 2007. Lane, Nancy E. Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis Rapuh Tulang. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Limawan, Desmon & Mewo, yanti M & Kaligis, Stefana H.M. Gambaran Kadar Kalsium Serum Pada Usia 60-70 Tahun. Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 3, Nomor 1.2015 Mardiyah, Sarah & Sartika, Ratu A.D. Gangguan Kepadatan Tulang pada Orang Dewasa di Daerah Urban dan Rural. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 6, 2014. Marjan, Avliya Quratul & Marliyati, Sri Anna. Hubungan antara Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia di Panti Werdha Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan, Volume 8, Nomor 2, 2013. Mboi, Nafsiah. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013
Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. Jakarta : EGC. 2012 Mow, Van C & Huiskes, Rik. Basic Orthopaedic Biomechanics and MechanoBiology.Third Edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2005 National Institutes of Health. Osteoporosis: Peak Bone Mass in Women. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. 2015 Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 2012. Nuhonni, Siti A. Majalah Kedokteran Indonesia. Osteoporosis dan Pencegahannya Vol.50, No.12. 2000. Paramitha, Gumilang Mega. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di RUmah Sakit Daerah Karanganyar. Fakultas Kedokteran. Surakarta. 2014 Permatasari, Tria A E. jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnya Dengan Kejadian Osteoporosis pada Kelompok Dewasa Awal di Wilayah Ciputat-Tangerang Selatan. Volume 7 nomor 2. 2011 Permatasari, Tria AE. Hubungan Asupan Kalsium dan Faktor Risiko Lainnya dengan Kejadian Osteoporosis pada Kelompok Dewasa Awal di Wilayah CiputatTangerang Selatan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, vol. 7, No.2, 2011. Pratisto, Arif. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2005. Prihatini, Sri & Mahirawati, Vita Kartika & Jahari, Abas Basuni. 2010. Media Litbang Kesehatan. Faktor Determinan Risiko Osteoporosis di Tiga Provinsi di Indonesia. Volume XX Nomor 2. 2010 Pudjiastuti, Sri Surini. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC. 2003. Purwoastuti, Endang. Menopause, Siapa Takut?. Yogyakarta : Kanisius. 2008. Rahmawati, Lutvita Yuniar. Tugas Dietary Assessment Food Frequency Questionnaire [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2010. Riauwi, Hudrizal Mubaroq., Husneli, yesi., & Lestari, Widia. Efektivitas Pendidikan Kesehatan Dengan Penerapan The Health Belief Model Terhadap Pengetahuan Keluarga Tentang Diare. JOM PSIK VOL. 1 No.2, 2014. Rostiana, Triana & Kurniati, Ni Made Taganing. Jurnal Psikologi. Kecemasan Pada Wanita Yang Menghadapi Menopause. Volume 3 Nomor 1. Depok. 2009. Setiadi. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan Yogyakarta : Graha Ilmu. 2007.
Setyawati, Budi & Fuada, Noviati & Salimar. Pengetahuan tentang Osteoporosis dan Kepadatan Tulang Hubungannya dengan Konsumsi Kalsium pada Wanita Dewasa Muda. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat badan LItbangkes, Kemenkes RI. 2014. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2012. Soeparno. Ilmu Nutrisi & Gizi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada Universsity Press. 2011. Sugiyono. Statistic Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. 2007. Sumantri, Arif. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Kencana. 2012. Supeni, Kushari & Asmayuni. Kegemukan (Overweight) pada Perempuan Umur 2550 tahun (Di Kota Padang Panjang Tahun 2007). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2007. Syaifuddin. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC. 2006. Syam, Yulianingsih & Noersasongko, Djarot & Sunaryo, Haryanto. Fraktur Akibat Osteoporosis. Jurnal e-CliniC (eCI). 2014. Syarifah, Maftukhatus & Kusumaputri, Erika Setyanti. Humanitas. Hubungan Pengaturan Emosi Positif dengan Kecemasa Menjelang Menopause pada Perempuan Pekerja. Volume 11. Yogyakarta. 2012 Tandra, Hans. Osteoporosis : Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2009. Tjahjadi, Vicynthia. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer Osteoporosis. Pustaka Widyamara : Bandung. 2009. Trihapsari, Enita. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Densitas Mineral Tulang Wanita ≥45 Tahun di Departemen Pendidikan Nasional [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 2009. Van C, Mow & Huiskes, Rik. Basic Osthopaedid Biomechanics and MechanoBiology : Third Edition. USA : Lippincott Williams &Wilkins. 2005. Wardhana, Wisnu. Faktor-faktor Risiko Osteoporosis Pada Pasien Dengan Usia di Atas 50 Tahun [Skripsi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. 2012. Wicaksana, Inu. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa. Yogyakarta : Kanisius. 2009. Widiantini, Winne. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Aktivitas Fisik, Stres, dan Obesitas Pada Pegawai Negeri Sipil. Volume 8 nomor 7. 2014.
