FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN PADA PEKERJA PENGUPAS KELAPA DI DESA JERUJU BESAR Nuri Septi Rafiyanti, Nurul Amaliyah dan Sunarsieh Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan pada Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar. Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional untuk melihat adanya hubungan antara variabel bebas (usia pekerja, tekanan panas, masa kerja, lama kerja, status kesehatan, kebiasaan merokok, status gizi pekerja) dengan variabel terikat (kelelahan). Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 40 pekerja dan yang memenuhi syarat sebagai sampel berjumlah 33 pekerja pengupas kelapa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar adalah usia (pValue = 0,025), tekanan panas (pValue = 0,026) dan kebiasaan merokok (pValue = 0,001). Sementara variabel yang tidak berhubungan dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar adalah masa kerja (pValue = 0,510), lama kerja (pValue = 0,491), status kesehatan (pValue = 0,456) dan status gizi (pValue = 0,764). Kata Kunci: Kelelahan, pekerja pengupas kelapa Abstract: The Factors Related to Fatigue in Coconut Paring Workers in Jeruju Besar Village. This research is an analytic observational research with cross sectional approach to see the relation between independent variable (age of workers, heat stress, years of working, workhours, health status, smoke habit, nutrition status of the workers) with dependent variable (fatigue). The number of the population in this research is 40 workers and the workers who are qualified as sample are 33 coconut paring workers. The result of the research showed that the related factors to fatigue in coconut paring workers in Jeruju Besar Village are the age of workers (pValue = 0,025), heat stress (pValue = 0,026) and smoke habit (pValue = 0,001). Whereas the unrelated factors to fatigue in coconut paring workers in Jeruju Besar Village are years of working (pValue = 0,510), workhours (pValue = 0,491), health status (pValue = 0,456) and nutrition status of the workers (pValue = 0,764). Keywords: Fatigue, Coconut Paring Worker
Menurut Widayana (2014), pengertian keselamatan dan kesehatan kerja, yang kemudian disingkat K3, secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Kecelakaan kerja adalah suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan saat melakukan suatu pekerjaan yang dapat menimbulkan kerugian materiil maupun jiwa pekerja sendiri. Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Anies, 2014). Secara umum kecelakaan di tempat kerja dapat disebabkan oleh kelelahan (fatigue), kondisi tempat kerja (environmental aspects) dan pekerjaan yang tidak aman (unsafe working condition), kurang penguasaan pekerja terhadap pekerjaan serta karakteristik pekerjaan itu sendiri. Hubungan antara karakter pekerjaan dan kecelakaan kerja menjadi fokus bahasan yang cukup menarik dan membutuhkan perhatian tersendiri. Kecepatan kerja (paced 147
148 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.147 - 153
work), pekerjaan yang dilakukan secara berulang (short-cycle repetitive work), pekerjaan-pekerjaan yang harus diawali dengan “pemanasan prosedural”, beban kerja (workload) dan lamanya sebuah pekerjaan dilakukan (workhours) adalah beberapa karakteristik pekerjaan yang dimaksud dan penyebab-penyebab di atas bisa terjadi secara tunggal, simultan, maupun dalam sebuah rangkaian sebab-akibat (cause consequences chain) (Widayana, 2014). Kelelahan kerja merupakan bagian dari permasalahan umum yang sering dijumpai pada tenaga kerja. Menurut beberapa peneliti, kelelahan secara nyata dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja dan dapat menurunkan produktivitas. Data dari ILO menyebutkan bahwa setiap tahun sebanyak dua juta pekerja meninggal dunia karena kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor kelelahan (Atiqoh, 2014). Istilah fatigue atau kelelahan dipakai untuk menggambarkan kondisi yang sangat bervariasi yang semuanya berakibat penurunan kapasitas dan ketahanan kerja (Susetyo, 2008). Semua jenis pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja yang akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja dan berujung pada kecelakaan kerja. Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan (Nurmianto, 2003). Tingkat kelelahan akibat kerja yang dialami pekerja dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gangguan dan mengurangi kepuasan serta penurunan produktivitas yang ditunjukkan dengan berkurangnya kecepatan performansi, menurunnya mutu produk, hilangnya orisinalitas, meningkatnya kesalahan dan kerusakan, kecelakaan yang sering terjadi, kendornya perhatian dan ketidaktepatan dalam melaksanakan pekerjaan. Kelelahan kerja dapat terjadi akibat dari faktor lingkungan kerja, faktor individu dan faktor pekerjaannya (Atiqoh, 2014). Penelitian Atiqoh (2014) pada 31 pekerja konveksi menunjukkan bahwa sebesar 71% responden mengalami kelelahan berat dengan usia ≥40 tahun. Beberapa faktor lingkungan seperti intensitas penerangan yang kurang, suara mesih jahit yang menimbulkan kebisingan dapat menjadi faktor yang menyebabkan kelelahan, selain itu faktor individu seperti usia pekerja dan masa kerja pekerja juga ikut mempengaruhi keadaan kelelahan yang dirasakan. Menurut Handayani (2005) yang
meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan waktu reaksi rangsang cahaya pada tenaga kerja yang terpapar panas di PT. Baja Kurnia Ceper Klaten, menyatakan bahwa ada hubungan antara suhu lingkungan kerja, status gizi, masa kerja, kesehatan dan beban kerja dengan waktu reaksi rangsang cahaya. Beberapa dusun di Desa Jeruju Besar merupakan konsentrasi penghasil kelapa sehingga kelapa menjadi sumber penghasilan masyarakat setempat. Kelapa yang dihasilkan di daerah ini sebagian diolah dan sebagian dijual mentah. Adapun pengolahan buah kelapa yang terdapat di desa ini diantaranya kopra dan gula kelapa. Baik buah yang dijual mentah maupun diolah akan dilakukan pemisahan dari sabut kelapa. Pada proses inilah para pekerja pengupas kelapa berkontribusi. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa pekerja pengupas kelapa memiliki cara kerja yang memerlukan tenaga yang besar, kecepatan dan kewaspadaan terhadap alat yang tajam. Pekerjaan ini dilakukan terus menerus tanpa ada jam istirahat yang pasti dengan posisi dan gerakan yang berulang-ulang (repetitive). Berdasarkan hasil observasi pendahuluan, dari 6 pekerja pengupas kelapa, 2 pekerja (33,33%) merupakan kelompok usia ≤ 25 tahun, 3 pekerja (50%) merupakan kelompok usia 26-50 tahun dan 1 pekerja (16,67%) merupakan kelompok usia >50 tahun. Masa kerja para pekerja pengupas kelapa bervariasi, 4 pekerja (66,67%) telah bekerja selama ≤6 tahun dan 2 pekerja (33,33%) telah bekerja >6 tahun. Setiap hari, seorang pekerja harus mengupas 800-1.000 buah kelapa. Kegiatan pengupasan kelapa hanya dilakukan paling banyak dua orang pekerja dalam satu lokasi pengupasan. Adapun lokasi pengupasan sebagian berupa perorangan dan terdapat pula kelompok industri rumahan. Dalam sehari tidak ditentukan secara khusus berapa lama seorang pekerja melakukan pekerjaan, jika target telah dipenuhi maka pekerjaan akan dihentikan. Para pekerja pengupas kelapa perorangan biasanya bekerja pada pagi hari sekitar pukul 07.00 – 12.00 WIB. Sementara pekerja pada industri rumahan sebagian bekerja dari pukul 08.00 – 17.00 sementara sebagian lagi bekerja pada pagi hari seperti pekerja perorangan. Para pekerja pengupas kelapa bekerja di luar ruangan. Berdasarkan hasil observasi, 2 pekerja (33,33%) bekerja di pinggir jalan tanpa
Nuri, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 149
perlindungan atap, 2 pekerja (33,33%) bekerja di bawah lindungan pohon dan 2 pekerja (33,33%) bekerja di luar ruangan dibawah atap. 3 pekerja pengupas kelapa (50%) bekerja tanpa menggunakan pakaian karena merasa tidak nyaman jika bekerja dalam keadaan berpakaian. Keluhan yang dirasakan pekerja diantaranya nyeri pada bagian bahu, punggung, leher dan dada serta kejang pada bagian perut dan kaki apabila pekerja kelelahan. Berdasarkan hasil observasi diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar.
Tabel 1 menunjukkan bahwa presentase kelompok usia terbesar ada pada kelompok usia 26-50 tahun (48,5%).
METODE PENELITIAN
Tabel 2 menunjukkan bahwa presentase tekanan panas terbesar ada pada kelompok pekerja yang bekerja dengan suhu diatas NAB (39,4%).
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan data responden dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran kelelahan dengan Reaction Timer, pengukuran tekanan panas dengan Heat Stress Area Monitor, serta pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan timbangan badan dan mikrotois. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 33 responden yang diperoleh dengan teknik total sampling. Pengolahan data menggunakan Chi Square dengan kaidah apabila p-value ≤0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Apabila p-value >0,05 maka Ha ditolak sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Usia Pekerja Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % 2 6,1 1 >50 Tahun 16 48,5 2 26-50 Tahun 15 45,5 3 ≤25 Tahun Total 33 100 Sumber: Data Primer, 2016
Tekanan Panas Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tekanan Panas Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % 13 39,4 1 Diatas NAB 2
Dibawah NAB Total
20
60,6
33
100
Sumber: Data Primer, 2016
Masa Kerja Tabel 3. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 Usia No Jumlah % Pekerja 8 24,2 1 >6 Tahun 25 75,8 2 ≤6 Tahun Total 33 100 Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 3 menunjukkan bahwa presentase masa kerja pekerja pengupas kelapa terbesar ada pada kelompok masa kerja ≤6 Tahun (75,8%). Lama Kerja Tabel 4. Distribusi Frekuensi Lama Kerja Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No 1 2
Usia Pekerja >7 jam ≤7 jam Total
Jumlah
%
11 22 33
33,3 66,7 100
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 4 menunjukkan presentase kelompok pekerja dengan lama kerja terbesar ada pada kelompok ≤7 jam (66,7%).
150 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.147 - 153
Status Kesehatan Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Kesehatan Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % Ada Penyakit 2 6,1 1 Berat 2
Tidak Ada Penyakit Berat Total
31
93,9
Sumber: Data Primer, 2016
33
100
Tabel 8 menunjukkan bahwa presentase tingkat kelelahan terbesar yang dialami pekerja ada pada kelompok lelah berat (57,6%).
Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 5 menunjukkan bahwa kelompok status kesehatan pekerja tanpa penyakit berat adalah memiliki presentase terbesar (93,9%). Kebiasaan Merokok Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % 23 69,7 1 Merokok Tidak 10 30,3 2 Merokok Total 33 100 Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 6 menunjukkan bahwa presentase terbesar ada pada kelompok pekerja yang memiliki kebiasaan merokok (69,7%). Status Gizi Tabel 7. Distribusi Frekuensi Status Gizi Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % 12 36,4 1 Tidak Normal 21 63,6 2 Normal Total 33 100 Sumber: Data Primer, 2016
Tabel 7 menunjukkan bahwa presentase status gizi pekerja terbesar ada pada kelompok status gizi normal (63,6%). Kelelahan
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan Pekerja Pengupas Kelapa di Desa Jeruju Besar Tahun 2016 No Usia Pekerja Jumlah % 19 57,6 1 Lelah Berat 8 24,2 2 Lelah Sedang Lelah Ringan 6 18,2 3 Total 33 100
PEMBAHASAN Hubungan Usia Pekerja dengan Kelelahan Hasil analisis hubungan usia pekerja dengan kelelahan menunjukkan bahwa kelelahan berat cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok usia 26-50 tahun (39,4%). Hasil uji statistik menggunakan Chi square pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan p-value 0,025. Hal ini berarti ada hubungan bermakna antara usia pekerja dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar tahun 2016. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Atiqoh (2014) yang menyatakan adanya hubungan antara usia dengan kelelahan kerja yang terjadi pada pekerja bagian penjahitan CV. Aneka Garment Gunungpati Semarang. Usia seseorang berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai pada batas tertentu (Tarwaka, 2004). Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut yang menyebabkan daya elastisitas otot berkurang dan berkurangnya kemampuan tubuh dalam berbagai hal (Atiqoh, 2014). Pekerja pengupas kelapa yang tergolong usia lanjut sebaiknya mengurangi jam kerja serta memerlukan asupan gizi seperti konsumsi makanan yang mengandung garam mineral agar kelelahan cepat pulih. Hubungan Kelelahan
Tekanan
Panas
dengan
Hasil analisis hubungan tekanan panas dengan kelelahan menunjukkan bahwa kelelahan berat cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok pekerja yang bekerja pada suhu diatas NAB (33,4%).
Nuri, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 151
Hasil uji statistik menggunakan Chi square pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan p-value 0,026. Hal ini berarti ada hubungan bermakna antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar tahun 2016. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani (2005) yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara suhu lingkungan dengan tingkat kelelahan. Pekerja yang bekerja di luar ruangan dapat mengalami tekanan panas yang apabila berlebihan dapat menyebabkan kelelahan (Tarwaka, 2004). Upaya yang dapat dilakukan pekerja pengupas kelapa diantaranya dengan bekerja dibawah pohon atau tenda sehingga dapat membantu mengurangi kelelahan akibat panas.
hubungan bermakna antara lama kerja dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar tahun 2016. Hasil uji statistik memang tidak menunjukkan adanya hubungan antara lama kerja dengan kelelahan dalam penelitian ini. Namun secara teori, pekerjaan berat ditandai dengan pengerahan tenaga fisik dan juga kemampuan mental yang besar dengan pemakaian energi berskala besar pula dalam waktu yang relatif pendek atau pendek sekali. Otot, sistem kardiovaskuler, paru, dan lain-lain harus bekerja sangat berat. Pengaturan ritme kerja untuk pekerjaan yang mengerahkan tenaga besar sangat penting sehingga tidak terjadi akumulasi kelelahan (Suma’mur, 2014). Hubungan Kelelahan
Status
Kesehatan
dengan
Hubungan Masa Kerja dengan Kelelahan Hasil analisis hubungan masa kerja dengan kelelahan menunjukkan bahwa kelelahan berat cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok masa kerja ≤6 tahun tahun (39,4%). Hasil uji statistik menggunakan Chi square pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan p-value 0,510. Hal ini berarti tidak ada hubungan bermakna antara usia pekerja dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar tahun 2016. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2005) dan Atiqoh (2014) yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara masa kerja dengan kelelahan kerja. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak dia terpapar bahaya pada pekerjaan tersebut. Masa kerja juga berdampak positif dimana semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin berpengalaman dengan pekerjaannya Hubungan Lama Kerja dengan Kelelahan Hasil analisis hubungan lama kerja dengan kelelahan menunjukkan bahwa kelelahan berat cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok pekerja yang bekerja selama ≤7 jam (42,4%). Hasil uji statistik menggunakan Chi square pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan p-value 0,491. Hal ini berarti ada
Berdasarkan data penelitian yang terkumpul, diketahui bahwa terdapat 6,1% pekerja yang memiliki penyakit berat dan seluruhnya mengalami kelelahan berat. Hasil analisa tabel menunjukkan adanya hubungan antara status kesehatan dengan kelelahan yang dialami pekerja pengupas kelapa. Hal ini sejalan dengan penelitian Mentari (2012) pada pekerja pemanen kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara IV yang menunjukkan adanya hubungan antara status kesehatan dengan kelelahan. Menurut Grandjean (dalam Mentari, 2012), kelelahan secara fisiologis dan psikologis dapat terjadi saat kondisi tubuh tidak fit/sakit atau seseorang mempunyai keluhan terhadap penyakit tertentu. Semakin buruk kondisi kesehatan seorang pekerja maka kelelahan akan semakin cepat timbul. Setiap tenaga kerja dituntut untuk memiliki kesegaran jasmani yang baik sehingga tidak merasa cepat lelah dan performansi kerja tetap stabil untuk waktu yang cukup lama (Tarwaka, 2004). Menjaga kesehatan tubuh sangat penting bagi kelangsungan pekerjaan. Para pekerja pengupas kelapa sebaiknya memeriksakan kesehatan tubuhnya secara rutin di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas untuk menjaga kondisi kesehatan. Hubungan Kelelahan
Kebiasaan
Hasil analisis merokok pekerja
Merokok
hubungan dengan
dengan
kebiasaan kelelahan
152 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.147 - 153
menunjukkan bahwa kelelahan berat cenderung lebih banyak terjadi pada kelompok pekerja yang merokok (54,5%). Hasil uji statistik menggunakan Chi square pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan p-value 0,001. Hal ini berarti ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar tahun 2016. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap resiko keluhan otot masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan (Tarwaka, 2004). Sejalan dengan pernyataan Tarwaka (2004) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, 2004). Pekerja yang melakukan pekerjaan lama dan dirasa melelahkan umumnya merokok baik saat bekerja maupun saat beristirahat. Secara teori konsumsi rokok dapat menyebabkan kelelahan. Mengurangi sedikit demi sedikit jumlah konsumsi rokok dapat menjadi upaya membantu menurunkan tingkat kelelahan yang dirasakan. Selain itu juga dapat menjadikan tubuh lebih sehat. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Berdasarkan analisis tabel hubungan status gizi dengan kelelahan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kelelahan. Hal ini ditunjukkan dengan 100% pekerja dengan IMT gemuk yang mengalami kelelahan berat.
Kategori status gizi pekerja dalam penelitian ini dihitung dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Adapun kriteria yang didapat adalah kriteria kurus (30,3%), normal (63,6%) dan gemuk (6,1%). Hasil statistik memang tidak menunjukkan adanya hubungan antara kelelahan dengan status gizi, tetapi bila dianalisis dari presentase pekerja dengan status gizi tidak normal dapat diketahui bahwa kelelahan berat memiliki presentase terbesar dibandingkan dengan kategori lelah sedang dan lelah ringan. Berdasarkan data, dari 100% pekerja dengan gizi tidak normal 66,7% mengalami lelah berat. Berbeda halnya dengan pekerja status gizi normal yang mengalami lelah berat dengan proporsi 52,4% dari total pekerja gizi normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mentari (2012) yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status gizi dengan kelelahan. Menurut Stellman (dalam Mentari, 2012), status gizi sangat berpengaruh terhadap kelelahan yang terjadi. Pekerja dengan status gizi yang baik akan memiliki mekanisme pemulihan dari kelelahan kerja yang lebih baik. Dengan pemulihan yang lebih baik akan memiliki mengurangi efek kumulatif dari kelelahan sehingga kemungkinan kelelahan yang terjadi akan semakin rendah. Hasil riset Oentoro (2004 dalam Mentari, 2012), menunjukan bahwa secara klinis terdapat hubungan antara status gizi seseorang dengan performa tubuh secara keseluruhan, orang yang berada dalam kondisi gizi yang kurang baik dalam arti intake makanan dalam tubuh kurang maupun berlebih dari normal maka akan lebih mudah mengalami kelelahan dalam melakukan pekerjaan. Setiap orang membutuhkan tenaga untuk mempertahankan hidup dan melakukan pekerjaan setiap. Tenaga tersebut diperoleh dari pembakaran zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan oksigen. Bila banyaknya makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan maka tubuh akan mengalami gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan tersebut tentu akan mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dan akhirnya berpengaruh pada efisiensi dan produktivitas kerja (Tarwaka, 2004). Upaya yang dapat dilakukan para pekerja pengupas kelapa adalah mengkonsumsi cukup karbohirat (nasi, gandum) dan protein (telur, ikan, ayam). Asupan kalori dapat diperoleh dengan makan tiga kali sehari serta menambahkan makanan
Nuri, dkk, Faktor-Faktor yang Berhubungan... 153
ringan di sela-sela pekerjaan agar pemulihan tenaga lebih cepat. Tidak lupa untuk senantiasa mengkonsumsi vitamin baik dalam bentuk tablet maupun dari buah-buahan dan sayur.
