©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL ”X” DI JEPARA 1
Ari Suwondo, Siswi Jayanti, Daru Lestantyo
1. Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro ABSTRAK Latar belakang dari penelitian ini adalah fakta bahwa pekerja di industri tekstil sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri, padahal mereka selama jam kerjanya selalu terpapar oleh zat warna dan zat pelekat warna yang diketahui bahwa zat tersebut dapat melarutkan lemak dibawah permukaan kulit sehingga kulit menjadi kering, pecah-pecah dan bahkan dapat terjadi vesikel. Apabila proses paparan terjadi dalam waktu lama, kulit dapat terjadi penebalan ( likenifikasi ) atau zat dapat mengikuti jalur pembuluh limfe ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan gangguan pada systim hormonal dan kerusakan genetik sehingga terjadi kemandulan. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan antara umur, masa kerja, lama kerja dan penggunaan APD terhadap kejadian dermatitis kontak di industri tekstil Troso di Jepara. Metoda yang digunakan adalah survei observational dengan pendekatan cross sectional, sampel penelitian dipilih secara purposif. Data dianalisis secara deskriptif dan analitik menggunakan uji statistik Rank spearman. Hasil dari penelitian adalah adanya hubungan yang sangat bermakna antara masa dengan kejadian dermatitis kontak p = 0,038 dan terdapat hubungan yang sangat bermakna pula antara umur pekerja dengan angka kejadian dermatitis kontak p = 0,025 sedangkan untuk lama paparan tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan angka kejadian dermatitis kontak p= 0,476. Saran yang dapat diberikan pada pekerja industri tekstil Troso di Jepara adalah selalu mencuci tangan dan kaki dengan sebersih-bersihnya terutama pada lipatan buku-buku tangan dan kaki agar sisa zat warna maupun zat pelekat warna tidak menetap ditempat tersebut dan menimbulkan dermatitis kontak. Kata kunci : Zat warna, dermatitis kontak, industry tekstil Troso.
I. Pendahuluan a. Latar Belakang : Industri dan produknya baik formal maupun informal mempunyai dampak positif dan negatif kepada manusia, di satu pihak akan memberikan keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif karena paparan zat yang terjadi pada proses kerja maupun pada hasil kerja. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan dampak negatif adalah faktor bahaya yang ada di tempat kerja yang meliputi faktor fisik, biologis, kimia, mental psikologis, hubungan antar manusia dan mesin maupun lingkungan kerja yang kurang ergonomis, gizi kerja yang kurang memadai dan faktor lain penyebab timbulnya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja1. Industri tekstil baik yang beroperasi secara tradisional maupun moderen memiliki berbagai faktor risiko potensi bahaya. Salah satunya berasal dari zat kimia yang digunakan sebagai pewarna bahan. Bahan kimia yang mampu mengganggu kulit diperkenalkan setiap tahun, baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya tidak akan berakhir. Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
58
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Kontak tubuh dengan bahan kimia dapat terjadi pada berbagai tahapan proses kerja penggunaan bahan kimia, mulai dari proses awal sampai pada pengepakan. Proses produksi pada pabrik tekstil Troso dimulai dari mendesain, mengikat benang sesuai dengan desain, mewarnai/ cucuk, mencelup, mencatri, malet dan akhirnya menenun. Bahan pewarna yang sering digunakan adalah zat warna Naftol dan zat warna reaktif yang termasuk dalam golongan senyawa Azo. Senyawa azo merupakan bahan kimia yang berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh dan terakumulasi. Senyawa Azo mampu mereduksi amina aromatik yang menghasilkan arylamines yang dapat menimbulkan alergi pada kulit. Selain itu, bahan penyempurna pewarnaan yang digunakan untuk kedua zat warna tersebut adalah sama yaitu zat warna Naftol memerlukan bahan berupa garam diazium dan natrium hidroksida sebagai pelekatan zat warna ke dalam kain, sedangkan zat warna reaktif memerlukan natrium hidroksida dan alkali untuk proses pelekatannya2,3.