Zaviera, Ferdinand. Osteoporosis : Deteksi Dini, Penanganan, dan Terapi Praktis. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2008.
LAMPIRAN
LEMBAR PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN “Gambaran Kepadatan Tulang Berkaitan Dengan Diet Kalsium, Aktivitas Fisik, dan Perilaku Merokok Pada Lansia Awal Di Puskesmas Pisangan Tahun 2016”
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
Jenis Kelamin : Usia
: Menyatakan telah diminta dan bersedia untuk berperan sebagai responden
dalam penelitian tersebut diatas. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian yang akan dijalanan. Saya mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian. Saya mengerti bahwa peneliti akan menjaga identitas dan kerahasiaan saya. Demikian, secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya bersedia ikut serta dalam penelitian.
Jakarta,
Responden
(
2016
Peneliti
)
(
)
Nomor Responden :
LEMBAR KUESIONER Petunjuk Pengisian: 1. Bacalah dengan cermat dan teliti pada setiap item pertanyaan 2. Pertanyaan di bawah ini mohon di isi semuanya 3. Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling sesuai dengan kondisi yang dialami dengan memberikan tanda ceklis (……..) 4. Isilah titik yang tersedia dengan jawaban yang benar. A. Karakteristik Responden Hasil BMD
: …………………………… (diisi oleh peneliti) Pertanyaan
Koding
1.
Nama
:
……………….
2.
Jenis kelamin
: 1. Laki-laki
3.
Umur
:
4.
Apakah ibu sudah menopause? (pertanyaan khusus untuk Ibu)
[
]
[
]
[
]
[
]
Apakah Bapak/Ibu sedang atau pernah memiliki kebiasaan [ minum alkohol?
]
1. Sudah
2. Perempuan
………………..
2. Belum
Data Konsumsi Alkohol 1.
1. Ya 2.
2. Tidak
Jika Ya, berapa volume yang biasa pasien minum selama [ seminggu? 1. < 750 mL
2. ≥ 750 mL
]
3.
Apakah kebiasaan minum alkohol tersebut masih ada sampai [ sekrang? 1. Ya
4.
]
2. Tidak
Jika kebiasaan minum alkohol masih ada sampai sekarang, [ sejak kapan kebiasaan tersebut dimulai?....................
]
Usia sekarang : ………. Tahun 5.
Jika sudah berhenti, sejak usia berapa memiliki kebiasaan [ minum alkohol dan usia kapan berhenti mengonsumsi? Usia mulai
]
: ……….. tahun
Usia berhenti : ………… tahun Data Kebiasaan Merokok 1.
Apakah pasien sedang atau pernah memiliki kebiasaan [ merokok? 1. Ya
2.
]
2. Tidak
Jika ya, berapa batang konsumsi rokok tiap harinya?
[
]
Apakah kebiasaan merokok tersebut masih ada sampai [ sekarang?
]
……………….. 3.
1. Ya 4.
2. Tidak
Jika kebiasaan merokok masih ada sampai sekarang, sejak [ kapan kebiasaan tersebut dimulai? ……………..
]
Usia sekarang : ………… tahun 5.
Jika sudah berhenti, sejak usia berapa memiliki kebiasaan [ merokok dan usia kapan berhenti merokok? Usia mulai
]
: ………… tahun
Usia berhenti : ………… tahun 6.
Apakah ada orang disekitar pasien yang menjadi perokok [ aktif? 1. Ya, sebutkan ……….
2. Tidak
]
Kuesioner Aktivitas Fisik (Kuesioner Baecke) Beri tanda ceklist pada kotak yang tersedia dan isilah sesuai dengan kondisi anda Sering (5-6 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), dan jarang (1-2 kali/minggu dan tidak pernah). A. Indeks Waktu Kerja A1. Apakah pekerjaan Bapak/Ibu saat ini? a.
supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT
b.
buruh pabrik, tukang kayu
c.
buruh bangunan, pedagang keliling dan petani
d.
lainnyaa ……
No
Pertanyaan
A2
Apakah dalam melakukan pekerjaan Bapak/Ibu selalu duduk?
