FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPADATAN MINERAL TULANG PADA WANITA PASCAMENOPAUSE
NURCHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006
Nurchasanah NIM A.551020141
3
ABSTRAK NURCHASANAH. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan DODIK BRIAWAN. Kepadatan mineral tulang merupakan salah satu parameter untuk mengukur status osteoporosis. Semakin rendah kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko osteoporosis. Kombinasi konsumsi pangan dan gaya hidup yang buruk pada wanita pascamenopause dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Desain penelitian yang digunakan adalah crosssectional study yang dilakukan di Jakarta dan Bogor dengan sampel sejumlah 60 orang pasien rawat jalan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang pernah memeriksakan kepadatan tulangnya dengan menggunakan DEXA selama tahun 2004. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan sosioekonomi, antropometri, nilai kepadatan mineral tulang dan data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ (Food Frequency Questionnaire) semikuantitatif. Analisis data secara statistik menggunakan SPSS versi 11.5. Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis deskriptif, uji t, uji korelasi Pearson dan uji regresi berganda model Stepwise dilakukan untuk seluruh variabel independen dengan kepadatan tulang di ketiga lokasi pemeriksaan tulang. Model ini digunakan agar didapatkan faktor yang berpengaruh secara fungsional pada nilai kepadatan mineral tulang wanita pascamenopause. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertambahan usia pada wanita pascamenopause menyebabkan nilai kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan radius ultradistalnya semakin rendah. Tulang radius ultradistal lebih cepat mengalami pengeroposan tulang dibandingkan tulang lumbal dan tulang femur. Nilai IMT yang tinggi berasosiasi dengan semakin tingginya nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal. Umur saat menopause dan masa subur memiliki efek positif pada kepadatan tulang lumbal, femur dan radius ultradistal. Sedangkan status menopause berefek negatif pada kepadatan tulang lumbal, femur dan radius ultradistal. Faktor intik zat gizi yang berefek positif pada kepadatan tulang femur dan radius ultradistal adalah intik zat besi. Konsumsi ikan juga berefek positif pada kepadatan tulang femur sedangkan konsumsi sumber karbohidrat dan buah-buahan berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal. Faktor gaya hidup yang berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal adalah konsumsi kopi. Sedangkan konsumsi teh berasosiasi positif dengan kepadatan tulang radius ultradistal. Faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang lumbal adalah umur saat menopause, status menopause dan rasio protein hewani:nabati dengan nilai koefisien regresi 0.265. Kepadatan tulang femur dipengaruhi oleh umur dan status menopause dengan koefisien regresi 0.182. Sedangkan kepadatan tulang radius ultradistal dipengaruhi oleh umur, kebiasaan konsumsi kopi, kebiasaan konsumsi teh, konsumsi sumber karbohidrat dan konsumsi buah-buahan dengan koefisien regresi 0.450.
4
ABSTRACT NURCHASANAH. Factors Related to Bone Mineral Density in Postmenopausal Women. Under the direction of BUDI SETIAWAN and DODIK BRIAWAN. Bone mineral density is important parameter to measure osteoporosis status. Low bone mineral density means more risk of having osteoporosis. Poor combination of dietary intake and lifestyle in postmenopausal women would increase the rate of bone loss. The main objective of this research was to learn factors that related to bone mineral density in postmenopausal women. This was a cross-sectional study from 60 patients that have examined their bone status using dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA) in 2004. Bone mineral density value, dietary intake using semi quantitative FFQ (Food Frequency Questionnaire), demographic and socioeconomic data were collected in this study. Statistical analysis used in this study was descriptive analysis, t-test, Pearson correlation test and stepwise multiple linear regression for all independent variable with bone density using SPSS version 11.5. Result of this study showed that older postmenopausal women have lower bone mineral density at lumbar spine, femur and radius ultra distal. Rate of bone loss at radius ultra distal was faster than at lumbar spine and femur. Higher body mass index was mean higher bone mineral density at postmenopausal women. Reproductive factors that have positive effect at lumbar spine, femur and radius ultra distal bone density were age at menopause and duration of reproductive years. Menopausal status have negative effect with bone density of lumbar spine, femur and radius ultradistal. Iron intake have positive association with bone mineral density at femur and radius ultra distal. Fish consumption also has positive association with femur bone density. Negative relationships founded at consumption of carbohydrate source and fruits with bone density of radius ultra distal. Coffee consumption has negative association with radius ultra distal bone density and tea consumption have positive association with radius ultra distal bone density. The conclusion of this study was density of lumbar spine was influenced by age at menopause, menopausal status and ratio of dietary animal to vegetable protein (R2 = 0.265). Density of femur was influenced with age and menopausal status (R2 = 0.182). Density of radius ultra distal was influenced with age, coffee and tea consumption and intake of carbohydrate source and fruits (R2 = 0.450).
5
Hak cipta milik Nurchasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dna sebagainya
6
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPADATAN MINERAL TULANG PADA WANITA PASCAMENOPAUSE
NURCHASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
7 Judul Tesis Nama NRP
: Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause : Nurchasanah : A55102014.1
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budi Setiawan M.S. Ketua
Ir. Dodik Briawan, MCN. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Dekan
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 17 Mei 2006
Tanggal Lulus :
8
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur terpanjat hanya kepada Allah SWT dengan seluruh Asmaul Husna milik-Nya atas segala limpahan rahmat, kekuatan dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tidak terlupa Shalawat dan salam tercurah selalu pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Ucapan terima kasih didedikasikan kepada Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Dodik Briawan, MCN sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama penulisan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. selaku Penguji Luar Komisi atas masukannya. Rasa terima kasih juga ditujukan kepada Ibu Kartini `Bunda` Ichwani BSc, Santi Sundari, SSi, Fitri Mufariyanti Amd, dan Siti Farida Ummul Rahma, AMd dari Klinik Yasmin Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta yang telah membantu selama pengumpulan data responden, serta kepada para responden atas segala informasi yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan Mamah, Bapak, dan Adik-adik serta keluarga di Jl. Gaharu Blok D-18A (Ir. Ardani, Dr. Fauziyah & Fatimah, MSi), atas segala doa, dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya. Sahabat dan teman terbaik, Aan, Mbak Woro, Bu Eko, Bu Rita, Bu Novi, Kak Fitri, Bu Diffah, Kak Maryam, Pak Thoha, Pak Hasan, Pak Suryono, dan Arif Anggoro serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tanpa semuanya tulisan ini tak kan pernah ada. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
Bogor, Juni 2006
Penulis
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon-Jawa Barat pada Tanggal 13 Juli 1980 dari pasangan H. Budjaeri dan Hj. Chaeriyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar hingga SMU diselesaikan di Cirebon yaitu di MI PUI Siti Mulya, SMP Muhammadiyah I dan SMU Negeri II. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti program S2, penulis aktif menulis tentang masalah gizi dan kesehatan di beberapa media massa.
10
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
PENDAHULUAN ........................................................................................ Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Tujuan Umum .................................................................................... Tujuan Khusus ................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 1 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Osteoporosis............................................................................................. Menopause ............................................................................................... Faktor Risiko Osteoporosis...................................................................... Faktor Pangan..................................................................................... Faktor Nonpangan..............................................................................
5 5 7 8 9 15
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................................
20
METODE PENELITIAN ............................................................................ Desain, Tempat dan Waktu Penelitian..................................................... Kriteria dan Cara Pengambilan Sampel................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data........................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. Batasan Istilah..........................................................................................
22 22 22 22 24 26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... Karakteristik Contoh................................................................................ Kepadatan Mineral Tulang ...................................................................... Antropometri dan Status Gizi Contoh ..................................................... Umur ..................................................................................................... Riwayat Reproduksi................................................................................. Intik Zat Gizi dan Konsumsi Pangan....................................................... Gaya Hidup .............................................................................................. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Mineral Tulang .............
28 28 30 31 36 36 42 54 58
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... Simpulan ................................................................................................. Saran .....................................................................................................
61 61 62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
63
LAMPIRAN ..................................................................................................
70
11
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Kategori osteoporosis menurut standar WHO (1994)........................... Jenis, dan cara pengumpulan data ....................................................... Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang ................... Sebaran contoh berdasarkan karakteristik demografis.......................... Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ................... Nilai kepadatan mineral tulang (g/cm2) dan kategori osteoporosis ...... Sebaran contoh menurut status osteoporosis pada tulang lumbal, femur dan radius ultradistal................................................................... Nilai antropometri contoh ..................................................................... Sebaran contoh menurut indeks massa tubuh ....................................... Korelasi antara variabel antropometri dengan kepadatan mineral tulang Tabulasi silang antara status gizi dengan status osteoporosis............... Nilai variabel yang terkait dalam riwayat reproduksi .......................... Sebaran contoh menurut riwayat reproduksi ........................................ Korelasi antara variabel riwayat reproduksi dengan nilai kepadatan mineral tulang ...................................................................... Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ............................................................................................ Korelasi antara variabel intik zat gizi dengan nilai kepadatan mineral tulang ...................................................................... Korelasi antara protein total, protein nabati, protein hewani dan rasio protein hewani dan nabati dengan nilai kepadatan mineral tulang..................................................................................................... Korelasi antara intik zat besi total, zat besi heme, zat besi nonheme dengan nilai kepadatan mineral tulang.................................................. Korelasi antara konsumsi gram total jenis pangan tertentu dengan nilai kepadatan mineral tulang.................................................. Sebaran contoh menurut konsumsi kopi, dan konsumsi teh di masa lalu dan saat ini ........................................................................ Korelasi antara kebiasaan konsumsi kopi, teh, susu, berolah raga dan penggunaan rokok dan alkohol dengan kepadatan mineral tulang ....................................................................................... Sebaran contoh menurut kebiasaan merokok di masa lalu dan saat ini Sebaran kebiasaan konsumsi susu contoh di masa lalu dan saat ini ..... Sebaran kebiasaan berolah raga contoh di masa lalu dan saat ini......... Jenis olah raga yang dilakukan contoh saat ini .................................... Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang lumbal.................................................................................................... Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang femur ..................................................................................................... Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang radius ultradistal.........................................................................
7 23 24 28 29 31 31 32 32 33 35 37 38 39 43 44 47 50 53 55 55 56 57 57 58 59 59 60
12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7
Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ............................................................................................ Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi .............. Gram total protein dan zat besi berdasarkan sumbernya ...................... Rasio perbandingan protein hewani : nabati, Ca : P, dan protein : Ca.. Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang lumbal ........... Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang femur............. Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang radius ultradistal....................................................................................
71 71 72 72 72 72 73
13
PENDAHULUAN Latar Belakang Osteoporosis merupakan penurunan massa tulang yang terjadi secara gradual seiring dengan bertambahnya umur (WHO 1999). Osteoporosis juga didefinisikan sebagai kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume tulang. Secara fungsional osteoporosis dicirikan dengan tingkat kerapuhan tinggi sehingga rentan untuk mengalami patah tulang (Bronner 1994). Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh karenanya maka osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari penderitanya (Rachman 2003). Osteoporosis menjadi suatu permasalahan dunia, karena angka harapan hidup (life expectancy rate) yang meningkat diberbagai negara, sementara angka kematian menurun, sehingga meningkatkan para usia lanjut di dunia. Tahun 2025 nanti diperkirakan jumlah lansia (> 60 tahun) di dunia akan meningkat sampai 1,2 milyar orang dan sekitar 70% jumlahnya diperkirakan berasal dari negara-negara berkembang (Ismail 1999). Sebagai salah satu negara berkembang usia harapan hidup manusia Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. Kondisi tersebut berdampak terhadap peningkatan jumlah populasi lanjut usia di Indonesia. Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000 tercatat lebih dari 14 juta jiwa (BPS 2000). Peningkatan jumlah populasi lanjut usia menimbulkan satu karakteristik tersendiri di antaranya adalah meningkatnya risiko kejadian osteoporosis. Sehingga jelas bahwa meningkatnya usia dan osteoporosis di Indonesia dan di dunia merupakan suatu hal yang pasti terjadi (Rachman 2003). Di Amerika sekitar 18 juta orang memiliki massa tulang yang rendah, dan hal tersebut membuat mereka rawan terkena osteoporosis. Jika ini terus berlanjut sebanyak 41 juta orang akan mengalami osteoporosis pada tahun 2015 menurut proyeksi National Osteoporosis Foundation di Amerika (NOF 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh NOF di Amerika selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa 1 dari 4 wanita dan 1 dari 8 pria menderita osteoporosis. Pada tahun 1990 di dunia angka kejadian fraktur tulang akibat osteoporosis masih berada di angka 1,7 juta orang ini akan terus meningkat
14 hingga mencapai 6,3 juta orang di tahun 2050. Diperkirakan bahwa 71% kejadian fraktur tersebut akan terjadi di negara berkembang (WHO 1999). Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia tidak luput dari ancaman osteoporosis. Hasil analisis data oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan menunjukkan sebesar 19,7 persen penduduk Indonesia berisiko terkena osteoporosis dan lima provinsi dengan risiko osteoporosis tertinggi adalah Sumatera Selatan (27.7%), Jawa Tengah (24,02%), Daerah Istimewa Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,8%) dan Jawa Timur (21,4%). Proporsi penduduk wanita yang berisiko lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu 21,7 persen berbanding 14,8 persen (Anonim 2003). Osteoporosis lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan laki-laki. Berbagai literatur menunjukkan bahwa osteoporosis pada wanita berhubungan erat dengan menopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena penurunan kepadatan tulang yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun diikuti dengan penurunan kadar estrogen sehingga kepadatan tulang turun lebih cepat (Ariani 1998). Selain terjadinya menopause pada wanita masih terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang. Faktor individual seperti berat badan, Indeks Massa Tubuh, umur, status menopause dan ras juga merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap kepadatan tulang (Felson et al. 1993). Rendahnya kepadatan tulang (osteoporosis dini) juga diperkirakan dapat disebabkan oleh terjadinya hiperparatiroidisme dan hipogonadisme. Konsumsi obat-obatan seperti hormon tiroid, glukokortikoid dan antikonvulsan dapat mempercepat kehilangan massa tulang (Krall & Dawson-Hughes 1998; Reid 2000; Reid et al. 1994). Faktor gizi turut berperan penting dalam menjaga kesehatan tulang dan memperlambat laju pengeroposan tulang. Zat gizi yang paling banyak dikaji dan diteliti adalah kalsium (Ca) dan vitamin D (Tucker et al. 1999). Akan tetapi kekuatan tulang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kecukupan kedua zat gizi tersebut, karena tulang adalah jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro dan makro turut berperan penting dalam pemeliharaan tulang sehingga mampu memperlambat kejadian osteoporosis (Tucker et al. 2000). akhir-akhir ini telah banyak dikaji zat gizi selain kalsium dan vitamin D yang diduga turut mempengaruhi kepadatan mineral tulang. Kalium (K), magnesium (Mg),
15 zat besi (Fe), Fosfor (P), vitamin C, vitamin A, Vitamin B12, seng (Zn), tembaga (Cu), silikon (Si), natrium (Na), senyawa fitoestrogen (isoflavonoid). Sayuran serta buahbuahan juga diduga memiliki efek positif dalam membantu memelihara kesehatan tulang dan memperlambat laju kecepatan pengeroposan tulang pada wanita pascamenopause (Tucker et al. 1999; Harris et al. 2000; Gartland et al. 2004; Tucker et al. 2002; Hyun et al. 2004; Feskanich et al. 1999; Hegarty et al. 2000; Anderson 1999; New et al. 2000; Setchell & Lydeking-Olsen 2003; Olson 2000; MacDonald et al. 2004). Penelitian mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan kepadatan mineral tulang merupakan hal yang penting untuk dikaji mengingat akan semakin banyaknya populasi usia lanjut ke depan. Penelitian tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko osteoporosis akan membantu memberikan informasi yang akurat sehingga dapat meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan tulang sejak dini. Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Tujuan Khusus : 1.
Mengkaji keterkaitan antara umur dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
2.
Mengkaji keterkaitan antara status gizi secara antropometri dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
3.
Mengkaji keterkaitan antara riwayat reproduksi yang meliputi umur saat pertama kali menstruasi, umur saat pertama kali melahirkan, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, jumlah anak, rata-rata lama menyusui, lama masa subur, umur saat menopause dan status menopause dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
4.
Mengkaji keterkaitan antara gaya hidup yang meliputi kebiasaan olah raga, merokok, konsumsi susu, teh dan kopi dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
16 5.
Mengkaji keterkaitan antara konsumsi pangan dan intik zat gizi dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
6.
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause Manfaat Penelitian Mengingat ke depan populasi kelompok lanjut usia akan terus bertambah maka
diharapkan hasil penelitian ini dapat : 1. Memberikan informasi tentang faktor pangan dan nonpangan yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause, sehingga dapat meningkatkan kepedulian untuk menjaga kesehatan tulang sejak dini. 2. Menjadi masukan untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang hubungan antara nilai kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause dengan konsumsi pangan dan riwayat reproduksi. 3. Menjadi masukan bagi pihak terkait yang membuat kebijakan dalam mempromosikan hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kualitas kesehatan dan hidup untuk warga senior.