SIMPULAN Ada hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Tidak ada hubungan antara lama kerja dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Ada hubungan antara status kesehatan dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar.
Ada hubungan antara kebiasaan merokok denga kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar. Bagi Industri/Pekerja yang tergolong usia lanjut sebaiknya mengurangi jam kerja, istirahat yang cukup serta dapat mengkonsumsi makanan yang mengandung garam mineral sehingga kelelahan dapat cepat pulih. Bekerja di tempat yang teduh seperti di bawah pohon atau dibawah tenda sehingga terhindar dari panas matahari langsung. Mengurangi jumlah konsumsi rokok dapat membantu menurunkan tingkat kelelahan yang dirasakan pekerja selain itu juga dapat menyehatkan tubuh pekerja itu sendiri. Bagi peneliti lain dapat melakukan kajian lebih lanjut mengenai faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kelelahan maupun kesehatan pada pekerja pengupas kelapa di Desa Jeruju Besar.
DAFTAR PUSTAKA Anies. 2014. Kedokteran Okupasi Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta Atiqoh, Januar. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Konveksi Bagian Penjahitan di CV. Aneka Garment Gunungpati Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Vol. 2 No. 2 Februari 2014 Hal. 119-126 Handayani, Sri. 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Waktu Reaksi Rangsang Cahaya pada Tenaga Kerja yang Terpapar Panas di PT. Baja Kurnia Ceper Klaten. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 4 No. 1 April 2005 Hal. 27-31 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja Mentari, Annisa. 2012. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Cara Kerja dengan
Kelelahan Kerja pada Pemanen Kelapa Sawit di PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Adolina Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Nurmianto, Eko. 2003. Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang Suma’mur. 2014. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV. Jakarta: Haji Masagung Susetyo, Joko. 2008. Prevalensi Keluhan Subyektif atau Kelelahan Karena Sikap Kerja Yang Tidak Ergonomis Pada Pengrajin Perak. Jurnal Teknologi Vol. 1 No. 2 Desember 2008 Hal. 141-149 Tarwaka. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: Univa Press Undang-Undang Republik Indonesia No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Widayana, I Gede. 2014. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Yogyakarta: Graha Ilmu
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PEDAGANG MINUMAN CENDOL DENGAN PENGGUNAAN PEMANIS BUATAN SAKARIN DAN SIKLAMAT KECAMATAN PONTIANAK UTARA Yana Nursiana, Ani Hermilesari dan Hajimi Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pedagang Minuman Cendol dengan Penggunaan Pemanis Buatan Sakarin dan Siklamat Kecamatan Pontianak Utara. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan tipe penelitian cross sectional dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis untuk mengetahui hubungan antara dua variable yaitu variable bebas (pengetahuan dan sikap) dan variable terikat (perilaku penggunaan pemanis buatan Sakarin dan Siklamat). Jumlah sampel yang digunakan adalah 22 sampel. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan pemanis buatan Sakarin (p value = 0,348, OR = 0,300),ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan pemanis buatan Siklamat (p value = 0,008, OR = 20,000), ada hubungan antara sikap pedagang dengan pemanis buatan Sakarin (p value = 0,011, OR = 21,667) dan tidak ada hubungan antara sikap pedagang dengan pemanis buatan Siklamat (p value = 0,378, OR = 0,333). Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Sakarin, Siklamat dan Minuman Cendol Abstract: Related Knowledge and Attitude Drinks Cendol Traders with Use of Artificial Sweeteners Cyclamate Saccharin and District North Pontianak. This research was observational analytic with the type of cross-sectional study with a test of hypothesis to determine the relationship between the two variables are independent variables (knowledge and attitude) and the dependent variable (the behavior of the use of artificial sweeteners Saccharin and Cyclamate). The samples used were 22 samples. The results of this study concluded that there was no relationship between knowledge traders with artificial sweeteners saccharin (p value = 0.348, OR = 0.300), there is a relationship between knowledge traders with artificial sweeteners Cyclamates (p value = 0.008, OR = 20,000), there is a relationship between attitudes traders with artificial sweeteners saccharin (p value = 0.011, OR = 21.667) and there is no relationship between attitude Cyclamates traders with artificial sweeteners (p value = 0.378, OR = 0.333). Keywords: Knowledge, Attitude, Saccharin, Cyclamate and Beverages Cendol
Zat pemanis sintetik adalah zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut, sedangkan kalori yang di hasilkan jauh lebih rendah daripada gula. Hanya beberapa zat pemanis sintetik yang boleh di pakai dalam makanan yaitu Aspartam, Sorbitol, Sakarin dan Siklamat (Purwiyatno, 2013). Jenis pemanis yang sering digunkan masyarakat adalah Sakarin dan Siklamat. Penggunaan pemanis Sakarin memiliki bahaya, adapun bahaya yang
ditimbulkan diantaranya adalah migran dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, diare, sakit perut, alergi, kanker otak, serta kanker kantung kemih (Rosmauli, 2014). Sakarin (C7H5NO3S) adalah pemanis buatan yang memiliki struktur dasar sulfrida benzoat. Sakarin tidak termasuk jenis pemanis yang tidak menghasilkan kalori. Sakarin jauh lebih manis dibandingkan sukrosa, dengan perbandingan rasa manis kira-kira 400 kali lipat 154
Yana, dkk, Hubungan Pengetahuan dan Sikap... 155
sukrosa. Namun sayangnya, dalam konsentrasi sedang sampai tinggi sakarin bersifat aftertaste pahit atau rasa logam. Untuk menghilangkan rasa tersebut, Sakarin dapat ditambahkan atau dicampur dengan Siklamat (Rosmauli, 2014). Siklamat (C6H11NHSO3) merupakan pemanis buatan nonkalori yang mempunyai sekitar 30 kali manisnya gula meja biasa. Pemanis yang termasuk bahan tambahan makanan adalah pemanis pengganti gula (sukrosa). Siklamat adalah pemanis buatan yang tergolong memiliki harga yang cukup murah (Rosmauli, 2014). Cendol adalah makanan tradisional yang berasal dari Asia Tenggara yang masih populer di Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina dan Thailand Selatan (dimana hal itu disebut lortchorng singapura). Cendol merupakan minuman khas Indonesia yang terbuat dari tepung beras, disajikan dengan es parut serta gula merah cair dan santan.
memiliki tingkat pengetahuan baik, yaitu sebanyak 54,5%.
METODE PENELITIAN
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sakarin Pada Minuman Cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Kecamatan Pontianak Utara dipilih sebagai subjek, penjualan minuman cendol dengan penggunaan pemanis buatan Sakarin dan Siklamat ditetapkan sebagai unit observasi. Penelitian dilakukan di laboratorium Sucopindo. Selanjutnya, dikembangkan tabel silang ada dan tidak ada huibungan antara kandungan Sakarin dan Siklamat pada minuman cendol, Hubungan tersebut dianalisis dengan uji Chi - Square.
Sikap Tabel 2. Distribusi Frekuensi Sikap Responden Pedagang Minuman Cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016 Kategori No Frekuensi Persentase Sikap Baik 8 36,4 1. Kurang 14 63,6 2. Total 22 100 Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan kategori sikap kurang, yaitu sebesar 63,6%. Kandungan Sakarin Pada Minuman Cendol
No
Sakarin
1. 2.
Positif Negatif Total
Frekuensi
Persentase
6 16 22
27,3 72,7 100
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar sampel minuman cendol yang diambil dalam penelitian ini tidak mengandung Sakarin, yaitu sebesar 72,7%.
HASIL Tingkat Pengetahuan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Pedagang Minuman Cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016 Tingkat No Frekuensi Persentase Pengetahuan Baik 12 54,5 1. Kurang 10 45,5 2. Total 22 100
Kandungan Cendol
Siklamat
Pada
Minuman
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Siklamat Pada Minuman Cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016 No 1. 2.
Siklamat Positif Negatif Total
Frekuensi
Persentase
12 10 22
54,5 45,5 100
Sumber: Data Primer, 2016
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel 1 di atas, sebagian besar responden pedagang dalam penelitian ini
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar sampel minuman cendol yang diambil dalam penelitian ini mengandung Siklamat, yaitu sebesar 54,5%.
156 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.154 - 157
PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap pedagang dengan kandungan Sakarin dan Siklamat pada minuman cendol ini dilakukan terhadap 22 pedagang minuman cendol yang berjualan di area Kecamatan Pontianak Utara. Berikut pembahasan pada masing-masing variabel. Hubungan antara Pengetahuan Pedagang dengan Penggunaan Sakarin Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji chi square diperoleh p value sebesar 0,348 lebih besar dari (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan kandungan Sakarin pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016. Hubungan Pengetahuan dengan Kandungan Siklamat Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, diperoleh nilai p value sebesar 0,008 lebih besar dari (p>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan kandungan Siklamat pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016. Nilai odd ratio (OR) =20.000 yang menunjukkan tingkat resiko sehingga dapat dinyatakan bahwa pedagang dengan tingkat pengetahuan kurang memiliki potensi 20.000 kali minuman cendol yang dijualnya negatif Siklamat. Hubungan Sakarin
Sikap
dengan
Kandungan
Hasil uji chi square menunjukan nilai p value sebesar 0,011 kurang dari (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap pedagang dengan kandungan Sakarin menyatakan bahwa ada hubungan antara sikap pedagang dengan kandungan Sakarin pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016. Nilai odd ratio (OR) =21,667 yang menunjukkan tingkat resiko sehingga dapat dinyatakan bahwa pedagang dengan tingkat sikap kurang beresiko 21,667 kali minuman cendol yang dijualnya positif Sakarin. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sebagian
besar pedagang memiliki pengetahuan kurang baik yaitu sebanyak 54,5% dari 22 pedagang minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara. Dari 12 pedagang yang berpengetahuan kurang baik tersebut, hanya 16,7% diantaranya yang positif menggunakan Sakarin. Sementara pada 10 responden yang memiliki pengetahuan baik masih ditemukan 40,0% yang menggunakan Sakarin. Hasil ini menunjukan bahwa jumlah responden yang menggunakan Sakarin lebih banyak ditemukan pada responden yang berpengetahuan sudah baik. Hubungan Siklamat
Sikap
dengan
Kandungan
Hasil uji chi square menunjukan nilai p value sebesar 0,378 kurang dari (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap pedagang dengan kandungan Siklamat pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sebagian besar pedagang memiliki sikap baik yaitu sebanyak 63,6% dari 22 pedagang minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara. Dari 14 pedagang yang memiliki sikap baik tersebut, 64,3% diantaranya positif menggunakan Siklamat. Sementara pada 8 responden yang memiliki sikap kurang baik hanya 37,5% yang menggunakan Siklamat. Hasil ini menunjukan bahwa jumlah responden yang menggunakan Sakarin lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki sikap sudah baik. SIMPULAN Tidak ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan kandungan Sakarin pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016, dengan nilai p value sebesar 0,348 lebih dari (p>0,05). Ada hubungan antara pengetahuan pedagang dengan kandungan Siklamat pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016, dengan nilai p value sebesar 0,008 lebih dari (p<0,05). Ada hubungan antara sikap pedagang dengan kandungan Sakarin pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara 2016, dengan nilai p value sebesar 0,011 kurang dari (p<0,05). Tidak ada hubungan antara sikap pedagang dengan kandungan Siklamat pada minuman cendol di Kecamatan Pontianak Utara
Yana, dkk, Hubungan Pengetahuan dan Sikap... 157
2016, dengan nilai p value sebesar 0,378 kurang dari (p>0,05). Pedagang minuman cendol diharapkan untuk menggunakan pemanis alami yang diperbolehkan dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, seperti gula merah atau gula pasir. Pedagang sebaiknya lebih memahami lagi tujuan dari penggunaan pemanis buatan sebagai pengganti gula asli.
Masyarakat diharapkan untuk menggunakan pemanis alami dalam mengolah berbagai jenis makanan, seperti dengan menggunakan gula aren, gula pasir maupun gula bit. Saat membeli minuman seperti minuman cendol diluar, sebaiknya tanpa menambahkan pemanis yang digunakan pedagang dan menambahkan sendiri dengan mengunakan gula asli agar lebih aman.
DAFTAR PUSTAKA Rosmauli, dkk. 2014. Ini Dia Zat Berbahaya di Balik Makanan Lezat. PT. Bhafana: Jakarta.
Hariyadi, Purwiyatno. 2013. Bahan Tambahan Pangan. Diunduh dari: http//tekpan. unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/ 07/BAHANTAMBAHANPANGAN.pdf.
GAMBARAN KADAR PARTIKEL DEBU DI PEMUKIMAN MASYARAKAT DUSUN 1 PERIKANAN KECAMATAN ANJONGAN KABUPATEN MEMPAWAH Ramaida fitria, Aryanto purnomo dan Salbiah Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Gambaran Kadar Partikel Debu di Pemukiman Masyarakat di Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah. Penelitian bersifat deskriptif. Pengambilan data secara observasi dengan pengukuran ventilasi, kelembaban, dan pengambilan sampel kadar debu ruang keluarga atau ruang tamu dan dilakukan secara bersamaan. Analisis data secara univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran kadar debu belum memenuhi syarat sebanyak 34 rumah (64%), kelembaban belum memenuhi syarat sebanyak 49 rumah (98%) dan ventilasi tidak memenuhi syarat 35 rumah (70%). Kesimpulan penelitian adalah kualitas kimia udara seperti kadar partikel debu, kelembaban dan sistem ventilasi di Desa Pak Bulu Kecamatan Anjungan belum memenuhi syarat. Hal ini disebabkan faktor lingkungan maupun individu. Masyarakat harus lebih menjaga kebersihan di sekitar lingkungan rumah dan mengontrol aktivitas penghuni rumah yang dapat memicu pencemaran udara. Kata Kunci: Ventilasi, Kelembaban, Kadar Partikel Debu, Pemukiman Abstract. The Describe Levels of Dust Particles in The Home in Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah. The research was descriptive. Data retrieval by observation by measuring ventilation, humidity, and dust sampling level family room or living room and conducted simultaneously. This research use univariate data analysis. The result of these research shows much of dust rate does not fulfil for 34 homes (64%), humidity does not fulfil for 49 homes (98%) and large ventilation does fulfil for 35 homes (70%). Conclusion of the study is the quality of air chemistry such as dust particles, humidity and ventilation system in Pak Bulu village anjongan districts does not fulfil. This is can cause by environmental factors as well as individuals. Society must be to maintain cleanliness around the home environment and control the activities of residents that could cause air pollution. Keywords: Ventilation, Humidity, Dust Particle Levels, Settlement
Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama rumah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran udara. Dampak dari adanya pencemar udara dalam ruang rumah terhadap kesehatan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung (PMK RI No 1077/ MENKES/ PER/ V/ 2011). Agar mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan, maka
pengendalian pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pertumbuhan sektor industri pertahun masih merupakan sektor yang sangat potensial dalam memacu pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan lapangan usaha, namun di sisi lain juga dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan bila tidak ditangani dengan sebaik-baiknya. Dampak negatif dimaksud antara lain berupa pencemaran udara baik yang terjadi di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (out door) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan terjadinya penularan penyakit (KMK RI No: 1407/MENKES/SK/Xl/2002). 158
Ramaida, dkk, Gambaran Kadar Partikel Debu... 159
Udara dalam ruangan (indoor air quality) merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Penyebab timbulnya masalah kualitas udara dalam ruangan pada umumnya di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%), adanya sumber kontaminan dalam ruangan (16%), kontaminan dari luar ruangan (10%) (Syaifuddin 1997). Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu, arang atau asap. Di samping itu ditentukan oleh ventilasi, kepadatan penghuni, suhu ruangan, kelembaban, penerangan alami, jenis lantai, dinding, atap, tempat pembuangan sampah, dan debu (polutan). Ventilasi adalah proses udara segar di dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Pontianak tahun 2013 terdapat 620 kasus penyakit ISPA di Kecamatan Anjongan yang menyerang balita dan 710 kasus ISPA yang menyerang penduduk dengan rentang usia ≥ 5 tahun. Tahun 2014 terjadi 930 kasus pada balita dan 951 pada usia ≥ 5 tahun dan tahun 2015 terdapat 9 kasus pada balita serta 723 kasus pada usia ≥ 5 yang terjadi. Laporan tahunan puskesmas di Kabupaten Pontianak menunjukkan angka kejadian ISPA yang meningkat setiap tahun di seluruh desa, khususnya Desa Pak Bulu. Tahun 2013 terdapat 55 kasus pada balita dan 71 kasus pada usia ≥ 5 tahun. Tahun 2014 tercatat 74 kasus pada balita dan 85 kasus pada usia ≥ 5 tahun. Tahun 2015 terjadi 112 kasus pada balita dan 81 kasus pada usia ≥ 5 tahun. Berdasarkan observasi awal di Desa Pak Bulu Kecamatan Anjongan terdapat masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, kebiasaan merokok didalam rumah yang menghasilkan partikel debu yang melayang dan terdapat PT BAL adalah perusahan yang bergerak dibidang penambangan batu. Lokasi dari perusahaan ini terletak di Desa Pak Bulu Kecamatan Anjungan. Kegiatan penambangan batu dilakukan di dataran tinggi atau pegunungan, akibat dari aktivitas penambangan tersebut menghasilkan debu yang mengganggu kesehatan, selain itu kegiatan penambangan tersebut menghasilkan debu yang masuk ke dalam perumahan warga melalui ventilasi.