A3
Apakah dalam melakukan pekerjaan Bapak/Ibu selalu berdiri?
A4
Apakah dalam melakukan pekerjaan bapak/Ibu selalu berjalan?
A5
Apakah dalam melakukan pekerjaan Bapak/Ibu mengangkat beban berat?
A6
Apakah setelah melakukan pekerjaan Bapak/Ibbu merasa lelah
A7
Apakah setelah melakukan pekerjaan Bapak/Ibu berkeringat?
Tidak pernah
Jarang Kadang- Sering Selalu kadang
Ket
Sangat ringan
No
Pertanyaan
A8
Dibandingkan dengan orang lain yang seusia Bapak/Ibu, Bagaimanakah pekerjaan fisik Bapak/Ibu?
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Ket
B. Indeks Waktu Olahraga B1. Apakah secara rutin Bapak/Ibu melakukan olahraga 1. Ya
2. Tidak (lanjut ke no.B3)
B2. 1. Apa olahraga pertama yang paling sering Bapak/Ibu lakukan ? a. Intensitas rendah (jalan kaki, billiard, bowling, golf) b. Intensias sedang (badminton, bersepeda, menari, berenang, tenis, senan, jogging) c. Intensitas tinggi (tinju, basket, voli, sepak bola) 2. Apa olahraga kedua yang paling sering Bapak/Ibu lakukan ? a. Intensitas rendah (jalan kaki, billiard, bowling, golf) b. Intensias sedang (badminton, bersepeda, menari, berenang, tenis, senan, jogging) c. Intensitas tinggi (tinju, basket, voli, sepak bola)
No
Pertanyaan Untuk jenis Olahraga pertama yang paling sering dilakukan. Berapa jam Bapak/Ibu berolahraga dalam seminggu? Untuk jenis Olahraga kedua yang paling sering dilakukan. Berapa jam Bapak/Ibu berolahraga dalam
<1 jam
1-2 jam
2-3 jam
3-4 jam
>4 jam
Ket
seminggu?
No
<1 1-3 bulan bulan
Pertanyaan
4-6 bulan
7-9 bulan
>9 bulan
Ket
Untuk olahraga pertama yang paling sering dilakukan. Berapa bulan Bapak/Ibu berolahraga dalam setahun? Untuk jenis Olahraga kedua yang paling sering dilakukan. Berapa bulan Bapak/Ibu dalam setahun?
No
Pertanyaan
B3
Apakah disaat waktu luang Bapak/ibu berkeringat?
B4
Apakah disaat waktu luang Bapak/ibu melakukan olahraga?
No
Pertanyaan
B5
Dibandingkan dengan orang lain yang seusia Bapak/Ibu, Bagaimana aktivitas yang dilakukan Bapak/Ibu saat waktu luang?
Tidak pernah
Jauh lebih sedikit
Jarang Kadang- Sering kadang
Lebih sedikit
Sama
Lebih banyak
Sangat Ket sering
Jauh Ket lebih banyak
C. Indeks Waktu Luang No
Pertanyaan
C1
Apakah Bapak/Ibu menontin TV disaat waktu luang?
C2
Apakah Bapak/ibu bersepeda disaat waktu luang?
C3
Apakah Bapak/Ibu bersepeda disaat waktu luang?
No
Pertanyaan
C4
Berapa menit Bapak/Ibu pergi ke tempat kerja/pasar dengan berjalan kaki/bersepeda?