17
TINJAUAN PUSTAKA Osteoporosis Pengertian Osteoporosis National Osteoporosis Foundation (2003) mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit kronis progresif yang dicirikan dengan rendahnya massa tulang dan rusaknya mikroarsitektur tulang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan tulang, kerapuhan tulang dan meningkatnya risiko fraktur tulang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya menimbulkan kejadian fraktur tulang akibat meningkatnya kerapuhan tulang (WHO 1994). Definisi tersebut diperkuat oleh Bronner (1994) yang mengemukakan bahwa osteoporosis merupakan kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume tulang. Secara fungsional tulang yang mengalami osteoporosis dikarakterisasikan dengan tingkat kerapuhan yang lebih besar sehingga lebih mudah untuk mengalami fraktur. Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh karenanya osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari penderitanya (Rachman 2003). Proses Terjadinya Osteoporosis Tulang adalah jaringan yang memberi bentuk pada tubuh dan dapat menyebabkan pergerakan tubuh karena merupakan tempat melekatnya otot-otot. Tulang terdiri dari matriks kolagen tulang, bahan organik dan mineral tulang. Mineral tulang berfungsi merekatkan serat–serat kolagen matriks tulang yang satu dengan lainnya dan juga sebagai cadangan isi kalsium dalam tubuh (Rachman 2003). Tulang mengalami proses pembentukan dan perubahan (modelling dan remodeling). Secara fisiologi modelling dan remodelling massa tulang dipengaruhi oleh 2 jenis sel yaitu sel osteoblas dan osteoklas. Osteoblas adalah sel yang membentuk massa tulang, sementara osteoklas adalah sel yang bersifat merusak massa tulang.
18 Penambahan usia membuat osteoklas lebih aktif dan osteoblast kurang aktif, sehingga tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit dibentuk dan terjadi pengurangan massa tulang secara menyeluruh (Ariani 1998). Awalnya, pembentukan tulang oleh osteoblas dan proses perusakan tulang oleh osteoklas berjalan seimbang. Saat memasuki usia 40 tahun, osteoklas menjadi lebih dominan. Hal ini menyebabkan perusakan tulang lebih banyak terjadi dibanding pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang juga berkurang dan tulang menjadi semakin rapuh dan keropos. Inilah yang kemudian dikenal dengan osteoporosis (Ariani 1998). Penurunan kepadatan massa tulang ini lebih nyata terlihat pada wanita dibanding pria karena keterkaitannya dengan hormon-hormon seks wanita utamanya hormon estrogen. Penurunan produksi estrogen akibat menopause membuat penyerapan kalsium ke dalam tulang juga menurun. Pada wanita estrogen memiliki peran besar dalam membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang. Hal inilah yang menyebabkan resiko osteoporosis pada perempuan meningkat secara nyata di usia 50 tahun setelah mereka mengalami menopause (Rachman 2004). Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang Pengukuran kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis osteoporosis dan memprediksi risiko fraktur di masa yang akan datang. Kepadatan mineral tulang memiliki hubungan terbalik yang berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko fraktur (NOF 2003). Kepadatan mineral tulang diekspresikan sebagai keterkaitan antara dua standar Z-score dan T-Score. Z-score adalah skor perbandingan nilai kepadatan mineral tulang yang diharapkan pada pasien sesuai umur dan jenis kelamin. Sedangkan T-Score adalah skor nilai perbandingan kepadatan tulang pasien dengan nilai kepadatan tulang standar populasi orang dewasa muda normal dengan jenis kelamin yang sama. Menurunnya Tscores secara paralel berkaitan dengan menurunnya massa tulang. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya umur (NOF 2003). Berikut ini adalah kategori osteoporosis menurut T-score berdasarkan standar WHO (1994):
19 Tabel 1 Kategori osteoporosis menurut standar WHO (1994) Kategori Osteoporosis Normal Massa tulang rendah (osteopenia) Osteoporosis
T-Score Lebih besar dari -1.0 -1 sampai -2.5 Lebih rendah dari -2.5
Teknik Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) merupakan alat yang banyak digunakan dalam penilaian kepadatan mineral tulang manusia secara in vivo. Keunggulan metode ini adalah cepat, ramah pasien, memiliki tingkat presisi dan akurasi yang tinggi dan paparan radiasi yang dihasilkannya sangat minimal (Prentice, Parson & Cole 1994). Penilaian risiko fraktur juga dapat diketahui dengan menggunakan penanda biokimia. Penanda turnover tulang yang terjadi dalam serum atau urin kadang-kadang digunakan untuk membantu penilaian risiko fraktur, memprediksi kehilangan massa tulang (NOF 2003). Data
hasil
pengukuran
dengan
menggunakan
teknik
absorptiometri
diekspresikan sebagai Kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) dengan satuan g/cm2. Data kepadatan mineral tulang mampu memberikan derajat standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antarindividu dengan memberikan perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal (Prentice, Parson & Cole 1994). Menopause Kata menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘bulan’ dan ‘penghentian sementara’ (Wirakusumah 2003). Secara fisiologis menopause merupakan suatu proses henti menstruasi/haid akibat hilang atau kekurangan hormon estrogen yang diproduksi oleh ovarium. Menopause memiliki gejala khusus yang mengganggu dan dapat berlangsung cukup lama (Achadiat 2000). Gejala ini merupakan gejala normal yang timbul akibat terjadinya perubahan fisik dan psikis pada wanita menopause. Namun gejala-gejala yang timbul amatlah individual, tidak setiap wanita mengalami gejala yang sama. Ada
20 wanita yang mengalaminya dan ada juga tidak. Semua tergantung pada kondisi kesehatan, emosi (daya tahan terhadap stress), asupan makanan dan aktivitas fisik seseorang (Wirakusumah 2003). Gejala fisik dari menopause diantaranya adalah adanya semburat panas, sulit tidur, berkeringat malam, gangguan fungsi seksual dan kekeringan vagina. Akibat paling serius dari menopause yang tidak nampak secara langsung adalah penyakit kardiovaskuler dan penyakit tulang seperti osteoporosis dan osteoarthritis (Achadiat 2000). Faktor Risiko Osteoporosis Selain disebabkan oleh menopause, masih terdapat banyak faktor lain yang dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause, seperti pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Meskipun pengaruhnya terhadap massa tulang relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor risiko bawaan seperti jenis kelamin, riwayat keluarga, penuaan, dan ras; akan tetapi konsumsi pangan dan gaya hidup yang buruk dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang (Rachman 2003). Faktor konsumsi pangan yang meliputi konsumsi mineral kalsium, fosfor, dan vitamin D telah banyak dikaji, sehingga sampai saat ini rekomendasi utama untuk membantu
dalam
mencegah
dan
memperlambat
osteoporosis
pada
wanita
pascamenopause adalah kombinasi tiga zat gizi mikro tersebut dengan perbandingan tertentu. Akan tetapi tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro maupun makro turut berperan dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause (Tucker et al. 2002). Faktor Pangan Selmeyer et al. (2001) mengungkapkan bahwa zat gizi merupakan komponen penting dari kesehatan tulang. Zat gizi merupakan faktor penting yang dapat dimodifikasi dalam perkembangan, perawatan massa tulang dan pencegahan serta pengobatan osteoporosis. Kurang lebih 80-90% kandungan mineral tulang terdiri dari kalsium dan fosfor. Komponen pangan lain seperti protein, Mg, Zn, Cu, Fe, Fluoride, vitamin A, D, C, dan K diperlukan untuk metabolisme tulang secara normal. Protein
21 tergabung pada matriks organik tulang untuk menyusun struktur kolagen termpat terjadinya mineralisasi. Sementara vitamin dan mineral lain penting untuk proses metabolisme dalam tulang (Illich 2000). Disamping itu komponen lain yang juga berpengaruh adalah konsumsi kafein, alkohol, atau fitoesterogen (Illich 2000). Anderson (1999) menyebutkan bahwa konsep diet sehat secara praktis adalah menyediakan jumlah yang cukup dari seluruh zat gizi yang ada dari berbagai macam jenis makanan. Pada beberapa penelitian, wanita laktoovovegetarian yang banyak mengkonsumsi sayur dan buah yang memberikan zat gizi yang esensial untuk kesehatan tulang; memiliki nilai ukuran spesifik tulang yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang nonvegetarian. Hal ini diasumsikan karena sayur dan buah banyak mengandung senyawa-senyawa fitokimia yang baik untuk kesehatan. Contohnya adalah isoflavon sejenis fitoestrogen yang ada pada kedelai dan produk olahan kedelai lainnya, dan konsumsi fitoestrogen ini memiliki efek positif pada jaringan tulang pada wanita pascamenopause (Anderson 1999). Pentingnya keterkaitan antara diet yang cukup dan massa tulang perlu menjadi perhatian untuk memperbaiki cara pandang masyarakat bahwa hanya kalsium sajalah yang berperan penting untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang. Pola makan penting untuk memaksimalkan kesehatan tulang, dan konsep pangan holistik untuk mengoptimalkan kesehatan tulang mulai mengemuka (Anderson 1999). Kalsium Kalsium adalah mineral dengan kadar terbanyak dalam tubuh manusia (hampir 2 % dari berat total tubuh). Sebagian besar kalsium bergabung dengan unsur fosfat menjadi kalsium fosfat dan hampir 90% senyawa ini terdapat pada tulang. Tubuh manusia dewasa mengandung sekitar 1000 – 1500 g kalsium (tergantung pada jenis kelamin, umur, ras dan ukuran tubuh) dan 99%nya ditemukan pada tulang dalam bentuk kristal hidroksiapatit. Alasan inilah yang membuat kalsium menjadi zat gizi yang paling banyak dipelajari dan diteliti dalam kaitannya dengan kesehatan tulang (Illich 1999). Studi epidemiologis yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa konsumsi kalsium memiliki keterkaitan yang cukup konsisten dengan kesehatan tulang (Illich 1999; Henneman 2000).
22 Fosfor Sebagai salah satu elemen anorganik, fosfor merupakan mineral kedua yang paling padat terdapat pada tubuh manusia, dan 85% fosfor berikatan pada tulang. Fosfor terdapat pada daging, telur, ikan, kacang-kacangan, sereal, dan makanan hasil olahan lainnya. Meskipun fosfor merupakan salah satu zat gizi yang esensial, tapi jumlah yang berlebihan dapat memberikan efek yang berbahaya bagi tulang. Peningkatan konsumsi fosfor akan meningkatkan konsentrasi serum fosfor mengakibatkan menurunnya konsentrasi serum kalsium terionisasi yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid merupakan hormon yang mencegah untuk terjadinya hipokalsemia dalam darah dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium pada tulang untuk mencegah hipokalsemia tersebut. Vitamin D Sistem endokrin vitamin D mempengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor dengan cara mempengaruhi organ targetnya: usus, tulang dan ginjal. Metabolit aktif 1, 25 (OH)2 vitamin D3 (kalsitriol) memfasilitasi absorbsi kalsium secara aktif dari usus dengan cara menstimulasi sintesis protein (Illich et al. 2000). Vitamin D yang diperoleh dari diet dan paparan sinar matahari kemudian dihidroksilasi menjadi 25 hidroksivitamin D di hati selanjutnya menjadi 1,25 (OH)2 D di ginjal. Metabolit aktif 1,25 (OH)2 D inilah yang menstimulasi absorbsi kalsium dari usus dan juga penting untuk memelihara tulang normal (Illich 2000). Status vitamin D menurun seiring dengan pertambahan umur; paparan sinar matahari yang rendah, dan menurunnya kemampuan ginjal dan hati untuk menghidroksilasi vitamin D. Hal ini diperkirakan semakin memperbesar risiko untuk terkena osteoporosis pada usia lanjut (Sizer & Whitney 2000). Selain itu pertambahan umur juga menyebabkan meningkatnya serum hormon paratiroid dan menurunnya level plasma 25 hidroksivitamin D dan 1,25 (OH)2 D, perubahan inilah yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang pada usia lanjut (Illich et al. 2000). Protein Kepadatan tulang tidak hanya ditentukan dari kecukupan kalsium dalam tulang, kecukupan intik protein yang merupakan bahan baku protein kolagen (protein
23 pembentuk tulang) juga penting untuk dikaji meskipun hubungan antara intik protein dan kalsium masih merupakan hal yang kontroversial karena protein diketahui memiliki implikasi negatif pada keseimbangan kalsium tubuh (Sellmeyer et al. 2001; Feskanich et al. 1996). Pada spektrum lain kekurangan protein dicurigai memiliki faktor risiko untuk pengeroposan
tulang
dan
osteoporosis.
Terdapat
bukti
meyakinkan
yang
mengindikasikan bahwa intik protein yang rendah berhubungan dengan kepadatan mineral tulang yang rendah dan risiko patah tulang yang tinggi (Rapuri et al. 2003). Sebaliknya konsumsi protein akan membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur tulang pada penderita wanita pascamenopause (Promislow et al. 2002; Hannan et al. 2000; Dawson-Hughes et al. 2002). Selain itu penelitian mengenai suplementasi protein setelah terjadinya fraktur tulang panggul pada usia lanjut menunjukkan pentingnya intik protein yang cukup untuk kesehatan biologis tulang (Rapuri et al. 2003). Zat Besi Harris et al. (2003) menemukan adanya hubungan yang kompleks antara kalsium, zat besi dan tulang. Diperkirakan zat besi mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam mineralisasi tulang lebih dari yang diketahui selama ini. Hal ini disebabkan karena zat besi sangat esensial untuk sintesis kolagen yang merupakan tempat terjadinya mineralisasi tulang. Zat besi juga terlibat dalam konversi 25-hidroksi vitamin D dan 1, 25 dihidroksi vitamin D yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Sebagaimana telah diketahui bahwa vitamin D dibutuhkan untuk pengaturan kalsium dan fosfor secara tepat. Dengan demikian maka secara tidak langsung maka zat besi turut memainkan peran penting dalam proses mineralisasi tulang. Medeiras et al. (1997) dalam Harris et al. (2003) mengemukakan bahwa menurunnya kaitan lintang kolagen (collagen cross linking) berkaitan dengan menurunnya intik zat besi memiliki kontribusi terhadap menurunnya kekuatan tulang. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa defisiensi zat besi dapat mengakibatkan massa tulang menjadi rendah dan defisiensi zat besi juga dapat mengubah massa tulang dan struktur tulang pada tikus betina yang sedang tumbuh (Kip et al. 1998; 2002)
24 Seng Mineral seng merupakan mineral mikro esensial komponen penyusun
> 200
jenis enzim. Mineral ini penting untuk sintesis kolagen normal dan mineralisasi tulang (Hyun et al. 2004). Pada hewan defisiensi seng berkaitan dengan pertumbuhan, pembentukan dan mineralisasi tulang yang tidak normal (Hyun et al. 2004). Terdapat korelasi positif yang signifikan antara kandungan seng tulang dengan kekuatan tulang hal inilah yang menegaskan bahwa terdapat kemungkinan bahwa seng memiliki peran dalam menyehatkan tulang (Hyun et al. 2004). Intik seng yang rendah dilaporkan berkaitan dengan massa tulang yang rendah pada wanita. dan lebih jauh diketahui terjadi pengurangan konsentrasi plasma seng dan meningkatnya ekskresi seng urin pada wanita penderita osteoporosis (Hyun et al. 2004). Sedangkan penelitian yang dilakukan pada pria penderita osteoporosis menunjukkan bahwa intik seng pangan dan konsentrasi plasma seng memiliki asosiasi yang positif dengan kepadatan mineral tulang (Hyun et al. 2004). Vitamin A Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan remodelling tulang (Nieves 2005). Studi eksperimen pada hewan menunjukkan pentingnya vitamin A pada proses remodelling tulang. Defisiensi vitamin A akan menyebabkan pertumbuhan tulang terganggu akan tetapi kelebihan vitamin A dapat mempercepat resorpsi tulang, kerapuhan tulang dan terjadinya fraktur tulang (Wimalawansa 2004). Terdapat dua jenis vitamin A pada suplemen dan makanan, yakni retinol dan beta karoten serta jenis karoten lainnya. Studi populasi yang dilakukan di Amerika serikat dan Swedia menunjukkan bahwa intik vitamin A yang berlebihan yang berasal dari retinol nampaknya berhubungan dengan risiko fraktur tulang panggul. Secara seluler asam retinoat (yang berasal dari proses metabolisme retinol) dapat menghambat aktivitas osteoblas, menstimulasi pembentukan osteoklas dan mempercepat terjadinya resorpsi tulang sehingga memperbesar risiko fraktur tulang panggul (Nieves 2005). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melhus et al. (1998) menyebutkan bahwa konsumsi vitamin A yang berlebihan memiliki keterkaitan dengan tingginya kejadian fraktur tulang panggul akibat osteoporosis di Swedia dan Norwegia. Hasil ini juga diperkuat dengan laporan McDonald et al. (2004) yang menyebutkan bahwa konsumsi
25 vitamin A berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Meskipun demikian, masih belum terdapat bukti bahwa ada keterkaitan antara intik beta karoten dan intik vitamin A yang berasal dari buah-buahan dan sayuran (karotenoid) (Nieves 2005). Vitamin C Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting dalam pembentukan kolagen, jika terjadi defisiensi maka akan berkaitan dengan perkembangan tulang yang tidak normal. Hasil penelitian pada mereka yang turut serta dalam Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika Serikat selama tahun 1988–1994 menunjukkan bahwa intik vitamin C berkaitan secara independen dengan kepadatan mineral tulang pada wanita premenopause (Simon & Hudes 2001). Pada wanita pascamenopause, keterkaitan antara vitamin C dengan kepadatan mineral tulang belum menunjukkan hasil yang konsisten. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang kompleks antara vitamin C dengan berbagai faktor diantaranya seperti intik kalsium total, penggunaan terapi estrogen, dan kebiasaan merokok (Tucker 2003). Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan senyawa fitokimia yang berasal dari hormon tumbuhan yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen pada tubuh manusia (Wirakusumah 2003). Peran fitoestrogen khususnya isoflavon dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa isoflavon memiliki bone-sparing effects secara invitro maupun invivo (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Fitoestrogen juga berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh. Pada masa perimenopause atau masa menopause saat kadar estrogen sangat rendah, asupan fitoestrogen mampu berfungsi sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom menopause dan osteoporosis (Wirakusumah 2003). Para penderita osteoporosis di negara maju biasanya menggunakan terapi hormon sebagai salah satu upaya untuk memperlambat laju pengeroposan tulang. terapi hormon estrogen disebut sebagai salah satu upaya memperlambat laju pengeroposan tulang yang paling efektif (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Akan tetapi saat ini mengemuka masalah baru yang berkaitan dengan terapi hormon estrogen ini, yaitu
26 ketakutan akan meningkatnya risiko kanker payudara dan endometrium pada penggunanya yang disebabkan oleh efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan steroid kuat tersebut (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Untuk menanggulangi masalah ini maka fitoestrogen yang banyak terdapat pada tanaman nampaknya menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk membantu memelihara tulang (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Banyak penelitian yang memberikan bukti efek positif dari penggunaan fitoestrogen pada tulang. Faktor Nonpangan Keturunan dan Ras Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan bahwa keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang. Keturunan lebih banyak mempengaruhi maksimum massa tulang yang mungkin dicapai selama masa pertumbuhan dan laju kehilangan massa tulang setelah mengalami menopause (Sizer & Whitney 2000). Risiko osteoporosis juga terkait dengan garis ras. Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika, Hispanik yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan (Sizer & Whitney 2000). Tetapi ada pengecualian yang berkaitan dengan ras ini, ras kulit kuning yang tinggal di China dan Singapura memang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena osteoporosis, meskipun demikian laju fraktur tulang panggul diantara mereka sangat rendah. Hal ini mungkin terkait dengan pola konsumsi mereka (Sizer & Whitney 2000). Umur Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus remodelling lengkap (Sizer & Whitney 2000).