Setiap rumah warga memiliki tipe ventilasi yang berbeda untuk menahan masuknya debu ke dalam rumah. Pengaruh kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak memenuhi persyaratan dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Salah satunya adalah penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007). Secara umum ventilasi yang digunakan pada rumah di Desa Pak Bulu Kecamatan Anjongan yaitu ventilasi alami. Ventiasi alami terbagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu horizontal, vartikal, kombinasi vertikal dan horizontal. Luas ventilasi yang berbeda dapat mempengaruhi perbedaan pertukaran udara dalam rumah, sehingga mempengaruhi pula partikel yang ikut masuk ke dalam rumah yang terbawa oleh udara, contohnya mikroorganisme dan debu, dampak dari pecemaran udara akan mengakibatkan ganguan kesehatan seperti batuk, pilek, flu (Data primer 2015). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa Desa Pak Bulu Kecamatan Anjungan merupakan daerah dengan kejadian ISPA yang mengalami peningkatan, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit ISPA, yaitu faktor individu, faktor lingkungan, dan faktor perilaku (WHO, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai “Gambaran Kadar Partikel Debu Di Pemukiman Masyarakat Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah Tahun 2016 ”. METODE PENELITIAN Penelitian yang akan dilakukan bersifat penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara observasi yaitu pengukuran ventilasi, kelembaban, dan pengambilan sampel kadar debu ruang keluarga atau ruang tamu dan dilakukan secara bersamaan dalam waktu tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah warga di ruang keluarga atau ruangan tamu Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah sebanyak 111
160 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.158 - 162
rumah. Sampel penelitian ini adalah rumah masyarakat yang terpilih sebagai sampel di Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah. HASIL Ventilasi Tabel 1. Distribusi Rumah Warga Berdasarkan Standar Ventilasi Rumah Warga Desa Pak Bulu Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah Tahun 2016 No 1. 2.
Ventilasi Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat Total
Frekuensi Persentase 15
30
35
70
50
100
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar ventilasi di rumah warga Desa Pak Bulu tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 35 rumah (70%). Kelembaban Tabel 2. Distribusi Rumah Warga Berdasarkan Standar Kelembaban Rumah Warga Desa Pak Bulu Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah Tahun 2016 No Kelembaban Frekuensi Persentase Memenuhi 1 2 1. syarat Tidak 49 98 2. memenuhi syarat Total 50 100 Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa hampir seluruh kelembapan di rumah warga Desa Pak Bulu tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 49 rumah (98%). Kadar Debu
Tabel 3. Distribusi Rumah Warga Berdasarkan Standar Kadar Debu Rumah Warga Desa Pak Bulu Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah Tahun 2016 No Kadar Debu Frekuensi Persentase Memenuhi 22 44 1. syarat Tidak 28 56 2. memenuhi syarat Total 50 100 Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa sebagian besar kadar debu di rumah warga Desa Pak Bulu tidak memenuhi syarat (di bawah NAB) yaitu sebanyak 28 rumah (56%). PEMBAHASAN Ventilasi Ventilasi yang memenuhi syarat yaitu minimal 10% dari luas lantai. Berdasarkan hasil observasi, pengukuran ventilasi yang dilakukan di ruang keluarga, didapat hasil rumah yang tidak memenuhi syarat, sebanyak 35 rumah (70%) dari 50 rumah. Sebagian besar ventilasi yang di gunakan merupakan ventilasi alami dengan sistem horizontal tipe silang. Bentuk ventilasi tegak persegi dengan motif beraneka ragam, ada yang memiliki lubang besar dan ada yang lubang kecil. Ventilasi tidak menggunakan filter kain kasa sebanyak 45 rumah, dan yang menggunakan filter kain kasa sebanyak 5 rumah. Jika luas ventilasi kurang, maka sirkulasi udara akan berkurang sehingga kadar debu di dalam rumah menjadi tinggi, serta dapat menyebabkan tingginya kelembaban ruang di tambah dengan padatnya penghuni dalam satu rumah. Berdasarkan PERMENKES RI No 1077/ MENKES/ PER/V/2011, faktor risiko ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah kurangnya ventilasi (jumlah dan luas ventilasi tidak cukup, sesuai persyaratan kesehatan), tidak ada pemeliharaan AC secara berkala. Sehingga dampak pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia. Menurut Dinata (2007), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam
Ramaida, dkk, Gambaran Kadar Partikel Debu... 161
rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah > 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 1989). Ventilasi yang baik crorss ventilation > 10% luas lantai dalam ruangan dapat menyaring debu yang masuk, sehingga mencegah penyakit yang dapat menyerang manusia akibat terpapar debu. Kelembaban Kelembaban yang memenuhi syarat yaitu 40 – 60 % Rh. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hampir seluruh rumah warga Desa Pak Bulu memiliki tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat, yaitu sebanyak 49 rumah (98%). Sebagian rumah warga memiliki tingkat kelembaban > 60 % Rh. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya, pemukiman warga terletak di bawah bukit, dipengaruhi oleh cuaca setempat, pada umumnya rumah warga terletak di atas air dan ditumbuhi sedikit pepohonan. Kondisi rumah juga mempengaruhi kelembaban, seperti menggunakan lantai keramik sehingga tingkat kelembaban menjadi lebih tinggi, atap yang digunakan adalah jenis seng, ketika cuaca lembab atau dingin menambah kelembaban suhu, sebaliknya ketika musim panas dapat menghantarkan panas yang tidak begitu kuat. Selain itu, kondisi alat 4 in 1 Multifunction Environment Meter yang belum dikalibrasi juga mempengaruhi tingkat kelembaban. Akibat kelembaban yang tinggi partikel debu melebihi NAB. Dan dapat menyebabkan faktor risiko kelembaban yang tinggi. Konstruksi rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor, lantai, dan dinding rumah yang tidak kedap air, serta kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami (PERMENKES RI No 1077/ MENKES/ PER/V/2011) Sehingga dampak Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat
menyebabkan mikroorganisme.
suburnya
pertumbuhan
Kadar Debu Kadar debu yang memenuhi syarat yaitu < 0,15 mg/m3. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, sebagian besar rumah warga Desa Pak Bulu memiliki tingkat kadar debu yang tidak memenuhi syarat yaitu sekitar 28 rumah (56%). Tingginya kadar debu dapat disebabkan oleh faktor waktu, cuaca, dan ventiasi. Waktu penelitian dilakukan dari pukul 10:00 sampai 15:00. Tingkat kadar debu pada siang hari lebih tinggi daripada waktu lainnya. Cuaca pada saat penelitian sangat cerah sehingga suhu menjadi menigkat akibatnya aktivitas debu juga menigkat di siang hari. Ventilasi yang digunakan juga belum memenuhi syarat. Ventilasi yang kecil akan menyebabkan sirkulasi udara tidak lancar, sehingga debu dari luar rumah mudah masuk, begitu juga ventilasi dengan ukuran besar jika tidak dilengkapi dengan penyaring (kain kasa) akan menyebabkan debu mudah masuk. Selain itu, aktivitas yang dilakukan responden di dalam rumah dapat mempengaruhi tingkatnya kadar debu, seperti merokok, penggunaan obat nyamuk bakar, kondisi rumah yang jarang dibersihkan mengakibatkan debu di dalam rumah menumpuk (PERMENKES RI No 1077/ MENKES/ PER/V/2011). Di samping itu, lokasi rumah warga yang tidak jauh dengan pabrik PT. Bal bergerak di bidang tambang dapat menjadi salah satu pemicu meningkatnya kadar debu. Menurut PERMENKES RI No 1077/ MENKES/ PER/V/2011, secara umum partikulat debu timbul dari pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktifitas industri). Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan bakar biomasa, dan penggunaan obat nyamuk bakar. Jadi, tingkat kadar debu yang tinggi dipengaruhi oleh sistem ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan tingkat kelembaban yang tinggi. Serta faktor lainnya, seperti kebiasaan responden di dalam rumah. Sehingga dampak partikel debu dapat menyebabkan pneumonia, gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis khronis. PM2,5 dapat masuk kedalam paru yang berakibat timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker
162 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.158 - 162
paru-paru serta gangguan kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khadijah dkk (2014), kadar debu yang tinggi ditemukan pada rumah dengan ventilasi kurang, letak dapur yang menyatu dengan ruangan lain dan kondisi jalanan yang ramai dilalui kendaraan bermotor. Perbedaannya adalah objek penelitian yang dilakukan oleh Khadijah dkk (2014) merupakan rumah responden yang memiliki balita. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Khairiah (2012), menunjukkan ada beberapa rumah responden yang memiliki tingkat debu yang tinggi disebabkan oleh sebagian besar luas ventilasi rumah responden belum memenuhi syarat, hal ini dapat menyebabkan tidak lancarnya sistem pertukaran udara di dalam rumah responden sehingga responden akan lebih mudah terkena gangguan. Perbedaannya adalah penelitian ini juga membahas keluhan masyarakat akibat terpapar debu. Ventilasi yang paling baik sebenarnya adalah ventilasi mekanik (buatan). Karena selain dapat menyaring debu dari luar, juga dapat mempercepat penurunan suhu dalam ruangan. Namun alternatif yang dapat diambil selain menggunakan ventilasi mekanik, yaitu ventilasi horizontal khususnya cross ventilasi dengan luas yang sesuai (minimal 10% luas lantai) karena udara dalam ruangan dapat berganti dengan udara segar dari luar. Serta untuk penyaring debu dapat digantikan dengan kain kasa.
SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang gambaran kadar partikel debu di prmukiman masyarakat Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Sistem ventilasi alami di ruang keluarga pada rumah Di Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah menggunakan ventilasi jenis horizontal, namun sebagian besar ruang keluarga di rumah warga Desa Pak Bulu tidak memenuhi syarat, yaitu sebanyak 35 rumah (70%). Kondisi kelembaban di ruang keluarga pada rumah Di Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah memiliki tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat, yaitu sebanyak 49 rumah (98%). Kondisi kadar partikel debu di ruang keluarga di Dusun 1 Perikanan Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah memiliki tingkat kadar debu yang tidak memenuhi syarat sebanyak 33 rumah (66%). Peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan ventilasi, kelembaban dan debu terhadap jenis ventilasi yang digunakan. Perlu dilakukan penelitian tentang inovasi pengendalian debu secara mekanis maupun biologis.
DAFTAR PUSTAKA Azhar Khadijah, Dharmayanti Ika, dan Mufida Ida, 2014. Kadar Debu Partikulat (PM2,5) dalam Rumah dan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Kayuringin Jaya, Kota Bekasi. Diakses: ejournal.litbang. depkes. go.id/index. php/MPK/article/download/4903/4251. Depkes RI, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/Menkes/ Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Depkes RI: Jakarta. Depkes RI, 2002. Keputusan Mentri Kesehatan RI No.1407/Menkes/ SK/XI/2002 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara. Depkes RI: Jakarta. Dinata,A.,2007.Aspek Teknis dalam Penyehatan Rumah. Diakses: http:// miqrasehat.blogspot.com/2007/07/
aspek-teknis-dalam-penyehatan-rumah. html Khairiah, 2012. Analisis Konsentrasi Debu dan Keluhan Kesehatan Pada Masyarakat Di Sekitar Pabrik Semen di Desa Kuala Indah Kecamatan Sai Suka Kabupaten Batu Bara Diakses: http://repository.usu. ac.id/ bitstream/123456789/35251/7/ cover Pdf Notoatmodjo, S., 2007. Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi. Rineka Cipta : Jakarta. WHO, 2007. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang cendrung menjadi epidemi dan pendemi di fasilitas pelayanan kesehatan. Diunduh dari: http:// apps. wahoint/ ris/ bitstream/10665/69707/14 /WHO_CDS_EPR_ind.pdf.
RANCANG BANGUN PERANGKAP PENGENDALIAN TIKUS GOT (RATTUS NORVEGICUS) DI PASAR FLAMBOYAN KOTA PONTIANAK Ismanto, Bambang Supraptono dan Susilawati Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Rancang Bangun Perangkap Pengendalian Tikus Got (Rattus Norvegicus) di Pasar Flamboyan Kota Pontianak. Desain penelitian ini adalah rancang bangun untuk membuat perangkap Tikus Got di pasar Flamboyan berbentuk balok dengan ukuran 70 x 30 x 20 cm (panjang x lebar x tinggi). Pintu masuk dibuat seperti lorong untuk memudahkan tikus menemukannya. Selanjutnya dilakukan modifikasi pintu masuk perangkap, lalu dilakukan analisa tipe perangkap yang rancang untuk menangkap Tikus Got di pasar. Kemudian menganalisa jumlah Tikus Got yang tertangkap di habitat pasar, yang dilakukan di 2 lokasi berbeda selama 5 hari. Perangkap yang berhasil dirancang sebanyak 3 unit. Tipe perangkap yang dirancang adalah tipe multiple live-trap yaitu perangkap yang dapat menangkap lebih dari satu ekor tikus dalam sekali pemerangkapan. Perangkap I memiliki pintu masuk berbentuk bubu dapat menangkap tikus sebanyak 8 ekor, perangkap II memiliki pintu yang menutup kebawah dapat menangkap tikus seanyak 7 ekor dan perangkap III memiliki pintu yang menutup ke atas dapat menangkap tikus 5 ekor. Selain itu peletakan dan perlakuan perangkap sangatlah berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan Tikus Got di habitat pasar. Kata Kunci: Rancang bangun, Perangkap dan Tikus Got Abstract: The Design Got Rat Trap Control (Rattus norvegicus) in Flamboyan Market Pontianak. This study was design to create Got Rat trap on the market Flamboyan shaped beam with a size of 70 x 30 x 20 cm (length x width x height). The entrance hall is made as to ease the mice find it. Furthermore, the modification of the entrance to the trap, and then analyzed the type of trap is designed to capture the Rat Got in the market. Then analyze the number of Got Rat caught in the habitat market, which is done in two different locations for 5 days. Traps were successfully designed 3 units. Designed trap type is the type of multiple live-trap is a trap that can catch more than one in a single trapping rats. Trap I has an entrance shaped traps can catch rats as many as 8 tails, trap II has a door that shut down can catch rat as many as 7 tails and traps III has a door that closes over can catch 5 tails. Besides laying traps and treatment is very influential on the success of catching Rat Got in the habitat market. Keywords: Design, Trap and Got Rat
Tikus merupakan binatang pengerat yang merugikan. Tikus merusak dan menghabiskan makanan, tanaman, barang dan bahan bangunan. Binatang ini sering membuat lubang atau terowongan di daerah permukiman manusia. Dengan demikian perpindahan penyakit yang dibawa tikus kepada manusia cukup besar, baik gigitan yang dilakukan tikus ataupun melalui gigitan vektor yang menempel pada tubuh binatang tersebut, antara lain adalah
pinjal. Pinjal adalah salah satu vektor penyakit, pes (plague) dan murine typhus yang dipindahkan dari tikus ke manusia. Di samping itu pinjal juga sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita anjing dan tikus yang dapat menginfeksi manusia. Tikus adalah mamalia yang termasuk dalam suku Muridae. Tikus sebagian besar berada di rumah, di perkebunan atau di pasar tradisional sebagai hama. Tikus yang berada di 163
164 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.163 - 170
rumah membuat berbagai macam masalah yang menyebabkan penyakit tertentu. Tikus diketahui dapat mengirimkan sejumlah penyakit langsung (melalui gigitan) atau tidak langsung melalui gigitan parasit yang ditemukan pada tikus atau oleh kontaminasi makanan dengan urin atau feses Tikus Got yang nama latinnya Rattus norvegicus: Tikus ini sangat cepat penyebarannya dan paling merusak secara ekonomi. Biasanya menyerang gudang, pabrik, supermarket, gedung dan lain-lain. Tikus ini biasanya bersarang di lubang-lubang saluran atau got, dibawah bangunan, dibawah timbunan sampah dan lain-lain. Hewan ini tergolong omnivora yang memakan semua makanan manusia dan hewan. Tikus got sangat bergantung pada makanan dan air. Sejauh ini tikus merupakan reservoir (sumber) dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis. Tikus coklat ini suka bersembunyi dan bersarang di bawah tanah dan timbunan sampah. Makanannya sangat bervariasi mulai dari sampah, padi-padian sayur-sayuran, daging, sampai makanan yang biasa dikonsumi manusia. . Tikus ini merupakan salah satu spesies yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan structural pada bangunan, saluran air, bahan makanan serta menimbulkan penyakit seperti, penyakit Pes, Leptospirosis, Scub typhus, Murine typhus, Rat Bite Fever, Salmonellosis, Limphocyric choriomeningitis, dan lain-lain, oleh kerena itu diperlukan suatu pengendalian terhadap tikus got (Abdi, 2014). Tikus ini berkembang pesat di tempat yang memiliki banyak persediaan makanan. Tikus betina muda akan berkembang biak pada usia 3-4 bulan dan mengandung selama 22-24 hari, dewasa dalam usia 2-3 bulan, jumlah anak tiap kelahiran 8-12 ekor. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengendalikan tikus, antara lain sanitasi, kultur teknis, fisik mekanik, biologi atau hayati dan kimiawi. Metode yang banyak digunakan adalah pengendalian dengan umpan beracun dan pengendalian menggunakan perangkap. Perangkap banyak digunakan untuk monitoring kehadiran tikus dan sebagai salah satu metode untuk mengendalikan populasi tikus pada suatu wilayah (Kern, 2007). Penggunaan perangkap untuk pengendalian tikus got pada habitat permukiman merupakan metode pengendalian
yang sederhana dan mudah diaplikasikan. Penggunaan perangkap merupakan suatu metode yang aman dan tidak berisiko terhadap lingkungan dan penggunanya. Dalam aplikasi perangkap di lapangan, biasanya dikombinasikan dengan aplikasi umpan pada perangkap. Penggunaan perangkap untuk mengendalikan tikus got merupakan cara yang cukup efektif tetapi kurang diperhatikan masyarakat sebagai salah satu teknik pengendalian (Andriani, 2005). Menurut Arifin (2009) “pengertian pasar adalah suatu tempat tertentu, bertemunya antara penjual dengan pembeli termasuk fasilitasnya dimana penjual dapat memperagakan barang dagangannya dengan membayar retribusi”. Sedangkan menurut Adhyzal (dalam Zafirah 2011) pasar dalam arti yang sempit adalah suatu tempat pertemuan penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli dan jasa. Sedangkan dalam pengertian secara luas pasar diartikan sebagai tempat bertemunya penjual yang mempunyai kemampuan untuk menjual barang/jasa dan pembeli yang menggunakan uang untuk membeli barang dengan harga tertentu. Pasar Flamboyan berjarak lebih dari 500 m dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah, letaknya strategis yaitu sudut Jalan Pahlawan, Jalan Veteran dan Jalan Gajah Mada, tidak disekitar pemakaman karena letak pasar flamboyan berada di tengah Kota Pontianak, jauh dari industri besar yang menimbulkan bising dan menghasilkan asap/pencemaran udara. Berada di daerah tinggi dan kering. Sepertinya tata letak lokasi yang cukup strategis karena berada di tengah kota menjadikan Pasar Flamboyan Pontianak lebih dikenal masyarakat Kota Pontianak. Pasar Flamboyan Pontianak terletak tepat di pojok persimpangan Jl. Gajah Mada, Jl. Veteran, Jl. Pahlawan, dan Jl. Budi Karya. Bangunan Pasar Flamboyan kuat dan kokoh, terbuat dari bahan yang tidak mudah runtuh, penggunaan petak-petak (toko) sesuai dengan fungsinya, setiap bangunan terbuat terpisah, bangunan petak dibuat lebih tinggi dari tempat/jalan pengunjung, namun kontruksi bangunan masih ada sudut mati yang memungkinkan tempat berkembangbiaknya serangga dan tikus. Perangkap tikus adalah suatu perangkap hewan yang dirancang terutama untuk menangkap tikus. Perangkap tikus yang biasa di jual di pasar diletakan di dalam ruangan/lokasi
Ismanto, dkk, Rancang Bangun Perangkap Pengendalian... 165
dimana yang dicurigai adanya tikus.Ada berbagai jenis perangkap tikus, masing-masing dengan keuntungan dan kerugiannya sendiri. Adapun perangkap yang akan di buat memiliki beberapa kelebihan yaitu : dapat menangkap tikus lebih dari 1 ekor, memiliki ukuran yang lebih besar dari perangkap tikus yang banyak di jual di pasar, memiliki pintu yang sudah di modifikasi (pintu yang dapat membuka ketika tikus masuk dan secara otomatis menutup kembali saat tikus sudah di dalam perangkap) dan dapat menangkap tikus yang termasuk dalam golongan tikus besar seprti tikus got (Rattus norvegicus) di pasar flamboyan. Keuntungan metode pengendalian tikus dengan menggunakan perangkap bila dibandingkan dengan metode pengendalian secara kimiawi adalah tidak menggunakan bahan-bahan beracun sehingga tidak beresiko terhadap lingkungan sekitar, aman bagi anakanak dan hewan bukan sasaran. Selain itu perangkap juga dapat dengan mudah mengendalikan populasi tikus (Anonim, 2005). Menurut Vantassel (2007) penggunaan perangkap untuk pengendalian tikus direkomendasikan pada lingkungan yang sensitif terhadap bahan – bahan beracun, misalnya sekolah, pasar, permukiman dan rumah sakit. Perangkap dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu : live-trap (perangkap hidup), snap-trap (perangkap yang dapat membunuh tikus), sticky board-trap (perangkap berperekat), dan pit fall-trap (perangkap jatuhan). Saat ini telah banyak alat/perangkap yang beredar di pasar seperti: Havahart live-trap, Single-capture live-trap, Tomahawk live-trap, tetapi perangkap ini kurang efektip untuk menangkap tikus got di pasar flamboyant yang termasuk dalam golongan tikus besar dengan ciri-ciri tikus got adalah sebagai berikut: (1) Ukuran panjang ujung kepala sampai ekor 300400 mm. (2) Ukuran panjang ekor 170-230 mm. (3) Ukuran panjang kaki belakang 42-47 mm. (4) Ukuran telinga 18-22 mm. (4) Rumus mamae 3+3=12. (5) Warna rambut badan atas coklat kelabu. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini bersifat rancang bangun untuk membuat perangkap tikus Got di pasar Flamboyan
Gambar 1. Perangkap I Perangkap I memiliki pintu berbentuk bubu yaitu kawat yang dirangkai meruncing dan menyempit pada bagian ujung pintu. Pintu model ini memungkinkan tikus untuk masuk perangkap dengan cara mendorong rangkaian kawat hingga tikus dapat masuk ke dalam perangkap. Setelah masuk, tikus sulit untuk keluar karena ujung rangkaian kawat menyempit, hal ini menyebabkan tikus tidak dapat keluar dari perangkap. Pintu masuk berukuran 13 cm x 8 cm. Panjang pintu berukuran 13 cm. Pada model perangkap ini, bagian yang meruncing terdapat di dalam perangkap, sehingga bentuk pintu mengerucut ke dalam perangkap.