Zat warna termasuk golongan pelarut organik, sehingga zat warna merupakan zat yang larut lemak. Akibatnya zat warna dapat menghilangkan lapisan lemak pelindung pada kulit dan diabsorbsi tubuh. Besarnya efek zat kimia yang masuk kedalam tubuh tergantung konsentrasi ( dosis ) dan lamanya waktu paparan zat tersebut. Walaupun dalam dosis kecil, apabila berlangsung terus-menerus maka dapat menimbulkan efek kronis pada tubuh. Efek akut dapat berupa gejala-gejala gatal, kulit kering, kemerah-merahan, dan pecah-pecah, sedangkan efek kronis dapat berupa gangguan pada respon imunologis dan bahkan dapat terjadi kerusakan Genetik sehingga menyebabkan gangguan hormonal maupun kemandulan pada orang yang terpapar3,4. II. Rumusan Masalah Tenaga kerja seharusnya bekerja dengan nyaman dan aman supaya tercapai produktivitas yang tinggi. Berdasarkan studi pendahuluan di industri tekstil Semarang didapatkan 60% pekerja positif terdiagnosis Dermatitis Kontak iritan (DKI) setelah kontak dengan bahan pewarna tekstil. Diketahui bahwa bahan pewarna tekstil mengandung pelarut organik
yang
dapat memicu terjadinya DKI. Penggunaan APD yang tidak maksimal merupakan salah satu faktor resiko kejadian DKI pada industri tekstil ini. Penelitian ini berupaya melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Dermatitis Kontak pada pekerja tekstil. III. Tujuan Penelitian 1. mendeskripsikan karakteristik pekerja yang meliputi umur, masa kerja, lama kerja perharinya dan penggunaan APD. 2. menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pekerja tekstil Troso di Jepara.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
59
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
IV. Hipotesis : Ada hubungan usia, masa kerja, lama paparan dan pemakaian APD dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja tekstil di Semarang V. Metode Penelitian Jenis penelitian adalah survey observasi dengan desain cross sectional ( belah lintang). Populasi dari penelitian adalah seluruh pekerja tekstil Industri
“X” di pabrik tekstil Troso Jepara yang
berjumlah 50 orang. Sampel : dipilih secara purposif dengan kriteria inklusi: a. Bekerja sebagai karyawan tetap di industri tekstil ”X” b. Berusia minimal 18 tahun c.
Masa Kerja minimal 2 (dua) tahun
d. Tidak memiliki riwayat alergi Setelah terapkan kriteria inklusi di dapatkan jumlah sampel sebanyak 41 orang. Prosedur penelitian : Data primer meliputi identitas pekerja, usia, jenis kelamin, masa kerja dan lama paparan dalam 8 jam diperoleh melalui tanya jawab dengan kuesioner. Pemeriksaan kulit dilakukan dengan observasi Ujud Kelainan Kulit (UKK). Instrumen penelitian Kuesioner Kuesioner digunakan untuk pengambilan data berupa usia, masa kerja , lama paparan dan keluhan subjektif VI. Analisis Data a. Analisisis Deskriptif Data dianalisis dengan tabulasi meliputi usia, masa kerja, lama paparan, APD b. Uji Hipotesis Data dianalisis dengan menggunakan piranti lunak statistik melalui komputer dengan uji statistik rank spearman. VII. Hasil Penelitian: ANALISA UNIVARIAT JENIS KELAMIN Dari data yang diperoleh ternyata jumlah pekerja pria 43,9% (18 resp) dan wanita 56,1% (23 resp) Jenis kelamin dari pekerja di pabrik textil ini kebanyakan berjenis kelamin Wanita, dikarenakan memang dibutuhkan ketelitian. Untuk bagian pengikatan dari desain/ corak dan pewarnaan cucuk dilakukan oleh wanita, sedangkan pewarnaan celup dilakukan oleh laki-laki. Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
60
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
UMUR Data yang diperoleh menunjukkan sebaran usia dari pekerja sebagai berikut yaitu : usia dewasa 17,1% (7 resp), usia muda 17,1% (7 resp), dan usia tua 65,9%(27 resp) Sebagian besar pekerja dipabrik textil ini berada pada kelompok usia tua. Dalam kaitannya dengan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja, usia tua lebih memilih bekerja dengan aman. Usia tua, juga semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugas, sehingga lebih hati2 dalam penggunaan bahan kimia. LAMA PAPARAN Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja dengan lama paparan normal ( 8 jam/ hari ) adalah sebanyak 73.2% ( 30 Resp ), sedangkan pekerja dengan lama paparan kurang dari 8 jam/ hari sebanyak 2,4% (1 resp) Sebagian besar pekerja bekerja sesuai dengan jam kerja per harinya yaitu 8 jam dengan istirahat 1 jam. PENGGUNAAN APD Para pekerja dari pabrik tekstil ini hamper semuanya tidak menggunakan APD, hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan APD yaitu sarung tangan karet dan sepatu boot. Mereka yang menggunakan adalah yang bekerja di bagian pencelupan oleh karena bagian ini memang menggunakan air panas dan pewarna naftol, sehingga tenaga kerja terpaksa harus menggunakan APD. ANALISA BIVARIAT : Kejadian dermatitis kontak pada pabrik tekstil Troso X di Jepara terdeksi terdapat 12 resp ( 29,27 % ) dari 41 responden Hasil analisis dengan menggunakan Rank Spearman di dapatkan hasil sebagai berikut : Masa kerja – Dermatitis kontak p = 0,038 Umur pekerja – Dermatitis kontak p = 0,025 Lama paparan – Dermatitis kontak p= 0,476 HUBUNGAN ANTARA UMUR DENGAN DERMATITIS KONTAK Dari uji statistik didapatkan hasil p= 0,025 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dermatitis. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Cohen yang menyatakan bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia, sehingga menyebabkan penipisan pada lapisan lemak dibawah kulit akibatnya kulit menjadi lebih kering dan mudah teriritasi menjadi dermatitis kontak5. Buxton juga mengatakan bahwa