27 Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D (Sizer & Whitney 2000). Riwayat Reproduksi Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi daripada pria (Sizer & Whitney 2000). Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause (Mulyono 1999). Beberapa studi menunjukkan hubungan laju patah tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause pengaruh hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian tulang. Bagian tulang yang mengalami kehilangan massa tulang lebih dini adalah bagian tulang trabekular (Sizer & Whitney 2000). Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2,5 – 5 % setahun selama 4 –5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada tulang trabekuler dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal ini terjadi karena luas permukaan tulang trabekular lebih besar dari pada tulang kortikal sehingga metabolisme di bagian tersebut lebih aktif (Sizer & Whitney 2000). Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi untuk membuktikan reliabilitasnya. Faktor tersebut adalah umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, lama pemberian ASI (Ozdemir et al. 2005). Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi positif antara usia saat menopause dan kepadatan mineral tulang dan korelasi negatif antara umur saat pertama kali mengalami menstruasi dengan kepadatan mineral tulang. (Kritz-silverstein & Barrett-Connor 1993; Forsmo et al. 2001). Umur saat pertama kali menstruasi diduga
28 memiliki efek menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen. Penemuan tentang adanya keterkaitan antara paritas dan kepadatan tulang masih dianggap kontroversial (Gur et al. 2003). Bukti yang ada menunjukkan bahwa kehamilan pada umur yang lebih muda dapat menyebabkan kepadatan mineral tulang lebih rendah dan meningkatkan risiko terjadinya kehilangan massa tulang (Sowers 2001). Paritas diduga memiliki efek negatif terhadap kepadatan mineral tulang, akan tetapi pada beberapa penelitian paritas tidak berkaitan dengan penurunan kepadatan mineral tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Hoffman et al. (1993) melaporkan bahwa wanita yang memiliki anak ≥ 3 berisiko untuk mengalami fraktur 35 – 40% lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah punya anak (nulliparous). Gur et al. (2002) menunjukkan hasil penelitian yang berlawanan dengan mengindikasikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah kehamilan dengan kepadatan mineral tulang lumbal tapi tidak dengan kepadatan mineral tulang femur. Pemberian ASI dapat menyebabkan adanya stress pada metabolisme kalisum dan berakibat pada metabolisme tulang. Durasi dan frekuensi menyusui merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang dan metabolisme tulang. Menyusui dalam jangka panjang diasosiasikan dengan meningkatnya kehilangan massa tulang (Melton et al. 1993; DeSantiago et al. 1999; Glerean & Plantalech 2000; Popivanov & Boianov 2002; Grimes & Wimalawansa 2003). Meskipun demikian hal tersebut tidak permanen, dan beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi dari adanya penurunan kepadatan massa tulang dan tidak ada penurunan massa tulang. Ozdemir et al. (2005) menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa jumlah kehamilan, total waktu pemberian ASI, dan usia saat kehamilan pertama berpengaruh pada nilai kepadatan mineral tulang, sementara umur saat pertama kali menstruasi tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kepadatan mineral tulang. Aktivitas Fisik dan Berat Badan Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara prospektif dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan risiko fraktur tulang panggul, dan mereka yang memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena fraktur tulang panggul sebesar 20-40% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
29 aktif (Gregg, Pereira & Caspersen 2000). Sementara itu kajian sistematis dari Randomized Trials menunjukkan bahwa olah raga secara teratur memiliki efek yang positif pada tulang punggung dan tulang leher femoral (Wallace & Cumming 2000). Osteoporosis lebih sering dikaitkan dengan mereka yang memiliki berat badan rendah (kurus), khususnya kehilangan berat badan seberat 10% atau lebih setelah menopause, dan mereka yang memiliki berat badan lebih berat berisiko lebih rendah untuk terkena osteoporosis (Sizer & Whitney 2000). Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar, terutama pada tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus. Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang mengalami osteoporosis (Lane 2001). Kebiasaan Merokok Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan perokok. Sebuah penelitian pada saudara kembar melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok/harinya selama masa dewasanya akan mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5 – 10% dari tulang mereka ketika menopause tiba (Hopper & Seeman 1994 dalam Sizer & Whitney 2000). Meskipun mekanisme aksinya masih belum dapat dijelaskan, tapi rendahnya berat badan perokok dan menopause dini pada perokok wanita diperkirakan menjadi faktor penyebabnya (Slemenda 1994 dalam Sizer & Whitney 2000). Risiko terkena fraktur tulang panggul pada perokok meningkat seiring dengan jumlah batang rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi pada pria dan wanita, hasil pengukuran kepadatan mineral tulang juga menunjukkan bahwa perokok memiliki kepadatan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok. (Hollenbach et al. 1993). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan laju pengeroposan tulang salah satunya dengan cara menurunkan
30 absorpsi kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang (Krall & DawsonHughes 1999; Rapuri et al. 2000). Konsumsi Kafein Kafein termasuk faktor risiko yang dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis, meskipun demikian buktinya
masih
diperdebatkan
(Rapuri
et
al.
2001).
Beberapa
penelitian
mengindikasikan bahwa kafein dapat mempercepat ekskresi kalsium, sementara penelitian yang lain tidak menemukan efek yang signifikan. Efek kafein pada keseimbangan kalsium mungkin akan merugikan hanya jika konsumsi kalsiumnya rendah (Whitney, Cataldo & Rolves 1998). Rapuri et al. (2001) dan Harris & DawsonHughes (1994) menyebutkan bahwa intik kafein lebih dari 300 mg/hari dapat mempercepat kehilangan massa tulang di tulang belakang pada wanita pasca menopause. Selama ini intik kafein yang dilaporkan dapat mempercepat laju kehilangan massa tulang, dan intik kafein biasanya dikaitkan dengan konsumsi kopi. Selain kopi teh juga mengandung kafein, akan tetapi keterkaitan antara kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang masih belum banyak dikaji. Hegarty et al. (2000) meneliti tentang kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang pada usia lanjut wanita. Hasil penelitian Hegarty et al. (2000) menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kebiasaan minum teh memiliki ukuran kepadatan mineral tulang yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak minum teh. Hal ini diasumsikan karena teh tidak hanya mengandung kafein tapi juga senyawa flavonoid yang diduga memiliki efek positif pada tulang
31
KERANGKA PEMIKIRAN Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh penuaan. Osteoporosis lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan laki-laki. Berbagai literatur menunjukkan bahwa osteoporosis pada wanita berhubungan erat dengan menopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena penurunan kepadatan tulang yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun seiring dengan penurunan kadar estrogen sehingga kepadatan tulang turun lebih cepat (Ariani 1998). Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause (Mulyono 1999). Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2.5 – 5 % setahun selama 4 – 5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada tulang trabekuler (Sizer & Whitney 2000). Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi lebih banyak untuk membuktikan bahwa faktor tersebut juga merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Faktor tersebut adalah umur saat pertamakali menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, umur saat menopause, status menopause, rata – rata lama pemberian ASI dan lama masa subur (Ozdemir et al. 2005). Faktor lain yang dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause adalah pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Faktor konsumsi pangan dan intik zat gizi yang meliputi kalsium, fosfor dan vitamin D telah banyak dikaji, sehingga sampai saat ini rekomendasi utama untuk membantu dalam mencegah dan memperlambat osteoporosis pada wanita pascamenopause adalah kombinasi tiga zat gizi mikro tersebut dengan perbandingan tertentu. Sedangkan tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro maupun makro turut berperan dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause (Tucker et al. 2002).
32
Gaya Hidup Kebiasaan merokok, olah raga, konsumsi kopi, teh dan susu
Riwayat Reproduksi - Umur saat pertamakali menstruasi - Umur saat kehamilan pertama - Umur saat menopause - Status menopause - Jumlah kehamilan - Jumlah melahirkan - Jumlah keguguran - Rata-rata lama menyusui - Lama masa subur
Umur
Kepadatan Mineral Tulang Wanita Pascamenopause
Osteoporosis
Status Gizi
Antropometri - Berat badan - Tinggi badan - Indeks Massa Tubuh
Intik Zat Gizi Energi, Protein, Lemak, Kalsium, Fosfor, Zat besi, Seng, Vitamin A dan Vitamin C
Konsumsi Pangan
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
33
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di wilayah Bogor dan Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada bulan April – November 2005. Kriteria dan Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel sejumlah 60 orang dengan beragam status osteoporosis. Kriteria sampel yang dipilih adalah: dipilih pasien rawat jalan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah memeriksakan kepadatan tulangnya dengan menggunakan DEXA, telah berhenti mengalami haid terhitung 3 tahun setelah terakhir kali mengalami haid, tidak mengalami gangguan pendengaran, tidak pikun dan bersedia diwawancarai. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah karakteristik contoh meliputi nama, etnis, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, riwayat pekerjaan, nilai kepadatan mineral tulang dari medical record hasil pemeriksaan tulang, dan data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ (Food Frequency Questionnaire semikuantitatif). Pengukuran status gizi dilakukan dengan cara mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak (bathroom scale) kapasitas 100 kg, sementara data tinggi badan diukur dengan menggunakan Microtoise merk Sakura Medical ketelitian 0.1 cm dan kapasitas 200 cm. Gaya hidup yang diukur meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan minum teh, kebiasaan minum kopi, kebiasaan minum susu dan kebiasaan olah raga masa lalu dan saat ini. Data riwayat reproduksi yang meliputi umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertama kali melahirkan, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, jumlah anak, rata-rata lama menyusui, lama masa subur, umur saat menopause dan status menopause.
34 Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data No. 1.
2.
Jenis Data Karakteristik responden: • Umur • Pendidikan • Pendapatan • Pekerjaan • Etnis Antropometri • Tinggi badan responden • Berat badan responden
3.
Konsumsi pangan • Metode FFQ semi kuantitatif • Konsumsi susu dan produk olahan susu
4.
Gaya hidup • Kebiasaan olahraga • Kebiasaan merokok • Riwayat konsumsi teh • Riwayat konsumsi kopi • Riwayat konsumsi susu Riwayat reproduksi • Umur saat pertama kali menstruasi (tahun) • Umur saat menopause (tahun) • Umur saat pertama kali melahirkan (tahun) • Jumlah kehamilan • Jumlah keguguran • Jumlah anak • Status menopause (tahun) • Lama masa subur (tahun) • Rata-rata lama menyusui (bulan) Nilai kepadatan mineral tulang pada tulanng lumbal, femur, radius ultradistal
5.
6.
Cara Pengumpulan Data Data diperoleh dari wawancara langsung menggunakan kuesioner
Diukur dengan menggunakan microtoise Diukur dengan menggunakan timbangan injak Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner
Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner
Medical record hasil pemeriksaan kepadatan mineral tulang responden
Data kepadatan mineral tulang adalah medical record hasil pemeriksaan tulang wanita pascamenopause di Klinik Yasmin RSUPNCM Jakarta. Data kepadatan mineral tulang yang diambil adalah pada bagian tulang lumbal, tulang femur dan tulang radius ultradistal pada tangan. Diambilnya ketiga bagian tersebut karena ketiga lokasi tersebut rentan mengalami osteoporosis.
35 Tabel 3 Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang Kategori osteoporosis Normal (T-score ≥ -1) Osteopenia (T-score -1 - -2.5) Osteoporosis (T-score) ≤ -2.5
Nilai Kepadatan Mineral Tulang (g/cm2) Lumbal Femur Radius ultradistal ≥ 0.990 ≥ 0.780 ≥ 0.320 0.810 – 0.989 0.601 – 0.779 0.270 – 0.319 ≤ 0.810
≤ 0.600
≤ 0.270
Data kepadatan mineral tulang yang diambil adalah pada bagian tulang lumbal, tulang femur, dan tulang radius ultradistal pada tangan. Status pengeroposan tulang di ambil menurut kategori WHO (1994) yakni Normal: dengan T-score ≥ -1, Massa tulang rendah (osteopenia) dengan T-score antara -1 dan -2.5, Osteoporosis dengan T-score ≤ -2.5. Tabel 2 menunjukkan nilai cut off kepadatan mineral tulang berdasarkan nilai T-score. Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik. Proses pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, dan entri data. Variabel yang diteliti meliputi : status gizi, konsumsi pangan, gaya hidup, nilai kepadatan tulang dan riwayat reproduksi. a. Status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu rasio dari berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m) IMT =
berat badan (kg) [tinggi badan (m)]2
Kategori status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan IMT dengan menggunakan standar Indeks Massa Tubuh yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (2003) yang terbagi menjadi empat kategori yakni Kurus : ≤ 18.5; Normal : 18.5 – 25.0; Gemuk : 25.0 – 27.0 dan Obesitas : > 27.0. b. Data konsumsi pangan dikonversikan kedalam satuan energi (Kal), protein (g), lemak (g), kalsium (mg), fosfor (mg), zat besi (mg), seng (mg), vitamin A (RE), vitamin C (mg) dan thiamin (mg) dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (Hardinsyah &
36 Briawan, 1995, Oey Kam Nio 1995). Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data konsumsi dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG (2004). Tingkat konsumsi energi dan protein digolongkan baik jika konsumsi ≥ 70% kecukupan, dan kurang jika kurang dari 70% kecukupan (Depkes RI, 2003). Konversi konsumsi pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah dan Martianto 1992) : Kgij = (BPj/100) x Kgij x (BDD/100) dimana : Kgij =
kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan j atau makanan yang dikonsumsi sesuai dengan satuannya (berdasarkan DKBM)
BPj
=
BDD =
berat pangan atau makanan yang dikonsumsi (gram) bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram pangan atau makanan)
Gij
=
zat gizi i yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j
c. Analisis data secara statistik dengan menggunakan Software SPSS versi 11.5. Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis deskriptif untuk seluruh variabel (umur, jumlah pendapatan, jumlah pengeluaran, IMT, berat badan, tinggi badan, variabel riwayat reproduksi, jumlah intik zat gizi). Uji beda menggunakan uji t dilakukan untuk melihat perbedaan antara kebiasaan olah raga, dan konsumsi susu, teh serta kopi, dahulu dengan sekarang. Uji korelasi Pearson dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel umur, antropometri, IMT, riwayat reproduksi, intik zat gizi, skor konsumsi susu, teh dan kopi serta skor kebiasaan olah raga dengan kepadatan tulang. Uji regresi berganda model Stepwise dilakukan untuk seluruh variabel independen dengan kepadatan tulang di ketiga lokasi pemeriksaan tulang. Model ini digunakan agar didapatkan faktor yang berpengaruh secara fungsional pada nilai kepadatan mineral tulang wanita pascamenopause (Murti 1996; Sugiyono 2004).