Gambar 2. Perangkap II Perangkap II memiliki pintu yang menutup ke bawah. Bentuk pintu ini memungkinkan tikus untuk masuk ke dalam perangkap dengan cara mendorong pintu perangkap. Setelah tikus masuk, pintu akan tertutup sehingga tikus tidak dapat keluar dari perangkap, namun tikus lain dapat masuk ke dalam perangkap. Pintu masuk perangkap berukuran 13 cm x 8 cm. Panjang daun pintu masuk perangkap adalah 10 cm, dan di sekitar pintu terdapat pelindung berupa lorong yang berbentuk balok, menutupi pintu, pada bagian atas dan kedua sisi samping pintu. Lorong ini dibuat agar tikus tidak dapat membuka pintu
166 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.163 - 170
masuk untuk keluar dari perangkap. Pemasangan daun pintu harus tepat menyentuh dasar perangkap, sehingga tidak terdapat celah antara daun pintu dengan bagian dasar perangkap. Hal ini dibuat agar tikus tidak mudah untuk membuka pintu masuk lalu keluar dari perangkap melalui celah antara daun pintu dengan bagian dasar perangkap. Selain itu pemasangan lorong pelindung pintu masuk harus menutupi seluruh bagian pintu.
Gambar 3. Perangkap III
Perangkap III memiliki pintu masuk yang membuka kebawah lalu menutup kembali ke atas. Pada dasarnya prinsip pintu masuk pada perangkap III sama dengan perangkap II, hanya berbeda posisi pada saat pintu tertutup. Selain itu, daun pintu masuk perangkap dipastikan harus menyentuh dinding lorong pelindung pintu dengan rapat agat tikus tidak dapat membuka pintu untuk keluar dari perangkap. Pada bagian ujung daun pintu yang berada di luar perangkap diberi pemberat agar pintu dapat menutup kembali setelah tikus masuk ke dalam perangkap. Pemberat yang dipasang tidak boleh terlalu berat karena dapat menghambat masuknya tikus ke dalam perangkap, sehinggga mempengaruhi keberhasilan pemerangkapan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus got yang ada di pasar Flamboyan Pontianak.Besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan rumus di bawah ini (Hanafiah, 2005).
Dimana r = jumlah pengulangan t = jumlah perlakuan Jumlah perlakuan terhadap objek penelitian sebanyak 3 jenis pintu yang berbeda dan 1 jenis loksi sehingga jumlah pengulangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (t-1) (r-1) ≥ 15
(4-1) (r-1) (3) (r-1)≥ 15 3r – 2 3r r r
≥ 15 ≥ 15 ≥ 17 ≥
≥ 5, 4atau dibulatkan 5
Berdasarkan perhitungan rumus di atas, yaitu dengan menggunakan 4 perlakuan maka hasil r = 5,4 dan dibulatkan menjadi 5. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini akan dilakukan 5 kali pengulangan untuk mengetahui efektifitas pada setiap perangkap yang peneliti buat untuk menangkap tikus got yang ada di pasar Falmboyan Kota Pontianak. Sebelum digunakan, lokasi dilakukan pengecekan lokasi terlebih dahulu. Setelah lokasi pengujian dianggap siap digunakan, maka perangkap diletakkan pada titik yang telah di tentukan. Pembuatan perangkap dilakukan dengan disain perangkap berbentuk balok dengan ukuran 70 cm x 30 cm x 20 cm (panjang x lebar x tinggi). Perangkap dibuat dengan membuat kerangka perangkap berukuran 20 cm x 30 cm sebanyak 3 kerangka per perangkap, yang dibuat dengan menggunakan kawat berdiameter 3 mm. Kerangka dipasang pada bagian depan, tengah, dan belakang. Setelah itu dibungkus dengan menggunakan ram kawat ukuran 1 cm x 1cm, sehinggga setelah dirakit akan berbentuk balok dengan ukuran 70 cm x 30 cm x 20 cm yang merupakan disain perangkap. Pintu masuk dibuat seperti lorong untuk memudahkan tikus menemukan pintu masuk. Selanjutnya dilakukan modifikasipintu masuk perangkap. Perangkap di pasang dengan posisi pintu menghadap jalan lewatnya tikus. Untukmenghindari aktivitas manusia maka perangkap dipasang mulaipukul 18.00 WIB kemudian diamatikeesokan paginya pada pukul04.30-05.30 WIB. Menganalisis perangkap yang paling efektif untuk menangkap tikus got di pasar. Data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan program komputer. Selanjutnya data yang telah diolah disajikan dalam bentuk deskripsi berupa tabel dan narasi. Tabel yang ditampilkan agar mudah dibaca dan dipahami. HASIL
Ismanto, dkk, Rancang Bangun Perangkap Pengendalian... 167
Beberapa perangkap Mendapat hasil 0 (nol) atau tidak berhasil menangkap tikus got, dikarenakan beberapa faktor seperti pencucian peragkap yang masih kurang bersih sehingga masih meninggalkan bau urine dan feses sebagai penanda keberadaan tikus got, bau cat tidak bewarna mengganggu penciuman tikus sehingga tikus tidak suka mendekati perangkap dan pada hari di mana perangkap tidak berhasil menangkap tikus sumber pangan di lingkungan sekitar titik-titik peletakan perangkap lebih menarik perhatian tikus got di bandingkan dengan ikan asin yang di gunakan sebangai umpan perangkap tikus got, menyebabkan tikus got lebih memilih pangan di sekitar ttik-titk peletakan perangkap. Tabel 1. Hasil Penelitian Perangkap I No
Jenis Lokasi H-1 Perangkap
Pasar Ikan Pasar 2 Perangkap I Sayur Sumber: data primer 2016 1
Perangkap I
H-2
H-3
H-4
H-5 Jmlh
1
0
0
2
1
4
0
0
3
0
1
4
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa perangkap I di lokasi pasar ikan dan pasar sayur masing-masing menangkap tikus sebanyak 4 ekor. Tabel 2. Hasil Penelitian Perangkap II No
Jenis Lokasi H-1 Perangkap
Pasar 0 Ikan Pasar 1 2 Perangkap II Sayur Sumber: data primer 2016 1 Perangkap II
H-2
H-3
2
0
1
0
3
0
2
1
0
4
Tabel 3. Hasil Penelitian Perangkap III Jenis Lokasi H-1 Perangkap
Perangkap Pasar III Ikan Perangkap Pasar 2 III Sayur Sumber: data primer 2016 1
2
Perangkap II
3
4
3
Perangkap III
2
3
Jumlah
9
11
Sumber: data primer 2016
Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa perangkap I di lokasi pasar ikan lebih banyak menangkap tikus, yaitu sebanyak 4 ekor tikus got di bandingkan dengan perangkap II ( 3 ekor) dan perangkap III ( 2 ekor ). Sedangkan di lokasi pasar sayur, perangkap I dan II berhasil menangkap tikus got dengan jumlah yang sama, yaitu 4 ekor tikus got dan perangkap II berhasil menangkap 3 ekor tikus got. Berdasarkan jumlah keseluruhan tikus yang berhasil di tangkap, bahwa lokasi pasar sayur menangkap tikus dengan jumlah lebih banyak ( 11 ekor tikus got ) di bandingkap lokasi pasar ikan ( 9 ekor tikus got ). PEMBAHASAN Analisa Perangkap Tikus Got (Rattus Norvegicus) di Pasar Flamboyan Kota Pontianak
H-4 H-5 Jmlh
erdasarkan tabel 2, diketahui bahwa perangkap II di lokasi pasar sayur lebih banyak menangkap tikus, yaitu sebanyak 4 ekor.
No
Tabel 4. Rekapitulasi Perangkap di Pasar Ikan dan Pasar Sayur Pasar Pasar No Tipe Perangkap Ikan Sayur Perangkap I 4 4 1
H-2
H-3
H-4 H-5 Jmlh
0
1
0
0
1
2
1
0
1
0
1
3
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa perangkap III di lokasi pasar sayur lebih banyak menangkap tikus, yaitu sebanyak 3 ekor.
Besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan rumus di bawah ini (Hanafiah, 2005). Dimana r = jumlah pengulangan t= jumlah perlakuan Jumlah perlakuan terhadap objek penelitian sebanyak 3 jenis pintu yang berbeda dan 1 jenis loksi sehingga jumlah pengulangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (t-1) (r-1) ≥ 15 (4-1) (r-1) ≥ 15 (3) (r-1) ≥ 15 3r – 2 ≥ 15 3r ≥ 17 r ≥ r
≥ 5,4 atau dibulatkan 5
Berdasarkan perhitungan rumus di atas, yaitu dengan menggunakan 4 perlakuan maka
168 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.163 - 170
hasil r = 5,4 dan dibulatkan menjadi 5. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini dilakukan 5 kali pengulangan untuk mengetahui efektifitas pada setiap perangkap yang peneliti buat untuk menangkap tikus got yang ada di pasar Falmboyan Kota Pontianak. Perangkap I, berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa perangkap I di lokasi pasar ikan dan pasar sayur masing-masing menangkap tikus sebanyak 4 ekor tikus got. Perangkap I lebih banyak di sukai tikus got karena bentuk pintu yang membentuk atau mnyerupai lorong membuat tikus mudah untuk menemukan pintu masuk. Tikus got yang sudah masuk tidak akan bisa keluar lagi karena pada bagian ujung pintu masuk di buat meruncing menggunakan kawat yang elastis atau akan kembali ke bentuk awal, saat tikus sudah masuk ke dalam perangkap dan tikus lain dapat masuk ke dalam perangkap. Perangkap II, berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa perangkap II di lokasi pasar sayur berhasil menangkap tikus, yaitu sebanyak 4 ekor tikus got dan di pasar ikan berhasil menangkap tikus sebanyak 3 ekor tikus got. Perangkap II mendapat jumlah tikus yang tidak jauh berbeda dari perangkap I karena memiliki pintu yang hampir sama pada posisi dinding depan pintu yang membentuk setengah lingkaran sehingga memudahkan tikus untuk menemukan perangkap. Pintu perangkap II memiliki pintu yang masuknya dengan cara mendorong daun pintu untuk masuk ke dalam perangkap dan daun pintu di buat semudah mungkin untuk tikus masuk meskipun dengan cara mendorong pintu untuk masuk, tetapi membuat tikus kurang tertarik untuk masuk karna model pintu yang tertutup atau masuk dengan cara mendorong pintu. Perangkap III, berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa perangkap III di lokasi pasar sayur berhasil menangkap tikus, yaitu sebanyak 3 ekor tikus got dan di pasar ikan berhasil menangkap tikus sebanyak 2 ekor tikus got. Perangkap III mendapat jumlah tikus yang paling sedikit di bandingkan dengan perangkap I dan II, karena tikus kesulitan untuk menemuka puintu masuk. Perangkap III memiliki pintu masuk yang tikus memanjat lantai atau berjalan di lantai yang sengaja dibuat, karena pintu yang cara kerjanya pintu akan terbuka kebawah saat tikus menginjak daun pintu, dan akan tertutup kembali ke atas saat tikus sudah di dalam perangkap, karena adanya beban pada bagian ujung luar pintu
sehingga tikus tidak akan bisa keluar lagi dari perangkap. Analisa Lokasi Penempatan Perangkap Tikus Got (Rattus norvegicus) di Pasar Flamboyan Kota Pontianak Perangkap yang di pasang ada 6 perangkap di 2 lokasi yaitu di pasar sayur dan pasar ikan (3 perangkap di pasar sayur dengan jenis pintu yang berbeda dan 3 perangkap di pasar ikan dengan jenis pintu yang berbeda). Pemasangan perangkap di lokasi pasar ikan di letakkan di bawah meja tempat penyimpanan bak ikan, karena adanya tandatanda keberadaan tikus seperti lubang bekas gigitan tikus, kotoran tikus dan bulu tikus, dan di letakkan di bawah meja penjualan makanan karena adanya kotoran tikus dan bekas gigitan tikus pada meja tersebut. Pemasangan perangkap pada lokasi pasar sayur diletakkan di depan meja atau lemari penyimpanan sayuran, karena di tempat tersebut di temukan jalan tikus, bekas gigitan tikus dan kotoran tikus, dan di letakkan juga di dekat bak yang terbuat dari steropom dibawah meja penjualan sayuran yang terdapat lubang gigitan tikus. Lokasi peletakan perangkap mempengaruhi tingkat keberhasilan penangkapan tikus, seperti jumlah tikus pada pasar sayur lebih banyak (11 ekor), di bandingkan jumlah tikus yang tertangkap di pasar ikan (9 ekor), karena bau pada pasar ikan lebih menyengat dari pada bau ikan asin yang di gunakan sebagai umpan. Sedangkan di pasar sayur bau ikan asin yang di gunakan sebagai umpan untuk menarik perhatian tikus got tidak kalah menyengat di bandingkan bau pakan yang terdapat di sekitar pasar sayur. Perangkap I mampu menangkap tikus lebih banyak di banding perangkap II & III, karena bentuk pintu yang membentuk lorong agar mudah dan lebih di sukai tikus got. Sebelum melakukan pengulangan pemasangan perangkap, perangkap dicuci dengan menggunakan air panas dan melakukan penyemprotan dengan cat tidak bewarna hal ini di lakukan untuk menghilangkan tanda-tanda keberadaan maupun bau dari tikus sebelumnya yang pernah terperangkap, hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan berikutnya. Sebagian besar tikus yang tertangkap pada pengujian ini adalah 3 ekor tikus dalam sekali pemasangan perangkap, meskipun ada juga dalam 5 kali pengulangan
Ismanto, dkk, Rancang Bangun Perangkap Pengendalian... 169
ke tiga perangkap tidak mendapat tikus sama sekali dalam 1 hari, seperti pada hari ke-3 di lokasi pasar ikan dan hari ke-2 di pasar sayur,ini disebabka karena pada hari di mana perangkap tidak berhasil menangkap tikus sumber pangan di lingkungan sekitar titik-titik peletakan perangkap lebih menarik perhatian tikus got di bandingkan dengan ikan asin yang di gunakan sebangai umpan perangkap tikus got, menyebabkan tikus got lebih memilih pangan di sekitar ttik-titk peletakan perangkap, untuk mengurangi resiko seperi ini maka kita harus meletakkan perangkap di dekat tandatanda keberadaan tikus dengan pintu menghadap sejajar kejalan yang sering di lalui tikus untuk mencari makan di sekitar lokasi. Analisa Jumlah Tikus Got (Rattus Norvegicus) yang Tertangkap di Pasar Flamboyan Kota Pontianak Jumlah keseluruhan tikus yang tertangkap di pasar flamboyan pada dua lokasi, yaitu di pasar sayur dan pasar ikan adalah 20 ekor tikus got, 11 ekor tikus got di pasar sayur dan 9 ekor tikus got di pasar ikan. Pasar ikan mendapat jumlah tikus lebih sedikit di bandingkan dengan pasar sayur karena, di pasar ikan bau dari sisa-sisa ikan sangat menyengat sehingga ikan asin yang di gunakan sebagai umpan kalah menarik dengan pangan yang ada di skitar lokasi pasar ikan. Bebrapa perangkap Mendapat hasil 0 (nol) atau tidak berhasil menangkap tikus got, dikarenakan beberapa faktor seperti pencucian peragkap yang masih kurang bersih sehingga masih meninggalkan bau urine dan feses sebagai penanda keberadaan tikus got, bau cat tidak bewarna mengganggu penciuman tikus sehingga tikus tidak suka mendekati perangkap dan pada hari di mana perangkap tidak berhasil menangkap tikus sumber pangan di lingkungan sekitar titik-titik peletakan perangkap lebih menarik perhatian tikus got di bandingkan dengan ikan asin yang di gunakan sebangai umpan perangkap tikus got, menyebabkan tikus got lebih memilih pangan di sekitar ttik-titk peletakan perangkap. Jumlah tikus yang di dapat menggunakan perangkap I, yaitu 8 ekor tikus got, perangkap II, yaitu 7 ekor tikus got dan perangkap III, yaitu 5 ekor tikus got. Berdasarkan jumlah tikus yang di dapat maka perangkap yang lebih banyak di dapat adalah perangkap I, dengan
jumlah tikus yang di dapat sebanyak 8 ekor tikus got. Perangkap I adalah perangkap yang mendapat tikus got sebanyak 8 ekor, masingmasing 4 ekor di dua lokasi yang berbeda yaitu pasar sayur dan pasar ikan. Perangkap I memiliki pintu berbentuk bubu, pintunya menyerupai lorong sehingga mudah untuk tikus got menemukan pintu dibandingkan pintu pada perangkap II & III. Perangkap II memiliki pintu yang membuka ke atas saat tikus masuk k dalam dengan cara mendorong pintu, lalu akan menutup kembali saat tikus sudah di dalam perangkap. Perangkap II tidak jauh berbeda jumlah tikus yang di dapat di badingkan dengan perangkap I. Perangkap II mendapat tikus got sebanyak 7 ekor tikus got, perangkap II memiliki pintu di buat agak masuk ke dalam membentuk seperti setengah lingkaran, untuk mempermudahkan tikus menemukan pintu masuk perangkap tetapi tidak seperti perangkap I yang membentuk lorong yang membuat tikus dengan mudahnya menemukan pintu masuk. Perangkap II tidak jauh berbeda jumlah tikus yang di dapat di badingkan dengan perangkap I Perangkap III adalah perangkap yang paling sedikit menangkap tikus got, yaitu 5 ekor tikus got di dua lokasi. Perangkap III memiliki pintu yang membuka ke bawah dengan cara menaiki daun pintu masuk, dan akan tertutup kembali ke atas saat tikus sudah di dalam perangkap. Perangkap III ini mengharuskan tikus untuk memanjat atau menaiki tangga yang di sediakan untuk dapat menemukan pintu masuk ke dalam perangkap, yang membuat tikus ke sulitan untuk menemukan pintu perangkap. Posisi peletakan perangkap terhadap tempat persembunyian tikus sangat berpengaruh terhadap hasil penangkapan, karena peletakan yang tidak sesuai dengan keberadaan tikus, akan sulit untuk mendapatkan tikus atau mengurangi jumlah tikus yang akan tertangkap. SIMPULAN Rancang bangun perangkap tikus got telah dibuat 3 tipe perangkap dengan jenis pintu masuk yang berbeda dan peletakan yang sesuai. Hasil rancangan bangun perangkap didapatkan 3 tipe perangkap yang terdiri dari: perangkap I memiliki pintu berbentuk bubu, perangkap II pintu menutup kebawah, perangkap III pintu menutup keatas. Perangkap
170 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.163 - 170
I, II dan III berhasil digunakan untuk menangkap tikus got di pasar flamboyan, dilihat dari jumlah tikus yang tertangkap. Titik-titk lokasi perangkap diletakkan pada titik yang mempunyai tanda-tanda keberadaan tikus got seperti, bekas gigitan tikus, jalan tikus, kotoran tikus dan posisi peletakan perangkap pintu menghadap jalan tikus untuk keberhasilan penangkapan tikus.