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
61
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
dengan bertambahnya umur, kulit manusia akan mengalami degenerasi menjadi rentan terhadap kontak bahan kimia sehingga memudahkan timbulnya dermatitis kontak5. HUBUNGAN ANTARA MASA KERJA DENGAN DERMATITIS KONTAK. Dari hasil uji statistik antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak hasilnya diperoleh angka p= 0,038, berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan dermatitis kontak. Dermatitis kontak akan muncul apabila pekerja terpapar oleh zat kimia dengan konsentrasi dan lama pemajanan yang cukup. Zat warna ditambah dengan zat penguat/pelekat warna dapat berperan sebagai pelarut organic yang dapat mengakibatkan penipisan lapisan lemak di bawah kulit, sehingga zat warna tersebut dapat lebih mudah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan efek baik akut maupun kronik. Sebagai efek akut yang sering timbul adalah perubahan warna kulit menjadi kemerahan, timbul bintik berair maupun bergelembung dan bila terjadi dalam waktu yang lama akan terjadi likenifikasi ( penebalan kulit dan berwarna hitam ). Efek kronis yang dapat timbul adalah adanya gangguan hormone metabolism maupun perubahan/ kerusakan genetic yang dapat menimbulkan bayi lahir cacat ataupun kemandulan pada pekerja5,6,7. HUBUNGAN ANTARA LAMA KERJA DENGAN DERMATITIS KONTAK. Perhitungan statistik antara lama kerja dengan dermatitis kontak hasilnya diperoleh angka p = 0,476 yang berarti tidak adanya hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil Troso X di Jepara dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja dibagian pewarnaan di pabrik tekstil Troso, rata-rata bekerja selama 7 jam sehari dari jam 08.00 s/d jam 16.00 dengan waktu istirahat selama 1 jam. Lama waktu terpajan bahan kimia satu harinya merupakan salah satu factor resiko untuk terjadinya dermatitis kontak oleh karena timbunan zat warna maupun zat pelekat warna terutama pada buku-buku jari maupun lipatan kulit dapat mengiritasi kulit daerah tersebut sehingga terjadilah dermatitis kontak2,4. Tidak adanya hubungan antara lama paparan dengan kejadian dermatitis kontak disebabkan oleh karena, walaupun ada perbedaan lama paparan, tetapi semua pekerja yang kontak dengan zat warna dan zat pelekat warna bekerja lebih dari 5 jam perharinya. HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEMAKAI APD DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK Secara statistik uji hubungan ini tidak dapat dilakukan oleh karena hamper semua karyawan tidak menggunakan alat pelindung diri, hanya 2 orang ( 4,87 % ) saja yang menggunakan. APD yang digunakan di pabrik tekstil ini adalah sarung tangan dan sepatu boot. Pada proses pewarnaan dengan cara pencelupan, oleh karena bekerja menggunakan air panas, maka mereka menggunakan APD baik sarung tangan maupun sepatu boot. Perlu mendapat perhatian Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
62
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
bagi pengguna sarung tangan karet dan sepatu boot, harus juga diingatkan untuk selalu menjaga kebersihan APD tersebut oleh karena apabila tidak, justru APD tersebut dapat menjadi factor pemudah timbulnya dermatitis kontak yang disebabkan adanya zat warna atau zat pelekat warna yang terpercik masuk. Pada proses pewarnaan dengan cara cucuk, pada observasi ternyata mereka tidak menggunakan APD sama sekali, dengan alasan tidak dapat bekerja pada pekerjaan yg kecilkecil dan butuh ketelitian. Menurut Adhi Juanda, kejadian dermatitis kontak iritan maupu alrgik, paling sering terjadi di daerah tangan6,7,8. PEMBAHASAN TENTANG MEKANISME TERJADINYA DERMATITIS KONTAK Dermatitis Kontak. Adalah peradangan yang terjadi oleh karena kontak antara kulit dengan bahan yang datang dari luar dan bersifat toksik maupun alergik atau keduanya yang terjadi akibat seseorang melakukan pekerjaan. Dermatitis Kontak Iritan. Adalah dermatitis yang disebabkan oleh zat yang merusak kulit dengan cara mengurangi kandungan air, sehingga kulit menjadi kering, mudah retak dan mudah kontak dengan bahan berbahaya lainnya. Dermatitis kontak iritan merupakan inflamasi pada kulit dengan