37 Batasan Istilah Status Gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat – zat gizi yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan kategori kurus, normal, gemuk, dan obesitas. Riwayat reproduksi adalah hal-hal yang berkaitan dengan masa reproduksi seorang wanita dinilai dengan sejumlah parameter yang meliputi usia saat pertama kali mengalami menstruasi, usia saat melahirkan pertama kali, jumlah melahirkan, jumlah anak, jumlah keguguran, lama masa subur, usia saat menopause dan status menopause. Menarche adalah usia saat pertama kali mengalami menstruasi yang dinyatakan dalam tahun Menopause adalah umur saat seorang wanita berhenti mengalami menstruasi yang dinyatakan dalam tahun. Status menopause adalah jumlah tahun setelah terakhir kali mendapatkan haid yang dinilai dengan cara pengurangan umur saat ini dengan umur saat mengalami menopause. Lama masa subur adalah masa aktif wanita secara reproduksi yang dinilai dari pengurangan nilai umur saat menopause dengan umur saat pertama kali menstruasi. Kepadatan mineral tulang adalah kandungan massa mineral tulang per unit volume tulang yang diukur dengan menggunakan DEXA pada tulang lumbal, tulang femur dan tulang radius ultradistal yang dinyatakan dalam g/cm2. Tulang lumbal adalah tulang punggung, yang diambil adalah nilai kepadatan mineral tulang L1-L4. Tulang femur adalah tulang paha sebelah kiri dan bagian yang diambil dalam pengukuran ini adalah nilai kepadatan mineral tulang bagian leher femur. Tulang radius ultradistal adalah tulang tangan kiri bagian radius sebelah atas. DEXA kependekan dari Dual Energy X – ray Absoptiometry yang merupakan alat untuk menilai tingkat kepadatan mineral tulang. Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis makanan yang dimakan yang dinilai dengan menggunakan FFQ semi kuantitatif
38 Gaya hidup adalah kebiasaan wanita pascamenopause yang berhubungan dengan kesehatannya seperti olah raga, konsumsi teh, susu dan kopi. Olah raga adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin berupa kegiatan berjalan kaki selama 30 menit, melakukan senam dan gerakan teratur lainnya 3 kali seminggu atau lebih dari 3 kali seminggu. Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh dalam satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah. Pengeluaran pangan adalah besarnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli pangan selama satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh yang dinyatakan dalam tahun.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Karakteristik contoh meliputi variabel usia, status perkawinan dan suku. Berdasarkan hasil penelitian sebaran usia contoh menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada dalam kisaran usia 60 – 74 tahun (56.7%) dengan rata-rata usia 64.4 tahun. Sebanyak 30% berusia ≤ 59 tahun dan 15% berusia ≥ 75 tahun. Bertambahnya usia seseorang mengakibatkan terjadinya penurunan nilai kesehatan, sehingga penuaan biasanya dikaitkan dengan berbagai risiko penyakit degeneratif, terutama jika memiliki pola makan, gaya hidup dan tinggal di lingkungan yang buruk. Berdasarkan status perkawinannya sebagian besar contoh masih memiliki pasangan hidup (56.7 %), 40% nya berstatus janda, dan 3.3 % contoh tidak menikah. Ada beragam suku yang menjadi contoh dalam penelitian ini, suku Jawa merupakan suku yang terbanyak (28.3%), kemudian Sunda (26.7%), Padang (20%), Tionghoa (16.37%), Melayu (6.67%), dan suku lainnya sebanyak 3.3%. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik demografis Karakteristik Contoh Usia ≤ 59 tahun 60 – 74 tahun ≥ 75 tahun Status perkawinan Menikah Tidak Menikah Janda Suku Jawa Sunda Padang Tionghoa Melayu Lain – lain
n = 60 n
%
18 34 8
30.0 56.7 15.0
34 2 24
56.7 3.3 40.0
17 16 12 10 4 2
28.3 26.7 20.0 16.7 6.7 3.3
Tingkat pendidikan contoh dalam penelitian ini termasuk tinggi (tabel 4). Pendidikan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Orang dengan pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih besar
40 untuk mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu mereka juga mempunyai akses leluasa untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik. Menurut riwayat pekerjaan, contoh kebanyakan merupakan ibu rumah tangga biasa (50.0%). Selebihnya, sebesar 19.0% adalah pensiunan, 5% masih bekerja sebagai guru dan dosen, 11.7 % berwiraswasta, dan 1.7 % berprofesi sebagai bidan. Riwayat pekerjaan contoh mencerminkan tingkat pendidikannya. Meskipun sebagian besar adalah ibu rumah tangga tapi hal ini tetap merupakan determinan yang penting untuk akses kesehatan bagi dirinya sendiri dan keluarganya (Khomsan 2006). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi Variabel
n = 60 n
%
2 8 22 9 17 1 1
3.3 16.7 38.3 15.0 26.7 1.7 1.6
19 30 3 7 1
31.7 50.0 5.0 11.7 1.7
11 20 15 14
18.3 33.3 25.0 23.3
33 23 4
55.0 38.3 6.7
Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Magister Doktor Pekerjaan Pensiunan Ibu Rumah Tangga Guru / Dosen Wiraswasta Bidan Pendapatan perbulan (Suami/Istri) ≤ 1 000 000 1 000 001 – 2 000 000 2 000 001 – 3 000 000 ≥3 000 000 Pengeluaran pangan perbulan (keluarga) 500 000 – 1 000 000 1 000 001 – 1 500 000 1 500 001 – 2 000 000
Berdasarkan tingkat pendapatan dan pengeluaran pangannya (tabel 5), sebagian besar contoh termasuk kategori mampu dan sebagian besar sumber pendapatannya berasal dari gaji pensiun (untuk yang berstatus janda dan tidak menikah) dan suami (untuk yang menikah). Tingkat pendapatan yang tinggi
41 membuat akses untuk mendapatkan makanan bergizi, informasi dan pelayanan kesehatan menjadi lebih leluasa. Kepadatan Mineral tulang Data hasil pengukuran teknik absorptiometri dengan menggunakan DEXA diekspresikan sebagai Kepadatan Mineral Tulang (Bone Mineral Density = BMD). Kepadatan mineral tulang didefinisikan sebagai hasil pengukuran kepadatan tulang dalam satuan g/cm2. Data kepadatan mineral tulang merupakan derajat standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antar individu dengan memberikan perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal (Prentice, Parson & Cole 1994). Terdapat 3 lokasi tulang yang biasa digunakan dalam penelitian terkait dengan risiko osteoporosis yakni tulang punggung, tulang femur dan tulang radius ultradistal (Mulyono 1999). Tulang punggung digunakan untuk mendeteksi adanya laju pengeroposan awal setelah seorang wanita berhenti mengalami haid. Tulang femur merupakan tempat yang seringkali terjadi fraktur akibat osteoporosis, sedangkan tulang radius ultradistal adalah tulang radius yang di deteksi selalu mengalami pengeroposan tulang sebelum terjadinya pengeroposan pada tulang lumbal dan tulang femur (Mulyono 1999). Selain itu ketiga tulang tersebut merupakan tulang trabekular yang lebih cepat mengalami pengeroposan dibandingkan dengan tulang kortikal (Whitney & Sizer 2000). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai kepadatan mineral tulang berturut-turut dari yang tertinggi ke yang terendah adalah tulang lumbal (0.87 ± 0.19 g/cm2), tulang femur (0.71 ± 0.08 g/cm2) dan tulang radius ultradistal (0.26 ± 0.06 g/cm2). Berdasarkan nilai T-Score-nya (sesuai dengan tabel 3) maka pada saat yang sama seorang wanita pascamenopause mengalami osteoporosis pada tulang radius ultradistal dan osteopenia pada tulang lumbal dan tulang femur. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tingkat laju pengeroposan yang berbeda di ketiga lokasi tersebut.
42 Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada wanita pascamenopause, tulang radius ultradistal cenderung mengalami pengeroposan lebih cepat dibandingkan dengan tulang lumbal dan tulang femur. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mulyono (1999) yang menunjukkan bahwa wanita pascamenopause di Jakarta cenderung mengalami osteoporosis pada tulang radius ultradistal dibandingkan dengan tulang lumbal dan tulang femur. Tabel 6 Nilai kepadatan mineral tulang (g/cm2) dan kategori osteoporosis Lokasi tulang Tulang lumbal Tulang femur Tulang radius ultradistal
Kepadatan mineral tulang 0.87 ± 0.19 0.71 ± 0.08 0.26 ± 0.06
Kategori Osteoporosis Osteopenia Osteopenia Osteoporosis
Secara fisiologis, tulang trabekular lebih cepat mengalami pengeroposan disebabkan oleh luas permukaan yang lebih besar, suplai aliran darah yang lebih banyak, dan lebih banyak mengalami remodelling dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal tersebut membuat efek hormonal menjadi lebih dominan pada tulang trabekular dibandingkan dengan tulang kortikal, sehingga laju pengeroposan tulang lebih cepat terjadi (Davis et al. 1996). Tabel 7 Sebaran contoh menurut status osteoporosis pada tulang lumbal, femur dan radius ultradistal Status osteoporosis Normal Osteopenia Osteoporosis
Lumbal n % 7 11.7 43 71.7 10 16.7
Kepadatan tulang Femur Radius ultradistal n % n % 8 13.3 2 3.3 48 80.0 6 10.0 4 6.7 52 86.7
Antropometri dan Status Gizi Contoh Antropometri merupakan salah satu cara untuk menilai status gizi masyarakat. Berat badan dan tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang penting dan paling sering digunakan dalam penilaian status gizi (Supriasa et al. 2001). Indeks massa tubuh merupakan indikator antropometri sederhana untuk menilai status gizi populasi orang dewasa dan berkaitan erat dengan tingkat konsumsi pangan (Shetty & James 1994).
43 Laporan FAO/WHO/UNU pada tahun 1985 menyebutkan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT), yang merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa di atas 18 tahun (Supriasa et al. 2001). Tabel 8 Nilai antropometri contoh Variabel Berat badan (kg) Tinggi Badan (m) IMT (kg/m2)
Rata-rata ± SD 56.85 ± 3.40 1.54 ± 0.06 24.02 ± 3.36
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 51.7% memiliki status gizi normal, 21.7 % mengalami kegemukan, 20% mengalami obesitas dan hanya 6.7% yang kurus. Adapun rata-rata berat badan 56.85 ± 3.40 kg, tinggi badan 1.54 ± 0.06 m, dan IMT 24.02 ± 3.36 kg/m2 (tabel 8). Tabel 9 Sebaran contoh menurut Indeks Massa Tubuh (kg/m2) Status Gizi Kurus : ≤ 18.5 Normal : 18.5 – 25.0 Gemuk : 25.0 – 27.0 Obesitas : > 27.0
n = 60 n 4 31 13 12
% 6.7 51.7 21.7 20.0
Persentase status gizi kurus pada penelitian ini termasuk rendah. Hal ini mungkin disebabkan status sosioekonomi contoh termasuk tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi, penghasilan yang cukup membuat contoh memiliki akses leluasa dalam memelihara kesehatan mereka sehingga akhirnya memiliki status gizi yang baik dan kecenderungan yang tinggi untuk mengalami kegemukan dan obesitas (Khomsan 2006). Sementara hal yang menyebabkan rendahnya status gizi pada sebagian kecil contoh lebih disebabkan faktor bawaan.
44 Hubungan Antropometri dengan Kepadatan Mineral Tulang Berat Badan Berat badan memiliki korelasi positif yang signifikan dengan tingkat kepadatan mineral pada tulang radius ultradistal (r=0.326, p<0.05), tulang lumbal dan tulang femur tidak berkorelasi dengan berat badan hanya memiliki kecenderungan untuk berkorelasi positif (r=0.100, p<0.05; r=0.223, p<0.05 masing-masing). Hasil penelitian ini juga konsisten dengan penelitian pernah dilakukan sebelumnya (Henderson et al. 1995; Welton et al. 1994; Felson et al. 1993; Kato et al. 2000). Hasil penelitian ini memperkuat laporan Felson et al. (1993) yang menyebutkan terdapat hubungan yang positif antara kepadatan mineral tulang dengan berat badan. Berat badan berkaitan dengan massa tubuh yang terdiri dari lemak dan massa bebas lemak (tulang dan otot). Massa tubuh berkaitan positif dengan kepadatan mineral tulang (Kato et al. 2000). Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus. Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang mengalami osteoporosis (Lane 2001). Tinggi Badan Tabel 10 memperlihatkan tidak adanya hubungan antara tinggi badan dengan kepadatan mineral tulang. Meskipun demikian kepadatan mineral tulang lumbal, femur, dan radius ultradistal memiliki kecenderungan untuk berkorelasi positif dengan nilai koefisien korelasi berturut-turut (r=0.244, p<0.05; r=0.251, p<0.05 dan r=0.133, p<0.05).
45 Tabel 10 Korelasi antara variabel antropometri dengan kepadatan mineral tulang Variabel Berat badan Tinggi badan Indeks massa tubuh
r p r p r p
Lumbal 0.100 0.445 0.153 0.244 0.007 0.958
Kepadatan mineral tulang Femur Radius ultradistal 0.223 0.326* 0.086 0.011 0.251 0.133 0.053 0.310 0.085 0.256* 0.518 0.048
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Tinggi badan biasanya dikorelasikan dengan risiko fraktur tulang panggul. Laporan Munger et al. (1999) menyebutkan bahwa wanita berisiko mengalami fraktur tulang panggul jika memiliki berat badan yang rendah dan tinggi badan yang lebih tinggi. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa tinggi badan tidak berkorelasi kepadatan tulang. Meskipun demikian terdapat adanya kecenderungan berkorelasi positif antara tinggi badan dan kepadatan mineral tulang di ketiga tempat. Laporan mengenai keterkaitan antara tinggi badan dengan kepadatan mineral tulang jarang sekali dikaji secara mendalam. Kajiannya lebih cenderung pada hubungan antara tinggi badan dengan risiko atau kejadian fraktur tulang panggul pada wanita pascamenopause (Kato et al. 2000). Tinggi badan merupakan determinan yang penting dalam menentukan panjang sumbu tulang panggul, hal ini berasosiasi positif dengan risiko fraktur tulang panggul. Selain itu risiko jatuh cenderung lebih tinggi dialami individu yang memiliki tinggi badan yang lebih tinggi (terutama diatas 170 cm) (Kato et al. 2000). Pada penelitian ini rata-rata tinggi badan contoh adalah 1.54 ± 0.06 m. Hasil penelitian Kato et al. (2000) menyebutkan bahwa individu yang memiliki tinggi badan dibawah 1.55 m berisiko lebih rendah untuk mengalami fraktur tulang panggul akibat osteoporosis. Indeks Massa Tubuh Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat – zat gizi (Almatsier 2002). Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Indeks massa tubuh merupakan faktor yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause (Ulrich et al. 1996).
46 Tabel 10 menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara IMT dengan kepadatan mineral tulang radius ultradistal (r=0.256, p<0.05) dan pada tulang femur (r=0.518, p<0.05), sementara pada tulang lumbal terdapat korelasi positif namun tidak signifikan (r=0.007, p<0.05). Hasil pada penelitian ini konsisten dengan banyak penelitian yang telah banyak dilakukan dan dilaporkan diberbagai jurnal. Indeks massa tubuh dan berat badan merupakan faktor antropometri yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause (Ulrich et al. 1996). Semakin tinggi IMT maka nilai kepadatan tulangnya akan semakin tinggi (Hyun et al. 2004; Kato et al. 2000; Davis et al. 1996; Felson et al. 1993). Tabel 11 memperlihatkan bahwa mereka yang mengalami kegemukan dan obesitas cenderung memiliki status osteoporosis yang normal. Keterkaitan antara IMT dengan kepadatan mineral tulang disebabkan oleh adanya efek menyangga tubuh (weight-loading effect) khususnya pada rangka periferal termasuk diantaranya tulang femur dan tulang radius ultradistal (Ulrich et al. 1996). Tabel 11 Kaitan antara status osteoporosis dengan status gizi Status Osteoporosis Tulang lumbal Normal Osteopenia Osteoporosis Tulang femur Normal Osteopenia Osteoporosis Tulang radius ultradistal Normal Osteopenia Osteoporosis
Kurus n %
Status gizi Normal Gemuk n % n %
Obes n %
1 1 4
1.7 1.7 6.7
3 23 5
5.0 38.3 8.3
2 9 2
3.3 15.0 3.3
1 10 1
1.7 16.7 1.7
0 4 0
0 6.7 0
2 25 4
3.3 41.7 6.7
4 9 0
6.7 15.0 0
2 10 0
3.3 16.7 0
0 1 3
0 1.7 5.0
0 3 28
0 5.0 46.7
1 2 10
1.7 3.3 16.7
1 0 11
1.7 0 18.3
47 Umur Hubungan antara Umur dengan Kepadatan Mineral Tulang Terdapat adanya hubungan negatif yang signifikan antara umur dengan kepadatan mineral tulang femur (r=-0.286, p<0.05) dan radius ultradistal (r=-0.216, p<0.05), sedangkan untuk tulang lumbal tidak terdapat adanya hubungan (r=-0.216, p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi umur contoh maka semakin rendah nilai kepadatan mineral tulangnya. Semakin rendah nilai kepadatan mineral tulang maka risiko osteoporosis semakin tinggi sehingga rentan mengalami patah tulang akibat osteoporosis. Hasil ini memperkuat laporan Mulyono (1999) yang menyebutkan bahwa umur berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause di Jakarta. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Lei et al. (2003) pada populasi kelompok lanjut usia di China yang menyimpulkan bahwa umur berpengaruh negatif pada kepadatan mineral tulang. Pengaruh umur sebagai salah satu faktor yang berkorelasi negatif terhadap kepadatan mineral tulang berkaitan dengan proses penuaan. Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus remodelling lengkap (Sizer & Whitney 2000). Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D (Sizer & Whitney 2000). Riwayat Reproduksi Riwayat reproduksi merupakan riwayat yang menunjukkan kegiatan reproduksi yang dialami oleh wanita. Riwayat reproduksi terdiri atas beberapa variabel yakni umur saat menstruasi pertama kali, umur saat melahirkan pertama
48 kali, umur saat menopause, status menopause, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, jumlah melahirkan, jumlah anak, lama masa subur dan lama menyusui. Variabel ini menjadi penting untuk diketahui karena masa reproduksi berkaitan juga dengan metabolisme yang berkaitan dengan penggunaan kalsium dalam tubuh semasa usia reproduksi yang dialami oleh wanita. Tabel 12 Nilai variabel yang terkait dalam riwayat reproduksi Riwayat Reproduksi Umur saat menarche (tahun) Umur saat menopause (tahun) Umur saat pertama kali melahirkan (tahun) Jumlah kehamilan Jumlah keguguran Jumlah anak Status menopause (tahun) Masa subur (tahun) Rata-rata lama menyusui (bulan)
Rata-rata ± SD 14.28 ± 1.64 49.28 ± 3.03 21. 92 ± 7.96 4.13 ± 2.51 0.43 ± 0.8 3.52 ± 2.17 15.12 ± 3.45 35.00 ± 4.27 9.40 ± 8.09
Wanita lebih boros dalam penggunaan kalsium semasa masa reproduksi terutama yang berkaitan dengan kehamilan dan menyusui. Karena pada masa itu seorang ibu harus berbagi kalsium dan zat gizi lainnya dalam makanan dan tubuhnya dengan janin yang dikandungnya. Logika yang diangkat adalah semakin banyak anak yang dilahirkan dan semakin lama durasi menyusui seorang ibu dicurigai dapat mengakibatkan kepadatan massa tulang yang lebih rendah pada seorang wanita di masa tua, terutama bagi mereka yang kepadatan massa tulang puncaknya semasa muda tidak terpenuhi. Tabel 13 menunjukkan sebaran contoh menurut riwayat reproduksi. Sebagian besar contoh (43.3%) mengalami 3 – 5 kehamilan. Selanjutnya persentase contoh yang pernah mengalami keguguran 0 – 2 kali (98.3%). Frekuensi melahirkan terbanyak adalah 3 – 5 kali (43.3%) sehingga sebagian besar contoh memiliki 3 – 5 anak (50.0%). Kebanyakan contoh menyusui anaknya selama 9 bulan.