Tikus yang tertangkap pada perangkap I sebanyak 8 ekor tikus got, perangkap II sebanyak 7 ekor tikus got dan perangkap III sebanyak 5 ekor tikus got. Penelitian selanjutnya disarankan untuk membuat jenis pintu masuk tikus lain yang lebih menarik dan mudah untuk ditemukan tikus dan di masuki tikus.
DAFTAR PUSTAKA Abdi. 2014. Tikus got (rattus norvegicus). Diunduh dari: http://abdinstr.blogspot.co. id/2014/06/rattus-norvegicus.html Andriani, D.S. 2005. Ketertarikan tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. &Klo.), tikus rumah (Rattus rattus diardii Linn.) dan wirok kecil (Bandicotabengalensis Gray & Hardwicke) terhadap beberapa jenis perangkap. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor .
Armstrong, J.B. 2003. Controlling rats and mice around your home. ANR-688. Diunduh dari:http://www.aces.edu. Vantassel, S.M.; Hygnstron, S.E.; Feraro, D.M. 2007. Controlling Rats. NebGuideG1737. Diunduh dari: http://extension.unl.edu /publications
ANALISIS FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU JURU PARKIR DI JALAN TANJUNG PURA PONTIANAK Ardiles Tirtana, Sunarsieh dan Paulina Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak. Penelitian menggunakan penelitian analitik observasif dengan pendekatan Cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan dibuat dalam bentuk tabel distribusi dari variabel penelitian dengan menggunakan Chi-Square. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengobservasi dan mewawancarai juru parkir dengan kuisoner. Hasil penelitian kadar debu terhirup p=0,031 dapat disimpulkan ada hubungan, masa kerja p=0,431sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan, kebiasaan merokok p=0,045 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan, lama kerja p=0,015, penggunaan APD p=1,000 menadapakan tidak ada hubungan yang signifikan. Kesimpulan yang didapat ialah bahwa, kadar debu terhirup, kebiasaan merokok, dan lama kerja memiliki hubungan dengan gangguan fungsi paru, sedangakan masa kerja dan penggunaan APD tidak memiliki hubungan dengan gangguan fungsi paru. Kata Kunci : Gangguan Fungsi Paru, Juru Parkir, Faktor Risiko Abstract: The Analyze of Risk Factors Related with Impaired Lung Function on Street Parking Attendants Tanjung Pura Pontianak. The research using analytical research with cross sectional observasif. This research is the relationship between independent variables and the dependent variable is made in the distribution table of the variables using the Chi-Square. The research was done by observing and parking attendants interviewed by questionnaire. The results of the study of respirable dust levels p = 0.031 can be concluded there is a correlation, working period p = 0,431 can be concluded that there is no significant relationship, smoking p = 0.045 can be concluded that there is a significant relationship, job long p = 0.015, p PPE use = 1.000 can be concluded there was no significant relationship. The conclusion is, respirable dust levels, smoking habits, and working period that the relationship with impaired lung function, while the tenure and use of PPE does not have a relationship with gangguan lung function. Keywords: Impaired Lung Function, Parking Attendants, Riks Factors
Udara merupakan komponen lingkungan yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Energi yang diperlukan manusia untuk melaksanakan semua aktifitas diperoleh dari pembakaran zat makanan dengan menggunakan oksigen. Oksigen didapat dari pernafasan. Udara juga merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat- pusat industri, kualitas udara telah
mengalami perubahan. Udara yang dulunya segar, kini kering dan kotor (Soedomo, 2001) Udara dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahan terhadap komposisi terutama terjadi perubahan gas lain yang menimbulkan gangguan. Pencemaran udara dapat bersumber dari beberapa gas sulfur dioksida, hydrogen, sulfida dan karbon monoksida yang selalu bebas di udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, 171
172 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.171 - 177
pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padatan atau cair berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainya. Pencemaran udara dapat juga disebakan oleh aktivitas manusia (Prayudi, 2001) ILO (International Labour Organization) pada 2013, memperkirakan 2,34 juta orang meninggal setiap tahun dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Mayoritas terbesar diperkirakan 2,02 juta meninggal dari berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang terkena paparan gas, uap dan debu bisa dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Dilihat dari sumbernya, pencemaran udara terbesar berasal dari asap buangan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal, 70,50% Karbon Monoksida, 8,89% Oksidan Nitrogen, 18,34% Hidrokarbon, serta 1,33% partikel. Berbagai pencemaran udara tersebut akan memberikan efek yang sangat buruk terutama terhadap sisten pernafasan (Pratama, 2014). Emisi gas kendaraan bermotor terdapat banyak substansi pencemaran, antara lain gas karbonmonoksia (CO). Sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) (Rose, 2014). Gangguan yang yang lazim akibat emisi kendaraan bermotor adalah gangguan saluran pernafasan, sakit kepala, iritasi mata, mendorong terjadinya serangan jantung asma, ispa, gangguan fungsi paru dan penyakit jantung, seseorang yang dalam pekerjaanya selalu terpapar oleh substasi tertentu seperti karbonmonoksida, timbal, sulfur dioksida dan nitrogen diaoksida maka substansi tersebut akan masuk melalui hidung dan atau rongga mulut yang selanjutnya dapat mengendap di paru sehingga dapat mengakibatkan perubahan fungsi paru-paru terutama rasa sesak nafas (Mahardika 2012). Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kendaraan bermotor terbanyak. Meningkatnya jumlah kendaraan maka sangat di perlukan lahan parkir untuk menyimpan kendaraan bermotor, lahan parkir tersebut dikelola oleh juru parkir. Juru parkir adalah orang yang mengatur, memperbaiki posisi kendaran maupun mobil, motor bahkan sepeda sekali pun. Juru parkir merupakan pekerja yang memiliki risiko terpapar debu baik dari jalan maupun dari kendaraan. Juru parkir yang tepat berada di pinggir jalan raya dapat tercemar polusi udara dan gas
buang kendaraan bermotor seperti CO, NO, HO dan uap bensin. Namun pada dasarnya nilai gangguan fungsi paru seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi paparan debu yang diterima saja, hal itu juga dipengaruhi oleh karakteristik, yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, alat pelindung diri, jenis kelamin, status gizi, masa kerja, riwayat merokok dan riwayat penyakit (Sirait, 2010). Guna meminimalisir paparan seharusnya juru parkir menggunakan APD (alat pelindung diri) seperti masker. Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia perlu mendapatkan perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya. Risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas dan lainya yang terjadi paparan yang dapat mengganggu produktivitas dan kesehatan pekerja. (Suma’mur, 2009). Fungsi paru adalah proses pespirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Menurut Yulaekah (2007) pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (hung growth). Mulai pada fase anak sampai kira-kira umur 2224 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru paru menetap (stasioner) kemudian menurun secara gradhial (pelan-pelan), biasanya 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (KVS = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20ml tiap pertambahan satu tahun umur individu. Penyakit yang disebabkan oleh gangguan fungsi paru memiliki tanda yang mirip dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh polutan di tempat kerja. Penegakkan diagnosis perlu dilakukan dengan tepat karena penyakit biasanya penyakit gangguan fungsi paru, baru timbul setelah paparan debu dalam waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, pemeriksaan faal paru sebagai sarana membantu diagnosis dini penyakit gangguan fungsi paru tidak dapat ditinggalkan.
Ardiles, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 173
Risiko yang di hadapi oleh juru parkir ialah terpapar polutan yang dihasilkan oleh jalan maupun kendaraan bermotor antar lain HC,CO,SO polutan tersebut mengakibatkan sesak nafas, batuk berdarah dan lain-lain selain namun masalah tersbut apat di minimalisir dengan menggunakan APD seperti masker dan selalu memeriksakan diri ke dokter. Menurut (Yuantari 2009) penyakit pernafasan memiliki kaitan dengan juru parkir yang sering terpapar debu dan polutan dari kendaraan. Berdasarkan hasil observasi peneliti, 4 dari 10 orang juru parkir di Jalan Tanjungpura Kota Pontianak sering mengalami batuk-batuk sementara 6 lainya sering mengalami sesak nafas. Rentang usia juru parkir yang bekerja di Jalan Tanjung Pura berumur 28 - 40 tahun lama kerja juru parkir berkerja ialah dari pukul 06.00 wib - 18.00 wib 12 jam bekerja. Hasil observasi keseluruhan juru parkir adalah perokok aktif. Berdasarkan data yang diperoleh dari BLH kota Pontianak kualitas udara di kota Pontianak seluruhnya baik, namun terdapat beberapa penurunan drastis dari kategori baik menjadi sangat tidak sehat, terdapat pada Oktober 2015 menunjukan kualitas udara yang sangat tidak sehat, pada Maret dan Juli kualitas kualitas udara sedang, selebihnya kualitas udara kota Pontianak baik.
dilakukan di Jalan Tanjung Pura Pontianak. Populasi dalam penelitian ini adalah semua juru parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak, yaitu sebanyak 42 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah total sample populasi.
METODE PENELITIAN
Pengukuran kapasitas paru 1) Alat: (a) Spirometer. (b) Mouth piece. 2) Persiapan subjek atau sampel pekerja: (a) Tidak merokok selama 2 jam terakhir. (b) Tidak makan terlalu kenyang. (c) Pakaian yang dikenakan tidak ketat. (d) Mengukur tinggi badan dan berat badan. (e) Tidak mengonsumsi obat-obatan minimal 8 jam. (f) Mengikuti prosedur tidak boleh bernapas lewat hidung. (g) Ekspirasi harus maksimal atau tidak boleh raguragu. (h) Tidak boleh meniup lebih dari 1 kali. 3) Cara kerja spirometer: (a) Nyalakan alat terlebih dahulu dengan memencet tombol ON. Masukkan data seperti umur, jenis kelamin, TB, BB. (b) Kemudian masukkan mouthpiece yang ada dalam alat spirometri ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung dengan penjepit hidung. (c) Untuk mengatur pernapasan, bernapaslah terlebih dahulu dengan tenang sebelum melakukan pemeriksaan. (d) Tekan tombol start jika sudah siap untuk memulai pengukuran. (e) Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk ekspirasi maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan dengan benar maka akan keluar
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah risiko yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada juru parkir (kadar debu terhirup, masa Kerja, kebiasaan merokok, jam kerja, penggunaan APD). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah gangguan fungsi paru. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah musim, kecepatan angin, arah angin, kelembaban dan waktu pengukuran. Penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian survei (survey research method) merupakan suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subyek penelitian atau non eksperimental. Penelitian survei yang bersifat analitik yang bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan rancangan survei potong silang (cross sectional), yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor risiko dengan efek (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini dilaksanakan pada juli sampai agustus 2016 dan penelitian ini
Prosedur Kerja: Pengukuran debu terhirup 1) Alat: (a) Personal Dust Sampler (PDS). (b) Kertas filter. (c) Timbangan analitik. 2) Cara kerja: (a) Mengambil kertas filter dengan pinset, kemudian memasukkan ke dalam timbangan analitik. (b) Melihat pada display berapa berat filter awal atau disebut filter kosong kemudian mencatatnya. (c) Mengambil filter tersebut dari timbangan analitik kemudian memasukkannya ke Dexicator. (d) PDS di on kan dengan flow meter berada pada posisi 2 liter/menit. (e) Memasang holder pada krah baju juru parkir, kemudian menunggu sampasi 30 menit. (f) Mematikan PDS setelah batas waktu telah selesai. (g) Mengambil filter dengan pinset, kemudian menimbangnya pada timbangan analitik kembali. (h) Melihat pada Display berapa berat filter setelah proses pengukuran. (i) Menghitung selisih antara berat filter sesudah dengan sebelum pengukuran debu pada juru parkir di Jalan Tanjung Pura (SNI No. 190232-2005)
174 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.171 - 177
data dan kurva pada layar monitor spirometer. (f) Kemudian ulangi pengukuran dengan melanjutkan inspirasi dalam dan ekspirasi maksimal. (g) Setelah selesai lepaskan mouthpiece, periksa data dan kurva kemudian dilanjutkan dengan mencetak hasil rekaman (tekan tombol print pada alat spirometer) (Kurniawan, 2007). Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui kecendrungan atau hubungan antara variabel yang diteliti dengan cara analisis univariat dan analisis bivariat.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Merokok Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016 No
Kebiasaan Merokok
Jumlah
Persentase
1
Merokok
25
59,5
2
Tidak Merokok
17
40,5
42
100
Total Sumber: Data Primer Tahun 2015
HASIL
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagaian besar responden juru parkir di Jalan Tanjung Pura merokok. yaitu sebesar 59,5% dari 42 responden.
Kadar Debu Terhirup
Lama Kerja
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kadar Debu Terhirup Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Lama Kerja Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016
No 1 2
Kadar Debu Terhirup ≥ 0,15mg/Nm3 < 0,15mg/Nm3 Total
Jumlah
Persentase
No
30 12 42
71,4 28,6 100
1 2
Lama Kerja
Jumlah
Persentase
19 23 42
45,2 54,8 100
> 8 jam ≤ 8 jam Jumlah
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden juru parkir di Jalan Tanjung Pura memiliki kadar debu terhirup sebesar ≥ 0,15mg/Nm3, yaitu sebesar 71,4% dari 42 responden.
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa sebagaian besar responden juru parkir di Jalan Tanjung Pura bekerja selama ≤ 8 jam sehari, yaitu sebesar 54,8% dari 42 responden Penggunaan APD
Masa Kerja Tabel 2. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Penggunaan APD Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016 No
No
Masa Kerja
Jumlah
Persentase
1
≥ 5 tahun
18
42,9
1
2
< 5 tahun
24
57,1
2
42
100
Total
Penggunaan APD
Jumlah
Persentase
Tidak baik Baik
37
88,1
5
11,6
Total
42
100
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 2 distribusi frekuensi masa kerja di atas, menunjukkan bahwa sebagaian besar responden juru parkir di Jalan Tanjungpura telah bekerja selama ≤ 5 tahun, yaitu sebesar 57,1% dari 42 responden.