manifestasi eritema, edema ringan dan pecah-pecah2,4,5. Mekanisme dari dermatitis kontak iritan hanya sedikit diketahui, tetapi sudah jelas terjadi kerusakan pada membran lipid keratisonit. Dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitochondria dan komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid, maka enzym fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonat yang selanjutnya berfungsi membebaskan prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi delatasi pembuluh darah dan transudasi. Kerusakan membran sel juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel Mast yang selanjutnya akan membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi aktifasi platelets sehingga terjadi jendalan yang akan menutup kerusakan dan terhadap vaskuler terjadi vasodelatasi5,9. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator-mediator tanpa melalui proses sensitisasi. Dermatitis kontak alergen Adalah dermatitis akibat mekanisme hipersensitivitas kulit yaitu reaksi imunologik yang spesifik yang dapat bersifat akut atau kronik. Secara statistik insiden dermatitis kontak alergen lebih sedikit dibanding dermatitis kontak iritan yaitu ( 20:80 ). Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
63
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis kontak alergi yaitu : Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase eferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE ( Langerhans Epidermal ), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang ada di epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR ( Human Leukocyte Antigen- DR ). Sel LE kemudian menuju duktus limfatikus dan menuju ke parakortek Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen pada molekul CD4+ ( cluster of diferentiation 4+ ) dan molekul CD 3. CD 4+ berfungsi sebagai pengenal komplek HLA-DR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misal untuk ion chrom saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan sel antigen. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 merangsang terjadinya proliferasi sel T sehingga terbentuk primed memory T cell, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak dengan alergen yang sama. Proses ini berlangsung pada manusia selama 14-21 hari, dan belum terjadi ruam pada kulit. Pada saat ini individu telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergi5,9. Fase Elisitasi Fase elisitasi atau fase eferen terjadi bila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mengsekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF ( interferon ) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 ( Intercelluler adhesion molecul-1 ) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan Lekosit serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel Mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodelatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti ertema, edema dan vesikula yang nampak sebagai dermatitis5,9.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
64
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Kesimpulan 1. Sebagian besar pekerja pabrik tekstil Troso adalah wanita 56,1% (23 resp), usia terbanyak pada usia tua 65,9%(27 resp), lama paparan normal ( 8 jam/ hari ) adalah sebanyak 73.2% ( 30 Resp ), hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan APD 2. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dermatitis kontak p = 0,025 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak p = 0,038 4. Tidak adanya hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil Troso X di Jepara dengan kejadian dermatitis kontak p = 0,476
VII. Daftar Pustaka 1.
Budiono, Sugeng. Jusuf, RMS, Pusparini Adriana. Bunga Rampai dan Keselamatan Kerja , Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2003
2.
Firdaus U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja . Penyakit Kulit Akibat kerja Terbanyak Di Indonesia. Majalah kesehatan Masyarakat Vol II No 5 th 2002.16-18
3.
Harrington, JM dan F S Gill. Buku Saku Kesehatan Kerja. Terjemahan Bahasa Indonesia.Edisi 3. Penerbit EGC . Jakarta 2005.
4.
Lestari, Fatma dan Hari Suryo Utomo. Faktor-faktor Yang berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pada PT IPP Jakarta. Makara Kesehatan.Vol 11 No 2.Desember 2007.halaman 61-68.
5.
Mc.Cunney, Robert J, Paul P. Rountree. Occupational And Environmental Medicine. SelfAssesment Review. Lippincott-Raven Publisher 1998.
6.
Putro HH. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak. Majalah Dokter Keluarga. Vol 5 No 1.Desember 1985.
7.
Suma’mur, Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Haji Mas Agung Jakarta, 1991
8.
Suripto. Higiene Industri. Penerbit FKUI.2008
9.
Talbott, O. Evelyn & Craun F. Gunther. Introduction to Environmental Epidemiology, Lewis Publisher, 1995
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
65