49 Tabel 13 Sebaran contoh menurut riwayat reproduksi N = 60 Variabel Jumlah kehamilan 0 -2 kehamilan 3 – 5 kehamilan ≥ 6 kehamilan Jumlah keguguran 0 – 2 kali 3 – 5 kali ≥ 6 kali Jumlah Melahirkan 0 – 2 kali 3 – 5 kali ≥ 6 kali Jumlah anak 0 – 2 orang 3 – 5 orang ≥ 6 orang Lama menyusui Tidak menyusui ≤ 4 bulan 5 – 12 bulan ≥ 13 bulan
N
%
18 29 13
30 43.3 21.7
59 1 0
98.3 1.7 0
12 27 11
20 45 18.3
19 30 11
31.7 50 18.3
9 16 19 16
15.0 26.7 31.7 26.7
Hubungan antara Kepadatan Mineral Tulang dengan Riwayat Reproduksi Kepadatan mineral tulang yang rendah merupakan faktor risiko penting yang menyebabkan terjadinya fraktur akibat kerapuhan tulang. Saat ini mulai mengemuka akan kemungkinan adanya pengaruh riwayat reproduksi pada kepadatan mineral tulang. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih belum konsisten (Ozdemir et al. 2005) Umur Saat Pertama kali Menstruasi Menarche merupakan umur saat seorang remaja puteri pertama kali mengalami menstruasi. Tabel 14 menunjukkan adanya kecenderungan hubungan negatif antara menarche dengan kepadatan mineral tulang pada tulang lumbal (r=-0.128, p<0.05), femur (r=-0.146, p<0.05) dan radius ultradistal (r=-0.178, p<0.05). Meskipun tidak signifikan tapi hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Osei-Hyiaman et al. (1998) yang menyebutkan bahwa umur saat menarche memiliki hubungan negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause di Turki.
50 Davis et al. (1996) melaporkan bahwa umur saat menstruasi pertama kali merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pencapaian massa tulang puncak pada wanita premenopause multietnis yang tinggal di Hawaii. Hasil penelitian ini juga mendukung laporan Ito et al. (1995) yang menyebutkan bahwa menstruasi dini berkaitan dengan kepadatan mineral tulang yang tinggi. Tabel 14 Korelasi antara variabel riwayat reproduksi dengan nilai kepadatan mineral tulang Variabel Umur saat pertama kali menstruasi (tahun) Umur saat Menopause (tahun) Umur saat melahirkan Pertamakali (tahun) Jumlah kehamilan Status menopause Jumlah keguguran Jumlah anak Lama masa subur (tahun) Rata-rata lama Menyusui (bulan)
r p r p r p r p r p r p r p r p r p
Lumbal -0.128 0.331 0.371* 0.004 0.180 0.170 -0.117 0.374 -0.362* 0.005 0.009 0.944 -0.132 0.316 0.374* 0.003 -0.082 0.532
Kepadatan mineral tulang Femur Radius ultradistal -0.146 -0.178 0.267 0.173 0.297* 0.197 0.021 0.132 0.100 -0.239 0.445 0.066 -0.077 -0.206 0.559 0.115 -0.395* -0.429* 0.002 0.001 -0.162 -0.188 0.215 0.150 -0.016 0.169 0.902 0.196 0.316* 0.241 0.014 0.064 0.023 -0.116 0.859 0.378
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Umur saat pertama kali menstruasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian massa tulang puncak (peak bone mass) (Ito et al. 1995). Dugaan lain bisa dikaitkan dengan adanya pubertal spurt yang terjadi 2 tahun setelah dialaminya menstruasi untuk pertama kalinya. Selama periode ini terjadi akumulasi kalsium pada tulang. Menarche diduga memiliki pengaruh untuk menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas osteoblas yang didampingi dengan aktifnya estrogen pada sistem endokrin remaja putri (Eastell 2005). Mekanisme pengaruh menarche pada perkembangan tulang masih belum dapat dijelaskan secara utuh, meskipun demikian sejumlah studi yang telah dilakukan menunjukkan adanya korelasi negatif antara umur saat menarche dan kepadatan mineral tulang (Osei-Hyiaman et al. 1998).
51 Umur Saat Menopause Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2,5 – 5 % setahun selama 4 –5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada tulang trabekuler dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal ini terjadi karena luas permukaan tulang trabekular lebih besar dari pada tulang kortikal sehingga metabolisme di bagian tersebut lebih aktif (Sizer & Whitney 2000). Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh OseiHyaman et al. (1998) yang menyatakan bahwa umur saat menopause diketahui memiliki hubungan yang positif dengan kepadatan mineral tulang. Tabel 14 memperlihatkan bahwa umur saat menopause berkorelasi positif yang signifikan dengan nilai kepadatan mineral tulang pada tulang lumbal (r=0.371, p<0.05) dan tulang femur (r=0.297, p<0.05) dan tidak adanya korelasi dengan nilai kepadatan mineral radius ultradistal (r=0.197, p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin lanjut usia saat seorang wanita mengalami menopause maka hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepadatan mineral tulang wanita tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause lebih awal. Pada wanita, penurunan produksi estrogen akibat menopause membuat proses perusakan tulang oleh osteoklas menjadi lebih dominan dibandingkan dengan pembentukannya. Penyebabnya karena estrogen memiliki peran besar dalam membantu proses pembentukan tulang oleh osteoblas. Hal inilah yang menyebabkan resiko osteoporosis pada perempuan meningkat secara nyata di usia 50 tahun (sekitar usia menopause), sedangkan pada penduduk laki-laki terjadi di usia 55 tahun, karena resiko osteoporosis meningkat sesuai pertambahan usia (Rachman 2004). Status Menopause Status
menopause
merupakan
Jumlah
tahun
setelah
terakhir
kali
mendapatkan haid (menopause). Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara status menopause dengan kepadatan mineral tulang pada tulang lumbal (r=-0.362, p<0.05), femur (r=-0.395, p<0.05) dan radius ultradistal (r=-0.429, p<0.05).
52 Mayoritas hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan massa tulang pascamenopause mengindikasikan bahwa nilai kepadatan mineral tulangnya tergantung pada jumlah tahun sejak menopause terjadi, bukan tergantung pada umur kronologisnya (Guthrie et al. 2000; Ozdemir et al. 2005). Hal ini berarti semakin lama wanita mengalami menopause maka semakin rendah nilai kepadatan tulangnya. Selain itu wanita pascamenopause yang mengalami menopause dini memiliki nilai kepadatan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang umur saat menopausenya normal (Guthrie et al. 2000). Lama Masa Subur Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara lama masa subur dengan kepadatan mineral tulang lumbal (r=0.374, p<0.05) dan femur (r=0.316, p<0.05), sementara untuk radius ultradistal terdapat kecenderungan hubungan yang positif (r=0.241, p<0.05). Masa reproduksi yang lama (menstruasi dini dan lambat menopause) berhubungan dengan kepadatan mineral tulang yang lebih tinggi pada wanita pascamenopause (Ozdemir et al. 2005). Durasi masa reproduksi menurut Kritz-Silverstein dan Barett-Connor (1993) dianggap lebih membantu dalam menentukan keberadaan peningkatan risiko osteoporosis pada wanita pascamenopause dibandingkan dengan umur saat menopause. Riwayat Reproduksi lainnya Saat ini, selain umur saat menopause, umur saat pertama kali menstruasi dan status menopause masih terdapat beberapa variabel yang mulai mendapatkan perhatian untuk diteliti lebih lanjut sebagai faktor risiko ikutan osteoporosis. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah lama pemberian ASI, jumlah kehamilan, jumlah melahirkan, jumlah keguguran. Zhang et al. (2003) melaporkan bahwa umur saat pertama kali melahirkan, lama menyusui mempengaruhi nilai kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause di China. Tabel 14 memperlihatkan bahwa umur saat pertama kali melahirkan didapatkan hubungan yang tidak signifikan tapi terdapat adanya kecenderungan hubungan positif dengan kepadatan mineral tulang di ketiga tempat. Untuk faktor lainnya seperti jumlah kehamilan, jumlah melahirkan, jumlah keguguran, jumlah
53 anak dan lama menyusui didapatkan korelasi yang tidak signifikan, tetapi variabelvariabel tersebut memiliki kecenderungan untuk berhubungan negatif dengan kepadatan mineral tulang. Hasil ini menguatkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ozdemir et al. (2005) pada populasi wanita pascamenopause di Turki bahwa risiko osteoporosis meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kehamilan, aborsi dan umur yang lebih tinggi saat kehamilan pertama kali. Meskipun tidak dianggap sebagai faktor yang dominan turut menentukan tingkat kepadatan mineral tulang, lama menyusui pada beberapa laporan diduga berpengaruh terhadap kepadatan mineral tulang (Ozdemir et al. 2005). Hal ini diduga berkaitan dengan metabolisme penggunaan kalsium dalam tubuh semasa usia reproduksi yang dialami oleh wanita. Wanita lebih boros dalam penggunaan kalsium semasa masa reproduksi terutama yang berkaitan dengan kehamilan dan menyusui. Karena pada masa itu seorang ibu harus berbagi kalsium dan zat gizi lainnya dalam makanan antara tubuhnya dengan janin yang dikandungnya. Sehingga semakin banyak anak yang dilahirkan dan semakin lama durasi menyusui seorang ibu, dicurigai dapat berakibat pada rendahnya kepadatan massa tulang di masa tua, terutama bagi mereka yang kepadatan massa tulang puncaknya semasa muda tidak terpenuhi (Ozdemir et al. 2005). Intik Zat Gizi dan Konsumsi Pangan Intik Zat Gizi Nilai rata-rata konsumsi energi contoh adalah 1148.27 ± 184.74 Kal, ini termasuk dalam tingkat kecukupan yang rendah karena persentasenya hanya sebesar 62.55 ± 11.23 %. Tingkat kecukupan yang rendah ini diduga disebabkan oleh penurunan kebutuhan energi pada wanita pascamenopause, karena menurunnya proses metabolisme basal seiring dengan pertambahan umur. Tingkat kecukupan protein lebih baik daripada kecukupan energi (Tabel 15). Secara keseluruhan persentase tingkat kecukupannya lebih dari 90%. Tingkat kecukupan lemak sangat rendah, karena persentase tingkat kecukupannya tidak lebih dari 32%. Untuk tingkat kecukupan kalsium, meskipun pencapaian terendahnya adalah 73.5% akan tetapi telah berada diatas 70% AKG, demikian pula dengan vitamin C. Tingkat kecukupan seng dan thiamin hanya mencapai
54 separuh dari AKG. Untuk fosfor, zat besi, dan vitamin A, tingkat kecukupannya telah mencapai lebih dari 90%. Tabel 15 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Zat Gizi
Variabel
Rata-rata ± SD
Energi (Kal)
Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%) Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan (%)
1148.27 ± 184.74 1849.04 ± 135.07 62.55 ± 11.23 48.96 ± 13.98 51.59 ± 7.54 97.46 ± 33.53 28.14 ± 8.19 92.45 ± 6.75 30.55 ± 9.19 606.15 ± 225.34 826.91 ± 120.71 76.14 ± 34.94 1077.34 ± 406.31 620.18 ± 90.54 179.53 ± 76.98 17.03 ± 6.29 12.66 ± 2.74 113.96 ± 54.64 5.29 ± 2.91 10.13 ± 1.48 54.27 ± 32.46 972.35 ± 708.63 516.82 ± 75.45 197.47 ± 166.65 79.77 ± 29.94 77.52 ± 11.32 106.11 ± 46.53 0.50 ± 0.17 0.93 ± 0.14 55.30 ± 20.26
Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Seng (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Thiamin (mg)
Hubungan Antara Kepadatan Mineral Tulang dengan Intik Zat Gizi Selmeyer et al. 2001 menyebutkan bahwa zat gizi merupakan komponen penting dari kesehatan tulang. Zat gizi merupakan faktor penting yang dapat dimodifikasi dalam perkembangan dan perawatan massa tulang dan pencegahan serta pengobatan osteoporosis. Kurang lebih 80-90% kandungan mineral tulang terdiri dari kalsium dan fosfor. Komponen pangan lain seperti protein, Mg, Zn, Cu, Fe, Fluoride, vitamin A, D, C, dan K diperlukan untuk metabolisme tulang secara normal.
55 Energi dan Lemak Tabel 16 menunjukkan adanya korelasi positif yang tidak signifikan antara konsumsi energi dengan kepadatan mineral tulang contoh. Hasil ini sejalan dengan laporan Nakamura et al. (2005) yang menyebutkan bahwa total energi berkorelasi positif dengan kepadatan mineral tulang. Tabel 16 Korelasi antara variabel intik zat gizi dengan nilai kepadatan mineral tulang Variabel Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Zat besi (mg) Seng (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Vitamin B1 (mg)
r p r p r p r p r p r p r p r p r p r p
Kepadatan mineral tulang Lumbal Femur Radius ultradistal 0.074 0.090 -0.035 0.577 0.494 0.793 0.165 0.190 0.185 0.208 0.145 0.157 0.116 0.140 0.110 0.377 0.284 0.405 0.009 0.078 -0.002 0.944 0.556 0.985 0.051 0.124 0.086 0.701 0.344 0.229 0.219 0.255* 0.284* 0.093 0.049 0.028 0.035 0.064 -0.024 0.791 0.627 0.627 -0.170 -0.246 -0.169 0.194 0.058 0196 -0.055 -0.020 -0.194 0.676 0.878 0.021 0.143 0.145 -0.126 0.276 0.269 0.269
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Terdapat hubungan positif yang konsisten antara berat badan dan kepadatan mineral tulang. Meningkatnya intik energi berkaitan mengakibatkan bertambahnya berat badan dan hal ini tentunya berefek positif pada kepadatan mineral tulang (Illich & Kersketter 2000). Tabel 16 memperlihatkan bahwa konsumsi lemak juga berkorelasi positif yang tidak signifikan dengan kepadatan mineral tulang di ketiga lokasi. Dugaan yang menyebabkan terjadinya korelasi positif antara kepadatan mineral tulang dengan lemak adalah intik lemak yang rendah Tingkat kecukupan lemak masih dibawah 70 % angka kecukupan gizinya 30.55 ± 9.19 (Tabel 16).
56 Macdonald et al. (2004) melaporkan hasil yang berbeda tentang hubungan antara lemak (asam lemak) dengan kepadatan mineral tulang. Disebutkan olehnya bahwa terdapat korelasi negatif antara intik lemak dengan kepadatan mineral tulang. Hal tersebut disebabkan mungkin disebabkan oleh adanya mekanisme hiperinsulinemia yang diinduksi dengan pola makan tinggi lemak sehingga mengakibatkan adanya keseimbangan negatif antara kalsium dengan magnesium. Hasil yang berbeda ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah intik lemak yang dikonsumsi. Rata-rata konsumsi lemak pada penelitian ini lebih rendah (28.14 ± 8.19 g/hari) dari pada penelitian yang dilakukan oleh Macdonald et al (74.3 ± 28.7 g/hari). Intik lemak pangan yang rendah pada contoh diduga disebabkan oleh oleh semakin tingginya tingkat kesadaran pada contoh untuk menjaga kesehatan. Pengetahuan akan kesehatan, salah satunya adalah tentang efek buruk kolesterol pada kesehatan membuat mereka membatasi konsumsi lemak. Protein Efek antara protein pada tulang masih merupakan kontroversi. Protein diketahui memiliki implikasi negatif pada keseimbangan kalsium tubuh (Sellmeyer et al. 2001; Feskanich et al. 1996). Pada spektrum lain kekurangan protein dicurigai memiliki faktor risiko untuk pengeroposan tulang dan osteoporosis. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsumsi protein akan membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur tulang pada penderita wanita pascamenopause (Promislow et al. 2002; Hannan et al. 2000; Dawson-Hughes et al. 2002). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan yang positif antara kepadatan tulang dengan konsumsi protein. Hasil ini menguatkan beberapa penelitian yang telah dilakukan yang mengindikasikan bahwa intik protein yang rendah berhubungan dengan kepadatan mineral tulang yang rendah dan risiko patah tulang yang tinggi (Rapuri et al. 2003). Selain itu penelitian mengenai suplementasi protein setelah terjadinya fraktur tulang panggul pada usia lanjut menunjukkan pentingnya intik protein yang cukup untuk kesehatan biologis tulang (Rapuri et al. 2003). Mengingat protein merupakan bahan baku protein kolagen yang membentuk tulang (Mulyono 1999).