Berdasarkan tabel 5 diperoleh bahwa sebagaian besar responden juru parkir di Jalan Tanjung Pura menggunakan APD tidak baik, yaitu sebesar 88,1% dari 42 responden. Gangguan Fungsi Paru
Merokok
Ardiles, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 175
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Fungsi Paru Juru Parkir di Jalan Tanjung Pura Pontianak 2016 No
Gangguan Fungsi Paru
Jumlah
Persentase
1
Ada gangguan
34
81
8 42
19 100
2
Normal Total
Sumber: Data Primer Tahun 2016
Berdasarkan tabel 6 diperoleh bahwa sebagaian besar responden juru parkir di Jalan Tanjung Pura ada gangguan, yaitu sebesar 81% dari 42 responden. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan p value yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru adalah kadar debu terhirup (p value= 0,031), kebiasaan merokok (p-value= 0,045) dan lama kerja (p value= 0,015). Nilai OR yang paling tinggi adalah variabel kadar debu terhirup. PEMBAHASAN Hubungan antara Kadar Debu Terhirup dengan Gangguan Fungsi Paru Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p=0,031 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar debu yang terhirup dengan kejadian gangguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=6,429 (95% CI: 1,228-33,649) sehingga dapat dinyatakan bahwa kadar debu terhirup di atas NAB berisiko 6,429 kali lebih besar sebagai penyebab gangguan fungsi paru dibandingkan dengan di bawah NAB. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2014) tentang faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada operator SPBU, penelitian ini dilkukan pada 42 sampel pada juru parkir di Jalan Tanjungpura dengan menggunakan alat PDS (Personal Dust Sampler), keterbatasan penelitian yang dilakukan ialah waktu pengukuran kadar debu hanya 30 menit sehingga PDS (Personal Dust Sampler) tidak terlalu efektif menyedot debu. Menurut Yuantari (2009) penyakit pernafasan memiliki kaitan dengan juru parkir yang sering terpapar debu dan polutan dari kendaraan sehingga
menurunkan fungsi paru, Penurunan fungsi paru diakibatkan berbagai peristiwa patofisiologis. Inhalasi bahan-bahan yang mengiritasi bronkus dan bronkiolus dapat menyebabkan kekacauan mekanisme pertahanan saluran pernafasan normal sehingga terjadi kelumpuhan sillia pernapasan dan terjadi sekresi mucus yang berlebihan. Hal tersebut selanjutnya diperparah dengan terjadinya oedema dan peradangan pada epitel bronkiolus. Selanjutnya terjadi obstruksi pada saluran pernafasan yang menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran pernafasan. Adanya Infeksi dan obstruksi ini dapat menyebabkan destruksi alveoli paru. Obstruksi dan destruksi ini tentunya sangat mempengaruhi kapasitas dan volume paru (Nurbiantara, 2010). Upaya untuk mengurangi paparan debu dan polusi sebaiknya juru parkir menggunakan masker yang sesuai standar yakni menutupi hidung dan mulut yang terbuat dari bahan kain yang bisa d bersihakan apabila kotor dan bisa di gunkan kembali. Hubungan antara Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan nilai p=0,431 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja responden dengan gangguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Analisis hubungan antara variabel didapat OR=2,667 (95% CI: 0,470-15,136). Hal tersebut bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh Suma’mur (2014) menyatakan bahwa masa kerja menentukan lama paparan seseorang terhadap faktor risiko. Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar terkena penyakit paru. Hal ini menujukkan bahwa semakin lama kerja seseorang akan semakin lama pula waktu terjadi paparan terhadap tersebut. Meskipun tidak ada hubungan selalu ada risiko dalam sebuah pekerjaan menurut Khumaidah (2009) dengan nilai p=0,002 menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (>5 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit gangguan paru menahun. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran
176 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.171 - 177
pernafasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun.
Hubungan Penggunaan Gangguan Fungsi Paru
Hubungan Kebiasaan Gangguan Fungsi Paru
Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p=0,573 atau dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan gangguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Hal tersebut tidak sejalan menurut Khumaidah (2009) bahwa ada hubungan antara penggunaan APD masker dengan gangguan fungsi paru. Meskipun bertentangan dan tidak memiliki hubungan menurut Suma’mur (1992) APD (alat pelindung diri) adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya. Upaya yang harus dilakukan ialah dengan melakukan penyuluhan tentang pentingnya menggunkan APD, cara menggunkan dengan baik dan benar, selain itu adanya kerja sama antara dinas Kesehatan dan dinas perhubungan bekerja sama membuat program kesehatan bagi juru parkir, sehingga meningkatkan kesejahteraan juru parkir.
Merokok
dengan
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,045 sehingga dapat dimabil kesimpulan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Analisis hubungan antara variabel cohort gangguan fungsi paru normal=6,723 (95% CI: 1025-35,429). Artinya pekerja yang merokok berisiko 6,723 kali lebih besar sebagai penyebab gangguan fungsi paru dibandingkan dengan pekerja yang tidak merokok. Dalam penelitian ini mayoritas responden adalah perokok aktif dan diantaranya perokok pasif hal tersebut menjadi salah satu faktor gannguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Dampak merokok terhadap kesehatan paru-paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar (hipertropi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hyperplasia). Pada saluran nafas kecil terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Upaya yang dilakuakn dalam mengurangi masalah ini ialah, kurangi merokok secara bertahap dan konsisten Hubungan Lama Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru Hasil statistik chi square diperoleh nilai p=0,015 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dengan gangguan fungsi paru pada juru parkir di Jalan Tanjungpura. Hal ini sejalan dengan dengan teori Suma’mur (2014) yang menyatakan bahwa semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Mayoritas responden bekerja >8 jam sehingga memungkinkan lama kerja mempengaruhi gangguan fungsi paru. Upaya uang dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut ialah, bekerja minimal 8-6 jam sehari dan lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
APD
dengan
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Kadar debu terhirup yang dialami juru parkir di Jl.Tanjung Pura Pontianak yang ≥ 0,15mg/Nm3 sebesar 71,4% dan yang < 0,15mg/Nm3 sebesar 28,6%. Masa kerja yang dialami juru parkir di Jl. Tanjung Pura Pontianak diantaranya yang lama sebesar 42,9 % diikuti yang baru 57,1%. Kebiasaan merokok yang dialami juru parkir di Jl.Tanjung Pura Pontianak diantaranya yang merokok sebesar 59,5% diikuti tidak merokok 40,5%. Jam kerja yang dialami juru parkir di Jl. Tanjung Pura Pontianak diantaranya yang tidak memenuhi syarat 45,2% diikuti yang memenuhi syarat 54,8%. Penggunaan APD (alat pelindung diri) yang dialami juru parkir di Jl. Tanjung Pura Pontianak diantaranya yang tidak menggunakan 90,5 % diikuti yang menggunakan APD 9,5%. Gangguan fungsi paru yang dialami juru parkir di Jl. Tanjung Pura Pontianak diantaranya yang tidak normal 81% diikuti yang normal 19%.
Ardiles, dkk, Analisis Faktor Risiko yang... 177
Ada hubungan antara kadar debu dengan gangguan fungsi paru p value sebesar 0,031 dan (OR) = 6,429 Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan fungsi paru dengan p value sebesar 0,431 dan nilai (OR) = 2,667 Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi paru dengan p value sebesar 0,045 dan nilai (OR) = 6,273. Ada hubungan antara jam kerja dengan gangguan fungsi paru dengan p value sebesar 0,015 dan nilai (OR) = 0,078.
Tidak ada hubungan antara pengunaan APD (alat pelindung diri) dengan gangguan fungsi paru dengan p value sebesar 0,572 dan nilai (OR)= 2,667. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan saran antara lain: Bagi juru parkir diharapkan selalu menjaga kesehatan dengan tidak merokok. Selalu melakukan pengecekan kesehatan secara bertahap. Bekerja selalu menggunakan APD pada saat bekerja untuk mengurangi risiko gangguan fungsi paru.
DAFTAR PUSTAKA Kurniawan, Bima. 2007. Panduan Praktikum Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegor. Semarang. Khumaidah. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel Pt Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Notoadmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta. Mahardika, Pandega Gama. 2012. Pengaruh Paparan Emisi Kendaraan Bermotor Terhadap Frekuensi Pembentukan Mikronukleus Di Mukosa Rongga Mulut Pada Mekanik Bengkel. Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang. Nubiantara, Setiyawan. 2010. Pengaruh Polusi Udara Terhadap Fungsi Paru pada Polisi Lalu Lintas Di Surakarta. Universitas Sebelas Maret: Surakarta. Pratama, Pikih. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Kapasitas Vital Paru Pada Operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
di Kecamatn Ciputat Tahun 2014. Penerbit Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta. Prayudi, Teguh. 2001. Kualitas Debu Dalam Udara Sebagai Dampak Industri Pengecoran Logam Ceper. Jurnal Teknologi Lingkungan Sirait, Manna. 2010. Hubungan Karakteristik Pekerja Dengan Faal Paru Di Kilang Padi Kecamatan Porsea Tahun 2010. Penerbit Universitas Sumatera Utara: Medan. Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara. ITB: Bandung. Suma’mur. 2009. Hiegiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja.Gunung Agung: Jakarta. Suma’mur. 2014. Hiegiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Sagung Seto: Jakarta. Yuantari, Catur. 2009. Perbedaan Paparan Gas CO Dalam Darah Pada Tukang Parkir Di Area Parkir Terbuka Dan Tertutup Di Kota Semarang: Semarang. Yulaekah, Siti. 2009. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang.
EFEKTIVITAS KIAMBANG SEBAGAI MEDIA FITOREMEDIASI TERHADAP PENURUNAN KADAR COD PADA LIMBAH CAIR RUMAH TANGGA Abdurrahman, Asmadi, dan Suharno Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Efektivitas Kiambang sebagai Media Fitoremediasi terhadap Penurunan Kadar COD pada Limbah Cair Rumah Tangga. Tujuan penelitian adalah untuk menguji efektivitas kiambang sebagai media fitoremediasi terhadap penurunan kadar COD pada limbah cair rumah tangga tangga dengan variasi berat kiambang 650 g, 700 g, 750 g, 800g, dan 850 g selama 5 hari di Jl. Gusti Situt Machmud Gg Selat Karimata III Kelurahan Siantan Tengah Kecamatan Pontianak Utara. Pemanfaatan tanaman kiambang sebagai media fitoremediasi memiliki kemampuan yang efektif dalam menurunkan kadar COD pada limbah cair rumah tangga selama 5 hari yaitu 45,57 mg/l dengan persentase penurunan 80.18 % dan berat kiambang 650 g dalam 10 liter limbah cair rumah tangga, bahkan dapat menjernihkan air. Dalam penelitian sebaiknya tidak menggunakan 100% konsentrasi limbah cair rumah tangga, karena mengakibatkan kerontokan yang banyak pada tanaman ini. Pada saat membuang limbah sebaiknya diolah terlebih dahulu, agar tidak mencemari lingkungan dan menimbulkan segala penyakit. Kata Kunci: Limbah Cair Rumah Tangga, Efektivitas, Kiambang Abstract: Effectiveness of Salvinia Molesta as a Medium Phytoremediation to Decreased Levels of COD in Domestic Wastewater. The research purpose is to determine the effectiveness of Salvinia molesta phytoremediation as a medium phytoremediation to decreased levels of COD in domestic wastewater with variations Salvinia molesta weight 650 g, 700 g, 750 g, 800 g, and 850 g for 6 days on the road Gusti Situt Machmud Gg.Selat Karimata III Pontianak Siantan Village Middle District of North Pontianak. Salvinia molesta plant utilization as a medium for effective phytoremediation has ability in reducing COD levels in domestic wastewater for 5 days is 45.57 mg /l with a percentage of 80.18 % and a reduction in weight of 650 g Salvinia molesta in 10 liters of domestic wastewater, it can even purify water. In the study should not use 100 % concentration of domestic wastewater, because it resulted in the loss of much of this plants. When disposing of waste should be processed first, so as not to pollute the environment and lead to further research in the form of all diseases. Keywords: Domestic Wastewater, Effectiveness, Salvinia Molesta
Air merupakan kebutuhan dasar manusia dan sumber daya alam yang perlu dijaga kelestariannya untuk kepentingan manusia dan lingkungan. Pemeliharaannya baik kualitas maupun kuantitas secara berkelanjutan memerlukan perhatian dan penanganan yang cukup serius, sehingga tidak berdampak negatif kepada manusia maupun lingkungan (Safitri, 2009). Salah satu permasalahannya, terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara
ketersediaan air dengan kebutuhan dan penggunaannya. Sering kali limbah dibuang begitu saja ke badan air dengan pengolahan dan penanganan yang kurang memadai, sehingga hal ini akan berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Salah satu agen utama pencemar lingkungan perairan adalah limbah rumah tangga (Safitri, 2009). Limbah dometsic (rumah tangga) dibagi menjadi dua yaitu blackwater dan greywater. Blackwater merupakan air limbah yang berasal 178
Abdurrahman, dkk, Efektivitas Kiambang sebagai Media... 179
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat ekperimen semu yaitu desain percobaan yang belum mempunyai sifat-sifat suatu percobaan sebenarnya (Moh. Nasir, 1987) dalam Marafelino (2012), tetapi tidak mungkin mengadakan control (memanipulasikan) variabel yang relevan. Bentuk rancangan penelitian yang dipergunakan adalah One Group Pretest Posttest Design, yaitu kepada unit percobaan dikenakan perlakuan dengan dua kali pengukuran. Pengukuran pertama dilakukan sebelum perlakuan diberikan dan pengukuran kedua dilakukan sesudah perlakuan. HASIL Pengamatan hari ke-5 dengan masingmasing volume limbah 10 liter pada berat kiambang 650 g dapat menurunkan rata kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 45,57 mg/l dengan kondisi air yang
sangat jernih. Pada berat kiambang 700 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 53,99 mg/l dengan kondisi air yang jernih. Pada berat kiambang 750 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 57,23 mg/l dengan kondisi air jernih. Pada berat kiambang 800 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 54,09 mg/l dengan kondisi air yang jernih. Pada berat kiambang 850 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 57,23 mg/l dengan kondisi air yang jernih sedikit kekuningan. Hasil pengukuran dapat dijelaskan pada tabel 1 : Tabel 1. Kadar COD Limbah Cair Rumah Tangga Pengulangan
dari kakus atau kotoran manusia dan pembuangan hasil industri, sedangkan greywater merupakan air limbah yang berasal dari kamar mandi, bak cuci, dan dapur. Greywater merupakan limbah yang mudah diolah dan didekomposisikan serta mengandung sedikit bahan berbahaya dibandingkan dengan blackwater. Dari hasil uji pendahuluan, pengamatan hari ke-5 dengan masing-masing volume limbah 2 liter pada berat kiambang 100 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 227 mg/l menjadi 64 mg/l dengan kondisi air yang jernih. Pada berat kiambang 150 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 227 mg/l menjadi 24 mg/l dengan kondisi air yang jernih. Pada berat kiambang 200 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 227 mg/l menjadi 64 mg/l dengan kondisi air yang sedikit keruh. Pada berat kiambang 250 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 227 mg/l menjadi 66 mg/l dengan kondisi air yang sedikit keruh. Pada berat kiambang 300 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 227 mg/l menjadi 56 mg/l dengan sedikit keruh akibat akar yang mengalami kerontokan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan 750 g kiambang dengan 10 liter air limbah rumah tangga untuk mendapat hasil paling baik dan maksimal untuk mengurangi kadar COD.
Kadar COD Limbah Cair Rumah Tangga (mg/l) Kontrol Variasi Berat Kiambang (g) Awal 650g 700g 750g 800g 850 g
I
230
55,81 52,76 59,62 56,95 57,33
II
230
48,00 56,19 56,19 45,52 60,38
III
230
39,81 49,71 60,00 56,19 53,52
IV
230
38,67 57,33 53,14 57,71 57,71
Ratarata
230
45,57 53,99 57,23 54,09 57,23
Sumber: Data primer 2014
Pengukuran kadar COD limbah cair rumah tangga pada tabel 1 diperoleh rata-rata kadar COD limbah cair rumah tangga sebelum perlakuan adalah 230 mg/l dan tanpa perlakuan selama 5 hari adalah 179,52 mg/l. Kadar COD rata-rata setelah perlakuan dengan 5 variasi jumlah kiambang berkisar antara 45,58 mg/l hingga 57,23 mg/l. Kadar COD rata-rata yang tertinggi adalah 57,23 mg/l dihasilkan oleh berat kiambang 750 g dan 850 g, sedangkan kadar COD rata-rata yang terendah yaitu 45,57 mg/l dihasilkan oleh berat kiambang 650 g.
180 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.178 - 182
Tabel 2. Tingkat Persentase Kadar COD Variasi Konsentrasi COD Berat Penuru (mg/l) Kiambang nan Sebelum Sesudah (g) 230 45,57 184,43 650 230 53,99 176,01 700 230 57,23 172,77 750 230 54,09 175,91 800 230 57,23 172,77 850 Ratarata
230
53,62
176,37
Penurunan Persentase Penurunan (%) 80,18 76,52 75,11 76,48 75,11 76,68
Hasil pengukuran persentase penurunan kadar COD pada tabel 2 menunjukkan bahwa hasil rata-rata kadar COD sebelum perlakuan 230 mg/l dan setelah perlakuan 53,62 mg/l. Tingkat persentase penurunan konsentrasi COD limbah cair rumah tangga pada berat kiambang 650 g adalah 80,18 %, 700g 76,52 %, 750 g 75,11 %, 800g 76,48 %, dan 850 g 75,11 %. Berikut ini dapat kita lihat Gambar grafik 5.1 kadar COD limbah cair rumah tangga. Dengan variasi berat kiambang, gambar grafik kadar COD sebelum dan sesudah perlakuan, dan gambar grafik persentase penurunan kadar COD.
Gambar 1. Grafik Kadar COD Limbah Cair Rumah Tangga dengan Variasi Berat Kiambang Pada Gambar 1 hasil rata-rata pengukuran kadar COD limbah cair rumah tangga diketahui bahwa kontrol awal 230 mg/l. Setelah 5 hari kontrol akhir 179.52 mg/l tanpa perlakuan sedangkan pada perlakuan dengan variasi berat kiambang mengalami penurunan. Pada berat 650 g kiambang hasil rata-rata penurunannya adalah 45,57 mg/l, 700 g kiambang 53,99 mg/l, 750 g kiambang 57,23 mg/l, 800 g kiambang 54,09 mg/l, dan 850 g kiambang 57,23 mg/l.