Tidak pernah
Jarang
Kadang Sangat -kadang ringan
Sering
Ket
<5 menit
5-15 menit
16-30 menit
>45 menit
Ket
31-45 menit
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Jenis Makanan
Tepung susu skim Susu skim Tepung susu Keju Susu sapi segar Yogurt Susu kental manis Susu kental tidak manis Susu kerbau Es krim Mentega Susu kambing Sarden kaleng Tempe kedelai Tahu Oncom Udang kering Udang segar Teri kering tawar Bayam Kacang ijo Kacang panjang Mujair goreng Telur ayam Telur asin Sawi Daung singkong Kangkung Kacang merah Kacang tanah
….. per Hari
Formulir Food Frekuensi Makanan ….. per …… per Tidak Jumlah yang dikonsumsi minggu bulan Pernah Ukuran Rumah Berat (gram) tangga (URT)
Hasil Analisis Univariat Statistics Bone Mineral
Jenis Kelamin
Nutrisi
Aktivitas Fisik
Density Valid
Perilaku
Konsumsi
Merokok
Alkohol
110
110
110
110
110
110
0
0
0
0
0
0
Mean
1.92
1.11
.22
1.50
.09
.01
Median
2.00
1.00
.00
2.00
.00
.00
Std. Deviation
.275
.313
.415
.538
.289
.095
Variance
.076
.098
.172
.289
.083
.009
Range
1
1
1
2
1
1
Minimum
1
1
0
0
0
0
Maximum
2
2
1
2
1
1
N Missing
Jenis Kelamin Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Perempuan
98
89.1
89.1
89.1
Laki-laki
12
10.9
10.9
100.0
110
100.0
100.0
Total
Status Menopause Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Sudah Menopause
55
56.1
56.1
56.1
Belum Menopause
43
43.9
43.9
100.0
Total
98
100.0
100.0
Valid Percent
Cumulative
Nutrisi Frequency
Percent
Percent
Valid
kurang
86
78.2
78.2
78.2
cukup
24
21.8
21.8
100.0
Total
110
100.0
100.0
Aktivitas Fisik Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Ringan
2
1.8
1.8
1.8
Sedang
51
46.4
46.4
48.2
Berat
57
51.8
51.8
100.0
Total
110
100.0
100.0
Valid
Perilaku Merokok Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak Merokok Valid
Merokok Total
100
90.9
90.9
90.9
10
9.1
9.1
100.0
110
100.0
100.0
Konsumsi Alkohol Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Mengkonsumsi
110
100.0
100.0
100.0
Alkohol
Bone Mineral Density Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Normal Valid
9
8.2
8.2
8.2
Tidak Normal
101
91.8
91.8
100.0
Total
110
100.0
100.0
Bone Mineral Density Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
normal
9
8.2
8.2
8.2
osteopenia
57
51.8
51.8
60.0
Osteoporosis
44
40.0
40.0
100.0
110
100.0
100.0
Valid Total
Jenis Kelamin * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density normal Count Perempuan
% within Jenis
osteopenia
Total
Osteoporosis
9
50
39
98
9.2%
51.0%
39.8%
100.0%
0
7
5
12
0.0%
58.3%
41.7%
100.0%
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0%
Kelamin Jenis Kelamin Count Laki-laki
% within Jenis Kelamin Count
Total
% within Jenis Kelamin
Status Menopause * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count Sudah Menopause
% within Status
Osteopenia
Total
Osteoporosis
2
24
29
55
3.6%
43.6%
52.7%
100.0%
7
26
10
43
16.3%
60.5%
23.3%
100.0%
9
50
39
98
9.2%
51.0%
39.8%
100.0%
Menopause Status Menopause Count Belum Menopause
% within Status Menopause Count
Total
% within Status Menopause
Nutrisi * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density normal Count
osteopenia
Total
Osteoporosis
5
46
35
86
5.8%
53.5%
40.7%
100.0%
4
11
9
24
16.7%
45.8%
37.5%
100.0%
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0%
kurang % within Nutrisi Nutrisi Count cukup % within Nutrisi Count Total % within Nutrisi
Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density normal Count
osteopenia
Total
Osteoporosis
0
2
0
2
0.0%
100.0%
0.0%
100.0%
4
27
20
51
7.8%
52.9%
39.2%
100.0%
5
28
24
57
8.8%
49.1%
42.1%
100.0%
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0%
Rendah % within Aktivitas Fisik Count Aktivitas Fisik
Sedang % within Aktivitas Fisik Count Berat % within Aktivitas Fisik Count
Total % within Aktivitas Fisik
Perilaku Merokok * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density normal Count Tidak Merokok
% within Perilaku
Total
osteopenia
Osteoporosis
9
52
39
100
9.0%
52.0%
39.0%
100.0%
0
5
5
10
0.0%
50.0%
50.0%
100.0%
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0%
Merokok Perilaku Merokok Count Merokok
% within Perilaku Merokok Count
Total
% within Perilaku Merokok
Konsumsi Alkohol * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density normal Count Konsumsi Alkohol
Tidak Mengkonsumsi Alkohol
% within
Total
osteopenia
Osteoporosis
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0
Konsums
%
i Alkohol Count Total
% within Konsums i Alkohol
9
57
44
110
8.2%
51.8%
40.0%
100.0 %
Hasil Analisis Bivariat