57 Protein terbagi menjadi dua jenis yakni protein hewani dan protein nabati, keduanya mungkin memiliki efek yang berbeda dalam metabolisme tulang (Sellmeyer et al. 2001). Pada penelitian ini intik protein nabati lebih tinggi dibandingkan dengan intik protein hewani (lampiran 8). Rendahnya intik protein hewani mungkin disebabkan oleh sumber protein hewani yang kebanyakan berasal dari daging. Sebagian besar kelompok usia lanjut memiliki kecenderungan untuk menghindari konsumsi pangan hewani dengan alasan kesehatan. Terdapat kecenderungan hubungan negatif antara intik protein hewani dengan kepadatan mineral tulang di ketiga lokasi tulang. Hal ini berarti konsumsi protein hewani memiliki kecenderungan untuk mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang. Intik protein nabati memiliki kecenderungan untuk behubungan positif dengan kepadatan mineral tulang di ketiga lokasi tulang, yang berarti konsumsi protein nabati memiliki efek positif pada kepadatan mineral tulang. Antara rasio protein hewani dan nabati dengan kepadatan mineral tulang punggung terdapat korelasi negatif yang signifikan (r=0.283, p<0.05), sedangkan untuk bagian tulang lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (tulang femur r=-0.155, p<0.05; tulang radius ultradistal r=-0.241, p<0.053). Tabel 17 Korelasi antara total protein, protein nabati, protein hewani dan rasio protein hewani dan nabati dengan nilai kepadatan mineral tulang Variabel Total protein Protein nabati Protein hewani Rasio protein hewani dengan protein nabati
r p r p r p r p
Kepadatan mineral tulang Lumbal Femur Radius ultradistal 0.165 0.190 0.185 0.208 0.145 0.157 0.248 0.212 0.237 0.056 0.104 0.068 -0.182 -0.064 0.032 0.164 0.629 0.808 -0.361* -0.193 -0.093 0.005 0.139 0.477
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Hasil pada penelitian ini menegaskan laporan Sellmeyer (2001) bahwa konsumsi protein hewani berhubungan dengan tingkat risiko fraktur tulang panggul yang lebih tinggi, dan konsumsi protein nabati berkaitan dengan risiko fraktur tulang yang lebih rendah. Meskipun berbeda dalam lokasi tulang, akan
58 tetapi hasil ini sejalan dengan laporan Sellmeyer et al. (2001) yang menyebutkan bahwa rasio protein hewani dan nabati yang tinggi ( ≥ 4.2 ± 1.2) dapat mempercepat kehilangan massa tulang di bagian femur sehingga akan memperbesar risiko fraktur tulang panggul. Efek negatif protein hewani dan efek positif protein nabati pada tulang disebutkan berkaitan dengan proses biokimiawi asam basa dalam darah. Hipotesis pengaruh metabolisme asam basa dalam darah pada tulang ini dikemukakan oleh Wachman dan Bernstein (1968) dalam Tucker et al. (2003) yang menegaskan bahwa tulang berfungsi sebagai basa penyangga kelebihan asam dari diet. Studi invitro mengindikasikan bahwa asidosis metabolik dapat menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang, hal ini berkaitan dengan dissolusi fisikokimia mineral Jika terjadi terus menerus, akan mengganggu fungsi sel dengan terjadinya peningkatan perusakan tulang oleh osteoklas yang diikuti dengan penurunan pembentukan tulang oleh osteoblas. Diet kaya akan sayur dan buah akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih basa sehingga tetap memperlambat laju perusakan tulang oleh osteoklas. Kalsium Studi epidemiologis yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa konsumsi kalsium memiliki keterkaitan yang cukup konsisten dengan kesehatan tulang (Illich 1999). Hasil kajian yang dilakukan oleh Shea et al. (2002) dan Heaney (2003) tentang hubungan antara kalsium dan status tulang pada berbagai penelitian yang telah dilakukan selama ini menunjukkan bahwa lebih dari 25 publikasi hasil penelitian suplementasi kalsium dengan desain Randomized Controlled Trial menunjukkan efek positif dan protektif kalsium pada tulang. Tabel 16 memperlihatkan tidak adanya korelasi antara konsumsi kalsium dengan kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan tulang radius ultradistal. Meskipun hubungan yang didapatkan tidak signifikan, akan tetapi hasil ini konsisten dengan berbagai laporan mengenai efek positif konsumsi kalsium pada tulang (Illich & Kersketter 2000). Intik kalsium harian rata-rata 606.15 ± 225.34 g/hari, intik harian ini hanya 76.14 ± 34.94 % dari tingkat kecukupan yang seharusnya terpenuhi (800 mg/hari).
59 Hubungan yang tidak signifikan antara kalsium dengan kepadatan tulang dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh proses penuaan. Proses penuaan menjadikan penyerapan kalsium dalam usus menjadi lebih rendah sehingga pengaruhnya terhadap kepadatan tulang menjadi lebih rendah. Defisiensi hormon estrogen akibat menopause juga membuat penyerapan kalsium menjadi lebih rendah, sehingga akhirnya juga berpengaruh pada kepadatan tulang. Mengingat lama menopause juga berkaitan dengan defisiensi hormon estrogen, rata-rata umur dan status menopause masing-masing adalah 64.40 ± 1.04 tahun dan 15.12 ± 3.45 tahun. Selain itu mungkin ketiadaan hubungan yang signifikan antara kalsium dengan kepadatan tulang diduga disebabkan intik kalsium berasal dari pangan bukan dari suplementasi kalsium. Penyebab lain yang mungkin juga menjadi kelemahan dalam penelitian ini adalah pengukuran intik kalsium pangan dengan menggunakan metode konsumsi pangan FFQ, dimana daya ingat menjadi salah satu hal penting dalam mengingat makanan yang telah dimakan sebelumnya sehingga kelebihan perkiraan atau kurang perkiraan jumlah makanan yang dimakan menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Meskipun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara intik kalsium pangan dengan kepadatan tulang akan tetapi secara konklusif dari berbagai publikasi penelitian dengan berbagai desain yang pernah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa intik kalsium yang berasal dari pangan memiliki efek protektif untuk tulang. Fosfor Sebagai salah satu elemen anorganik, fosfor merupakan mineral kedua yang paling padat terdapat pada tubuh manusia, dan 85% fosfor berikatan pada tulang. Meskipun fosfor merupakan salah satu zat gizi yang esensial, tapi jumlah yang berlebihan dapat memberikan efek yang berbahaya bagi tulang. Tabel 16 menunjukkan adanya korelasi positif antara konsumsi fosfor dengan kepadatan mineral tulang di tiga tempat, sedangkan korelasi antara rasio Ca : P dengan kepadatan mineral tulang menunjukkan tidak terdapat korelasi dengan tulang lumbal (r=0.000; p<0.05) adanya kecenderungan untuk berkorelasi
60 negatif dengan kepadatan mineral tulang femur dan tulang radius ultra distal (masing-masing r=-0.121, p<0.05; r=-0.091, p<0.05). Nilai rasio Ca: P yang rendah (0.25 Ca : P) akan meningkatkan konsentrasi serum PTH (Paratiroid Hormone), meningkatnya serum PTH ini dapat menyebabkan penurunan massa tulang (Anderson 1996). Nilai rasio Ca : P pada penelitian ini adalah 0.58 ± 0.09 (lampiran 7), lebih tinggi dari yang terdapat dalam literatur, mungkin hal ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan didapatkannya korelasi positif antara intik fosfor dengan kepadatan mineral tulang. Zat Besi Tabel 16 menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara konsumsi zat besi dan nilai kepadatan mineral tulang femur (r=0.255, p<0.05) dan tulang radius ultradistal (r=0.284, p<0.05). Hasil ini selaras dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Harris et al. (2003) dan Maurer et al. (2005) bahwa zat besi memiliki keterkaitan dengan kepadatan mineral tulang. Hal ini disebabkan karena zat besi sangat esensial untuk sintesis kolagen yang merupakan tempat terjadinya mineralisasi tulang. Zat besi juga terlibat dalam konversi 25-hidroksi vitamin D menjadi 1, 25 dihidroksi vitamin D yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Sebagaimana telah diketahui bahwa vitamin D dibutuhkan untuk pengaturan kalsium dan fosfor secara tepat. Dengan demikian maka secara tidak langsung maka zat besi
turut memainkan peran
penting dalam proses mineralisasi tulang (Maurer et al. 2005 dan Harris 2003). Zat besi terbagi menjadi dua, yakni zat besi heme yang berasal dari pangan hewani dan nonheme dari pangan nabati. Perbedaan antara kedua zat besi ini adalah pada bioavailabilitasnya dalam usus. Tabel 18 Korelasi antara intik total zat besi, zat besi heme, zat besi nonheme dengan nilai kepadatan mineral tulang
Total zat besi Zat besi heme Zat besi nonheme
r p r p r p
Lumbal 0.219 0.093 0.068 0.608 0.213 0.102
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Kepadatan mineral tulang Femur Radius ultradistal 0.255* 0.284* 0.049 0.028 0.018 0.041 0.890 0.756 0.196 0.283* 0.134 0.029
61
Zat besi asal pangan hewani lebih mudah diserap oleh usus dibandingkan dengan zat besi asal pangan nabati. Kedua jenis zat besi tersebut berkorelasi positif dengan kepadatan mineral tulang diketiga tempat. Nilai korelasi yang lebih besar ditemui pada zat besi nabati dengan kepadatan mineral tulang. Hal ini diduga berhubungan dengan efek positif dari konsumsi sayur dan buah pada kepadatan mineral tulang sebagaimana yang dilaporkan oleh New et al. (2000), Tucker et al. (1999), dan Sellmeyer et al. (2001). Seng Meskipun tidak terdapat korelasi yang signifikan antara konsumsi seng dengan kepadatan mineral tulang, tapi kecenderungan hubungan yang positif antara konsumsi seng dengan nilai kepadatan mineral tulang lumbal (r=0.035, p<0.05) dan tulang femur (r=0.064, p<0.05) dan kecenderungan berkorelasi negatif dengan nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal (r=-0.024, p<0.05). Korelasi positif ini senada dengan hasil penelitian Hyun et al (2004) yang menyebutkan bahwa ada keterkaitan positif antara intik seng dari makanan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Mineral seng merupakan mineral mikro esensial komponen penyusun > 200 jenis enzim dan penting untuk sintesis kolagen normal dan mineralisasi tulang (Hyun et al. 2004). Intik seng yang rendah dilaporkan berkaitan dengan massa tulang yang rendah pada wanita. dan lebih jauh diketahui terjadi pengurangan konsentrasi plasma seng dan meningkatnya ekskresi seng urin pada wanita penderita osteoporosis (Gur et al. 2002; Lowe et al. 2002; Relea et al. 1995; Herzberg et al. 1990 dalam Hyun et al. 2004). Vitamin A Terdapat adanya hubungan negatif yang tidak signifikan antara konsumsi vitamin A dengan nilai kepadatan mineral tulang di ketiga tempat yang diperiksa (lumbal r=-0.170, p<0.05; femur r=-0.246, p<0.05; radius ultradistal r=-0.169, p<0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Melhus et al. (1998) menyebutkan bahwa konsumsi vitamin A yang berlebihan
62 memiliki keterkaitan dengan tingginya kejadian fraktur tulang panggul akibat osteoporosis di Swedia dan Norwegia. Hasil ini juga diperkuat dengan laporan McDonald et al. (2004) yang menyebutkan bahwa konsumsi vitamin A berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Studi eksperimen pada hewan menunjukkan pentingnya vitamin A pada proses remodelling tulang. Defisiensi vitamin A akan menyebabkan pertumbuhan tulang terganggu akan tetapi kelebihan vitamin A dapat mempercepat resorpsi tulang, kerapuhan tulang dan terjadinya fraktur tulang. Secara seluler asam retinoat dapat menghambat aktivitas osteoblas, menstimulasi pembentukan osteoklas dan mempercepat terjadinya resorpsi tulang. Vitamin C Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting dalam pembentukan kolagen, jika terjadi defisiensi maka akan berkaitan dengan perkembangan tulang yang tidak normal. Hasil penelitian pada mereka yang turut serta dalam Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika Serikat selama tahun 1988–1994 menunjukkan bahwa intik vitamin C berkaitan secara independen dengan kepadatan mineral tulang pada wanita premenopause (Simon & Hudes 2001). Pada penelitian ini konsumsi vitamin C memiliki kecenderungan untuk berhubungan negatif dengan nilai kepadatan mineral tulang di ketiga tempat diperiksa (lumbal r=-0.055, p<0.05; femur r=-0.020, p<0.05; radius ultradistal r=0.194, p<0.05). Korelasi negatif yang ditemukan pada penelitian ini diduga disebabkan adanya faktor pengganggu yakni rendahnya intik energi pada individu (analisis korelasi antara intik vitamin C dengan energi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan r=0.382, p<0.05), selain itu juga mungkin disebabkan oleh rendahnya intik buah-buahan. Tiamin Intik tiamin tidak berhubungan dengan kepadatan mineral tulang, tetapi memiliki kecenderungan untuk berhubungan positif dengan kepadatan tulang lumbal (r=0.143, p<0.05), tulang femur (r=0.145, p<0.05), dan berhubungan negatif dengan nilai kepadatan tulang radius ultradistal (r=0.126, p<0.05).
63 Hasil penelitian mengenai keterkaitan antara thiamin dengan kepadatan mineral tulang masih belum banyak dikaji secara intensif sebagaimana zat gizi lainnya. Korelasi positif yang ditunjukkan diduga berkaitan dengan peran thiamin sebagai salah satu enzim dalam proses metabolisme energi (Bender, 2002). Metabolisme
energi
berkaitan
dengan
intik
energi
dari
pangan
yang
mengakibatkan bertambahnya berat badan dan hal ini tentunya berefek positif pada kepadatan mineral tulang (Illich & Kersketter 2000). Korelasi positif thiamin sejalan dengan adanya korelasi positif pada konsumsi zat gizi makro yakni energi, protein dan lemak. Hubungan Kepadatan Tulang dengan Jenis Pangan yang Di konsumsi Tabel 19 menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara sumber karbohidrat dan buah-buahan dengan kepadatan mineral tulang radius ultradistal. Korelasi negatif antara konsumsi buah-buahan dengan kepadatan mineral tulang menjelaskan mengapa intik vitamin C pada penelitian ini berkorelasi negatif pada kepadatan mineral tulang. mengingat buah-buahan merupakan sumber vitamin C. Hal ini berbeda dengan laporan Macdonald et al. (2004) dan New et al. (2000) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara konsumsi buah-buahan dan intik vitamin C dengan kepadatan mineral tulang, Meskipun demikian hubungan yang positif antara konsumsi buah-buahan dengan kepadatan tulang masih belum konklusif. Korelasi negatif signifikan antara nasi dan pangan sumber karbohidrat lainnya berbeda dengan logika yang seharusnya menyebutkan adanya hubungan positif antar keduanya. Logika yang diangkat adalah nasi dan pangan sumber karbohidrat lainnya adalah sumber energi. Secara biologis-fisiologis akumulasi energi berkaitan dengan berat badan, dan berat badan berhubungan positif dengan kepadatan tulang. Meningkatnya intik energi mengakibatkan bertambahnya berat badan dan hal ini tentunya berefek positif pada kepadatan mineral tulang (Illich & Kersketter 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan kebalikan dari logika tersebut. Alasan yang mungkin menjelaskan kejadian ini adalah penurunan kepadatan tulang sudah berlangsung sejak contoh mengalami menopause. Selain itu Penuaan membuat mereka melakukan pengurangan porsi makan. Hal ini disebabkan oleh sebab
64 adanya penurunan kemampuan fisiologis tubuh yang berhubungan dengan sistem pencernaan. Selain itu pengetahuan akan adanya ancaman penyakit lain yang diakibatkan oleh kegemukan juga diduga membuat mereka mengurangi konsumsi makanan sumber energi. Tabel 19 Korelasi antara konsumsi gram total jenis pangan tertentu dengan nilai kepadatan mineral tulang Variabel Sumber Karbohidrat (g/hari) Daging (g/hari) Telur (g/hari) Ikan-ikanan (g/hari) Susu dan produk Olahannya (g/hari) Kacang-kacangan (g/hari) Sayur-sayuran (g/hari) Buah-buahan (g/hari)
r p r p r p r p r p r p r p r p
Kepadatan mineral tulang Lumbal Femur Radius ultradistal -0.063 -0.112 -0.316* 0.634 0.393 0.014 -0.114 -0.034 -0.184 0.388 0.797 0.159 0.038 0.030 0.142 0.771 0.822 0.280 0.108 0.269* 0.227 0.410 0.038 0.081 0.038 0.107 0.001 0.769 0.418 0.994 0.126 0.079 0.038 0.039 0.549 0.776 0.193 0.131 0.011 0.140 0.320 0.935 -0.068 -0.068 -0.270* 0.604 0.603 0.037
Keterangan : * nyata pada (p<0.05)
Untuk variabel konsumsi pangan lainnya seperti konsumsi sayur-sayuran, kacang-kacangan, susu dan produk olahannya dan telur meskipun tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, tetapi memiliki kecenderungan berhubungan positif dengan kepadatan tulang. Sedangkan konsumsi daging memiliki kecenderungan untuk berhubungan negatif dengan kepadatan tulang. Kajian yang mungkin berhubungan dengan ini adalah hasil penelitian Tucker et al. (2002) tentang pola makan yang dihubungkan dengan kepadatan tulang pada Framingham Osteoporosis Study. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pola makan memiliki hubungan dengan kepadatan mineral tulang. Tucker et al. 2002 membagi pola makan menjadi 6 kelompok yang masing-masing adalah 1) kelompok pangan daging, produk olahan susu, dan roti, 2) kelompok pangan daging dan sweet baked product, 3) kelompok pangan sweet baked product, 4) kelompok alkohol, 5) kelompok permen, dan 6) kelompok buah, sayur dan sereal.