Gambar 2. Hasil Rata-Rata Pengukuran Konsentrasi COD Limbah Cair Rumah Tangga Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Pada Gambar 2 hasil rata-rata pengukuran konsentrasi COD limbah cair rumah tangga sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil rata-rata sebelum perlakuan adalah 230 mg/l dan sesudah perlakuan adalah 53.62 mg/l. PEMBAHASAN Pengamatan hari ke-5 dengan masingmasing volume limbah 10 liter pada berat kiambang 650 g dapat menurunkan rata-rata kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 45,57 mg/l dengan kondisi air yang sangat jernih dikarenakan penutupan luas kiambang yang tidak telalu banyak menutupi permukaan baskom, sehingga banyak oksigen yang masuk ke dalam baskom tersebut. Pada berat kiambang 700 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 53,99 mg/l dengan kondisi air yang jernih dikarenakan penutupan luas kiambang yang tidak telalu banyak menutupi permukaan baskom, sehingga banyak oksigen yang masuk ke dalam baskom tersebut. Pada berat kiambang 750 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 57,23 mg/l dengan kondisi air jernih dikarenakan penutupan luas kiambang yang banyak menutupi permukaan baskom, sehingga sedikit oksigen yang masuk ke dalam baskom tersebut. Pada berat kiambang 800 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 54,09 mg/l dengan kondisi air yang jernih dikarenakan penutupan luas kiambang yang banyak menutupi permukaan baskom, sehingga oksigen yang masuk ke dalam baskom tersebut tidak terlalu banyak. Pada berat
Abdurrahman, dkk, Efektivitas Kiambang sebagai Media... 181
kiambang 850 g dapat menurunkan kadar COD limbah rumah tangga dari 230 mg/l menjadi 57,23 mg/l dengan kondisi air yang jernih sedikit kekuningan dikarenakan penutupan luas kiambang yang terlalu banyak menutupi permukaan baskom, sehingga sedikit oksigen yang masuk ke dalam baskom tersebut dan mengakibatkan akar yang mengalami banyak kerontokan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan 650 g kiambang dengan 10 liter air limbah rumah tangga yang memiliki hasil paling efektif dan maksimal untuk mengurangi kadar COD. Tanaman air ini dapat menyerap kadar COD di dalam air, sehingga tanaman ini dapat menurunkan kadar COD dalam limbah cair rumah tangga dan dapat melepaskan O2 dan gula ke dalam air yang diperlukan untuk penyimpanan energi sebagai bahan makanan yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Hasil pengukuran persentase penurunan kadar COD pada tabel 2 menunjukkan bahwa hasil rata-rata kadar COD sebelum perlakuan 230 mg/l dan setelah perlakuan 53,62 mg/l. Tingkat persentase penurunan konsentrasi COD limbah cair rumah tangga pada berat kiambang 650 g adalah 80,18 %, 700 g 76,52 %, 750 g 75,11 %, 800 g 76,48 %, dan 850 g 75,11 %. Tingkat persentase penurunan kadar COD dari 5 variasi berat kiambang berkisar antara 75.11 % hingga 80.18 % dengan rata-rata 76,68 %. Persentase yang tertinggi dihasilkan oleh berat kiambang 650 g sedangkan persentase yang terendah dihasilkan oleh berat kiambang 750 g dan 850 g. Berdasarkan hasil pemeriksaan dalam menurunkan kadar COD limbah cair rumah tangga selama 6 hari yang paling efektif adalah berat kiambang 650 g dengan rata-rata sebesar 45,57 mg/l dari 230 mg/l dan persentase penurunan sebanyak 80,18 %. Menurut PP No 82/2001 baku mutu kadar COD air limbah rumah tangga yaitu 10 mg/l untuk kelas I, 25 mg/l untuk kelas II, 50 mg/l untuk kelas III, dan 100 mg/l untuk kelas IV. Dapat diketahui bahwa air limbah cair tersebut tidak melebihi baku mutu yang tergolong dalam klasifikasi dan kriteria mutu air kelas III yang diperuntukkan untuk kegiatan pembudidayaan ikan air tawar, pertenakan, mengairi pertanaman dan kegiatan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kiambang dapat menurunkan kadar COD pada limbah cair rumah tangga dan dapat diperuntukkan pada baku mutu untuk kelas III dan kelas IV.
Pada tahun 2009 hasil penelitian Safitri menunjukkan bahwa rata-rata kualitas kadar COD setelah perlakuan dengan menggunakan tanaman kiambang dapat menurunkan hingga 75,83 % selama 6 hari. Jika dibandingkan dengan penelitian yang peneliti lakukan bahwa rata-rata kualitas kadar COD setelah perlakuan 76,68 %, maka penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Kadar COD rata-rata limbah cair rumah tangga sebelum perlakuan yaitu 230 mg/l setelah perlakuan selama 5 hari 67,02 mg/l dan tanpa perlakuan selama 5 hari 179,52 mg/l . Persentase penurunan kadar COD limbah cair rumah tangga dengan variasi berat kiambang yaitu 75,11 % sampai 80,18 %. Dari 80,18 % persentase penurunan dihasilkan dari berat kiambang 650 g sedangkan dari 75,11 % persentase penurunan dihasilkan dari berat kiambang 700 g dan 850. Setelah 5 hari pengamatan didapatkan hasil yang signifikan bahwa kadar COD yang terdapat pada limbah cair tersebut mengalami penurunan pada semua perlakuan yang menggunakan variasi berat tanaman kiambang dan menunjukkan hasil yang berbeda sebelum dan sesudah perlakuan bahkan tanpa perlakuan Hasil signifikasi P<0,05 dalam uji analisis statistik, hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat efektivitas variasi berat kiambang terhadap penurunan kadar COD pada air limbah cair rumah tangga. Pemanfaatan tanaman kiambang sebagai media fitoremediasi memiliki kemampuan yang efektif dalam menurunkan kadar COD pada limbah cair rumah tangga selama 5 hari yaitu 45,57 mg/l dengan persentase penurunan 80,18 % dan berat kiambang 650 g dalam 10 liter limbah cair rumah tangga, bahkan dapat menjernihkan air. Pada saat membuang limbah sebaiknya diolah terlebih dahulu, agar tidak mencemari lingkungan dan menimbulkan segala penyakit. Pada saat menggunakan tanaman sebaiknya dibersihkan dan dipelihara.
182 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.178 - 182
DAFTAR PUSTAKA Marafelino, F. 2012. Efektifitas Tanaman Enceng Gondok, Kangkung, dan Kiambang Berdasarkan Variasi Waktu Detensi dalam Penurunan Besi (Fe) pada Air Sumur Bor Jurusan Kesehatan Lingkungan (JKL). Skripsi. Progam Studi D IV Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak, Pontianak.
PP.
RI No 82. 2001. Peraturan Pemerintahan tentang Pengolalaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.
Safitri, R. 2009. Phytoremediasi Greywater dengan Tananaman Kayu Apu (Pistia stratiotes) dan Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) Serta untuk Tanaman Selada (Lactuca sativa) Secara Hidroponik. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN KEPEMILIKAN JAMBAN SEHAT DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS KECAMATAN PONTIANAK UTARA Rizki Afrianto, Moh. Adib dan Nurul Amaliyah Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepemilikan Jamban Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan tipe penelitian cross sectional dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (pengetahuan dan sikap) dan variabel terikat (kepemilikan jamban sehat). Jumlah sampel yang digunakan adalah 95 sampel. Hasil penelitian pengetahuan (baik = 54 & kurang = 41), Sikap (baik = 58 & kurang = 37) dan Kepemilikan Jamban (memenuhi syarat = 44 & tidak memenuhi syarat = 51). Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepemilikan jamban sehat (p value = 0,020, OR = 4,286), ada hubungan antara sikap dengan kepemilikan jamban sehat (p value = 0,050, OR = 2,564). Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap dan Kepemilikan Jamban Sehat Abstract: The Relationship of Knowledge and Attitudes with Healthy Water Kloset in Puskesmas Siantan Hilir District of North Pontianak. This research is observational analytic with the type of study cross-sectional with a test of hypothesis to determine the relationship between the two variables are independent variables (knowledge and attitude) and the dependent variable (healthy water kloset). The samples used are 95 samples. The results of research, knowledge (good = 54 & lesser = 41), Attitude (good = 58 & lesser = 37) and water kloset (qualified = 44 & ineligible = 51). It can be concluded that there is a relationship between knowledge and healthy water kloset (p value = 0.020, OR = 4.286), there is a relationship between attitude to healthy water kloset (p value = 0.050, OR = 2.564). Keywords: Knowledge, Attitude and Healthy Water Kloset
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari segi-segi yang ada pengaruhnya dengan masalah ‘sehat sakit’ atau kesehatan tersebut. Menurut Hendrik L.Blum (1974) dalam Mubarak (2009) ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai
kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan bergeser di bawah optimal (Mubarak, 2009). Masalah penyehatan lingkungan pemukiman khususnya pada jamban keluarga merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan prioritas. Fasilitas jamban keluarga di masyarakat terutama dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena menyangkut peran serta masyarakat yang biasanya sangat erat kaitannya dengan perilaku, tingkat ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Bahkan pada kelompok bayi dan 183
184 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.183 - 189
balita, penyakit-penyakit berbasis lingkungan menyumbangkan lebih 80% dari penyakit yang diderita oleh bayi dan balita. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2004). Penanganan masalah pembuangan kotoran manusia (tinja) merupakan salah satu upaya penyehatan lingkungan, karena jika dilihat dari segi kesehatan masyarakat masalah pembuangan kotoran manusia (tinja) merupakan hal yang sangat pokok untuk sedini mungkin diatasi, karena kotoran manusia (tinja) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Proporsi cakupan kepemilikan jamban sehat di Kalimantan Barat tahun 2012 sebesar 157.398 (69,61%) keluarga dari 226.114 keluarga yang memiliki jamban sendiri (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, 2012).Di Kota Pontianak persentase keluarga yang memiliki jamban sendiri pada tahun 2012 sebesar 46.204 (91,0%) dari 50.674 keluarga yang diperiksa, sedangkan yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 36.754 (79,5%). Proporsi cakupan kepemilikan jamban sehat tiap kecamatan di Kota Pontianak adalah Kecamatan Pontianak Kota sebesar 74,9%. Kecamatan Pontianak Barat keluarga yang memiliki jamban dengan kriteria sehat sebesar 95,6%. Kecamatan Pontianak Selatan keluarga yang memiliki jamban dengan kriteria sehat sebesar 94,3% sedangkan Kecamatan Pontianak Tenggara keluarga yang memiliki jamban dengan kriteria sehat sebesar 100%. Kecamatan Pontianak Timur keluarga yang memiliki jamban dengan kriteria sehat sebesar 60,7%,Kecamatan Pontianak Utara keluarga yang memiliki jamban dengan kriteria sehat sebesar 75,6% (Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2012). Daerah pemukiman penduduk khususnya di wilayah kelurahan siantan hilir kecamatan Pontianak utara kota Pontianak terdiri dari sektor industri, perairan, perkebunan dan lainlain. Akibatnya kepadatan penduduk setiap tahunnya meningkat dikarenakan banyaknya aktifitas. Di daerah Siantan Hilir terdapat beberapa perusahaan besar, industri karet, penyebrangan kapal, dan pasar tradisional. Dari beberapa tempat tersebut mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini mengakibatkan semakin banyak masyarakat yang bermigrasi dan tinggal didaerah Siantan Hilir. Masyarakat yang tinggal didaerah Siantan
Hilir kebanyakan hanya lulusan Sekolah Dasar dan minim akan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan. Oleh sebab itu permasalahan yang ada di lingkungan semakin bertambah salah satunya yaitu kepemilikan jamban yang masih kurang dan tidak memenuhi persyaratan jamban sehat. Berdasarkan data sanitasi dasar, khususnya cakupan kepemilikan jamban sehat di wilayah kerja Puskesmas Siantan Hilir tahun 2015 sebanyak 2.317 (49,37%) dari 7.688 rumah tangga yang diperiksa. Data tersebut menunjukkan bahwa cakupan kepemilikan jamban sehat di wilayah kerja Puskesmas Siantan Hilir masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu mengenai sanitasi dasar khususnya kepemilikan jamban sehat untuk wilayah perkotaan sebesar 76,82% (Profil Puskesmas Siantan Hilir, 2015). Rumah tangga yang tidak menggunakan jamban sehat lebih muda terkena penyakit seperti diare, tipus, penyakit kulit dan disentri. Salah satu penyakit yang paling dominan pada kelompok rumah tangga adalah penyakit diare. Penyakit diare merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, beberapa hal perlu mendapat perhatian yang dapat mempengaruhi penyakit diare di Kota Pontianak antara lain indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), cakupan akses masyarakat terhadap air bersih, serta seberapa baik cakupan keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar yang memenuhi syarat kesehatan seperti jamban keluarga (Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2014). Data dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak mengatakan penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Siantan Hilir selama 3 (tiga) tahun terakhir selalu menjadi sepuluh penyakit terbesar. Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Siantan Hilir mengenai data sepuluh besar kasus penyakit, pada tahun 2012 sebesar 1.748 kasus, pada tahun 2013 sebesar 2.077 kasus dan pada tahun 2014 sebesar 1.973 (Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2014). Penggunaan jamban akan baik apabila didukung oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah teori Lawrence Green yang membagi menjadi 4 faktor yaitu faktor predisposisi yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri seperti: pengetahuan, sikap, dan kebiasaan, faktor pemungkin yang terwujud dalam lingkungan fisik atau fasilitas kesehatan misalnya kecukupan air bersih dan sanitasi dasar, dan faktor penguat yang berasal dari
Rizki, dkk, Hubungan Pengetahuan dan Sikap... 185
sikap dan perilaku petugas kesehatan misalnya petugas penyuluh kesehatan. Menurut Penelitian Junaidi (2002) ada hubungan yang signifikan antara karakteristik kepala keluarga (pendidikan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) dengan kepemilikan jamban keluarga dari kajian uji Chi Square. Berdasarkan penelitian Sutedjo (2003), menyatakan bahwa alasan masyarakat pada dua desa di Kabupaten Rembang tidak memiliki dan menggunakan jamban keluarga adalah tidak mempunyai biaya untuk membangun jamban, nyaman dan praktis, belum tahu manfaat jamban, sehingga kebiasaan BAB dilakukan di sungai dan tidak biasa di jamban.
Hasil analisa univariat tabel 1 diperoleh bahwa pengetahuan responden tentang jamban sehat beserta syarat-syaratnya terbesar pada kategori kurang dengan persentase 43,2%. Sikap Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Sikap di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak UtaraKota Pontianak Tahun 2016 No Sikap Frekuensi Persentase 31 32,6 1 Kurang 64 67,4 2 Baik Jumlah 95 100 Sumber: Data Primer, 2016
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mencari adanya hubungan antara variabel bebas (pengetahuan dan sikap) dengan variabel terikat (kepemilikan jamban sehat) di wilayah kerja Puskesmas Siantan Hilir. Jumlah sampel yang digunakan adalah 95 responden. Adapun teknik sampling yang dipilih dalam pengambilan sampel penelitian adalah dengan metode Cluster Random Sampling dengan tahapan penentuan Cluster berdasarkan wilayah/RW yang memiliki kasus diare paling tinggi dan Dari RW terpilih diambil sampel pada seluruh RT secara Proporsional Random Sampling dengan tehnik Systematic Random Sampling, dengan teknik pemilihannya didasarkan pada daftar KK dari RT setempat, kemudian dilotre secara terstruktur. HASIL Pengetahuan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pengetahuan di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Tahun 2016 No Pengetahuan Frekuensi Persentase Kurang 41 43,2 1 Baik 54 56,8 2 Jumlah 95 100 Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisa univariat tabel 2 diperoleh bahwa sikap responden terhadap kepemilikan jamban sehat dan cara membuang tinja terbesar pada kategori baik dengan persentase sebesar 61,6%. Kepemilikan Jamban Sehat Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kepemilikan Jamban Sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Tahun 2016 Kepemilikan No Jamban Frekuensi Persentase Sehat 51 53,7 1 TMS 44 46,3 2 MS Jumlah 95 100 Sumber: Data Primer, 2016
Hasil analisa univariat tabel 3 diperoleh bahwa kepemilikan jamban sehat sebagian besar responden memenuhi syarat kesehatan (MSK) dengan persentase 46,3%. Hubungan Pengetahuan Kepemilikan Jamban Sehat
dengan
186 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.183 - 189
Tabel 4. Hubungan Pengetahuan dengan Kepemilikan Jamban Sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Tahun 2016 No
Pengetahu an
Kepemilikan Jamban Sehat TMSK MSK
Jumlah
∑
%
∑
%
∑
%
1
Kurang
30
73,2
11
26,8
41
43,15
2
Baik
21
38,9
33
61,1
54
56,85
51
53,7
44
46,3
95
100
Total
p = 0,02
dibandingkan sikap baik yang memiliki jamban memenuhi syarat kesehatan dengan persentase sebesar 40,6%. Hasil analisis dengan menggunakan uji Continuity Correction didapat hasil p value = 0,001 (p ≤ 0,05) dengan OR = 6.090 maka (Ho ditolak) Ha diterima, berarti ada hubungan antara sikap dengan kepemilikan jamban sehat. Nilai Odds Ratio menyatakan bahwa sikap kurang berisiko 2,564 kali untuk memiliki kriteria jamban tidak memenuhi syarat kesehatan dibandingkan sikap baik. PEMBAHASAN
OR = 4,286
Sumber: Data Primer, 2016
Kepemilikan Jamban Sehat Berdasarkan tabel di atas, terdapat proporsi pengetahuan kurang memiliki jamban yang memenuhi syarat kesehatan dengan persentase sebesar 73,2% lebih kecil dibandingkan pengetahuan baik yang memiliki jamban memenuhi syarat kesehatan dengan persentase sebesar 38,9%. Hasil analisis dengan menggunakan uji Chi Square didapat hasil p value = 0,02 (p ≤ 0,05) dengan OR = 4,286 maka (Ho ditolak) Ha diterima, berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan kepemilikan jamban sehat. Nilai Odds Ratio menyatakan bahwa pengetahuan kurang berisiko 4,286 kali untuk memiliki kriteria jamban tidak memenuhi syarat kesehatan dibandingkan pengetahuan baik. Hubungan Sikap Jamban Sehat
dengan
Kepemilikan
Tabel 5. Hubungan Sikap dengan Kepemilikan Jamban Sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak Tahun 2016 No
1 2
Kepemilikan Jamban Sehat TMSK MSK
Jumlah
∑
%
∑
%
∑
%
Kurang
25
80,6
6
19,4
31
32,6
Baik
26
40,6
38
59,4
64
67,4
51
53,7
44
46,3
95
100
Sikap
Total
p = 0,001
OR = 6.090
Sumber: Data Primer, 2016
Berdasarkan tabel di atas, terdapat proporsi sikap yang kurang memiliki jamban yang memenuhi syarat kesehatan dengan persentase sebesar 80,6% lebih kecil
Hasil penelitian mengenai kepemilikan jamban sehat menunjukkan bahwa responden di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak terdapat 44 (46,3%) jamban memenuhi syarat kesehatan, lebih besar dibandingkan dengan jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 51 (53,7%). Jamban sehat adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia bagi suatu keluarga yang lazim disebut kakus atau WC yang memenuhi beberapa persyaratan. Syarat dalam membuat jamban sehat adalah tidak mencemari air, tidak mencemari tanah permukaan, bebas dari serangga, tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan, aman digunakan oleh pemakainya, mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya, serta tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan (Kepmenkes, 2008). Menurut Departemen Kesehatan RI 2004, jamban sehat adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran manusia (tinja) yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut tersimpan di suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebar penyakit serta mengotori lingkungan pemukiman. Pengertian lain menyebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penyakit (Depkes RI,2004). Responden menggunakan jamban dalam pembuangan kotoran atau tinja manusia, maka akan melindungi keluarga dan juga masyarakat sekitar dari ancaman penyakit menular berbasis lingkungan seperti diare, penyakit kulit dan
Rizki, dkk, Hubungan Pengetahuan dan Sikap... 187
kecacingan, dimana penyakit berbasis lingkungan tersebut merupakan salah satu penyebab cukup tingginya angka kesakitan dan kematian di Indonesia. Hal ini terkait erat dengan kondisi lingkungan yang belum memadai (Depkes RI, 2004). RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak sebagian masyarakat memiliki jamban dengan kriteria tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga dapat memudahkan penyebaran penyakit. Hal ini akan diperparah dengan didukungnya pengetahuan, sikap, yang kurang mendukung akan halnya kepemilikan jamban sehat. Hubungan antara Pengetahuan Kepemilikan Jamban Sehat
dengan
Hasil uji statistik terlihat faktor pengetahuan memiliki hubungan terhadap kepemilikan jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak. Analisis pada tabel menunjukkan persentase pengetahuan kurang cendrung tidak memiliki jamban yang sehat sebesar 73,2% dengan nilai p value = 0,020 (dimana α = 0,05) sehingga (p < 0,05) maka (Ho ditolak) Ha diterima artinya ada hubungan. Hal ini menunjukkan masyarakat yang memiliki pengetahuan baik akan berpartisipasi lebih besar dalam memiliki jamban sehat. Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan masyarakat tentang kepemilikan jamban sehat merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki setiap keluarga atau masyarakat. Jamban merupakan fasilitas sanitasi kesehatan yang berguna untuk memutus mata rantai penularan penyakit, hal tersebut harus diketahui oleh keluarga atau masyarakat. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Hal ini didukung juga oleh Andri (2011) dengan penelitiannya yang berjudul: FaktorFaktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Kepemilikan Jamban Sehat
Di Desa Bawat Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak yang menyatakan bahwa pengetahuan dalam kepemilikan jamban sangat berpengaruh, jika seorang sudah tahu dan memahami maka seorang akan mulai mengaplikasikan dan menganalisis suatu objek atau materi yang telah dipelajari. Sehingga akhirnya orang tersebut mampu membuat sintesis suatu materi atau objek yang baru dan mengevaluasi materi atau objek yang telah dibuatnya. Berdasarkan hasil rekapan sepuluh item pertanyaan yang menggunakan kuisioner, masyarakat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak tahu tentang jenis jamban yang baik dan memenuhi syarat kesehatan sebesar 38,9%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan serta syarat jarak jamban dengan sumber air bersih, hal ini terlihat dari masih banyaknya warga yang membangun sumur gali kurang dari 10 meter dari jamban. Jarak sumur gali yang kurang dari 10 meter dari jamban dapat mengakibatkan terjadinya kontaminasi dan mencemari sumur gali tersebut sehingga berpotensi menimbulkan bibit penyakit yang diakibatkan oleh tinja seperti penyakit diare, kulit, dan lain lain. Sebagian responden juga kebanyakan memelihara hewan ternak di samping rumah, sehingga hal ini dapat menambah resiko penularan bibit penyakit selain yang disebabkan oleh tinja. Pengetahuan akan berpengaruh pada sikap seseorang, sehingga sikap akan membentuk perilaku seseorang memiliki jamban sehat. Pengetahuan baik tidak akan membentuk perilaku seseorang memiliki jamban sehat.Pengetahuan masyarakat akan bahaya terjadinya pencemaran pada sumber air bersih sangat penting karena air merupakan kebutuhan yang paling utama dalam keperluan sehari-hari. Masyarakat menganggap bahwa jarak yang kurang dari 10 meter antara jamban dengan sumber air bersih tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas sumber air bersih tersebut. Hal ini juga ditambah dengan kurangnya lahan yang tersedia karena letak rumah yang berdekatan satu sama lain. Melihat kurangnya pengetahuan masyarakat dan syarat jarak jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak, oleh sebab itu perlu dilakukan penyuluhan tentang jenis
188 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.183 - 189
jamban yang sehat dan pengolahan limbah cair dengan metode komunal. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saja tetapi juga dibantu instansi terkait seperti developer perumahan, pemerintah dan petugas kesehatan setempat. Hubungan antara Sikap Kepemilikan Jamban Sehat
dengan
Hasil uji statistik menunjukkan faktor sikap memiliki hubungan terhadap kepemilikan jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak. Analisis pada tabel menunjukkan persentase sikap kurang cendrung tidak memiliki jamban yang sehat sebesar 80,6% dengan nilai p value = 0,001 (dimana α = 0,05) sehingga (p < 0,05) maka (Ho ditolak) Ha diterima artinya ada hubungan. Hal ini menunjukkan masyarakat yang memiliki sikap baik akan berpartisipasi lebih besar dalam memiliki jamban sehat. Menurut Berkowitz dalam Azwar (2007), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak. Allport dalam Notoatmodjo (2012), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu: kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional atau evaluasi dan kecendrungan untuk bertindak. Seseorang yang memiliki sikap positif cendrung mempunyai kepercayaan dan bertindak mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap negatif cendrung tidak memiliki kepercayaan dan bertindak menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Sikap merupakan salah satu unsur penentu dalam mengetahui perilaku seseorang dalam hal memiliki jamban sehat. Berdasarkan pada sikap seseorang, orang akan menduga bagaimana respon atau tindakan yang akan diambil oleh orang tersebut terhadap suatu masalah atau keadaan yang dihadapinya, dalam hal ini adalah kepemilikan jamban sehat. Sikap masyarakat akan menentukan kepemilikan jamban yang sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara kota Pontianak.Hal yang sama dilaporkan oleh Andri (2011) dan Elisabeth Tarigan (2008), bahwa sikap yang kurang terbukti secara statistik akan mempengaruhi kepemilikan jamban sehat, dengan nilai p value (0,017) dan (0,002).