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Jenis Kelamin * Bone
Missing
Percent 110
N
100.0%
Total
Percent 0
N
0.0%
Percent 110
100.0%
Mineral Density Jenis Kelamin * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count
Total
Tidak Normal 9
89
98
9.2%
90.8%
100.0%
0
12
12
0.0%
100.0%
100.0%
9
101
110
8.2%
91.8%
100.0%
Perempuan % within Jenis Kelamin Jenis Kelamin Count Laki-laki % within Jenis Kelamin Count Total % within Jenis Kelamin Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1
.273
.289
1
.591
2.175
1
.140
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
a
1.200
Continuity Correction
df
Fisher's Exact Test
.593
Linear-by-Linear Association
1.189
N of Valid Cases
1
.275
110
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .98. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate Value
95% Confidence Interval Lower
.908 110
.853
Upper .967
.339
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Status Menopause * Bone
Missing
Percent 98
N
100.0%
Total
Percent 0
N
Percent
0.0%
98
100.0%
Mineral Density
Status Menopause * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count Sudah Menopause
% within Bone Mineral
Total
Tidak Normal 2
53
55
22.2%
59.6%
56.1%
7
36
43
77.8%
40.4%
43.9%
9
89
98
100.0%
100.0%
100.0%
Density Status Menopause Count Belum Menopause
% within Bone Mineral Density Count
Total
% within Bone Mineral Density
Chi-Square Tests df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1
.032
1
.072
1
.030 .040
1
.036
.032
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.95. b.
Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate Value
95% Confidence Interval Lower
Odds Ratio for Status
Upper
.194
.038
.988
.223
.049
1.021
1.151
.999
1.326
Menopause (Sudah Menopause / Belum Menopause) For cohort Bone Mineral Density = Normal For cohort Bone Mineral Density = Tidak Normal N of Valid Cases
98
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Nutrisi * Bone Mineral
Missing
Percent 110
N
100.0%
Total
Percent 0
N
0.0%
Percent 110
Density
Nutrisi * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count kurang
% within Bone Mineral
Total
Tidak Normal 5
81
86
55.6%
80.2%
78.2%
4
20
24
44.4%
19.8%
21.8%
9
101
110
100.0%
100.0%
100.0%
Density Nutrisi Count cukup
% within Bone Mineral Density Count
Total
% within Bone Mineral Density
100.0%
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.086
1.675
1
.196
2.522
1
.112
2.942 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.102
Linear-by-Linear Association
2.915
N of Valid Cases
1
.102
.088
110
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.96. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate Value
95% Confidence Interval Lower
Odds Ratio for Nutrisi
Upper
.309
.076
1.255
.349
.102
1.199
1.130
.938
1.362
(kurang / cukup) For cohort Bone Mineral Density = Normal For cohort Bone Mineral Density = Tidak Normal N of Valid Cases
110
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density
Missing
Percent 110
100.0%
N
Total
Percent 0
0.0%
N
Percent 110
100.0%
Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count
Total
Tidak Normal 0
2
2
0.0%
100.0%
100.0%
4
47
51
7.8%
92.2%
100.0%
5
52
57
8.8%
91.2%
100.0%
9
101
110
8.2%
91.8%
100.0%
Ringan % within Aktivitas Fisik Count Aktivitas Fisik
Sedang % within Aktivitas Fisik Count Berat % within Aktivitas Fisik Count
Total % within Aktivitas Fisik Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2sided)
a
2
.899
Likelihood Ratio
.375
2
.829
Linear-by-Linear Association
.105
1
.746
N of Valid Cases
110
Pearson Chi-Square
a.
.212
4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .16.
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid N Perilaku Merokok * Bone Mineral Density
Missing
Percent 110
100.0%
N
Total
Percent 0
0.0%
N
Percent 110
100.0%
Perilaku Merokok * Bone Mineral Density Crosstabulation Bone Mineral Density Normal Count
Total
Tidak Normal 9
91
100
9.0%
91.0%
100.0%
0
10
10
0.0%
100.0%
100.0%
9
101
110
8.2%
91.8%
100.0%
Tidak Merokok % within Perilaku Merokok Perilaku Merokok Count Merokok % within Perilaku Merokok Count Total % within Perilaku Merokok
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.322
.148
1
.700
1.794
1
.180
.980 b
df
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.971
N of Valid Cases
110
1
.324
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .82. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate Value
95% Confidence Interval Lower
For cohort Bone Mineral
.910
Density = Tidak Normal N of Valid Cases
110
.856
Upper .968
.410