65 Adapun pengelompokan ini didasarkan atas persentase energi dan kebiasaan konsumsi pangan spesifik dari tiap-tiap kelompok pola makan tersebut. Pola makan yang berhubungan positif dengan kepadatan mineral tulang adalah kelompok dengan pola makan buah sayur dan sereal. Jika dibandingkan maka hasil ini berkebalikan dengan hasil penelitian Tucker et al. (2002). Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh desain penelitian yang berbeda, jumlah sampel, dan lama waktu penelitian. Gaya Hidup Konsumsi Kopi dan Teh Tabel 20 memperlihatkan sebaran contoh menurut konsumsi kopi dan teh yang ditengarai sebagai sumber kafein yang biasa dikonsumsi oleh contoh. Terjadi penurunan kebiasaan minum kopi dan teh pada sebagian besar contoh, dari yang semula mengkonsumsi kopi teh menjadi tidak lagi mengkonsumsi kopi dan teh. Hasil analisis uji t tentang perubahan kebiasaan mengkonsumsi kopi dan teh dahulu dan saat ini tidak menunjukkan adanya perbedaan secara statistik (kopi P=0.446; teh P=0.437). Alasan yang dikemukakan oleh para contoh biasanya adalah karena alasan kesehatan. Contoh merasa mengalami kecenderungan untuk mengalami hipertensi jika mereka tetap mengkonsumsi kopi atau teh, alasan lain yang dikemukakan adalah karena kekhawatiran akan mengalami osteoporosis lebih parah dari yang sedang mereka alami. Tabel 20 Sebaran contoh menurut konsumsi kopi dan konsumsi teh di masa lalu dan saat ini Variabel Konsumsi kopi Konsumsi teh
Masa lalu n % 15 25 40 66.7
Saat ini n 11 37
% 18.3 61.7
Tabel 21 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor konsumsi kopi dengan nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal dan hubungan yang negatif antara kebiasaan konsumsi kopi dengan kepadatan tulang lumbal dan femur. Kafein termasuk faktor risiko yang dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis, meskipun demikian buktinya masih diperdebatkan (Rapuri et al. 2001). Beberapa
66 penelitian mengindikasikan bahwa kafein dapat mempercepat ekskresi kalsium; sementara penelitian yang lain tidak menemukan efek yang signifikan. Efek kafein pada keseimbangan kalsium mungkin akan merugikan hanya jika konsumsi kalsiumnya rendah (Whitney, Cataldo, Rolves 1998). Selama ini intik kafein yang dilaporkan dapat mempercepat laju kehilangan massa tulang, dan intik kafein biasanya dikaitkan dengan konsumsi kopi. Selain kopi teh juga mengandung kafein, akan tetapi keterkaitan antara kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral masih belum banyak dikaji. Tabel 21 Korelasi antara kebiasaan konsumsi kopi, teh, susu, berolah raga dan penggunaan rokok dan alkohol dengan kepadatan mineral tulang Variabel bebas Kebiasaan konsumsi kopi Kebiasaan konsumsi teh Kebiasaan konsumsi susu Kebiasaan olah raga Penggunaan rokok dan alkohol
r p r p r p r p r p
Kepadatan mineral tulang Lumbal Femur Radius ultradistal -0.019 -0.158 -0.327* 0.888 0.228 0.011 0.097 0.172 0.290* 0.459 0.188 0.024 0.110 0.130 0.021 0.401 0.228 0.871 0.068 0.053 0.018 0.605 0.688 0.891 -
Keterangan : * nyata pada (p<0.05) Skor penggunaan rokok & alkohol tidak dapat dihitung
Tabel 21 menunjukkan adanya korelasi positif signifikan antara skor konsumsi teh dengan nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini juga memperkuat laporan Hegarty et al. (2000) yang meneliti tentang kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Kebiasaan minum teh berkaitan dengan kepadatan mineral tulang yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak minum teh. Hal ini diasumsikan karena teh tidak hanya mengandung kafein tapi juga senyawa flavonoid, fitoestrogen dan fluoride yang diduga memiliki efek positif pada tulang. Merokok Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan perokok.
67 Sebuah penelitian pada saudara kembar melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok/harinya selama masa dewasanya akan mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5 – 10% dari tulang mereka ketika menopause tiba (Sizer & Whitney 2000). Meskipun mekanisme aksinya masih belum dapat dijelaskan, tapi rendahnya berat badan perokok dan menopause dini pada perokok wanita diperkirakan menjadi faktor penyebabnya (Sizer & Whitney 2000; Vogt 1999). Tabel 22 menunjukkan bahwa secara keseluruhan contoh tidak memiliki kebiasaan merokok baik di masa lalu maupun disaat ini sehingg korelasinya terhadap kepadatan mineral tulang tidak dapat dihitung Tabel 22 Sebaran contoh menurut kebiasaan merokok di masa lalu dan saat ini Kebiasaan merokok Ya Tidak
Masa lalu n % 0 0 60 100
Saat ini n % 0 0 60 100
Konsumsi susu Susu merupakan sumber kalsium yang baik untuk tulang. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan minum susu sejak dini mampu membantu remaja putri mencapai massa tulang puncaknya. Hasil sebaran riwayat konsumsi susu contoh pada Tabel 23 memperlihatkan adanya perubahan dari yang semula tidak mengkonsumsi susu menjadi mengkonsumsi susu, hal ini berkaitan dengan alasan kesehatan yang mereka alami, terutama karena mereka mengalami osteoporosis. Tabel 23 Sebaran kebiasaan konsumsi susu contoh di masa lalu dan saat ini Konsumsi susu Ya Tidak
Masa lalu n % 17 28.3 43 71.7
Saat ini n % 43 71.7 17 28.3
Hasil analisis uji t menunjukkan adanya perbedaan secara statistik antara konsumsi susu di masa lalu dengan di masa kini (P=0.348). Hasil analisis uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif antara skor konsumsi susu dengan nilai kepadatan mineral tulang di ketiga lokasi tulang yang diperiksa. Selain itu
68 meskipun tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan konsumsi susu harian berhubungan positif dengan kepadatan tulang (Tabel 21). Hal ini berarti bahwa contoh yang minum susu memiliki nilai kepadatan mineral tulang lebih baik dibandingkan yang tidak memiliki kebiasaan minum susu. Dengan kata lain, minum susu dapat membantu memperlambat laju penurunan massa tulang. Kebiasaan berolah raga Olah raga dan aktifitas fisik merupakan salah satu komponen gaya hidup sehat bagi wanita pascamenopause yang akan mendukung status kesehatan. Aktifitas fisik yang dilakukan dengan baik dan teratur juga dapat mempertahankan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Tabel 24 Sebaran kebiasaan berolah raga contoh di masa lalu dan saat ini Kebiasaan berolah raga Tidak berolahraga Berolahraga
Masa lalu n % 30 50 30 50
Saat ini n % 1 1.7 59 98.3
Berolah raga, baik dengan berjalan kaki atau bersenam, mampu membantu mempertahankan kepadatan tulang. Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara prospektif dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan risiko fraktur tulang panggul, dan mereka yang memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena fraktur tulang panggul sebesar 2040% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang aktif (Gregg, Pereira & Caspersen 2000). Kebiasaan olah raga berasosiasi positif dengan kepadatan mineral tulang, meskipun nilai korelasinya tidak signifikan tapi menunjukkan adanya hubungan yang positif. Korelasi positif ini berarti semakin sering contoh melakukan olah raga maka nilai kepadatan tulangnya lebih baik dibandingkan dengan yang tidak melakukan olah raga. Tabel 25 Jenis olah raga yang dilakukan contoh saat ini Kebiasaan berolah raga Jalan kaki Senam rutin minimal 2x seminggu
n = 60 n 48
% 80
37
61.7
*) satu orang bisa melakukan lebih dari satu jenis olah raga
69 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kepadatan Mineral Tulang Faktor-faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang di masing-masing lokasi memiliki perbedaan. Jumlah faktor yang berpengaruh pada tulang lumbal dan tulang femur memiliki perbedaan cukup banyak jika dibandingkan dengan tulang radius ultradistal. Hal ini diduga disebabkan karena karakteristik tingkat kepadatan tulang yang berbeda di ketiga tempat tersebut. Tulang radius ultradistal lebih mudah mengalami pengeroposan dibandingkan dengan tulang lumbal dan femur, sehingga faktor yang mempengaruhi tingkat pengeroposannya juga lebih banyak. Tulang Lumbal Tulang lumbal atau tulang punggung merupakan tulang yang sering digunakan sebagai variabel untuk mengukur ada tidaknya osteoporosis pada seseorang. Secara penampakan fisik, tulang punggung mempengaruhi postur tubuh. Semasa muda, postur tubuh adalah tegak, sedangkan semakin tua, postur akan semakin membungkuk. Bungkuk, merupakan salah satu tanda osteoporosis. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan model Stepwise didapatkan faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang lumbal adalah umur saat menopause, status menopause dan rasio protein hewani : nabati dengan nilai R2 sebesar 0.265. Hal ini berarti bahwa sebesar 26.5% kepadatan tulang lumbal dipengaruhi oleh ke-3 variabel tersebut, sedangkan 73.5 % nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Tabel 26 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang lumbal Variabel bebas
b
Sig
Konstanta Umur saat menopause Status menopause Rasio protein hewani : nabati
0,558 0,008 -0,002 -0,062
0,002 0,018 0,097 0,025
R2 0.265
Tulang Femur Tulang femur atau sering juga disebut tulang panggul merupakan tulang yang rawan untuk mengalami patah tulang. Patah tulang panggul akibat osteoporosis banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika terdapat lebih dari 250 000 kasus patah tulang panggul akibat osteoporosis, dan kejadian ini memiliki
70 komplikasi yang lebih besar bagi penderita maupun keluarganya, selain itu tingkat kematian
yang diakibatkannya pun lebih tinggi yakni 10-15% dalam tahun
pertama (Mulyono, 1999). Tabel 27 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang femur Variabel bebas Konstanta Umur Status menopause
b 0,574 0,004 -0,007
Sig 0,000 0,185 0,011
R2 0.182
Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan model Stepwise didapatkan faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang femur adalah umur dan status menopause dengan nilai R2 sebesar 0.182. Hal ini berarti bahwa sebesar 18.2% kepadatan tulang femur dipengaruhi oleh ke-2 variabel tersebut, sedangkan 81.8 %nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Tulang Radius ultradistal Dibandingkan dengan kedua tulang lainnya, tulang radius ultradistal lebih cepat mengalami pengeroposan. Hal ini mungkin menjadi penyebab mengapa faktor yang mempengaruhi nilai kepadatan mineral tulangnya lebih banyak jika dibandingkan dengan tulang lumbal dan tulang femur. Tabel 28 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang radius ultradistal Variabel bebas Konstanta Umur Kebiasaan konsumsi kopi Kebiasaan konsumsi teh Sumber karbohidrat Buah-buahan
b 0.509 -0,002 -0,013 0,011 -4,24x10-5 -2,70x10-5
Sig 0,050 0,001 0,006 0,005 0,000 0,000
R2
0.450
Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan model Stepwise didapatkan faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang radius ultradistal adalah umur, kebiasaan konsumsi kopi, kebiasaan konsumsi teh, konsumsi sumber karbohidrat dan konsumsi buah-buahan dengan nilai R2 sebesar 0.450. Hal ini berarti bahwa sebesar 55% kepadatan tulang radius ultradistal dipengaruhi oleh ke5 variabel tersebut, sedangkan 45% nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.
71
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pertambahan usia pada wanita pascamenopause menyebabkan nilai kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan radius ultradistalnya semakin rendah. 2. Tulang radius ultradistal lebih cepat mengalami pengeroposan tulang kemudian tulang lumbal dan tulang femur. 3. Nilai IMT yang tinggi berhubungan positif dengan tinggi nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal. 4. Variabel riwayat reproduksi yang memiliki efek positif pada kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan radius ultradistal adalah umur saat menopause dan masa subur. Sedangkan status menopause memiliki efek negatif dengan kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan radius ultradistal. 5. Faktor intik zat gizi yang berefek positif pada kepadatan tulang femur dan radius ultradistal adalah intik zat besi. Konsumsi ikan juga memiliki efek positif pada kepadatan tulang femur sedangkan konsumsi sumber karbohidrat dan buah-buahan berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal. 6. Faktor gaya hidup yang berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal adalah konsumsi kopi. Sedangkan konsumsi teh berasosiasi positif dengan kepadatan tulang radius ultradistal. 7. Kepadatan tulang lumbal dipengaruhi oleh umur saat menopause, status menopause dan rasio protein hewani : nabati dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.265. Hal ini berarti bahwa sebesar 26.5% kepadatan tulang lumbal dipengaruhi oleh ke-3 peubah tersebut, sedangkan 73.5 % nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. 8. Kepadatan tulang femur dipengaruhi oleh umur dan status menopause dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.182. Hal ini berarti bahwa sebesar 18.2% kepadatan tulang femur dipengaruhi oleh ke-2 variabel tersebut, sedangkan 81.8%nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. 9. Kepadatan tulang radius ultradistal dipengaruhi oleh umur, kebiasaan konsumsi kopi, kebiasaan konsumsi teh, konsumsi sumber karbohidrat dan
72 konsumsi buah-buahan. dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.450. Hal ini berarti bahwa sebesar 55% kepadatan tulang radius ultradistal dipengaruhi oleh ke-5 variabel tersebut, sedangkan 45% nya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.
Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan bahwa status gizi baik yang diperoleh dari pola makan dan gaya hidup yang sehat sejak dini hingga lanjut usia akan membuat wanita memiliki tulang lebih padat sehingga risiko untuk osteoporosis menjadi lebih rendah dan proses pengeroposannya berjalan lebih lambat 2. Melakukan analisis parameter biokimia yang berhubungan dengan proses resorpsi tulang, sehingga akan didapatkan hubungan yang pasti antara pengaruh intik zat gizi dengan proses perusakan dan pembentukan tulang oleh osteoklas dan osteoblas. 3. Meneliti lebih lanjut tentang hubungan antara zat besi dengan kepadatan mineral tulang dan mencoba mengaitkannya dengan status anemia pada kelompok usia lanjut. 4. Meneliti kembali lebih mendalam mengenai hubungan antara kebiasaan konsumsi buah-buah dan intik kalsium pangan dengan kepadatan mineral tulang, mengingat adanya hubungan yang negatif antara kepadatan tulang dengan konsumsi buah-buahan dan intik kalsium pada penelitian ini, sementara pada penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya menyebutkan adanya hubungan yang positif antara konsumsi buah-buahan dan intik kalsium dengan kepadatan tulang wanita pascamenopause. 5. Meneliti dan mengeksplorasi hubungan antara berbagai variabel riwayat reproduksi dengan nilai kepadatan mineral tulang dengan menggunakan studi yang bersifat epidemiologis.
73
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat MC. 2003. Fitoestrogen untuk Wanita Menopause. Medika 6:406-408. Anderson JBJ. 1999. Plant based diets & bone health : nutritional implications. Am J Clin Nutr Supl 70:539S-542S. Anonim. 09 September 2003. Osteoporosis di Indonesia relatif tinggi. Kompas: (kolom 1-4). Ariani 1998. Perbandingan densitas tulang pada wanita pascamenopause dalam terapi hormonal pengganti yang melakukan olah raga teratur dan yang tidak teratur (tesis). Jakarta. Program Studi Ilmu Kedokteran Olah Raga. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Astawan IM. 2004. Sehat ala masakan Jepang dalam Kandungan Gizi Aneka Bahan Makanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bagur AC, Mautalen CA. 1992. Risk for developing osteoporosis in untreated premature menopause. Calcif Tissue Int 51:4-7. Bronner F. 1994. Calcium and osteoporosis. Am J Clin Nutr 60:831-836. Compston J. 2002. Osteoporosis. Budiharjo L, penerjemah. Jakarta. Penerbit Dian Rakyat. Terjemahan dari: Osteoporosis. Conlisk AJ, Galuska DA. 2000. Is caffeine associated with bone mineral density in young adult women?. Prev Med 31:562-568. Davis JW et al. 1996. Anthropometric, lifestyle and menstrual factors influencing size-adjusted bone mineral content in multiethnic population of premenopausal women. J Nutr 126:2968-2976. Departemen Kesehatan. 2003. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Departemen Kesehatan. Jakarta. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. DeSantiago S, Alonso L, Hlhali A. 1999. Cacium metabolism in lactating women. Rev Inves Clin 51:309-314. Devine AR, Criddle A, Dick IM, Kerr DA, Prince RL. 1995. A longitudinal study of the effect of sodium and calcium intakes on regional bone density in postmenopausal women. Am J Clin Nutr 62:740-745. Expert Committee of the National Osteoporosis Foundation. 2003. Osteoporosis: physician`s guide. National Osteoporosis Foundation. http://www.nof.org/physicians_guide.htm. [17 Maret 2004].