Berdasarkan hasil rekapan penelitian dengan sepuluh item pertanyaan menggunakan kuisioner tentang sikap diketahui responden di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota pontianak dengan sikap yang kurang baik sebesar 32,6% dan responden yang baik sebesar 67,4%.Sikap masyarakat yang baik dapat mengubah perilaku masyarakat dalam hal memiliki jamban sehat, Masyarakat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak sebagian besar telah memiliki jamban tetapi tidak semua jamban termasuk dalam kategori sehat. Sikap masyarakat yang membuang popok bekas bayi sembarangan juga dapat mempengaruhi risiko pencemaran dan penularan penyakit berbasis lingkungan hal ini didukung dengan pengetahuan responden yang kurang dan tingkat pendidikan rendah. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyuluhan akan bahaya membuang popok bekas bayi sembarangan agar tercipta perilaku kesehatan dimasyarakat. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak dapat disimpulkan sebagai berikut: Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin terbesar adalah laki-laki dan berdasarkan kategori pendidikan responden terbesar adalah sekolah dasar. Pengetahuan responden tentang jamban sehat beserta syarat-syaratnya terbesar pada kategori kurang dengan persentase 43,2%. Sikap responden terhadap kepemilikan jamban sehat dan cara membuang tinja terbesar pada kategori baik dengan persentase sebesar 67,4%. Kepemilikan jamban sehat sebagian besar responden memenuhi syarat kesehatan (MSK) dengan persentase 46,3%. Ada hubungan pengetahuan terhadap kepemilikan jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,020. Ada hubungan sikap terhadap kepemilikan jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak dengan nilai p value = 0,001. Bagi peneliti lain diharapkan untuk lebih mendalami variable-variabel tekait kepemilikan jamban sehat di RW Kelurahan Siantan Hilir Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak.
Rizki, dkk, Hubungan Pengetahuan dan Sikap... 189
DAFTAR PUSTAKA Andri, 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kepemilikan jamban sehat Di Desa Bawat Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Pontianak: Poltekkes Kemenkes Pontianak. Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2012. Profil Kesehatan Dinkes Kota Pontianak. PLPK: Pontianak. Dinas Kesehatan Kota Pontianak, 2014. Profil Kesehatan Dinkes Kota Pontianak. PLPK: Pontianak.
Depkes RI, 2004. Modul Penelitian dan Pengawasan Kesehatan Lingkungan Pemukiman. Dirjen PPM-PLP: Jakarta. Mubarak, Wahid Iqbal, 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Teori dan Aplikasi. Salemba Medika: Jakarta. Notoatmodjo, S., 2012. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Puskesmas Siantan Hilir, 2014. Profil Kesehatan Puskesmas Siantan Hilir Tahun 2014. Higiene Sanitasi: Pontianak.
ANALISIS PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PEMANFAATAN AIR OLAHAN ULTRAFILTRASI DENGAN KEJADIAN DIARE DI DESA MERABUAN KECAMATAN TANGARAN KABUPATEN SAMBAS Rapika Sari, Taufik Anwar dan Iswono Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Pontianak E-mail:
[email protected]
Abstrak: Analisis Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi dengan Kejadian Diare di Desa Merabuan Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas. Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan deskriptif analitik cross sectional. Di Desa Merabuan Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas semua masyarakat memanfaatkan air olahan Ultrafiltrasi, terdapat 14 responden (12,6 %) yang anggota keluarganya dalam 1 tahun terakhir pernah menderita diare, sedangkan yang tidak pernah sebanyak 97 responden (87,4 %), kejadian diare pada perilaku kurang yaitu 21,15 %, sedangkan kejadian diare pada perilaku baik sangat kecil yaitu 4,55 %, pada pengetahuan kurang yaitu 22,73 %, sedangkan kejadian diare pada pengetahuan baik sangat kecil yaitu 10 %, pada sikap menolak yaitu 20,75 %, sedangkan kejadian diare pada sikap menerima tidak terdapat kasus, pada tingkat pendidikan dasar yaitu 21,67 %, sedangkan kejadian diare pada tingkat pendidikan tinggi tidak terdapat kasus, pada tingkat ekonomi rendah sebesar 14,14 %, sedangkan yang tidak diare pada tingkat ekonomi rendah sebesar 85,86 %. Kata Kunci: Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi, Kejadian Diare Abstract: The Analyze Knowledge, Attitude and Behaviour of Utilization of Processing Ultrafiltration Water with Diarhea Incidence in Merabuan Village Subdistrict of Tangaran Sambas. This research is observasional with descriptive analytic type of research and the type of research is Cross Sectional. All of societies use the process of ultrafiltration water, there are 14 respondents (12,6%) who have family members in the last 1 year had suffered diarhea, while people who never suffered diarhea as much as 97 respondents (87, 4%), diarhea incidence in less behavior that is 23, 08 %, while diarhea incidence in good behavior very small that is 4, 55 %, in lack of knowledge that is 25%, while incidence of diarhea in good knowledge very small that is 10 %, at attitude no desire there are 20, 75%, while incidence of diarhea at attitude have small desire there are 3, 85% at the level of people do not have aducation there are 80%, while incidence of diarhea at the level people have high education very small that is 20%, at the level low economy as much as 14, 14 %, while people who do not diarhea at level low economy as much as 85,86%. Keywords: Utilization of Processing Ultrafiltration, Incidence of Diarhea
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya Pembangunan Nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (UU RI, 1992).
Derajat kesehatan sebagai salah satu tolak ukur untuk keberhasilan suatu program dibidang kesehatan. Menurut Teori HL Bloom, derajat kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan tersebut, 190
Rapika, dkk, Analisis Pengetahuan, Sikap dan... 191
yang paling besar pengaruhnya adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini terdiri dari lingkungan fisik, kimia dan biologis. Setelah faktor lingkungan, faktor lain yang besar juga pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah faktor perilaku. Faktor perilaku erat hubungannya dengan faktor lingkungan, karena faktor perilaku dapat mempengaruhi faktor lingkungan (Depkes RI, 2005). Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, maka diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Salah satu upaya preventif yang dilakukan diantaranya adalah melalui penggunaan air bersih. Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan, karena kehidupan di dunia tak dapat berlangsung terus tanpa tersedianya air yang cukup. Kebutuhan pertama bagi terselenggaranya kesehatan yang baik adalah tersedianya air yang memadai kuantitas dan memenuhi syarat kebersihan dan keamanan kualitasnya (Depkes RI, 2005). Air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran. Selain itu air juga untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi dan lain-lain. Karena itu jika kebutuhan akan air tersebut belum tercukupi maka dapat memberikan dampak yang besar terhadap kesehatan maupun sosial. Pengadaan air bersih di Indonesia khususnya untuk skala yang besar masih terpusat di daerah perkotaan, dan dikelola oleh perusahaan Air Minum (PAM). Namun demikian jumlahnya masih belum mencukupi. Untuk daerah yang belum mendapat pelayanan air bersih dari PAM umumnya mereka menggunakan air tanah (sumur), air sungai, air hujan, air sumber mata air dan lainnya. Melalui penyediaan air bersih baik dari segi kuantitas dan kualitasnya disuatu daerah, maka penyebaran penyakit menular dalam hal ini adalah penyakit saluran pencernaan diharapkan bisa ditekan seminimal mungkin. Penurunan penyakit saluran pencernaan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa air merupakan salah satu mata rantai penularan penyakit saluran pencernaan (Asmadi, 2007).
Ada beberapa cara yang selama ini digunakan untuk pengolahan air yaitu menggunakan teknologi pengolahan pasir lambat dengan kelebihan yaitu tidak memerlukan bahan kimia, akan tetapi kekurangan pada alat ini yaitu kecepatan penyaringan rendah, pencucian filter dilakukan manual, karena tanpa bahan kimia, tidak dapat digunakan untuk menyaring air gambut. Oleh sebab itu diperlukannya alternatif alat lain yang mudah dibuat, hanya menggunakan teknologi membran dengan ukuran pori-pori berkisar antara 0,1-0,001 μm (mikron), serta dalam pengoperasiannya tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan pertimbangan lokasi dan berbagai kemudahan cara pembuatannya, maka dalam penelitian ini memilih pengolahan ultrafiltrasi. Pengolahan Air Ultrafiltrasi, yaitu pengolahan air baku menjadi air bersih dengan sistem 3 (tiga) pengolahan yang terdiri dari tabung mikrofiltrasi, tabung filtrasi dan tabung ultraviolet. Air hasil pengolahan ultrafiltrasi ini aman dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari karena air tersebut sudah diolah secara sempurna dan bebas dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologi. Pengolahan air dengan sistem Ultrafiltrasi ini telah dilaksanakan di Desa Merabuan Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas pada Tahun 2013. Pengolahan air Ultrafiltrasi merupakan salah satu program PAM-STBM dengan sumber dana APBN yang bertujuan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan rendahnya akses air bersih dan tingginya angka kejadian diare. Desa Merabuan merupakan satu-satunya desa dari 7 (tujuh) desa yang ada di Kecamatan Tangaran yang mendapat program PAM-STBM yang berpenduduk 1.836 jiwa dengan 499 KK yang tersebar di 2 (dua) dusun dan 9 (sembilan) RT. Sebagian besar masyarakat berdomisili dipinggir aliran sungai (Sungai Serabek), pada musim penghujan hampir semua masyarakat Desa Merabuan menggunakan air hujan sebagai air baku untuk keperluan sehari-hari, akan tetapi pada musim kemarau, maka air sungai merupakan air baku yang paling banyak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Desa Merabuan yang terdiri dari 9 RT, maka unit pengolahan ultrafiltrasi ini disebar sebanyak 9 unit dengan masing-masing RT mendapat 1 unit. Sedangkan untuk sebaran rumah masing-masing RT adalah : RT.01
192 Sanitarian, Volume 8 Nomor 2, Agustus 2016, hlm.190 - 195
sebanyak 45 rumah, RT. 02 sebanyak 48 rumah, RT. 03 sebanyak 49 rumah, RT. 04 sebanyak 55 rumah, RT. 05 sebanyak 59, RT. 06 sebanyak 56 rumah, RT. 07 sebanyak 54 rumah, RT. 08 sebanyak 56 rumah dan RT. 09 sebanyak 50 rumah. Pengolahan Air Ultrafiltrasi lebih dikenal oleh masyarakat Desa Merabuan dengan sebutan “Penyaringan Air”. Data surveilens Puskesmas Simpang Empat Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas, kasus diare merupakan salah satu dalam 10 (sepuluh) penyakit terbesar (Data Kesakitan LB1 Puskesmas Simpang Empat). Kasus diare di Desa Merabuan Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas tersebut sebelum Program PAM-STBM sangat tinggi yaitu tahun 2011 sebanyak 50 kasus dan tahun 2012 sebanyak 67 kasus. Setelah dilaksanakan program terjadi penurunan kasus diare, yaitu tahun 2013 sebanyak 18 kasus, tahun 2014 sebanyak 13 kasus dan tahun 2015 sebanyak 10 kasus (untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 5). Hasil uji mikrobiologi sampel air olahan ultrafiltrasi yan dilakukan di Laboratorium Kesehatan Kabupaten Sambas, dari 9 unit terdapat 7 sampel dengan hasil negatif dan 2 sampel dengan hasil positif mikrobiologi e-coli (untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 4). Berdasarkan hal tersebut di atas penulis merasa tertarik melakukan penelitian ”Analisa Pengetahuan, Sikap dan Periku Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi dengan Kejadian Diare di Desa Merabuan Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas”. METODE PENELITIAN Penelitian bersifat observasional dengan jenis rancangan penelitian deskriptif analitik dan tipe penelitian cross sectional (Saepudin, 2005) dengan melakukan pengujian terhadap hipotesis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi) dan variabel terikat (Kejadian Diare). Besar sampel dalam penelitian ini adalah 111 KK. Pengolahan data menggunakan Chi Square dengan kaidah apabila p-value ≤0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Apabila p-value >0,05 maka Ha ditolak sehingga disimpulkan tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Data
yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi Tabel 1. Data Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi Desa Merabuan Tahun 2016 Responden No Pengetahuan Jumlah % Kurang 44 39,64 1 Cukup 47 42,34 2 Baik 20 18,02 3 Total 111 100 Sumber : Data Primer, 2016
Tabel 1 menunjukan bahwa persentase pengetahuan masyarakat terbesar ada pada pengetahuan cukup (39,64%). Sikap Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi Tabel 2. Data Sikap Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi Desa Merabuan Tahun 2016 Responden No Sikap Jumlah % Menolak 53 47,75 1 Ragu-ragu 32 28,83 2 Menerima 26 23,32 3 Total 111 100 Sumber : Data Primer, 2016
Tabel 2 menunjukan bahwa persentase sikap masyarakat terbesar ada pada sikap menolak (47,75%). Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi
Rapika, dkk, Analisis Pengetahuan, Sikap dan... 193
Tabel 3. Data Perilaku Masyarakat dalam Pemanfaatan Air Olahan Ultrafiltrasi Desa Merabuan Tahun 2016 Responden No Perilaku Jumlah % Kurang 52 46,85 1 Cukup 37 33,33 2 Baik 22 19,82 3 Total 111 100 Sumber : Data Primer, 2016
Tabel 3 menunjukan bahwa persentase terbesar ada pada perilaku masyarakat perilaku kurang (46,85%). Tingkat Pendidikan Masyarakat Tabel 4. Data Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Merabuan Tahun 2016 Responden Tingkat No Pendidikan Jumlah % Dasar 60 54,05 1 Menengah 46 41,44 2 Tinggi 5 4,50 3 Total 111 100 Sumber : Data Primer, 2016
Tabel 4 menunjukan bahwa persentase terbesar ada pada tingkat pendidikan dasar ( 54,05%) Tingkat Ekonomi Masyarakat Tabel 5. Data Tingkat Ekonomi Masyarakat di Desa MerabuanTahun 2016 Responden No Tingkat Ekonomi Jumlah % Rendah 99 89,19 1 (