74 Eastell, R. 2005. Role of oestrogen in the regulation of bone turnover at the menarche. J of Endocrinol 185:223-234. Feskanich D, Willet W, Tamfer MJ, Colditz GA 1996. Protein consumption and bone fractures in women. Am J Epidemiol 143:472-479. Feskanich D et al. 1999 Vitamin K intake and hip fractures in women: a prospective study. Am J Clin Nutr 69:74-79. Felson DT, Zhang Y, Hanan MT, Anderson JJ. 1993. Effect of weight and body mass index on bone mineral density in men and women: the Framingham Study. J Bone Miner Res 8:567-75. Forsmo S et al. 2001. How do reproductive and lifestyle factors influence bone density in distal and ultradistal radius of early postmenopausal women? The Nord-Trondelag health survey. Norway. Osteoporos Int 12:222-229. Glerean M, Plantalech L. 2000. Osteoporosis in pregnancy and lactation. Medicina (B Aires). 60:973-981. Gregg EW, Pereira MA, Caspersen CJ. 2000. Physical activity, falls and fractures among older adults: a review of the epidemiologic evidence. J Am Geriatr Soc. 48:883-893. Grimes JP, Wimalawansa SJ. 2003. Breastfeeding and postmenopausal osteoporosis. Curr Womens Health Rep. 3:193-198. Gur et al. 2003. Influence of number of pregnancies on bone mineral density in postmenopausal women of different age groups. J Bone Miner Metab. 21: 234241. Hannan MT et al. 2000 Effect of dietary protein on bone loss in elderly men and women: the Framingham Osteoporosis Study. J Bone Miner Res. 15:25042512. Harris MM et al. 2003. Dietary iron is associated with bone mineral density in healthy postmenopausal women. J Nutr. 1333:3598-3602. Harris SS, Dawson-Hughes B. 1994. Caffeine and bone loss in healthy postmenopausal women. Am J Clin Nutr 60:573-578. Heaney RP. 1998. Excess dietary protein may not adversely affect bone. J Nutr. 126:1054-1057. Heaney RP. 2003. Long-latency deficiency disease: insights from calcium and vitamin D. Am J Clin Nutr 78:912-919. Heaney RP. 2000. Calcium, dairy product and osteoporosis. Am J Coll Nutr. 2:83S-99S.
75 Hegsted DM. 2001. Fractures, calcium and the modern diet. Am J Clin Nutr 74:571-573. Henderson et al. 1995. Bone density in young women is associated with body weight and muscle strength but not dietary intakes. J Bone Miner Res 10: 384393. Hollenbach KA et al. 1993. Cigarette smoking and bone mineral density in older men and women. Am J Public Health 83:1265-1270. Ho SC, Leung PC. 1995. Determinants of peak bone mass in Chinese and Caucasian populations. HKMJ. 1:38-42. Hegarty VM, May HM, Khaw KT. 2000. Tea drinking and bone mineral density in older women. Am J Clin Nutr 71:1003-1007. Hui SL, Slemenda CW, Johnston CC, 1990. The contribution of bone loss to postmenopausal osteoporosis. Osteoporos Int. 1:30-34. Hyun HT, Barret-Connor E, Milne DB. 2004. Zinc intakes and plasma concentrations in men with osteoporosis: the Rancho Bernardo Study. Am J Clin Nutr 80:715-721. Illich ZJ, Kerstetter JE. 2000. Nutrition in bone health revisited : a history beyond calcium. Am J Coll Nutr. 19:715-737. Ismail S. 1999. Features (Assessing nutritional vulnerability in older people in developing countries) Subcommitte News. Nutrition and healthy agents. number 19. Food and nutrition library 2.1 United Nations University Press. Ito M et al. 1995. Relation of early menarche to high bone mineral density. Calcif Tissue Int. 57:11-14. abstract (Pubmed). Kato I et al. 2000. Diet, smoking and anthropometric indices and postmenopausal bone fractures: a prospective study. Int Epidemiol Associat 29:85-92. Kerstetter JE, O`Brien KO, Insogna. KL. 2003. Low protein intake: the impact on calcium and bone homeostasis in human. J Nutr. 133:855S-861S. Khomsan A. 2006. Paradigma Sehat dalam buku Solusi Makanan Sehat. Jakarta: Penerbit Rajawali Sport. Krall EA, Dawson-Hughes B. 1994. Osteoporosis Di dalam: Shils ME, Olson JA, Shike M, editor. Modern Nutrition in Health & Disease Ed ke-8. Philadelphia: Lea & Febiger. Kritz-Silverstein D, Barrett-Connor E. 1993. Early menopause, number of reproductive years and bone mineral density in postmenopausal women. Am J Public Health. 83:983-988.
76 Lane NE. 2001. Lebih Lengkap Tentang: Osteoporosis, Petunjuk untuk Penderita dan Langkah-Langkah Penggunaan bagi Keluarga. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Terjemahan dari: The Osteoporosis Book a Guide for Patient and Their Families. Leveille SG et al. 1997. Dietary vitamin C and bone mineral density in postmenopausal women in Washington State USA. J Epidemiol Comm Health. 51:479-485. Lyold T et al. 1997. Dietary caffeine intake and bone status of postmenopausal women. Am J Clin Nutr 65:1826-1830. Macdonald HM, New SA, Golden MHN, Campbell MK, Reid DM. 2004. Nutritional association with bone loss during the menopausal transition: evidence of a beneficial effect of calcium. alcohol and fruit and vegetable nutrients and of a detrimental effect of fatty acids. Am J Clin Nutr 79:155-165. Margaret L, Gourlay MD, Brown SA. 2004. Clinical considerations in premenopausal osteoporosis. Arch Intern Med 164:603-614. Massey KL. 2003. Dietary animal and plant protein and human bone health: a whole food approach. J Nutr. 133:862S-865S. Maurer J. et al. 2005. Dietary iron positively influences bone mineral density in postmenopausal women on hormone replacement therapy. J Nutr. 135:863869. McCabe LD et al. 2004. Dairy intakes affect bone density in the elderly. Am J Clin Nutr. 80:1066-1074. McGartland CP et al. 2004. Fruit and vegetable consumption and bone mineral density: the Northern Ireland Young Hearts Project. Am J Clin Nutr 80:10191023. Melton et al. 1993. Influence of breastfeeding and other reproductive factors on bone mass later in life. Osteoporos. Int. 3. 76-83. Mulyono. 1999. Kandungan mineral tulang pada sampel wanita pascamenopause Indonesia di Jakarta: pengukuran dengan menggunakan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (tesis): Jakarta. Program Studi Ilmu Kedokteran Olah Raga. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Munger GR, James RC, Brian CH. 1999. Prospective study of dietary protein intake and risk of hip fracture in postmenopausal women. Am J Clin Nutr 69:147-152. Murti B. 1996. Penerapan Metode Statistik Nonparametrik Dalam Ilmu-Ilmu Kesehatan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
77 Murti B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nakamura K et al. 2005. Nutrition, mild hyperparathyroidism and bone mineral density in young Japanese women. Am J Clin Nutr 82:1127-1133 New SA et al. 2000. Dietary influences on bone mass and bone metabolism: further evidence of a positive link between fruit and vegetable consumption and bone health. Am J Clin Nutr 71:142-151. Nieves JW. 2005. Osteoporosis: the role of micronutrients. Am J Clin Nutr supl 81:1232S-1239S. Olson RE. 2000. Osteoporosis and vitamin K intake. Am J Clin Nutr 71:10311032. Ortolani S et al. 1991. Spinal and forearm bone mass in relation to ageing and menopause in healthy Italian women. Eur J Clin Invest. 21:33-39. Osei-Hyiaman D et al. 1998. Timing of menopause, reproductive years and bone mineral density a cross-sectional study of postmenopausal Japanese women. Am J Epidemiol 148:1055-1061. Ozdemir F, Demirbag D, Rodoplu M, 2005. Reproductive factor affecting the bone mineral density in postmenopausal women. Tohoku J Exp 205:277-285. Popivanov P, Boianov M. 2002. Osteoporosis in pregnancy and lactation. Akush Ginekol (Sofiia). 41:40-43. Prentice A, Parsons TJ, Cole TJ. 1994. Uncritical use of bone mineral density in absorptiometry may lead to size-related artifacts in the identification of bone mineral determinant. Am J Clin Nutr 60:837-42. Promislow J, Goodman-Gruen. D, Slymen DJ, Barret-Connor E. 2002. Protein consumption and bone mineral density in the elderly: the Rancho Bernardo Study. Am J Epidemiol 155:636-644. Rachman IA. 2004. Masalah Menopause Dan Post Menopause Osteoporosis. Makalah Seminar Osteoporosis 24 Januari 2004. Rapuri BP, Gallagher JC, Haynatzka V. 2003. Protein intake: effect on bone mineral density and the rate of bone loss in elderly women. Am J Clin Nutr 77:1517-1525. Rapuri BP et al. 2001. Caffeine intake increases the rate of bone loss in elderly woman and interact with vitamin D receptor genotype. Am J Clin Nutr 74:694700. Reid IR. 2000. Glucocorticoid induced osteoporosis. Best Pract Rest Clin Endocrinol Metab 14:279-298.
78 Reid IR. Veale AG, France JT. 1994. Glucocorticoid osteoporosis. J Asthma 31:718. Richelson LS, Wahner HW, Melton LJ III, Riggs BL. 1984. Relative contributions of aging and estrogen deficiency to postmenopausal bone loss. N Engl Med 311:1273-1275. Roughead ZK. 2003. Is the interaction between dietary protein and calcium destructive or constructive for bone? summary. J Nutr. 133:866S-869S. Rosalie AM et al. 2003. Vitamin B-12 status is associated with bone mineral content and bone mineral density in frail elderly women but not in men. J Nutr. 133:801-807. Sellmeyer DE, Stone KL, Sebastian A, Cummings SR. 2001. A high ratio of dietary animal to vegetable protein increases the rate of bone loss and the risk of fracture in postmenopausal women. Am J Clin Nutr 72:118-122. Setchell KDR, Lydeking-Olsen E. 2003. Dietary phytoestrogens and their effect on bone: evidence from in vitro and in vivo, human observational and dietary intervention studies. Am J Clin Nutr supl 78:593S-609S. Shetty PS, James WPT. 1994. Body mass index, a measure of chronic energy deficiency in adults. FAO, Food and Nutrition paper 56. UK: Rowett Research Institut Aberdeen. Simon JA, Hudes ES. 2001. Relation of ascorbic acid to bone mineral density and self-reported fractures among US adults. Am J Epidemiol 154:427-433. Sowers MF. 2001. Premenopausal reproductive and hormonal characteristic and the risk for osteoporosis. Di dalam Marcus R, Feldman D, Kelsey J, editor. Osteoporosis. Ed ke-2. Vol.1. San Diego. Academic Press. p. 721-739. Stevenson JC, Lees B, Devenport M, Cust MP, Ganger KF, 1989. Determinants of bone density in normal women: risk factors for future osteoporosis? BMJ. 298:924-928. Supriasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tucker KL et al. 2002. Bone mineral density and dietary patterns in older adults: the Framingham Osteoporosis Study. Am J Clin Nutr 76:245-52. Tucker KL et al. 1999. Potassium, magnesium and fruit and vegetable intakes are associated with greater bone mineral density in elderly men and women. Am J Clin Nutr 69:727-736. Tucker KL. 2004. Does milk intake in childhood protect against later osteoporosis? Am J Clin Nutr 77:10-11.
79 Tucker KL. 2003. Dietary intake and bone status with aging. Current Pharmaceutical Design 9:301-340. Ulrich CM et al. 1996. Bone mineral density in mother-daughter pairs: relations to lifetime exercise, lifetime milk consumption and calcium supplements. Am J Clin Nutr 63:72-79. Wallace BA, Cumming RG. 2000. Systematic review of randomized trials of the effect of execise on bone mass in pre- and postmenopauseal women. Calcif Tissue Int: 67:10-18. Welton, et al. 1994. Weight bearing activity during youth is a more important factor for peak bone mass than calcium intake. J Bone Miner Res. 9:10891096. Wimalawansa SJ. 2004. Relationships of calcium, vitamin D and other nutrients to bone health. Bussiness briefing:Women’s health care. p 1-11. Wirakusumah ES. 2003. Tip dan Solusi Gizi untuk tetap Sehat, Cantik dan Bahagia di masa Menopause dengan Terapi Estrogen Alami. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. WHO Study Group. 1994. Assesment of Fracture Risk and It`s Application to Screening for Postmenopausal Osteoporosis. Report of WHO Study Group Geneva. WHO. 2002. elderly people improving oral health among the elderly. http://www.who.int/oral_health/action/groups/en/index1.html [20 Mei 2004] Whitney EN, Sizer FS. 2000. Nutrition Concept and Controversies. USA: Wadsworth Thomson Learning. Whitney EN, Cataldo BC, Rolfes SR. 1998. Understanding Normal and Clinical Nutrition Ed ke-5. USA: Wadsworth Thomson Learning. Zhang YY, Liu PY, Deng HW. 2003. The impact of reproductive and menstrual history on bone mineral density in Chinese women. J Clin Densitometry 3:289296.
80
LAMPIRAN
81 Lampiran 1 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Zat Gizi
Peubah
Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat (mg)
besi
Seng (mg) Vitamin (RE)
A
Vitamin (mg)
C
Thiamin (mg)
Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan Konsumsi Kecukupan Tingkat kecukupan
Rata-rata ± SD 1148.27 ± 184.74 1849.04 ± 135.07 62.55 ± 11.23 48.96 ± 13.98 51.59 ± 7.54 97.46 ± 33.53 28.14 ± 8.19 92.45 ± 6.75 30.55 ± 9.19 606.15 ± 225.34 826.91 ± 120.71 76.14 ± 34.94 1077.34 ± 406.31 620.18 ± 90.54 179.53 ± 76.98 17.03 ± 6.29 12.66 ± 2.74 113.96 ± 54.64 5.29 ± 2.91 10.13 ± 1.48 54.27 ± 32.46 972.35 ± 708.63 516.82 ± 75.45 197.47 ± 166.65 79.77 ± 29.94 77.52 ± 11.32 106.11 ± 46.53 0.50 ± 0.17 0.93 ± 0.14 55.30 ± 20.26
Lampiran 2 Sebaran responden berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi Zat Gizi Energi Protein Lemak Kalsium Fosfor Zat besi Seng Vitamin A Vitamin C Thiamin
< 70% AKG n 50 14 60 22 5 18 48 4 13 47
% 83,33 23,33 100,00 36,67 8,33 30,00 80,00 6,67 21,67 78,33
> 70 % AKG n 10 46 0 38 55 42 12 56 47 13
% 16,67 76,67 0,00 63,33 91,67 70,00 20,00 93,33 78,33 21,67
82 Lampiran 3 Gram total protein dan zat besi berdasarkan sumbernya Rata-rata ± SD 32.06 ± 10.76 16.09 ± 4.92 12.27 ± 6.09 1.21 ± 0.85
Variabel Protein nabati (g) Protein hewani (g) Zat besi nonheme (mg) Zat besi heme (mg)
Lampiran 4 Rasio perbandingan protein hewani : nabati, Ca : P, dan protein : Ca Variabel Rasio protein hewani : nabati Rasio Ca : P Rasio Protein : Ca
Rata-rata ± SD 0.20 ± 0.001 0.58 ± 0.009 8.98 E-02 ± 3.17E-02
Lampiran 5 Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang lumbal Model 1 2
3
(Constant) Umur saat menopause (Constant) Umur saat menopause Status Menopause (Constant) Umur saat menopause Status Menopause Rasio protein hewani : nabati
Unstandardized Coefficients B Std. Error ,398 ,157 ,010 ,003 ,567 ,174 ,007 ,003 -,003 ,001 ,558 ,168 ,008 ,003 -,002 ,001 -,062 ,027
Standardized Coefficients Beta ,371 ,274 -,259 ,303 -,212 -,268
t
Sig.
2,535 3,039 3,252 2,135 -2,022 3,321 2,441 -1,688 -2,304
Lampiran 6 Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang femur Model
1 2
(Constant) Umur (Constant) Umur Status Menopause
Unstandardized Coefficients B Std. Error ,897 ,082 -,003 ,001 ,574 ,145 ,004 ,003 -,007 ,003
Standardized Coefficients Beta -,286 ,372 -,730
t 10,921 -2,276 3,945 1,343 -2,636
Sig. ,000 ,027 ,000 ,185 ,011
,014 ,004 ,002 ,037 ,048 ,002 ,018 ,097 ,025
83 Lampiran 6
Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang radius ultradistal
Model 1 2 3
4
5
(Constant) Umur (Constant) Umur riwayat konsumsi teh (Constant) Umur riwayat konsumsi teh riwayat konsumsi kopi (Constant) Umur riwayat konsumsi teh riwayat konsumsi kopi Sumber karbohidrat (Constant) Umur riwayat konsumsi teh riwayat konsumsi kopi Sumber karbohidrat Buah-buahan
Unstandardized Coefficients B Std. Error ,398 ,045 -,002 ,001 ,376 ,044 -,002 ,001 ,013 ,006 ,386 ,042 -,002 ,001 ,014 ,005 -,018 ,007 ,464 ,050 -,002 ,001 ,013 ,005 -,015 ,007 -3,633E-05 ,000 ,509 ,050 -,002 ,001 ,011 ,005 -,013 ,006 -4,245E-05 ,000 -2,697E-05 ,000
Standardized Coefficients Beta -,370 -,357 ,274 -,311 ,291 -,294 -,331 ,276 -,248 -,281 -,357 ,233 -,211 -,328 -,287
t 8,862 -3,033 8,520 -3,034 2,324 9,132 -2,735 2,590 -2,590 9,222 -3,048 2,573 -2,259 -2,587 10,129 -3,466 2,276 -2,022 -3,156 -2,761
Sig. ,000 ,004 ,000 ,004 ,024 ,000 ,008 ,012 ,012 ,000 ,004 ,013 ,028 ,012 ,000 ,001 ,027 ,048 ,003 ,008